III. PENGARUH TANAMAN PEMBATAS PINGGIR DI PERTANAMAN CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) TERHADAP POPULASI KUTUKEBUL Bemisia tabaci (GENNADIUS) (HEMIPTERA: ALEYRODIDAE) DAN INSIDENSI PENYAKIT DAUN KERITING KUNING (Effect of Border Crops in Chili Pepper (Capsicum annuum L.) on Population of Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae) and Incidence of Yellow Leaf Curl Disease) Abstrak Penyakit daun keriting kuning yang disebabkan oleh PepYLCV merupakan salah satu penyakit utama pada pertanaman cabai merah terutama di daerah Jawa Tengah. Pengendalian serangga vektor kutukebul B. tabaci merupakan strategi penting untuk menekan penyakit tersebut. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh jenis tanaman pembatas pinggir terhadap dinamika populasi B. tabaci dan insidensi penyakit daun keriting kuning pada pertanaman cabai merah di lapangan. Perlakuan merupakan kombinasi antara penggunaan sungkup dan tanpa sungkup di pesemaian dengan perlakuan empat jenis pembatas pinggir, yaitu kain sifon, tanaman jagung, tanaman orok-orok dan tanpa tanaman pinggir pada pertanaman cabai di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan sungkup di pesemaian dapat melindungi bibit cabai merah dari B. tabaci dan menunda infeksi begomovirus selama 2 minggu. Kombinasi penggunaan sungkup di pesemaian dan tanaman pembatas pinggir jagung atau orok-orok di lahan pertanaman cabai merah dapat menekan populasi B. tabaci, insidensi penyakit daun keriting kuning cabai dan kehilangan hasil panen cabai merah akibat serangan penyakit tersebut. Rerata populasi imago B. tabaci terendah terdapat pada pertanaman cabai merah dengan perlakuan pembatas pinggir tanaman jagung dan pembatas pinggir tanaman orok-orok berturut-turut 23.30 ekor dan 24.88 ekor, sedangkan rerata populasi imago B. tabaci tertinggi terdapat pada petak perlakuan pembatas pinggir kain sifon dan tanpa pembatas pinggir berturut-turut 27.55 ekor dan 28.56 ekor. Insidensi penyakit daun keriting kuning dapat ditekan sebesar 50.80 % dan kehilangan hasil panen cabai merah dapat ditekan sebesar 70.86 %. Ada korelasi positif antara populasi B. tabaci dengan insidensi penyakit daun keriting kuning (r = 0.925). Terdapat korelasi negatif antara insidensi penyakit daun keriting kuning dengan hasil panen cabai merah (r = - 0.8886). Kata kunci : B. tabaci, cabai merah, penyakit daun keriting kuning, tanaman pinggir. Abstract Yellow leaf curl disease caused by PepYLCV is considered as the main disease in chilli pepper, especially in Central Java. Controlling its insect vector, B. tabaci, is important to suppress the disease. The objectives of the research were to study the effect of border crops (maize, crotalaria) to population of B. tabaci, incidence of Yellow leaf curl disease and crop yield. Randomize complited design was applied for this experiment. Two kinds of seedlings, with and without
28
seedling cover, combined with four kinds of borders i.e. maize, crotalaria (Fabaceae), chiffon fabric and non border. The results showed the use of covered seedling was able to protect the seedling from B. tabaci and delay virus infection for 2 weeks. Population of B. tabaci was significantly lower in plot with combination at border crops (maize, crotalaria) and covered seedling. Population average of B. tabaci imago on chillipepper plant with maize, crotalaria (Fabaceae), chiffon fabric and non border were 23.30, 24.88, 27.55 and 28.56 respectively. The lowest Positive correlation between population of B. tabaci and disease incidence was observed (r = 0.925), where as correlation between disease incidence and yield crop was negative (r = - 0.8886). Key words: B. tabaci, chili pepper, pepper yellow leaf curl disease, border crop. Pendahuluan Di Indonesia kutukebul Bemisia tabaci menjadi hama yang sangat penting terutama pada pertanaman cabai merah sejak tahun 2000, karena menimbulkan kerusakan secara langsung dan juga merupakan vektor Pepper yellow leaf curl begomovirus (PepYLCV) yang menyebabkan penyakit daun keriting kuning cabai (Hidayat et al. 2006). Penyakit daun keriting kuning sekarang menjadi epidemik pada pertanaman cabai di berbagai daerah seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Sumatera Selatan dan Lampung (Sulandari et al. 2006; Hidayat et al. 2006). Perkembangan luas serangan virus kuning di beberapa daerah di Indonesia terutama di pulau Jawa terjadi sangat cepat. Pada tahun 2003 luas serangan virus kuning berkisar antara 6.2 - 60 ha dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 183.5 – 575.4 ha (Ditlin Hortikultura 2009). Kerusakan akibat penyakit daun keriting kuning pada pertanaman cabai sangat berat sehingga kerugian ekonomi dapat mencapai 20 sampai 100% (Sulandari et al. 2006). Penularan PepYLCV hanya terjadi melalui B. tabaci, tidak dapat melalui kontak atau biji (Brown 1994; Aidawati et al. 2002; Jones 2003; Hidayat dan Rahmayani 2007). Oleh karena itu pengendalian terhadap B. tabaci merupakan salah satu strategi untuk menekan insidensi penyakit daun keriting kuning cabai. Upaya pengendalian B. tabaci yang umum dilakukan petani selama ini adalah dengan penggunaan insektisida secara intensif. Penggunaan insektisida yang berlebihan, disamping merupakan pemborosan juga dapat membahayakan manusia dan menimbulkan berbagai kerugian terhadap lingkungan, antara lain terbunuhnya organisme bukan sasaran seperti predator dan parasitoid, dan
