VI. MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN
Kebijakan publik merupakan kebutuhan setiap negara, khususnya dalam konteks
pemerintahan
yang
dapat
mendorong
atau menekan
aktivitas
masyarakat pada satu negara. Kebijakan publik dibuat oleh organisasi publik (pemerintah), sehingga pemerintah sebagai pengambil keputusan dapat mengarahkan masyarakat mencapai tujuan publik tertentu (Dunn 2001). Model kebijakan publik tertinggi di daerah berupa peraturan daerah. Peran setiap negara/daerah (pemerintah pusat/daerah) semakin penting dalam rangka membangun
dayasaing
global
bagi
negara
atau
daerahnya.
Dalam
pencapaiannya sangat tergantung pada kebijakan publik yang ditetapkan (Miraza 2005). Kebijakan publik dapat dilihat sebagai respon atau tanggapan resmi terhadap isu atau masalah publik. Hal ini berarti bahwa kebijakan publik adalah: (1) intensional atau memiliki tujuan, yaitu pencapaian tujuan pemerintah melalui penerapan sumber-sumber publik; (2) menyangkut pembuatan keputusankeputusan dan pengujian konsekuensi-konsekuensi; (3) terstruktur dengan para stakeholder dan langkah-langkahnya yang jelas dan terukur; (4) bersifat politis yang mengekspresikan pemilihan prioritas-prioritas program lembaga eksekutif (Suharto 2007). Perumusan kebijakan publik dalam penelitian melibatkan secara langsung peneliti dengan mendalami proses sintesis. Peranan pemerintah dan masyarakat secara umum akan meningkat, terutama dalam pengendalian dan penentuan berbagai aturan atau ketentuan dari model konseptual serta manajemen publik (Eriyatno & Sofyar 2007). Analisis kebijakan pengelolaan pertambangan mineral sangat kompleks sehingga diperlukan strategi yang sistematis untuk mengurangi kegagalan dampak
kebijakan.
Pendekatan
sistem
digunakan
untuk
merumuskan
kompleksitas perihal kebijakan secara terstruktur dan terarah. Perumusan model kebijakan strategis pengelolaan pertambangan mineral yang berkelanjutan didasarkan pada empat tema sustainable development COMHAR (Gambar 56), yaitu: kepuasan kebutuhan manusia dengan efisiensi penggunaan sumberdaya (satisfaction of human needs by the efficient use of resource), menghargai integritas ekologi dan keanekaragaman hayati (respect for ecological integrity
133
and biodiversity), keadilan sosial (social equity) serta pengambilan keputusan yang tepat (good decision making) (Comhar 2007). Pemodelan kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral berdasarkan konsep keberlanjutan tersebut merupakan upaya perumusan solusi dampak lingkungan akibat pengaliran limbah pasir sisa tambang yang berjumlah sekitar 230.000 ton per hari melalui sungai. Pengaliran limbah tersebut mengakibatkan perubahan kualitas lingkungan sungai dan lahan di daerah pengendapan. Hal ini berdampak pada integritas ekologi dan keanekaragaman hayati wilayah pertambangan. Berdasarkan konsep keberlanjutan tersebut maka diperlukan perencanaan tata ruang wilayah pengendapan sesuai peruntukannya. Dalam kaitan pengelolaan limbah pasir sisa tambang diperlukan perhatian dari pemerintah, perusahaan pertambangan dan masyarakat lokal untuk menjaga agar tidak terjadi penurunan kualitas lingkungan. Kegiatan pertambangan informal yang secara hukum tidak memiliki kekuatan, namun secara ekonomi usaha merupakan sektor ekonomi sebagian masyarakat lokal di daerah pertambangan. Keberadaannya tidak dapat dihentikan secara mendadak karena dapat menimbulkan konflik laten, yaitu penolakan secara fisik dan politis terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan. Untuk mengantisipasi kemungkinan peningkatan dampak negatif di masa mendatang dari keberadaan pertambangan informal seyogyanya Pemerintah melalui Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral melakukan upaya penerapan kebijakan yang tepat dan berkeadilan sosial untuk mengarahkan pertambangan tersebut menjadi pertambangan yang terkendali berskala kecil atau pengalihan usaha dengan usaha-usaha pengelolaan lingkungan yang telah dilakukan oleh perusahaan pertambangan dan pemerintah. Selain itu juga diperlukan pembuatan kebijakan yang baru atau memodifikasi produk hukum lama, melalui upaya analisis atau sintesis terhadap peraturan tentang pertambangan skala kecil. Pertambangan skala kecil hendaknya berorientasi kepada perekonomian masyarakat setempat, penjagaan keseimbangan lingkungan dan tata ruang wilayah pertambangan, serta yang terpenting memberikan kontribusi kepada kepentingan pembangunan sosial ekonomi khususnya daerah otonom dan pada gilirannya berpengaruh secara nasional.
134
Pasir sisa tambang
Pemberdayaan Pemberdayaan masyarakat masyarakat
Kepuasan kebutuhan manusia dengan efisiensi penggunaan sumberdaya
Pengambilan keputusan yang tepat
Perundang-undangan atau peraturan
Keadilan sosial
Menghargai integritas ekologi dan keanekaragaman hayati
MODEL KEBIJAKAN
Rencana Tata Ruang Wilayah dan RKL-RPL
UMKM Penciptaan usaha Penataan Pertambangan Informal
Gambar 56. Pemodelan kebijakan berdasarkan konsep keberlanjutan Comhar. Operasional pertambangan juga berpotensi menyebabkan gangguan terhadap lingkungan, termasuk fungsi lahan dan hutan. Tekanan yang besar terhadap
pertambangan
diakibatkan
oleh
perilaku
beberapa
kegiatan
pertambangan yang belum tepat serta pengetahuan masyarakat terhadap teknologi pertambangan yang benar masih rendah, sehingga muncul persepsi yang kurang tepat terhadap pertambangan secara keseluruhan. Persepsi tersebut juga mempengaruhi berbagai kebijakan di sektor lain yang tentunya tanpa disadari telah mengunci kegiatan sektor pertambangan. Salah satu tujuan adanya kegiatan pertambangan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan hal itu maka segala kegiatan yang dapat menyebabkan keresahan masyarakat serta kerusakan lingkungan sudah selayaknya dicegah. Berdasarkan keempat tema tersebut dan situasi pengelolaan lingkungan pertambangan mineral terutama dalam penanganan limbah yang berupa pasir sisa tambang diperoleh perumusan model kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan yang berkelanjutan. Prinsip dasar pengelolaan lingkungan pertambangan mineral adalah mencegah terjadinya kerusakan lingkungan biofisik. Perumusan model konseptual diarahkan pada model pengelolaan lingkungan fisik dan model pengelolaan lingkungan biologik wilayah Mod-ADA yang didukung dengan upaya pemberdayaan masyarakat melalui optimalisasi program CSR yang diarahkan pada pengembangan corporate social and environmental
responsibility
(CSER).
