60
VI. OTONOMI DAERAH DAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT 6.1. Otonomi Daerah Era otonomi daerah yang dimulai dengan dikeluarkannya UU No. 25 Tahun 1999 dan direvisi dengan UU N0. 32 Tahun 2004, mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan berbagai aspek sesudah otonomi daerah di Provinsi Riau meliputi: (1) kegiatan dan program pembangunan daerah, dan (2) Keuangan daerah. 6.1.1. Kegiatan dan Program Pembangunan Daerah Kegiatan pemerintah daerah tercermin dalam APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). APBD merupakan dokumen Perda (Peraturan Daerah) yang berisi kegiatan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah selama tahun yang bersangkutan, beserta jumlah dan sumber-sumber dana. Setiap tahun pihak eksekutif menyusun RAPBD (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) untuk dibahas dan syahkan bersama dengan pihak legislatif sebagai APBD yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan kegiatan pemerintah daerah. 6.1.1.1. Mekanisme Pelaksanaan Pembangunan Daerah Kegiatan pembangunan dilaksanakan oleh pemerintah daerah sebagai pelaksana dan DPRD sebagai pengawas. Pemerintah daerah melaksanakan kegiatan pembangunan yang rencana kegiatannya sudah disetujui oleh DPRD dan dituangkan dalam bentuk Perda (Peraturan daerah). Perda yang menyangkut rencana pembangunan meliputi 1. Perda Properda (Program Pembangunan Daerah). 2. Perda APBD. Selain Properda dalam rangka perencanaan pembangunan daerah masih terdapat Renstra (Rencana Strategis) daerah, sedangkan APBD adalah rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setiap tahun. Dengan demikian dalam pembangunan daerah terdapat rencanan pembangunan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Rencana pembangunan jangka pendek terdapat dalam APBD berupa program dan proyek untuk tahun yang bersangkutan.
61
6.1.1.2. Kebijaksanaan dan Usaha Pembangunan Daerah Dalam membangun daerah Riau, Pemerintahan memantapkan visi dan misi pembangunan di Riau dengan tujuan agar arah dan tujuan pembangunan Riau lebih jelas dan terarah. Berdasarkan potensi dan kondisi yang terdapat dalam masyarakat probinsi Riau, maka Visi Pembangunan Daerah sebagai berikut ”Terwujudnya Provinsi Riau sebagai Pusat Perekonomian dan Kebudayaan Melayu dalam lingkungan Masayarakat yang agamis, sejahtera lahir bating di Asia Tenggara tahun 2020” Guna mewujudkan dan merealisasikan Visi Pembangunan Daerah Provinsi Riau, maka ditetapkan misi Pembangunan Daerah sebagai berikut: 1. Mewujudkan masyarakat Riau yang beriman dan bertaqwa, berkaulitas, sehat dan cerdas serta mengusai Ilmu pengetahuan dan teknologi 2. Meningkatkan peran lembaga pendidikan sekolah maupun luar sekolah guna menbentuk karakter, moral, dan etika masyarakat yang agamis. 3. Meningkatkan pelaksanaan penegakan supremasi hukum dan hak azasi manusia serta kehidupan demokratis, guna tercipta masyarakat yang madani. 4. Mewujudkan dan meningkatkan pembangunan infrastruktur ekonomi, sosial, politik dan budaya agar tercipta dan terlaksana pertumbuhan dan pemrataan pembangunan, pemberdayaan ekonomi rakyat, peningkatan kelembagaan masyarakat serta peningkatan pendapatan daerah. 5. Meningkatkan pembinaan industri, perdagangan dan jasa yang maju didukung oleh agroindustri dan agrobisnis. 6. Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam untuk kesejahteraan rakyat melalui pembangunan daerah yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. 7. Meningkatkan hubungan kerjasama antar daerah Provinsi, antar kabupaten dan kota dalam Provinsi Riau serta luar negeri dalam segala bidang. 8. Membina dan mengembangkan kebudayaan melayu yang mampu mengikuti perkembangan zaman dengan tidak menghilangkan jati diri, sehingga tercipta masyarakat masyarakat melayu yang maju, mandiri dan mampu bersaing. 9. Mewujudkan dan meningkatkan fungsi manajemen Pemerintah Daerah, pembentukan
sikap
kemandirian
masyarakat
yang
memiliki
jiwa
62
kewirausahaan sehingga tercipta Pemerintahan Daerah yang Bersih, Baik dan Berwibawa (Clean Goverment and Good Goverment) Sasaran dari Pembangunan Daerah Provinsi Riau adalah: 1. Mewujudkan manajemen Pemerintahan Daerah yang baik Upaya ini diarahkan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja aparatur pemerintahan yang profesional, produktif, efisein, transparan, dan akuntabel dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat baik lokal maupun internasional. 2. Mewujudkan landasan ketahanan kebudayaan melayu Hai ini merupakan tujuan juga sarana untuk membangun kesejahteraan rakyat yang dilandasi Iman dan Taqwa. 3. Membangun kesejahteraan dan ketahanan ekonomi daerah yang berbasis ekonomi kerakyatan Upaya pembangunan ketahanan ekonomi kerakyatan yang dapat menunjang komoditas unggulan Daerah Riau. 4. Memberdayakan masyarakat Upaya meningkatkan kemampuan masyarakat guna mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah dalam memasuki era globalisasi. Untuk mewujukan visi dan misi pembangunan Provinsi Riau 2020 maka ditetapkan strategi jangka panjang yaitu: 1. Menumbuhkan semangat kemantapan keimanan dan ketaqwaan serta memperkokoh toleransi antar umat beragama. 2. Mengembangkan mutu pendidikan sebagai upaya meningkatkan kemampuan penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi 3. Meningkatkan mutu dan etos kerja sumberdaya manusia yang diandalkan dalam persaingan global 4. Melakukan penggalian, pengkajian dan memutahirkan nilai-nilai kebudayaan melayu secara terpadu dan berkesinambungan yang mendukung kemajuan pemberdayaan rakyat. 5. Meningkatkan kesadaran berbudaya melayu dalam upaya menangkal budaya luar (asing) yang negatif dalam rangka mewujudkan jati diri daerah dan bangsa.