29
terjadinya resistensi hama terhadap insektisida (Naranjo dan Akey 2005; Lin dan Wang 2005). Dilaporkan oleh Sugiyama (2005) dan Setiawati et al. (2007) bahwa populasi B. tabaci sudah mulai menunjukkan ketahanan terhadap banyak jenis insektisida diantaranya dari golongan organofosfat, karbamat dan piretroid sintetik. Pemanfaatan tanaman pinggir merupakan salah satu alternatif pengendalian yang dapat menekan populasi B. tabaci di pertanaman cabai merah dan aman terhadap lingkungan. Menurut Difanzo et al. (1996) dan Fereres (2000), pemanfaatan tanaman pinggir dapat menekan insidensi penyakit tanaman oleh virus yang ditularkan melalui serangga vektor. Pemanfaatan tanaman jagung sebagai tanaman pinggir di pertanaman kentang dapat menekan insidensi penyakit virus Y kentang (PVY) yang ditularkan oleh kutudaun. Selanjutnya dilaporkan oleh Muthomi et al. (2010), bahwa tanaman jagung yang ditanam dengan jarak 0.5 dan 1 m dari pertanaman kentang dapat menekan populasi kutudaun dan insidensi penyakit virus kentang sampai 48 %. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa pemanfaatan orok-orok (Crotalaria juncea) sebagai tanaman pinggir di pertanaman “zucchini” dapat menekan populasi kutudaun dan insidensi penyakit virus bercak cincin papaya (PRSV) strain semangka (Roshan dan Cerruti 2011). Pemanfaatan tanaman jagung atau orok-orok sebagai pembatas pinggir pada pertanaman cabai merah untuk pengendalian B. tabaci telah dilakukan oleh para petani di Indonesia terutama di daerah Jawa Tengah. Meskipun demikian dalam cara pelaksanaannya seperti jarak dan waktu tanam antara tanaman pembatas pinggir dan tanaman cabai merah kurang tepat, sehingga hasilnya kurang maksimal. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian secara ilmiah mengenai pengaruh tanaman pembatas pinggir terhadap populasi B. tabaci dan inseidensi penyakit daun keriting kuning cabai serta kelimpahan predator penting. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh tanaman pinggir terhadap dinamika populasi B. tabaci dan tingkat insidensi penyakit daun keriting kuning pada pertanaman cabai merah di lapangan.
30
Bahan dan Metode Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni 2011 sampai Januari 2012 di lahan petani di Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta (270 mdpl).
Rancangan Percobaan Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas 8 perlakuan dengan 3 ulangan. Perlakuan merupakan gabungan perlakuan di pesemaian (disungkup dan tanpa sungkup)
dan perlakuan jenis
pembatas pinggir (jagung, orok-orok, kain sifon dan tanpa pembatas pinggir) di pertanaman cabai merah di lapangan. Delapan perlakuan yang dibandingkan terdiri atas: 1) Pesemaian disungkup dan pembatas pinggir tanaman orok-orok (S+O); 2) Pesemaian disungkup dan pembatas pinggir tanaman jagung (S+J); 3) Pesemaian disungkup dan pembatas pinggir kain sifon ketinggian 2 m (S+K); 4) Pesemaian disungkup dan tanpa pembatas pinggir (S+T); 5) Pesemaian tanpa sungkup dan pembatas pinggir tanaman orok-orok (N+O); 6) Pesemaian tanpa sungkup dan pembatas pinggir tanaman jagung (N+J); 7) Pesemaian tanpa sungkup dan pembatas pinggir kain sifon ketinggian 2 m (N+K); dan 8) Pesemaian tanpa sungkup dan tanpa pembatas pinggir (N+T). Tata letak percobaan disajikan pada Lampiran 2.
Pelaksanaan Percobaan Cabai merah yang ditanam untuk penelitian adalah varietas TM999. Dua jenis pesemaian disiapkan di dekat lahan penanaman cabai yaitu pesemaian disungkup (Lampiran 1a) dan tanpa menggunakan sungkup (Lampiran 1b). Pesemaian disungkup berukuran 4 m x 1.5 m x 1.5 m (panjang x lebar x tinggi) dengan 2 lapis pintu masuk, bagian atasnya ditutup dengan plastik transparan, bagian samping ditutup rapat sampai tanah dengan kain sifon (Lampiran 1a). Pesemaian tanpa sungkup berukuran 4 m x 1.5 m x 1.5 m (panjang x lebar x tinggi), bagian atasnya ditutup dengan plastik transparan, sedangkan bagian samping dibiarkan terbuka (Lampiran 1b). Bibit cabai berumur 10 hari setelah tebar benih (HSTB) dipindahkan ke wadah yang terbuat dari daun pisang (diameter 3 cm, tinggi 4 cm) kemudian dimasukkan ke dalam pesemaian.
