HUTAN TANAMAN RAKYAT : ANALISIS PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN DAN RANCANG BANGUN MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN
TUTI HERAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Hutan Tanaman Rakyat : Analisis Proses Perumusan Kebijakan dan Rancang Bangun Model Konseptual Kebijakan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2011
Tuti Herawati NIM E061060151
ABSTRACT TUTI HERAWATI. Community Forest Estate: Policy Process Analysis and Design of Policy Conceptual Model Under direction of NURHENI WIJAYANTO, SAHARUDDIN, and ERIYATNO. Community Forest Estate is a Ministry of Forestry policy launched at 2007. The program was intended to increase productivity of logged over area through development of plantation forest by community. The program is still on going and until 2010 has poor performance in implementation, even though it was supported by financial policy and many other facilities. This study was intended to find out some constrain factors of Community Forest Estate policy implementation. It used a policy process analysis and critical system thinking as practical research framework. The result of the study is conceptual policy models for Sustainable Community Forest Estate. The study revealed that the policy of CFE is centralistic and top down approach. Therefore some misinterpretation appeared between local stakeholder and policy maker in the implementation of CFE. Using the technique of Interpretative Structural Model critical constrains factors were identified such as institutional constrain, financial constrain, and management constrain. Conceptual policy model of sustainable CFE management was developed, that consist of Management Model, Institutional Model and Funding Model. In order to overcome coordination problem it is recommended to create a Working Group of CFE in District Level. Meanwhile, to increase benefit for local people it is suggested that Village Owned Enterprise might be established. In addition, the General Service Agency of Plantation Forest Development should improve the revolving fund process. Key words: sustainable development, model, Community forest estate, soft system methodology
RINGKASAN TUTI HERAWATI. Hutan Tanaman Rakyat: Analisis Proses Perumusan Kebijakan dan Rancang Bangun Model Konseptual Kebijakan. Dibimbing oleh NURHENI WIJAYANTO, SAHARUDDIN, dan ERIYATNO Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang mulai dicanangkan tahun 2007 merupakan upaya Kementerian Kehutanan untuk membangun hutan tanaman di areal hutan bekas tebangan (LOA=logged over area). Hingga tahun 2010 kegiatan ini berjalan lambat. Berbagai permasalahan dalam implementasi program HTR menyebabkan pencapaian hasil kegiatan jauh dari target yang ditetapkan. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis proses perumusan kebijakan HTR, analisis respon dan implementasi program HTR, serta melakukan rancang bangun model konseptual kebijakan untuk mendukung keberhasilan program HTR. Landasan teori yang digunakan adalah perbandingan antara model linier dan model non linier dalam proses perumusan kebijakan. Analisis proses perumusan kebijakan HTR dilakukan untuk mendapatkan pemahaman tentang latar belakang dirumuskannya kebijakan. Selanjutnya dilakukan kajian respon para pihak di daerah dan implementasi HTR di 3 provinsi terpilih yaitu Provinsi Riau, Kalimantan Selatan, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Rancang bangun Model Konseptual Kebijakan dilakukan melalui identifikasi masalah kunci dengan teknik Interpretative Structural Modelling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses perumusan kebijakan HTR bukan merupakan model linier melainkan suatu proses incremental (bertahap) dengan melakukan perubahan sedikit demi sedikit terhadap kebijakan yang sebelumnya telah ada. Gagasan pembangunan HTR dilatarbelakangi oleh tingginya potensi lahan kosong yang terdapat di kawasan hutan negara berupa spot kecil yang tersebar. Di sisi lain sektor industri kayu tengah mengalami defisit pasokan bahan baku. Dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan hutan terdegradasi, maka dipilih pemecahan masalah berupa pemberian hak akses kepada masyarakat sekitar hutan. Kesempatan hak akses bagi masyarakat dilakukan melalui pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR). Proses perumusan kebijakan HTR dilakukan pada lingkup internal Kementerian Kehutanan dengan diskursus tunggal yaitu pemberian hak konsesi. Proses penyusunan landasan hukum kebijakan dilaksanakan melalui revisi terhadap Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 menjadi Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Prinsip pembangunan kehutanan yang diterapkan dalam kebijakan HTR adalah usaha hutan tanaman dengan pola serupa dengan HTI (Hutan Tanaman Industri), tetapi dalam skala kecil. Pengalaman di masa sebelumnya memberikan pelajaran kepada birokrat Kementerian Kehutanan bahwa pembangunan HTI menghadapi banyak hambatan dan permasalahan. Oleh karenanya HTR merupakan alternatif lain dalam rangka pembangunan hutan tanaman. Prinsip pemikiran para pengambil kebijakan HTR di tingkat pusat tidak sejalan dengan persepsi dan pemahaman yang diterima oleh para pelaksana program di lapangan. Pola fikir pemberdayaan masyarakat lebih mendominasi di kalangan birokrat pemerintah daerah, sehingga pelaksanaan program HTR sangat tergantung kepada adanya dukungan fasilitas anggaran, sarana, dan prasarana yang akan disediakan oleh pemerintah pusat. Kebijakan HTR dipersepsikan oleh stakeholder di daerah sebagai pola keproyekan sebagaimana pola pembangunan kehutanan yang lainnya. Oleh karena itu pelaksanaan kegiatan HTR di lapangan tidak berjalan
sesuai harapan. Selain karena terjadinya ketidaksepahaman di kalangan pemerintah pusat dan daerah, faktor yang menjadi penyebab keterlambatan impelementasi HTR juga karena keterbatasan kemampuan dan kapasitas petani sasaran untuk menjalankan bisnis hutan tanaman. Berdasarkan analisis sistem terhadap permasalahan kompleks yang dihadapi dalam implementasi program HTR dapat diketahui bahwa faktor utama yang harus ditangani dalam pelaksanaan program HTR adalah (1) sinkronisasi rencana pembangunan antara pusat dan daerah serta antar sektor (2) hubungan antar lembaga pengelola yang terlibat dalam HTR, serta (3) masalah ketersediaan modal untuk membangun HTR. Berdasarkan hasil identifikasi permasalahan tersebut, maka disusun model konseptual kebijakan HTR yang terdiri dari 3 bagian, yaitu : (1) model pengelolaan/manajemen HTR, (2) model hubungan antar lembaga, dan (3) model pendanaan HTR. Model manajemen HTR merupakan upaya integrasi perencanaan pembangunan jangka menengah, rencana tata ruang wilayah, rencana kerja pemerintah baik pusat maupun daerah yang dillandasi asas komplementer. Model hubungan antar lembaga adalah perwujudan sistem kelembagaan yang ditujukan untuk mendukung implementasi kebijakan HTR. Dalam rangka merealisasikan model konsepsi kebijakan tersebut diperlukan adanya pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) HTR di tingkat kabupaten dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Sementara itu model pendanaan HTR ditujukan untuk menyediakan alternatif pendanaan bagi pembangunan HTR. Kelompok Kerja HTR di tingkat Kabupaten yang direkomendasikan dari model merupakan lembaga antar muka yang menghimpun perwakilan dari berbagai komponen stakeholder yaitu Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, masyarakat petani HTR, serta komponen petugas pendamping HTR. Fungsi Kelompok Kerja adalah untuk membangun koordinasi antar komponen lembaga yang terlibat dalam rangka pembangunan bisnis hutan tanaman rakyat. Dinas Kehutanan bertindak sebagai leading sector dalam pembangunan HTR, mengingat basis HTR adalah pembangunan kawasan hutan dan proses perizinan pemanfaatan hutan IUPHHK-HTR dilakukan di lingkup Dinas Kehutanan Kabupaten. Upaya lain yang dapat ditempuh untuk mendukung keberhasilan pembangunan HTR adalah pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Desa. BUMDes dibentuk sebagai pendorong pembangunan ekonomi pedesaan yang untuk meningkatkan kapasitas pemerintah dan masyarakat desa menuju ke arah kemandirian. Pengembangan BUMDes diharapkan merupakan upaya sinkronisasi antara program pemerintah daerah dengan sektor kehutanan. Kata kunci :
perumusan kebijakan, soft system methodology, Hutan Tanaman Rakyat, implementasi, model konseptual
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
HUTAN TANAMAN RAKYAT : ANALISIS PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN DAN RANCANG BANGUN MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN
TUTI HERAWATI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji pada Ujian Tertutup
:
Dr. Tachrir Fathoni, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Haryadi Kartodihardjo, M.S.
Penguji pada Ujian Terbuka
:
Dr. Ir. Harry Santoso Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A.
Judul Disertasi
:
Hutan Tanaman Rakyat: Analisis Proses Perumusan Kebijakan dan Rancang Bangun Model Konseptual Kebijakan
Nama
:
Tuti Herawati
NIM
:
E 061060151
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, M.S. Ketua
Dr. Ir. Saharuddin, M.Si. Anggota
Prof. Dr. Ir. Eriyatno, M.S.A.E. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.S.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 21 Januari 2011
Tanggal Lulus :
PRAKATA Alhamdulilahi robbil alamin, disertasi yang berjudul “Hutan Tanaman Rakyat: Analisis Proses Perumusan Kebijakan dan Rancang Bangun Model Konseptual Kebijakan” dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulisan disertasi bertujuan untuk mengkaji aspek proses perumusan kebijakan Hutan Tanaman Rakyat, implementasi kebijakan di 3 Propinsi yaitu Riau, Kalimantan Selatan, dan Daerah Istimewa Yogyakerta, serta Rancang Bangun Model Konseptual Kebijakan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, M.S. sebagai ketua komisi pembimbing serta kepada Dr. Ir. Saharuddin, M.Si. dan Prof. Dr. Ir. Eriyatno, M.S.A.E. sebagai anggota komisi, atas bimbingan dan pengarahannya.
Ucapan
terima
kasih
juga
disampaikan
kepada
Prof. Dr. Imam Wahyudi, M.S selaku ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Kementerian Kehutanan, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program Doktor di Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada CIFOR dan Fakultas Kehutanan IPB yang telah melibatkan penulis dalam proyek kerjasama CIFOR-IPB untuk melakukan kajian kebijakan HTR di Propinsi Kalimantan Selatan dan Riau, Ucapan terimakasih juga diucapkan kepada instansi-instansi yang telah memberikan dukungan data dan informasi bagi penyusunan disertasi ini, terutama kepada Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Kalsel, DIY, Dinas Kehutanan Kabupaten Gunung Kidul, Kementerian Kehutanan, dan seluruh pakar yang telah berpartisipasi dalam proses penelitian dan penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas masukan, saran, dan berbagai bentuk bantuan yang diberikan kepada penulis dalam mengikuti program studi Doktor hingga selesainya penulisan disertasi ini. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat.
Bogor, Januari 2011 Tuti Herawati
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ciamis, Jawa Barat pada tanggal 15 Desember 1973, merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Hadi Suwarno (alm) dan Wartini (almh).
Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana S1 pada Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 1997.
Pada tahun yang sama
penulis mendapatkan beasiswa program unggulan DIKTI URGE Batch IV untuk melanjutkan studi di sekolah Pascasarjana IPB Program Studi Ilmu Kehutanan. Mulai tahun 1998 penulis bekerja sebagai pegawai Negeri Sipil di Kementerian Kehutanan, ditempatkan sebagai staf pada Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) di Jakarta. Tahun 2004 penulis mendapat SK alih tugas menjadi fungsional peneliti pada Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, dan tahun 2006 mendapatkan Tugas Belajar untuk menempuh pendidikan S3 pada program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB. Selama mengikuti program S3, penulis aktif melakukan kegiatan penelitian di bidang analisis kebijakan dan kelembagaan dengan obyek kajian perhutanan sosial baik yang dilakukan pada Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Ditjen RLPS, Balai Penelitian Kehutanan Ciamis,
maupun dalam kegiatan kerjasama dengan
perusahaan HTI, dan penelitian bersama team CIFOR (Centre for International Forestry Research). Sejak tahun 2004 penulis telah menyusun beberapa publikasi ilmiah terkait Kebijakan dan Implementasi Program Perhutanan Sosial, dan dimuat dalam jurnal Litbang Kehutanan, prosiding seminar, dan beberapa publikasi semi populer lingkup Kehutanan. Pada tahun 2006, penulis berkesempatan menyajikan paper mengenai Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat pada acara Konferensi Internasional Negara-negara Berhutan Tropis, yang diselenggarakan di Kandy, Sri Lanka. Karya Ilmiah berjudul ”Species Determination of HTR using Expert System” telah dipresentasikan dalam Seminar Internasional Hutan Tanaman yang diselenggarakan di Bogor, pada bulan November 2009. Karya tulis ilmiah lain berjudul ”Persepsi Stakeholder terhadap Kebijakan HTR” diterbitkan pada Jurnal Analisis Kebijakan Puslit Perubahan Iklim dan Kebijakan Vol.7 No.1 Desember 2010.
Karya tulis
berjudul ”Local People on the State Forest Land: Case Study in Gunung Kidul District” dipresentasikan pada Kongres IUFRO (International Union of Forestry Research Organization) yang diselenggarakan tanggal 19-26 Agustus 2010 di Seoul, Korea Selatan. Karya-Karya Ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi yang penulis susun.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL …………………………………………………………………
Halaman iii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………………
iv
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………….
v
I.
II.
III.
PENDAHULUAN …………………………………………………….
1
1.1
Latar Belakang …………………………………………………...
1
1.2
Perumusan Masalah ………………………………………….....
5
1.3
Tujuan Penelitian ………………………………………………...
9
1.4
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ………………………
9
1.5
Manfaat Penelitian …………………………………………………
10
1.6
Kebaruan …………………………………………………………..
10
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………….........
11
2.1
Definisi Hutan Tanaman Rakyat ………………………………….
11
2.2
Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat ...........................................
12
2.3
Peraturan Perundangan Bidang Hutan Tanaman Rakyat..........
15
2.4
Pembangunan Berkelanjutan ....................................................
21
2.5
Kebijakan Publik ........................................................................
25
2.6
Analisis Kebijakan dan Riset Kebijakan ....................................
26
2.7
Analisis Proses Kebijakan .........................................................
28
2.8
Teori Sistem dalam Riset Kebijakan ..........................................
31
2.9
Permodelan Interpretasi Struktural ……………………………….
37
2.10
Validasi Model ...........................................................................
42
2.11
Disertasi yang Relevan ………………………………………….
44
METODE PENELITIAN ......................................................................
49
3.1
Kerangka Pendekatan Penelitian ………………………………
49
3.2
Lokasi Penelitian ………………..…………….……………………
54
3.3
Tahapan Kegiatan dan Waktu Penelitian …..……………………
54
3.4
Teknik Pengumpulan Data ........................................................
56
3.5
Analisis Data .............................................................................
60
3.6
Verifikasi dan Validasi...............................................................
65
ix
IV.
ANALISIS PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN HTR ......................
67
4.1
Tonggak Peristiwa Penetapan Kebijakan ……………………….
67
4.2
Proses Perumusan Kebijakan HTR...........................................
86
4.3
Analisis Narasi dan Diskursus Kebijakan .................................
91
4.4
Model Perumusan Kebijakan HTR............................................
93
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN................................................................
99
5.1
Implementasi Kebijakan HTR ....................................................
99
5.2
Profil Sosial Ekonomi Masyarakat .............................................
109
5.3
Respon Pemangku Kepentingan terhadap kebijakan HTR .......
120
5.4
Respon Masyarakat terhadap kebijakan HTR ...........................
123
5.5
Hubungan Respon dan Implementasi Kebijakan ....................
131
MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN ……………………………
137
6.1
Strukturisasi Elemen………………………………………………..
137
6.2
Pengembangan Kebijakan ........................................................
156
6.3
Model Konseptual Kebijakan HTR Berkelanjutan.......................
159
6.4
Validasi Model dan Prospektif Dampak …………………………
171
6.5
Implikasi Kebijakan ………………………………………………...
174
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................
179
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
183
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
196
V.
VI.
x
DAFTAR TABEL Halaman 1
Alokasi lahan untuk HTR periode 2007 - 2010.....................................
13
2
Mekanisme Pencadangan Areal HTR ……………………………………
16
3
Tata cara permohonan IUPHHK HTR …………………………………..
18
4
Ketentuan mengenai sanksi bagi pemegang IUPHHK-HTR ................
20
5
Definisi kebijakan publik …………………………………………………..
24
6
Perbedaan analisis, monitoring, evaluasi dan penelitian kebijakan ......
27
7
Hubungan kontekstual antar sub-elemen pada teknik ISM ..................
41
8
Peubah dan sumber data penelitian ......................................................
57
9
Jumlah informan penelitian ..................................................................
57
10
Proses konseptualisasi data wawancara ..............................................
61
11
Proses kategorisasi data wawancara ...................................................
61
12
Jumlah dan luas areal konsesi HPH dari tahun 1991 – 2009 ...............
74
13
Timeline kebijakan yang mempengaruhi perumusan kebijakan HTR ...
84
14
Intisari dari proses perumusan kebijakan HTR .....................................
90
15
Kebijakan HTR dalam konsep cetak biru pembangunan dan perbandingannya dengan pembangunan berbasis inisiatif masyarakat lokal ....................................................................................................... Data kegiatan HTR di Provinsi Riau, Kalimantan Selatan dan Daerah Istimewa Yogyakarta ............................................................................
96
16 17
100
Luas kawasan hutan produksi dan areal HTR di Provinsi Riau, Kalimantan Selatan, dan Daerah Istimewa Yogyakarta ........................
101
18
Bentuk izin pemanfaatan hutan produksi di Kalimantan Selatan ..........
105
19
Pencadangan lokasi HTR di Provinsi Kalimantan Selatan ....................
106
20
Persepsi pemangku kepentingan terhadap minat dan kemampuan Masyarakat …………………………………………………………………..
122
21
Analisis finansial beberapa jenis tanaman untuk kegiatan HTR ...
128
22
Analisis kondisi implementasi dan respon daerah ..............................
130
23
Elemen lembaga yang berpengaruh dalam pengelolaan HTR..............
137
24
Elemen kebutuhan terhadap program Pengelolaan HTR berkelanjutan
143
25
Kategorisasi sub elemen kebutuhan akan program HTR ......................
144
26
Elemen tujuan pengelolaan HTR ...................... ....................................
146
27
Elemen kendala utama pengelolaan HTR .............................................
148
28
Elemen kegiatan yang diperlukan .........................................................
152
29
Peubah kunci sistem pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat ..................
158
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Mekanisme penetapan peta pencadangan areal HTR ….……………...
2
Tata cara permohonan IUPHHK HTR berdasarkan Permenhut
16
P.23/Menhut-II/2007 jo. Permenhut P.5/Menhut-II/2008........................
17
3
Lokus dan ruang kebijakan (Nugroho 2008) .........................................
27
4
Model linier kebijakan dari Grindle&Thomas (1990) .............................
28
5
Overview pemodelan sistem untuk analisis kebijakan (Richardson & Pugh 1983) ………………………………………………..
34
6
Proses soft system methodology (Checkland 1999) ……………………
36
7
Tahap analisis kebijakan HTR dimodifikasi dari model Blaikie & Soussan (2001) ....................................................................................
51
8
Kerangka penelitian ...............................................................................
53
9
Lokasi penelitian ....................................................................................
54
10
Tahapan penelitian ................................................................................
55
11
Diagram teknik ISM (Saxena et al. 1992) .............................................
64
12
Periode pemanfaatan hutan di Indonesia .............................................
68
13
Periode pengelolaan hutan produksi di Indonesia................................
73
14
Perbandingan produksi kayu dari HPH dan HTI di tahun 1997/1998 dengan tahun 2009 (sumber data: Santosa 2010) ...............................
74
15
Komposisi modal perusahaan HTI ......................................................
76
16
Periodisasi kebijakan social forestry dalam proses perjalanan pemanfaatan dan pengelolaan hutan di Indonesia................................
79
17
Tonggak kebijakan terkait perumusan kebijakan HTR .........................
82
18
Persentase kawasan hutan di Propinsi Riau berdasarkan fungsinya ...
102
19
Persentase luas kawasan hutan di Propinsi Kalimantan Selatan berdasarkan fungsinya ..........................................................................
20
105
Persentase kawasan hutan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan fungsinya ..........................................................................
107
21
Tanaman karet rakyat di Provinsi Riau ................................................
110
22
Tanaman sawit rakyat di Provinsi Riau .................................................
111
23
Serapan tenaga kerja sub sektor perkebunan di Provinsi Riau ……….
111
24
Hutan tanaman mahoni di lahan milik petani di Provinsi Kalsel ............
115
xii
25
Luas desa di Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunung Kidul .............
117
26
Peta Kecamatan Semanu .....................................................................
117
27
Hutan jati di lahan HTR di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ........
119
28
Respon pemangku kepentingan terhadap kebijakan HTR ....................
121
29
Respon pemangku kepentingan di daerah terhadap mekanisme perijinan HTR .........................................................................................
30
Struktur
sistem
elemen
lembaga
yang
berpengaruh
dalam
pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat ................................................... 31
122
137
Matriks driver power dan dependence sub elemen lembaga yang terlibat dalam pengelolaan HTR ............................................................
141
32
Struktur sistem elemen kebutuhan terhadap program HTR..................
143
33
Matriks
driver
power-dependence
sub-elemen
pada
elemen
kebutuhan terhadap HTR.......................................................................
144
34
Struktur hirarki elemen tujuan ...............................................................
146
35
Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen tujuan ....
147
36
Struktur hirarki sistem elemen kendala utama ......................................
149
37
Matriks driver power-dependence sub-elemen kendala utama ………..
149
38
Struktur hirarki sistem elemen kegiatan yang diperlukan ......................
153
39
Matriks driver power-dependence sub-elemen pad elemen kegiatan yang diperlukan .....................................................................................
154
40
Sistem pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat berkelanjutan .................
157
41
Pemodelan kebijakan berdasarkan konsep COMHAR (2007) ..............
158
42
Sistem pengelolan HTR berkelanjutan ........................................
160
43
Model manajemen HTR …………………………………………………….
161
44
Model lembaga pengelola HTR .............................................................
164
45
Model pendanaan HTR …………………………………………………….
167
46
Alokasi dana BLU Pusat P2H ................................................................
169
47
Proporsi target dan realisasi kegiatan pencadangan lokasi HTR ……...
172
48
Proporsi pencapaian izin usaha HTR terhadap luas total HTR .............
172
49
Target dan realisasi kegiatan HTR ………………………………………..
173
50
Proyeksi
pencapaian
pembangunan
HTR
setelah
penerapan
kebijakan ...............................................................................................
174
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Proses Mekanisme Pencadangan Areal HTR .......................................
2
Proses Pengajuan Izin Usaha Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman
197
Rakyat....................................................................................................
198
3
Daftar Pertanyaan untuk Proses Perumusan Kebijakan HTR ...............
199
4
Perjalanan sejarah kebijakan pengelolaan hutan produksi ...................
201
5
Catatan Lapangan Hasil Wawancara ....................................................
204
6
Hasil ISM untuk elemen lembaga yang terlibat .....................................
206
7
Hasil ISM untuk elemen kebutuhan akan HTR berkelanjutan ...............
207
8
Hasil ISM untuk elemen tujuan .............................................................
208
9
Hasil ISM untuk elemen tujuan .............................................................
209
10
Hasil ISM untuk elemen kendala utama ...............................................
210
11
Peran dan keterlibatan stakeholder dalam sistem pengelolaan HTR …
211
xiv
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Analisis kebijakan sering disamakan pengertiannya dengan penelitian
kebijakan atau kajian tentang suatu kebijakan. Beberapa ahli kebijakan tidak membedakan antara analisis kebijakan dengan penelitian kebijakan, misalnya Mayer & Greenwood (1980) dan Damin (1997).
Menurut para ahli tersebut
analisis kebijakan dan penelitian kebijakan dapat dipertukarkan untuk merujuk pada hal yang sama. Sementara itu, Weimer dan Vining (1999) memisahkan dengan jelas antara analisis kebijakan dengan penelitian kebijakan. Definisi tentang analisis kebijakan banyak dikemukakan oleh para ahli diantaranya Quade (1982), Dye (1995), dan Dunn (2004). Pengertian umum dari analisis kebijakan adalah studi antar disiplin dengan penggunaan beragam teknik untuk meningkatkan atau merasionalkan proses pembuatan kebijakan agar ditemukan alternatif kebijakan terbaik guna mengatasi permasalahan yang dihadapi.
Tujuan utama analisis kebijakan adalah membantu pengambil
keputusan untuk membuat pilihan yang lebih baik (Quade 1976). Nugroho (2008) dengan mengembangkan pemikiran Michael Hill dalam The Policy Process (2005), menyatakan ada dua jenis analisis kebijakan, yaitu analisis tentang kebijakan (studies of policies) dan analisis untuk merumuskan suatu atau beberapa kebijakan (studies for policies).
Dengan demikian
pemahaman tentang analisis kebijakan tidak serta merta berkenaan dengan analisis untuk merumuskan kebijakan saja namun juga analisis tentang kebijakan. Berdasarkan konsep tersebut, Nugroho (2008) selanjutnya menjelaskan bahwa analisis kebijakan adalah kegiatan yang dilakukan sebelum perumusan kebijakan, atau merupakan proses inisiasi perumusan kebijakan. Kegiatan ini dapat menggunakan satu atau beberapa pendekatan metodologis, dan dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat dengan produk berupa rekomendasi kebijakan (policy recommendation). Sementara itu penelitian kebijakan dapat dilakukan pada semua tahap proses kebijakan baik pada fase perumusan, implementasi maupun tahap evaluasi kebijakan. Tujuan utama dari penelitian kebijakan tidak untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan semata, melainkan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen) terhadap suatu kebijakan.
2 Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Eriyatno & Sofyar (2007) bahwa hasil riset atau studi kebijakan bukanlah sekedar rekomendasi dan pernyataan tentang dampak dari kebijakan. Hasil riset kebijakan yang efektif adalah upaya konkrit untuk mencapai tujuan dari sistem yang sedang dikaji. Oleh karena itu, hasil riset harus mampu mewujudkan harapan-harapan normatif menjadi strategi tindakan yang diperlukan dalam kebijakan. Permasalahan kehutanan saat ini berkembang semakin kompleks. Tantangan untuk mewujudkan kelestarian hutan dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak lagi cukup didekati dengan solusi yang bersifat teknis kehutanan. Hal demikian merupakan tuntutan dari pergeseran peta permasalahan kehutanan dari yang semula berorientasi kepada masalahmasalah teknis menuju masalah sosial serta kebijakan sektor kehutanan (Puslitsosekhut 2005). Peta permasalahan pembangunan kehutanan di Indonesia dapat dirunut berdasarkan paradigma yang mendasari kebijakan pengelolaan hutan. Lyndayati (2002) membagi periode kebijakan pembangunan kehutanan di Indonesia menjadi dua bagian. Periode pertama, yaitu pada masa awal pembangunanpasca kemerdekaan hingga akhir tahun 1970-an, dengan paradigma State Based Forest Management. Periode kedua dimulai sekitar tahun 1980-an hingga sekarang dengan paradigma Community Based Forest Management (CBFM). Pada periode State Based Forest Management hutan dilihat sebagai sumber ekonomi negara yang identik dengan kayu,
serta pengelola hutan
adalah agen negara (BUMN & Perum) serta perusahaan HPH dan HPHHTI sebagai perpanjangan tangan pemerintah.
Secara politik, hutan Indonesia
diusahakan dan dikelola atas dasar pemberian hak oleh pemerintah kepada lembaga pemerintah dan lembaga swasta, mengingat negara telah menafsirkan kekuasaan atas pengelolaan sumberdaya alam harus oleh negara bukan oleh masyarakat (Awang 2003). Setelah berjalan selama lebih dari dua dasawarsa, hasil evaluasi terhadap kinerja pengelolaan hutan dengan izin konsesi HPH menunjukkan kinerja yang kurang baik (Kartodihardjo 1998). Degradasi hutan di Indonesia dengan laju yang sangat tinggi merupakan bukti nyata dari pengelolaan hutan yang tidak lestari. Data dari Forest Watch Indonesia (2002) menunjukkan bahwa pada tahun 1950-an luas hutan di Indonesia mencapai 84% dari total luas daratan, namun di tahun 1989 luas hutan telah menurun menjadi 60%.
3 *
Data Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa pada periode 19851997 laju deforestasi dan degradasi di Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per tahun. Periode 1997-2000 laju deforestrasi mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu mencapai rata-rata sebesar 2,8 juta hektar dan menurun kembali pada periode 2000-2005 menjadi sebesar 1,08 juta hektar. Sementara itu, data yang dikeluarkan oleh State of the World’s Forests 2007 yang dikeluarkan The UN Food & Agriculture Organization (FAO), menunjukkan angka deforestasi Indonesia pada periode 2000-2005 mencapai 1,8 juta hektar/tahun. Selain dampak deforestrasi dan degradasi sumber daya hutan di Indonesia, kebijakan dengan paradigma State Based Forest Management juga merupakan sebuah tindakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat (Anshari et al. 2005; Lyndayati 2002). Keuntungan dari sumberdaya hutan sebagian besar dinikmati oleh para pengusaha.
Masyarakat sekitar hutan terpinggirkan, padahal bagi
mereka hutan merupakan sumber penghidupan, penyedia bahan pangan, bahan bangunan, kayu bakar, dan sumber penghasilan.
World Research Institute
dalam Lynch & Talbot (1995) melaporkan sekitar 60 juta orang atau sekitar 30% dari total penduduk Indonesia merupakan masyarakat yang hidupnya tergantung pada sumberdaya hutan. Perubahan
paradigma
State
Based
Forest
Management
menjadi
Community Based Forest Management (CBFM) dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam selama ini terbukti gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan CBFM melalui perhutanan sosial menjadi salah satu harapan penting dalam pengelolaan hutan yang berorientasi bukan hanya kepentingan produksi dan pelestarian hutan tetapi juga berpihak pada hak, martabat, dan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan berbasis CBFM di Indonesia telah dilaksanakan selama lebih dari 20 tahun (Lyndayati 2002). Sebuah rentang waktu yang cukup untuk dapat menelaah bagaimana dampak kebijakan tersebut terhadap kondisi hutan Indonesia dan terhadap kesejahteraan masyarakat. Berbagai program kegiatan telah dilakukan dengan beberapa nama atau istilah, misalnya tumpangsari, Pengelolaan
*
Hutan
Bersama
Masyarakat
(PHBM),
hingga
Hutan
Perubahan nama Departemen Kehutanan menjadi Kementerian Kehutanan berdasarkan Peraturan Presiden No.47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara. Nama Departemen Kehutanan dalam disertasi ini tetap digunakan jika berkaitan dengan penyebutan produk peraturan perundangan atau sumber rujukan yang dikeluarkan sebelum Peraturan Presiden No.47/2009 ditetapkan.
4 Kemasyarakatan (HKM). Kegiatan-kegiatan tersebut pada dasarnya bertujuan untuk memberikan hak akses bagi masyarakat untuk mengelola kawasan hutan negara. Bentuk kebijakan terbaru dari Kementerian yang mengatur hak akses masyarakat untuk mengelola hutan negara adalah HTR (Hutan Tanaman Rakyat). Kebijakan ini mulai digulirkan pada tahun 2007. HTR merupakan salah satu program strategis Kementerian Kehutanan dalam upaya peningkatan produksi kayu nasional yang saat ini mengalami kekurangan pasokan. Data dari kegiatan sintesa kebutuhan kayu nasional menunjukkan bahwa permintaan kayu saat ini sebesar 50-60 juta m3/tahun. Pemenuhan kayu secara lestari dari hutan alam dan hutan tanaman yang saat ini ada baru mencapai 25-30 juta m3/tahun. Hal ini menunjukkan adanya praktek pemanenan kayu yang dilakukan secara tidak lestari sebesar 50% dari kebutuhan kayu nasional (CSREF 2005). Jika kondisi ini terus dibiarkan maka kelestarian sumberdaya hutan semakin terancam. Oleh karenanya perlu upaya-upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Kebijakan HTR dimaksudkan sebagai salah satu sumber alternatif
upaya untuk menjawab masalah kekurangan pasokan kayu tersebut. Meskipun program HTR telah dilengkapi dengan kebijakan mengenai akses lahan, akses pasar, dan akses permodalan, namun banyak pihak yang meragukan pelaksanaan program ini (Noordwijk et al. 2007).
Dalam Is HTR a
new paradigm in community based tree planting in Indonesia? Noordwijk et al. (2007) menyatakan bahwa kebijakan HTR pada dasarnya mirip dengan program HTI-plasma
dan
program
HKM
menunjukkan hasil memuaskan.
(Hutan
Kemasyarakatan)
yang
belum
Permasalahan utama yang harus menjadi
perhatian dalam pelaksanaan program HTR adalah: masalah tingginya alokasi anggaran pembangunan HTR, masalah akuntabilitas, dan tingginya potensi konflik lahan. Terkait masalah konflik lahan hasil kajian Contreras-Hermosilla et al. (2006) menunjukkan bahwa 52% kawasan hutan, yang secara konstitusi dinyatakan sebagai milik negara, pada kenyataannya merupakan hutan yang telah dikelola oleh masyarakat secara turun temurun dan telah mereka anggap sebagai hutan hak milik masyarakat atau hak milik adat. Lebih lanjut diungkapkan bahwa baru 10% kawasan hutan negara yang telah selesai ditentukan tata batasnya. Oleh karenanya program HTR diperkirakan akan mendapatkan banyak hambatan dalam pelaksanaannya.
5 Setelah digulirkan selama hampir tiga tahun, pencapaian program pembangunan Hutan Tanaman Rakyat masih rendah. Pada awal pencanangan program, Kementerian Kehutanan dalam hal ini Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan* menetapkan target pembangunan 5.400.000 ha Hutan Tanaman Rakyat (Dephut 2007; Emila & Suwito 2007).
Akan tetapi data Direktorat
Jenderal Bina Usaha Kehutanan pada akhir tahun 2010 menunjukkan bahwa Ijin Usaha HTR baru diterbitkan di 21 kabupaten, dengan total luas 87.299,89 ha atau 1,62% dari target yang ditetapkan.
Beberapa kabupaten yang telah
menerbitkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) HTR antara lain : Aceh Utara I, Mandailing Natal-Sumatera Utara, Sarolangun-Jambi, Ogan Komering Ilir-Sumatera Selatan, Kaur-Bengkulu, Tebo-Jambi, Kotawaringin Barat-Kalimantan Tengah, Gunungkidul-Daerah Istimewa Yogyakarta, Konawe Selatan dan Kolaka-Sulawesi Utara, Halmahera Selatan-Maluku Utara, dan Nabire-Papua. Mengingat program HTR relatif baru, maka data dan informasi hasil penelitian HTR masih sangat terbatas.
Beberapa hasil kajian yang terkait
dengan kebijakan HTR adalah aspek dan prinsip-prinsip dasar kebijakan HTR (Emila & Suwito 2007), efektifitas dan strategi Kebijakan HTR (Nugroho 2009), paradigma kebijakan HTR (Noordwijk et al. 2007), kajian penetapan harga dasar kayu rakyat untuk mendukung program HTR (Irawati et al. 2008) dan strategi pengelolaan HTR di Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi (Masyithah 2009). Oleh karena itu penelitian ini akan memberikan kontribusi bagi ketersediaan data dan informasi terkait kebijakan Hutan Tanaman Rakyat.
1.2
Perumusan Masalah Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat mendapat dukungan kuat dari para
pengambil kebijakan di tingkat pusat.
Menteri Kehutanan dalam beberapa
†
kesempatan menegaskan bahwa program HTR harus berhasil, sehingga segala faktor yang bisa menghambat keberhasilannya harus dapat diatasi. Salah satu masalah yang diprediksikan dapat menghambat program HTR adalah aspek *
Nama Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan menggantikan nama Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 130/M Tahun 2010 tanggal 16 September 2010. Penyebutan Dirjen BPK digunakan jika berkaitan dengan produk perundangan atau sumber rujukan yang dikeluarkan sebelum Kepres ditetapkan. † Dua diantaranya dinyatakan dalam Sambutan Menteri Kehutanan pada dialog Dephut dan CIFOR 7 April 2009 dan Sambutan Menteri Kehutanan pada Dialog dan Lokakarya Pembangunan HTR, Bogor, 26-27 Mei 2009.
6 ketersediaan modal. Untuk itu, Kementerian Kehutanan telah membentuk Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (P2H) yang bertugas antara lain untuk menyalurkan pinjaman modal bagi para petani pemegang izin usaha HTR. Di satu sisi kebijakan HTR mendapat dukungan kuat di tingkat nasional, namun dalam implementasi di lapangan berjalan lambat. Kondisi kontradiksi ini menarik untuk diteliti. Pertanyaan umum yang muncul dari kondisi seperti ini adalah mengapa sebuah program yang mendapat dukungan kuat di tingkat nasional, namun pada tahap implementasi berjalan lambat. Patton dan Savicky (1993) sebagimana dikutip dalam Nugroho (2008) menyatakan kesalahan yang sering terjadi dalam memandang implementasi kebijakan adalah bahwa proses implementasi merupakan masalah manajemen semata. Oleh karena itu Patton dan Savicky sangat menekankan bahwa implementasi merupakan bagian dari proses kebijakan.
Lebih lanjut dinyatakan
bahwa sebuah kebijakan yang didukung oleh otoritas tertinggi sekalipun belum tentu efektif karena bisa jadi birokrasi pelaksana di tingkat bawah (street level bereucrats) tidak mampu ataupun tidak mau melaksanakannya karena kendala di tingkat mereka. Pendapat tersebut sejalan dengan pandangan Sutton (1999) yang menyatakan adanya dikotomi antara proses perumusan kebijakan dengan implementasinya.
Sutton mengungkapkan bahwa implementasi sebuah
kebijakan tidak bisa dilihat secara parsial pada aspek pelaksanaan saja, melainkan harus dikaji secara menyeluruh mulai dari tahap awal perumusan kebijakan. Sutton (1999) dalam “The Policy Process: An Overview” dan IDS (2006) dalam “Understanding Policy Processes” mengajukan bantahan terhadap model linier kebijakan.
Model linier kebijakan merupakan model yang selama ini
menjadi arus utama atau banyak dianut dalam analisis kebijakan. Model linier menekankan
bahwa
penyusunan
kebijakan
merupakan
sebuah
upaya
pemecahan masalah yang bersifat rasional, berimbang, obyektif dan analitik. Model linier menunjukkan bahwa keputusan diambil sebagai hasil sebuah rangkaian tindakan yang berurutan, dimulai dengan identifikasi masalah, pemilihan alternatif solusi terbaik, dan diakhiri dengan penentuan tindakan untuk menyelesaikan permasalahan.
7 Model linier menggunakan asumsi bahwa pembuat keputusan telah menggunakan seluruh informasi yang diperlukan untuk menetapkan keputusan. Oleh karena itu model linier disebut juga sebagai model rasional, artinya pengambil keputusan menetapkan permasalahan secara rasional dan mengambil pilihan terbaik untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dengan demikian pilihan kebijakan yang ditetapkan merupakan solusi terbaik dari berbagai alternatif solusi pemecahan masalah yang tersedia. Inti dari kritik yang dikemukakan oleh Sutton (1999) dan IDS (2006) adalah bahwa asumsi-asumsi yang diperlukan untuk terpenuhinya model linier sulit untuk dipenuhi. Model rasional atau model linier dipandang oleh Sutton (1999) dan IDS (2006) sebagai: (1) sebuah proses murni dari kegiatan administrasi dan birokrasi; (2) fase implementasi sepenuhnya merupakan masalah prosedur teknik; (3) peran para ahli merupakan faktor penting dalam proses pemilihan keputusan yang rasional; dan (4) kepakaran para ilmuwan dinilai bersifat objektif dan independent (bebas nilai).
Model linier juga mengasumsikan adanya
pemisahan yang jelas antara fakta dengan nilai-nilai yang berpengaruh dalam proses perumusan kebijakan. Pendapat Sutton dan IDS tersebut memperkuat pernyataan Juma & Clark (1995) yang menyatakan bahwa jika kebijakan tidak mencapai apa yang diharapkan maka kesalahan senantiasa dialamatkan pada fase implementasi. Faktor penyebabnya bisa karena keterbatasan sumberdaya atau karena kurangnya “political will” atau keengganan untuk melaksanakan kebijakan. Berdasarkan
perdebatan
tersebut
Sutton
(1999)
dan
IDS
menyajikan pandangan lain tentang proses perumusan kebijakan.
(2006) Sebuah
kebijakan dirumuskan melalui mekanisme yang kompleks dan tidak beraturan dengan karakteristik sebagai berikut : (1) proses pembuatan kebijakan perlu difahami sebagai sebuah proses politik; (2) proses pembuatan kebijakan bersifat incremental (bertahap), iterative (berulang), dan experimental (uji coba), serta belajar dari kesalahan. Berdasarkan landasan teori tersebut maka pertanyaan pertama yang diajukan dalam penelitian ini adalah “apakah proses perumusan kebijakan HTR dilakukan dengan mengikuti model linier?” “ataukah sebagai model acak?” sebagaimana argumentasi Sutton (1999) dan IDS (2006). Jika sebuah kebijakan dirumuskan melalui model linier maka kebijakan tersebut telah ditetapkan dengan mempertimbangkan segala faktor kendala dan keterbatasan yang akan dihadapi
8 pada fase pelaksanaanya.
Selain itu model linier dipenuhi ketika pengambil
kebijakan telah mengumpulkan informasi yang memadai untuk menetapkan alternatif pilihan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan.
Beberapa indikasi
mengarah pada dugaan sementara bahwa proses dan asumsi tersebut tidak dipenuhi.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali data dan informasi untuk
mendapatkan jawaban atas hipotesis tersebut. Untuk mendapatkan informasi menyeluruh tentang kinerja kebijakan HTR maka perlu pula dikaji bagaimana kebijakan HTR diimplementasikan di tingkat lapangan. Winter (1990) menyatakan selain proses formulasi kebijakan faktor lain yang perlu dipertimbangkan dari sebuah kebijakan adalah respon pihak pelaksana kebijakan.
Keberhasilan pelaksanaan kebijakan sangat ditentukan
oleh respon dari kelompok target kebijakan . Kelompok sasaran dari kebijakan HTR adalah masyarakat sekitar hutan dan para pemangku kepentingan di daerah. Untuk itu pertanyaan penelitian kedua yang diajukan adalah bagaimana para pihak di daerah merespon kebijakan HTR serta bagaimana hubungan respon tersebut dengan keberhasilan implementasi HTR. Pertanyaan penelitian kedua ini menghasilkan rumusan hipotesis penelitian adanya hubungan antara respon para pemangku kepentingan di daerah dengan tingkat keberhasilan implementasi kebijakan HTR. Quade (1982) menyatakan bahwa tujuan utama analisis kebijakan adalah membantu pembuat keputusan untuk membuat pilihan yang lebih baik. Oleh karena itu, setelah mengkaji tahap proses perumusan kebijakan dan tahap evaluasi terhadap implementasi kebijakan HTR, penelitian ini selanjutnya mempertanyakan
upaya
apa
yang
harus
dilakukan
untuk
mendukung
keberhasilan implementasi kebijakan HTR. Jawaban atas pertanyaan penelitian tersebut dilakukan melalui kegiatan rancang bangun model konseptual kebijakan. 1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk melakukan analisis terhadap
kebijakan Hutan Tanaman Rakyat. Tujuan umum tersebut dijabarkan menjadi tiga tujuan khusus, yaitu: 1. melakukan analisis proses perumusan kebijakan HTR 2. melakukan analisis respon pemangku kepentingan dan analisis implementasi kebijakan HTR di daerah 3. melakukan rancang bangun model konseptual kebijakan Hutan Tanaman Rakyat.
9 1.4
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Hutan Tanaman Rakyat yang dimaksud dalam kajian ini merujuk pada
Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan jo PP No.23 Tahun 2008 dan seluruh aturan di bawahnya yang menjadi landasan dalam pelaksanaan kegiatan HTR di lapangan. Definisi HTR menurut peraturan perundangan adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. Lingkup kajian meliputi penelitian kebijakan berupa analisa proses perumusan kebijakan, analisis respon para pihak di daerah terhadap kebijakan HTR, evaluasi dari implementasi program HTR di lapangan dan perumusan model konseptual kebijakan HTR. Penelitian proses perumusan kebijakan dibatasi pada analisis terhadap latar belakang ide dan gagasan digulirkannya kebijakan HTR, aktor yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan HTR dan kondisi yang mendukung untuk diwujudkannya HTR sebagai kebijakan nasional. Sementara itu kegiatan respon dan implementasi kebijakan HTR dibatasi dengan mengambil sampel lokasi penelitian di tiga provinsi, yaitu Provinsi Riau, Kalimantan Selatan, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Perumusan strategi untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan HTR dibatasi pada kegiatan rancang bangun model konseptual kebijakan. Model ini merupakan rekomendasi bagi para pelaksana kegiatan HTR.
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat praktis dari hasil penelitian ini adalah untuk memberikan masukan bagi para pengambil keputusan baik di tingkat pusat maupun di daerah dalam pelaksanaan kebijakan Hutan Tanaman Rakyat. Hasil penelitian ini secara akademis dapat menjadi rujukan dalam melakukan penelitian kebijakan, khususnya dalam aspek proses perumusan kebijakan dan respon para pihak yang terkait dengan implementasi sebuah kebijakan.
10 Model konseptual kebijakan dapat menjadi justifikasi dalam penggunaan konsep pembangunan hutan tanaman oleh masyarakat sebagai salah satu inovasi dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan hutan yang terdegradasi dan dalam rangka meningkatkan produksi kayu. Di samping itu kegiatan penelitian ini juga dapat dijadikan bahan rujukan bagi mereka yang sedang atau akan meneliti topik yang berkaitan dengan analisa proses kebijakan, pengelolaan hutan berbasis masyarakat, dan pengembangan ilmu permodelan.
1.6 Kebaruan Kebaruan dari penelitian mengenai kebijakan Hutan Tanaman Rakyat ini adalah : 1) Penerapan metodologi penelitian proses perumusan kebijakan. . 2) Pengembangan kebijakan pengelolaan HTR didasarkan pada pemodelan pengelolaan
melalui
pendekatan
soft
system
methodology
yang
mengintegrasikan aspek ekologi, sosial dan ekonomi, yang dilakukan melalui pendekatan sistem 3) Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kebaruan berupa perwujudan model pengelolaan HTR dalam hal: a) Model Manajemen yang mengintegrasikan rencana pembangunan daerah dan kebijakan bidang kehutanan; b) Model Lembaga HTR; dan c) Model Pendanaan HTR.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Definisi Hutan Tanaman Rakyat Hutan
Tanaman
Rakyat
merupakan
salah
satu
bentuk
kebijakan
Kementerian Kehutanan untuk memberikan hak akses bagi masyarakat dalam mengelola hutan negara.
Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
berdasarkan pada Peraturan Pemerintah No 6/2007 jo PP No.3/2008. Pasal 37 pada PP 6/2007 berbunyi ”Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf d dapat dilakukan pada : a. HTI (Hutan Tanaman Industri); b. HTR (Hutan Tanaman Rakyat); atau c. HTHR (Hutan Tanaman Hasil Reboisasi)”. Definisi Hutan Tanaman Rakyat menurut Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya hutan (Bab 1 pasal 1 ayat 19). Hutan tanaman secara umum didefinisikan sebagai tegakan hutan yang dibangun melalui kegiatan penanaman dalam rangka proses penghijauan atau penghutanan kembali (FAO 2001; Carley & Holmgren 2003; Farrelly 2007; Schirmer 2007). Evans (1992) mendefinisikan hutan tanaman sebagai hutan yang dibangun dan dikelola melalui kegiatan permudaan buatan atau penaburan/penanaman bibit pohon dengan sengaja (artificial forest atau man-made forest).
Hutan
tanaman merupakan tegakan hutan dan pohon berkayu jenis tertentu yang ditanam secara khusus untuk keperluan penyediaan kayu bakar dan bahan baku untuk industri pengolahan kayu, atau menyediakan jasa untuk mencegah erosi, konservasi tanah dan sebagainya.
Hutan tanaman merupakan sumber daya
yang tumbuh (growing resources) yang tidak dapat dibiarkan tumbuh tanpa memeliharanya. Pemeliharaan yang sesuai dan pada saat yang tepat, dapat mengarahkan pertumbuhan tegakan agar mendapatkan hasil akhir yang diinginkan, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya. Karenanya pertimbangan dalam pemilihan jenis pohon yang ditanam umumnya terbatas dan memiliki karakteristik khas, seperti cepat tumbuh, persyaratan pengelolaan yang tidak rumit dan produktivitas yang tinggi.
12
Hutan tanaman telah dijadikan cara untuk menghasilkan kayu bulat sekaligus mengurangi deforestrasi.
FAO (2001) menyatakan bahwa 48%
pembangunan hutan tanaman dilakukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku bagi industri pengolahan kayu (industri pulp & paper dan industri penggergajian), 26% untuk keperluan non industri (bangunan rumah tangga, kayu bakar, konservasi air dan tanah, dan lainnya). Pengembangan hutan tanaman di Indonesia pada awalnya merupakan bagian kegiatan penghijauan dan rehabilitasi dengan tujuan utama memperbaiki keadaan areal kritis dalam daerah-daerah sumber air, serta menggunakan jenis cepat tumbuh seperti kalianda (Caliandra spp.), sengon (Paraserianthes falcataria), Eukaliptus (Eucalyptus deglupta; E.uropylla), akasia (Acacia spp), dan lainnya. Seiring dengan semakin menurunnya kemampuan hutan alam untuk memasok kebutuhan bahan baku untuk industri pengolahan kayu, maka pembangunan hutan tanaman semakin tumbuh dan berkembang, khususnya guna memasok kebutuhan industri pulp (Kartodihardjo & Supriono 2000; FAO 2001, Ngadiono 2004).
2.2 Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang mulai digulirkan tahun 2007 merupakan produk kebijakan Kementerian Kehutanan untuk memberikan akses kepada masyarakat dalam mengelola hutan produksi (milik negara). Pemerintah memberikan pengakuan kepada masyarakat yang menjadi peserta program HTR dengan aspek legal berupa Surat Keterangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK HTR). Dalam tataran pembangunan nasional, kebijakan ini terkait dengan tiga agenda strategi ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009) yaitu agenda pertumbuhan ekonomi (pro-growth), penyediaan lapangan kerja (pro-job), dan pengentasan kemiskinan (pro-poor). Hutan Tanaman Rakyat merupakan bentuk kebijakan operasional dari revitalisasi industri kehutanan.
HTR dimaksudkan
untuk menambah sumber pemasok bahan baku kayu bagi industri kehutanan. Selain itu HTR juga ditujukan sebagai upaya pembangunan kehutanan yang berpihak pada masyarakat, dengan memberikan peluang usaha dan bekerja sebagai pengelola sumber daya hutan (Emila & Suwito 2007) Kawasan hutan yang dapat menjadi sasaran lokasi HTR adalah hutan produksi yang tidak produktif, tidak dibebani izin/hak lain, dan letaknya
13
diutamakan
dekat
dengan
industri
hasil
hutan
serta
telah
ditetapkan
pencadangannya sebagai lokasi HTR oleh Menteri Kehutanan. Luas lahan hutan produksi yang dicadangkan untuk HTR adalah 5,4 juta ha dengan kategori lahan hutan bekas tebangan (LOA=logged over area) dan lahan hutan terdegradasi (degraded forest land).
Lokasi HTR ditetapkan oleh KementerianKehutanan
dengan proses konsultasi bersama pemerintah daerah. Tabel 1 menyajikan data rencana pembangunan HTR melalui pencadangan alokasi lahan hutan untuk kegiatan HTR periode 2007 – 2010 yang bersumber dari Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan. Target penanaman HTR ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan mulai tahun 2007 seluas 200.000 ha setiap tahun dan diharapkan pada tahun 2016 seluruh areal pencadangan HTR dapat tertanami Tabel 1 Alokasi lahan untuk HTR periode 2007 – 2010 No
Tahun
Luas Lahan
Jumlah Kepala Keluarga
(Ha)
(KK)
1.
2007
1.400.000
93.333
2.
2008
1.400.000
93.333
3.
2009
1.400.000
93.333
4.
2010
1.200.000
80.000
Total
5.400.000
360.000
(sumber : Emila & Suwito 2007)
Untuk mengantisipasi masalah permodalan dalam pembangunan HTR, masyarakat diberi kesempatan untuk memperoleh pinjaman modal kepada Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan. Bantuan modal yang diberikan kepada masyarakat sebesar Rp 8 juta per ha. Jumlah kepala Keluarga yang akan terlibat dalam program ini diperkirakan sebanyak 360.000 KK (Dephut 2007). Ada 3 pola yang dikembangkan dalam pelaksanaan program HTR, yaitu; pola kemitraan, pola mandiri, dan pola developer (Permenhut P.23/2007 pasal 5). 1. HTR Pola Mandiri dilakukan berdasarkan inisiatif masyarakat setempat dengan membentuk kelompok kemudian mengajukan izin.
Pemerintah
kemudian mengalokasikan areal dan SK IUPHHK-HTR untuk setiap individu dalam kelompok dan masing-masing ketua kelompok bertanggung jawab atas pelaksanaan HTR, pengajuan kredit, pasar, dan pendampingan dari pemerintah/Pemda.
14
Proses penyelenggaraan kegiatan HTR dengan pola mandiri, melalui 6 ketentuan sebagai berikut : 1) Pencadangan lokasi HTR oleh Menteri Kehutanan; 2) Penerbitan IUPHHK-HTR kepada perorangan atau koperasi, perorangan
diutamakan
membentuk
kelompok
untuk
memudahkan
pelayanan dalam proses permohonan izin dan pinjaman biaya pembangunan HTR; 3) Ketua kelompok mengkoordinir pelaksanaan HTR, pengajuan dan pengembalian pinjaman, pemasaran hasil hutan tanaman rakyat serta kegiatan lain termasuk pendampingan anggota kelompok dari Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Lembaga Swadaya Masyarakat; 4) Pembangunan HTR dilaksanakan sendiri oleh pemegang Izin (perorangan atau koperasi) dengan biaya sendiri baik yang berasal dari modal sendiri atau dana pinjaman; 5) Akad kredit untuk modal yang berasal dari pinjaman dilakukan atas nama perorangan atau koperasi; 6) Petani mengangsur pokok dan bunga sampai dengan lunas setelah panen. 2. HTR Pola Kemitraan: Masyarakat setempat membentuk kelompok diajukan oleh Bupati kepada Menteri Kehutanan. Pemerintah kemudian menerbitkan SK-IUPHHK-HTR dan menetapkan mitra.
Mitra bertanggung jawab atas
pendampingan, input/modal, pelatihan dan pasar. Beberapa tahapan yang dilalui dalam pelaksanaan HTR pola kemitraan adalah sebagai berikut : 1) Pencadangan lokasi HTR oleh Menteri Kehutanan; 2) Penerbitan IUPHHK-HTR kepada perorangan atau koperasi; 3) Penentuan mitra (BUMN, BUMS, BUMD, atau industri) dengan difasilitasi oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; 4) Pembuatan perjanjian kerja antara pemegang IUPHHK-HTR dengan mitra difasilitasi oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah; 5) Pembangunan HTR dilaksanakan oleh pemegang izin dengan biaya dari mitra; 6) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi kegiatan kemitraan HTR agar terselenggara kemitraan yang menguntungkan kedua belah pihak; 7) Perusahaan mitra bertanggung jawab atas saprodi, pelatihan, pendampingan dan pemasaran; 8) Perjanjian kerjasama kemitraan harus fleksibel agar bisa mengakomodir perubahan. 3. HTR pola developer; BUMN atau BUMS sebagai developer membangun hutan tanaman rakyat dan selanjutnya diserahkan oleh pemerintah kepada masyarakat sebagai pemegang IUPHHK-HTR yang selanjutnya biaya pembangunnannya diperhitungkan sebagai pinjaman pemegang IUPHHKHTR dan dikembalikan secara bertahap sesuai akad kredit.
15
Beberapa ketentuan dalam pembangunan HTR pola developer adalah : 1) Pencadangan lokasi HTR oleh Menteri Kehutanan; 2) Penerbitan IUPHHKHTR kepada perorangan atau koperasi; 3) Penunjukkan developer oleh pemegang izin dengan difasilitasi oleh Pemerintah; 4) Permohonan kredit kepada BLU Pusat P2H (kesepakatan dengan pemegang izin dan diketahui oleh Bupati); 5) Akad kredit dengan developer; 6) Pembangunan HTR oleh developer (sampai dengan akhir masa pembangunan sesuai daur atau hanya sampai tahun ketiga); 7) Penilaian tanaman dalam rangka konversi oleh tim penilai independen satu tahun sebelum pengalihan akad kredit; 8) Pengalihan akad kredit dari developer kepada petani pemegang izin difasilitasi oleh Pemerintah; 9) Petani mengangsur pokok dan bunga sampai dengan lunas setelah panen; 10) Petani melanjutkan sendiri pembangunan HTR pada rotasi II dan seterusnya.
2.3
Peraturan Perundangan Bidang Hutan Tanaman Rakyat Nugroho (2009) menyatakan bahwa paling tidak terdapat 6 peraturan dan
perundang-undangan yang secara langsung terkait dengan pembangunan HTR, yaitu: 1) Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 2) Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan jo. Nomor 3 Tahun 2008; 3) Permenhut No P. 23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan IUPHHK pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman diubah dengan Permenhut No. P.5/Menhut-II/2008; 4) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.62/MenhutII/2008 tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat (perubahan terakhir dari Permenhut P.9/Menhut-II/2007 dan P.41/Menhut-II/2007); 5) Permenhut No. P.9/Menhut-II/2008 tentang Persyaratan Kelompok Tani untuk Mendapatkan Pinjaman
Dana
Bergulir
Pembangunan
HTR;
dan
6)
Permenhut
No.