63
6. Melaksanakan pembangunan ekonomi kerakyatan dengan menekankan sekor unggulan secara terpadu dan sinergi antar sektor maupun antar wilayah 7. Memantapkan otonomi daerah yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab yang didukung aparatur pemerintah yang handal, profesional, transparan, dan akuntabel 8. Membangun infrastruktur untuk menunjang pembangunan yang berkelanjutan 9. Menegakkan hukum dan hak azasi manusia untuk menciptakan demokrasi dan keadilan 10. Mewujudkan dan meningkatkan penyelesaian tata batas wilayah provinsi, kabupaten/kota sehingga tidak menimbulkan kerawanan sosial. Pada tahap kurun waktu 5 (lima) tahun maka dibentuk strategi jangka pendek yang selanjutnya disebut 5 (lima) pilar: 1. Pembangunan dan rangka meningkatkan Iman dan Taqwa a. Meningkatkan pendidikan agama b. Mewujudkan kehidupan beragama yang harmonis c. Meningkatkan bantuan penyediaan sarana
dan prasarana kehidupan
beragama d. Meningkatkan kerukunan umat agama e. Pemberantasan penyakitkan masyarakat meliputi : kriminilitas, prostitusi, narkoba, miras, dan judi 2. Pembinaan dan pengembangan sumberdaya manusia a. Meningkatkan mutu sumberdaya manusia, dengan pemerataan pendidikan yang bermutu b. Mendorong masyarakat agar berperan aktif dalam bidang pendidikan c. Mendorong dunia usaha agar senantiasa meningkatkan keahliaan dan ketrampilan tenaga kerja d. Meningkatkan kaulitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat e. Mengembangkan kebijakan kependudukan yang selaras dengan tuntutan nyata masyarakat dalam rangka peningkatan mutu SDM f. Meningkatkan penelitian g. Mendorong berkembangan lembaga pendidikan tinggi yang relevan dengan tuntutan pembangunan
64
h. Meningkatkan pemberdayaan perempuan 3. Pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan a. Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berperan aktif dalam proses pembangunan b. Melakukan relokasi dan redistribusi secara bertahap terhadap sumberdaya dan aset-aset produksi yang dikuasai secara berlebihan oleh kekuatan ekonomi besar yang minoritas terhadap masyarakat sehingga terjadi pemerataan c. Mengembangkan usaha kecil dan menengah serta koperasi d. Mengembangkan sektor-sektor utama yang mempunyai keterkaitan dengan sektor lainnya. e. Meningkatkan pembangunan infrastruktur f. Memfungsikan jaringan transportasi dan struktur jaringan jalan g. Meningkatkan pembangunan telekomunikasi, kelistrikan, penyediaan air baku dan air bersih h. Meningkatkan upaya
intensifikasi, diversifikasi ekstensifikasi dan
berbagai potensi sumber keuangan daerah serta memperjuangkan keadilan perimbangan keuangan sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang i.
Mengembangkan kebijakan ekonomi makro dan mikro secara terkoordinir, untuk menciptakan iklim investasi yang konduksif guna memacu perkembangan ekonomi daerah
j.
Memberdayakan lembaga dan organisasi sebagai wadah pengembangan kegiatan usaha produktif.