31
Setiap petak perlakuan berukuran 14 m x 12.5 m dengan jarak antar petak 2 m. Setiap petak terdiri atas 6 bedengan, jarak antar bedengan 60 cm, penanaman dilakukan 2 lajur dengan jarak tanam 50 cm x 60 cm, total terdapat 30 tanaman cabai per bedengan. Tanaman pembatas pinggir jagung atau orok-orok ditanam 2 tahap sepanjang musim tanam cabai merah, yaitu 4 sampai 5 minggu sebelum pindah tanam cabai merah, dan 6 minggu setelah tanam (MST) cabai merah. Pada setiap tahap, tanaman pinggir jagung dan orok-orok terdiri atas 3 baris ditanam mengelilingi petakan tanaman cabai merah. Tanaman jagung ditanam secara zig zag dengan jarak antar tanaman 25 cm dan antar baris 25 cm. Tanaman orok-orok ditanam rapat, tanpa jarak tanam, dengan jarak antar baris 30 cm (Lampiran 1). Bibit
cabai merah yang
ditanam berumur 25 hari setelah semai.
Penanaman cabai merah menggunakan mulsa plastik (bagian bawah warna hitam dan bagian atas warna perak). Pupuk dasar terdiri atas 40ton/ha pupuk kandang dan pupuk buatan TSP 200 kg/ha diberikan sebelum tanam; Urea : 200 kg/ha diberikan 3 kali pada umur 3, 6 dan 9 (MST); ZA : 500 kg/ha diberikan 3 kali pada umur 3, 6 dan 9 (MST) dan KCl : 200 kg/ha diberikan 3 kali pada umur 3, 6 dan 9 (MST). Pemeliharaan tanaman seperti penyiraman dilakukan sesuai dengan kebutuhan tanaman di lapangan, sehingga secara agronomis tanaman dapat tumbuh dengan baik. Penyiangan dilakukan dalam satu musim tanam empat kali atau menurut kebutuhan di lapangan. Pengendalian hama dan penyakit bukan sasaran apabila dianggap perlu digunakan pestisida, maka penggunaan pestisida tersebut diupayakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu tujuan percobaan, sehingga penarikan kesimpulan hasil percobaan tidak mengalami kesalahan.
Parameter Pengamatan Pengamatan populasi imago B. tabaci di pesemaian dengan menggunakan perangkap kuning berbentuk silinder dengan diameter 6cm dan panjang 15cm (Lampiran 3a dan 4a)) sebanyak 3 perangkap setiap tempat pesemaian , dan dipasang selama 24 jam/pengamatan. Pengamatan dilakukan sejak tanaman berumur 15 hari setelah semai. Pengamatan di lapangan dilakukan terhadap 10 tanaman contoh per petak perlakuan yang ditentukan secara sistematis. Pengamatan dimulai sejak umur
32
tanaman cabai merah 2 MST sampai panen pertama, dengan interval satu minggu. Untuk pengamatan populasi imago B. tabaci digunakan perangkap kuning berbentuk silinder dengan diameter 6 cm dan panjang 15 cm (Lampiran 3a dan 4a) sebanyak 3 perangkap/petak perlakuan, dipasang selama 24 jam/pengamatan. Pengamatan populasi nimfa B. tabaci dilakukan dengan cara mengambil 2 helai daun cabai yang arahnya berlawanan pada tanaman contoh kemudian dihitung jumlah nimfanya dengan bantuan kaca pembesar atau mikroskop binokuler di laboratorium (Lampiran 3b dan 4b). Insidensi penyakit daun keriting kuning dihitung dengan membandingkan proporsi tanaman bergejala dari seluruh tanaman contoh yang diamati (Sulandari et al. 2006). Perkembangan penyakit dihitung berdasarkan AUDPC (Area Under Disease Progress Curve) dengan rumus (Louws et al. 1996): n-1
∑ ( Yi + Y i 2
AUDPC =
i + 1)
(t i + 1 – t i )
Keterangan : AUDPC = Kurva perkembangan penyakit Yi + 1
= Data pengamatan ke i + 1
Yi
= Data pengamatan ke i
ti + 1
= Waktu pengamatan ke i + 1
ti
= Waktu pengamatan ke i
n
= Jumlah pengamatan
Persentase penghambatan penyebaran (P) penyakit daun keriting kuning cabai akibat perlakuan dihitung berdasarkan rumus: AUDPC perlakuan P= (1–
) x 100% AUDPC kontrol
Panen cabai merah dilakukan sebanyak 6 kali dengan interval satu minggu. Buah cabai yang sehat dan busuk baik oleh penyakit maupun lalat buah dipisahkan kemudian masing-masing ditimbang beratnya.
Analisis Data Data diolah dengan menggunakan analisis ragam program SAS 90. Jika terdapat perbedaan antar perlakuan, pengolahan dilanjutkan dengan uji jarak
33
berganda Duncan pada taraf nyata 5 persen. Hubungan antara kedua parameter dilakukan analisi Korelasi-regresi dengan uji t dan uji F pada taraf nyata 5 %.