P.16/Menhut-II/2008 tentang Kriteria Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Koperasi
yang
dapat
memperoleh
fasilitas
kredit/pembiayaan
dengan
penjaminan Peraturan perundangan tersebut pada umumnya menekankan kepada pengaturan mekanisme pencadangan areal, permohonan IUPHHK-HTR, hak dan kewajiban, dan sanksi-sanksi seperti diuraikan dalam bagian selanjutnya dari sub bab berikut ini.
16
2.3.1. Mekanisme pencadangan areal HTR Program HTR ditempuh melalui proses awal berupa pencadangan lokasi kegiatan. Mekanisme pencadangan lokasi diatur dalam Permenhut P.05/2008 yang merupakan perubahan atas Permenhut Nomor P.23/2007. Mekanisme pencadangan areal HTR dilakukan dengan tahapan sebagaimana disajikan pada Gambar 1 dan diuraikan pada Tabel 2.
Gambar 1 Mekanisme pencadangan areal HTR (P.05/2008) Tabel 2. Uraian mekanisme pencadangan areal HTR No. Uraian 1 dan 1A
Kepala Badan Planologi atas nama Menteri kehutanan menyiapkan dan menyampaikan peta arahan indikatif lokasi HTR kepada Bupati dengan tembusan kepada Dirjen BPK, Sekjen, Gubernur, Kadishut Provinsi, Kadishut Kabupaten/Kota, dan kepala BPKH (Balai Pemantapan Kawasan Hutan)
2
Kepala BPKH memberikan asistensi teknis perpetaan kepada Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota berdasarkan petunjuk teknis yang ditetapkan oleh Kepala Badan Planologi
3
Kadishut Kabupaten/Kota menyampaikan pertimbangan teknis kawasan areal tumpang tindih perizinan, tanaman reboisasi dan rehabilitasi, dan program pembangunan daerah Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota, dilampiri peta alokasi HTR skala 1 : 50.000
4 dan 4A
Berdasarkan pertimbangan teknis Kadishut, Bupati/Walikota menyampaikan rencana pembangunan HTR kepada Menhut dilampiri peta usulan lokasi HTR skala 1 : 50.000 dtembuskan kepada Dirjen BPK dan Kepala Badan Planologi
5
Kepala Badan Planologi melakukan verifikasi peta usulan lokasi HTR yang disampaikan oleh Bupati/Walikota dan menyiapkan konsep peta pencadangan areal HTR , hasilnya disampaikan kepada Dirjen BPK
6
Dirjen BPK melakukan verifikasi rencana pembangunan HTR yang disampaikan oleh Bupati/Walikota dari aspek teknis dan menyiapkan konsep Keputusan Menhut tentang alokasi areal HTR dilampiri konsep peta pencadangan areal
7 dan 7A
Menhut menerbitkan SK pencadangan areal, disampaikan kepada Bupati/Walikota ditembuskan kepada Gubernur. Selanjutnya Bupati/walikota melakukan sosialisasi ke desa-desa
17
Proses
pencadangan
(Nugroho 2009).
areal
HTR
melibatkan
9
lembaga/organisasi
Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa tahapan yang
dilakukan terdiri dari 7 langkah. Sementara itu, terhadap mekanisme yang sama Nugroho (2009) melakukan pendekatan berbeda sehingga menyatakan bahwa langkah yang harus ditempuh dalam proses pencadangan areal HTR ini terdiri dari 29 tahapan, sebagaimana digambarkan secara rinci dalam Lampiran 1. Analisis Nugroho (2009) terhadap proses mekanisme pencadangan areal HTR merinci secara detail tahapan kegiatan dan memperhitungkan proses tembusan surat sebagai aktivitas yang perlu dipertimbangkan.
Kegiatan tersebut pada
kenyataannya menjadi panjang dan membutuhkan waktu yang lama. Proses ini menjadi salah satu titik simpul penyebab keterlambatan proses pelaksanaan kegiatan HTR di lapangan (Gumilar 2010)
2.3.2
Permohonan IUPHHK HTR Tata cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu HTR
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.23/Menhut-II/2007 yang kemudian diperbaharui dengan Permenhut No. P.5 Menhut-II/2008. Mekanisme perizinan HTR melalui tahapan administrasi seperti disajikan pada Gambar 2, dan Tabel 3 menyajikan keterangan proses permohonan IUPHHK-HTR
Gambar 2 Tata cara permohonan IUPHHK-HTR berdasarkan Permenhut P.23/Menhut-II/2007 jo. Permenhut P 5/Menhut-II/2008
18
Tabel 3 Tata cara permohonan IUPHHK HTR Kegiatan
Uraian
1
Pemohon (perorangan atau kelompok atau koperasi) mengajukan permohonan IUPHHK HTR kepada Bupati melalui kepala Desa, pada areal yang telah dialokasikan dan ditetapkan oleh Menhut untuk pembangunan HTR
2
Berdasarkan permohonan IUPHHK-HTR Kepala Desa melakukan verifikasi keabsahan persyaratan permohonan dan membuat rekomendasi kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada camat dan kepala Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi (BP2HP)
3
Kepala BP2HP berdasarkan tembusan dari kepala Desa melakukan verifikasi administratif dan sketsa/peta areal yang dimohon dengan berkoordinasi dengan BPKH (Balai Pemantapan Kawasan Hutan) dan hasilnya disampaikan kepada Bupati sebagai pertimbangan teknis
4
Berdasarakan rekomendasi Kepala Desa dan pertimbangan teknis dari Kepala BP2HP Bupati/Walikota atas nama Menteri Kehutanan menerbitkan Keputusan IUPHHK HTR dilampiri peta areal kerja skala 1:50.000 kepada pemohon dengan tembusan kepada Menhut, Dirjen BPK, Kepala Baplan dan Gubernur
Analisis yang dilakukan oleh Nugroho (2009) terhadap proses tersebut memperlihatkan bahwa untuk permohonan IUPHHK-HTR melibatkan 10 lembaga/organisasi kehutanan dan non-kehutanan dengan 29 langkah/kegiatan yang harus ditempuh. Gambaran detail tentang hasil analisis tersebut disajikan pada Lampiran 2. Serupa dengan kegiatan pencadangan lahan HTR, proses pengajuan IUPHHK-HTR pun dinilai rumit. Oleh karenanya aspek tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Kementerian Kehutanan untuk melakukan penyederhanaan birokrasi perizinan (Gumilar 2010) 2.3.3
Hak, kewajiban dan sanksi peserta HTR Hak pemegang IUPHHK-HTR sebagaimana diatur dalam Permenhut
P.23/Menhut-II/2007 jo. P.5/Menhut-II/2008 pasal 19 terdiri dari 4 hal, yaitu : 1) dapat melakukan kegiatan penanaman hutan di areal hutan produksi sesuai izin, 2)
mendapatkan
kemudahan
fasilitas
pendanaan
untuk
pembiayaan
pembangunan HTR, 3) mendapatkan bimbingan dan penyuluhan teknis, serta 4) mendapatkan peluang ke pemasaran hasil hutan. Sementara itu kewajiban pemegang IUPHHK-HTR diuraikan dalam Permenhut tersebut pada pasal 20.
Pada dasarnya terdapat 2 kewajiban
19
pemegang yang dicantumkan dalam pasal tersebut, yaitu : 1) pemegang IUPHHK-HTR wajib menyusun RKU IUPHHK-HTR dan RKT yang dapat dilaksanakan oleh UPT, konsultan, atau LSM dengan biaya yang dibebankan kepada pemerintah; 2) dalam hal pemegang IUPHHK HTR-meminjam dana pembangunan HTR kepada BLU maka berkewajiban untuk melunasi pinjaman tersebut. Selain kewajiban yang tercantum dalam Permenhut P.23/2007, pemegang IUPHHK-HTR juga dikenai kewajiban sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 jo PP 23/2008 pasal 75 (Nugroho 2009). Terdapat 9 kewajiban yang harus dipatuhi pemegang IUPHHK-HTR, yaitu : 1) melaksanakan penatausahaan hasil hutan; 2) melakukan pengukuran atau pengujian hasil hutan; 3) melaksanakan sistem silvikultur sesuai lokasi dan jenis tanaman yang dikembangkan; 4) menyediakan dan memasok bahan baku kayu kepada industri hasil hutan; 5) melakukan penanaman paling rendah 50% (lima puluh perseratus) dari luas areal tanaman, bagi pemegang IUPHHK pada HTI dalam hutan tanaman berdasarkan daur dalam waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak diberikannya izin; 6) menyusun rencana kerja usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (RKUPHHK) jangka panjang untuk seluruh areal kerja paling lambat 1 (satu) tahun setelah izin diberikan untuk diajukan kepada bupati atau pejabat yang ditunjuk guna mendapatkan persetujuan; 7) menyusun rencana kerja tahunan (RKT) diajukan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum RKT tahun berjalan, 8) melaksanakan RKT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b yang menjadi wewenang dan tanggung jawabnya bila telah memenuhi kriteria dan indikator yang ditetapkan oleh Menteri, tanpa memerlukan pengesahan dari pejabat yang berwenang (self approval; 9) menyampaikan laporan kinerja secara periodik kepada Menteri. Jika pemegang IUPHHK-HTR tidak dapat melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan diatas, maka terdapat sanksi yang dapat diterapkan. Ketentuan mengenai sanksi - sanksi yang dapat diberlakukan kepada pemegang IUPHHKHTR dan jenis sanksinya disajikan pada Tabel 4.
20
Tabel 4. Ketentuan mengenai sanksi bagi pemegang IUPHHK-HTR Jenis sanksi Penghentian sementara pelayanan administrasi
Kewajiban yang dilanggar
Keterangan
Menyusun rencana kerja untuk seluruh areal kerja sesuai jangka waktu berlakunya izin berdasarkan rencana pengelolaan hutan yang disusun oleh KPH Melaksanakan perlindungan hutan di areal kerjanya
PP 6/2007 Pasal 71 (a)
Melaksanakan perlindungan hutan di areal kerjanya
Pasal 71 (d)
Menyusun rencana kerja usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (RKUPHHK) jangka panjang untuk seluruh areal kerja paling lambat 1 (satu) tahun setelah izin diberikan untuk diajukan kepada bupati atau pejabat yang ditunjuk guna mendapatkan persetujuan
Pasal 75 (a)
Penghentian sementara kegiatan
Menggunakan peralatan pemanfaatan hasil hutan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku
PP 6/2007 Ps 71 (h)
Denda sebesar 15x PSDH
Menebang kayu untuk pembuatan koridor sebelum ada izin atau tidak sesuai dengan izin pembuatan koridor
PP 6/2007 Ps 75 (5 h)
Pengurangan jatah produksi
Menyusun rencana kerja tahunan (RKT) diajukan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum RKT tahun berjalan
PP 6/2007 Ps 75 (3 b)
Pencabutan izin
Izin pemanfaatan hutan dipindahtangankan tanpa mendapat persetujuan tertulis dari pemberi izin
PP 6/2007 Ps 20 (1)
Areal izin pemanfaatan hutan dijadikan jaminan, agunan, atau dijaminkan kepada pihak lain
Ps 20 (2)
Tidak melaksanakan kegiatan nyata di lapangan untuk paling lambat 1 (satu) tahun untuk IUPHHK dalam hutan alam, IUPHHK restorasi ekosistem dalam hutan alam maupun hutan tanaman
Ps 71 (b angka 3)
Tidak membayar iuran atau dana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
Ps 71 (i))
Meninggalkan areal kerja
Ps 75 (5b)
Melanggar ketentuan dimaksud dalam Pasal 78
pidana
sebagaimana
UU 41 1999
Dinyatakan pailit oleh pengadilan negeri Sumber : Nugroho (2009)
Berdasarkan uraian pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa sanksi yang dikenakan bagi pemegang IUPHHK HTR merujuk pada aturan setingkat Peraturan Pemerintah, yaitu PP 6/2007 jo PP 23/2008.
Peraturan Menteri
Kehutanan yang khusus mengatur HTR yaitu Permenhut P.23/Menhut-II/2007 jo P.05/2008 tidak secara implisit menyatakan ketentuan mengenai sanksi. Pasal
21
23 dan 24 pada Permenhut tentang HTR mengatur mengenai hapusnya Izin Usaha HTR.
Izin usaha HTR hapus karena beberapa sebab, yaitu :
1) dikembalikan oleh pemegang izin; b) dicabut oleh pemberi izin; c) berakhirnya masa berlaku izin, dan d) meninggalnya pemegang izin HTR perorangan.
2.4
Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan merupakan model pembangunan yang
berusaha mengintegrasikan tiga aspek yakni pertumbuhan ekonomi, kelestarian lingkungan dan kesejahteraan sosial.
Model pembangunan ini menjadi acuan
untuk penyusunan model konseptual kebijakan Hutan Tanaman Rakyat. Adham (2010) menyatakan bahwa kegagalan program pembangunan berkelanjutan di Indonesia disebabkan karena kurangnya integrasi dari ketiga aspek tersebut. Aspek ekonomi seringkali lebih mendominasi sementara aspek lingkungan dan sosial kemasyarakatan tidak jarang terabaikan. Pembangunan HTR diarahkan untuk dapat menyeimbangkan baik aspek ekonomi melalui pertumbuhan produktivitas lahan hutan, aspek ekologi lingkungan melalui terpeliharanya kondisi lahan hutan, maupun aspek sosial kemasyarakatan melalui pelibatan masyarakat sekitar hutan. Konsepsi tentang pembangunan berkelanjutan muncul sebagai perwujudan dari keprihatinan masyarakat dunia terhadap aktifitas manusia yang berdampak pada lingkungan. Keprihatinan tersebut berkembang menjadi kesepakatan politik internasional untuk mengarahkan pembangunan menjadi pembangunan yang berkelanjutan.
Definisi pembangunan berkelanjutan untuk pertama kalinya
didiskusikan dalam World Conservation Strategy (IUCN 1980). Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang mempertimbangkan faktor sosial, ekologi dan ekonomi, basis sumber daya biotik dan abiotik, keuntungan dan kerugian tindakan yang akan dilakukan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Selanjutnya berkembang definisi pembangunan berkelanjutan yang lebih luas, WCED (1987) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai kemampuan
manusia
yang
memastikan
bahwa
pemenuhan
kebutuhan
masyarakat generasi sekarang dapat dipenuhi tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Barbier (1987) menekankan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan yang diaplikasikan di negara sedang berkembang seharusnya tidak secara
22
langsung terkait dengan pertumbuhan agregat ekonomi nasional, tetapi lebih diarahkan secara langsung untuk meningkatkan standar hidup penduduk miskin di akar rumput yang dapat diukur dengan pemenuhan kebutuhan pangan, peningkatan pendapatan, penyediaan akses terhadap pendidikan, kesehatan, sanitasi dan suplai air bersih. Goodland
&
Ledoc
(1987)
mendefinisikan
konsep
pembangunan
berkelanjutan sebagai pembangunan atau transformasi struktur ekonomi dan pola sosial yang mengoptimalkan manfaat ekonomi dan sosial bagi generasi sekarang tanpa mengurangi potensi manfaat serupa untuk generasi yang akan datang. Tujuan utama dari pembangunan berkelanjutan adalah untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang terdistribusi secara adil dan dapat dipertahankan secara berkelanjutan untuk beberapa generasi mendatang. Sejak sekitar tahun 1990, perubahan kondisi objektif ekosistem global, seperti pemanasan iklim global, penipisan lapisan ozon, kerusakan sumber daya terbarukan
dan
kerusakan
komponen
lingkungan
lainnya
menyebabkan
masyarakat dunia semakin yakin untuk mengarahkan kegiatan ekonomi global menuju ke arah pembangunan berkelanjutan.
Isu lingkungan hidup dan
pembangunan diangkat pada KTT Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992 (UNCED 1992). Kesepakatan
internasional
untuk
mempromosikan
pembangunan
berkelanjutan tertuang dalam Agenda 21 yang berisikan kesepakatan dan program kerja global yang intinya menyepakati bahwa pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan lingkungan itu sendiri. Partisipasi aktif dari seluruh pihak dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu kunci keberhasilan dari pembangunan.
Evaluasi terhadap
pelaksanaan Agenda 21 dilakukan pada pertemuan dunia tentang pembangunan berkelanjutan diselenggarakan
(World di
Summit
Johannesberg
on
Sustainable
pada
tahun
Development)
2002.
yang
Pertemuan
ini
menghasilkan tiga dokumen penting, yaitu: 1) Deklarasi Johannesberg untuk pembangunan berkelanjutan, yang memuat tantangan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan dan komitmen dunia internasional untuk menghadapinya. 2) Rencana implementasi (Plan of Implementation), yang memuat upaya-upaya yang harus dilakukan oleh masing-masing negara berdasarkan prinsip bahwa
23
setiap negara memiliki tanggung jawab yang sama dengan porsi yang berbeda. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan dokumen acuan untuk rencana implementasi. 3) Dokumen kerjasama, yang dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan berkelanjutan merata secara internasional melalui dukungan negara maju dan lembaga internasional. Prinsip keberkelanjutan menurut Schleicher-Tappeser et al. (1997) terdiri dari 3 dimensi, yaitu: 1) Dimensi pembangunan, yang mencakup tiga hal, yaitu: a) menghargai integritas ekologi dan warisan budaya lingkungan manusia (dimensi lingkungan),
b)
pemenuhan
kebutuhan
manusia
melalui
efisiensi
pemanfaatan sumber daya (dimensi ekonomi), dan c) konservasi dan pengembangan manusia dan potensi sosial (dimensi sosial budaya). 2) Dimensi keadilan, yang mencakup: a) kesetaraan sosial dan gender (kesetaraan antar manusia), b) kesetaraan antar wilayah dan negara (kesetaraan spasial), dan c) kesetaraan antar generasi sekarang dan yang akan datang. 3) Prinsip-prinsip sistemik, yang mencakup keanekaragaman, subsidiaritas, kemitraan dan partisipasi. Konsep keberlanjutan terbaru dinyatakan dalam Comhar (2007) yang menekankan
upaya
implementasi
keberlanjutan
pembangunan
dengan
memperhatikan tujuh tema, yaitu: 1)
Kepuasan pemenuhan kebutuhan manusia dengan efisiensi penggunaan sumber daya
2)
Keadilan antar generasi
3)
Menghargai integritas ekologi dan keanekaragaman hayati
4)
Keadilan antar negara dan daerah
5)
Keadilan sosial
6)
Menghormati warisan dan keanekaragaman budaya
7)
Pengambilan keputusan yang baik Konsepsi pembangunan berkelanjutan Comhar pada dasarnya melengkapi
model
pembangunan
berkelanjutan
yang
telah
ada
sebelumnya,
yaitu
mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi, dan sosial. Prinsip penting yang dikembangkan Comhar adalah adanya aspek pengambilan keputusan yang baik. Konsep tersebut sangat relevan dengan model pembangunan HTR, karena
24
model HTR terkait dengan pengambilan keputusan di tingkat pemerintah sebagai aktor utama dalam penentuan kebijakan publik. 2.5
Kebijakan publik Kebijakan publik yang dalam kepustakaan internasional disebut public
policy adalah peraturan yang dibuat untuk mengatur kehidupan bersama dalam suatu wilayah negara dan bersifat mengikat. Sebuah kehidupan bersama harus diatur dengan tujuan supaya satu dengan lainnya tidak saling merugikan (Nugroho 2008). Nugroho (2008) telah menginventarisir definisi kebijakan publik, dan mendapatkan 12 definisi tentang kebijakan publik sebagaimana dicantumkan pada Tabel 5. Tabel 5 Definisi kebijakan publik No
Sumber
Definisi
1.
James Anderson (2004)
Tindakan beraturan/sistematis yang dilakukan oleh pelaku kebijakan dalam rangka menyelesaikan suatu permasalahan atau kepentingan
2.
Steven AP (2003) James Lester & Robert Steward (2000,18)
Tindakan pemerintah untuk menyelesaikan suatu masalah
3.
4. 5.
Austin Ranney (2000) www.cdc.gov
6.
Lib.ucr.edu
7.
Thomas R Dye (1995,2) Willian Jenkins (1978)
8. 9.
Harold Laswell & Abraham Kaplan (1970)
10.
David Easton (1965) Carl I Friederick (1963)
11.
12.
Michael Howlett & M Rammesh (1957) Sumber : Nugroho (2008)
Serangkaian proses atau pola aktivitas pemerintah atau keputusan yang dirancang untuk memperbaiki permasalahan publik Serangkaian tindakan atau pernyataan tentang suatu tujuan Sejumlah tindakan atau aturan yang mengatur tindakan yang dihasilkan dari pemerintah Proses menuju tercapainya tujuan politik pemerintahan Segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah Keputusan yang diambil oleh pemerintah berupa sejumlah cara atau tindakan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu Kebijakan adalah suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu, dan praktik-praktik tertentu akibat dari aktivitas pemerintah Serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu Fenomena kompleks yang terdiri dari sejumlah keputusan yang dibuat oleh sejumlah individu atau organisasi
25
Definisi tentang kebijakan publik sangat beragam dan terdapat banyak ahli yang
merumuskannya
sesuai
dengan
sudut
pandang
masing-masing.
Keseluruhan definisi yang dikemukakan para ahli tersebut dapat melengkapi satu sama lain. Namun demikian, pengertian kebijakan publik yang sesuai dengan kondisi politik dan pemerintahan di Indonesia dapat dilihat dari definisi yang disampaikan oleh Nugroho (2008).
Kebijakan publik adalah keputusan yang
dibuat oleh pemerintah sebagai strategi untuk merelaisasikan tujuan. Dengan demikian kebijakan publik adalah fakta strategis daripada fakta politis ataupun teknis. Sebagai sebuah strategi, dalam kebijakan publik sudah terangkum preferensi politis dari para aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, khususnya pada proses perumusan. Sebagai sebuah strategi, kebijakan publik tidak saja bersifat positif, namun juga negatif, dalam arti pilihan keputusan selalu bersifat menerima salah satu dan menolak yang lain. Meskipun terdapat ruang bagi win-win dan sebuah tuntutan dapat diakomodasi, pada akhirnya ruang bagi win-win sangat terbatas sehingga kebijakan publik lebih banyak pada ranah zero sum game, yaitu menerima alternatif yang satu dan menolak alternatif yang lainnya (Nugroho, 2008). Pendapat ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Sutton (1999) dan IDS (2006) bahwa proses perumusan kebijakan publik terkait dengan pertarungan argumentasi diantara para aktor yang memiliki kepentingan tertentu.
2.6
Analisis Kebijakan dan Riset Kebijakan Analisis kebijakan terkait erat dengan penggunaan beragam teknik untuk
meningkatkan atau merasionalkan proses pembuatan kebijakan. Quade (1982) menyatakan bahwa tujuan utama analisis kebijakan adalah membantu pembuat keputusan untuk membuat pilihan yang lebih baik.
Untuk melakukan hal ini
analisis harus melalui tiga tahap; pertama penemuan, yakni usaha untuk menemukan alternatif yang memuaskan dan terbaik di antara alternatif-alternatif yang tersedia; kedua, penerimaan, yakni membuat temuan itu agar bisa diterima dan dimasukan ke dalam kebijakan atau keputusan: ketiga, implementasi, yakni menerapkan keputusan kebijakan tanpa ada perubahan terlalu banyak yang bisa membuat alternative itu menjadi tidak memuaskan (Parson 2005). Dunn (2004) mengemukakan metodologi analisis kebijakan menyediakan informasi yang berguna untuk menjawab lima pertanyaan; apa hakekat permasalahan? Kebijakan apa yang pernah ada atau pernah dibuat untuk
26
mengatasi masalah dan apa hasilnya? Seberapa bermakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah? Alternatif kebijakan apa yang tersedia untuk menjawab, dan hasil apa yang dapat diharapkan. Sering terjadi kerancuan antara analisis kebijakan dan riset atau penelitian kebijakan.
Riset atau penelitian kebijakan menjadi salah satu bidang kajian
penting dalam ilmu sosial.
Namun demikian, ternyata sangat langka
kepustakaan tentang penelitian kebijakan (Nugroho 2008). Pada umumnya antara penelitian kebijakan dan analisis kebijakan tidak dibedakan dengan jelas, bahkan penggunaan kedua istilah ini sering dipertukarkan karena menunjuk pada makna yang sama.
Damin 2005
menyatakan bahwa penelitian kebijakan dapat didefinisikan sebagai kegiatan penelitian yang dilakukan untuk mendukung kebijakan.
Selanjutnya Damin
menyatakan bahwaciri khas penelitian kebijakan terletak pada fokusnya, yaitu berorientasi pada tindakan untuk memecahkan masalah sosial yang unik. Muhadjir (2004) seperti dikutip dalam Nugroho (2008) menyatakan bahwa penelitian kebijakan sama dengan kegiatan analisis kebijakan. Desain penelitian kebijakan merentang dari policy research dan action research; evaluation research mencakup policy evaluation; dan research of program planning. Teknik analisis kebijakan meliputi beragam teknis pengamanan sampai ragam analisis kepentingan publik. Konsep yang cukup relevan untuk memasuki pemahaman tentang penelitian kebijakan, dan membedakan dengan yang lain, adalah konsep Hill dalam The Policy Process (2005). Menggunakan pemikiran Gordon, Lewis, dan Young dalam Perspective on Policy Analysis (1977) dan Hogwood dan Gunn dalam The Policy Orientation (1981), Hill mengemukakan ada dua jenis analisis kebijakan, yaitu analisis tentang suatu (atau beberapa) kebijakan (studies of policies), dan analisis untuk (merumuskan suatu atau beberapa) kebijakan (studies for policies). Hill menyatakan bahwa analisis tentang suatu kebijakan (analysis of policy) meliputi studies of policy contents, studies of policy outputs, dan studies of policy process, sedangkan analisis kebijakan (analysis for policy) meliputi policy evaluation, information for policy making, process advocacy dan policy advocacy. Dari uraian di atas, tampak ada perbedaan antara analisis untuk kebijakan dalam konteks ini adalah analisis kebijakan dengan analisis tentang kebijakan. Analisis tentang kebijakan sejajar atau bahkan dapat dipahami sebagai sinonim
27
dari penelitian atau studi kebijakan-penelitian tentang suatu kebijakan yang sudah ada (Nugroho 2008). Demikian pula, analisis kebijakan berlainan dengan monitoring dan evaluasi kebijakan.
Bahkan, penelitian kebijakan pun berlainan dengan evaluasi
kebijakan.
Perbedaan keempatnya disajikan dalam Tabel 6 dan ilustrasi
mengenai lokus dan ruang kebijakan disajikan pada Gambar 3. Tabel 6 Perbedaan analisis, monitoring, evaluasi, dan penelitian kebijakan Analisis Monitoring Evaluasi Penelitian kebijakan kebijakan Kebijakan kebijakan Pemahaman Penilaian Produk Nasihat, advice, Laporan yang mendalam perkembangan terhadap (output) dan/atau suatu (progress report) sebagian atau akan rekomendasi seluruh dimensi kebijakan kebijakan proses kebijakan Pendekatan Ilmu kebijakan Pragmatis/praktis strategis Metodologis Waktu pelaksanaan (timing)
Pra-kebijakan
Pada saat Pasca (implementasi) kebijakan diimplementasikan kebijakan
Pelaksana
Analis kebijakan
Pengawas program
Lama (durasi)
Sangat pendek Sepanjang hingga pendek implementasi
Pra, implementasi, atau pasca implementasi
Tim evaluasi Lembaga kebijakan keilmuan Menengah
Pendek panjang
hingga
Sumber : Nugroho (2008)
Analisis Kebijakan
Perumusan Kebijakan
Monitoring Kebijakan ImImplementasi Kebijakan
Lingkungan Kebijakan Evaluasi Kebijakan Penelitian Kebijakan
Gambar 3 Lokus dan ruang kebijakan (Nugroho 2008)
Kinerja Kebijakan
Dampak Kebijakan
28
2.7
Analisis Proses Kebijakan Terdapat arus utama dalam analisis proses kebijakan yaitu model linear
(Sutton 1999). Model linier adalah model yang selama ini menjadi arus utama atau banyak dianut dalam melakukan analisis proses perumusan kebijakan. Model linier menekankan bahwa penyusunan kebijakan merupakan sebuah upaya pemecahan masalah yang bersifat rasional, berimbang, obyektif dan analitik. Model Linear berasumsi bahwa pengambilan keputusan diambil sebagai sebuah rangkaian tindakan yang beraturan, dimulai dengan identifikasi masalah, dan diakhiri dengan penentuan tindakan untuk menyelesaikan permasalahan. Tahapan dalam model linear, meliputi: - pengenalan dan pendefinisian sifat/karakter masalah yang harus ditangani - mengidentifikasi tindakan yang memungkinkan untuk mengatasi masalah - mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing alternatif - memilih alternatif yang merupakan pilihan terbaik - mengimplementasikan kebijakan - melakukan evaluasi dari pelaksanaan kebijakan
Gambar 4 Model linier kebijakan dari Grindle & Thomas (1990) Asumsi yang digunakan dalam model linear adalah bahwa pembuat kebijakan : melakukan pendekatan terhadap masalah secara rasional, melalui setiap tahapan proses dengan logis, dan mempertimbangkan dengan cermat dan hati-hati berbagai informasi yang relevan. Jika kebijakan tidak mencapai apa yang dimaksudkan untuk dicapai, maka kesalahan seringkali tidak diarahkan
29
pada kebijakan itu sendiri, melainkan pada aspek kegagalan politik atau pengelolaan dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut (Juma & Clark 1995). Kegagalan dapat ditimpakan pada kurangnya ”political will”, kelemahan management atau keterbatasan sumberdaya. Terdapat banyak bukti yang mendukung bahwa model liner sangat jauh dari realitas.
Berikut ini merupakan model-model alternatif sebagai bantahan
terhadap model linear dalam perumusan kebijakan (Sutton 1999) : 1) Model Incrementalis. Pengambil kebijakan mempertimbangkan sejumlah kecil alternatif untuk menyelesaikan masalah dan cenderung untuk memilih alternatif kebijakan yang sedikit berbeda dari kebijakan sebelumnya. Untuk setiap alternatif, hanya konsekuensi yang penting yang dipertimbangkan. 2) Model mixed-scanning. Model ini merupakan pertengahan antara model rasional (linear) dengan incrementalis (Walt 1994). Pada dasarnya model ini membagi kebijakan menjadi makro (fundamental) dan mikro (kecil). Hal ini melibatkan pengambil kebijakan untuk melihat secara lebih luas arena kebijakan. Model rasional/linear berimplikasi pada pertimbangan berbagai kemungkinan secara detail, dan pendekatan incerementalis menyarankan untuk melihat hanya pada pilihan dimana pengalaman sebelumnya telah lebih dulu diketahui. 3) Kebijakan sebagai argumen. Juma dan Clark (1995) menjelaskan pada pendekatan ini
kebijakan
dihasilkan
dari
proses
perdebatan
antara
pemerintah dengan organisasi sosial. Satu pihak mengemukakan gagasan, pihak lain mengkritisi. 4) Kebijakan sebagai eksperimen sosial. Pembaruan kebijakan memperhatikan perubahan sosial sebagai proses uji coba. Proses ini melibatkan hipotesis yang diuji dengan realitas.
Hal ini didasarkan pada pendekatan
eksperimental seperti dalam ilmu pasti (natural sciences) 5) Kebijakan sebagai sebuah proses belajar interaktif. Pendekatan ini berakar dari kritik terhadap kebijakan pembangunan top down yang tidak dihasilkan dari komunitas.
Ide ini digulirkan oleh Chambers (1983; 1994) dengan
metode participatory rural appraisal. IDS (2006) menyatakan bahwa proses kebijakan merupakan suatu proses yang kompleks dengan karakteristik sebagai berikut : 1) bertahap, pembuatan
kebijakan
merupakan
proses
yang
berulang,
berdasarkan
pengalaman, dan belajar dari kesalahan sebelumnya; 2) selalu diwarnai dengan
30
kepentingan yang overlap dan berkompetisi; ada pihak yang diakomodir ada juga yang diabaikan; 3) tidak hanya mempertimbangkan hal teknis, nilai dan fakta sangat berperan penting;
4) para ahi teknis dan pembuat kebijakan secara
bersama-sama terlibat dalam proses membangun kebijakan Berdasarkan karakteristik tersebut, IDS (2006) membangun sebuah kerangka sederhana yang menghubungkan tiga bagian penting dalam proses pembuatan kebijakan, yaitu : 1. Pengetahuan dan diskursus, menjelaskan apa yang menjadi policy naratif (perjalanan perubahan kebijakan secara keseluruhan dari awal hingga akhir) 2. Aktor dan jejaring kerja, menjelaskan siapa yang terlibat dan bagaimana mereka terhubung. 3. Politik dan interest, menjelaskan apa yang menjadi dinamika kekuatan dalam pengambilan keputusan Sutton (1999) mendefinisikan narasi sebagai
”cerita” yang menjelaskan
sebuah kejadian tertentu sehingga memiliki kaitan dengan pengetahuan dan kearifan yang telah dianut dalam pembangunan. Sebuah narasi yang terkenal adalah ”tragedy of the common” (Hardin 1968) yang menceritakan serangkaian kejadian over-eksploitasi pada sebuah padang rumput milik bersama.
Pola
penggunaan padang rumput secara bersama digambarkan akan berakibat pada penurunan kualitas padang rumput sehingga pada akhirnya berubah menjadi gurun tandus.
Berdasarkan keyakinan atas narasi tersebut, maka sistem
pengelolaan terhadap sumberdaya alam milik bersama ditetapkan dengan ketentuan sistem property right (hak kepemilikan) yang jelas.
Hal tersebut
dengan maksud untuk menghindari terjadinya fenomena tragedy of the common. Narasi kebijakan ditujukan untuk mengurutkan suatu interaksi dan proses kompleks yang dicirikan dalam situasi pembangunan. Narasi berfungsi untuk menyederhanakan
situasi,
memperjelas
masalah
dan
menghindarkan
kemenduaan (Roe 1991; 1994). Namun demikian penggunaan narasi kebijakan berdampak pada berkurangnya ruang untuk bermanuver atau ruang kebijakan dari para pembuat kebijakan, yaitu dibatasinya peluang untuk memikirkan alternatif-alternatif kebijakan yang pendekatannya berbeda. Narasi sering dikritisi karena diyakini dapat menyebabkan cetak biru pembangunan, yaitu sebuah resep dari solusi permasalahan yang digunakan pada waktu dan tempat dimana hal tersebut kurang dapat diaplikasikan. Narasi melayani kepentingan suatu kelompok tertentu, biasanya komunitas epistemik
31
atau jaringan kebijakan yang mengusungnya, dan membantu proses pemilikan dari proses pembangunan kepada anggota dari kelompok epistemic community tersebut.
Mereka seringkali mengurangi peran dan kepakaran dari kelompok
lokal (Leach & Mearn 1996; Clay & Schaffer 1984; Roe 1991,1995). Meskipun perdebatan mengenai narasi masih terus berkembang, namun pada kenyataannya narasi masih sangat sering digunakan dalam proses penyusunan kebijakan pembangunan. Leach & Mearns (1996) menjelaskan hal tersebut terjadi karena narasi dianggap sebagai resep atau ”wisdom” yang bersifat melekat kuat pada struktur kelembagaan tertentu dari kelompok jaringan aktor, dan memiliki akar budaya dan sejarah yang kuat. Dalam kaitannya dengan narasi yang digunakan, Sutton juga menyatakan terminologi diskursus (discourse) sebagai alat analisis terhadap kajian latar belakang dirumuskannya sebuah kebijakan.
Sutton (1999) mendefinisikan
diskursus (discource) sebagai ide dasar, konsep atau kategorisasi yang dihasilkan atau dihasilkan kembali, dan ditransformasikan kedalam segenap praktek-praktek dengan cara melalui pemaknaan yang diwujudkan dalam hubungan sosial.
Melalui pemaknaan baru dan tindakan, diskurus memegang
peran penting dalam perubahan kebijakan. Dengan demikian, pada analisis proses proses perumusan kebijakan dilakukan kajian guna mengetahui apa yang menjadi diskursus dalam pembentukan kebijakan HTR.
Informasi tersebut digali dari latar belakang ide
atau landasan pemikiran dirumuskannya kebijakan HTR serta latar belakang situasi dan perjalanan sejarah yang mempengaruhinya.
2.8 Teori Sistem dalam Riset Kebijakan Eriyatno & Sofyar (2007) menyatakan bahwa hasil riset kebijakan yang efektif harus mampu mewujudkan harapan normatif menjadi strategi tindakan yang diperlukan.
Guna mendapatkan strategi yang komprehensif diperlukan
analisis sistemik terhadap permasalahan kebijakan.
Untuk itu diperlukan
pemahaman tentang teori sistem dalam proses penelitian kebijakan. Teori sistem dipelopori oleh Bertalanffy (1968) yang memperkenalkan suatu kerangka konsep dan teori yang dapat ditetapkan pada berbagai bidang ilmu. Kerangka tersebut dikenal sebagai General System Theory yang didasari oleh pemikiran perlunya generalisasi dan pendekatan lintas disiplin dalam memahami dunia nyata secara efisien.
32
Kompleksitas suatu permasalahan yang ditandai dengan keragaman yang begitu besar tidak mungkin dikaji atau dikendalikan oleh satu atau dua metode spesifik saja. Oleh karena itu perlu dicari pemecahan melalui keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, yang memerlukan suatu kerangka fikir baru yang dikenal dengan pendekatan sistem.
Sistem merupakan suatu
agregasi atau kumpulan objek-objek yang saling menerangkan dalam interaksi dan saling tergantung. Konsep sistem merupakan awal dari studi sistem yang selanjutnya akan didesain dan dievaluasi (Dubrowsky 2004; Eriyatno & Sofyar 2007; Drack 2009). Sistem didefinisikan sebagai sekumpulan komponen-komponen atau unsurunsur yang saling berinteraksi dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja untuk mencapai suatu tujuan atau beberapa tujuan. Pengertian komponen atau unsur adalah benda, baik kongkrit atau abstrak yang menyusun suatu sistem. Tujuan sistem merupakan unjuk kerja sistem yang teramati atau diinginkan. Unjuk kerja dari sistem ditentukan oleh fungsi unsur dan keseluruhan interaksi antar unsur dalam batas lingkungan sistem. Gangguan salah satu unsur akan mempengaruhi unsur lain sehingga mempengaruhi unjuk kerja sistem secara keseluruhan.
Interaksi antar komponen atau unsur merupakan ikatan atau
hubungan antar unsur yang memberi bentuk atau struktur kepada suatu sistem sehingga dapat dibedakan dari sistem lainnya dan interaksi ini mempengaruhi perilaku sistem secara keseluruhan. Dengan demikian, sistem memiliki dua sifat utama yang berkaitan dengan aspek struktur dan aspek perilaku. Struktur sistem berkaitan dengan susunan dan rangkaian diantara elemen-elemen penyusunnya dan perilaku sistem yang berkaitan dengan input dan output sistem (Eriyatno 2003; Muhammadi et al. 2001). Lebih lanjut Marimin (2005) menyebutkan bahwa sebuah sistem
pada
umumnya mempunyai beberapa sifat mendasar, antara lain: 1)
berorientasi kepada tujuan dan dalam proses pencapaian tujuan akan terjadi perubahan yang terus menerus sehingga bersifat dinamis,
2)
satu kesatuan usaha dimana hasil kerja sistem secara keseluruhan melebihi dari jumlah hasil kerja dari masing-masing bagian sistem secara sendirisendiri atau bersifat sinergis,
3)
terbuka terhadap lingkungan, yang berarti bahwa lingkungan merupakan sumber kesempatan ataupun hambatan unjuk kerja sistem,
33
4)
adanya transformasi, yang merupakan proses perubahan input menjadi output yang dilakukan oleh sistem,
5)
interaksi antara bagian maupun subsistem, dan
6)
adanya mekanisme pengendalian, yang menyangkut sistem umpan balik yang merupakan suatu bagian yang memberikan informasi kepada sistem mengenai efek dari perilaku sistem terhadap pencapaian tujuan atau pemecahan masalah yang dihadapi. Pendekatan sistem merupakan suatu pendekatan
cara penyelesaian
persoalan yang sangat berbeda dari pendekatan konvensional.
Pendekatan
konvensional menekankan pada aspek analisis elemen-elemen secara parsial atau tereduksi. Sedangkan pendekatan sistem menekankan pada aspek analisis interaksi elemen dan perilaku sistem secara keseluruhan atau holistik. Pendekatan sistem
dimulai dengan dilakukannya identifikasi kebutuhan-
kebutuhan pemangku kepentingan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari suatu sistem yang dianggap efektif.
Pendekatan sistem memiliki dua hal
utama, yaitu pencarian semua faktor penting yang terdapat dalam sistem untuk mendapatkan solusi penyelesaian masalah yang baik serta pembuatan suatu model konseptual dan kuantitatif untuk membantu pengambilan keputusan secara rasional (Eriyatno 2003). Menurut Richardson & Pugh (1983) pendekatan sistem untuk formulasi kebijakan
dan
penyelesaian
persoalan
yang
kompleks
terfokus
pada
pemahaman proses interaksi yang terjadi dalam sistem. Hal ini dilandasi oleh filosofi bahwa struktur sistem bertanggung jawab terhadap terjadinya perubahan dalam sistem dengan berjalannya waktu. Premisnya adalah perilaku dinamik merupakan konsekuensi dari struktur sistem. Pendekatan sistem cenderung untuk melihat sebab dan konsekuensi dari perilaku di dalam sistem. Persoalan atau output yang tidak dikehendaki dari sistem tidak dipandang sebagai akibat dari agen atau komponen di luar sistem. Sedangkan tahapan pendekatan sistem dalam penyelesaian persoalan yang kompleks meliputi: 1) definisi dan identifikasi masalah, 2) konseptualisasi sistem, 3) formulasi model, 4) analisis perilaku model, 5) evaluasi model, 6) analisis kebijakan dan 7) implementasi atau penggunaan model. Secara skematis, proses pendekatan sistem untuk formulasi kebijakan atau penyelesaian persoalan ditunjukkan pada Gambar 5.
34
Implementasi kebijakan
Pemahaman sistem
Definisi masalah
Analisis kebijakan
Konseptualisasi sistem Simulasi
Formulasi model
Gambar 5 Overview pemodelan sistem untuk analisis kebijakan (Richardson & Pugh 1983) Menurut Jackson (2000) pendekatan sistem dalam aplikasi system thinking untuk penelitian dan intervensi kebijakan dapat dibedakan menjadi pendekatan sistem: 1) fungsionalis, 2) interpretasi, 3) emansipatori, dan 4) postmodern. Pengklasifikasian ini didasarkan atas metodologi yang digunakan.
Sedangkan
Checkland (2000) dengan berdasarkan atas keterkaitan antara systems thinking dan systems practice membedakan pendekatan sistem menjadi hard system dan soft system. Hard system thinking dengan landasan paradigma optimasi sangat tepat digunakan pada pemecahan masalah teknis yang tersturktur dan tujuannya telah diketahui sebelumnya, sedangkan soft system thinking dengan paradigma pembelajaran lebih tepat digunakan pada situasi pemecahan persoalan yang tidak terstruktur dan melibatkan aspek manusia dan sosial budaya. Pendekatan sistem lunak dapat dilakukan dengan menggunakan Soft System Methodology (SSM) yang bersifat interpretasi jika situasi permasalahan yang dihadapi bersifat kompleks dan messy atau ill-defined (Christis 2005). Metodologi SSM dikembangkan oleh Checkland (1999) dengan landasan pemikiran bahwa dalam rangka perbaikan sistem di dunia nyata, setiap tindakan oleh manusia pasti memiliki makna bagi dirinya sehingga pemodelan sistem aktifitas manusia akan menggambarkan karakteristik tujuan tertentu yang diinginkannya. Selanjutnya, dalam pemodelan sistem aktifitas manusia dalam rangka mengeksplorasi tindakan manusia di dunia nyata memungkinkan munculnya beragam interpretasi terhadap suatu tujuan tertentu sehingga dapat
35
dibangun banyak model. Oleh karena itu, sebelum melakukan pemodelan perlu dipilih pandangan (world view) yang paling relevan sebagai landasan dalam pemodelan untuk mengekplorasi situasi masalah sehingga dapat diperoleh konsep yang dapat digunakan (usable concept). SSM digunakan pada situasi dimana karena berbagai alasan merupakan situasi yang problematik bagi pihak yang berkepentingan dan melalui pemodelan konseptual yang relevan akan dapat teridentifikasi tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan situasi problematik tersebut. Metodologi SSM mencakup 7 langkah atau tahapan proses (Gambar 6) dimana dapat dibedakan antara aktifitas di dunia nyata yang melibatkan para pihak terkait situasi problematik dan aktifitas system thinking yang dapat berkaitan maupun tidak dengan situasi problematik. Tahapan proses tersebut meliputi: 1)
Situasi permasalahan tidak terstruktur.
2)
Situasi permasalahan terekspresikan.
3)
Definisi mendasar sistem yang relevan.
4)
Model konseptual.
5)
Perbandingan model dengan dunia nyata.
6)
Perubahan yang diharapkan dan layak.
7)
Tindakan untuk memperbaiki situasi problematik.
Tahapan 1 dan 2 merupakan fase pengungkapan situasi yang dipersepsikan sebagai masalah. Analisis yang dilakukan dalam fase ini menyangkut identifikasi elemen kunci dari struktur dan proses, serta interaksi antar elemen dan proses dari situasi masalah. Tahap 3 merupakan tahapan pendefinisian sistem yang relevan untuk memperbaiki situasi masalah.
Formulasi ini dapat dimodifikasi
kembali dalam proses iterasi dan pendalaman. Selanjutnya berdasarkan definisi sistem yang telah terbentuk maka dilakukan tahap 4, yaitu membangun model konseptual dari sistem aktifitas manusia yang memuat sekumpulan aktifitas minimal yang diperlukan. Jika dijumpai kekurangan dan diperlukan transformasi untuk pembentukan model konseptual maka dapat digunakan konsep sistem formal dan pemikiran sistem yang lain. Pada tahap 5 dilakukan pembandingan model konseptual dengan persepsi yang ada di dunia nyata. Pembandingan ini sebagai tahapan 6, dilakukan melalui perdebatan diantara para pihak yang berkepentingan
sehingga
dapat
diidentifikasi
kemungkinan-kemungkinan
perubahan yang memang diharapkan dan layak atau dapat diterima oleh semua
36
pihak. Tahap 7 menyangkut pengambilan tindakan untuk memperbaiki situasi masalah.
Gambar 6 Proses soft system methodology (Checkland 1999) Eriyatno (2003) menyatakan bahwa kesalahan terbesar dalam proses perencanaan jangka panjang yang bersifat strategis adalah menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi deskriptif.
Hal ini
umumnya disebabkan kebiasaan yang sulit diubah dari perencanaan jangka pendek yang konservatif atas keahlian yang dipunyai.
Kebiasaan tersebut
menjebak proses perencanaan strategis menjadi rencana operasional jangka pendek tanpa arahan (direktif yang terprogram). Menurut Eriyatno (2003) pendekatan sistem merupakan metodologi yang bersifat rasional sampai bersifat intuitif untuk memecahkan masalah guna mencapai tujuan tertentu. Pendekatan sistem digunakan ketika permasalahan yang dihadapi memiliki karakteristik: 1) kompleks, yaitu interaksi antar elemen cukup rumit, 2) dinamis, dalam arti faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan, dan 3) probabilistic, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi.
37
Tiga pola pikir yang menjadi pegangan pokok dalam menganalisis permasalahan
dengan
pendekatan
sistem,
yaitu
(1)
cybernetic
artinya
berorientasi pada tujuan (2) holistic yaitu cara pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem, dan (3) efektif yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang operasional serta dapat dilaksanakan daripada pendalaman teoritis untuk mencapai efisiensi keputusan.
Telaahan permasalahan dengan pendekatan
sistem ditandai oleh ciri-ciri : (1) mencari semua faktor penting yang terkait dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah dan (2) adanya model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional (Eriyatno 2003) Berbagai teori kemudian dikembangkan untuk perencanaan strategis dimana informasi kualitatif mendominasi input kebijakan. Salah satu dari teori tersebut adalah Interpretative Structural Modelling (ISM).
Teknik ISM adalah
proses pengkajian kelompok (group learning process) dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem,
2.9 Permodelan Interpretasi Struktural Salah satu teknik permodelan yang dikembangkan untuk perencanaan kebijakan
strategis
adalah
Teknik
Permodelan
(Interpretative Structural Modelling – ISM).
Interpretasi
Struktural
Menurut Eriyatno (2003) ISM
merupakan proses pengkajian kelompok yang berguna untuk memberikan gambaran perihal yang kompleks dari suatu sistem dan melalui pola yang dirancang secara saksama dengan menggunakan grafis dan kalimat akan menghasilkan
model-model struktural.
Teknik ISM meskipun utamanya
ditujukan untuk pengkajian oleh sebuah kelompok, tetapi bisa juga digunakan oleh seorang peneliti dengan melibatkan pakar multi disiplin. Teknik ISM merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencana jangka panjang yang sering menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi statistik deskriptif. Menurut Saxena et al. (1992), analisis sistematis dari suatu program atau objek
secara
holistik
sangat
bermanfaat
agar
tujuan
program
dapat
diimplementasikan dengan efektif dan memberikan manfaat bagi masyarakat karena memenuhi kebutuhannya saat ini maupun masa mendatang.
ISM
merupakan interpretasi dari suatu program atau objek yang utuh dan mentransformasikan model mental yang tidak terang dan lemah penjelasannya
38
menjadi
model
sistem
yang
terdefinisikan
secara
jelas
hingga
dapat
dimanfaatkan untuk perencanaan strategik dan formulasi kebijakan. ISM merupakan salah satu metode permodelan berbasis komputer yang dapat membantu kelompok untuk mengidentifikasi hubungan antara ide dan struktur tetap pada isu yang kompleks.
ISM dapat digunakan untuk
mengembangkan beberapa tipe struktur, termasuk struktur pengaruh, struktur prioritas, ataupun kategori ide. ISM merupakan sebuah metode yang interaktif dan diimplementasikan dalam sebuah wadah kelompok sehingga metode ini memberikan lingkungan yang sangat sempurna untuk memperkaya dan memperluas pandangan dalam konstruksi yang cukup kompleks.
ISM
menganalisis elemen-elemen sistem dan memecahkannya dalam bentuk grafis dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki. Elemen-elemen dapat merupakan tujuan kebijakan, target organisasi, maupun faktor-faktor penilaian. Sedangkan hubungan langsung dapat dalam konteks yang beragam (Marimin 2005). Menurut Kanungo & Bhatnagar (2002), Eriyatno (2003) dan Marimin (2005), langkah-langkah permodelan dengan menggunakan ISM mencakup: 1) Identifikasi elemen: Elemen sistem diidentifikasi dan didaftar. Identifikasi elemen dapat diperoleh melalui penelitian atau diskusi curah pendapat. 2) Hubungan
kontekstual:
Sebuah hubungan kontekstual
antar elemen
dibangun berdasarkan pada tujuan dari permodelan. 3) Matriks interaksi tunggal terstruktur (Structural Self Interaction Matrix – SSIM). Matriks ini mewakili elemen persepsi responden terhadap hubungan elemen yang dituju.
Empat simbol yang digunakan untuk mewakili tipe
hubungan yang terdapat antar dua elemen dari sistem yang dikaji adalah: •
V ..... hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, dan tidak sebaliknya
•
A ..... hubungan dari elemen Ej terhadap Ei, dan tidak sebaliknya
•
X ..... hubungan interrelasi antara Ei dan Ej, dan dapat sebaliknya
•
O ..... menunjukkan bahwa Ei dan Ej tidak berkaitan
4) Matriks Reachability (Reachability Matrix – RM):
Sebuah RM
yang
dipersiapkan kemudian mengubah simbol-simbol SSIM ke dalam sebuah matriks biner.
Konversi SSIM menjadi RM menggunakan aturan-aturan
berikut, •
Jika hubungan Ei terhadap Ej = V dalam SSIM maka elemen Eij = 1 dan Eji = 0 dalam RM.
39
•
Jika hubungan Ei terhadap Ej = A dalam SSIM maka elemen Eij = 0 dan Eji = 1 dalam RM.
•
Jika hubungan Ei terhadap Ej = X dalam SSIM maka elemen Eij = 1 dan Eji = 1 dalam RM.
•
Jika hubungan Ei terhadap Ej = O dalam SSIM maka elemen Eij = 0 dan Eji = 0 dalam RM.
RM awal dimodifikasi untuk menunjukkan seluruh direct dan indirect reachability, yaitu jika Eij = 1 dan Ejk = 1 maka Eik = 1. 5) Tingkat partisipasi dilakukan untuk mengklasifikasi elemen-elemen dalam level-level yang berbeda dari struktur ISM. Untuk tujuan ini, dua perangkat diasosiasikan dengan tiap elemen Ei dari sistem: Reachability set (Ri) adalah sebuah set dari seluruh elemen yang dapat dicapai dari elemen Ei, dan Antecedent Set (Ai) adalah sebuah set dari seluruh elemen dimana elemen Ei dapat dicapai. Pada iterasi pertama seluruh elemen, dimana Ri = Ri ∩ Ai adalah elemen-elemen level 1.
Pada iterasi-iterasi berikutnya elemen-
elemen diidentifikasi seperti elemen-elemen level dalam iterasi-iterasi sebelumnya dihilangkan, dan elemen-elemen baru diseleksi untuk level-level berikutnya dengan menggunakan aturan yang sama. Selanjutnya, seluruh elemen-elemen sistem dikelompokkan ke dalam level-level yang berbeda. 6) Matriks Canonnical: Pengelompokan elemen-elemen dalam level yang sama mengembangkan matriks ini. Matriks resultan memiliki sebagian besar dari elemen-elemen triangular yang lebih tinggi adalah 0 dan terendah 1. Matriks ini selanjutnya digunakan untuk mempersiapkan digraph. 7) Digraph adalah konsep yang berasal dari Directional Graph, yaitu sebuah grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan secara langsung dan level hierarki.
Digraph awal dipersiapkan dalam basis matriks canonical.
Graph awal tersebut selanjutnya dipotong dengan memindahkan semua komponen yang transitif untuk membentuk digraph akhir. 8) Interpretative Structural Model:
ISM dibangkitkan dengan memindahkan
seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual. Oleh sebab itu ISM memberikan gambaran yang sangat jelas dari elemen-elemen sistem dan alur hubungannya. Eriyatno (2003) menyatakan bahwa metode dan teknik ISM dibagi menjadi dua bagian, yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi sub elemen. Prinsip dasarnya adalah identifikasi dari struktur di dalam suatu sistem yang
40
memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik. Struktur dari suatu sistem yang berjenjang diperlukan untuk lebih menjelaskan pemahaman tentang perihal yang
dikaji.
Menentukan
jenjang
dapat
dilakukan
dengan
berbagai
pendekatan, namun harus memenuhi kriteria: a) kekuatan pengikat dalam dan antar kelompok atau tingkat, b) frekuensi relatif dari oksilasi dimana tingkat yang lebih rendah lebih cepat terguncang dari yang diatas, c) konteks dimana tingkat yang lebih tinggi beroperasi pada jangka waktu yang lebih lambat daripada ruang yang lebih luas, d) liputan dimana tingkat yang lebih tinggi mencakup tingkat yang lebih rendah, dan e) hubungan fungsional, dimana tingkat yang lebih tinggi mempunyai peubah lambat yang mempengaruhi peubah cepat tingkat dibawahnya.
Teknik ISM dapat memberikan basis
analisis program dimana informasi yang dihasilkan sangat berguna dalam formulasi kebijakan dan perencanaan strategis.
Selanjutnya, Saxena et al.
(1992) menyatakan bahwa penggunaan ISM dalam analisis, program dapat dibagi menjadi sembilan elemen utama: 1) Sektor masyarakat yang terpengaruh 2) Kebutuhan dari program 3) Kendala utama program 4) Perubahan yang diinginkan 5) Tujuan dari program 6) Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan 7) Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan 8) Ukuran aktivitas untuk mengevaluasi hasil yang dicapai setiap aktivitas 9) Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program Untuk setiap elemen dari program yang dikaji, selanjutnya dijabarkan menjadi sejumlah sub-elemen.
Kemudian ditetapkan hubungan kontekstual
antara sub-elemen yang mengandung adanya suatu pengarahan pada perbandingan berpasangan.
Hubungan kontekstual pada teknik ISM selalu
dinyatakan dalam terminologi sub-ordinat yang menuju pada perbandingan berpasangan antar sub-elemen yang mengandung suatu arahan pada hubungan tersebut. Menurut Eriyatno (2003) hubungan kontekstual dapat bersifat kualitatif atau kuantitatif. Keterkaitan antar sub-elemen dapat meliputi berbagai jenis hubungan seperti disajikan pada Tabel 7.
Berdasarkan hubungan kontekstual
41
tersebut, maka disusun Structural Self Interaction Matrix dengan menggunakan simbol: V jika eij = 1 dan eji = 0 A jika eij = 0 dan eji = 1 V jika eij = 1 dan eji = 1 V jika eij = 0 dan eji = 0 Tabel 7 Hubungan kontekstual antar sub-elemen pada teknik ISM No
Jenis Hubungan
Interpretasi
1
Pembandingan (comparative)
A lebih penting/besar/indah dari B A 20% lebih berat dari B
2
Pernyataan (definitive)
A adalah atribut B A termasuk di dalam B A mengartikan B
3
Pengaruh (influence)
A menyebabkan B A adalah sebagian penyebab B A mengembangkan B A menggerakkan B A meningkatkan B
4
Keruangan (spatial)
A adalah selatan/utara B A diatas B A sebelah kiri B
5
Kewaktuan (temporal/time scale)
A mendahului B A mengikuti B A mempunyai prioritas lebih dari B
Sumber: Eriyatno (2003) Nilai eij = 1 berarti ada hubungan kontekstual antara elemen ke-i dan elemen ke-j, sedangkan eij = 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual antara elemen ke-i dan elemen ke-j.
