VI. RASIONALITAS PENGUSAHA LOKAL: (BEKERJA x IBADAH) + JARINGAN SOLIDARITAS = MODAL KUASA Pada bab VI, peneliti akan membahas dan menganalisis karakteristik aktor pengusaha lokal dalam proses pembentukan ekonomi lokal di Kawasan Delta Mahakam. Para aktor pengusaha lokal yang mencakup 11 kasus ponggawa dalam kegiatan pertambakan, akan dikelompokkan berdasarkan akumulasi kapital – rata-rata produksi dan penguasaan alat-alat produksi, sehingga mempermudah dilakukannya analisis (saling-membanding) – tentu dalam hal-hal yang relevan
dengan tujuan
penelitian. Tabel 14. Pengelompokan Pengusaha Lokal Berdasarkan Volume Produksi Pertambakan Kelompok Aktor Pengusaha Lokal Ponggawa Ponggawa Ponggawa Besar Menengah Kecil H. Mangkana
H. Aco H. M. Ali H. Hatta. S H. Alimuddin H. Samir bin Saleng H. Sukri H. Sultan H. Alwi Djumadi/ H. Alang Chiko H. Dahlan
Volume Produksi Satu-satunya eksportir lokal yang memonopoli produksi udang di Delta Mahakam. Memiliki cold storage – pabrik pengolahan udang & berbagai kegiatan usaha yang menopang industri utamanya (ekspor udang beku). “Mengendalikan” secara langsung lebih dari 5000-an Ha tambak dan secara tidak langsung ratusan orang suplier (ponggawa), dengan volume ekspor udang beku mencapai 158.195,74 Kg (158 Ton)/ Bulan (tidak termasuk produk udang olahan, serta segar yang diantar pulaukan dan untuk konsumsi lokal). Mengumpulkan udang dari hasil tambak sendiri dan hasil tambak klien, selanjutnya di salurkan pada perusahaan eksportir. “Mengendalikan” secara tidak langsung lebih dari 50 orang petambak (belum termasuk penjaga empang yang menjaga dan mengelola tambak milik sendiri), dengan produksi udang rata-rata diatas 5 Ton/ Bulan. Sama seperti ponggawa menengah, yang membedakannya hanyalah nilai produksinya lebih kecil. “Mengendalikan” secara tidak langsung kurang dari 50 orang petambak (belum termasuk penjaga empang yang menjaga dan mengelola tambak milik sendiri), dengan produksi udang rata-rata dibawah 5 Ton/ Bulan.
Sumber: Data Primer Diolah, 2011 Meskipun aktor ekonomi lokal dapat dikelompokkan berdasarkan rataan volume produksinya per-bulan (seperti dapat dilihat dalam tabel diatas), namun perlu dicatat disini bahwa (kecuali kelompok ponggawa besar yang mengendalikan hamparan tambak yang sangat luas), kelompok ponggawa menengah dan kecil, volume produksinya sangat fluktuatif tergantung dari “nasib baik” tambak yang dikelola mereka/ kliennya, seperti ditunjukkan Gambar 14. Hal ini tidak terlepas dari produksi tambak di kawasan Delta Mahakam yang lebih banyak didominasi oleh udang bintik. Udang bintik adalah istilah masyarakat setempat untuk menyebut berbagai jenis udang alam non udang tiger/ windu (Penaeus Monodon), seperti udang pink, banana, white (Penaeus
180
Indicus), loreng (Penaeus Endeavour), jerbung (Penaeus Merguensis), dst, yang tidak dibudidayakan dengan sengaja. Udang alam tersebut masuk ke dalam tambak, bersamaan dengan dimasukkannya air payau segar dari luar tambak mengganti air tambak yang sudah tidak layak. Meskipun nilainya lebih rendah dari udang tiger (windu), udang bintik juga memiliki pangsa ekspor potensial. Berbeda dengan pola pengelolaan tambak di daerah lain, hampir semua tambak di kawasan Delta Mahakam, selalu dipanen dua kali dalam satu bulan (setiap kali nyorong), untuk mengambil udang bintik yang masuk ke tambak ketika pintunya dibuka pada saat air pasang. Sedangkan udang windu akan dipanen ketika usianya telah mencapai empat bulan (panen raya), meskipun ada pula yang dipanen sebelum memasuki bulan keempat. Pola pemanenan seperti inilah yang menyebabkan hasil produksi udang windu di kawasan ini tidak optimal, karena banyak udang windu yang belum waktunya dipanen ikut terjaring bersama udang bintik ketika nyorong. Pola pemanenan seperti itu, dilakukan para petambak sebagai salah satu bentuk adaptasi atas ketidakpastian hasil panen tambak yang dilakukan setiap empat bulan sekali (panen raya). Mereka kemudian melakukan “self defence” atas ketidakpastian tersebut, hasil panen udang bintik yang dilakukan setiap nyorong diharapkan masih bisa menutupi kerugian akibat hasil panen raya yang sering mengalami kegagalan, atau setidaknya mampu “menghidupi” para penjaga empang sehingga tambak-tambak mereka pun masih bisa survive. Kondisi tersebut tidak terlepas dari pola pengelolaan tambak yang masih sangat tradisional dan tidak inovatif (hanya mengikuti pola tertentu yang telah mapan), menggunakan satu pintu tambak dengan petakan yang sangat luas sehingga pengelolaan efisien sulit dilakukan. Sementara kondisi alam (tanah) yang sangat asam dengan PH air tinggi, serta pengetahuan yang minim dalam menanggulangi wabah penyakit yang mematikan, seperti; Mododon Baculo Virus (MBV); White Spot Syndrome Virus (WSSV); Infection Hypodermal Hematopoietic Necrosis Virus (IHHNV); dan Yellow Head; juga bakteri Vebrio serta beberapa parasit dari jenis protozoa, seolah menjadi penjelas bahwa produktifitas tambak di kawasan ini benar-benar hanya bersandar pada “kemurahan alam”. Seorang ponggawa kecil misalnya, produksinya terkadang sangat tinggi, jauh melampaui ponggawa menengah karena hasil panen udang bintik miliknya atau kliennya sangat melimpah pada satu periode nyorong, namun pada periode nyorong lainnya ia bisa saja tidak mendapatkan hasil panen. Hal seperti ini dialami oleh hampir semua ponggawa/ petambak, akibatnya, produksi sebuah tambak di kawasan Delta Mahakam menjadi sulit untuk diprediksi. Belum lagi adanya fenomena “market glut, yakni harga ikan/ udang tinggi pada saat musim paceklik, lalu mendadak turun drastis ketika musim panen”, yang juga harus dihadapi para petambak. Kondisi ini
181
“diperkeruh” oleh sistem manajemen usaha yang masih sangat tradisional dan tertutup, dimana data produksi tidak terdokumentasi dengan baik dan diantara para ponggawa terdapat persaingan terselubung, sehingga cenderung tidak ingin manajemen usahanya diketahui oleh pihak lain. Karena alasan sulitnya mendapatkan data produksi secara akurat dan fluktuasi volume produksi yang tidak menentu tersebut, penggunaan instrumen volume produksi dirasakan tidak memadai untuk menjadi satu-satunya acuan dalam pengelompokkan aktor kapitalis lokal. Karenanya peneliti menambahkan hasil pengamatan subjektif (selama di lapang) dalam mendukung pengelompokan aktor kapitalis lokal, seperti; kepemilikan material (rumah, mobil, pendidikan anak, dst) dan penguasaan aset produksi (luasan tambak yang dikuasai dan jumlah klien, dst).
6.1
Basis Nilai Moralitas Orang Bugis merupakan salah satu etnik yang paling represif terhadap hal baru,
terutama terhadap unsur luar yang mereka anggap bermanfaat. Meskipun pada aspekaspek tertentu, jelas terlihat adanya unsur-unsur yang berkesinambungan selama berabad-abad. Banyak unsur luar yang telah diserap ke dalam oleh hampir seluruh aspek kehidupan orang Bugis yang memperkaya hukum adat, tatanan sosial politik, adat-istiadat, ritual dan kepercayaan, tingkah laku, teknologi, pengetahuan, hingga sastra dan pekerjaan sehari-hari. Akan tetapi, unsur-unsur serapan tersebut diolah dengan begitu apik, sehingga baik orang luar maupun orang Bugis sendiri menganggapnya sebagai suatu entitas budaya yang menyatu atau merupakan tradisi yang utuh dan padu (Pelras, 2006). Wujud kebudayaan yang selain mencakup pengertian sistem norma dan aturanaturan adat, serta tata-tertib, juga mengandung unsur-unsur yang meliputi seluruh kegiatan hidup manusia dalam bertingkah-laku dan mengatur prasarana kehidupan manusia Bugis disebut panngaderreng (Mattulada, 1985). Konsep panngaderreng (falsafah hidup) tersebut merupakan serangkaian norma yang berkaitan satu sama lainnya, yang terdiri dari; pertama, adalah Ade’ (adat yang mengatur hal ihwal perkawinan serta hubungan kekerabatan dan norma bernegara dan memerintah). Kedua, adalah Bicara (norma hukum yang bersangkut paut dengan peradilan); ketiga, adalah Rapang (pandangan hidup ideal yang dapat memberikan keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat); sedangkan yang keempat adalah Wari’ (norma yang mengatur stratifikasi dalam masyarakat); dan yang kelima adalah sara’ (syariat yang mengandung pranata-pranata dan hukum Islam). Unsur-unsur tersebut terjalin sebagai satu kesatuan organis dalam alam pikiran orang Bugis yang mendasari sentimen kewargaan masyarakat dan identitas sosial, serta martabat dan harga diri yang
182
kesemuanya terkandung dalam konsepsi siri’. Empat dari yang pertama, secara tradisional dipegang oleh pampawa ade’ (penguasa/ raja dan para pembantunya) yang bertugas mengatur roda pemerintahan. Sedangkan yang terakhir dipegang oleh parewa sara’ (ulama/ kadi dan para pengurus masjid) yang bertugas menangani hal-hal yang berhubungan dengan fikih Islam. Meskipun umara dan ulama memiliki kedudukan dan fungsi yang sama dalam tradisi Bugis, namun terdapat dikotomi dalam pembagian tugasnya. Di dalam praktiknya, terkadang keduanya dapat saling mengisi, namun juga dapat jalan beriringan bagai tak saling mengenal atau seringkali adat tunduk pada ajaran Islam, begitupun sebaliknya parewa sara’ bertoleransi pada adat (Rahman, 2009). Begitu fleksibelnya pola pelaksanaan konsep panngaderreng tersebut, menjadikan konsep ini mudah dimodifikasi sedemikian rupa oleh “penganutnya” sehingga sering bertumpangtindih dalam praktiknya. Pada masyarakat Bugis perantauan, seperti di kawasan Delta Mahakam, konsep ini meskipun tidak sepenuhnya terinternalisasi pada sendi-sendi kehidupan masyarakat setempat, namun masih dipraktekan secara longgar. Kondisi ini diduga sebagai bentuk adaptasi kultural atas berbagai perubahan sosial dan mobilitas sosial yang terus berlangsung, mengingat sebagian besar dari mereka berasal dari golongan strata bawah dalam stratifikasi sosial masyarakat Bugis feodal. Berdasarkan kajian atas perilaku para tokoh epos La Galigo, Pelras (2006) berhasil memotret mentalitas manusia Bugis yang didominasi oleh empat sifat keutamaan, yang jika dimiliki seseorang akan dapat menghantarkannya menjadi “penguasa baru”. Selain berasal dari keturunan yang tepat, seseorang yang ingin menjadi “penguasa baru” (pemimpin) haruslah memiliki keutamaan dalam hal; keberanian (warani), keahlian/ kecerdikan (acca), kekayaan (sugi’) dan kesalehan (panrita). Meskipun dalam karya monumentalnya “Latoa”, Mattulada berbeda dengan Pelras dalam menyebut salah satu dari empat sifat sulapa’ eppa’, namun penulisan to sulasena (berkeahlian khusus) yang gunakan Mattulada memiliki makna yang hampir sama dengan to acca (ahli/ cerdik) yang digunakan Pelras, sehingga tidak perlu dipertentangkan. Konsep sulapa’ eppa’ dari kedua ahli tersebut digunakan “secara bergantian” dalam penelitian ini, tanpa mengurangi maknanya. 1) To Warani yaitu mereka yang berasal dari lapisan Anakarung maupun Maradeka yang memiliki keberanian, meskipun terkadang reputasi itu diperoleh dari tindakan yang keliru. Pada suatu ketika, mereka bisa berperang demi kehormatan diri dan untuk menegakkan keadilan, di lain waktu mereka dapat mengobarkan perang hanya karena mereka memang gemar berperang/ untuk memuaskan ambisi, ketamakan dan pamrih pribadi.
183
2) To Acca, yaitu mereka yang berasal dari lapisan Anakarung maupun Maradeka yang memiliki keahlian/ kecerdikan, yang dapat digunakan untuk kebaikan bersama dan dapat pula dijadikan pemuas hasrat pribadi. 3) To Sugi’, yaitu mereka yang berasal dari lapisan Anakarung maupun Maradeka yang memiliki harta kekayaan melimpah, sebagai wujud motivasi paling kuat untuk meningkatkan status, sekaligus menjadi pendorong utama usaha perdagangan. 4) To Panrita, yaitu mereka yang berasal dari lapisan Anakarung maupun Maradeka yang menguasai seluk beluk agama Islam, bijaksana, saleh dan jujur. Sepadan dengan ulama yang tidak pernah berbuat salah dan tidak mementingkan diri sendiri. Dalam konsteks sekarang, menjadi to panrita mungkin
ditandai
dengan
keputusan
menunaikan
ibadah
haji
(sambil
memperdalam pengetahuan agama).
Manusia Utama (Berkuasa)
Bekerja x Ibadah = Kesalehan Sosial Orang Bugis
Siri’ dan Passe’
1. 2. 3. 4.
Nasib (We’re’)
Sifat Sulapa’ Eppa’; Keberanian (To-Warani) Kecerdasan (To-Acca) Kekayaan (To-Sugi) Kesalehan (To-Panrita)
Pangaderreng
Adat (Ade) Norma Hukum (Bicara) Norma Keteladanan (Rapang) Norma Stratifikasi (Wari’)
Syariat Islam (Sara’)
Manusia Bugis Gambar 16. Etika Moral Ponggawa Bugis di Kawasan Delta Mahakam Sumber: Data Primer Diolah, 2011 dan Hasil Penelusuran Berbagai Kepustakaan
184
Berbeda dengan ketiga unsur sulapa’ eppe’ yang bersifat mendua, unsur to panrita sebaliknya, hanya dapat dipandang dari satu sisi. Dimana Islam menyumbang warna baru terhadap prototipe yang ada dengan memperkuat aspek-aspek etika moral serta membedakan secara tegas to-panrita dengan gambaran mendua tentang to sugi’, to warani dan to acca (lihat Gambar 16.). Meski demikian, sejumlah konsep dan norma pra-Islam tampaknya masih tetap dijadikan prinsip. Seperti aturan tak tertulis yang mengajarkan; “jika seseorang terpaksa mengambil jalan kekerasan, maka pilihlah lawan yang sebanding agar tidak kehilangan siri’ atau bila perlu dengan berusaha memiliki kekuatan gaib untuk melawan”. Apabila lawan ternyata lebih kuat, seseorang boleh menyerang dari belakang atau menipunya, hal yang sama bisa dilakukan jika ternyata pihak musuh lebih kaya atau lebih berkuasa. Disini, keadilan bukanlah masalah etika sebagaimana konsep pemikiran Barat. Terdapat perbedaan pemahaman rasionalitas yang mendasar, dimana bagi orang Bugis keadilan dipandang sebagai masalah ditegakkannya fair play (Pelras, 2006). Sejak masuknya Islam di Sulawesi Selatan, yang memandang semua manusia sama, telah menarik minat semakin banyak orang Bugis, khususnya masyarakat biasa (To Maradeka) dan para pedagang. Paling tidak sejak abad 17, banyak diantara mereka karena berbagai alasan merasa tidak senang dengan masyarakat tradisional Bugis mencari jalan keluar dengan merantau. Sementara persaingan terbuka dengan para bangsawan lapisan tertinggi untuk menjadi “penguasa baru” yang begitu sulit dimenangkan dalam memperebutkan jabatan, pengaruh, maupun kekayaan di tanah asal, menjadikan lapisan To Maradeka dan sebagian kecil bangsawan golongan rendah yang tersingkir, akhirnya memutuskan untuk merantau keluar dari tanah kelahirannya. Menurut catatan Pelras (2006), sebagian besar orang Bugis yang merantau antara 1910 – 1930, terutama adalah kaum bangsawan rendah atau tau deceng yang menolak sistem kerja paksa yang diterapkan pemerintah kolonial, karena dianggap merendahkan harga diri mereka. Dalam kehidupan sosial diperantauan, mereka bisa saja mengaku berasal dari status lebih tinggi dari yang sebenarnya, atau tidak peduli lagi dengan prinsip-prinsip hirarki dalam tradisi Bugis dan mencoba memperoleh status terhormat dalam bentuk lain – terutama melalui pengumpulan harta kekayaan. Hal itu diakui Haji Saleng (seorang ponggawa dari generasi perintis), sebagai salah satu faktor utama yang menuntunnya untuk merantau ke daerah lain.
Ia
menuturkan bahwa rombongan yang terdiri atas beberapa keluarga dekatnya, meninggalkan kampung Lamurukung – Bone menuju Muara Badak pada tahun 1973. Dengan pertimbangan ingin memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga, Haji Samir kemudian menuruti nasehat seorang karabat yang menyarankannya menjadi nelayan bagang ke pantai Timur Kalimantan yang potensi perikanannya belum tereksploitasi.
185
Kecendrungan yang luar biasa untuk selalu mencari peluang ekonomi yang lebih baik dimanapun dan kapanpun tampaknya menjadi ciri khas yang tetap melekat dalam diri mereka. Seperti halnya dituturkan Djumadi, seorang ponggawa muda di Muara Pantuan yang mengaku meninggalkan kampung halamannya di Mamuju dengan hanya berbekal baju dibadan. Pria yang mengaku bekerja sebagai buruh tani serabutan ini memutuskan berangkat ke Sungai Meriam setelah berkenalan dengan dengan Haji Rustam (adik Haji Mangkana) di Mamuju. Beratnya kehidupan dikampung halaman, setidaknya telah memaksa dirinya “nekat” menumpang sebuah kapal dagang Bugis yang akan mengantar muatan ke Samarinda di tahun 1983. Bagi orang seperti Djumadi “lebih berharga mati dengan berdarah, daripada mati kelaparan” (lebbimui mate maddarae dari mate tammanre). Selama enam tahun lamanya, ia harus “numpang makan” dan bekerja di rumah Haji Rustam, hingga menjadi nelayan trawl pada 1984 – 1986. Ia mulai dipercaya Haji Mangkana menjadi penyambang di sekitar Pulau Nubi pada 1986 – 1998 dan akhirnya mendapatkan kesempatan untuk mengelola tambak sendiri, setelah di tahun 1998 “dibuatkan” tambak seluas 5 Haktar oleh Haji Mangkana. Tambak yang seluruh produksinya disetorkan pada pos pembelian milik Haji Mangkana tersebut, saat ini telah bertambah luas hingga mencapai 20 Hektar. Ketekunan dan semangat untuk bisa hidup lebih baik telah menghantarkannya menjadi seorang petambak, sekaligus ponggawa yang cukup berhasil di Muara Pantuan. Begitu kuatnya motif ekonomi dalam setiap mobilitas yang dilakukan orang Bugis, memberikan kesan bahwa peranan uang atau hartalah yang banyak menentukan nasib dan status seseorang. Sangat banyak ulama yang menganggap usaha memperkaya diri sebagai suatu kewajiban, sepanjang dilakukan secara jujur dan halal (sappa’ dalle’ hallala’), karena memungkinkan seseorang mampu membantu sesama yang kurang beruntung (Pelras, 2006). Orang Bugis, bahkan mempertaruhkan siri’-nya ketika merantau, mereka “merasa malu bila tidak bisa pulang untuk memperlihatkan bukti keberhasilannya di rantau”. Setelah meninggalkan tanah kelahirannya, kadangkala hingga bertahun-tahun mereka tidak kembali, hanya untuk mencari kekayaan hingga berhasil. Menjadi orang yang berharta, setidaknya juga menutup kemungkinan terjerumus menjadi Ata dan kehilangan siri’. Termasuk berusaha adalah dengan menjadi panga atau perampok, karena menjadi seorang panga masih lebih mulia dari Ata (Muklis, 1975 dalam Mappawata, 1986). Dalam sejarahnya, nasib seorang Ata bahkan dapat dirubah seketika menjadi To Maradeka hanya dengan membayar sejumlah uang denda/ tebusan. Bagi orang Bugis tidak ada siri’ yang lebih memalukan dibandingkan terjerumus menjadi Ata (Budak/ Sahaya). Meskipun Ata telah dihapuskan pemerintah Kolonial Hindia Belanda pasca penaklukkan semua kerajaan di Sulawesi Selatan pada 1906,
186
hingga saat ini Ata masih dipandang sebagai salah satu aspek sugestif dari panngaderreng yang dapat memperteguh pertahanan siri’ pada setiap pribadi orang Bugis. Untuk mencegah hal tersebut, setidaknya mereka dituntut oleh siri’nya untuk; 1) Tidak menerima atau menyerah pada nasib tanpa melakukan usaha. Orang Bugis harus berusaha keras untuk tidak menjadi miskin, karena kemiskinan mendekatkan sesorang pada kemungkinan menjadi Ata. Menjadi Ata berarti kehilangan siri’ dan; 2) Tidak melanggar panngaderreng, karena jika melanggarnya berarti menjerumuskan diri pada kehinaan dalam pandangan masyarakat dan dikucilkan dalam pergaulan. Dahulu hukuman bagi pelanggar panngaderreng adalah majjallo hingga mati atau hidup dengan bersedia menjadi Ata dan kehilangan siri’ (Mattulada, 1985). Siri’ bukanlah semata-mata persoalan pribadi yang muncul secara spontan, siri’ lebih sebagai sesuatu yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk solidaritas sosial. Hal ini dapat menjadi motif penggerak penting kehidupan sosial dan pendorong tercapainya suatu prestasi sosial masyarakat Bugis, meskipun tidak sedikit terjadi penerapan siri’ yang salah sasaran, seperti pada banyak kasus balas dendam. Secara gamblang Hamid Abdullah (1985), menyatakan bahwa “tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi selain dari pada siri’”. Bagi manusia Bugis (Makassar), siri’ adalah jiwa mereka, harga diri mereka dan martabat mereka. Sebab itu untuk menegakkan dan membela siri’ yang dianggap tercemar
oleh
orang
lain, maka
manusia
Bugis
(Makassar)
akan
bersedia
mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang berharga demi tegaknya siri’ dalam kehidupan mereka. Biasanya siri’ seiring sejalan dengan passe’ yang berarti “ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri”, mengindikasikan perasaan empati yang mendalam terhadap tetangga, kerabat atau sesama anggota kelompok sosial. Passe’ berhubungan erat dengan identitas, merupakan pengikat para anggota kelompok sosial, seperti pada sesama perantau yang berada di negeri orang/ di suatu tempat di luar daerah Sulawesi Selatan, yang kerap mendasari rasa memiliki identitas “ke-Bugis-an” mereka. Karenanya konsep siri’ dan passe’, dapat digunakan sebagai kunci utama untuk memahami berbagai aspek perilaku sosial orang Bugis, khususnya dua perilaku mereka yang tampak saling berlawanan (ambigu), yaitu; 1) persaingan yang dapat dipahami melalui konsep siri’ dan; 2) kesetiakawanan yang dapat dipahami melalui konsep passe’ (Pelras, 2006). Passe’ menjamin terjadinya kohesi internal dalam suatu keluarga atau kelompok sosial, dalam suatu pesta pernikahan misalnya, seluruh anggota keluarga akan berusaha untuk ikut mempersembahkan yang terbaik demi menegakkan gengsi keluarga dimata keluarga lain yang sederajat. Namun, persaingan juga dapat terjadi
187
antar anggota keluarga atau suatu kelompok pengikut. Jika seorang lelaki dalam suatu keluarga berhasil meraih suatu prestasi misalnya, maka saudara laki-lakinya akan berusaha mencapi sesuatu yang lebih baik, demi siri’-nya sendiri. Persaingan seperti inilah yang menurut Hamid Abdullah (1985), memiliki arti penting sebagai pendorong dilakukannya suatu usaha atau pergi merantau dalam rangka mencapai keberhasilan dibidang ekonomi. Sementara, kecendrungan mereka yang tampaknya saling berlawanan (berpandangan hierarkis sekaligus egalitarian, dorongan untuk berkompetisi sekaligus berkompromi, menjunjung tinggi kehormatan diri tetapi juga solider terhadap sesama orang Bugis) dipadukan dengan nilai-nilai keutamaan, seperti keberanian, ketaatan terhadap ajaran agama dan kelihaian berbisnis merupakan unsur-unsur penggerak utama dalam perkembangan kehidupan sosio-ekonomi dan politik mereka selama ini. Di dalam bukunya “After Virtue”, MacIntyre mengkritik keras filsafat Pencerahan dalam memberikan suatu dasar rasional kepada moralitas, karena Pencerahan atas nama rasionalitas justru membuang apa yang menjadi dasar rasionalitas setiap ajaran moral, yaitu pandangan teleologis tentang manusia. Menurut MacIntyre, rasionalitas sebuah moralitas akan dijawab oleh fungsinya dalam cakrawala makna komunitas yang bersangkutan. Ajaran-ajaran moral milik komunitasnya akan menunjukkan jalan bagaimana ia dapat menjadi seorang “manusia utama”, yaitu kemampuan untuk menjadi semakin utuh dan sempurna. Disini MacIntyre mengarahkan fokus etika yang sejak Immanuel Khan ke hal kewajiban, kembali ke hal keutamaan (Magnis-Suseno, 2006). Bukanlah “saya wajib melakukan apa?”, melainkan “saya harus menjadi manusia macam apa?”. Tentu jawaban yang abstrak-universal tidak mungkin diberikan, sehingga jawabannya secara hakiki tergantung dari pandangan dunia, keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai komunitas bersangkutan. Meskipun demikian, ketertanaman keyakinankeyakinan moral dalam masing-masing pribadi tidak harus berarti bahwa suatu konsensus moral universal tidak mungkin; karena orang dari tradisi berbeda pada kenyataannya juga dapat saling mengerti dalam keprihatinan moral.
