VI. PEMBAHASAN UMUM Strategi pengendalian B. tabaci dengan Perpaduan Pemanfaatan Tanaman Pembatas Pinggir dan Predator Penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) terdiri atas
6 komponen
pengendalian yang terdiri atas pengendalian kultur teknis, pengendalian hayati, pengendalian kimiawi, pengendalian dengan varietas tahan, pengendalian fisik dan mekaniks, pengendalian melalui peraturan (Watson et al. 1975). Arah pengembangan teknologi PHT
pada pertanaman cabai merah dalam konteks
petani di Indonesia lebih menekankan pengendalian hama yang berjalan secara alami dan mengurangi sekecil mungkin intervensi manusia yang membahayakan lingkungan dan konsumen, seperti penggunaan pestisida kimia konvensional berspektrum lebar (Untung 2006). Sugiyama (2005) dan Setiawati et al. (2007) melaporkan bahwa B. tabaci sudah mulai menunjukkan gejala resisten terhadap beberapa jenis insektisida seperti golongan organofosfat, karbamat dan piretroid sintetik. Penggunaan varietas tanaman unggul tahan hama dan budidaya tanaman sehat dapat meningkatkan kemampuan tanaman menahan serangan hama dan penyakit (Untung 2006), namun sampai saat ini belum diketahui varietas cabai merah yang tahan terhadap B. tabaci dan Begomovirus yang ditularkannya atau terhadap salah satunya. Pengendalian secara fisik dan mekanik seperti pengunaan perangkap warna dengan memperhitungkan sifat biologi dan ekologi hama dapat menekan populasi hama, tetapi pengendalian ini masih mengundang kontroversi. Sebagian petani berpendapat kedua pengendalian tersebut kurang praktis dan justru mengundang hama masuk ke lahan pertanaman yang diusahakan. Untuk itu diperlukan upaya pengendalian yang lebih berlandaskan pendekatan ekologi dan ekonomi, yaitu tidak mencemari lingkungan, aman bagi pemakai dan konsumen cabai merah, relatif murah, tetapi juga efektif terhadap hama B. tabaci. Pemanfaatan tanaman pembatas pinggir (border crops) merupakan salah satu alternatif pengendalian yang dapat menekan populasi B. tabaci di pertanaman cabai merah dan aman terhadap lingkungan. Rerata populasi imago B. tabaci pada pertanaman cabai merah dengan perlakuan pembatas pinggir tanaman jagung, pembatas pinggir tanaman orok-orok, pembatas pinggir kain sifon dan tanpa
75 pembatas pinggir berturut-turut 23.30 ekor, 24.88 ekor, 27.55 ekor dan 28.56 ekor. Menurut Difanzo et al. (1996) dan Fereres (2000) pemanfaatan tanaman pembatas pinggir dapat menekan kejadian penyakit tanaman oleh virus yang ditularkan melalui serangga vektor. Pemanfaatan tanaman pembatas pinggir merupakan salah satu alternatif pengendalian yang kompatibel jika dipadukan dengan musuh alami dalam hal ini predator, karena tanaman pembatas pinggir mempunyai fungsi ganda. Pemanfaatan tanaman pembatas pinggir disamping sebagai penghalang masuknya imago B. tabaci ke pertanaman cabai merah, juga dapat mendorong konservasi musuh alami seperti predator (Stehr 1982), yaitu sebagai tanaman refugia yang berfungsi untuk berlindung sementara dan penyedia polen untuk makanan alternatif jika mangsa utama populasinya rendah atau tidak ada (Untung 2006). Setiawati (2005), mengungkapkan beberapa spesies predator yang diketahui efektif terhadap B. tabaci antara lain C. transversalis, M. sexmaculatus, Coenosia attenuate, D. pusillus, Deracocoris pallens, Euscius hibisci, Orius albidipennis, Scymus syriacus. dan Chrysoperla carnea. Sudrajat (2009) dan Hidayat et al. (2009) melaporkan bahwa dari hasil explorasi musuh alami di Jawa Barat, Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta