PEMANFAATAN TANAMAN PEMBATAS PINGGIR DAN PREDATOR COCCINELLIDAE UNTUK PENGENDALIAN KUTUKEBUL Bemisia tabaci (GENNADIUS) (HEMIPTERA: ALEYRODIDAE), VEKTOR BEGOMOVIRUS PADA PERTANAMAN CABAI MERAH (Capsicum annuum L.)
BAGUS KUKUH UDIARTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pemanfaatan Tanaman Pembatas Pinggir dan Predator Coccinellidae untuk Pengendalian Kutukebul Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae), Vektor Begomovirus pada Pertanaman Cabai Merah (Capsicum annuum L.) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2012
Bagus Kukuh Udiarto NIM A361070051
ABSTRACT BAGUS KUKUH UDIARTO, Use of Border Crops and Coccinellid Predators to Control The Whitefly Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae), A Vector of Begomovirus on Chillipepper (Capsicum annuum L.) Under Supervision of PURNAMA HIDAYAT, AUNU RAUF, SRI HENDRASTUTI HIDAYAT and PUDJIANTO. Whitefly, Bemisia tabaci (Hemiptera: Aleyrodidae) is an important pest on chillipepper due to its role as a vector of Begomovirus, the causal agent of yellow leaf
curl disease. Many efforts has been undergone to suppress disease incidence, such as through controlling insect vector, B. tabaci. The objective of the research were to study the effect of border crops in chillipepper plantation on population of B. tabaci and incidence of yellow leaf curl disease as well as abundance and effectiveness of predator species. Field experiment was conducted using randomized completed design. Two seedling treatments (with and without cover), were combined with 4 border treatments i.e. maize, crotalaria (Fabaceae), chiffon fabric and non border. The potency of predator species was evaluated by conducting 3 consequtive assays, i.e. predation, prey preference and functional response assay. The results showed that the use of covered seedling was able to protect the seedling from B. tabaci and delay virus infection for 2 weeks. Population of B. tabaci was significantly lower in plot with combination of border crops and covered seedling. Correlation between population of B. tabaci and disease incidence was positif (r = 0.925), where as correlation between disease incidence and yield crop was negative (r = - 0.8886). Border crops especially maize could enhance the abundance of predator species with the most predators commonly found species were Menochilus sexmaculatus, Coccinella transversalis and Verania lineata. The predator species which have highest potency as natural enemy to control B. tabaci are V. lineata (Coleoptera: Coccinellidae). Keywords: Border crop, chillipepper, predator, Coccinellid, B. tabaci, Begomovirus.
RINGKASAN BAGUS KUKUH UDIARTO. Pemanfaatan Tanaman Pembatas Pinggir dan Predator Coccinellidae untuk Pengendalian Kutukebul Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae), Vektor Begomovirus pada Pertanaman Cabai Merah. Dibimbing oleh PURNAMA HIDAYAT, AUNU RAUF, SRI HENDRASTUTI HIDAYAT dan PUDJIANTO. Kutukebul Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae) merupakan salah satu hama penting pada pertanaman cabai merah karena merupakan satu-satunya vektor Begomovirus penyebab penyakit daun keriting kuning cabai. Penyakit daun keriting kuning merupakan penyakit penting pada pertanaman cabai terutama di Jawa Tengah. Kehilangan hasil akibat serangan penyakit tersebut berkisar 20 sampai 100%. Pengendalian serangga vektor merupakan strategi penting untuk menekan penyakit tersebut. Penelitian bertujuan: 1) Mengetahui pengaruh tanaman pembatas pinggir terhadap dinamika populasi B. tabaci dan insidensi penyakit daun keriting kuning pada pertanaman cabai merah; 2) Mengetahui pengaruh tanaman pembatas pinggir terhadap kelimpahan predator penting yang menyerang B. tabaci; 3) mengevaluasi efektivitas berbagai spesies predator (Coccinellidae) terhadap B. tabaci melalui uji daya pemangsaan, preferensi dan tanggap fungsional. Penelitian dilaksanakan sejak bulan Juli 2010 sampai dengan Januari 2012 di kebun petani di Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta, dan Laboratorium Taksonomi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Penelitian mengenai pengaruh tanaman pembatas pinggir terhadap dinamika populasi B. tabaci dan insidensi penyakit daun keriting kuning pada pertanaman cabai merah dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri atas 8 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan terdiri atas: 1) Pesemaian disungkup dan pembatas pinggir tanaman orok-orok; 2) Pesemaian disungkup dan pembatas pinggir tanaman jagung; 3) Pesemaian disungkup dan pembatas pinggir kain sifon ketinggian 2 m; 4) Pesemaian disungkup dan tanpa pembatas pinggir; 5) Pesemaian tanpa sungkup dan pembatas pinggir tanaman orok-orok; 6) Pesemaian tanpa sungkup dan pembatas pinggir tanaman jagung; 7) Pesemaian tanpa sungkup dan pembatas pinggir kain sifon ketinggian 2 m; 8) Pesemaian tanpa sungkup dan tanpa pembatas pinggir. Pengamatan dilakukan seminggu sekali terhadap populasi hama B. tabaci dan insidensi penyakit daun keriting kuning cabai. Penelitian mengenai pengaruh tanaman pinggir terhadap kelimpahan predator penting yang menyerang B. tabaci dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri atas 8 perlakuan dan 3 ulangan. Pengumpulan serangga predator dilakukan dengan alat pengisap (D-vac) pada tanaman sampel yang ditentukan secara sistematik diagonal. Uji daya pemangsaan dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap, terdiri atas lima perlakuan dan 10 ulangan. Perlakuan terdiri atas jenis predator yaitu Menochilus sexmaculatus, Coccinella transversalis, Verania lineata, Curinus coeruleus dan Paederus fuscipes. Pengamatan dilakukan terhadap nimfa dan imago B. tabaci yang tersisa. Uji preferensi dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang terdiri atas 4 perlakuan dan 10 ulangan, dengan perlakuan spesies mangsa yang berbeda yaitu B. tabaci, Thrips
parvispinus, Aphis gosypii dan Myzus persicae.Uji preferensi dilakukan dengan metode pilihan (choice), yakni dengan metode melingkar. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah nimfa yang tersisa pada 3, 6, 12 dan 24 jam setelah pelepasan predator. Uji tanggap fungsional predator (Coccinelidae) terhadap B. tabaci. dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri atas 10 perlakuan tingkat kepadatan inang, masing masing perlakuan diulang 10 kali. Kesepuluh perlakuan berbagai kepadatan nimfa B. tabaci yaitu; 1, 2, 3, 4, 6, 8, 12, 16, 22 28 nimfa. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah nimfa yang tersisa setiap 3 jam setelah pelepasan predator selama 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran B. tabaci pada pertanaman cabai tercatat sejak di pesemaian. Penggunaan sungkup dipesemaian dapat melindungi bibit cabai merah dari B. tabaci dan menunda infeksi virus selama 2 minggu. Tanaman pembatas pinggir berpengaruh nyata terhadap dinamika populasi B. tabaci dan insidensi penyakit daun keriting kuning pada pertanaman cabai merah. Kombinasi perlakuan penggunaan sungkup di pesemaian dan perlakuan pembatas pinggir tanaman jagung atau orok-orok di lahan pertanaman cabai merah dapat menekan populasi B. tabaci, insidensi penyakit daun keriting kuning cabai dan kehilangan hasil panen cabai merah akibat serangan penyakit tersebut. Insidensi penyakit keriting kuning tersebut dapat ditekan sebesar 50.80 % dan kehilangan hasil panen cabai merah dapat ditekan sebesar 80 %. Ada korelasi positif antara populasi B. tabaci dengan insidensi penyakit daun keriting kuning (r = 0.925), semakin tinggi tingkat populasi imago maka semakin tinggi tingkat insidensi penyakit daun keriting kuning cabai. Sebaliknya terdapat korelasi negatif antara insidensi penyakit daun keriting kuning dengan hasil panen cabai merah (r = - 0.8886), semakin tinggi tingkat insidensi penyakit daun keriting kuning cabai maka semakin rendah hasil panen cabai merah. Rerata populasi imago B. tabaci pada pertanaman cabai merah dengan perlakuan pembatas pinggir tanaman jagung, pembatas pinggir tanaman orok-orok, pembatas pinggir kain sifon dan tanpa pembatas pinggir berturut-turut 23.30 ekor, 24.88 ekor, 27.55 ekor dan 28.56 ekor. Rerata insidensi penyakit daun keriting kuning pada pertanaman cabai merah dengan perlakuan pembatas pinggir tanaman jagung, pembatas pinggir tanaman orok-orok, pembatas pinggir kain sifondan tanpa pembatas pinggir berturut-turut 50%, 51.56%, 75% dan 80.61%. Rerata hasil panen cabai merah dengan perlakuan pembatas pinggir tanaman jagung, pembatas pinggir tanaman orok-orok, pembatas pinggir kain sifon dan tanpa pembatas pinggir berturut-turut 27.58 kg/plot, 27.56 kg/plot, 16.08 kg/plot dan 15.66 kg/plot. Tanaman pembatas pingir pada pertanaman cabai merah di samping efektif menekan populasi B. tabaci, juga berpengaruh nyata terhadap kelimpahan predator. Kelimpahan predator tertinggi ditemukan di pertanaman cabai dengan perlakuan jagung sebagai pembatas pinggir yaitu sebesar 48 ekor/15 tanaman dan yang terendah pada petak perlakuan dengan kain sifon sebagai pembatas pinggir yaitu sebesar 18.67 ekor/15 tanaman. Hasil identifikasi ditemukan 9 spesies predator yang berpotensi sebagai musuh alami B. tabaci, yaitu 8 spesies termasuk ordo Coleoptera, 1 spesies dari ordo Diptera. Serangga predator dari ordo Coleoptera terdiri atas 7 spesies termasuk famili Coccinellidae (Menochilus sexmaculatus, Coccinellidae transversalis, Verania lineata, Harmonia sp., Verania discolor., Curinus coeruleus, dan Coelophora sp.) dan 1 spesies dari famili Staphylinidae yaitu Paederus fuscipes. Ordo Diptera 1 spesies dari famili
Dolichopodidae yaitu Condylostylus sp. Serangga predator tersebut yang dominan adalah M. sexmaculatus, C. transversalis dan V. lineata. Predator M. sexmaculatus, C. transversalis dan V. lineata mempunyai daya pemangsaan terhadap B. tabaci yang sama tinggi yaitu berkisar 46 – 48 nimfa/hari atau 9 imago/hari. Predator M. sexmaculatus lebih menyukai A. gossypii dan M. persicae, predator C. transversalis lebih menyukai T. parvispinus, sedangkan V. lineata lebih menyukai B. tabaci. Hasil analisis regresi logistik (koefisien linier P1 = - 0.1006, X2 = 34.99) predator V. lineata memperlihatkan tanggap fungsional tipe II, artinya semakin meningkat kerapatan mangsa B. tabaci maka semakin meningkat mangsa yang dikonsumsi, namun proporsi mangsa yang dikonsumsi semakin menuurun. Pada kerapatan mangsa rendah (1 sampai dengan 3 nimfa) seluruh mangsa dikonsumsi (100%), artinya pada kerapatan mangsa yang rendah predator V. lineata masih mampu menemukan mangsa dan memangsanya. Hasil analisis dari persamaan cakram pada tanggap fungsional tipe II diperoleh nilai laju pencarian mangsa seketika (a) sebesar 0,3522/jam dan nilai masa penanganan mangsa (Th) sebesar 0.151jam (R2 = 0.9239). Laju pencarian mangsa seketika (a) menunjukkan proporsi dari total area yang dijelajahi predator per unit waktu jelajah. Semakin kecil nilai a, maka predator semakin agresif dan efektif dalam menemukan mangsa. Masa penanganan mangsa (Th) menunjukkan lamanya predator mengenali, mengejar, memakan, membersihkan alat mulut dan beristirahat sebelum bergerak mencari mangsa yang lain. Semakin rendah nilai Th, maka semakin tinggi daya pemangsaan maksimumnya. Predator V. lineata mempunyai daya pemangsaan maksimum 6 nimfa/jam. Pembatas pinggir terbaik untuk pengendalian B. tabaci pada pertanaman cabai merah adalah tanaman jagung, karena mempunyai peranan ganda. Pembatas pinggir dengan tanaman jagung disamping dapat menekan populasi B. tabaci, insiden penyakit daun keriting kuning dan kehilangan hasil panen cabai, juga dapat meningkatkan kelimpahan predator penting yang menyerang B. tabaci. Serangga predator yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai agens hayati untuk pengendalian B. tabaci adalah M. sexmaculatus, C. Transversalis dan V. lineata, namun dari ketiga predator tersebut yang paling efektif adalah V. lineata. Disarankan varietas jagung yang digunakan sebagai tanaman pinggir sebaiknya yang mempunyai karakter tinggi tanaman lebih dari 2 m dan tajuk yang lebat serta umur yang relatif panjang. Penanaman jagung sebaiknya dilakukan 2 kali yaitu pada waktu 5 minggu sebelum dan 4 minggu setelah tanam cabai merah. Penanaman antar baris jagung sebaiknya dilakukan secara zigzag. Penelitian lebih lanjut dapat berupa: 1) Kajian jarak dan proporsi luas tanaman pinggir dari pertanaman cabai merah serta analisis ekonominya; 2) Kajian peranan tepung sari dan mangsa alternatif pada tanaman jagung dalam mendukung konservasi predator. Kata kunci: Tanaman pembatas pinggir, cabai merah, predator, Coccinelidae, B. tabaci, Begomovirus.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip sebagaian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PEMANFAATAN TANAMAN PEMBATAS PINGGIR DAN PREDATOR COCCINELLIDAE UNTUK PENGENDALIAN KUTUKEBUL Bemisia tabaci (GENNADIUS) ( HEMIPTERA: ALEYRODIDAE ), VEKTOR BEGOMOVIRUS PADA PERTANAMAN CABAI MERAH (Capsicum annuum L.)
BAGUS KUKUH UDIARTO
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk gelar Doktor pada Program Studi Entomologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.Si. Dr. Ir. Laksminiwati Prabaningrum, M.S.
Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Ir. Yusdar Hilman, M.Sc. Dr. Ir. Sugeng Santoso, M.Agr.
Nama
: Pemanfaatan Tanaman Pembatas Pinggir dan Predator Coccinellidae untuk Pengendalian Kutukebul Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae), Vektor Begomovirus pada Pertanaman Cabai Merah (Capsicum annuum L.) : Bagus Kukuh Udiarto
NRP
: A361070051
Program Studi
: Entomologi
Judul Penelitian
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Sri Hendrastuti H., M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Pudjianto, M.Si. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Entomologi
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Pudjianto, M.Si.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 26 Juli 2012
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga disertasi yang berjudul “Pemanfaatan Tanaman Pembatas Pinggir dan Predator Coccinellidae Untuk Pengendalian Kutukebul Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae), Vektor Begomovirus pada Pertanaman Cabai Merah (Capsicum annuum L.)” dapat penulis selesaikan. Bagian dari disertasi ini telah diterbitkan di Jurnal Hortikultura Volume 22 No.1 Tahun 2012, dengan judul Kajian Potensi Predator Coccinellidae untuk Pengendalian B. tabaci (Gennadius) pada Cabai Merah. Dengan selesainya penulisan disertasi ini, penulis menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan kepada komisi pembimbing yaitu Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc., Dr. Ir. Sri Hendrastuti H., M.Sc. dan Dr. Ir. Pudjianto, M.Si., atas bimbingan dan pengarahan kepada penulis mulai dari perencanaan penelitian hingga penyelesaian penulisan disertasi. Ucapan terimakasih penulis sampaikan juga kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Kepala Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan program doktor. Kepada Ketua Program Studi Entomologi dan seluruh dosen di Departemen Proteksi Tanaman IPB, penulis mengucapkan terimakasih atas segala arahan dan didikan. Penulis ucapkan terimakasih kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui program Kerja Sama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui program Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (I-MHERE B.2c.) yang telah membantu memberikan dana untuk pelaksanaan penelitian disertasi ini. Terimakasih penulis ucapkan kepada Ir. Wiwin setiawati, M.S., Ir. Fardedi, M.Si., Rahmini, S.P., M.P. dan Rahmawati S.P., M.Si., atas dukungan dan kerjasama yang baik, serta kepada ibu Yuke Wulandari, S.P. dan Bapak Sagimen yang telah membantu pelaksanaan penelitian di lapangan. Kepada orangtua, ayahanda Soehiro (alm) dan ibunda Yetty Soebaningsih, serta mertua M.E. Kurniadi beserta istri disampaikan terimakasih atas pendidikan, dukungan, nasihat dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini. Kepada istri Asih Setiasih, S.H. dan ketiga putra tercinta Destylana Agusti Putri, Hadian Dwi Nugroho dan Rizqi Wisudanto serta seluruh keluarga yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan pendidikan ini, penulis mengucapkan terimakasih. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2012
Bagus Kukuh Udiarto
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1962 dari ayah Soehiro (alm) dan ibu Yetty Subaningsih. Penulis merupakan putra keempat dari lima bersaudara. Pada tahun 1982 penulis lulus dari SMA Negeri 10 Bandung, Jawa Barat dan pada tahun 1983 lulus seleksi masuk Universitas Padjadjaran Bandung, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan melalui jalur ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN). Tahun 1988 penulis mendapat gelar Sarjana Pertanian. Penulis bekerja sebagai staf peneliti pada Kelompok Peneliti Hama dan Penyakit Tanaman, Balai Penelitian Tanaman Sayuran di Lembang, Bandung, Jawa Barat sejak tahun 1990. Penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi Program Magister Pertanian di Universitas Gajah Mada pada tahun 1999 dengan beasiswa dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui proyek ARMP-II. Penulis lulus dan mendapat gelar Magister Pertanian (M.P.) pada tahun 2002. Penulis diterima sebagai mahasiswa Program Doktor di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 dengan beasiswa dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.....................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................
xv
I.
PENDAHULUAN.......................................................................... Latar Belakang......................................................................... Alur Penelitian.......................................................................... Tujuan Penelitian...................................................................... Daftar Pustaka..........................................................................
1 1 4 7 7
II.
TINJAUAN PUSTAKA................................................................. Biologi dan Kisaran Inang B. tabaci........................................ Peranan B. tabaci dalam Penularan Penyakit Daun Keriting Kuning Cabai....................................................................... Peranan Teknik Budidaya Khususnya Pemanfaatan Tanaman Pinggir untuk Pengendalian Hama dan Konservasi Predator................................................................................ Peranan Predator dalam Pengendalian B. tabaci...................... Preferensi Predator terhadap Spesies Mangsa.......................... Tanggap Fungsional Predator terhadap Mangsa...................... Daftar Pustaka..........................................................................
10 10
III.
IV.
13 15 17 19 19 21
PENGARUH PEMANFAATAN TANAMAN PEMBATAS PINGGIR DI PERTANAMAN CABAI MERAH TERHADAP DINAMIKA POPULASI KUTUKEBUL B. tabaci DAN INSIDENSI PENYAKIT DAUN KERITING KUNING............. Abstrak..................................................................................... Abstract……………………………………………………… Pendahuluan…………………………………………………. Bahan dan Metode…………………………………………… Hasil dan Pembahasan.............................................................. Simpulan................................................................................... Daftar Pustaka..........................................................................
27 27 28 28 30 33 42 43
PENGARUH PEMANFAATAN TANAMAN PEMBATAS PINGGIR TERHADAP KELIMPAHAN PREDATOR PENTING B. tabaci PADA PERTANAMAN CABAI MERAH.. Abstrak..................................................................................... Abstract……………………………………………………… Pendahuluan…………………………………………………. Bahan dan Metode…………………………………………… Hasil dan Pembahasan.............................................................. Simpulan................................................................................... Daftar Pustaka..........................................................................
46 46 46 47 48 50 55 55
Halaman V.
DAYA PEMANGSAAN, PREFERENSI DAN TANGGAP FUNGSIONAL PREDATOR TERHADAP B. tabaci PADA TANAMAN CABAI MERAH....................................................... Abstrak..................................................................................... Abstract.................................................................................... Pendahuluan............................................................................. Bahan dan Metode.................................................................... Hasil dan Pembahasan.............................................................. Simpulan................................................................................... Daftar Pustaka..........................................................................
58 58 59 59 61 65 71 72
VI.
PEMBAHASAN UMUM..............................................................
74
VII.
SIMPULAN DAN SARAN...........................................................
81
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................
84
LAMPIRAN..............................................................................................
91
DAFTAR TABEL Halaman 3.1 Rerata jumlah imago B. tabaci/perangkap di pertanaman cabai merah dengan kombinasi perlakuan pesemaian dan spesies tanaman pembatas pinggir................................................................
35
3.2 Rerata jumlah nimfa B. tabaci/daun di pertanaman cabai merah dengan kombinasi perlakuan pesemaian dan spesies tanaman pembatas pinggir..............................................................................
37
3.3 Pengaruh perlakuan terhadap nilai AUDPC dan penekanan penyakit daun keriting kuning (%) di pertanaman cabai pada pengamatan 2 - 12 minggu setelah tanam........................................
40
4.1 Spesies dan jumlah serangga predator B. tabaci/15 tanaman/6 pengamatan di pertanaman cabai merah dengan perlakuan berbagai spesies tanaman pembatas pinggir.....................................
52
5.1 Daya pemangsaan beberapa predator terhadap nimfa dan imago B. tabaci di laboratorium.................................................................
66
5.2 Rerata jumlah B. tabaci, Trips dan Kutudaun yang dimangsa oleh berbagai spesies predator Coccinellidae dan index preferensi berbagai spesies predator terhadap berbagai spesies mangsa pada Cabai merah......................................................................................
68
5.3 Rerata mangsa yang dikonsumsi (x ± SD) predator V. Lineata pada berbagai kerapatan mangsa B. tabaci.......................................
69
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.1 Alur penelitian potensi pemanfaatan tanaman pembatas pinggir dan predator unntuk pengendalian Bemisia tabaci (Gennadius) pada tanaman cabai merah,..............................................................
6
3.1 Rerata jumlah imago B. tabaci pada perangkap kuning di pesemaian cabai merah....................................................................
33
3.2 Rerata insidensi penyakit daun keriting kuning cabai (%) pada pertanaman cabai merah dengan kombinasi perlakuan pesemaian dan jenis tanaman pembatas pinggir................................................
39
3.3 Regresi populasi B. tabaci dengan insidensi penyakit daun keriting kuning cabai........................................................................
40
3.4 Rerata bobot buah cabai per petak (kg) pada pertanaman cabai merah dengan kombinasi perlakuan pesemaian dan spesies tanaman pembatas pinggir...............................................................
41
3.5 Regresi antara insidensi penyakit daun keriting kuning dengan bobot buah cabai merah...................................................................
42
4.1 Spesies serangga predator B. tabaci yang ditemukan di pertanaman cabai merah dengan tanaman pembatas pinggir..........
51
4.2 Kelimpahan predator/15tanaman dan jumlah nimfa B. tabaci/daun di pertanaman cabai merah dengan berbagai pembatas pinggir: (A) predator dan (B) nimfa B. tabaci...............................................
54
4.3 Regresi populasi B. tabaci dengan kelimpahan predatornya di pertanaman cabai merah...................................................................
55
5.1 Rerata nilai pengamatan proporsi mangsa yang dimakan (titik) dan penduga (garis) berdasarkan hasil analisis regresi logistik.......
70
5.2 Kurva tanggap fungsional predator V. lineata terhadap peningkatan kerapatan mangsa B. tabaci.........................................
70
6.1 Model strategi pengendalian B. tabaci di pertanaman cabai merah dengan cara perpaduan antara penggunaan tanaman jagung sebagai pembatas pinggir dan predator V. lineata...........................
78
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Perlakuan penggunaan sungkup di pesemaian dan spesies tanaman pembatas pinggir di lahan pertanaman cabai merah: (a) Penggunaan sungkup di pesemaian; (b) Pesemaian tanpa sungkup; (c) Pembatas pinggir kain sifon; (d) Jagung sebagai tanaman pinggir; (e) Orok-orok sebagai tanaman pinggir; (f) Tanpa pembatas pinggir................................................................................
92
2 Tata letak petak percobaan pengaruh pemanfaatan tanaman pembatas pinggir terhadap populasi B. tabaci dan kelimpahan predator..............................................................................................
93
3 Cara pengamatan terhadap imago dan nimfa B. tabaci serta predator pada pertanaman cabai merah: (a) Pengamatan imago pada perangkap kuning; (b) Pengamatan nimfa pada daun cabai; (c) Pengambilan predator dengan menggunakan penyedot serangga.............................................................................................
94
4 Imago dan nimfa B. tabaci serta gejala penyakit daun keriting kuning cabai: (a) Imago B. tabaci pada perangkap kuning; (b) Nimfa B. tabaci; (c) Gejala penyakit daun keriting kuning cabai.....
95
5 Pelaksanaan penelitian kajian potensi predator Coccinellidae terhadap B. tabaci: (a) Pembiakan massal B. tabaci dan kutudaun pada pertanaman cabai merah; (b) Percobaan uji daya pemangsaan; (c) Percobaan uji tanggap fungsional; (d) Percobaan uji preferensi..
96
6 Predator Verania lineada: (a) Imago betina; (b) Imago jantan; (c) Telur; (d) Larva; (e) Pupa; (F) Imago yang baru keluar dari pupa…
97
I. PENDAHULUAN Latar Belakang Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan komoditas sayuran yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan dapat memacu peningkatan sumber pendapatan petani, substitusi impor dan penghasil devisa. Areal pertanaman cabai merah dari tahun 2005 – 2010 selalu menduduki areal terluas di antara tanaman sayuran yang diusahakan di Indonesia, dan pada tahun 2010 luas panen komoditas cabai merah mencapai 194.64 ha (Direktorat Jendral Tanaman Pangan dan Hortikultura 2010). Produktivitas cabai merah selama 5 tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang berarti, dan pada tahun 2010 mencapai 6.94ton/ha. Namun demikian, tingkat produktivitas cabai merah tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan potensi produksi cabai merah yang dapat mencapai 10 ton/ha (Suwandi et al. 1989). Hal ini disebabkan antara lain adanya serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Duriat et al. (2005) melaporkan bahwa terdapat 15 jenis OPT yang menyerang tanaman cabai merah. Kutukebul
Bemisia
tabaci
(Gennadius)
(Hemiptera:
Aleyrodidae)
merupakan salah satu hama penting pada tanaman sayuran terutama pada famili Solanaceae termasuk cabai merah. Hama ini pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1938 pada tanaman tembakau di Deli, Sumatera Utara (Kalshoven 1981). Kutukebul menjadi hama yang sangat penting terutama pada pertanaman cabai merah di Indonesia sejak tahun 2001 (Sulandari et al. 2001). Kutukebul dapat menimbulkan kerusakan secara langsung yaitu berupa bercak nekrotik, klorosis dan daun gugur, dan secara tidak langsung yaitu sebagai vektor virus penyebab penyakit daun keriting kuning cabai (Pepper Yellow Leaf Curl Begomovirus/PepYLCV) (Byrne dan Bellows 1990; Oliveira et al. 2001; Jones 2003; Hidayat et al. 2006). Penyakit daun keriting kuning bersifat epidemik pada pertanaman cabai di berbagai daerah seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Sumatera Selatan dan Lampung (Sulandari et al. 2004; Hidayat et al. 2006). Perkembangan luas serangan penyakit daun keriting kuning di beberapa daerah di Indonesia terutama di pulau Jawa sangat cepat. Pada tahun 2003 luas serangan penyakit berkisar antara 6.2 ha sampai 60 ha dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 183.5ha sampai 575.4 ha (Hidayat 2003; Direktorat Bina
2
Program Tanaman Pangan dan Hortikultura 2010). Kerusakan akibat serangan penyakit daun keriting kuning pada pertanaman cabai dapat sangat berat sehingga kerugian ekonomi dapat mencapai 20% sampai 100% (Brown 1994; Sulandari et al. 2006). Penularan Begomovirus hanya terjadi melalui imago B. tabaci dan tidak dapat melalui kontak atau biji (Aidawati et al. 2002; Jones 2003; Sulandari 2004; Hidayat dan Rahmayani 2007). Oleh karena itu pengendalian terhadap B. tabaci merupakan salah satu strategi untuk menekan kejadian penyakit daun keriting kuning cabai. Upaya pengendalian B. tabaci yang umum dilakukan petani selama ini adalah dengan penggunaan insektisida secara intensif. Penggunaan insektisida yang berlebihan, disamping merupakan pemborosan juga dapat membahayakan manusia dan menimbulkan berbagai kerugian terhadap lingkungan, antara lain terbunuhnya organisme bukan sasaran seperti predator dan parasitoid, dan terjadinya resistensi hama terhadap insektisida. Sugiyama (2005) dan Setiawati et al. (2007) melaporkan bahwa B. tabaci sudah mulai menunjukkan gejala resisten terhadap beberapa jenis insektisida seperti golongan organofosfat, karbamat dan piretroid sintetik. Untuk itu diperlukan upaya pengendalian yang lebih berlandaskan pendekatan ekologi dan ekonomi, yaitu tidak mencemari lingkungan, aman bagi pemakai dan konsumen cabai merah, relatif murah, tetapi juga efektif terhadap hama B. tabaci. Salah satu konsep pengendalian yang lebih berlandaskan pada pendekatan ekonomi dan ekologi adalah pengendalian hama terpadu (PHT). Perkembangan konsep PHT saat ini dan dimasa mendatang mengarah pada rakitan teknologi yang bersifat bio – intensif, yang berupaya memanfaatkan sumberdaya hayati yang ada di alam, seperti musuh alami, varietas tahan, pestisida nabati, dan tanaman penolak, tanaman penarik, atau tanaman pinggir (Frisbie dan Smith 1991; Hoddle et al. 1998). Pemanfaatan tanaman pembatas pinggir (border crops) merupakan salah satu alternatif pengendalian yang dapat menekan populasi B. tabaci di pertanaman cabai merah dan aman terhadap lingkungan. Menurut Difanzo et al. (1996) dan Fereres (2000) pemanfaatan tanaman pembatas pinggir dapat menekan kejadian penyakit tanaman oleh virus yang ditularkan melalui serangga vektor. Menurut
3
Perfecto dan Sediles (1992) penggunaan tanaman bukan inang dalam sistem pola tanam tumpangsari, selain berperan sebagai samaran yang membuat tanaman inang sulit ditemukan, juga berperan sebagai penghalang fisik bagi hama untuk menemukan tanaman yang diusahakan. Pemanfaatan tanaman jagung (Zea mays) sebagai pembatas pinggir di pertanaman kentang dapat menekan kejadian penyakit virus Y kentang (PVY) yang ditularkan oleh kutudaun. Selanjutnya dilaporkan oleh Muthomi et al. (2010) tanaman jagung yang ditanam dengan jarak 0,5 dan 1 m dari pertanaman kentang dapat menekan populasi kutudaun dan kejadian penyakit virus kentang sampai 48 %. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa pemanfaatan orok-orok (Crotalaria juncea) sebagai tanaman pembatas pinggir di pertanaman “zucchini” dapat menekan populasi kutudaun dan kejadian penyakit virus bercak cincin papaya (PRSV) strain semangka (Roshan dan Cerruti 2011). Pemanfaatan tanaman pembatas pinggir merupakan salah satu alternatif pengendalian yang kompatibel jika dipadukan dengan musuh alami dalam hal ini predator. Jenis tanaman pembatas pinggir yang dipilih harus mempunyai fungsi ganda yaitu, sebagai penghalang masuknya imago B. tabaci ke pertanaman cabai merah, dan dapat mendorong konservasi musuh alami seperti predator, yaitu sebagai tanaman refugia yang berfungsi untuk berlindung sementara dan penyedia polen untuk makanan alternatif jika mangsa utama populasinya rendah atau tidak ada (Untung 2006). Teknik konservasi bertujuan menghindarkan tindakantindakan yang dapat menurunkan populasi musuh alami termasuk predator. Teknik augmentasi yang memanipulasi atau modifikasi ekosistem sehingga lebih mendorong peningkatan populasi dan efektifitas serta efisiensi musuh alami, dimasukkan ke dalam teknik konservasi (Stehr 1982). Menurut Pedigo (1991) populasi predator dan parasitoid terutama yang generalis pada vegetasi yang beragam relatif stabil, dan bertahan lama, sebab makanan (tepung sari dan nektar) tersedia lebih berkesinambungan, serta adanya tempat berlindung dan mikrohabitat yang sesuai. Untung (2006) mengungkapkan dalam penerapan PHT konservasi musuh alami terutama predator dan parasitoid merupakan teknik pengendalian hayati yang sering dilakukan dan dianjurkan termasuk di Indonesia.