Hasil penilaian ini kemudian dibuat dalam
Structural Self Interaction Matrix yang berbentuk tabel Reachability Matrix (RM) dengan mengganti V, A, X, dan O menjadi bilangan 1 dan 0.
Matriks RM
selanjutnya dikoreksi sampai menjadi matriks tertutup yang memenuhi kaidah transitivitas. Matriks RM yang telah memenuhi kaidah transitivitas kemudian diolah untuk mendapatkan nilai Driver-Power (DP) dan nilai Dependence (D) untuk menentukan klasifikasi sub elemen. Eriyatno (2003) menyebutkan bahwa untuk
42
mengetahui peran masing-masing sub elemen, sub elemen dikelompokkan ke dalam 4 sektor: Sektor 1: Weak driver-weak dependent variables (Autonomous), sub elemen yang berada pada sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, mungkin mempunyai hubungan yang sedikit walaupun hubungan tersebut bisa saja kuat. Sektor 2: Weak driver-strongly dependent variables (Dependent), sub elemen yang berada pada sektor ini umumnya sub elemen yang tidak bebas atau dipengaruhi oleh sub elemen lain. Sektor 3: Strong driver-strongly dependent variables (Linkage), sub elemen yang berada pada sektor ini perlu dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar sub elemen tidak stabil.
Setiap tindakan pada sub elemen
tersebut akan memberikan dampak terhadap peubah lain dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak. Sektor 4: Strong driver-weak dependent variables (Independent), sub elemen yang berada pada sektor ini umumnya merupakan sub elemen bebas yang memiliki kekuatan penggerak yang besar terhadap sub elemen lain dalam sistem. 2.10
Validasi Model Penggunaan model merupakan elemen penting dalam pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan.
Model ini dapat berwujud mental model
yang berada di pikiran pengambil keputusan sampai model kompleks yang eksplisit untuk mengeksplorasi
dampak suatu keputusan.
Tingkat manfaat
penggunaan model sangat ditentukan oleh ketepatan hasil simulasi model. Untuk menjamin ketepatan hasil simulasi diperlukan proses verifikasi dan validasi model terlebih dahulu sebelum menggunakannya untuk pengambilan keputusan. Validasi model menurut Eriyatno (2003) merupakan usaha untuk menyimpulkan bahwa model sistem yang dibangun merupakan representasi yang sah dari realitas yang dikaji sehingga dapat dihasilkan kesimpulan yang meyakinkan dan valid.
Validasi juga merupakan suatu proses pengujian yang iteratif untuk
penyempurnaan model yang dibangun.Validasi dapat mulai dilakukan dengan pengujian sederhana, seperti pengamatan respon model terhadap beberapa hal, yaitu: 1) tanda aljabar (sign), 2)
tingkat kepangkatan dari besaran (order of
magnitude), 3) format respon (linier, eksponensial, logaritmik dan lainnya), 4)
43
arah perubahan peubah apabila input atau parameter diganti-ganti, dan 5) nilai batas peubah sesuai dengan nilai batas parameter sistem. Checkland (1995) membedakan verifikasi dan validasi dalam soft system (SST) dengan hard system thinking (HST).
Dalam SST model merupakan
representasi sistem kegiatan manusia yang terkait secara logis dan dimaksudkan sebagai sarana untuk mendebatkan kesesuaian antara model dengan dunia nyata bagi pihak-pihak yang terlibat dalam situasi problematik. Perdebatan ini akan menghasilkan akomodasi sehingga memungkinkan dilakukannya tindakantindakan yang diharapkan dan layak untuk memperbaiki situasi problematik. Dengan demikian validasi model dilakukan sebelum model digunakan untuk debat. Keabsahan model dinilai dari relevansinya dengan situasi permasalahan dan kecukupan model ditinjau dari karakteristik sistem formal atau tingkat kesesuaian antara root definition dengan model konseptual. Sedangkan pada HST, model digunakan sebagai abstraksi dunia nyata untuk melakukan eksperimentasi yang hasilnya digunakan sebagai dasar pemecahan masalah.
Menurut Muhammadi et al. (2001), validitas model
merupakan suatu hasil penilaian secara objektif terhadap model yang ditunjukkan sejauhmana hasil simulasi model dapat menirukan fakta. Dalam dunia nyata, fakta adalah kejadian yang teramati. Pengamatan tersebut dapat bersifat terukur secara kuantitatif maupun kuailitatif atau informasi aktual. Sedangkan hasil simulasi merupakan perilaku variabel yang diinteraksikan menggunakan bantuan komputer. Proses melihat keserupaan ini disebut validasi output atau kinerja model. Validasi kinerja model bersifat pelengkap karena yang utama adalah validasi struktur model.
Validasi struktur model merupakan penilaian
sejauhmana keserupaan struktur model mendekati struktur dunia nyata. Struktur model yang dibangun secara holistik, lintas disiplin dan perspektif diharapkan mampu menirukan interaksi kejadian nyata.
Dengan demikian, verifikasi dan
validasi model ditujukan untuk menguji keabsahan representasi tersebut agar hasil simulasinya akurat. Keabsahan suatu hasil simulasi, menurut Sargent (1998) dapat dilakukan melalui tiga pendekatan.
Setiap pendekatan memerlukan tim pengembangan
model yang melakukan verifikasi dan validasi sebagai bagian dari proses pengembangan model.
Pendekatan pertama dan paling umum digunakan
adalah pendekatan subjektif.
Dalam pendekatan ini, tim pengembangan model
memutuskan keabsahan model berdasarkan pada hasil berbagai pengujian dan
44
evaluasi dalam proses pengembangan model. Pendekatan kedua adalah melalui penggunaan pihak ketiga yang independen untuk memutuskan keabsahan suatu model. Pihak ketiga tidak memiliki ketergantungan dengan tim pengembangan model dan pengguna. Setelah model dikembangkan, pihak ketiga melakukan evaluasi untuk menentukan keabsahannya.
Penggunaan pendekatan ini
biasanya dilakukan untuk menjaga kredibilitas model. Pendekatan ketiga untuk menentukan keabsahan model dilakukan dengan penggunaan model penilaian. Nilai atau bobot ditentukan secara subjektif pada saat melakukan proses validasi dari berbagai aspek dan kemudian dikombinasikan untuk menentukan kategori nilai dan total nilai simulasi model. Suatu model dianggap valid jika kategori dan total nilai lebih besar dari suatu nilai yang telah ditetapkan. Beragam teknik dapat digunakan dalam validasi model. Menurut Sargent (1998), secara umum terdapat 16 teknik untuk melakukan validasi model, yaitu: 1) animation, 2) comparison to other models, 3) degenerate test, 4) event validity, 5) extreme condition test, 6) face validity, 7) fixed values, 8) historical data validation, 9)
historical
methods.
10)
internal
validity, 11)
multistage validity, 12) operational graphic, 13) parameter variability-sensitivity analysis, 14) predictive validation, 15) traces, dan 16) turing test.
Validasi
model konseptual yang merupakan representasi dari ide, situasi, fenomena atau kebijakan yang dimodelkan dalam bentuk persamaan matematika, hubungan logika maupun verbal dilakukan dengan face validation.
Validitas model
konseptual dinilai berdasarkan kebenaran teori dan asumsi yang mendasari dan tingkat representasinya.
2.11 Disertasi yang Relevan Beberapa disertasi relevan digunakan sebagai rujukan dalam penulisan disertasi ini, meliputi: penelitian dengan menggunakan metode pengembangan sistem (Didu 2001; Mulyadi 2001; Baka 2001); penelitian yang terkait dengan pengembangan hutan dan masyarakat (Wijayanto 2001; Yusran 2005); penelitian tentang kelembagaan menggunakan pendekatan analisis sistem (Karyana 2007); dan penelitian mengenai penerapan soft system methodology untuk perumusan model kebijakan (Wibisono 2008; Kurniawan 2009; Adiprasetyo 2010) Didu (2001) menggunakan analisa sistem untuk mengkaji pengembangan agroindustri kelapa sawit. Mulyadi (2001) mengaplikasikan pendekatan sistem untuk menganalisis pengembangan kelembagaan agroindustri rotan secara
45
terpadu. Baka (2001) menggunakan pendekatan ISM dalam mebangun kelembagaan perkebunan rakyat melalui rekayasa sistem di Sulawesi Tenggara. Ketiga hasil penelitian terkait pengembangan soft system methodology tersebut memberikan
informasi
pengembangan
kegiatan
dasar
tentang
metode
agroindustri.
analisis
Melalui
teknik
sistem ISM
untuk
dibangun
kelembagaan agroindustri yang didasarkan atas elemen lembaga yang terkait, elemen kebutuhan program, elemen kendala program dan tujuan program serta kebijakan pemerintah yang dibutuhkan.
Elemen-elemen yang dikaji untuk
pengembangan kelembagaan perkebunan dengan pendekatan wilayah antara lain lembaga pelaku program dan kebutuhan program. Disertasi yang secara substansi relevan karena mengkaji hubungan antara hutan dan masyarakat dirujuk dari hasil penelitian Wijayanto (2001). Penelitian tersebut menganalisis sistem pengelolaan Hutan Kemasyarkatan di kawasan Repong Damar Lampung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan
pengelolaan repong damar dipengaruhi oleh (1) faktor-faktor ekologi; yaitu kesesuaian
tempat
tumbuh,
kemampuan
peran
dan
fungsi
ekosistem,
keberadaan komposisi yang beranekaragam (2) faktor ekonomi-bisnis; yaitu kemampuan
memberi
jaminan
bagi
ekonomi
ruamah
tangga,
kemapanan/berkembangnya sistem tata niaga dari produk yang dihasilkan, penggunaan input modal relatif rendah (3) faktor sosial budaya; yaitu kemampuan masyarakat memelihara institusi sistem pewarisan yang mendukung keberlanjutan, kemampuan masyarakat mendayagunakan pengetahuan asli, kemampuan kepemilikan untuk dijadikan simbol status sosial.
Selanjutnya
strategi pengembangan sistem repong damar sangat ditentukan oleh faktor organisasi yang kuat dan mandiri, ketersediaan infrastruktur jalan, dan kepastian jaminan hukum bagi masyarakat petani atas kawasan. repong
sebaiknya
bertujuan
kepada
terbentuknya
Pengembangan sistem industri,
terwujudnya
peningkatan produktivitas lahan, dan fungsi ekosistem, dan terbentuknya kemandirian dan kerjasama petani.
Pengembangan sistem repong damar
menuntut keterlibatan dan dukungan penuh dari lembaga yang bersifat lintas sektoral dan multi disiplin. Aktivitas penting yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan adalah pengembangan sistem insentif seperti perpajakan dan perkreditan. Kegiatan penelitian Yusran (2005) dalam analisis performasi dan pengembangan hutan kemiri rakyat di kawasan pegunungan Bulusaraung
46
Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa status penguasaan lahan mempengaruhi performansi hutan kemiri rakyat.
Semakin kuat status lahan yang dikelola
menunjukkan semakin intensif sistem pengelolaannya, semakin besar nilai ekonominya dan menjamin kelestarian nilai-nilai sosial budaya.
Namun
sebaliknya semakin kuat status lahan cenderung menurunkan nilai ekologinya. Pengakuan hak kelola masyarakat merupakan bentuk penguatan status lahan yang dapat menjamin keseimbangan aspek ekologi, ekonomi, sosial dan menghindari terjadinya fragmentasi lahan hutan.
Hasil analisis dengan
menggunakan SWOT, AHP dan skala Likert membuktikan bahwa ketidakpastian status penguasaan lahan merupakan kelemahan sekaligus menjadi ancaman utama dalam pengelolaan hutan kemiri di kawasan pegunungan Bulusaraung. Posisi usahtani kemiri rakyat yang berada pada sel 2 (support a diversification strategy) menunjukkan bahwa sistem pengelolaan hutan kemiri mempunyai kekuatan tetapi menghadapi ancaman yang tidak menguntungkan. Oleh karena itu strategi yang harus diterapkan adalah strategi ST (strength-threats) dengan menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman.
Strategi ST yang harus
diterapkan adalah (1) menjamin kepastian penguasaan lahan dengan mengakui hak
kelola
masyarakat
(2)
mengembangkan
pola
agroforestri
untuk
meningkatkan produktifitas lahan dan diversifikasi produk, dan (3) memperkuat kelembagaan dan kapasitas petani dalam sistem pemasaran. Kedua penelitian tersebut secara substansi memiliki relevansi yang kuat dengan kegiatan penelitian analisis kebijakan dan rancang bangun model konseptual
HTR.
Beberapa
faktor
sosial
budaya
masyarakat
dalam
hubungannya dengan kegiatan pengelolaan hutan dapat menjadi rujukan. Namun demikian, terdapat perbedaan yang cukup nyata jika membandingkan kedua penelitian tersebut dengan disertasi ini, karena sifat dari kebijakan HTR merupakan program dari pemerintah, sedangkan kegiatan repong damar di Lampung dan hutan kemiri rakyat di Sulawesi Selatan merupakan kegiatan yang tumbuh dari aspirasi masyarakat lokal. Karyana (2007) menggunakan teknik Interpretative Structural Modelling dalam penelitian analisis posisi dan peran lembaga di Daerah Aliran Sungai Ciliwung.
Analisis ISM dalam penelitian ini menghasilkan strukturisasi posisi
lembaga yang memiliki pengaruh besar dalam pengelolaan DAS Ciliwung. Analisis terhadap tiga aspek kelembagaan menunjukkan bahwa (1) masalah kelembagaan tidak terletak pada lembaganya sebagai organisasi tetapi pada
47
masalah yang menyangkut hubungan antar lembaga; (2) lembaga pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan DAS Ciliwung belum memiliki program dan kegiatan yang berorientasi pada pemecahan masalah kelembagaan DAS; (3) kebijakan dan peran pemerintah pusat belum efektif untuk mengatasi masalah yang terjadi di DAS Ciliwung. Disertasi ini memberikan informasi tentang aspek hubungan antar lembaga yang terlibat dalam pengelolaan DAS.
Terdapat
berberapa faktor yang dapat dipersamakan antara pengelolaan DAS dan HTR, diantaranya karena melibatkan berbagai lembaga lintas sektoral. Untuk itu teori koordinasi yang dikembangkan dalam disertasi ini menjadi rujukan bagi pengembangan koordinasi pengelolaan HTR. Wibisono (2008) menggunakan teknik permodelan system dengan teknik Strategic Assumption Surfacing and Testing (SAST) serta teknik ISM untuk menyusun model kebijakan strategis pengelolaan pertambangan mineral yang berkelanjutan.
Model konseptual pengelolaan lingkungan terdiri atas model
pengendalian endapan pasir sisa tambang pada aliran sungai dan model Rehabilitasi lahan wilayah Mod-ADA.
Model konseptual pengelolaan tambang
merupakan model yang integratif menangani sektor hulu hingga hilir. Hal ini dapat menjadi teladan bagi perumusan model konseptual HTR agar terintegrasi mulai dari proses awal hingga akhir kegiatan bisnis hutan tanaman oleh rakyat. Kurniawan (2010) melakukan analisis sistem pengelolaan kawasan karst di Maros-Pangkep Sulawesi Selatan.
Model konseptual yang dirumuskan pada
penelitian ini, secara prinsip harus memenuhi aspek kepastian batas penentuan lembaga pengelola hasil kesepakatan, penentuan sistem pengelolaan dan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan karst.
Kebijakan yang disusun
meliputi status kawasan, konservasi lingkungan, stabilisasi sosial-budaya, dan peningkatan nilai ekonomis. Seluruh model konseptual ini menerapkan prinsipprinsip keberlanjutan COMHAR.
Model yang dikembangkan serupa dengan
model kebijakan strategi pengelolaan pertambanan mineral.
Disertasi ini
dilengkapi dengan analisis spasial tentang perubahan serial dari kawasan karst di Maros-Pangkep. Adiprasetyo (2010) menggunakan metode soft system management untuk melakukan rancang bangun kebijakan pengelolaan Taman Nasional secara berkelanjutan di era otonomi daerah. Sistem dijabarkan ke dalam 3 model, yaitu model manajemen, kelembagaan dan pendanaan. Ketiga model yang disusun Adiprasetyo menjadi referensi utama dalam melakukan kegiatan rancang bangun
48
model konseptual kebijakan HTR. Hal ini disebabkan karena terdapat banyak kesamaan elemen sistem yang mendukung. Pengelolaan tanaman nasional merupakan kebijakan nasional dalam hal ini program Kementerian Kehutanan yang pelaksanaannya berada di level daerah. Selain itu, pengelolaan taman nasional juga mengandung aspek sosial kemasyarakatan.
Pengelolaan
taman
nasional
harus
mempertimbangkan
keberadaan masyarakat sekitar guna menjalin hubungan yang harmonis antara sumberdaya hutan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Perbedaan
mendasar antara pengelolaan taman nasional dengan kebijakan pembangunan HTR adalah posisi masyarakat pada program HTR merupakan pelaku utama kegiatan.
Sementara itu pengelolaan taman nasional masih berada dalam
kewenangan pemerintah dan posisi masyarakat sekitar sebagai aktor yang berpartisipasi dalam pembangunan. Dengan demikian model konseptual pengelolaan HTR lebih menekankan pada peran masyarakat sebagai pelaku bisnis hutan tanaman. Strategi yang ditempuh adalah penguatan kapasitas masyarakat agar memiliki kemandirian dalam menjalankan bisnis hutan tanaman.
III. 3.1
METODE PENELITIAN
Kerangka Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan kerangka pendekatan berdasarkan teori Sutton
(1999) untuk mengkaji kebijakan HTR mulai dari tahap proses perumusan kebijakan hingga implementasi. Sutton (1999) dalam The Policy Process: An Overview, mengajukan kritik terhadap model linier kebijakan.
Model linier
dinyatakan sebagai suatu model yang jauh dari realita, karena terdapat sejumlah asumsi yang sulit untuk dipenuhi. Menurut Sutton (1999) proses perumusan kebijakan adalah proses acak tanpa harus mengikuti tahapan seperti yang dirunut dalam model linier. Model linier berimplikasi bahwa jika kebijakan tidak mencapai tujuan yang diharapkan, maka kesalahan dirahkan pada proses implementasi kebijakan semata dan bukan melihat faktor formulasi kebijakan. Kegagalan implementasi ditimpakan pada kurangnya “political will”, kelemahan pengelolaan atau keterbatasan sumberdaya. Oleh karena itu sering disebut dengan ungkapan bahwa “Kebijakan sudah baik, hanya pelaksanaannya yang buruk”.
Hal seperti ini merupakan
tindakan pemisahan antara kebijakan dan implementasinya. Lebih lanjut Sutton (1999) menyatakan bahwa untuk mengkaji faktor keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan harus mempertimbangkan berbagai faktor, diantaranya dogma di masa lalu, isu-isu yang berkembang, adanya hasil studi, adanya kesepakatan internasional, kepentingan kelompok tertentu yang ikut menentukan ide pembaruan kebijakan dan proses pembuatannya. Sejalan dengan pemikiran tersebut, Winter (1990) menyatakan bahwa variable kunci yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan adalah : proses formulasi kebijakan dan respon kelompok target kebijakan serta perilaku organisasi pelaku implementasi. Analisis terhadap proses perumusan kebijakan dicontohkan oleh SpringateBaginski & Soussan (2002) dalam : A Methodology for Policy Process Analysis. Metode untuk analisis proses perumusan kebijakan juga dikembangkan oleh Institute Development Study (IDS). Menurut IDS (2006) perumusan kebijakan merupakan suatu proses yang kompleks dengan karakteristik sebagai berikut : 1) Bertahap, pembuatan kebijakan merupakan proses yang berulang, berdasarkan pengalaman, dan belajar dari kesalahan sebelumnya; dan 2) Diwarnai oleh berbagai kepentingan; ada pihak yang diakomodir ada juga yang diabaikan.
50
Lebih detail Blaikie & Soussan (2001) merinci metode analisis proses perumusan kebijakan menjadi 6 tahap, yaitu : 1) Tonggak peristiwa penetapan kebijakan. Pada umumnya suatu kebijakan dibangun dari kebijakan yang telah ada, dikombinasikan dengan keilmuan dan perspektif yang baru berkembang, serta prioritas-prioritas yang dihadapi. Sangat jarang ditemukan kebijakan yang benar-benar baru. Oleh karenanya penting mengkaji dan memahami perjalanan sejarah kebijakan. Peristiwa di masa lalu perlu diidentifikasi guna memahami kebijakan saat ini. 2) Konteks politik dan pemerintahan. Proses kebijakan dipengaruhi oleh bentuk birokrasi dan kapasitas agen pemerintah, juga oleh kerangka sosial politik yang lebih luas dan
trend perubahan yang terjadi.
Contoh yang
dikemukakan oleh Blaikie & Soussan (2001) adalah kebijakan zona pesisir di Banglades yang sangat terkait erat dengan issu mengenai desentralisasi dan demokrasi pada level lokal. 3) Permasalahan kunci kebijakan. Peneliti harus mengidentifikasi permasalahan kunci kebijakan yang terkait dalam perumusan kebijakan. Oleh karenanya menjadi sebuah tantangan untuk memahami situasi sebelum sebuah kebijakan diperdebatkan. 4) Proses pengembangan kebijakan. Pusat kajian dari analisis proses kebijakan adalah proses pengembangan kebijakan.
Untuk memahami proses ini,
peneliti harus mengidentifikasi dan memahami apa yang sesungguhnya terjadi meliputi interaksi dan respon para aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Beberapa aspek yang perlu dikaji adalah : -
pemahaman tentang struktur organisasi formal terkait dengan kebijakan yang disusun dan proses implementasinya
-
identifikasi dari aktor kunci dalam proses perumusan kebijakan
-
strategi yang digunakan oleh para aktor untuk mengajukan kasus masalah yang dihadapinya agar dapat diakomodir dalam kebijakan yang disusun
5) Hasil dan dampak dari kebijakan. Setelah mempertimbangkan proses pembuatan implementasi
kebijakan, kebijakan.
perhatian
selanjutnya
Penilaian
dialihkan
terhadap
proses
pada
proses
implementasi
memungkinkan peneliti untuk menguji apakah kebijakan benar-benar memenuhi tujuan kebijakan secara keseluruhan. Analisis hasil dan dampak kebijakan perlu dibuktikan dari hasil lapangan.
51
6) Prospek di masa yang akan datang. Mengingat kebijakan merupakan suatu yang dinamis maka penting untuk dikaji bagaimana prospek kebijakan di masa depan dan bagaimana kebijakan tersebut dikembangkan. Berpedoman pada metode yang dikembangkan oleh Blaikie & Soussan (2001) dan dipadukan dengan argumentasi dari Winter (1990) maka dalam penelitian ini dilakukan 3 tahap kegiatan penelitian yaitu : 1) proses perumusan kebijakan HTR; 2) respon dan implementasi HTR; dan 3) rancang bangun model konseptual kebijakan HTR.
Modifikasi dari model analisis Blaikie & Soussan
(2001) dan tahap analisis kebijakan HTR disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7 Tahap analisis kebijakan HTR dimodifikasi dari model Blaikie & Soussan (2001) Tahapan analisis seperti disajikan dalam Gambar 7 menjadi bagian dari kerangka pemikiran yang dibangun untuk menjelaskan kegiatan penelitian secara keseluruhan (Gambar 8).
Adapun penjelasan dari kerangka pemikiran pada
Gambar 8 diuraikan dalam paragraf berikut ini. Penetapan kebijakan HTR dilandasi oleh fakta bahwa kondisi sumberdaya hutan telah terdegradasi.
Di sisi lain, masyarakat sekitar hutan pada umumnya
memerlukan pengakuan secara legal atas hak akses untuk mengelola sumberdaya hutan.
Kebutuhan akan akses terhadap sumberdaya hutan
diperlukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena
52
itu
kebijakan
HTR
dimaksudkan
sebagai
solusi
untuk
menyelesaikan
permasalahan tersebut. Kinerja kebijakan HTR sejak digulirkan pada tahun 2007 hingga akhir tahun 2010 menunjukkan tingkat implementasi yang rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat pencapaian kegiatan baik berupa pencadangan lahan HTR yang baru mencapai 11,65%, maupun proses penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu HTR sebesar 1,62% dari target total seluas 5,4 juta ha. Berdasarkan fakta tersebut, maka dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menggali data tentang faktor kendala dan faktor pendukung bagi keberhasilan implementasi HTR.
Data-data tersebut dikumpulkan mulai dari tahap proses perumusan
kebijakan hingga tahap implementasi kebijakan di lapangan. Proses kajian dilakukan melalui analisa proses perumusan kebijakan HTR melalui kajian terhadap kondisi yang melatarbelakangi keluarnya kebijakan, aktor yang berperan dalam proses perumusan kebijakan, situasi yang mempengaruhi, serta konsep dasar yang dikandung dalam kebijakan HTR.
Hasil dari kegiatan
analisis proses perumusan kebijakan ditujukan untuk menjawab hipotesis penelitian pertama bahwa perumusan kebijakan HTR tidak memenuhi kaidah proses perumusan model linier atau model rasional.
Sementara itu, analisis
terhadap respon para pihak di lapangan serta evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan di lapangan dimaksudkan untuk menjawab hipotesis penelitian kedua yaitu.
Berdasarkan hasil analisis dan evaluasi selanjutnya dilakukan analisis
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan, sehingga dapat dirumuskan model konseptual kebijakan HTR.
Model tersebut dimaksudkan
sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimana strategi implementasi HTR agar berhasil mencapai tujuan yang diharapkan. Pemberian hak akses kepada masyarakat sekitar hutan berupa IUPHHK HTR
dimaksudkan
untuk
mencapai
tujuan
pengelolaan
hutan
secara
berkelanjutan. Keberlanjutan pengelolaan hutan dicirikan dengan 3 kriteria, yaitu pemenuhan aspek ekologi, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Kegiatan HTR memenuhi kriteria ekologi dari terwujudnya kegiatan penanaman hutan di lahanlahan logged over area.
Kriteria ekonomi dicapai melalui terbukanya
kesempatan usaha dan bekerja bagi masyarakat sekitar hutan. Sementara itu kriteria sosial tercapai dari terbangunnya kegiatan bersama diantara masyarakat pemegang IUPHHK-HTR.
Kemandirian masyarakat dalam pengelolaan HTR
53
merupakan kondisi yang diperlukan untuk terwujudnya kegiatan bisnis hutan tanaman. Prinsip pembangunan berkelanjutan menurut Comhar (2007) mensyaratkan adanya pilar pendukung berupa pengambilan keputusan yang tepat, pemenuhan kebutuhan
masyarakat
melalui
efisiensi
penggunaan
sumberdaya,
dan
pemerataan pembangunan. Proses verifikasi dan validasi dimaksudkan untuk mendapatkan keputusan model konseptual kebijakan HTR yang tepat. Model yang
disusun
mempertimbangkan
berbagai
aspek
yang
terkait
secara
komprehensif, baik aspek ekologi, ekonomi, maupun sosial sehingga tercapai pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui efisiensi penggunaan sumberdaya lahan hutan.
Gambar 8 Kerangka penelitian
54
3.2
Lokasi Penelitian Analisis proses kebijakan dilakukan di tingkat pusat yaitu dengan menggali
data dari para pengambil kebijakan di kantor Kementerian Kehutanan. Sedangkan analisis respon para pihak dan implementasi kebijakan di daerah dikaji dari hasil kegiatan observasi lapangan di 3 provinsi, yaitu Provinsi Riau, Kalimantan Selatan dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Gambar 9). Lokasi penelitian merupakan sampel provinsi yang dipilih dengan pendekatan purposive (sengaja). Dasar pertimbangannya adalah lokasi yang menjadi sasaran utama pelaksanaan program HTR. Program HTR diprioritaskan di wilayah yang telah ada ijin HTI dan industri kayu, hal ini dimaksudkan untuk mendorong keberhasilan program HTR melalui terbukanya peluang kerjasama antara HTI-industri dan rakyat (Dirjen BPK 2006). Provinsi Riau dan Kalimantan Selatan merupakan lokasi yang memenuhi kriteria tersebut dan dapat mewakili 2 pulau yang menjadi prioritas utama pelaksanaan kebijakan HTR. Sementara itu, Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih sebagai sampel lokasi dimana pelaksanaan program HTR telah mencapai tahap implementasi.
Provinsi Kalsel
Provinsi Riau
Provinsi DIY
Gambar 9 Lokasi penelitian
3.3
Tahapan Kegiatan dan Waktu Penelitian Pelaksanaan penelitian dilakukan melalui tiga tahap, yaitu :
1. Kajian proses perumusan kebijakan HTR 2. Kajian respon para pihak di daerah dan implementasi kebijakan HTR di lapangan 3. Melakukan rancang bangun model konseptual kebijakan HTR.
55
Keseluruhan proses pelaksanaan penelitian mulai dari studi pustaka hingga penarikan kesimpulan dan saran ditunjukkan pada Gambar 10.
Gambar 10 Tahapan penelitian
Kegiatan penelitian di lapangan dimulai sejak bulan Agustus 2008 hingga Agustus 2010. Kegiatan penelitian di lapangan dilaksanakan dalam 2 tahap yaitu pra-survey yang dilakukan bulan September 2008 dan tahap pengumpulan data primer di Provinsi Kalsel dan Riau pada bulan Maret – April 2009. Pengumpulan data untuk analisis proses perumusan kebijakan di Kantor Kementerian Kehutanan dilaksanakan bulan Mei hingga November 2009.
Sementara itu
pengumpulan data primer di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dilaksanakan pada bulan Desember 2009. Tahap terakhir yaitu proses rancang bangun model konseptual kebijakan dilaksanakan bulan Februari hingga Agustus 2010.
56
3.4 Teknik Pengumpulan Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari informan kunci yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan HTR, data respon para pemangku kepentingan di daerah terhadap kebijakan HTR, serta pendapat pakar mengenai strukturisasi sistem pengelolaan HTR.
Data sekunder terdiri atas adalah data-data yang terkait
dengan
HTR
kebijakan
meliputi
peraturan
perundangan
HTR,
laporan
pelaksanaan kegiatan HTR, dan berbagai dokumen lain yang relevan. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam terhadap informan kunci.
Empat kelompok informan penelitian adalah birokrat pemerintah pusat,
pemangku kepentingan di daerah, petani hutan, dan pakar permodelan. Wawancara dengan pengambil kebijakan di tingkat pusat merupakan kegiatan pengumpulan
data
untuk
tahap
analisis
proses
perumusan
kebijakan.
Sementara itu, wawancara di tingkat pemerintah daerah dan petani hutan dilakukan untuk menggali respon mereka terhadap kebijakan HTR.
Evaluasi
terhadap implementasi kebijakan HTR digali dari hasil wawancara, observasi di lapangan, serta pengumpulan data-data sekunder di instansi kehutanan. Proses wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara yang berisi hal-hal pokok yang harus ditanyakan kepada informan. Catatan lapangan disusun berdasarkan transkrip wawancara atau catatan pengamatan. Peubah dan sumber data yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Tabel 8. Informan dari para pihak pengambil kebijakan adalah pihak yang terlibat dalam perumusan kebijakan, dan atau yang mengetahui proses lahirnya kebijakan HTR.
Para pemangku kepentingan di daerah adalah pengambil
kebijakan terkait pengelolaan kehutanan di lingkup pemerintah daerah tingkat provinsi dan kabupaten.
Responden pakar adalah para pihak dari kalangan
akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan pihak lain yang memiliki pengetahuan memadai terhadap aspek-aspek yang terkait dengan kebijakan Hutan Tanaman Rakyat.
57
Tabel 8 Peubah dan sumber data penelitian No 1.
Aspek
Peubah
Sumber data
Proses
Tonggak sejarah kebijakan
perumusan kebijakan
Konteks politik dan pemerintahan
Dokumen informasi dari key informan
Isue kunci kebijakan Proses pembangunan kebijakan: latar belakang ide, filosofi program, aktor yang terlibat, Kondisi yang mendukung
2.
Implementasi
Respon pemerintah daerah
Pemerintah daerah
Respon petani sekitar hutan
Petani
Luas areal pencadangan HTR
dokumen
dan respon di daerah
Luas areal IUPHHK HTR 3
Strukturisasi
Elemen lembaga yang terlibat
sistem
Elemen kebutuhan akan pengelolaan HTR berkelanjutan
Dokumen Responden pakar
Elemen tujuan Elemen kendala utama Elemen kegiatan yang diperlukan
Tabel 9 menyajikan jumlah informan yang menjadi sumber data dalam penelitian ini. Total informan sebanyak 182 orang, terdiri dari informan di tingkat pusat hingga masyarakat sekitar hutan. Tabel 9 Jumlah informan penelitian Informan Birokrat Kemhut (12 orang)
Jumlah 1 1 7 3
Keterangan Direktur BPHT Kapus BLU P2HT Staf Subdit HTR Staf BLU
Provinsi Kalsel (54 orang)
18 5 31
FGD Provinsi +Wawancara Pemda Kabupaten Petani
Provinsi Riau (51 orang)
17 3 31
FGD Provinsi + wawancara Pemda Kabupaten Petani
Provinsi DIY (55 orang)
5 10 40
Dishut Prop + Pokja Pemda Kabupaten GK Petani HTR
Pakar
10
Akademisi dan LSM
Jumlah total
182
58
3.4.1
Survey Responden Birokrat Pengambil Kebijakan Pengumpulan data dilakukan melalui proses wawancara mendalam
dengan menggunakan pedoman wawancara yang berisi hal-hal pokok yang ditanyakan kepada informan (Lampiran 3). Informan kunci yang diwawancara adalah para pihak yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan.
Metode penentuan informan dilakukan dengan
teknik bola salju. Pada awal kegiatan penelitian, peneliti langsung menuju ke Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan yaitu eselon satu di Kementerian Kehutanan yang memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai pengelola program HTR.
Sejak tahun 2010 Direktorat Jenderal ini berganti nama menjadi Bina
Usaha Kehutanan.
Pada Direktorat Jenderal ini terdapat struktur organisasi
setingkat eselon tiga yaitu Sub-Direktorat Hutan Tanaman Rakyat yang mengelola kegiatan HTR. Informasi awal dikumpulkan dari seluruh elemen yang ada pada Subdit HTR, mulai dari Kepala Sub Direktorat, Kepala Seksi hingga staf. Pertanyaan yang diajukan pada intinya mengenai sejarah dirumuskannya kebijakan HTR dan pihak-pihak yang terlibat dalam proses perumusannya. Dari responden di Subdit HTR kemudian ditelusuri pihak-pihak lain yang ikut terlibat dalam proses perumusan kebijakan HTR.
Setiap pihak yang diwawancarai diminta untuk
menyebutkan pihak lain yang terlibat untuk dijadikan informan berikutnya. Penelusuran informan kunci berhenti ketika tidak ada lagi informan lain yang direkomendasikan sebagai sumber data baru. Informan utama dalam penelitian proses perumusan kebijakan HTR terdiri dari 12 orang. Seluruh informan merupakan pihak yang terlibat dan mengetahui dengan baik proses perumusan kebijakan HTR. Mereka adalah para pihak yang sejak awal bertugas di Subdit HTR - Direktorat Bina Usaha Hutan Tanaman Ditjen Bina Produksi Kehutanan Kementerian Kehutanan dan sebagian informan yang bertugas di Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan.
3.4.2
Survey Responden Parapihak di Daerah Pada tahap ini dilaksanakan diskusi kelompok terarah (Focus Group
Discussion) yang diselenggarakan di tingkat Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Riau, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Kegiatan diskusi
terarah melibatkan berbagai stakeholder di daerah yang terkait dengan
59
pelaksanaan kegiatan HTR.
Kegiatan diskusi juga dilakukan di tingkat desa
dengan melibatkan wakil dari pihak pemerintah daerah kabupaten, aparat kecamatan, aparat desa, dan petani. Survey di tingkat masyarakat: dilakukan dengan melakukan survey untuk mengetahui respon masyarakat dan wawancara mendalam untuk mengetahui persepsi dan respon mereka terhadap program HTR dan kondisi aktual masyarakat terkait kegiatan hutan tanaman.
Analisis respon pemangku
kepentingan selain pihak masyarakat dilakukan melalui pengumpulan data kuesioner. Untuk mengetahui respon stakeholder daerah terkait kebijakan HTR peneliti juga mengikuti kegiatan lokakarya yang diselenggarakan di tingkat nasional. Kegiatan lokakarya diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan pada tanggal 26-27 Mei 2008 bertempat di Bogor. Lokakarya dihadiri oleh Bupati, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten, pendamping dan pemegang izin IUPHHK-HTR. Agenda utama dari penyelenggaraan lokakarya adalah
identifikasi
permasalahan pembangunan
HTR dari berbagai wilayah dan munculnya inisiatif pengembangan HTR.
3.4.3
Survey Pakar Survai pakar dilakukan dengan tujuan untuk akuisisi pengetahuan yang
dimiliki oleh pakar terhadap aspek-aspek pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat yang penting dalam rangka mewujudkan pengelolaan yang berkelanjutan. Penetapan pakar sebagai sumber pengetahuan atau atas
responden
didasarkan
pertimbangan dan kriteria: 1). keberadaan, kemudahan dan kesediaan
untuk diwawancarai, 2). reputasi, kedudukan, dan memiliki kredibilitas sebagai pakar, c). pengalaman pakar yang menunjukkan kemampuan untuk memberikan saran yang benar dan dapat membantu pemecahan masalah.
Karakteristik
pakar dalam memecahkan masalah adalah efektif, efisien dan sadar terhadap keterbatasanya.
Akuisisi pengetahuan dari pakar dapat digunakan metode
wawancara secara mendalam. Alternatif sumber pengetahuan dapat ditemukan melalui pengamatan kinerja seorang ahli maupun publikasi ilmiah (Eriyatno & Sofyar 2007). Pakar yang dilibatkan dalam penelitian ini berasal dari akademisi, tokoh masyarakat dan pemerintah. Jumlah total responden pakar sebanyak 10 orang untuk identifikasi dan strukturisasi elemen pengelolaan HTR berkelanjutan.
60
3.5
Analisis data
3.5.1
Analisis Proses Perumusan Kebijakan Teknik analisis data dalam penelitian ini mengikuti langkah analisis proses
perumusan kebijakan seperti yang dicontohkan oleh Blaikie & Soussan (2002). Aspek yang menjadi fokus analisis meliputi : 1) Tonggak kunci kebijakan, berupa perjalanan sejarah kebijakan pengelolaan hutan. Data diperoleh dari kajian dokumen dan literatur serta wawancara mendalan kemudian dianalisis dengan metode pathway dependency 2) Konteks politik dan pemerintahan, berupa kondisi pemerintahan yang mendukung pada saat kebijakan HTR dirumuskan. Data diperoleh dari hasil wawancara dianalisis dengan teknik analisis data wawancara dan disajikan secara deskriptif qualitatif. 3) Issu kunci kebijakan, berupa permasalahan yang menjadi latar belakang dirumuskannya kebijakan HTR, serta trend kebijakan yang saat ini menjadi fokus perhatian. Data dianalisis dari hasil wawancara dan disajikan secara deskriptif qualitatif. 4) Proses pembentukan kebijakan, berupa identifikasi aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan, pemahaman terhadap struktur organisasi formal yang terkait dengan dirumuskannya kebijakan HTR, ide dasar (diskursus) yang diyakini para aktor, dan strategi aktor untuk menggulirkan kebijakan. Data disajikan dengan teknik deskriptif qualitatif melalui suatu prosedur analisis data wawancara. Adapun teknik analisis data hasil wawancara dilakukan dengan berpedoman pada langkah-langkah analisis menurut Strauss dan Cobin (1990) dalam grounded theory yang disebut juga sebagai proses coding. Proses coding dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: 1. Open coding. Open coding adalah salah satu bagian dari proses analisis yakni secara khusus melakukan penamaan dan membuat kategori atas fenomena dengan jalan mempelajari data secara teliti. Data dalam hal ini dipecah-pecah menjadi beberapa bagian, diamati dengan cermat, kemudian diperbandingkan
sehingga
ditemukan
persamaan,
perbedaan
dan
mempertanyakan sebagai fenomena apa berdasarkan data yang didapatkan. Dalam penelitian ini dilakukan open coding melalui analisis terhadap kalimat atau paragraf hasil wawancara, catatan lapang, atau dokumen.
61
Analisis juga dilakukan terhadap hasil observasi, interview atau dokumen secara utuh. Prosedur open coding yang dilakukan melalui konseptualisasi data dan penentuan kategori. Konseptualisasi data dilakukan dengan memisahkan hasil observasi, sebuah kalimat, sebuah paragraf dan memberi nama suatu kejadian, pemikiran, atau kejadian dengan suatu nama yang kira-kira dapat menerangkan (mewakili fenomena) tersebut. Contoh analisis hasil wawancara untuk menentukan fenomena disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Proses konseptualisasi data wawancara
Kalimat hasil wawancara
Fenomena
HTR pada intinya sama saja dengan HTI. Gagasannya begini: HTR aturannya harus tanah kosong, padang alang, semak belukar.
Inti kebijakan dengan HTR
HTI
sama
Pada kenyatannya sulit untuk mencari hamparan luas yang namanya lahan kosong di hutan, tetapi kalau spot-spot banyak
lahan kosong di hutan alam banyak dalam bentuk spotspot kecil
Pada saat lahir HTR, karet dilarang karena ego sektorat.. Pertimbangan saya waktu itu karena untuk membangun karet modalnya besar.
Karet tidak dipilih sebagai tanaman HTR karena perlu modal besar
Penentuan kategori dilakukan dengan cara mengelompokkan konsepkonsep yang telah dihasilkan (dinamai).
Konsep-konsep yang berhubungan
dengan fenomena yang sama dimasukkan dalam kelompok yang sama. Fenomena yang diwakili oleh sebuah kategori kemudian diberi nama konseptual, nama tersebut bersifat lebih abstrak dibandingkan dengan nama-nama pada konsep yang ada dalam kelompoknya (Tabel 11). Tabel 11 Proses kategorisasi data wawancara Fenomena
Konsep
Kategori
Inti HTR sama dengan HTI
Inti kebijakan HTR
lahan kosong di hutan banyak dalam bentuk spot-spot kecil
Potensi lahan kosong tinggi
Konsep dasar kebijakan HTR Faktor pendorong dirumuskan kebijakan HTR
Karet tidak dipilih sebagai tanaman HTR karena perlu modal besar
Penentuan jenis tanaman HTR
2.
Axial coding.
Sifat pembangunan HTR
Setelah data dipecah-pecah dalam rangka menemukan
kategori, maka dalam axial coding data tersebut disatukan kembali dengan
62
cara yang berbeda yakni dengan mencari hubungan antara sebuah kategori dan sub kategorinya. Namun hubungan ini bukan hubungan antar kategori utama untuk membuat rumusan teoritik namun hanya dalam rangka menemukan beberapa kategori utama. 3.
Selective coding. Tahap ini dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan terhadap kategori inti (core categori). Tahap yang dilakukan dalam analisis proses perumusan kebijakan HTR ini sedikit berbeda dengan teknik dasar grounded theory. Teknik grounded theory melakukan pemilihan kategori inti berdasarkan data yang muncul dari hasil pengamatan lapanan tanpa didahului adanya kerangka analisis. Sementara itu, pada analisis ini kategori inti telah lebih dulu ditetapkan, yaitu variabel-variabel latar belakang perumusan kebijakan, aktor yang terlibat, peran dan kepentingan aktor, serta ide dasar (diskursus) yang diusung oleh para aktor.
3.5.2
Respon para pemangku kepentingan di daerah dan Implementasi Kebijakan HTR Evaluasi terhadap implementasi kegiatan HTR dilakukan melalui observasi
dan kajian dokumen antara lain berupa laporan kegiatan. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui pencapaian pelaksanaan kegiatan HTR di lokasi penelitian. Analisis ini disebut juga sebagai analisis situasional di 3 provinsi yang menjadi lokasi kegiatan penelitian. Data yang diperoleh dianalisis dengan melihat tingkat pencapaian tahap pelaksanaan kegiatan HTR, dimulai dari kegiatan pencadangan areal, penerbitan IUPHHK-HTR hingga kegiatan penanaman. Selanjutnya dianalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pencapaian tersebut. Tujuannya untuk menggali faktor-faktor yang menjadi pendorong dan penghambat terhadap pelaksanaan kegiatan. Analisis data hasil observasi terkait implementasi kegiatan HTR disajikan dengan teknik analisis deskriptif. Analisis untuk aspek respon para pemangku kepentingan di daerah dilakukan dengan teknik kuantifikasi data qualitatif menggunakan prosentase terhadap skala sikap setuju, tidak setuju, dan raguragu.
63
3.5.3
Permodelan sistem Salah satu teknik permodelan yang dikembangkan untuk perencanaan
kebijakan
strategis
adalah
Teknik
Permodelan
Interpretasi
Struktural
(Interpretative Structural Modelling – ISM). ISM merupakan salah satu metode permodelan soft system berbasis komputer yang dapat membantu kelompok untuk mengidentifikasi hubungan antara ide dan struktur tetap pada isu yang kompleks. ISM dapat digunakan untuk mengembangkan beberapa tipe struktur, termasuk struktur pengaruh, struktur prioritas, dan kategori ide.
ISM
menganalisis elemen sistem dan memecahkannya dalam bentuk grafis dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki. Elemen-elemen dapat merupakan tujuan kebijakan, target organisasi, maupun faktor-faktor penilaian. Sedangkan hubungan langsung dapat dalam konteks yang beragam (Marimin 2005). Dalam penelitian ini, prosedur teknik pemodelan dilakukan seperti yang diuraikan Saxena et al. (1992) dan Kanungo and Bhatnagar (2002) dengan langkah (Gambar 11): 1) Identifikasi elemen, yaitu setiap elemen sistem diidentifikasi dan didaftar. Identifikasi elemen dapat diperoleh melalui penelitian, diskusi curah pendapat maupun cara yang lainnya. 2) Hubungan kontekstual, yaitu menetapkan hubungan kontekstual antar elemen yang dikembangkan berdasarkan pada tujuan dari permodelan. 3) Matriks interaksi tunggal terstruktur (Structural Self Interaction Matrix – SSIM) dibangun berdasarkan persepsi responden terhadap hubungan elemen yang dinilai. Empat simbol digunakan untuk mewakili tipe hubungan antar dua elemen yang dikaji. Simbol tersebut adalah: 1) V menunjukkan hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, dan tidak sebaliknya; 2) A menunjukkan hubungan dari elemen Ej terhadap Ei, dan tidak sebaliknya; 3) X jika ada hubungan interrelasi antara Ei dan Ej, dan dapat sebaliknya; 4) O merepresentasikan bahwa elemen Ei dan Ej tidak berkaitan 4) Matriks Reachability (Reachability Matrix – RM) dibangun dengan mengubah simbol-simbol SSIM ke dalam sebuah matriks biner. Konversi SSIM menjadi RM menggunakan aturan-aturan berikut, •
Jika relasi Ei terhadap Ej = V dalam SSIM maka elemen Eij = 1 dan Eji = 0
•
Jika relasi Ei terhadap Ej = A dalam SSIM maka elemen Eij = 0 dan Eji = 1
•
Jika relasi Ei terhadap Ej = X dalam SSIM maka elemen Eij = 1 dan Eji = 1
64
•
Jika relasi Ei terhadap Ej =O dalam SSIM maka elemen Eij = 0 dan Eji = 0.
RM awal dimodifikasi untuk menunjukkan seluruh direct dan indirect reachability, yaitu jika Eij = 1 dan Ejk = 1 maka Eik = 1. 5) Tingkat partisi dilakukan untuk mengklasifikasi elemen-elemen dalam levellevel yang berbeda dari struktur ISM.
Gambar 11 Diagram teknik ISM (Saxena et al. 1992) 6) Matriks Canonnical: Pengelompokan elemen-elemen dalam level yang sama mengembangkan matriks ini. Matriks resultan memiliki sebagian besar dari elemen-elemen triangular yang lebih tinggi adalah 0 dan terendah 1. Matriks ini selanjutnya digunakan untuk mempersiapkan digraph. 7) Digraph adalah konsep yang berasal dari Directional Graph, yaitu sebuah grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan secara langsung dan level hierarki.
Digraph awal dipersiapkan dalam basis matriks canonical.
65
Graph awal tersebut selanjutnya dipotong dengan memindahkan semua komponen yang transitif untuk membentuk digraph akhir. 8) Interpretative Structural Model:
ISM dibangkitkan dengan memindahkan
seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual. Oleh sebab itu ISM memberikan gambaran yang sangat jelas dari elemen-elemen sistem dan alur hubungannya. 3.6 Verifikasi dan Validasi Setiap penelitian memerlukan adanya standar untuk melihat derajat kepercayaan dan kebenaran terhadap hasil penelitian tersebut. Menurut Lincoln & Guba (1985) ada empat kriteria yang digunakan untuk memeriksa keabsahan data, yaitu : derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), ketergantungan (dependenability) dan kepastian (confirmability). Upaya memenuhi syarat keabsahan data penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa kegiatan berikut : (1) memperpanjang masa observasi, (2) pengamatan yang terus menerus, (3) triangulasi (data dan sumber, (4) mendiskusikan dengan teman sejawat, (5) menggunakan bahan referensi, dan (6) mengadakan pemeriksaan kembali. Keteralihan hasil penelitian biasanya berkaitan dengan pertanyaan, sejauh mana penelitian ini dapat dipublikasikan atau digunakan dalam situasi lain. Cara yang digunakan untuk membangun keteralihan temuan penelitian adalah dengan cara memberikan uraian rinci. Dalam penelitian ini dikumpulkan data yang dapat memberikan gambaran dan latar belakang keadaan para partisipan kebijakan, teruama kondisi yang dapat mempengaruhi mengapa suatu fenomena dapat muncul.
Dengan teknik ini hasil penelitian disajikan secermat mungkin yang
menggambarkan pula konteks dimana penelitian diselenggarakan dengan mengacu pada masalah penelitian. Penelitian ini juga dilaksanakan secermat mungkin untuk memenuhi kriteria ketergantungan dan kepastian.
Ketergantungan adalah kriteria untuk menilai
apakah proses penelitian bermutu atau tidak. Kepastian adalah kriteria untuk menilai kualitas hasil penelitian dengan perekaman pada pelacakan data dan informasi serta interpretasi yang didukung oleh materi yang ada pada penelusuran atau pelacakan. Selain proses pengujian terhadap keabsahan data, pada penelitian ini juga dilakukan proses verifikasi dan validasi terhadap model yang disusun. Menurut Eriyatno dan Sofyar (2007), proses verifikasi model kebijakan dilakukan dengan
66
tujuan untuk mengetahui berbagai kelemahan dan kekurangan dari model serta mengidentifikasi berbagai masalah yang perlu diantisipasi terkait dengan penerapan kebijakan yang dirumuskan. Verifikasi kebijakan dilakukan terhadap metode yang digunakan dalam pengambilan data. Sedangkan validasi model kebijakan dilakukan melalui uji pendapat pakar atau dilakukan dengan membandingkan model kebijakan hasil penelitian terhadap kebijakan yang sedang berjalan atau sudah dijalankan. Validasi yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada Sargent (1998) adalah face validity.
Proses validasi dilakukan dengan menggunakan
pendapat pakar untuk mengetahui kesesuaian dan kelayakan model serta kebenaran logika dan teori dalam model konseptual yang menjelaskan hubungan input-output model secara masuk akal.
IV.
ANALISIS PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN HTR Analisis proses perumusan kebijakan HTR diuraikan dengan berpedoman
pada metode yang disampaikan oleh Blaikie & Soussan (2001). perumusan kebijakan HTR terdiri dari empat bagian.
Analisis
Bagian awal dimulai
dengan pemaparan mengenai tonggak peristiwa penetapan kebijakan. Hal ini dilakukan karena sebuah kebijakan yang baru memiliki kaitan dan dipengaruhi oleh kebijakan yang telah ada sebelumnya. Bagian selanjutnya adalah uraian mengenai proses perumusan kebijakan HTR.
Bagian ini memaparkan proses membangun kebijakan HTR dengan
mengkaji aspek-aspek konteks politik dan pemerintahan, permasalahan kunci kebijakan, dan proses membangun kebijakan HTR meliputi aktor yang berperan, situasi politik dan pemerintahan yang berpengaruh, serta strategi aktor penentu kebijakan dalam mewujudkan kebijakan. Bagian ketiga merupakan analisis narasi dan diskursus kebijakan dengan memaparkan ide dasar atau keyakinan yang digunakan oleh para aktor pengambil keputusan.
Bagian terakhir dari bab ini menganalisis proses
perumusan kebijakan HTR berdasarkan teori model linier.
4.1 Tonggak Peristiwa Penetapan Kebijakan Tonggak peristiwa penetapan kebijakan digali dari perjalanan sejarah pemanfaatan hutan di Indonesia, perkembangan kebijakan pengelolaan hutan produksi, dan perkembangan kebijakan perhutanan sosial. Perkembangan kebijakan pengelolaan hutan produksi di Indonesia menjadi penting untuk dikaji, mengingat kebijakan HTR menyangkut pemanfaatan hutan produksi. Di samping itu, kebijakan HTR juga merupakan salah satu bentuk pengelolaan hutan melibatkan masyarakat, karenanya perlu juga untuk merujuk proses perjalanan kebijakan perhutanan sosial.
4.1.1
Sejarah Pemanfaatan Hutan di Indonesia Secara umum pemanfaatan hutan di Indonesia dapat dibagi menjadi 3
periode, yaitu : 1) periode pra-kolonialisasi; 2) periode kolonialisasi; 3) periode kemerdekaan.
dan
Ilustrasi pembagian periode pemanfaatan disajikan
pada Gambar 12. Uraian detail mengenai perjalanan sejarah pemanfaatan hutan di Indonesia disajikan pada paragraf berikutnya dari sub-bab ini.
68
Gambar 12 Periode pemanfaatan hutan di Indonesia Nusantara pada periode pra sejarah mencakup suatu periode yang panjang kira-kira 1,7 juta tahun yang lalu. Hal ini disarkan pada pengetahuan yang didukung oleh temuan fosil hewan dan manusia serta sisa-sisa peralatan dari batu, bagian tubuh hewan, logam (besi dan perungu) serta gerabah. Encyclopaedia Britanica membahas tentang sejarah manusia Jawa dalam The Java Man.
Berdasarkan temuan yang disebut homo erectus dan dikaji
menggunakan pengukuran radiometri, para ahli palaentologi berpendapat bahwa fosil tersebut berasal dari era sekitar 1,7-1,5 juta tahun yang lalu Perjalanan
sejarah berikutnya
mencatat
masa
kejayaan
Kerajaan
Majapahit. Kerajaan ini mempunyai wilayah kekuasaan paling luas, mempunyai pengaruh sampai di luar negeri, dan memiliki angkatan perang yang disegani oleh negara lain. Kerajaan ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari kerajaan Singasari*.
Kerajaan Majapahit sudah mampu mengembangkan sayap
kekuasaannya ke wilayah di seberang lautan. Sudah dapat dipastikan bahwa kerajaan tersebut telah dapat membuat kapal-kapal, bangunan keraton, rumahrumah penduduk maupun peralatan lainnya dari kayu. Kayu yang digunakan tentu saja diperoleh dari hasil menebang pohon di hutan.
*
http://arie55history.blogspot.com/2010/02/ perang-paregreg-dalam-sejarah-indonesia. html diakses 20 Oktober 2010
69
Muljana (2008) dalam bukunya Tafsir Sejarah : Negara Kertagama menceritakan mengenai asal mula nama Majapahit terdapat dalam Pararaton dan Panji Wijayakrama IV/86-87.
Cerita tentang asal mula Majapahit
menunjukkan adanya hubungan hutan dengan sejarah kerajaan Majapahit. Konon nama Majaphit berasal dari buah Maja yang banyak tumbuh di hutan di sekitar Sungai Brantas. Adapun disebut kerajaan Majapahit disebabkan karena orang-orang yang datang ke wilayah ini berusaha membabat hutan, dan ketika lapar mereka memakan buah maja yang rasanya sangat pahit. Periode sejarah berikutnya dengan masa pemerintahan Kerajaan Mataram (tahun 1500an). Wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, dimana sebagian besar wilayahnya masih berupa hutan lebat. Menurut catatan sejarah, wilayah hutan tersebut ditumbuhi dengan pohon jati yang tumbuh dalam larikan-larikan yang teratur. Pada tahun 1600-1900an atau selama abad 16 hingga abad 20, terjadi eksploitasi hutan jati di pulau Jawa oleh Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Praktik pemanfaatan hutan alam jati di Jawa inilah yang dapat dianggap sebagai salah satu tonggak sejarah dimulainya pengelolaan hutan di Indonesia. Vereenigde Oost Indische Compagnie telah menjadikan eksploitasi hutan alam jati di Jawa sebagai salah satu tambang bagi pemasukan keuntungan yang sebesar-besarnya. Rasionalitas VOC sebagai satu-satunya perusahaan dagang milik pemerintah Belanda telah menempatkannya sebagai sebuah institusi yang semata-mata mengejar keuntungan ekonomi dan tidak memperhitungkan daya dukung hutan yang ada. Dampaknya, kerusakan hutan alam di Jawa secara perlahan-lahan mulai terjadi (Iskandar et al. 2003; Simon 2006). Cordes (1992) mencatat bahwa pada saat VOC dihapuskan di Indonesia, semua yang dimiliki VOC dijadikan milik negara. Hutan-hutan jati yang tidak termasuk dalam milik pribadi atau desa menjadi milik pemerintah penjajah Belanda, kecuali hutan jati yang berada di wilayah Kesultanan Surakarta dan Yogyakarta. Iskandar et al. (2003) menguraikan bahwa ketika Herman Williem Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal pada tahun 1807, hutan-hutan yang rusak akibat eksploitasi berlebihan oleh VOC mulai diperhatikan. Selama masa kekuasaan VOC, hutan-hutan di Jawa telah dieksploitasi berlebihan untuk kepentingan kolonial. Kayu jati yang diperoleh dari tebangan hutan alam di Jawa
70
menjadi favorit untuk diperdagangkan, terutama untuk diekspor.