ditemukan beberapa jenis predator yang mempunyai potensi untuk mengendalikan hama kutukebul B. tabaci yaitu M. sexmaculatus, C. transfersalis, Harmonia sp., Curinus sp., Delphastus sp, Verania lineata (Coleoptera: Coccinellidae), dan Paederus fusipes (Coleoptera: Stapilinidae). Berdasarkan uraian di atas dan hasil penelitian yang dilaporkan dalam disertasi ini, maka pembahasan berikut ini akan difokuskan pada potensi pemanfaatan tanaman pinggir di pertanaman cabai merah dan predator untuk menekan populasi hama B. tabaci dan insidensi penyakit daun keriting kuning yang ditularkannya. Hasil penelitian tentang pengaruh tanaman pinggir terhadap populasi B. tabaci menunjukkan bahwa penggunaan sungkup dapat melindungi pesemaian dari B. tabaci dan menunda infeksi virus selama 2 minggu. Kombinasi penggunaan sungkup di pesemaian dan tanaman pinggir jagung atau orok-orok di sekeliling pertanaman cabai merah efektif mengendalikan hama kutukebul (B. tabaci), sehingga kejadian penyakit daun keriting kuning dapat ditekan sebesar
76 50.80% dan pada gilirannya kehilangan hasil panen cabai merah akibat penyakit tersebut juga dapat ditekan. Rerata hasil panen cabai merah dengan perlakuan pembatas pinggir tanaman jagung, pembatas pinggir tanaman orok-orok, pembatas pinggir kain sifon dan tanpa pembatas pinggir berturut-turut 27.58 kg/plot, 27.56 kg/plot, 16.08 kg/plot
dan 15.66 kg/plot. Keunggulan dari
pemanfaatan tanaman pinggir (jagung dan orok-orok) tidak membahayakan terhadap lingkungan dan aman terhadap konsumen, serta dapat meningkatkan daya saing di pasaran global karena tidak meninggalkan residu bahan kimia dalam produk panennya. Keunggulan lain dari penggunaan tanaman pinggir di pertanaman cabai merah adalah dapat berfungsi sebagai konservasi musuh alami terutama predator. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan tanaman pinggir di pertanaman cabai merah berpengaruh terhadap kelimpahan predator penting B. tabaci. Kelimpahan predator tertinggi ditemukan di pertanaman cabai dengan perlakuan jagung sebagai pembatas pinggir yaitu sebesar 48 ekor/15 tanama dan yang terendah pada petak perlakuan dengan kain sifon sebagai pembatas pinggir yaitu sebesar 18.67 ekor/15 tanaman, sedangkan pada petak perlakuan tanpa pembatas pinggir sebesar 31.66 ekor/15 tanaman. Hal tersebut terjadi karena dibandingkan tanaman orok-orok,
tanaman jagung lebih banyak menghasilkan nektar dan
tepung sari serta ditemukan mangsa alternatif diantaranya kutudaun. Tersedianya nektar dan tepung sari serta mikrohabitat yang sesuai menyebabkan predator dapat mempertahankan kemampuan reproduksinya dan meningkatkan lama hidup, sedangkan mangsa alternatif tersebut merupakan sumber pakan (mangsa) yang tersedia dalam waktu lama bagi predator yang pada umumnya bersifat generalis. Predator ditemukan sejak awal pertumbuhan tanaman cabai (4 mst), pada saat populasi B. tabaci masih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa predator tersebut mempunyai kemampuan menginvasi dan mengolonisasi suatu agroekosistem secara cepat. Dengan demikian penggunaan tanaman jagung sebagai pembatas pinggir di pertanaman cabai merah sangat kompatibel jika dipadukan dengan pengendalian hayati khususnya predator untuk mengendalikan B. tabaci dan penyakit daun keriting kuning cabai yang ditularkannya. Di tajuk pertanaman cabai tersebut ditemukan 9 jenis predator yang berpotensi sebagai agens hayati
77 pengendalian B. tabaci, dengan jenis predator yang dominan adalah
M.