4. Pembinaan Kesehatan dan Olahraga a. Peningkatan pembangunan kesehatan dengan prioritas pelayanan dasar kesehatan masyarakat, penanggulangan balita, penyakit menular dan narkoba. b. Melalui program jaring pengaman sosial, meningkatkan kaulitas lingkungan keluarga, desa dan pemukiman kumuh serta di pulau-pulau terpencil c. Peningkatan dan pembinaan olahraga beprestasi, melalui sekolah, organisasi pemuda dan perguruan tinggi
65
d. Meningkatkan kaulitas atlet cabang olahraga unggulan dalam PON, PERWIL, PORDA e. Menunjang program olahraga rakyat seperti sepakbola, takraw, baladiri, dan lain-lain 5. Pembinaan dan pengembangan kebudayaan a. Pembinaan
dan
pengembangan
kebudayaan
secara
terpadu
dan
berkelanjutan b. Membangun dan mengembangkan kebudayaan lokal c. Mengembangkan
potensi
daerah
seperti
lembaga
adat,
sanggar
perkumpulan sastra dan kesenian lainnya d. Membangun pusat-pusat pengembangan kebudayaan melayu e. Mewujudkan program kebudayaan secara terpadu. 6.1.2. Keuangan Pemerintah Kebijakan otonomi daerah menurut UU Nomor 25 tahun 1999 dan direvisi dengan UU Nomor 33 tahun 2004 pada intinya mengatur pemisahan kewenangan urusan keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah yang tercermin dari anggaran penerimaan dan pengeluaran. Pada sisi penerimaan, pemerintahan daerah mempunyai wewenang yang lebih besar dalam menentukan kebijakan pajak, retribusi dan penerimaan daerah dari sumber lainnya. Kewenangan kebijakan pajak dan restribusi daerah berupa wewenang untuk menentukan jenis, basis, tarif pajak dan retribusi daerah serta alternatif sumber lainnya yang sesuai dengan UU. Bentuk penerimaan transfer pemerintah pusat ke daerah pada saat otonomi daerah berupa DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus). Pemerintah daerah pada saat otonomi daerah juga memperoleh hasil dari sumberdaya yang dimiliki yang sabahagian dikembalikan kedaerah berupa dana perimbangan. Sedangkan disisi pengeluaran pemerintah daerah diberi wewenang yang besar dalam mengalokasikan dana melalui APBD sesuai yang dibutuhkan untuk membangun daerahnya. 6.1.2.1. Penerimaan Fiskal Daerah Era otonomi daerah berdampak pada meningkatnya sisi penerimaan Riau. Hal ini disebabkan dikembalinya sebahagian hasil dari sumberdaya Riau yang pada sebelum era otonomi daerah hasil itu dikuasai seluruhnya oleh
66
Pemerintah Pusat. Peningkatan penerimaan itu dapat terlihat dari peneriman Riau sebelum otonomi daerah pada tahun 2000 sebesar Rp 675579.41 juta dan setelah otonomi daerah meningkat sebesar Rp 1592628.82 juta atau meningkat sebesar 135.74 persen.
Sejalan dengan diimplementasikannya otonomi daerah
penerimaan Provinsi Riau terus meningkat rata-rata setiap tahunnya sebesar 23.47 persen. Peningkatan penerimaan Riau setelah desentralisasi fiskal menunjukkan semakin besarnya kemampuan Provinsi Riau untuk membangun daerahnya. Untuk lebuh jelas lihat Tabel 15 Tabel
15. Penerimaan Fiskal Provinsi Riau Sebelum Otonomi Daerah dan Sesudah Otonomi Daerah (Juta Rp)
Jenis Penerimaan 1. Sisa Anggaran 2. Pendapatan Asli Daerah • Pajak daerah • Retribusi daerah • Usaha daerah • Pendapatan lain-lain 3. Dana Bagi Hasil • Dana Pajak dan Bukan pajak ü Bagi hasil pajak ü Bagi hasil bukan pajak • Sumbangan dan Bantuan/DA &DAK 5. Penerimaan Lain-lain Total Penerimaan
Sebelum Otonomi Daerah 2000 54345.71 128635.74 101198.12 3166.74 12157.60 12133.28
Era Otonomi Daerah 2002 455676.70 504384.56 394364.42 3306.14 37664.68 69049.34
2003 414776.20 658548.33 538504.70 5729.00.0 68102.48 46212.09
928691.22
1150885.01
134037.82 813650.78
164738.61 752881.61
235998.45 840676.56
245345.35
251944.55
11071.00
74210.00.0
675579.41
1592628.82
141240.00 2129631.50
118616.86
2001 93571.87 299423.79 251951.23 1115.57 623845 40118.54 947688.61
187025.59 2411246.12
Apabila dilihat dari jenis penerimaan, penerimaan provinsi Riau yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada era otonomi daerah meningkat sangat signifikan yaitu sebesar 132.77 persen. Peningkatan PAD terus meningkat sejalan berjalannya era otonomi daerah rata-rata pertahun sebesar 49.51 persen. Dari sumber PAD, pajak daerah merupakan jenis penerimaan Provinsi Riau yang sangat besar peningkatannya setelah otonomi yaitu sebesar 148.97 persen dan sejalan dengan era itu penerimaan pajak daerah terus naik sebesar 46.54 persen. Peningkatan penerimaan pajak daerah berupakan implikasi dari diberikanya
67
wewenang kepada pemerintah daerah untuk menentukan obyek pajak sesuai dengan UU otonomi daerah.. Perkembangan dana bagi hasil yang terdiri bagi hasil pajak, bagi hasil bukan pajak, sumbangan dan bantunan. Dana bagi hasil pajak dan bukan pajak juga merupakan jenis penerimaan fiskal daerah yang meningkat sangat signifikan pada era otonomi. Sebelum otononomi tahun 2000 penerimaan ini hanya sebesar Rp. 118616.87 juta dan setelah otonomi daerah naik menjadi Rp 947688.61 juta atau naik sebesar 698.95 persen. Sejalan era otonomi daerah penerimaan ini tahun 2002 turun sebesar minus 3.17 tetapi apabila dirata-ratakan dana ini naik sebesar 7.08 persen setiap tahunnya. Jenis penerimaan lain dalam dana bagi perimbangan adalah dana dari bantuan dan sumbangan dari pemerintah pusat yang pada saat era otonomi daerah berbentuk DAU dan DAK. Penerimaan jenis ini dihitung berdasarkan celah fiskal dengan melihat kemampuan dan kebutuhan fiskal daerah. Penerimaan ini pada saat dimulainya otonomi daerah meningkat sebesar 2.69 persen dan sejalan era otonomi penerimaan dari jenis ini turun secara signifikan dengan rata-rata sebesar minus 44.51 persen. Turunnya penerimaan DAU dan DAK yang diterima oleh provinsi Riau menunjukkan kemampuan Provinsi Riau semakin meningkat pada era otonomi daerah. Sebelum era otonomi daerah
jenis penerimaan terbesar berbentuk
bantuan dan sumbangan dari pemerintah pusat sebesar 44 persen dari total penerimaan provinsi Riau. Pada era otonomi jenis penerimaan ini hanya sebesar 16 persen dari total penerimaan. Pada era otonomi jenis penerimaan terbesar merupakan hagi hasil pajak dan bukan sebesar 59 persen dari total penerimaan. Sebelum otonomi jenis penerimaan ini kontribusinya hanya sebesar 22 persen dari total penerimaan. Kontribusi 59 persen hagi hasil pajak dan bukan pajak setelah otonomi terbesar di sumbang oleh bagi hasil bukan pajak sebesar 85.85 persen sedangkan bagi hasil pajak hanya sebesar 14.14 persen. Besarnya kontribusi bagi hasil bukan pajak merupakan dampak dari besarnya sumberdaya migas Riau yang dikembalikan sebahagian ke daerah pada era otonomi. Untuk melihat kontribusi setiap jenis penerimaan bisa dilihat pada Gambar 5.