6.2
Budaya Bisnis Bugis Orang Bugis merupakan satu dari beragam etnik yang ada di Indonesia,
populasi mereka menurut Sensus 2000, mencapai 5.010.421 jiwa (2,49 persen) dari jumlah keseluruhan warga (etnik) negara Indonesia yang mencapai 201.092.238 jiwa. Sekitar 34,81 persen penutur bahasa Bugis berada di luar Sulawesi, sehingga bahasa Bugis merupakan salah satu bahasa paling luas tersebar setelah bahasa nasional dan bahasa Jawa. Meskipun urutan etnis Bugis menurun dari posisi ke lima pada 1930 menjadi ke delapan pada 2000, namun jumlah mereka meningkat 1,69 persen pertahun.
188
Tabel 15. Perbandingan Kelompok Etnik Terbesar Berdasarkan Sensus Penduduk Tahun 1930 dan 2000 Tahun 1930 Kelompok Etnik Jumlah (Jiwa) 1 Jawa 27.808.623 2 Sunda 8.594.834 3 Madura 4.305.862 4 Minangkabau 1.988.648 5 Bugis 1.533.035 6 Batak 1.207.514 7 Bali 1.111.658 8 Betawi 980.863 Sumber: Suryadinata Dkk (2003) No
Persentase 47,02 14,53 7,28 3,36 2,59 2,04 1,88 1,66
Kelompok Etnik Jawa Sunda Melayu Madura Batak Minangkabau Betawi Bugis
Tahun 2000 Jumlah (Jiwa) 83.865.724 30.978.404 6.948.040 6.771.727 6.076.440 5.475.145 5.041.688 5.010.421
Persentase 41,71 15,41 3,45 3,37 3,02 2,72 2,51 2,49
Dewasa ini aktivitas para elit ekonomi Bugis tidak hanya terbatas pada usaha tradisional, mereka juga terjun ke dalam industri dan bisnis modern. Munurut catatan Pelras (2006), pada tahun 1985 – 1986 (25 tahun yang lalu) setidaknya 3 persen dari 213 pengusaha besar yang ada di Indonesia adalah orang Bugis. Meskipun tampaknya sedikit, namun bila dibandingkan dengan angka rata-rata menurut asal atau suku pengusaha yang lain, maka 3 persen itu adalah dua kali lipat prosentase orang Bugis di Indonesia pada masa itu. Tentu prosentasenya menurut perkiraan peneliti, bisa lebih dari itu pada masa sekarang. Di Kalimantan Timur misalnya, tujuh (44%) dari enam belas perusahaan eksportir perikanan yang saat ini masih aktif beroperasi dimiliki oleh orang Bugis. Usaha bisnis migran Bugis tidak hanya mampu bersaing dengan pengusaha keturunan Cina WNI (yang mencapai 31%) dan “pemain” asing lainnya (yang mencapai 25%), namun juga memiliki keunggulan komparatif, karena didukung jaringan kultural dan penguasaan sumberdaya yang memberikan jaminan pasokan raw material secara berkelanjutan. Tabel 16. Nama-Nama Perusahaan Eksportir Aktif, Lokasi dan Status Kepemilikannya No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Nama Perusahaan PT. Syam Surya Mandiri PT. Aromah Nelayan Mandiri PT. Sumber Kalimantan Abadi PT. Bulungan Lestari Mandiri PT. Mustika Minanusa Aurora PT. Sumber Kalimantan Abadi PT. Tunas Nelayan Mandiri PT. Malindo Kencana Utama PT. Misaja Mitra PT. Sabindo Raya Gemilang I PT. Sabindo Raya Gemilang II PT. Bonanza Pratama Abadi PT. Nelayan Barokah PT. Kota Marine UD.Perikani UD. Harapan Maju
Lokasi
Status Kepemilikan
Anggana Balikpapan Balikpapam Tj. Selor Tarakan Tarakan Tarakan Tarakan Tarakan Tarakan Tarakan Tarakan Tarakan Tarakan Tarakan Tarakan
PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha Bugis lokal PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha Bugis lokal PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha Bugis Sulawesi PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha Bugis lokal PMA dengan saham utama dimiliki pengusaha Tionghoa Malaysia PMA dengan saham utama dimiliki pengusaha Jepang PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa PMA dengan saham utama dimiliki pengusaha Tionghoa Malaysia PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha Bugis lokal PMA dengan saham utama dimiliki pengusaha Korea PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha Bugis lokal PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha Bugis lokal
Sumber: Hasil Wawancara Mendalam dengan Daulat A. Manalu (Staf Senior Diskanlut Kaltim) dan Data Primer Diolah, 2011
189
Budaya bisnis orang Bugis di Kalimantan Timur dapat mulai ditelusuri, dari keberadaan komunitas Bugis pertama yang telah menetap di Talake – Paser, sebelum kedatangan 3.000 orang migran Bugis Wajo yang dipimpin seorang pangeran Wajo‟ bernama La Ma‟dukelleng pada permulaan abad-18. Komunitas migran Bugis pertama ini hidup dari kegiatan perkebunan kelapa dan pergadangan. Keturunan mereka inilah yang kelak merintis didirikannya Kota Samarinda, hingga memonopoli ekspor hasil alam dari pedalaman Kalimantan setelah diberi hak oleh Sultan Kutai, seperti serbuk emas, kemenyan, kapur barus, damar, kayu gaharu, rotan, sarang burung, madu batu mustika dan tanduk badak, serta produk laut seperti sisik, dan telur penyu, agar-agar dan teripang (Pelras, 2006). Sampai dengan pertengahan abad-19, sebenarnya wilayah jalur Selat Makassar ditandai dengan ketidakstabilan dan kompetisi politik yang keras antara Taosug dan Bugis (Magenda, 1991). Kondisi tersebut juga “diperkeruh” oleh munculnya fenomena “spekulator-speklulator orang Inggris” yang melakukan ekspansi kegiatan bisnis hingga ke kawasan pedalaman Kalimantan. Mereka adalah para pedagang yang mampu membujuk sultan-sultan lokal agar memberikan tanah pada mereka dan memperoleh hak-hak monopoli atas kegiatan perdagangan dan pertambangan, hingga mendapatkan gelar sebagai “raja-raja kulit putih”. Seperti Sir James Broke di Serawak, William Lingard si “raja laut Berau” dan George Peacock King di wilayah Samarinda dan Kutai. Ketidakmampuan Belanda untuk mengatasi aktivitas perdagangan orang-orang Inggris, yang berhasil memanfaatkan jaringan perdagangan orang-orang Arab dan Bugis tersebut, telah memaksa pemerintah Hindia Belanda mengunakan kekuatan armada perangnya untuk memastikan bahwa Lingard atau orang Inggris lainnya tidak akan menjadi James Broke kedua di wilayah taklukan mereka. Sejak saat itu kegiatan-kegiatan pedagang Inggris di kepulauan Indonesia praktis telah berkurang dan rute perdagangan terkenal antara Singapura – Banjarmasin – Lombok – Makassar – Kaltim (Samarinda/ Balikpapan/ Tarakan) semakin melemah. Jika merujuk pada peta yang digambarkan Vleke (2008), maka bisa dipastikan bahwa Selat Makassar sejak abad-17 telah berkembang menjadi kawasan perdagangan utama di Nusantara dengan Makassar sebagai pusat pertumbuhannya. Hal ini ditandai dengan keberhasilan para pedagang Bugis dalam merajut jaringan perdagangan di kota-kota sepanjang pesisir barat Sulawesi – pesisir timur Kalimantan – pulau-pulau di Nusa Tenggara dimana komunitas Bugis banyak menetap. Bagi bangsa-bangsa asing, posisi strategis „jaringan perdagangan Selat Makassar” memiliki nilai potensial secara ekonomi, sehingga pos perdagangan yang didirikan pada 1615 di kota Makassar menjadi salah satu pos perdagangan pertama yang didirikan bangsa Asing di Nusantara setelah pos perdagangan Banten dan Ternate.
190
Seperti ditunjukkan Gambar 17. “jaringan perdagangan Selat Makassar” terus tumbuh menjadi kawasan perdagangan penting di Nusantara, hingga pemerintah kolonial Hindia Belanda secara keras memaksakan perjanjian-perjanjian sepihak, dengan maksud membagi-bagi kawasan tersebut sehingga mudah dikontrol menjelang akhir abad-19. Sepeninggal pedagang-pedagang Inggris, praktis sejak 1870-an sampai dengan ditemukannya minyak pada 1902, terjadi kekosongan kegiatan perdagangan di pantai timur Kalimantan. Meskipun demikian, kondisi tersebut mampu disiasati para pedagang
Bugis,
dengan
tetap
menjalankan
kegiatan-kegiatan
perdagangan
tradisionalnya, memanfaatkan perahu-perahu rakyat di dalam jaringan perdagangan Bugis yang telah lama terbangun.
Gambar 17. Peta Negara-Negara Utama di Nusantara pada Abad-17 Sumber: Vlekke (2008) Orang Bugis Samarinda, dilaporkan juga memonopoli impor beras, garam, rempah-rempah, kopi, tembakau, opium, porselen, kain, besi, senjata api, bubuk mesiu dan budak. Orang Bugis Samarinda, kemudian juga memperoleh hak untuk menguasai perdagangan di hulu Sungai Mahakam, salah seorang diantara mereka bahkan ditunjuk sebagai Syahbandar Samarinda. Mekipun dahulu hasil bea ekspor-impor merupakan sumber penghasilan penting bagi Sultan, namun menurut laporan Zweger yang ditulis pada 1853, saat itu Syahbandar memiliki otoritas penuh atas pengoperasian pelabuhan Samarinda, bahkan dalam menentukan tambahan bea keluar-masuk barang, yang sebagian besar hasilnya masuk kantong pribadi. Tidak hanya itu, Syahbandar juga mendapatkan hak monopoli garam, sebagai insentif atas upayanya dalam memungut pajak bea ekspor-impor.
191
Menurut Peluso (1996), kemampuan orang Bugis memonopoli dan menguasai daerah-daerah di hulu Mahakam, berhubungan dengan akses dan kendali yang mereka pegang atas barang-barang lainnya. Pedagang Bugis juga memasok persenjataan dan amunisi untuk bala tentara kerajaan, mereka dilaporkan bisa kapan saja menghentikan pasokannya, sehingga memiliki posisi tawar yang sangat baik dengan pihak penguasa lokal. Tidak berlebihan jika dalam laporannya, Zwager menyebut “Demikianlah Samarinda, kampung orang Bugis yang penting itu, kian lama kian merupakan suatu kerajaan tersendiri, walaupun masih berdekatan dengan istana Sultan Kutai”. Ramainya aktifitas perdagangan di pelabuhan Samarinda di lukiskan Zweger, berikut ini; “Di Kutai setidaknya terdapat empat puluh buah perahu besar (berukuran hingga 500 ton), yang sebagian besar berasal dari Sulawesi dan biasanya berpangkalan di Samarinda”. Perahu-perahu tersebut langsung berhubungan dagang dengan Pasir, Berau, Sulu, Mindanao, Sulawesi, Singapura, Bali, serta Jawa dan daerah-daerah disekitarnya. Sebaliknya dari daerah-daerah ini berdatangan pula perahu-perahu rakyat yang melakukan pergadangan di wilayah Kutai (Samarinda). Dalam catatan Zweger nilai ekspor perdagangan selama tahun 1835 mencapai f. 259.500,- dengan nilai impor mencapai f. 226.700,-, sehingga nilai surplus perdagangan melalui pelabuhan Samarinda mencapai f. 32.800,-. Tabel 17. Peradaban Yang Berhasil Dibangun Migran Bugis di Indonesia Daerah Tujuan Tanah Melayu – Sumatra – Batavia
Periode Migrasi Awal Abad-17 s/d Abad18
Kepulauan Riau – Singapura
Pantai Timur Kalimantan
Orientasi
Strategi
Budaya Bisnis Yang Terbangun
Perdagangan Budak
Menjual tawanan yang ditangkap dari Nusa Tenggara, Buton, Mindanao, Sulu dan timur laut Kalimantan untuk dijadikan buruh perkebunan dan sebagai pekerja kasar, khususnya pada VOC
Awal Abad-18
Perdagangan
Mambangun pelabuhan penting “entrepot”, yang lokasinya tidak terjangkau oleh campur tangan asing – pindah ke Singapura dari “entrepot” (Kepulauan Riau) untuk menghindari pungutan pajak yang dikenakan Belanda, selain ingin memperoleh ruang gerak untuk melakukan operasi perdagangan maritim dengan leluasa.
Awal Abad-18
Perdagangan dan Perkebunan Kelapa
Komunitas Bugis pertama di Kalimantan Timur yang bermigrasi karena tidak ingin tunduk pada Belanda dan Kepemimpinan Aru Palaka ini, hidup dari kegiatan perkebunan kelapa dan perdagangan. Dipimpin seorang pangeran Wajo’ bernama La Ma’dukelleng, keturunan dari 3000 orang Bugis Wajo ini kemudian
Meskipun secara teoritis praktik perbudakan telah dihapuskan Belanda di wilayah jajahan sejak 1818, orang Bugis mensiasatinya dengan mengalihkan perdagangan budak dari Makassar yang dikuasai Belanda ke Bone, Palopo dan Pare-Pare yang secara de facto masih merdeka. Mengembangkan kegiatan bisnis “bebas bagi semua pendatang” yang dengan mudah mampu menyaingi Belanda di Malaka. Setelah orang Bugis pindah ke Singapura, Raffles mencoba melanjutkan kebijakan perdagangan orang Bugis yang telah diterapkan di Kepulauan Riau, dengan membangun pusat perdagangan yang berlawanan dengan sistem monopoli perdagangan yang diterapkan Belanda. Membina hubungan politik dengan Penguasa setempat lewat perkawinan dan memperoleh hak dari penguasa setempat untuk memonopoli ekspor hasil alam dari pedalaman. Penguasaan akses dan kendali atas jaringan perdagangan dari produsen menjadi kunci kekuatan bisnis yang dikembangkan
192
tersebar ke Samarinda, Kutai, Bulungan dan Berau. Setelah membuka hutan, mengeringkan lahan, menanam bibit kelapa, orang Bugis di Johor membatasi aktivitas mereka dengan hanya memetik kelapa dan membuat kopra
Daerah pantai Johor
18701929
Perkebunan Kelapa dan Perdagangan Kopra
Tanah Melayu – Sumatra
18851920
Perkebunan Tanaman Keras
Bermigrasi secara berkelompok yang masing-masing dipimpin seorang bangsawan menengah atau pedagang atau gabungan keduanya. Para pemimpin tersebut menanggung modal awal untuk membeli peralatan, perlengkapan, bibit dan penyemaiaan serta memberi makan para pengikutnya sepanjang dibutuhkan.
Lindu Sulteng
19571970-an
Nelayan – Pedagang
Bermigrasi karena lari dari kekecauan militer, serta keterbatasan dan ketidaksuburan tanah asal. Para migran datang secara berkelompok bersama karabatnya dengan mencoba peruntungan sebagai nelayan, sementara yang lainnya membuka kioskios dipasar atau menjadi pialang tanah/ pedagang beras.
Delta Mahakam
19502000-an
Perkebunan Kelapa dan Perikanan Tangkap – Budidaya
Kedatangan mereka ke Delta Mahakam adalah ingin menyelamatkan diri dari kekacauan ekonomi dan militer akibat pemberontakan Kahar Muzakkar. Juga mentaati nasehat yang diterima dari sanak saudara atau teman yang memberitakan adanya lokasi lain dimana kawasan hutannya yang luas bisa diubah menjadi lahan pertanian/ perkebunan dan kawasan perairannya memiliki potensi perikanan yang menguntungkan untuk digarap.
Konsistensi dalam kegiatan perkebunan kelapa – pembuatan kopra menjadikan perkebunan kelapa di Johor berkembang dengan relatif stabil dibandingkan ditempat lain karena terjadinya efisiensi biaya transportasi (dekat dengan pusat niaga kopra, Singaputa) Perantau Bugis di Tanah Melayu – Sumatra bukan sekedar petani tradisional, akan tetapi pengusaha berorientasi ekonomi. Jika memperoleh uang yang cukup besar, para migran Bugis akan menginvestasikan kembali uang itu dalam bidang perniagaan atau menyewakan lahan mereka pada petani lain dan selanjutnya mencari tempattempat yang lebih menguntungkan. Merantau bagi mereka bukan sekedar mengejar keuntungan ... tetapi juga sebagai upaya untuk mencari pengetahuan sekaligus kekayaan, yang mencakup pula upaya memperbaiki nasib. Suatu cara menangani nasib diri sendiri, yang mencerminkan padangan yang rumit mengenai hubungan antara tabiat pribadi dan takdir, sekaligus mencerminkan pandangan hidup orang biasa yang berbeda dengan sikap bangsawan. Sebagian besar migran Bugis yang berhasil (ponggawa), tidak berasal dari elit tradisional. Mereka cenderung easy going dan tidak akan merasa kehilangan apapun seandainya kegiatan usahanya kolaps, karena mereka mengaku datang ke Delta Mahakam hanya dengan baju di badan. Dengan segala keterbatasannya mereka berusaha untuk adaptif dan mampu melihat perubahan disekitarnya, sehingga bisa bertahan dalam kegiatan usaha yang penuh dengan persaingan dan ketidakpastian.