Berdasarkan
UNIDO
(2004)
135
pengembangan tersebut dilihat sebagai suatu praktek usaha bisnis yang dilaksanakan secara etis, memperhatikan kepentingan masyarakat dan peka terhadap kondisi lingkungan. Namun dalam analisa dan sintesa perumusan keduanya dilakukan secara terpisah dalam 2 (dua) sub model, yaitu model pengelolaan lingkungan fisik dan model pengelolaan lingkungan biologik. Dalam pendekatannya, perumusan kedua sub model ini memiliki beberapa persamaan, yaitu: (1) struktur model kebijakan melibatkan elemen pemerintah, perusahaan pertambangan dan masyarakat; (2) peranan pemerintah sebagai regulator dan fasilitator kegiatan pengelolaan lingkungan baik fisik maupun biologik; (3) payung hukum kebijakan pengelolaan lingkungan tidak terpisah secara parsial; (4) tujuannya perhatian terhadap kualitas lingkungan dan minimalisasi dampak. Beberapa
pertimbangan
lain
yang
mendasari
perumusan
model
pengelolaan lingkungan bio-fisik tersebut adalah: (1)
Jangka waktu pelaksanaan Perencanaan dalam pengelolaan lingkungan fisik dengan jangka waktu yang pendek dan dilakukan selama operasionalisasi pertambangan. Sedangkan
dalam
pengelolaan
lingkungan
biologik
perencanaan
digunakan untuk jangka waktu yang panjang sampai pasca tambang. (2)
Dana Pembiayaan pengelolaan lingkungan fisik didasarkan pada anggaran operasional perusahaan pertambangan yang dapat dihitung berdasarkan tingkat
biaya
pengelolaan
efektif
dan
lingkungan
rencana biologik
pencapaian pembiayaan
targetnya. dilakukan
Dalam melalui
perencanaan anggaran operasional, dana lingkungan serta reserve account (dana cadangan). Dana lingkungan dan dana cadangan tersebut digunakan untuk kegiatan pasca tambang dan reklamasi. (3)
Tata Laksana Pengelolaan lingkungan fisik merupakan tanggung jawab perusahaan pertambangan untuk mencegah kerusakan lingkungan, sehingga dalam pelaksanaan dilakukan oleh perusahaan pertambangan. Pengelolaan lingkungan biologik juga menjadi tanggung jawab perusahaan tetapi
136
pemerintah dan masyarakat dapat terlibat langsung dalam upaya pengelolaannya. (4)
Struktur biaya Berdasarkan komponen biaya pengelolaan lingkungan fisik berupa anggaran
kegiatan
teknik.
Anggaran
tersebut
meliputi
komponen
pengadaan peralatan khusus yang dapat digunakan dalam pengendalian aliran pasir sisa tambang. Dengan demikian, penggunaan tenaga kerjanya juga berbeda sebab diperlukan jenis keterampilan khusus. Komponen biaya pengelolaan lingkungan biologik terdiri atas anggaran reklamasi yang sedang berjalan dan yang akan datang, sehingga analisis biaya efektif sangat diperlukan. (5)
Teknologi Penerapan teknologi dalam pengelolaan lingkungan fisik terarah pada penerapan teknik sipil. Penggunaan teknologi yang tepat dapat mencapai target pengelolaan lingkungan fisik sehingga kerusakan lingkungan minimal. Pengelolaan lingkungan biologik diarahkan pada penerapan teknologi pertanian, terutama dalam upaya peningkatan produktivitas lahan pengendapan
pasir
sisa
tambang.
Upaya
ini
dilakukan
untuk
mengembalikan daya guna lahan. Menurut Darsono (1995), lingkungan hidup dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) lingkungan hidup fisik merupakan segala sesuatu di sekitar kehidupan manusia yang berupa benda mati dan 2) lingkungan hidup biologik adalah segala sesuatu di sekitar kehidupan manusia yang berupa benda hidup. Menurut Sofyar (2004), penentuan kebijakan dalam penerapan otonomi daerah peranan pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten memiliki karakter sistem pemerintahan yang disesuaikan dengan tugas dan fungsi prioritasnya. Tugas dan fungsi masing-masing strata, yaitu: 1)
Pemerintah Kabupaten secara langsung berhadapan dengan Usaha Kecil di daerah sehingga peranannya lebih berorientasi pada peningkatan kapasitas SDM dan pengembangan infrastruktur serta mendukung penguatan kelembagaan dan pendayagunaan potensi kawasan lintas kabupaten;
2)
Pemerintah Propinsi yang membawahi kawasan lintas kabupaten lebih berorientasi pada penguatan kelembagaan dan pendayagunaan potensi
137
kawasan lintas kabupaten serta pemberian insentif terutama informasi yang terintegratif dalam penataan kawasan ekonomi, penataan daya dukung lingkungan serta pasar regional; 3)
Pemerintah Pusat sesuai dengan kewenangannya lebih berorientasi pada penciptaan dukungan berupa kebijakan (policy) melalui penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-unganan yang bersifat payung, tetapi mengikat dan tegas dalam penerapannya. Selain itu pemerintah pusat
memberikan
fasilitas
penguatan
kinerja
Usaha
Kecil
yang
berdayasaing dan ramah lingkungan. Berdasarkan pertimbangan tersebut rumusan kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral yang berkelanjutan terdiri atas 2 (dua) sub model yaitu: (1)
Kebijakan pengelolaan lingkungan fisik wilayah Mod-ADA dengan model pengendalian endapan pasir sisa tambang pada aliran sungai (PETAS),
(2)
Kebijakan pengelolaan lingkungan biologik wilayah Mod-ADA dengan model rehabilitasi lahan wilayah Mod-ADA (RELAWI).
6.1.
Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Fisik Wilayah Mod-ADA Berdasarkan hasil identifikasi struktur model diperoleh model konseptual
pengelolaan lingkungan fisik di wilayah Mod-ADA seperti disajikan pada Gambar 58. Model Pengendalian Endapan Pasir sisa tambang pada Aliran Sungai (PETAS) tersebut memiliki sasaran untuk stabilitas wilayah pengendapan dengan resiko lingkungan yang rendah yang didukung kebijakan manajemen perusahaan dalam pengelolaan lingkungan fisik melalui penyediaan dana operasional. Dalam teknis pelaksanaannya perusahaan pertambangan melibatkan usaha lokal dan masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan kepedulian pengelolaan lingkungan serta penguatan ekonomi masyarakat. Tanggung jawab perusahaan dalam
pemenuhan
kepuasan
kebutuhan
masyarakat
dilakukan
dengan
pengelolaan sumberdaya secara efisien dan bertanggung jawab. Selain itu, adanya kesadaran untuk menjaga keutuhan ekologi dan keanekaragaman hayati dalam aktivitas pertambangan. Kepedulian perusahaan terhadap CSR didasari tiga prinsip dasar atau yang dikenal dengan triple bottom lines, yaitu profit, people dan plannet (3P). Profit yaitu perusahaan tetap berorientasi untuk mencari keuntungan ekonomi
138
yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang. People yaitu perusahaan memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia. Perusahaan berusaha mengembangkan CSR dalam bentuk pemberian beasiswa masyarakat sekitar, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan, penguatan kapasitas ekonomi lokal serta skema perlindungan sosial bagi masyarakat lokal. Plannet perusahaan peduli terhadap lingkungan hidup yang berkelanjutan dengan mempertahankan keanekaragaman hayati. Kegiatan CSR yang berwawasan lingkungan dilakukan dengan pencegahan penurunan daya dukung lingkungan (Suharto 2006). Dalam rangka pengelolaan lingkungan pertambangan mineral yang berkelanjutan, maka diperlukan kebijakan strategis oleh pemerintah pusat dan daerah, perusahaan dan masyarakat lokal. Model kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan tidak saja difokuskan kepada usaha pertambangan tetapi juga kepada masyarakat (usaha-usaha pendukung pertambangan) serta pemerintah yang berupa kebijakan yang bersifat mengatur (regulating) dan memfasilitasi/mempermudah (facilitating). 6.1.1. Kebijakan Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Fisik Kebijakan pengelolaa lingkungan fisik wilayah Mod-ADA oleh perusahaan pertambangan dilakukan melalui upaya pengelolaan lingkungan fisik secara terpadu dengan kegiatan pembelokan aliran pasir sisa tambang (river training) di aliran sungai, pemantapan tanggul dan pembuatan gabion. Ketiga kegiatan tersebut dilakukan secara berkelanjutan selama masa pertambangan (Gambar 57). Kebijakan perusahaan tersebut didukung kebijakan pemerintah daerah dalam upaya pembinaan masyarakat dan pendampingan usaha penunjang aktivitas pertambangan dan pengelolaan lingkungan. Pembiayaan pembinaan dan program pengembangan ekonomi diberikan oleh perusahaan pertambangan sebagai implikasi kegiatan CSR dalam bentuk dana operasional dan dana kemitraan. Dengan CSR perusahaan tidak hanya memperoleh keuntungan ekonomi tetapi juga keuntungan sosial yang tidak ternilai. Berdasarkan UU No.25 tahun 2000 mengenai program pembangunan nasional yang mengarahkan industri energi dan sumberdaya mineral untuk memprioritaskan usaha yang mendukung community development dalam bentuk CSR. Demikian juga, menurut UU No.10 tahun 2004 tentang pembentukan