Kayu-kayu
tersebut digunakan untuk membangun gudang, gedung, galangan kapal, bahtera, dan perabot rumah. Eksploitasi yang belebihan tidak diiringi tindakan pemeliharaan maupun penanaman kembali.
Lahan-lahan bekas tebangan
akhirnya menjadi penyebab terjadinya berbagai bencana. Daendels menyadari bahwa hutan jati di Jawa akan berkurang jika tidak diiringi
dengan
kegiatan
penanaman
kembali,.
Setahun
setelah
pengangkatannya, Daendels mengangkat seorang Inspektur Jenderal Kehutanan dan membuat rumusan pengelolaan hutan. Targetnya, hutan-hutan alam yang telah ditebang segera ditanam kembali. Saat itulah pertama kalinya pengelolaan hutan memiliki personil yang khusus dan terdapat ketentuan yang harus diikuti dalam pengelolaan hutan. Meskipun tujuan itu lebih kepada pengaturan produksi kayu untuk kepentingan pelaku bisnis, setidaknya aspek kelestarian produksi mulai diterapkan.
Di era tersebut tepatnya tahun 1808 dibentuk Organisasi
Pengurusan Hutan Jati dimana titik beratnya pada pasokan jati bagi kepentingan ekonomi Belanda. Sistem silvikultur yang diperkenankan adalah hutan tanaman dan tumpangsari lamtorogung sebagai tanaman sela (Iskandar et al.2003; Simon 2006). Upaya tersebut menghadapi kendala karena adanya kegiatan cultuurstelsel (tanam paksa) yang dikembangkan oleh Van den Bosch (Simon 1993). Kegiatan ini berupaya untuk memperoleh hasil tanaman pertanian dan perkebunan yang dianggap cepat menghasilkan.
Semua lahan yang ada harus dimanfaatkan,
termasuk kawasan hutan jati. Cultuurstelsel menyebabkan terjadinya konversi besar-besaran kawasan hutan produksi menjadi lahan perkebunan, seperti perkebunan tebu, karet, kopi, atau tanaman palawija.
Akibat konversi hutan
menjadi lahan perkebunan dan pertanian, maka luas kawasan hutan menyusut drastis bahkan banyak yang berubah menjadi lahan kritis (Iskandar et al. 2003) Untuk mendukung pelaksanaan reforestasi dan pengelolaan hutan dengan menggunakan pengetahuan dan teknologi modern, maka pada tahun 1873 Jawatan Kehutanan membentuk organisasi teritorial kehutanan.
Berdasarkan
Staatsblad No. 215 maka kawasan hutan di Jawa dibagi menjadi 13 daerah hutan yang masing-masing mempunyai luas 70.000-80.000 ha untuk kawasan jati dan lebih dari 80.000 ha untuk daerah hutan di luar kawasan hutan jati. Selanjutnya Pemerintah Belanda mendirikan Perusahaan Hutan Jati (Djatibedrijf) untuk mengintensifkan pengelolaan hutan jati di Jawa dan Madura, sedangkan
71
pengelolaan kawasan hutan rimba non jati diserahkan wewenangnya kepada Dinas Hutan Rimba (Dienst de Wildhoutbossen). Pengelolaan hutan di bawah pemerintah Hindia Belanda terus berjalan dengan penyempurnaan undangundang dan berbagai peraturan yang telah dihasilkannya. Untuk meningkatkan pengelolaan hutan, kemudian dibangun Lembaga Penelitian Hutan pada tahun 1913 (Bosbouw Proefstation) (Departemen Kehutanan 1986) Di masa pendudukan Jepang kondisi sumber daya hutan semakin rusak dengan kondisi kawasan yang semakin parah. Pada masa ini hampir tidak ada kegiatan penanaman.
Kebijakan yang ada hanyalah pemanfaatan segala
potensi sumberdaya alam untuk tujuan perang.
Hutan-hutan yang ada
dieksploitasi untuk memasok kebutuhan armada perang Jepang. Untuk lebih memperlancar berbagai kepentingan, maka Jawatan Kehutanan dilebur ke dalam Departemen Urusan Perkapalan. Selanjutnya, Jawatan Kehutanan dimasukkan dan menjadi bagian dari Kantor Pemenuhan Kebutuhan Perang pada akhir tahun 1945 (Iskandar et al. 2003). Eksploitasi hutan semakin merajalela.
Dengan dalih melipatgandakan
hasil bumi, rakyat diperbolehkan membuka hutan seluas 4.428 ha untuk ditanami palawija. Lahan yang dibuka menjadi lahan kritis. Selain itu, terbit kewajiban menanami jenis kapas dan jarak yang ditanam diantara tanaman jati. Kegiatan itu justru makin merusak tanaman pokok jati.
Dengan demikian, kebijakan
pemanfaatan lahan yang dilandasi untuk kepentingan perang pada akhirnya kian menyusutkan kawasan hutan. Jepang meninggalkan 500.000 ha kawasan hutan yang rusak akibat kebijakan tersebut (Iskandar et al. 2003; Nurjaya 2006). . Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945 memberikan kewenangan dan kesempatan
bagi
Pemerintah
Indonesia
merehabilitasi kawasan hutan yang rusak.
untuk
membangun
hutan
dan
Selain itu terbuka kesempatan
memanfaatkan sumberdaya hutan untuk pembangunan nasional terutama hutan di luar Pulau Jawa. Aspek penting yang harus disoroti dalam pengelolaan hutan pasca kemerdekaan adalah eksploitasi sumber daya hutan. Hutan diposisikan sebagai sumber pendapatan dan devisa negara (state-revenue) yang paling diandalkan setelah minyak dan gas bumi (Repetto 1988; Zerner 1990; Peluso 1992; Nurjaya 2005).
Dengan demikian dari sudut pandang pembangunan
ekonomi, eksploitasi sumber daya hutan yang dilakukan pemerintah telah memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Pemerintah mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional melalui kebijakan pemberian
72
konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH), atau konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI),
(Nurjaya 2005; Iskandar et al.
2003). Statistik tahun 1992-1997 menunjukkan bahwa tidak kurang dari tujuh hingga delapan milyar dolar devisa per tahun diperoleh dari sektor kehutanan (Iskandar et al. 2003).
4.1.2
Perkembangan Kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi Hutan produksi adalah salah satu jenis pembagian hutan yang didasarkan
pada
fungsinya.
Sesuai
dengan
amanah
Undang-undang
Kehutanan,
pengelolaan hutan diarahkan berdasarkan fungsi pokok hutan, yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi (Santoso 2010). Definisi hutan produksi menurut Undang-undang Kehutanan 41/1999 adalah adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Sistem pengelolaan hutan produksi di Indonesia, khususnya di luar Pulau Jawa, dilakukan dengan sistem konsesi Hak Pengusahaan Hutan dan Hutan Tanaman Industri. Eksploitasi hutan produksi di Indonesia dengan pola konsesi HPH dan HTI, sebenarnya bukan merupakan kebijakan yang baru diterapkan di era pasca kemerdekaan Indonesia. Kebijakan seperti ini merupakan warisan dari penjajah Belanda.
Catatan sejarah menunjukkan bahwa pada tahun 1865
Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengeluarkan Surat Keputusan No. 6 tanggal 10 September 1865 berupa
instrumen hukum yang dikenal dengan nama
Reglemen Kehutanan 1865.
Prinsip pokok yang diatur dalam Reglemen ini
adalah eksploitasi hutan jati dilakukan semata-mata untuk kepentingan pihak partikelir, yang dapat dilaksanakan dengan dua cara. Pertama, pihak swasta yang diberikan konsesi penebangan hutan jati diwajibkan membayar pachtschat (uang sewa) setiap tahun kepada pemerintah Hindia Belanda, yang dihitung dengan taksiran nilai harga kayu dalam setiap persil menurut lamanya konsesi yang diberikan.
Kedua, kayu-kayu yang ditebang pihak penerima konsesi
diserahkan kepada pemerintah dan pihak swasta penerima konsesi menerima uang pembayaran upah tebang, sarad, dan angkut dalam hitungan per elo kubik (1 elo = 68,8 cm) melalui tender terbuka dan penawaran yang diajukan dalam sampul tertutup (Nurjaya 2005). Selanjutnya Nurjaya (2005) menyatakan bahwa dalam perkembangannya, Reglemen Hutan 1865 dipandang banyak mengandung kelemahan dalam mengantisipasi perkembangan pengelolaan hutan, sehingga dipandang perlu
73
untuk segera diganti.
Pada tanggal 14 April 1874 diundangkan Reglemen
Pemangkuan dan Eksploitasi Hutan di Jawa dan Madura 1874. Pokok penting dari Reglemen 1874 adalah pemisahan pengelolaan hutan jati dari hutan rimba non jati dan penyerahan hak eksploitasi hutan jati kepada swasta. Perjalanan perkembangan pengelolaan hutan produksi di Indonesia sejak dikeluarkannya Reglemen Hutan 1865 hingga saat ini disajikan dalam Lampiran 4. Dari uraian tersebut dapat ditarik beberapa tonggak penting dalam sistem pengelolaan hutan produksi di Indonesia adalah sebagai berikut (Gambar 13) : 1.
Era Penjajahan Belanda: Pengelolaan hutan dilakukan dengan sistem konsesi baik terhadap hutan jati di Jawa dan Madura, maupun hutan alam di luar Pulau Jawa. Pengelolaan hutan di Jawa selanjutnya dilakukan oleh Perusahaan Jati “Jati Bedrijft” yang merupakan cikal bakal Perum Perhutani.
2.
Era awal kemerdekaan (1945 – 1967): Pegelolaan hutan di luar pulau Jawa tetap dilakukan oleh perusahaan swasta asing
3.
Era HPH (1967 – sekarang). Dimulai dengan terbitnya landasan hukum berupa Undang-Undang No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, Undang-Undang Pokok Kehutanan No.5/1967, dan Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 1967 tentang Iuran HPH dan Iuran Hasil Hutan
4.
Era HTI (1980 – sekarang). Pembangunan HTI dilandasi dengan Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI)
Gambar 13 Periode pengelolaan hutan produksi di Indonesia
74
Perkembangan kegiatan HPH mengalami peningkatan pada periode tahun 1970 hingga 1997. Tabel 12 menunjukkan pertambahan jumlah HPH dari tahun 1991 hingga tahun 2009. Tabel 12 Jumlah dan luas areal konsesi HPH dari tahun 1991 – 2009 Tahun
Jumlah HPH (perusahaan)
Luas areal konsesi HPH (ha)
Produksi kayu (juta m3)
1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 1994/95 1995/96 1996/97 1997/98 1998/99 1999/2000 2001 2003 2009
557 564 567 580 575 540 487 447 427 420 387 351 262 301
58.900.00 59.620.000 60.500.000 61.400.000 61.700.000 61.030.000 56.200.000 54.100.000 52.300.000 51.600.000 41.840.000 36.400.000
-
23,9 28,3 26,8 24,0 24,9 26,1 29,5 19,0 20,6 -
-
31.100.000
Sumber : dikumpulkan dari berbagai sumber; Ditjen BPK (2009); Ditjen BPK (2005) seperti dikutip dalam Nawir et al. (2008), tanda (-) menunjukkan belum ditemukan data.
Berdasarkan data produksi kayu yang dihasilkan dari hutan, maka dapat dilihat bahwa produksi hutan alam (HPH) semakin menurun.
Sementara itu
produksi kayu dari hutan tanaman mengalami peningkatan yang signifikan (Gambar 14)
21
21 m3
HTI
1 1m3
1997/98 2000
55m3 HPH
0
16 16 m3
5
10
15
20
25 m3
Gambar 14 Perbandingan produksi kayu dari HPH dan HTI di tahun 1997/1998 dengan tahun 2009 (Sumber data: Santoso 2010)
75
Dengan demikian, maka pembangunan hutan tanaman semakin mendapat perhatian serius dari Kementerian Kehutanan, bahkan posisi hutan tanaman diprediksikan dapat menjamin kebutuhan kayu di masa depan (Santoso 2010).
4.1.3
Perkembangan Kebijakan HTI dan Dana Reboisasi Pada tahun 1990 pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) mulai
dikukuhkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) (Iskandar et al. 2003). Dalam PP tersebut HTI diartikan sebagai hutan tanaman yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. Kegiatan yang dilaksanakan di HTI adalah penanaman, pemeliharaan, pemungutan, pengolahan dan pemasaran. Pembangunan HTI menjadi program penting untuk menjaga kelestarian hutan, khususnya pada lahan-lahan yang tidak produktif. Areal yang menjadi lokasi kegiatan HTI adalah tanah kosong, semak belukar dan hutan rawang yang bertumbuhan kurang dari 20 m3/ha. Dari ketentuan itu terdapat target penting yang
ingin
dicapai,
yakni
meningkatkan
produktivitas
kawasan
hutan,
mengurangi tekanan terhadap hutan alam, meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan terjaminnya ketersediaan bahan baku industri hasil hutan (Iskandar et al. 2003). Harapan lain juga unuk mendukung tercapainya Sustainable Forest Management (SFM) atau pengelolaan hutan lestari sebagaimana dituntut dalam perdagangan internasional (Mayer 1996). Pemerintah tidak melaksanakan sendiri pembangunan HTI mengingat keterbatasan sumberdaya manusia, kelembagaan dan pengalaman.
Olah
karena itu kalangan swasta didorong untuk berperan aktif didalamnya dalam bentuk unit-unit HPHTI (Iskandar et al. 2003). Setiap unit HPHTI maksimal 300.000 ha untuk unit yang mendukung industri pulp, dan maksimal 60.000 ha untuk unit pendukung industri kayu pertukangan atau industri lainnya. Selanjutnya Iskandar et al. (2003) menguraikan tiga alasan mengapa pembangunan HTI melibatkan swasta. Pertama, perusahaan swasta diharapkan dapat menyediakan sendiri sebagian dari penyertaan modal, terutama untuk modal pembangunan industri pengolah kayu; kedua, pembangunan HTI dalam pelaksanaannya harus tepat waktu, sehingga
swasta dinilai lebih lincah
dibandingkan birokrat BUMN yang kaku, dan ketiga untuk membagi resiko usaha
76
antara pemerintah dan swasta. Dengan pertimbangan tersebut maka pemerintah menyediakan insentif finansial bagi perusahaan HTI berupa pinjaman tanpa bunga yang bersumber dari Dana Reboisasi. Dana Reboisasi merupakan dana yang dipungut secara wajib sebagai pengganti nilai tegakan (stumpage value) sekaligus dana subsidi silang bagi berbagai kegiatan penghutanan kembali kawasan-kawasan hutan non produktif. Dana Reboisasi merupakan salah satu instrumen terpenting dari kebijakan pembangunan Hutan Tanaman Industri karena fungsinya sebagai insentif pendanaan.
Untuk mewadahi kucuran dana pemerintah tersebut dibentuk
perusahaan patungan. Institusi yang mewakili pemerintah adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lingkup Kementerian Kehutanan, yakni PT Inhutani. Melalui perusahan patungan inilah kucuran dana ditampung untuk mendapatkan pinjaman DR dengan bunga 0% dan pinjaman pola komersial dengan awal pengembalian di tahun kedelapan setelah HTI mulai melakukan penanaman. Penyaluran dana dilaksanakan melalui bank-bank pemerintah, setelah dibuat Perjanjian Kredit (PK) antara bank penyalur atas nama Menteri Kehutanan dengan badan Usaha Patungan.
Dengan kebijakan itu para investor harus
menyediakan dana sebesar 21% dari keseluruhan modal yang diperlukan. Sebesar 14% akan dipenuhi pemerintah sebagai Penyertaan Modal Pemerintah (PMP), sisanya 32,5% berbentuk pinjaman pemerintah tanpa bunga dan 32,5% dipenuhi dari pinjaman komersial (Gambar 15) (Palengkahu et al. 2006).
Dana investor, 21%
Pinjaman Komersial, 32.50%
PMP, 14%
Pinjaman tanpa bunga, 32.50%
Gambar 15 Komposisi modal perusahaan HTI
77
Meskipun pemerintah telah menyediakan insentif pendanaan sedemikian rupa, namun program HTI kurang diminati para investor baik lokal maupun asing. Hal ini disebabkan karena pembangunan HTI memerlukan modal besar, beresiko tinggi dan berjangka panjang.
Selain itu perhitungan kelayakan suku bunga
untuk pembangunan HTI dari jenis tanaman cepat tumbuh dengan daur 8 – 10 tahun hanya sekitar 12 persen (berada di bawah tingkat suku bunga pinjaman bank yang berkisar 20 – 24%) (Iskandar et al. 2003) Kendala utama dalam proses pembangunan HTI terjadi ketika Dana Reboisasi harus dimasukkan sebagai penerimaan negara. Ini terjadi sebagai hasil
penandatanganan
Letter
of
Intent
Pemerintah
Indonesia
dengan
International Monetary Funds (IMF) pada 15 Januari 1998. Kebijakan tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi, yang mengatur bahwa DR hanya digunakan untuk kegiatan reboisasi dan penghijauan.
Sejak terbitnya PP tersebut, maka pembangunan HTI
sepenuhnya menjadi usaha swasta dan Dana Reboisasi tidak lagi dapat disalurkan untuk pembangunan HTI (Iskandar et al. 2003). Akibat dari kebijakan ini, maka perusahaan HTI patungan mengalami pukulan berat, sehingga menjadi faktor penyebab terjadinya stagnasi kegiatan pembangunan HTI (Iskandar et al. 2003). Pelengkahu et al. (2006) menyajikan data bahwa hingga tahun 2005 realisasi pembangunan dari 214 unit HTI mencapai 2.310.608 ha atau mencapai 24,49% dari target yang ditetapkan seluas 9.436,129 hektar. Dari luasan tersebut produksi kayu yang dihasilkan mencapai 2 juta m3 dengan jumlah tenaga kerja yang terserap langsung mencapai 180.000 orang. Kecilnya realisasi penanaman HTI maupun realisasi produksi kayu yang berasal dari HTI disebabkan karena 3 faktor yaitu (1) konflik lahan (2) pendanaan dan dukungan perbankan, serta (3) kebijakan, regulasi dan birokrasi. Kebijakan, regulasi dan birokrasi yang kondusif bagi pembangunan HTI yang memiliki resiko tinggi dan bersifat jangka panjang sangat dibutuhkan bagi terwujudnya aspek kepastian hukum, keamanan berusaha, dan iklim investasi yang kondusif.
Hal itu antara lain diwujudkan melalui kebijakan,
regulasi dan birokrasi yang konsisten beriorientasi hasil dan efisien. Hal tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Iskandar et al. (2003) bahwa berkaitan dengan faktor jangka waktu pengusahaan yang relatif lama, program HTI tidak memiliki insentif yang cukup memadai karena ketidakpastian status kawasan hutan. Terlebih faktor konflik sosial juga menjadi penghambat
78
utama akibat ketidakpastian status kawasan hutan.
Faktor-faktor tersebut
seharusnya menjadi bahan pertimbangan bagi penetapan kebijakan pemerintah sehingga memungkinkan adanya insentif sekaligus terciptanya iklim usaha yang kondusif. Kenyatannya hal tersebut belum sepenuhnya terwujud, baik dalam bentuk kebijakan maupun implementasi di lapangan (Iskandar et al. 2003). Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa sistem pengelolaan hutan produksi dengan mekanisme pemberian konsesi HPH dan HTI tetap berjalan hingga saat ini. Namun telah terjadi perubahan nama dari konsesi HPH dan HPHTI menjadi Ijin Usaha. Sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, maka ijin konsesi HPH berubah menjadi Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA). Sementara itu HPHTI berubah menjadi Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT). Peraturan Pemerintah No 34 Tahun 2002 selanjutnya mengalami perubahan menjadi Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007. Dalam PP yang baru inilah program Hutan Tanaman Rakyat mulai dimunculkan sebagai salah satu bentuk kebijakan pengelolaan hutan produksi.
Ijin usaha HTR pada
dasarnya serupa dengan HTI hanya saja sasaran pelaku usaha yang dituju adalah rakyat secara perorangan dan bukan dalam bentuk perusahaan. Kebijakan ini sangat berkaitan dengan paradigma pembangunan hutan berbasis masyarakat yang mendasari Kebijakan Perhutanan Sosial (social forestry)
4.1.4 Perkembangan Kebijakan Perhutanan Sosial Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (Community Based Forest Management = CBFM) telah banyak dilakukan di negara-negara Asia Selatan dan Tenggara. Tujuan dari pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah untuk mencapai pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest Management). Kondisi SFM tercapai jika hutan secara ekologis terpelihara dan kepentingan masyarakat sekitar
hutan
terjamin.
Kajian
yang
dilakukan
oleh
East-West
Centre
menunjukkan bahwa pengelolaan hutan bersama masyarakat masih belum mencapai pengelolaan hutan berkelanjutan (Fox 1993; Lynch & Talbot 1995; Poffenberger 2006). Khusus di Indonesia kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat dapat
dikategorikan
menjadi
dua
berdasarkan
lokasi
dan
karakteristik
79
pengelolaan hutannya, yaitu di Pulau Jawa dan di Luar Pulau Jawa (Lyndayati 2002).
Di Pulau Jawa kegiatan perhutanan sosial dilakukan oleh Perhutani
dengan berbagai program kegiatan seperti tumpangsari, PMDH,
dan PHBM.
Sedangkan program perhutanan sosial yang lebih relevan dikaji dalam desertasi ini adalah kegiatan yang dilakukan di luar areal Perhutani. Dalam sub-bab ini kebijakan perhutanan sosial dapat dipertukarkan dengan istilah Social Forestry (SF). Perkembangan kebijakan Perhutanan Sosial di Luar wilayah Perhutani dapat dibedakan menjadi 3 fase perkembangan (Lyndayati 2002), yaitu : 1) periode pra-SF sejak kegiatan pengelolaan hutan hingga pertengahan tahun 80-an, 2) Periode adopsi SF (pertengahan tahun 80-an hingga 1997, 3) periode SF (tahun 1998 hingga sekarang). Ilustrasi perkembangan kebijakan SF seperti disajikan pada Gambar 16.
Gambar 16 Periodisasi kebijakan social forestry dalam proses perjalanan pemanfaatan dan pengelolaan hutan di Indonesia Uraian rinci mengenai perkembangan kebijakan perhutanan sosial dideskripsikan sebagai berikut : 1. Periode Pra- SF (Akhir tahun 60-an sampai pertengahan tahun 80-an) Sebelum masa pemerintahan orde baru, hutan di luar jawa dikelola oleh masyarakat adat. Terdapat sekitar 250 kelompok etnis yang hidup di dalam atau sekitar hutan dan menyandarkan hidupnya kepada sumberdaya hutan (Moniaga 2000). Setiap kelompok adat memiliki aturan sendiri dalam memanfaatkan dan memelihara hutan. Mereka hidup bergantung pada sumberdaya hutan dan mereka juga menjaga kelestarian hutan.
80
Pengelolaan hutan oleh masyarakat adat ini dianggap tidak sejalan dengan rencana Pembangunan Orde Baru yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi dan modernisasi atau industrialisasi. Masyarakat lokal dipandang sebagai ”terbelakang” dan sistem perladangan berpindah yang mereka lakukan secara ekonomi dinilai tidak produktif dan secara ekologi merusak lingkungan. Pada periode ini terjadi adopsi intrumen kebijakan yang menggambarkan penolakan pemerintah secara mutlak atas akses masyarakat terhadap hutan. Program yang dilluncurkan adalah pemukiman peladang berpindah dan sistem pertanian menetap. Peraturan perundangan yang dikeluarkan diantaranya PP 21/1970 tentang HPH dan HPHH serta PP 28/1985 tentang Perlindungan Lingkungan. Kedua PP ini mengakibatkan tertutupnya akses masyarakat lokal terhadap hutan negara yang telah dikelola HPH dan kawasan konservasi.
2. Pertengahan tahun 80-an sampai 1997 (Periode Adopsi SF) Sebagai imbas dari retorika ”forest for people”, pengelolaan hutan pada era ini mulai menganut distribusi keuntungan, keadilan, partisipasi masyarakat, dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat lokal.
Orientasi pembangunan
diarahkan pada pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat sekitar hutan. Namun demikian tidak berarti telah terjadi perubahan cara pandang terhadap penguasaan hutan oleh negara dan pandangan terbelakang dan desktruktif bagi masyarakat lokal (Lyndayati 2002) Program pemukiman dan pengendalian perladangan berpindah dinilai masih sejalan dengan jiwa SF, karena berupaya untuk meningkatkan taraf hidup rakyat.
Pada perayaan pekan penghijauan tahun 1987, Presiden Soeharto
menyatakan dukungan serius terhadap pembenahan praktik pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal mengingat degradasi lahan makin meluas dan praktik perladangan berpindah masih berlanjut. Awal
tahun
1980,
Pemerintah
bersama
Ford
mendiskusikan untuk melakukan berbagai program SF.
Foundation
mulai
Program akhirnya
dilaksanakan tahun 1985 berupa kajian tentang hak akses dan hak tenurial masyarakat lokal dilakukan di beberapa pilot projet misalnya Kalimantan Timur, Irian Jaya, dan Sulawesi.
Hasil kajian mempengaruhi pemahaman berbagai
pihak mengenai SF. Tahun 1991, pemerintah menggulirkan program PMDH
(Pembinaan
Masyarakat Desa Hutan). Kebijakan ini memberikan kewajiban bagi para
81
pemegang HPH untuk membantu pembangunan ekonomi masyarakat desa hutan. Kewajiban ini diinterpretasikan pengusaha sebagai pemberian bantuan berupa
pembangunan
infrastruktur
(membangun
mesjid,
plot
pertanian
permanen, klinik kesehatan, dan sekolah), dan tidak sebagai pendekatan hubungan ”partnership”.
Hak akses masyarakat terhadap hutan masih
dipandang sebagai ”previlege” dibanding sebagai ”right”. Pelibatan masyarakat dalam sistem pengelolaan hutan secara formal dimulai ketika Kementerian Kehutanan meluncurkan program Hkm (Hutan Kemasyarakatan) dengan SK No. 622/1996. Program ini bertujuan memberi peluang kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan rehabilitasi hutan dengan luasan tertentu per-kepala keluarga. Implementasinya baru sampai pada pengembangan model atau percontohan. Program ini akhirnya berhenti begitu saja karena kurangnya peminat. SK No. 622/1996 kemudian diperbaharui dengan SK No. 677/1998, yang memberi peluang kepada masyarakat setempat melalui koperasi untuk mengelola konsesi hutan. Dalam praktiknya, pendekatan ini pun tidak mampu memberi manfaat kepada masyarakat setempat karena tidak memperhitungkan betapa lemahnya posisi mereka di dalam mata rantai sistem perizinan dan sistem usaha konsesi hutan. Kebijakan ini lebih memberi manfaat bagi pihak yang mampu mengakses birokrasi perizinan dengan mengatasnamakan rayat. Lebih dari
itu
masyarakat
menganggap
bahwa
dengan
terlibat
HKm,
justru
menegaskan pengakuan status hutan sebagai milik negara (Suryamihardja 2006) 3. Tahun 1998 hingga sekarang Periode ini ditandai dengan terbitnya SK Menhut tentang tentang Krui Kawasan dengan Tujuan Istimewa (KdTi) tahun 1998.
Pada tahun 2004
diterbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.01/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat di dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan dalam rangka Social Forestry.
Permenhut ini menegaskan aturan bahwa pelaksanaan SF harus
mematuhi rambu-rambu yang telah ditetapkan, antara lain tidak merubah status dan fungsi kawasan, tidak memberikan hak kepemilikan atas kawasan hutan, kecuali hak pemanfaatan sumberdaya hutan (pasal 8 ayat 1 dan 2). 4.1.5 Sintesis Tonggak Kebijakan Sintesis tonggak kebijakan merupakan hasil rangkuman dari uraian perjalanan pengelolaan hutan di Indonesia (Gambar 17).
82
Gambar 17 Tonggak kebijakan terkait perumusan kebijakan HTR
83
Tonggak kebijakan ini difokuskan mulai periode pra-kemerdekaan Republik Indonesia, karena pada periode sebelum kemerdekaan titik berat pengelolaan hutan produksi masih di areal hutan jati Pulau Jawa. Sementara itu, kebijakan HTR erat kaitannya dengan pengelolaan kawasan hutan produksi di Luar Pulau Jawa. Kegiatan pengelolaan hutan di luar Pulau Jawa mulai dicatat dalam sejarah kehutanan sejak tahun 1950. Pada tahun ini di Kalimantan terdapat beberapa sawmill dan di Pekanbaru-Riau dibangun sawmill besar untuk memenuhi kebutuhan kayu dalam rangka pembangunan perusahaan minyak Caltex. Tonggak sejarah yang menjadi awal mula pengelolaan hutan terjadi pada tahun 1952 yaitu ketika FAO mengirimkan pakar industri kertas. Kedatangan mereka
bertujuan
untuk
mengumpulkan
pembangunan pabrik kertas di Indonesia.
data
tentang
kemungkinan
Pemerintah Indonesia kemudian
menindak lanjuti kegiatan tersebut dengan membentuk Panitia Kertas. Tugas Panitia Kertas adalah mempelajari kemungkinan pembangunan industri kertas di Indonesia.
Setahun kemudian Panitia Kertas diperluas menjadi Panitia
Persiapan Hutan Industri (PPHI) yang bertugas mempelajari kemungkinan pembangunan berbagai industri kayu di Indonesia.
Sejak saat itu terjadi
perkembangan industri kehutanan meliputi pabrik fibre board, pabrik pensil, pabrik korek api, unit pengawetan kayu, pabrik peti, industri gondorukem & terpentin, industri minyak kayu putih, dan industri lak. Jumlah penggergajian mesin di Indonesia mencapai 284 unit. Tonggak sejarah berikutnya adalah penerapan sistem konsesi HPH dan yang dimulai sejak tahun 1967 dengan dibukanya kesempatan Penanaman Modal Asing dan Modal Dalam negeri. Kegiatan HPHTI juga mulai dilaksanakan secara resmi pada tahun 1982. Kedua sistem koonsesi tersebut (HPH dan HTI) masih berlangsung hingga sekarang dengan berbagai dinamikanya. Kejadian penting yang berpengaruh besar terhadap sistem konsesi HTI adalah peristiwa penandatanganan Letter of Intent dari International Monetary Funds (IMF) tahun 1998. Dampak dari peristiwa adalah dicabutnya 15 perusahaan HTI patungan karena dinilai tidak layak akibat dihentikannya kucuran Dana Reboisasi (Iskandar et al. 2003). Kebijakan pencabutan SK HPHTI 15 perusahaan dilakukan oleh Menteri Kehutanan pada tanggal 24 Oktober 2002. Empat belas perusahaan ditutup karena alasan tidak layak finansial dan tidak layak teknis, sedangkan satu perusahaan ditutup karena mengalihkan saham tanpa persetujuan Menteri
84
Kehutanan.
Kondisi ini menyebabkan sumberdaya hutan mulai menurun
produktivitasnya. Selain peristiwa-peristiwa penting yang menjadi tonggak sejarah dalam penetapan kebijakan pengelolaan hutan, kebijakan HTR juga sangat dipengaruhi oleh kebijakan yang sebelumnya telah ada. terbentuk karena
Sebuah kebijakan pada umumnya
warisan kebijakan di masa lalu (Blaikie & Soussan 2001).
Kebijakan-kebijakan yang telah ada dan memiliki keterkaitan dengan proses perumusan kebijakan HTR disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Timeline kebijakan yang mempengaruhi kebijakan HTR Tahun Bentuk Kebijakan Inti Kebijakan Terkait Pengelolaan Hutan Produksi 1957 Peraturan Pemerintah No.64 Pemerintah Daerah mempunyai wewenang untuk mengeluarkan izin kap-persil, yaitu semacam izin hak pengusahaan hutan secara terbatas dengan luas maksimal 10.000 hektar. Hasil produksi kayu ada yang diekspor 1967 Undang Undang No 5 tentang Hutan sebagai sumberdaya alam yang dapat Pokok-pokok Kehutanan digunakan untuk modal pembangunan nasional 1967 Peraturan Pemerintah No.22 Peraturan pelaksana dari diterapkannya kebijakan Tentang Iuran HPH dan Iuran HPH dengan landasan hukum UU No 1/1967 Hasil Hutan tentang Penanaman Modal Asing 1970 Peraturan Pemerintah No.21 Mengatur tentang pelaksanaan pengusahaan hutan Tentang HPH dan HPHH yang didasarkan pada kegiatan perencanaan yang tepat 1990 Peraturan Pemerintah No 7 Peningkatan produktivitas lahan hutan rawang Tentang Hak Pengusahaan dengan potensi rendah, semak belukar, dan tanah Hutan Tanaman Industri kosong 1996 Surat Keputusan Menhut No.622 Membuka peluang kepada masyarakt untuk Tentang Hutan Kemasyarakatan melakukan kegiatan rehabilitasi hutan negara 1998 Surat Keputusan Menhutbun Memberi peluang kepada masyarakat setempat No.677 tentang HKM melalui koperasi untuk mengelola konsesi hutan 1999 Undang-Undang No.41 Tentang Merubah istilah HPH-HTI menjadi Izin Usaha Kehutanan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam dan Hutan Tanaman 2002 Peraturan Pemerintah No.34 Aturan pelaksana dari UU No.41/1999, mengatur Tentang Tata Hutan dan tentang tata hutan dan pengelolaan hutan melalui Rencana Pengelolaan Hutan mekanisme pemberian izin usaha dan Penggunaan Kawasan Hutan 2004 Peraturan menteri Kehutanan Social Forestry menjadi payung bagi setiap No. P.01 tentang pemberdayaan kegiatan pengelolaan hutan dalam rangka masyarakat dalam rangka Social mewujudkan hutan lestari masyarakat sejahtera. SF tidak merubah status dan fungsi kawasan, Forestry hanya hak pemanfaatan 2007 Peraturan Pemerintah No.6 HTR ditempatkan sebagai salah satu bentuk Tentang Tata Hutan dan kegiatan pengelolaan hutan produksi melalui mekanisme pemberian IUPHHK-HTR
85
Kebijakan yang pertama kali disusun di era pra-kemerdekaan menyangkut pengelolaan hutan produksi dikeluarkan pada tahun 1957.
Kebijakan ini
memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengeluarkan izin kap-persil.
Izin ini serupa dengan izin hak pengusahaan hutan meskipun
terhadap lahan terbatas dengan luas maksimal 10.000 ha. Kebijakan ini cukup efektif karena di beberapa provinsi telah dapat dilaksanakan dan hasil produksi kayu dapat diekspor. Produk kebijakan yang berpengaruh besar terhadap pengelolaan hutan selanjutnya adalah Undang-undang Kehutanan No.5 Tahun 1967.
Undang-
undang ini diterbitkan setelah diterbitkannya Undang-undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang membuka luas peluang perusahaan swasta asing menanamkan investasi di Indonesia, antara lain dalam bentuk perusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Produk kebijakan lainnya terkait pengelolaan hutan produksi adalah PP No.7 Tahun 1990 tentang Hutan Tanaman Industri. Kebijakan ini membuka bentuk konsesi lain selain HPH di hutan produksi. Dari
sisi
Social
Forestry,
kebijakan
yang
menentukan
diakuinya
keberadaan masyarakat sekitar hutan dimulai dengan penetapan kebijakan tentang HKM (Hutan Kemasyarakatan).
Kebijakan terkait SF mengalami
beberapa kali perubahan peraturan, hingga ditetapkannya Permenhut P.01/2004 tentang pemberdayaan masyarakat dalam rangka SF.
Inti dari kebijakan ini
adalah dibukanya kesempatan masyarakat sekitar hutan untuk terlibat dalam pengelolaan hutan negara, tetapi tidak merubah status kawasan hutan dan tidak merubah hak kepemilikan atas sumberdaya hutan. Undang-undang Kehutanan No.41 merubah istilah HPH dan HTI menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu.
Dalam UU 41 belum termuat
kebijakan HTR, karena UU 41 ditetapkan tahun 1999, sementara kebijakan HTR mulai dirumuskan di akhir tahun 2006. Demikian pula Peraturan Pemerintah No. 34/2002 sebagai aturan turunan dari UU 41 juga belum memasukkan HTR sebagai bentuk kegiatan pengelolaan hutan. Oleh karenanya dilakukan revisi terhadap PP 34/2002 menjadi PP 6/2007. Rangkaian perjalanan sejarah tersebut memperlihatkan bahwa diskursus yang berkembang dalam pengelolaan hutan produksi di Indonesia tidak mengalami perubahan.
Diskursus yang digunakan adalah pola pengelolaan
hutan produksi melalui pemberian izin konsesi. Sejak awal masa kemerdekaan
86
sistem pengelolaan hutan selalu dilakukan dengan pola HPH/HTI.
Bahkan
merunut sejarah panjang pengelolaan hutan di Indonesia, sistem konsesi telah diterapkan sejak zaman penjajahan Belanda. Pemerintah Indonesia mewarisi sistem tersebut dan diterapkan di era kemerdekaan. Pada perumusan kebijakan HTR, diskursus ini pula lah yang mendasari proses perumusan kebijakan.
4. 2 Proses Perumusan Kebijakan HTR 4.2.1 Konteks Politik dan Pemerintahan Peristiwa penandatanganan LoI Indonesia dengan IMF berdampak sangat besar terhadap pembangunan kehutanan di Indonesia. Dana Reboisasi yang selama ini dikelola di Kementerian Kehutanan harus masuk sebagai penerimaan negara bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sejak
saat itu pasokan DR untuk PMP (penyertaan modal pemerintah), pinjaman 0%, dan pinjaman komersial bagi pembangunan HTI dihentikan. Akibatnya 15 perusahaan HTI patungan ditutup karena tidak layak finansial. Akibat lanjutan dari penutupan HTI tersebut adalah peningkatan angka pengangguran (Iskandar et al. (2003) Di tengah kemelut pengelolaan hutan produksi, kondisi politik pemerintahan mengalami perubahan era kepemimpinan dan arah kebijakan pembangunan. Situasi nasional pada saat itu mengarah pada pembangunan berorientasi kerakyatan. Tuntutan arah pembangunan nasional pada era Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009 dan 2009-2014) berlandaskan pada 3 pilar yaitu; pro growth (pro pertumbuhan), pro poor (pro kemiskinan), and pro job (pro penciptaan lapangan kerja).
Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
(RPPK) oleh Presiden RI sebagai salah satu dari “Triple Track Strategy” Kabinet Indonesia Bersatu dicanangkan pada tanggal 11 Juni 2005 di Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat (Deptan 2005; Pelengkahu et al. 2006) Kementerian Kehutanan kemudian menindaklanjuti di tingkat sektoral dengan mengaktualisasikan program besar Pemerintah tersebut dengan menetapkan Program Revitalisasi Kehutanan yang terdiri dari tiga pilar utama, yaitu : (1) percepatan pembangunan Hutan Tanaman Industri, (2) peningkatan pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu (HHNK), dan (3) peningkatan pemanfaatan jasa lingkungan (Dephut tanpa tahun; Palengkahu et al. 2006).
87
Oleh karena itu, strategi pembangunan yang dirancang oleh Kementerian Kehutanan juga kemudian diselaraskan dengan 3 agenda tersebut, yaitu (1) agenda pertumbuhan sektor kehutanan dengan tujuan meningkatkan ekspor hasil hutan kayu dan non kayu serta masuknya investasi baru yang proporsional antara pengusaha besar dan usaha kecil dan menengah berbasis pengelolaan hutan lestari, (2) agenda bergeraknya sektor riil kehutanan dan usaha kecil menengah, melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat dengan pemberian akses kepada masyarakat dalam pemanfaatan hutan produksi, dan (3) agenda pemberdayaan ekonomi rakyat (pro poor) dengan tujuan mengurangi kemiskinan masyarakat sekitar hutan melalui penciptaan kesempatan kerja dan berusaha dan menurunkan angka kriminalitas penjarahan hutan (Dephut tanpa tahun). Berdasarkan strategi tersebut, kemudian disusun kerangka kebijakan dan langkah operasional.
Salah satunya dengan pembinaan dan pengembangan
sumber bahan baku pada hutan tanaman melalui intensifikasi kawasan hutan produksi yang tidak dibebani ijin atau hak melalui pemberian IUPHHK HTR. Adapun langkah operasional tersebut dilandasi dengan penguatan aspek legal (yuridis formal) melalui revisi terhadap PP 34/2004 menjadi PP 6/2007 agar dapat selaras dengan arah kebijakan yang akan dilaksanakan (Dephut tanpa tahun). Selanjutnya
untuk
mendukung
strategi
operasional
intensifikasi
pembangunan hutan tanaman pada kawasan hutan produksi, Kementerian Kehutanan menggariskan kebijakan penunjang yang terkait dengan fasilitas pembiayaan.
Maka disusunlah lembaga keuangan berupa Badan Layanan
Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLU – Pusat P2H) untuk mendukung fasilitasi pembiayaan pembangunan HTI dan HTR.
4.2.2 Permasalahan Kunci Kebijakan Permasalahan yang menjadi latar belakang dirumuskannya kebijakan HTR adalah tingginya potensi lahan tidak produktif di kawasan hutan produksi. Kondisi ini disebabkan antara lain karena peristiwa penutupan 15 perusahaan HTI juga berakibat pada kondisi sumberdaya hutan. Lahan hutan bekas HTI yang ditutup menjadi berstatus open access karena tidak ada lagi kejelasan pemegang hak pengelolaannya.
88
Total kawasan hutan produksi Indonesia menurut data yang diungkapkan dalam Iskandar et al. (2003) seluas 66,6 juta hektar.
Dua puluh satu koma
empat persen (21,4%) diantaranya dalam kondisi rusak. Sementara itu industri kehutanan di Indonesia memiliki kapasitas terpasang sekitar 69.470.000 m3/tahun.
Pasokan bahan baku kayu hanya dapat memenuhi 33.025.000
m3/tahun. Oleh karenanya terdapat kesenjangan bahan baku industri kayu hasil hutan sekitar 36 juta m3/tahun. Kemampuan hutan alam di Indonesia tidak lagi dapat diharapkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut mengingat kondisinya yang semakin terdegradasi. Untuk mengatasi permasalahan kesenjangan pasokan bahan baku kayu, maka hutan tanaman menjadi andalan.
Oleh karenanya kebijakan pembangunan
hutan tanaman merupakan alternatif terbaik.
Melalui pembangunan hutan
tanaman maka dapat merehabilitasi kondisi hutan yang rusak sehingga produktivitasnya dapat ditingkatkan.
Hasil produksi kayu dari kegiatan
penanaman hutan tersebut menjadi tambahan suplai bahan baku untuk industri kehutanan. Bentuk kebijakan pembangunan hutan tanaman melalui program HTI (Hutan Tanaman Industri) terus dilanjutkan sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah. Akan tetapi aspek sosial masyarakat juga menjadi permasalahan tersendiri yang harus dicarikan alternatif pemecahannya.
Prediksi Malthus pada tahun
1798 mengenai ketimpangan tingkat pertambahan penduduk dan pertumbuhan daya dukung lingkungan mendekati kebenaran. Pertumbuhan penduduk yang mengikuti deret ukur tidak sejalan dengan pertumbuhan daya dukung alam yang mengikuti deret hitung. Jumlah penduduk bertambah dengan pesat, para ahli demografi dunia memperkirakan bahwa jumlah penduduk bumi pada tahun 2020 akan mencapai 10 milyar jiwa (Iskandar et al. 2003). Oleh karena itu aspek sosial kemasyarakatan juga menjadi masalah yang ikut dipertimbangkan dalam proses perumusan kebijakan HTR.
Hal tersebut
terungkap dari hasil wawancara dengan salah satu tokoh pengambil kebijakan HTR di Kementerian Kehutanan. kutipan berikut.
Petikan hasil wawancara disajikan dalam
89
“HTR pada intinya sama saja dengan HTI. Hanya sasarannya saja rakyat. Gagasannya begini, HTR aturannya harus tanah kosong, padang alangalang, semak belukar. Pada kenyataannya sulit untuk mencari hamparan luas yang namanya lahan kosong di hutan seperti yang dimaksud dalam aturan tersebut. Tetapi dalam bentuk spot-spot kecil banyak” (Wawancara 20 April 2009). Dengan latar belakang permasalahan tersebut, maka Kementerian Kehutanan mulai merumuskan kebijakan HTR sebagai solusi terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. 4.2.3 Proses Membangun Kebijakan Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat mulai didiskusikan di lingkup birokrat kehutanan pada pertengahan tahun 2006.
Ide membangun Hutan Tanaman
Rakyat dilatarbelakangi oleh kondisi hutan LOA (logged over area) yang perlu untuk segera ditangani. Pada awalnya pengambil kebijakan mempertimbangkan untuk memberikan hak pengelolaan lahan hutan terdegradasi kepada pemegang ijin HTI terdekat. “Luasan lahan tersebut terbatas tetapi menyebar dalam jumlah yang relatif banyak dan biasanya berdekatan dengan areal HTI “ (Wawancara 20 April 2009). Namun, mengingat prosedur untuk penambahan areal HTI cukup panjang dan tidak efisien bagi perusahaan maka alternatif tersebut tidak dipilih sebagai solusi kebijakan.
Selanjutnya dinyatakan bahwa lahan kosong di hutan produksi
tersebut dapat diserahkan pengelolaannya kepada rakyat sekitar. “Oleh karena itu munculah gagasan, bagaimana jika lahan kosong berupa splot-spot kecil itu diberikan haknya kepada rakyat. Kalau rakyat yang diberi hak lebih mudah dan tidak perlu ada Amdal (Analisis Dampak Lingkungan) karena skala luasannya kecil sehingga tidak merubah bentang alam. (Wawancara, 20 April 2009) Perumusan kebijakan HTR sendiri dilakukan dalam internal Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan.
Dukungan pihak luar terbatas pada
rekomendasi aspek-aspek yang bersifat teknis. Rekomendasi tersebut dijadikan sebagai landasan ilmiah untuk pelaksanaan program yang bersifat teknis. Rekomendasi yan berasal dari pihak akademisi yan digunakan terkait luas lahan optimal untuk setiap kepala keluarga pemegang izin HTR seluas 15 ha. Rekomendasi dari institusi penelitian di lingkup Kementerian Kehutanan juga
90
berupa saran-saran teknis terkait kesesuaian jenis tanaman HTR untuk lokasilokasi HTR di seluruh Indonesia.
Berdasarkan hasil wawancara, dapat
teridentifikasi pula bahwa selama proses perumusan kebijakan HTR, tidak terjadi perdebatan mengenai alternatif-alternatif pemecahan masalah kebijakan. Nomenklatur untuk program ini didiskusikan di tingkat Ditjen BUK bersama Menteri Kehutanan pada tahun 2006.
Pada awalnya ada keinginan untuk
memberikan nama Hutan Rakyat terhadap bentuk kebijakan ini.
Akan tetapi
Istilah hutan rakyat (HR) menurut UU Kehutanan No. 41/1999 identik dengan hutan hak, sehingga program ini tidak dapat menggunakan nama hutan rakyat. Namun, untuk mengedepankan misi kerakyatan maka istilah Hutan Tanaman Rakyat dipilih sebagai nama dari program HTI-skala mikro ini (Direktur BLU P2H, 20 April 2009, komunikasi pribadi). Metode analisis proses kebijakan dari Blaikie & Soussan (2001) menyatakan bahwa faktor-faktor penting yang harus digali dalam analisis proses kebijakan meliputi;
latar belakang ide atau gagasan kebijakan, situasi politik
yang mendukung, tonggak peristiwa penetapan kebijakan, konteks politik pemerintahan, serta issu kunci kebijakan.
Faktor-faktor penting tersebut
disajikan pada Tabel 14 yang merupakan intisari dari hasil penelitian mengenai proses perumusan kebijakan HTR. Tabel 14 Intisari dari proses perumusan kebijakan HTR No
Kategori
Uraian
1.
Latar Belakang Ide/ gagasan HTR
- Tingginya potensi kawasan LOA dengan luasan kecil - Ijin konsesi bisa diserahkan kepada masyarakat
2.
Situasi politik Nasional
Kebijakan pembangunan : pro growth, pro poor & pro job
3
Kebijakan Menhut
4.
Dukungan kebijakan
Revitalisasi industri : Peningkatan suplai bahan baku kayu melalui peningkatan produksi hutan tanaman Menhut gencar melakukan program penanama permodalan bagi petani difasilitasi dengan pendirian BLU
5.
Event /momentun
Proses perumusan PP 6 sebagai pengganti PP 34 yang dinilai tidak lagi relevan dengan situasi/kondisi yang berkembang
6.
Filosofi program
Masyarakat diberikan peluang usaha di bidang hutan tanaman. Usaha skala kecil tidak akan merubah bentang alam tidak memerlukan Amdal sehingga kebutuhan modal kecil.
7.
Pihak yang terlibat dalam - Sebagian besar merupakan hasil kristalisasi gagasan proses perumusan internal di Kementrian Kehutanan kebijakan - Dukungan pihak akademisi berupa rekomendasi teknis
91
4. 3
Analisis Narasi dan Diskursus Kebijakan HTR Narasi Kebijakan atau Policy Narative adalah ”cerita” yang yang
menjelaskan bagaimana suatu kejadian tertentu menjadi sebuah keyakinan, yang di dalamnya terdapat ideologi, pengetahuan dan pengertian yang sudah tertanam (Sutton 1999: Kartodiharjo 2006). Analisis narasi kebijakan merupakan tahap analisis teori dari proses perumusan kebijakan.
Sedangkan diskursus
merupakan cara pikir dan cara memberikan argumen yang dilakukan dari penamaan dan pengistilahan terhadap sesuatu yang dapat merupakan cerminan dari kepentingan tertentu (politik) (Kartodihardjo 2006) Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 merupakan tonggak awal ditetapkannya kebijakan HTR.
Peraturan Pemerintah No.6/2007 merupakan
hasil revisi dari PP 34/2002. Ismanto (2010) menyatakan bahwa PP 34/2002 pada intinya merupakan upaya melanjutkan konsep HPH/HTI dengan mengganti nama menjadi IUPHHK, sebagaimana diamanatkan dalam UU Kehutanan 41/1999. Perubahan dari PP 34/2002 menjadi PP6/2007 tidak mengganti sistem konsesi hutan produksi.
Adapun perubahan yang terjadi dari PP 34/2002
menjadi PP 6/2007 adalah pemisahan antara IUPHHK di hutan alam dengan IUPHHK di hutan tanaman. Hutan alam dan hutan tanaman dibedakan dengan cara menempatkan tegakan pada hutan tanaman sebagai asset bagi pemegang izin.
Hal tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa untuk
membangun tegakan pada hutan tanaman diperlukan modal yang harus diinvestasikan oleh para pemegang IUPHHK-HT. Dengan perbedaan tersebut maka implikasi yang muncul kemudian adalah terbukanya kesempatan bagi pemegang IUPHHK di hutan tanaman untuk menjadikan aset tanamannya sebagai agunan untuk memperoleh kredit modal dari BLU Pusat P2H. Perubahan-perubahan yang dilakukan terhadap peraturan perundangan tersebut pada dasarnya tidak mencerminkan perubahan mendasar, karena diskursus yang melekat pada setiap peraturan perundangan yang diterbitkan tidak berubah. Diskursus tersebut adalah pengelolaan hutan produksi melalui pemberian izin konsesi. Diskursus tunggal ini pula yang mendasari terbitnya kebijakan HTR.
Pada prinsipnya kebijakan HTR merupakan modifikasi
kebijakan konsesi HPHTI (Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri). Perubahan yang terjadi hanya sasaran pemegang izin tidak lagi ditujukan bagi perusahaan besar melainkan rakyat secara perorangan/kelompok atau melalui koperasi.
92
Dalam konteks perhutanan sosial (social forestry), kebijakan HTR merupakan salah satu bentuk pembagian peran pemerintah dengan masyarakat. Pemerintah menyerahkan sebagian urusan pengelolaan hutan di kawasan hutan produksi kepada masyarakat sekitar hutan. Secara praktik kebijakan HTR mirip dengan kebijakan perhutanan sosial sebelumnya yaitu Hutan Kemasyarakatan (HKM). Perumusan kebijakan Hutan Tanaman Rakyat terjadi dalam suasana psikologis
yang
dilandasi
oleh
paradigma
pengelolaan
masyarakat (Community Based Forest Management).
hutan
berbasis
Terlebih 3 pilar
pembangunan nasional secara jelas menunjukkan keberpihakan pada rakyat yaitu strategi merupakan
pro-poor, pro-job dan pro-growth. perubahan
dari
paradigma
Paradigma CBFM sendiri
pembangunan
kehutanan
yang
sebelumnya lebih berorientasi pada Timber Extraction dan State Based Forest Management.
Perubahan
ini
dilatarbelakangi
oleh
kesadaran
bahwa
pembangunan kehutanan yang selama ini dilakukan telah mengakibakan masyarakat sekitar hutan terpinggirkan (Poffenberger 2006; Engel & Palmer, 2006).
Berbagai bukti menunjukkan bahwa pembangunan tanpa melibatkan
masyarakat sekitar hutan menimbulkan banyak kerugian baik dari sisi degradasi sumberdaya hutan (FWI/GWF 2002; Yadav et al. 2003) maupun marginalisasi masyarakat sekitar hutan (Bromley & Cernea 1989; Lynch & Talbot 1995, Malla 2000; Lyndayati 2002). ”Keberpihakan pada masyarakat” inilah yang mempengatuhi diterapkannya kebijakan HTR oleh Kementerian Kehutanan, khususnya oleh Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan.
Peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan
diyakini sebagai suatu keharusan mengingat pengelolaan hutan oleh negara yang selama ini dilakukan telah terbukti tidak mampu menjamin kelestarian sumberdaya hutan dan tidak pula meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Tujuan dari Program Perhutanan Sosial sebagaimana menjadi visi pembangunan kehutanan di Indonesia adalah terwujudnya kelestarian hutan dan terciptanya masyarakat yang sejahtera. Kebijakan perhutanan sosial yang telah banyak diupayakan juga belum mencapai hasil seperti yang diharapkan (Peluso 1992; Moniaga 2000; Lyndayati 2002; Sardjono 2006; Raharjo et al. Suryamihardja 2006).
2006;
93
Kebijakan yang kurang sesuai dan tidak mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat sekitar hutan justru dapat membuat keadaan semakin memburuk.
Dapat pula dikatakan bahwa krisis yang terjadi pada
sumber daya hutan pada dasarnya bersumber dari ketidaksesuaian institusi yang digunakan negara dalam kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan hutan, kurangnya sistem pengaturan penguasaan dan manajemen pemanfaatan sumber daya hutan (Peluso 1992; Simon 2006). Keberpihakan kepada masyarakat dalam pembangunan kehutanan mulai muncul pada Konges Kehutanan Dunia kedelapan di Jakarta tahun 1978. Pada kongres tersebut diperkenalkan konsep perhutanan sosial (social forestry) dan retorika “forest for people”.
Istilah social forestry menurut Kartasubrata (2003)
untuk pertama kali digunakan pada tahun 1968. Konsep perhutanan sosial memang telah diterima dan diakui sebagai salah satu pendekatan yang baik dalam rangka mencapai kelestarian hutan. Kegiatan ini difokuskan kepada upaya penyediaan mata pencaharian dan peningkatan kesejahteraan masyarakat guna mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan.
Pemikiran tersebut tersebut didasarkan pada sejumlah fakta bahwa
masyarakat lokal terbukti mampu mengatur pembagian peran diantara mereka, memberi jaminan keadilan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan, serta tanggung jawab dalam mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan (Borrini-Feyerabend et al. 2003). Noronha & Spears (1998) menyatakan bahwa arti perhutanan sosial tidak dapat dikumpulkan dari suatu gambaran berbagai kegiatan yang dilakukan di bawah program-program. Inti baru dari program-program ini terletak pada kata “sosial” yaitu program-program melayani kebutuhan lokal melalui keterlibatan aktif pemanfaat dalam rancangan dan pelaksanaan upaya penghutanan kembali dan bersama-sama memanfaatkan hasil hutan.
4.4 Model Perumusan Kebijakan HTR Teori
model
linier
menyatakan
bahwa
sebuah
kebijakan
disusun
berdasarkan sejumlah langkah serial, dimulai dengan merumuskan isu dan masalah serta diakhiri sejumlah kegiatan untuk memecahkan masalah tersebut.
94
Urutan dalam model linier dalam pembuatan kebijakan adalah sebagai berikut : 1. Mengenali dan merumuskan isu yang diperkirakan sebagai masalah. Dalam tahap ini biasa juga dilakukan dengan menentukan kesenjangan atau gap antara kondisi saat ini dengan kondisi harapan yang diinginkan. 2. Merumuskan segenap tindakan untuk mengatasi masalah atau gap 3. Memberi bobot terhadap alternatif tindakan dengan mengenali resiko dan hambatan yang terjadi 4. Memilih tindakan sebagai kebijakan yang dianggap paling tepat 5. Pelaksanaan kebijakan 6. Evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan Dalam model linier pembuat kebijakan diasumsikan bertindak rasional dalam mengikuti tahap demi tahap pelaksanaan pembuatan kebijakan dan dapat menggunakan seluruh informasi yang diperlukan untuk menetapkan keputusan (Sutton 1999) Jawaban atas pertanyaan ”Apakah perumusan kebijakan HTR merupakan sebuah model linier?”. Dapat diduga sejak awal sebagaimana hipotesis dalam penelitian ini, bahwa perumusan kebijakan HTR bukan merupakan sebuah model linear.