4
Studi musuh alami Bemisia spp. di Brasil menemukan sekitar 14 spesies predator, diantaranya dari jenis predator kumbang kubah ( lady beetle ), Nephaspis hydra Gordon dan Delphastus davidsoni Gordon diketahui pertama kali sebagai pemangsa Bemisia spp. (Gerling 1990; Olsen 2001). Setiawati (2005), mengungkapkan beberapa spesies predator yang diketahui efektif terhadap B. tabaci antara lain Coccinella transversalis, Menochilus sexmaculatus, Coenosia attenuate, Delphastus pusillus, Deracocoris pallens, Euscius hibisci, Orius albidipennis, Scymus syriacus. dan Chrysoperla carnea. Sudrajat (2009) melaporkan bahwa dari hasil explorasi musuh alami di Kabupaten Bandung dan Karawang pada tahun 2005 ditemukan beberapa jenis predator yang mempunyai potensi untuk mengendalikan hama kutukebul (B. tabaci) pada pertanaman sayuran. Jenis predator kutukebul yang ditemukan dan mempunyai potensi adalah beberapa spesies dari famili Coccinellidae (Menochilus sexmaculatus, Coccinella transfersalis, Harmonia sp., Curinus sp. dan Delphastus sp.) dan famili Stapilinidae (Paederus fusipes). Pemanfaatan tanaman jagung atau orok-orok sebagai pembatas pinggir pada pertanaman cabai merah untuk pengendalian B. tabaci telah dilakukan oleh para petani terutama di daerah Jawa Tengah. Meskipun demikian dalam cara pelaksanaannya seperti jarak dan waktu tanam antara tanaman pembatas pinggir dan tanaman cabai merah kurang tepat, sehingga hasilnya kurang maksimal. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian secara ilmiah mengenai pengaruh tanaman pembatas pinggir terhadap populasi B. tabaci dan insidensi penyakit daun keriting kuning cabai serta kelimpahan predator penting.
Alur Penelitian Pengendalian hama terpadu (PHT) terdiri atas 5 komponen pengendalian yaitu penggunaan insektisida, penanaman varietas tahan, pengendalian secara fisik dan mekanik, teknik bercocok tanam dan pengendalian hayati (musuh alami). Untuk pengendalian hama B. tabaci sebagai vektor Begomovirus pada pertanaman cabai merah, penggunaan insektisida tidak dianjurkan karena disamping membahayakan lingkungan juga telah banyak dilaporkan bahwa B. tabaci sudah mulai resisten terhadap insektisida. Pengendalian secara fisik dan
5
mekanik seperti pengunaan perangkap warna dengan memperhitungkan sifat biologi dan ekologi hama dapat menekan populasi hama, tetapi pengendalian ini masih mengundang kontroversi. Sebagian petani berpendapat kedua pengendalian tersebut kurang praktis dan justru mengundang hama masuk ke lahan pertanaman yang diusahakan. Sementara penanaman varietas tahan hama atau penyakit untuk pengendalian B. tabaci dan Begomovirus yang ditularkannya belum dapat dikembangkan karena sampai saat ini belum diperoleh varietas tanaman cabai merah yang benar-benar tahan terhadap Begomovirus. Penelitian ini dirancang untuk mengefaluasi penggabungan pemanfaatan tanaman pembatas pinggir dengan potensi predator untuk menekan populasi B. tabaci dan insidensi penyakit daun keriting kuning pada pertanaman cabai merah (Gambar 1.1). Penelitian dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama adalah penelitian pemanfaatan tanaman pembatas pinggir untuk pengendalian B. tabaci dan kejadian penyakit daun keriting kuning pada pertanaman cabai merah, serta peranannya dalam konservasi predator. Luaran yang diharapkan dalam penelitian ini ialah diperoleh jenis tanaman pembatas pinggir yang efektif dalam mengendalikan B. tabaci dan menekan insidensi penyakit daun keriting kuning pada pertanaman cabai, tetapi tidak membahayakan bahkan mendorong dalam konservasi predator B. tabaci. Kelompok kedua adalah penelitian potensi predator untuk pengendalian B. tabaci. Penelitian ini terdiri atas empat tahapan percobaan, yaitu: 1) Eksplorasi predator B. tabaci di daerah sentra produksi cabai merah, 2) Uji daya pemangsaan berbagai predator (yang dominan ditemukan dalam eksplorasi) terhadap B. tabaci; 3) Uji preferensi berbagai predator (yang mempunyai daya pemangsaan tinggi dari percobaan 2) terhadap B. tabaci, Thrips dan kutudaun; 4) Uji tanggap fungsional predator (yang mempunyai preferensi tertinggi terhadap B. tabaci) terhadap B. tabaci. Secara keseluruhan luaran dari penelitian ini adalah dapat diperolehnya jenis predator yang benar-benar efektif tabaci pada pertanaman cabai merah.
untuk pengendalian B.
6
Kegiatan Penelitian Pemanfaatan tanaman pembatas pinggir untuk pengendalian B. tabaci
Kegiatan 1. Pengaruh tanaman pembatas pinggir terhadap populasi B. tabaci dan insidensi penyakit daun keriting kuning cabai
Kegiatan 3. Kajian Potensi Predator
Kegiatan 2. Pengaruh tanaman pembatas pinggir terhadap kelimpahan predator B. tabaci pada cabai merah.
Kegiatan 3a Penelitian Pendahuluan Eksplorasi predator Kegiatan 3b Uji daya pemangsaan predator terhadap B. tabaci Kegiatan 3c Uji preferensi predator terhadap B. tabaci, A. gosypii M. persicae dan T. parvispinus
Kegiatan 3d Uji tanggap fungsional predator terhadap B. tabaci Luaran Jenis tanaman pembatas pinggir yang dapat menekan populasi B. tabaci
Jenis tanaman pembatas pinggir yang dapat meningkatkan kelimpahan predator
Spesies predator yang efektif terhadap B. tabaci
Strategi gabungan pemanfaatan tanaman pinggir dan predator untuk pengendalian B. tabaci pada pertanaman cabai merah Populasi B. tabaci tertekan
Insidensi penyakit daun keriting kuning tertekan
Hasil panen cabai merah tinggi dan tanpa insektisida Gambar 1.1 Alur penelitian pemanfaatan tanaman pembatas pinggir dan predator untuk pengendalian B. tabaci pada pertanaman cabai merah
7
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian untuk memperoleh strategi teknik pemanfaatan tanaman pembatas pinggir yang digabungkan dengan pemanfaatan
predator
untuk
mengendalikan B. tabaci dan insidensi penyakit daun keriting kuning pada pertanaman cabai merah. Secara khusus penelitian bertujuan: 1) Mengetahui pengaruh tanaman pinggir terhadap dinamika populasi B. tabaci dan insidensi penyakit daun keriting kuning cabai; 2) Mengetahui pengaruh tanaman pinggir terhadap kelimpahan predator penting yang menyerang B. tabaci; 3) Mengidentifikasi dan mengetahui dominansi spesies predator yang menyerang B. tabaci di pertanaman cabai merah; 4) Mengevaluasi efektivitas berbagai spesies predator (dominan dari eksplorasi)
terhadap B. tabaci melalui uji daya
pemangsaan, preferensi dan tanggap fungsional.
Daftar Pustaka Aidawati N, Hidayat SH, Suseno R, Sosromarsono S. 2002. Transmission of an Indonesian isolate of tobacco leaf curl virus (Begomovirus) by Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae) Plant Pathology 18: 231 – 236. Brown JK. 1994. Current status of Bemisia tabaci as a plant pest and virus vector in agroecosystems word wide. Plant Protection Bulletin. 42: 3 – 32. Byrne DN, Bellows TS. 1990. Whitefly biology. Annnual Review of Entomology 36 : 431 – 457. Difanzo CD, Rogsdale DW, Radcliffe NC, Sencor GA. 1996. Crop borders reduce potato virus Y incidence in seed potato. Annals of Applied Biology 129: 289–302. Direktorat Jendral Tanaman Pangan dan Hortikultura. 2010. Hasil pembangunan Pertanian Tanaman Pangan : Aspek Areal Produksi dan Faktor-faktor Produksi. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Tanaman Pangan dan Hortikultura. Duriat AS, Ratnawati ML, Kirana R, Widjaja ES, Sulastrin I, Gunaen N, Gunawan OS, Gaswanto R, Wulandari AW, Murtiningsih RR, van der Wolf JM, van der Zouwen PS. 2005. The most important pests and seedborne diseases of vegetables in Indonesia. A Progress report in 2003-2005. Hortin Project. Indonesian - Netherlands research colaboration. 26 pages. Fereres A. 2000. Border crops as a culture measure of non-persistently transmitted aphid-borne viruses. Virus Research 71:221–231.
8
Frisbie RE, Smith Jr JW. 1991. Biologically intensive integrated pest management : the future. Di dalam: Menn JJ dan Steinhaner AL. International Progress and Perspective for 21th Century. Maryland (US): Entomol. Soc. Amer. Maryland. Gerling D. 1990. Natural enemies of whitelies; predator and parasitoids. Di dalam: Garling D. Whiteflies: Their Bionomics, Pest Status and Management. Andover (US): Intercept Ltd. hlm 147–185. Hidayat SH. 2003. Rangkuman Hasil Penelitian Begomovirus di Indonesia : Sebagai Bahan Diskusi Untuk Menghadapi Peningkatan Infeksi Begomovirus Pada Cabai. Makalah pada Seminar Sehari Pengenalan dan Pengendalian Penyakit Virus Pada Cabai. Dir. Perlindungan Hortikultura, Dir. Jen. Bina Produksi Hortikultura. Jakarta. 4 hal. Hidayat SH, Chatchawankanpanich O, Rusli E, Aidawati N. 2006. Begomovirus associated with pepper yellow leaf curl diseases in West Java, Indonesia. Journal Indonesian Microbiology 11(2): 87 – 89. Hidayat SH, Rahmayani E. 2007. Transmission of tomato leaf curl begomovirus by two different species of whitefly (Hemiptera: Aleyrodidae). J. Plant Pathol. 23 (2): 57– 61. Hoddle MS, van Driesche RG, Sanderson JP. 1998. Biology and use of the whitefly parasitoid Encarsia formosa. Annual Review of Entomology 43 : 645 – 669. Jones D. 2003. Plant viruses transmitted by whiteflies. European Journal Plant Pathology 10(9): 197- 221. Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta (ID): Ichtiar Baru- van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie. Oliveira MRV, Henneberry TJ, Anderson P. 2001. History, current status and collaborative research projects for Bemisia tabaci. Crop Protection 20:709– 723. Olsen LV. 2001. The behavior of the Ladybird and its ability as a predator. Available at http:// www.trehelp.com/treees-insects-aphid.html. Juli 2009. Pedigo LP. 1991. Entomologi and pest management. MacMillan Publishing company New York. Collier MacMillan Publishers. London. 646p. Perfecto I, Sediles A. 1992. Vegetational diversity, ants (Hymenoptera: Formicidae), and herbivorous pest in a neotropical agroecosystem. Environment Entomology 21(1):61– 67. Setiawati W. 2005. Pengelolaan Terpadu pada Tanaman Cabai Merah dalam Upaya Mengatasi Penyakit Virus Kuning. Makalah disampaikan pada
9
Pertemuan Apresiasi Penerapan Penganggulangan Virus Cabai, Yogyakarta, 14–15 April 2005. Setiawati W, Udiarto BK, Soetiarso TA. 2007. Selektivitas Beberapa Insektisida terhadap Hama Kutu Kebul (Bemisia tabaci Genn.) dan Predator Menochilus sexmaculatus Fabr. Jurnal Hortikultura Vol.17, No. 2, Tahun 2007. Sudrajat. 2009. Eksplorasi Musuh Alami Kutukebul (Bemisia tabaci) di Jawa Barat (Pangalengan, Ciwidae, Lembang dan Krawang) pada Tanaman Sayuran. Laporan Sementara Hasil Penelitian untuk Disertasi S-3. Universitas Padjadjaran. Sugiyama K. 2005. Management of whitefly for commercial tomato production in greenhouses in Shizuoka, Japan. In. Proc. of the International Seminar on Whitefly Management and Control Strategy. Taichung, Taiwan. Oct 3 – 8, 2005. pp.81 – 91. Sulandari S, Hidayat SH, Suseno R, Jumanto H, Sosromarsono S. 2001. Keberadaan virusgemini pada cabai di DIY. Konggres Nasional dan Seminar Ilmiah PFI ke XVI. Bogor, Agustus 2001. Sulandari S, Suseno R, Hidayat SH, Harjosudarno J, Sosromarsono S. 2006. Deteksi dan kajian kisaran inang virus penyebab penyakit daun keriting kuning cabai. Journal Hayati 13(4): 1 – 6. Sulandari S. 2004. Karakterisasi biologi, serologi, dan analisa sidik jari DNA virus penyebab penyakit daun kuning keriting cabai [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suwandi, Nurteka N, Sahat S. 1989. Bercocok tanam sayuran dataran rendah. Lembang (ID): Laporan Balai Penelitian Hortikultura Lembang dan Proyek ATA 395. 31 – 36. Stehr DW. 1982. Parasitoid and Predator in Pest Management. Dalam Metcalf and Luckmann WH (ed.) Introduction to Insect Pest Management. John Wiley and Sons. New York. 135 – 173p. Untung K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
II. TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Kisaran Inang Bemisia tabaci (Gennadius) Bemisia tabaci (Gennadius) digolongkan ke dalam ordo Hemiptera, subordo Sternorrhyncha, superfamili Aleyrodoidea, famili Aleyrodidae (Martin et al. 2000). B. tabaci pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1938 pada tanaman tembakau (Kalshoven 1981). Pada tahun 2001 B. tabaci telah menjadi hama utama terutama pada berbagai jenis tanaman sayuran dan tersebar ke seluruh Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, dan sejak awal tahun 2004 telah pula menjadi hama penting di Bali (Sulandari 2001; Setiawati et al. 2005). Perkembangan B. tabaci terdiri atas empat stadia, yaitu dimulai dari telur, nimfa, pupa dan imago. Telur B. tabaci . bentuknya lonjong (oval), warnanya putih bening ketika baru diletakkan, kemudian kecokelatan menjelang menetas. Telur berdiameter 0,25 mm, dan biasanya diletakkan pada permukaan bawah daun. Jumlah telur yang dihasilkan seekor betina mencapai 28 sampai 300 butir tergantung pada tanaman inang dan suhu lingkungan (Hirano et al., 2002). Pada kapas, B. tabaci. rata-rata bertelur 81 butir pada suhu 26,7ºC atau 72 butir pada suhu 32,2ºC dengan masa inkubasi telur 5 hari (Butler et al., 1983). Stadia telur pada tanaman tomat adalah 6,8–8,7 hari pada suhu 25 0C dan RH 65% (Salas dan Mendoza 1995). Rata-rata stadia telur pada Hibiscus rosa-sinensis kultivar Pink Versicolor adalah 6,3 hari dan Brilliant Red adalah 6,7 hari pada suhu 26,7 0C dan RH 55% (Liu dan Stansly 1998). Nimfa B. tabaci terdiri dari tiga instar dan instar ke-4 dianggap sebagai transisi dan dinamakan instar ke-4 atau pupa karena peralihan antara dua stadia yang singkat dan sulit untuk dipisahkan (Salas dan Mendoza 1995). Byrne dan Bellows (1991) menyatakan bahwa nimfa instar ke-4 biasanya dikenal sebagai pupa. Nimfa instar satu (panjang + 0,223 mm, lebar + 0,131 mm) berbentuk bulat panjang, berwarna hijau cerah, pada pinggir tubuhnya terdapat bulu bulu halus dan lapisan lilin yang tipis. Nimfa instar 1 yang baru keluar dari telur aktif bergerak dan mengisap cairan makanan pada permukaan bawah daun selama 1-2 hari, dan setelah mendapatkan tempat yang sesuai akan menetap dan tidak bergerak lagi (Badri 1983). Nimfa instar 2 (panjang + 0,283 mm, lebar + 0,178
11 mm), nimfa instar 3 (panjang + 0,470 mm, lebar + 0,312 mm) dan nimfa instar 4 (umum disebut pupa) tidak bergerak, berwarna hijau gelap, tungkai tereduksi, pada bagian dorsal terdapat tiga pasang duri (Badri. 1983). Stadia nimfa instar pertama pada tanaman tomat adalah 4,0 hari, nimfa instar kedua dan ketiga pada tanaman tomat adalah 2,7 dan 2,5 hari (Salas dan Mendoza 1995). Rata-rata stadia nimfa instar pertama pada Hibiscus rosa-sinensis kultivar Pink Versicolor adalah 4,2 hari dan kultivar Brilliant Red adalah 4,3 hari pada suhu 26,7 0C dan RH 55% (Liu dan Stansly 1998). Menurut Gameel (1977) perkembangan nimfa secara keseluruhan berlangsung selama 12-15 hari pada suhu 28o-32oC, dan 28 – 32 hari pada suhu
20o-24oC. Pada suhu lebih tinggi yaitu 30o-34oC periode
perkembangan lebih cepat, dan sebaliknya menjadi lebih lama apabila suhu mencapai 18o - 22oC . Nimfa instar 4 umumnya disebut pupa. Pupa B. tabaci berbentuk bulat panjang berwarna kuning, bagian toraks agak melebar dan cembung, ruas abdomen tampak jelas. Pinggir puparium tidak rata dan pada bagian dorsal terdapat tujuh pasang seta (duri) dan satu pasang pada ujung anal. Vasiform orifice berbentuk segi tiga dan memanjang, operkulum menutupi hampir separuh bagian dari vasiform orifice (Kalshoven 1981). Panjang pupa + 0,613 mm dan lebar + 0,421 mm. Lamanya stadium pupa rata rata 2,51 + 0,16 hari (Badri 1983). Stadia pupa pada tanaman tomat adalah 5,8 hari (Salas dan Mendoza 1995). Imago B. tabaci berwarna kekuningan dan tubuhnya tertutup oleh sekresi seperti tepung lilin yang berasal dari kelenjar lilin yang terletak pada ruas abdomen pertama dan kedua pada imago jantan, sedangkan pada imago betina terletak pada ruas abdomen ke tiga dan ke empat. Sayap depan berwarna putih dan mempunyai pembuluh radial sektor yang bercabang satu dan pembuluh kubitus lurus. Antena tujuh ruas dengan ruas terakhir meruncing dan ditutupi oleh rambut rambut yang halus. Mata majemuk berkembang sempurna (Kalshoven 1981). Imago B. tabaci berukuran 1,0-1,5 mm. Panjang sayap depan + 0,673 mm dan lebar + 0,246 mm, sedangkan panjang sayang belakang + 0,572 dan lebar + 0,209 mm (Badri 1983). Lama hidup imago dipengaruhi oleh lingkungan dan faktor faktor lainnya. Lama hidup imago jantan pada umumnya lebih pendek dibanding
12 betina. Lama hidup imago jantan berkisar antara 9,54-17,20 hari, sedangkan betina mencapai 37,75- 74,20 hari (Gameel 1977). Tanaman inang adalah tanaman yang dapat memenuhi kebutuhan hidup serangga baik yang berhubungan dengan makanan (kebutuhan gizi) maupun dalam hubungannya dengan perilaku. Serangga yang hidup pada tanaman inang yang sesuai berkembang biak lebih cepat dari pada yang hidup pada tanaman inang yang kurang sesuai (Beck 1965; House 1965). B. tabaci bersifat polifag (Costa dan Brown 1990), sejumlah besar spesies tanaman tahunan dan setahun yang telah dibudidayakan maupun yang belum dibudidayakan sesuai untuk makan dan/atau reproduksi (Bedford et al. 1992; Brown et al. 1992). B. tabaci mempunyai kisaran inang lebih dari 600 spesies tanaman (Greathead 1986) yang berasal dari 63 famili tanaman, dan sebanyak 50% spesies tanaman yang merupakan inang kutukebul berasal dari famili Fabaceae, Asteraceae, Malvaceae, Solanaceae dan Euphorbiaceae (Mound dan Halsey 1978). Di antara famili tersebut 99% spesies tanaman yang merupakan inang kutukebul adalah Fabaceae (Basu 1995). Di Brazil, kutukebul juga telah menginfestasi gulma sebagai inang. Gulma yang menjadi inang kutukebul tersebut adalah: Cleome espinosa (Cleomaceae), Senna obtusifolia (Fabaceae), Herisanthia hemoralis (Malvaceae), Richardia grandiflora, Borreria verticilliata (Rubiaceae), Waltheria indica, W. Rotundifolia (Sterculicaceae), dan Stachytarpheta sanguinea (Verbenaceae) (Lima et al. 2000). Selanjutnya Simmon et al. (2000) melaporkan bahwa inang baru kutukebul di Amerika Serikat adalah: Hyperium perfolatum (Hypericaceae), Valeriana officinalis (Valerianaceae), Tanacetaum parthenium, Echinaceae pallida, E. purpurea (Asteraceae). Henridval et al. (2011) melaporkan kisaran inang B. tabaci yang tumbuh di sekitar pertanaman cabai merah di Indonesia tepatnya di Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta terdiri atas 22 spesies gulma dan lima spesies tanaman budidaya lainnya. Inang tersebut meliputi 13 famili yaitu Amaranthaceae, Araceae,
Asteraceae,
Brassicaceae,
Capparidaceae,
Convolvulaceae,
Euphorbiaceae, Lamiaceae, Oxalidaceae, Rubiaceae, Papilionaceae, Solanaceae, dan Sterculiaceae. Famili Asteraceae dan Euphorbiaceae merupakan inang dengan
13 populasi B. tabaci paling banyak dibandingkan dengan famili lainnya. Gulma A. conyzoides berperan sebagai inang B. tabaci, inang alternatif Geminivirus, dan reservoir parasitoid Eretmocerus sp. Gulma A. boehmerioides hanya berperan sebagai inang B. tabaci dan inang alternatif Geminivirus. Hama B. tabaci dilaporkan telah ada sejak tahun 1800 di Amerika Serikat. Hama ini ditemukan di bagian selatan Amerika dan bermigrasi ke California Utara, dan akhirnya ditemukan pula di bagian barat Amerika dan Canada. Selanjutnya hama ini menyebar ke pulau Caribia, Amerika Serikat dan Amerika Selatan serta Mexico, kemudian menyebar ke Eropa, Afrika, India, Australia (Mc Auslane 2005). Sebelum tahun 1986, hama B. tabaci hanya bersifat sebagai hama sekunder. Pada tahun 1986 di Florida, serangga ini menjadi serangga yang merugikan secara ekonomi. Hama ini berkembang dengan cepat di Amerika Serikat (Texas, Arizona dan California). Pada tahun 1994, ditemukan spesies baru, yaitu B. argentifolii (Mc Auslane 2005).
Peranan B. tabaci dalam Penularan Begomovirus Peranan B. tabaci sebagai vektor Begomovirus yang menyebabkan penyakit pada tanaman sayuran termasuk cabai merah sudah banyak dilaporkan. Menurut Cohen dan Berlinger (1986) populasi kutukebul yang sangat rendah sudah dapat menyebabkan kerusakan tanaman, karena merupakan vektor virus tanaman. Pada umumnya hubungan virus dengan vektornya bersifat persisten akan tetapi pada umumnya tidak diturunkan ke generasi berikutnya melalui telur (non transovarial transmission), walaupun diketahui terdapat begomovirus yang dapat diturunkan ke generasi berikutnya, misalnya TYLCV (Czosnek et al. 1988), dan TYLCV-sar (Bosco et al. 2001). Ghanim et al. (1998) dan Ghanim dan Czosnek (2000) melaporkan bahwa TYLCV-Israel mampu ditularkan secara transovarial oleh B. tabaci selama dua generasi dan melalui kopulasi antar individu. Perring (2001) menyatakan bahwa terdapat 7 kelompok biotipe B. tabaci, dan biotipe B yang sangat potensial dalam menularkan begomovirus pada berbagai tanaman budidaya, misal CabLCV pada tanaman kubis dan ToMV pada tanaman tomat (Hunter et al. 1998). Secara alamiah begomovirus tidak menular
14 melalui benih tapi hanya menular dengan bantuan serangga B. tabaci dari tanaman satu ke tanaman lainnya. Sulandari (2004) melaporkan bahwa B. tabaci adalah suatu vektor yang sangat efektif, karena pada percobaan di rumah kaca hanya dengan menggunakan satu imago B. tabaci setelah mengisap sumber inokulum selama 48 jam dan melalui periode inokulasi 24 jam sudah dapat menularkan begomovirus penyebab penyakit daun keriting kuning cabai (PepYLCV) sebesar 40%. dan efektifitas penularan meningkat 2 kali apabila digunakan 3 imago. Semakin banyak imago B. tabaci yang digunakan, efektivitas penularan makin meningkat dan masa inkubasinya lebih singkat. Brown (1994) menunjukkan bahwa satu ekor B. tabaci yang telah diberi perlakuan periode makan akuisisi (PMA) selama 48 jam dan periode makan inokulasi (PMI) selama 3 hari, mampu menularkan chino del tomato virus (CdTV) dengan jumlah tanaman terinfeksi 15%. Mehta et al. (1994) melaporkan bahwa satu ekor B. tabaci biotipe B mampu menularkan tomato yellow leaf curl virus-Mesir (TYLCV-Mesir), dan efisiensi penularannya meningkat 4 kali jika jumlah serangga ditingkatkan hingga 5 ekor pertanaman. Uzcategui dan Lastra (1978) melaporkan bahwa efisiensi penularan virus oleh B. tabaci yang dipelihara pada suhu 30 – 34oC adalah 93%, sedangkan yang dipelihara pada suhu 20-30oC hanya 75%. Hubungan PepYLCV dengan B. tabaci bersifat persisten akan tetapi pada umumnya tidak diturunkan ke generasi berikutnya melalui telur (non transovarial transmission). Periode akuisisi dan inokulasi yang optimal dari B. tabaci untuk menularkan Pep.YLCV adalah 3 sampai 6 jam, memerlukan periode laten di dalam tubuh vektor selama minimal 9 jam dan periode retensinya sampai serangga mati (Sulandari 2004). Untuk PepYLCV di Thailan, periode makan akuisisi imago B. tabaci selama 1 jam merupakan waktu yang optimal untuk penularannya, dan memerlukan periode laten sekitar 10 jam (Samretwanich et al. 2000). Imago B. tabaci betina lebih efektif dalam menularkan PepYLCV dibandingkan yang jantan. Semua tanaman (100%) tertular oleh PepYLCV yang dibawa imago betina dengan masa inkubasi yang lebih pendek (6 sampai 8 hari) sementara yang jantan hanya mampu menularkan sebanyak 60% dengan masa
15 inkubasi yang lebih panjang (10 sampai 18 hari), dan gejala yang ditimbulkannya juga lebih ringan, tanaman cabai tidak menjadi kerdil (Sulandari 2004).