68
Sebelum Otonomi Daerah
Setelah Otonomi Daerah
10%
6%
16%
19%
SAL 24%
44%
SAL
PAD
PAD
BH P dan B P
BH P dan B P
B&S/ DAU
B&S/ DAU 59%
22%
Gambar 5. Sumbangan Jenis Penerimaan Sebelum Otonomi Daerah dan Sesudah Otonomi Daerah 6.1.2.2. Pengeluran Fiskal Pengeluaran fiskal daerah terdiri dari dua kelompok yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin terdiri dari pengeluaran pegawai, belanja barang, biaya pemeliharan, perjalanan dinas, dan lain-lainnya. Sedangkan pengeluaran pembangunan terdiri dari pengeluaran sektor industri, pertanian, transportasi, tenaga kerja, pendidikan, kesehatan, pelayanan umum, dan lainnya.
2000000 1500000 Rutin Juta Rp 1000000
Pembangunan
500000
Total Pengeluaran
0 2000 2001 2002 2003
Gambar 6. Perkembangan Pengeluran Fiskal Provinsi Riau Tahun 2000-2001 Pada Gambar 6 terlihat setiap tahunnya terjadi peningkatan pengeluaran fiskal yang terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluran pembangunan dengan pengeluaran pembangunan merupakan pengeluaran fiskal terbesar. Peningkatan pengeluaran fiskal
sangat signifikan terjadi pada awal otonomi daerah yaitu
sebesar 155.99 persen. Pada awal otonomi peningkatan terbesar terjadi pada pengeluaran pembangunan yaitu sebesar 213.89 persen sedangkan untuk pengeluaran rutin hanya sebesar 85.47 persen. Sejalan dengan otonomi daerah
69
pengeluaran fiskal provinsi Riau terus meningkat rata-rata sebesar 31.51 persen, pengeluaran pembangunan meningkat rata-rata sebesar 30.32 persen, dan pengeluaran rutin sebesar 33.76 persen. Untuk melihat berapa besar pengeluaran pemerintahan untuk setiap sektor ekonomi dapat dilihat pada Tabel 16. Pengeluaran pemerintah tersebut merupakan pengeluaran yang dianggarkan melalui APBD yang terdiri dari 20 sektor ekonomi. Dari pengeluaran berdasarkan APBD itu akan diketahui berapa besar alokasi pengeluaran pemerintah untuk setiap sektornya Pada Tabel 16 terlihat pengeluaran pembangunan provinsi Riau tahun 2000 sebesar Rp 243219.66 juta dan tahun 2001 menjadi Rp 73551907.00 juta dialokasi oleh pemerintah Riau ke dalam masing-masing kegiatan beserta pengelompokannya
dalam
sektor-sektor
ekonomi.
Peningkatan
dana
pembangunan yang signifikan pada era otonomi terjadi pada semua sektor-sektor ekonomi. Yang tentunya akan berdampak pada peningkatan kinerja masingmasing sektor dalam perekonomian Riau Pada tahun 2000 (sebelum otonomi daerah) sektor yang paling banyak mendapatkan alokasi sektor transportasi, meteorologi dan geofisika sebesar Rp 76389.18 juta atau sebesar 31.41 persen. Sektor kedua terbesar mendapatkan alokasi adalah sektor pendidikan, kebudayaan, pemuda dan olahraga sebesar Rp 55490.21 juta atau sebesar 22.81 persen. Sedangkan sektor pertanian dan kehutanan mendapatkan alokasi ketiga terbesar yaitu sebesar Rp 30894.41 juta atau sebesar 12.70 persen. Apabila dilihat dari besarnya nominal pengeluaran pemerintah pada ketiga sektor ini masih rendah dibandingkan tahun 2001 (era otonomi daerah) Pada tahun 2001 sektor paling banyak mendapatkan olakasi dana adalah sektor pendidikan, kebudayaan, pemuda dan olahraga sehingga sektor ini mendapatkan peningkatan alokasi dana pada era otonomi sebesar Rp 233992.17 juta atau sebesar 31.81 persen. Besarnya alokasi pengeluaran pemerintah pada sektor ini pada era otonomi untuk meningkatkan sumberdaya manusia di Provinsi Riau yang tertinggal dari provinsi lain. Sedangkan sektor kedua terbesar memperoleh alokasi adalah sektor transportasi, meteorologi dan geofisika sebesar Rp 76185.38 ribu atau sebesar 23.95 persen.. Sedangkan sektor pertanian dan kehutanan mengalami pengurangan alokasi dana setelah otonomi daerah tetapi masih merupakan sektor ketiga terbesar memperoleh alokasi dana sebesar Rp 86102.32 juta atau sebesar 11.71 persen.