Hasil dan Pembahasan. Dinamika Populasi B. tabaci di Pesemaian dan Lapangan Jumlah imago B. tabaci pada perangkap kuning di pesemaian terbuka berkisar antara 5 – 17 ekor/hari sementara di pesemaian yang disungkup tidak satupun imago yang tertangkap (Jumlah imago yang tertangkap = 0)(Gambar 3.1). 18
Jumlah imago / perangkap
16 14 12 10 8 6 4 2 0
√ √√√√√√√√ 1 2 3 15 4 16 5
17 21 11 22 12 23 13 24 25 27 28 6 18 7 19 8 20 9 10 14 26 15 16 17
Waktu pengamatan (HSS)
Gambar 3.1 Rerata jumlah imago B. tabaci pada perangkap kuning di pesemaian cabai merah (HSS = hari setelah semai) Data tersebut menunjukkan bahwa kehadiran imago B. tabaci sudah dimulai sejak awal pertumbuhan tanaman (14 HSS) dan pesemaian disungkup dapat melindungi tanaman dari B. tabaci, sehingga infeksi begomovirus tidak terjadi pada saat tanaman masih muda (awal tanam). Dilaporkan oleh Sulandari et al. (2006) bahwa, infeksi Begomovirus sejak awal tanam dapat menyebabkan kerusakan atau kehilangan hasil cabai merah hingga 100 %. Jumlah imago B. tabaci pada perangkap kuning di pertanaman cabai merah dengan pembatas pinggir lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan di pertanaman tanpa pembatas pinggir (Tabel 3.1). Hal tersebut menunjukkan bahwa jagung, orok-orok dan kain kasa efektif mencegah atau mengurangi masuknya imago B. tabaci ke dalam pertanaman cabai merah. Tanaman pinggir jagung dan
34
orok-orok lebih efektif dibandingkan dengan pembatas pinggir dari kain sifon dalam menghambat masuknya imago B. tabaci ke pertanaman cabai merah. Fenomena tersebut diduga terjadi karena pembatas pinggir dari kain sifon hanya berperan sebagai penghalang fisik, sedangkan tanaman pinggir seperti jagung dan orok-orok berperan ganda. Tanaman pinggir tersebut berperan sebagai penghalang fisik bagi hama untuk menemukan tanaman inangnya dan berperan sebagai samaran inang yang membuat tanaman inang sulit ditemukan
(Perfecto dan
Sediles 1992). Nderitu et al. (2008) melaporkan bahwa strategi pemanfaatan tanaman pinggir (border cropping) dalam pengendalian hama dan serangga vektor, berhubungan dengan perilaku aktivitas terbang serangga dalam mencari tanaman inang untuk berkoloni, makan dan reproduksi. Pada saat aktif terbang serangga vektor tidak dapat membedakan antara tanaman inang dan bukan inang secara visual. Setelah sampai di permukaan daun serangga vektor melakukan seleksi kecocokan inang dengan alat mulutnya. Tanaman pinggir di sekeliling tanaman utama dapat menyebabkan serangga vektor menghabiskan sebagian besar waktu untuk melakukan seleksi kecocokan inang pada permukaan daun tanaman pinggir. Dengan demikian dapat menghambat proses makan, kolonisasi dan reproduksi pada tanaman inang termasuk juga kesempatan menularkan virus (Hooks dan Fereres 2006; Damicone et al. 2007). Dinamika populasi imago B. tabaci di pertanaman cabai merah pada semua perlakuan menunjukkan kecenderungan yang sama. Pada awal pertumbuhan tanaman cabai merah, populasi imago B. tabaci rendah, kemudian meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman dan populasi imago B. tabaci mencapai maksimum pada umur tanaman cabai sekitar 8 – 9 MST, setelah itu populasi imago turun kembali seiring dengan bertambahnya umur tanaman (Tabel 3.1). Fenomena ini terjadi diduga karena adanya hubungan antara perilaku kutukebul dalam memperoleh makanan dengan pertumbuhan vegetatif tanaman yang berkaitan dengan lebar dan kerimbunan tajuk. Kutukebul baik imago maupun nimfanya memperoleh makanannya dari daun tanaman. Di sisi lain di dalam pertumbuhan vegetatif zat-zat makanan lebih dominan ditujukan untuk pertumbuhan batang dan daun. Pada vase generatif pertumbuhan tinggi dan daun tanaman relatif terhenti, dan zat-zat makanan lebih dominan ditujukan untuk
35
pembentukan bunga dan buah. Menurut Suwandi et al. (1999) awal fase generatif pertanaman cabai merah di dataran rendah berkisar 8 – 10 MST. Oleh karena itu, populasi kutukebul tersebut mencapai maksimum pada umur tanaman cabai sekitar 8 – 9 MST setelah itu menurun kembali. Populasi nimfa B. tabaci yang ditemukan pada daun cabai merah tergolong rendah yaitu kurang dari 3 nimfa per daun (Tabel 3.2). Data tersebut menunjukkan bahwa imago B. tabaci yang tertangkap selama musim tanam kemungkinan adalah populasi B. tabaci yang bermigrasi dan bukan B. tabaci yang mengkoloni tanaman cabai. B. tabaci tergolong serangga yang memiliki kisaran inang yang luas (Oliveira et al. 2001). Indrayani dan Sulistyowati (2005) melaporkan bahwa B. tabaci mempunyai preferensi tinggi terhadap spesies inang yang memiliki trikoma pada permukaan bawah daun, antara lain terung dan kapas, dan sebaliknya kurang menyukai spesies inang yang tidak memiliki trikoma pada permukaan bawah daun. Dalam penularan virus daun keriting kuning cabai, yang sangat berperan adalah imago B. tabaci bukan nimfanya, karena imagonya aktif terbang (mobile) sedangkan nimfanya tidak bergerak (diam di tempat) kecuali instar 1.