Peranan Teknik Budidaya Khususnya Pemanfaatan Tanaman Pembatas Pinggir Untuk Pengendalian Hama dan Konservasi Predator Pengendalian hama secara budidaya atau bercocok tanam bertujuan mengelola lingkungan tanaman sedemikian rupa sehingga menjadi kurang cocok bagi kehidupan dan perkembangan hama serta dapat mengurangi laju peningkatan populasi hama dan kerusakan tanaman. Disamping itu, diusahakan juga agar lingkungan dapat mendorong berfungsinya musuh alami sebagai pengendali hama yang efektif (Untung 2006). Mula mula teknik pengendalian secara bercocok tanam yang diterapkan merupakan teknik yang kurang dilihat perpaduannya dengan teknik-teknik pengendalian hama yang lain seperti pemanfaatan musuh alami. Saat ini dalam rangka sistem PHT teknik pengendalian hama secara bercocok tanam mencakup pengertian yang lebih luas yaitu pengelolaan ekologi lingkungan pertanaman (Pedigo 1991). Untuk meningkatkan keefektifan dan efisiensi hasil pengendalian teknik pengendalian secara bercocok tanam perlu dipadukan dengan teknik-teknik pengendalian hama lainnya sesuai dengan prinsip-prinsip PHT (Untung 2006). Menurut Pedigo (1991) sebagian besar teknik pengendalian secara bercocok tanam berdasarkan sasaran yang akan dicapai dapat dikelompokkan menjadi 4 dan salah satunya adalah mengalihkan populasi hama menjauhi tanaman. Dengan mempelajari sifat preferensi dan kemampuan serangga hama bergerak menjauhi tanaman yang tidak disukai dan menuju ke jenis tanaman yang disenangi dapat diusahakan mengalihkan perhatian hama untuk menjauhi tanaman yang sedang diusahakan. Penanaman tanaman border di sekitar tanaman yang diusahakan, berfungsi menolak atau menghalangi agar hama menjauhi atau tidak sampai ke tanaman yang diusahakan. Penanaman tanaman border dilakukan dengan menanam jenis tanaman bukan inang atau yang tidak disukai oleh hama sasaran di sekeliling tanaman yang diusahakan. Tanaman bukan inang selain berperan sebagai samaran yang membuat tanaman inang sulit ditemukan, juga berperan sebagai penghalang fisik bagi hama untuk menemukan tanaman inang yang diusahakan. Misalnya
16 jagung di sekeliling tanaman cabai dapat menghalangi pemencaran trips (Pedigo 1991). Agar diperoleh hasil dengan baik, waktu penanaman tanaman border harus disesuaikan dengan fenologi hama terutama waktu pemunculan fase hidup hama yang merusak tanaman. Disamping itu perlu dipertimbangkan juga postur tinggi tanaman border harus lebih tinggi dari tanaman utama dan kemampuan ketinggian terbang hama sasaran (Untung 2006). Menurut Settle et al. (1996) dan Untung (2006), pemanfaatan tanaman border dapat mendorong stabilitas ekosistem sehingga populasi hama dapat ditekan berada dalam kesetimbangannya. Fenomena ini terjadi karena suatu lahan pertanian yang ditanamai berbagai jenis tanaman dapat meningkatkan keragaman vegetasi yang terdapat di dalam ekosistem, sehingga membuat ekosistem tersebut kurang sesuai bagi serangga hama, dan sebaliknya sesuai bagi musuh alami. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi serangga hama ditemukan lebih tinggi pada pertanaman monokultur dari pada pertanaman polikultur. Tingginya populasi serangga hama pada pertanaman dengan vegetasi yang lebih seragam disebabkan oleh laju kolonisasi serangga hama lebih tinggi dan hambatan fisik (barier) serta kimia yang lebih rendah dalam menemukan tanaman inang (Altieri 1991). Di sisi lain, teknik bercocok tanam seperti penanaman tanaman border dapat mendorong konservasi musuh alami seperti predator. Hal ini terjadi karena pemanfaatan tanaman border merupakan teknik pengendalian hama secara budidaya yang dapat meningkatkan keragaman vegetasi (Untung 2006). Vegetasi yang beragam sangat sesuai bagi kehidupan musuh alami seperti predator yang pada umumnya bersifat generalis. Predator generalis dapat memangsa bermacammacam mangsa yang tersedia dalam waktu yang lama. Selain itu predator juga dapat memelihara
reproduksinya dan meningkatkan lama hidup, karena
tersedianya nektar dan tepung sari serta mikrohabitat yang sesuai (Andow 1991; Perfecto dan Sediles 1992; Untung 2006). Dengan demikian, pada vegetasi yang beragam populasi predator generalis itu dapat bertahan dalam tingkat yang lebih tinggi dan dalam waktu yang relatif lama, sehingga predator generalis lebih kuat menekan populasi hama (Risch et al. 1983). Norris dan Kogan (2005) menambahkan dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa populasi predator
17 dan parasitoid terutama yang generalis pada vegetasi yang beragam relatif stabil, dan bertahan lama, sebab makanan (tepung sari dan nektar) tersedia lebih berkesinambungan serta adanya tempat berlindung dan mikrohabitat yang sesuai.
Peranan Predator dalam Pengendalian B. tabaci Menurut Pedigo (1991) predator adalah organisasi yang hidup bebas dan memakan binatang lain, memangsa kadang-kadang secara utuh dan cepat. Istilah “predatisme” adalah suatu bentuk simbiosis dari dua individu yang salah satu di antara individu tersebut menyerang atau memakan individu lainnya satu atau lebih spesies, untuk kepentingan hidupnya yang dapat dilakukan dengan berulangulang. Individu yang diserang disebut mangsa. Menurut Smith (1978) dan Huffaker et al. (1976) dalam pemanfaatan predator, bisa dilakukan dengan mengintroduksi maupun yang sudah ada di suatu daerah kemudian dikelola untuk mengendalikan serangga hama. Menurut De Bach (1979) dan Untung (2006), populasi hama yang meningkat sehingga menimbulkan kerugian secara ekonomik disebabkan oleh keadaan lingkungan yang kurang memberi kesempatan bagi predator untuk menjalankan fungsi alaminya. Apabila kepada musuh alami dalam hal ini predator kita berikan kesempatan berfungsi, antara lain dengan jalan rekayasa lingkungan seperti introduksi predator, memperbanyak dan melepaskannya, serta mengurangi berbagai dampak negatif terhadap predator, maka predator akan dapat melaksanakan fungsinya dengan baik Serangga predator pada umumnya bersifat polifag atau oligofag. Coppel and Mertins (1977) menyatakan bahwa spesies predator yang polifag kurang tergantung pada kerapatan populasi serangga hama. Walaupun demikian predator yang polifag memiliki kemampuan yang tinggi dalam beradaptasi terhadap lingkungan, dan memiliki kemampuan memencar yang cepat serta mampu beralih mangsa apabila mangsa utama berkurang. Wiedenmann and Smith (1997) menambahkan bahwa predator yang potensial harus mempunyai kemampuan berkompetisi dan menyabar yang tinggi. Pada tanaman semusim, kolonisasi predator dapat terjadi secara periodik. Pada saat di lapangan tidak ada tanaman habitatnya, predator harus mampu menyebar ke tanaman bukan habitatnya. Pada
18 saat di lapang ada tanaman maka predator harus mampu dengan cepat dapat mengolonisasi habitat itu. Studi musuh alami Bemisia spp. di Brasil menemukan sekitar 14 spesies predator (Jervis dan Kidd 1996). Dari jenis predator kumbang kubah (lady beetle), Nephaspis hydra Gordon dan Delphastus davidsoni Gordon diketahui pertama kali sebagai pemangsa Bemisia spp. Gerling (1990) menambahkan bahwa ada 19 spesies serangga tercatat sebagai predator yang memangsa B. tabaci yang termasuk pada empat famili yaitu Chrysopidae, Miridae, Anthocoridae dan Stigmaeidae. Setiawati (2005), mengungkapkan beberapa spesies predator yang diketahui efektif terhadap B. tabaci antara lain Coccinella transversalis, Menochilus sexmaculatus, Coenosia attenuate, Delphastus pusillus, Deracocoris pallens, Euscius hibisci, Orius albidipennis, Scymus syriacus. dan Chrysoperla carnea. Dari hasil penelitian eksplorasi musuh alami di Kabupaten Bandung dan Karawang pada tahun 2005 ditemukan beberapa jenis predator dan parasitoid yang mempunyai potensi untuk mengendalikan hama kutukebul (B. tabaci) pada pertanaman sayuran. Jenis predator kutukebul yang ditemukan adalah beberapa spesies dari famili Coccinellidae (Menochilus sexmaculatus, Coccinella transversalis, Harmonia sp., Curinus coerulus dan Delphastus sp.), Paederus fusipes (Coleoptera: Stapilinidae) dan Condilastylus sp. (Diptera). Jenis parasitoid kutukebul yang ditemukan adalah beberapa spesies dari famili Aphelenidae (seperti Eritmoserus sp., Neopompalae sp. dan Encarsia sp.). (Sudrajat 2009). Berdasarkan hasil pengujian skala laboratorium jenis predator yang potensial untuk dikembangkan adalah M. sexmaculatus, C. transfersalis, Harmonia sp., C. coerulus dan Paederus fuscipes, dengan daya pemangsaan rata-rata berkisar 65%. (Muharam dan Setiawati 2007). Keefektifan predator dalam mengendalikan populasi hama dapat diukur dari daya pemangsaannya (Kharboutli dan Mack 1993). Berdasarkan daya pemangsaan tersebut dapat dinilai kemampuan predator dalam mengatur keseimbangan populasi mangsa. Menurut Tarumingkeng (1994), terdapat beberapa faktor yang menentukan tingkat laju pemangsaan (konsumsi) oleh suatu predator terhadap mangsanya, diantaranya adalah preferensi terhadap jenis mangsa tertentu dan
19 kerapatan mangsa hubungannya dengan kemampuan mencari yang tinggi terutama pada saat populasi mangsa rendah (tanggap fungsional).
Preferensi Predator terhadap Jenis Mangsa Berbagai spesies predator mempunyai preferensi terhadap mangsa tertentu. Preferensi diartikan sebagai derajat kesukaan predator terhadap mangsa tertentu, yang ditunjukkan oleh jumlah individu mangsa yang dimakan dan terbunuh oleh suatu individu predator dalam satu satuan waktu. Menurut Cineros dan Rosenheim (1998) preferensi dapat merupakan seleksi terhadap satu tipe mangsa terhadap proporsi mangsa yang tersedia dalam satu lingkungan tertentu. Untuk menilai preferensi tersebut dapat digunakan nilai indeks linier pemilihan mangsa yang dapat diduga dengan persamaan yang dikembangkan oleh Houck (1986) sebagai berikut : L i = r i - p i . Li adalah indeks linier pemilihan mangsa, r i adalah proporsi mangsa yang dimangsa oleh predator, dan p i adalah proporsi mangsa yang tersedia (Houck 1986). Secara simetris nilai indeks linier pemilihan mangsa bervariasi antara -1 s/d + 1. Nilai positif menunjukan adanya preferensi (kesukaan) terhadap mangsa tertentu dan nilai negatif menunjukan tidak ada kesukaan (penolakan) terhadap mangsa tertentu atau mangsa relatif dihindari. Beberapa komponen yang berpengaruh pada preferensi terhadap mangsa adalah ketertarikan dan kesesuaian terhadap mangsa, pengenalan terhadap mangsa, keputusan menyerang atau tidak, menangkap serta mengkonsumsi mangsa. Walaupun tingkat penerimaan terhadap dua jenis mangsa sama, tetapi karena kemampuan menghindar dari kedua mangsa tersebut berbeda maka frekuensi pertemuan predator dan mangsa dapat berbeda, akibatnya preferensi terhadap kedua mangsa tersebut berbeda (Cineros dan Rosenheim 1998).
Tanggap Fungsional Predator terhadap Mangsa Hubungan antara predator dan mangsa sangat erat dalam kaitannya dengan perubahan kerapatan mangsa. Perubahan kerapatan populasi mangsa dapat mengubah perilaku predator dalam hal pemangsaan dan keefektifan predator dicerminkan oleh intensitas tanggapnya terhadap kerapatan populasi mangsa (Hassel 1966).
20 Elseth dan Baumgardner (1981) memperkenalkan dua jenis tanggap predator terhadap perubahan kerapatan populasi mangsa yaitu tanggap fungsional dan tanggap numerik. Tanggap fungsional menunjukkan perubahan jumlah mangsa yang diserang atau dimakan (laju pemangsaan) per individu predator akibat perubahan kerapatan mangsa per satuan waktu (Hassel 1966). Tanggap numerik
menunjukkan perubahan kerapatan predator sebagai akibat dari
perubahan kerapatan mangsa. Peningkatan kerapatan populasi predator sebagai tanggap terhadap peningkatan kerapatan populasi mangsa. Peningkatan kerapatan mangsa dan predator disebabkan oleh imigrasi atau reproduksi yang meningkat atau keduanya (Brewer 1979). Tanggap fungsional kemudian menjadi salah satu ukuran untuk menentukan keefektivan suatu predator dalam mengendalikan hama atau mengatur keseimbangan populasi hama (Hassell et al. 1977). Tanggap fungsional merupakan aspek penting untuk dipelajari, sehingga diperoleh gambaran tentang kemampuan predator dalam menangani mangsanya (Pervez dan Omkar 2005). Holling (1959) mengidentifikasi tiga macam tipe tanggap fungsional yang menggambarkan hubungan predator-mangsa yaitu; (1) Tanggap fungsional tipe I. (linier) yaitu proporsi mangsa yang dimakan bersifat konstan, sehingga hubungan antara banyaknya mangsa yang dimakan predator dan kerapatan mangsa bersifat linier. Jumlah mangsa yang dimakan meningkat secara proporsional mengikuti peningkatan kerapatan mangsa sampai batas maksimum kemudian mendatar sejalan dengan peningkatan kerapatan mangsa; (2) Tanggap fungsional Tipe II. (hiperbolik) yaitu proporsi mangsa yang dimakan/terbunuh menurun tajam dengan meningkatnya kerapatan populasi mangsa. Jumlah mangsa yang dimakan makin banyak dengan makin meningkatnya populasi mangsa, kemudian pertambahan jumlah mangsa yang dimakan tersebut mulai menurun dan penurunan itu makin cepat sejalan dengan makin meningkatnya populasi mangsa; (3) Tanggap fungsional Tipe III. (sigmoid) yaitu proporsi mangsa yang dimakan/terbunuh awalnya meningkat, tetapi kemudian secara berangsur menurun dengan meningkatnya kerapatan populasi mangsa. Pertambahan jumlah mangsa yang dimakan/terbunuh pada awal menigkatnya lambat dengan meningkatnya populasi
21 mangsa, kemudian makin cepat dan lambat kembali dengan meningkatnya populasi mangsa. Untuk memperoleh parameter tanggap fungsional laju pencarian mangsa seketika (a) dan waktu penanganan mangsa (Th) digunakan model persamaan cakram dari Holling (1959) atau persamaan acak dari Rogers (1972). Untuk tanggap fungsioan tipe I adalah: Persamaan cakram Ne = aN 0 + b; dan Persaman acak Ne = aT.No. Untuk tanggap fungsional tipe II adalah: Persamaan cakram Ne = a.T.N 0 /(1+a.Th.N 0 ); {1–exp[a(Th.Ne–T)]}.
Persamaan acak
Ne = N 0
Untuk tanggap fungsional tipe III adalah: Persamaan
cakram Ne = a.T.N 0 2/(1+cN 0 +b.Th.N 0 2); Persamaan acak
Ne = N 0 {1–exp
[(d+bN 0 )(Th.Ne–T)/(1+cN 0 )]}. Ne adalah banyaknya mangsa yang dimakan oleh per individu predator, N 0 banyaknya mangsa yang tersedia, T lama waktu mangsa terpapar pada predator waktu pencarian mangsa, Th waktu penanganan mangsa, a laju pencarian seketika(penyerangan) dan b, c dan d adalah konstan yang diturunkan dari parameter a (Hassell et al. 1977). Persamaan cakram Holling digunakan bila selama percobaan berlangsung, mangsa yang dikonsumsi oleh predator diganti sehingga kepadatan mangsa konstan. Jika mangsa yang dikonsumsi tidak diganti, maka persamaan acak lebih cocok untuk digunakan (Rogers 1972). Tanggap fungsional dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti stadia mangsa,
fase pertumbuhan tanaman, cuaca, kehadiran mangsa alternatif dan
kompetisi antara predator, disamping itu keragaman fisik dari suatu habitat juga mempengaruhi tanggap fungsional predator terhadap mangsa. Hal ini ada kaitanya dengan habitat sebagai tempat berlindung dan sumber makanan alternatif bagi serangga predator (Horn 1981).
Daftar Pustaka Altieri MA. 1991. Ecology of tropical herbivores in polycultural agroecosystem. P.607 – 617. In Price PC, T.M. Lewinsohn, G.W. Fernandes, W. Benson (ed.) Plant-Animals interaction: evolutionary ecology in tropical and temperate regions. John Wiley dan Sons, Inc New York 545p. Andow D.A. 1991. Vegetational diversity and arthropod population response. Annu.Rev. Entomol. 36: 561 – 586.
22 Badri I. 1983. Identification of the Aleyrodid on soybean from two location in west Jafa and some bionomics of Bemisia tabaci Genn. (Homoptera : Aleyrodidae) on three soybean varieties. Biotrop, Seameo-Regional Center for tropical Biology. Bogor, Indonesia. 62 pp. Basu AN. 1995. Bemisia tabaci (Gennadius): Crop Pest and Principal Whitefly Vector 0f Plant Viruses. New Delhi: Westview Press Beck, S.D. 1965. Resistance of plants to insects. Ann. Rev. Ent. 10 : 207 – 232. Bedford ID, Briddon RW, Markham PG, Brown JK, Rosell RC. 1992. Bemisia tabaci : biotype characterization and the threat of this whitefly species to agriculture. Proceedings of the 1992 British Crop Protection Conference Pest and Diseases 3 : 1235 – 1240. Bosco D, Mason G, Accotto GP. 2001. Investigations on transovarial transmission of TYLCV-Sar by Bemisia tabaci (Hemiptera: Aleyrodidae). European Whitefly Symp. Ragusa (Sicilia, Italy), 27th Feb – 3 rd March 2001. Brewer R. 1979. Principles of ecology. W.B. Sounders Company, Phyladelphia, London, Toronto. P. 90 – 95. Brown, JK. Costa HS., Laemmlen F. 1992. First report of whitefly associated labu silverleaf disorder of Cucurbita in Arizona and of white streaking disorder of Brassica in Arizona and California. Plant Dis. 76: 426. Brown, J.K. 1994. Current status of Bemisia tabaci as a plant pest and virus vector in agro ecosystems word wide. FAO Plant Prot. Bull. 42: 3 – 32 Butler, G.D., Jr., T.J. Henneberry, and T.E. Clayton.1983. Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae): Development, oviposition, and longevity in relation to temperature. Ann. Entomol. Soc. Amerika 76(2): 310 313. Byrne DN, Bellows Jr TS. 1991. Whitefly biology. Annual Review of Entomology 36: 431–457. Cisneros JJ, Rosenheim JA. 1998. Changes in the foraging behavior, within plant vertical distribution, and microhabitat selection of a generalist insect predator: an age analysis. Environ. Entomol. 27 (4): 949 – 957. Cohen S., dan Berlinger MJ. 1986. Transmission and host range of tomato yellow leaf curl virus. Phytopathol. 56 : 1127 – 1131. Coppel HC, Mertins JW. 1977. Biological insect pest suppresion. SpringerVerlag. Berlin, Heidelberg, New York. 314p. Costa HS. dan Brown JK. 1990. Variability in biological characteristic isozyme patterns and virus transmission among populations of Bemisia tabaci Genn. In Arizona. Phytopathol. 80 : 888.
23 Czosnek H, Ber R, Antignus Y, Cohen S, Nafot N, Zamir D. 1988. Isolation of tomato yellow leaf curl virus, a begomovirus. Phytopatol. 78: 508-512. De Bach P. 1979. Biologycal Control of Insect Pests and Weeds. London: Chapman dan Hall. Elseth GD, Baumgardner KD. 1981. Population biology. D. van Nostrand Companyy. New York. Cincinnati, Toronto. London. Melbourne. p. 361 – 407. Gameel, O.J. 1977. Bemisia tabaci Genn. Pp. 320 – 322. In J. Kranz, H. Schumutterer and W. Kock. ed. Diseases, pests and weed in tropical crops. Jhn Wiley dan Sons. New York. Gerling D. 1990. Natural enemies of whitelies; predator and parasitoids. In Whiteflies; Their Bionomics, Pest Status and Management, ed Dgarling, pp 147 – 185. Andover; Intercept Ltd. Ghanim M, Morin S, Zeidan M, Czosnek HG. 1998. Evidence for transovarial transmission of tomato yellow leaf curl virus by is vector, the whitefly Bemisia tabaci. Virol. 240: 295 – 303. Ghanim M, Czosnek H. 2000. tomato yellow leaf curl geminivirus (TYLVC-Is) is transmitted among whiteflies (Bemisia tabaci) in a sex-related manner. Virol. 74: 4735 – 4745. Greathead AH. 1986. Host plants. Di dalam : Cock MJW, editor. Bemisia tabaci. A literature Survey on the cotton Whitefly with an Annotated Bibliography. Silwood Park, UK : CAB International Institutes, Biological Control. Hlm 17 – 26. Hassel MP. 1966. Evaluation of parasite or redator resposes. J. Anim. Ecol. 35: 65 – 75. Hassell MP, Lawton JH, Beddington JR. 1977. Sigmoid fungtional responses by invertabrate predators and parasitoid. J. Anim Ecol. 46: 249 – 262. Hendrival, Hidayat P, Nurmansyah A. 2011. Kisaran inang dan dinamika populasi Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae) di pertanaman cabai merah. J. HPT Tropika. Vol. 11 No. 1: 47 – 56. Hirano, K., E. Budiyanto, and S. Winarni. 2002. Biological characteristics and forecasting outbreaks of the whitefly, Bemisia tabaci, a vector of virus diseases in soybean fields. http://www.agnet.org/library/article/tb135.html. Diakses Juli 2011. Holling CS. 1959. Some characteristics of simple types of predations and parasitism. Canadian Entomol 91: 385 – 398.
24 Horn DJ. 1981. Effect of weedy backgrounds on colonization of collards by green peach aphid, Myzus persicae and its major predators. Environ. Entomol. 10: 285 – 289. Houck MA, 1986. Prey preference in Stetorus punctum (Coleoptera: Coccinellidae). Environ. Entomol. 15: 967 – 970. House H.L. 1965. Insect nutrition, pp. 769 – 813. In Rockstein, ed. The physiology of insects (2) Academic Press. New York. Huffaker CBF, Simmonds J, Laing JE, 1976. Theoretical and empirical biological control. Pp.52 – 55. In Huffaker CBF, Messenger PS (ed.) Theory and practice of biological conrol. Academy Press. Hunter WB, Hiebert E, Webb SE, Tsai JH, Polston JE. 1998. Location of geminivirus in the whitefly Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae). Plant Dis 82: 1147 – 1151. Jervis M, Kidd N. 1996. Insect natural enemis, practical Approaches to their study and evaluation. Chapman and Hall. London. 491p. Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of Crops in Indonesia. Revisi oleh P.A. van der Laan. PT Ichtiar Baroe- van Hoeve. Jakarta. 701 pp. Kharboutli MS, TP Mack. 1993. Effect of temperatur, humidity, and prey density on feeding rate of the striped earwing (Dermaptera: Labiduridae). Environ. Entomol. 22(5): 1134 – 1139. Lima LHC, Moretzohn MC. Oliveira MRV. 2000. Survey of Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera : Aleyrodidae) biotype in Brazil using RAPD markers. Genet. Mol. Biol. 23 : 1 – 5 . Liu TX, Stansly PA. 1998. Life history of Bemisia argentifolii (Homoptera: Aleyrodidae) on Hibiscus rosa-sinensis (Malvaceae). Florida Entomologist 81(3): 437–445. Martin JH., Mifsud D., Rapisarda C. 2000. The whiteflies (Hemiptera: Aleyrodidae) of eourope and mediterranean basin. Buletin of Entomological Research. 86: 407- 448
McAuslane HJ.2005. Sweetpotato whitefly B Biotype of silverleaf whitefly, Bemisia tabaci (Gennadius) or Bemisia argentifolii Bellows and Perring (Homoptera: Aleyrodidae). Institut of Food and Agricultural Sciences, Universyti of Florida, Gainesville, FL. http://edis.ifas.ufl.edu/pdffiles/IN/IN28600.pdf. Diakses Juni 2009.
25 Mehta P, Wyman JA, Nakhla MK, Maxwell DP. 1994. Transmission of tomato yellow leaf curl geminivirus by Bemisia tabaci (Hemiptera: Aleyrodidae). J. Econ Entomol 87 (5): 1291 – 1297. Mound LA., Halsey SH. 1978. Whitefly of the world. New York: British Museum of Natural History and Wiley. Di dalam : Perring TM. 2001. The Bemisia tabaci species complex, Crop Protect. 20 : 725 – 737. Muharam A.dan W. Setiawati. 2007. Teknik Perbanyakan Massal Menochilus sexmaculatus (Coleoptera : Coccinellidae) dalam Pengendalian Bemisia tabaci Vektor Virus Kuning pada Tanaman Cabai. Jurnal Hortikultura.Vol 17.No.4 : 365 – 373. Norris FF and Kogan M. 2005. Ecology of interaction between weeds and arthrophods. Ann. Rev. Entomol. 50: 479 – 503. Oliveira MRV, Henneberry TJ, Anderson P. 2001. History, current status and collaborative research projects for Bemisia tabaci. Crop Protection 20: 709 – 723. Pedigo LP. 1991. Entomologi and pest management. MacMillan Publishing company New York. Collier MacMillan Publishers. London. 646p. Perfecto I, Sediles A. 1992. Vegetational diversity, ants (Hymenoptera: Formicidae), and herbivorous pest in a neotropical agroecosystem. Environ. Entomol. 21(1):61– 67. Pervez A, Omkar. 2005. Functional responses coccinellidae predator: an illustration of a logistic approach. J. Insect Sci 5(5): 1 – 6. Perring TM. 2001. The Bemisia tabaci species complex. Crop Prot. 20: 725-737. Risch SJ., D Andow, MA Altieri. 1983. Agroecosystem diversisty and pest control data , tentative conclusions and new research directions. Environ. Entomol.12: 625-629. Rogers DJ. 1972. Random search and insect population models. J Anim Ecol. 18: 1 – 35. Salas J, Mendoza O. 1995. Biology of the sweetpotato whitefly (Homoptera: Aleyrodidae) on tomato. Florida Entomologist 78(1): 154–160. Samretwanich K, Chiemsombat P, Kittipakorn K, Ikegami M. 2000. A new geminivirus associated with a yellow leaf curl disease of pepper in Thailand. Plant Dis 84: 1047. Setiawati, W. 2005. Pengelolaan Terpadu pada Tanaman Cabai Merah dalam Upaya Mengatasi Penyakit Virus Kuning. Makalah disampaikan pada Pertemuan Apresiasi Penerapan Penganggulangan Virus Cabai, Yogyakarta, 14 – 15 April 2005.