139
peraturan perundang-undangan, dalam salah satu pasal menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan daerah. Untuk itu, peran serta masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan dapat berfungsi sebagai kontrol dan memberikan umpan balik agar pengambilan kebijakan secara tepat. Mengacu pada konsep keberlanjutan COMHAR, yaitu pengambilan keputusan secara tepat, kebijakan pengelolaan lingkungan fisik Mod-ADA melalui optimalisasi dana CSR yang saat ini masih belum mencapai sasaran. Kurang optimalnya dana CSR disebabkan adanya informasi kebijakan perusahaan yang kurang jelas dan pendampingan yang berorientasi pada target jangka pendek. Upaya optimalisasi dilakukan dengan transparansi informasi melalui sistem informasi yang efektif. Menurut Eriyatno (1999) dan Sofyar (2004), sistem informasi yang efektif sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan penyelenggaraan manajemen yang efektif melalu rekayasa sistem informasi manajemen. Sistem informasi manajemen tersebut sebagai pengendali rangkaian kegiatan lembaga yang diharapkan menjadi sumber untuk mengarahkan pengembangan organisasi di masa mendatang. Pembentukan sistem dan jalur informasi memungkinkan terjadinya keterpaduan yang tumbuh melalui proses buttom up. Pertukaran informasi terjadi antara pelaksana pembina teknis terkait dari divisi pengelolaan lingkungan serta pengembangan masyarakat di wilayah kerja perusahaan pertambangan. Secara bertahap akan mendorong terjadinya kerjasama (cooperation) antara masyarakat atau UMK lokal, perusahaan pertambangan dan pemerintah serta pihak lainnya terhadap upaya pengelolaan lingkungan. Keberhasilan kerjasama antar pihak dapat menumbuhkan koordinasi terhadap
kegiatan
pengelolaan
lingkungan
dan
upaya
pemberdayaan
masyarakat, termasuk usaha ekonomi masyarakat lokal yang prospektif. Semua pihak dapat berkoordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi kebijakan pemerintah dan perusahaan. Koordinasi yang efektif terhadap pelaksanaan kebijakan diharapkan dapat berkembang menjadi arahan integrasi atau keterpaduan kebijakan pengelolaan lingkungan yang didukung oleh upaya pemberdayaan masyarakat dengan optimalisasi CSR. Oleh karena itu, untuk pengambilan keputusan secara tepat diperlukan sikap transparansi, akuntabel dan kejujuran dari semua pelaku. Data dan informasi dalam pengambilan
140
keputusan
memberikan
gambaran
yang
dapat
menumbuhkan
tahap
perkembangan manajemen yang efektif. regulasi Perusahaan Pertambangan
Pemerintah Pusat
Evaluasi
regulasi Kontrak kerja Pemerintah Daerah
Pusat Pelatihan
Dinas Teknis
Pusat Pengamatan Lingkungan pembinaan
Bank
Pertimbangan Pengawasan
pembinaan Dana Kemitraan
pembinaan
Lembaga Masyarakat Lokal (LML)
Pengawasan Independen
Pendampingan Pembiayaan UMK Konstruksi
CSR
Masyarakat Lokal
LSM pendampingan
Dana Operasional Pengawasan Internal
Pengendalian Aliran Pasir Sisa Tambang
River Traininig
Tanggul
evaluasi
Pengawasan Eksternal
Sistem Gabion
Stabilitas wilayah pengendapan dengan resiko pencemaran yang rendah
Pengawasan Independen
Gambar 57. Model Pengendalian Endapan Pasir sisa tambang pada Aliran Sungai (PETAS) Pendanaan dalam upaya pengelolaan lingkungan tidak selalu dianggap sebagai biaya (cost center) tetapi juga belum dianggap sebagai investasi yang menghasilkan keuntungan (profit center). Oleh karena itu, kebijakan perusahaan pertambangan perlu mengalokasikan anggaran biaya operasionalnya dalam dua kategori, yaitu dana operasional dan dana kemitraan. Dana operasional dikelola oleh perusahaan secara langsung untuk kegiatan pengelolaan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat, sedangkan dana kemitraan dikelolakan oleh Lembaga Masyarakat Lokal (LML), dalam studi kasus ini dikelola oleh Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK). Pemerintah daerah berperan dalam pengawasan lembaga pengelolaa dana kemitraan tersebut, agar program yang direncanakan perusahaan sebagai komitmen dapat terlaksana sesuai dengan rencana. Berkaitan dengan pelaksanaan CSR pemerintah dalam pengawasannya secara tegas menentukan batasan tanggung jawab perusahaan pertambangan,
141
sehingga sasaran pengelolaan lingkungan untuk menjaga keutuhan ekologi wilayah pengendapan pasir sisa tambang tercapai dengan resiko pencemaran yang minimal. 6.1.2. Kebijakan Usaha Mikro dan Kecil (UMK) Lingkungan Aktivitas pertambangan informal di sekitar wilayah pengendapan, secara ekologi mengganggu suksesi lahan, serta adanya resiko kecelakaan kerja yang tinggi. Namun, aktivitasnya tidak dapat dihentikan secara mendadak, karena dapat menimbulkan kerawanan sosial. Oleh karena itu diperlukan ketentuan dalam bentuk kebijakan yang dapat mengatur kegiatan pertambangan informal tersebut melalui penciptaan usaha alternatif yang layak. Kebijakan pemerintah daerah diarahkan untuk pembinaan usaha melalui upaya penataan UMK. Hal ini dikaitkan dengan lokasi pertambangan yang tertutup untuk aktivitas usaha. Pemerintah daerah bersama dengan perusahaan pertambangan melakukan pelatihan atau pembinaan mengenai manajemen pengelolaan lingkungan sebagai suatu usaha produktif dalam rangka mendukung upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan. Upaya tersebut dilakukan bersama-sama masyarakat lokal. Upaya ini diharapkan dapat menumbuhkan kemandirian masyarakat dan sebagai persiapan masa penutupan tambang. Pembinaan usaha yang dilakukan perusahaan dengan dukungan pemerintah daerah sebagai salah satu upaya mengurangi
ketergantungan
masyarakat
terhadap
perusahaan
tambang.
Perusahaan tetap melaksanakan komitmennya untuk turut serta dalam pemberdayaan tetapi melalui pengembangan ekonomi masyarakat lokal yang didukung dengan lembaga keuangan mikro yang berkelanjutan. Menurut Syukur (2003), dukungan lembaga keuangan mikro untuk mengatasi persoalan lingkungan dan pengembangan masyarakat sangat terkait dengan bentuk atau skim kredit terhadap sumber-sumber pembiayaan. Keberlanjutan pembiayaan (financial sustainability) merupakan kemampuan lembaga keuangan (kredit dan tabungan) untuk mempertahankan atau meningkatkan aliran manfaat (benefit), menyalurkan melalui dana-dana yang diciptakan secara internal. Kebijakan lembaga keuangan mikro untuk penyaluran dana-dana internal perlu dikaitkan dengan usaha-usaha yang memiliki orientasi dan peran serta dalam pengelolaan lingkungan. Hal ini dapat menumbuhkan usaha baru berbasis
142
lingkungan dengan nilai tambah yang lebih sehingga ketergantungan masyarakat dan kemandirian UMK lokal dapat tumbuh dan berkembang. Dengan dukungan lembaga keuangan mikro, UMK lokal dapat mengakses dana-dana internal yang berupa dana CSR perusahaan pertambangan maupun dana berbantuan lainnya. Mekanisme penyaluran (mechanism distribution) pembiayaan dari lembaga keuangan mikro yang tepat sasaran diharapkan dapat mengembangkan UMK lingkungan untuk berusaha dan berperan dalam kegiatan pengelolaan lingkungan. Selian orientasi kepedulian lingkungan, UMK lokal di wilayah
sekitar
pertambangan
mineral
diarahkan
pada
peningkatan
kesejahteraan melalui usaha-usaha yang layak. Berdasarkan survey lapangan, usaha pakan ternak merupakan salah satu contoh usaha yang layak dan dapat dikembangkan di wilayah pengendapan Mod-ADA. Dengan demikian, wilayah Mod-ADA dari aspek ekonomi memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi sentra produksi, sehingga secara tidak langsung nilai tambah dapat diterima UMK lokal. Peningkatan nilai tambah secara berkelanjutan memiliki pengaruh ganda terhadap perekonomian masyarakat lokal sehingga kepedulian masyarakat terhadap lingkungan dapat dibangun. Hal ini menjadi arahan dalam pemberdayaan masyarakat terhadap upaya-upaya pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. 6.2.
Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Biologik Wilayah Mod-ADA Adanya aliran pasir sisa tambang secara kontinyu selama aktivitas
pertambangan dapat mengakibatkan perubahan biologik di wilayah Mod-ADA. Berbagai tanaman hutan tropis mengalami kerusakan karena sebagian wilayahnya
menjadi
area
pengendapan.
Tanah
penutup
yang
banyak
mengandung unsur hara tertutup endapan pasir sisa tambang, sehingga terjadi penurunan kesuburan tanah yang berakibat tanaman lokal dan perintis juga mengalami kerusakan. Oleh karena itu, pemulihan kondisi lahan endapan pasir sisa tambang sebagai upaya untuk menjaga keutuhan ekologi dan keanekaragaman hayati di wilayah pengendapan tersebut tidak hanya dilakukan oleh perusahaan pertambangan. Namun peran serta masyarakat lokal sangat diperlukan sehingga perusahaan
pertambangan
bersama
pemerintah
melalui
program
CSR
melakukan pembinaan kepedulian lingkungan dan pengembangan usaha
143
produktif untuk mengalihkan kegiatan pertambangan informal yang tidak terkendali. Dengan demikian, model pengelolaan lingkungan biologi yang melibatkan masyarakat dirumuskan dalam Program Rehabilitasi Lahan Wilayah Mod-ADA (RELAWI) seperti disajikan pada Gambar 58. Berdasarkan model tersebut, hubungan
pemerintah
sebagai
penentu
kebijakan
menetapkan
status
Pertambangan Informal melalui upaya registrasi usaha. Untuk mendukung ketetapan tersebut kebijakan perusahaan diarahkan pada pembinaan UMK lokal sebagai upaya pemberdayaan masyarakat. Dukungan lembaga penelitian sangat diperlukan dalam upaya pendidikan lingkungan dan pendampingan serta sebagai media pengawasan kegiatan pengelolaan lingkungan. Pengawasan juga dilakukan
oleh
lembaga
independen
yang
menjadi
mediasi
hubungan
masyarakat dengan stakeholder lainnya. Model RELAWI mengintegrasikan kegiatan pengelolaan lingkungan biologik pertambangan mineral sebagai tanggung jawab perusahaan atas perubahan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh operasional pertambangan. Oleh karena itu, kebijakan pengelolaan lingkungan biologik dilakukan untuk minimalisasi terjadinya degradasi lahan sekaligus pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian lingkungan. Secara umum kebijakan rehabilitasi lahan di wilayah pengendapan pasir sisa tambang terdiri atas kebijakan untuk memperbaiki kualitas lingkungan hayati dan kebijakan untuk mengembalikan lingkungan fisik dan ekologi lahan. Berdasarkan elemen kunci komponen yang terlibat, terlihat bahwa semua lapisan masyarakat yang memiliki kepentingan terhadap pengelolaan lingkungan berperan
penting.
pertambangan,
Hasil
komponen
analisis yang
situasional terlibat
pengelolaan
langsung
adalah
lingkungan perusahaan
pertambangan sebagai kuasa usaha, pemerintah pemberi ijin usaha serta masyarakat sekitar pertambangan yang memiliki kepentingan dan kepedulian lingkungan. Dengan demikian kebijakan rehabilitasi lahan digunakan sebagai landasan perusahaan pertambangan dalam operasionalisasi usahanya.
144
dana reklamasi
Perusahaan Pertambangan Pusat Pengamatan Lingkungan
regulasi kontrak kerja Pemerintah Daerah
Pusat Reklamasi
Dinas Teknis
pertimbangan pengawasan Pengawasan Internal Bank
dana kemitraan Lembaga Masyarakat Lokal (LML)
CSR
Yayasan dana operasional
pembinaan
Pengawasan Independen
Pendampingan Pembiayaan
UMK Pertanian
Masyarakat Lokal
LSM pendampingan
Pendampingan
dana operasional
Litbang Perguruan Tinggi
Dampak positif
penelitian
Pemerintah Pusat Evaluasi
regulasi
Pemulihan Lahan Endapan Pasir Sisa Tambang dengan Reklamasi
informasi dan penelitian
Evaluasi
Pengawasan Eksternal Revegetasi
Rehabilitasi
Minimalisasi Degradasi Lahan
Pengawasan Independen
Pemberdayaan Masyarakat untuk Pelestarian Lingkungan
umpan balik informasi
Gambar 58. Model Rehabilitasi Lahan Wilayah Mod-ADA (RELAWI) 6.2.1. Kebijakan Rehabilitasi dan Reklamasi Kebijakan
perusahaan pertambangan atau
corporate
policy
untuk
rehabilitasi lahan dilakukan dengan pembentukan pusat-pusat pengendalian dan pemantauan lingkungan seperti pusat pengamatan lingkungan dan pusat reklamasi.
Pusat
pengamatan
pengamatan
kondisi
lingkungan
lingkungan,
baik
melakukan
akibat
pemantauan
dampak
negatif
dan
maupun
perencanaan upaya-upaya penanggulangannya. Selain itu juga melakukan koordinasi dengan pengelolaan lingkungan fisik agar pelaksanaan perencanaan lingkungan dapat berjalan efektif. Sebagian besar perusahaan ekstraksi berada di kawasan hutan sehingga menggunakan
sebagian
kawasan
hutan
tersebut
untuk
kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Hal ini menyebabkan sebagian atau seluruh habitat hutan mengalami degradasi dan alih fungsi. Untuk itu reklamasi harus dilakukan oleh setiap unit usaha yang berada dalam kawasan tersebut. Kebijakan pemulihan lahan di wilayah operasional pertambangan, khususnya daerah pengendapan dilakukan dengan metode revegetasi pada kelerengan dan daerah pengendapan limbah pasir sisa tambang. Menurut
145
Kuipers (2000) kebijakan ini dilakukan untuk pemantapan ekosistem secara berkelanjutan. Dalam jangka pendek revegetasi dilakukan dengan intensitas yang tinggi dan jangka menengah digunakan untuk pencegahan erosi dan pembentukan komposisi tanah penutup. Kebijakan revegetasi dalam jangka panjang dilakukan untuk memulihkan ekosistem tanaman asli. Berdasarkan analisis kebijakan mengenai program rehabilitasi lahan di wilayah pertambangan ditetapkan berdasarkan Undang-Undang No.11 tahun 1967 tentang pokok-pokok pertambangan. Menurut undang-undang tersebut tidak dijelaskan ruang lingkup kegiatan reklamasi. Demikian juga berdasarkan Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, hanya disebutkan kewajiban perusahaan pemegang ijin pertambangan melakukan reklamasi. Dalam Keputusan Dirjen Pertambangan Umum No.336.K/271/DDJP/1996 hanya disebutkan bahwa perusahaan harus memberikan jaminan reklamasi, namun tidak diuraikan sistem pengelolaannya. Berbeda halnya dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.146/Kpts-II/1999 mengenai pedoman reklamasi bekas pertambangan yang berada dalam kawasan hutan. Keputusan tersebut dijelaskan lokasi dan ruang lingkup, perencanaan sampai dengan penjelasan mengenai sanksi terhadap perusahaan yang tidak mengikuti pedoman reklamasi tersebut. Dalam Kepmen PE No.1211.K/008/M.PE/95 yang dimaksud Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan umum, agar dapat berfungsi dan berdayaguna sesuai dengan peruntukkannya. Kebijakan reklamasi ditujukan agar pembukaan lahan untuk pertambangan seoptimal mungkin, dan setelah digunakan segera dipulihkan fungsi lahannya. Reklamasi harus dilaksanakan secepatnya sesuai dengan kemajuan tambang. Reklamasi merupakan bagian dari skenario pemanfaatan lahan pasca tambang. Berdasarkan survey pakar ditemukan bahwa reklamasi tidak saja dilakukan dengan revegetasi dan rehabilitasi tetapi suksesi alami juga merupakan tahapan dalam reklamasi. Menurut Taberima (2007), morfologi tanah yang mengandung pasir sisa tambang menunjukkan perkembangan struktur tanah belum terbentuk maksimal. Pada area suksesi dan area reklamasi masih terjadi proses pedogenesis terutama partikel berlempung dan berdebu kasar. Dengan demikian suksesi alami juga merupakan proses reklamasi.