Proses perumusan kebijakan HTR tidak mempertimbangkan semua
resiko dan hambatan yang akan terjadi. Faktor-faktor yang menjadi penyebab kegagalan dalam implementasi kebijakan sebelumnya masih digunakan dalam pelaksanaan kebijakan HTR. Kebijakan HTR bukan merupakan program baru dalam dalam hal pelibatan masyarakat sekitar untuk berperan serta dalam pengelolaan hutan. Berbagai bentuk program pengelolaan hutan berbasis masyarakat telah banyak dilakukan seperti program Hutan Kemasyarakatan (HKM) dan Hutan Desa (HD). evaluasi
terhadap
pelaksanaan
berbagai
program
tersebut
Hasil
memang
menunjukkan bahwa program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan berhasil meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan (Poffenberger 2006) namun tidak sedikit yang gagal (Raharjo et al. 2006; Suryamihardja 2006; Lyndayati 2002). Pagdee et al. (2006) melakukan sebuah meta-study untuk mengkaji faktorfaktor yang mempengaruhi keberhasilan Community Forest Management (CFM) Subjek kajian adalah 31 artikel yang membahas 69 kasus pengelolaan hutan masyarakat di seluruh dunia. Dari kajian tersebut teridentifikasi 43 variabel yang
95
berpengaruh yang meliputi faktor internal dari pihak masyarakat sendiri hingga faktor-faktor luar yang mempengaruhi. Hasil kajian menunjukkan bahwa variabel yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan CFM adalah kepastian lahan, hak kepemilikan yang jelas, penegakan aturan yang tegas, adanya monitoring, sanksi, dan kepemimpinan yang kuat, minat masyarakat yang tinggi didukung oleh adanya manfaat yang jelas dari kegiatan CFM dan adanya kewenangan di tingkat masyarakat lokal. Contoh keberhasilan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang telah dilaksanakan selama ini antara lain : 1. Kegiatan PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) yang dilakukan oleh Perum perhutanai di Jawa. Kegiatan PHBM pada awalnya merupakan kegiatan tumpangsari yaitu menanam tanaman palawija di bawah tegakan pokok.
Kesempatan ini digunakan oleh masyarakat sekitar hutan untuk
memanfaatkan lahan di bawah tegakan. Mereka memperoleh hasil berupa tanaman semusim untuk menunjang kebutuhan subsisten.
Di beberapa
daerah kegiatan PHBM telah dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat petani hutan dalam membantu meningkatkan perekonomian rumah tangga (World Agroforestry Centre 2009). 2. Kegiatan Hutan Rakyat, yaitu pembangunan hutan di lahan milik.
Hutan
rakyat dilakukan oleh masyarakat secara perorangan dengan menanami lahan miliknya dengan tanaman kayu-kayuan. Kegiatan ini pada awalnya dilakukan dalam rangka rehabilitasi lahan dengan bantuan bibit dari pemerintah.
Ketika kayu dari hutan rakyat mulai memiliki nilai ekonomis
tinggi, maka kegiatan penanaman hutan di lahan milik menjadi lebih luas. Beberapa daerah yang berhasil mengembangkan hutan rakyat adalah di kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Ciamis, Sukabumi, dan Sulawesi Tenggara. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan program perhutanan sosial atau program pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah pelaksanaan program yang tidak sesuai dengan konteks lokal. Hal ini biasa terjadi karena program bercorak sentralistik, top-down, dan cetak biru (Korten & Klauss 1984). Karakteristik ini melekat pula pada kebijakan HTR. Program HTR mengulang pola kebijakan bersifat cetak biru dan sentralistik. Ide dan perangkat peraturan pelaksanaan program secara detail dirumuskan oleh pemerintah pusat. Bentuk peraturan perundangan tersebut dituangkan mulai dari Peraturan Pemerintah
96
hingga Keputusan Direktur Jenderal yang mengatur mengenai petunjuk teknis di lapangan. Berbagai karakteristik kebijakan HTR sebagai program cetak biru sebagaimana pemikiran Korten & Klauss (1984) adalah: 1) Gagasan kebijakan berasal dari pemerintah pusat dan tidak merupakan inisiatif masyarakat lokal; 2) Langkah awal kegiatan dilakukan melalui pengumpulan data dan perencanaan calon lokasi kegiatan dan bukan merupakan kegiatan yang diawali dari kesadaran dan tindakan nyata masyarakat; 3) Pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh organisasi yang telah ada atau organisasi baru bentukan pemerintah; 4) Sumber daya bergantung pada pembiayaan pemerintah pusat; dan 5) Managemen berfokus pada penyerapan anggaran dan target pencapaian kegiatan sesuai rencana tata waktu. Tabel 15 menyajikan hasil analisis proses perumusan kebijakan HTR berdasarkan kerangka perbandingan pembangunan cetak biru dan inisiatif masyarakat lokal Tabel 15 Kebijakan HTR dalam konsep cetak biru dan perbandingannya dengan pembangunan berbasis inisiatif masyarakat lokal Aspek Cetak Biru Inisiatif Masyarakat Kebijakan HTR Gagasan
Pemerintah pusat
Masyarakat lokal
Pemerintah Pusat c.q Kementerian Kehutanan
Langkah awal
Pengumpulan data dan perencanaan
Kesadaran dan tindakan nyata
Perencanaan calon lokasi HTR oleh Baplan
Organisasi pelaksana
Organisasi yang sudah ada atau bentukan baru dari Pemerintah Pusat
Dibangun oleh kebutuhan lokal
Dilaksanakan oleh Ditjen BPK, Baplan dan UPT di daerah, dan membentuk BLU P2HP untuk penyaluran dana pinjaman
Sumber daya
Pembiayaan dan fasilitasi pemerintah pusat
Aset lokal
Sumber biaya dari Anggaran Pemerintah
Target luas HTR setiap Tahun ditetapkan 1,4 juta ha. Anggaran yang disediakan diserap. Bantuan kredit tersalurkan. Sumber : Analisis data menggunakan kerangka analisis Korten & Klauss (1984) Fokus Management
Penyerapan anggaran, target pencapaian proyek sesuai rencana tata waktu
Pengembangan berkelanjutan untuk menuju performa yang lebih baik
Meskipun kebijakan HTR mengedepankan paradigma CBFM namun dalam praktiknya kebijakan yang disusun sama sekali tidak mempertimbangkan proses inisiatif lokal.
Hasil kajian telah menunjukkan bahwa pembangunan kehutanan
berbasis masyarakat seringkali mengalami kegagalan karena tidak melalui
97
proses belajar yang tumbuh berkembang dalam lingkungan masyarakat lokal (Chambers 1993; Agrawal & Gibson 1999; Twyman 2000; Agrawal 2001). Berdasarkan teori-narasi-kebijakan Roe (1994), maka kebijakan HTR dapat disebut sebagai proses perumusan kebijakan yang tidak berdasar pada pengamatan yang cermat.
Hal ini karena penetapan kebijakan HTR tidak
merujuk pada hasil evaluasi program sebelumnya yang pada umumnya mengalami
kegagalan.
Pengalaman
pelaksanaan
program
Hutan
Kemasyarakatan menunjukkan bukti bahwa masyarakat lokal berada pada posisi yang lemah di dalam mata rantai sistem perizinan dan sistem usaha konsesi hutan (Suryamihardja 2006). Beberapa faktor yang membuat kebijakan HTR serupa dengan kebijakan sebelumnya adalah : 1) Ide program tidak muncul dari masyarakat sekitar hutan yang akan menjadi sasaran kegiatan HTR, melainkan melalui pendekatan proyek yang bersifat top-down; 2) Lemahnya partisipasi para pihak dalam proses perumusan kebijakan HTR. Terbukti dengan tidak adanya keterlibatan pihak luar dalam proses penyusunan program HTR.
Aktor yang terlibat dalam proses
perumusan kebijakan HTR adalah pihak birokrat Kementerian Kehutanan dan tidak melibatkan kalangan di luar Kementerian Kehutanan. Hasil
ini mendukung teori Sutton (1999) bahwa model linier jauh dari
realitas, karena menggunakan asumsi yang sulit untuk dipenuhi.
Fakta empiris
tentang proses perumusan kebijakan HTR sebagai model yang tidak memenuhi kaidah linier adalah tidak dipertimbangkannya informasi tentang faktor-faktor yang menjadi penyebab ketidakberhasilan program sebelumnya. Faktor-faktor tersebut adalah : a) Proses perizinan HTR serupa dengan perizinan HKM, pengalaman dari program HKM menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kemampuan terbatas untuk menempuh prosedur perizinan yang relatif panjang b) Kebijakan HTR digulirkan dengan filosofi membangun bisnis hutan tanaman oleh masyarakat, sementara dari pengalaman program sebelumnya dapat teridentifikasi
bahwa
masyarakat
memiliki
keterbatasan
kapasitas
untuk
menjalankan bisnis hutan tanaman; c) Kebijakan tentang kegiatan pendampingan belum ditangani dengan baik, sementara proses pendampingan merupakan faktor penting untuk membangun kapasitas masyarakat. Berlandaskan pada pemikiran Korten & Klauss (1984) maka dapat dikatakan bahwa perumusan kebijakan HTR merupakan proses pengulangan dari kebijakan yang telah dibuat sebelumnya.
Kebijakan seperti ini bersifat
98
incremental atau hanya melakukan perubahan secara bertahap, sedikit demi sedikit dalam sistem pelaksanaannya saja.
Sementara paradigma yang
melandasinya tidak mengalami perubahan mendasar. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Noorwidjk et al. (2007) bahwa pada prinsipnya paradigma yang digunakan dalam perumusan kebijakan HTR sama dengan kebijakan yang sebelumnya telah ada seperti HKM (Hutan Kemasyarakatan). Dari analisis proses perumusan kebijakan HTR, dapat diambil pelajaran bagi para pengambil kebijakan.
Faktor yang harus diperhatikan oleh para
perumus kebijakan adalah menggunakan data dan fakta yang komprehensif untuk dapat merumuskan kebijakan yang baik. Peran para ahli, peneliti, dan akademisi sangat penting untuk memberikan landasan pengetahuan yang memadai.
V.
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Salah satu variabel kunci dalam menilai keberhasilan implementasi sebuah kebijakan menurut Winter (1990) adalah respon kelompok target kebijakan. Variabel lain yang juga penting untuk dikaji adalah formulasi atau proses penyusunan kebijakan. Variabel tersebut telah diuraikan pada Bab IV. Dari hasil analisis proses perumusan kebijakan dapat diketahui bahwa proses perumusan kebijakan HTR tidak memenuhi asumsi model linier, karena penentuan kebijakan tidak didasarkan pada informasi yang memadai untuk menentukan alternatif pilihan terbaik. Berbagai kendala di lapangan tidak diperhitungkan sebagai faktor yang harus ditangani dalam kebijakan yang disusun. Pada bab kelima ini, akan diuraikan kondisi di lapangan dan respon para pemangku kepentingan terkait pelaksanaan kebijakan HTR. Kajian ini dilakukan dengan studi kasus di tiga provinsi yang dipilih secara sengaja (purposive). Tiga provinsi yang menjadi lokasi penelitian adalah Riau, Kalimantan Selatan, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tujuan yang ingin dicapai dari kajian implementasi kebijakan HTR adalah untuk menemukan jawaban atas pertanyaan penelitian kedua yaitu bagaimana para pemangku kepentingan di daerah merespon kebijakan HTR dan bagaimana hubungan antara respon tersebut dengan keberhasilan implementasi kebijakan.
5.1
Implementasi Kebijakan HTR Data realisasi kegiatan HTR menunjukkan bahwa kabupaten yang telah
menetapkan areal lokasi HTR sebanyak 97 kabupaten/kota. Tindak lanjut dari kegiatan penetapan lokasi adalah penerbitan izin usaha HTR (IUHPPK-HTR) yang dilakukan oleh Bupati kepada petani pemohon.
Hingga tahun 2010,
IUPHHK HTR telah diterbitkan di 21 kabupaten, meliputi luas areal 87.299,89 ha. Sementara itu target yang dicanangkan pemerintah adalah 5,4 juta ha areal HTR. Kajian implementasi kebijakan HTR di tiga provinsi penelitian menunjukkan tingkat perkembangan yang berbeda-beda.
Provinsi Riau merupakan contoh
provinsi dimana kegiatan HTR belum berjalan hingga tingkat implementasi di lapangan. Kegiatan HTR di Provinsi Riau baru sebatas pencadangan areal yang berlokasi di 2 Kabupaten yaitu Kampar dan Rokan Hulu. Demikian pula dengan perkembangan yang terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan. Program HTR baru dilaksanakan pada tahap pencadangan lokasi di 6 kabupaten yaitu: Hulu Sungai
100
Selatan, Tabalong, Banjar, Tanah Laut, Kotabaru, dan Tanah Bumbu. Sementara itu di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, telah mencapai tahap penerbitan surat izin usah Pengusahaan Hasil Hutan Kayu HTR, yang diterbitkan oleh Bupati Gunungkidul pada tahun 2009 (Tabel 16). Tabel 16
Data Kegiatan HTR di Provinsi Riau, Kalimantan Selatan dan Daerah Istimewa Yogyakarta SK Pencadangan Areal oleh Menhut
Provinsi/Kabupaten Riau Kampar Rokan Hulu Kalimantan Selatan Hulu Sungai Selatan Tabalong Banjar Tanah Laut Kotabaru Tanah Bumbu
Nomor
Tanggal
Luas (Ha)
SK 97/Menhut-II/2009
6 Maret 2009
SK 421/Menhut-II/2010
20 Juli 2010 Jumlah
25,580
8 April 2008 10 Nov 2008 10 Nov 2008 9 Oktober 2009 15 Januari 2010 15 Januari 2010
818 7,490 3,160 5,355 3,900 9,035
Jumlah
29,758
SK 101/Menhut-II/2008 SK 395/Menhut-II/2008 SK 393/Menhut-II/2008 SK 706/Menhut-II/2009 SK 44/Menhut-II/2010 SK 50/Menhut-II/2010
Daerah Istimewa Yogyakarta Gunungkidul SK 118/Menhut-II/2009 IUPHHK-HTR di DIY Pemegang Izin KUD Bima Semanu
12,280 13,300
20 Maret 2009
327.73
SK IUPHHK oleh Bupati 118/Kpts/2009 19 Juni 2009
Luas (Ha) 84.40
Jumlah
327.73
Sumber : Ditjen BPK (2010)
Tabel 17 menyajikan data luas hutan produksi yang ada di tiga provinsi penelitian dan perbandingan proporsinya terhadap luas hutan total, luas areal yang dicadangkan untuk lokasi HTR, dan luas hutan yang telah mendapatkan IUPHHK-HTR. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa kawasan hutan produksi yang paling luas terdapat di Provinsi Riau. DIY paling sempit diantara ketiganya.
Sementara luas hutan di Provinsi
Demikian halnya dengan persentase
perbandingan antara luas hutan produksi terhadap luas wilayah Provinsi. Luas hutan produksi di DIY hanya sebesar 4,4% terhadap total wilayah Provinsi DIY, sedangkan untuk Kalimantan Selatan sebesar 18%, dan di Provinsi Riau sebesar 23,82%.
101
Tabel 17 Luas kawasan hutan produksi dan areal HTR di Provinsi Riau, Kalimantan Selatan, dan Daerah Istimewa Yogyakarta Aspek
Luas HP (ha)
Luas hutan di Provinsi (Ha) Riau Kalsel DIY 3.837.685
627.672
13.851
Persentase HP terhadap Luas Provinsi
23,82%
18%
4,4%
Luas Areal pencadangan HTR (ha)
25.580
29.758
322,73
Persentase pencadangan HTR terhadap luas HP
0,97%
4,74%
2,3%
-
-
84,40
-
26,15 %
IUPHHK-HTR (ha)
Persentase IUPHHK-HTR terhadap areal pencadangan Sumber : Direktorat Jenderal BPK (2010) diolah
Luas areal hutan produksi yang dicadangkan untuk kegiatan HTR paling tinggi terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan yaitu 4,74%. Di Provinsi Riau, luas hutan produksi yang dicadangkan untuk kegiatan HTR tidak lebih dari 1%. Sedangkan di Provinsi DIY proporsi luas hutan yang dicadangkan untuk kegiatan HTR adalah 2,3%. Di Provinsi Riau hampir seluruh kawasan hutan produksi telah dibebani Izin usaha baik Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) maupun Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHKHT). Oleh karena itu areal hutan produksi yang ada di Provinsi Riau telah habis terbagi menjadi areal konsesi, sehingga kawasan hutan produksi yang dapat dicadangkan untuk HTR relatif sangat sedikit. Hutan produksi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta juga telah dibebani hak kelola di bawah kewenangan Dinas Kehutanan Provinsi. Hutan Produksi di DIY seluas 13.851 ha dikelola Dinas Kehutanan. Oleh karenanya tidak tersedia lahan berstatus hutan produksi yang dapat dicadangkan untuk kegiatan HTR. Namun demikian, Pemda DIY memanfaatkan lahan lain yang potensial untuk dikelola dengan skema HTR, yaitu lahan berstatus AB
Sistem pengeleloaan
lahan hutan di Provinsi DIY memang unik, berbeda dengan di provinsi lain di Pulau Jawa.
Pada umumnya hutan produksi di Pulau Jawa berada di bawah
pengelolaan Perum Perhutani, namun di Provinsi DIY hutan produksi menjadi
102
wewenang pemerintah daerah. Hal ini terjadi karena sejak zaman Belanda hutan di DIY berada dalam kekuasaan Sultan Yogya. Gambaran rinci tentang kegiatan HTR di masing-masing provinsi diuraikan pada bagian berikut.
5.1.1
HTR di Provinsi Riau Kawasan hutan di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau meliputi luas
9.456.160 ha.
Hutan produksi tetap dan HP terbatas masing-masing seluas
1.866.132 ha dan 1.971.553 ha* atau 20% dan 21% dari total luas kawasan hutan yang ada di Provinsi Riau. Sementara itu kawasan hutan produksi yang paling luas adalah hutan produksi yang dapat dikonversi dengan proporsi 50%. Luas kawasan konservasi yang meliputi hutan lindung dan suaka alam memiliki proporsi luas tidak lebih dari 10% dari total luas kawasan hutan (Gambar 18).
5%
0%
KSA/KPA
4%
HL
50%
20%
Taman Buru Ht Produks i Tetap HP Terbatas HP Konvers i
21%
Gambar 18 Persentase kawasan hutan di Provinsi Riau berdasarkan fungsinya (Sumber : Ditjen BPK 2010, diolah) Lahan HTR dapat dialokasikan pada areal hutan dengan status kawasan hutan produksi. Hutan produksi di Provinsi Riau sebagian besar telah dibebani hak terutama Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu. Usulan lokasi untuk digunakan sebagai areal HTR telah diajukan oleh 2 kabupaten di Provinsi Riau, yaitu Kabupaten Kampar dan Rokan Hulu. Kabupaten Kampar telah mengajukan usulan penetapan lokasi untuk kegiatan HTR.
Berdasarkan arahan indikatif
tersebut, maka pemerintah daerah Kabupaten Kampar kemudian mengusulkan lahan untuk HTR. Usulan tersebut disetujui oleh Menteri Kehutanan
dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan SK 9/Menhut-II/2009 tentang pencadangan areal untuk lokasi HTR seluas 12.280 ha.
*
http://www.bsphh3.go.id/data/1.luas kawasan hutan.pdf [1 Nov 2010]
103
Pemerintah daerah Kabupaten Rokan Hulu juga telah mengusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk mendapatkan persetujuan pencadangan pembangunan HTR seluas 47.810 hektar, dari luas hutan produksi yang saat ini seluas 175.000 hektar (Haluan Riau, Sabtu, 10 Oktober 2010)*.
Usulan areal
lokasi HTR di Kabupaten Rokan Hulu telah ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 421/Menhut-II/2010 pada tanggal 20 Juli 2010 seluas 13.300 ha. Setelah mendapat Surat Keputusan Menteri Kehutanan atas pencadangan lokasi
HTR
di
kedua
kabupaten
tersebut,
langkah
selanjutnya
dalam
implementasi program HTR adalah penerbitan izin usaha HTR yang dikeluarkan oleh bupati untuk kelompok tani yang mengajukan. Namun hingga tahun 2010 kegiatan tersebut belum dapat direalisasikan baik di Kabupaten Kampar maupun di Kabupaten Rokan Hulu. Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan belum dapat direalisasikannya kegiatan HTR di kedua kabupaten tersebut. Menurut penuturan petugas Dinas Kehutanan Provinsi Riau, kendala yang dihadapi adalah faktor kesiapan pemerintah daerah dan kesiapan masyarakat calon petani untuk melaksanakan kegiatan HTR. Dinas Kehutanan Provinsi Riau telah melakukan kegiatan sosialisasi program HTR kepada masyarakat di sekitar Kabupaten Kampar dan Rokan Hulu. Pada umumnya masyarakat tertarik untuk menjadi peserta HTR, karena mereka akan mendapatkan lahan hutan yang dapat dikelola untuk usaha hutan tanaman. Akan tetapi minat tersebut belum sepenuhnya dapat mendorong terlaksananya kegiatan.
Pengalaman di masa lalu membuat masyarakat trauma untuk
berusaha di bidang tanaman kehutanan. Masyarakat di Riau pada tahun 80-an dengan antusias mengikuti program pemerintah untuk menanam tanaman sengon.
Akan tetapi ketika tanaman siap dipanen, aspek pemasaran tidak
tersedia. Masyarakat sangat kesulitan untuk menjual kayu sengon yang mereka miliki.
Oleh karenanya minat mereka terhadap tanaman kehutanan sangat
rendah. Sementara itu pilihan komoditas perkebunan sangat menarik. Mereka lebih menyukai kegiatan budidaya tanaman sawit dan karet sebagai mata pencaharian utama. Faktor lain selain minat masyarakat adalah kesiapan dari pihak pemerintah daerah sendiri untuk mendorong terwujudnya kegiatan HTR.
Setelah terbit
Harian Umum Haluan Riau. Sabtu, 10 Oktober 2010. Dishut Riau Sosialisasi HTR Rohul. http://www.riaumandiri.net/rm/index.php?option=com_content&view=article&id=14943 [1 Nov 2010] *
104
Keputusan Menteri kehutanan mengenai alokasi lahan HTR, pihak pemerintah daerah harus melakukan kegiatan sosialisasi kepada masyarakat sasaran dan menyiapkan tenaga pendamping untuk calon peserta. Kegiatan sosialisasi telah terselenggara dengan sumber dana dari pemerintah pusat (Kepala Seksi HTR Dinas Kehutanan Riau
1 November 2010, komunikasi pribadi).
Akan tetapi
untuk melaksanakan kegiatan pendampingan pihak pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupten belum memiliki kesiapan sumberdaya. Kegiatan pendampingan mutlak diperlukan bagi masyarakat calon peserta HTR, mengingat HTR mempersyaratkan beberapa kegiatan birorkrasi dalam hal pengajuan izin
hingga
pelaksanaan
kegiatan
penanaman
di
lapangan.
Persyaratan administratif yang harus dipenuhi petani pemohon IUPHHK-HTR sebagaimana diatur dalam Permenhut P.5/Menhut-II/2008 adalah sebagai berikut: -
Bagi pemohon perorangan yang tergabung dalam kelompok, persyaratan yang harus dipenuhi adalah fotocopy KTP, Keterangan domisili dari Kepala Desa Setempat, Sketsa areal yang dimohon, dan susunan anggota kelompok
-
Bagi pemohon Koperasi, persyaratan yang harus dipenuhi adalah : fotocopy akte pendirian, keterangan dari Kepala Desa yang menyatakan bahwa koperasi dibentuk oleh Masyarakat setempat, sketsa areal yang dimohon untuk luasan diatas 15 ha dengan skala 1:5.000 atau 1: 10.000. Setelah pemohon mendapatkan SK IUPHHK HTR kewajiban yang harus
dipenuhi adalah penyusunan Rencana Kerja Umum dan Rencana Kerja Tahunan. Keseluruhan proses administratif tersebut sulit terlaksana jika petani HTR tidak mendapatkan pendampingan. Sementara itu pihak pemerintah daerah kebupaten maupun provinsi belum dapat menyediakan fasilitas pendampingan tersebut. Oleh karenanya kegiatan HTR di Provinsi Riau belum dapat terealisasi hingga tahap kegiatan nyata di lapangan.
5.1.2
HTR di Provinsi Kalimantan Selatan Kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan Keputusan
Menteri Kehutanan No.435/Menhut-II/2009 (Ditjen BPK 2010) seluas 1.779.982 ha. Luas hutan produksi secara keseluruhan sejumlah 1.040.272 ha yang terdiri dari Hutan Produksi Tetap seluas 762.188 ha (42% dari luas kawasan hutan), Hutan Produksi Terbatas 126.660 ha (7%), dan Hutan Produksi yang dapat
105
dikonversi seluas 151.424 ha (9%). Kawasan konservasi di Provinsi Kalimantan Selatan terdiri dari Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam seluas 213.285 ha (12%) dan Hutan Lindung seluas 526.425 ha (30%). Gambar 19 menunjukkan proporsi kawasan hutan berdasarkan fungsinya di Provinsi Kalimantan Selatan.
9%
7%
KSA/KPA
12%
HL Taman Buru
30%
Ht Produksi Tetap
42%
HP Terbatas HP Konversi
0%
Gambar 19 Persentase luas kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan fungsinya (sumber: Ditjen BPK 2010)
Direktorat Jenderal BPK (2010) menyampaikan data bahwa hutan produksi di Provinsi Kalimantan Selatan seluas 854.039 ha telah dimanfaatkan; yaitu seluas 279.361 ha untuk IUPHHK-HA (5 unit), 544.920 ha untuk IUPHHK-HTI (15 unit), dan pencadangan areal IUPHHK-HTR seluas 29.758 ha (Tabel 18) Tabel 18 Izin pemanfaatan hutan produksi di Kalimantan Selatan No
IUPHHK
Jumlah (Unit) 1. IUPHHK-HA 5 2. IUPHHK-HTI 15 3. Pencadangan HTR 6 Jumlah 26 Sumber : Ditjen BPK (2010), diolah
Luas (ha) 279.361 531.560 29.758 840.679
Persentase Luas (%) 33,23 63,23 3,54
Tabel 18 menunjukkan data bahwa luas areal yang dicadangkan untuk lokasi HTR terdapat di 6 unit, dengan proporsi 3,54% dari luas hutan produksi yang telah dibebani izin. Sementara itu jika dibandingkan dengan luas total hutan produksi, proporsi pencadangan HTR hanya 2,86%. Lahan hutan produksi yang masih belum ditetapkan pemanfaatannya terdapat seluas 199.514 ha sehingga masih dapat dialokasikan untuk kegiatan HTR.
106
Enam unit lokasi yang telah dicadangkan untuk kegiatan HTR tersebar di enam kabupaten, yaitu : Kabupaten Banjar, Hulu Sungai Selatan, Tabalong, Tanah Laut, Kota Baru, dan Tanah Bumbu (Tabel 19). Tabel 19 Pencadangan lokasi HTR di Provinsi Kalimantan Selatan No
Kabupaten
1
Banjar
2
Hulu Sungai Selatan
3
Tabalong
4
Tanah Laut
5
Kota Baru
6
Tanah Bumbu
SK Pencadangan Lahan SK.393/Menhut-II/2008 10-Nop-08 SK.101/Menhut-II/2008 08-Apr-08 SK.395/Menhut-II/2008 10-Nop-08 SK.706/Menhut-II/2009 19-Okt-09 SK. 44/Menhut-II/2010 15-Jan-10 SK. 50/Menhut-II/2010 15-Jan-10 Jumlah
Luas (Ha) 3.160,00 818,00 7.490,00 5.355,00 3.900,00 9.035,00 29.758,00
Sumber : Direktorat Jenderal BPK (2010)
Data Ditjen BPK hingga Agustus 2010 menunjukkan meskipun telah terbit SK Menhut untuk pencadangan lokasi HTR di 6 kabupaten, akan tetapi belum ada satupun kabupaten yang menindaklanjuti dengan penerbitan Izin Usaha HTR.
Berdasarkan hasil kegiatan FGD dengan para stakeholder di tingkat
Provinsi Kalimantan Selatan diketahui bahwa pihak pemerintah daerah masih menunggu tindak lanjut kebijakan HTR dari pemerintah pusat khususnya dalam hal pengucuran dana bergulir dari BLU Pusat P2H. Mereka menyatakan bahwa kebijakan dari pusat belum jelas dan lengkap, sementara itu pihak pemerintah pusat yang diwakili oleh Unit Pelaksana Teknis menyatakan bahwa segala peraturan pelaksanaan HTR telah selesai disusun dan telah cukup lengkap untuk dijadikan pedoman pelaksanaan kegiatan di lapangan.
Dari kondisi tersebut
terlihat adanya ketidakserasian pemahaman antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. 5.1.3
HTR di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Luas kawasan hutan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta meliputi
16.819,52 ha.
Berdasarkan fungsi kawasan hutan tersebut terbagi menjadi
Hutan Lindung seluas 2.057,9 ha (12)%, kawasan suaka alam dan pelestarian alam 910,34 ha (5%), Hutan Produksi Tetap 13.851 ha (83%)(Gambar 20)
107
0% 5%
12% KSA/KPA HL
83%
Taman Buru Ht Produksi Tetap HP Terbatas HP Konversi
Gambar 20 Persentase kawasan hutan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan fungsinya (Sumber : Ditjen BPK 2010) Berdasarkan data pembagian fungsi kawasan hutan, dapat dilihat bahwa hutan produksi di Provinsi DIY berstatus Hutan Produksi Tetap. Pengelolaan kawasan hutan tersebut berada pada kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi, dalam hal ini Dinas Kehutanan Provinsi.
Pemerintah Provinsi DIY telah
memanfaatkan seluruh kawasan hutan produksinya dengan mengembangkan tanaman kayu putih. Oleh karenanya peluang untuk mengembangkan skema HTR di kawasan hutan produksi di Yogyakarta tidak lagi dapat dilakukan di lahan tersebut. Di sisi lain, pemerintah daerah Provinsi DIY menyambut antusias skema program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Paradigma Community Based Forest Management (CBFM) benar-benar dikembangkan di Provinsi DIY. Hal tersebut dilakukan demi terwujudnya visi Dinas Kehutanan Provinsi DIY untuk menjadikan DIY sebagai daerah model pengembangan pola CBFM di Indonesia. Untuk itu, pemerintah daerah provinsi mencari alokasi lahan lain yang memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai lahan HTR. Lahan AB (Afkhiring Bosh) merupakan salah satu jenis status lahan yang keberadaanya hanya terdapat di Provinsi DIY. Akar budaya Provinsi DIY yang dipimpin oleh Kesultanan Yogyakarta, memungkinkan pembagian status lahan berada pada kewenangan penuh Sultan Yogya.
Sebagai daerah kerajaan,
Daerah Istimewa Yogyakarta ( DIY ) mempunyai peraturan sendiri dalam bidang pertanahan (sebelum UUPA berlaku secara resmi di DIY) yaitu Rijksblaad No. 16 Tahun 1918 dan No. 18 Tahun 1919, tentang tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan hak eigendom dan hak domain Kasultanan) (Kusumoharyono 2006). Tanah yang tidak dibebani hak milik perorangan menjadi hak Sultan untuk mengelolanya, termasuk di dalamnya lahan AB.
108
Berdasarkan sejarahnya tanah AB merupakan tanah yang berstatus kawasan hutan negara yang pada pengelolaan kawasan hutan secara definitif kawasan ini dikeluarkan dari unit kawasan manajemen hutan. Salah satu faktor penyebabnya karena luas yang kecil dan sebaran yang sporadis, karenanya menimbulkan kesulitan untuk dibentuk menjadi satu kesatuan sistem dan manajemen kelestarian hutan (Dishutbun DIY 2009). Hasil kegiatan observasi di lapangan menunjukkan bahwa pada umumnya lahan AB merupakan lahan-lahan sempit di tepi hutan, tepi pemukiman penduduk, dan tepi sungai. Lahan AB pada era tahun 1960-an merupakan lahanlahan tidak produktif atau lahan tidur.
Berawal dari kondisi lahan yang terlantar
tersebut, masyarakat yang berada di sekitar lahan AB mamanfaatkan untuk budidaya tanaman semusim dan tanaman kehutanan di bawah pengawasan pemerintah desa setempat. Hak pengelolaan lahan AB merupakan hadiah Sultan kepada warga yang tidak memiliki lahan atau yang masih membutuhkan lahan garapan.
Hak pengelolaan lahan AB tidak merupakan hak kepemilikan atas
lahan, melainkan hanya berupa hak pengelolaan.
Terdapat perjanjian tidak
tertulis diantara Sultan (sebagai wakil pemerintahan) dengan masyarakat Yogya, bahwa jika sewaktu-waktu lahan AB tersebut diperlukan maka masyarakat wajib mengembalikannya kepada Sultan. Kondisi ini berlangsung sejak tahun 1967 hingga awal tahun 2008. Perubahan status lahan AB dimulai ketika pemerintah Provinsi DIY menetapkan lahan AB akan digunakan untuk alokasi lahan HTR.
Upaya
pemanfaatan lahan AB (Afkhiren Bosch) telah dilakukan sejak tahun 1998 dengan melakukan penataan kawasan tersebut.
Dinas Kehutanan Provinsi Yogyakarta
melakukan kegiatan identifikasi dan inventarisasi hutan eks AB dan diperoleh data bahwa lahan AB meliputi luas 1.773 hektar. Kegiatan penataan batas telah dilakukan untuk lahan seluas 1.100 hektar.
Upaya penataan tersebut terus
dilakukan melalui penyusunan grand design penyelesaian penataan lahan AB (Dinas Kehutanan Provinsi Yogyakarta, 8 Agustus 2009 komunikasi pribadi). Optimalisasi kawasan AB menjadi prioritas kegiatan tahun 2009 dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi DIY.
Kegiatan optimalisasi dilakukan
dengan menetapkan lahan AB seluas 327,73 hektar untuk alokasi lahan HTR. Kawasan hutan AB Blok Pacarejo-Candirejo dan Blok Jepitu-Balong-Purwodadi, Kabupaten Gunungkidul merupakan blok yang ditetapkan sebagai calon lahan
109
HTR berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK. 118/MenhutII/2009 tanggal 20 Maret 2009 (Dishutbun DIY 2009).
5.2
Profil Sosial Ekonomi Masyarakat Kegiatan HTR sangat tergantung pada minat masyarakat petani yang
menjadi sasaran kegiatan. Kegiatan HTR yang merupakan salah satu bentuk peluang mata pencaharian petani akan menarik minat masyarakat jika secara nyata memberikan dampak bagi peningkatan pendapatan keluarga. Oleh karena itu kajian profil sosial ekonomi masyarakat petani yang akan menjadi sasaran program HTR menjadi penting dilakukan untuk mengetahui kondisi kegiatan petani dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-harinya.
Gambaran profil
sosial ekonomi masyarakat di masing-masing kabupaten terpilih diuraikan pada bagian berikutnya.
5.2.1
Profil Sosial Ekonomi Masyarakat Petani di Provinsi Riau Jumlah penduduk total di Provinsi Riau sebanyak 5.543.031 jiwa, terdiri
dari penduduk asli dan para pendatang dengan bermacam-macam suku bangsa. Mereka bermukim di wilayah perkotaan dan di pedesaan di seluruh pelosok Provinsi Riau. Adapun suku-suku yang terdapat di Provinsi Riau adalah Melayu, Jawa, Minang, Tionghoa, Batak, dan Bugis. Suku Melayu merupakan penduduk asli Provinsi Riau dan merupakan suku mayoritas di provinsi ini yang keberadaannya tersebar di seluruh daerah Riau. Suku Jawa merupakan pendatang yang paling banyak terdapat di provinsi Riau, terutama daerah transmigran dan daerah perkotaan. Penduduk Suku Jawa ada yang bekerja sebagai petani, pegawai negeri, anggota TNI, buruh dan sebagainya.
Penduduk Suku Minangkabau pada umumnya tinggal di
Pekanbaru, Kampar, Kuantan Singingi, Rokan Hulu dan wilayah lainnya. Pada umumnya mereka hidup sebagai pedagang, namun banyak juga yang menjadi pegawai negeri, anggota TNI, dan lain-lain. Penduduk etnis Tionghoa pada umumnya tinggal di daerah pesisir Provinsi Riau seperti di Bagansiapiapi, Selatpanjang, Pulau Rupat dan Bengkalis. Namun sekarang ini banyak juga yang tinggal di daerah perkotaan seperti Pekanbaru dan Dumai.
Masyarakat dari
Suku Batak kebanyakan tinggal di daerah perkotaan. Banyak diantara mereka yang bekerja sebagai PNS, TNI, pedagang, dan lain-lain.
110
Pertumbuhan penduduk Riau relatif tinggi yaitu 3,79% per tahun selama periode 1998-2002. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan penduduk nasional sebesar 1,4% per tahun untuk periode yang sama. Penyebab pertumbuhan tersebut adalah tingginya migrasi dari daerah lain sebagai akibat perputaran roda perekonomian dan peluang lapangan kerja di Provinsi Riau* Provinsi Riau merupakan salah satu dari lima provinsi kaya di Indonesia. Seperti halnya wilayah lain di Pulau Sumatera Riau juga merupakan daerah yang kaya dengan hasil bumi.
Hasil utama dari Provinsi Riau minyak bumi yang
dikelola PT Caltex dan kelapa sawit baik yang dikelola oleh perkebunan negara maupun oleh rakyat.
Perkebunan sawit di provinsi Riau saat ini mencapai luas
1,34 juta hektar. Kegiatan pengolahan kelapa sawit didukung dengan adanya 116 pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) yang beroperasi dengan produksi CPO
(crude
palm
oil)
sebanyak
3.386.800
ton
per
tahun
(id.wikipedia.org/wiki/Riau) Data dari Dinas Perkebunan Provinsi Riau menunjukkan bahwa selain kelapa sawit, di Provinsi Riau juga terdapat perkebunan karet seluas 516.474 ha, terdiri dari perkebunan karet rakyat seluas 496.181 ha; Perkebunan Besar Negara 10.901 ha; dan Perkebunan besar Swasta 9.392 ha.
Gambar 21
menunjukkan salah satu contoh kondisi tanaman karet rakyat.
Gambar 22
merupakan contoh tanaman sawit rakyat.
Gambar 21 Tanaman karet rakyat di Provinsi Riau *
(http://www.bi.go.id/web/id/DIBI/Info_Publik/Ekonomi_Regional/Profil/Riau/ Demografi.htm)[14 Nov 2010]
111
Gambar 22 Tanaman sawit rakyat di Provinsi Riau Serapan tenaga kerja khusus di sub sektor perkebunan sebagian besar berada di perkebunan kelapa sawit sebanyak 688.000 orang, karet 216.554 orang, kelapa 197.218 orang dan aneka tanaman 97.572 orang (Gambar 23) kelapa, 197,218, 16%
karet, 216,554, 18%
aneka tanaman, 97,572, (8%) kelapa sawit, 688,000, 58%
Gambar 23 Serapan tenaga kerja sub sektor perkebunan di Provinsi Riau (Sumber : BPS Riau 2009) Dalam skala rumah tangga kebanyakan masyarakat petani yang dituju oleh program HTR adalah petani yang selama ini mengelola tanaman karet atau tanaman sawit.
Petani di Provinsi Riau memiliki minat yang tinggi untuk
berusaha di bidang budidaya sawit, karena jenis ini merupakan komoditas andalan bagi masyarakat di Provinsi Riau (Sachiho 2008). Sementara itu usaha di sektor perkebunan karet masih juga tetap menjadi andalan bagi petani, meskipun posisinya mulai digeser oleh tanaman sawit. Nagata dan Arai (2006) sebagaimana dikutip dalam Sachiho (2008) menjelaskan proses peralihan
112
perkebunan di Riau dari yang semula didominasi tanaman karet (tahun 70-an) berubah menjadi perkebunan sawit. Program PIR-Trans yang dimulai di akhir tahun 70-an telah berhasil membangun perkebunan sawit di Provinsi Riau dengan mendatangkan tenaga kerja dari Pulau Jawa sejumlah lebih dari 132.000 Kepala Keluarga. Program ini telah menambah luas lahan perkebunan sawit. Hingga tahun 2000 tercatat data rata-rata penambahan luas lahan sawit sebesar 42,28%. Pendapatan petani perkebunan sawit terbukti lebih tinggi dibanding sektor perkebunan lain.
Data Statistik Provinsi Riau (BPS Riau 2009) mencatat
terjadinya peningkatan pendapatan petani sejak tahun 1998 hingga 2005. Pada tahun 2005 pendapatan petani sawit sebesar Rp.18.000.000 per tahun, sedangkan petani karet Rp.11.856.000 per tahun. Mempertimbangkan tingkat pendapatan yang tinggi dari usaha perkebunan rakyat, maka petani di Provinsi Riau lebih tertarik berusaha di sektor perkebunan dibanding di sektor tanaman kehutanan. Oleh karenanya kegiatan penanaman hutan oleh masyarakat di Provinsi Riau sangat terbatas. Pengalaman petani di Provinsi Riau dalam kegiatan penanaman tanaman kehutanan terdapat di beberapa lokasi, diantaranya di Desa Lubuk Kebun Kecamatan Logas Tanah Darat Kabupaten Kuansing yang menjadi salah satu desa yang diobservasi dalam penelitian. Petani memiliki program hutan rakyat atau hutan milik berupa penanaman 80% karet dan 20% mahoni, dimana bibit dan pupuk disediakan oleh pemerintah.
Jenis tanaman yang dibudidayakan selain karet dan mahoni
terdapat juga jenis akasia, dan sungkai (Peronema canescens Jack.) yang ditanam sebagai tanaman batas. Di desa lain yaitu Desa Rambahan, yang juga diobservasi dalam kegiatan penelitian teridentifikasi adanya kegiatan penanaman tanaman akasia melalui kegiatan kemitraan dengan perusahaan HTI PT RAPP. Berdasarkan informasi dari tokoh masyarakat di Desa Rambahan, luas tanaman akasia yang dikelola dengan pola kemitraan adalah 350 ha. Pelaksanaan kegiatan kemitraan dilakukan melalui kelompok tani dan perusahaan untuk jangka waktu 30 tahun, dimulai sejak tahun 1996. Kewajiban perusahaan adalah memberikan bagi hasil panen di akhir daur tanaman akasia dengan proporsi 40% untuk petani dan 60% untuk perusahaan.
Sedangkan kewajiban masyarakat adalah menyediakan
lahan bagi kegiatan penanaman akasia, selain kewajiban tersebut masyarakat tidak memiliki tugas apapun dalam hal penanaman hingga kegiatan panen.
113
Dengan demikian, kegiatan ini lebih merupakan sewa lahan milik masyarakat oleh perusahaan HTI dalam rangka memperluas areal tanaman akasia. Masyarakat menganggap bahwa kontrak dengan PT RAPP merupakan tambahan bagi penghasilan keluarga dan bukan merupakan sumber mata pencaharian utama. 5.2.2
Profil Sosial Ekonomi Masyarakat Petani Hutan di Provinsi Kalsel Provinsi Kalimantan Selatan dengan luas wilayah 37.530 km2 memiliki
jumlah penduduk 3.142 ribu jiwa. Kalimantan Selatan mendapat julukan Seribu Sungai karena daerah ini pada umumnya dialiri oleh sungai dan masih banyak penduduk yang menggantungkan hidupnya dari sungai. Sungai yang mengalir di provinsi ini sebanyak 62. Pada umumnya sungai-sungai tersebut berpangkal di pegunungan Meratus dan bermuara di laut Jawa (Dishut Kalsel 2007). Budaya atau tradisi penduduk asli Kalimantan Selatan dikenal dengan tradisi “Urang Banjar”. Ahli sejarah menyimpulkan bahwa budaya Urang Banjar merupakan perpaduan antara suku Dayak, suku Melayu dan suku Jawa. Selain itu, ajaran Islam yang dibawa oleh pedagang Arab dan Persia telah banyak mempengaruhi perkembangan kebudayaan Urang Banjar yang tercermin dari tarian, musik, permainan, pakaian, dan upacara adat. Penduduk asli Kalimantan Selatan umumnya suku bangsa Banjar yang intinya terdiri dari sub suku, yaitu Maayan, Lawangan dan Bukiat yang mengalami percampuran dengan suku bangsa Melayu, Jawa dan Bugis. Identitas utama yang terlihat adalah bahasa Banjar sebagai media umum. Penduduk pendatang seperti Jawa, Melayu, Madura, dan Bugis sudah lama datang ke Kalimantan Selatan. Suku bangsa Melayu datang sejak zaman Sriwijaya atau sebagai pedagang yang menetap, suku bangsa Jawa datang pada periode Majapahit bahkan sebelumnya, dan orang
Bugis
datang
mendirikan
kerajaan
Pegatan
di
masa
lalu
(http:www.indonesia.go.id) Pertanian merupakan sektor yang berkontribusi besar terhadap PDRB Provinsi Kalimantan Selatan. Pada sub sektor pertanian tanaman pangan komoditi utama yang dikembangkan adalah padi sawah dan padi sebagian lagi adalah palawija. Lahan yang digunakan dalam rangka memproduksi tanaman pangan pada umumnya menggunakan lahan sawah yang terdiri dari lahan basah dan perairan pasang surut.
Selain mengembangkan sektor pertanian, Provinsi
Kalimantan Selatan juga mempunyai sektor perkebunan baik yang dikelola perusahaan besar swasta dan pemerintah perkebunan yang dikelola rakyat pada
114
bersifat campuran dan hanya seluruh komoditi utama, sedangkan perkebunan yang dikelola oleh pemerintah adalah komoditi perusahaan besar swasta adalah kelapa sawit. Pada sub sektor kehutanan telah dikembangkan HTI dan HPH. Produksi sektor kehutanan terdiri dari dua jenis yaitu kayu dan non kayu. Hasil hutan non HPH berupa kayu bulat pada tahun 2004 adalah sebesar 719.980,01 m³ dan kayu olahan sebesar 1.568.715,38 m³ (Dishut Provinsi KalSel 2007). Masyarakat petani yang menjadi target program HTR pada umumnya juga merupakan masyarakat yang memiliki minat tinggi untuk berusaha di sektor perkebunan karet. Statistik perkebunan Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2008 menunjukkan bahwa karet merupakan komoditas unggulan Kalsel dengan luas lahan yang telah dikelola sebanyak 133.900 ha dengan produksi sebanyak 108.990 ton pada tahun 2008 (BPS Kalsel 2009). Sementara itu minat masyarakat untuk berusaha di sektor kehutanan masih sangat tergantung pada kegiatan kemitraan yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan kayu.
Beberapa pengalaman masyarakat dalam
mengembangkan hutan tanaman ditemukan di lokasi sampel penelitian yaitu di Desa Ranggang, Kecamatan Takisung dan Desa Asam Jaya, Kecamatan Jorong, Kabupaten Tanah Laut. Jenis tanaman yang dikembangkan di Desa Ranggang adalah mahoni (Swietennia macrophylla).
Bibit tanaman mahoni diperoleh dari pemerintah
dengan adanya program GN-RHL/Gerhan tahun 2003. Setiap petani memiliki 1 sampai 2 blok tanaman mahoni, dimana masing-masing blok seluas 0,75 – 1 ha. Selain bibit, para petani juga memperoleh bantuan pupuk dari pemerintah. Saat ini umur tanaman mahoni yang tertua sekitar 5-6 tahun. Hutan tanaman mahoni yang telah terbangun hingga saat ini tercatat seluas 400 ha, dimana 370 ha merupakan hasil tanaman di lahan milik petani. Dari 10 RT yang ada di Desa Ranggang, hanya 2 RT saja yang bertindak aktif sebagai petani hutan tanaman, yaitu RT 6 dan 7. Warga di kedua RT ini merupakan pendatang/transmigran dari suku Jawa. Sementara di 8 RT lainnya yang merupakan penduduk asli suku Banjar, tidak melakukan kegiatan pembangunan
hutan
tanaman.
Faktor
yang
mempengaruhi
para
pendatang/transmigran untuk aktif membangun hutan tanaman adalah karena ketersediaan lahan yang cukup. Jumlah Kepala Keluarga yang terlibat sebagai petani hutan tanaman mahoni sebanyak 30 KK.
115
Keadaan tanaman mahoni yang telah ditanam sejak tahun 2003 cukup baik.
Para petani cukup antusias merawat tanaman mahoninya karena ada
jaminan pasar dari PT Emida.
Pada tahun 2007 PT Emida yang berkedudukan
di Desa Jorong menjalin kemitraan dengan petani di Desa Ranggang untuk menanam mahoni (Gambar 24).
Perusahaan menyediakan bibit dan pupuk.
Petani melakukan kegiatan penanaman mahoni di lahan milik. Seluas 30 ha tanaman mahoni kemitraan telah terbangun di Desa Ranggang. berjanji akan menampung pasar kayu hasil panen petani.
PT Emida
Perusahaan ini
memiliki pabrik furniture di Mojokerto, yaitu PT Kurnia Anggun, yang menghasilkan produk furniture untuk diekspor ke USA.
Gambar 24 Hutan tanaman mahoni di lahan milik petani di Provinsi Kalsel Perjanjian kerjasama antara petani dan PT Emida telah dilakukan dalam bentuk penandatangangan perjanjian kontrak.
Dari hasil wawancara dengan
pihak perusahaan, diperoleh informasi bahwa isi perjanjian kontrak meliputi : 1. Perjanjian kesepakatan antara petani dan perusahaan untuk bekerja sama dalam pemeliharaan dan perawatan tanaman sampai dengan panen dan pemasaran 2. Pihak perusahaan wajib memberikan pupuk yang dirasa perlu dan sesuai dengan kebutuhan pohon mahoni tersebut dan wajib menjamin akan membeli pohon mahoni, serta pembeliannya mengikuti harga yang berlaku saat panen. 3. Petani berkewajiban untuk :
116
-
menjamin keabsahan kepemilikan lokasi beserta tanaman mahoni yang ada di dalam lahan tersebut
-
tenaga untuk pemupukan mahoni menjadi tanggung jawab petani
-
mencegah dan mengendalikan api/bahaya kebakaran
-
tidak memindah tangankan/menjaminkan/menyewakan lahan tersebut kepada pihak manapun dan dalam bentuk apapun
-
tidak berhak memanen/menebang pohon sebelum waktunya sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat
-
petani setuju hanya akan menjual pohon mahoni tersebut kepada PT Emida Di Desa Asam Jaya Kecamatan Jorong, telah terjalin kegiatan kemitraan
dengan PT Hendratna pada tahun 2003. Jenis tanaman yang dikembangkan adalah jabon (Anthocephalus cadamba).
Sebanyak 32 petani yang sebagian
besar berada di RT 5 melakukan penanaman di lahan mereka, baik di lahan I maupun lahan II. Selain memperoleh bantuan bibit, petani juga mendapatkan bantuan dana berupa biaya angkut bibit.
PT Hendratna aktif melakukan
kegiatan penyuluhan dan penyadaran kepada masyarakat akan peluang usaha di bidang penanaman jabon. Para petani merespon tawaran tersebut dengan antusias.
Mereka dengan semangat melakukan kegiatan penanaman dan
merawat tanaman tersebut agar tumbuh dengan baik. Bahkan ada salah satu petani yang berani melakukan investasi dengan menjual ternak sapinya untuk menambah modal di kegiatan tanaman jabon.
Para petani lain yang tidak
mendapat bantuan bibit dari PT Hendratna pun ikut menanam jabon di lahanlahan tanaman karetnya. Terdapat sekitar 20% dari 224 petani penanam karet yang juga menanam jabon. Setelah berjalan selama kurang lebih 3 tahun, ternyata PT Hendratna tidak lagi menjalin hubungan dengan petani.
Bahkan untuk selanjutnya petani
kehilangan kontak dengan pihak perusahaan, karena ternyata PT Hendratna sedang mengalami masalah dan terancam bangkrut. Hal ini membuat situasi ketidakpastian di kalangan petani. Harapan yang telah ditumbuhkan oleh PT Hendratna, berubah menjadi perasaan kecewa yang sangat mendalam. Akibatnya banyak petani yang membiarkan tanaman jabon.
Bahkan banyak
tanaman jabon yang ditebang dan digantikan dengan tanaman karet. Pada saat ini sebagian petani yang masih memiliki tanaman jabon berharap, agar suatu saat akan ada pihak yang mau membeli kayu hasil panen tanaman jabonnya.
117
5.2.3
Profil Sosial Ekonomi Masyarakat Petani HTR di di Provinsi DIY Kegiatan Hutan Tanaman Rakyat di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
telah dilaksanakan di Kabupaten Gunungkidul, tepatnya di Desa Candirejo dan Pacarejo Kecamatan Semanu.
Kecamatan Semanu terdiri dari 5 desa, yaitu
Pacarejo, Candirejo, Dadapayu, Ngeposari, dan Desa Semanu. Data luas setiap desa di Kecamatan Semanu disajikan pada Gambar 25. Gambar 26 menunjukkan posisi Kecamatan Semanu dalam peta Kabupaten Gunungkidul.
Gambar 25 Luas desa di Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunungkidul (Sumber: Dishutbun DIY 2009)
Gambar 26 Peta Kecamatan Semanu (Sumber: Dishutbun DIY 2009) Desa Candirejo merupakan salah satu dari 5 (lima) desa yang ada di Kecamatan Semanu, dengan luas wilayah 2.203,65 hektar (20,31% dari Kecamatan Semanu). Sedangkan Desa Pacarejo memiliki luas wilayah 3.024,312 hektar (28,34% dari Kecamatan Semanu). Jumlah penduduk Desa Candirejo sebanyak 4.037 jiwa yang terdiri dari Laki-laki sebanyak 4.800 jiwa
118
dan Perempuan sebanyak 8.837 jiwa. Mata pencaharian sebagian besar penduduk adakah pertanian dalam bentuk pekarangan dan tegalan. Jumlah petani yang menggarap tanah AB sebanyak 200 KK (BPS Kabupaten Gunungkidul 2008). Dalam
kegiatan
penanaman
hutan,
secara
umum
masyarakat
Gunungkidul adalah petani hutan jati. Mereka mengembangkan hutan tanaman jati di lahan-lahan milik (hutan rakyat) maupun di lahan hutan negara melalui skema pembangunan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Pola budidaya tanaman jati telah menjadi tradisi di masyarakat Gunungkidul. Daerah yang gersang dan rusak parah sebelum 1978, ternyata berhasil diselamatkan dengan pola penanaman campuran jati dan jenis-jenis lain (wikipedia.org/wiki/Jati). Dalam selang waktu hampir 30 tahun, lebih dari 60% lahan rusak dapat diubah menjadi lahan yang menghasilkan. Penduduk setempat paling banyak memilih menanam jati di lahan mereka karena melihat nilai manfaatnya, cara tanamnya yang mudah, dan harga jual kayunya yang tinggi. Mereka mencampurkan penanaman jati di kebun dan pekarangan mereka dengan mahoni (Swietenia mahogany), akasia (Acacia villosa), dan sonokeling (Dalbergia latifolia). Kegiatan pengembangan hutan rakyat jati di Kabupaten Gunungkidul berkontribusi dalam pemenuhan suplai kayu jati untuk kebutuhan industri di Jawa. Data produksi kayu jati di Kabupaten Gunungkidul menunjukkan bahwa dari bulan Januari-November 2008 terdapat sebanyak 33.151 m3 kayu jati yang dipanen, data ini didasarkan pada jumlah Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Gunungkidul (Kurniawan et al. 2008). Kayu jati tersebut digunakan untuk memasok ribuan industri pengolahan kayu yang menghasilkan produk-produk seperti kayu lapis indah, mebel, ukiran kayu dan beragam olahan kayu lainnya. Model penanaman hutan jati di Kabupaten Gunungkidul dilakukan dengan pola tumpangsari dengan tanaman semusim. Hal ini disebabkan karena luas kepemilikan lahan oleh setiap petani relatif sempit sekitar 0,2-1 ha (Jariyah et al. 2003), sehingga banyak kepentingan yang harus dipertimbangkan dalam hal penggunaan lahan. Pola tumpangsari merupakan alternatif penggunaan lahan yang dapat menampung berbagai kepentingan, baik untuk tujuan budidaya tanaman semusim guna pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari maupun untuk budidaya tanaman tahunan.
Dengan pola tumpangsari, petani dapat
memperoleh pendapatan secara berkesinambungan sepanjang tahun. Hal ini
119
merupakan strategi petani untuk menghindari masa paceklik (Jariyah et al. 2003).
Gambar 27 mengilustrasikan kondisi hutan jati di Kabupaten
Gunungkidul.
Gambar 27 Hutan jati di lahan HTR di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Hasil dari kayu jati tanaman rakyat diperlakukan sebagai tabungan jangka panjang. Pola pemasaran dilakukan dengan mekanisme “tebang butuh”, ketika petani memerlukan biaya yang relatif cukup besar, maka pohon jati menjadi andalan untuk mendapatkan uang tunai dengan mudah.
Pasar kayu jati di
Kabupaten Gunungkidul tidaklah sulit, karena kegiatan jual beli kayu telah berjalan cukup lama dan terdapat banyak pengepul kayu yang mendatangi pihak petani pemilik pohon yang akan menjual pohonnya. Kegiatan jual beli pohon jati di Gunungkidul telah berjalan cukup lama, sehingga faktor pemasaran kayu tidak menjadi hambatan berarti dalam kegiatan hutan tanaman jati di lahan milik yang selama ini telah lebih dulu berkembang. Demikian pula halnya dengan program HTR yang baru diresmikan tahun 2008. Pada dasarnya kegiatan HTR di kabupaten ini merupakan lanjutan dari kegiatan hutan tanaman jati yang telah lebih dulu dilakukan di lahan-lahan AB. Hanya saja sejak digulirkannya program HTR maka terjadi pergantian status lahan dari AB menjadi lahan HTR. Sementara seluruh kegiatan produksi mulai
120
dari budidaya tanaman hingga pemasaran hasil panen jati, telah berjalan lebih dulu seperti halnya yang terjadi pada lahan hutan milik. Adapun respon dari para petani terhadap perubahan status mereka yang semula sebagai penggarap lahan AB menjadi petani HTR diuraikan pada bagian selanjutnya. Demikian pula dengan respon pemangku kepentingan di tingkat pemerintah daerah kabupaten dan provinsi, secara rinci diuraikan pada bagian berikut.