70
Tabel 16. Pengeluran Pembangunan Setiap Sektor Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah Sektor APBD 2000 Alok. APBD 2001 Alok. No. Pembangunan (Juta Rp) (persen) (Juta Rp) (persen) 800.00 0.33 2747.75 0.37 1. Industri 2. Pertanian dan 30894.41 12.70 86102.32 11.71 Kehutanan 8.02 25069.16 3.41 19496.01 3. Pengairan 2171.84 0.89 5655.67 0.77 4. Tenaga Kerja 5. Perdagangan, 2054.94 0.84 23036.00 3.13 pengemba. usaha dan keuangan 6. Transportasi, 76389.18 31.41 176185.38 23.95 meteorologi dan geofisika 7. Pertambangan dan 5115.03 2.10 2427.47 0.33 Energi 8. Pariwisatan, pos dan 748.86 0.31 1277.78 0.17 telekomunikasi 9. Pembangunan daerah 22301.16 9.17 7625.75 1.04 dan transmigrasi 10. Lingkungan hidup dan 1953.53 0.80 15337.34 2.09 tata ruang 11. Pendidikan, 55490.21 22.81 233992.17 31.81 Kebudayaan, pemuda dan olahraga 12. Kependudukan dan 2349.80 0.97 1376.73 0.19 keluarga Berencana 13. Kesejahteraan sosial, kesehatan, peranan 14488.22 5.96 50843.29 6.91 wanita, anak dan remaja 14. Perumahan dan 2392.74 0.98 3967.62 0.54 pemukiman 631.31 0.26 19687.90 2.68 15. Agama 16. Ilmu Pengetahuan dan 1.17 7696.01 1.05 2849.42 Teknologi 1824.10 0.75 451.25 0.06 17. Hukum 18. Aparatur negara dan 1068.90 0.44 66571.68 9.05 pengawasan 19. Politik, hubungan luar negeri, penerangan, 0.00 5467.81 0.74 komonikasi dan media massa 20 Keamanan dan 0.00 Ketertiban Umum 243219.66 100 73551907.00 100 Jumlah
71
6.2. Pembangunan Sektor Perkebunan Pembangunan sektor perkebunan merupakan bagian dari pembangunan daerah Provinsi Riau. Dengan dibangunnya sektor perkebunan diharapkan bisa meningkatkan PDRB Riau dari sektor perkebunan. Pembangunan sektor perkebunan diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Riau yang sebahagian besar bekerja pada sektor ini. Untuk melihat Program pembangunan perkebunan di provinsi Riau berupa Rencana Strategis (Renstra) dapat dilihat pada Lampiran 2. Untuk
melihat
posisi
dan
peranan
sektor
perkebunan
dalam
perekonomian Riau dapat dilihat dari sumbangannya dalam PDRB Riau, Peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja.
Sumbangan Sektor
perkebunan pada PDRB Riau atas dasar harga konstan termasuk migas sebesar 3.23 persen. Dari besarnya sumbangan itu sektor perkebunan menduduki posisi ke-5 terbesar dalam kontribusi dalam PDRB Riau termasuk migas dibawah sektor pertambangan minyak dan gas bumi, sektor industri tanpa migas, sektor perdagangan besar dan kecil, dan sektor industri migas. Untuk sumbangan sektor perkebunan dalam PDRB Riau tampa migas atas dasar konstan sebesar 7.09 persen. Dari besarnya sumbangan itu sektor perkebunan menduduki posisi ke-3 terbesar dalam kontribusi dalam PDRB Riau tanpa migas dibawah sektor industri tanpa migas dan sektor perdagangan besar dan kecil. Dilihat dari besarnya kontribusi sektor perkebunan dalam PDRB Riau memperlihatkan pentingan posisi dan peranan sektor perkebunan dalam peningkatan PDRB Riau. Untuk lebih jelas lihat Lampiran 3. Selain posisinya sebagai penyumbang dalam PDRB Riau sektor perkebunan juga mempunyai posisi penting dalam mengentaskan kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja. Posisi dan peranan sektor perkebunan meningkatkan relatif menjadi besar setelah krisis moneter yang terlihat dari kinerjanya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat riau. Pada tahun 2002 berdasarkan sumber dinas perkebunan mempunyai kinerja dalam meningkatkan pedapatan petani sebesar Rp 11293000/KK/tahun dan penyerapan tenaga kerja sebesar
72
1173750 orang. Besarnya kemampuan sektor perkebunan dalam meningkatkan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja menunjukkan besarnya posisi dan peranan sektor perkebunan dalam mengentaskan kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja. 6.3. Perkebunan Kelapa Sawit 6.3.1. Perkembangan Perkebunan Kelapa sawit Kelapa sawit sebagai komoditi utama sektor perkebunan mulai dikembangkan pertama kali di provinsi Riau pada tahun 1975/1976 oleh Perkebunan Besar Swasta PT. Plantagen-AG yang saat ini sudah diambil alih oleh PT. Tunggal Perkasa Plantations Air Molek dengan luas ± 1000 Ha. Pembangunan kelapa sawit itu sendiri di Riau mulai dilaksanankan secara besarbesaran senjak awal Pelita III melalui program PIR (Perusahaan Inti Rakyat) yang disponsori oleh beberapa PNP/PTP seperti PTP II, IV dan V. Hal ini didukung oleh hasil survei Marihat Research Station tahun 1979 yang merekomendasikan bahwa Provinsi Riau