26 Settle, W.H., H. Ariawan, E.T. Astuti, W. Cahyana, A.L. Hakim, D. Hindayana, A.S. Lestari, Pajarningsih, Sartanto. 1996. Managing Tropical Rice Pests Through Conservation of Generalist National Enemies and Alternative Prey. Ecology 77 (7): 1957 – 1988. The Ecological Society of America. Simmon AM, McCutcheon GS, Dufault RJ, Hassell RL, Rushing JW. 2000. Bemisia argentifolii (Homoptera: Aleyrodidae) attacking species of medicinal herbal plants. Ann. Entomol. Soc. Am. 93 : 856 – 866 . Smith RF. 1978. Distory and complexity of integrated pest management in pest control strategies. Smith SH and Pimmentel D.(ed.). Acedemy Press. New York. Sudrajat. 2009. Eksplorasi Musuh Alami Kutukebul (Bemisia tabaci) di Jawa Barat (Pangalengan, Ciwidae, Lembang dan Krawang) pada Tanaman Sayuran. Laporan Sementara Hasil Penelitian untuk Disertasi S-3. Universitas Padjadjaran. Sulandari S, Hidayat SH, Suseno R, Jumanto H, Sosromarsono S. 2001. Keberadaan virusgemini pada cabai di DIY. Konggres Nasional dan Seminar Ilmiah PFI ke XVI. Bogor, Agustus 2001. Sulandari S. 2004. Karakterisasi biologi, serologi, dan analisis sidik jari DNA virus penyebab daun keriting kuning cabai [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tarumingkeng, R.C. 1994. Dinamika Pertumbuhan Populasi Serangga. IPB Press, Bogor. Untung Kasumbogo. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Uzcategui Rcde, Lastra R. 1978. Transmission and physical properties of the causal agent of mosaic amarillo del tomato (tomato yellow mosaic). Phytopathol. 68: 985 – 988. Wiedenmann RN, Smith JW. 1997. Attributes of natural enemies in ephemeral crop habitat. Biol. Contr. 10: 16 – 22.
III. PENGARUH TANAMAN PEMBATAS PINGGIR DI PERTANAMAN CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) TERHADAP POPULASI KUTUKEBUL Bemisia tabaci (GENNADIUS) (HEMIPTERA: ALEYRODIDAE) DAN INSIDENSI PENYAKIT DAUN KERITING KUNING (Effect of Border Crops in Chili Pepper (Capsicum annuum L.) on Population of Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae) and Incidence of Yellow Leaf Curl Disease) Abstrak Penyakit daun keriting kuning yang disebabkan oleh PepYLCV merupakan salah satu penyakit utama pada pertanaman cabai merah terutama di daerah Jawa Tengah. Pengendalian serangga vektor kutukebul B. tabaci merupakan strategi penting untuk menekan penyakit tersebut. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh jenis tanaman pembatas pinggir terhadap dinamika populasi B. tabaci dan insidensi penyakit daun keriting kuning pada pertanaman cabai merah di lapangan. Perlakuan merupakan kombinasi antara penggunaan sungkup dan tanpa sungkup di pesemaian dengan perlakuan empat jenis pembatas pinggir, yaitu kain sifon, tanaman jagung, tanaman orok-orok dan tanpa tanaman pinggir pada pertanaman cabai di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan sungkup di pesemaian dapat melindungi bibit cabai merah dari B. tabaci dan menunda infeksi begomovirus selama 2 minggu. Kombinasi penggunaan sungkup di pesemaian dan tanaman pembatas pinggir jagung atau orok-orok di lahan pertanaman cabai merah dapat menekan populasi B. tabaci, insidensi penyakit daun keriting kuning cabai dan kehilangan hasil panen cabai merah akibat serangan penyakit tersebut. Rerata populasi imago B. tabaci terendah terdapat pada pertanaman cabai merah dengan perlakuan pembatas pinggir tanaman jagung dan pembatas pinggir tanaman orok-orok berturut-turut 23.30 ekor dan 24.88 ekor, sedangkan rerata populasi imago B. tabaci tertinggi terdapat pada petak perlakuan pembatas pinggir kain sifon dan tanpa pembatas pinggir berturut-turut 27.55 ekor dan 28.56 ekor. Insidensi penyakit daun keriting kuning dapat ditekan sebesar 50.80 % dan kehilangan hasil panen cabai merah dapat ditekan sebesar 70.86 %. Ada korelasi positif antara populasi B. tabaci dengan insidensi penyakit daun keriting kuning (r = 0.925). Terdapat korelasi negatif antara insidensi penyakit daun keriting kuning dengan hasil panen cabai merah (r = - 0.8886). Kata kunci : B. tabaci, cabai merah, penyakit daun keriting kuning, tanaman pinggir. Abstract Yellow leaf curl disease caused by PepYLCV is considered as the main disease in chilli pepper, especially in Central Java. Controlling its insect vector, B. tabaci, is important to suppress the disease. The objectives of the research were to study the effect of border crops (maize, crotalaria) to population of B. tabaci, incidence of Yellow leaf curl disease and crop yield. Randomize complited design was applied for this experiment. Two kinds of seedlings, with and without
28
seedling cover, combined with four kinds of borders i.e. maize, crotalaria (Fabaceae), chiffon fabric and non border. The results showed the use of covered seedling was able to protect the seedling from B. tabaci and delay virus infection for 2 weeks. Population of B. tabaci was significantly lower in plot with combination at border crops (maize, crotalaria) and covered seedling. Population average of B. tabaci imago on chillipepper plant with maize, crotalaria (Fabaceae), chiffon fabric and non border were 23.30, 24.88, 27.55 and 28.56 respectively. The lowest Positive correlation between population of B. tabaci and disease incidence was observed (r = 0.925), where as correlation between disease incidence and yield crop was negative (r = - 0.8886). Key words: B. tabaci, chili pepper, pepper yellow leaf curl disease, border crop. Pendahuluan Di Indonesia kutukebul Bemisia tabaci menjadi hama yang sangat penting terutama pada pertanaman cabai merah sejak tahun 2000, karena menimbulkan kerusakan secara langsung dan juga merupakan vektor Pepper yellow leaf curl begomovirus (PepYLCV) yang menyebabkan penyakit daun keriting kuning cabai (Hidayat et al. 2006). Penyakit daun keriting kuning sekarang menjadi epidemik pada pertanaman cabai di berbagai daerah seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Sumatera Selatan dan Lampung (Sulandari et al. 2006; Hidayat et al. 2006). Perkembangan luas serangan virus kuning di beberapa daerah di Indonesia terutama di pulau Jawa terjadi sangat cepat. Pada tahun 2003 luas serangan virus kuning berkisar antara 6.2 - 60 ha dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 183.5 – 575.4 ha (Ditlin Hortikultura 2009). Kerusakan akibat penyakit daun keriting kuning pada pertanaman cabai sangat berat sehingga kerugian ekonomi dapat mencapai 20 sampai 100% (Sulandari et al. 2006). Penularan PepYLCV hanya terjadi melalui B. tabaci, tidak dapat melalui kontak atau biji (Brown 1994; Aidawati et al. 2002; Jones 2003; Hidayat dan Rahmayani 2007). Oleh karena itu pengendalian terhadap B. tabaci merupakan salah satu strategi untuk menekan insidensi penyakit daun keriting kuning cabai. Upaya pengendalian B. tabaci yang umum dilakukan petani selama ini adalah dengan penggunaan insektisida secara intensif. Penggunaan insektisida yang berlebihan, disamping merupakan pemborosan juga dapat membahayakan manusia dan menimbulkan berbagai kerugian terhadap lingkungan, antara lain terbunuhnya organisme bukan sasaran seperti predator dan parasitoid, dan
29
terjadinya resistensi hama terhadap insektisida (Naranjo dan Akey 2005; Lin dan Wang 2005). Dilaporkan oleh Sugiyama (2005) dan Setiawati et al. (2007) bahwa populasi B. tabaci sudah mulai menunjukkan ketahanan terhadap banyak jenis insektisida diantaranya dari golongan organofosfat, karbamat dan piretroid sintetik. Pemanfaatan tanaman pinggir merupakan salah satu alternatif pengendalian yang dapat menekan populasi B. tabaci di pertanaman cabai merah dan aman terhadap lingkungan. Menurut Difanzo et al. (1996) dan Fereres (2000), pemanfaatan tanaman pinggir dapat menekan insidensi penyakit tanaman oleh virus yang ditularkan melalui serangga vektor. Pemanfaatan tanaman jagung sebagai tanaman pinggir di pertanaman kentang dapat menekan insidensi penyakit virus Y kentang (PVY) yang ditularkan oleh kutudaun. Selanjutnya dilaporkan oleh Muthomi et al. (2010), bahwa tanaman jagung yang ditanam dengan jarak 0.5 dan 1 m dari pertanaman kentang dapat menekan populasi kutudaun dan insidensi penyakit virus kentang sampai 48 %. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa pemanfaatan orok-orok (Crotalaria juncea) sebagai tanaman pinggir di pertanaman “zucchini” dapat menekan populasi kutudaun dan insidensi penyakit virus bercak cincin papaya (PRSV) strain semangka (Roshan dan Cerruti 2011). Pemanfaatan tanaman jagung atau orok-orok sebagai pembatas pinggir pada pertanaman cabai merah untuk pengendalian B. tabaci telah dilakukan oleh para petani di Indonesia terutama di daerah Jawa Tengah. Meskipun demikian dalam cara pelaksanaannya seperti jarak dan waktu tanam antara tanaman pembatas pinggir dan tanaman cabai merah kurang tepat, sehingga hasilnya kurang maksimal. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian secara ilmiah mengenai pengaruh tanaman pembatas pinggir terhadap populasi B. tabaci dan inseidensi penyakit daun keriting kuning cabai serta kelimpahan predator penting. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh tanaman pinggir terhadap dinamika populasi B. tabaci dan tingkat insidensi penyakit daun keriting kuning pada pertanaman cabai merah di lapangan.
30
Bahan dan Metode Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni 2011 sampai Januari 2012 di lahan petani di Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta (270 mdpl).
Rancangan Percobaan Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas 8 perlakuan dengan 3 ulangan. Perlakuan merupakan gabungan perlakuan di pesemaian (disungkup dan tanpa sungkup)
dan perlakuan jenis
pembatas pinggir (jagung, orok-orok, kain sifon dan tanpa pembatas pinggir) di pertanaman cabai merah di lapangan. Delapan perlakuan yang dibandingkan terdiri atas: 1) Pesemaian disungkup dan pembatas pinggir tanaman orok-orok (S+O); 2) Pesemaian disungkup dan pembatas pinggir tanaman jagung (S+J); 3) Pesemaian disungkup dan pembatas pinggir kain sifon ketinggian 2 m (S+K); 4) Pesemaian disungkup dan tanpa pembatas pinggir (S+T); 5) Pesemaian tanpa sungkup dan pembatas pinggir tanaman orok-orok (N+O); 6) Pesemaian tanpa sungkup dan pembatas pinggir tanaman jagung (N+J); 7) Pesemaian tanpa sungkup dan pembatas pinggir kain sifon ketinggian 2 m (N+K); dan 8) Pesemaian tanpa sungkup dan tanpa pembatas pinggir (N+T). Tata letak percobaan disajikan pada Lampiran 2.
Pelaksanaan Percobaan Cabai merah yang ditanam untuk penelitian adalah varietas TM999. Dua jenis pesemaian disiapkan di dekat lahan penanaman cabai yaitu pesemaian disungkup (Lampiran 1a) dan tanpa menggunakan sungkup (Lampiran 1b). Pesemaian disungkup berukuran 4 m x 1.5 m x 1.5 m (panjang x lebar x tinggi) dengan 2 lapis pintu masuk, bagian atasnya ditutup dengan plastik transparan, bagian samping ditutup rapat sampai tanah dengan kain sifon (Lampiran 1a). Pesemaian tanpa sungkup berukuran 4 m x 1.5 m x 1.5 m (panjang x lebar x tinggi), bagian atasnya ditutup dengan plastik transparan, sedangkan bagian samping dibiarkan terbuka (Lampiran 1b). Bibit cabai berumur 10 hari setelah tebar benih (HSTB) dipindahkan ke wadah yang terbuat dari daun pisang (diameter 3 cm, tinggi 4 cm) kemudian dimasukkan ke dalam pesemaian.
31
Setiap petak perlakuan berukuran 14 m x 12.5 m dengan jarak antar petak 2 m. Setiap petak terdiri atas 6 bedengan, jarak antar bedengan 60 cm, penanaman dilakukan 2 lajur dengan jarak tanam 50 cm x 60 cm, total terdapat 30 tanaman cabai per bedengan. Tanaman pembatas pinggir jagung atau orok-orok ditanam 2 tahap sepanjang musim tanam cabai merah, yaitu 4 sampai 5 minggu sebelum pindah tanam cabai merah, dan 6 minggu setelah tanam (MST) cabai merah. Pada setiap tahap, tanaman pinggir jagung dan orok-orok terdiri atas 3 baris ditanam mengelilingi petakan tanaman cabai merah. Tanaman jagung ditanam secara zig zag dengan jarak antar tanaman 25 cm dan antar baris 25 cm. Tanaman orok-orok ditanam rapat, tanpa jarak tanam, dengan jarak antar baris 30 cm (Lampiran 1). Bibit
cabai merah yang
ditanam berumur 25 hari setelah semai.
Penanaman cabai merah menggunakan mulsa plastik (bagian bawah warna hitam dan bagian atas warna perak). Pupuk dasar terdiri atas 40ton/ha pupuk kandang dan pupuk buatan TSP 200 kg/ha diberikan sebelum tanam; Urea : 200 kg/ha diberikan 3 kali pada umur 3, 6 dan 9 (MST); ZA : 500 kg/ha diberikan 3 kali pada umur 3, 6 dan 9 (MST) dan KCl : 200 kg/ha diberikan 3 kali pada umur 3, 6 dan 9 (MST). Pemeliharaan tanaman seperti penyiraman dilakukan sesuai dengan kebutuhan tanaman di lapangan, sehingga secara agronomis tanaman dapat tumbuh dengan baik. Penyiangan dilakukan dalam satu musim tanam empat kali atau menurut kebutuhan di lapangan. Pengendalian hama dan penyakit bukan sasaran apabila dianggap perlu digunakan pestisida, maka penggunaan pestisida tersebut diupayakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu tujuan percobaan, sehingga penarikan kesimpulan hasil percobaan tidak mengalami kesalahan.
Parameter Pengamatan Pengamatan populasi imago B. tabaci di pesemaian dengan menggunakan perangkap kuning berbentuk silinder dengan diameter 6cm dan panjang 15cm (Lampiran 3a dan 4a)) sebanyak 3 perangkap setiap tempat pesemaian , dan dipasang selama 24 jam/pengamatan. Pengamatan dilakukan sejak tanaman berumur 15 hari setelah semai. Pengamatan di lapangan dilakukan terhadap 10 tanaman contoh per petak perlakuan yang ditentukan secara sistematis. Pengamatan dimulai sejak umur
32
tanaman cabai merah 2 MST sampai panen pertama, dengan interval satu minggu. Untuk pengamatan populasi imago B. tabaci digunakan perangkap kuning berbentuk silinder dengan diameter 6 cm dan panjang 15 cm (Lampiran 3a dan 4a) sebanyak 3 perangkap/petak perlakuan, dipasang selama 24 jam/pengamatan. Pengamatan populasi nimfa B. tabaci dilakukan dengan cara mengambil 2 helai daun cabai yang arahnya berlawanan pada tanaman contoh kemudian dihitung jumlah nimfanya dengan bantuan kaca pembesar atau mikroskop binokuler di laboratorium (Lampiran 3b dan 4b). Insidensi penyakit daun keriting kuning dihitung dengan membandingkan proporsi tanaman bergejala dari seluruh tanaman contoh yang diamati (Sulandari et al. 2006). Perkembangan penyakit dihitung berdasarkan AUDPC (Area Under Disease Progress Curve) dengan rumus (Louws et al. 1996): n-1
∑ ( Yi + Y i 2
AUDPC =
i + 1)
(t i + 1 – t i )
Keterangan : AUDPC = Kurva perkembangan penyakit Yi + 1
= Data pengamatan ke i + 1
Yi
= Data pengamatan ke i
ti + 1
= Waktu pengamatan ke i + 1
ti
= Waktu pengamatan ke i
n
= Jumlah pengamatan
Persentase penghambatan penyebaran (P) penyakit daun keriting kuning cabai akibat perlakuan dihitung berdasarkan rumus: AUDPC perlakuan P= (1–
) x 100% AUDPC kontrol
Panen cabai merah dilakukan sebanyak 6 kali dengan interval satu minggu. Buah cabai yang sehat dan busuk baik oleh penyakit maupun lalat buah dipisahkan kemudian masing-masing ditimbang beratnya.
Analisis Data Data diolah dengan menggunakan analisis ragam program SAS 90. Jika terdapat perbedaan antar perlakuan, pengolahan dilanjutkan dengan uji jarak
33
berganda Duncan pada taraf nyata 5 persen. Hubungan antara kedua parameter dilakukan analisi Korelasi-regresi dengan uji t dan uji F pada taraf nyata 5 %.
Hasil dan Pembahasan. Dinamika Populasi B. tabaci di Pesemaian dan Lapangan Jumlah imago B. tabaci pada perangkap kuning di pesemaian terbuka berkisar antara 5 – 17 ekor/hari sementara di pesemaian yang disungkup tidak satupun imago yang tertangkap (Jumlah imago yang tertangkap = 0)(Gambar 3.1). 18
Jumlah imago / perangkap
16 14 12 10 8 6 4 2 0
√ √√√√√√√√ 1 2 3 15 4 16 5
17 21 11 22 12 23 13 24 25 27 28 6 18 7 19 8 20 9 10 14 26 15 16 17
Waktu pengamatan (HSS)
Gambar 3.1 Rerata jumlah imago B. tabaci pada perangkap kuning di pesemaian cabai merah (HSS = hari setelah semai) Data tersebut menunjukkan bahwa kehadiran imago B. tabaci sudah dimulai sejak awal pertumbuhan tanaman (14 HSS) dan pesemaian disungkup dapat melindungi tanaman dari B. tabaci, sehingga infeksi begomovirus tidak terjadi pada saat tanaman masih muda (awal tanam). Dilaporkan oleh Sulandari et al. (2006) bahwa, infeksi Begomovirus sejak awal tanam dapat menyebabkan kerusakan atau kehilangan hasil cabai merah hingga 100 %. Jumlah imago B. tabaci pada perangkap kuning di pertanaman cabai merah dengan pembatas pinggir lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan di pertanaman tanpa pembatas pinggir (Tabel 3.1). Hal tersebut menunjukkan bahwa jagung, orok-orok dan kain kasa efektif mencegah atau mengurangi masuknya imago B. tabaci ke dalam pertanaman cabai merah. Tanaman pinggir jagung dan
34
orok-orok lebih efektif dibandingkan dengan pembatas pinggir dari kain sifon dalam menghambat masuknya imago B. tabaci ke pertanaman cabai merah. Fenomena tersebut diduga terjadi karena pembatas pinggir dari kain sifon hanya berperan sebagai penghalang fisik, sedangkan tanaman pinggir seperti jagung dan orok-orok berperan ganda. Tanaman pinggir tersebut berperan sebagai penghalang fisik bagi hama untuk menemukan tanaman inangnya dan berperan sebagai samaran inang yang membuat tanaman inang sulit ditemukan
(Perfecto dan
Sediles 1992). Nderitu et al. (2008) melaporkan bahwa strategi pemanfaatan tanaman pinggir (border cropping) dalam pengendalian hama dan serangga vektor, berhubungan dengan perilaku aktivitas terbang serangga dalam mencari tanaman inang untuk berkoloni, makan dan reproduksi. Pada saat aktif terbang serangga vektor tidak dapat membedakan antara tanaman inang dan bukan inang secara visual. Setelah sampai di permukaan daun serangga vektor melakukan seleksi kecocokan inang dengan alat mulutnya. Tanaman pinggir di sekeliling tanaman utama dapat menyebabkan serangga vektor menghabiskan sebagian besar waktu untuk melakukan seleksi kecocokan inang pada permukaan daun tanaman pinggir. Dengan demikian dapat menghambat proses makan, kolonisasi dan reproduksi pada tanaman inang termasuk juga kesempatan menularkan virus (Hooks dan Fereres 2006; Damicone et al. 2007). Dinamika populasi imago B. tabaci di pertanaman cabai merah pada semua perlakuan menunjukkan kecenderungan yang sama. Pada awal pertumbuhan tanaman cabai merah, populasi imago B. tabaci rendah, kemudian meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman dan populasi imago B. tabaci mencapai maksimum pada umur tanaman cabai sekitar 8 – 9 MST, setelah itu populasi imago turun kembali seiring dengan bertambahnya umur tanaman (Tabel 3.1). Fenomena ini terjadi diduga karena adanya hubungan antara perilaku kutukebul dalam memperoleh makanan dengan pertumbuhan vegetatif tanaman yang berkaitan dengan lebar dan kerimbunan tajuk. Kutukebul baik imago maupun nimfanya memperoleh makanannya dari daun tanaman. Di sisi lain di dalam pertumbuhan vegetatif zat-zat makanan lebih dominan ditujukan untuk pertumbuhan batang dan daun. Pada vase generatif pertumbuhan tinggi dan daun tanaman relatif terhenti, dan zat-zat makanan lebih dominan ditujukan untuk
35
pembentukan bunga dan buah. Menurut Suwandi et al. (1999) awal fase generatif pertanaman cabai merah di dataran rendah berkisar 8 – 10 MST. Oleh karena itu, populasi kutukebul tersebut mencapai maksimum pada umur tanaman cabai sekitar 8 – 9 MST setelah itu menurun kembali. Populasi nimfa B. tabaci yang ditemukan pada daun cabai merah tergolong rendah yaitu kurang dari 3 nimfa per daun (Tabel 3.2). Data tersebut menunjukkan bahwa imago B. tabaci yang tertangkap selama musim tanam kemungkinan adalah populasi B. tabaci yang bermigrasi dan bukan B. tabaci yang mengkoloni tanaman cabai. B. tabaci tergolong serangga yang memiliki kisaran inang yang luas (Oliveira et al. 2001). Indrayani dan Sulistyowati (2005) melaporkan bahwa B. tabaci mempunyai preferensi tinggi terhadap spesies inang yang memiliki trikoma pada permukaan bawah daun, antara lain terung dan kapas, dan sebaliknya kurang menyukai spesies inang yang tidak memiliki trikoma pada permukaan bawah daun. Dalam penularan virus daun keriting kuning cabai, yang sangat berperan adalah imago B. tabaci bukan nimfanya, karena imagonya aktif terbang (mobile) sedangkan nimfanya tidak bergerak (diam di tempat) kecuali instar 1.
Oleh
karena itu, keberhasilan B. tabaci migrasi masuk ke pertanaman cabai akan menyebabkan tingginya insidensi penyakit daun keriting kuning cabai (Jones 2003). Menurut Hooks dan Fereres (2006) pemanfaatan tanaman pinggir dapat mengurangi jumlah B. tabaci yang migrasi dan mengkoloni pada pertanaman cabai merah. Selain itu, perilaku serangga vektor dalam menularkan virus tanaman biasanya diawali pada bagian pinggir area pertanaman. Dengan demikian, tanaman pinggir berfungsi sebagai samaran bagian pinggir area pertanaman yang diusahakan, sehingga penularan virus sebagaian besar terjadi pada tanaman pinggir, dan pada akhirnya dapat mengurangi insidensi penyakit virus pada pertanaman yang diusahakan (Damicone et al. 2007).
32 36 Tabel 3.1 Rerata jumlah imago B. tabaci/perangkap di pertanaman cabai merah pada perlakuan kombinasi antara pesemaian dan jenis pembatas pinggir. Waktu pengamatan (minggu setelah tanam)2
Kombinasi Perlakuan1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
S+K
34.67b
48.33b
59.00b
73.33b
84.33b
91.67b
110.67b
96.67b
80.33b
45.67b
21.00d
S+O
26.00c
41.00bc
45.67c
65.00c
70.67c
84.00d
103.00c
83.67c
71.00c
43.33c
20.00d
S+J
26.33c
35.67c
45.00dc
64.67c
70.67c
81.67d
102.67c
83.33c
70.33c
41.67d
18.33e
S+T
41.67a
59.33a
77.67a
97.33a
105.33a
119.00a
129.33a
104.33a
91.33a
58.67a
34.67b
N+K
36.33b
46.00b
61.33b
78.67b
82.67b
93.33b
109.00b
95.00b
82.00b
46.00b
22.67c
N+O
28.33bc
38.00c
48.33c
60.00d
69.00c
88.00c
103.33c
81.33c
69.33c
43.33c
20.00d
N+J
27.33c
37.33c
43.00d
56.33e
70.67c
87.33c
101.00c
82.00c
69.00c
43.00c
21.00d
N+T
43.00a
61.33a
79.67a
96.67a
104.67a
121.33a
131.33a
107.00a
92.67a
59.00a
36.67a
S, pesemaian disungkup N, pesemaian tanpa sungkup. K, kain sifon (ketinggian 2 m) sebagai pembatas pinggir O, tanaman orok-orok sebagai pembatas pinggir J, tanaman jagung sebagai pembatas pinggir; T, tanpa pembatas pinggir. 2 Angka rerata yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5 %.
33
Waktu pengamatan (minggu setelah tanam)2
Kombinasi Perlakuan1
32
Tabel 3.2 Rerata jumlah nimfa B. tabaci/daun di pertanaman cabai merah pada perlakuan kombinasi antara perlakuan pesemaian dan jenis pembatas pinggir.
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
S+K
0.70b
1.13a
1.73a
0.87c
1.07c
1.80b
1.80b
1.47b
1.37ab
1.00b
S+O
0.17c
0.40b
0.53b
0.40de
0.37d
0.90c
0.80c
0.40d
0.47c
0.33c
S+J
0.13c
0.47b
0.43b
0.47d
0.50d
1.03c
0.77c
0.50d
0.53c
0.43c
S+T
0.77ab
1.20a
1.43a
1.87a
1.33b
2.83a
2.73a
1.67ab
1.43a
1.20a
N+K
0.73ab
1.13a
1.50a
0.83c
1.07c
1.73b
1.43b
1.43b
1.07b
0.90b
N+O
0.20c
0.50b
0.37b
0.40de
0.53d
0.90c
0.73c
0.73c
0.53c
0.50c
N+J
0.13c
0.40b
0.43b
0.27e
0.47d
0.73c
0.80c
0.77c
0.57c
0.40c
N+T
0.83a
1.27a
1.77a
1.13b
1.57a
2.03b
2.93a
1.73a
1.23ab
0.90b
1
S, pesemaian disungkup N, pesemaian tanpa sungkup K, kain sifon (ketinggian 2 m) sebagai pembatas pinggir O, tanaman orok-orok sebagai pembatas pinggir J, tanaman jagung sebagai pembatas pinggir; T, tanpa pembatas pinggir. 2 Angka rerata yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5 %.
37
38
Insidensi Penyakit Daun Keriting Kuning dan Pengaruhnya terhadap Hasil Panen Cabai Merah Gejala penyakit daun keriting kuning cabai mulai tampak sejak awal tanam (2 MST) dan terjadi pada petak perlakuan yang bibitnya berasal dari pesemaian tanpa sungkup, sedangkan pada petak perlakuan yang bibitnya berasal dari pesemaian yang disungkup belum tampak adanya gejala penyakit (Gambar 3.2). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan sungkup di pesemaian dapat menunda insidensi penyakit daun keriting kuning di lapangan. Insidensi penyakit terus meningkat sesuai dengan bertambahnya umur tanaman (pada pengamatan selanjutnya dari 4 – 12 MST). Pada awal masa panen tingkat insidensinya berkisar 50% sampai 80%. Insidensi penyakit yang terendah terjadi pada kombinasi perlakuan pesemaian disungkup dengan pembatas pinggir tanaman jagung dan orok-orok
(S+J dan S+O) masing-masing sebesar 50.56% dan 51.11%,
sedangkan yang tertinggi terjadi pada kombinasi perlakuan pesemaian tanpa sungkup dengan pembatas pinggir dari kain sifon dan tanpa pembatas pinggir (N+K dan N+T) masing-masing 81.67% dan 80.56% (Gambar 3.2). Hasil perhitungan nilai AUDPC terlihat bahwa semakin rendah nilai AUDPC semakin tinggi persentase penghambatannya atau penekanan penyakit daun keriting kuning (Tabel 3.3). Nilai AUDPC terendah (1543.92 – 1571.14) dan persentase penghambatan penyakit tertinggi 49.94 – 50.80% terdapat pada petak perlakuan kombinasi penggunaan sungkup di pesemaian dan penanaman orokorok atau jagung sebagai pembatas pinggir. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi penggunaan sungkup di pesemaian dan penanaman orokorok atau jagung sebagai pembatas pinggir terbukti dapat menekan insidensi penyakit daun keriting kuning sebesar (49.94 – 50.80%). Insidensi penyakit tersebut sangat berkaitan dengan aktivitas pergerakan B. tabaci. Analisis regresi korelasi antara populasi imago B. tabaci dan insidensi penyakit daun keriting kuning cabai memperoleh nilai persamaan y = 6.165 x – 93.466 dengan koefisien determinasi R2 = 0.8559 (F = 35.62;P < 0.001) dan koefisien korelasi r = 0.925 (t = 5.91; P < 0.001) (Gambar 3.3). Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara populasi imago B. tabaci dengan insidensi penyakit daun keriting kuning. Peningkatan populasi imago
B. tabaci dapat menyebabkan
39
peningkatan insidensi penyakit. Penelitian penularan Begomovirus pada cabai menunjukkan bahwa insidensi penyakit daun keriting kuning meningkat dengan penggunaan jumlah B. tabaci yang lebih banyak (Rusli et al. 1999). Penelitian lain di daerah Lampung menunjukkan bahwa populasi B. tabaci berpengaruh terhadap insidensi penyakit daun keriting kuning, makin tinggi populasi B. tabaci maka insidensi penyakit
pada pertanaman cabai makin tinggi (Sudiono dan
Purnomo 2009).