5.3
Respon Pemangku Kepentingan di Daerah terhadap Kebijakan HTR Keberhasilan suatu program pemerintah yang digulirkan dari tingkat pusat,
sangat tergantung pada respon pemangku kepentingan di daerah terhadap program tersebut.
Jika pemerintah daerah sebagai pelaksana kegiatan di
lapangan memberikan respon yang cukup baik maka terdapat peluang untuk tercapainya tujuan program. Akan tetapi jika pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lain yang terkait tidak memberikan respon positif, maka pelaksanaan program akan terancam gagal. Responden dalam analisis ini merupakan pemangku kepentingan di tingkat pemerintah baik provinsi maupun kabupaten. Mereka adalah wakil instansi dari Dishut Provinsi dan Kabupaten, Badan Lingkungan Hidup Daerah, Bappeda Provinsi dan Kabupaten, Dinas Perkebunan, Badan Pertanahan Nasional tingkat Provinsi, Perusahaan HTI, dan wakil Akademisi. Umur berkisar antara 24 – 63 tahun, dengan pengalaman kerja 0 – 37 tahun dan tingkat pendidikan responden meliputi D3 hingga S2 dari berbagai disiplin ilmu.
Meskipun karakteristik
responden sangat beragam, namun setiap responden merupakan pemangku kepentingan yang terkait dan berkepentingan dengan program HTR.
5.3.1 Respon Pemangku Kepentingan terhadap program HTR Pemangku kepentingan di daerah, dalam hal ini pihak pemerintah daerah dan elemen lain di luar kelompok petani, terhadap program HTR pada umumnya setuju dengan persentase kelompok yang menyatakan sikap setuju sebanyak 83%, ragu-ragu (3.45%), tidak setuju (13,79%) (Gambar 28).
121
Raguragu 3%
Tidak setuju 14%
Setuju 83%
Gambar 28 Respon pemangku kepentingan terhadap kebojakan HTR Hasil dari pendalaman terhadap pernyataan respon, diperoleh informasi mengenai berbagai alasan dari pernyataan sikap tersebut.
Responden yang
menyatakan setuju menjelaskan bahwa alasan atas sikap mereka adalah bahwa masyarakat memang sangat membutuhkan dibukanya kesempatan atau akses untuk berperan mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan milik negara. Kondisi masyarakat sekitar hutan tergolong miskin sehingga mereka perlu diberi kesempatan berusaha supaya dapat mendorong peningkatan taraf kesejahteraan hidup.
Dengan keterlibatan mereka sebagai pemilik ijin pengelolaan hutan
diharapkan akan memunculkan rasa tanggung jawab mengelola sumberdaya hutan secara lestari, dlam rangka mendukung upaya pemberantasan illegal logging dan perambahan. Sikap ragu yang dikemukakan oleh 1 orang responden lebih dilandasi oleh
keraguan
terhadap
prospek
keberhasilan
program.
Pengalaman
sebelumnya memperlihatkan bahwa sebaik apapun konsep program yang ditawarkan pemerintah, namun hasil yang dirasakan masyarakat tidak optimal. Pendapat ini memang cukup beralasan karena berbagai hasil penelitian (Peluso 1992; Lyndayati 2002, Suryamiharja, 2006) menyatakan bahwa kebijakan perhutanan sosial yang dijalankan pemerintah selama ini belum mencapai hasil seperti yang diharapkan. Sedangkan responden yang menyatakan sikap tidak setuju terhadap program HTR dilandasi alasan bahwa minat masyarakat rendah untuk menanam tanaman kehutanan, karena secara ekonomis sangat rendah daya saingnya dengan usaha tanaman kelapa sawit, di samping itu program ini diduga akan menjadi program pemerintah yang menyedot anggaran yang sangat tinggi. Pemangku kepentingan di tingkat kabupaten juga menilai tingkat kemampuan masyarakat untuk melaksanakan program HTR. Terdapat beberapa
122
aspek yang ditanyakan untuk memperdalam persepsi pemangku kepentingan di tingkat kabupaten terhadap kondisi masyarakat calon peserta HTR (Tabel 20). Tabel 20 Persepsi pemangku kepentingan terhadap minat dan kemampuan masyarakat No Aspek Setuju Ragu Tidak (%) (%) Setuju (%) 1. Masyarakat sangat berminat terhadap 47 39 14 program HTR 2. Masyarakat mampu memenuhi kewajiban 32 43 25 sebagai peserta HTR 3. Kewajiban peserta HTR sama dengan 14 25 61 kewajiban HTI 4. Masyarakat perlu pendampingan untuk 96 4 0 melaksanakan HTR 5. Masyarakat memiliki potensi untuk bekerja 44 38 17 sama 6. Masyarakat sekitar hutan tidak terbiasa 56 24 21 dengan koperasi Pemangku kepentingan di tingkat kabupaten menilai minat masyarakat untuk mengikuti program HTR masih belum tinggi. Sikap ragu dari responden (39%) menunjukkan belum adanya keyakinan bahwa masyarakat akan antusias mengikuti program HTR. Faktor yang dinilai menjadi hambatan adalah aturanaturan yang sangat ketat, dan memperlakukan masyarakat seperti perusahaan HTI. Hal ini dinilai sangat memberatkan mengingat keterbatasan kemampuan masyarakat.
5.3.2 Respon pemangku kepentingan terhadap mekanisme perijinan HTR Proses mekanisme perijinan memberikan mandat kepada Bupati untuk mengeluarkan ijin usaha HTR. Respon para pemangku kepentingan terhadap kebijakan penyerahan kewenangan kepada bupati cukup baik, dimana 79% responden menyatakan setuju, 14% ragu-ragu dan 7% tidak setuju (Gambar 29).
Ragu-ragu 14%
Tidak setuju 7%
Setuju 79%
Gambar 29 Respon pemangku kepentingan di daerah terhadap mekanisme perijinan HTR
123
Mekanisme penyerahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih
rendah
merupakan
pengelolaan hutan.
sebuah
upaya
menuju
terwujudnya
devolusi
Pertimbangan yang diambil dari keputusan penyerahan
wewenang kepada bupati adalah bahwa pemerintah daerah lebih mengetahui kondisi riel yang terjadi di wilayahnya, sehingga keputusan yang diambil diharapkan akan lebih tepat sasaran. 5.4
Respon Masyarakat Petani terhadap kebijakan HTR
5.4.1 Pengetahuan tentang program HTR Pada saat dilakukan penelitian seluruh masyarakat di lokasi penelitian menyatakan belum pernah mendengar informasi mengenai program HTR, karena sosialisasi tentang program HTR memang belum sampai ke masyarakat. Hal ini terjadi baik di Provinsi Riau maupun di Provinsi Kalimantan Selatan. Di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan, pelaksanaan program HTR masih pada tahap persiapan yaitu pengajuan areal calon lokasi.
Sementara itu di
Kabupaten Kuansing Provinsi Riau, Dinas Kehutanan Kabupaten belum secara aktif mengajukan proses pencadangan lokasi HTR. Hal ini disebabkan karena masalah tata ruang wilayah yang belum tuntas.
Banyaknya permasalahan
konflik atas lahan juga menjadi penyebab Dinas Kehutanan Kabupaten belum mengajukan usulan untuk mengimplementasikan program HTR. Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, petani HTR telah mendapatkan sosialisasi tentang program tersebut dari pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Gunungkidul.
Pendekatan persuasive dilakukan oleh pihak Dinas Kehutanan
untuk menjelaskan kepada masyarakat penggarap lahan AB bahwa status lahan mereka diubah menjadi lahan hutan negara.
Seluruh masyarakat petani AB
dapat menerima program tersebut, karena mereka menyadari bahwa lahan yang digarapnya adalah bukan hak milik melainkan semacam pinjaman yang sewaktuwaktu dapat diambil kembali oleh Sultan. Akan tetapi masyarakat tetap memiliki harapan jika suatu saat lahan AB tersebut akan menjadi hak milik mereka melalui pemberian hadiah dari Sultan kepada rakyatnya. Dengan berubahnya status lahan AB menjadi lahan hutan negara, maka kewenangan Sultan terhadap lahan tersebut juga berubah. memiliki otonomi terhadap lahan AB.
Sultan tidak lagi
Oleh karenanya harapan rakyat untuk
menjadikan lahan AB sebagai lahan milik tidak lagi dapat diwujudkan. Namun demikian,
masyarakat
dapat
menerima
program
HTR
karena
masih
124
diperbolehkan menggarap lahan tersebut, sekalipun programnya berubah menjadi skema Hutan Tanaman Rakyat. Dalam program HTR, petani disarankan untuk membentuk kelompok tani dan koperasi. Pada masyarakat Gunungkidul, upaya pembentukan kelompok tani dan koperasi dapat terwujud karena adanya dukungan intensif dari pihak Lembaga Swadaya Masyarakat yang berperan secara voluntary mendampingi masyarakat. Keterlibatan peserta HTR dalam pembentukan kelompok maupun kegiatankegiatan pendampingan tidaklah sepenuhnya dilakukan oleh seluruh peserta. Melainkan hanya terbatas pada pengurus-pengurus di masing-masing desa. Terdapat sebanyak 30 orang pengurus dari kedua desa baik Candirejo maupun Pacarejo yang aktif berpartisipasi dalam kegiatan pengelolaan HTR. Sementara sebagian besar warga yang tercatat sebagai peserta HTR cenderung pasif dan bersikap “manut” terhadap apapun yang menjadi program kelompok.
Sikap
demikian muncul karena adanya kepatuhan yang tinggi terhadap pemerintah. Pemerintah dalam pandangan masyarakat Yogyakarta adalah perwakilan dari Sultan yang semua perintahnya harus ditaati.
Faktor lain yang mendorong
masyarakat untuk mengikuti program HTR adalah kekhawatiran yang tinggi jika peluang mereka menggarap lahan dihentikan.
Selama mereka masih diberi
kesempatan mengelola lahan HTR, maka mereka akan patuh terhadap aturan yang ditetapkan.
5.4.2
Minat masyarakat terhadap program HTR Minat masyarakat di Provinsi Riau berbeda dengan di
Provinsi
Kalimantan Selatan. Meskipun masyarakat belum mendapatkan informasi resmi dari pihak Dinas Kehutanan Kabupaten setempat mengenai program HTR, namun seluruh responden di Kabupaten Tanah Laut Provinsi Kalimantan Selatan menyatakan ketertarikan untuk menjadi peserta program HTR.
Mereka
mengemukakan bahwa kebutuhan akan lahan sangat tinggi, sehingga jika pemerintah memberikan kesempatan untuk memanfaatkan kawasan hutan negara, masyarakat akan sangat terbantu dalam hal memperluas kesempatan mengembangkan usaha tanaman kehutanan. Sementara itu di Provinsi Riau, minat masyarakat cenderung kurang untuk berusaha di bidang tanaman kehutanan. masyarakat
Hal ini terjadi karena persepsi
terhadap kegiatan hutan tanaman kurang baik.
Pengalaman
125
mereka di masa sebelumnya yang mengalami kegagalan pemasaran kayu sengon membuat mereka tidak tertarik lagi berusaha di bidang tanaman kehutanan. Masyarakat lebih memilih komoditas sawit atau karet yang jauh lebih menguntungkan.
5.4.3 Respon terhadap aturan-aturan dalam program HTR Dari sejumlah aturan pada program HTR, tidak semua dapat dianalisis respon dan penerimaannnya dari masyarakat. Aturan yang dapat dikaji terbatas pada hal-hal yang umum dan penting untuk tahap awal pelaksanaan program. Masyarakat responden diminta untuk menyampaikan responnya pada 2 aturan program HTR yaitu mekanisme perijinan dan jenis tanaman. (1) Mekanisme perijinan. Mekanisme permohonan ijin yang diatur dalam Permenhut P.23/2007 melibatkan 10 lembaga/organisasi kehutanan dan non-kehutanan dengan 29 langkah/kegiatan yang harus dilakukan (Nugroho 2009). Terhadap mekanisme perijinan tersebut, petani yang telah tergabung dalam kelompok tani (kasus di Desa Ranggang, Kabupaten Tanah Laut) menyatakan
belum mempunyai
pengalaman mengurus perizinan sampai ke tingkat Kabupaten. Namun demikian, mereka merasa sudah terbiasa mengelola kegiatan dan membuat laporan. Sementara di Provinsi Riau, masyarakat merasa kesulitan dengan berbagai aturan perijinan yang cukup rumit. Di Kabupaten Gunungkidul, ketua kelompok tani HTR menyatakan sanggup menempuh prosedur perizinan HTR, sedangkan para anggota pada umumnya bersifat pasif dan menunggu tindakan dari pemimpin atau tokoh masyarakat.
Faktor yang menyebabkan para ketua
kelompok tani merasa mampu mengurus administrasi HTR karena adanya kegiatan yang intensif dari pihak LSM dan adanya dukungan kuat dari para tokoh warga. (2) Jenis tanaman HTR Peraturan mengenai jenis tanaman HTR ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor P. 06/VI-BPHT/2007 tanggal 7 Nopember 2007 tentang Petunjuk Teknis Pembangunan Hutan Tanaman rakyat.
Peraturan
tersebut
menetapkan
jenis
tanaman
pokok
untuk
pembangunan HTR terdiri dari tanaman hutan berkayu dan tanaman budidaya tahunan berkayu. Tanaman hutan berkayu terdiri dari kayu pertukangan baik dari jenis meranti, keruing, dan jenis-jenis non dipterocapaceae (jati, sengon,
126
sonokeling, mahoni, sungkai) serta kayu serat (eucaliptus, akasia, tusam dan gmelina). Tanaman budidaya tahunan berkayu meliputi tanaman karet dan tanaman buah-buahan. Persentase jenis tanaman untuk pembangunan HTR ditetapkan sebagai berikut : a) tanaman hutan berkayu dengan proporsi 70%, b) tanaman budidaya tahunan berkayu dengan proporsi 30%. Dengan demikian maka tanaman karet yang menjadi andalan masyarakat di Provinsi Riau dan Kalsel hanya boleh ditanam sebanyak 30% dari jumlah total tanaman di HTR. Peraturan tersebut membuat minat masyarakat rendah untuk mengikuti program HTR.
Masyarakat di Riau dan Kalsel lebih memilih
jenis tanaman
kelapa sawit atau karet karena alasan ekonomi. Berdasarkan hasil wawancara dengan key informan pengambil kebijakan, keputusan pembatasan tanaman karet ditetapkan dengan pertimbangan bahwa modal untuk menanam karet relatif lebih besar dibanding tanaman kehutanan. Sementara itu, program HTR dimaksudkan untuk melaksanakan kegiatan tanaman hutan dengan tidak menuntut ketersediaan modal yang tinggi. Melihat respon masyarakat yang rendah, akibat tidak diperkenankannya komoditas karet sebagai tanaman HTR, maka pengambil kebijakan di tingkat pusat akhirnya melakukan revisi terhadap peraturan tersebut. Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan P.06/2007 diperbaharui dengan Perdirjan P.06/2008 yang antara lain merubah ketentuan jenis tanaman. Jenis tanaman yang dapat dikembangkan untuk HTR menurut Perdirjen P.06/2008 terdiri dari tanaman pokok dan tanaman tumpangsari.
Tanaman pokok adalah tanaman berkayu
(pohon) yang dapat ditanam sejenis atau berbagai jenis, antara lain dari kelompok jenis meranti, keruing, non dipterocarpa, dan kelompok Multi Purpose Tree Species (MPTS). Peraturan tersebut menempatkan karet sebagai salah satu jenis tanaman MPTS.
Dengan demikian, karet dapat ditanam dalam
persentase 100% di lahan HTR bersamaan dengan tanaman tumpangsari. Dari uraian mengenai respon masyarakat terhadap peraturan menyangkut jenis tanaman HTR diperoleh bukti yang memperkuat bahwa proses perumusan kebijakan HTR tidak mengikuti model linier (Sutton 1999). Peraturan mengenai jenis tanaman HTR terdapat pada Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No.P.6/VI-BPHT/2007 yang kemudian diubah dengan Perdirjen No.P/06/VI-BPHT/2008 tentang Petunjuk Teknis Pembangunan Hutan Tanaman. Peraturan Direktur Jenderal No. 6 tahun
2007 menetapkan bahwa tanaman
127
karet hanya diperbolehkan ditanam sebanyak 30%. sedangkan pada Perdirjen 2008 karet bisa ditanam sebagai tanaman pokok hingga 100%. Perubahan aturan jenis tanaman menunjukkan bahwa para pengambil kebijakan di pusat memperhatikan minat dan aspirasi masyarakat sasaran yang pada umumnya lebih menyukai berusaha di bidang tanaman karet. Pihak pengambil kebijakan cukup memahami bahwa jika aturan mengenai jenis tanaman hutan rakyat terlalu ketat, maka respon masyarakat untuk mengikuti program HTR akan rendah. Fenomena ini tidak sejalan dengan pendapat Bromley & Cernea (1989) yang menyatakan bahwa proses assesment atau evaluasi kebijakan melalui tahapan hirarkis mulai dari level pengambilan keputusan hingga operasionalisasi di lapangan.
Pada kasus ini, evaluasi telah terjadi sebelum tahap
operasionaliasasi sepenuhnya dilaksanakan. Hal ini lebih sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Sutton (1999) dan IDS (2006) bahwa kebijakan bukanlah sebuah proses linier yang secara teratur melalui tahapan demi tahapan awal hingga akhir proses. kebijakan dengan
Sutton, menyatakan bahwa antara proses perumusan
implementasi tidak dapat dipisahkan.
Telah banyak bukti
yang mendukung bahwa proses ini terjadi secara acak (chaotic prosedur) yang didominasi oleh banyak aspek baik
politik maupun tekanan praktek sosial
budaya. Fakta ini memperkuat argumentasi bahwa perumusan kebijakan Hutan Tanaman
Rakyat
dilakukan
dengan
menerapkan
Perubahan kebijakan dilakukan tahap demi tahap.
model
Incrementalis.
Pengambil kebijakan
mempertimbangkan sejumlah kecil alternatif untuk menyelesaikan masalah dan cenderung untuk memilih alternatif yang sedikit berbeda dari kebijakan sebelumnya (Sutton 1999).
5.4.4 Analisis Finansial Jenis Tanaman Analisis finansial jenis-jenis tanaman kehutanan yang direkomendasikan untuk dikembangkan sebagai tanaman HTR perlu dilakukan untuk mengkaji aspek kelayakan usaha Jenis tanaman yang direkomendasikan pada kegiatan HTR adalah jenis fast growing species. Dalam analisis ini kelompok fast growing species diwakili oleh jenis tanaman akasia (Acacia mangium). Jenis tanaman yang tidak termasuk fast growing species diwakili oleh tanaman jati dimana daur tanaman lebih dari 20 tahun.
Jenis tanaman jati perlu dikaji analisis
128
kelayakannya, mengingat petani HTR di Gunungkidul menempatkan jati sebagai tanaman andalan pada lahan HTR Tanaman karet pada awalnya tidak termasuk dalam jenis yang direkomendasikan.
Akan tetapi terjadi perubahan aturan
dengan mempertimbangkan minat masyarakat yang tinggi, maka karet menjadi salah satu jenis tanaman yang dapat dikembangkan dalam kegiatan HTR. Perbandingan analisis finansial dilakukan dengan parameter Benefit Cost Ratio (BCR) dan Interest Rate of Raturn (IRR) (Gittinger 1986). parameter
tersebut
merupakan
standar
membandingkan tingkat kelayakan usaha.
yang
dapat
dirujuk
Kedua untuk
Pada umumnya nilai NPV juga
digunakan sebagai standar analisis kelayakan sebuah usaha. Akan tetapi dalam hal ini nilai NPV tidak dapat digunakan sebagai parameter yang baik. Pertimbangannya karena nilai NPV sangat tergantung pada dimensi waktu dan besaran tingkat suku bunga yang digunakan. Jika terdapat perbedaan waktu analisis, maka akan terjadi perbedaan komponen harga dan biaya, serta tingkat suku bunga. Hal ini menyebabkan nilai NPV yang dihasilkan dari setiap analisis menjadi tidak tepat untuk diperbandingkan satu dengan lainnya. Sementara itu nilai BCR dan IRR merupakan nilai indeks atau proporsi, sehingga nilai yang diperoleh menunjukkan parameter yang universal tanpa dipengaruhi oleh adanya perbedaan tingkat suku bunga yang digunakan. Benefit Cost Ratio (BCR) merupakan perbandingan antara pendapatan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan selama masa daur tanaman. Nilai BCR lebih dari 1 menunjukkan bahwa usaha tanaman merupakan kegiatan yang layak dilakukan, sebaliknya jika nilai BCR kurang dari 1 berarti kegiatan usaha tidak layak dilakukan. BCR berarti setiap penambahan biaya 1 satuan akan memberikan keuntungan sebesar proporsi yang ditunjukkan oleh nilai BCR tersebut.
Rasio Benefit terhadap Cost tidak terpengaruh oleh skala proyek,
misalnya proyek yang biaya serta benefitnya dua kali lebih besar daripada proyek lain, menghasilkan NPV dua kali lebih besar juga, sedangkan nilai Net B/C tidak akan berubah. Sementara itu nilai Interest Rate of Return merupakan ukuran dimana kegiatan usaha layak dilakukan jika suku bunga yang berlaku dalam ekonomi global berada pada tingkat yang tidak lebih dari angka yang ditunjukkan oleh nilai IRR. Keuntungan utama dari digunakannya IRR ialah perhitungannya tidak tergantung pada tingkat discount rate sosial yang berlaku atau dengan kata lain discount rate sosial tidak masuk dalam rumus IRR. Nilai IRR merupakan suatu
129
dicount rate khusus, yaitu discount rate yang membuat NPV sama dengan nol, Dalam konteks tersebut tidak ada hubungan dengan discount rate yang dihitung berdasarkan data di luar proyek sebagai social oppurtunity cost faktor produksi modal yang berlaku dalam masyarakat.
Mengingat perhitungan IRR tidak
tergantung pada discount rate sosial, maka kriteria IRR dapat dipergunakan sebagai indeks pengurutan dua atau lebih proyek (Gittinger 1986). Hasil
analisis
finansial
dari
jenis-jenis
tanaman
HTR
kemudian
dibandingkan dengan analisis finansial dari komoditas sawit. Perbandingan ini dilakukan untuk melihat tingkat kelayakan antara jenis tanaman HTR dengan kelapa sawit (Tabel 21) Tabel 21 Analisis finansial beberapa jenis tanaman untuk kegiatan HTR No
Jenis Tanaman
BCR
IRR (%)
1
Akasia (Acacaia mangium)
1,38
14,5
2
Jati (Tectona grandis)
1,50
23,0
3
Karet (Hevea braziliensis)
1,05
27,4
1,18
18,92
Tanaman HTR
Tanaman Non HTR 4
Kelapa Sawit (Euleis guinensis Jacq)
Ket : Analisis finansial akasia dilakukan oleh FAO terhadap usaha HTI akasia. Analisis kelapa sawit dengan pola kemitraan dengan harga TBS Rp 900 pada lahan gambut. Analisis finansial karet dengan skenario harga turun 18% pada tingkat suku bunga 18% (Anwar C 2006)., Analisis finansial jati rakyat dengan tingkat suku bunga 18%
Hasil analisis di Tabel 21 menunjukkan bahwa secara keseluruhan kegiatan usaha tanaman baik akasia, jati, karet, maupun kelapa sawit merupakan usaha yang layak untuk dijalankan. Hal ini terlihat dari nilai BCR lebih dari satu. Nilai BCR tertinggi ditunjukkan oleh analisis finansial pada jenis jati dengan nilai 1,50. Ini berarti bahwa pada usaha tanaman jati rakyat, setiap penambahan biaya satu satuan rupiah akan menghasilkan keuntungan (benefit) sebesar 1,50 terhadap setiap satuan biaya yang ditambahkan. Sementara itu nilai BCR yang peling kecil ditunjukkan oleh jenis tanaman karet yaitu sebesar 1,05. Analisis finansial pada tanaman sawit menghasilkan nilai BCR 1,18 lebih kecil dibandingkan dengan nilai BCR tanaman akasia sebesar 1,38. Ini berarti bahwa kegiatan usaha hutan tanaman lebih menguntungkan dibanding dengan usaha tanaman sawit. Berdasarkan parameter nilai IRR dapat diketahui bahwa nilai IRR yang paling besar ditunjukkan pada usaha tanaman karet sebesar 27,4%, sedangkan
130
yang paling rendah dihasilkan dari tanaman akasia yaitu sebesar 14,5%. Sementara itu analisis IRR terhadap jenis tanaman jati dan sawit masing-masing sebesar 23% dan 18,92%. Parameter IRR menunjukkan tingkat suku bunga yang dapat menyebabkan pendapatan bersih sekarang atau NPV (Net Present Value) sebesar nol. Pada usaha tanaman karet dengan nilai IRR 27,4% berarti bahwa bisnis tanaman karet akan memberikan pendapatan sama dengan biaya yang dikeluarkan jika tingkat suku bunga yang berlaku sebesar 27,4%. Sementara ini, kebijakan pemerintah Indonesia saat ini menetapkan suku bunga bank yang ditanggung oleh Lembaga Penjamin Simpanan adalah sebesar maksimal 10,5% untuk Bank Perkreditan Rakyat dan 7% untuk Bank Umum (http://www.lps.go.id/v2/ home.php? link= tingkatbunga).
Nilai IRR tanaman karet berada di atas suku bunga pinjaman yang
berlaku maka usaha tanaman karet layak dilakukan, karena berada jauh di atas nilai suku bunga yang berlaku.
Sebuah kegiatan usaha menjadi tidak layak
dilakukan ketika nilai IRR yang dihasilkan dari hasil analisis finansialnya berada di bawah level suku bunga yang ditetapkan pemerintah.
Dengan demikian,
mengacu pada suku bunga LPS maksimal 10,5% berarti bahwa seluruh kegiatan usaha baik sawit, jati, karet, maupun akasia berada pada tingkat layak dijalankan. Berdasarkan perhitungan analisis finansial ditunjukkan bahwa usaha hutan tanaman jenis akasia, jati maupun karet merupakan kegiatan yang layak dan menguntungkan, namun minat masyarakat masih rendah untuk berusaha di bidang ini.
Masyarakat pada umumnya masih memiliki minat yang tinggi
terhadap usaha tanaman sawit. Faktor yang menyebabkan kondisi ini adalah karena faktor dukungan pasar yang memadai untuk usaha sawit. Sedangkan untuk jenis tanaman kehutanan, masyarakat masih menghadapi kendala dalam hal pemasaran produk hasil kayunya. Faktor lain yang dipertimbangkan oleh masyarakat adalah masalah cash flow atau aliran uang kas yang diterima oleh keluarga. Jenis tanaman kehutanan merupakan sumber pendapatan jangka panjang. Hasil panen hanya diterima sekali ketika panen di akhir daur. Sedangkan jenis tanaman karet dan sawit memberikan hasil pendapatan rutin setiap dua mingguan bagi keluarga. Faktor inilah yang menjadi alasan utama petani memilik komoditas sawit dan karet dibandingkan jenis tanaman kehutanan.
131
Noor (2010) menunjukkan hasil perhitungan pendapatan petani pada perkebunan sawit rakyat di Sumatera Utara. Hasil analisis tersebut menyatakan bahwa setiap keluarga petani menerima penerimaan kotor dari usaha sawit sebesar
Rp.20.733.469/ha/tahun.
Biaya
yang
diperlukan
sebesar
Rp.5.656.531/ha/tahun. Dengan demikian pendapatan setiap keluarga dari 1 ha kebun sawit sebesar Rp.15.076.938. Pendapatan ini rutin diterima setiap tahun dan menjadi sumber utama pendapatan keluarga untuk menjalankan kehidupan mereka sehari-hari.
5.5 Hubungan Respon dan Implementasi Kebijakan Berdasarkan deskripsi di atas dapat diidentifikasi kondisi implementasi kebijakan HTR dan respon para pemangku kepentingan di 3 lokasi penelitian (Tabel 22). Tabel 22 Analisis kondisi implementasi dan respon daerah Aspek Sumberdaya Hutan %HP terhadap luas wilayah Lokasi pencadangan IUPHHK HTR Masyarakat Kegiatan budidaya tanaman oleh masyarakat Respon Masyarakat Faktor pendorong Di masyarakat
Faktor kendala Di masyarakat Pemerintah Daerah Respon Pemda
Riau
Kalsel
DIY
23,82% 25.580 ha -
18% 29.758 ha -
4,4% 322,73 ha 84,40 ha
budidaya sawit budidaya karet Kurang berminat -
budidaya sawit budidaya karet Berminat Kebutuhan lahan Sudah ada pengalaman menanam kayu-kayuan Ada potensi pasar kayu melalui kemitraan Jenis tanaman karet lebih disukai dibanding tanaman kehutanan
Budidaya jati
-pengalaman buruk menanam sengon -Budaidaya karet dan sawit lebih menarik
Faktor pendorong dalam melaksanakan HTR Faktor penghambat untuk tindak lanjut kegiatan HTR
Berminat Kebutuhan lahan Budidaya jati telah menjadi budaya, tanaman jati sebagai sumber tabungan Ketergantungan pada fasilitasi pendampingan
Kurang antusias
Berminat
Sangat Antusias
-
Visi pembangunan hutan untuk kesejahteraan masyarakat Tindak lanjut kegiatan menunggu kepastian fasilitas pendanaan dari pemerintah pusat
Visi sebagai daerah model implementasi CBFM Keterbatasan luas hutan produksi, diselesaikan dengan memanfaatkan lahan AB untuk HTR
Keterbatasan lahan hutan produksi yang dapat dialokasikan untuk HTR
Winter (1990) menyatakan bahwa salah satu variabel kunci yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan adalah respon para pemangku kepentingan di daerah.
Dari teori ini dikembangkan sebuah hipotesis yang
132
menyatakan bahwa implementasi kebijakan akan berhasil jika didukung dengan adanya respon positif dari pelaku kebijakan di lapangan. Data empiris dari lokasi penelitian menunjukkan bahwa hipotesis tersebut dapat diterima.
Pengalaman dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
membuktikan bahwa adanya respon yang antusias dari pihak Pemda menyebabkan dapat terselenggaranya program HTR di DIY dengan baik. Kendala keterbatasan lahan dapat diatasi dengan memanfaatkan potensi lahan lainnya yang masih dapat dijadikan sebagai sasaran kegiatan HTR. Pengalaman dari implementasi HTR di Provinsi Riau membuktikan antitesis dari teori tersebut. Respon pemerintah daerah di Provinsi Riau dikategorikan kurang berminat.
Kondisi tersebut disebabkan karena adanya kendala
keterbatasan lahan hutan produksi yang dapat dialokasikan untuk kegiatan HTR. Selain itu di Provinsi Riau juga terjadi kesepakatan mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (Riau Terkini 7 Jan 2010)*. Respon yang kurang positif dari pemerintah daerah berdampak pada tersendatnya kegiatan implementasi HTR di lapangan. Kasus dari Provinsi Kalimantan Selatan merupakan hal yang unik. Pada awalnya respon pemerintah daerah positif. Kegiatan HTR telah berjalan hingga tahap penetapan areal lokasi pencadangan HTR. Akan tetapi proses implementasi selanjutnya belum berjalan. Dari hasil kegiatan FGD di Provinsi Kalsel dapat digali informasi bahwa pihak Pemda khususnya Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar, masih menunggu kejelasan program bantuan pinjaman kredit modal bagi petani HTR. Mengingat program pinjaman kredit belum terealisasi, maka kegiatan HTR di daerah tersebut juga belum dilaksanakan lebih lanjut. Keberhasilan program HTR juga ditentukan oleh respon atau minat masyarakat pelaku kebijakan. Minat masyarakat ditentukan oleh faktor ekonomi. Dari perbandingan kondisi di wilayah penelitian, dapat dilihat bahwa minat masyarakat terhadap suatu program sangat tergantung pada ada tidaknya manfaat ekonomi yang dapat diperoleh.
Hal ini sejalan dengan teori yang
dikemukakan oleh Ekeh (1974) mengenai pertukaran sosial bahwa sebuah hubungan sosial merupakan “pasar” interaksi antara self interest dengan upaya pemaksimalan keuntungan. Dengan demikian masyarakat akan berpartisipasi dalam suatu program, jika mereka merasa ada manfaat yang bisa diperoleh dari keikutsertaan tersebut. Dalam hal ini manfaat yang paling dipertimbangkan oleh *
http://www.riauterkini.com/lingkungan.php?arr=27480 [30 Nov 2010]
133
masyarakat adalah manfaat ekonomi berupa pendapatan. Hal ini juga didukung dengan kondisi yang ada di masyarakat petani HTR di kabupaten Gunungkidul. Masyarakat berpartisipasi dalam program HTR karena ada dorongan kebutuhan pemanfaatan lahan.
Kesempatan memanfaatkan lahan HTR memberikan
peluang untuk memperoleh pendapatan. Selain faktor ekonomi terdapat pula faktor sosial budaya masyarakat yang ikut mempengaruhi terhadap berjalannya program hutan Tanaman Rakyat. Program HTR pada awalnya diprioritaskan untuk pembangunan kawasan hutan Log Over Area di luar Pulau Jawa. Akan tetapi pada pelaksanaannya di Pulau Jawa terdapat juga areal HTR yaitu di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya di Kabupaten Gunungkidul. Implementasi program HTR di kabupaten Gunungkidul dapat dianggap lebih maju dibandingkan dengan lokasi lain yang menjadi sampel penelitian di Provinsi Kalsel dan Provinsi Riau. Faktor pendukung untuk terwujudnya implementasi program HTR di kabupaten Gunungkidul, yaitu: 1. Kegiatan menanam pohon telah menjadi budaya masyarakat Gunungkidul, sehingga setiap jengkal lahan dimanfaatkan untuk menanam pohon, khususnya jati.
2. Adanya budaya patuh terhadap pimpinan yang sangat melekat erat dalam nilai-nilai kehidupan sosial di masyarakat Yogyakarta, sehingga programprogram yang dibawa oleh pihak pamong praja relatif lebih mudah dilaksanakan. 3. Adanya lembaga POKJA (Kelompok Kerja) Hutan Rakyat Lestari.
Pokja
merupakan lembaga koordinasi di tingkat Kabupaten Gunungkidul yang beranggotakan perwakilan dari dinas-dinas pemerintah, perwakilan dari Lembaga Swadaya Masyarakat, dan perwakilan dari tokoh atau elemen masyarakat. Pokja memiliki tugas untuk melakukan koordinasi dalam rangka mendukung keberhasilan program pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Gunungkidul. Keberadaan Pokja ini menjadi faktor penggerak yang efektif untuk
terwujudnya
pengelolaan
hutan
rakyat
yang
berkelanjutan.
Keberadaan Pokja ini pula yang menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan terselenggaranya kegiatan HTR di Kabupaten Gunungkidul. Namun demikian, tidak berarti bahwa pelaksanaan kebijakan HTR di Kabupaten Gunungkidul telah berhasil. HTR di Kabupaten Gunungkidul tidak sesuai dengan filosofi awal kebijakan HTR.
Pemerintah pusat merumuskan
134
kebijakan HTR sebagai bisnis usaha hutan tanaman yang dilakukan oleh masyarakat di lahan hutan negara yang terdegradasi. Sementara itu kegiatan HTR di Gunungkidul merupakan kegiatan hutan rakyat yang telah lebih dulu berkembang di masyarakat.
Aspek bisnis usaha hutan tanaman tidak
sepenuhnya tercapai karena kondisi masyarakat peserta HTR tidak sepenuhnya mengelola hutan tanaman jati sebagai bisnis utama, melainkan sebagai tabungan keluarga.
VI.
MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN
Analisis kebijakan menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberikan landasan bagi para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan (Quade 1982). Guna mencapai tujuannya, maka analisis kebijakan harus mampu menggambarkan dan mengevaluasi masalah di masa lalu, sekaligus memperkirakan kondisi di masa datang. Oleh karena itu analisis kebijakan harus bersifat deskriptif dan evaluatif (berhubungan dengan masa lalu), sekaligus prediktif dan preskriptif (berhubungan dengan masa depan). Sebagai sesuatu yang kompleks, maka kebijakan memiliki sistem yang di dalamnya terdapat elemen yang saling terkait satu sama lain.
Hal ini
mengharuskan dibangunnya sebuah analisis kebijakan yang terintegrasi (Dunn 2004).
Berlandaskan pada pemikiran tersebut, maka pada bab keenam ini
disusun Model Konseptual Kebijakan HTR sebagai upaya memberikan preskripsi bagi para penentu kebijakan. Model disusun dengan menggunakan pendekatan soft system methodology guna memecahkan kompleksitas permasalahan. Bab keenam terdiri dari 5 sub bab, yaitu : 1) Strukturisasi elemen untuk mendapatkan sub elemen
kunci dari setiap elemen yang dikaji; 2)
Pengembangan kebijakan; 3) Model konseptual kebijakan HTR; 4) Validasi model dan prospektif dampak; serta 5) Implikasi Kebijakan. Strukturisasi Elemen Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat merupakan suatu sistem yang kompleks.
Metode Interpretative Structural Modelling (ISM) digunakan untuk
menganalisis keterkaitan antar elemen yang membentuk struktur model pengelolaan
Hutan
Tanaman
Rakyat.
Metode
ISM
ditujukan
untuk
mengidentifikasi peubah kunci serta faktor kekuatan penggerak (driver power) masing-masing elemen serta struktur/hirarki elemen dalam model. Hasil wawancara dengan pakar dan pengisian kuesioner yang dilakukan berdasarkan teknik ISM menghasilkan adanya 5 elemen yang dianalisis, yaitu: 1)
Lembaga yang berpengaruh
2)
Kebutuhan akan pengelolaan HTR yang berkelanjutan
3)
Tujuan
4)
Kendala utama
5)
Kegiatan yang diperlukan
136
Masing-masing elemen kemudian diuraikan menjadi beberapa sub elemen. Dalam penelitian ini teridentifikasi 20 sub elemen lembaga yang terlibat, 10 sub elemen kebutuhan akan pengelolaan HTR yang berkelanjutan, 9 sub elemen tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan pengelolaan HTR berkelanjutan, 11 sub elemen kendala utama, dan 9 sub elemen kegiatan yang diperlukan. Secara total dalam sistem teridentifikasi 59 sub elemen. Berdasarkan pengolahan matriks yang telah memenuhi kaidah transivitas maka keluaran model struktural dari masing-masing elemen akan memberikan gambaran hirarki dari masing-masing sub elemen.
Informasi elemen kunci
diperoleh dari reachability matrix final. Keluaran model struktural dari masingmasing elemen ditampilkan secara rinci pada uraian selanjutnya. Elemen Lembaga yang Berpengaruh Elemen lembaga yang terlibat dijabarkan menjadi 20 sub elemen seperti ditampilkan pada Tabel 23. Analisis mengenai hubungan struktural antara lembaga yang terlibat dalam HTR perlu dilakukan dengan ISM mengingat implementasi HTR melibatkan berbagai lembaga dari lintas sektor, lintas Kementerian, dan lintas level yaitu mulai dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, hingga level desa.
Kompleksitas lembaga pengelolaan Hutan
Tanaman Rakyat disebabkan karena pengelolaan HTR menyangkut pengelolaan aspek tata ruang, ekologi sumberdaya lahan hutan, sosial masyarakat, ekonomi, politik, maupun teknologi pendukung
Oleh karena itu diperlukan analisis
hubungan diantara lembaga yang terlibat dan berperan dalam pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat. Hubungan kontekstual yang digunakan untuk menganalisis keterkaitan antar peubah adalah hubungan peran dan keterlibatan. Struktur hirarki yang dihasilkan dari analisis ISM disajikan pada Gambar 30. Untuk hasil analisis data ISM selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6.
137
Tabel 23 Elemen lembaga yang berpengaruh dalam pengelolaan HTR No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Sub elemen Ditjen Bina Produksi Kehutanan-Kementerian Kehutanan Ditjen Bina Planologi- Kementerian Kehutanan Kementerian Dalam Negeri Kementerian Keuangan Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan Pemerintah Provinsi (Gubernur dan jajaran Muspida Provinsi) Pemerintah Kabupaten (Bupati dan jajaran Muspida Kabupaten) Balai Pemantapan Kawasan Hutan-UPT Badan Planologi-Kementerian Kehutanan Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Dinas Kehutanan Provinsi Dinas Kehutanan Kabupaten Kelompok Tani/Koperasi Aparat Pemerintahan Desa Lembaga Keuangan Bank Lembaga Keuangan Non Bank Lembaga Swadaya Masyarakat Lembaga Penelitian Perguruan Tinggi Perusahaan Hutan Tanaman (pemegang izin IUPHHK) Industri Kayu
Gambar 30 Struktur sistem elemen lembaga yang berpengaruh dalam pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat
138
Struktur hirarki tersebut menunjukkan bahwa kelompok tani atau koperasi di tingkat petani merupakan peubah kunci dalam pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat. Fenomena ini sejalan dengan pendapat Chen et al. (2005) bahwa petani merupakan kelompok yang paling penting dalam kegiatan pengelolaan hutan, karena persepsi dan perilaku petani mempunyai pengaruh yang besar terhadap keberhasilan program. Posisi pada elemen kunci memberikan arti bahwa sedikit perubahan dari kelompok ini akan mengakibatkan perubahan yang besar pada kelompok yang lainnya. Pada level kedua, lembaga yang sangat berpengaruh adalah Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan. BLU sebagai penyedia modal melalui kredit HTR dinilai oleh para pakar sebagai lembaga yang memiliki pengaruh besar terhadap pelaksanaan program HTR. Hal ini karena ketersediaan modal merupakan faktor penting untuk dapat terselenggaranya kegiatan penanaman HTR. Kondisi ini berbeda dengan kegiatan pembangunan hutan rakyat di lahan milik khususnya pengalaman dari Pulau Jawa. Ketersediaan modal tidak menjadi faktor kunci untuk berlangsungnya kegiatan hutan rakyat.
Faktor kunci bagi pengembangan hutan rakyat di Pulau Jawa
adalah tersedianya pasar kayu yang dapat menampung hasil panen dari hutan rakyat. Potensi pasar yang baik mendorong masyarakat menanamkan modalnya secara mandiri untuk membangun hutan rakyat. Kondisi di hutan rakyat milik seperti demikian, tidak dapat diterapkan pada situasi yang dihadapi dari implementasi kebijakan HTR. Hal ini terjadi karena prinsip dasar dari kebijakan HTR adalah pembangunan bisnis hutan tanaman dengan dukungan modal dari pemerintah. Berdasarkan hasil wawancara dengan para pengambil kebijakan di tingkat pusat diketahui bahwa kebijakan bantuan kredit modal, bukan merupakan satu-satunya sumber permodalan bagi pembangunan HTR. Masyarakat diharapkan secara mandiri membangun HTR melalui sumber modal yang lain, sementara kredit dana bergulir HTR dari BLU hanya merupakan salah satu alternatif yang dapat diambil. Namun demikian, para pihak di lapangan memiliki persepsi bahwa bantuan kredit modal HTR melekat dengan program HTRnya itu sendiri. Dengan demikian dapat difahami adanya suatu hubungan sebab akibat bahwa keterlambatan implementasi kegiatan HTR di lapangan disebabkan karena faktor keterlambatan penyaluran bantuan kredit modal dari BLU. Proses penyaluran kredit dari BLU Pusat P2H hingga tahun 2010 belum dapat
139
direalisasikan. Dana yang tersedia sebesar 2,6 Trilyun Rupiah masih berada di BLU dan belum sampai kepada masyarakat petani HTR. Pemanfaatan dana BLU Kehutanan dimulai pada tahun 2007 dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 137/KMK.05/2007 tanggal 1 Maret 2007 tentang Penetapan Badan Pembiayaan Pembangunan Hutan (Santoso 2010). Pada Surat Keputusan tersebut dinyatakan bahwa pemanfaatan dana BLU akan dibatalkan jika dalam tiga tahun tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan sesuai perundang-undangan. Dengan demikian, pada bulan Maret 2010 pemerintah akan menarik kembali dana BLU senilai Rp 2,6 Trilyun untuk dimasukan ke dalam rekening Kementerian Keuangan.
Akan tetapi mengingat
pentingnya peran ketersediaan dana bagi pembangunan hutan tanaman maka pemerintah menetapkan bahwa pelaksanaan program dana bergulir akan diperpanjang sampai tiga tahun ke depan (http://klasik.kontan.co.id). Alasan belum terealisasinya penyaluran kredit HTR menurut Menteri Kehutanan karena hambatan administrasi. Kebijakan awal tahun anggaran 2009 tentang penundaan pagu sebesar 15% dan pemotongan pagu departemen sebesar 10% berpengaruh pada persiapan pelaksanaan beberapa kegiatan termasuk kegiatan BLU P2H untuk pembangunan HTR dan percepatan Hutan Tanaman Industri. Selain itu proses pemindahbukuan dana BLU juga terhambat karena menunggu peraturan Menteri Keuangan tentang pengelolaan dana bergulir. Alasan lain yang dikemukakan oleh Direktur Jenderal BPK adalah beberapa hal berikut : 1. Penyaluran dana kredit HTR terbentur persoalan administratif berupa perubahan aturan penyaluran dana perbankan yang sebelumnya ditunjuk sebagai agen channeling diubah menjadi executing.
Perubahan ini
dimaksudkan untuk menutup jalan broker yang akan memanfaatkan dana tersebut. 2. Keterbatasan kapasitas sumber daya pada BLU P2H yang baru didirikan tahun 2008. BLU P2H belum memiliki petugas lapangan dan sumberdaya yang dimiliki sangat terbatas.
Berbeda dengan bank yang telah memiliki
kantor hingga ke pelosok. Oleh karenanya dana yang berada di BLU akan diserahkan kepada bank yang bertindak sebagai executing agent.
Bank
tersebut memiliki kewajiban untuk menyalurkan dana BLU untuk kelompok
140
masyarakat dan bertanggungjawab atas pengembalian dana tersebut ke kas negara. 3. Jumlah Izin Usaha HTR yang dikeluarkan juga masih sangat terbatas. Izin usaha ini menjadi kewenangan Bupati untuk mengeluarkannya. Kendala yang dihadapi dalam realisasi penyaluran dana kredit HTR adalah persyaratan formal yakni rekomendasi dari pemerintah daerah setempat. Proposal pengajuan pinjaman kredit telah banyak diajukan kepada BLU Pusat P2H, akan tetapi sebagian besar tidak memenuhi persyaratan seperti yang telah ditetapkan dalam peraturan.
Adapun peraturan mengenai syarat-syarat
pengajuan pinjaman/kredit ke BLU tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.9/Menhut-II/2008 tanggal 24 Maret 2008 tentang Persyaratan Keompok Tani Hutan untuk mendapatkan Pinjaman dana bergulir pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Permenhut ini dijabarkan lebih rinci dalam Peraturan Kepala Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan No. P.01/Pusat P2H-1/2009 tanggal 10 Juni 2009 tentang Petunjuk teknik pemberian pinjaman dana bergulir untuk pembiayaan pembangunan hutan tanaman oleh Pusat P2H selaku pelaksana pengguliran dana. Faktor kredit ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya implementasi
kegiatan
HTR
di
lapangan.
Masyarakat
belum
dapat
melaksanakan penanaman karena belum adanya dukungan modal untuk menanam hutan. Adapun beberapa lokasi dimana kegiatan HTR telah berjalan, adalah masyarakat yang membangun HTR dengan sumber dana dari pihak lain. Di Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta, kegiatan HTR telah berjalan karena lokasi yang dijadikan areal HTR sebelumnya telah berupa areal hutan rakyat, sehingga di lahan tersebut telah ditumbuhi tegakan hutan dengan jenis tanaman jati yang ditanam oleh masyarakat secara swadaya. Lembaga lain yang terlibat dalam pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat pada umumnya berada pada level ketiga. Pada posisi ini terdapat 13 lembaga, yaitu : 1) Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan 2) Badan Planologi 3) Pemerintah Kabupaten dalam hal ini Bupati dan jajaran Muspida 4) BPKH 5) BP2HP 6) Dinas Kehutanan Provinsi 7) Dinas Kehutanan Kabupaten 8) pemerintah desa 9) lembaga swadaya masyarakat 10) lembaga penelitian 11) perguruan tinggi 12) perusahaan HTI, dan 13) Industri kayu.
Peran dan
keterlibatan masing-masing lembaga tersebut dapat dianggap setara, meskipun masing-masing memiliki peran dan fungsi yang berlainan.
141
Adapun pada level yang terakhir terdapat 5 lembaga, yaitu : 1) Kementerian Dalam Negeri 2) Kementerian Keuangan 3) Pemerintah Provinsi 4) Lembaga Keuangan Bank, dan 5) Lembaga Keungan Non Bank. Kondisi ini menunjukkan bahwa pakar menganalisis berdasarakan situasi nyata di lapangan bahwa kelima lembaga tersebut memiliki peran yang kurang nyata terhadap pengelolaan HTR. Meskipun sesungguhnya kelima lembaga tersebut memiliki arti penting bagi pelaksanaan kebijakan HTR di lapangan. Peran Kementerian Dalam Negeri sangat penting untuk mengkoordinasikan pemerintah daerah dalam
pelaksanaan
kebijakan
HTR.
Kementerian
Keuangan
sangat
berhubungan dengan proses penyediaan dana di BLU P2H, demikian juga lembaga keuangan baik bank maupun non bank.
Sementara itu Pemerintah
Provinsi meskipun dalam struktur pelaksanaan kegiatan HTR tidak terlalu dominan, akan tetapi peran Pemerintah Provinsi masih sangat relevan dalam hal koordinasi dengan Pemerintah daerah di tingkat kabupaten. Gambar
31
menunjukkan
klasifikasi
masing-masing
sub
elemen
berdasarkan driver power dan dependence.
Gambar 31 Matriks driver power dan dependence sub elemen lembaga yang berpengaruh dalam pengelolaan HTR
Berdasarkan nilai driver power dan dependence maka dua puluh lembaga tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 4 sektor. Sub elemen yang termasuk dalam kuadran
independent adalah kelompok tani.
Adapun sub elemen
lembaga yang terdapat dalam kuadran dependent adalah : 1) Kementerian
142
Dalam Negeri, 2) Kementerian Keuangan, 3) Pemerintah daerah Provinsi dalam hal ini jajaran Muspida Provinsi, tetapi tidak termasuk Dinas Kehutanan Provinsi 4) Lembaga Keuangan Bank, 5) Lembaga Keuangan Non Bank. Sedangkan kelompok sub elemen yang
berada
dalam kuadran linkage meliputi semua
lembaga yang berada pada level ketiga dalam struktur hirarki lembaga. Berdasarkan matriks tersebut, tidak ada sub elemen yang termasuk dalam kuadran autonomous. Sub elemen kelompok tani berada pada kuadran IV yang berarti bahwa sub elemen tersebut merupakan peubah bebas (independent). Kelompok tani memiliki faktor penggerak yang kuat untuk berjalannya kegiatan HTR dan posisinya merupakan sub elemen yang tidak dipengaruhi oleh sub elemen lain. Artinya bahwa intervensi kebijakan pemerintah harus difokuskan pada kelompok independent tersebut. Tindakan intervensi kebijakan pada kelompok ini akan memberikan dampak bagi perbaikan sub elemen lain yang bersifat dependent. Hal ini berarti bahwa kelompok tani yang menjadi sasaran program HTR harus mendapat perhatian penuh dari pihak pengambil kebijakan. Pemerintah harus memberikan fokus perhatian pada motivasi petani untuk berpartisipasi dalam program HTR, karena tingkat partisipasi kelompok dalam kegiatan HTR sangat menentukan keberhasilan program.
Hubungan antara partisipasi petani atau
kelompok tani terhadap keberhasilan program pembangunan telah banyak dibuktikan oleh para peneliti (Pertev tanpa tahun; Mulyana 2001; Muray-Rust et al.
2001).
Kelompok tani tidak akan berminat mengikuti program HTR jika
mereka menganggap bahwa kegiatan ini dinilai tidak menarik. Petani akan lebih memilih kegiatan atau program pemerintah yang memberikan hasil nyata dan menguntungkan. Implikasinya kebijakan pemerintah harus dapat merangsang minat petani untuk berpartisipasi menjadi peserta HTR dengan insentif finansial yang cukup menguntungkan.
6.1.2
Elemen Kebutuhan Elemen kebutuhan menunjukkan faktor-faktor yang menjadikan program
HTR dipandang perlu untuk dilaksanakan.
Elemen kebutuhan terhadap
pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat diuraikan menjadi 10 sub elemen seperti yang ditampilkan pada Tabel 24. Struktur hirarki dari masing-masing sub elemen disajikan pada Gambar 32 Sedangkan Gambar 33 menunjukkan klasifikasi masing-masing sub elemen berdasarkan driver power dan dependence. Hasil
143
pengolahan analisis data menggunakan metode ISM pada dilihat pada Lampiran 7. Tabel 24 Elemen kebutuhan terhadap program pengelolaan HTR No
Sub elemen
1.
Peningkatan suplai bahan baku kayu untuk industri
2.
Peningkatan produktivitas lahan hutan terdegradasi
3.
Pemantapan kawasan hutan negara
4.
Perluasan kesempatan kerja
5.
Keberlanjutan industri hasil hutan
6.
Keseimbangan ekosistem
7.
Perekonomian nasional yang tangguh
8.
Peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan
9.
Peran serta masyarakat dalam mengelola hutan produksi
10. Kontribusi ekonomi HTR bagi pembangunan daerah
Gambar 32 Struktur sistem elemen kebutuhan terhadap program HTR
144
Gambar 33 Matriks driver power-dependence sub elemen pada elemen kebutuhan terhadap HTR Struktur hirarki elemen terdiri dari 4 tingkat. Peubah kunci terdiri dari 2 sub elemen, yaitu : 1) produktivitas lahan terdegradasi dan 2) keseimbangan ekosistem.
Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan untuk
terselenggaranya
program HTR disebabkan karena adanya tuntutan peningkatan produktivitas lahan hutan yang telah terdegradasi dan dalam rangka untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Gambar 34 menunjukkan posisi setiap sub elemen dalam matriks driver power dan dependency.
Hasil pemetaan sub elemen dalam matriks
menunjukkan sebaran posisi pada 3 kuadran yaitu independent, linkage, dan dependent. Rincian sub-elemen yang termasuk dalam setiap kuadran disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 Kategorisasi sub elemen kebutuhan akan program HTR Kategori Independent
Linkage
Dependent
No 2 6 8 9 1 4 5 3 7 10
Sub elemen Uraian Peningkatan produktivitas lahan terdegradasi Keseimbangan ekosistem Peningkatan kesejahteraan masyarakat Peran serta masyarakat Peningkatan suplai bahan baku industri Perluasan lapangan kerja Keberlanjutan industri kayu Pemantapan kawasan hutan negara Perekonomian nasional yang mantap Kontribusi HTR untuk perekonomian daerah
145
Hasil analisis ISM menunjukkan bahwa kebutuhan terhadap program HTR diawali oleh kebutuhan akan adanya pemanfaatan lahan hutan terdegradasi dan kebutuhan akan keseimbangan ekosistem lingkungan.
Hasil ini sejalan
dengan pendapat Bromley (2007) yang menyatakan bahwa dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan harus ada perhatian terhadap aspek ekologi sehingga dapat diupayakan terciptanya keseimbangan lingkungan hidup. Salim (1993) menyatakan bahwa hutan dengan berbagai komponen di dalamnya merupakan sumber alam yang berperan dalam pembangunan. Hutan mempunyai berbagai fungsi, diantaranya sebagai suber penyimpan dan pengatur air, sumber plasma nutfah tumbuhan dan hewan, pengatur iklim, pemelihara kesuburan anah, sumber energi dan lainnya. Fungsi-fungsi ini sangat diperlukan untuk mendukung pembangunan sektoar lain, seperti sektor pertanian, peternakan maupun perikanan, sehingga perubahan fungsi hutan akan mempengaruhi sektor tersebut. Oleh karenanya kebutuhan akan aspek ekonomi nasional dari kontribusi HTR merupakan kebutuhan berikutnya yang dapat terpenuhi jika kebutuhan pada level elemen kunci telah tercapai. Pada saat lahan hutan yang terdegradasi dapat dimanfaatkan hingga produktivitasnya meningkat maka akan mendukung terciptanya keseimbangan ekosistem.
Hal ini berkaitan erat dengan peran serta masyarakat dalam
memanfaatkan lahan hutan melalui dibukanya kesempatan mengelola lahan melalui perizinan usaha hutan tanaman.
Kegiatan ini berarti membuka
kesempatan berusaha dan bekerja di sektor hutan tanaman, yang pada gilirannya akan mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. 6.1.3 Elemen tujuan Tujuan pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat seperti yang dimandatkan dalam peraturan perundangan adalah untuk meningkatkan produktivitas kawasan hutan terdegradasi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Selain aspek legal, penetapan tujuan pengelolan HTR memerlukan legitimasi dari pihak-pihak yang berkepentingan agar tercipta dukungan untuk mencapai tujuan. Berdasarkan hasil diskusi dengan pihak-pihak yang berkepentingan dan konsultasi pakar, elemen tujuan pengelolaan HTR dijabarkan menjadi sembilan sub elemen seperti ditampilkan pada Tabel 26.
146
Tabel 26 Elemen tujuan pengelolaan HTR No.