berdasarkan jenis tanahnya maupun faktor agroklimat lainnya sangat potensial untuk pengembangan kelapa sawit. Pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat) yang pada mulanya dengan pola PIRBUN/NES dikembangkan dengan bantuan dana dari Bank Pembangunan Asia yang dilanjutkan dengan pola PIR-Trans yang dikembangkan memamfaatkan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dengan beberapa perusahaan baik BUMN maupun swasta sebagai perusahaan inti. Perusahaan inti yang menjadi mitra pemerintah dalam mengembangkan kelapa sawit adalah: PTP Nusantara V, PT. Inti Sawit Subur, PT. Sari Lembah Subur. PT. Surya Bratasena Plantation, PT. Buana Lestari, PT. Ramajaya Pramukti, PT. Wanasari Nusantara, PT. Rigunas Agri Utama, dan PT Perdana Intisawit Perkasa.
Luas perkebunan kelapa sawit
yang dikembangkan dengan Pola PIR sebesar 118050 ha dengan jumlah kepala keluarga petani 59025 orang. Program PIR ini terhenti setelah Bank Indonesia menutup Skim Kredit PIR-Trans. Walaupun BI telah menutup Skim Kredit pembangunan kelapa sawit terus berlanjut dengan dikembangkannya pola Kredit Koperasi Primer untuk
73
Anggotanya (KKPA). Pada Pola ini terdapat 23 perusahaan mitra koperasi yang mengelola KKPA. Luas perkebunan kelapa sawit yang dikembangkan dengan pola KKPA seluas 141579 dengan jumlah kepala keluarga petani 70798 orang. Masyarakat Riau yang tidak ikut serta dalam pola PIR dan KKPA mengembangkan perkebunan kelapa sawit dengan pola swadaya. Secara keseluruhan kelapa sawit rakyat dengan pola swadaya lebih luas dibandingkan dengan pola PIR maupun KPPA. Namun secara teknis masih tertinggal sehingga diperlukan perhatian pemerintah. Menurut data terakhir pada tahun 2004 luas kebun swadaya yang ada di provinsi Riau mencapai 618276 ha Seiring dengan makin besarnya antusias masyarakat Riau untuk membangun kebun dan masih tingginya angka kemiskinan, Pemerintah dalam era otonomi daerah mencoba untuk membangum perkebunan melalui pinjaman bantunan modal ekonomi kerakyatan atau dikenal dengan Program Ekonomi Kerakyaran (PEK). Luas perkebunan kelapa sawit yang dibangun melalui PEK di Riau seluas 7459 ha. Pada tahun 2005 program itu dimasukkan dalam Program Pengantasan Kemiskinan, Kebodohan, dan Pemantapan Infrastruktur. 6.3.2. Potensi Perkebunan Kelapa Sawit Potensi perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh Provinsi Riau cukup besar dapat dilihat pada luas dan produksinya. Menurut data terakhir perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau merupakan yang terluas dibandingkan dengan Provinsi lain dengan produksi juga yang terbesar. Luas perkebunan kelapa sawit Riau pada tahun 2002 sebesar 1238106 ha atau 24.43 persen dari total luas perkebunan kelapa sawit nasional. Produksi perkebunan kelapa sawit Riau pada tahun 2002 sebesar 2587416 ton atau 26.98 persen dari total produksi perkebunan kelapa sawit nasional. Gambar 7 dapat dilihat perkembangan luas perkebunan perkebunan kelapa sawit di Riau tahun 1998-2002 yang meningkat setiap tahunnya. Peningkatan luas perkebunan terbesar terjadi pada tahun 2000 dimana pada saat itu perkebunan kelapa sawit menjadi primadona di Provinsi Riau. Apabila dilihat dari perkembangan luas menurut status penguasaan terlihat perkebunan rakyat setiap tahunnya terjadi peningkatan luas yang sangat besar sehingga pada tahun
74
2002 menjadi perkebunan terluas di Riau berdasarkan status penguasaan. Untuk perkebunan besar swasta secara umum terjadi peningkatan luas hanya pada tahun 2002 terjadi penurunan luas sehingga luas perkebunan swasta lebih kecil dari perkebunan rakyat walaupun pada awalnya merupakan perkebuanan terluas di Riau. Perkebunan negara secara umum peningkatan luas setiap tahun tetapi tidak peningkat tidak signifikan dan menempati posisi perkebunan ketiga terluas di Riau. Dari hal itu terlihat perkembangan luas perkebunan kelapa sawit yang cukup besar pada saat ini sebenarnya merupakan adil dari perkembangan perkebunan
Luas Lahan (ha)
rakyat. Hal ini menunjukkan besarnya potensi dari perkebunan rakyat di Riau. 1500000 1000000 500000 0 1998
1999
2000
2001
2002
Tahun perkebunan rakyat
perkebunan negara
perkebunan swasta
Total