Sumber: Pelras, 2006; dan Data Primer Diolah, 2011 Mengutip penelitian Denys Lombard (2005) dan Anthony Reid (1999), Hefner (1999), berhasil memotret dengan jernih, bagaimana peran ekonomi masyarakat nusantara dalam kegiatan perdagangan di Asia Tenggara. Dimana sejak menjelang abad-15 jaringan perdagangan global di kawasan maritim nusantara telah tumbuh dengan luar biasa dan mencapai puncaknya di akhir abad- 17. Masyarakat Asia Tenggara, termasuk orang Bugis telah bekerjasama dalam bidang perdagangan, mempertukarkan dan meningkatkan teknologi kelautan, sehingga menciptakan salah satu wilayah perdagangan paling makmur di dunia (lihat Tabel 17.). Seorang Portugis, bernama Pinto melaporkan bahwa beras yang diekspor dari Sulawesi Selatan sejak
193
1511 dapat memenuhi seluruh kebutuhan orang-orang Portugis di Malaka. Aktifitas perdagangan telah mengkoneksikan wilayah Sulawesi Selatan ke dalam jaringan sistem moneter internasional dengan menggunakan uang logam (perak atau kuningan), dengan real Portugis sebagai salah satu mata uang standar (Pelras, 2006). Pada awal abad-16, perdagangan kelapa, ternak, kain tenun dan hasil tambang (emas, besi dan tembaga), serta budak (biasanya tawanan perang) mulai marak dilakukan pedagang Bugis. Selain barang-barang yang dikumpulkan dari pulau-pulau sekitar untuk di ekspor, seperti kayu cendana, gaharu, damar, mutiara dan cangkang kura-kura. Pertumbuhan penduduk wilayah ini tidak lagi berorientasi hanya pada pencarian nafkah, tetapi secara aktif berproduksi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dunia. Meskipun pada akhirnya, ledakan pedagangan ini dikendalikan oleh usahausaha kombinasi kaum kolonial Eropa dan para penguasa pribumi yang absolud. Merasa terancam oleh kekuatan pedagang independen (banyak diantaranya adalah pedagang-pedagang dari Bugis), para penguasa lokal mengadakan kesepakatan dimana orang-orang Eropa meraih hak-hak monopoli atas barang-barang dagang yang menguntungkan sebagai imbalan untuk dukungan istana dan militer kepada raja. Meskipun terdapat faktor-faktor lain yang turut menyumbang bagi kemerosotan perdagangan di nusantara, namun kenyataan yang paling mendasar adalah bahwa menjelang abad-18, bagian-bagian yang menguntungkan dari perdagangan antar pulau berada di tangan orang-orang Eropa. Sementara kelas pedagang yang pernah memusatkan
diri
di
pelabuhan-pelabuhan
nusantara
di
hancurkan,
sehingga
menyebabkan jumlah penduduk kota merosot. Menurut Hefner (1999), kebangkitan kembali kelas pedagang pribumi di wilayah Asia Tenggara baru dimulai lagi pada akhir abad-20. Namun dalam catatan peneliti, aktivitas perdagangan orang Bugis ternyata masih terus berlanjut pasca “penghancuran” pelabuhan-pelabuhan nusantara oleh koalisi kaum kolonial Eropa dan penguasa absolut. Meskipun kondisi tersebut memukul aktivitas perdagangan mereka, tetapi keadaannya dapat diantisipasi dengan melakukan perubahan strategi, selain karena luasnya jaringan perdagangan bebas Bugis. Di awal abad-18 misalnya, mereka berhasil membangun pelabuhan penting “entrepot”, yang lokasinya tidak terjangkau oleh campur tangan asing – dengan memindahkan “entrepot” Kepulauan Riau ke Singapura untuk menghindari pungutan pajak yang dikenakan Belanda, selain ingin memperoleh ruang gerak untuk melakukan operasi perdagangan maritim dengan leluasa (Pelras, 2006). Lebih jauh Meilink Roelofsz, melihat perdagangan di Asia bukan semata perdagangan yang dilakukan penjaja seperti dilukiskan JC. Van Leur, sebagai “terbentang mulai Mediterranean hingga Jepang, tersusun sebagai jaringan perdagangan penjaja yang mendorong terbentuknya kota-kota dagang seperti Malaka, Aceh, Banten, Ternate dan
194
Makassar”, tetapi merupakan padagang yang bebas seperti para pribumi yang memiliki kapal (Asba, 2007). Berkembangnya perdagangan laut serta tersebarnya bebagai pemukiman Bugis di luar daerah asal pada abad-19, memungkinkan banyak orang Bugis dari kalangan bawah – disamping sejumlah bangsawan yang mengasingkan diri – untuk berperan dalam bidang perekonomian. Hal ini memberi peluang besar bagi orang dari kalangan bawah untuk turut menentukan perkembangan kehidupan sosial ekonomi, sehingga melahirkan kelas menengah yang terdiri atas para saudagar kaya dan nahkoda, baik yang berasal dari kalangan bangsawan rendah-menengah maupun rakyat biasa. Banyak dari mereka yang kemudian berusaha mengangkat status sosial dengan menikahi keluarga bangsawan tinggi, yang ingin meningkatkan kekayaan mereka. Pernikahan tersebut, bisa jadi memiliki tujuan strategis, yakni memperluas dan memperkuat jaringan perdagangan. Sejak itu terciptalah suatu kelas elit baru yang memiliki latar belakang sosial, peran, kepantingan dan menganut nilai berbeda dengan golongan bangsawan tinggi tradisional Bugis. Sepanjang abad-19, ditandai oleh semakin banyaknya orang Bugis yang bermigrasi keluar daerah untuk melepaskan diri dari penguasa pendudukan dukungan negeri kolonial atau karena berbagai alasan merasa tidak senang dengan masyarakat feodal Bugis yang hirarkis, terutama sejak masuknya Islam. Sementara yang lainnya merasa sulit untuk mengembangkan diri, akibat persaingan terbuka dengan para bangsawan lapisan atas dalam memperebutkan jabatan, pengaruh, maupun kekayaan di tanah asal. Karenanya Pelras (2006), menyebut kegiatan perantauan ke daerah lain di luar daerah, merupakan salah satu faktor yang ikut menjaga stabilitas sosial di Sulawesi Selatan, karena orang-orang ambisius yang tidak mendapatkan tempat di kampung sendiri, yang bisa frustasi dan meresahkan masyarakat akhirnya menemukan jalan keluar di tempat lain. Tabel 18. Komposisi Sebaran Etnik Bugis di Nusantara Daerah Sebaran Celebes Borneo Manado Timor Sumatra Sumbawa British Malaya Java & Madura Bali & Lombok Maluku
Jumlah Jiwa
Sumber: Volkstelling 1930 dalam Kesuma (2004)
1.380.334 95.048 27.477 11.652 10.170 8.232 4.961 4.593 2.468 1.293
195
Berdasarkan Sensus Penduduk pada 1930 (Sensus pertama di Indonesia) yang pernah dilakukan pemerintah Hindia Belanda, seperti ditunjukkan Tabel 18. terlihat bahwa pesisir pantai Kalimantan, khususnya pantai Timur menjadi salah satu tempat tujuan utama dari para migran Bugis. Artinya, keberadaan kawasan kolonisasi migran Bugis di banyak tempat di pantai timur Kalimantan saat ini (termasuk kawasan Delta Mahakam), tidak hanya disebabkan faktor kedekatan geografis, tapi juga dekat secara emosional karena dibentuk oleh proses sejarah yang panjang. Berbeda dengan migran Bugis generasi sebelumnya yang lebih berorientasi pada kegiatan perdagangan dengan mengumpulkan barang-barang perdagangan yang bernilai ekonomis untuk dijual di pasar domistik ataupun internasional, generasi migran berikutnya tidak hanya berorientasi pada kegiatan perdagangan semata, namun juga mulai menjajaki pengembangan kegiatan budidaya tanaman keras, khususnya kelapa (kopra). Hal ini bisa dibuktikan dengan keberadaan perkebunan kelapa yang sangat luas di kawasan Delta Mahakam, sebelum dikonversi menjadi area pertambakan. Para pedagang Bugis dan migran Bugis berorientasi budidaya pertanian, tampaknya selalu berorintasi pada dinamika pasar dan terus-menerus memantau komoditas pasar yang paling menguntungkan. Pelras (2006), mencatat bahwa kopra merupakan bahan mentah dari kelapa yang banyak dicari dan sejak 1870 perkebunan kelapa yang baru dibuka di Hindia Belanda merupakan sumber pendapatan penting. Pada masa tersebut, orang Bugis membuktikan diri sebagai orang yang jeli menangkap peluang usaha baru. Mereka segera mencari lokasi yang cocok untuk ditanami kelapa, yaitu di sekitar pantai. Hal itu mula-mula mereka temukan di sejumlah wilayah Sulawesi Tengah dan Tenggara di mana perkebunan kelapa sudah lama ada, kemudian di wilayah kerajaan Pontianak, Sambas dan Mempawah – yang juga merupakan tempat perantauan orang Bugis dan secara kebetulan posisinya menguntungkan karena lebih dekat ke Batavia dan Singapura yang merupakan pasar kopra paling penting di kawasan Asia Tenggara. Pada penghujung abad-19, para perantau Bugis bahkan menemukan lahan perkebunan kelapa yang sangat sesuai – dan memilikinya hampir tanpa mengeluarkan biaya apapun – dibagian barat daya kesultanan Johor yang berbatasan dengan Singapura. Setelah membuka hutan,mengeringkan lahan, menanam bibit pohon kelapa, orang Bugis di Johor itu selanjutnya membatasi aktivitas mereka dengan hanya memetik kelapa dan membuat kopra. Artinya, para migran Bugis berorientasi tanaman keras hanya memfokuskan diri dalam kegiatan produksi, selanjutnya kegiatan pemasarannya akan diambil alih oleh para pedagang Bugis yang bisanya juga pemilik kapal. Meskipun orang Bugis datang belakangan setelah pendatang asal Jawa (yang sebelumnya menjadi kuli kontrak di perkebunan besar di sekitar Johor) menanam pohon
196
karet agak ke pedalaman, orang Bugis justru membuka hutan dan rawa bakau di sepanjang pantai, dengan pertimbangan kawasan itu lebih cocok ditanami kelapa. Mereka lebih senang menanam kelapa daripada karet karena lebih cepat membawa hasil dan setelah ditanam tidak butuh perawatan lagi, selain komoditas kelapa (kopra) yang mereka anggap lebih menguntungkan di pasaran. Banyak diantara migran Bugis tersebut yang telah berpengalaman menanam kelapa dan berdagang kopra di Pontianak. Umumnya migran Bugis Johor berasal dari sekitar Danau Tempe-Wajo, sebagian berasal dari Sidenreng atau Soppeng. Mereka berlayar ke tanah Melayu dalam berbagai kelompok yang masing-masing dipimpin seorang bangsawan menengah atau pedagang ataupun gabungan keduanya. Para pemimpin tersebut menanggung modal awal untuk membeli peralatan, perlengkapan, bibit dan biaya penyemaian serta memberi makan pengikutnya sepanjang dibutuhkan. Menurut Lineton (1975), mereka juga dapat memberi pinjaman uang dengan bunga ringan kepada pengikut yang ingin membuka lahan perkebunan sendiri. Pada saat permulaan usaha, mereka dapat mengerahkan tenaga kerja dari kerabat yang lebih miskin atau pengikut mereka, bahkan budak untuk membangun tempat tinggal, membuka hutan dan menanam kebutuhan pokok yang diperlukan hingga usaha perkebunan mereka mulai membuahkan hasil. Sementara pekerjaan awal lainnya, seperti menggali parit-parit untuk mengeringkan tanah dengan menampung kelebihan air, diupahkan pada orang Jawa yang memiliki keterampilan khusus untuk itu. Begitu tanaman perkebunan siap petik dan membuahkan hasil, biasanya tanaman pokok untuk kebutuhan sehari-hari tidak ditanam lagi. Oleh karena itu, jumlah beras yang harus diimpor semakin meningkat, terutama dari Sumatra. Pada saat harga kelapa merosot selama Perang Dunia I, sementara harga beras naik, sejumlah orang Bugis menyebrang ke Sumatra untuk membuka sawah disekitar Delta Indragiri yang sebelumnya diincar oleh orang Jawa dan Banjar. Para migran Bugis banyak belajar dari pengalaman pendatang pertama, yang sejak lama telah menerapkan teknik “persawahan pasang surut” secara luas di Kalimantan Selatan. Selama Perang Dunia II, ketika bahan makanan kembali sulit diperoleh dan sangat mahal harganya di Tanah Melayu, akibat pelarangan perdagangan beras menyebrangi Selat Malaka oleh pemerintah pendudukan Jepang, sejumlah orang Bugis yang telah menetap di Tanah Melayu pindah lagi ke Jambi untuk membuka lahan pertanian padi, sebagian lainnya menjadi penyelundup beras dan sebagian kecil kembali ke Sulawesi Selatan. Dipicu situasi ekonomi yang semakin memburuk pasca kemeredekaan, ditambah situasi keamanan di Sulawesi Selatan yang tidak terkendali akibat pemberontakan Kahar Muzakar, memicu banyak orang Bugis kembali meninggalkan
197
daerah asal menuju pantai timur Kalimantan, Riau dan Jambi pada kurun waktu 1950 – 1965. Sementara tingkat inflasi yang tinggi di Indonesia dan produksi kopra yang tidak lagi menguntungkan, telah memaksa banyak pemilik perkebunan kelapa beralih menjadi petani sawah pasang surut, sebagian kecil diantaranya tetap bertahan dengan menyelundupkan kopra ke Singapura. Begitu harga kelapa di Indonesia meningkat pada 1970-an, orang Bugis di bagian timur Sumatra kembali melakukan investasi besarbesaran untuk membuka lahan luas hingga ke pedalaman untuk menanam kepala dan berdagang kopra. Belakangan, muncul industri pengalengan nanas, membuat orang Bugis lainnya membuka perkebunan nanas yang tampaknya jauh lebih menguntungkan ditanam di atas lahan gambut yang baru dibuka. Sangat beralasan jika kemudian Pelras (2006), menyebut para perantauan Bugis bukan sekedar petani tradisional, akan tetapi mereka adalah pengusaha berorientasi ekonomi. Berbeda dengan orang Jawa di sekitar mereka yang memiliki konsep keberhasilan yang diukur berdasarkan kemampuan untuk semakin memperluas sawah atau kebun guna mengintensifkan dan meningkatkan produk pertanian di kawasan tersebut, para petani Bugis justru memiliki pemikiran jauh kedepan. Menurut Tanaka (1986), jika petani Bugis memperoleh uang yang cukup besar, mereka berencana menginvestasikan kembali uang itu dalam bidang lain, seperti transportasi, perniagaan atau menyewakan lahan kepada petani Jawa atau orang Bugis yang baru tiba dan selanjutnya mereka akan mencari tempat-tempat yang lebih menguntungkan. Pragmatisme usaha yang ditunjukkan migran Bugis, juga terlihat dalam kegiatan budidaya tanaman coklat yang mengalami booming pada 1980-an. Penanaman coklat sepenuhnya bermula dari inisiatif spontan petani kecil yang termotivasi informasi mengenai besarnya keuntungan coklat dari hubungan perdagangan langsung ke Sabah Malaysia. Artinya, melimpahnya produksi coklat terjadi tanpa campur tangan pemerintah. Sebagian besar dari perkebunan coklat dimiliki dan dikelola oleh orang Bugis yang pindah dari tanah Bugis hanya untuk menanam coklat. Banyak diantara mereka yang berasal dari Soppeng setelah berakhirnya boom tembakau. Menurut Ruf (1991), peran utama yang berhasil dimainkan orang Bugis dalam boom coklat karena mereka memiliki jaringan informasi penanaman dan perdagangan coklat, sehingga mampu menangani sendiri seluruh tahapan pemasaran produk mereka. Fenomena seperti itu pun dijumpai dalam kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam, sikap oportunis dan pragmatis ditunjukkan oleh para migran Bugis yang datang dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan maupun mereka yang telah menetap di sepanjang pantai timur Kalimantan. Mereka berbondong-bondong datang ke kawasan Delta Mahakam pasca pelarangan trawl – pemberian “kompensasi” pembukaan area hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan. Keberadaan hutan
198
mangrove yang potensial untuk kegiatan budidaya perikanan, mereka peroleh informasinya dari saudara, karabat ataupun tetangga yang mengabarkan keberadaan beberapa petambak yang sukses menjadi jutawan setelah mengembangkan kegiatan usaha di sektor pertambakan. Banyak diantara mereka yang harus merelakan harta bendanya dijual untuk sekedar berinvestasi dalam kegiatan pertambakan, tidak sedikit diantaranya yang datang dari Sulawesi dengan menjual kebun coklat ataupun sawahnya hanya untuk berspekulasi dalam kegiatan pertambakan yang secara teknis belum pernah mereka geluti. Umumnya mereka berasal dari Wajo, Bone, Pangkep, Soppeng dan Makassar, tidak sedekit diantara mereka adalah migran Bugis yang sebelumnya telah menetap di pantai timur Kalimantan, seperti Samarinda, Talake-Paser, Balikpapan, Samboja, Muara Jawa, Anggana, Muara Badak, Marang Kayu dan Bontang. Mereka datang ke Delta Mahakam dalam berbagai kelompok keluarga/ kekarabatan dengan dipimpin seseorang yang
dituakan/
dianggap
mampu
dan
berpengalaman.
Meskipun
diawal
perkembangannya, migrasi keluar dari tanah Bugis dilakukan secara berkelompok dengan dipimpin seorang bangsawan yang tersisih dari pusaran kekuasaan. Namun dalam perkembangan selanjutnya, migrasi lebih banyak dilakukan atas prakarsa elit menengah yang baru muncul, merekalah yang kemudian membentuk jaringan perdagangan multi-pusat yang menjangkau seluruh nusantara. Para elit menengah ini mampu berkembang dengan pesat, karena para bangsawan Bugis lebih memilih memusatkan diri di Sulawesi Selatan dimana posisi mereka diakui sepenuhnya. Menariknya dalam dasawarsa terakhir, migrasi keluar dari tanah Bugis ataupun perpindahan orang Bugis dari satu pemukiman ke pemukiman lainnya untuk mencari penghidupan yang lebih baik, banyak dilakukan dalam kelompok-kelompok keluarga/ kekarabatan. Biasanya diawali oleh kepala rumah tangga/ kaum pria dengan dipimpin seseorang yang dituakan dalam kemompok. Seperti yang dilakukan banyak migran Bugis yang datang ke kawasan Delta Mahakam dalam tiga dasawarsa terakhir, meskipun ada pula migran yang datang secara perorangan. Baru setelah para migran pioner tersebut berhasil atau setidaknya menemukan peluang usaha yang bisa membuat mereka survive, keluarga dikampung halaman diboyong ke tempat baru. Strategi migrasi seperti ini setidaknya, menjauhkan keluarga migran dari kemungkinan buruk selama dalam perantuan, tidak sedikit diantara mereka yang harus pulang kampung, karena mengalami “masalah” di tempat baru. Tidak seperti pada masa sebelumnya, dimana para pemimpin kelompok biasanya adalah mereka yang memiliki status sosial tinggi dan memiliki kemampuan finansial,
karena
akan
menanggung
modal
awal
untuk
membeli
peralatan,
perlengkapan, bibit dan biaya penyemaian hingga masa panen, serta memberi makan
199
pengikut. Para pemimpin kontemporer migran Bugis, tampaknya lebih bertindak sebagai “orang tua” yang memberikan arahan dan nasehat selama di perjalanan – masa perantauan, sementara aspek finansial akan ditanggulangi oleh tiap anggota kelompok secara mandiri. Meskipun adapula diantara pemimpin yang memberikan pinjaman uang kepada pengikut yang ingin membuka lahan pertambakan sendiri atau setidaknya memberi jaminan makan setiap pengikut hingga mereka mampu mandiri secara finansial. Tidak sedikit dari kelompok-kelompok migran tersebut/ secara perorangan yang langsung menemui para ponggawa yang mereka kenal, untuk melakukan kerjasama dalam kegiatan pertambakan sebagai klien, sehingga mendapatkan jaminan kebutuhan hidup dan biaya peroduksi hingga berhasil panen. Pada saat permulaan usaha, mereka akan mengerahkan tenaga kerja dari lingkungan keluarga (istri dan anak – saudara) ataupun kerabat yang lebih miskin, untuk mendirikan tempat tinggal, membuka hutan, membangun tambak dan mengelolanya hingga usaha pertambakan mereka mulai membuahkan hasil. Walaupun ada pula poggawa yang menyiapkan tambak siap kelola hingga biaya produksinya untuk klien yang dianggap mereka loyal dan dapat dipercaya. Banyak dantara para petambak tersebut, yang pada awalnya harus bertahan hidup dari hasil sampingan tambak, seperti menangkap kepiting, udang bintik dan berbagai jenis ikan yang terperangkap dalam tambak-tambak yang mereka kelola. Sementara pekerjaan awal lainnya, seperti memperdalam tambak ataupun meninggikan tanggul tambak, serta menggali parit-parit untuk mengalirkan air ke tambak, diupahkan pada orang Jawa Timur (khususnya Lamongan) yang memiliki keterampilan khusus untuk itu. Berbeda dengan migran Bugis berorientasi perdagangan yang cenderung tidak terlibat secara langsung dengan komoditas yang mereka perdagangkan, migran Bugis berorintasi tanaman keras (kopra) – pertanian (beras) mulai berbagi peran, sejumlah migran mulai mengkhususkan diri untuk melakukan kegiatan usaha budidaya tanaman keras/ pertanian sawah dan selanjutnya membatasi aktivitas mereka dengan hanya memetik kelapa dan membuat kopra/ bertani padi sawah dan memproduksi beras. Sementara sejumlah migran lainnya yang berpengalaman dalam kegiatan perdagangan (biasanya pemilik kapal) bertindak sebagai agen penyalur ataupun pemasaran kopra/ beras. Menariknya, dalam empat – tiga dasawarsa terakhir, terjadi perubahan orientasi migran Bugis dalam mengembangkan usahanya. Hal ini bisa dilihat dari peran yang dimainkan orang Bugis dalam boom coklat di Indonesia yang memanfaatkan jaringan informasi penanaman dan perdagangan coklat, sehingga mampu menangani sendiri seluruh tahapan pemasaran produk mereka. Fenomena tersebut, tampaknya juga diperankan dengan sangat baik oleh migran Bugis dalam kegiatan usaha pertambakan udang di kawasan Delta Mahakam,
200
hingga terjadinya boom udang di tahun 1998/ 1999. Mereka mampu memanfaatkan jaringan informal produksi pertambakan udang lokal dan perdagangan udang di tingkat internasional, sehingga kegiatan usahanya dapat berkembang dengan pesat, bahkan mampu
bersaing
dengan
“pemain
luar”.
Hingga
akhirnya,
mereka
mampu
“menaklukkan” sektor industri hilir (handling and processing) sampai dengan distribusi pemasarannya. Itu berarti, keberhasilan Ponggawa Bugis dalam kegiatan usaha pertambakan, tidak dapat dipisahkan dengan kemampuan mereka dalam mengelola komoditas yang diperdagangkan secara berkelanjutan, sekaligus kelihaian mereka di dalam memproduksi sendiri dan memperdagangkan komoditas yang berorintasi pada dinamika pasar dan menguntungkan. 6.2.1
Basis Modal Sosial Masih relatif terjaganya tingkat kepercayaan diantara warga petambak, ternyata
tidak dapat dipisahkan dari pengaruh hubungan patron-client yang telah begitu melembaga dalam kegiatan pertambakan, dimana kepercayaan menjadi salah satu pilarnya. Pengaruh positif dari hubungan ponggawa-petambak yang cukup mapan tersebut berimbas pada relatif kuatnya tingkat kepercayaan diantara para klien terhadap patron di dalam sebuah kelompok klik ponggawa yang telah terjalin lama. Menariknya, tingkat kepercayaan itu menjadi begitu rapuh ketika dihubungkan dengan mereka yang berada di dalam ataupun di luar kelompok, yang secara kebetulan memiliki sumberdaya yang relatif seimbang untuk dipertukarkan. Begitu besar pengaruh patron, sehingga tidak terlalu sulit bagi seorang ponggawa yang memiliki sumberdaya melimpah, untuk mengumpulkan massa hanya dengan informasi dari mulut ke mulut, khususnya dalam memobilisir clients-nya untuk melakukan sebuah aksi tertentu. Loyalitas para petambak/ penjaga empang terhadap patron-nya masing-masing merupakan salah satu manifestasi dari modal sosial pada komunitas, yang ditandai terjadinya transaksi resiprokal yang dilandasi oleh norma timbal-balik (norms of reciprocity). Transaksi itu sendiri tidak hanya menyangkut uang atau bentuk materi lainnya, tetapi juga hal-hal yang bersifat non materi (social intangible), yang kadang sulit untuk dipahami. Seperti kesediaan untuk berperilaku tidak sesuai dengan nilai-nilai moralitas dalam masyarakat, bahkan kerelaan untuk mengorbankan jiwa hanya untuk kepentingan ponggawa yang menjadi patronnya. Seperti pernyataan seorang petambak di Muara Pantuan yang mengaku siap mengorbankan apapun, jika perlu nyawanya bagi ponggawa yang selama ini telah banyak memberikan bantuan bagi keberlangsungan hidup keluarganya. Namun demikian, tidak sedikit petambak yang merasa sangat terbebani dengan pola hubungan mengikat dan cenderung “eksploitatif” yang dikembangkan para ponggawa. Seorang perangkat desa yang juga clien dari seorang
201
ponggawa di Sepatin misalnya, mengaku merasa dirugikan dengan mekanisme pembelian yang dilakukan patronnya, yang selalu mengambil selisih keuntungan dalam jumlah besar atas hasil tambak yang dipanennya. Kondisi inilah yang dianggap Portes (1998), sebagai konsekuensi negatif dari konsep modal sosial, yaitu; pembatasan peluang bagi pihak lain (eksklusifitas), pembatasan kebebasan individu, klaim berlebihan atas keanggotaan kelompok dan menyamaratakan norma pada semua anggota (konformitas). Dimana kerekatan sosial internal terbentuk
dengan mengorbankan orang atau kelompok diluarnya, yang
terkadang dilakukan dengan penuh kebencian serta prasangka buruk. Kelompok „klik ponggawa‟ juga mampu menyebarkan semangat solidaritas dan kebersamaan pada anggota kelompoknya. Kebersamaan, berhubungan dengan pembentukan suatu „lumbung‟ sumberdaya komunitas yang tidak dimiliki oleh seorang individu dan digunakan bagi semua anggota komunitas. Meskipun demikian, tingkat kepadatan hubungan yang sangat tinggi, sebagai hasil dari hubungan diadik bersifat vertikal yang dikembangkan dalam kelembagaan patron-clients, tidak bisa memberi peluang bagi munculnya kerjasama yang saling menguntungkan dan adil. Lenggono (2004) bahkan mensinyalir adanya gejala peluruhan modal sosial pada komunitas petambak di kawasan Delta Mahakam, akibat distrust, hilangnya togetherness, reciprocity dan solidaritas yang tergantikan oleh hubungan ketergantungan
dan indiviual. Yang
pada
gilirannya
menyebabkan
peningkatan biaya operasional dan tidak efisiennya pengelolaan tambak-tambak mereka. Akibatnya nilai rata-rata output produksi tambak hanya mencapai Rp. 5.987.837,-/ ha/ 4 bulan, dengan nilai rata-rata input produksi Rp. 1.780.405,-/ ha/ bulan, sehingga tingkat produktifitas bersih tambak yang dikelola menjadi relatif rendah, hanya mencapai Rp. 4.207.432,-/ Ha/ 4 bulan. Kondisi ini pada gilirannya memicu perilaku agresif dari komunitas petambak dalam mengkonversi hutan mangrove untuk memperluas hamparan tambak yang dimiliki seluas-luasnya, dengan harapan dapat meningkatkan produktifitas tambak-tambak mereka. Gejala tersebut kemudian menjurus pada perilaku-perilaku destruktif terhadap lingkungan dan represif dalam kehidupan sosial. Pola pengelolaan tambak seperti ini, menjadi penjelas mengapa modal sosial yang dimiliki komunitas petambak di Kawasan Delta Mahakam relatif rendah. Padahal, jika terdapat semangat rasa percaya yang kuat, hubungan saling menguntungkan dan sanksi-sanksi sosial informal yang efektif untuk mencegah „freerider‟, maka kebersamaan dapat dikelola secara tak terbatas dan berfungsi bagi keuntungan semua anggota komunitas (Bullen dan Onyx, 1998). Meskipun demikian, modal sosial tidak berarti terjadinya pertukaran langsung secara formal dan cepat, seperti dalam suatu kontrak bisnis atau hukum, tetapi lebih merupakan suatu kombinasi
202
dari sifat untuk mengutamakan orang lain (untuk jangka pendek) dan kepentingan sendiri (dalam jangka panjang). Seseorang menyediakan pelayanan pada orang lain atas pengorbanan diri sendiri, dengan tetap menaruh harapan bahwa suatu saat kebaikan itu dapat diterimanya kembali pada suatu waktu tertentu bila diperlukan. Ironisnya rasa percaya dalam komunitas tidak tersebar secara merata, tingkat kepercayaan menjadi begitu „rapuh‟ ketika dihubungkan dengan mereka yang berada di dalam ataupun di luar kelompok, yang secara kebetulan memiliki sumberdaya yang relatif seimbang untuk dipertukarkan. Sebagai akibat dari pola hubungan patron-klien yang tidak bisa memberi peluang interdedependency yang kondusif bagi munculnya kerjasama yang saling menguntungkan dan adil.