sexmaculatus, C. transversalis, dan V. lineata. Predator M. sexmaculatus, C. transversalis dan V. lineata mempunyai daya pemangsaan yang sama tinggi terhadap B. tabaci yaitu berkisar 46 – 48 nimfa/hari atau 9 imago/hari. Predator M. sexmaculatus lebih menyukai (preference) A. gossypii dan M. persicae, dan predator C. transversalis lebih menyukai T. parvispinus, sedangkan V. lineata lebih menyukai B. tabaci. Hasil analisis regresi logistik (koefisien linier P 1 = - 0.1006, X2 = 34.99) predator V. lineata memperlihatkan tanggap fungsional tipe II. Kerapatan mangsa B. tabaci semakin meningkat maka mangsa yang dikonsumsi 0leh V. lineata semakin meningkat, namun proporsi mangsa yang dikonsumsi semakin menurun. Predator V. lineata masih mampu menemukan dan mengkonsumsi seluruh mangsa (100%) pada kerapatan mangsa rendah (1 sampai dengan 3 nimfa). Hasil analisis dari persamaan cakram pada tanggap fungsional tipe II (R2 = 0.9239) diperoleh nilai laju pencarian mangsa seketika (a) sebesar 0,3522/jam dan nilai masa penanganan mangsa (Th) sebesar 0.151jam. Daya pemangsaan maksimum 6 nimfa/jam. Oleh karena itu, kumbang V. lineata mempunyai potensi dan prospek paling baik untuk dikembangkan sebagai kandidat agens hayati untuk pengendalian B. tabaci di pertanaman cabai merah. Untuk pengembangan predator tersebut maka penelitian lanjutan yang perlu dilakukan adalah teknik pembiakan massal dan pelepasan di lapangan terutama pada pertanaman cabai merah, mengingat populasi nimfa B. tabaci sering ditemukan lebih rendah dibandingkan serangga hama lain yang juga menjadi mangsa alternatif predator V. lineata. Berdasarkan uraian di atas, berikut ini diajukan strategi pengendalian B. tabaci dengan jalan memadukan teknik bercocok tanam dan pengendalian hayati (Gambar 6.1). Strategi tersebut mencakup pembiakan massal dan pelepasan predator serta manipulasi lingkungan. Strategi yang tercakup dalam manipulasi lingkungan adalah penggunaan sungkup di pesemaian dan penggunaan tanaman pinggir di lahan pertanaman. Penggunaan sungkup ditujukan untuk melindungi pesemaian cabai dari imago B. tabaci, sehingga mengurangi resiko terjadinya penularan virus kuning sejak di pesemaian. Penggunaan sungkup harus benarbenar rapat dan ukuran mess rus lebih kecil dari imago B. tabaci.
78 Teknik bercocok tanam
Penggunaan sungkup di pesemaian
Penggunaan tanaman pinggir (jagung)
Penyediaan tepungsari, mangsa alternatif
Pembiakan massal predator (V. lineata)
Pelepasan predator (V. lineata)
Peningkatan kelimpahan, lama hidup dan keperidian predator (V. lineata)
Penurunan populasi B. tabaci di pertanaman cabai merah
Penurunan insidensi penyakit daun keriting kuning cabai merah
Kehilangan hasil panen cabai merah ditekan dan tanpa insektisida Gambar 6.1 Model strategi pengendalian B. tabaci di pertanaman cabai merah dengan cara perpaduan antara penggunaan tanaman jagung sebagai pembatas pinggir dan predator V. lineata Jenis tanaman pinggir yang dipilih harus mempunyai fungsi ganda (seperti tanaman jagung), yaitu sebagai penghalang masuknya imago B. tabaci ke pertanaman cabai merah dan sebagai tanaman refugia yang berfungsi untuk berlindung sementara dan penyedia tepung sari untuk makanan alternatif predator, jika mangsa utama populasinya rendah atau tidak ada di pertanaman cabai merah. Predator yang berpotensi sebagai agens hayati pengendalian B. tabaci adalah V. lineata, M. sexmaculatus dan C. transversalis. Namun yang terpilih dalam pengembangan strategi ini adalah V. lineata karena mempunyai preferensi (tingkat kesukaan) tertinggi terhadap B. tabaci. Keunggulan sifat ini penting dalam menunjang keberhasilan penerapan strategi yang dikembangkan karena pada umumnya predator bersifat generalis, sementara kenyataan di lapangan tajuk
79 pertanaman dihuni lebih dari satu serangga hama (mangsa) pada waktu yang sama. Dengan adanya sifat preferensi tersebut maka predator akan lebih dulu menghabiskan mangssa yang paling disukai.