Gambar 7. Perkembangan Luas Perkebunan Kelapa Sawit di Riau Tahun 1998 -2002 Untuk perkembangan produksi yang dapat di Lihat pada Gambar 8 terlihat seiringan dengan terus meningkat luas perkebunan di Riau juga diiringan dengan meningkatan produksi dari perkebunan kelapa sawit di Riau. Apabila dilihat dari perkembangan produksi dari tahun 1998-2002, peningkatan luas yang sangat signifikan terjadi pada tahun 2001. Peningkatan produksi sangat signifikan merupakan andil dari perkebunan rakyat yang tren perkembangannya sama dengan total produksi kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit rakyat pada tahun 1998 berproduksi sebesar 393477 ton menempati posisi kedua terbesar dibawah perkebunan besar swasta dan pada tahun 2002 berproduksi besar 1267421 ton yang lebih besar dari produksi perkebunan besar swasta. Dari hal itu terlihat
75
perkebunan rakyat merupakan potensi yang cukup besar yang dimiliki Provinsi
Produksi (ton)
Riau. 3000000 2500000 2000000 1500000 1000000 500000 0 1998
1999
2000
2001
2002
Tahun perkebunan rakyat perkebunan swasta
perkebunan negara Total
Gambar 8. Perkembangan Produksi Perkebunan Kelapa Sawit di Riau Tahun 1998-2002 6.3.3. Tantangan dan Permasalahan Perkebunan Kelapa Sawit Tantangan dan permasalahan pengembangan perkebunan kelapa sawit masih cukup besar. Apabila hambatan dan permasalahan itu tidak dapat ditangani dengan baik akan sangat berdampak terhadap pengembangan komoditas ini ke depan. Permasalahan yang dihadapai itu seperti antara lain luas kepemilikan dan status hak tanah, produktivitas kebun, rendemen dan mutu produk, pengolahan
pabrik
pemasaran hasil dan pada era otonomi permasalahan ditambah
dengan masalah konflik perusahaan dengan masyarakat setempat. Permasalahan itu banyak dihadapi oleh perkebunan sawit yang dibangun secara swadaya oleh petani. Menurut data terakhir perkebunan yang dibangun secara swadaya merupakan luas perkebunan rakyat yang terbesar yaitu seluas 455243 ha atau 70.01 persen dari perkebunan rakyat dan 47.82 persen dari total luas perkebunan kelapa sawit di Riau. Jumlah petani yang membangun kebun secara swadaya juga cukup besar yaitu lebih kurang sebesar 179938 kepala keluarga. Dengan melihat dari kenyataan itu maka diperlukan peran pemerintah dan swasta untuk mengatasi permasalahan itu. Permasalahan yang pertama yang dihadapi oleh petani swadaya berupa kepemilikan lahan dan status hak tanah. Permasalahan ini terlihat dari luas
76
kepemilikannya bervariasi, mulai yang terkecil 1 ha, sampai terluas 10-20 ha yang letaknya terpencar-pencar sehingga menyulitkan pembinaan maupun pengolahan aspek produksi lainnya. Disamping itu juga status tanahnya belum memiliki sertifikat sehingga sulit memperoleh pembiayaan dari perbankan ataupun bermitra dengan investor. Berbeda dengan petani plasma maupun KKPA dengan Luas kepemilikan lahan rata-rata 2 Ha/KK dan terletak pada satu hamparan yang kompak.
dan memiliki sertifikat lahan merupakan bagian dari paket
pembangunan kebun yang digunakan sebagai jaminan tambahan bank. Produktifitas yang rendah merupakan permasalahan kedua yang dihadapi petani plasma. Hal ini terlihat dari produktifitas TBS yang dihasilkan petani plasma dan KKPA relatif lebih baik dibandingkan dengan petani swadaya. Ratarata produktifitas kebun petani plasma PIR dan KKPA mencapai 20-22 ton TBS/ha/tahun, sedangkan petani swadaya rata-rata hanya mencapai lebih kurang 14 ton TBS/ha/tahun. Rendahnya produktifitas petani swadaya diduga akibat penggunaan bibit yang kurang baik mutunya dan tidak jelas asal usulnya serta kurangnya pemupukan. Permasalah lain yang dihadapi berupa rendahnya rendemen dan mutu produk perkebunan rakyat. Hal ini terlihat dari rendemen yang dihasilkan dari TBS kelapa sawit rakyat, baik yang berasal petani PIR maupun KKPA rata-rata hanya 20-21 persen. Dilain pihak perkebunan kelapa sawit besar swasta bisa mencapai rendemen 22-23 persen. Hal ini disebabkan TBS yang dipanen dari kebun-kebun rakyat tidak disiplin menerapkan kriteria matang panen yang dianjurkan, bahkan adalakalanya dicampur dengan buah-buah muda Hal ini juga disebabkan oleh jauhnya letak perkebunan dengan dengan pabrik. Permasalahan selanjutnya berupa pabrik pengolahan yang ada pada umumnya belum dapat menampung secara keseluruhan produksi dari petani, khususnya TBS yang berasal dari kebun-kebun swadaya yang letaknya terpencarpencar yang saling berjauhan.Hal ini terjadi karena sebahagian besar pabrik yang ada telah memiliki kebun baik kebun inti maupun plasma yang diprioritaskan untuk diolah. Sebenarnya pada saat ini ada pabrik yang tidak mempunyai kebun
77