Insidensi penyakit kuning (%)
90 80
S.K
70
S.O
60
S.J
50
S.T
40
N.K N.O
30
N.J
20
N.T
10 0 2MST
4MST
6MST
8MST
10MST
12MST
Umur Tanaman Gambar 3.2 Rerata insidensi penyakit daun keriting kuning cabai (%) pada pertanaman cabai merah dengan kombinasi perlakuan pesemaian dan jenis tanaman pinggir (S = pesemaian disungkup, N = pesemaian tanpa sungkup, K = kain sifon ketinggian 2m sebagai pembatas pinggir, O = tanaman orok-orok sebagai pembatas pinggir; J = tanaman jagung sebagai pembatas pinggir, T = tanpa pembatas pinggir)
40
Tabel 3.3 Pengaruh perlakuan terhadap nilai AUDPC dan penekanan penyakit daun keriting kuning (%) di pertanaman cabai pada pengamatan 2 – 12 minggu setelah tanam . Kombinasi perlakuan
AUDPC
Penekanan penyakit(%)
S+K
2337.25
25.53
S+O
1571.14
49.94
S+J
1543.92
50.80
S+T
2333.35
25.65
N+K
3157.81
-0.62
N+O
2570.56
18.09
N+J
2652.24
15.49
N+T
3138.32
0.00
Insidensi penyakit(%)
90.00 80.00 70.00 60.00
y = 6.165x - 93.466
50.00
R2 = 0.8559 r = 0.925
40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 23.00
24.00
25.00 26.00 27.00 Populasi Imago B. tabaci
28.00
29.00
Gambar 3.3 Regresi populasi B. tabaci dengan insidensi penyakit daun keriting kuning cabai Secara keseluruhan bobot buah cabai merah yang busuk baik oleh serangan lalat buah maupun penyakit berkisar 0.68 ± 0.08 sampai 0.82 ± 0.09 kg dan tidak berbeda nyata pada semua petak perlakuan. Perbedaan bobot buah cabai merah di petak perlakuan semata-mata disebabkan oleh perbedaan insidensi penyakit daun keriting kuning. Bobot buah cabai merah tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan penggunaan sungkup di pesemaian dan tanaman pinggir
41
jagung atau orok-orok (S+J dan S+O) di lapangan, sedangkan terendah pada kombinasi perlakuan pembatas pinggir dari kain sifon dan pesemaian cabai terbuka (N+K) (Gambar 3.4). Infeksi PepYLCV dilaporkan dapat menyebabkan penurunan produksi tanaman cabai yang sangat tinggi (Hidayat et al. 2006). Pada penelitian di Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta insidensi penyakit daun keriting kuning sampai 12 MST berkisar antara 50% sampai 81% (Gambar 3.2) dan bobot buah cabai berkisar 8.03 sampai 27.58 kg/petak (Gambar 3.4). Analisis regresi korelasi terhadap insidensi penyakit daun keriting kuning dan bobot buah cabai memperoleh nilai persamaan P = 54.122 – 0.501 K dengan koefisien determinasi R2 = 0.7897 (F = 82.60; P < 0.001) (Gambar 3.5) dan koefisien korelasi r = - 0.8886 (t = 9.09; P < 0.001). Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara insidensi penyakit daun keriting kuning dengan bobot buah cabai. Peningkatan insidensi penyakit daun keriting kuning dapat menyebabkan penurunan bobot buah cabai hasil panen. 35.00
27.56a
27.58a
Bobot cabai (kg)/petak
30.00
23.85b 21.91b
25.00
18.34c
20.00
16.08c
15.66c
15.00
8.03d
10.00 5.00 0.00 S+K**
S+O
S+J
S+T
N+K
N+O
N+J
N+T
Kombinasi perlakuan
Gambar 3.4 Rerata bobot buah cabai per petak (kg) pada pertanaman cabai merah dengan kombinasi perlakuan pesemaian dan jenis tanaman pinggir (S = pesemaian disungkup, N = pesemaian tanpa sungkup, K = kain sifon ketinggian 2m sebagai pembatas pinggir, O = tanaman orokorok sebagai pembatas pinggir; J = tanaman jagung sebagai pembatas pinggir, T = tanpa pembatas pinggir, * Angka rerata yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada ujung batang menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji Duncan pada taraf 5 % )
42
Y = 54.12 – 0.501X R2 = 0.7897
Gambar 3.5 Regresi antara insidensi penyakit daun keriting kuning dengan bobot buah cabai Simpulan Penggunaan sungkup dapat melindungi pesemaian dari serangan B. tabaci dan menunda
infeksi virus selama 2 minggu. Penggunaan tanaman pinggir
(jagung atau orok-orok) berpengaruh nyata dalam menurunkan populasi B. tabaci dan insidensi penyakit daun keriting kuning cabai. Kombinasi penggunaan sungkup di pesemaian dan tanaman pinggir jagung atau orok-orok di sekeliling pertanaman cabai merah efektif mengendalikan B. tabaci, sehingga insidensi penyakit daun keriting kuning dapat ditekan sebesar 50.80 % dan kehilangan hasil panen cabai merah dapat ditekan sebesar 70.86 %. Ada korelasi positif antara populasi B. tabaci dengan insidensi penyakit daun keriting kuning (r = 0.925), dan sebaliknya ada korelasi negatif antara insidensi penyakit daun keriting kuning dengan hasil panen tanaman (r = - 0.8886). Rerata populasi imago B. tabaci pada pertanaman cabai merah dengan perlakuan pembatas pinggir tanaman jagung, pembatas pinggir tanaman orokorok, pembatas pinggir kain sifon dan tanpa pembatas pinggir berturut-turut 23.30 ekor, 24.88 ekor, 27.55 ekor dan 28.56 ekor. Rerata insidensi penyakit daun keriting kuning pada pertanaman cabai merah dengan perlakuan pembatas pinggir
43
tanaman jagung, pembatas pinggir tanaman orok-orok, pembatas pinggir kain sifondan tanpa pembatas pinggir berturut-turut 50%, 51.56%, 75% dan 80.61%. Rerata hasil panen cabai merah dengan perlakuan pembatas pinggir tanaman jagung, pembatas pinggir tanaman orok-orok, pembatas pinggir kain sifon dan tanpa pembatas pinggir berturut-turut 27.58 kg/plot, 27.56 kg/plot, 16.08 kg/plot dan 15.66 kg/plot.
Daftar Pustaka Aidawati N, Hidayat SH, Suseno R, Sosromarsono S. 2002. Transmision of an Indonesian isolate of tobacco leaf curl virus (Gemini virus) by Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae) Plant Pathol 18: 231 – 236. Brown JK. 1994. Current status of Bemisia tabaci as a plant pest and virus vector in agro ecosystems word wide. FAO. Plant Prot. Bull. 42: 3 – 32. Damicone JP, Edelson JV, Sherwood JL, Myers LD, Motes JE. 2007. Effects of border crops and intercrops on control 0f cucurbit virus diseases. J. Plants Dis. 91: 509 – 516. Difanzo CD, Rogsdale DW, Radcliffe NC, Sencor GA 1996. Crop borders reduce potato virus Y incidence in seed potato. Annals of Applied Biology 129: 289 – 302. Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura. 2009. Virus kuning pada cabai. Makalah disampaikan pada Seminar Kelompok Kerja, April 2009 di Yogyakarta. Fereres A. 2000. Border crops as a culture measure of non-persistently transmitted aphid-borne viruses. Virus Research 71: 221 – 231. Hidayat SH, Chatchawankanpanich O, Rusli E, Aidawati N. 2006. Begomovirus assosiated with pepper yellow leaf curl diseases in West Java, Indonesia. J. Indon. Microbial. 11 (2): 87 – 89. Hidayat SH, Rahmayani E. 2007. Transmission of tomato leaf curl begomovirus by two different species of whitefly (Hemiptera : Aleyrodidae) J. Plant Pathol. 23 (2): 57– 61. Hooks CRR, Fereres 2006. Protecting crops from non-persistently aphid transmitted. viruses: Areviev of the barrier plants as a management tool. Virus Research 120: 1-16. Indrayani IGGA, Sulistyowati E. 2005. Pengaruh kerapatan bulu daun pada tanaman kapas terhadap kolonisasi Bemisia tabaci Gennadius. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 11 (3): 101 – 106.
44
Jones D. 2003. Plant viruses transmitted by whiteflies. Eur. J. Plan. Pathol 10 (9): 197- 221. Lin FC, Hsieh TT, Wang CL. 2005. Occurrence of whiteflies and their integrated management in Taiwan. Pp. 245 – 257. In. Proc. of the International Seminar on Whitefly Management and Control Strategy. Taichung Taiwan. Oct 3 – 8, 2005 Louws, F.J. Mary, K.H. John, F.K. & Cristine, T.S. 1996. Impact of Reduced Fungicide and Tillage on Blight, Fruit Root and Yield Processing Tomatoes. J. Plant Disease : 1251 – 1256. Muthomi JW, Kinyungu TN, Nderitu JH, Olubayo FM, Kabira JN. 2010. Effect of maize border crop placement distance on aphid population and aphidtransmitted virus diseases in potato. Journal Entomology 7: 335 – 343. Naranjo SE, Akey DH. 2005. Conservation of natural enemies in Cotton : Comperative selectivity of Acetamiprid in the Management of Bemisia tabaci. Pest. Manag. Sci. 61 (6): 555 – 566. Nderitu JH, Kasina M, Malenge F. 2008. Evaluating border cropping system for management of aphid (Hemiptera : Aphididae) infecting okra (Malfaceae) in Kenya. Journal of Entomology 5: 262 – 269. Norris FF, Kogan M. 2005. Ecology of interaction between weeds and arthrophods. Ann. Rev. Entomol. 50: 479 – 503. Oliveira MRV, Henneberry TJ, Anderson P. 2001. History, current status and collaborative research projects for Bemisia tabaci. Crop Protection 20: 709 – 723. Perfecto I, Sediles A. 1992. Vegetational diversity, ants (Hymenoptera: Formicidae), and herbivorous pest in a neotropical agroecosystem. Environ. Entomol 21(1):61– 67. Roshan Manandhar, Cerruti RR Hooks. 2011. Ushing protector plants to reduce the incidence of papaya ringspot virus-watermelon strain in zucchini. Environmental Entomology 40 (2): 391 – 398. Rusli ES, Hidayat SH, Suseno R, Tjahjono B. 1999. Virus gemini pada cabai: Variasi gejala dan studi cara penularan. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 11 (1): 26-31. Setiawati W, Udiarto BK, Soetiarso TA. 2007. Selektivitas Beberapa Insektisida terhadap Hama Kutu Kebul (Bemisia tabaci Genn.) dan Predator Menochilus sexmaculatus Fabr. Jurnal Hortikultura Vol.17, No. 2, Tahun 2007. Sudiono, Purnomo. 2009. Hubungan antara populasi kutukebul (Bemisia tabaci Genn) dan penyakit kuning pada cabai di Lampung Barat. J. HPT. Tropika 9 (2): 115 – 120.
45
Sulandari S, Suseno R, Hidayat SH, Harjosudarno J, Sosromarsono S. 2006. Deteksi dan kajian kisaran inang virus penyebab penyakit daun keriting kuning cabai J. Hayati Vol. 13 (4): 1 – 6. Sugiyama K. 2005. Management of whitefly for commercial tomato production in greenhouses in Shizuoka, Japan. In. Proc. of the International Seminar on Whitefly Management and Control Strategy. Taichung, Taiwan. Oct 3 – 8, 2005. pp.81 – 91. Suwandi, N. Nurteka dan S. Sahat. 1989. Bercocok Tanam Sayuran Dataran Rendah. Laporan Balai Penelitian Hortikultura Lembang dan Proyek ATA 395. Lembang : 31 – 36.
IV. PENGARUH TANAMAN PEMBATAS PINGGIR DI PERTANAMAN CABAI MERAH TERHADAP KELIMPAHAN SERANGGA PREDATOR (The Effect of border crops in chillipepper plantation to abundance of predacious insect) Abstrak Pengendalian serangga vektor B. tabaci merupakan strategi penting untuk menekan penyakit daun keriting kuning cabai. Pengendalian dengan pemanfaatan tanaman pembatas pinggir disamping efektif terhadap B. tabaci, juga dapat mendorong konservasi musuh alami seperti predator. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh tanaman pembatas pinggir di pertanaman cabai merah terhadap kelimpahan predator penting B. tabaci. Perlakuan pada pertanaman cabai merah di dilapangan terdiri atas empat jenis pembatas pinggir yaitu: Kain sifon, tanaman jagung, tanaman orok-orok dan tanpa pembatas pinggir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan tanaman pinggir di pertanaman cabai merah berpengaruh nyata meningkatkan kelimpahan serangga predator penting B. tabaci. Kelimpahan predator tertinggi terdapat pada pertanaman cabai dengan perlakuan jagung sebagai pembatas pinggir yaitu sebesar 48 ekor/15 tanama dan yang terendah pada petak perlakuan dengan kain sifon sebagai pembatas pinggir yaitu sebesar 18.67 ekor/15 tanaman. Hasil identifikasi ditemukan 9 spesies predator yang berpotensi sebagai musuh alami B. tabaci, yaitu Menochilus sexmaculatus, Coccinella transversalis, Verania lineata, Harmonia sp., Verania discolor, Curinus coeruleus, Coelophora sp. (Coleoptera: Coccinellidae), Paederus fuscipes (Coleoptera: Stapilinidae), dan Condylostylus sp. (Diptera: Dolychopodidae). Predator yang dominan dibandingkan yang lain adalah M. sexmaculatus , C. transversalis dan V. lineata. Kata kunci: Tanaman pembatas pinggir, Predator, B. tabaci, Cabai merah
Abstract Controlling insect vector B. tabaci is important to suppress pepper yellow leaf curl disease. Field research was conducted in Yogyakarta (Minggir Subdistrict, Sleman District) in June 2011 to January 2012. The objectives of the research were to study the effect of border crops (maize, crotalaria) in chillipepper crop to abundance of predator species. The study were examined by four kinds of borders i.e. chiffon fabric, maize, crotalaria (Fabaceae) and no border. The results showed that border crop especially maize could enhance the abundance of important predators of B. tabaci. The highest abundance of predators was on chili pepper plantation with maize border (48 individu/15plant) and the lowest abundance of predators was on chili pepper plantation with chiffon fabric border (18.67 individu/1plant). Nine predator spescies of B. tabaci were identified i.e. Menochilus sexmaculatus, Coccinella transversalis, Verania lineata, Harmonia sp., Verania discolor, Curinus coeruleus, Coelophora sp. (Coleoptera: Coccinellidae), Paederus fuscipes (Coleoptera: Stapilinidae), and Condylostylus
47
sp. (Diptera: Dolychopodidae). The most commonly found predator species were M. sexmaculatus, C. transversalis and V. lineata. Key words: Border crop, B. tabaci, chillipepper, predator. Pendahuluan Pengendalian hama sesungguhnya telah menjadi bagian dari kegiatan budidaya tanaman itu sendiri sejak manusia mengusahakan pertanian. Usaha tersebut terus berkembang hingga sekarang, tetapi masalah hama justru berkembang semakin rumit dan sulit dikendalikan. Hal ini terjadi karena dalam usaha pengendalian hama tersebut semata-mata hanya ditujukan untuk memusnahkan organisme pengganggu tanaman, tanpa memperhatikan kaidahkaidah ekologik seperti keseimbangan dan kestabilan ekosistem. Oleh karena itu cara pengendalian hama semacam ini harus segera ditinggalkan dan beralih ke konsep pengelolaan hama yang berwawasan ekologi. Pengendalian hama dengan cara bercocok tanam seperti pemanfaatan tanaman pinggir dapat mendorong stabilitas ekosistem sehingga populasi hama dapat ditekan dan berada dalam kesetimbangannya (Settle et al. 1996). Jenis tanaman pinggir yang dipilih harus mempunyai fungsi ganda yaitu, disamping sebagai penghalang masuknya imago B. tabaci ke pertanaman cabai merah, juga sebagai tanaman refugia yang berfungsi untuk berlindung sementara dan penyedia tepung sari untuk makanan alternatif predator, jika mangsa utama populasinya rendah atau tidak ada di pertanaman cabai merah (Untung 2006). Teknik bercocok tanam seperti penanaman tanaman pinggir dapat mendorong konservasi musuh alami seperti predator. Naranjo (2001) menambahkan dalam hasil penelitiannya bahwa populasi predator dan parasitoid terutama yang generalis pada vegetasi yang beragam relatif stabil, dan bertahan lama, sebab makanan seperti tepung sari dan nektar tersedia lebih berkesinambungan, serta adanya tempat berlindung dan mikrohabitat yang sesuai. Dengan demikian, pengendalian hama dengan pemanfaatan tanaman pinggir dapat meningkatkan keragaman vegetasi dan pada gilirannya juga meningkatkan keanekaragaman musuh alami seperti predator. Artropoda predator yang menyerang B. tabaci dan mendominasi ekosistem cabai merah adalah ordo Coleopetera, famili Coccinellidae (Setiawati 2005; Sudrajat 2009). Artropoda predator tersebut dapat digolongkan ke dalam penghuni
48
tajuk dan penghuni permukaan tanah. Petani dalam bercocok tanam cabai merah pada umumnya menggunakan mulsa plastik hitam perak, sehingga mengurangi keragaman vegetasi gulma dan pada gilirannya akan mengurangi kelimpahan jenis dan
individu predator yang berada di permukaan tananh, oleh karena itu
penelitian yang dilakukan dikonsentrasikan terhadap artropoda predator penghuni tajuk . Sampai saat ini penelitian-penelitian mengenai pengendalian hama dengan pemanfaatan tanaman pinggir semata-mata hanya dititik beratkan dalam menekan populasi hama dan belum memperhatikan dampaknya terhadap musuh alami seperti predator. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh pemanfaatan tanaman pinggir terhadap musuh alami seperti predator. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemanfaatan tanaman pembatas pinggir pada pertanaman cabai merah terhadap kelimpahan predatornya penting B. tabaci.
Bahan dan Metode Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni 2010 sampai dengan Januari 2011 di kebun petani di Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Daerah tersebut di atas dipilih karena diketahui sebagai daerah endemik penyakit daun keriting kuning cabai. Percobaan dilakukan pada pertanaman cabai merah dengan perlakuan berbagai jenis tanaman pembatas pinggir. Perlakuan terdiri atas: 1) Pesemaian disungkup dan tanaman pembatas pinggir orok-orok (S+O), 2) Pesemaian disungkup dan tanaman pembatas pinggir jagung (S+J), 3) Pesemaian disungkup dan pembatas pinggir kain sifon ketinggian 2m (S+K) dan 4) Pesemaian disungkup dan tanpa pembatas pinggir (S+T) (Lampiran 1 c – f ). Luas setiap petak perlakuan 33.2 m x 12.5 m dan jarak antar petak 2 m. Dalam setiap petak perlakuan lebar tanaman pinggir 1.5 m, jarak tanaman pinggir dengan tanaman cabai 1 m. Jumlah bedengan 18, jarak antar bedengan 60 cm, setiap bedengan terdapat 30 tanaman cabai dengan jarak tanam 50 cm x 60 cm, total tanaman cabai 540. Pesemaianan cabai merah keriting varietas TM.999 dilaksanakan dengan menggunakan sungkup. Ukuran sungkup lebar 1.5 m, panjang 4m dan tinggi 1.5
49
m. Sungkup dilengkapi dengan 2 pintu masuk, dinding sungkup terbuat dari kain sifon, sedangkan atapnya menggunakan plastik transparan sehingga cahaya matahari masih tembus ke dalam sungkup (Lampiran 1a). Penanaman tanaman pinggir jagung dan orok-orok dilakukan 2 kali, sedangkan kain sifon di pasang sekali selama satu musim tanam cabai merah. Kain sifon dengan ketinggian 2 m dipasang seminggu sebelum tanam cabai merah. Untuk tanaman pinggir jagung dan orok-orok penanaman pertama masingmasing 5 dan 4 minggu sebelum tanam cabai merah, sedangkan penanaman ke dua hampir bersamaan yaitu 6 minggu setelah tanam cabai merah. Penanaman tanaman pinggir jagung dan orok-orok terdiri atas 6 baris mengelilingi tanaman cabai merah dan setiap kali tanam terdiri atas 3 baris. Jarak antar tanaman jagung 25 cm, sedang antar baris 25 cm yang ditanam secara sigsag. Tanaman orok-orok ditanam rapat tanpa jarak tanam sepanjang larikan (baris), sedangkan jarak antar baris 25 cm (Lampiran 1). Bibit cabai merah yang ditanam berumur 28 hari setelah semai, dengan jarak tanam 50 cm x 60 cm. Penanaman cabai merah menggunakan mulsa plastik (permukaan bawah berwarna hitam dan permukaan atas berwarna perak). Pupuk dasar yang terdiri atas 40 ton/ha pupuk kandang dan pupuk buatan TSP 200kg/ha diberikan sebelum tanam; Urea : 200 kg/ha diberikan 3 kali pada umur 3, 6 dan 9 mst; ZA : 500 kg/ha diberikan 3 kali pada umur 3, 6 dan 9 mst; dan KCl : 200 kg/ha diberikan 3 kali pada umur 3, 6 dan 9 mst . Pemeliharaan tanaman seperti penyiraman dilakukan sesuai dengan kebutuhan tanaman di lapangan, sehingga secara agronomis tanaman dapat tumbuh dengan baik. Penyiangan dilakukan dalam satu musim tanam empat kali atau menurut kebutuhan di lapangan. Pengendalian hama dan penyakit bukan sasaran apabila dianggap perlu digunakan pestisida, maka penggunaan pestisida tersebut diupayakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu tujuan percobaan, sehingga penarikan kesimpulan hasil percobaan tidak mengalami kesalahan. Pengamatan dilakukan pada 15 tanaman contoh per petak perlakuan. Tanaman contoh ditentukan secara sistematis diagonal. Pengamatan dilakukan mulai umur tanaman cabai merah 4 sampai 14 mst, dengan interval 2 minggu. Pengambilan artropoda predator B. tabaci dilakukan dengan menggunakan mesin
50
pengisap (D-vac) (Kogan dan Pitre 1980; Whitcomb 1980; Andow 1991). Sebelum pengisapan dilakukan, tanaman contoh disungkup dengan kurungan yang terbuat dari plastik berkerangka bambu, dengan ukuran diameter 50cm bagian bawah dan 25cm bagian atas. Pengambilan artropoda predator B. tabaci berlangsung antara pukul 07.00 sampai dengan 09.00. Artropoda predator yang diperoleh dikoleksi dan diidentifikasi di laboratorium berdasarkan kunci identifikasi yang tersedia (Borror dan White 1970; Kalshoven 1981; Borror et al. 1989; Barrion dan Litsinger 1990).
Hasil dan Pembahasan Dari hasil identifikasi pada percobaan pemanfaatan berbagai jenis tanaman pinggir di pertanaman cabai merah ditemukan 9 jenis predator yang berpotensi sebagai musuh alami B. tabaci (Gambar 4.1). Predator B. tabaci yang ditemukan terdiri atas 7 spesies dari famili Coccinellidae (Coleoptera), 1 spesies dari famili Staphilinidae (Coleoptera) dan 1spesies dari famili Dolichopodidae (Diptera) (Tabel 4.1). Penelitian eksplorasi musuh alami yang dilakukan oleh Sudrajat (2009) di Jawa Barat, juga menemukan 8 jenis spesies predator B. tabaci yaitu
Menochilus sexmaculatus, Coccinella transversalis, Harmonia sp, Curinus coeruleus., dan Delphastus sp (Coleoptera: Coccinellidae), Paederus fuscipes (Coleoptera: Staphylinidae) dan Condylostylus sp. (Diptera: Dolichopodidae). Penelitian eksplorasi musuh alami di Jawa Barat, Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta Hidayat et al. (2009) juga menemukan Verania lineata (Coleoptera: Coccinellidae) selain 8 spesies predator yang sama. Spesies predator yang dominan dibandingkan yang lain adalah M. sexmaculatus, C. transversalis dan Verania lineata (Coleoptera: Coccinellidae). Hal yang sama dilaporkan oleh Purnomo dan Sudiono (2009) bahwa populasi serangga predator M. sexmaculatus dan V. lineata cukup dominan dibandingkan serangga predator lainnya pada pola tanam tumpangsari cabai merah dengan jagung. Penelitian lain mengemukakan bahwa Coccinellidae merupakan musuh alami yang penting untuk memangsa B. tabaci (Gerling 1990). Berdasarkan hasil penelitian di laboratorium Setiawati et al. (2006) dan Sudrajat (2009) melaporkan bahwa jenis predator yang potensial dikembangkan untuk pengendalian B. tabaci
51
adalah serangga–serangga dari famili Coccinellidae seperti M. sexmaculatus, C. transversalis, Harmonia sp. dan C. coeruleus dengan daya pemangsaan rata-rata sekitar 65%.
M. sexmaculatus
C. transversalis
Harmonia sp.
V. lineata
P. fuscipes
Coelophora sp.
V. discolor
C. coeruleus
Condylostylus sp.
Gambar 4.1 Jenis serangga predator B. tabaci yang ditemukan di pertanaman cabai merah dengan tanaman pinggir
52
Tabel 4.1 Jenis dan jumlah serangga predator B. tabaci/15 tanaman di pertanaman cabai merah dengan perlakuan berbagai jenis tanaman pinggir Jenis serangga predator Ordo
Famili
Coleoptera
Diptera
Coccinellidae
Jenis pembatas pinggir Spesies
Jagung
Tanpa pinggir
M. sexmaculatus
6.17
7.50
11.5
8.33
C. transversalis
5.83
7.50
11.17
7.66
V. lineate
2.00
5.20
7.83
5.83
V. discolor
0.17
0.17
1.17
0.67
Harmonia sp.
0.00
0.17
1.33
0.67
Coelophora sp.
0.00
0.00
1.17
0.17
C. coeruleus
1.17
2.67
6.00
3.00
Staphylinidae
P. fuscipes
2.83
3.16
5.50
3.33
Dolichopodidae
Condylostylus sp
0.50
1.00
2.33
1.83
18.67a
26.50b
48.00d
15
21
39
7
8
9
Rerata Jumlah individu (ekor/15 tanaman)* Proporsi jumlah individu (%) Jumlah jenis
*
Kain sifon Orokorok
31.66c 25 8
Angka rerata yang diikuti oleh huruh yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan
Kelimpahan serangga predator tertinggi terdapat pada pertanaman cabai dengan perlakuan tanaman jagung sebagai pinggir (Tabel 4.1). Hal tersebut terjadi karena dibandingkan tanaman orok-orok,
tanaman jagung lebih banyak
menghasilkan tepung sari serta banyak ditemukan mangsa alternatif seperti kutudaun. Menurut Naranjo (2001) mangsa alternatif tersebut merupakan sumber pakan (mangsa) yang tersedia dalam waktu lama bagi predator yang pada umumnya bersifat generalis. Penelitian lain mengemukakan bahwa dengan tersedia nektar dan tepung sari serta mikrohabitat yang sesuai menyebabkan predator dapat mempertahankan kemampuan reproduksinya dan meningkatkan lama hidup (Andow 1991; Perfecto & Sediles 1992; Norris dan Kogan 2005). Perkembangan kelimpahan predator di pertanaman cabai merah baik yang menggunakan tanaman pinggir maupun yang tanpa pembatas pinggir, secara umum tampak bahwa predator ditemukan sejak awal pertumbuhan tanaman cabai (4 mst), pada saat populasi B. tabaci masih rendah (Gambar 4.2). Hal ini menunjukkan bahwa predator tersebut mempunyai kemampuan menginvasi dan mengolonisasi suatu agroekosistem secara cepat. Perkembangan kelimpahan
53
predator sejak 4 mst meningkat terus seiring dengan bertambahnya umur tanaman dan kelimpahan predator mencapai maksimum pada umur tanaman cabai sekitar 8-10 mst, setelah itu populasi imago turun kembali seiring dengan bertambahnya umur tanaman (Gambar 4.2). Fenomena ini diduga berkaitan dengan meningkatnya laju kolonisasi sebagai fungsi dari berkembangnya ruang habitat yang berupa tajuk tanaman (Cullin dan Rust 1980). Bertambahnya umur tanaman diikuti oleh perubahan ukuran dan bentuk tajuk tanaman yang menyediakan lebih banyak relung yang dapat ditempati oleh predator (Shepard dan Herzog 1985). Dalam kaitan ini tidak hanya fisik tajuk yang bertambah, tapi pada saat yang bersamaan sumber daya makanan yang berupa mangsa juga bertambah sehingga mampu mendukung
populasi predator yang lebih banyak (Gambar 4.2).
Perkembangan kelimpahan predator seiring dengan perkembangan populasi nimfa B. tabaci, walaupun dari hasil analisis korelasi antara kelimpahan predator dengan populasi nimfa B. tabaci memperoleh nilai korelasi yang rendah (r = -1597) (Gambar 4.3). Hal tersebut berarti perkembangan kelimpahan predator tidak dipengaruhi secara langsung oleh perkembangan populasi nimfa B. tabaci. Hal ini terjadi karena disamping populasi nimfa B. tabaci yang ditemukan di pertanaman cabai merah tergolong rendah yaitu kurang dari 3 nimfa/daun, juga ada kaitannya dengan sifat predator yang pada umumnya generalis sehingga tidak terlalu bergantung pada mangsa utamanya (hama tertentu saja), karena dapat memanfaatkan berbagai mangsa alternatif yang ada pada saat itu (Settle et al. 1996). Musuh alami yang demikian
memiliki potensi untuk mengekang
peningkatan populasi hama sejak dini (Wiedenmann dan Smith 1997).