146
Oleh karena itu, kebijakan reklamasi lahan bekas pertambangan selama operasional dan pasca tambang merupakan upaya mempercepat terjadinya suksesi lahan. Dalam jangka menengah dan jangka panjang suksesi adalah bagian dari reklamasi. Dalam kaitan kebijakan rehabilitasi lahan tersebut, perusahaan dan pemerintah melakukan upaya pemberdayaan dan pembinaan pertambangan informal. Upaya tersebut dilakukan untuk mengantisipasi perkembangan yang tidak terkendali dari pertambangan informal di wilayah pengendapan. Pemerintah membuat Undang-Undang Nomor 11/tahun 1967 yang berkaitan dengan upaya penghentian semua usaha pertambangan tersebut, dengan pengecualian dapat melanjutkan usahanya apabila berstatus pertambangan rakyat untuk bahan galian intan dan tambang tradisional untuk bahan galian emas. Namun pasal tersebut dirasakan masyarakat sebagai pelanggaran hak atas pemanfaatan sumberdaya alam yang seharusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat. 6.2.2. Kebijakan Penumbuhan Kesadaran Lingkungan Melalui CSER Kebijakan perusahaan pertambangan melalui program CSR melakukan pembinaan dan fasilitasi pertambangan informal untuk diarahkan menjadi UMK pertanian atau UMK lingkungan. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran dan kepedulian lingkungan masyarakat serta pembelajaran terhadap rencana penutupan tambang. Berdasarkan pengembangan arahan pelaksanaan CSER perusahaan pertambangan mengoptimalkan dana CSR secara langsung sebagai dana operasional perusahaan dan dana kemitraan yang disalurkan melalui lembaga masyarakat lokal (LML). Kebijakan tersebut didukung dengan upaya bersama pemerintah dengan perusahaan pertambangan dan lembaga kemasyarakatan melakukan pembinaan dan pendampingan usaha. 6.3.
Kebijakan Strategi Pengelolaan Lingkungan Pertambangan Upaya pengelolaan lingkungan pertambangan mineral didasarkan pada
Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RKLRPL). Ketentuan pelaksanaan RKL-RPL tersebut mengacu pada Peraturan Daerah yang mengatur kegiatan pengelolaan lingkungan biologik pertambangan. Selain itu, perusahaan pertambangan sebagai pelaksana teknis diharuskan mempunyai manajemen lingkungan fisik dan prosedur standar operasi (PSO).
147
Kedua ketentuan tersebut merupakan model kebijakan strategis dalam RKL-RPL yang didukung dengan ketentuan standar/baku mutu lingkungan. Ketentuan baku mutu lingkungan sering menjadi perdebatan dan perbedaan pendapat berbagai pihak. Beberapa bahan pencemar dalam baku mutu lingkungan ditentukan dengan nilai batas atau standar yang tidak dapat diterima oleh dunia usaha (industri) atau dianggap tidak realistis. Dilain pihak, ketentuan nilai batas dianggap tidak tepat. Oleh karena itu, baku mutu merupakan suatu kebijakan pemerintah yang sah dan harus dilaksanakan. Kebijakan tersebut memuat spesifikasi dari jumlah bahan pencemar yang boleh dibuang atau jumlah kandungan bahan pencemar yang diperbolehkan berada dalam media ambien (Kristanto 2002). Dengan demikian kebijakan pelaksanaan dan pemantauan RKL-RPL harus berlandaskan baku mutu serta kebijakan perusahaan dan pemerintah melalui mekanisme evaluasi periodik. Evaluasi dilakukan melalui konsensus, terutama pendapat pakar mengenai ketentuan baku mutu tersebut. Dalam evaluasi dilakukan konsultasi antar pihak untuk mencapai suatu stakeholders engagement yang dapat memberikan informasi kepada industri, pemerintah serta masyarakat. Untuk itu, kebijakan strategis pengelolaan lingkungan harus bersinergi dengan upaya pemberdayaan masyarakat melalui pelaksanaan PETAS dan RELAWI untuk menjaga kelestarian lingkungan (Gambar 59). Standar/Baku Mutu Lingkungan
Kebijakan Manajemen Lingkungan Perusahaan
Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RKL-RPL)
Model Pengendalian Endapan pasir sisa tambang pada Aliran Sungai (PETAS)
Peraturan Pemerintah Daerah
Model Rehabilitasi Lahan Wilayah Mod-ADA (RELAWI)
Upaya Pemberdayaan Masyarakat
Kelompok Masyarakat
Gambar 59. Model kebijakan strategi rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan
148
Pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya merupakan upaya untuk menjamin hak-hak masyarakat untuk mengatur hidupnya yang mengharuskan pemerintah melindungi dan memfasilitasi masyarakat dalam memperoleh hakhaknya. Pemberdayaan masyarakat berarti penciptaan iklim yang kondusif bagi masyarakat sehingga mendayagunakan sumberdaya dan potensinya secara optimal agar tercipta kesejahteraan, martabat dan keberadaannya memiliki arti dalam kehidupan. Pengembangan peranserta masyarakat dalam pengelolaa lingkungan sebagai upaya arahan pelaksanaan CSR diperlukan pengembangan dalam perumusan RKL-RPL. Perusahaan swasta yang mengeksploitasi sumberdaya alam dianjurkan atau menerapkan CSER dengan memperhatikan prinsip Global Compact yang berhubungan dengan kondisi kerja, menghormati HAM dan melindungi lingkungan. Menurut UNIDO (2004) Implementasi CSER pada dunia usaha, terdapat 7 faktor yang berhubungan dengan internal perusahaan dalam penerapan CSER, yaitu: (1) kesehatan dan keselamatan karyawan, (2) mempertahankan standar penggajian/upah yang tinggi bagi karyawan, (3) investasi dalam pendidikan dan pelatihan pekerja/karyawan, (4) aktivitas rekreasi bagi pekerja, (5) menerapkan EMS (environmental management system), (6) program untuk mendukung keluarga pekerja, dan (7) melaporkan hasil-hasil yang dicapai dalam bidang ekonomi, sosial dan lingkungan. 6.4.
Validasi Model Kebijakan Tinjauan teoritis dalam proses perumusan kebijakan dan studi komparatif
terhadap asumsi-asumsi kebijakan dalam penerapan kebijakan yang setaraf dengan model pengelolaan lingkungan pertambangan mineral. Secara teoritis model tersebut sesuai dengan proses kebijakan dalam konsep critical system praxis (CSP) (McIntyre 2004) yang menghasilkan pemahaman lintas disiplin yang lebih baik, sehingga membentuk pola tindakan yang berkelanjutan untuk kebijakan yang lebih sistematis. Verifikasi model pengelolaan lingkungan pertambangan mineral dilakukan dengan expert judgement melalui in depth interview. Hasil verifikasi melalui studi komparatif dan wawancara mendalam mengindikasikan suatu pemahaman mengenai proses berfikir sistem sebagai berikut:
149
1)
Level kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral tergantung pada keunikan daerah (site specific).
2)
Model yang dikembangkan dapat digunakan sebagai acuan pengelolaan pertambangan mineral tetapi diperlukan penyesuaian terhadap skala usaha perusahaan pertambangan dan jenis komoditasnya.