Oleh
karena itu, keberhasilan B. tabaci migrasi masuk ke pertanaman cabai akan menyebabkan tingginya insidensi penyakit daun keriting kuning cabai (Jones 2003). Menurut Hooks dan Fereres (2006) pemanfaatan tanaman pinggir dapat mengurangi jumlah B. tabaci yang migrasi dan mengkoloni pada pertanaman cabai merah. Selain itu, perilaku serangga vektor dalam menularkan virus tanaman biasanya diawali pada bagian pinggir area pertanaman. Dengan demikian, tanaman pinggir berfungsi sebagai samaran bagian pinggir area pertanaman yang diusahakan, sehingga penularan virus sebagaian besar terjadi pada tanaman pinggir, dan pada akhirnya dapat mengurangi insidensi penyakit virus pada pertanaman yang diusahakan (Damicone et al. 2007).
32 36 Tabel 3.1 Rerata jumlah imago B. tabaci/perangkap di pertanaman cabai merah pada perlakuan kombinasi antara pesemaian dan jenis pembatas pinggir. Waktu pengamatan (minggu setelah tanam)2
Kombinasi Perlakuan1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
S+K
34.67b
48.33b
59.00b
73.33b
84.33b
91.67b
110.67b
96.67b
80.33b
45.67b
21.00d
S+O
26.00c
41.00bc
45.67c
65.00c
70.67c
84.00d
103.00c
83.67c
71.00c
43.33c
20.00d
S+J
26.33c
35.67c
45.00dc
64.67c
70.67c
81.67d
102.67c
83.33c
70.33c
41.67d
18.33e
S+T
41.67a
59.33a
77.67a
97.33a
105.33a
119.00a
129.33a
104.33a
91.33a
58.67a
34.67b
N+K
36.33b
46.00b
61.33b
78.67b
82.67b
93.33b
109.00b
95.00b
82.00b
46.00b
22.67c
N+O
28.33bc
38.00c
48.33c
60.00d
69.00c
88.00c
103.33c
81.33c
69.33c
43.33c
20.00d
N+J
27.33c
37.33c
43.00d
56.33e
70.67c
87.33c
101.00c
82.00c
69.00c
43.00c
21.00d
N+T
43.00a
61.33a
79.67a
96.67a
104.67a
121.33a
131.33a
107.00a
92.67a
59.00a
36.67a
S, pesemaian disungkup N, pesemaian tanpa sungkup. K, kain sifon (ketinggian 2 m) sebagai pembatas pinggir O, tanaman orok-orok sebagai pembatas pinggir J, tanaman jagung sebagai pembatas pinggir; T, tanpa pembatas pinggir. 2 Angka rerata yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5 %.
33
Waktu pengamatan (minggu setelah tanam)2
Kombinasi Perlakuan1
32
Tabel 3.2 Rerata jumlah nimfa B. tabaci/daun di pertanaman cabai merah pada perlakuan kombinasi antara perlakuan pesemaian dan jenis pembatas pinggir.
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
S+K
0.70b
1.13a
1.73a
0.87c
1.07c
1.80b
1.80b
1.47b
1.37ab
1.00b
S+O
0.17c
0.40b
0.53b
0.40de
0.37d
0.90c
0.80c
0.40d
0.47c
0.33c
S+J
0.13c
0.47b
0.43b
0.47d
0.50d
1.03c
0.77c
0.50d
0.53c
0.43c
S+T
0.77ab
1.20a
1.43a
1.87a
1.33b
2.83a
2.73a
1.67ab
1.43a
1.20a
N+K
0.73ab
1.13a
1.50a
0.83c
1.07c
1.73b
1.43b
1.43b
1.07b
0.90b
N+O
0.20c
0.50b
0.37b
0.40de
0.53d
0.90c
0.73c
0.73c
0.53c
0.50c
N+J
0.13c
0.40b
0.43b
0.27e
0.47d
0.73c
0.80c
0.77c
0.57c
0.40c
N+T
0.83a
1.27a
1.77a
1.13b
1.57a
2.03b
2.93a
1.73a
1.23ab
0.90b
1
S, pesemaian disungkup N, pesemaian tanpa sungkup K, kain sifon (ketinggian 2 m) sebagai pembatas pinggir O, tanaman orok-orok sebagai pembatas pinggir J, tanaman jagung sebagai pembatas pinggir; T, tanpa pembatas pinggir. 2 Angka rerata yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5 %.