54
Gambar 4.2 Kelimpahan predator/15 tanaman (A) dan jumlah nimfa B. tabaci/daun (B) di pertanaman cabai merah dengan berbagai pembatas pinggir
Gambar 4.3 Regresi populasi B. tabaci dengan kelimpahan predatornya di pertanaman cabai merah.
55
Simpulan Pemanfaatan tanaman pembatas pinggir di pertanaman cabai merah berpengaruh nyata terhadap kelimpahan predator penting B. tabaci. Pemanfaatan pembatas pinggir tanaman jagung di lahan pertanaman cabai merah dapat meningkatkan kelimpahan serangga predator. Kelimpahan predator tertinggi ditemukan di pertanaman cabai dengan perlakuan jagung sebagai pembatas pinggir yaitu sebesar 48 ekor/15 tanama dan yang terendah pada petak perlakuan dengan kain sifon sebagai pembatas pinggir yaitu sebesar 18.67 ekor/15 tanaman, sedangkan pada petak perlakuan tanpa pembatas pinggir sebesar 31.66 ekor/15 tanaman. Predator ditemukan sejak awal pertumbuhan tanaman cabai (4 mst), pada saat populasi B. tabaci masih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa predator tersebut
mempunyai
kemampuan
menginvasi
dan
mengolonisasi
suatu
agroekosistem secara cepat. Hasil identifikasi ditemukan 9 spesies predator yang berpotensi sebagai musuh alami B. tabaci, yaitu M. sexmaculatus, C. transversalis, V. lineata, Harmonia sp., V. discolor, C. coeruleus, Coelophora sp. (Coleoptera:
Coccinellidae),
P.
fuscipes
(Coleoptera:
Stapilinidae),
dan
Condylostylus sp. (Diptera: Dolychopodidae). Predator yang paling dominan adalah M. sexmaculatus , C. transversalis dan V. lineata.
Daftar Pustaka Andow DA. 1991. Vegetational diversity response.Annu.Rev. Entomol. 36: 561 – 586.
dan
arthropod
population
Barrion AT, Litsinger JA. 1990. Taxonomy of rice insect pests and their arthropod parasites and predators. Departement of Entomology, International Rice Research Institute. Manila. 580 p. Borror DJ, White RE. 1970. A field guide to the insect of America North of Mexico. Houghton Mifflin Company. Boston. Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1989. An introduction to the study of insects. 6ed. Saunders College Publishing. 875 pp. Cullin CD, Rust RW. 1980. Comparison of the ground surface and foliage dwelling spider communities in a soybean habitat. Environ. Entomol. 9(5): 577 – 582.
56
Gerling D. 1990. Natural enemies of whitelies; predator and parasitoids. In Whiteflies; Their Bionomics, Pest Status and Management, ed Dgarling, pp 147 – 185. Andover; Intercept Ltd. Hidayat P, Setiawati W, Murtiningsih RRR, Udiarto BK. 2009. Strategi pemanfaatan musuh alami dalam pengendalian Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae) sebagai vektor virus kuning pada pertanaman cabai merah. Laporan Penelitian KKP3T. Intitut Pertanian Bogor. Bogor. Kalshoven LGE. 1981. Pests of Crops in Indonesia. Revisi oleh P.A. van der Laan. PT Ichtiar Baroe- van Hoeve. Jakarta. 701 pp. Kogan M, Pitre HN. 1980. General sampling methods for above-ground populations of soybean arthropods. In Kogan M, DC Herzog (ed.) Sampling method in soybean entomology. Springer-Verlag. NewYork. 587p. Naranjo SE. 2001. Conservation and evaluation of natural enemies in IPM System for Bemisia tabaci. Crop Protection. 20: 835 – 852. Norris FF and Kogan M. 2005. Ecology of interaction between weeds and arthrophods. Ann. Rev. Entomol. 50: 479 – 503. Perfecto I, Sediles A. 1992. Vegetational diversity, ants (Hymenoptera: Formicidae), and herbivorous pest in a neotropical agroecosystem. Environ. Entomol. 21(1):61– 67. Purnomo, Sudiono. 2009. Populasi kutukebul (B. tabaci Genn.) pada berbagai pola tanam cabai (Capsicum annuum L.). Jurnal Pertanian Terapan. 9(2): 86 – 89. Setiawati, W. 2005. Pengelolaan Terpadu pada Tanaman Cabai Merah dalam Upaya Mengatasi Penyakit Virus Kuning. Makalah disampaikan pada Pertemuan Apresiasi Penerapan Penganggulangan Virus Cabai, Yogyakarta, 14–15 April 2005. Setiawati W, Udiarto BK. 2006 Daya Pemangsaan Predator Menochilus sexmaculatus (Coleoptera: Coccinellidae) terhadap Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae). Laporan Hasil Penelitian T.A. 2006. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Lembang-Jawa Barat. Settle WH, Ariawan H, Astuti ET, Cahyana W, Hakim AL, Hindayana D, LestariAS, Pajarningsih, Sartanto. 1996. Managing Tropical Rice Pests Through Conservation of Generalist National Enemies and Alternative Prey. Ecology. The Ecological Society of America. 77 (7): 1957 – 1988. Shepard M, Herzog DC. 1985. Soybean: Status and current limits to biological control in the Southeastern U.S. in Hoy MA and DC Herzog (ed). Biological control in agricultural IPM system. Academic press. Inc. Orlando. 589p.
57
Sudrajat. 2009. Eksplorasi Musuh Alami Kutukebul (Bemisia tabaci) di Jawa Barat (Pangalengan, Ciwidey, Lembang dan Kerawang) pada Tanaman Sayuran. Laporan Sementara Hasil Penelitian untuk Disertasi S-3. Universitas Padjadjaran. Untung K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Whitcomb WH. 1980. The use of predators in insect control. In Pimental D (ed.) CRC Handbook of pest management in agriculture vol. II. CRC Press Inc. Boca Raton, Florida. Wiedenmann RN, Smith JW. 1997. Attributes of natural enemies in ephemeral crop habitat. Biol. Contr. 10: 16 – 22.
V. POTENSI PREDATOR COCCINELLIDAE UNTUK PENGENDALIAN Bemisia tabaci (GENNADIUS) (HEMIPTERA: ALEYRODIDAE): PEMANGSAAN, PREFERENSI DAN TANGGAP FUNGSIONAL (Potency of Predatory Coccinellidae for the Control of Bemisia tabaci (Gennadius)
(Hemiptera: Aleyrodidae): Predation, Preference and Functional Response) Abstrak Berdasarkan penelitian eksplorasi tahun 2009 ditemukan 5 dari 11 spesies predator penting B. tabaci, yang dominan yaitu Menochilus sexmaculatus, Coccinella transversalis, Verania lineata, Curinus coeruleus (Coleoptera: Coccinellidae), dan Paederus fuscipes (Coleoptera: Stapilinidae). Penelitian dilanjutkan dengan tujuan mendapatkan predator dari spesies Coccinellidae yang benar-benar efektif untuk mengendalikan B. tabaci pada pertanaman sayuran khususnya cabai merah. Kajian potensi Coccinelidae sebagai predator B. tabaci dilaksanakan dengan 3 tahapan penelitian, yaitu uji pemangsaan, preferensi dan tanggap fungsional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa predator M. sexmaculatus, C. transversalis dan V. lineata mempunyai daya pemangsaan yang sama tinggi terhadap B. tabaci yaitu berkisar 46 – 48 nimfa/hari atau 9 imago/hari. Predator V. lineata mempunyai tingkat kesukaan terhadap B. tabaci paling tinggi dibandingkan dengan M. sexmaculatus dan C. transversalis. Pengujian lebih lanjut dalam uji tanggap fungsional predator terhadap B. tabaci untuk V. lineata. Hasil analisis regresi logistik (koefisien linier P1 = - 0.1006, X2 = 34.99) predator V. lineata memperlihatkan tanggap fungsional tipe II. Kerapatan mangsa B. tabaci semakin meningkat maka semakin meningkat mangsa yang dikonsumsi, namun proporsi mangsa yang dikonsumsi semakin menurun. Hasil analisis dari persamaan cakram pada tanggap fungsional tipe II diperoleh nilai laju pencarian mangsa seketika (a) sebesar 0,3522/jam dan nilai masa penanganan mangsa (Th) sebesar 0.151jam (R2 = 0.9239). Daya pemangsaan maksimum predator V. lineata adalah 6 nimfa/jam. Predator V. lineata masih mampu menemukan dan mengkonsumsi seluruh mangsa (100%) pada kerapatan mangsa rendah (1 sampai dengan 3 nimfa). Kata Kunci: Coccineliedae, Bemisia tabaci, pemangsaan, tanggap fungsional.
cabai merah, preferensi,
Abstract Based on preliminary exploration conducted in 2009, 5 out of 11 predominant predators species of B. tabaci was found, i.e. M. sexmaculatus, C. transversalis, V. lineata, C. coeruleus (Coleoptera: Coccinellidae), P. fuscipes (Coleoptera: Stapilinidae). Further studies was undergone to determine the most effective predator species for controling B. tabaci in chllipepper. The potency of Coccinellidae as predator of B. tabaci was evaluated in 3 consecutive studies , i.e.
59 predation preference and functional response assay. Predation assay using B. tabaci as the prey showed that M. sexmaculatus, C. Transversalis and V. lineata have similar predation ability, i.e. 46 – 48 nymphs/day or 9 imagos/day . Preference assay using aphids, thrips or B. tabaci as the preys indicated that aphids (Aphids gossypii, Myzus
persicae), dan Thrips parvispinus and B. tabaci were each more preferable by M. sexmaculatus, C. Transversalis and V. lineata respectively. Functional response assay was further studied for V. lineata using B. tabaci as its prey. Based on logistic 2 regression analysis (linier coefisien P1 = - 0.1006, X = 34.99) V. lineata showed characteristic of type II functional response. V. lineata able to find and consume all prey (100%) on low prey density (1 – 3 nymphs). Based on Hollings disc equation of a type II functional response (R2 = 0.9239), the searching rate (a) and the handling time (Th) for nimpha B. tabaci were 0.3522/h and 0.151h. The maximum predation capability of V. lineata was 6 nymph / hour respectively. Keywords : Coccinellidae, Bemisia tabaci, chilli pepper, predation, preferency,
functional response. Pendahuluan Studi musuh alami B. tabaci di Brazil menemukan sekitar 14 spesies predator (Gerling 1990). Dua spesies predator kumbang kubah (lady beetle), Nephaspis hydra Gordon dan Delphastus davidsoni Gordon diketahui pertama kali sebagai pemangsa B. tabaci (Olsen 2001). Sebagai negara yang memiliki iklim sama dengan Brazil yaitu iklim tropis, maka kemungkinan musuh-musuh alami B. tabaci tersebut juga dapat ditemukan di Indonesia, khususnya pada berbagai pertanman sayuran di sentra produksi cabai merah. Sudrajat (2009) melaporkan bahwa dari hasil eksplorasi musuh alami di Kabupaten Bandung dan Karawang pada tahun 2005 ditemukan beberapa spesies predator yang mempunyai potensi untuk mengendalikan hama kutukebul pada pertanaman sayuran. Spesies predator kutukebul yang ditemukan dan mempunyai potensi adalah beberapa spesies dari famili Coccinellidae (Menochilus sexmaculatus, Coccinella transfersalis, Harmonia sp, Curinus coeruleus dan Delphastus sp ) dan famili Staphylinidae (Paederus fusipes). Predator Coccinellidae ditemukan hampir di semua spesies pertanaman sayuran termasuk pada pertanaman cabai merah. Penelitian pendahuluan yakni eksplorasi predator di daerah sentra produksi cabai merah di Jawa Barat, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta pada tahun 2009 telah menemukan 11 spesies predator yang terdiri atas 8 spesies termasuk ordo Coleoptera, 1 spesies dari ordo Hemiptera, 1 spesies dari ordo Diptera dan 1
60 spesies dari ordo Neuroptera.
Delapan spesies termasuk famili Coccinellidae
yaitu; M. sexmaculatus, C. transversalis, Verania lineata Th., Illeis sp., C. coeruleus, Delphastus sp., Harmonia sp., Coelophora sp., dan 1 spesies dari famili Staphylinidae yaitu Paederus fuscipes. Predator ordo Hemiptera adalah Compylomma sp. (Miridae), dan ordo Diptera adalah Condylostylus sp, sedangkan dari ordo Neuroptera adalah famili Hemerobiidae. Di antara 11 spesies predator tersebut diketahui ada 5 spesies yang dominan dan mempunyai distribusi yang paling luas (ditemukan di berbagai komoditas sayuran dan lokasi eksplorasi) yaitu M. sexmaculatus, C. transversalis, V. lineata, C. coeruleus dan P. fuscipes. Penelitian pendahuluan (eksplorasi) telah menemukan 5 spesies predator yang berpotensi sebagai agens hayati untuk pengendalian B. tabaci, namun ke lima spesies predator tersebut perlu diuji lebih lanjut daya pemangsaannya dan preferensinya terhadap B. tabaci. Menurut deBach (1976), predator yang mempunyai potensi dan efektif sebagai agens hayati dicirikan oleh (1) daya pemangsaan dan kemampuan mencari yang tinggi, (2) preferensi (kesukaan) terhadap mangsa, (3) potensi reproduksinya tinggi dan (4) kisaran toleransi terhadap lingkungan lebar atau daya penyebaran yang luas. Price (1997) menambahkan bahwa pada umumnya predator termasuk Coccinellidae bersifat generalis (polifag atau oligofag), yaitu dapat memangsa beberapa spesies mangsa. Walaupun predator bersifat generalis, namun sebagai mahluk hidup tetap mempunyai preferensi terhadap mangsa tertentu, dan sampai saat ini belum ada yang melaporkan. Oleh karena itu dalam kajian predator sebagai agens hayati lebih ditujukan untuk mengetahui daya pemangsaan dan preferensi beberapa spesies predator dari famili Coccinellidae terhadap berbagai spesies mangsa hama pertanaman cabai merah yaitu; B. tabaci, Aphids gossypii, Myzus persicae dan Thrips parvispinus, serta tanggap fungsional terhadap B. tabaci. Target dari penelitian ini adalah menemukan minimal lebih dari satu spesies Coccinellidae yang mempunyai daya pemangsaan dan preferensi lebih tinggi terhadap B. tabaci dibandingkan terhadap mangsa lain pada pertanaman cabai merah. Menurut Doutt (1973), penelitian tanggap fungsional merupakan salah satu ukuran untuk menentukan keefektifan suatu predator/parasitoid sebagai agens
61 pengendalian hayati. Target penelitian ini adalah diketahui minimal satu spesies predator yang mempunyai tanggap fungsional yang tinggi terhadap B. tabaci, dan ini berarti diperoleh predator yang efektif dan mempunyai potensi tinggi sebagai agens hayati untuk pengendalian B. tabaci khususnya pada pertanaman cabai merah dan umumnya pada pertanaman sayuran. Predator yang dikaji potensinya terhadap B. tabaci adalah predator yang mempunyai preferensi paling tinggi terhadap B. tabaci dibanding hama cabai merah lainnya yaitu T. parvispinus, A. gossypii dan M. persicae dari hasil uji preferensi. Setelah diketahui minimal satu spesies predator mempunyai preferensi paling
tinggi terhadap B. tabaci, maka dilanjutkan dengan kajian tanggap
fungsional predator tersebut terhadap B. tabaci.
Bahan dan Metode Penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei sampai dengan Desember 2010 di laboratorium Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) di Lembang, di rumah kasa Kebun Percobaan Balitsa di Kramat, Brebes, dan Laboratorium Taxonomi Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Uji Pemangsaan Berbagai Imago Predator terhadap Nimfa dan Imago B. tabaci Predator yang diuji pemangsaannya terhadap B. tabaci adalah beberapa predator yang banyak ditemukan dan mempunyai sebaran yang luas dari hasil kegiatan penelitian pendahuluan (eksplorasi). Percobaan ini dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), terdiri atas 5 perlakuan dan diulang 10 kali. Perlakuan terdiri atas jenis predator yaitu M. sexmaculatus, C. transversalis, V. lineata, C. coeruleus, dan P. fuscipes. Setiap perlakuan stadia menggunakan 50 ekor. Setiap predator diujikan pada nimfa dan imago B. tabaci. Daun tanaman yang mengandung 50 nimfa atau imago dimasukkan secara terpisah ke dalam toples plastik berdiameter 15 cm dan tinggi 4 cm (Lampiran 5.b). Ke dalam setiap toples diinfestasikan masing-masing jenis predator sebanyak satu ekor imago betina yang telah dipuasakan selama 24 jam. Pengamatan jumlah B. tabaci baik nimfa maupun imago yang dimangsa dilakukan 24 jam setelah
62 perlakuan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis ragam. Jika terdapat perbedaan antar perlakuan, dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5 persen.
Preferensi Predator (Coccinellidae) terhadap Berbagai Spesies Hama Kutudaun, Kutukebul dan Trips pada Tanaman Cabai Merah Predator yang diuji preferensinya terhadap B. tabaci dan berbagai kutudaun cabai adalah beberapa predator (M. sexmaculatus, C. transversalis, V. lineata) yang mempunyai daya pemangsaan tinggi terhadap B. tabaci pada percobaan daya pemangsaan. Uji preferensi dilakukan dengan metode uji pilihan bebas (freechoice test). Perlakuan spesies mangsa yang diuji adalah nimfa B. tabaci, M. persicae, A. gossypii dan T. parvispinus. Percobaan ini
dilakukan dengan
menggunakan metode seperti yang dikemukakan oleh Legaspi et al. (2006). Pelaksanaan percobaan adalah sebagai berikut : Cawan petri dibagi menjadi 4 ruangan yang sama besar (perlakuan 4) dan antar ruangan diberi pembatas (Lampiran 5d). Ke dalam setiap ruangan diinokulasikan masing-masing daun cabai yang telah mengandung nimfa B. tabaci, M. persicae, A. gossypii dan T. parvispinus (hasil biakan masal di laboratorium, kecuali T. parvispinus diambil dari lapang yang bebas pestisida) masing-masing sebanyak 50 nimfa. Ujung tangkai daun cabai merah diberi kapas basah agar tidak cepat layu. Selanjutnya, dilepaskan 1 ekor imago V. lineata betina (Lampiran 6.a) tepat di tengah-tengah cawan petri tersebut, yang sebelumnya telah dipuasakan selama 6 jam (Lampiran 5.d). Semua perlakuan dalam percobaan diulang sebanyak 10 kali. Khusus untuk inokulasi B. tabaci dilakukan sebagai berikut: dua puluh ekor (sepuluh pasang) imago B. tabaci yang umurnya relatif seragam (hasil pembiakan masal di rumah kasa) diinfestasikan ke dalam tanaman cabai yang berumur 6 - 8 minggu setelah tanam pada polibag berukuran 25cm x 35cm yang disungkup dengan kurungan plastik-kasa (sifon)(Lampiran 5.a). Setelah kepadatan populasi nimfa B. tabaci cukup tinggi, maka dipilih beberapa daun yang mempunyai kepadatan nimfa tersebut sesuai yang diinginkan (50 nimfa/daun) kemudian daun dipetik lalu dimasukkan ke dalam cawan petri.
63 Pengamatan dilakukan terhadap jumlah nimfa B. tabaci, M. persicae, A. gossypii dan T. parvispinus yang tersisa
pada 3, 6, 12 dan 24 jam setelah
pelepasan predator. Derajat kesukaannya (indeks preferensi) terhadap mangsa dihitung dengan rumus:
Li = ri - pi , dengan Li index pemilihan mangsa, ri
proporsi mangsa yang dimangsa oleh predator dan pi proporsi mangsa yang tersedia. Nilai Li berkisar antara (– 1) hingga (+ 1). Preferensi maximum terjadi bila ri = 1 dan pi = 0 , dan penghindaran (penolakan) maksimum ri = 0 dan pi = 1. Jika nilai indeks preferensi (Li ) positif dan mendekati satu maka preferensi maksimum, dan sebaliknya jika nilainya negatif maka penghindaran (penolakan) terhadap mangsa maksimum. Data
yang
diperoleh
dianalisis
secara
statistik
dengan
ANOVA
menggunakan program SAS 90. Untuk mengetahui perbedaan di antara perlakuan dilakukan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5 %. Tanggap Fungsional Predator V. lineata terhadap Hama Kutukebul pada Cabai Merah Rancangan percobaan Untuk menguji potensi predator digunakan metode eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas 10 perlakuan tingkat kepadatan mangsa, masing masing perlakuan diulang 10 kali. Kesepuluh perlakuan tersebut adalah pelepasan imago betina predator pada berbagai kepadatan nimfa B. tabaci: 1, 2, 3, 4, 6, 8, 12, 16, 22, 28 nimfa B. tabaci.
Pelaksanaan percobaan. Daun cabai merah yang mengandung nimfa B. tabaci instar 2-3 (dari hasil biakan pada tanaman cabai merah)
dengan masing-masing taraf kepadatan
mangsa sesuai dengan perlakuan dimasukkan ke dalam cawan petri berdiameter 10 cm dan tinggi 1.5 cm. Setelah itu dimasukkan satu imago predator betina yang telah dipuasakan selama 24 jam. Percobaan dilakukan dengan 10 imago predator sebagai ulangan untuk masing masing kepadatan mangsa (Lampiran 5.c). Pengamatan dilakukan 3 jam sekali selama 24 jam terhadap jumlah nimfa yang
64 termangsa. Pada setiap pengamatan mangsa yang hilang atau terbunuh oleh predator ditambahkan kembali sehingga jumlah mangsa tetap sesuai dengan perlakuan.
Analisis data Pengaruh banyaknya mangsa tersedia terhadap rerata banyaknya mangsa yang dikonsumsi dianalisis dengan sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%. Untuk menentukan tipe tanggap fungsional predator terhadap nimfa B. tabaci diperiksa dengan regresi logistik antara kerapatan mangsa yang tersedia (No) dan proporsi mangsa yang dikonsumsi (Ne/No) dengan persamaan sebagai berikut (Juliano 1993): Ne = exp ( Po + P1No + P2No2 + P3No3 ) No 1 + exp ( Po + P1No + P2No2 + P3No3 ) Dengan P0, P1, P2 dan P3 secara berurutan adalah titik potong, koefisien linier, kuadratik dan kubik. Keempat parameter ini diduga dengan metode kemungkinan maksimum dengan prosedur PROC CATMOD SAS (SAS Institute 1990). Jika koefisien linier (P1) tidak berbeda nyata dengan 0, proporsi mangsa yang dikonsumsi konstan dengan meningkatnya mangsa tersedia, maka model tanggap fungsional yang sesuai adalah tipe I. Jika P1 bernilai negatif (P1 < 0), proporsi mangsa yang dikonsumsi menurun
sejak awal seiring dengan meningkatnya
mangsa tersedia, hal ini mencirikan bentuk tanggap fungsional tipe II. Bila P1 bernilai positif (P1 > 0), proporsi mangsa yang dikonsumsi awalnya meningkat dan kemudian menurun, hal ini mencirikan tanggal fungsional tipe III (Juliano, 1993 ). Untuk memperoleh parameter tanggap fungsional laju pencarian mangsa seketika (a) dan waktu penanganan mangsa (Th) digunakan model persamaan cakram dari Holling (1959) atau persamaan acak dari Rogres (1972). Untuk tanggap fungsional tipe I adalah: Persaman acak
Ne =
Persamaan cakram Ne =
aN0
+
b;
aT.No. Untuk tanggap fungsional tipe II adalah:
Persamaan cakram Ne = a.T.N0/(1+a.Th.N0);
Persamaan acak
Ne = N0
{1–exp[a(Th.Ne–T)]} . Untuk tanggap fungsional tipe III adalah: Persamaan cakram Ne = a.T.N02/(1+cN0+b.Th.N02); Persamaan acak
Ne = N0 {1– exp
65 [(d+bN0)(Th.Ne–T)/(1+cN0)]}. Ne adalah banyaknya mangsa yang dimakan oleh per individu predator, N0 banyaknya mangsa yang tersedia, T lama waktu mangsa terpapar pada predator waktu pencarian mangsa, Th waktu penanganan mangsa, a laju pencarian seketika (penyerangan) dan b, c dan d adalah konstan yang diturunkan dari parameter a (Hassell et al. 1977). Hasil analisis regresi logistik menunjukkan tanggap fungsional tipe II dan selama percobaan mangsa yang dikonsumsi predator diganti sesuai dengan kerapatan semula, maka untuk memperoleh parameter tanggap fungsional laju pencarian mangsa seketika (a) dan waktu penanganan mangsa (Th) digunakan model persamaan cakram dari Holling (1959), sebagai berikut : Ne = a.T.N0/(1+a.Th.N0) Nilai penduga parameter (a dan Th) dari persamaan tersebut di atas diperoleh melalui regresi non linier menggunakan prosedur PROC NLIN SAS (SAS Institute 1990) seperti yang dilakukan oleh Juliano (1993).
Hasil dan Pembahasan Pemangsaan Berbagai Predator terhadap Nimfa dan Imago B. tabaci Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan kelima spesies predator yang diuji lebih memilih nimfa daripada imago B. tabaci (Tabel 5.1). Hal ini berhubungan dengan perilaku B. tabaci, pada saat stadia nimfa pasif (tidak bergerak) menempel di permukaan bagian bawah daun kecuali instar satu awal, sebaliknya imagonya sangat aktif sehingga sulit untuk ditangkap oleh predator. Van Alpen dan Jervis (1996) menyatakan bahwa walaupun tingkat penerimaan terhadap dua spesies mangsa sama, tetapi karena kemampuan menghindar dari kedua mangsa tersebut berbeda maka frekuensi pertemuan predator dan mangsa dapat berbeda, akibatnya preferensi terhadap kedua mangsa tersebut berbeda. Houck (1986) menambahkan bahwa preferensi predator terhadap mangsa dipengaruhi oleh berbagai faktor, dan salah satunya adalah pertahanan dari mangsa yang lemah. Di antara lima spesies predator yang diuji, ternyata tiga predator mempunyai daya pemangsaan sama tinggi baik terhadap nimfa maupun imago B. tabaci, yaitu
66 V. lineata,
C. transversalis dan M. sexmaculatus. Ketiga predator tersebut
mampu memangsa berkisar 46 – 48 nimfa B. tabaci per hari atau sekitar 90%.
Tabel 5.1 Daya pemangsaan beberapa predator terhadap nimfa dan imago B. tabaci di laboratorium
Spesies Predator
Rerata jumlah nimfa yang dimangsa dalam 24 jam setelah infestasi
Rerata jumlah imago yang dimangsa dalam 24 jam setelah infestasi
Jumlah
(%)
Jumlah
(%)
C. transversalis
48.33 a*
96.67
9.20 a
18.40
M. sexmaculatus
47.14 a
94.28
9.11 a
18.22
V. lineata
46.67 a
93.33
8.87 a
17.74
C. coereuleus
41.30 b
82.67
5.33 b
10.66
P. fuscipes
41.70 b
83.55
4.98 b
9.96
*
Angka rerata yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5 %.
Setiawati et al. (2006) dan Sudrajat (2009) juga melaporkan bahwa pada taraf percobaan laboratorium spesies predator yang potensial dikembangkan untuk pengendalian B. tabaci adalah dari famili Coccinellidae yaitu M. sexmaculatus, C. transversalis, Harmonia sp, dan Curinus sp, dengan daya pemangsaan rata-rata berkisar 65 %. Dilain pihak Prabaningrum
et al. (2005) melaporkan bahwa
predator C. tranversalis mampu memangsa sebanyak 55–70 nimfa/imago T. parvispinus per hari pada taraf percobaan rumah kasa. Selanjutnya dari hasil penelitian sebelumnya dilaporkan bahwa Coccinellidae merupakan musuh alami yang penting untuk beberapa spesies hama, seperti kutukebul (Gerling 1990), kutudaun (Hodek 1973: Frazer 1988), mealybugs (Hodek 1973), scales (De Bach 1976; Drea dan Gordin 1990) dan tungau (Hodek 1973). Berdasarkan kenyataan ini tampak bahwa Coccinellidae bersifat generalis, hal ini sesuai dengan pendapat Price (1997), bahwa pada umumnya predator bersifat generalis (polifag atau oligofag), yaitu dapat memangsa beberapa spesies mangsa. Walaupun predator (Coccinellidae) bersifat generalis, namun sebagai mahluk hidup tetap mempunyai
67 preferensi terhadap mangsa tertentu, dan sampai saat ini belum ada yang melaporkan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai preferensi beberapa spesies predator dari famili Coccinelidae terhadap berbagai spesies mangsa hama pada pertanaman cabai merah (B. tabaci, A. gossypii dan T. parvispinus). Preferensi Predator (Coccinellidae) terhadap Berbagai Spesies Hama (Kutudaun, Kutukebul dan Trips) pada Tanaman Cabai Merah Berdasarkan data jumlah hama kutudaun yang dimangsa dan indeks preferensi pada Tabel 5.2. tampak bahwa
predator V. lineata mempunyai
preferensi tertinggi (lebih menyukai) terhadap B. tabaci dibandingkan M. persicae, T. parvispinus dan A. gossypii. Predator
M. sexmaculatus
lebih
menyukai A. gossypii dan M. persicae., sedangkan predator C. transversalis lebih menyukai T. parvispinus dari pada hama hama cabai lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun ketiga predator tersebut bersifat generalis, namun ketiga predator tersebut mempunyai preferensi yang berbeda terhadap mangsanya. Menurut de Bach (1976) predator akan menyeleksi kecocokan mangsanya, dan seleksi tersebut berlangsung secara alamiah. Beberapa komponen yang berpengaruh pada preferensi predator terhadap mangsa adalah ketertarikan dan kesesuaian terhadap mangsa, pengenalan terhadap mangsa, keputusan untuk menyerang atau tidak, menangkap serta mengkonsumsi mangsa (Cisnero dan Rosenheim 1998). Selain itu, tingkat preferensi predator terhadap mangsa dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain faktor fisik seperti cahaya, warna, bentuk dan ukuran (Tarumingkeng 1994; van Alpen dan Jervis 1996), dan faktor kimia yang berupa bau yang merangsang predator untuk menemukan mangsa (Vinson 1991; Vet dan Dicke 1992; Tarumingkeng 1994).