3)
Kegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan mineral terutama mencegah terjadinya pencemaran yang disebabkan adanya air asam batuan. Oleh karena itu penerapan teknologi yang tepat diperlukan pada skala tertentu.
4)
Timbulnya
pertambangan
informal
disebabkan
adanya
persaingan
kelompok dan kesenjangan masyarakat. Kelompok pendatang dengan keahlian yang terbatas tidak terakomodasi dalam kebijakan perusahaan mengenai tingkat keahlian seluruh karyawannya. Kebijakan perusahaan lebih mengutamakan
pemberdayaan
masyarakat
setempat
dengan
melibatkannya dalam upaya pengelolaan lingkungan. Secara keseluruhan model pengendalian endapan pasir sisa tambang pada aliran sungai (PETAS) sebagai upaya pengelolaan lingkungan fisik dapat merepresentasikan
sistem
pengelolaan
pasir
sisa
tambang
di
wilayah
pengendapan Mod-ADA. Demikian juga dengan Model rehabilitasi lahan wilayah Mod-ADA (RELAWI) yang diarahkan untuk pengelolaan lingkungan biologik melalui kegiatan reklamasi selama operasional pertambangan sampai dengan pasca pertambangan. Selain itu, dukungan dan keterlibatan masyarakat setempat dalam kegiatan pengelolaan lingkungan dapat diupayakan melalui program pemberdayaan. Model tersebut diharapkan menjadi acuan dalam rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan (RKLRPL) 6.5.
Prioritas Tindakan Solusi Dampak Lingkungan Dalam menghadapi persoalan lingkungan pertambangan mineral yang
kompleks
transparansi
informasi
diperlukan
sebagai
masukkan,
namun
penyediaan informasi sangat sulit karena tingginya kompleksitas faktor yang berinteraksi satu sama lainnya. Oleh karena itu, pengambil keputusan membutuhkan mekanisme yang praktis untuk menghasilkan kebijakan yang tepat, berdayaguna serta mampu berperan dalam formulasi strategi maupun pengambilan keputusan yang cepat.
150
Menurut Salya (2006) diperoleh kesepakatan dalam penentuan matrik perihal solusi sebagai berikut: 1) Dampak (lajur mendatar), yaitu strata penilaian solusi terhadap dampak diukur berdasarkan atas dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan kepada masyarakat. Semakin tinggi klasifikasi yang diberikan maka makin tinggi resiko dampak yang akan diberikan kepada masyarakat. Dengan demikian, orientasi penilaian dampak ini adalah upaya meminimumkan (how to minimize) dampak sosial dan ekonomi suatu solusi kebijakan terhadap masyarakat. 2) Kepentingan (kolom menurun), yaitu strata penilaian terhadap kepentingan yang diukur berdasarkan atas manfaat yang dapat diterima masyarakat akibat dari suatu kebijakan. Semakin mendesak tingkat kepentingan perihal yang diidentifikasi, semakin besar manfaat yang diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, orientasi penilaian kepentingan adalah upaya memaksimalkan (how to maximize) manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kebijakan yang diambil pemerintah. Berkembangannya isu pencemaran yang disebabkan oleh pengaliran limbah pasir sisa tambang melalui aliran sungai dan pengendapan dengan jumlah yang sangat besar, serta adanya anggapan bahwa pasir sisa tambang beracun dan tidak dapat dimanfaatkan. Isu lain yang berkembang sampai saat ini adalah pelaksanaan CSR oleh perusahaan yang belum optimal dan tidak diarahkan pada upaya-upaya pengelolaan lingkungan. Berdasarkan FGD terhadap isu-isu yang berkembang tersebut diperoleh 10 (sepuluh) perihal. Perihal yang terkait dengan isu lingkungan, yaitu: (1) reklamasi lahan pengendapan pasir sisa tambang, (2) pengendalian pasir sisa tambang pada aliran sungai dengan river training, (3) penyesuaian Perda dengan manajemen Lingkungan Mod-ADA. Sementara itu, perihal isu ekonomi yang merupakan bagian dari upaya solusi terhadap dampak pengelolaan lingkungan pertambangan mineral, yaitu: (1) pembangunan pabrik pengolahan limbah pasir sisa
tambang
untuk
meningkatkan
nilai
tambah
seperti
semen,
(2)
pengembangan Usaha Mikro Lingkungan (UML), (3) penataan Pertambangan Informal (PI), dan (4) penguatan program kredit mikro untuk UMK lokal. Sedangkan perihal isu sosial kemasyarakatan yang terkait dengan solusi dampak
151
lingkungan, yaitu: (1) optimalisasi program CSR, (2) pembentukan Lembaga Masyarakat Lokal (LML) untuk pengelolaan lingkungan, (3) penguatan kegiatan peningkatan kesadaran dan partisipasi dalam pengelolaan lingkungan. Tabel 34. Matrik perihal solusi untuk dampak lingkungan Kepentingan/ Manfaat Rendah
Dampak Rendah
Cukup
-
1. Pengendalian pasir sisa tambang pada aliran sungai dengan river training 2. Pengembangan Usaha Mikro Lingkungan (UML) 3. Penguatan kredit mikro untuk UMK lokal 4. Pembentukan Lembaga Masyarakat Lokal (LML) untuk pengelolaan lingkungan 5. Penguatan kegiatan peningkatan kesadaran dan partisipasi terhadap lingkungan 1. Penataan Pertambangan Informal 2. Optimalisasi program CSR
Ada
-
Mendesak -
Tinggi 1. Reklamasi lahan pengendapan pasir sisa tambang 2. Penyesuaian Perda dengan manajemen lingkungan Mod-ADA
Pembangunan industri pengolahan pasir sisa tambang untuk meningkatkan nilai tambah seperti semen
Masing-masing dampak dan manfaat dari ketiga kelompok perihal tersebut dibagi dalam 3 tingkat penilaian. Penilaian dampak yang ditimbulkan dengan tingkat nilai, yaitu: rendah, sedang dan tinggi. Penilaian tingkat kepentingan atau manfaat kebijakan pada masyarakat dengan tingkat penilaiannya, yaitu: rendah, ada dan mendesak. Berdasarkan indepth interview dengan pakar dan perdebatan perihal untuk mendapatkan solusi dampak lingkungan dengan tindakan yang logis (Lampiran 22). Melalui perbandingan dengan kotak tindakan (Tabel 34) maka penyelesaian untuk dampak lingkungan dapat disampaikan bahwa tindakan segera adalah pembangunan industri pengolahan pasir sisa tambang seperti industri semen. Dalam proses akuisis pengetahuan, pola pikir dan pendapat para pakar dalam mengisi setiap solusi permasalahan dapat diuraikan sebagai berikut:
152
(1)
Reklamasi lahan pengendapan pasir sisa tambang dan penyesuaian Perda dengan manajemen lingkungan Mod-ADA. Solusi ini ditujukan untuk memulihkan ekologi lingkungan pertambangan mineral melalui suksesi alami yang didukung dengan revegetasi. Dalam pelaksanaan reklamasi tersebut dilakukan konsensus Perda dan kebijakan perusahaan dalam manajemen lingkungan Mod-ADA.
(2)
Pengendalian pasir sisa tambang pada aliran sungai dengan river training, pengembangan usaha mikro lingkungan (UML), penguatan kredit mikro untuk UMK lokal, pembentukan lembaga masyarakat lokal (LML) untuk pengelolaan lingkungan dan penguatan kegiatan peningkatan kesadaran dan partisipasi terhadap lingkungan. Solusi ini ditujukan untuk mencegah kerusakan lahan di wilayah pengendapan dan meningkatkan proses sedimentasi pasir sisa tambang di wilayah peruntukannya. Kegiatan pengendalian pasir sisa tambang dapat menumbuhkan usaha produktif sehingga mengurangi ketergantungan masyarakat
terhadap
perusahaan
pertambangan.