37
38
Insidensi Penyakit Daun Keriting Kuning dan Pengaruhnya terhadap Hasil Panen Cabai Merah Gejala penyakit daun keriting kuning cabai mulai tampak sejak awal tanam (2 MST) dan terjadi pada petak perlakuan yang bibitnya berasal dari pesemaian tanpa sungkup, sedangkan pada petak perlakuan yang bibitnya berasal dari pesemaian yang disungkup belum tampak adanya gejala penyakit (Gambar 3.2). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan sungkup di pesemaian dapat menunda insidensi penyakit daun keriting kuning di lapangan. Insidensi penyakit terus meningkat sesuai dengan bertambahnya umur tanaman (pada pengamatan selanjutnya dari 4 – 12 MST). Pada awal masa panen tingkat insidensinya berkisar 50% sampai 80%. Insidensi penyakit yang terendah terjadi pada kombinasi perlakuan pesemaian disungkup dengan pembatas pinggir tanaman jagung dan orok-orok
(S+J dan S+O) masing-masing sebesar 50.56% dan 51.11%,
sedangkan yang tertinggi terjadi pada kombinasi perlakuan pesemaian tanpa sungkup dengan pembatas pinggir dari kain sifon dan tanpa pembatas pinggir (N+K dan N+T) masing-masing 81.67% dan 80.56% (Gambar 3.2). Hasil perhitungan nilai AUDPC terlihat bahwa semakin rendah nilai AUDPC semakin tinggi persentase penghambatannya atau penekanan penyakit daun keriting kuning (Tabel 3.3). Nilai AUDPC terendah (1543.92 – 1571.14) dan persentase penghambatan penyakit tertinggi 49.94 – 50.80% terdapat pada petak perlakuan kombinasi penggunaan sungkup di pesemaian dan penanaman orokorok atau jagung sebagai pembatas pinggir. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi penggunaan sungkup di pesemaian dan penanaman orokorok atau jagung sebagai pembatas pinggir terbukti dapat menekan insidensi penyakit daun keriting kuning sebesar (49.94 – 50.80%). Insidensi penyakit tersebut sangat berkaitan dengan aktivitas pergerakan B. tabaci. Analisis regresi korelasi antara populasi imago B. tabaci dan insidensi penyakit daun keriting kuning cabai memperoleh nilai persamaan y = 6.165 x – 93.466 dengan koefisien determinasi R2 = 0.8559 (F = 35.62;P < 0.001) dan koefisien korelasi r = 0.925 (t = 5.91; P < 0.001) (Gambar 3.3). Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara populasi imago B. tabaci dengan insidensi penyakit daun keriting kuning. Peningkatan populasi imago
B. tabaci dapat menyebabkan
39
peningkatan insidensi penyakit. Penelitian penularan Begomovirus pada cabai menunjukkan bahwa insidensi penyakit daun keriting kuning meningkat dengan penggunaan jumlah B. tabaci yang lebih banyak (Rusli et al. 1999). Penelitian lain di daerah Lampung menunjukkan bahwa populasi B. tabaci berpengaruh terhadap insidensi penyakit daun keriting kuning, makin tinggi populasi B. tabaci maka insidensi penyakit
pada pertanaman cabai makin tinggi (Sudiono dan
Purnomo 2009).
Insidensi penyakit kuning (%)
90 80
S.K
70
S.O
60
S.J
50
S.T
40
N.K N.O
30
N.J
20
N.T
10 0 2MST
4MST
6MST
8MST
10MST
12MST
Umur Tanaman Gambar 3.2 Rerata insidensi penyakit daun keriting kuning cabai (%) pada pertanaman cabai merah dengan kombinasi perlakuan pesemaian dan jenis tanaman pinggir (S = pesemaian disungkup, N = pesemaian tanpa sungkup, K = kain sifon ketinggian 2m sebagai pembatas pinggir, O = tanaman orok-orok sebagai pembatas pinggir; J = tanaman jagung sebagai pembatas pinggir, T = tanpa pembatas pinggir)
40
Tabel 3.3 Pengaruh perlakuan terhadap nilai AUDPC dan penekanan penyakit daun keriting kuning (%) di pertanaman cabai pada pengamatan 2 – 12 minggu setelah tanam . Kombinasi perlakuan
AUDPC
Penekanan penyakit(%)
S+K
2337.25
25.53
S+O
1571.14
49.94
S+J
1543.92
50.80
S+T
2333.35
25.65
N+K
3157.81
-0.62
N+O
2570.56
18.09
N+J
2652.24
15.49
N+T
3138.32
0.00
Insidensi penyakit(%)
90.00 80.00 70.00 60.00
y = 6.165x - 93.466
50.00
R2 = 0.8559 r = 0.925
40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 23.00
24.00
25.00 26.00 27.00 Populasi Imago B. tabaci
28.00
29.00