Sub elemen
1.
Meningkatkan produktivitas lahan hutan terdegradasi
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Meningkatnya peluang bekerja dan berusaha Meningkatkan produksi kayu dari hutan tanaman Terjaminnya kepastian kawasan hutan Meningkatnya kapasitas kelompok tani/koperasi Terjaminnya pasokan bahan baku kayu untuk industri Peningkatan pendapatan daerah Terpeliharanya fungsi hidrologi, keseimbangan ekologi, kesuburan tanah dan kestabilan iklim Meningkatkan pendapatan petani HTR
9.
Hubungan kontekstual yang digunakan untuk menganalisis keterkaitan antar peubah tujuan adalah hubungan pengaruh, yaitu suatu tujuan akan membantu tercapainya tujuan yang lain. Struktur hirarki dari dalam elemen yang menggambarkan posisi masing-masing sub elemen disajikan pada Gambar 34, sedangkan Hasil analisis data ISM selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8.
Gambar 34 Struktur hirarki elemen tujuan
147
Struktur hirarki elemen tujuan terdiri dari empat tingkat. Terpeliharanya fungsi hidrologi, keseimbangan ekologi, kesuburan tanah, dan kestabilan iklim serta meningkatkan kapasitas kelompok tani hutan tanaman rakyat merupakan peubah kunci dari elemen tujuan. Peubah kunci ini menjadi penggerak utama dan mempengaruhi peubah pada tingkat berikutnya. Pengklasifikasian sub elemen tujuan pengelolaan didasarkan pada driver power dan dependence (Gambar 35) menunjukkan bahwa yang termasuk ke dalam peubah independent adalah peningkatan produktivitas lahan hutan, peningkatan peluang berusaha, peningkatan kapasitas petani, meningkatkan fungsi hidrologi dan meningkatkan pendapatan masyarakat petani. peubah tersebut memiliki faktor pendorong yang kuat.
Peubah-
Sedangkan peubah
lainnya dikategorikan sebagai peubah dependent dengan tingkat penggerak yang lemah dan ketergantungan yang tinggi terhadap tujuan yang lain.
Gambar 35 Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen tujuan Berdasarkan hasil analisis ISM tersebut, peubah kunci dalam model pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat, yang meliputi : 1) meningkatkan fungsi hidro-ekologis dari lahan hutan terdegradasi dan 2) meningkatan kapasitas kelompok
tani
merupakan
landasan
untuk
mencapai
tujuan
lainnya.
Terpeliharanya fungsi hidro-ekologi akan mendukung produktivitas lahan hutan yang telah terdegradasi. Sementara itu, kapasitas kelompok yang kuat akan mendukung terselenggaranya usaha HTR yang berkelanjutan. Pengelolaan HTR akan mencapai hasil yang baik jika didukung dengan lembaga kelompok yang kuat.
Hal ini sejalan dengan pendapat dari Bebbington et al. (2005) yang
menyatakan bahwa kapasitas kelompok merupakan salah satu syarat dalam pengembangan ekonomi lokal.
148
6.1.4
Elemen Kendala Utama Elemen kendala utama pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat yang
dijabarkan menjadi 11 sub elemen seperti ditampilan pada Tabel 27. Hubungan kontekstual yang digunakan untuk menganalisis keterkaitan antar peubah kendala utama adalah hubungan pengaruh, yaitu eliminasi suatu kendala utama akan membantu mengurangi kendala yang lainnya. Struktur hirarki dari elemen yang menggambarkan posisi masing-masing sub elemen disajikan dalam Gambar 36. Gambar 37 menunjukkan klasifikasi masing-masing sub elemen berdasarkan driver power dan dependence. Sedangkan hasil analisis data ISM dapat dilihat pada Lampiran 9.
Tabel 27 Sub elemen kendala utama pengelolaan HTR No.
Sub elemen
1
Kurangnya koordinasi antar sektor dalam pengelolaan HTR
2.
Lemahnya dukungan kebijakan dari sektor lain
3. 4.
Interest pemerintah daerah yang rendah terhadap program HTR Penyaluran kredit modal yang rendah dari BLU P2H
5.
Rendahnya minat petani terhadap usaha tanaman hutan
6.
Kurangnya kegiatan pendampingan
7.
Rendahnya kapasitas organisasi/kelompok tani
8
Rendahnya kapasitas petani
9. 10.
Kurangnya pemahaman pemerintah daerah terhadap kebijakan HTR Terbatasnya kapasitas pemerintah daerah dalam implementasi HTR
11.
Rendahnya dukungan LSM
149
Gambar 36 Struktur hirarki sistem elemen kendala utama
Gambar 37 Matriks driver power-dependence sub elemen kendala utama
150
Hasil pengelompokan 11 elemen kendala utama menunjukkan adanya 4 elemen yang berada dalam posisi linkage, 4 elemen pada posisi independent dan 3 elemen pada posisi dependent.
Pada analisis ini tidak terdapat sub
elemen yang berada pada kuadran autonomous. Artinya semua elemen yang teridentifikasi sebagai kendala tujuan merupakan benar-benar permasalahan yang terkait dalam sistem. Keempat elemen yang berada pada posisi independent adalah elemen yang menjadi kunci pada struktur hirarki kendala utama.
Keempat elemen
tersebut adalah : 1) kurangnya koordinasi antar sektor 2) Terlambatnya penyaluran kredit dari BLU P2H untuk permodalan pembangunan HTR 3) Kurangnya kegiatan pendampingan, dan 4) Rendahnya kapasitas Kelompok Tani.
Keempat elemen tersebut memiliki faktor penggerak yang tinggi untuk
berlangsungnya kegiatan HTR. Oleh karenanya perlu diperhatikan dengan serius oleh para pengambil kebijakan untuk segera ditangani dengan alternatif kebijakan yang sesuai. Upaya untuk mengeliminasi kendala yang terdapat pada posisi ini akan menjadi langkah penting untuk dapat mengatasi kendala-kendala lainnya. Elemen yang terletak pada kuadran dependent adalah :1) minat masyarakat yang rendah terhadap kegiatan HTR, 2) rendahnya kapasitas petani dan 3) kurangnya pemahaman aparat pemerintah daerah terkait terhadap kebijakan HTR. Sub elemen yang terdapat pada kuadran dependent memiliki tingkat dependency atau ketergantungan yang tinggi terhadap elemen lainnya akan tetapi driver-factor atau tingkat penggeraknya rendah. dependency yang
Oleh karena
tinggi maka ketiga elemen ini bukan merupakan prioritas
utama untuk ditangani, karena jika elemen kendala lain lebih dulu dipecahkan, maka akan berdampak pada elemen di kuadran dependence ini. Sementara itu, kendala utama yang terdapat pada kuadran linkage adalah : 1) lemahnya dukungan kebijakan dari sektor lain 2) perhatian pemerintah daerah yang rendah terhadap pelaksanaan kebijakan HTR 3) kapasitas pemerintah derah yang belum memadai untuk melaksankan kebijakan HTR, dan 4) kurangnya dukungan LSM di daerah untuk mendorong implementasi kegiatan HTR. Kuadran linkage adalah posisi dimana sub elemen yang berada di dalamnya memiliki kekuatan penggerak tinggi dan memiliki ketergantungan yang sangat erat dengan sub-sub elemen lain. Oleh karena itu
151
sub elemen pada kuadran ini menjadi faktor yang harus mendapat penanganan serius. Secara umum hasil pengklasifikasian sub elemen memberikan arti bahwa kendala utama dalam mewujudkan pengelolaan HTR adalah 1) kurangnya koordinasi antar sektor 2) aspek permodalan untuk pembangunan HTR 3) lemahnya kapasitas kelompok dalam mewujudkan kegiatan HTR yang berkaitan dengan kurangnya kegiatan pendampingan oleh pihak lain. Koordinasi antar sektor di level pemerintah pusat hingga pemerintah daerah merupakan peubah kunci yang penting. Peubah ini menjadi penggerak utama bagi perbaikan implementasi kebijakan HTR. Koordinasi perlu dilakukan di level pemerintah pusat, yaitu antara Kementerian Kehutanan dan Kementerian Dalam Negeri. Hal ini karena kegiatan sektor HTR dilimpahkan kewenangan pengaturannya kepada Pemerintah Kabupaten. Sehingga dukungan dari level pemerintah pusat di Kementerian Dalam Negeri sangat diperlukan, agar kebijakan HTR mendapat perhatian dan ditempatkan sebagai salah satu program penting dalam pembangunan daerah. Permasalahan
koordinasi
juga
menjadi
kendala
utama
dalam
pembangunan berbagai bidang, diantaranya pengelolaan DAS (Karyana (2007) dan pengelolaan Taman Nasional (Prasetyo 2010). Sebagai sebuah konsep, pentingnya koordinasi telah disadari oleh berbagai pihak, namun sebagai sebuah proses nyata, koordinasi cenderung menjadi slogan yang mudah diucapkan namun sulit diimplementasikan dan menjadi penyebab bagi kegagalan berbagai institusi dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya (Karyana 2007). Koontz et al. (984) mendefinisikan koordinasi sebagai metoda pencapaian keselarasan dari usaha individu dan kelompok/organisasi ke arah pencapaian maksud atau tujuan kelompok/organisasi.
Malone dan Crowton (1993)
mendefinisikan koordinasi sebagai proses mengelola saling ketergantungan (managing dependencies) antar berbagai aktivitas. Koordinasi bisa terjadi pada setiap sistem, seperti sistem manusia, sistem organisasi, sistem biologi dan lainnya. Definisi di atas tampaknya sederhana, namun mengandung implikasi yang sangat dalam. Kegagalan dalam koordinasi disebabkan karena kegagalan di dalam membangun konstruksi tujuan organisasi. Koordinasi membutuhkan perukaran informasi yang intensif antar semua pihak untuk mengkonfirmasikan sejumlah data mengenai detail sumberdaya untuk mencapai tujuan (Moekayar 1994).
152
Kendala
kedua
adalah
aspek
permodalan
berupa
penyaluran kredit modal HTR dari BLU Pusat P2H.
keterlambatan
Uraian mengenai
perkembangan penyaluran kredit dan faktor-faktor yang mempengaruhi telah dijelaskan pada sub bab yang membahas mengenai lembaga BLU. Sedangkan kendala ketiga adalah lemahnya kapasitas kelompok akibat tidak adanya kegiatan pendampingan. Program HTR merupakan bentuk kelembagaan
baru
dalam
pengelolaan
hutan
oleh
masyarakat
sekitar.
Kelembagaan baru tersebut dicirikan oleh pengakuan hak akses masyarakat dalam bentuk IUPHHK-HTR. Kendala muncul ketika masyarakat sekitar hutan harus mengajukan IUPHHK yang prosedurnya panjang.
Nugroho (2009)
mengidentifikasi adanya 29 langkah/kegiatan yang harus dilakukan untuk mendapatkan izin HTR dengan melibatkan 10 lembaga/organisasi kehutanan maupun non kehutanan. Kemampuan masyarakat untuk memenuhi persyaratan administrasi IUPHHK-HTR menjadi kendala tersendiri untuk tercapainya kegiatan HTR di lapangan. Prosedur yang panjang tidak dapat ditempuh oleh petani sekitar hutan tanpa adanya
pendampingan. Faktor-faktor ini telah teridentifikasi pula dari
pengalaman melaksanakan kegiatan Hutan Kemasyarakatan (HKM) (Lyndayati 2002; Suryamihardja 2006) bahwa masyarakat belum siap menjalankan prosedur perizinan.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa pemberian hak akses kepada
masyarakat tanpa disertai penguatan kelembagaan dan pendambingan akan cenderung mengalami kegagalan. 6.1.5. Kegiatan yang diperlukan Elemen kegiatan yang diperlukan dalam pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat diuraikan menjadi sembilan sub elemen (Tabel 28). Tabel 28 Elemen kegiatan yang diperlukan No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Sub Elemen Koordinasi antar sektor dalam pengelolaan HTR Peningkatan kegiatan pendampingan masyarakat Penyediaan anggaran pemda untuk kegiatan HTR Peningkatan kapasitas petani dalam membangun HTR Penyediaan permodalan bagi petani HTR Meningkatkan aktifitas LSM untuk mendorong kegiatan HTR Peningkatan kegiatan kemitraan dengan Industri Hasil Hutan Penyediaan tenaga pendamping non LSM Peningkatan kapasitas Pemda dalam menyelenggarakan HTR
153
Struktur hirarki dari elemen yang menggambarkan posisi masing-masing sub elemen disajikan dalam Gambar 38.
Sementara itu Gambar 39
menunjukkan klasifikasi masing-masing sub elemen berdasarkan driver-power dan dependence. Hasil analisis data ISM dapat dilihat pada Lampiran 10.
Gambar 38 Struktur hirarki sistem elemen kegiatan yang diperlukan Struktur hirarki elemen kegiatan yang diperlukan terdiri dari empat tingkat. Sub elemen yang menjadi kegiatan kunci adalah koordinasi antar sektor dalam pengelolaan kegiatan HTR berkelanjutan. Peubah kunci ini menjadi penggerak utama dan mempengaruhi peubah pada tingkat berikutya.
Pada level kedua
terdapat 2 sub elemen, yaitu : penyediaan permodalan bagi petani dalam rangka membangun HTR dan peningkatan kegiatan pendampingan masyarakat. Klasifikasi sub elemen kegiatan yang diperlukan berdasarkan pada driver power dan dependence menunjukkan.bahwa koordinasi antar sektor dalam pengelolaan HTR berada pada kuadran independent, artinya sub elemen tersebut memiiliki kekuatan penggerak yang tinggi untuk berjalannya sistem pengelolaan hutan rakyat berkelanjutan.
Sub elemen penyediaan permodalan dan peningkatan
kegiatan pendampingan bagi petani HTR berada pada batas antara kuadran independent dan autonomous. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan penggerak
154
dari kedua sub elemen tersebut berada pada level menengah.
Akan tetapi
berdasarkan struktur hirarki yang dihasilkan, kedua elemen tersebut berada pada level kedua setelah peubah kunci. Ini berarti bahwa kedua elemen ini menjadi faktor yang penting untuk dikendalikan.
• 3,8
Gambar 39 Matriks driver power-dependence sub elemen pad elemen kegiatan yang diperlukan Peubah yang termasuk dalam kuadran linkage adalah penyediaan tenaga pendamping masyarakat non LSM dan penyediaan anggaran pemda untuk kegiatan HTR.
Peubah yang berada pada kuadran ini memiliki kekuatan
penggerak yang tinggi, dan intervensi kebijakan untuk menyelenggarakan kegiatan tersebut memiliki keterkaitan yang erat terhadap peubah-peubah lain. Dengan demikian, strategi yang dilakukan untuk menyelenggarakan kegiatan HTR perlu memperhitungkan faktor tersebut. Penyediaan tenaga pendamping merupakan hal penting yang perlu segera ditangani agar kegiatan HTR berjalan dengan baik.
Kegiatan pendampingan dapat dilakukan oleh pihak LSM
bekerjasama dengan pemerintah daerah. Kegiatan LSM untuk mendukung HTR menurut hasil analisis pakar berada pada kuadran dependent. Hal ini berarti bahwa kegiatan ini memiliki tingkat dependency yang tinggi. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa keberadaan LSM tidak dapat ditemui secara merata di setiap kabupaten. Sekalipun di kabupaten tertentu telah ada LSM, akan tetapi
155
motivasi mereka untuk mendukung keberhasilan HTR perlu didorong oleh pihak pemerintah daerah, misalnya melalui penyediaan insentif pendanaan. Dengan demikian, pendampingan oleh LSM memerlukan intervensi kegiatan di sektor pemerintah daerah melalui koordinasi antar pihak. Alternatif lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kegiatan pendampingan adalah melalui kegiatan lain selain LSM. Ada beberapa alternatif kegiatan yang dapat dilaksanakan untuk melaksanakan kegiatan pendampingan petani HTR, yaitu : 1. Pemberdayaan penyuluh. Setiap kabupaten memiliki tenaga penyuluh baik penyuluh pertanian, peternakan, maupun kehutanan.
Tenaga penyuluh
merupakan SDM potensial untuk menjadi pendamping petani HTR. Peraturan terbaru merubah lembaga penyuluh di kabupaten yang semula berada di setiap dinas teknis, saat ini digabung dalam Badan Penyuluh Kabupaten. Oleh karenanya kegiatan koordinasi antar dinas di pemerintah daerah sangat menentukan keterlibatan penyuluh untuk menjadi pendamping masyarakat peserta HTR. 2. Pemberdayaan lulusan baru sarjana kehutanan (fresh graduate). Program ini dapat dilakukan dengan mengambil pelajaran dari pengalaman program BUTSI pada tahun 1980-an. Sarjana kehutanan yang baru lulus direkrut oleh Kementerian Kehutanan untuk ditempatkan sebagai tenaga pendamping masyarakat di desa-desa yang memiliki IUPHHK HTR. Tenaga pendamping tersebut difasilitasi dengan insentif yang memadai, sehingga dapat menarik minat
para
sarjana
lulusan
baru
untuk
mendampingi
masyarakat.
Pengalaman dari program BUTSI menunjukkan bahwa strategi ini cukup efektif dalam melakukan program pemberdayaan masyarakat.
Analisis strukturisasi sub elemen pada elemen kegiatan yang diperlukan memperlihatkan adanya sub elemen yang termasuk dalam kuadran autonomus yaitu peningkatan kegiatan kemitraan antara petani dan industri hasil hutan. Penelitian
sebelumnya
menyatakan
bahwa
peubah
autonomous
yang
teridentifikasi dari hasil ISM, adalah peubah yang dapat diabaikan dalam kajian karena dapat diinterpretasikan sebagai peubah di luar sistem (Adiprasetyo, 2010).
Akan tetapi dalam hal ini interpretasi terhadap peubah autonomous
adalah peubah yang masih harus diidentifikasi sebagai bagian dari sistem, namun kekuatan penggeraknya lemah dan sangat tergantung pada sub elemen
156
lain.
Oleh karena itu dalam konteks pengelolaan program HTR interpretasi
terhadap peubah yang termasuk dalam kuadran autonomous adalah peubah yang tidak terkait dengan kegiatan lainnya, akan tetapi merupakan kegiatan yang juga penting untuk dilakukan. Intervensi kebijakan tidak terlalu menjadi prioritas dilakukan terhadap peubah autonomous, melainkan lebih dulu ditujukan terhadap peubah kunci dan peubah-peubah lain yang terletak pada level yang lebih penting.
Pengembangan Kebijakan Pengembangan
kebijakan
didasari
oleh
tujuan
untuk
mencapai
pembangunan HTR yang berkelanjutan. HTR yang berkelanjutan merupakan upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi. Strategi pembangunan tersebut diperlukan untuk dapat menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Keterpaduan aspek lingkungan hidup, ekonomi, sosial kelembagaan dalam pendekatan sistem dikembangkan menjadi suatu Sistem Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat Berkelanjutan. Kerangka sistem tersebut diilustrasikan dalam Gambar 40 . Sistem Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat Berkelanjutan memadukan 3 aspek. Aspek yang pertama adalah aspek ekologi yang menitikberatkan pada peningkatan produktivitas lahan hutan terdegradasi.
Hutan yang terdegradasi
dimanfaatkan untuk pembangunan Hutan Tanaman Rakyat sehingga dihasilkan produksi kayu dalam rangka menambah supplai bahan baku kayu ke industri. Aspek yang kedua adalah aspek ekonomi yang menitikberatkan pada peningkatan
pendapatan
masyarakat.
Masyarakat
sekitar
hutan
yang
mendapatkan izin usaha HTR (IUPHHK-HTR) mendapat peluang berusaha di bidang hutan tanaman yang berarti meningkatkan peluang pendapatan keluarga dan pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan.
Aspek yang ketiga
adalah aspek sosial kelembagaan yang menitikberatkan pada pemberdayaan kelompok tani.
Kapasitas kelompok tani dinilai sebagai faktor penting untuk
berjalannya sistem HTR, sehingga pemberdayaan kelompok memegang peran utama dalam aspek sosial kelembagaan HTR.
157
Aspek Ekologi: Produktivitas lahan hutan
Aspek sosial Kelembagaan: Pemberdayaan Kelompok tani
Sistem Pengelolaan HTR berkelanjutan
Aspek ekonomi: Mata pencaharian petani
Gambar 40 Sistem pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat berkelanjutan Kebijakan pengelolaan akan dituangkan dalam bentuk model konseptual kebijakan
yang
memenuhi
prinsip-prinsip
pembangunan
berkelanjutan.
Permasalahan yang teridentifikasi dari hasil strukturisasi sitem menggunakan metode ISM adalah : 1) belum adanya koordinasi antar sektor baik di pusat maupun di daerah dalam pengelolaan HTR 2) keterbatasan modal petani untuk membangun HTR yang merupakan akibat dari belum terealisasinya penyaluran kredit modal dari BLU 3) kapasitas petani dan kelompok tani yang rendah sehingga diperlukan adanya kegiatan pendampingan. Perumusan
kebijakan strategis pengelolaan HTR yang berkelanjutan
mengacu pada lima tema pembangunan berkelanjutan COMHAR (2007) seperti disajikan pada Gambar 41. Lima tema ini meliputi pengambilan keputusan yang baik (good decision making), berkeadilan sosial (social equity), berkeadilan antar generasi (equity between generations), pemenuhan kebutuhan manusia melalui pemanfaatan sumber daya secara efisien (satisfaction of human needs by the efficient use of resources), dan penghargaan terhadap integritas ekosistem dan keanekaragaman hayati (respect for ecological integrity and biodiversity).
158
HTR
Gambar 41 Pemodelan kebijakan berdasarkan konsep COMHAR (2007)
Pengembangan kebijakan HTR dilandasi oleh good decision making. Untuk mendapatkan pengambilan keputusan yang tepat dalam perumusan kebijakan maka diperlukan partisipasi pemangku kepentingan dalam proses perumusan.
Di samping itu perumusan kebijakan juga mempertimbangkan
aspek keadilan sosial sehingga kebijakan pengelolaan bersifat inklusif yang memberikan manfaat secara adil bagi semua pihak.
Kebijakan yang dibangun
juga memungkinkan untuk berlangsungnya partisipasi pemangku kepentingan dan pendelegasian pengambilan keputusan.
Kebijakan yang dirumuskan
dirancang bangun untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemanfaatan sumber daya hutan secara efisien tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memperoleh manfaat yang sama. Pengembangan kebijakannya didasarkan atas hasil ISM elemen tujuan, kendala utama, dan kegiatan yang diperlukan. Pada elemen tujuan diperoleh 3 tujuan utama yaitu: 1) meningkatkan produktivitas lahan hutan terdegradasi; 2) meningkatkan kapasitas kelompok tani; dan 3) meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani HTR. Pada elemen kendala utama, terdapat 3 faktor yang menjadi kendala, yaitu : 1) kurangnya koordinasi antar sektor; 2) keterbatasan modal; 3) terbatasnya kualitas SDM petani HTR. Pada elemen kegiatan yang diperlukan terdapat 3) kunci kegiatan yang harus dilakukan, yaitu: 1) meningkatkan koordinasi antar sektor; 2) penyediaan fasilitas pendanaan; 3)
159
pengembangan program pendampingan. Kebijakan tersebut dijabarkan dalam Model Konseptual Pengelolaan HTR berkelanjutan.
Model Konseptual Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat Berkelanjutan Model
Pengelolaan
HTR
dibangun
dengan
strukturisasi
sistem
permasalahan, kendala, dan tujuan program. Alat analisis yang digunakan untuk melakukan strukturisasi system yang kompleks adalah metode Interpretative Structural Modeling (ISM). Proses ISM menghasilkan perubah kunci pada lima elemen yang dikaji (Tabel 29). Tabel 29 Peubah kunci sistem pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat No 1
Elemen
2
Lembaga yang berpengaruh Kebutuhan
3
Tujuan
4
Kendala utama
5
Kegiatan yang diperlukan
Peubah Kunci 1.
Kelompok tani HTR
1. 2. 1. 2. 3. 1. 2. 3. 1. 2. 3.
Peningkatan produktivitas lahan hutan terdegradasi Keseimbangan lingkungan hidup Meningkatkan produktivitas lahan hutan Meningkatkan kapasitas petani/kelompok tani Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kurangnya koordinasi Keterbatasan modal Terbatasnya kualitas SDM petani Koordinasi antar sektor Penyediaan fasilitas pendanaan Pengembangan program pendampingan
Menurut hasil strukturisasi pendapat pakar, program HTR mempunyai tiga tujuan utama, yaitu; peningkatan produktivitas lahan hutan, peningkatan kapasitas kelompok/koperasi petani HTR, dan peningkatan pendapatan petani HTR. Ketiga tujuan tersebut merupakan representasi dari sistem ekologi, sistem sosial budaya, dan sistem ekonomi.
Integrasi dari ketiga sistem tersebut
digambarkan dalam model Pengelolaan HTR Berkelanjutan (Gambar 42 ). Sistem Pengelolaan HTR Berkelanjutan terdiri dari tiga model, yaitu : 1. Model Manajemen HTR 2. Model Hubungan Lembaga Pengelola HTR 3. Model Pendanaan HTR
160
Gambar 42 Sistem pengelolan HTR berkelanjutan
6.2.1 Model Manajemen HTR Model manajemen pada dasarnya mengintegrasikan kebijakan Pemerintah Pusat dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), rencana tata ruang wilayah kabupaten, dan rencana pengelolaan lingkungan (Gambar 43).
Model Manajemen merupakan manajemen perencanaan yang
memiliki tujuan untuk peningkatan produktivitas hutan, peningkatan kapasitas kelompok tani, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Pada level pemerintah Pusat terdapat Kementerian Kehutanan yang merupakan leading sector dalam kebijakan Hutan Tanaman Rakyat.
Pada
tingkat ini perlu dibangun hubungan koordinasi antara Kementerian Kehutanan dengan Kementerian Dalam Negeri untuk mensinkronkan rencana pembangunan kehutanan terhadap rencana pembangunan nasional jangka panjang maupun jangka menengah. Kebijakan HTR yang berbasis penggunaan kawasan hutan produksi harus terintegrasi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah di tingkat pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten.
161
Pemerintah Pusat
Kementerian Kehutanan
RTRW RPJMN
Pemerintah Propinsi Ditjen BPK, Baplan RPJMD dan RTRW RPJMD
Pendampingan
Teknologi silvikultur
Penanaman Hutan
Dinas Teknis IUPHHK-HTR
Petani Pemegang Izin IUPHHK HTR
Koperasi HTR/ Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)
Pemberdayaan petani
Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank
Fasilitasi pendanaan
Pembinaan
LSM
Pemerintah Kabupaten Hak akses terhadap Lahan Hutan Pembinaan dan fasilitasi
Fasilitas pendanaan
Litbang/ Perguruan Tinggi
Pencadangan Lahan
Penyuluhan & pembinaan
BLU Pusat P2H
Mata pencaharian alternatif
Peningkatan Produktivitas Hutan
Peningkatan Kapasitas Kelompok Tani
Peningkatan Pendapatan
Sistem Ekologi
Sistem Sosial Budaya
Sistem Ekonomi
Gambar 43 Model manajemen HTR Tujuan peningkatan produktivitas hutan yang merupakan representasi dari sistem ekologi dilakukan melalui kegiatan penanaman hutan, dan penerapan teknologi silvikultur.
Hal ini berarti diperlukan adanya dukungan lembaga
penelitian dalam hal penerapan inovasi teknologi silvikultur yang sesuai untuk HTR. Difusi inovasi teknologi tersebut dapat melibatkan kegiatan penyuluhan dan pendampingan. Kesempatan masyarakat sekitar hutan untuk memanfaatkan kawasan hutan produksi milik negara dibuka melalui kebijakan HTR karena memberikan
162
hak akses bagi masyarakat untuk memiliki izin usaha HTR.
Ini berarti telah
memasuki wilayah kelembagaan pengelolaan hutan yang berkaitan dengan sistem sosial masyarakat. Sistem ini membutuhkan adanya penanganan berupa pendampingan masyarakat dalam rangka meningkatkan kapasitas petani dan kelompok tani dalam menjalankan kegiatan pengelolaan HTR. Upaya pemberian hak akses masyarakat dalam pengelolaan hutan pada akhirnya bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan pendapatan masyarakat lokal diperoleh melalui peningkatan akses terhadap sumber daya lahan. Di samping akses terhadap sumber daya finansial menjadi faktor penting untuk mendukung keberhasilan program HTR. Untuk mendukung keberhasilan tersebut harus dibentuk sistem ekonomi dalam rangka memfasilitasi masyarakat petani HTR dalam menjalankan roda usaha di bidang hutan tanaman. Izin usaha HTR pada prinsipnya dapat diberikan kepada perorangan atau kelompok tani. Sebagai kebijakan yang dilaksanakan di level desa, maka tata kelola pemerintahan desa memiliki peluang untuk mendorong dan mengarahkan warganya dengan baik untuk ikut serta dalam skema pembangunan HTR (Capable 2007).
Desa memiliki kewenangan untuk mendirikan Badan Usaha
Milik Desa (BUMDes)
yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat dan desa. Kewenangan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 72 tahun 2005 tentang desa yang menyatakan bahwa pendirian BUMDes dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Landasan hukum dari BUMDes adalah pasal 213 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP 72 tahun 2005 tentang Desa, khususnya pasal 78, 79, 80, dan 81. Upaya pembentukan BUMDes dalam rangka mendukung kebijakan HTR merupakan salah satu upaya yang potensial untuk mendukung keberhasilan pengelolaan HTR yang berkelanjutan.
Sumarsono (2007) menyatakan bahwa
pada tataran filosofis BUMDesa diperlukan sebagai suatu bentuk dalam penyediaan
pelayanan
publik.
BUMDes
dibentuk
sebagai
pendorong
pembangunan ekonomi perdesaan dan BUMDes diposisikan sebagai peningkat kapasitas pemerintah desa ke arah kemandirian. Selanjutnya Sumarsono (2007) menyatakan bahwa BUMDes merupakan bentuk kegiatan produktif bagi masyarakat desa, dan ditujukan untuk rebitalisasi kegiatan usaha mikro/kecil di perdesaan.
Selain itu BUMDes juga ditujukan
163
untuk reaktualisasi pembangunan perdesaan sejalan dengan pembangunan ekonomi.
Terdapat dua peran penting BUMDes yaitu sebagai instrumen
penguatan otonomi desa dan sebagai instrumen kesejahteraan masyarakat. Sebagai instrumen penguatan otonomi desa BUMDes dapat mendorong prakarsa masyarakat desa untuk mengembangkan potensi desanya sesuai dengan kemampuan dan kewenangan desa. Sementara itu sebagai Instrumen Kesejahteraan Masyarakat, BUMDes dapat mendorong kesempatan berusaha di desa dan peningkatan pendapatan untuk kesejehteraan Masyarakat Desa. Konsekuensi dari model managemen HTR adalah dilaksanakannya koordinasi antar pemangku kepentingan dalam perencanaan pebangunan wilayah. Hal ini berarti perlu ada mekanisme hubungan kerja antar instansi mulai dari level pemerintah pusat hingga pemerintah desa.
Konsekuensi lainnya
adalah dibentuknya lembaga baru di tingkat desa berupa BUMDes.
Tata
hubungan antar lembaga dirumuskan dalam model berikutnya yaitu Model Lembaga Pengelola HTR.
6.2.2 Model Lembaga Pengelola HTR Untuk meningkatkan efektifitas model manajemen HTR diperlukan pengaturan hubungan antar lembaga yang terlibat.
Berdasarkan strukturisasi
pada elemen pihak yang terkait dan lembaga yang terlibat mengidentifikasikan bahwa faktor kunci pada program adalah petani HTR. Lembaga yang terlibat terdiri atas: Level pusat yaitu Kementerian Kehutanan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Dalam Negeri, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, Perguruan Tinggi, LSM, kelompok tani, Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank. Hubungan antar lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan HTR digambarkan pada model lembaga pengelola HTR (Gambar 44).
164
Kementerian Kehutanan
Kementerian Keuangan
Kementerian Dalam Negeri Pembinaan, pengendalian dan pengawasan
Pelaporan keuangan
Pemerintah Propinsi
Pemerintah Kabupaten
Sinkronisasi Program
Umpan balik
Kelompok Kerja Pengelolaan HTR
Sinkronisasi Program
Lembaga Swadaya Masyarakat Perguruan Tinggi Dukungan pembiayaan
Tim Ahli
Aspirasi Pembinaan
Representasi Stakeholder
Masukan Kebijakan Perencanaan dan Evaluasi
Badan Usaha Miilik Desa (BUMDes)
Pembinaan dan pengawasan Pembinaan dan pengawasan
BLU Pusat P2H
Pembinaan
Pembentukan
Kelompok Tani/ Koperasi HTR
Dinas Teknis
Kemitraan
Usaha Menengah dan Besar
Dukungan pembiayaan
Keterangan:
Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank
usulan perubahan - - - - - - - koordinasi
Gambar 44 Model lembaga pengelola HTR
Model lembaga pengelola HTR dibangun untuk meningkatkan koordinasi. Model ini bertujuan untuk sinkoronisasi dan integrasi program antara pihak Kementerian
Kehutanan,
Kementerian
Keuangan
yang
terkait
dengan
pendanaan BLU, serta Kementerian Dalam Negeri dalam hal program pembangunan di pemerintah daerah, serta berbagai pihak yang terkait dalam pelaksanaan program HTR,
Dukungan pembiayaan
Implementasi
Pembinaan
Petani pemegang IUPHHK HTR
165
Model lembaga pengelola HTR merekomendasikan dibentuknya Kelompok Kerja HTR di tingkat kabupaten yang merupakan lembaga koordinasi antar pemangku kepentingan yang berkepentingan dalam pengelolaan HTR. Pokja berperan untuk menjembatani dan mewadahi partisipasi para pihak. Anggota Pokja adalah pemerintah daerah, pelaku usaha, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan representasi dari masyarakat pemegang izin HTR. Pokja bertugas untuk menampung aspirasi dan menghasilkan konsensus dalam pengelolaan HTR. Rekomendasi
pembentukan
Kelompok
Kerja
merupakan
hasil
pembelajaran dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan di Kabupaten Gunungkidul.
Provinsi DIY telah memiliki Pokja Pemberdayaan Masyarakat
dalam Pengelolaan Hutan yang didirikan pada tangga 29 September 2005 melalui Surat Keputusan Gubernur DIY no. 84/KEP/2005.
Pokja ini
beranggotakan Dinas Kehutanan Provinsi, LSM, Dinas kehutanan Kabupaten, Dinas Pertanian, Dinas Perdagangan, Perindustrian, dan Koperasi, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, dan Universitas Gajah Mada sebagai wakil dari akademisi (Shorea 2010). Pembentukan Kelompok Kerja di tingkat provinsi kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan kelompok kerja di tingkat kabupaten oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Gunungkidul. Kelompok kerja yang didirikan bernama Pokja HRL (Kelompok kerja Hutan Rakyat Lestari). Landasan hukum pembentukan Pokja adalah Surat Keputusan Bupati No 95/Kpts/2005. Anggota pokja HRL terdiri dari unsur dinas teknis, lembaga swadaya masyarakat, dan perguruan tinggi. Tujuan dibentuknya Pokja adalah untuk mendorong pengelolaan hutan rakyat lestari di Kabupaten Gunungkidul. Keberadaan pokja di Provinsi DIY dan di Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung keberhasilan program pembangunan kehutanan di daerah tersebut. Hal ini terbukti dengan banyaknya program-program pemerintah yang dapat terselenggara dengan baik di wilayah tersebut.
Pengalaman dari pelaksanaan program Hutan kemasyarakatan
menunjukkan bahwa di Provinsi DIY terdapat 42 kelompok tani hutan yang telah memiliki izin HKM. Dari 42 kelompok tani tersebut 35 KTH berada di wilayah kabupaten Gunungkidul dan 7 KTH di kabupaten Kulon Progo. Luas areal HKM yang dikelola sekitar 1.117, 55 ha dengan melibatkan 3.282 Kepala Keluarga (Dephut 2009).
166
Bukti keberhasilan lain dalam pengelolaan hutan di Provinsi DIY dan Kabupaten Gunungkidul adalah pembangunan hutan rakyat.
Hutan rakyat
terbukti memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan rumah tangga petani. Dampak lainnya dari pembangunan hutan rakyat di Gunungkidul adalah meningkatkan perekonomian daerah dengan bergeraknya industri di sektor hasil hutan. Kabupaten Gunungkidul berkontribusi dalam pemenuhan suplai kayu jati untuk kebutuhan industri di Jawa.
Data produksi kayu jati di Kabupaten
Gunungkidul menunjukkan bahwa dari bulan Januari-November 2008 terdapat sebanyak 33.151 m3 kayu jati yang dipanen, data ini didasarkan pada jumlah Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Gunungkidul (Kurniawan et al. 2008). Kayu jati tersebut digunakan untuk memasok industri pengolahan kayu yang menghasilkan produkproduk seperti kayu lapis indah, mebel, ukiran kayu dan beragam olahan kayu lainnya. Pencapaian
tersebut cukup menunjukkan bahwa Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Gunungkidul
cukup berhasil dalam
melaksanakan pembangunan di sektor kehutanan.
Kelompok Kerja yang
dibentuk efektif mendorong pelaksanaan program-program pembangunan yang dirancang oleh Kementerian Kehutanan. Visi pemerintah daerah Provinsi DIY adalah menjadikan DIY sebagai model dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Visi ini merupakan hasil kristalisasi dari kegiatan koordinasi dan konsultasi antar pihak. Belajar dari keberhasilan tersebut maka peran Pokja menjadi penting untuk mendukung keberhasilan program HTR. Oleh karenanya daerah-daerah lain dapat mencontoh pengalaman Provinsi DIY dalam pembentukan pokja untuk mendukung kegiatan HTR.
Kelompok kerja yang direkomendasikan untuk
dibentuk adalah di tingkat kabupaten, karena kegiatan HTR merupakan kegiatan yang pelimpahan wewenangnya diserahkan kepada bupati. Sementara tingkat desa berada pada pemegang peran langsung dalam pelaksanaan kegiatan HTR. Dengan demikian, dari dua model tersebut terdapat dua lembaga yang direkomendasikan untuk dapat mendukung keberhasilan program HTR, yaitu di tingkat desa berupa Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan Kelompok Kerja (Pokja) di tingkat kabupaten. Konsekuensi dari penerapan model managemen dan model kelembagaan lebih lanjut memerlukan dukungan mekanisme
167
pendanaan. Kebijakan mekanisme pendanaan untuk implementasi pengelolaan HTR berkelanjutan disusun dalam model pendanaan.
6.2.3 Model Pendanaan Pelaksanaan program HTR sangat tergantung pada faktor kunci berupa pendanaan. Berdasarkan analisis situasional, dapat dilihat bahwa banyaknya kabupaten yang belum menjalankan program HTR disebabkan karena kendala pendanaan.
Sementara itu BLU P2H yang telah didirikan sejak tahun 2008
belum dapat menyalurkan pinjaman kepada petani HTR. Model Pendanaan HTR (Gambar 45) dimaksudkan untuk mengaktivasi dana bergulir yang saat ini ada di BLU P2H Kementerian Kehutanan dan mencari sumber pendanaan lain diluar BLU P2H.
Gambar 45 Model pendanaan HTR
168
Melalui lembaga-lembaga seperti yang diusulkan dalam model lembaga pengelolaan HTR, maka mekanisme pendanaan dapat ditempuh melalui 5 alternatif, yaitu : 1) penyaluran kredit modal atau Dana Bergulir dari BLU Pusat P2H; 2) APBD untuk penguatan BUMDes; 3) Kegiatan kemitraan dengan perusahaan
swasta;
4)
pinjaman
modal
dari
lembaga
keuangan;
4)
memanfaatkan dana CSR (Coorporate Social Responsibility) dari perusahaan. Salah satu faktor keterlambatan implementasi HTR di lapangan adalah karena masalah pendanaan. Para pihak di daerah memahami bahwa program HTR merupakan satu paket dengan penyaluran kredit modal. Sehingga kegiatan HTR di lapangan tidak dapat berjalan karena kredit modal dari BLU belum dapat disalurkan. Permasalahan utama dalam keterlambatan penyaluran kredit modal HTR dari BLU P2H adalah faktor administratif (Santosa 2010). Gor (2010) melaporkan bahwa dana yang tersedia di BLU Kehutanan hingga September 2010 sebesar Rp. 2,014 Trilyun.
Kebijakan Kementerian
Kehutanan terbaru terkait penggunaan dana BLU adalah bahwa selain untuk kegiatan HTR dana tersebut juga akan disalurkan bagi pembangunan hutan rakyat dan industri pengolahan skala rakyat. Dana untuk kegiatan hutan rakyat dan industri pengolahan kayu skala rakyat akan mendapatkan alokasi sebesar 40% atau sekitar Rp. 805 Milyar (Gambar 46).
805 M (40%)
1,208,T (60%) HTR HR dan industri
Gambar 47 Alokasi dana BLU Pusat P2H (sumber: Gor 2010)
169
Sistem penyaluran pinjaman kepada rakyat akan menggunakan jasa Bank Perkreditan Rakyat atau Koperasi Simpan Pinjam di tengah masyarakat sebagai kepanjangan tangan (extended arm). Adapun mekanisme detailnya mengenai penyaluran pinjaman tersebut saat ini masih dalam tahap kajian. Hal tersebut dinyatakan oleh Sekretaris Jenderal Kehutanan seperti dilaporkan Gor (2010). Hingga Agustus 2010, dana sejumlah Rp. 2, 014 Trilyun yang berada pada BLU P2H belum pernah tersalur untuk pembiayaan HTR. Faktor penyebabnya adalah karena tersendatnya penerbitan izin HTR oleh pemerintah daerah. Pada saat ini pemegang izin HTR
mencapai 1.495 unit dengan rincian 17 unit
dipegang oleh koperasi dan 1.478 unit dipegang oleh perorangan (Gor 2010) Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Kehutanan No.2/MenhutII/2007 dan Menteri Keuangan No.06.I/PMK/2007, BLU Kehutanan hanya boleh membiayai pembangunan HTR dan HTI di kawasan hutan.
Namun karena
penyaluran kredit ke HTI dan HTR masih belum terealisasi, maka dana yang tersedia di BLU P2H dialokasikan untuk penggunaan lain yang sejenis dengan suku bunga yang ditetapkan sesuai dengan tingkat suku bunga Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang berkisar antara 8% tanpa grace period. Adapun plafond pinjaman untuk HTR maksimal Rp.11,7 juta per ha dan plafon terendah Rp. 8,5 juta per hektar dengan jangka waktu pinjaman maksimal 8 tahun. Menurut
ketentuan
perundangan
yaitu
Surat
Keputusan
Menteri
Keuangan No. 137/KMK.05/2007 tentang penetapan Badan Pembiayaan Pembangunan Hutan bahwa pemanfaatan dana akan dibatalkan jika dalam tiga tahun tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan sesuai perundang-undangan. Namun ketentuan ini tidak dapat diterapkan kepada BLU P2H karena dana BLU tahap pertama sebesar Rp. 1,2 triliun baru diterima pada tahun 2008. Surat Keputusan Menteri Keuangan telah diterbitkan tahun 2007, sehingga peraturan tersebut tidak tepat diterapkan pada BLU P2H. Oleh karena itu pelaksanaan program dana bergulir akan diperpanjang hingga 3 tahun ke depan (Utomo, 2010).
6.3.4 Peran dan Keterlibatan Pemangku kepentingan Pengembangan model pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat secara berkelanjutan telah memperhatikan ketentuan dalam kebijakan otonomi daerah. Penentuan kebijakan dalam pelaksanaan otonomi daerah, menurut Sofyar (2004) bahwa peran pemerintah pusat dan daerah dalam model memiliki karakteristik
170
sistem pemerintahan yang harus sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Tugas pokok dan fungsi masing-masing pihak yang terkait dalam Model Managemen, Lembaga, dan Pendanaan HTR secara garis besar, yaitu : 1)
Pemerintah Kabupaten secara langsung berinteraksi dengan masyarakat sehingga peranannya lebih berorientasi pada peningkatan sumberdaya manusia dan pengembangan infrastruktur serta mendukung penguatan dan pembinaan lembaga masyarakat dan pendayagunaan potensi kawasan dalam kabupaten
2)
Pemerintah Provinsi yang membawahi lintas kabupaten lebih berorientasi pada fungsi koordinasi, serta intensif terutama informasi yang terpadu dalam penataan kawasan ekonomi, penataan daya dukung lingkungan, serta pasar regional
3)
Pemerintah pusat sesuai dengan kewenangannya lebih berorientasi pada penciptaan dukungan kebijakan melalui penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang bersifat induk.
Di samping itu
pemerintah pusat memberikan fasilitas dan pembinaan. Uraian rinci mengenai peran dan keterlibatan pemangku kepentingan dalam pengelolaan HTR berkelanjutan disajikan pada Lampiran 11. Alternatif kebijakan pengelolaan HTR yang dikembangkan berdasarkan model manajemen, lembaga dan pendanaan secara keseluruhan akan menghasilkan kebijakan dan program pengelolaan HTR jangka menengah yang merupakan kebijakan strategis dan kebijakan operasional yang berupa perencanaan dan evaluasi program kegiatan tahunan. Kebijakan strategis dan operasional yang disusun merupakan kebijakan sinergi yang mengacu pada kebijakan pembangunan nasional, sektoral, dan daerah. Keluaran dari kebijakan tersebut secara keseluruhan adalah peningkatan produktivitas lahan hutan dan tercapainya pendapatan masyarakat petani HTR.
171
6.4
Validasi Model dan Prospektif Dampak
6.5.1 Validasi Model Validasi model dan perumusan alternatif kebijakan dilakukan berdasarkan tinjauan teoritis terhadap model dan studi komparatif terhadap asumsi-asumsi kebijakan yang setara dengan model pengelolaan HTR. Secara teoritis, model tersebut
sesuai
dengan
proses
pengembangan
kebijakan
dengan
mengaplikasikan soft system methodology dan pendekatan intervensi sistem (Luckett & Grossenbacher 2003) serta pelibatan para pemangku kepentingan (stakeholder inclusion) (Achterkamp & Vos 2007).
Proses pengembangan
kebijakan ini menghasilkan pemahaman lintas disiplin dengan lebih baik dan mengikutsertakan para pihak yang berkepentingan sehingga dapat membangun kebijakan yang holistik. Validasi Model manajemen HTR, model lembaga HTR dan model pendanaan HTR dilakukan melalui pengumpulan pendapat pakar dengan cara wawancara mendalam.
Hasil validasi melalui pendapat pakar menunjukkan
bahwa: 1)
Model yang dikembangkan dapat dimanfaatkan sebagai acuan pengelolaan HTR.
2)
Bentuk lembaga antar muka antara pengelola HTR dan para pihak dapat berbentuk lain selain working group, tergantung dari kesepahaman antara pengelola dan para pihak.
3)
Secara keseluruhan, sistem pengelolaan HTR dapat merepresentasikan kondisi yang diharapkan para pihak. Model managemen, model lembaga, dan
model
pendanaan
dibangun
untuk
meningkatkan
koordinasi
perencanaan dan evaluasi, sinkronisasi kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah 6.4.2 Prospektif Dampak Untuk menguji prospektif dampak dari model kebijakan yang disusun, maka digunakan
model
persamaan
untuk
menunjukkan
kuantifikasi
proyeksi
pencapaian program antara sebelum intervensi kebijakan dengan setelah diterapkannya intervensi kebijakan. Berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan pada tahun 2007 target pelaksanaan kegiatan HTR adalah 5,4 juta hektar hingga tahun 2010. Target tersebut ditetapkan untuk kegiatan pencadangan lahan hutan produksi yang akan digunakan untuk lokasi HTR.
Pada kenyataannya target tersebut tidak
172
dapat dicapai. Hasil realisasi kegiatan sangat rendah. Gambar 47 menunjukkan bahwa pencapaian kegiatan pencadangan lokasi HTR hanya tercapai sebanyak 8% dari target tahunan seluas 1,4 juta ha. Sementara Gambar 48 menunjukkan proporsi pencapaian target diterbitkannya IUPHHK HTR hanya sebesar 5% dari target total 5,4 juta ha.
Pencadangan Lahan 629.158 ha (10%)
Target 5,4 juta ha
Gambar 47 Proporsi target dan realisasi kegiatan pencadangan lokasi HTR
IUPHHK, 87.299.89 ha (2%)
Target, 5.4 juta ha
Gambar 48 Proporsi pencapaian izin usaha HTR terhadap luas total HTR
173
Perbandingan antara target dan realisasi pencapaian kegiatan HTR sejak tahun 2007 hingga tahun 2010 disajikan pada Gambar 49.
1,400,000 1,200,000 1,000,000
Target luas (Ha)
800,000
Pencadangan (Ha) IUPHHK-HTR (Ha)
600,000 400,000 200,000 -
2007
2008
2009
2010
Gambar 49 Target dan realisasi kegiatan HTR Berdasarkan data seperti disajikan pada Gambar 49 dapat dikalkulasi ratarata pencapaian kegiatan pencadangan lahan HTR masih dibawah 200.000 ha/tahun. Dengan target luas lahan yang dicadangkan sebesar 5,4 juta ha maka paling cepat kegiatan pencadangan lahan HTR akan tercapai selama 26 tahun atau akan tercapai pada tahun 2033. Intervensi kebijakan berupa penerapan model pembangunan HTR berkelanjutan, merupakan upaya mempercepat tercapainya target pembangunan HTR. Model HTR yang dibangun ditujukan untuk mengatasi kendala-kendala yang selama ini dihadapi dalam implementasi program HTR. Target pemerintah untuk membangun lahan HTR seluas 500.000 ha per tahun (Dirjen BPK 2010) dapat tercapai dengan baik, karena telah terjalin suatu koordinasi menyeluruh diantara para pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan HTR.
Target
seluas 500.000 ha per tahun merupakan target revisi dari Kementerian Kehutanan, mengingat target sebelumnya yang seluas 1,4 juta ha per tahun tidak dapat dicapai.
Target tersebut sebenarnya target total pembangunan hutan
tanaman, tidak saja dari lokasi Hutan Tanaman Rakyat akan tetapi dari Hutan Tanaman Industri.
Dengan penerapan model konseptual kebijakan yang
174
komprehensif mendukung pembangunan HTR, dapat diprediksi bahwa target pembangunan HTR seluas 5,4 juta dapat dicapai pada tahun 2020. 7000000 Sesudah kebijakan 6000000
Sebelum kebijakan
5000000 4000000 3000000 2000000 1000000 0 2007
2011
2020
2033
Gambar 50 Proyeksi pencapaian pembangunan HTR setelah penerapan kebijakan
6.5
Implikasi Kebijakan Implementasi Model manajemen, model lembaga pengelola HTR dan
model pendanaan HTR dapat dilaksanakan secara efektif jika didukung oleh peraturan dan kebijakan yang tepat.
Pada tingkat nasional, peraturan dan
kebijakan yang terkait dengan pengelolaan HTR telah ditetapkan melalui berbagai peraturan antara lain: Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan;
Permenhut
P.5/Menhut-2/2008
sebagai
pengganti
Permenhut
P. 23/Menhut-II/2007 tentang tata Cara Permohonan IUPHHK HTR; Permenhut P.48/Menhut-II/2008 tentang Standar Biaya Pembangunan HTI dan HTR; Permenhut No P.9/Menhut-II/2008 tentang Persyaratan Kelompok Tani Hutan untuk mendapatkan pinjaman dana bergulir pembangunan HTR; Berbagai Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan yang mengatur tentang petunjuk teknis pembangunan HTR dan Pedoman Pembangunan HTR pola kemitraan dan Pola Developer; dan Peraturan Kepala Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan No. P.01/Pusat P2H-1/2009 tentang petunjuk teknis pemberian pinjaman dana bergulir untuk pembiayaan pembangunan hutan tanaman.
175
Pada lingkup peraturan pemerintah daerah, peraturan dan kebijakan yang terkait dengan pemerintahan sudah ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Dengan demikian implikasi kebijakannya di tingkat pusat bertugas untuk mewujudkan kondisi yang memungkinkan bagi pemberdayaan masyarakat dan terpeliharanya kawasan
hutan
produksi
melalui
inisiatif
terhadap
pengembangan
dan
penyempurnaan peraturan perundangan serta penyediaan fasilitas. Untuk peningkatan efektifitas koordinasi perlu dibentuk Kelompok Kerja di tingkat Pemerintah Daerah yang beranggotakan berbagai dinas di pemerintah daerah kabupaten, perguruan tinggi dan masyarakat lokal yang memiliki fungsi koordinatif yang merekonsiliasi trade-off dan membangun sinergi melalui konsensus. Penetapan Kelompok Kerja HTR dilaksanakan melalui Keputusan Bupati. Pokja ini merupakan wadah koordinasi dan komunikasi antara wakil Pemerintah, pemerintah provinsi dan kabupaten, wakil akademisi, LSM dan wakil masyarakat umum.
Pokja ini merupakan organisasi non struktural yang melaporkan
kegiatannya
kepada
Bupati
untuk
membantu
tugas-tugas
dalam
mengkoordinasikan pengembangan HTR bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Mandat yang diberikan kepada pokja sebaiknya diarahkan pada tugas dan fungsi: 1) memberikan
masukan
kebijakan
untuk
pembangunan
HTR
yang
berkelanjutan secara ekologis dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, 2) merumuskan masukan rencana yang sinergis
pengembangan
ekonomi
masyarakat pemegang IUPHHK HTR 3) merekomendasikan
prioritas
alokasi
dana
sektoral
untuk
mendukung
terpeliharanya sumber daya hutan 4) memberikan masukan perumusan rencana tahunan dan lima tahunan pengelolaan HTR, dan 5) memberikan masukan untuk aspek pendanaan dan pemasaran hasil produksi HTR 6) melaporkan hasil kegiatan kepada Bupati. Pemerintah Daerah Kabupaten sebagai pemegang mandat pelaksanaan kegiatan HTR di daerah juga memiliki tugas untuk mendukung keberhasilan
176
kebijakan HTR.
Tugas Pemda Kabupaten dapat dilakukan di dalam wilayah
kabupaten dan antar wilayah kabupaten di Provinsi. Di tingkat Provinsi, Pemda Kabupaten bertugas untuk melakukan koordinasi lintas kabupaten dalam upaya peningkatan pemberdayaan masyarakat; melakukan fasilitasi agar terjalin kemitraan antara petani HTR dan industri pengolah kayu serta perusahaan HTI. Sementara itu untuk tingkat kabupaten, Pemda bertugas menetapkan kawasankawasan prioritas pengembangan HTR, mengembangkan pelatihan-pelatihan pembangunan kapasitas untuk meningkatkan upaya pemberdayaan masyarakat dalam melakukan usaha di bidang HTR, pengembangan fasilitasi sarana dan prasarana untuk mendukung terselenggaranya bisnis usaha HTR. Pemerintah Kabupaten juga memprakarsai pembentukan BUMDes melalui penetapan Peraturan Daerah Kabupaten.
BUMDes dipilih sebagai alternatif
lembaga pendorong kegiatan HTR di desa. Badan usaha ini sesungguhnya telah diamanatkan di dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (bahkan oleh undang-undang sebelumnya, UU 22/1999) dan Peraturan Pemerintah (PP) no. 71 Tahun 2005 Tentang Desa. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 213 ayat (1) disebutkan bahwa “Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa”. Disebutkan pula bahwa tujuan pendirian BUMDes antara lain dalam rangka peningkatan Pendapatan Asli Desa (PADesa). Saragi (2004) menyebutkan 5 tujuan pembentukan BUMDes yaitu (a) Peningkatan kemampuan keuangan desa, (b) Pengembangan usaha masyarakat dalam rangka pengentasan kemiskinan, (c) Mendorong tumbuhnya usaha masyarakat (d) Penyedia jaminan sosial (e) Penyedia pelayanan bagi masyarakat desa. BUMDes merupakan pilar kegiatan ekonomi di desa yang berfungsi sebagai lembaga sosial (social institution) dan komersial (commercial institution). BUMDes sebagai lembaga sosial berpihak kepada kepentingan masyarakat
melalui
kontribusinya
dalam
penyediaan
pelayanan
sosial.
Sedangkan sebagai lembaga komersial bertujuan mencari keuntungan melalui penawaran sumberdaya lokal (barang dan jasa) ke pasar. Dalam menjalankan usahanya prinsip efisiensi dan efektifitas harus selalu ditekankan. BUMDes sebagai badan hukum, dibentuk berdasarkan tata perundang-undangan yang berlaku, dan sesuai dengan kesepakatan yang terbangun di masyarakat desa. Dengan demikian, bentuk BUMDes dapat beragam di setiap desa di Indonesia. Ragam bentuk ini sesuai dengan karakteristik lokal, potensi, dan sumberdaya
177
yang dimiliki masing-masing desa. Pengaturan lebih lanjut tentang BUMDes diatur melalui Peraturan Daerah (Perda). BUMDes didirikan atas prakarsa masyarakat didasarkan pada potensi yang dapat dikembangkan dengan menggunakan sumberdaya lokal dan terdapat permintaan pasar. Tugas dan peran Pemerintah adalah melakukan sosialisasi dan penyadaran kepada masyarakat desa melalui pemerintah provinsi dan/atau pemerintah
kabupaten
tentang
arti
penting
BUMDes
bagi
peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Melalui pemerintah desa masyarakat dimotivasi, disadarkan
dan
dipersiapkan
Pemerintah
memfasilitasi
untuk
dalam
membangun
bentuk
kehidupannya
pendidikan
dan
sendiri.
pelatihan
dan
pemenuhan lainnya yang dapat memperlancar pendirian BUMDes. Selanjutnya, mekanisme operasionalisasi diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat desa. Maruyani (2008) dalam Nor (2008) menguraikan tentang prinsip-prinsip pembentukan BUMDes, sebagai berikut : a. Logika pembentukan BUMDesa didasarkan pada kebutuhan, potensi, dan kapasitas desa b. Perencanaan dan pembentukan BUMDesa atas prakarsa masyarakat desa, serta mendasarkan pada prinsip-prinsip ko-operatif, partisipatif & emansipatif dengan mekanisme member-base dan self-help. c. Pengelolaan BUMDesa dilakukan secara profesional, ko-operatif, dan mandiri. d. Bangun
BUMDesa
dapat
beragam
di
setiap
desa
di
Indonesia.