sebanyak 4 unit yang diharapkan bisa menampung produksi dari petani swadaya. Walaupun demikian, permasalahan lain muncul berupa jauhnya juga jarak areal kebun ke unit pengolahan baik milik BUMN maupun swasta relatif jauh, bahkan ada yang lebih dari 50 km sehingga berdampak terhadap tingginya biaya transportasi. Kondisi ini jelas tidak menguntungkan bagi petani kelapa sawit swadaya mengingat hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya angkutan TBS dari kebun ke PKS yang ekonomis maksimum hanya Rp 70/kg. Permasalahan baru yang muncul pada era otonomi daerah berupa banyaknya terjadi konflik antara pihak perusahaan dan masyarakat setempat dalam merebut lahan perkebunan. Permasalahan ini muncul akibat banyak terjadi penyerobotan tanah ulayat yang diakui milik masyarakat oleh pihak swasta maupun pihak perkebunan negara pada masa lalu. Pada saat otonomi daerah dan sejalan dengan era reformasi banyak masyarakat menuntut dikembalikan tanah ulayat yang telah dimiliki perusahaan. Permasalahan itu harus segera diatasi karena sudah banyak berjatuhan korban. Tantangan dan permasalahan yang dihadapi diatas harus segera dihadapi baik oleh petani sendiri dan juga oleh pemerintah, perusahan negara dan perusahaan swasta. Untuk mengatasi permasalahan itu diperlukan peran yang besar dari pihak swasta dan pemerintah baik melalui instansi terkait maupun perusahaan negara karena pihak ini merupakan aktor utama dari perkembangan perkebunan kelapa sawit. Pihak diatas berupakan aktor utama walaupun luas lahan yang dimiliki kecil dibandingkan perkebunan rakyat terlihat kepemilikan pabrik pengolalan sawit dan juga kemampuan besar dalam pendanaan sangat besar yang dimiliki pihak tersebut yang peranannya cukup besar dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit. Salah satu bentuknya nyata peran dari pihak pemerintah dan swasta dalam mengurangi permasalahan tersebut berupa kemauan pihak tersebut untuk menampung produksi TBS petani swadaya dengan harga yang sama dengan petani plasma mereka. Hal ini disebabkan karena selama ini petani swadaya memperoleh harga dibawah petani plasma apabila menjualnya di pabrik yang mempunyai perkebunan inti dan plasma.
78
6.3.4. Peran Pemerintah dalam Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Peran pemerintah dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit dapat dilihat dari penyediaan lahan dan penyedian dana untuk membangun lahan perkebunan di Provinsi Riau. Berdasarkan Peraturan Daerah No. 10 tahun 1994 Pemerintahan Riau menyediakan 3.1 juta Ha untuk kawasan pengembangan perkebunan. Menurut data terakhir luas areal perkebunan telah mencapai 2789521. Dari data itu dapat diketahui luas areal perkebunan yang bisa untuk membangun perkebunan dan juga kelapa sawit tinggal 310479 Ha Makin kecil lahan yang bisa dialokasikan untuk lahan perkebunan menimbulkan permasalahan tersendiri di Provinsi Riau. Permasalahan yang muncul berupa terjadi
konflik
antara
masyarakat
dengan
perusahan
perkebunan
yang
berdampingan. Hal ini disebabkan makin besarnya antusias masyarakat Riau untuk membangun kebun dan program pemerintah sendiri untuk membangun kebun untuk mengentaskan kemiskinan di Provinsi Riau sedangkan lahan perkebunan makin sempit. Oleh karena itu diperlukan peran aktif pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut. Untuk mengatasi hal itu pemerintah daerah perlu melakukan penataan secara proporsional penyediaan lahan untuk perkebunan melalui program restribusi aset produktif. Salah satu caranya adalah dengan menginventarisasi terhadap perusahaan maupun koperasi yang telah memperoleh izin dari Gubernur dan Bupati namun tidak melakukan aktivitas sama sekali. Apabila perusahaan perkebunan dan koperasi itu tidak mampu melakukan kewajibannya maka pemerintah daerah akan mencabut izinnya dan mengalokasikan lahan tersebut untuk membangun kebun untuk rakyak miskin. Disamping penyedian lahan, pemerintah juga berperan besar dalam menyediakan modal untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Dalam era otonomi daerah dana pembangunan untuk perkebunan itu dikucurkan melalui peminjaman modal ekonomi rakyat (PEK). Pada tahun 2001 melalui APBD provinsi Riau telah mengucurkan dana sebesar Rp 22.8 milyar yang semua untuk membangun perkebunan untuk rakyat miskin. Pada tahun 2005 program PEK itu
79
termasuk dalam program K2I dengan anggaran dana sebesar Rp 83 milyar dari APBD Provinsi Riau ditambah sharing bugdet dengan 7 kabupaten di Riau sebagai bantuan modal bagi masyarakat miskin guna membangun kebun kelapa sawit di Provinsi Riau.