Gambar 3.3 Regresi populasi B. tabaci dengan insidensi penyakit daun keriting kuning cabai Secara keseluruhan bobot buah cabai merah yang busuk baik oleh serangan lalat buah maupun penyakit berkisar 0.68 ± 0.08 sampai 0.82 ± 0.09 kg dan tidak berbeda nyata pada semua petak perlakuan. Perbedaan bobot buah cabai merah di petak perlakuan semata-mata disebabkan oleh perbedaan insidensi penyakit daun keriting kuning. Bobot buah cabai merah tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan penggunaan sungkup di pesemaian dan tanaman pinggir
41
jagung atau orok-orok (S+J dan S+O) di lapangan, sedangkan terendah pada kombinasi perlakuan pembatas pinggir dari kain sifon dan pesemaian cabai terbuka (N+K) (Gambar 3.4). Infeksi PepYLCV dilaporkan dapat menyebabkan penurunan produksi tanaman cabai yang sangat tinggi (Hidayat et al. 2006). Pada penelitian di Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta insidensi penyakit daun keriting kuning sampai 12 MST berkisar antara 50% sampai 81% (Gambar 3.2) dan bobot buah cabai berkisar 8.03 sampai 27.58 kg/petak (Gambar 3.4). Analisis regresi korelasi terhadap insidensi penyakit daun keriting kuning dan bobot buah cabai memperoleh nilai persamaan P = 54.122 – 0.501 K dengan koefisien determinasi R2 = 0.7897 (F = 82.60; P < 0.001) (Gambar 3.5) dan koefisien korelasi r = - 0.8886 (t = 9.09; P < 0.001). Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara insidensi penyakit daun keriting kuning dengan bobot buah cabai. Peningkatan insidensi penyakit daun keriting kuning dapat menyebabkan penurunan bobot buah cabai hasil panen. 35.00
27.56a
27.58a
Bobot cabai (kg)/petak
30.00
23.85b 21.91b
25.00
18.34c
20.00
16.08c
15.66c
15.00
8.03d
10.00 5.00 0.00 S+K**
S+O
S+J
S+T
N+K
N+O
N+J
N+T
Kombinasi perlakuan
Gambar 3.4 Rerata bobot buah cabai per petak (kg) pada pertanaman cabai merah dengan kombinasi perlakuan pesemaian dan jenis tanaman pinggir (S = pesemaian disungkup, N = pesemaian tanpa sungkup, K = kain sifon ketinggian 2m sebagai pembatas pinggir, O = tanaman orokorok sebagai pembatas pinggir; J = tanaman jagung sebagai pembatas pinggir, T = tanpa pembatas pinggir, * Angka rerata yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada ujung batang menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji Duncan pada taraf 5 % )
42
Y = 54.12 – 0.501X R2 = 0.7897
Gambar 3.5 Regresi antara insidensi penyakit daun keriting kuning dengan bobot buah cabai Simpulan Penggunaan sungkup dapat melindungi pesemaian dari serangan B. tabaci dan menunda
infeksi virus selama 2 minggu. Penggunaan tanaman pinggir
(jagung atau orok-orok) berpengaruh nyata dalam menurunkan populasi B. tabaci dan insidensi penyakit daun keriting kuning cabai. Kombinasi penggunaan sungkup di pesemaian dan tanaman pinggir jagung atau orok-orok di sekeliling pertanaman cabai merah efektif mengendalikan B. tabaci, sehingga insidensi penyakit daun keriting kuning dapat ditekan sebesar 50.80 % dan kehilangan hasil panen cabai merah dapat ditekan sebesar 70.86 %. Ada korelasi positif antara populasi B. tabaci dengan insidensi penyakit daun keriting kuning (r = 0.925), dan sebaliknya ada korelasi negatif antara insidensi penyakit daun keriting kuning dengan hasil panen tanaman (r = - 0.8886). Rerata populasi imago B. tabaci pada pertanaman cabai merah dengan perlakuan pembatas pinggir tanaman jagung, pembatas pinggir tanaman orokorok, pembatas pinggir kain sifon dan tanpa pembatas pinggir berturut-turut 23.30 ekor, 24.88 ekor, 27.55 ekor dan 28.56 ekor. Rerata insidensi penyakit daun keriting kuning pada pertanaman cabai merah dengan perlakuan pembatas pinggir
43
tanaman jagung, pembatas pinggir tanaman orok-orok, pembatas pinggir kain sifondan tanpa pembatas pinggir berturut-turut 50%, 51.56%, 75% dan 80.61%. Rerata hasil panen cabai merah dengan perlakuan pembatas pinggir tanaman jagung, pembatas pinggir tanaman orok-orok, pembatas pinggir kain sifon dan tanpa pembatas pinggir berturut-turut 27.58 kg/plot, 27.56 kg/plot, 16.08 kg/plot dan 15.66 kg/plot.