Implementasi dalam PHT Cabai Merah Sasaran pengendalian hama terpadu (PHT) adalah mengurangi penggunaan pestisida dengan memadukan beberapa teknik pengendalian yang kompatibel dan ramah terhadap lingkungan. Pengendalian hama terpadu lebih menitik beratkan pada pengendalian secara alami (Untung 2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan tanaman pinggir (jagung) di pertanaman cabai merah disamping efektif terhadap hama B. tabaci juga dapat secara nyata meningkatkan kelimpahan predatornya. Hal ini berarti penggunaan tanaman pinggir (jagung) kompatibel jika dipadukan dengan pengendalian hayati (musuh alami). Namun demikian dalam implementasinya perlu dilaksanakan secara bertahap terutama pada masyarakat tani yang terbiasa dengan penggunaan insektisida sintetik, seperti di Jawa tengah dan D.I. Yogyakarta. Petani cabai merah lebih mengandalkan penggunaan insektisida sebagai cara pengendalian hama yang efektif. Oleh karena itu, upaya pemasyarakatan hasil-hasil peneltian tersebut diatas secara terus menerus perlu dilakukan baik melalui penyuluhan, demonstrasi plot (demplot) yang melibatkan petani secara langsung di lapangan dan sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SLPHT). Penggunaan sungkup pada pesemaian dan tanaman pinggir (jagung) di pertanaman cabai merah untuk menekan penyakit daun keriting kuning sudah banyak dilakukan oleh petani. Namun demikian, pengetahuan dasar mengenai hubungan antara penyakit tersebut dengan vektor dan antara vektor dengan musuh alami (dalam hal ini predator) belum banyak dimiliki oleh petani sehingga dalam aplikasinya kurang tepat, di antaranya dalam penggunaan sungkup ukuran lubang (mash) lebih besar dari imago vektor (B.tabaci). Dalam penggunaan tanaman pinggir, petani tidak memperhatikan fungsinya terhadap kelestarian predator bahkan penggunaan insektisida masih tetap intensif. Disamping itu, pengetahuan petani tentang pemanfaatan predator dalam pengendalian B.tabaci mencakup jenis yang berpotensi, cara pembiakan, pelepasan, dan cara pelestariannya masih
80 kurang. Oleh karena itu, dalam mengatasai permasalahan tersebut akan lebih mudah jika petani melakukannya secara bersama-sama dalam kelompok tani. Implementasi hasil penelitian penggunaan tanaman pinggir (jagung) dan predator (V. lineata) diharapkan sebagai masukan yang dapat memperbaiki teknologi pengendalian B. tabaci sebagi penular penyakit daun keriting kuning pada pertanaman cabai merah. Disamping itu berdampak pada peningkatan kesadaran petani bahwa dalam pengendalian hama harus memperhatikan kelestarian musuh alami dalam hal ini predator (V. lineata) karena dalam komunitas terstruktur di lapangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rantai makanan. Implementasi penggunaan tanaman pinggir (jagung) yang dipadukan dengan pengendalian predator untuk pengendalian B. tabaci pada pertanaman cabai merah diharapkan dapat berkembang secara luas, berlangsung secara permanen, dan tetap efektif dalam jangka panjang. Dengan demikian, biaya produksi untuk pestisida dan pencemaran lingkungan dapat ditekan, hasil panen cabai merah tetap tinggi sesuai dengan potensi produksinya, bebas dari residu pestisida sehingga aman terhadap konsumen, dan meningkatkan daya saing pada pasar global. Secara umum, keberhasilan implementasi penggunaan tanaman pinggir dan predator dalam pengendalian B. tabaci pada pertanaman cabai merah di tingkat petani didukung oleh beberapa faktor, yaitu (a) penggunaan tanaman pinggir sudah banyak dilakukan oleh petani hanya dalam aplikasinya yang kurang tepat, (b) keinginan kuat masyarakat untuk menerapkan dasar-dasar pengendalian yang alami, (c) Pengendalian ini menghasilkan produksi cabai yang bebas residu bahan kimia, (d) predator yang berpotensi untuk pengendalian B. tabaci sudah ada di lapangan, tinggal dikelola untuk ditingkatkan peranannya, (e) biaya pengendalian hama dan penyakit cabai merah dapat dihemat, (f) harga cabai merah yang kompetitif dan fluktuatif menjadi pertimbangan kearah perubahan dan perbaikan usahatani cabai merah yang efektif dan efisien, dan (g) Hasil panen cabai merah dapat dipertahankan tetap tinggi sesuai dengan potensi produksinya dengan menekan kehilangan hasil panen akibat oleh serangan penyakit daun keriting kuning yang ditularkan B. Tabaci.