Petambak
Pengumpul
Pasar Lokal/ Tradisional
Ponggawa III & III
Pedagang Kecil
Penyambang
Ponggawa I/ Cold Storage
Konsumen Lokal/ Domestik
Antar Pulau
Free Rider
Ekspor
Gambar 18. Hubungan Para Aktor Yang Terlibat dalam Kegiatan Perdagangan Udang Sumber: Data Primer Diolah (2011) Sikap saling percaya atau trust merupakan suatu harapan yang tumbuh di dalam masyarakat melalui adanya perilaku yang kooperatif, jujur, dan konsisten, yang didasarkan pada norma-norma yang dimiliki bersama oleh seluruh warga atau bagian suatu masyarakat. Meskipun menurut Popkin (1986), norma-norma itu dapat diubahubah bentuknya, dinegosiasikan kembali dan dipindahkan-pindahkan sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan interaksi kekuasaan dan strategi diantara individu-individu. Sikap saling percaya ini akan menjadi perekat aturan main dari apa yang mereka sepakati (dimensi ideasional), dengan perilaku individual (dimensi perilaku). Bahkan
menurut
pendapat
Fukuyama
(1996),
kemungkinan
untuk
mencapai
kemakmuran, lebih besar peluangnya terjadi pada masyarakat yang rasa saling percaya diantara sesama anggotanya lebih kuat (high trust society) dibandingkan dengan masyarakat yang rendah tingkat kepercayaannya. Dalam konsepsi Fukuyama, keberlangsungan usaha pada dasarnya tidak hanya ditentukan modal ekonomi (economic capital) seperti; uang, tanah, rumah, teknologi/ alat produksi dan seterusnya, yang besarnya tentu akan berpengaruh pada besaran/ skala usaha, tetapi juga terkait dengan apa yang dikenal sebagai modal sosial (social capital), yakni ikatan sosial yang didasarkan pada rasa saling percaya (trust). Tindakan ekonomi aktor dan hubungan
Konsumen Glonal
203
sosial yang dikembangkannya sangat terkait dengan ekspektasi kolektivitasnya. Atas dasar ini Fukuyama menyadari pentingnya modal sosial dalam memahami tindakan/ aktifitas ekonomi. Rasa percaya memerlukan suatu kerelaan untuk menerima segala resiko (dalam konteks sosial) berdasarkan pada keyakinan diri bahwa orang lain akan memberi reaksi seperti yang diharapkan dan akan bertindak dengan cara yang saling menguntungkan atau setidaknya orang lain tidak akan berniat jahat pada dirinya. Konsepsi tersebut tampaknya sangat relevan untuk menjelaskan fenomena orang Bugis-Wajo yang dalam tradisi orang Bugis dibanggakan sebagai wirausahawan ulung. Menurut catatan Mattulada (1985), berkat keunggulan orang Wajo, sampai sekarang tak seorang pun pedagang Cina yang dapat berhasil di Kota Sengkang (Ibukota Wajo), orang Cina praktis belum pernah berhasil menguasai usaha-usaha perdagangan, membuka toko-toko seperti di kota-kota lainnya di Sulawesi Selatan. Para pengusaha/ pedagang di Kota Sengkang dapat mempertahankan keadaan itu, berkat suatu kebiasaan atau sikap hidup orang Wajo yang setia berbelanja kebutuhan hidupnya pada pedagang/ toko milik orang Wajo sendiri. Sampai akhir tahun 1950, wirausahawan Bugis Wajo yang bergerak dalam kegiatan usaha hasil bumi dengan organisasi niaga tradisional, masih menguasai jaringan-jaringan perdagangan dan dapat mengakumulasi modal yang memadai untuk menghadapi persaingan niaga dengan orang Cina. Fenomena tersebut ternyata tidak hanya berkembang di daerah asal, semangat berusaha dan keuletan orang Bugis Wajo juga berkembang pada berbagai bidang pekerjaan dan diberbagai tempat di Indonesia, bahkan hingga ke negeri lain di Singapura, Malaysia dan Timor Leste. Dari penelusuran yang berhasil dilakukan peneliti pun menunjukkan, bahwa banyak ponggawa yang berhasil dalam kegiatan perikanan di kawasan Delta Mahakam adalah orang-orang Bugis yang berasal dari Wajo. Realitas tersebut, menurut peneliti dapat berlangsung karena keberhasilan orang Bugis Wajo dalam menginternalisasikan budaya trust dalam kehidupan mereka, sehingga passe’ mewujud dengan sangat kuat dalam sikap hidup setia berbelanja pada para pedagang/ toko milik orang Wajo sendiri. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari konteks kesejarahan Kerajaan Wajo yang dilaporkan oleh banyak peneliti asing sebagai “kerajaan aristokratis demokratis” (Pelras, 2006). Jika dibandingkan dengan kerajaankerajaan lainnya di Sulawesi Selatan, kekuasaan di Wajo tidak diterapkan secara semena-mena dan pemerintahannya memberikan penghargaan pada seluruh warganya sebagai orang merdeka. Seperti dikutip Pelras (2006) dari Brooke yang tercatat dalam “Narrative of Events” yang ditulis pada 1848, “meskipun diperintah oleh raja yang feodal dan sering berubah-ubah; meskipun lamban, berbelit-belit dan memihak dalam penegakan hukum yang melibatkan orang perorang – Wajo tetap patut diberi penghargaan karena memiliki persamaan yang menakjubkan dengan pemerintahan
204
zaman feodal Eropa ... kritik atas kekurangannya bukanlah kecaman, jika kita menyadari bahwa di antara semua negara di Timur ... hanya orang Bugis yang telah sampai pada tingkat pengakuan hak-hak warga negara dan satu-satunya yang telah membebaskan diri dari belenggu kelaliman”. Lebih lanjut Broke mencatat, “Ada dewan perwakilan rakyat, yang terdiri atas para tetua kampung dan orang biasa yang dihormati warga, yang bersidang dalam keadaan luar biasa, mengemukakan pendapat dan mendiskusikan masalah-masalah penting, walau mereka tidak berhak memutuskan”. Merujuk pada kondisi masa lalu, berikut budaya yang masih ditradisikan orang Bugis Wajo tersebut, adalah sangat beralasan jika kemudian budaya demokrasi yang telah terinternalisasi dalam diri mereka, mampu mendorong munculnya lembagalembaga kerjasama informal yang efektif dengan didukung kemampuan dan kepercayaan antar-pribadi. Selanjutnya modal sosial yang terakumulasi akan tersebar luas dalam berbagai aktivitas usaha yang mereka kembangkan. Seperti pernah dilaporkan Putnam (1993), struktur masyarakat Italia utara yang lebih horizontal, egaliter dan kompetitif ternyata mampu menciptakan jajaran luas lembaga-lembaga yang relatif otonom dalam budaya politik, dengan nilai-nilai yang sesuai dengan masyarakat yang pluralis. Lebih jauh Putnam mengatakan bahwa “norma-norma dan jaringan-jaringan keterikatan sipil akan menyumbang pada kemakmuran dan pada gilirannya juga akan diperkuat oleh kemakmuran tersebut”. Modal sosial merupakan serangkaian nilai atau norma informal pemberi teladan kebajikan yang digunakan bersama diantara anggota-anggota sebuah kelompok yang memungkinkan mereka saling bekerja sama. Di dalamnya komunitas berfungsi seperti pelumas yang membuat setiap kelompok atau organisasi berjalan lebih efisien. Modal sosial bukanlah sebuah kekayaan budaya langka yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang jika hilang tidak dapat diperoleh lagi, Modal sosisl menurut Fukuyama, diciptakan secara spontan setiap waktu, tidak hanya tercipta dalam masyarakat tradisional, namun juga dimunculkan setiap hari oleh individu-individu dan perkumpulan-perkumpulan di dalam tatanan masyarakat kapitalis modern. Tatanan sosial dapat muncul dari sebuah spektrum sumber-sumber yang terentang dari tipe kekuasaan hirarkis dan terpusat sampai interaksi individual yang sepenuhnya tidak terpusat dan spontan. Norma-norma yang diciptakan secara spontan, cenderung informal – artinya, norma-norma itu tidak ditulis dan diumumkan. Sedangkan normanorma dan nilai-nilai yang diciptakan oleh sumber kekuasaan hirarkis cenderung berbentuk hukum tertulis, undang-undang, peraturan, teks-teks suci atau grafik organisasi yang birokratis, meskipun batasannya sangat kabur.
205 Rasional “Rekayasa Sosial” Konstitusionalisme
Pasar
Hukum Formal
Hukum Adat
Muncul Hirarkis
Muncul Spontan Tradisi Sejarah
Agama Terbuka
Agama Rakyat
Tabu Inses Norma-Norma Yang Terikat Secara Biologis
Tidak Rasional
Gambar 19. Empat Kuadran Tipe Norma Sumber: Francis Fukuyama, 1999 Fukuyama menyusun norma-norma sosial yang muncul hirarkis sampai yang muncul spontan, dan menumpukkan rangkaian kesatuan norma-norma yang merupakan hasil dari pilihan rasional dan yang diwarisi secara sosial, namun awalnya tidak rasional. Dengan menggabungkan kedua poros diperoleh matriks empat kuadran dari kemungkinan tipe-tipe norma (Lihat Gambar 19.). Pemikiran rasional ternyata dapat membawa pilihan-pilihan buruk yang tidak memperlihatkan kepentingan sebenarnya dari orang-orang yang membuatnya, sedangkan norma yang tidak rasional malah dapat berfungsi baik, seperti kepercayaan agama yang mampu mendukung tatanan sosial atau pertumbuhan ekonomi. Hukum formal yang diberlakukan oleh negara diktator atau demokratis termasuk dalam kuadran hirarki rasional, begitupun undang-undang, rekayasa sosial dan semua usaha untuk memandu komunitas dari atas. Sedangkan hukum adat berada disisi lain diturunkan secara spontan dan rasional. Agama yang diorganisir secara terbuka biasanya datang dari sumber hirarkis terbesar, Tuhan – aturan-aturan yang didektekan
206
tanpa debat yang rasional. Sementara sejumlah agama rakyat, seperti Tao dan Shinto, di Indonesia Aliran Kepercayaan dan beberapa ajaran sinkritisme, serta praktik-praktik budaya yang berbau agama mungkin telah berkembang dalam cara yang tidak rasional dan tak berpusat. Karenanya bentuk dari norma-normanya masuk dalam kuadran kiri bawah. Akhirnya, norma-norma tertentu seperti; tabu inses, dimasukkan ke dalam kategori biologis dalam kuadran yang diturunkan secara spontan dan tidak rasional. Dalam masyarakat kontemporer, setiap kuadran akan berisi serangkaian kasus yang tidak sepele dan bahwa empat sumber modal sosial kesemuanya saling berinteraksi dalam cara-cara yang kompleks. Jika mengacu pada kuadran diatas, tampaknya saat masyarakat menjadi modern dan semakin kapitalis, norma-norma sepertinya cenderung kurang diciptakan dikuadran yang lebih rendah dari pada dikuadran yang lebih tinggi dan khususnya dikuadran kiri atas. Istilah-istilah yang sering diasosiasikan dengan modernisasi dan kapitalisme yang mengisyaratkan wewenang resmi yang rasional dan formal yang diberikan negara telah menjadi sumber utama dari aturan dalam masyarakat modern dan kapitalis. Namun dalam kasus kapitalisme di kawasan Delta Mahakam, tampaknya hukum formal tidak memainkan peran penting dalam membentuk norma-norma informal, sedangkan norma-norma informal tampaknya telah membuat penciptaan jenis institusi tertentu (patronase) yang sangat berpengaruh. Mekipun tingkat modal sosial komunitas setempat rendah, namun norma-norma informal telah mampu mengurangi “biaya-biaya transaksi” – biaya pengawasan, pembuatan kontrak, pengesahan dan pemberlakuan kesepakatan resmi. Menariknya agama sepertinya tetap menjadi sumber penting bagi aturan-aturan budaya dan pada saat yang sama agama telah menjadi subjek bagi evolusi spontan ketika aturan-aturan itu berinteraksi dengan lingkungan historis. 6.2.2
Bentuk Aliansi Strategis Keluar Di dalam sejarahnya, para migran Bugis yang datang ke Kalimantan Timur,
pada awalnya selalu berusaha menjalin hubungan politik dengan penguasa setempat untuk bisa survive dan mampu mengembangkan diri di daerah baru (lihat Bab IV). Rombongan migran Bugis yang dipimpin oleh seorang bangsawan (anakarung) tersebut, biasanya membina hubungan politik melalui pernikahan ataupun sumpah setia pada penguasa lokal (keluarga Sultan), sebagai pemilik otoritas. Baru setelah komunitas migran Bugis tersebut berkembang dan pemimpinnya mendapatkan pengakuan dari penguasa lokal, para migran yang datang belakangan (bermigrasi secara berkelompok dipimpin oleh seorang bangsawan rendah-menengah/ seorang saudagar yang sering juga merupakan pemilik kapal dagang). Biasanya mereka akan melaporkan kedatangannya dan meminta izin menetap pada pemimpin komunitas migran Bugis
207
terdahulu. Meskipun sejumlah migran Bugis yang datang belakangan dilaporkan juga ada yang meminta izin menetap pada penguasa lokal (Sultan) ataupun yang mewakilinya (Demang/ Petinggi). Kecendrungan tersebut, tampaknya tetap bertahan dalam pola migrasi etnik Bugis dewasa ini. Mereka bermigrasi dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari sejumlah karabat dekat dan anggota keluarga inti, dipimpin oleh seseorang yang memiliki pengalaman luas/ dituakan dalam kelompok (to maradeka). Sesampai di daerah tujuan mereka kemudian meminta izin pada otoritas setempat (pasca kemerdekaan fungsi Kesultanan di level lokal diambil alih oleh RT/ Kepala Desa), yang biasanya adalah migran Bugis yang telah menetap sebelumnya. Meskipun saat ini juga dijumpai adanya migrasi sporadis yang dilakukan secara perorangan, dengan berbekal komitmen dari pihak penampung migran (ponggawa – petambak) yang membutuhkan tenaga mereka. Dalam kegiatan pertambakan, aliansi strategis keluar yang berhasil dilakukan migran Bugis di kawasan Delta Mahakam diawali dengan kemampuan mereka dalam “menaklukkan” birokrasi lokal yang memiliki otoritas di sekitar kawasan hutan negara. Berbekal latar belakang etnis yang sama dan kemampuan penetrasi kapital, para ponggawa berhasil melakukan koalisi dengan otoritas lokal dalam penguasaan tanahtanah negara. Selanjutnya mereka menguatkan aliansi dengan pemilik kapital (perusahaan-perusahaan industri perikanan/ eksportir) untuk mendapatkan kemudahan fasilitas aliran kapital yang sangat dibutuhkan dalam mengembangkan kegiatan usaha pertambakan yang membutuhkan modal besar. Meskipun hingga saat ini pembangunan tambak-tambak tradisional masih banyak yang dilakukan secara manual dengan menggunakan tenaga manusia, namun keterbatasan tenaga manusia di dalam mengembangkan area pertambakan secara kolosal telah mendorong para ponggawa melakukan mekanisasi dengan penggunaan alat berat seperti excavator yang berharga sangat mahal. Selain untuk melakuan ekstensifikasi, para ponggawa juga membutuhkan sumberdaya yang tidak kecil untuk bisa me-maintenance kebutuhan kliennya. Berbagai kebutuhan biaya operasional yang begitu besar, ditambah dengan resiko dari kegiatan pertambakan yang dibangun diatas tanah-tanah negara, telah memaksa para ponggawa untuk bersikap protektif terhadap segala kemungkinan yang dapat “mengganggu” kepentingan bisnisnya. Salah satu pilihan yang dianggap strategis adalah dengan melakukan koalisi dengan kekuasaan yang dianggap mampu memberikan jaminan bagi keberlanjutan kegiatan usahanya atau dengan membangun citra sebagai pengusaha yang “merakyat” dengan banyak pengikut, sehingga diperoleh “proteksi” dari sistem keamanan sosial yang terbangun. Jika tidak mereka harus menyiapkan diri untuk melakukan ekstensifikasi usaha diluar kegiatan pertambakan
208
yang penuh dengan resiko. Pilihan-pilihan tersebut tampaknya disadari sepenuhnya oleh para aktor, sebagai konsekuensi logis atas operasi bisnis yang mereka kembangkan. Haji Abu misalnya, selain melakukan ekspansi kegiatan usaha diluar sektor perikanan, juga mendorong anaknya untuk terlibat secara aktif di dunia politik praktis sebagai salah satu fungsionaris partai terbesar di level Kabupaten. Anak Haji Abu, Haji Ruli bahkan telah berhasil menjadi anggota legislatif mewakili daerahnya selama dua periode berturut-turut. Sementara Haji M. Ali, lebih memilih untuk memulai merintis pengembangan usaha perdagangan retail di Kota Samarinda sebagai salah satu bentuk antisipasi kemungkinan terburuk, jika kegiatan pertambakan tidak lagi menjanjikan. Begitu pula dengan Haji Maming yang lebih memilih berkonsentrasi di sektor
perkebunan
kelapa
sawit,
setelah
menyerahkan
pengelolaan
usaha
pertambakannya pada anak dan menantunya. Berbeda dengan Haji Mangkana yang tetap fokus dalam kegiatan bisnis perikanan, ia mulai memantapkan citranya sebagai Ketua Asosiasi Pengusaha Cold Storage Indonesia – Kalimantan Timur. Sedangkan adiknya Haji Rustam yang juga Direktur Syam Surya Mandiri merupakan Ketua Forum Petambak Delta Mahakam. Meskipun Haji Mangkana terkesan apolitis dan cenderung bersikap netral dalam masalah politik praktis, namun menurut sejumlah sumber, eksistensi politik Haji Mangkana banyak “diperankan” oleh Haji Rustam. Disini pandangan Foucaultian yang menganggap semakin tersamar suatu dominasi semakin efektif daya kerjanya menemukan bentuknya pada pribadi Haji Mangkana. Dalam pemilihan Gubernur Kalimantan Timur misalnya, sikap politik Haji Mangkana tercermin dari peran Haji Rustam yang turut memfasilitasi salah satu calon yang dianggap akan dapat memberikan
rasa
aman
bagi
keberlangsungan
usahanya,
ditengah sentimen
kedaerahan/ kesukuan yang begitu memanas dewasa ini. Seperti juga terlihat dalam Pilkadal Kabupaten Kukar 2010, yang memunculkan propaganda bermuatan politiketnis terkait dengan pendirian Kabupaten Kutai Pantai. Salah satu kelompok kontra pemekaran, bahkan mengusung spanduk dengan slogan “Pendirian Kabupaten Kutai Pantai Akan Berhadapan dengan Dayak”. Sentimen politik-etnis tersebut telah memposisikan vis-a-vis migran Bugis sebagai penduduk mayoritas di “kawasan pantai” dengan masyarakat Dayak sebagai penduduk asli yang secara kebetulan banyak berdomisili di kawasan pedalaman. Mungkin Pelras benar, ketika menyatakan bahwa perantau Bugis berorientasi perdagangan cenderung memiliki implikasi politik dibandingkan perantauan berorientasi tanaman keras yang tidak memiliki implikasi politik. Namun peneliti melihat, bahwa para ponggawa pertambakan yang mampu membangun kekuatan sosio-ekonominya secara mapan, ternyata juga cenderung berimplikasi politik seiring perkembangan usaha
209
bisnisnya yang membutuhkan sokongan kebijakan dari kekuasaan, walaupun secara praktis mereka tidak memerankannya secara langsung. Sebagai perusahaan eksportir terbesar di kawasan Delta Mahakam, Syam Surya Mandiri misalnya, telibat secara aktif dalam berbagai forum nasional dan internasional yang membahas tentang udang. Salah satu forum internasional yang memiliki pengaruh luas dalam kegiatan budidaya udang adalah „Shrimp Aquaculture Dialogue‟ (ShAD), yang berusaha melakukan sertifikasi produk udang dengan standar internasional. Bagi pelaku usaha pertambakan, kegiatan tersebut diharapkan memberikan keuntungan dan kepastian usaha, sehingga dapat membangkitkan kepercayaan diri bagi pelaku usaha dalam mengembangkan usahanya secara produkif tanpa merusak lingkungan, sekaligus bermanfaat bagi kehidupan sosial. Selain meyakinkan konsumen yang peduli terhadap kelestarian lingkungan untuk lebih memilih mengkonsumsi udang yang diproduksi secara ekologis. Kegiatan yang dilakukan secara marathon sejak 2007 di beberapa negara Asia, Afrika dan Amerika Latin ini, mencoba membuat standarisasi kualitas produk udang, keamanan makanan, lingkungan dan sosial secara internasional, dengan memberikan nilai tambah bagi produk makanan dari udang yang ramah lingkungan di pasar internasional. Namun demikian, kegiatan ini disinyalir memiliki kepentingan tertentu atas produk udang yang memiliki nilai sangat ekonomis dan secara kebetulan banyak diproduksi negara-negara selatan/ berkembang, sehingga dapat bersinergi dengan agenda perdagangan bebas. 6.2.3
Bentuk Aliansi Strategis dalam Komunitas
6.2.3.1 Membangun Identitas “Ke-Bugis-an” Selain membangun aliansi strategis keluar, para ponggawa juga membangun aliansi strategis di dalam komunitasnya untuk mendapatkan legitimasi sosial dalam rangka mengembangkan modal yang dikuasainya. Seperti diketahui, identitas “keBugis-an” yang terlekat dalam pranata passe’ dapat menjadi pengikat anggota kelompok sosial yang sangat strategis di antara sesama perantau Bugis. Passe’ yang berarti “ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri”, mengindikasikan perasaan empati yang mendalam terhadap tetangga, kerabat atau sesama anggota kelompok sosial. Dalam suatu pesta pernikahan misalnya, seluruh anggota keluarga akan mempersembahkan sesuatu yang terbaik untuk menegakkan gengsi keluarga dimata keluarga lain yang sederajat (Pelras, 2006). Dengan basis nilai seperti itu, menjadikan hubungan aliansi strategis dalam komunitas pada awalnya akan lebih terfokus pada kelompok sosial terkecil yang hanya berisi anggota keluarga dan kerabat dekat, berpusat pada seorang patron, biasanya adalah orang yang dianggap mampu secara finansial dan memiliki kharisma memimpin dalam keluarga.
210
Sistem kekarabatan orang Bugis menganut garis keturunan bilateral, yaitu menganut garis keturunan ayah dan ibu secara bersama-sama. Dalam sistem bilateral, dimana baik garis keturunan ibu maupun ayah diperhitungkan, konsep terpenting bukanlah marga/ klan, tetapi “percabangan” dari kedua sisi. Dengan kata lain, setiap individu memiliki dua garis nenek moyang, yakni dari ayah dan ibu. Dari kedua garis keturunan tersebut akan terbentuk jaringan sepupu dari kedua belah pihak yang memiliki dua pasang kakek, yakni orang tua ayah dan ibu – begitu seterusnya, hingga kekerabatan jauh yang berasal dari lima lapis nenek moyang yang menurunkan berbagai lapis sepupu. Jauh dekatnya hubungan kekerabatan ditentukan oleh lapisan leluhur keberapa yang menghubungkan mereka, sehingga menyatukan mereka dalam suatu sistem kekerabatan yang biasanya disebut dengan istilah a’seajingeng (memiliki asal-usul sama) – sekaligus memisahkan dengan orang lain (tau laeng). Masyarakat Bugis tidak memiliki suatu kelompok kekerabatan bilateral yang mengutamakan salah satu pasangan nenek moyang, yang terpenting bagi mereka adalah dicapainya derajat tinggi dalam sistem stratifikasi sosial. Pola kekerabatan seperti inilah yang menjadi struktur dasar pembentukan suatu tatanan masyarakat, sehingga sangat fungsional dalam pengembangan hubungan aliansi strategis dalam komunitas, bahkan sering menjadi dasar perekat jaringan patronase pada masyarakat Bugis. Hubungan aliansi strategis dalam komunitas akan semakin membesar dengan melibatkan tetangga dan masyarakat sekitar yang memiliki identitas sama, seiring terjadinya penguatan kapital pada diri sang patron. Pada tahapan selanjutnya, seorang patron yang kuat secara kapital dan memiliki kewibawaan, cenderung akan memiliki kharisma tersendiri bagi anggota komunitas lainnya, serta klien dari ponggawa lain untuk bergabung padanya. Meskipun terkadang kharisma seorang patron diperoleh dari proses sosialisasi yang panjang dengan melebih-lebihkan kemampuan pribadinya. Terkadang seorang patron bahkan memiliki pengaruh tidak hanya dalam komunitas, namun juga diluar komunitasnya, sehingga aliansi strategis yang terbangun menjadi lebih kompleks. Namun demikian, peneliti menjumpai adanya fenomena pengelompokan jaringan patronase berdasarkan daerah asal, dimana seorang klien, migran Bugis Bone akan cenderung berpatron pada ponggawa yang juga berasal dari Bone. Demikian pula dengan seorang klien migran Bugis Wajo akan cenderung berpatron pada ponggawa yang juga berasal dari Wajo, meskipun demikian jaringan patronase migran Bugis Wajo tampaknya lebih terbuka bagi etnik lainnya termasuk mereka yang berasal dari Bone. “Dendam sejarah” kemungkinan menjadi alasan mendasar dari terjadinya fenomena sosial tersebut (lihat Andaya, 2004). Pengelompokan pemukiman migran Bugis Bone di Desa Muara Pantuan atau di sekitar kawasan Hutan Raya Bukit Soeharto pun
211
menunjukkan pola kecendrungan yang sama, dimana migran Bugis Bone membangun pemukiman yang relatif terpisah dari area pemukiman migran Bugis Wajo.