68
50
Tabel 5.2 Rerata jumlah berbagai serangga hama yang dimangsa oleh berbagai spesies predator Coccinellidae dan index preferensii berbagai spesies predator terhadap berbagai spesies kutudaun cabai merah Spesies predator
M. sexmaculatus
Spesies mangsa
M. persicae T.parvispinus
Li*** 0.20
JM 25.2 c
Li 0.20
JM 28.0 c
Li 0.18
JM 37.5 c
Li 0.13
-0.15
5.2 a
-0.16
7.7 a
-0.13
15.5 a
-0.09
14.8 b
0.11
19.6 b
0.10
21.9 b
0.08
29.4 b
0.05
B. tabaci
4.1 a
-0.15
5.5 a
-0.15
8.0 a
-0.13
16.0 a
-0.09
M. persicae
4.2 a
-0.11
5.4 a
-0.11
7.75 a
-0.09
16.0 a
-0.06
T.parvispinus
5.7 a
-0.06
7.6 a
-0.06
10.9 b
-0.03
23.1 b
0.02
A. gossypii
3.1 a
-0.15
3.7 a
-0.16
5.4 a
-0.14
11.2 a
-0.12
17.3 b
0.32
22.5 b
0.33
25.6 c
0.27
33.9 c
0.15
5.2 a
-0.10
6.6 a
-0.10
10.0 a
-0.08
20.0 a
-0.05
18.7 b
0.29
24.5 b
0.29
27.6 b
0.22
36.9 b
0.12
A. gossypii
5.9 a
-0.08
7.5 a
-0.08
11.3 a
-0.06
23.0 a
-0.02
B. tabaci
4.7 a
-0.11
6.7 a
-0.10
9.3 a
-0.09
19.0 a
-0.06
B. tabaci C. transversalis
JM** 18.7 b 4.0 a
A. gossypii
V. lineata
Jumlah serangga hama yang dimangsa (JM) dan indeks preferensi (Li) (JSP)* 3 6 12 24
M. persicae T.parvispinus
* JSP = jam setelah perlakuan: ** JM = jumlah kutudaun yang dimangsa:
***Li
= indeks preferensi (pemilihan mangsa)
66
Angka rerata yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5 %.
69
Di antara ketiga predator yang diuji ternyata yang mempunyai preferensi tertinggi terhadap B. tabaci adalah V. lineata (Tabel 5.2). Hal ini menunjukkan bahwa V. lineata sangat berpotensi untuk dikembangkan dan efektif sebagai agens hayati untuk mengendalikan B. tabaci pada pertanaman sayuran khususnya cabai merah. Menurut Tarumingkeng (1994), terdapat beberapa faktor yang berperan dalam menentukan laju pemangsaan (konsumsi) oleh suatu predator diantaranya preferensi terhadap mangsa. Tanggap Fungsional Predator V. lineata pada Beberapa Kerapatan Mangsa (B.tabaci) Rerata banyaknya mangsa yang dikonsumsi meningkat secara nyata dengan bertambahnya kerapatan mangsa (Tabel 5.3). Hal ini menunjukkan bahwa kumbang predator V. lineata memperlihatkan tanggap fungsional terhadap nimfa B. tabaci. Pada kerapatan mangsa rendah (1 sampai 3 nimfa) seluruh mangsa dikonsumsi (100%), kemudian banyaknya mangsa yang dikonsumsi terus meningkat dan pada kerapatan 28 nimfa jumlah mangsa yang dikonsumsi 19 nimfa. Hal ini diduga karena kerapatan mangsa yang diuji masih rendah, sehingga tingkat pemangsaan masih meningkat. Tabel 5.3 Rerata mangsa B. tabaci yang dikonsumsi (x ± SD) predator V. lineata pada berbagai kerapatan mangsa Kerapatan mangsa (nimfa)
*)
Rerata mangsa yang dikonsumsi*)
1
1.00±0.00a
2
2.00±0.00b
3
3.00±0.00c
4
3.80±0.42d
6
5.50±0.53e
8
7.10±0.74f
12
10.20±0.79g
16
13.20±0.79h
22
17.30±0.82i
28
19.20±0.79j
Angka rerata dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.
70
Hasil analisis regresi logistik dengan menggunakan persamaan linear diperoleh koefisien linear (P1 = - 0.1006, X2 = 34.99) yang bernilai negatif dan secara nyata < 0, artinya bahwa proporsi mangsa yang dikonsumsi menurun dengan meningkatnya kerapatan mangsa, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.1. Hal ini menunjukkan bahwa tanggap fungsional predator V. lineata terhadap nimfa B. tabaci tergolong tipe II (Gambar 5.2), dengan karakter proporsi mangsa yang dikonsumsi menurun dengan bertambahnya kerapatan mangsa (Juliano 1993)
Gambar 5.1 Rerata nilai pengamatan proporsi mangsa yang dikonsumsi (titik) dan penduga (garis) berdasarkan hasil analisis regresi logistik
Gambar 5.2 Kurva tanggap fungsional predator V. lineata terhadap peningkatan kerapatan mangsa B. tabaci
71
Tanggap fungsional tipe II umum terjadi pada percobaan di laboratorium dengan satu spesies mangsa yang disediakan. Hal ini terkait dengan kemudahan predator menemukan mangsanya, karena predator dan mangsa berada pada ruang terbatas (van Alpen dan Jervis 1996). Keefektifan predator, secara parsial dapat diukur dari kemampuannya untuk menemukan mangsa pada saat kerapatan mangsa rendah dan mengkonsumsi banyak mangsa pada saat populasi mangsa tinggi (Kharboutli dan Mack 1993). Pengaruh kerapatan mangsa terhadap parameter tanggap fungsional dari predator V. lineata digunakan model tipe II dengan persamaan cakram. Dua parameter penting dari model ini adalah laju pencarian mangsa (a) dan masa penanganan mangsa (Th). Laju pencarian mangsa menunjukkan proporsi dari total area yang dijelajahi predator per unit waktu jelajah, dan laju pencarian predator V. lineata terhadap nimfa B. tabaci
(a = 0.3522 jam-1, R2 = 0.92) .
Masa
penanganan mangsa adalah lamanya predator mengenali, mengejar dan memakan serta kegiatan lain yang terkait dengan pemangsaan seperti membersihkan alat mulut dan beristirahat sebelum bergerak mencari inang yang lain (Holling 1965). Nilai masa penanganan mangsa (Th) dari predator V. lineata terhadap nimfa B. tabaci adalah 0.151 jam dengan R2 = 0.92. Berdasarkan nilai Th ini, maka dalam keadaan mangsa yang berlimpah, jumlah nimfa maksimum yang dapat dimangsa adalah 6 nimfa per jam.
Simpulan Predator M. sexmaculatus, C. transversalis dan V. lineata mempunyai daya pemangsaan yang sama tinggi terhadap B. tabaci yaitu berkisar 46 – 48 nimfa/hari atau 9 imago/hari. Predator M. sexmaculatus lebih menyukai (preference) A. gossypii dan M. persicae,
dan predator C. transversalis lebih menyukai T.
parvispinus, sedangkan V. lineata lebih menyukai B. tabaci. Hasil analisis regresi logistik (koefisien linier P1 = - 0.1006, X2 = 34.99)
predator V. lineata
memperlihatkan tanggap fungsional tipe II. Kerapatan mangsa B. tabaci semakin meningkat maka mangsa yang dikonsumsi oleh V. lineata semakin meningkat, namun proporsi mangsa yang dikonsumsi semakin menurun. Hasil analisis dari persamaan cakram pada tanggap fungsional tipe II (R2 = 0.9239) diperoleh nilai
72
laju pencarian mangsa seketika (a) sebesar 0,3522/jam dan nilai masa penanganan mangsa (Th) sebesar 0.151jam. Daya pemangsaan maksimum 6 nimfa/jam. Predator V. lineata masih mampu menemukan dan mengkonsumsi seluruh mangsa (100%) pada kerapatan mangsa rendah (1 sampai dengan 3 nimfa).
Daftar Pustaka Cisneros JJ, Rosenheim JA. 1998. Changes in the foraging behavior, within plant vertical distribution, and microhabitat selection of a generalist insect predator: an age analysis. Environ. Entomol. 27 (4): 949 – 957. De Bach P. 1976. Biologycal Control of Insect Pests and Weeds. London : Chapman and Hall. Doutt RL. 1973. Biological characteristics of entomophagous adult. In de Bach ed.1973. Biological control of insect pests and weeds. London: Chapman and Hall, Ltd: 145 – 167p. Drea JJ, Gordin RD, 1990. Coccinellidae, In Armored Scale Insect; Their Biology, Natural Enemies and control. In D Rosen (ed), pp 19 – 40. New York, Elsevier. Frazer BD. 1988. Coccinellidae, In Aphids Scale Insect; Their Biology, Natural Enemies and control, ed AK Minks, P Harrewijn. Vol B pp 231 – 247. New York, Amsterdam: Elsevier. 364 pp Gerling D. 1990. Natural enemies of whitelies; predator and parasitoids. In Whiteflies; Their Bionomics, Pest Status and Management, ed D Garling, pp 147 – 185. Andover; Intercept Ltd. Hassell MP, Lawton JH, Beddington JR. 1977. Sigmoid fungtional responses by invertabrate predators and parasitoid. J. Anim. Ecol. 46: 249–262. Hodek I. 1973 Biology of Coccinellidae. The Hague : Acad, Prague, Junk. 260 pp Holling CS. 1959. Some characteristics of simple types of predations and parasitism. Canadian Entomol 91: 385 – 398. Holling CS. 1965. Functional response of predators to prey density and its role in mimicry and population regulation. Mem Entomol Soc Can 45(1): 1 – 60. Juliano SA. 1993. Non-linear curve fitting: Predation and functional response curve. Pp. 158-183. In SM Sheiner and J Gurevitch (eds). Design and analysis of ecological experiments. Chapman and Hall. New York.
73
Kharboutli MS, TP Mack. 1993. Effect of temperatur, humidity, and prey density on feeding rate of the striped earwing (Dermaptera: Labiduridae). Environ. Entomol. 22(5): 1134 – 1139. Legaspi JC, Simmons AM, Legaspi BC Jr. 2006. Prey preference by Delphastus catalinae (Coleoptera: Coccinellidae) on Bemisia argentifolii (Homoptera: Aleyrodidae): Effects of plant species and prey stages. Bio one Online Journals. 89: 218-222. Olsen LV. 2001. The behavior of the Ladybird and its ability as a predator. Available at http:// www.trehelp.com/treees-insects-aphid.html. Juli 2009. Prabaningrum L, Saatrosiswojo S, Rubiati T. 1997. Efikasi Predator Amblysius cucumeris terhadap Thrips parvispinus dan Polyphagotarsonemus latus pada tanaman cabai di laboratorium dan rumah kaca. J. Hort. 7(2) : 678 – 684. th
Price, P.W. 1997. Insect Ecology. 3 ed. John Wiley & Sons, Inc., New York. Rogers DJ. 1972. Random search and insect population models. J Anim Ecol. 18: 1–35. Setiawati W. dan Bagus K. Udiarto 2006 Daya Pemangsaan Predator Menochilus sexmaculatus (Coleoptera: Coccinellidae) terhadap Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae). Laporan Hasil Penelitian T.A. 2006. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Lembang-Jawa Barat. Sudrajat. 2009. Eksplorasi Musuh Alami Kutukebul (Bemisia tabaci) di Jawa Barat (Pangalengan, Ciwidae, Lembang dan Krawang) pada Tanaman Sayuran. Laporan Sementara Hasil Penelitian untuk Disertasi S-3. Universitas Padjadjaran. Tarumingkeng RC. 1994. Dinamika Pertumbuhan Populasi Serangga. IPB Press, Bogor. Vet LEM & Dicke M. 1992. Ecology of infochemical use by natural enemies in a tritrophic context. Annu Rev Entomol 37 : 141 – 172. Vinson SB.1991.Chemical signals used by natural enemis (parasitoids predator). Redia 74 (4):14–42. van Alphen JJM, Jervis MA. 1996. Foraging behavior. In Jervis M, N Kidd (ed) Insect natural enemies. Practical approaches to their study and evaluation. Chapman and Hall Published. London. P. 1 – 62.
VI. PEMBAHASAN UMUM Strategi pengendalian B. tabaci dengan Perpaduan Pemanfaatan Tanaman Pembatas Pinggir dan Predator Penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) terdiri atas
6 komponen
pengendalian yang terdiri atas pengendalian kultur teknis, pengendalian hayati, pengendalian kimiawi, pengendalian dengan varietas tahan, pengendalian fisik dan mekaniks, pengendalian melalui peraturan (Watson et al. 1975). Arah pengembangan teknologi PHT
pada pertanaman cabai merah dalam konteks
petani di Indonesia lebih menekankan pengendalian hama yang berjalan secara alami dan mengurangi sekecil mungkin intervensi manusia yang membahayakan lingkungan dan konsumen, seperti penggunaan pestisida kimia konvensional berspektrum lebar (Untung 2006). Sugiyama (2005) dan Setiawati et al. (2007) melaporkan bahwa B. tabaci sudah mulai menunjukkan gejala resisten terhadap beberapa jenis insektisida seperti golongan organofosfat, karbamat dan piretroid sintetik. Penggunaan varietas tanaman unggul tahan hama dan budidaya tanaman sehat dapat meningkatkan kemampuan tanaman menahan serangan hama dan penyakit (Untung 2006), namun sampai saat ini belum diketahui varietas cabai merah yang tahan terhadap B. tabaci dan Begomovirus yang ditularkannya atau terhadap salah satunya. Pengendalian secara fisik dan mekanik seperti pengunaan perangkap warna dengan memperhitungkan sifat biologi dan ekologi hama dapat menekan populasi hama, tetapi pengendalian ini masih mengundang kontroversi. Sebagian petani berpendapat kedua pengendalian tersebut kurang praktis dan justru mengundang hama masuk ke lahan pertanaman yang diusahakan. Untuk itu diperlukan upaya pengendalian yang lebih berlandaskan pendekatan ekologi dan ekonomi, yaitu tidak mencemari lingkungan, aman bagi pemakai dan konsumen cabai merah, relatif murah, tetapi juga efektif terhadap hama B. tabaci. Pemanfaatan tanaman pembatas pinggir (border crops) merupakan salah satu alternatif pengendalian yang dapat menekan populasi B. tabaci di pertanaman cabai merah dan aman terhadap lingkungan. Rerata populasi imago B. tabaci pada pertanaman cabai merah dengan perlakuan pembatas pinggir tanaman jagung, pembatas pinggir tanaman orok-orok, pembatas pinggir kain sifon dan tanpa
75 pembatas pinggir berturut-turut 23.30 ekor, 24.88 ekor, 27.55 ekor dan 28.56 ekor. Menurut Difanzo et al. (1996) dan Fereres (2000) pemanfaatan tanaman pembatas pinggir dapat menekan kejadian penyakit tanaman oleh virus yang ditularkan melalui serangga vektor. Pemanfaatan tanaman pembatas pinggir merupakan salah satu alternatif pengendalian yang kompatibel jika dipadukan dengan musuh alami dalam hal ini predator, karena tanaman pembatas pinggir mempunyai fungsi ganda. Pemanfaatan tanaman pembatas pinggir disamping sebagai penghalang masuknya imago B. tabaci ke pertanaman cabai merah, juga dapat mendorong konservasi musuh alami seperti predator (Stehr 1982), yaitu sebagai tanaman refugia yang berfungsi untuk berlindung sementara dan penyedia polen untuk makanan alternatif jika mangsa utama populasinya rendah atau tidak ada (Untung 2006). Setiawati (2005), mengungkapkan beberapa spesies predator yang diketahui efektif terhadap B. tabaci antara lain C. transversalis, M. sexmaculatus, Coenosia attenuate, D. pusillus, Deracocoris pallens, Euscius hibisci, Orius albidipennis, Scymus syriacus. dan Chrysoperla carnea. Sudrajat (2009) dan Hidayat et al. (2009) melaporkan bahwa dari hasil explorasi musuh alami di Jawa Barat, Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta ditemukan beberapa jenis predator yang mempunyai potensi untuk mengendalikan hama kutukebul B. tabaci yaitu M. sexmaculatus, C. transfersalis, Harmonia sp., Curinus sp., Delphastus sp, Verania lineata (Coleoptera: Coccinellidae), dan Paederus fusipes (Coleoptera: Stapilinidae). Berdasarkan uraian di atas dan hasil penelitian yang dilaporkan dalam disertasi ini, maka pembahasan berikut ini akan difokuskan pada potensi pemanfaatan tanaman pinggir di pertanaman cabai merah dan predator untuk menekan populasi hama B. tabaci dan insidensi penyakit daun keriting kuning yang ditularkannya. Hasil penelitian tentang pengaruh tanaman pinggir terhadap populasi B. tabaci menunjukkan bahwa penggunaan sungkup dapat melindungi pesemaian dari B. tabaci dan menunda infeksi virus selama 2 minggu. Kombinasi penggunaan sungkup di pesemaian dan tanaman pinggir jagung atau orok-orok di sekeliling pertanaman cabai merah efektif mengendalikan hama kutukebul (B. tabaci), sehingga kejadian penyakit daun keriting kuning dapat ditekan sebesar
76 50.80% dan pada gilirannya kehilangan hasil panen cabai merah akibat penyakit tersebut juga dapat ditekan. Rerata hasil panen cabai merah dengan perlakuan pembatas pinggir tanaman jagung, pembatas pinggir tanaman orok-orok, pembatas pinggir kain sifon dan tanpa pembatas pinggir berturut-turut 27.58 kg/plot, 27.56 kg/plot, 16.08 kg/plot
dan 15.66 kg/plot. Keunggulan dari
pemanfaatan tanaman pinggir (jagung dan orok-orok) tidak membahayakan terhadap lingkungan dan aman terhadap konsumen, serta dapat meningkatkan daya saing di pasaran global karena tidak meninggalkan residu bahan kimia dalam produk panennya. Keunggulan lain dari penggunaan tanaman pinggir di pertanaman cabai merah adalah dapat berfungsi sebagai konservasi musuh alami terutama predator. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan tanaman pinggir di pertanaman cabai merah berpengaruh terhadap kelimpahan predator penting B. tabaci. Kelimpahan predator tertinggi ditemukan di pertanaman cabai dengan perlakuan jagung sebagai pembatas pinggir yaitu sebesar 48 ekor/15 tanama dan yang terendah pada petak perlakuan dengan kain sifon sebagai pembatas pinggir yaitu sebesar 18.67 ekor/15 tanaman, sedangkan pada petak perlakuan tanpa pembatas pinggir sebesar 31.66 ekor/15 tanaman. Hal tersebut terjadi karena dibandingkan tanaman orok-orok,
tanaman jagung lebih banyak menghasilkan nektar dan
tepung sari serta ditemukan mangsa alternatif diantaranya kutudaun. Tersedianya nektar dan tepung sari serta mikrohabitat yang sesuai menyebabkan predator dapat mempertahankan kemampuan reproduksinya dan meningkatkan lama hidup, sedangkan mangsa alternatif tersebut merupakan sumber pakan (mangsa) yang tersedia dalam waktu lama bagi predator yang pada umumnya bersifat generalis. Predator ditemukan sejak awal pertumbuhan tanaman cabai (4 mst), pada saat populasi B. tabaci masih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa predator tersebut mempunyai kemampuan menginvasi dan mengolonisasi suatu agroekosistem secara cepat. Dengan demikian penggunaan tanaman jagung sebagai pembatas pinggir di pertanaman cabai merah sangat kompatibel jika dipadukan dengan pengendalian hayati khususnya predator untuk mengendalikan B. tabaci dan penyakit daun keriting kuning cabai yang ditularkannya. Di tajuk pertanaman cabai tersebut ditemukan 9 jenis predator yang berpotensi sebagai agens hayati
77 pengendalian B. tabaci, dengan jenis predator yang dominan adalah
M.
sexmaculatus, C. transversalis, dan V. lineata. Predator M. sexmaculatus, C. transversalis dan V. lineata mempunyai daya pemangsaan yang sama tinggi terhadap B. tabaci yaitu berkisar 46 – 48 nimfa/hari atau 9 imago/hari. Predator M. sexmaculatus lebih menyukai (preference) A. gossypii dan M. persicae, dan predator C. transversalis lebih menyukai T. parvispinus, sedangkan V. lineata lebih menyukai B. tabaci. Hasil analisis regresi logistik (koefisien linier P 1 = - 0.1006, X2 = 34.99) predator V. lineata memperlihatkan tanggap fungsional tipe II. Kerapatan mangsa B. tabaci semakin meningkat maka mangsa yang dikonsumsi 0leh V. lineata semakin meningkat, namun proporsi mangsa yang dikonsumsi semakin menurun. Predator V. lineata masih mampu menemukan dan mengkonsumsi seluruh mangsa (100%) pada kerapatan mangsa rendah (1 sampai dengan 3 nimfa). Hasil analisis dari persamaan cakram pada tanggap fungsional tipe II (R2 = 0.9239) diperoleh nilai laju pencarian mangsa seketika (a) sebesar 0,3522/jam dan nilai masa penanganan mangsa (Th) sebesar 0.151jam. Daya pemangsaan maksimum 6 nimfa/jam. Oleh karena itu, kumbang V. lineata mempunyai potensi dan prospek paling baik untuk dikembangkan sebagai kandidat agens hayati untuk pengendalian B. tabaci di pertanaman cabai merah. Untuk pengembangan predator tersebut maka penelitian lanjutan yang perlu dilakukan adalah teknik pembiakan massal dan pelepasan di lapangan terutama pada pertanaman cabai merah, mengingat populasi nimfa B. tabaci sering ditemukan lebih rendah dibandingkan serangga hama lain yang juga menjadi mangsa alternatif predator V. lineata. Berdasarkan uraian di atas, berikut ini diajukan strategi pengendalian B. tabaci dengan jalan memadukan teknik bercocok tanam dan pengendalian hayati (Gambar 6.1). Strategi tersebut mencakup pembiakan massal dan pelepasan predator serta manipulasi lingkungan. Strategi yang tercakup dalam manipulasi lingkungan adalah penggunaan sungkup di pesemaian dan penggunaan tanaman pinggir di lahan pertanaman. Penggunaan sungkup ditujukan untuk melindungi pesemaian cabai dari imago B. tabaci, sehingga mengurangi resiko terjadinya penularan virus kuning sejak di pesemaian. Penggunaan sungkup harus benarbenar rapat dan ukuran mess rus lebih kecil dari imago B. tabaci.
78 Teknik bercocok tanam
Penggunaan sungkup di pesemaian
Penggunaan tanaman pinggir (jagung)
Penyediaan tepungsari, mangsa alternatif
Pembiakan massal predator (V. lineata)
Pelepasan predator (V. lineata)
Peningkatan kelimpahan, lama hidup dan keperidian predator (V. lineata)
Penurunan populasi B. tabaci di pertanaman cabai merah
Penurunan insidensi penyakit daun keriting kuning cabai merah
Kehilangan hasil panen cabai merah ditekan dan tanpa insektisida Gambar 6.1 Model strategi pengendalian B. tabaci di pertanaman cabai merah dengan cara perpaduan antara penggunaan tanaman jagung sebagai pembatas pinggir dan predator V. lineata Jenis tanaman pinggir yang dipilih harus mempunyai fungsi ganda (seperti tanaman jagung), yaitu sebagai penghalang masuknya imago B. tabaci ke pertanaman cabai merah dan sebagai tanaman refugia yang berfungsi untuk berlindung sementara dan penyedia tepung sari untuk makanan alternatif predator, jika mangsa utama populasinya rendah atau tidak ada di pertanaman cabai merah. Predator yang berpotensi sebagai agens hayati pengendalian B. tabaci adalah V. lineata, M. sexmaculatus dan C. transversalis. Namun yang terpilih dalam pengembangan strategi ini adalah V. lineata karena mempunyai preferensi (tingkat kesukaan) tertinggi terhadap B. tabaci. Keunggulan sifat ini penting dalam menunjang keberhasilan penerapan strategi yang dikembangkan karena pada umumnya predator bersifat generalis, sementara kenyataan di lapangan tajuk
79 pertanaman dihuni lebih dari satu serangga hama (mangsa) pada waktu yang sama. Dengan adanya sifat preferensi tersebut maka predator akan lebih dulu menghabiskan mangssa yang paling disukai.
Implementasi dalam PHT Cabai Merah Sasaran pengendalian hama terpadu (PHT) adalah mengurangi penggunaan pestisida dengan memadukan beberapa teknik pengendalian yang kompatibel dan ramah terhadap lingkungan. Pengendalian hama terpadu lebih menitik beratkan pada pengendalian secara alami (Untung 2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan tanaman pinggir (jagung) di pertanaman cabai merah disamping efektif terhadap hama B. tabaci juga dapat secara nyata meningkatkan kelimpahan predatornya. Hal ini berarti penggunaan tanaman pinggir (jagung) kompatibel jika dipadukan dengan pengendalian hayati (musuh alami). Namun demikian dalam implementasinya perlu dilaksanakan secara bertahap terutama pada masyarakat tani yang terbiasa dengan penggunaan insektisida sintetik, seperti di Jawa tengah dan D.I. Yogyakarta. Petani cabai merah lebih mengandalkan penggunaan insektisida sebagai cara pengendalian hama yang efektif. Oleh karena itu, upaya pemasyarakatan hasil-hasil peneltian tersebut diatas secara terus menerus perlu dilakukan baik melalui penyuluhan, demonstrasi plot (demplot) yang melibatkan petani secara langsung di lapangan dan sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SLPHT). Penggunaan sungkup pada pesemaian dan tanaman pinggir (jagung) di pertanaman cabai merah untuk menekan penyakit daun keriting kuning sudah banyak dilakukan oleh petani. Namun demikian, pengetahuan dasar mengenai hubungan antara penyakit tersebut dengan vektor dan antara vektor dengan musuh alami (dalam hal ini predator) belum banyak dimiliki oleh petani sehingga dalam aplikasinya kurang tepat, di antaranya dalam penggunaan sungkup ukuran lubang (mash) lebih besar dari imago vektor (B.tabaci). Dalam penggunaan tanaman pinggir, petani tidak memperhatikan fungsinya terhadap kelestarian predator bahkan penggunaan insektisida masih tetap intensif. Disamping itu, pengetahuan petani tentang pemanfaatan predator dalam pengendalian B.tabaci mencakup jenis yang berpotensi, cara pembiakan, pelepasan, dan cara pelestariannya masih
80 kurang. Oleh karena itu, dalam mengatasai permasalahan tersebut akan lebih mudah jika petani melakukannya secara bersama-sama dalam kelompok tani. Implementasi hasil penelitian penggunaan tanaman pinggir (jagung) dan predator (V. lineata) diharapkan sebagai masukan yang dapat memperbaiki teknologi pengendalian B. tabaci sebagi penular penyakit daun keriting kuning pada pertanaman cabai merah. Disamping itu berdampak pada peningkatan kesadaran petani bahwa dalam pengendalian hama harus memperhatikan kelestarian musuh alami dalam hal ini predator (V. lineata) karena dalam komunitas terstruktur di lapangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rantai makanan. Implementasi penggunaan tanaman pinggir (jagung) yang dipadukan dengan pengendalian predator untuk pengendalian B. tabaci pada pertanaman cabai merah diharapkan dapat berkembang secara luas, berlangsung secara permanen, dan tetap efektif dalam jangka panjang. Dengan demikian, biaya produksi untuk pestisida dan pencemaran lingkungan dapat ditekan, hasil panen cabai merah tetap tinggi sesuai dengan potensi produksinya, bebas dari residu pestisida sehingga aman terhadap konsumen, dan meningkatkan daya saing pada pasar global. Secara umum, keberhasilan implementasi penggunaan tanaman pinggir dan predator dalam pengendalian B. tabaci pada pertanaman cabai merah di tingkat petani didukung oleh beberapa faktor, yaitu (a) penggunaan tanaman pinggir sudah banyak dilakukan oleh petani hanya dalam aplikasinya yang kurang tepat, (b) keinginan kuat masyarakat untuk menerapkan dasar-dasar pengendalian yang alami, (c) Pengendalian ini menghasilkan produksi cabai yang bebas residu bahan kimia, (d) predator yang berpotensi untuk pengendalian B. tabaci sudah ada di lapangan, tinggal dikelola untuk ditingkatkan peranannya, (e) biaya pengendalian hama dan penyakit cabai merah dapat dihemat, (f) harga cabai merah yang kompetitif dan fluktuatif menjadi pertimbangan kearah perubahan dan perbaikan usahatani cabai merah yang efektif dan efisien, dan (g) Hasil panen cabai merah dapat dipertahankan tetap tinggi sesuai dengan potensi produksinya dengan menekan kehilangan hasil panen akibat oleh serangan penyakit daun keriting kuning yang ditularkan B. Tabaci.