Daftar Pustaka Aidawati N, Hidayat SH, Suseno R, Sosromarsono S. 2002. Transmision of an Indonesian isolate of tobacco leaf curl virus (Gemini virus) by Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae) Plant Pathol 18: 231 – 236. Brown JK. 1994. Current status of Bemisia tabaci as a plant pest and virus vector in agro ecosystems word wide. FAO. Plant Prot. Bull. 42: 3 – 32. Damicone JP, Edelson JV, Sherwood JL, Myers LD, Motes JE. 2007. Effects of border crops and intercrops on control 0f cucurbit virus diseases. J. Plants Dis. 91: 509 – 516. Difanzo CD, Rogsdale DW, Radcliffe NC, Sencor GA 1996. Crop borders reduce potato virus Y incidence in seed potato. Annals of Applied Biology 129: 289 – 302. Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura. 2009. Virus kuning pada cabai. Makalah disampaikan pada Seminar Kelompok Kerja, April 2009 di Yogyakarta. Fereres A. 2000. Border crops as a culture measure of non-persistently transmitted aphid-borne viruses. Virus Research 71: 221 – 231. Hidayat SH, Chatchawankanpanich O, Rusli E, Aidawati N. 2006. Begomovirus assosiated with pepper yellow leaf curl diseases in West Java, Indonesia. J. Indon. Microbial. 11 (2): 87 – 89. Hidayat SH, Rahmayani E. 2007. Transmission of tomato leaf curl begomovirus by two different species of whitefly (Hemiptera : Aleyrodidae) J. Plant Pathol. 23 (2): 57– 61. Hooks CRR, Fereres 2006. Protecting crops from non-persistently aphid transmitted. viruses: Areviev of the barrier plants as a management tool. Virus Research 120: 1-16. Indrayani IGGA, Sulistyowati E. 2005. Pengaruh kerapatan bulu daun pada tanaman kapas terhadap kolonisasi Bemisia tabaci Gennadius. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 11 (3): 101 – 106.
44
Jones D. 2003. Plant viruses transmitted by whiteflies. Eur. J. Plan. Pathol 10 (9): 197- 221. Lin FC, Hsieh TT, Wang CL. 2005. Occurrence of whiteflies and their integrated management in Taiwan. Pp. 245 – 257. In. Proc. of the International Seminar on Whitefly Management and Control Strategy. Taichung Taiwan. Oct 3 – 8, 2005 Louws, F.J. Mary, K.H. John, F.K. & Cristine, T.S. 1996. Impact of Reduced Fungicide and Tillage on Blight, Fruit Root and Yield Processing Tomatoes. J. Plant Disease : 1251 – 1256. Muthomi JW, Kinyungu TN, Nderitu JH, Olubayo FM, Kabira JN. 2010. Effect of maize border crop placement distance on aphid population and aphidtransmitted virus diseases in potato. Journal Entomology 7: 335 – 343. Naranjo SE, Akey DH. 2005. Conservation of natural enemies in Cotton : Comperative selectivity of Acetamiprid in the Management of Bemisia tabaci. Pest. Manag. Sci. 61 (6): 555 – 566. Nderitu JH, Kasina M, Malenge F. 2008. Evaluating border cropping system for management of aphid (Hemiptera : Aphididae) infecting okra (Malfaceae) in Kenya. Journal of Entomology 5: 262 – 269. Norris FF, Kogan M. 2005. Ecology of interaction between weeds and arthrophods. Ann. Rev. Entomol. 50: 479 – 503. Oliveira MRV, Henneberry TJ, Anderson P. 2001. History, current status and collaborative research projects for Bemisia tabaci. Crop Protection 20: 709 – 723. Perfecto I, Sediles A. 1992. Vegetational diversity, ants (Hymenoptera: Formicidae), and herbivorous pest in a neotropical agroecosystem. Environ. Entomol 21(1):61– 67. Roshan Manandhar, Cerruti RR Hooks. 2011. Ushing protector plants to reduce the incidence of papaya ringspot virus-watermelon strain in zucchini. Environmental Entomology 40 (2): 391 – 398. Rusli ES, Hidayat SH, Suseno R, Tjahjono B. 1999. Virus gemini pada cabai: Variasi gejala dan studi cara penularan. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 11 (1): 26-31. Setiawati W, Udiarto BK, Soetiarso TA. 2007. Selektivitas Beberapa Insektisida terhadap Hama Kutu Kebul (Bemisia tabaci Genn.) dan Predator Menochilus sexmaculatus Fabr. Jurnal Hortikultura Vol.17, No. 2, Tahun 2007. Sudiono, Purnomo. 2009. Hubungan antara populasi kutukebul (Bemisia tabaci Genn) dan penyakit kuning pada cabai di Lampung Barat. J. HPT. Tropika 9 (2): 115 – 120.
45
Sulandari S, Suseno R, Hidayat SH, Harjosudarno J, Sosromarsono S. 2006. Deteksi dan kajian kisaran inang virus penyebab penyakit daun keriting kuning cabai J. Hayati Vol. 13 (4): 1 – 6. Sugiyama K. 2005. Management of whitefly for commercial tomato production in greenhouses in Shizuoka, Japan. In. Proc. of the International Seminar on Whitefly Management and Control Strategy. Taichung, Taiwan. Oct 3 – 8, 2005. pp.81 – 91. Suwandi, N. Nurteka dan S. Sahat. 1989. Bercocok Tanam Sayuran Dataran Rendah. Laporan Balai Penelitian Hortikultura Lembang dan Proyek ATA 395. Lembang : 31 – 36.