Seperti
pernah dilaporkan Lineton (1975) yang menyebut orang Bugis di manapun mereka bermukim, cenderung membentuk kelompok berdasarkan daerah asal masing-masing (yang sering kali saling berhubungan), tetapi orang Bugis Wajo dan Bugis Bone sangat jarang berbaur satu sama lain. Aliansi strategis dalam komunitas, bagi para ponggawa merupakan suatu bentuk investasi yang didasarkan pada semangat solidaritas dan resiprokal yang dilandasi oleh norma timbal-balik, serta saling percaya. Dalam jangka pendek ponggawa bisa berharap mendapatkan pasokan udang secara berkelanjutan dari para klien, sehingga terbebas dari krisis produksi, sedangkan dalam jangka panjang ia akan merasa tenang dan aman karena memiliki cadangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk menopang – mengembangkan keluarga dan jaringan bisnisnya. Haji Mangkana misalnya, berusaha membangun kepercayaan di dalam perusahaannya, dengan menanamkan nilai-nilai kebersamaan dan solidaritas pada seluruh karyawan dan semua orang yang kepentingannya bersinggungan secara langsung maupun tidak langsung dengannya. Dengan mengusung slogan, “perusahaan ini adalah perusahaan anda, kemajuan perusahaan adalah kemajuan masyarakat”, ia berhasil menumbuhkan loyalitas dan semangat saling menjaga didalam maupun diluar perusahaan. Dengan menggunakan sentimen keagamaan, Haji Mangkana bahkan, mampu membangun citranya sebagai seorang patron yang religius dan “merakyat”, dengan menyalurkan dua setengah persen dari penghasilan bersihnya secara door to door pada mereka yang membutuhkan sesuai dengan ajaran Islam. Begitu pun Haji Abu, yang dilaporkan setiap tahunnya memberangkatkan sekitar 15 anggota keluarga dan pekerja yang dianggap berjasa dalam ikut membangun kegaiatan bisnisnya untuk menunaikan ibadah haji secara cuma-cuma. Para ponggawa berusaha membangun citranya dengan berbagai cara, terutama berlaku sebaga seorang patron yang dermawan dan ringan tangan, bahkan tidak sedikit yang suka “mempertontonkan” keungulan kapitalnya pada khalayak. Dengan menggelar pesta atau perayaan yang menghabiskan dana besar, hanya untuk membangun image dan prestise sosial, sehingga dapat menjadi kebanggaan bagi klien dan anggota masyarakat disekitarnya. Seperti yang dilakukan Haji Onggeng, yang dilaporkan pernah membelikan hadiah ulang tahun, sebuah mobil mewah dan mendatangkan artis ibukota hanya untuk memeriahkan acara ulang tahun anak perempuannya. Meskipun pada awalnya hubungan diadik yang terbangun dalam aliansi strategis dalam komunitas, berproses secara hierarkis seiring dengan penguatan kapital sang patron, namun hubungan diadik yang terbangun tidaklah ada dengan sendirinya,
212
melainkan sebagai keberhasilan ponggawa dalam mengindividukan hubungan yang terjalin, sehingga menghambat kekuatan tawar-menawar kolektif. Artinya hubungan diadik berbungkus kepentingan tersebut dengan sengaja dibangun untuk kepentingan strategis berjangkauan luas. Seperti diungkapkan Popkin (1986), bahwa sumberdayasumberdaya yang akan diinvestasikan oleh patron bukan hanya untuk memperbaiki keamanan dan tingkat subsistensi klien, tapi juga untuk menjaga agar hubunganhubungan itu tetap diadik, serta menghambat klien mendapatkan keterampilan/ kemampuan yang bisa merubah keseimbangan kekuatan. 6.2.3.2 Tradisi Islam Lokal Penulis mencatat, meskipun hampir semua orang Bugis yang bermigrasi ke daerah-daerah di nusantara, termasuk di kawasan Delta Mahakam adalah muslim yang fanatik, namun sebagian besar diantara mereka berasal dari kelas-kelas sosial yang sepertinya kurang tunduk (exposure) pada doktrin-tradisi “Islam Puritan”. Islam Puritan menerapkan kemurnian ajaran yang dasar, serta sumbernya mutlak dan abadi dengan meletakkan hukum syariah dan kekuasaan Tuhan sebagai prinsipnya. Pemurnian berarti memberantas kemusyrikan, tahyul, khurafat dan pengeramatan ulama (Mulkhan, 2000), juga bid‟ah atau ibadah yang tidak dicontohkan Nabi. Jika mengunakan pengkategorian Islam di Indonesia, maka peneliti lebih melihat Islam yang dipraktikkan oleh migran Bugis di Kawasan Delta Mahakam mendekati kategori Islam Kolaboratif/ “Islam Konstruktif” (Lihat Tabel 19.). Artinya migran Bugis di kawasan Delta Mahakam bukanlah para penganut Islam Puritan yang mempraktekkan syariah Islam secara murni. Sekalipun demikian mereka juga tidak bisa disebut Islam Sinkretik (seperti di jumpai Geertz pada masyarakat feodal Islam di Jawa) karena praktik keagamaan mereka cenderung tidak bertentangan dengan ajaran Islam umumnya, bahkan unsurunsur lokal yang mereka bawa dari proses pewarisan budaya atau proses belajar budaya tampaknya semakin menguatkan ajaran Islam yang dipraktikan. Menurut Mulder (1999), sinkretisme adalah upaya untuk menenggelamkan berbagai perbedaan dan menghasilkan kesatuan diantara berbagai sekte atau aliran filsafat, sehingga dapat digunakan untuk menggambarkan upaya memadukan berbagai unsur yang terdapat di dalam bermacam pembicaraan sehubungan dengan masalah keagamaan, tanpa memecahkan berbagai perbedaan dasar dari prinsip-prinsip yang ada di dalamnya. Meskipun menolak konsepsi Geertz tentang sinkretisme, yang dianggapnya kurang relevan untuk melihat Islam di Jawa, Mulder justru menggunakan konsep lokalitas. Seperti gagasan Wolters (1982) dalam Mulder (1999), yang mengklaim unsur-unsur asing (Islam) dipastikan perlu menemukan akar-akar lokal atau cabang asli daerah tersebut, dimana unsur-unsur asing (Islam) dapat dicangkokkan, baru kemudian melalui peresapan oleh getah budaya asli, cangkokan itu akan dapat berkembang dan
213
berbuah. Dalam lokalitas, ada unsur yang selalu menyesuaikan, dimana Islam yang datang belakangan akan menyesuaikan dengan unsur lokal yang cocok, sehingga inti sesungguhnya adalah unsur lokalnya bukan Islam. Jadi konsepsi yang ditawarkan Mulder sebenarnya tidak berbeda dengan konsepsi Geertz. Tabel 19. Pengkategorian Islam di Indonesia Kategori Asumsi Teoritik
Pendukung Teoritis
Islam Murni/ Islam Puritan Ajaran revolusioner yang menerapkan kemurnian ajaran Islam, yang dasar sumbernya mutlak dan abadi dengan meletakkan hukum syariah dan kekuasaan Tuhan sebagai prinsipnya. Pemurnian berarti memberantas kemusyrikan, tahyul, khurafat dan pengeramatan ulama, juga bid’ah atau ibadah yang tidak dicontohkan Nabi. Dasar moralnya ialah ketertindasan rakyat akibat sikap feodalis, keasyikan mistik dan tasauf tanpa disinari Islam murni.
Islam Sinkretisme
Islam Akulturatif
Terdapat pemaduan di antara dua atau lebih budaya. Agama yang kelihatannya dari luar Islam, tetapi ketika dilihat secara mendalam, sebenarnya adalah agama sinkretis. Konsep sinkretisme mengandung kelemahan karena mengabaikan adanya dialog yang terjadi antara Islam dengan budaya lokal. Hal itu memberikan legitimasi bahwa Islam hanyalah nominal saja, aspek luar, sebab inti dari semuanya adalah budaya lokal. Islam tidak mampu menyentuh kedalaman budaya lokal yang adiluhung dan mendalam, sehingga ketika berhadapan dengan budaya lokal, Islam harus tetap berada “diluar”.
Islam dan budaya lokal merupakan sesuatu yang akulturatif sesuai dengan prosesnya masing-masing, sehingga antara Islam dan budaya lokal bukanlah sesuatu yang antonim tetapi compatible. Ada proses mengambil dan menerima (tidak dalam bentuk saling mengalahkan dan mendominasi), sehingga terjadilah Islam tersebut sebagai agama yang bercorak khas. Di dalam praktiknya Islam bersifat akulturatif dengan budaya lokal, justru Islam sebagai “tradisi besar dunia” yang dimasukkan dari luar menjadi inti, ketika berada ditengah budaya lokal yang bersentuhan dengannya.
Nakamura (1983); dan Abdul Munir Mulkhan (2000)
Clifford Geertz (1983); Mattulada (1985); Andrew Beatty (1994); Niel Mulder (1999); Noerid Haloei Radam (2001); Erni Budiwanti (2001); Saripan S. Hutomo (2001); dan Christian Pelras (2006).
Mark Woodward (1988); Muhaimin (2001); dan John Ryan Bartolomew (2001).
Islam Kolaboratif/ “Islam Konstruktif” Hubungan antara Islam dan budaya lokal dianggap bercorak akulturatif- sinkretik sebagai hasil konstruksi bersama antara agen (elitelit lokal) dengan masyarakatnya dalam sebuah proses dialektik yang terjadi secara terus menerus. Ciri-ciri Islam kolaboratif/ konstruktif adalah bangunan Islam yang bercorak khas, mengadopsi unsur lokal yang tidak bertentangan dengan Islam dan menguatkan ajaran Islam melalui proses transformasi secara terus menerus dengan melegitimasinya berdasarkan teks-teks Islam yang dipahami atas dasar interpretasi elit-elit lokal, sehingga menghasilkan konstruksi sosial tentang Islam lokal. Nur Syam (2005); dan Nurhayati Rahman (2009).
Sumber: Disarikan dari Berbagai Sumber Di dalam Islam sinkretisme, yang terjadi adalah proses saling “mendominasi” atau saling mengalahkan. Dalam hubungan antara Islam dan budaya lokal di Jawa misalnya Geertz memandang Islam Jawa merupakan perpaduan antara ajaran Islam, Hindu, Budha dan agama lokal (animisme) dan yang dominan adalah budaya Jawanya dan Islam hanyalah kulit luarnya. Sementara konsepsi Islam Kolaboratif memandang hubungan Islam dan budaya lokal bercorak akulturatif-sinkretik sebagai hasil konstruksi bersama antara agen (elit-elit lokal) dengan masyarakatnya dalam sebuah proses dialektika yang terjadi secara terus-menerus (Syam, 2005). Meskipun sesungguhnya
214
masih berada di dalam kategori Islam Akulturatif – mengikuti pandangan Mark Woodward., dkk dan Islam Sinkretik sebagaimana pandangan Clifford Geertz., dkk, Islam Kolaboratif yang selanjutnya peneliti sebut sebagai “Islam Konstruktif”, menawarkan konsep bangunan Islam yang bercorak khas, mengadopsi unsur lokal yang tidak bertentangan dengan Islam dan menguatkan ajaran Islam melalui proses transformasi secara terus menerus dengan melegitimasinya berdasarkan teks-teks Islam yang dipahami atas dasar interpretasi elit-elit lokal, sehingga menghasilkan konstruksi sosial tentang Islam lokal. Tradisi Islam lokal hasil konstruksi sosial masyarakat perantauan Bugis di kawasan Delta Mahakam, meskipun memiliki keunikan dan membentuk tradisi Islam yang khas, tetap saja tidak berbeda dengan apa yang telah dipraktikan leluhur mereka di Sulawesi Selatan. Kedatangan Islam bukan menggantikan sistem nilai dan tatanan yang telah ada, tapi mengakomodasi semua tatanan dan nilai itu ke dalam Islam. Berbagai ajaran Islam dan Bugis yang mengandung spirit dan unsur-unsur yang sama diadaptasikan
dan
didialogkan,
yang
selanjutnya
memunculkan
warna-warni
kebudayaan Islam dengan pakaian budaya Bugis atau budaya Bugis muncul dengan pakaian Islam (Rahman, 2009). Temuan ini sekaligus mengoreksi tesis Pelras dan Mattulada yang menyatakan bahwa sinkretisme sebagai satu-satunya pilihan yang memungkinkan agama Islam diterima oleh penguasa Bugis. Dimana aspek-aspek syariat Islam diintegrasikan ke dalam rangkaian hukum dan norma adat, ajaran Islam hanya sekedar ditempelkan ke dalam berbagai praktik tradisional mereka. Hal ini jelas menafikkan adanya dialog yang terjadi antara Islam dengan budaya lokal, sehingga Islam sebagai budaya yang dimasukkan dari luar tidak mampu menyentuh kedalaman budaya lokal yang adiluhung dan mendalam. Padahal seperti diketahui Islam merupakan “tradisi besar dunia” yang bisa saja mendominasi dan menjadi inti, ketika berada ditengah budaya lokal yang bersentuhan dengannya. Karenanya peneliti hanya bisa menerima tesis Islam sinkretisme dalam tradisi masyarakat Bugis pada masa awal perkembangan Islam di Sulawesi Selatan dan selanjutnya Islam sinkretisme-akulturatif muncul secara bergantian – menyatu dalam tradisi masyarakat Bugis, sebagai gagasan yang disambut secara selektif dan disesuaikan dengan pandangan hidup mereka. Hasil dari persinggungan kebudayaan Islam dan tradisi Bugis (sinkretisme, Hindu, Budha dan animisme) yang disebut peneliti sebagai “Islam lokal” inilah, yang dalam praktiknya banyak dilakukan oleh migran Bugis di Kawasan Delta Mahakam. Di dalam tradisi Islam lokal inilah migran Bugis di kawasan Delta Mahakam membangun “medan interaksi” yang berporos pada agen (“orang yang dianggap saleh”) dan simbol-simbol “peruntukan fitrah”, melalui pembangunan masjid, menunaikan
215
ibadah haji serta berkurban dan menyantuni fakir-miskin, sebagai wadah untuk terjadinya transformasi, legitimasi dan habitualisasi. Seperti temuan Syam (2005), yang menyebut “pada masyarakat Jawa yang sedang bergerak ke arah rasionalisasi ternyata justru mengembangkan corak baru dalam aura spiritualitasnya, yaitu melakukan rasionalisasi
spiritualitas”.
Demikian
dengan
masyarakat
Bugis,
yang
mulai
bertransformasi dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, ternyata tidak dijumpai terjadinya pemutusan dunia spiritual dengan dunia rasional. Melalui proses pergumulan diantara para elit lokal (khususnya ponggawa) dalam berbagai konfigurasi sosio-religiositasnya dengan masyarakat yang juga memiliki konfigurasinya sendiri, tidak hanya menghasilkan wacana rasionalitas spiritual baru, tapi juga tindakan-tindakan keagamaan yang khas. Dengan demikian, konsepsi Weber tentang the disenchantment of the world, yang berasumsi “semakin rasional tindakan manusia akan semakin terputus dari dunia spiritualitasnya”, ternyata kurang relevan dalam melihat migran Bugis yang rasionalisasinya sebagai masyarakat industri sedang tumbuh. Artinya, orang Bugis pergi menunaikan ibadah haji, membangun masjid, serta berkurban dan menyantuni fakir-miskin ternyata tidak hanya untuk menunaikan kewajiban yang diperintahkan agama Islam, tapi juga karena motif-motif tertentu untuk memperoleh “ridho” dari kewajiban yang telah ditunaikannya, sehingga dapat “memperbaiki” nasib/ we’re’-nya. We’re’ adalah nasib, yang mengajarkan pada orang Bugis untuk tidak tunduk pada nasib tidak baik/ tidak menguntungkan, karena bagi orang Bugis, nasib seseorang tidak akan menjadi lebih baik, jika tidak ada keinginan dari yang bersangkutan untuk memperbaikinya. Prinsipnya, tidak cukup hanya dengan menyandarkan diri pada berkah Allah SWT, tetapi harus diupayakan dengan mendahulukan memperbaiki nasib tidak baik/ tidak menguntungkan untuk merubah keadaan. Seperti diajarkan agama Islam “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan/ nasib suatu kaum, hingga kaum itu sendiri berusaha mengubah apa-apa yang terdapat pada bangsa itu sendiri/ nasibnya” seperti digariskan dalam Al Ra‟ad: 11. Di dalam memahami nasib, orang Bugis tidak mengenal istilah menerima ketentuan seperti dalam budaya Jawa yang mengenal narimo ing pandum (Anshoriy, 2009). Dalam kesadaran itu terkandung bahwa hidup orang Jawa sejak semula dari segi titik-tolak, kemungkinan-kemungkinan perealisasian diri dan pengakhirannya sudah ditetapkan dan tidak ada yang bisa mengelakkan ketetapan itu. “Melawan nasib tidak ada gunanya: meskipun membanting tulang sampai capai tak akan ada hasilnya dan biarpun berusaha sekuat tenaga namun apa yang memang telah ditakdirkan tidak akan diperoleh” (Magnis-Suseno, 2003). Lebih jauh dikatakan Magnis-Suseno, menentang nasib hanya akan mengacaukan kosmos dan kekacauan itu hanya bisa dinetralisasikan dengan macam-macam pengalaman yang kurang enak bagi semua (konflik dan ketidak-
216
tentraman batin yang menyumbang pada ketidak-tenangan dan ketidak-tentraman dalam masyarakat dan kosmos). Hal itu, bertolak-belakang dengan konsep we’re’ yang menganjurkan dilakukannya upaya untuk memperbaiki nasib tidak baik/ tidak menguntungkan, hingga “dek na laleng ri ola” atau segala usaha telah dilakukan secara maksimal namun gagal, barulah mereka “menyerah” pada totok (takdir) dengan ungkapan “Aga guna masarae tenrelesangenna pura makkuae. Rilesangeng manemmua pura ri putotok e tenri lesangi” (Apa gunanya bersusah hari, tak terhindarkan suratan takdir. Semua dapat dihindari kecuali takdir tak terelakkan). Disini, We’re’ tidak saja mensyaratkan kerja keras dengan semangat pantang menyerah, namun juga kesabaran, ketekunan dan ketidakbosanan. Karenanya menurut Farid (2005), bagi orang Bagis nasib buruk atau baik pertama-tama ditentukan oleh We’re’, yaitu perbuatan manusia sendiri, seperti ungkapan “Aja muappesona buruk … Ajak mulete riwannang silampak e” (Janganlah berpasrah tanpa perhitungan … janganlah meniti di benang selembar). Ungkapan tua yang sangat berpengaruh lainnya, terkait dengan semangat untuk memperbaiki nasib bisa dijumpai dalam pernyataan seorang Raja Wajo‟, La Tadampare‟ Puang ri Ma‟galatung (1441-1521) yang berbunyi: “Re’sopa na tinulu’na temmangingngi’ nale’ te’i pammase’ De’wata Se’uaE’” (hanya mereka yang berjuang/ bekerja tanpa kenal lelah dan tidak bosan memperoleh ridho Tuhan yang akan sukses mencapai cita-citanya). Jadi orang Bugis menunaikan ibadah haji, membangun masjid, serta berkurban dan menyantuni fakir-miskin pada hakekatnya disebabkan oleh kekuatan sakral dibalik penunaian kewajiban yang diperintahkan agama tersebut, sehingga menimbulkan tindakan-tindakan ritual yang diyakini dapat menjadi sarana untuk memperoleh “ridho Allah” dalam memperbaiki we’re’-nya. “Medan interaksi” yang terbangun kemudian menjadi wadah untuk terjadinya transformasi, legitimasi dan habitualisasi, sehingga menghasilkan wacana rasionalitas spiritual. Ibadah haji ke tanah suci misalnya, tidak hanya bermakna menunaikan kewajiban rukun Islam yang kelima, tapi juga untuk lebih meningkatkan
status
sosial-ekonomi
dimata
kolega
dan
kliennya,
sekaligus
mendapatkan legitimasi sebagai “orang yang dianggap saleh”, sehingga secara sosioreligiositas layak dikategorikan sebagai pemimpin. Yang tak kalah pentingnya adalah untuk mendapatkan “ridho Allah” yang paling afdhol, karena dilakukan langsung dari “Mekkah”, sehingga we’re’-nya memiliki kesempatan besar untuk bertambah lebih baik. Dalam sebuah diskusi, Haji Aco dengan sangat lugas mengakui bahwa “ia pergi berhaji sebagai ungkapan syukur atas keberhasilan usahanya dan ia merasa rezekinya semakin meningkat setelah berhaji”. Lebih lanjut Haji Aco menyebut “gelar hajinya merupakan status sosial yang akan dibawa sampai mati”.”