VII. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penggunaan sungkup dipesemaian dapat melindungi bibit cabai merah dari B. tabaci dan menunda infeksi virus selama 2 minggu. Tanaman pembatas pinggir berpengaruh nyata terhadap dinamika populasi B. tabaci dan insidensi penyakit daun keriting kuning pada pertanaman cabai merah. Kombinasi perlakuan penggunaan sungkup di pesemaian dan perlakuan pembatas pinggir tanaman jagung atau orok-orok di lahan pertanaman cabai merah dapat menekan populasi B. tabaci, insidensi penyakit daun keriting kuning cabai dan kehilangan hasil panen cabai merah akibat serangan penyakit tersebut. Insidensi penyakit keriting kuning tersebut dapat ditekan sebesar 50.80 % dan kehilangan hasil panen cabai merah dapat ditekan sebesar 80 %. Ada korelasi positif antara populasi B. tabaci dengan insidensi penyakit daun keriting kuning (r = 0.925), semakin tinggi tingkat populasi imago maka semakin tinggi tingkat insidensi penyakit daun keriting kuning cabai. Sebaliknya terdapat korelasi negatif antara insidensi penyakit daun keriting kuning dengan hasil panen cabai merah (r = - 0.8886), semakin tinggi tingkat insidensi penyakit daun keriting kuning cabai maka semakin rendah hasil panen cabai merah. Rerata populasi imago B. tabaci pada pertanaman cabai merah dengan perlakuan pembatas pinggir tanaman jagung, pembatas pinggir tanaman orok-orok, pembatas pinggir kain sifon dan tanpa pembatas pinggir berturut-turut 23.30 ekor, 24.88 ekor, 27.55 ekor dan 28.56 ekor. Rerata insidensi penyakit daun keriting kuning pada pertanaman cabai merah dengan perlakuan pembatas pinggir tanaman jagung, pembatas pinggir tanaman orok-orok, pembatas pinggir kain sifondan tanpa pembatas pinggir berturut-turut 50%, 51.56%, 75% dan 80.61%. Rerata hasil panen cabai merah dengan perlakuan pembatas pinggir tanaman jagung, pembatas pinggir tanaman orok-orok, pembatas pinggir kain sifon dan tanpa pembatas pinggir berturut-turut 27.58 kg/plot, 27.56 kg/plot, 16.08 kg/plot dan 15.66 kg/plot. Tanaman pembatas pingir pada pertanaman cabai merah di samping efektif menekan populasi B. tabaci, juga berpengaruh nyata terhadap kelimpahan predator. Kelimpahan predator tertinggi ditemukan di pertanaman cabai dengan
82 perlakuan jagung sebagai pembatas pinggir yaitu sebesar 48 individu/15 tanama dan yang terendah pada petak perlakuan dengan kain sifon sebagai pembatas pinggir yaitu sebesar 18.67 individu/15 tanaman. Hasil identifikasi ditemukan 9 spesies predator yang berpotensi sebagai musuh alami B. tabaci, yaitu 8 spesies termasuk Ordo Coleoptera, 1 spesies dari Ordo Diptera. Serangga predator dari ordo Coleoptera terdiri atas 7 spesies termasuk famili Coccinellidae (Menochilus sexmaculatus, Coccinellidae transversalis, Verania lineata,
Harmonia sp.,
Verania discolor., Curinus coeruleus, dan Coelophora sp.) dan 1 spesies dari famili Staphylinidae yaitu Paederus fuscipes. Ordo Diptera 1 spesies dari famili Dolichopodidae yaitu Condylostylus sp. Serangga predator tersebut yang dominan adalah M. sexmaculatus, C. Transversalis dan V. lineata. Predator M. sexmaculatus, C. transversalis dan V. lineata mempunyai daya pemangsaan terhadap B. tabaci yang sama tinggi yaitu berkisar 46 – 48 nimfa/hari atau 9 imago/hari. Predator M. sexmaculatus lebih menyukai A. gossypii dan M. persicae, predator C. transversalis lebih menyukai T. parvispinus, sedangkan V. lineata lebih menyukai B. tabaci. Hasil analisis regresi logistik (koefisien linier P 1 = - 0.1006, X2 = 34.99) predator V. lineata memperlihatkan tanggap fungsional tipe II, artinya semakin meningkat kerapatan mangsa B. tabaci maka semakin meningkat mangsa yang dikonsumsi, namun proporsi mangsa yang dikonsumsi semakin menuurun. Pada kerapatan mangsa rendah (1 sampai dengan 3 nimfa) seluruh mangsa dikonsumsi (100%), artinya pada kerapatan mangsa yang rendah predator V. lineata masih mampu menemukan mangsa dan memangsanya. Hasil analisis dari persamaan cakram pada tanggap fungsional tipe II diperoleh nilai laju pencarian mangsa seketika (a) sebesar 0,3522 jam-1 dan nilai masa penanganan mangsa (Th) sebesar 0.151jam (R2 = 0.9239). Laju pencarian mangsa seketika (a) menunjukkan proporsi dari total area yang dijelajahi predator per unit waktu jelajah. Semakin kecil nilai a, maka predator semakin agresif dan efektif dalam menemukan mangsa.
Masa penanganan mangsa (Th) menunjukkan lamanya
predator mengenali, mengejar, memakan, membersihkan alat mulut dan beristirahat sebelum bergerak mencari mangsa yang lain. Semakin rendah nilai Th, maka semakin tinggi daya pemangsaan maksimumnya. Predator V. lineata mempunyai daya pemangsaan maksimum 6 nimfa/jam.
83 Pembatas pinggir terbaik untuk pengendalian B. tabaci pada pertanaman cabai merah adalah tanaman jagung, karena mempunyai peranan ganda. Pembatas pinggir dengan tanaman jagung disamping dapat menekan populasi B. tabaci, insiden penyakit daun keriting kuning dan kehilangan hasil panen cabai, juga dapat meningkatkan kelimpahan predator penting yang menyerang B. tabaci. Serangga predator yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai agens hayati untuk pengendalian B. tabaci adalah M. sexmaculatus, C. Transversalis dan V. lineata, namun dari ketiga predator tersebut yang paling efektif adalah V. lineata.
Saran Disarankan varietas jagung yang digunakan sebagai tanaman pinggir sebaiknya yang mempunyai karakter tinggi tanaman lebih dari 2 m dan tajuk yang lebat serta umur yang relatif panjang. Penanaman jagung sebaiknya dilakukan 2 kali yaitu pada waktu 5 minggu sebelum dan 4 minggu setelah tanam cabai merah. Penanaman antar baris jagung dilakukan secara zigzag sehingga benar benar rapat. Pemanfaatan pembatas pingir dengan tanaman jagung akan lebih efisien dan efektif untuk pengendalian B. tabaci, jika dilakukan beberapa penelitian lebih lanjut mengenai; 1) Kajian jarak dan proporsi luas tanaman pinggir dari pertanaman cabai merah serta analisis ekonominya, 2) kajian peranan tepung sari dan mangsa alternatif pada tanaman jagung dalam mendukung konservasi predator dan 3) Kajian pembiakan massal predator (V. Lineata).
DAFTAR PUSTAKA Aidawati N, Hidayat SH, Suseno R, Sosromarsono S. 2002. Transmission of an Indonesian isolate of tobacco leaf curl virus (Gemini virus) by Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae). Plant Pathol 18:231–236. Altieri MA. 1991. Ecology of tropical herbivores in polycultural agroecosystem. Di dalam: Price PC, Lewinsohn TM, Fernandes GW, Benson W, editor. Plant-Animals Interaction: Evolutionary Ecology in Tropical and Temperate Regions. New York (US): John Wiley & Sons, Inc. hlm 607−617. Andow DA. 1991. Vegetational diversity and arthropod population response. Annu. Rev. Entomol. 36:561–586. Badri I. 1983. Identification of the Aleyrodid on soybean from two location in west Java and some bionomics of Bemisia tabaci Genn. (Homoptera: Aleyrodidae) on three soybean varieties. Seameo-Regional Center for tropical Biology. Bogor (ID): Biotrop. Hlm. 62. Barrion AT, Litsinger JA. 1990. Taxonomy of rice insect pests and their arthropod parasites and predators. Manila (PH): IRRI. hlm. 580. Basu AN. 1995. Bemisia tabaci (Gennadius): Crop Pest and Principal Whitefly Vector of Plant Viruses. New Delhi (IN): Westview Press. Beck SD. 1965. Resistance of plants to insects. Ann. Rev. Ent. 10:207–232. Bedford ID, Briddon RW, Markham PG, Brown JK, Rosell RC. 1992. Bemisia tabaci: biotype characterization and the threat of this whitefly species to agriculture. Di dalam: Proceedings of the 1992 British Crop Protection Conference Pest and Diseases. hlm. 1235–1240. Borror DJ, White RE. 1970. A field guide to the insect of America North of Mexico. Boston (US): Houghton Mifflin Company. hlm. 404. Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1989. An introduction to the study of insects. 6ed. Saunders College Publishing. hlm. 875. Brewer R. 1979. Principles of ecology. London (UK): WB. Sounders Company. hlm. 90–95. Brown JK, Costa HS, Laemmlen F. 1992. First report of whitefly associated labu silverleaf disorder of Cucurbita in Arizona and of white streaking disorder of Brassica in Arizona and California. Plant Dis 76:426. Brown JK. 1994. Current status of Bemisia tabaci as a plant pest and virus vector in agro ecosystems word wide. FAO Plant Prot. Bull. 42:3–32.
85 Byrne DN, Bellows TS. 1990. Whitefly biology. Annnual Review of Entomology 36:431–457. Cisneros JJ, Rosenheim JA. 1998. Changes in the foraging behavior, within plant vertical distribution, and microhabitat selection of a generalist insect predator: an age analysis. Environ. Entomol. 27(4):949–957. Cohen S, Berlinger MJ. 1986. Transmission and host range of tomato yellow leaf curl virus. Phytopathol. 56:1127–1131. Coppel HC, Mertins JW. 1977. Biological Insect Pest Suppresion. New York (US): Springer-Verlag. hlm. 314. Costa HS, Brown JK. 1990. Variability in biological characteristic isozyme patterns and virus transmission among populations of Bemisia tabaci Genn. In Arizona. Phytopathol. 80:888. Cullin CD, Rust RW. 1980. Comparison of the ground surface and foliage dwelling spider communities in a soybean habitat. Environ. Entomol. 9(5):577–582. Czosnek H, Ber R, Antignus Y, Cohen S, Nafot N, Zamir D. 1988. Isolation of tomato yellow leaf curl virus, a geminivirus. Phytopatol. 78:508−512. Damicone JP, Edelson JV, Sherwood JL, Myers LD, Motes JE. 2007. Effects of border crops and intercrops on control 0f cucurbit virus diseases. J. Plants Dis. 91:509–516. De Bach P. 1979. Biological Control of Insect Pests and Weeds. London (UK): Chapman and Hall. De Bach P. 1991. Biological Control by Natural Enemies. London (UK): Cambridge University Press. hlm. 323. Difanzo CD, Rogsdale DW, Radcliffe NC, Sencor GA. 1996. Crop borders reduce potato virus Y incidence in seed potato. Annals of Applied Biology 129: 289–302. Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura. 2009. Virus kuning pada cabai. Makalah disampaikan pada Seminar Kelompok Kerja, 2009 Apr; Yogyakarta. Direktorat Jendral Tanaman Pangan dan Hortikultura 2010. Hasil pembangunan Pertanian Tanaman Pangan: Aspek Areal Produksi dan Faktor-faktor Produksi. Jakarta. Doutt RL. 1973. Biological characteristics of entomophagous adult. In de Bach, editor. Biological control of insect pests and weeds. London (UK): Chapman and Hall, Ltd. hlm. 145– 160.
86 Drea JJ, Gordin RD. 1990. Coccinellidae, In Armored Scale Insect: Their Biology, Natural Enemies and control. Rosen D, editor. New York (US): Elsevier. hlm. 19–40. Duriat AS, Ratnawati ML, Kirana R, Widjaja ES, Sulastrin I, Gunaen N, Gunawan OS, Gaswanto R, Wulandari AW, Murtiningsih RR, van der Wolf JM, Patricia S, van der Zouwen. 2005. The Most Important Pests and Seed-Borne Diseases Of Vegetables In Indonesia. A Progress report in 2003-2005. Hortin Project. Indonesian−Netherlands research colaboration. 26 pages. Elseth GD, Baumgardner KD. 1981. Population biology. New York (US): D. van Nostrand Company. hlm 361–407. Fereres A. 2000. Border crops as a culture measure of non-persistently transmitted aphid-borne viruses. Virus Research 71:221–231. Frazer BD. 1988. Coccinellidae, In Aphids Scale Insect; Their Biology, Natural Enemies and Control. Minks AK, Harrewijn P, editor. New York (US): Elsevier. hlm 231–247. Frisbie RE, Smith Jr JW. 1991. Biologically Intensive Integrated Pest Management : The Future. Menn JJ, Steinhaner AL, editor. Di dalam: Progress and Perspective for 21th Century. Entomol. Soc. Amer. Maryland. Gameel OJ. 1977. Bemisia tabaci Genn. Di dalam: Kranz J, Schumutterer H, Kock W, editor. Diseases, Pests and Weed in Tropical Crops. New York (US): John Wiley and Sons. Gerling D. 1990. Natural enemies of whitelies; predator and parasitoids. Di dalam: Garling D. Whiteflies: Their Bionomics, Pest Status and Management. Andover (US): Intercept Ltd. hlm 147–185. Greathead AH. 1986. Host plants. Di dalam : Cock MJW, editor. Bemisia tabaci. A literature Survey on the cotton Whitefly with an Annotated Bibliography. Silwood Park (UK): CAB International Institutes, Biological Control. hlm 17–26. Hassel MP. 1966. Evaluation of parasite or redator resposes. J. Anim. Ecol. 35:65–75. Hassell MP, Lawton JH, Beddington JR. 1977. Sigmoid fungtional responses by invertabrate predators and parasitoid. J. Anim. Ecol. 46: 249–262. Hidayat P, Setiawati W, Murtiningsih RRR, Udiarto BK. 2009. Strategi pemanfaatan musuh alami dalam pengendalian Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae) sebagai vektor virus kuning pada pertanaman cabai merah. Laporan Penelitian KKP3T. Intitut Pertanian Bogor. Bogor.
87 Hidayat SH, Chatchawankanpanich O, Rusli E, Aidawati N. 2006. Begomovirus assosiated with pepper yellow leaf curl diseases in West Java, Indonesia. J. Indon. Microbial. 11(2):87–89. Hidayat SH, Rahmayani E. 2007. Transmission of tomato leaf curl begomovirus by two different species of whitefly (Hemiptera: Aleyrodidae). J. Plant Pathol. 23(2):57–61. Hoddle MS, Van Driesche RG, Sanderson JP. 1998. Biology and use of the whitefly parasitoid Encarsia formosa. Annual Review of Ent. 43:645–669. Hodek I. 1973 Biology of Coccinellidae. The Hague: Acad, Prague, Junk. hlm 260. Holling CS. 1959. Some characteristics of simple types of predations and parasitism. Canadian Entomol 91: 385–398. Holling CS. 1965. Functional response of predators to prey density and its role in mimicry and population regulation. Mem Entomol Soc Can 45(1):1–60. Hooks CRR, Fereres. 2006. Protecting crops from non-persistently aphid transmitted. viruses: Areviev of the barrier plants as a management tool. Virus Research 120:1−16. House HL. 1965. Insect nutrition. Di dalam: Rockstein, editor. The physiology of insects 2.New York (US): Academic Press. hlm 769–813. Horn DJ. 1981. Effect of weedy backgrounds on colonization of collards by green peach aphid, Myzus persicae and its major predators. Environ. Entomol. 10:285–289. Houck MA. 1986. Prey preference in Stetorus punctum (Coleoptera: Coccinellidae). Environ. Entomol. 15:967–970. Indrayani IGGA, Sulistyowati E. 2005. Pengaruh kerapatan bulu daun pada tanaman kapas terhadap kolonisasi Bemisia tabaci Gennadius. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 11(3):101–106. Jones D. 2003. Plant viruses transmitted by whiteflies. Eur. J. Plan. Pathol 10(9):197− 221. Juliano SA. 1993. Non-linear curve fitting: predation and functional response curve. Di dalam: Sheiner SM, Gurevitch J, editor. Design and analysis of ecological experiments. New York (US): Chapman and Hall. hlm 158−183. Kalshoven LGE. 1981. Pests of Crops in Indonesia. van der Laan PA, penterjemah. Jakarta (ID): PT Ichtiar Baroe- van Hoeve. hlm 701.
88 Kharboutli MS, Mack TP. 1993. Effect of temperatur, humidity, and prey density on feeding rate of the striped earwing (Dermaptera: Labiduridae). Environ. Entomol. 22(5):1134–1139. Kogan M, Pitre Jr HN. 1980. General sampling methods for above-ground populations of soybean arthropods. Di dalam: Kogan M, Herzog DC, editor. Sampling Method in Soybean Entomology. New York (US): SpringerVerlag. hlm 30−60. Legaspi JC, Simmons AM, Legaspi Jr BC. 2006. Prey preference by Delphastus catalinae (Coleoptera: Coccinellidae) on Bemisia argentifolii (Homoptera:Aleyrodidae): effects of plant species and prey stages. Bioone Online Journals 89:218-222. Lima LHC, Moretzohn MC, Oliveira MRV. 2000. Survey of Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae) biotype in Brazil using RAPD markers. Genet. Mol. Biol. 23:1–5. Lin FC, Hsieh TT, Wang CL. 2005. Occurrence of whiteflies and their integrated management in Taiwan. Di dalam: Proc. of the International Seminar on Whitefly Management and Control Strategy. Taichung Taiwan; 2005 Oct 3– 8. hlm 245–257. Louws FJ, Mary KH, John FK, Cristine TS. 1996. Impact of Reduced Fungicide and Tillage on Blight, Fruit Root and Yield Processing Tomatoes. J. Plant Disease 1251–1256. Lucas GB. 1975. Diseases of tobacco. Biological Consulting Assosiates Raleigh. North Caroline. Maguran AE. 1987. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey (US): Princeton University Press. hlm 179. Martin JH, Mifsud D, Rapisarda C. 2000. The whiteflies (Hemiptera: Aleyrodidae) of Europe and Mediterranean basin. Buletin of Entomological Research. 86:407−448. Muharam A, Setiawati W. 2007. Teknik Perbanyakan Massal Menochilus sexmaculatus (Coleoptera: Coccinellidae) dalam Pengendalian Bemisia tabaci Vektor Virus Kuning pada Tanaman Cabai. Jurnal Hortikultura 17(4):365–373. Muthomi JW, Kinyungu TN, Nderitu JH, Olubayo FM, Kabira JN. 2010. Effect of maize border crop placement distance on aphid population and aphidtransmitted virus diseases in potato. Journal Entomology 7:335–343. Naranjo SE. 2001. Conservation and evaluation of natural enemies in IPM System for Bemisia tabaci. Crop Protection 20:835–852.
89 Naranjo SE, Akey DH. 2005. Conservation of natural enemies in Cotton: Comperative selectivity of Acetamiprid in the Management of Bemisia tabaci. Pest. Manag. Sci. 61(6):555–566. Nderitu JH, Kasina M, Malenge F. 2008. Evaluating border cropping system for management of aphid (Hemiptera : Aphididae) infecting okra (Malvaceae) in Kenya. Journal of Entomology 5:262–269. Norris FF, Kogan M. 2005. Ecology of interaction between weeds and arthrophods. Ann. Rev. Entomol. 50:479–503. Oliveira MRV, Henneberry TJ, Anderson P. 2001. History, current status and collaborative research projects for Bemisia tabaci. Crop Protection 20:709– 723. Olsen LV. 2001. The behavior of the Ladybird and its ability as a predator. Available at http:// www.trehelp.com/treees-insects-aphid.html. Juli 2009. Pedigo LP. 1989. Entomologi and pest management. New York (US): MacMillan Publishing company. hlm 646. Perfecto I, Sediles A. 1992. Vegetational diversity, ants (Hymenoptera: Formicidae), and herbivorous pest in a neotropical agroecosystem. Environ. Entomol 21(1):61–67. Pervez A, Omkar. 2005. Functional responses coccinellidae predator: an illustration of a logistic approach. J. Insect Sci 5(5):1– 6. Perring TM. 2001. The Bemisia tabaci species complex. Crop Prot. 20: 725-737. Prabaningrum L, Sastrosiswojo S, Rubiati T. 1997. Efikasi Predator Amblysius cucumeris terhadap Thrips parvispinus dan Polyphagotarsonemus latus pada tanaman cabai di laboratorium dan rumah kaca. J.Hort. 7(2):678–684. th
Price PW. 1997. Insect Ecology. 3 ed. New York (US): John Wiley & Sons, Inc. hlm 874. Purnomo, Sudiono. 2009. Populasi kutukebul (B. tabaci Genn.) pada berbagai pola tanam cabai (Capsicum annuum L.). Jurnal Pertanian Terapan 9(2):86–89. Risch SJ, Andow D, Altieri MA. 1983. Agroecosystem diversisty and pest control data, tentative conclusions and new research directions. Environ. Entomol.12: 625−629. Rogers DJ. 1972. Random search and insect population models. J Anim Ecol. 18:1–35.
90 Roshan Manandhar, Cerruti RR Hooks. 2011. Ushing protector plants to reduce the incidence of papaya ringspot virus-watermelon strain in zucchini. Environmental Entomology 40(2):391– 398. Rusli ES, Hidayat SH, Suseno R, Tjahjono B. 1999. Virus gemini pada cabai: variasi gejala dan studi cara penularan. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 11(1): 26−31. Setiawati W. 2005. Pengelolaan Terpadu pada Tanaman Cabai Merah dalam Upaya Mengatasi Penyakit Virus Kuning. Makalah disampaikan pada Pertemuan Apresiasi Penerapan Penganggulangan Virus Cabai, Yogyakarta, 14–15 April 2005. Setiawati W, Udiarto BK. 2006. Daya Pemangsaan Predator Menochilus sexmaculatus (Coleoptera: Coccinellidae) terhadap Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae). Laporan Hasil Penelitian T.A. 2006. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Lembang-Jawa Barat. Setiawati W, Udiarto BK, Soetiarso TA. 2007. Selektivitas Beberapa Insektisida terhadap Hama Kutu Kebul (Bemisia tabaci Genn.) dan Predator Menochilus sexmaculatus Fabr. Jurnal Hortikultura 17(2). Settle WH, Ariawan H, Astuti ET, Cahyana W, Hakim AL, Hindayana D, Lestari AS, Pajarningsih, Sartanto. 1996. Managing Tropical Rice Pests Through Conservation of Generalist National Enemies and Alternative Prey. Ecology 77(7):1957–1988. Shepard M, Herzog DC, 1985. Soybean: Status and current limits to biological control in the Southeastern. Di dalam: Hoy MA, Herzog DC, editor. Biological Control in Agricultural IPM System. Orlando (US): Academic press. hlm 557–574. Southwood TRE. 1980. Ecology Methodes With Particular Reference to The Study of Insect Populations. London (UK): Chapman and Hall. hlm 127. Simmon AM, McCutcheon GS, Dufault RJ, Hassell RL, Rushing JW. 2000. Bemisia argentifolii (Homoptera: Aleyrodidae) attacking species of medicinal herbal plants. Ann. Entomol. Soc. Am. 93:856–866. Sudiono, Purnomo. 2009. Hubungan antara populasi kutukebul (Bemisia tabaci Genn) dan penyakit kuning pada cabai di Lampung Barat. J. HPT. Tropika 9 (2):115–120. Sudrajat. 2009. Eksplorasi Musuh Alami Kutukebul (Bemisia tabaci) di Jawa Barat (Pangalengan, Ciwidae, Lembang dan Krawang) pada Tanaman Sayuran. Laporan Sementara Hasil Penelitian untuk Disertasi S-3. Universitas Padjadjaran. Sugiyama K. 2005. Management of whitefly for commercial tomato production in greenhouses in Shizuoka, Japan. Di dalam: Proc. of the International
91 Seminar on Whitefly Management and Control Strategy. Taichung, Taiwan. 2005 Oct 3–8. hlm 81–91. Sulandari S. 2004. Karakterisasi Biologi, Serologi dan Analisa Sidik Jari DNA Virus Penyebab Penyakit Daun Kuning Keriting Cabai [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sulandari S, Suseno R, Hidayat SH, Harjosudarno J, Sosromarsono S. 2006. Deteksi dan kajian kisaran inang virus penyebab penyakit daun keriting kuning cabai. Hayati 13(4):1–6. Suwandi N, Nurteka, Sahat S. 1989. Bercocok Tanam Sayuran Dataran Rendah. Laporan Balai Penelitian Hortikultura Lembang dan Proyek ATA 395. Lembang: 31–36. Tarumingkeng RC. 1994. Dinamika Pertumbuhan Populasi Serangga. Bogor (ID): IPB Press. Untung K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Uzcategui Rcde, Lastra R. 1978. Transmission and physical properties of the causal agent of mosaic amarillo del tomato (tomato yellow mosaic). Phytopathol. 68: 985 – 988. van Alphen JJM, Jervis MA. 1996. Foraging behavior. Di dalam: Jervis M, Kidd N, editor. Insect Natural Enemies: Practical Approaches to Their Study and Evaluation. Chapman and Hall Published. London. P. 1 – 62. Vet LEM, Dicke M. 1992. Ecology of infochemical use by natural enemies in a tritrophic context. Annu Rev Entomol 37:141–172. Vinson SB.1991.Chemical signals used by natural enemis (parasitoids predator). Redia 74(4):14–42. Whitcomb WH. 1980. The use of predators in insect control. Di dalam: Pimental D, editor. CRC Handbook of pest management in agriculture vol. II. Florida (US): CRC Press Inc. Wiedenmann RN, Smith JW. 1997. Attributes of natural enemies in ephemeral crop habitat. Biol. Contr. 10:16–22.
92
Lampiran 1 Perlakuan penggunaan sungkup di persemaian dan jenis pembatas pinggir di lahan pertanaman cabai merah : (a) Penggunaan sungkup di persemaian; (b) Persemaian tanpa sungkup; (c) Pembatas pinggir kain sifon; (d) Pembatas pinggir tanaman jagung; (e) Pembatas pinggir tanaman orok-orok; (f) Tanpa pembatas pinggir.
(a)
(c)
(e)
(b)
(d)
(f)
93
Lampiran 2 Tata letak petak percobaan pengaruh pemanfaatan tanaman pembatas pinggir terhadap populasi B. tabaci dan kelimpahan predator.
(S + T) 1
(S + T) 2
(S + T) 3
(S + O) 1
(S + O) 2
(S + O) 3
(S + J) 1
(S + J) 2
(S + J) 3
(S + K) 1
(S + K) 2
(S + K) 3
(N + J ) 1
(N + J ) 2
(N + J ) 3
(N + O ) 1
(N + O ) 2
(N + O ) 3
(N + K ) 1
(N + K ) 2
(N + K ) 3
(N + T) 1
(N + T) 2
(N + T) 3
94
Lampiran 3 Cara pengamatan imago dan nimfa B. tabaci serta predator pada pertanaman cabai merah: (a) Pengamatan imago pada perangkap kuning; (b) Pengamatan nimfa pada daun cabai; (c) Pengamatan predator dengan menggunakan penyedot serangga.
(a)
(b)
(c)
95
Lampiran 4 Imago dan nimfa B. tabaci serta gejala penyakit daun keriting kuning cabai: (a) Imago B. tabaci pada perangkap kuning; (b) Nimfa B. tabaci; (c) Gejala penyakit daun keriting kuning cabai.
(a)
(b)
(c)
96
Lampian 5 Pelaksanaan penelitian kajian potensi predator Coccinellidae terhadap B. tabaci: (a) Pembiakan massal B. tabaci dan kutudaun pada pertanaman cabai merah; (b) Percobaan uji daya pemangsaan; (c) Percobaan uji tanggap fungsional; (d) Percobaan uji preferensi.
(a)
(b)
(c)
(d)
97
Lampiran 6 Predator Verania lineada: (a) Imago betina; (b) Imago jantan; (c) Telur; (d) Larva; (e) Pupa; (F) Imago yang baru keluar dari pupa.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)