Pembentukan
kelembagaan masyarakat yang bergerak dalam bidang lingkungan berfungsi untuk sosialisasi dan menumbuhkan kesadaran masyarakat serta mediasi peran serta masyarakat dalam kegiatan lingkungan. (3)
Penataan pertambangan informal serta optimalisasi program CSR. Solusi tersebut ditujukan untuk mengurangi dampak lingkungan yang disebabkan adanya aktivitas pertambangan informal, karena penggunaan teknologi
sederhana
yang
tidak
ramah
lingkungan.
Penataan
pertambangan juga digunaka untuk mengalihkan menjadi usaha produktif lainnya yang dapat menjalin kemitraan dengan perusahaan pertambangan. Penataan dimaksudkan secara substansial menunjang pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat di wilayah-wilayah tersebut. Karena kebanyakan operasi penambangan menimbulkan kerusakan lingkungan atau tata ruang penggunaan lahan serta mengabaikan perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Solusi optimalisasi program CSR ditujukan untuk mengarahkan alokasi dana CSR dalam kegiatan pengelolaan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini untuk mengurangi keresahan, kesenjangan dan menumbuhkan kepedulian masyarakat.
153
(4)
Pembangunan pabrik pengolahan pasir sisa tambang untuk meningkatkan nilai tambah. Solusi ini ditujukan untuk mengurangi keresahan masyarakat terhadap anggapan pasir sisa tambang (Lampiran 34) yang mengandung racun dan berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia. Menurut LAPI ITB (2006) menyatakan bahwa limbah pasir sisa tambang memiliki prospek sebagai bahan dasar pembuatan material seperti mortar struktur (beton) cetak setempat dan pracetak, semen portland (bahan pengikat), kaca, polymer modified tailing-asbuton sheet (bahan pembuat jalan), dan material lainnya. Keunggulan
beton
pasir
sisa
tambang
adalah:
1)
hemat
waktu
pelaksanaan, 2) dimensi lebih ekonomis, 3) tanpa perawatan rutin, 4) tidak memerlukan penulangan susut, 5) modulus elastisitas lebih rendah sehingga tahan retak, 6) dapat dibuat tanpa agregat kasar sehingga dapat digunakan di seluruh wilayah termasuk yang sulit dijumpai batu, 7) dapat diaplikasikan sebagai material gedung, jalan, dermaga, pelabuhan udara dan pengairan, serta 8) lebih murah daripada beton biasa. Keunggulan teknik beton pasir sisa tambang memiliki kekuatan tekan yang lebih tinggi dibandingkan beton konvensional (Gambar 60). Berdasarkan sertifikasi pengujian Departemen PU tahun 2004 terhadap pasir sisa tambang sebagai bahan campuran beton di Kabupaten Mimika dinyatakan bahwa bahan pasir sisa tambang dapat digunakan sebagai bahan campuran beton dengan menggunakan bahan tambahan yang berupa polimer JDB-CTPMC 30. Komposisi beton pasir sisa tambang dalam meter kubik yang disarankan adalah: semen maksimal 450 kg, polimer 10 liter, WCF 0,58 dan sisanya bahan pasir sisa tambang. Beton pasir sisa tambang dengan komposisi tersebut dinyatakan layak digunakan sebagai beton struktur (LAPI ITB 2006). Berdasarkan kajian LAPI ITB (2006) perbandingan biaya pembuatan beton untuk aplikasi jalan di Timika menunjukkan bahwa beton biasa dengan komposisi semen 30 persen, pasir 30 persen dan kerikil 40 persen diperlukan biaya sebesar Rp 1,5 juta/m3, sedangkan beton pasir sisa tambang (mortar struktur) dengan komposisi semen 29,4 persen, polimer 0,6 persen dan pasir sisa tambang 70 persen kebutuhan biayanya sebesar Rp 0,8 juta/m3.
154
60 y = 12.146Ln(x) + 12.11 R2 = 0.994
Kekuatan tekan (Mpa)
50 40 30
y = 5.194Ln(x) + 11.894 R2 = 0.9803
20 10 0 0
5
10
15
20
25
30
umur (hari) Beton Sirsat
Beton Biasa
Gambar 60. Perbandingan Kekuatan tekan beton Pendapat pakar terhadap perihal pembangunan industri pengolahan pasir sisa tambang seperti semen tersebut, dinyatakan bahwa 67 persen berpendapat upaya tersebut dapat meningkatkan nilai tambah limbah pertambangan mineral. Oleh karena itu, upaya tersebut mengurangi dampak negatif terhadap degradasi kualitas lingkungan pengendapan pasir sisa tambang. Dilihat dari tingkat kepentinganya, 60 persen pakar dalam FGD menyatakan bahwa perihal tersebut mendesak untuk dilakukan sebagai solusi untuk dampak lingkungan. Solusi dampak lingkungan dengan pembangunan industri pengolahan pasir sisa tambang sebagai bahan baku semen perlu memperhatikan kemungkinan
dampak
lingkungan.
Selain
nilai
ekonomisnya,
rencana
pengembangan industri semen perlu memperhatikan kebijakan yang ada. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 tahun 2006 mengenai jenis rencana usaha dan atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Berdasarkan ketentuan tersebut, industri semen merupakan proses produksi klinker dengan kegiatan yang bersatu dengan kegiatan pertambangan, dimana terdapat proses penyiapan bahan baku, penggilingan bahan baku (raw mill process), penggilingan batubara (coal mill) serta proses pembakaran dan pendinginan klinker (rotary kiln dan clinker cooler). Dengan demikian, pada umumnya dampak lingkungan yang terjadi disebabkan oleh: (1) debu yang keluar dari cerobong, (2) penggunaan lahan yang luas, (3) kebutuhan air yang sangat
155
besar (3,5 ton semen membutuhkan 1 ton air), (4) kebutuhan energi cukup besar, baik energi listirik (110-140 kWh/ton) dan tenaga panas (800-900 Kcal/ton), (5) kebutuhan tenaga kerja yang banyak (1-2 tenaga kerja per 3000 ton produk) serta (6) potensi terjadinya limbah, seperti: tailing (limbah padat), debu (CaO, SiO2, Al2O3, FeO2 dengan radius 2-3 km, limbah cair (sisa cooling yang mengandung minyak pelumas), limbah gas (CO2, Sox, NOx) dari pembakaran batubara, minyak dan gas. Oleh karena itu, pembangunan industri semen harus dibuat dengan prinsip produksi bersih dengan audit lingkungan serta AMDAL yang terintegrasi yang sejalan dengan clean development mechanism (CDM) principles. 6.6.
Implikasi Kebijakan Berdasarkan
hasil
verifikasi
dengan
in-depth
interview
terhadap
rekomendasi model kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral yang berkelanjutan perlu segera ditindaklanjuti oleh pemerintah, lembaga legislatif serta perusahaan pertambangan terutama dalam hal: 1)
Pemerintah mengkaji ulang pelaksanaan undang-undang yang memuat ketentuan CSR bagi dunia usaha terutama usaha-usaha yang berbasis pada pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbarui.
2)
Rencana perusahaan pertambangan dan Pemerintah Propinsi untuk membangun industri pengolahan pasir sisa tambang sebagai bahan baku semen perlu dilakukan AMDAL yang terintegrasi dan audit lingkungan yang sejalan dengan prinsip clean development mechanism (CDM). Dengan pertimbangan bahwa secara teknis pasir sisa tambang telah terbukti dapat dimanfaatkan sebagai material beton dan memiliki nilai tambah yang besar. Untuk itu, penetapan kewenangan pembangunan proyek tersebut ada ditangan pemerintah propinsi tetapi perusahaan pertambangan dapat membantu tenaga ahli, investasi dan sumberdaya.
3)
Pemerintah Daerah mengupayakan adanya penegakan hukum untuk mendorong perusahaan pertambangan melaksanakan pengembangan masyarakat (community development) yang sesuai keunikan wilayah, Mengupayakan usaha pertambangan yang berpihak pada masyarakat dan ramah lingkungan. Mengupayakan adanya keterpaduan usaha kegiatan pertambangan dengan aktivitas pertambangan informal melalui kemitraan yang
saling
menguntungkan.