217
Sementara Haji M. Ali yang telah tiga kali menunaikan ibadah Haji menuturkan bahwa “dengan pergi haji kita akan mendapatkan gelar baru, bagi kami yang tidak berpendidikan, gelar haji akan tetap menempel di depan nama, hingga kelak tertulis diatas batu nisan”. Menariknya, Haji M. Ali yang telah berkali-kali pergi haji masih tetap berkeinginan menunaikannya lagi, hal ini dilakukannya tidak sekedar untuk menunaikan kewajiban, tapi juga memotivasi para petambak yang menjadi kliennya untuk bekerja lebih keras lagi, memiliki tambak luas dengan hasil panen melimpah, sehingga bisa mengikuti jejaknya menunaikan ibadah haji berkali-kali. Realitas tersebut sekaligus menunjukkan bahwa ibadah haji tidak sekedar mendorong munculnya rasionalitas spiritual baru, sebagai hasil dari proses transformasi, legitimasi dan habitualisasi yang terus berlangsung dalam masyarakat, tapi juga menjadi salah satu motif penting dibalik bergeraknya proses kapitalisme lokal. Timbulnya suatu proses pertumbuhan dari nilainilai baru – semacam economic ethic – yang memberikan keleluasaan pada economic rationality untuk memainkan perannya dalam kehidupan masyarakat. Hasil kajian Geertz (1992) menunjukkan bahwa peranan penting dalam proses tersebut dimainkan oleh segolongan orang Islam yang terlibat dengan gerak pembaharuan yang mengamalkan etik keagamaan yang asetik. Gerakan pembaharuan Islam yang tersebar luas di kalangan golongan pedagang di pusat-pusat perdagangan di Jawa antara 1912 – 1920, menekankan usaha ke arah membersihkan Islam dari unsur-unsur Hindu
dan animisme, serta memfokuskan kepada
hal-hal
yang
berhubungan dengan dogma dan moralitas, sehingga menimbulkan minat yang besar terhadap kesucian ajaran-ajaran tradisi Islam, yang diperoleh melalui ketergantungan yang tinggi terhadap pusat Dunia Islam. Hal itu membutuhkan pengumpulan uang, sehingga memungkinkan mereka naik haji dan menjadikan mereka mengamalkan nilai gemi (sifat hemat). Pendukung gerakan ini merasa bangga bila dapat berusaha untuk lebih sederhana dalam soal makanan, pakaian dan menghindari pengeluaran dana besar untuk upacara-upacara dan menjunjung tinggi usaha-usaha perseorangan. Seperti diketahui berhaji hanya diwajibkan bagi orang Islam yang telah memenuhi sejumlah persyaratan tertentu, seperti memiliki kemampuan finansial memadai, sehat jasmani dan rohani, serta berniat menjalankan ritual tersebut. Apabila persyaratan itu telah terpenuhi, maka menunaikan ibadah haji menjadi suatu kewajiban. Hasil studi yang dilakukan Thohir (2006), menyimpulkan bahwa “ada perasaan kuatir bagi mereka yang tidak memenuhi “panggilan” berhaji akan mati fasik (keluar dari agama), jika sampai yang bersangkutan meninggal dunia”. Secara sosial-ekonomi pun, orang-orang yang mampu menunaikan ibadah haji oleh lingkungan sosialnya dikategorikan sebagai orang kaya. Ukuran materi, yaitu kaya atau miskin secara umum sering digunakan untuk menandai keberhasilan seseorang dalam kehidupan di dunia,
218
sedangkan ketaatan beragama digunakan untuk mengukur “keberhasilan” akhirat. Kecendrungan demikian menjadi penanda bahwa menjadi orang kaya itu penting, karena menjadi tolak ukur kehormatan sosial yang dapat memenuhi kepuasan duniawi, sedangkan bertingkah laku yang mengarah pada simbol-simbol agama secara sosial dianggap “taat beragama”, karena dapat memenuhi kepuasan ukhrawi. Pada gilirannya melakukan kegiatan ekonomi akan tertuju pada dua kepentingan sekaligus, yaitu pemenuhan kebutuhan duniawi dan ukhrowi, yang masing-masing dari keduanya bisa saling beriringan atau saling berlawanan. Mereka yang memiliki kemampuan finansial dapat dengan mudah menikmati fasilitas berhaji yang lebih eksklusif dengan membayar lebih, sehingga pencapaian kepuasan ukhrawi yang mengarah
pada
simbol-simbol
keagamaan
dapat
dilakukan
dengan
berbagai
kemudahan duniawi, jika seseorang memiliki materi berlebih. Proses reproduksi kegiatan ibadah haji yang telah diinternalisasi masyarakat lokal tersebut, selanjutnya semakin mengokohkan kapitalisasi ibadah haji yang juga dilembagakan pemerintah. Ibadah haji tidak hanya menjadi motif penting bagi berlangsungnya kapitalisme lokal, namun penetrasi kapitalisme juga turut mempengaruhi masyarakat lokal dalam memaknai ibadah haji itu sendiri. Berhaji juga berarti mendapatkan legitimasi sebagai “orang yang dianggap saleh”, sehingga secara sosio-religiositas layak dikategorikan sebagai pemimpin, seperti yang pernah dilakukan raja-raja di Nusantara yang berlomba-lomba mengirimkan utusan ke Makkah agar kerajaan mereka memperoleh pengakuan dan penguasanya menerima gelar Sultan. Akibatnya, transformasi kehidupan keagamaan yang lebih berporos pada agen (“orang yang dianggap saleh”) menjadi penting dalam “medan interaksi” yang dikembangkan masyarakat setempat. Kartodirjo
(1984)
mencatat,
bahwa ibadah Haji merupakan kekuatan sosial dari revitalisasi kehidupan keagamaan, sekalipun tampak paradoksal, haji juga memainkan peranan besar dalam proses tradisionalisasi Islam, sehubungan dengan penyebaran tarekat Sufi. Artinya, meskipun terjadi proses industrialisasi, sehingga masyarakat tampaknya menjadi lebih modern, namun dalam kehidupan keagamaannya tetap dalam proses tradisionalisasi Islam. Andaya (2004), menyebut “aliran terbatas sufisme dapat diterima di Sulawesi Selatan, karena mempunyai kesamaan dengan struktur kepercayaan pra-Islam”. Berhaji kemudian menjadi „jalan pintas‟ untuk mendapatkan pengakuan sebagai “orang yang dianggap saleh”, yang dalam ajaran Sufisme diberikan tempat khusus sebagai “penghubung” antara pengikut yang merasa kurang saleh dengan yang saleh, sehingga memperoleh “ridho” dari Allah yang dipercaya menjadi kunci nasib di dunia dan akhirat. Bellah (2000), mencatat bahwa “Kebangkitan sufisme adalah sumbangan besar dari Islam dalam memenuhi kebutuhan keagamaan dan kesadaran masyarakat ... hal itu,
219
karena sufisme memuaskan dan bersifat lokal yang berkaitan dengan kekeramatan lokal, pemujaan lokal dan orang-orang suci/ saleh lokal”. Salah satu ajaran Sufi yang dikenal luas oleh masyarakat Bugis adalah tarekat Khalwatiyya yang disebarluaskan oleh ulama besar Bugis, Syekh Yusuf. Setidaknya Mattulada mencatat pada 1975/ 1976, pengikut tarekat Khalwatiyya di Sulawesi Selatan berjumlah 157.417 orang. Menurut Geertz, dalam tradisi sinkretik, “penghubung” itu diperankan dukun (Bugis: bissu) yang dipercaya memiliki kedekatan dengan sumber kekuatan supernatural dan dalam tradisi Islam sinkretik melalui kyai (ustadz) yang dipercaya dekat dengan Tuhan, sehingga mampu menjadi “penghubung” umat dengan Tuhan agar nasibnya menjadi lebih baik. Peran “orang saleh” semakin penting setelah peran dukun (Bugis; bissu) dan kyai sebagai “penghubung” masyarakat tradisional dengan kekuatan supernatural dihancurkan. Dalam tradisi lisan Bugis, prototipe to-panrita praIslam adalah We Tenriabeng, saudara kembar (perempuan) Sawerigading yang merupakan seorang bissu, menikah dengan mahluk halus dan naik ke langit untuk tinggal bersama suaminya. To-panrita merupakan orang yang menguasai seluk beluk agama, bijaksana, saleh dan jujur. Dalam tradisi lisan Bugis to-panrita sebagian besar adalah perempuan, jika to-panrita tersebut laki-laki, biasanya mereka digambarkan sebagai seorang yang lanjut usai, orang yang telah meninggalkan semua perbuatan buruk yang mungkin mereka lakukan di masa muda. Dalam konteks Islam dewasa ini, perubahan tau llao sala (orang lontang-lantung tanpa tujuan) menjadi to-panrita mungkin ditandai dengan keputusan menunaikan ibadah haji ke Mekkah sambil memperdalam pengetahuan agama. Meskipun peran sebagai “penghubung” dalam tradisi Sufisme masih banyak diperankan oleh tokoh-tokoh agama lokal (imam masjid/ penghulu/ ulama), namun dewasa ini terdapat kecenderungan peran tersebut juga mulai diperankan oleh tokohtokoh masyarakat dengan kemapanan ekonomi tertentu (seperti; ponggawa). Hal ini, mungkin bisa menjelaskan fenomena “keselehan yang muncul dari praktik-praktik ekonomi, seperti disinyalir Alexander (1999), mayoritas jemaah haji relatif kaya adalah benar menurut definisi, tetapi hal ini tidak dengan sendirinya berarti “ketaatan mendahului kekayaan”. Dalam perkembangannya muncul fungsi serupa dalam kepemimpinan dan berbagai kegiatan sosial keagamaan yang diperankan oleh “orang saleh” (Mulkhan, 2000). Haji Mangkana yang kaya secara materi misalnya, berkat wawasan dan pengetahuan agamanya yang luas telah dianggap pengikutnya sebagai pembimbing spiritual dan orang bijak tempat bertanya, sehingga ketika ia mengadakan hajatan/ pengajian, rumahnya selalu dibanjiri para pengikutnya. Tentu pengakuan sebagai “orang yang dianggap saleh” atau to-panrita tersebut, secara sosio-religiositas juga
dimaksudkan
untuk
memperoleh
dukungan
atas
keberlangsungan
220
kepemimpinannya. Dengan demikian, transformasi kehidupan keagamaan yang berporos pada agen, semakin memperkuat pola hubungan vertikal dalam budaya patronase pada masyarakat Bugis. Seperti tergaris dalam Latoa, “Orang kaya ialah orang yang tidak kehabisan usaha, tak berkekurangan alasan untuk berbuat dan perbuatan itu adalah perbuatan yang baik. Ia mahir akan seluk beluk pekerjannya dan tak kekurangan pengetahuan dalam semua lapangan pekerjaan lain yang bersangkutpaut dengan pekerjannya” (Mattulada, 1985). 6.2.4
Strategi Bisnis Yang Terbangun Pelras (2006) dengan sangat antusias mencatat, bahwa sepanjang sejarah
sosio-kultural orang Bugis, sejumlah ciri khas tertentu dengan sangat menakjubkan tetap melekat dalam diri mereka. Diantaranya adalah kecenderungan yang luar biasa untuk selalu mencari peluang ekonomi yang lebih baik dimanapun dan kapanpun. Selain
itu
daya
adaptasi
mereka
terhadap
keadaan
yang
dihadapi
sangat
mengagumkan, dimana kaki berpijak disitu langit dijunjung. Orang Bugis tidak hanya sekedar mengadaptasikan dirinya terhadap lingkungan mereka, bahkan memberi warna tersendiri terhadap lingkungannya yang baru. Sementara kecenderungan mereka yang tampak saling berlawanan – berpandangan hirarkis sekaligus egalitarian, dorongan untuk berkompetisi sekaligus berkompromi, menjunjung tinggi kehormatan diri tetapi juga solider terhadap sesama orang Bugis – dipadukan dengan nilai-nilai yang diutamakan seperti, keberanian, kecerdasan, ketaatan terhadap ajaran agama dan kelihaian berbisnis, merupakan unsur-unsur penggerak utama dalam perkembangan hidup mereka selama ini. Sebuah kualifikasi yang sangat baik untuk menjadi entrepreneur yang berhasil. Namun demikian, ada keragu-raguan bagaimana sebagian orang
Bugis
Delta
Mahakam
dikaruniai
kualitas
kondusif
bagi
keberhasilan
kewirausahaan, sementara sebagian yang lainnya tidak beruntung, sehingga tetap dalam kondisi tidak berdaya dan miskin. Orang Bugis Delta Mahakam, meskipun memiliki persamaan bahasa dan budaya yang mengikat mereka sebagai orang Bugis, namun mereka tidaklah homogen. Karena para migran Bugis yang datang ke kawasan Delta Mahakam tidak hanya berasal dari satu daerah tertentu di Sulawesi Selatan, seperti telah diungkapkan pada Sub Bab 6.2. Selain itu selama beberapa generasi menetap di Kawasan Delta Mahakam, mereka tampaknya juga telah menarik batas perbedaan antara penduduk asli (keturunan Bugis generasi pertama) dan migran pendatang (keturunan Bugis dari sekitar pantai timur Kalimantan), maupun migran Bugis yang baru datang belakangan dari Sulawesi, serta orang Bugis yang terasimilasi atau terintegrasi dengan etnik lain. Juga fenomena pengelompokan orang Bugis yang cenderung membentuk kelompok
221
berdasarkan daerah asal masing-masing (yang sering kali saling berhubungan), dimana orang Bugis Wajo sangat jarang berbaur satu sama lain dengan orang Bugis Bone. Sebuah alasan penting bagi bertahannya keberhasilan kegiatan industri perikan orang Bugis di pantai Timur Kalimantan tampaknya berkaitan dengan pemanfaatan waktu (timing). Setelah mendapatkan kesempatan pengembangan usaha disektor perikanan budidaya pasca pelarangan trawl di awal 1980-an, para nelayan imigran Bugis
menjadi
komunitas
yang
mendapatkan
kesempatan
pertama
dalam
pengembangan pertambakan di sekitar kawasan Delta Mahakam dan kelak merambah hingga pulau-pulau dalam kawasan Delta Mahakam. Menariknya, setelah program pertambakan yang pada awalnya didukung pemerintah tersebut berkembang pesat, pada periode selanjutnya kegiatan pertambakan di kawasan kaya migas tersebut dianggap otoritas berwenang sebagai kegiatan ilegal (lihat Sub Bab 4.3). Namun demikian, orang-orang Bugis sepertinya sukar digeser meskipun telah dihalau dari dalam kawasan budidaya kehutanan, dengan penerapan berbagai peraturan-peraturan yang sifatnya menekan. Dengan menggunakan istilah Jamie Mackie “keunggulan pada kesempatan pertama untuk memulai”, peneliti mencoba memberikan gambaran atas pemanfaatan momentum penting tersebut oleh migran Bugis. Pertama, yang berhasil dimainkan orang Bugis atas momentum tersebut adalah, menguasai
“tanah-tanah
negara”
sebagai
alat
produksi
yang
menjadi
kunci
beroperasinya kegiatan usaha disektor pertambakan. Kedua, dengan bantuan perusahaan-perusahaan perikanan ekspor yang beroperasi disekitar kawasan Delta Mahakam, sebagian dari petambak yang telah berhasil “naik kelas” menjadi ponggawa mendapatkan kesempatan untuk “bermitra”, melakukan akumulasi kapital dan penguasaan atas “tanah-tanah negara” yang masih tersisa, sekaligus membangun industri dalam kesempatan pertama. Ketiga, dengan penguasaan atas sumberdaya yang sangat strategis tersebut, para ponggawa memanfaatkan komponen budaya lokal (patronase) untuk dapat menggerakkan kegiatan usaha disektor pertambakan dengan lebih efisien. Keempat, berhasil mengembangkan jaringan perdagangan dan terkoneksi dengan pasar regional dan internasional. Lontara yang isinya masih relevan dengan kondisi sekarang, sehingga dipercaya sebagai salah satu sumber pengetahuan bagi orang Bugis, setidaknya mengajarkan pada para pengusaha atau peniaga Bugis untuk; 1) jujur, karena menimbulkan kepercayaan; 2) bergaul, karena akan dapat mengembangkan usaha; 3) menambah ilmu pengetahuan, karena akan memperbaiki manajemen usaha; dan memupuk modal, karena dapat menggerakkan usaha. Selain tradisi lisan Bugis yang masih relevan, seperti syair Bugis Mandar yang dicuplik Lopa (1982) untuk memberikan apresiasi terhadap nilai usaha, “dipameang pai dalle, dileteangngi pai, andiang dalle, napole mettiroma, diang dalle mulolongan, da mugula
222
gulai, andiang dalle, nasadia-dianna” (rezeki itu harus dicari, titian harus dibuat karena rezeki tidak akan pernah datang menyongsong kita, apabila rezeki telah terjangkau, janganlah hidup boros sebab rezeki yang ada itu suatu saat akan tiada). Sementara hirarki menjadi tulang punggung dan sokoguru dari tata moral kegiatan usaha orang Bugis. Inti sari hirarki sosial adalah perbedaan relatif diantara yang lebih dan yang kurang atas (ketidaksamaan) prinsipil diantara masing-masing orang. Dimana mereka yang lebih atas harus memimpin, mengajar, melindungi dan bertanggungjawab; yang lebih bawah mengikut, menerima dan bertanggungjawab, berterima kasih dan hormat, sementara kesadaran akan jenjang-jenjang kedudukan mereka itu diungkapkan dengan perilaku dan bahasa tertentu (Mulder, 1999). Berbagai komponen kultural yang selalu diaktualisasikan dengan situasi dan kondisi masa lokal itulah yang pada akhirnya akan mempengaruhi strategis bisnis yang akan terbangun.
6.3
Pola Pencaplokan Kapital Hasil pencatatan sejauh ini, menunjukkan bahwa golongan ponggawa sangat
mendominasi penguasaan atas lokasi-lokasi pertambakan yang menjadi aset kunci bagi perkembangan kapitalisme di kawasan Delta Mahakam. Akumulasi penguasaan lokasi hutan mangrove yang kemudian dialihfungsi menjadi kawasan pertambakan, sebagian besar diperoleh para ponggawa dari proses pembelian/ pengalihtanganan dari penduduk lokal yang sebelumnya telah menguasai tanah-tanah negara tersebut dengan berbagai cara. Umumnya tanah-tanah tersebut di peroleh dari proses pembagian oleh RT/ Kepala Desa, melalui pewarisan dari orang tua, proses jual-beli, serta usaha merintis dengan mendapat izin garap dari otoritas setempat ataupun tidak (seperti telah dijelaskan pada bab V). Dari hasil identifikasi, setidaknya ditemui beberapa alasan mengapa tanah-tanah tersebut dialihtangankan, diantaranya karena membutuhkan dana cepat untuk kebutuhan rumah tangga – kebutuhan darurut (sakit/ tertimpa musibah – hajatan), pindah ke tempat lain, tanah tidak produktif dan membayar hutang. Namun demikian, peristiwa pelepasan tanah-tanah negara secara massal oleh kepala desa dalam kurun waktu 1991 – 1999, diduga menjadi faktor mendasar atas terjadinya akumulasi penguasaan tanah-tanah negara pada pihak-pihak tertentu yang memiliki modal dan pengaruh kuat (khususnya para ponggawa). Salah satunya adalah peristiwa pemberian “konsesi” penguasaan sejumlah pulau dalam kawasan Delta Mahakam. Para pemilik “konsesi”, selanjutnya memiliki hak prerogatif dalam mengatur dan mengendalikan pulau/ kawasan tertentu, bahkan memiliki otoritas dalam pelepasan hak penguasaan lokasi untuk area pertambakan pada orang lain. Pembagian kuasa secara sepihak oleh oknum kepala desa, tidak hanya menyebabkan terjadinya akumulasi penguasaan area hutan mangrove untuk lokasi
223
pertambakan pada pihak-pihak tertentu, namun secara tidak langsung telah ikut mengokohkan posisi para ponggawa sebagai “tuan tanah”. Kemampuan penetrasi kapital mereka dalam mengakuisisi lokasi-lokasi baru diluar “konsesinya”, setidaknya telah menjadikan beberapa diantara mereka menguasai hamparan tambak hingga ribuan hektar. Kondisi ini terjadi akibat tidak adanya kepastian regulasi pertanahan. Regulasi pertanahan yang sampai pada aparatur pemerintahan di aras lokal mengalami transformasi subjektif, sehingga ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan dan persepsi mereka yang terbungkus kepentingan pragmatis. Dengan penguasaan atas area pertambakan yang luas, seorang ponggawa akan memiliki daya tahan dalam persaingan usaha. Penguasaan lahan tambak yang luas akan dapat memberikan jaminan pasokan udang, sehingga kegiatan usahanya akan bisa tetap berlangsung dan berkembang. Seperti diyakini mantan Direktur Misaya Mitra, “Perusahaan perikanan yang akan bisa tetap hidup adalah perusahaan yang menguasai bahan mentah (raw material)”. Lebih lanjut, ia bahkan memprediksi “Perusahaan lokal/ pribumi lah yang pada masa-masa mendatang mampu bertahan di kawasan Delta Mahakam, karena perusahaan-perusahan multinasional/ asing akan kesulitan dalam mengakses sumberdaya untuk area pertambakan”. Fenomena pengambilalihan Misaya Mitra oleh Haji Mangkana (Syam Surya Mandiri) setidaknya dapat menjelaskan kecendrungan tersebut. Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, Misaya Mitra adalah perusahaan industri perikanan pioner dan terbesar di pantai Timur Kalimantan pada masanya. Perusahaan PMA dari Jepang ini, terpaksa harus „angkat kaki‟ dari kawasan Delta Mahakam karena tidak mampu beroperasi sesuai dengan kapasitasnya, akibat minimmya pasokan raw material. Kondisi ini terjadi sebagai akibat menurunnya hasil tangkapan udang yang berhasil diperoleh armada perikanan tangkap milik perusahaan dan armada nelayan setempat yang menjadi klien mereka. Sementara kegiatan perikanan budidaya yang tidak sepenuhnya dapat “digarap secara langsung”, tidak mampu memberikan kepastian pasokan udang dalam jumlah yang sesuai dengan kapasitas produksi mereka. Seperti diketahui, sebagai kawasan budidaya non kehutanan, kawasan Delta Mahakam tidak diperuntukkan untuk kegiatan perikanan budidaya, sehingga tidak bisa di-HGU-kan atas nama perusahaan perikanan tertentu. Dalam konteks historis, hal ini merupakan konsekuensi logis atas pemberian konsesi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas Blok Mahakam oleh pemerintah pusat. Pada gilirannya, perusahaan-perusahaan perikanan menghadapi “jalan buntu” dalam usahanya mengakses sumberdaya agraria untuk mengembangkan kegiatan budidaya pertambakan. Meskipun menurut sebuah sumber terpercaya, Misaya Mitra pernah menguasai secara tidak langsung sebelas petak tambak dengan luasan mencapai 10 –
224
20 Ha/ petak. Praktek pertambakan ilegal oleh perusahaan asing tersebut, dapat terus berlangsung karena pengelolaannya tidak dilakukan secara langsung oleh perusahaan. Bisa
dipahami,
jika
kemudian
perusahaan-perusahaan
perikanan
yang
beroperasi disekitar kawasan Delta Mahakam mensiasatinya dengan membangun kemitraan dengan para ponggawa, yang secara kultural dianggap mampu melakukan hegemoni atas sejumlah kelompok petambak Bugis, sekaligus “berani menerjang” hambatan legal formal atas penguasaan sumberdaya agraria milik negara tersebut. Para petambak dan khususnya para ponggawa yang telah berhasil merintis kegiatan usaha pertambakannya, selanjutnya diberikan berbagai bantuan lunak dan fasilitas kredit untuk mengembangkan usahanya, sehingga terjadi hubungan simbiosis mutualisme yang menguntungkan kedua belah pihak. Dimana perusahaan menerima pasokan udang dari hasil produksi para petambak, sedangkan para petambak mendapatkan kemudahan bantuan dan fasiltas kredit dari perusahaan. Namun ikatan hubungan bisnis tersebut dapat dengan mudah dihentikan, ketika petambak tidak lagi terikat hutang/ telah melunasi hutangnya pada pihak perusahaan. Hubungan bisnis juga bisa terhenti dengan pelunasan hutang, ketika terjadi pelanggaran kerjasama, akibat petambak/ ponggawa tidak menjual semua hasil panennya pada pihak perusahaan. Meskipun bentuk pelanggaran kerjasama seperti ini sering terjadi, namun pihak perusahaan menghadapi kesulitan untuk memberikan tindakan tegas akibat minimnya bukti dilapangan. Jikapun sanksi tegas dengan pemutusan hubungan kerjasama diberikan, klien bisanya akan berusaha mengelak dari tanggungjawab pengembalian hutang, sehingga masalah tersebut menjadi begitu dilematis. Ketidakberhasilan
perusahan-perusahaan
perikanan
di
kawasan
Delta
Mahakam dalam melakukan ekstensifikasi kegiatan usaha perikanan budidaya inilah yang menjadikan mereka kesulitan dalam mendapatkan kapastian pasokan udang yang dibutuhkan industri perikanan mereka. Sementara persaingan sengit diantara perusahaan-perusahaan perikanan yang beroperasi di kawasan Delta Mahakam dalam memperebutkan material raw dengan berbagai cara, menjadikan para petambak dan ponggawa semakin oportunis dengan berupaya mendapatkan harga tertinggi bagi hasil panennya. Kekurangan pasokan material raw inilah yang kemudian semakin melemahkan posisi perusahaan-perusahaan perikanan yang tidak memiliki area pertambakan sendiri – hingga akhirnya harus kolaps, seperti Misaya Mitra dan Samarinda Cendana. Namun kondisi tersebut tidak berlaku bagi perusahaan perikanan yang memiliki area pertambakan yang luas, seperti Syam Surya Mandiri. Perusahaan milik Haji Mangkana ini malah berhasi bangkit dan mampu “menyerap energi” yang ditinggalkan pesaingnya, hingga akhirnya mampu men-take over kepemilikan Misaya Mitra Anggana menjadi bagian dari kelompok bisnisnya.
225
Belajar dari kegagalan Misaya Mitra, Samarinda Cendana dan seniornya (alm.) Haji Muhiddin yang pernah merintis dan berjaya menghantarkan Tunas Nelayan Mandiri (Tarakan) dan Aromah Nelayan Mandiri (Balikpapan) menjadi perusahaan perikanan yang sangat disegani di Pantai Timur Kalimantan meskipun saat ini mulai “goyah” (lihat Bab VII). Haji Mangkana, tampaknya berusaha belajar untuk fokus dalam menjalankan bisnisnya. Ia tdak tertarik untuk mengembangkan bisnis lain diluar sektor perikanan (dalam arti luas), ia pun berusaha menolak berbagai ajakan untuk mengembangkan usaha perikanan keluar dari pantai timur Kalimantan dan khususnya kawasan Delta Mahakam. Bagi Haji Mangkana “kehidupannya akan selalu berada di dalam kegiatan perikanan”, karena menurutnya “jika ditekuni dengan total, usaha apapun akan memberikan hasil optimal”. 6.3.1
Pola Ekspansi Kapital Pola ekspansi kapital yang dilakukan sebagian besar ponggawa di kawasan
Delta Mahakam, sangat ditentukan oleh adanya kesempatan dan peluang yang dikalkulasi dapat menghasilkan keuntungan. Kondisi ini menghasilkan berbagai pola ekspansi
usaha, seperti
intensifikasi usaha pertambakan, dengan melakukan
modernisasi kegiatan pertambakan dan pengembangan tambak-tambak semi – intensif. Hal ini setidaknya mulai dilakukan oleh beberapa ponggawa di beberapa kawasan di sekitar Delta Mahakam, seperti intensifikasi tambak yang akan dilakukan Haji Mangkana di Timbang Lumut atau yang telah dilakukan Haji Abu di Muara Jawa – Samboja. Menurut sejumlah sumber, setelah menjadi ponggawa sukses, Haji Abu tertarik ajakan seorang pengusaha dari Sulawesi Selatan untuk melakukan modernisasi tambak-tambak tradisional yang dikelolanya, karena tergoda hasil berlipat yang akan diterimanya seperti yang berhasil dilakukan koleganya dari Sulawesi Selatan tersebut. Tidak hanya berbagai peralatan modern yang coba diterapkan, Haji Abu juga memperkerjakan puluhan tenaga profesional untuk menjamin keberhasilan intensifikasi usaha pertambakan yang dilakukannya. Namun pengembangan tambak-tambak intensif tersebut mengalami kendala, karena ketidak-sesuaian lahan. Akibatnya produksi tambak-tambak intensif tersebut tidak maksimal dan intensifikasi usaha dengan modernisasi pertambakan mengalami kegagalan. Meskipun cukup terpukul dengan kegagalan yang dialaminya, Haji Abu mampu tetap bertahan karena memiliki dan “mengontrol” hamparan tambak tradisional dalam jumlah yang sangat luas. Ia bahkan, berhasil bangkit kembali dengan melakukan terobosan usaha kebidang lain yang tidak kalah prospektifnya, menjadi kontraktor di segala bidang, mengakuisisi sebuah perusahaan batu bara, menjadi pengusaha bahan galian C, membangun sejumlah SPBU, serta mengendalikan sejumlah ruko komersial di Balikpapan dan Samarinda.
226
Sementara berkurangnya stok lokasi (hutan mangrove) untuk pengembangan area pertambakan di kawasan Delta Mahakam, disiasati oleh sebagian besar ponggawa dengan melakukan ekstensifikasi usaha pertambakan. Diantaranya, adalah yang dilakukan Haji Hatta yang mencoba menjajaki pembangunan tambak-tambak baru keluar dari kawasan Delta Mahakam. Beberapa kawasan potensial yang telah di jajakinya adalah kawasan pesisir Sangkulirang dan beberapa tempat di pesisir Kalimantan Selatan. Hal ini pun dilakukan Haji Sukri, yang telah melakukan kerjasama dengan sejumlah pihak untuk membangun tambak-tambak baru di Penajam Paser Utara. Meskipun kegiatan kerjasama yang telah berjalan tersebut, akhirnya harus terhenti untuk sementara, karena munculnya ketidaksepahaman diantara para pelakunya yang berbuntut perusakan dua unit excavator milik Haji Sukri (lihat Bab VII). Beberapa ponggawa bahkan dilaporkan, berhasil memanen tambak-tambak yang dibangunnya di Muara Sungai Berau dan Bulungan. Sementara Haji Maming lebih tertarik untuk mengembangkan kegiatan perkebunan kelapa sawit dan hanya melakukan kontrol atas usaha pertambakan yang dimilikinya melalui anak dan menantunya. 6.3.2
Pola Jejaring Bisnis-Kapital Pada awalnya jaringan bisnis pertambakan di kawasan Delta Mahakam lebih
bertumpu pada kekuatan sosio-kultural. Dimana proses produksi pertambakan tradisional yang dikembangkan cenderung menggunakan jalur hubungan kekerabatan (faktor kekeluargaan ataupun etnisitas) sebagai sumber utama dalam perekrutan tenaga kerja. Seperti dinyatakan Legg (1983), orang akan meminta bantuan kepada sanak keluarganya, baik yang dekat maupun yang jauh tatkala menghadapi ketidakamanan dan kelangkaan sumberdaya yang diperlukannya. Cara ini merupakan cara alami untuk mengatasi hal-hal yang bersifat darurat dan tidak pasti, dalam masyarakat petambak tradisional kebutuhan-kebutuhan tertentu yang hendak dicapai seseorang tampaknya tidak hanya bisa dipenuhi melalui jalur kekeluargaan. Hubungan pertemanan yang bersifat instrumental merupakan salah satu cara untuk mencapai akses terhadap sumberdaya yang tersedia, selain melalui jaringan kelompok “klik ponggawa‟. Umumnya seorang petambak akan menggantungkan dirinya pada seorang ponggawa, yang menjadi patronnya untuk mendapatkan berbagai bantuan “lunak” bagi kegiatan pertambakan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian, bahkan batuan lain diluar kegiatan pertambakan, seperti biaya berobat, perkawinan ataupun hajatan keluarga, serta untuk kebutuhan rumah-tangga, dst. Begitupun sebaliknya seorang ponggawa sangat menggantungkan harapannya pada kesetiaan dan loyalitas petambak yang menjadi kliennya untuk bisa mendapatkan kepastian pasokan udang. Hal serupa
227
pun dirasakan oleh para penjaga empang yang menjadi klien dari para petambak ataupun ponggawa, sehingga dalam kegiatan pertambakan tradisional selalu diwarnai oleh hubungan yang bersifat personal. Meskipun demikian, fenomena mempekerjakan tenaga kerja dari luar daerah dan berbeda etnik sebagai penjaga empang, saat ini telah dianggap sebagai sesuatu yang wajar, akibat semakin sulitnya mendapatkan tenaga kerja yang jujur dan setia dari jalur primer. Bagi sebagian besar petambak di Kawasan Delta Mahakam, hampir tidak ada pilihan yang lebih baik, selain meminjam modal pada ponggawa yang telah mereka kenal untuk menutupi besarnya biaya yang harus dikeluarkan serta resiko yang harus ditanggung dalam pembuatan tambak baru. Seorang petambak pemula yang kurang siap secara financial maupun skill, akan lebih memilih untuk mendapatkan pinjaman modal yang prosesnya tidak rumit dengan pola pengembalian yang tidak membebani dalam menggarap tambak miliknya. Dalam sistem pengusahaan tambak seorang ponggawa akan membiayai kegiatan operasional tambak client-nya, berupa modal pembukaan dan perawatan, berikut suplai benur, pupuk dan racun yang diberikan sampai panen berhasil. Sebagai imbalannya, petambak (client) harus menjual hasil panen tambaknya kepada ponggawa yang telah memberikan modal usaha dalam pembukaan lahan tambak tersebut. Tidak sulit bagi seorang ponggawa menerima anggota baru ke dalam jaringan patronase yang dipimpinnya, selama calon klien (petambak/ penjaga empang) tersebut tidak memiliki sangkutan (hutang) dan masalah pidana dengan patron sebelumnya. Meskipun ada pula ponggawa yang hanya tertarik merekrut saudara/ karabat dekatnya atau setidaknya orang yang telah dikenalnya. Hubungan kerja dalam kegiatan pertambakan biasanya berlaku sistem bagi hasil 3:1, artinya tiga bagian hasil panen untuk pemilik tambak dan 1 (satu) bagian untuk penjaga ”empang” setelah dikurangi biaya produksi. Namun ada pula yang menggunakan sistem bagi hasil 75% untuk pemilik tambak dan 25% untuk penjaga ”empang” yang memenuhi sendiri kebutuhan hidupnya, itupun setelah dipotong biaya produksi atau 80% untuk pemilik tambak dan 20% untuk penjaga ”empang” yang kebutuhan hidupnya dipenuhi oleh pemilik tambak, setelah dipotong biaya produksi. Pemenuhan kebutuhan hidup penjaga ”empang” biasanya dicukupi oleh pemilik tambak, sedangkan kebutuhan modal operasional akan dipenuhi oleh ponggawa yang menjadi patronnya. Sementara untuk sebuah kebutuhan yang tidak sanggup dipenuhinya; seorang petambak/ ponggawa akan meminta bantuan pada ponggawa yang lebih besar atau pada perusahaan eksportir dengan sebuah kesepakatan yang berujung pada penyerahan sepenuhnya hasil tambaknya kepada pemberi pinjaman modal (Lenggono, 2003). Dalam banyak kasus; seorang petambak bebas/ ponggawa bebas yang memiliki hubungan baik dengan perusahaan eksportir, dapat langsung memperoleh bantuan
228
modal bagi kegiatan usahanya dan mendapat selisih keuntungan yang lebih baik, karena menjual hasil produksi tambaknya langsung pada perusahaan eksportir dibandingkan melalui perantaraan ponggawa/ pengumpul. Berdasarkan status sosial-ekonomi individu yang terlibat dalam jaringan bisnis pertambakan, terdapat dua jenis hubungan sosial, yaitu hubungan sosial yang bersifat horizontal dan vertikal. Hubungan sosial yang bersifat horizontal terjadi jika individu yang terlibat di dalamnya memiliki status sosial-ekonomi yang relatif sama, dengan kewajiban dan sumberdaya yang dipertukarkan relatif sama. Sebaliknya, di dalam hubungan sosial yang bersifat vertikal, individu-individu yang terlibat di dalamnya tidak memiliki status sosial-ekonomi yang sepadan, baik kewajiban maupun jenis sumberdaya yang dipertukarkan (Foster, 1967 dan Wolf, 1973). Hubungan sosial yang bersifat horizontal di dalam kehidupan sosial akan terwujud dalam bentuk hubungan tolong-menolong dan gotong-royong, sedangkan hubungan sosial yang bersifat vertikal biasanya terwujud dalam bentuk hubungan patron-clients.
Ponggawa I/ Eksportir Lokal
Ponggawa II
Cold Sorage/ Eksportir Asing/ Nasional
Pengumpul Bebas
Ponggawa III
Penyambang
Petambak Terikat
Petambak Terikat
Petambak Terikat
Petambak Bebas
Penjaga Empang
Penjaga Empang
Penjaga Empang
Penjaga Empang
Ponggawa II
Ponggawa II
Petambak Bebas
Petambak Terikat
Petambak Terikat
Penjaga Empang
Penjaga Empang
Penjaga Empang
Penyambang
Gambar 20. Jejaring Usaha Pertambakan Sumber: Data Primer Diolah (2011) Jalinan hubungan yang berkembang dalam kegiatan pertambakan adalah hubungan yang bersifat vertikal antara penjaga empang dan petambak – ponggawa, dimana ponggawa yang memiliki status sosial ekonomi jauh lebih mapan begitu mendominasi hubungan yang berlangsung. Perasaaan wajib bagi para ponggawa untuk memberikan pekerjaan/ bantuan kepada para penjaga empang/ petambak yang membutuhkan, keinginan menolong yang masih cukup menonjol ini tidak hanya didorong oleh semangat passe’ dan siri’, namun juga didorong oleh keinginan untuk memperkuat posisi hegemonis dalam menopang bisnis pertambakan yang sangat kompetitif. Hal ini, selain mampu meredam sifat “eksplosif” dari komunitas petambak –
229
penjaga empang, yang memiliki beban kehidupan yang relatif berat akibat kemiskinan relatif – kesenjangan ekonomi dan hasil panen yang tidak menentu. Juga mampu menertibkan para anggota dalam klik ponggawa untuk bisa tetap patuh menyerahkan hasil panennya, sekaligus loyal terhadap posisi hegemonis para patron. Meskipun pola hubungan kerja dalam pengelolaan tambak di kawasan ini tidak selalu sama seperti terlihat dalam Gambar 20., namun bisa dipastikan bahwa pola hubungan kerja yang ada hampir menyerupai “gurita”. Pola hubungan bisnis yang “mengurita” tersebut telah memposisikan perusahaan eksportir/ ponggawa I sebagai penguasa pertambakan sebenarnya di Delta Mahakam. Sebagian besar komunitas petambak di Kawasan Delta Mahakam memiliki pola yang hampir seragam dalam memasarkan hasil panennya, yaitu langsung dijual pada ponggawa yang menjadi patron-nya masing-masing. Namun demikian, ada pula petambak yang memasarkan hasil tambaknya langsung pada perusahaan eksportir karena tidak terikat hutang dengan ponggawa, ataupun di jual ke pasar lokal melalui penyambang, meskipun prosentasi mereka relatif kecil. Perusahaan eksportir – ponggawa sering memberikan komisi berupa pemberian es batu untuk mengawetkan hasil panen secara cuma-cuma, bahkan kemudahan tambahan bantuan modal pada petambak yang telah menjual langsung dalam jumlah besar hasil tambaknya pada mereka. Meskipun tidak ada sanksi tertulis namun ada sanksi moral yang telah menjadi kesepakatan bersama; bagi petambak yang terikat hutang pada seorang ponggawa tapi menjual hasil tambaknya langsung pada perusahaan eksportir atau ponggawa lainnya akan dikenakan sanksi pemutusan hubungan kerjasama dengan kewajiban melunasi hutangnya sekaligus dan tidak akan pernah mendapatkan bantuan – dikucilkan dari kelompok ponggawa bersangkutan. Tabel 20. Perusahaan Eksportir yang Dipasok Produk Udang dari Kawasan Delta Mahakam 2003 – 2009 Nama Perusa -haan SSM MM SC SKA ANM MBP
2003 Vol. Nilai
2004 Vol. Nilai
Ekspor Tahunan (Volume dlm Ton & Nilai dlm 000 US $) 2005 2006 2007 Vol. Nilai Vol. Nilai Vol. Nilai
Vol.
499 654 1.200 1.728 717 68
1.086 770 962 1.371 571 57
1.156 688 955 2.107 983 -
1.834 119 2.474 143 -
4.444 2.993 10.341 9.722 5.251 504
6.073 2.977 8.486 8.590 4.705 197
7.584 2.181 9.057 15.500 4.959 -
1.182 148 775 2.055 148 -
7.229 791 7.895 15.888 791 -
1.161 228 615 2.290 228 -
7.165 1.153 6.213 15.481 1.153 -
2008 Nilai 10.394 1.093 18.507 527 -
Vol. 1.898 1.926 39 -
Sumber: Data Primer Diolah, 2011 Keterangan:
- SSM - MM - SC - SKA - ANM - MBP
= Syam Surya Mandiei = Misaja Mitra = Samarinda Cendana = Sumber Kalimantan Abadi = Aromah Nelayan Mandiri = Manggar Bina Persada
Dari kecenderungan pola pemasaran hasil perikanan yang dilakukan oleh stakeholders yang terlibat dalam proses tersebut, akan terlihat betapa rumitnya rantai
2009 Nilai 11.366 15.315 171 -
230
perdagangan produksi hasil perikanan di Delta Mahakam. Di dalam kasus Desa Muara Pantuan misalnya, petambak sebagai produsen utama hasil perikanan akan menjual sebagian besar hasil tambaknya kepada ponggawa-ponggawa yang menjadi patronnya masing-masing, namun sebagian kecil ada yang menjual udangnya langsung kepada eksportir dan pengumpul/ penyambang. Selanjutnya oleh para ponggawa dan pengumpul/ penyambang hasil pengumpulan produk tambak akan dibawa kepada ponggawa I atau perusahaan eksportir. Sebagian kecil udang yang tidak masuk kualifikasi ekspor akan dilempar ke pasar lokal (Lenggono, 2004). Udang yang dipanen oleh para petambak, baik udang hasil budidaya maupun udang alam yang masuk ke dalam tambak akan dijual pada para ponggawa dan perusahaan eksportir, sebagian kecil lainnya dijual pada pengumpul/ penyambang. Sementara
hasil panen ikutan lainnya berupa kepiting dan ikan akan dijual pada
penyambang. Sebagian besar udang dijual dalam bentuk headless atau tanpa kepala, dengan harga jual yang berbeda tergantung dari status petambak. Perbedaan harga jual berkisar antara Rp. 5.000,- s/d Rp. 10.000,-/Kg udang, lebih rendah untuk petambak yang memiliki ikatan dengan ponggawa. Setelah memiliki stok yang cukup para ponggawa atau pengumpul/ penyambang akan membawa udang tersebut kepada perusahaan eksportir/ ponggawa I yang ada di Kecamatan Anggana dan Balikpapan. Frekuensi pengiriman berkisar antara 1 – 3 hari tergantung dari besaran panen setiap nyorong, dengan volume pengiriman berkisar antara 300 – 1.500 Kg. Meskipun tingkat kepadatan keanggotaan petambak – penjaga empang dalam organisasi-organisasi „klik ponggawa‟ memiliki tingkat kepadatan hubungan yang sangat tinggi, sehingga dapat mempermudah mobilisasi sumberdaya diantara anggota jaringannya, seperti dinyatakan Wellman (1982). Namun peneliti tidak melihatnya, akan bisa menjamin munculnya prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan di dalam kegiatan pertambakan. Hal ini terjadi, akibat proses pertukaran sosial yang berlangsung cenderung tidak sepadan dan menjurus pada bentuk hubungan eksploitasi, sebagai hasil dari hubungan diadik bersifat vertikal yang dikembangkan dalam kelembagaan patron-clients. Hierarki vertikal yang dikembangkan dalam hubungan ponggawa – petambak dan penjaga empang tidak bisa memberi peluang interdedependency yang kondusif bagi munculnya kerjasama yang saling menguntungkan dan adil. Meskipun demikian para petambak mengaku tidak merasa keberatan dengan pola hubungan seperti itu, selama keluarga mereka bisa tetap terjamin keberlangsungan hidupnya, mengingat kegiatan pertambakan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian produksi. Menurut Popkin (1986), perhatian besar terhadap subsistensi dan keamanan ini dinamakan prinsip “dahulukan selamat” (safety first); para petani (petambak) enggan
231
mengambil resiko (averse to risk) dan lebih memusatkan diri pada usaha menghindari jatuhnya produksi, bukan pada usaha memaksimumkan keuntungan-keuntungan harapan. Meskipun demikian, peneliti melihat adanya sifat spekulatif dalam diri petambak – penjaga empang dalam mendapatkan keuntungan pribadi, meskipun konsekuensinya bisa dikucilkan dan diabaikan oleh kelompoknya. Praktek-praktek seperti melakukan penjualan hasil produksi secara ilegal pada mereka yang bukan patronnya atau hasil usaha sampingan dari panen non udang setiap nyorong yang tidak dilaporkan pada patronnya, mencerminkan usaha-usaha spekulatif untuk mendapatkan keuntungan sepihak. 6.3.3
Pola Transaksi Bisnis Seperti orang Cina yang digambarkan Barton (1983), pendekatan orang Bugis
ke dalam bisnis tampaknya juga didasarkan pada hubungan pribadi dan kesepakatan lisan yang didukung oleh sanksi-sanksi kelompok informal yang dikaitkan dengan reputasi seseorang dalam jaringan tempatnya bergabung. Meskipun demikian, dalam tradisi Bugis praktik tersebut didorong oleh ikatan ke-Bugis-an passe’, yang terlekat dalam hubungan patronase, sedangkan dalam tradisi Cina di dorong oleh semangat guanxi setara dengan passe’ yang berarti solidaritas kelompok. Berbeda dengan passe’ yang selalu berpasangan dengan siri’ yang berati harga diri, guanxi selalu berpasangan dengan xinyong yang berarti kepercayaan. Konsekuensi penting dari ketergantungan pada
guanxi dan xinyong dimana kepercayaan, solidaritas sosial dan sebuah
masyarakat yang relatif tanpa kelas dan bebas telah bergabung di kalangan orang Cina, adalah terbangunnya nilai-nilai kebaikan sipil yang kondusif bagi penanganan bisnis yang berhasil dikalangan mereka sendiri (Mackie, 1999). Sementara konsekuensi ketergantungan orang Bugis pada siri’ dan passe’ adalah berbagai aspek perilaku sosial yang tampaknya saling berlawanan, yaitu persaingan dan kesetiakawanan (Pelras, 2006). Selanjutnya siri’ dan passe’ akan beroperasi dalam sistem hirarki (wari’) dalam masyarakat Bugis yang membeda-bedakan orang berdasarkan keturunannya, namun pada saat yang sama memberi peluang yang sama kepada orang-orang dari status sederajat, sehingga sangat kontradiktif. Akibatnya pola transaksi bisnis yang dibangun orang Bugis akan menunjukkan ciri-ciri spekulatif. Kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam yang penuh dengan resiko, tampaknya sangat sesuai dengan watak migran Bugis yang selalu berani menanggung resiko, selama resiko yang akan ditanggungnya sebanding dengan hasil yang diperolehnya. Pelras (2006), mencatat bahwa keinginan untuk memperkaya diri tampaknya merupakan motivasi paling kuat untuk dan menjadi pendorong utama usaha perdagangan sebagian besar dari mereka. Lebih lanjut menurut Pelras, gambaran
232
dalam banyak cerita Bugis setidaknya membenarkan tujuan seseorang yang ingin menghalalkan segala cara. Karenanya bagi orang Bugis transaksi bisnis yang dipraktikkan dapat diwujudkan dengan mengikuti aturan main yang membuka peluang terjadinya persaingan yang ketat, tanpa harus tergelincir ke dalam anarki yang dapat membahayakan tatanan kehidupan masyarakat secara luas. Dengan kerangka seperti itu, sifat baik seseorang bukan hal yang mutlak ada, akan tetapi sekedar sebagai alat untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Tidak heran jika mereka tidak akan merasa gentar dengan kegiatan usaha yang “menyerempet”
bahaya.
Termasuk
dalam
mengembangkan
kegiatan
usaha
pertambakan yang dikategorikan ilegal oleh otoritas berwenang, karena menguasai dan memanfatkan tanah-tanah negara tanpa izin. Selain itu, juga muncul kecenderungan lain dalam pembangunan tambak-tambak baru, yaitu harapan mendapatkan ganti rugi dari operasi migas di sekitar tambak yang mereka kuasai. Besarnya biaya ganti rugi yang disediakan oleh perusahaan-perusahaan migas atas dampak operasi yang mereka lakukan, setidaknya telah mendorong munculnya “spekulan-spekulan” yang berusaha memburu informasi keberadaan lokasi-lokasi eksplorasi dan pengembangan jaringan (pipa) distribus migas di sekitar kawasan tambak. Tidak sedikit diantara para spekulan tersebut, adalah mereka yang tergabung di dalam sebuah jaringan klik ponggawa tertentu. Bahkan, tidak sedikit diantara mereka yang terlibat di dalam kegiatan kejahatan dan kriminal, akibat ketiadaan peluang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik pada bidang pekerjaan yang legal. Dengan berprofesi sebagai penyelundup dikawasan perbatasan, pencurian hasil tambak ataupun aktivitas perdagangan ilegal lainnya. 6.3.4
Ideologi Kapitalisasi Sumberdaya Alam Resiko yang semakin tinggi telah mengumpan balik pada pengetahuan
mengenai dampak dari usaha budidaya yang mereka lakukan, namun ironisnya pola strategi pengelolaan sumberdaya pesisir (pertambakan) tidak mengalami perubahan. Praktek-praktek yang dapat merusak lingkungan pesisir tetap bertahan, karena dalam proses pembentukan skema yang memotivasi praktek tersebut, pengetahuan tentang kerusakan lingkungan tidak diaktifkan oleh rangsangan yang mereka terima. Ini tidak berarti ponggawa tidak mempunyai pengetahuan sama sekali tentang kerusakan lingkungan yang terjadi, hanya saja mereka belum mampu “belajar” mekombinasikan pengetahuan tersebut bersama dengan pengetahuan lain yang membentuk skema alternatif. Praktik yang ditradisikan selama ini kurang mendukung proses belajar yang mendorong terbentuknya skema alternatif, seringkali hanya mendorong terbentuknya asosiasi-asosiasi pengetahuan lain yang kurang mendukung pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan.
233
Padahal pengetahuan terbentuk dan dimodifikasi dalam praktek keseharian yang bisa melibatkan berbagai pihak diluar masyarakat yang bersangkutan, walau prosesnya tidak akan selalu sama untuk masing-masing individu. Menurut Winarto dan Choesin (2000), interpretasi individu terhadap suatu gejala merupakan hasil interaksi antara dua jenis struktur yang berbeda hakekatnya, yaitu struktur-struktur impersonal yang bersifat mental dan struktur-struktur intrapersonal yang berupa kejadian-kejadian nyata yang relatif stabil disekitar individu. Kerangka pemikiran akan menjelaskan tindakan dengan memperhatikan apa yang menjadi pengetahuan individual, sekaligus mendasarkan pada keteraturan-keteraturan dalam kehidupan sosial. Bisa dipahami jika kemudian, hampir semua ponggawa terobsesi untuk mengembangkan hamparan tambak seluas-luasnya, dengan pertimbangan ingin meningkatkan kapasitas produksi sehingga bisa tetap survive di tengah ketatnya persaingan dan ketidakpastian produksi. Selain karena tindakan mengkonversi hutan mangrove dalam realitas sosial dianggap lumrah dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai setempat. Sementara tingginya harga udang di pasar internasional dan ketidakpastian regulasi juga menjadi faktor luar yang ikut menentukan skema kapitalisasi sumberdaya yang
dikembangkan
masyarakat
lokal.
Artinya
tindakan
eksploitasi
terhadap
sumberdaya sesungguhnya berpangkal dari paradigma yang sangat materialistik, dimana prinsip maksimasi (maximization) dijadikan patokan dasar dalam memandang dan menentukan mode pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang sematamata direduksi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi (Korten,1987; 1993). Akibat jangka panjang adalah terjadinya degradasi ekologi, marjinalisasi peran komunitas lokal bahkan pengingkaran terhadap kompetensi mereka dalam mengelola sumberdaya secara lestari. Menurut Strauss dan Quinn (1997), selama individu-individu mengalami kejadian-kejadian yang mengikuti pola-pola yang kurang lebih sama, maka mereka akan belajar untuk membentuk skema-skema yang sama dalam menginterpretasi situasisituasi yang mereka hadapi. Skema itu sendiri berupa kombinasi berbagai unsur ilmu pengetahuan dan perasaaan individual yang dipakai untuk memperoleh informasi, sehingga bisa dipahami bagaimana pengetahuan yang sama bisa membuahkan skema berbeda dari satu individu ke individu yang lain, maupun dari situasi ke situasi. Sekaligus menjelaskan daya sentripetal dan sentrifugal dalam kehidupan sosial. Daya sentripetal menyangkut masalah bagaimana kebudayaan bertahan dan direproduksi, baik selama kehidupan individu maupun antar generasi. Sebaliknya, daya sentrifugal menyangkut kecendrungan-kecenderungan timbulnya variasi antar individu atau perubahan antar waktu. Mengapa ada individu atau kelompok yang secara konsisten
234
mempraktekkan hal-hal tertentu dalam kondisi sosial dan fisik yang berubah, bahkan kadang merugikan mereka? Mengapa ada individu atau kelompok lain yang berubah? Dalam telaahnya atas penggundulan hutan mangrove akibat keberadaan tambak udang di Thailand, Barbier dan Cox (2004) mengungkapkan bahwa kenaikan 10 persen harga udang akan mendorong terjadinya penggundulan hutan sebesar 1,6 persen. Situasi seperti itu, tampaknya juga tengah berlangsung dalam kegiatan pertambakan udang di kawasan Delta Mahakam. Seperti ditunjukkan Gambar 21. dimana peningkatan konversi hutan mangrove untuk kegiatan usaha pertambakan setidaknya juga disebabkan oleh peningkatan nilai satuan produksinya/ udang (bandingkan dengan Gambar 11.), namun akibatnya sangat fatal bagi eksistensi hutan mangrove karena semakin lama peningkatan nilai produksinya tidak sebanding dengan terjadinya pembukaan kawasan hutan mangrove yang berjalan dengan sangat intensif.