Kemitraan
dilakukan
dalam
upaya
156
pemberdayaan masyarakat untuk pengelolaan lingkungan dan optimalisasi dana lingkungan melalui pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro untuk Usaha Mikro–Lingkungan (bibit, tanaman, konstruksi, dsb). Untuk itu pertambangan informal perlu dilakukan mekanisme registrasi usaha dan pembinaan penggunaan teknologi tepat guna dalam pertambangan rakyat. 4)
Penyempurnaan sistem CSR melalui mekanisme arahan berdasarkan penerapan corporate social and environmental responsibility (CSER) dalam praktek bisnis usaha yang diarahkan pada kepentingan masyarakat (quality of life) dan kehidupan alam sekitar (natural sustainability). Sistem tersebut diwujudkan dalam proses perumusan dan penetapan dokumen RKL-RPL di daerah. Proses perumusan evaluasi periodik RKL-RPL didasarkan pada konsensus forum Musyawarah Lingkungan Daerah (MLD) yang mengakomodasi para stakeholder yang terdiri atas Pemerintah Daerah, Organisasi Massa (LSM), Perusahaan pertambangan dan Pakar lingkungan
untuk
stakeholders
engagement.
Berdasarkan
indepth
interview dengan pakar kebijakan publik dan praktisi kelembagaan masyarakat lokal, diperoleh konsensus bahwa MLD dapat disusun dari kelembagaan yang saat ini sudah ada seperti LPMAK. Namun perlu dirumuskan mekanisme dan tanggung jawab lembaga terhadap kepedulian pengelolaan lingkungan dalam kaitan evaluasi RKL-RPL. Dengan pertambangan
adanya yang
dua
model
melibatkan
kebijakan
pengelolaan
lingkungan
peranserta
masyarakat
diperlukan
pengembangan CSER. Mekanisme pengembangan CSER atau Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (TSLP) diarahkan untuk pelaksanaan CSR lingkungan hidup yang berkelanjutan. CSR sebagai instrumen ekonomi merupakan kebijakan sepenuhnya dari perusahaan yang memiliki kesadaran lingkungan. Namun CSR juga dapat berfungsi sebagai command and control (CAC) yang merupakan kebijakan pemerintah sepenuhnya dalam bentuk pajak lingkungan (environmental tax) atau denda limbah (penalty). Pelaksanaan CSR sebagai CAC saat ini belum teruji dan masih dalam tahapan konsepsi, sehingga pemerintah dan dunia usaha belum dapat menerapkan sebagai kebijakan dalam bentuk pajak. Elemen kunci implikasi kebijakan pengembangan CSER terhadap pertambangan mineral adalah terdapat limbah dalam skala dan jenis tertentu
157
dapat membahayakan. Keberadaan limbah yang tidak terkendali secara signifikan dan atau melebihi nilai ambang batas baku mutu lingkungan serta terbukti empiris dapat menyebabkan degradasi kualitas lingkungan hidup dan mengancam keanekaragaman hayati (bio-diversity). Oleh karena itu, kebijakan CSER diarahkan bagi perusahaan pertambangan memiliki kesadaran lingkungan (environment
conscius).
Dalam
pelaksanaan
CSR
oleh
perusahaan
pertambangan dan pengawasan oleh pemerintah terdapat kelemahan yang harus diatasi, yaitu: rendahnya kesadaran perusahaan menyebabkan CSR menjadi kurang bermanfaat atau salah sasaran, serta adanya beban operasional perusahaan yang menyebabkan disinsentif terhadap PMA atau PMDN. Substansial kurangnya kesadaran perusahaan dalam penerapan CSR karena masih minimnya infrastruktuktur pendukung aktifitas CSR di Indonesia. Padahal dana dan peran strategis yang dimiliki perusahaan sangat besar dalam pembangunan. Mekanisme
arahan
kebijakan
CSR
dalam
pengembangan
CSER
merupakan sistem tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan (TSLP) yang diarahkan pada kepentingan masyarakat (quality of life) dan kehidupan alam sekitar (natural sustainability). Kebijakan TSLP diwujudkan adalah dalam proses perumusan dan penetapan dokumen RKL-RPL di daerah (Gambar 61). Proses perumusan evaluasi periodik RKL-RPL didasarkan pada konsensus Musyawarah Lingkungan Daerah (MLD) yang mengakomodasi para stakeholder yang terdiri atas Pemerintah Daerah, Organisasi Massa (LSM), Perusahaan pertambangan dan Pakar lingkungan. Berdasarkan indepth interview dengan pakar kebijakan publik dan praktisi kelembagaan masyarakat lokal, diperoleh konsensus bahwa MLD dapat disusun dari kelembagaan yang saat ini sudah ada seperti LPMAK. Namun perlu dirumuskan mekanisme dan tanggung jawab lembaga tersebut untuk membahas program pengelolaan lingkungan dalam kaitan evaluasi RKL-RPL. Kebijakan Pemerintah Daerah dan regulasi perusahaan pertambangan mengenai pengelolaan lingkungan pertambangan mineral diselaraskan dengan peranserta masyarakat dan pakar lingkungan. Perumusan tersebut diperoleh umpan balik informasi sebagai upaya pengambilan kebijakan perusahaan (corporate policy) mengenai dana CSR dengan arahannya dalam bentuk penetapan target, sedangkan konsensus pemerintah daerah dalam pelaksanaan RKL-RPL diwujudkan sebagai dana APBD.
158
Pengembangan TSLP melalui pembentukan musyawarah lingkungan daerah (MLD) sebagai stakeholders engagement harus memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu: 1) Manajemen konsensus para stakeholders, yaitu prinsip pengambilan keputusan didasarkan pada kesepakatan antar pihak dalam pencapaian tujuan bersama; 2) Wadah kemitraan, yaitu kerjasama yang saling memperkuat, saling menguntungkan dan saling menghidupi sebagaimana dinyatakan dalam PP No.44 Tahun 1997. Konsep kemitraan menurut UU No.9 Tahun 1995 adalah kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar yang disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. MLD yang terdiri atas pemerintah, organisasi massa atau LSM, perusahaan serta pakar menjalin kerjasama sebagai mitra dalam pengelolaan lingkungan. 3) Informasi yang simetris, yaitu dalam menghadapi persoalan lingkungan pertambangan mineral yang kompleks transparansi informasi diperlukan sebagai masukan. Sumber informasi tidak terbatas pada satu sisi atau persepsi stakeholders melainkan mengakomodasi keseluruhan informasi yang terkait dengan pencapaian tujuan, meskipun penyediaannya sangat sulit karena tingginya kompleksitas faktor yang berinteraksi satu sama lainnya. 4) Transparansi untuk pembelajaran dampak lingkungan, keterbukaan sebagai kunci utama pencapaian konsensus atau kesepakatan dengan menyampaikan fakta secara tepat dan dapat dipertanggungjawabkan. 5) Adanya
pendapat
ahli
(expert
judgement),
terutama
menyangkut
penetapan nilai ambang batas dalam baku mutu lingkungan dan teknis pelestarian SDA seperti suksesi, reboisasi, kanalisasi dan lainnya.
159
Pemerintah Daerah
Perusahaan Pertambangan
Pakar Lingkungan
Evaluasi Periodik RKL-RPL
Dana APBD Penetapan Target/sasaran
Umpan balik informasi
Organisasi Massa (LSM)
Konsensus
Umpan balik informasi
Musyawarah Lingkungan Daerah (MLD)
Dana CSR Penetapan Target
Gambar 61. Arahan pengembangan CSER dalam MLD Agar efektif arahan pengembangan CSER dalam pelaksanaan CSR diperlukan peranserta masyarakat civil society yang aktif melalui upaya-upaya antara lain: kampanye melawan korporasi yang melakukan praktik bisnis yang tidak sejalan dengan prinsip CSR lewat berbagai aktivitas lobby dan advokasi serta musyawarah antar stakeholders, mengembangkan kompetensi untuk meningkatkan kapasitas dan membangun institusi yang terkait dengan CSR, serta mengembangkan inisiatif multi-stakeholder yang melibatkan berbagai elemen dari civil society, korporasi dan pemerintah untuk mempromosikan dan meningkatkan kualitas penerapan CSR.
160