Ganbar 21. Perbandingan RTP dan Luas Area Tambak dgn Produksi dan Nilai Perikanan Budidaya Kaltim Sumber: Data Primer Diolah dari Laporan Tahunan Dinas Perikanan Kalimantan Timur 1979 - 2009 Keterangan: RTP adalah Rumah Tangga Perikanan Luas hutan mangrove Kalimantan Timur diperkirakan mencapai 447.000 Hektar Kegiatan usaha pertambakan yang penuh ketidakpastian dengan nilai satuan produksi yang juga cenderung berfluktuasi, ternyata tetap menjadi daya tarik tersendiri pagi para ponggawa untuk menginvestasikan hasil keuntungan usahanya dengan cara mengakumulasi alat produksi (tambak). Menurut Haji Sukri, hal ini disebabkan nilai harga tambak yang tidak akan mengalami penyusutan, bahkan nilainya cenderung
235
meningkat dari waktu ke waktu. Sekalipun hasil produksi tambak tidak menentu, Haji Sukri percaya bahwa “kegiatan usaha budidaya tambak, memiliki siklus kehidupan seperti layaknya mahluk hidup; ada masa kelahiran – masa pertumbuhan – masa produksi – masa tua/ kematian – kembali lagi pada masa kelahiran, begitu seterusnya”. Boleh saja sepetak tambak memasuki „masa senja‟ sehingga produksinya menurun, tapi suatu ketika tambak tersebut dipercaya akan “kembali dilahirkan” untuk berproduksi optimal. Karenanya bagi para ponggawa menginvestasikan keuntungan usaha dengan mengakumulasi tambak seluas-luasnya adalah sebuah pilihan rasional yang telah melalui serangkaian trial and error. Harus diakui bahwa pengelolaan dan pelestarian sumberdaya mangrove merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegiatan tersebut membutuhkan sifat akomodatif dari segenap pihak yang terkait, baik yang berada di sekitar kawasan maupun di luar kawasan. Pada dasarnya kegiatan tersebut hanya bisa dilakukan jika mampu memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan, namun demikian sifat akomodatif tersebut akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keberpihakan kepada masyarakat diberikan porsi yang lebih besar. Dengan demikian yang perlu diperhatikan adalah strategi untuk menjadikan masyarakat sebagai komponen utama penggerak pengelolaan dan pelestarian sumberdaya (mangrove), sehingga persepsi masyarakat dapat diarahkan pada cara pandang akan pentingnya keberadaan sumberdaya mangrove bagi kepentingan mereka. Pengembangan pengetahuan lokal dan keberadaan pranata sosial (jaringan patronase) tampaknya sangat relevan bagi upaya-upaya pengelolaan lingkungan alam berikut sumberdayanya, sebagai faktor yang berperan penting dalam menunjang keberlanjutan dan ketangguhan ekosistem pesisir (mangrove). Tapi ironisnya keduanya justru terabaikan dalam upayaupaya eksploitasi sumberdaya alam, akibat terpinggirkan oleh domain pengetahuan ilmiah, serta pranata-pranata sosial hasil reka-cipta agen-agen pembangunan. Meskipun saat ini semakin disadari bahwa pemerintah bukanlah sebuah institusi dengan aparatur solid yang mampu menanggulangi berbagai masalah lingkungan hidup yang semakin beragam dan dinamis. Namun harus diakui, bahwa pemerintah memiliki kemampuan yang sangat fungsional di dalam melakukan penetrasi kebijakan terkait dengan berbagai hal menyangkut sumberdaya milik negara di dalam KBK (hutan mengrove) dan aktivitas perdagangan produk pertambakan (udang). Yang sudah barang tentu, akan sangat menentukan dalam proses ”pendisiplinan” perilaku para pemanfaat sumberdaya sebagai strategi dasar. Harus dipahami jika melalui perilakulah, manusia berinteraksi dengan manusia lain dan lingkungan sekitarnya, dimana banyak perilaku manusia dapat mempengaruhi kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam disekitarnya. Yang perlu dilakukan adalah mendorong terwujudnya kebijakan insentif
236
dan disinsentif bagi para stakeholder, sehingga secara perlahan mampu merubah perilakunya menjadi lebih ramah terhadap lingkungan. Di dalam praktiknya, dapat dikembangkan metode-metode sosial-budaya lokal yang ramah terhadap lingkungan, dengan pemberian pemahaman-pemahaman dan membangkitkan kepedulian masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir (mangrove). Mengingat arti penting ponggawa berikut jaringan patronasenya, maka pengembangan metode pengelolaan yang direncanakan dapat dimulai dengan menyentuh langsung kepentingan pragmatis dari para ponggawa, misalnya dengan melakukan ”propaganda” penolakan produk udang yang tidak ramah lingkungan (area tambak di dalam kawasan hutan) oleh buyer. Bisa juga dengan intervensi kekuasaan, tidak memberikan izin kelayakan ekspor. Meskipun terkesan elitis, pola pendekatan ini pada akhirnya ditujukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan keterbukaan dalam perencanaan pembangunan kawasan (ekonomi lokal) secara keseluruhan, khususnya
yang
berkaitan
dengan
ekosistem
pesisir
(mangrove),
dengan
memanfaatkan kekuatan struktur budaya lokal sebagai salah satu fokus prioritas.
6.4
Habitualisasi: Tambak Yang Mendisiplinkan Begitu luwesnya sistem mobilitas sosial pada masyarakat Bugis dewasa ini,
menjadikan lapisan “penguasa baru” tidak hanya dapat diisi oleh lapisan Anakarung saja, namun juga dapat diisi oleh orang-orang yang berasal dari lapisan rakyat kebanyakan (To Maradeka), yang telah menunjukkan prestasi sosial tertentu. Kesempatan untuk melakukan mobilitas sebagai “penguasa baru” sedikit-banyak membentuk karakter orang Bugis sebagai migran yang tangguh menemukan bentuknya seperti sekarang. Sistem hirarki orang Bugis, meskipun membedakan orang berdasarkan asal-usul keturunannya, pada saat yang sama juga memberi peluang yang sama kepada orang-orang dari status berbeda. Dari dahulu peluang tersebut diberikan baik pada kalangan kecil bangsawan lapisan tertinggi untuk menduduki jabatan penting kerajaan, maupun bagi kalangan orang biasa yang merupakan bagian terbesar masyarakat. Walaupun garis batas antara orang-orang berstatus berbeda terus dipertahankan, namun persaingan di kalangan orang-orang berstatus berbeda ataupun sederajat untuk memperoleh jabatan, pengaruh, maupun kekayaan tetap terbuka lebar. Kecendrungan yang luar biasa untuk selalu mencari peluang ekonomi yang lebih baik tampaknya menjadi ciri khas yang melekat dalam diri orang Bugis yang berasal dari lapisan rakyat kebanyakan. Mereka berusaha bekerja keras dengan sepenuh hati untuk bisa melakukan mobilitas vertikal, meningkatkan taraf ekonomi keluarganya, karena hanya dengan cara seperti itulah seorang yang tidak memiliki apapun bisa memperbaiki kondisi hidupnya. Hal ini diakui Haji Mangkana sebagai salah
237
satu kunci keberhasilannya menjadi eksportir lokal terbesar di kawasan Delta Mahakam. Menurutnya keberhasilan tersebut mampu dicapainya, berkat kesabarannya dalam menghadapi kegagalan dan belajar dari kegagalan tersebut. Bagi Haji Mangkana “bekerja itu berkeringat”, “bekerja adalah ibadah”, sehingga apapun hasilnya adalah pahala. Dengan keyakinan seperti itu, ia telah menempatkan dirinya dalam posisi tidak pernah merasa rugi dengan apa yang telah ia kerjakan meskipun hasilnya nihil, baginya hasil dari pekerjaan di dunia ini hanyalah bonus dari pahala di akhirat. Konsepsi inilah yang kemudian melahirkan karakter pekerja keras yang pantang menyerah sekaligus iklas menerima apapun hasil dari jerih payahnya. Karakter sebagai pekerja keras yang melekat pada diri para petambak ini, mendapatkan semangatnya dari proses pendisiplinan diri yang terjadi secara terus-menerus dalam kegiatan pertambakan. Hampir semua ponggawa yang saat ini tetap eksis, memulai merintis usahanya sebagai seorang petambak dan ketika menjadi petambak inilah para ponggawa mendapatkan proses pembelajaran dan penggemblengan untuk mendisiplinan diri. Mengapa hal ini perlu diungkap? Karena menurut hemat peneliti, pada masa inilah mereka melalui sebuah tahapan alamiah yang akan menentukan wujud karakter usaha pertambakan yang akan dikembangkan. Meskipun tidak menunjukkan keseragaman, peneliti melihat tahapan pengelolaan tambak yang akan dilalui oleh petambak hingga masa panen memiliki kesamaan, meskipun diantara mereka memberikan perlakuan yang berbeda terhadap tambaknya. Ciri khas dari pengelolaan tambak-tambak tradisional di kawasan Delta Mahakam, adalah tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap alam. Karenanya setiap petambak harus patuh pada ketantuan alam, jika ingin mendapatkan hasil produksi yang maksimal atau setiidaknya jika ingin bisa tetap survive. Secara alamiah, para petambak akan terdidik untuk mengikuti ketentuan alam, proses pembelajaran dan penggemblengan secara terus-menerus tersebut, pada akhirnya akan menuntun naluri mereka untuk bisa mendisiplinkan diri. Kelak kebiasaan untuk selalu mendisiplinkan diri dalam kegiatan pertambakan ini akan terbawa dalam kehidupan sosial, sehingga tanpa disadari menjadi “habitus” yang kokoh bagi keberlangsungan kegiatan usaha dibidang lainnya. Banyak dari para ponggawa sukses yang pada awalnya berprofesi sebagai petambak, ternyata tetap membawa dan terpengaruh secara nyata oleh “habitus-nya” (lihat Gambar 22.), sehingga dengan mudah mampu mendisiplinkan dirinya untuk berprestasi secara ekonomi.
Aktivitas
pertambakan,
telah
melakukan
pengaturan
secara
total,
menempatkan petambak dalam posisi melakukan “penjagaan” secara tetap – disiplin, sehingga tanpa disadari telah mendidik dan mengubah mereka menjadi seperti apa yang dituntut oleh alam, yaitu menjadi patuh, jinak, produktif, mampu bekerja keras, bisa mengatur diri sendiri, hingga mampu mengendalikan diri.
238
Kesuksesan Ekonomi
Habitus
Modal Budaya Proses Borjuasi
Modal Budaya
Kegagalan Ekonomi
Habitus
Gambar 22. Siklus Reproduksi Habitus Sumber: Harker Richard, Cheelen Mahar dan Chris Wilkes, 2008 Interpretasi individu terhadap suatu gejala merupakan hasil interaksi antara dua jenis struktur yang berbeda hakekatnya, yaitu struktur-struktur impersonal yang bersifat mental dan struktur-struktur intrapersonal yang berupa kejadian-kejadian nyata yang relatif stabil disekitar individu (Strauss dan Quinn, 1997 dalam Winarto dan Choesin, 2000).
Kerangka
pemikiran
mereka
menjelaskan
tindakan
manusia
dengan
memperhatikan apa yang menjadi pengetahuan individual, sekaligus dengan melihat keteraturan-keteraturan yang ada dalam kehidupan sosial. Mengikuti apa yang dinyatakan Bourdieu tentang habitus, maka Strauss dan Quinn (1997) dalam Winarto dan Choesin (2000), melihat bahwa selama individuindividu mengalami kejadian-kejadian yang mengikuti pola-pola yang kurang lebih sama, maka mereka akan belajar untuk membentuk skema-skema yang sama dalam menginterpretasi situasi-situasi yang mereka hadapi. Skema itu sendiri berupa kombinasi berbagai unsur ilmu pengetahuan dan perasaaan individual yang dipakai untuk memperoleh informasi, sehingga kita bisa memahami bagaimana pengetahuan yang sama bisa membuahkan skema-skema yang berbeda dari satu individu ke individu yang lain, maupun dari situasi ke situasi. Teori skema yang diajukan oleh Strauss dan Quinn ini akan membantu dalam menjelaskan daya-daya sentripetal dan sentrifugal, dalam kehidupan sosial. Daya sentripetal menyangkut masalah bagaimana kebudayaan bertahan dan direproduksi, baik selama kehidupan individu maupun antar generasi. Sebaliknya, daya sentrifugal menyangkut kecendrungan-kecendrungan timbulnya variasi antar individu atau antar waktu (perubahan). Mengapa terdapat individu-individu atau kelompok yang secara konsisten mempraktekkan hal-hal tertentu dalam kondisikondisi sosial dan fisik yang berubah dan kadangkala merugikan mereka? Mengapa ada individu atau kelompok lain yang berubah?
239
Menurut Pierre Bourdieu, habitus merupakan struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yang ada dalam ruang sosial. Habitus adalah produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu. Dalam perjalanan hidupnya manusia memiliki sekumpulan skema yang terinternalisasi dan melalui skema-skema itu, mereka mempersepsi, memahami, menghargai dan mengevaluasi relitas sosial. Jelasnya habitus merupakan hasil pembelajaran lewat pengalaman, aktivitas bermain dan juga pendidikan masyarakat dalam arti luas. Pembelajaran itu terjadi secara halus, tak disadari dan tampil sebagai hal wajar, sehingga seolah-olah sebagai sesuatu yang alamiah, seakan-akan terberi oleh alam atau “sudah dari sananya” (Takwin, 2008). Habitus mendasari ranah yang hadir terpisah dari kesadaran individual, ranah merupakan metafora yang digunakan Bourdieu, menggambarkan kondisi masyarakat yang terstruktur dan dinamis dengan daya-daya yang dikandungnya. Dalam konteks penelitian ini, ranah merupakan jaringan relasi antar posisi-posisi objektif dalam suatu tatanan sosial pertambakan, yang terdiri dari beragam tatanan sosial pertambakan dan memiliki sejumlah hubungan terhadap satu sama lainnya, serta sejumlah titik kontak. Ranah mengisi ruang sosial yang analog dengan realitas sosial. Ruang sosial individu dikaitkan melalui waktu dengan serangkaian ranah tempat orang-orang berebut berbagai bentuk modal, khususnya akses atas sumberdaya agraria/ hutan mangrove yang dapat dikonversi menjadi area pertambakan. Di dalam suatu ranah ada pertaruhan, kekuatan-kekuatan serta orang yang memiliki banyak modal dan orang yang tidak memiliki modal. Setiap ranah menuntut individu untuk memiliki modal-modal khusus agar dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya. Dalam ruang sosial inilah, individu dengan habitus-nya berhubungan dengan individu lain dan berbagai realitas sosial yang menghasilkan tindakan-tindakan yang sesuai dengan ranah dan modal yang dimilikinya, sehingga dapat menghasilkan praktik yang diharapkan. Praktik merupakan suatu produk dari relasi antara habitus dan ranah sebagai produk sejarah, yang juga merupakan produk dari medan daya-daya yang ada dalam masyarakat. Karenanya dengan habitus, pemahaman terhadap ranah dan
penguasaan
modal,
individu
dapat
mempertanyakan
struktur,
bahkan
mengubahnya sesuai dengan keinginan. Seperti diketahui, kehidupan menjadi petambak bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah, kegiatan tersebut merupakan sebuah “ritual” yang menuntut totalitas diri petambak (tidak hanya secara fisik namun juga bathin) untuk bisa menyatu dengan "roh semesta” (tambak-tambak) yang akan dikelolanya. Ada dimensi spiritual yang ikut menggerakkan kegiatan usaha pertambakan udang. Menurut Haji Rustam yang juga
240
Wakil Direktur Syam Surya Mandiri, “kegiatan usaha pertambakan udang berbeda dengan kegiatan usaha lain seperti perkebunan kelapa sawit, dimana seorang pengusaha bermodal besar dari luar daerah/ asing, dapat dengan mudah berhasil mengembangkan usaha perkebunan kelapa sawitnya tanpa keterlibatan langsung dari sang pemodal. Di dalam kegiatan budidaya tambak di kawasan Delta Mahakam, hampir semua petambak yang kemudian kedudukannya berkembang menjadi ponggawa hingga eksportir yang berhasil, adalah mereka yang membangun tambak-tambaknya dari nol”. Tidak ada satupun dari mereka berangkat dari latar belakang pengusaha sukses yang memiliki modal besar. Mereka semua “merangkak” dari bawah, hanya mereka yang sabar, tekun dan mampu mendisiplinkan diri untuk secara total bekerja dan mendedikasikan dirinya dalam mengelola budidaya tambak udang miliknya yang akan berhasil menjadi “pemenang” dalam persaingan dan ketidakpastian produksi. Jika dideskripsikan, proses kegiatan pertambakan di Delta Mahakam, setidaknya akan melalui tahapan berikut; pertama, pengeringan tanah dasar, merupakan prasyarat penting dalam persiapan lahan untuk budidaya udang, namun pembudidaya udang di Delta Mahakam tidak melakukan prosedur ini, untuk mempersingkat siklus pemeliharaan setelah panen. Kolam yang telah dipanen biasanya tanpa memperhitungkan baik buruknya hasil panen, langsung diisi kembali dengan air. Tahapan kedua, pemupukan, sebagian besar pembudidaya udang di Delta Mahakam menggunakan pupuk organik, berupa kotoran ayam atau kotoran ternak lainnya. Selain harganya murah, para pembudidaya udang merasakan bahwa pemakaian pupuk kandang ini dapat mempercepat pertumbuhan kelekap dan pembentukan plankton yang menjadi pakan alami udang, karena selama pemeliharaan udang hanya mendapatkan pakan alami, tanpa diberi pakan tambahan. Sikap pragmatis yang ditunjukkan para patambak dalam tahapan pertama, merupakan bentuk adaptasi terhadap tingginya tingkat keasaman tanah di kawasan Delta Mahakam yang sulit untuk diatasi. Sementara pengetahuan yang terbentuk telah mengumpan balik atas keberlangsungan tahapan kedua yang khas. Tahapan ketiga, pergantian air tambak, dilakukan dengan mengandalkan pasang surut air laut, pengisisan air dilakukan pada sore hari saat air sedang pasang, dengan cara membuka pintu air yang terpasang tanpa penyaring. Pada saat air dimasukkan ke tambak, biasanya udang bintik, ikan dan kepiting ikut terbawa masuk, yang akan menjadi hasil sampingan saat nyorong (panen per-dua minggu). Pengolahan air, untuk menjaga air dalam kondisi segar, merupakan kunci keberhasilan usaha pertambakan di kawasan Delta Mahakam, mengingat air sebagai media utama bagi udang yang akan dibudidayakan di dalam tambak. Seperti dinyatakan Dahuri, Dkk (2001) yang mengingatkan arti penting pengendalian pengaruh lingkungan yang masuk
241
ke dalam tambak melalui aliran air, karena volume dan kualitas air serta hama sangat berpengaruh terhadap keberhasilan/ produktivitas tambak. Sementara menurut informan kunci yang juga seorang praktisi pertambakan setempat, setidaknya terdapat dua tehknik pengolahan air yang sangat bergantung pada “tanda-tanda alam” dan harus dipahami oleh para petambak. 1) Penguasaan tehknik pasang surut, dengan mencermati pasang surut air untuk menjaga kestabilan kehidupan udang. Jika air laut pasang pintu air harus dibuka, sehingga sejajar dengan air diluar, namun begitu konda (surut) air harus dirembeskan beberapa sentimeter dari atas pintu air. Pada saat konda tersebut air di dalam tambak pun harus tetap dijaga, dengan mengeluarkan air di dalam tambak bagian bawah. Penguasan tehknik pasang surut ini, sangat menentukan sedikit banyaknya udang bintik/ ikan yang masuk ke dalam tambak dan dapat di panen pada saat nyorong. 2) Penguasaan tehknik pengolahan air hujan, dengan membuka pintu air bagian atas/ satu keping kayu, hal ini perlu dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya perubahan suhu, tingkat keasaman dan salinitas air yang dapat berakibat fatal bagi kehidupan udang. Senada dengan pandangan Adiwibowo (1983), yang mendapati empat faktor lingkungan biofisik yang menentukan pola adaptasi sistem sosial tambak, yaitu ; 1) Pasang surut air laut; 2) Curah hujan; 3) Bahan bawaan air laut dan sungai; 4) Kondisi elevasi. Keempat faktor inilah yang menurutnya dimanipulasi sistem sosial dalam upaya “membentuk” suatu lingkungan ekologi baru: ekosistem tambak. Suatu ekosistem yang hanya dapat melangsungkan aktivitasnya karena di dalamnya terlibat faktor tata-nilai, norma-norma, aturan-aturan dan alat-alat yang bergerak dalam lingkup pengelolaan sumberdaya. Dimana pengelolaan yang harmonis dengan lingkungan disekitarnya, akan memberikan masyarakat setempat jaminan kelangsungan hidup, bagi sistem sosialnya. Selanjutnya menurut Adiwibowo (1983), kedua sistem ini dari waktu ke waktu akan berinteraksi secara dinamis dan lambat-laun merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, yakni sistem sosial-ekologi tambak. Dari sini dapat dipahami, jika pengolahan tambak (media air payau) akan menentukan keberhasilan kegiatan pertambakan udang dan mendapatkan skala prioritas utama dari para petambak. Padahal, seperti kita ketahui pasang-surut air laut adalah aktitas alamiah yang selalu berulang tiap hari – proses pergantian air tambak juga berpotensi menyebarkan penyakit bagi udang yang dibudidayakan, sementara turunnya hujan sangat bergantung dari keadaan cuaca. Kondisi inilah yang kemudian, menuntut setiap petambak untuk selalu waspada dan mendisiplinkan diri dalam mengelola air tambak. Mereka harus “pandai membaca” tanda-tanda alam, jka ingin produksi tambaknya berhasil, dengan mendisiplinkan diri untuk selalu waspada dan sigap terhadap perubahan lingkungan disekelilingnya. Meskipun demikian, tidak sedikit
242
diantara mereka yang tidak peduli dan bersikap pasrah, menyerahkan sepenuhnya hasil produksi tambaknya pada kemurahan alam semata. Bisanya mereka, hanya menyambangi tambaknya menjelang nyorong, berharap bisa memanen udang bintik yang masuk bersama air pasang (segar) yang sengaja dimasukkan ke dalam tambak. Proses pendisiplinan diri tersebut, pada gilirannya mampu menyeret mereka yang telah “terformat”, untuk melakukan pendisiplinan diri dalam banyak hal diluar kegiatan pertambakan. Banyak diantara petambak yang kini telah berhasil menjadi ponggawa, bahkan eksportir yang berhasil, tampaknya telah dibentuk oleh keadaan tersebut, oleh ritual pertambakan yang menuntut pendisiplinan diri, disiplin pada waktu dan sigap terhadap perubahan. Hal ini tentu saja akan menjadi modal dasar penting bagi yang bersangkutan, dalam menjalankan kegiatan bisnis perikanan yang sangat kompetitif dan penuh ketidakpastian.
6.5
Ikhtisar Setelah melakukan tinjauan historis pada Bab IV, dilanjutkan dengan tinjauan
struktural pembentukan kapitalisme Lokal pada Bab V dan tinjuan etika moral migran Bugis pada Bab VI, maka dalam Sub Bab ini akan diberikan tinjauan komprehensif atas ketiga Bab yang telah dipaparkan. Secara historis masyarakat di kawasan Delta Mahakam telah lama terkoneksi dengan aktivitas kapitalisme global, setidaknya sejak akhir abad-19 ketika kawasan ini mulai dimanfaatkan migran Bugis dari Talake untuk melakukan kegiatan perkebunan kelapa dan perdagangan kopra, serta aktivitas perompakan, hingga ditemukannya minyak bumi menjelang abad-20 di Sanga-Sanga. Proses persentuhan dengan golombang kapitalisme global terus berlangsung beriring dengan adaptasi etika moral, hingga “terbukanya” peluang besar untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan perikanan tangkap sejak 1974, ketika beberapa perusahaan nasional – internasional skala ekspor mulai mengekspansi kawasan Delta Mahakam. Sejak itulah muncul ponggawa-ponggawa penerus yang lebih ekspansif dan visioner dibandingkan pendahulunya ponggawa perintis. Para kapitalis lokal yang dilahirkan oleh proses industrialisasi perikanan inilah yang kemudian memanfaatkan momentum “keunggulan pada kesempatan pertama untuk memulai” pasca pelarangan trawl secara total pada 1983. Sebagian besar mereka berhasil mengkonversi hutan mangrove yang saat itu tidak memiliki nilai intrinsik untuk dirubah menjadi area-area pertambakan yang sangat luas. Fenomena inilah yang kelak mendorong terjadinya mobilitas vertikal secara “fantastis” pada banyak ponggawa menjelang akhir abad-20, sehingga menyebabkan terjadinya kapitalisasi pertambakan.
Gambar 23. Proses Sejarah Pembentukan Ekonomi Lokal
244
Setidaknya dalam dimensi struktural material terjadi beberapa fase sebelum terjadinya kebangkitan ekonomi lokal pertambakan di Delta Mahakam (seperti ditunjukkan
Gambar
23.)
Pertama,
Fase
Perikanan
Tangkap,
dimulai
sejak
beroperasinya industri perikanan Jepang di kawasan Delta Mahakam pada 1974.
Kedua,
Fase
Perikanan
Budidaya,
terjadi
pasca
pelarangan
trawl
yang
menyebabkan terjadinya pengalihan kegiatan ekonomi nelayan lokal secara menjadi petambak. Ketiga, Fase Konsolidasi yang ditandai dengan terakumulasinya alat produksi
hingga
terkonsentrasinya
raw
material
pada
kelompok-kelompok
ponggawa yang menyebabkan colapse-nya industri perikanan ekspor hingga terintegrasinya ekonomi lokal pertambakan ke dalam ekonomi kapitalisme global. Sementara dalam dimensi etika moral – rasionalistik, terjadi perubahan mendasar pada diri pelaku usaha pertambakan. Pertama, terjadinya reproduksi kultural yang berhasil dikonstruksi oleh para ponggawa dengan menggariskan nilai dasar “bekerja adalah ibadah”, sehingga apapun hasilnya adalah pahala. Konsepsi inilah yang kemudian melahirkan karakter pekerja keras yang pantang menyerah sekaligus iklas menerima apapun hasil dari jerih payahnya. Kedua, adalah terbangunnya “medan interaksi” yang menjadi wadah bagi terjadinya transformasi, legitimasi dan habitualisasi, sehingga menghasilkan wacana rasionalitas spiritual baru. Kunci sukses, meskipun dipercaya merupakan kehendak Tuhan, namun kehendak Tuhan dapat dicapai melalui upaya memperbaiki we’re’ (nasib) tidak baik/ tidak menguntungkan, dengan bekerja keras, sehingga dapat membangun simbol-simbol “peruntukan fitrah”. Akibatnya, transformasi kehidupan keagamaan yang lebih berporos pada agen (“orang yang dianggap saleh”) menjadi penting dalam “medan interaksi” yang dikembangkan masyarakat setempat. Kecendrungan tersebut kemudian menjadi penanda bahwa menjadi orang kaya itu penting, karena menjadi tolak ukur kehormatan sosial yang dapat memenuhi kepuasan duniawi, sedangkan bertingkah laku yang mengarah pada simbol-simbol agama secara sosial dianggap “taat beragama”, karena dapat memenuhi kepuasan ukhrawi.
Pada
gilirannya
transformasi
kehidupan
keagamaan yang berporos pada agen, semakin memperkokoh pola hubungan vertikal dalam budaya patronase pada masyarakat Bugis perantauan di Delta Mahakam.