Diharapkan pembentukan BUMDes berangkat dari partisipatif dan inisiatif masyarakat desa, karena yang mengetahui secara pasti dan detil tentang semua potensi desa dan sumber daya desa adalah masyarakat itu sendiri. Dalam pengelolaan BUMDes harus diperhatikan beberapa acuan, yaitu : 1. Sebagai pengelola adalah semua masyarakat desa yang memiliki orientasi melakukan usaha bersama dibantu aparat pemerintah desa sebagai fasilitator dan penyambung komunikasi dengan pemerintah daerah. 2. Bentuk kegiatan harus bersifat kemitraan dan memiliki kontrak. 3. Pembinaan bisa langsung dari pemerintah daerah atau dari lembagalembaga non profit, seperti LSM, perguruan tinggi, organisasi masyarakat, dan lain-lain 4. Wilayah cakupan tidak harus satu desa. Jika beberapa desa memiliki orientasi yang sama maka dapat melakukan usaha secara bersama-sama dalam satu wadah BUMDes (kluster)..
178
5. Bentuk badan usaha harus bersifat kebersamaan dan mandiri. 6. Bentuk usaha bisa berbentuk pembiyaan seperti usaha simpan pinjam, ataupun berbentuk riil seperti usaha kerajinan, pertanian, peternakan, pasar, wisata dan lain-lain. 7. Keanggotaan adalah semua masyarakat desa yang memiliki kepentingan yang sama dalam berusaha, selain itu aparat pemerintah desa juga akan memfasilitasi, dan bisa juga pihak ketiga (investor) yang menanamkan modalnya untuk dikembangkan dan menjadi usaha bersama. Mengingat
bentuk
BUMDes
merupakan
lembaga
potensial
untuk
mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, maka organisasi ini direkomendasikan
untuk
digunakan
dalam
pelaksanaan
program
HTR.
Pengembangan BUMDes merupakan program Kementerian Dalam Negeri,. Integrasi kegiatan HTR dalam program BUMDes dapat meningkatkan koordinasi antara sektor kehutanan dengan pemerintahanan daerah. Untuk mewujudkan gagasan tersebut perlu dibangun kesepakatan tingkat Menteri Kehutanan dan Menteri Dalam Negeri untuk memadukan kegiatan HTR dengan pengembangan BUMDes.
VII.
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan 1. Proses perumusan kebijakan HTR bukan merupakan model linier.
Hal ini
terbukti dari fakta proses perumusan kebijakan, sebagai berikut : a. Proses perumusan kebijakan Hutan Tanaman Rakyat dilakukan di lingkup internal Kementerian Kehutanan.
Aktor yang terlibat dalam proses
perumusan kebijakan HTR adalah pihak birokrat Kementerian Kehutanan dan tidak adanya keterlibatan para ahli atau praktisi lapangan. b. Tidak dipertimbangkannya informasi tentang faktor-faktor yang menjadi penyebab ketidakberhasilan program sebelumnya.
Faktor-faktor tersebut
adalah : 1) Proses perizinan HTR serupa dengan perizinan HKM, pengalaman dari program HKM menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kemampuan terbatas untuk menempuh prosedur perizinan yang relatif panjang; 2) Kebijakan tentang kegiatan pendampingan belum ditangani dengan baik, sementara kemampuan masyarakat untuk melakukan bisnis hutan tanaman masih sangat lemah sehingga proses pendampingan merupakan faktor penting untuk membangun kapasitas masyarakat. c. Prinsip dasar kebijakan HTR adalah membangun bisnis hutan tanaman oleh masyarakat. Bentuk kebijakan ini merupakan modifikasi dari kebijakan HTI. Diskursus yang dianut adalah pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). 2. Peraturan pelaksanaan HTR mengalami beberapa kali perubahan terkait mekanisme pencadangan lahan, permohonan izin, aturan mengenai jangka waktu izin dan aturan mengenai jenis tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan HTR dikembangkan dengan pola iteratif (berulang) dan experimental (uji coba) dengan cara memperbaiki kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan respon dan tanggapan dari kelompok sasaran kebijakan.
180
3. Kecenderungan pembangunan kehutanan pada saat HTR digulirkan adalah pelibatan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan negara. Kebijakan
tersebut
dipengaruhi
oleh
kondisi
politik
nasional,
dimana
pemerintahan yang berkuasa saat itu menggariskan strategi pembangunan kerakyatan (pro-growth, pro-poor, pro-job). 4. Penggunaan narasi kebijakan pro kerakyatan dalam pembangunan hutan dilakukan secara
top-down, cetak biru, dan sentralistik.
Oleh karena itu
kebijakan HTR menjadi sebuah bentuk baru kelembagaan pengelolaan hutan oleh
masyarakat,
sehingga
pada
pelaksanaannya
harus
mengalami
penyesuaian dengan kondisi lokal masyarakat di masing-masing lokasi. 5. Respon
para
pemangku
kepentingan
sangat
menentukan
terhadap
keberhasilan implementasi program HTR. Implementasi HTR berjalan dengan baik ketika ada respon positif dari pelaksana kebijakan di lapangan, baik dari pihak pemerintah daerah maupun masyarakat sasaran program. 6. Pelaksana kebijakan di lapangan memiliki persepsi berbeda dengan pengambil kebijakan di Pusat dalam hal memahami program.
Para pihak di lapangan
menerima HTR sebagai program pemberdayaan masyarakat, yang berarti identik dengan adanya dukungan fasilitas, sarana, dan prasarana dari pemerintah pusat.
Sementara itu, penyusun kebijakan merancang HTR
sebagai kegiatan bisnis yang siap untuk dijalankan secara mandiri oleh masyarakat sekitar hutan.
Fasilitas dari pemerintah tidak bersifat mutlak,
karena diasumsikan masyarakat sasaran telah memiliki kapasitas untuk menjalankan bisnis tersebut. 7. Program HTR terkendala oleh faktor keterbatasan lahan yang dapat dialokasikan untuk HTR, rendahnya minat masyarakat, dan ketidaksiapan pemerintah daerah untuk mengimplementasikan program. Adapun faktor yang mendukung
terselenggaranya
HTR
di
lokasi
yang
telah
berhasil
mengimplementasikan HTR adalah faktor antusiasme yang tinggi dari pihak pemerintah daerah, adanya dukungan dari pihak LSM sebagai pendamping masyarakat, dan minat masyarakat yang tinggi untuk berusaha di bidang hutan tanaman.
181
8. Model konseptual kebijakan HTR dibangun dari analisis terhadap kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam rangka mewujudkan keberhasilan program yang berkelanjutan. Permasalahan utama dalam program HTR terdiri dari tiga bagian, yaitu : a. Permasalahan sinkronisasi perencanaan pembangunan antara pusat dan daerah dan antar sektor yang terkait. Oleh karena itu dirumuskan Model Manajemen HTR yang merupakan upaya integrasi rencana pembangunan guna mencapai tujuan yang diharapkan yaitu peningkatan produktivitas lahan hutan terdegradasi, peningkatan kapasitas kelompok tani dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. b. Permasalahan koordinasi antar lembaga dipecahkan melalui Model Lembaga Pengelola HTR. Model ini menjelaskan tata hubungan kerja antar lembaga yang terkait dalam pengelolaan HTR. c. Permasalahan pendanaan dikembangkan melalui Model Pendanaan HTR yang menunjukkan empat alternatif pendanaan yaitu : pinjaman dana bergulir dari
BLU
Pusat
P2H,
pengembangan
kemitraan
dengan
industri
besar/menengah, dan memanfaatakan dana CSR (Coorporate Social Responsibility), serta alokasi anggaran pembangunan dari pemerintah daerah. 9. Implikasi Model Kebijakan HTR adalah dibentuknya lembaga koordinasi di tingkat kabupaten berupa Kelompok Kerja yang merupakan representasi berbagai pihak yang terkait dengan penyelenggaraan program HTR.
Pokja
memberikan arahan strategi kebijakan yang menjadi program kerja masingmasing pihak.
Visi Pokja adalah sebagai lembaga koordinasi untuk
mewujudkan keberlanjutan bisnis hutan tanaman yang dijalankan oleh masyarakat. Pokja juga menjadi pusat kegiatan pendampingan yang dijalankan oleh para Sarjana Kehutanan.
182
7.2 Saran 1. Hasil penelitian ini mendukung teori Sutton tentang kritik terhadap proses perumusan kebijakan model linier atau model rasional. mungkin
dipenuhi
karena
pengambil
kebijakan
Model linier tidak
memiliki
keterbatasan
sumberdaya untuk mengumpulkan informasi yang komprehensif dalam rangka memilih alternatif solusi terbaik. Namun demikian, argumentasi Sutton tentang model linier tidak dapat sepenuhnya berlaku untuk kondisi pemerintahan di Indonesia, karena kebijakan publik di Indonesia menjadi wewenang penuh pemerintah.
Oleh karena itu pihak pengambil kebijakan dapat melakukan
proses pendekatan yang lebih intensif kepada para pihak yang terkait agar kebijakan yang dihasilkan sesuai dengan aspirasi sasaran kebijakan. 3. Inisiatif para pihak masyarakat perlu lebih dikedepankan agar program pengelolaan hutan bersama masyarakat lebih sesuai dengan konteks lokal 3. Sosialisasi mengenai kebijakan dan arahan program HTR perlu ditingkatkan agar terjadi persamaan persepsi antara para pemangku kepentingan baik di pusat maupun di daerah. 4. Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan perlu segera menyalurkan kredit dana bergulir kepada pemegang IUPHHK-HTR. Percepatan proses penyaluran kredit modal sangat diperlukan agar kegiatan HTR segera terealisasi.
Penelitian ini tidak khusus mengkaji aspek penyaluran kredit HTR,
sehingga disarankan agar topik tersebut menjadi bahan penelitian lanjutan. 5. Badan Usaha Milik desa (BUMDes) merupakan lembaga potensial untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, maka organisasi ini direkomendasikan untuk diwujudkan sebagai wadah bagi petani HTR. Untuk itu perlu dibangun kesepakatan tingkat Menteri Kehutanan dan Menteri Dalam Negeri untuk memadukan kegiatan HTR dan pengembangan BUMDes. 6. Model konseptual kebijakan menggunakan asumsi tidak adanya masalah pada aspek tenurial. Asumsi tersebut tidak dapat dipenuhi jika di lokasi tertentu aspek tenurial masih perlu penanganan.
Oleh karenanya model konseptual kebijakan
HTR masih dapat dilengkapi dengan mengkaji lebih lanjut aspek kepastian lahan.
DAFTAR PUSTAKA Achterkamp M, Vos JFJ. 2007. Critically identifying stakeholders: evaluating boundary critique as a vehicle for stakeholder identification. Syst Res Behav Sci 24:3-14 Adham AS. 12 Mei 2010. Kegagalan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Harian online kabar Indonesia. http://www.kabarindonesia.com/berita.php [28 Desember 2010] Adhikari B. William F, Lovvet JC. 2009. Local benefits from community forests in the middle hills of Nepal. Forest Policy and Economics 9 (2007):464– 478 Adiprasetyo T. 2010. Rancang bangun kebijakan pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan di era otonomi daerah [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Agrawal A., Gibson CC. 1999. Enchantment and disenchantment: The role of community in natural resource conservation. World Development 27 (4): 629–649. Agrawal A. 2001. Common property institution and sustainable governance of resources. World Development Economiics 10:1- 25 Anshari GZ, et al. 2005. Marginalisasi masyarakat miskin di sekitar hutan: studi kasus HPHH 100 ha di Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat. Decentralization Brief No.9 April 2005. Bogor: Centre for International Forestry Research. Anwar C. 2006. Perkembangan pasar dan prospek agrobisnis karet di Indonesia. Lokakarya Budidaya Tanaman Karet, Medan 4-6 September 2006. Balai Penelitian Sungai Putih. Pusat Penelitian Karet. Awang SA. 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta: Centre for Critical Social Studies dan Kreasi Wacana. Aziz ASR. 2007. Memahami Fenomena Sosial Melalui Studi Kasus. Di dalam: Bungin B, editor. Analisis Data Penelitian Kualitatif; Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. hlm 18- 34. Baka. 2001. Rekayasa sistem pengembangan agroindustri perkebunan rakyat dengan pendekatan wilayah [desertasi]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Barbier E. 1997. The concept of sustainable economic development. Environ Conserv 14 (2):114-129 Bebbington A, Dharmawan L, Fahmi E, Guggenheim S. 2005. Local capacity, village governance, and the political economy of rural development in Indonesia. World Development 34:1958-1976.
184
Bertalanffy L. 1968. General System Theory: Foundations, development, application. New York: George Braziller. Binswanger HP, Ruttan VW. 1978. Induced Innovation; Technology, Institutions and Development. Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press, p. 329. Blaikie P, Soussan JG. University of Leeds.
2001.
Understanding Policy Processes. Leeds:
Borrini-Feyerabend G, et al. 2003. Governance of protected areas innovation in the air. Policy Matter Issue 12. Community Empowerment for Conservation Sep, 2003. [BPS] Biro Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul. 2008. Gunungkidul dalam Angka. Wonosari: BPS Kabupaten Gunungkidul. [BPS] Biro Pusat Statistik Provinsi Riau. 2009. Riau Dalam Angka. Pekanbaru : BPS Provinsi Riau. riau.bps.go.id/attachments/RDA2009 [1 November 2010] [BPS] Biro Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Selatan. 2009. Selatan Dalam Angka. Banjarmasin : Biro Pusat Statistik.
Kalimantan
Bromley, Cernea MM. 1989. The management of common property natural resources. World Bank Discussion Paper No. 57. Washington DC: , The World Bank. Bromley DW. 2007. Environmental regulations and the problem of sustainability: moving beyond “market failure’. Ecology Economy 63:676-683 [CAPABLE] Centre of Capacity Building for Local Governance. 2007. Semiloka pembangunan Hutan Tanaman Rakyat dalam perspektif pemerintahan desa. Jakarta : Kerjasama Ditjen BPK dengan Capable. Carley J, Holmgren. 2003. Definitions related to planted forest. FAO Working paper 79. Forest Resources Assessment Program, Forest Resource Development Service. Forestry Department. Roma: Food Agricultural Organization of the United Nations. Chambers R. 1983. Putting The Last First. London: Longman. Chambers R. 1993. Challenging the Profession; Frontiers for Rural Development. London: Intermediate Technologie Publications. Chambers R. 1994. Participatory Rural Apraisal (PRA): analysis of experience. World Development 22 (9):1253-1268. Checkland P. 1999. System Thinking, System Practice: Includes a 30-year retrospective. New York: J Wiley. Checkland P. 1995. Model validation in soft system practice. Syst Res Behac Sci 12(1): 47-54
185
Checkland P. 2000. Soft system methodology: a thirty year retrospective. Syst Res Behav Sci 17:S11-S58 Chen Z, Yang Z, Xie Z . 2005. Economic development of local communities and biodiversity conservation: a case study from Shennongjia national nature reserve, China. Biodiv Conservation 14:2095-2108 Clay EJ, Schaffer BB, editor. 1986. Room for Maneuver, An Explanation of Public Policy in Agriculture and Rural Development. London: Heinemann. Contreras-Hermosilia AC. Fay, Effendi E. 2006. Memperkokoh Pengelolaan Hutan Indonesia melalui Pembaruan Penguasaan Tanah. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF-SEA). Comhar. 2007. Principles for Sustainable Development. Dublin : The National Sustainable Development Partnership, Sustainable Development Council. Cordes JWH. 1992. Hutan Jati di Jawa dengan Alam, Penyebaran Sejarah dan Eksploitasinya. Rahmad et al., penerjemah. Malang: Yayasan Manggala Sylva Lestari. Terjemahan dari: De Djati-Bosshen Op Java. Crhristis J. 2005. Theory and practice of soft systems methodology: a performative contradiction?. Syst Res Behav Sci 22:11-26. [CSERF] Centre for Social and Economic Research on Forestry. 2005. Strategy for the development and sustainable wood-based industries in Indonesia: integrated strategies & actions Indonesia. Report on ITTO Project PD 85/01 Rev.2 (1). Bogor: Forestry Research and Development Agency. Dalal-Clayton B et al. 1994. National sustainable development strategies: experience and dilemmas. Environmental Planning Issues No. 6. London: Environment Plan Group, IIED. Damin S. 1997. Pengantar Studi Penelitian Kebijakan. Jakarta: Bina Aksara. [Dephutbun] Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta: Dephutbun [Dephut] Departemen Kehutanan. tanpa tahun. Kebijakan Revitalisasi Sektor Kehutanan Khususnya Industri Kehutanan dan Hasil yang dicapai. http://www.dephut.go.id/files/kebijakan revitalisasi dan hasil.pdf [23 Okt 2010]. [Dephut] Departemen Kehutanan. 1986. Sejarah Kehutanan I (Periode Prasejarah Tahun 1942). Jakarta: Departemen Kehutanan [Dephut] Departemen Kehutanan. 1986. Sejarah Kehutanan II-III (Periode Tahun 1942-1983. Jakarta: Departemen Kehutanan.
186
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2007. Dephut alokasikan lahan hutan 5,4 juta ha untuk usaha HTR dengan dukungan dana reboisasi. Siaran pers Nomor S.51/II/PIK-1/2007. http://www.dephut.go.id/index.php [11 Desember 2009] [Dephut] Departemen Kehutanan. 2008. Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P 05/Menhut-II/2008 tentang Perubahan permenhut Nomor P.23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan Izin usaha Pemanfaatan Hasil Hutan kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman. Jakarta: Dephut; 2008. [Dephut] Departemen kehutanan. 2009. Pengelolaan hutan kemasyarakatan di Daerah Istimewa Yogyakarta. http://www. dephut.go.id/ INFORMASI/ RR/ RLPS/ HK-DIY.htm [30 Okt 2010]. [Deptan] Departemen Pertanian. 11 Juni 2005. Presiden canangkan revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan. http://www.litbang.deptan.go.id/ berita/one/216 [22 Okt 2010] [Dishutbun DIY] Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 2009. Laporan identifikasi hutan tanaman rakyat (HTR) Blok Wunung – Kecamatan wonosari Kabupaten Gunungkidul. Yogyakarta: Dishutbun. [Dishut Kalsel] Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan. 2007. Data dan Fakta Pembangunan Kehutanan di Kalimantan Selatan. Banjarbaru: Dishut Kalsel. [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2008. Progres Telaah Usulan Pencadangan Lokasi HTR sd. 10 April 2008. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan Departemen Kehutanan. [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2009. Data Release 2009 Triwulan II Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Jakarta: Ditjen BPK Kementerian Kehutanan. http://www.dephut.go.id/ files/ Data_Release_DitjenBPK_Triwulan_II_2009. pdf. [22 Okt 2010] [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2010. Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan Tahun 2010 dan Kebijakan Pelaksanaan Program dan kegiatan Prioritas tahun 2011. Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Teknis Pembangunan Kehutanan Bidang Bina Produksi Kehutanan tahun 2010. Jakarta: Ditjen BPK kementerian Kehutanan. [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina produksi Kehutanan. 2010. Laporan Perkembangan Pemanfaatan dan Penggunaan Hutan Produksi, Triwulan II (April-Juni 2010). Jakarta: Ditjen BPK kementerian Kehutanan. Drack M. 2009. Ludwig von Bertalanffy’s early system approach. Syst Res Behav Sci 26:563-571. Dubrowsky V. 2004. Toward system principles: general system theory and the alternative approach. System Research Behav Sci 21: 109-122.
187
Dunn WN. 2004. Pengantar Analisis Kebijakan Publik edisi kedua. Wibawa S, Asitadani D, Hadna AH, Purwanto EA, penerjemah: Darwin M, editor. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Terjemahan dari Public Policy Analysis: An Introduction. Dye TR. 1995. Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice Hall. Eisenhardt KM. 1989. Building theories from case study research. Academy of Management Review, Vol 14 No.4:532-550 Ekeh 1974. Social Exchange Theory: The Two Traditions. Cambridge, Mass: Harvard University Press. Ellsworth L. 2004. A Place in The World: Tenure Security and Community Livelihood. Forest Trend and Ford Foundation Emila, Suwito. 2007. Hutan Tanaman Rakyat (HTR): agenda baru untuk pengentasan kemiskinan? Warta Tenure No.4. Working Group on Forest Land Tenure.[terhubung berkala] http://www.wg-tenure.org/file/ warta_tenure/edisi_04e.pdf [21 Okt 2010] Engel S, Palmer. 2006. Who own the right: the determinants of community benefits from logging in Indonesia? Forest Policy and Economy 8 (2006): 434–446. Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Bogor: IPB Press. Eriyatno, Sofyar F. 2007. Riset Kebijakan: Metode Penelitian untuk Pascasarjana. Bogor: IPB Press. Evans J. 1992. Plantation Forestry in Tropics, 2nd ed. Oxford: Clarendon Press. [FAO] Food Agriculture Organization. 2001. Global Forest Resource Assessment 2000. Rome: Food Agriculture Organization of the United Nations. Farrelly N. 2007. The farm forest resource in Ireland; opportunities and challenges for rural development in Ireland. Small-scale Forestry, Vol. 6 No.1:49-64. Fox JM. 1993. Forest resource in a Nepal Village: the positive influence of population growth. Mountain Research and Development 13 (1):89-90 Fox J. 1990. Diagnostic tools for social forestry. Di dalam: Poffenberger M, editor. Management Alternatives in Southeast Asia. Manila: Ateneo de Manila University Press. hlm 119-133 [FWI/GFW] Forest Watch Indonesia/Global Forest Watch. 2002. The State of the Forest: Indonesia. Forest Watch Indonesia and Washington DC. Global Forest Watch.
188
Garrity DP et.al. 1997. The imperata grasslands of tropical Asia; area distribution and typology. Agroforestry System 36:263-274. Gittinger JP. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Terjemahan. Edisi Kedua. UI-Press dan John Hopkins, Jakarta. Goodland R, Ledoc G. 1987. Neoclassical economics and principles of sustainable development. Ecol Modelling 38(1-2):19-46 Gor.
28 September 2010. Badan Layanan Umum kehutanan segera bantu industri pengolahan skala rakyat. Vetonews.com http://vetonews.com [30 Okt 2010].
Grindle M, Thomas J. 1990. After the decision: implementing policy reforms in developing countries. World Development Vol. 18 (8). Gumilar T. 20 Mei 2010. Izin Berbelit-belit, Target 500 Ribu Ha HTR Bisa Tak Tercapai. Kontan Online. Kamis 20 Mei 2010. http://klasik.kontan.co.id/ nasional/news [27 Desember 2010] Hardin G. 1968. The tragedy of the commons. Science Vol 162 No. 3859. December 13, 1968:1243 – 1248. Hill M. 2005. The Public Policy Process, 4th edition. London: Perason-Longman [IDS] Institute Development Study. 2006. Understanding Policy Process: A Review of IDS Research on the Environment. Bringhton: United Kingdom. Irawati SR, Maryani R, Effendi R, Hakim I, Dwiprabowo H. 2008. Kebijakan penetapan harga dasar penjualan kayu hutan tanaman rakyat dalam rangka pengembangan Hutan Tanaman Rakyat. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Vol 5 No 2. Agustus 2008.:89-100. Iskandar U, Ngadiono, Nugraha A. 2003. Hutan Tanaman Industri: Di Persimpangan Jalan. Jakarta: Arvico Press. Ismanto AD. 2010. Permasalahan institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam produksi [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Jackson MC. 2000. System Approaches to Management. New York: Kluwer Academic, Plenum Jariyah NA, Cahyono, Nugroho, Yuliantoro. 2003. Kajian manfaat finansial berbagai sistem usahatani. Laporan penelitian. Surakarta : Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wilayah Indonesia Bagian Barat, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Juma C, Clark N. 1995. Policy research in Sub-Saharan Africa: an exploration. Public Administration and Development, Vol 15.121–137.
189
Justianto A. 2005. Dampak kebijakan pembangunan kehutanan terhadap pendapatan masyarakat miskin di Kalimantan Timur: suatu pendekatan sistem neraca sosial ekonomi [disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Insitut Pertanian Bogor. Kanungo S, Bhatnagar VK. 2002. Beyond generic models and subdued participation: interpreting local responses toward Shimentai Nature Reserve in South China. Environ Management 30 (3): 327-341 Kant SS. 2004. Economics of sustainable forest management. Forest Policy and Economics, 6;197-203. Kartasubrata J. 2003 Social Forestry dan Agroforestry di Asia. Bogor : Lab Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan-Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Kartodihardjo H. 1998. Peningkatan kinerja pengusahaan hutan alam produksi melalui kebijaksanaan pemetaan institusi [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Insitut Pertanian Bogor. Kartodihardjo H. 2006. Masalah kapasitas kelembagaan dan arah kebijakan kehutanan: Studi tiga kasus. Jurnal Management Hutan Tropika Vol XII No. 3:14-25. Kartodihardjo H, Supriono. 2000. The impact of sectoral development on natural forest conversion and degradation; the case of timber and tree crop plantation in Indonesia. Occasional Paper No. 26. Bogor: Centre for International Forestry Research. Karyana A. 2007. Analisis posisi dan peran lembaga serta pengembangan kelembagaan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Koontz HC, Donnel O, Weihrich H. 1984. Management eight edition. Singapore: McGraw Hill International Company. Korten DC, Klauss, R. 1984. People-Centered Development: Contributions Toward Theory and Planning Framework. West Hartford, Connecticut: Kumarian Press. Kusumoharyono U. 2006. Eksistensi tanah kasultanan (Sultan ground) Yogyakarta setelah berlakunya UU No.5/1960. Yustisia Nomor 68 MeiAgustus 2006. Kurniawan I, Roshetko J, Anggakusuma D. 2008. Community Teak Wood Marketing in Gunungkidul District Yogyakarta: Current Practice, Problems and Opportunities. ACIAR Project Report. Bogor: Centre for International Forestry Research. Kurniawan R. 2010. Sistem pengelolaan kawasan karst Maros-Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan secara berkelanjutan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
190
Leach M, Mearns R, editor. 1996. The Lie of the Land:Challenging Received Wisdom on the African Environment. Oxford: James Currey. Lincoln Y, Guba EG. 1985. Naturalistic Inquiry. Newburry Park, California: Sage Publication. Luckett S, Grossenbacher K. 2003. A critical systems intervention to improve the implementation of a District Health System in KwaZulu-Natal. Syst Res Behav Sci 20:147-162 Lynch OJ, Talbott K. 1995. Balancing Acts: Community-Based Forest Management and National Law in Asia and the Pasific. Washington DC: World Resources Institute Lyndayati R. 2002. Ideas and Insitutions in social forestry policy. Di dalam: Coffer and Ida Ayu, editor. Which Way Forward? People, Forest, and Policymaking in Indonesia. Bogor: Centre for International Forestry Research. Malone T, Crowton K. 1993. The interdisciplinary study of coordination. ACM Computing Survey March 26 (1): 87-199. Malla YB. 2000. Impact of community forestry policy on rural livelihoods and food security in Nepal. Unasylva 51 (3):37–45. Marimin. 2005. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: Grasindo. Masyitah. 2009. Strategi pengelolaan hutan tanaman rakyat di Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi [tesis]. Bogor: Managemen dan Bisnis, Institut Pertanian Bogor. Mayer RR, Greenwood E. Jakarta: Rajawali
1980. Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial.
[MFP] Multistakeholder Forestr Programme. 2008. Cerita seputar Hkm. Edisi Khusus Buletin Komunikasi Program MFP II Agustus 2008. http://www.mfp.or.id/dev/wp-content/uploads/2009/03/imam-kadir-pejuanghkm2.pdf[24 Okt 2010] Moekayar. 1994. Koordinasi. Suatu Tinjauan Teoriis. Bandung: CV Mandar Maju. Moniaga S. 2000. Advocating for Community-Based Forest Management. Di dalam: Indonesia’s Outer Island; Political and Legal Constraints and Opportunities IGES International Workshop [terhubung berkala] http://enviroscope.iges.or.jpg/envirolib/upload/1508/attach/1ws-13sandra.pdf [22 Okt 2010] Muhammadi, Aminullah E, Soesilo B. 2001. Analisis Sistem Dinamis: Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Jakarta: UMPJ Pr.
191
Muljana S. 2008. Publisher
Tafsir Sejarah, Negara Kertagama.
Yogyakarta:
Mulyadi. 2001. Rancang bangun strategi agroindustri rotan [tesis]. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Mulyana Y. 2001. Mendayagunakan Kelompok Tani Hutan Mengusahakan Hutan Tanaman. Jakarta: Departemen Kehutanan.
LKIS
Bogor:
untuk
Muray-Rust H, Memon Y, Talpur M. 2001. Empowerment of farmer organizations case study of farmer managed irrigated agriculture project, Sind. Working Paper 19. Pakistan Country Series Number 6. Pakistan: International Water Management Institute. Mustopadidjaja et al. 2003. Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (SANKRI). Jakarta: Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia. Nawir AA, Murniati, Rumboko, editor. 2008. Rehabilitasi hutan di Indonesia: akan kemanakan arahnya setelah lebih dari tiga dasawarsa? Bogor: Centre for International Forestry Research. Noor M. 2010. Peningkatan produktivitas lahan gambut dan perluasan lapangan kerja. Makalah disampaikan pada Seminar Lokakarya Nasional Pemanfaatan lahan gambut Berkelanjutan untuk pengurangan kemiskinan dan Percepatan pembangunan Daerah, Bogor 28 Oktober 2010. Institut Pertanian Bogor. Noordwijk MV et.al. 2007. Is Hutan Tanaman a New Paradigm in Community Based Tree Planting in Indonesia. ICRAF Working Paper Number 45. ICRAF South East Asia. Bogor. Nor IA. 2008. Profil BUMDes. http://wwwsimpangmahar .blogspot.com/2009/ 02/profil bumdes.htm[3 Des 2010] Noronha R, Spears JS. 1988. Variabel-variabel Sosiologi dalam Rancangan Proyek Kehutanan: Mengutamakan Manusia Dalam Pembangunan. Teuku BB penerjemah. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Nugroho R. 2005. Public Policy. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Ngadiono. 2004. Tiga Puluh Lima Tahun Pengelolaan Hutan di Indonesia; Refleksi dan Prospek. Bogor: Yayasan Adi Sanggoro. Nugroho B. 2009. Review kebijakan dan strategi pengembangan HTR. Di dalam Workshop Strategi Percepatan Perluasan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) pada acara Pekan Raya Hutan & Masyarakat 2009 “Gerakan Rakyat Untuk Mengantisipasi Isu Global Pengelolaan Sumber Daya Hutan”. Graha Sabha Pramana Kampus UGM Yogyakarta, 14 Januari 2009. Nurjaya IN. 2005. Sejarah hukum pengelolaan hutan di Indonesia. Jurisprudence, Vol 2 No.1 Maret 2005: 35 – 55.
192
Nurjaya IN. 2005. Magersari: dinamika komunitas petani-pekerja hutan dalam perspektif antropologi hukum. Laporan kerjasama Program Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya-Arena Hukum. Malang: Universitas Negeri Malang. Padge A, Kim Y, Daugherty PJ. 2006. What makes community forest management successful: a meta-study from community forest throughout the World. Society and Natural Resources Volume 19, Issue 1 January 2006:3-52. Pelengkahu J, Kondradus D, Nugraha A. 2006. Kontroversi Dana Reboisasi dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri: Sebuah Tinjauan Hukum. Banten: Wana Aksara. Pertev R. The Role of Farmer and Farmer Organization. Tanpa tahun. Cashiers Option Mediterranean’s, vol 2 no.4. http://ressources.ciheam.org/om/pdf/ c02-4/94400041.pdf[24 Okt 2010] Peluso NL. 1992. Rich forest, Poor People: Resource Control and Resistance in Java. Berkeley: University of California Press Poffenberger M. 2006. People in the forest: community forestry experiences from Southeast Asia. Environment and Sustainable Development, Vol. 5, No. 1:57–69. Potter L, and Lee J. 1998. Tree planting in Indonesia: trend, impacts and directions. Occasional Paper No. 18. Bogor: Centre for International Forestry Research. Quade ES. 1982. Analysis for Public Decission. New York: Elsevier Science Publishing. Rahardjo D, Suryadi, Rosdiana E, editor. 2006. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Perjalanan Menuju Kepastian. Jakarta: Departemen Kehutanan dan The Ford Foundation. Raharjo D. 2007. Kemandirian pengelolaan keuangan desa; sebuah perspektif untuk pengembangan HTR. Makalah disampaikan pada Semiloka pembangunan HTR dalam perspektif pemerintah desa 21-22 Februari 2007. Jakarta. Repetto R. 1988. Overview. Di dalam Repetto R, Gillis M, editor. Public Policies and the Misuse of Forest Resource. New York: Cambridge University Press. Hlm. 1- 42. Richardson GP, Pugh A. 1983. Introduction to System Dynamics Modeling with Dynamo. Cambridge: MIT Press. Roe E. 1991. Development narratives or making the best of blueprint development. World Development. Vol. 19 No. 4.
193
Roe E. 1994. Narrative Policy Analysis: Theory and Practice. United State of America: Duke University Press. Roe E. 1995. Except-Africa: postscript to a special section on development narratives. World Development Vol 23 No.6. Roshetko et al. 2007. Agroforestry for livelihood enhancement and enterprise development. Di dalam : Proceeding of the International Workshop for Integrated Rural Development in East Nusa Tenggara. Kupang, 5-7 April 2006. Rusli Y. 2003. The policy of the Ministry of Forestry on social forestry. Paper presented on International Conference on Rural Livelihoods, Forest and Biodiversity, May 19-23, 2003. Bonn. Sachiho AW. 2008. Pembangunan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau: sebuah tafsiran seputar pemberdayaan petani kebun. Komaba Studies in Human Geography Vol 19 hal 1-16. Salim E. 1993. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Jakarta:LP3ES Santoso B. 12 Oktober 2010. Hutan tanaman jaminan masa depan. Media Indonesia:21(kolom opini, 1-6) Santosa UA. 25 Februari 2010. Dana BLU kehutanan belum terserap secara maksimal. Kontan Online. http://klasik.kontan.co.id/nasional/news/21012/ Okt 2010] Saragi T. 2004. Mewujudkan Otonomi Masyarakat Desa: Alternatif Pemberdayaan Desa. Jakarta: Yayasan IKAPI dan Ford Foundation. Sargent RG. 1998. Vaidation and verification of simulations models. Di dalam : Medeiros DJ, Watson EF, Carson JF, Manivannan MS editor. Proceedings of the 1998 Winter Simulation Conference; Washington, 13-16 Dec 1998. San Diego: IEEE, ACM, Soc Comp Sim Int. hlm 121-130. Sardjono MA. 2006. PHBM dan masa depan kehutanan masyarakat di Indonesia. Makalah disampaikan pada Pekan Raya Hutan dan Masyarakat 19-22 September 2006. Saxena JP, Sushil, Vrat P. 1992. Hierarchy and classification of program plant elements using Interpretive Structural Modeling: a case study of energy conservation in the Indian Cement Industry. Syst Practice 5 (6): 651-670. Schleicher-Tappeser R, Lukesch R, Strati F, Thiertein A, Sweeney G. 1997. Sustainable regional development; an integrative concept. Conference of Science for a Sustainable Society. Roskilde. Schirmer J. 2007. Plantation and social conflict; exploring the differences between small-scale and large-scale plantation forestry. Small scale forestry (6)1:19-33
194
[SHOREA] Perhimpunan Shorea. 2010. Kelompok kerja pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan. http://perhimpunanshorea.org/ kelompok-kerja.html [30 Okt 2010]. Simon H. 2006. Hutan Jati dan Kemakmuran, Problema dan Strategi Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Simon H. 2008. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat: Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sofyar F. 2004. Pengembangan kebijakan usaha kecil yang berbasis produksi bersih [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Spek M. 2006. Financing Pulp Mills; An Appraisal of Risk Assesment and Safeguard Procedures. Bogor: Centre for International Forestry Research.. Springate-Baginski O, Soussan, J. 2002. A Methodology for Policy Process Analysis. York: Stokholm Environment Institute Sumarsono S. 2007. Kebijakan pengembangan BUMDes sebagai bagian dari pemerintahan desa. Di dalam Sosialisasi dan Semiloka Pembangunan Hutan tanaman Rakyat dalam Perspektif Pemerintahan Desa, Jakarta 2122 Februari 2007. Jakarta: Kerjasama Ditjen BPK dan Centre of Capacity Building for Local Governance. Sutton R. 1999. The Policy Process: An Overview. London : Overseas Development Institute. Porland House Stag Place, Chameleon Press Ltd. Suryamidhardja S. 2006. Kebijakan dan kelembagaan CBFM di tingkat nasional dan pengalaman mengelola kerja-jerja multipihak. Makalah disampaikan pada Pekan Raya Hutan dan Masyarakat 2006; Fahutan UGM-JAVLEC, Yogyakarta, 19-22 September 2006. Twyman C. 2000. Participatory conservation? community based natural resource management in Botswana. The Geographical Journal 166 (4):323– 335. [UNCED] United Nations Commission on Environment and Development. 1992. Agenda 21. New York:United Nation.. Utomo HW. 2 Maret 2010. Penempatan dana BLU diperpanjang 3 tahun. Tropisnew http://www.tropisnews.com/detail.php?view=berita&id=60 [30 Okt 2010]. Walt G. 1994. How far does research influence policy. European Journal of Public Health Vol 4, Issue 4:233-235 [WAC]. World Agroforestry Centre. Pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) pembelajaran keberhasilan dan kegagalan program. Brief November 2009. Bogor: WAC. [WCED] World Commission on Environment and Development. Common Future. New York: Oxford University Press.
1987.
Our
195
Weimer DL, Vinning AR. 1999. Policy Analysis: Concepts and Practice. New Jersey: Prentice Hall. Wibisono B. 2008. Model kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral yang berkelanjutan: studi kasus pengelolaan lingkungan Mod-ADA di Kabupaten Mimika, Papua [disertasi]. Bogor: Sekolah pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wijayanto N. 2001. Faktor dominan dalam sistem pengelolaan hutan kemasyarakatan: studi kasus di repong damar, Pesisir Krui, Lampung [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Winter S. 1990. Integrating Implementation Research. Di dalam Palumbo, Calista, editor. Implementation and the Policy Process, Opening Up the Black Box. Westport, CT: Greenwood Press. hlm 19-38. Yadav NP, Dev OP, Springate-Baginski O, Soussan J. 2003. Forest management and utilization under community forestry. Journal of Forest and Livelihood 3 (1): 37–50. Yusran. 2005. Analisis performansi dan pengembangan hutan kemiri rakyat di kawasan pegunungan Bulusaraung Sulawesi Selatan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Zerner C. 1990. Legal option for the Indonesian forestry sector. Field Document No VI-4. Roma: Food Agricultural Organization of the United Nation.
LAMPIRAN
197 Lampiran 1 Proses mekanisme pencadangan areal HTR (Nugroho 2008)
198 Lampiran 2 Proses pengajuan Izin Usaha Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman Rakyat (Nugroho 2008)
Lampiran 3 Daftar pertanyaan untuk proses perumusan kebijakan HTR Daftar pertanyaan pada bagian ini disusun untuk menggali informasi mengenai latar belakang dirumuskannya kebijakan HTR, dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses perumusan. Faktor-faktor yang dimaksud meliputi : a. b. c. d. e. f. g.
sumber pengetahuan atau inovasi konteks sosial, politik, dan ekonomi kerangka hukum ; kebijakan yang sebelumnya ada kejadian penting yang berpengaruh pengaruh kelembagaan pengaruh donor atau lembaga eksternal lainnya
1. Bagaimana peran bapak/ibu dalam merumuskan kebijakan HTR? 2. Apa yang mendorong dirumuskannya kebijakan hutan tanaman rakyat? 3. Kondisi sosial ekonomi dan politik apa yang berpengaruh terhadap dirumuskannya kebijakan HTR? 4. Apakah ada kejadian penting yang berpengaruh terhadap dirumuskannya kebijakan HTR, misalnya tuntutan dari lembaga internasional/donor? 5. Apa tujuan yang ingin dicapai dari Hutan Tanaman Rakyat? 6. Untuk mencapai tujuan tersebut, apakah ada alternative kebijakan lain selain HTR? Jika ada, mengapa kebijakan alternative tersebut tidak dipilih? 7. Apakah kebijakan HTR dianggap sebagai sebuah inovasi baru dalam pengelolaan hutan di Indonesia? Ataukah HTR merupakan pengembangan dari kebijakan yang sebelumnya ada? Misalnya merupakan modifikasi dari program HKM atau HTI 8. Siapa yang pertama kali mencetuskan gagasan kebijakan Hutan Tanaman Rakyat? 9. Apakah ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan ditetapkannya kebijakan HTR? 10. Siapakah pihak-pihak yang paling mendukung ditetapkannya kebijakan HTR? 11. Bagaimana sikap dan peran para akademisi/peneliti terhadap proses perumusan kebijakan HTR? 12. Bagaimana sikap dan peran para Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap kebijakan HTR? 13. Bagaimana sikap dan peran lembaga donor asing terhadap kebijakan HTR?
200 14. Bagaimana sikap dan peran para pengusaha industri kayu terhadap kebijakan HTR? 15. Dalam kerangka kebijakan social forestry, apakah HTR merupakan pilihan terbaik untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat agar berperan serta dalam kegiatan pengelolaan hutan produksi? 16. Bagaimana jika masyarakat menolak kebijakan tersebut, karena alasan hak kepemilikan atas hutan memperkokoh status negara sebagai pemiliknya? Apakah akan ada kebijakan lain untuk mengatasinya? 17. Apa yang menjadi landasan ditetapkannya jangka waktu ijin selama 65 tahun dan dapat diperpanjang lagi selama 35 tahun 18. Mengapa ada aturan bahwa hak kepemilikan tidak dapat diwariskan. Bagaimana rasionalisasinya dengan jangka waktu ijin yang 65 tahun? 19. Apa yang menjadi landasan ditetapkannya luasan lahan 15 ha per kepala keluarga 20. Mengapa proses perijinan menjadi wewenang penuh bupati/walikota? 21. Bagimana pandangan bapak/ibu secara umum mengenai hubungan hutan dan masyarkat? 22. Setujukan bapak/ibu terhadap konsep ”penguasaan hutan oleh negara”? 23. Apakah menurut pandangan bapak/ibu, masyarakat sekitar hutan memiliki kapasitas yang cukup untuk mengelola hutan? 24. Apakah proses perijinan merupakan hal yang mutlak untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan hutan yang baik? 25. Bagaimana pandangan bapak/ibu terhadap program HKM yang telah berjalan sejak tahun 1995 26. Bapaimana pandangan bapak/ibu terhadap kebijakan pembangunan HTI? (HTI telah dibangun sejak 1990, namun hingga tahun 2004 luas hutan tanaman yang berhasil dibangun baru 3,12 ha atau 58% dari ijin areal yang telah dikeluarkan sebesar 5,4 juta). Apa permasalahan yang terjadi dalam pembangunan HTI dan bagaimana HTR bisa belajar dari pengalaman tersebut?
201 Lampiran 4 Perjalanan sejarah kebijakan pengelolaan hutan produksi Tahun
Uraian
1865
Reglemen Hutan 1865 (Boswet 1865), menetapkan pembentukan ”de Dienst v/h Boswezen (Jawatan Kehutanan)
1874
Reglemen Pemangkuan dn Eksploitasi Hutan Jawa dan Madura
1876
Penebangan kayu sistem Panglong di Riau oleh penebang Tionghoa yang sangat berpengalaman. Sementara peraturannya baru ditetapkan pada tahun 1923
1904
Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan ” Hout Aankap Concesies” atau peraturan penebangan konsesi kayu. Atas dasar peraturan tersebut, beberapa Kesultanan dan Kerajaan mengeluarkan ijin konsesi hutan diantaranya di Kalimantan Timur. Sehingga pada tahun 1914 di Kalimantan Timur tercatat ada beberapa perusahaan yang melakukan usaha perkayuan sebagai pemegang konsesi hutan, diantaranya : 1) Nederlands Indische Exploitastie Mij Nunukan, dengan luas konsesi 100.000 ha di Bulungan 2) J. Macdonald Cameron, dengan konsesi seluas 200.000 ha di Bulungan 3) NV.Java and Borneo Olie en Rubber Syndicaat seluas 4.900 ha di kawasan Sambaliung, Gunung Tabor 4) NV.Seliman Hout en Landbouw Mij, seluas 22.000 ha di Sembaliung/Gunung Tabor, sebuah perusahaan Amerika yang juga telah membangun sawmill dengan kapasitas 150 m3 per hari 5) VA.Cools, seluas 6.300 ha juga di Sambaliung dan Gunung Tambor. Handels Vereeneging Java Borneo (JABOR) yang melaksanakan penebangan di Teluk Seliman mulai tahun 1918. Dengan pengalaman yang cukup dan investasi yang besar, maka JABOR diharapkan akan dapat bekerja lebih baik, tetapi perusahaan ini menghentikan kegiatannya pada tahun 1926.
1915
Pemerintah membentuk ”Panitia Pembangunan Industri perkayuan di Indonesia” yang bertujuan mempelajari kemungkinan pembangunan industri pengolah kayu
1934
Peraturan Penebangan Hutan di kalimantan Barat mengatur hak pemerintah dalam memberikan ijin, mengatur retribusi hasil hutan dan lain-lain
202 Lanjutan Lampiran 4 Tahun
Uraian
1937
Pemerintah Hindia Belanda mengijinkan 9 perusahaan swasta dan asing untuk melaksanakan eksploitasi hutan di Sumut, Lampung, Kaltim, dan Sulteng
1938
Peraturan Pemerintah Daerah (Zelf Bestuur) untuk melaksanakan pengurusan hutan di kawasan swaprajanya masing-masing
1939
Hak swapraja mulai dibatasi daam hal pemberian Hak konsesi hutan, karena harus mendapat persetujuan Pemerintah Hindia Belanda
1942-1949
Pengelolaan hutan swapraja tidak berjalan
1950
Kewajiban pengurusan hutan di bekas kawasan swapraja menjadi tanggung jawab Jawatan Kehutanan
1952
FAO mengirimkan ahli industri kerjas untuk mempelajari peluang pembangunan industri kertas di Indonesia. Jawatan Kehutanan membentuk Pantia Kertas, setahun kemudian dibentuk Panitia Persiapan Hutan Industri (PPHI)
1955
Dilaporkan jumlah penggergajian mesin di Indonesia sudah mencapai 284 unit dengan kapasitas 491.000me kayu bulat. Industri kehutanan yang sudah berjalan (tahun 1956), diantaranya: 1. Pabrik fibre board di Banyuwangi kapasitas 1.500 ton per tahun 2. pabrik pensil di Jakarta, kapasitas 39.000 gross per tahun 3. 6 pabrik korek api, dapat menghasilkan 187 juta kotak per tahun 4. 9 unit pengawetan kayu untuk bantalan kereta api 5. 20 pabrik peti, kapasitas 50.000 m3 per tahun
1957
Diterbitkan PP No 64/1957, Pemda berwenang mengeluarkan ijin kap-persil yaitu semacam ijin HPH terbatas maksima 10.000 ha. Di beberapa provinsi ijin kap persil tidak dapat dilaksanakan
1960
Tap MPR No II/1960 tentang GBHN dimana Sektor kehutanan ditargetkan menyumbang devisa negara sebanyak US$52,2 juta
1967
Diterbitkan UU Pokok Kehutanan No 5. Undang-undang Penanaman Modal Asing No 1 dan PP No 22 tentang Iuran HPH dan Iuran Hasil Hutan
1970
HPH mulai beroperasi sebanyak 45 unit
203 Lanjutan Lampiran 4 Tahun 1978 1980 1986
1990
Uraian Pembangunan Hutan tanaman Industri (HTI) direncanakan dengan skema HPHTI, digagas oleh Dr.Soedjarwo (Dirjen Kehutanan) Pembangunan HTI dimulai, jumlah HPH menjadi 454 unit Penyempurnaan ijin HPHTI dengan SK Menhut No417/II/1986 tentang pembangunan HTI. Lokasi HTI adalah tanah kosong atau tidak produktif. Perusahaan yang akan membangun HTI dapat berpatungan dengan BUMN Kehutanan Perusahaan yang akan membangun HTI, bisa meminta dana reboisasi kembali. Ketentuan tentang Dana Jaminan Reboisasi diganti menjadi Dana Reboisasi
1994
Pola HTI Trans mulai diberlakukan
1999
Era Menteri Muslimin Nasution-Presiden BJ Habiebie: mengeluarkan PP No.6/1999, bahwa semua ijin HPH yang berakhir pada tahun 1999/2000 tidak diperpanjang, kecuali jika memberikan 20% saham kepada koperasi setempat. Luas tiap HPH dibatasi 100.000 ha, dan setiap perusahaan hanya boleh memiliki maksimum 400.000 ha di seluruh Indonesia. Setiap tahun saham koperasi harus ditingkatkan sebanyak 1%. Jadi jika hak konsesi berlangsung 35 tahun, maka koperasi akhirnya akan memiliki 55% saham perusahaan tersebut.
1999
Era Menteri Nur Mahmudi Ismail – presiden Abdurrahman Wahid, mengeluarkan KepMenHutbun 310/1999; Bupati berwenang mengluarkan HPH 100 ha. Dasar pemikirannya adalah untuk meningkatkan pendapatan daerah dengan memberi masyarakat kesempatan mengeksploitasi hutan. Desa dapat membentuk koperasi atau perusahaan kemudian melakukan penebangan di areal hutan konversi selama 1 tahun
2000
KepMenhut No.05.1/Kpps/II/2000 tentang pemberian wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengelola IPK (Izin Pemanfaatan Kayu) 100 ha dan HPH skala kecil 10.000 ha
2002
Era Menhut M.Prakosa – Presiden Megawati, mengeluarkan Kepmenhut No 541/Kpps/II/2002 untuk menghentikan kegiatan pembukaan hutan oleh daerah dan mencabut Kepmenhut No. 05.1/Kpps/II/2000 tentang pemberian wewenang kepada daerah dalam mengelola IPK 100 ha dan HPH skala kecil 10.000 ha
2005
Menteri Kehutanan MS.Kaban Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jumlah perusahaan HPH 272, HTI 117 total perusahaan 389. Mulai digulirkan ide-ide pembangunan HTR, yaitu sistem konsesi hutan produksi yang akan diberikan kepada masyarakat sekitar hutan dalam skala kecil
2007
Perubahan PP 34/2002 menjadi PP 6/2007 menjadi landasan hukum bagi dilaksanakannya kegiatan HTR sebagai salah satu program pembangunan Hutan Tanaman di Kawasan Hutan Produksi yang terdegradasi (Looged over area=LOA)
Sumber : Data dikumpulkan dari berbagai sumber terutama Sumarjani (tanpa tahun), Isakndar et al. (2003), Simon (1993), Cordes (1992), Nurjaya (2005).
204 Lampiran 5 Catatan lapangan hasil wawancara -
Catatan hasil wawancara ini disusun berdasarkan rekaman hasil wawancara yang kemudian oleh peneliti ditranskripsi, untuk kemudian dianalisis dengan cara cara mengambil point-point penting hasil pemaparan.
-
Deskripsi disusun berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber yang merupakan salah satu aktor kunci dalam perumusan kebijakan HTR.
-
Kegiatan wawancara dilakukan dengan menggunakan panduan daftar pertanyaan untuk menggali informasi penting tentang proses perumusan kebijakan.
DESKRIPSI HASIL WAWANCARA Filosofi hutan alam dan hutan tanaman - Dasar hukum HTR adalah PP 6 2007. Dalam PP tersebut mulai ada pembedaan yang jelas antara hutan alam dengan hutan tanaman. Sehingga segala peraturan mengenai hutan tanaman dibedakan secara tegas dengan hutan alam. Selama ini aturan pengelolaan hutan alam dan hutan tanaman selalu disamakan (perlu klarifikasi). - Hutan alam dan hutan tanaman dibedakan berdasarkan filosofi bahwa hutan alam adalah sumber daya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia tidak memiliki kemampuan untuk membangun hutan yang kondisinya mirip dengan ekosistem hutan alam. Manusia hanya bisa membangun hutan tanaman yang kondisi ekosistem berbeda dengan hutan alam. Ide membangun Hutan Tanaman Rakyat - Kondisi hutan alam di Indonesia yang sudah terdegradasi menunjukkan bahwa di hutan banyak kawasan kosong berupa padang alang-alang atau semak belukar. Tetapi lahan kosong tersebut tidak dalam satuan hamparan yang luas, melainkan spot-spot kecil. Lanjutan Lampiran 5 - Perlu ada upaya rehabilitasi terhadap areal-areal kosong tersebut. Maka terpikirlah untuk melibatkan masyarakat dalam pembangunan hutan tanaman di spot-spot lahan kosong. Rakyat diberi hak seperti perusahaan HTI untuk menanam hutan, dalam skala luasan yang lebih kecil daripada HTI. Pada awalnya gagasan Pak Deni adalah membangun HTI skala mikro. - Jika rakyat yang melakukan kegiatan penanaman, maka lahan yang bisa ditanam tidak akan terlalu luas. Dan tidak diperlukan dokumen Amdal, karena luasan yang kecil tidak merubah bentang alam. - Istilah HTI skala mikro, oleh Pak Menteri ingin disebut dengan ”Hutan Rakyat”. Namun karena istilah Hutan Rakyat sudah identik dengan hutan milik (UU 41 tentang Kehutanan), Maka dicarilah nomenklatur untuk kebijakan ini dengan nama HUTAN TANAMAN RAKYAT. - Pembangunan hutan tanaman berdasarkan aspek kelestarian (ekonomi, ekologi, sosial) bisa menjamin tercapainya pengelolaan hutan lestari. Secara
205 ekonomi tergolong produktif karena menghasilkan kayu; secara ekologikegiatan menanam jelas akan menjamin adanya perbaikan ekologis, secara sosial juga diyakini memberi dampak positif karena melibatkan masyarakat) Konsep aturan awal mengenai HTR - Pada awalnya di pengaturan HTR tidak ditetapkan luas maksimal 15 ha. Melainkan berapapun yang rakyat mampu. Tetapi kemudian muncul rekomendasi dari kalangan akademisi, mengenai perhitungan ekonomi skala rumah tangga dalam pengelolaan hutan, sehingga ditemukan angka 15 ha sebagai luas maksimal yang mampu dikelola oleh satu rumah tangga. - Jenis tanaman yang ditetapkan untuk HTR pada awalnya tidak termasuk karet. Hal ini terjadi karena ada kepentingan sektoral. Karet dianggap identik dengan tanaman perkebunan. Pertimbangan lainnya adalah untuk menanam perkebunan karet (sekalipun perkebunan karet rakyat), biaya yang diperlukan sangat besar yaitu sekitar Rp 40 juta per hektar. - Namun kenyataan di lapangan, masyarakat justru lebih berminat jika tanaman yang boleh ditanam adaah karet. Oleh karena itu ada perubahan aturan sehingga karet diperbolehkan untuk ditanam. Dengan syarat karet yang ditanam harus yang bergetah banyak dan kayunya besar (arahan Menteri Kehutanan). Permasalahan lain yang kemudian muncul, adalah ketersediaan bibit karet yang berkualitas bagus tersebut membutuhkan biaya tinggi untuk pembelian bibitnya. Dan ini akan berpengaruh terhadap standar biaya penanaman yang telah ditetapkan oleh Dephut. Akhirnya diputuskan bahwa yang dibangun adalah karet dalam kondisi seperti hutan karet dan bukan kondisi perkebunan karet. FENOMENA YANG TERIDENTIFIKASI - Filosofi hutan alam dan hutan tanaman - Ide awal pembangunan hutan tanaman - Konsep aturan awal mengenai HTR dan perkembangan selanjutnya mengenai HTR KOMENTAR PENELITI - Dari hasil wawancara diperoleh infomasi mengenai ide awal munculnya gagasan pembangunan HTR - Belum ada penjelasan mengenai proses perumusan peraturan, dan para pihak yang terlibat dalam proses tersebut, dan respon para pengambil keputusan lainnya pada waktu ide ini digagas TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN - Pencermatan terhadap PP 6 - Menggali informasi lebih dalam mengenai proses kristalisasi ide-ide pembangunan HTR menjadi peraturan-peraturan HTR dan para pihak yang terlibat dalam perumusan aturan tersebut. - Mencari buku ”HTI di Persimpangan Jalan” dan Bahan presentasi mengenai skala ekonomis HTR SUMBER Rekaman suara
206 Lampiran 6 Hasil ISM untuk elemen lembaga yang terlibat a.
SSIM final yang telah memenuhi aturan transitivitas
b.
Hasil Reachability Matrix final dan interpretasinya
207 Lampiran 7 Hasil ISM untuk elemen kebutuhan terhadap HTR a.
SSIM final yang telah memenuhi aturan transitivitas
b.
Hasil Reachability Matrix final dan interpretasinya
208 Lampiran 8 Hasil ISM untuk elemen tujuan a.
SSIM final yang telah memenuhi aturan transitivitas
b.
Hasil Reachability Matrix final dan interpretasinya
Drv Dep R L
: : : :
Driver Power Dependence Ranking Level
209 Lampiran 9 Hasil ISM untuk elemen kendala utama a.
SSIM final yang telah memenuhi aturan transitivitas
b.
Hasil Reachability Matrix final dan interpretasinya
210 Lampiran 10 Hasil ISM untuk kegiatan yang diperlukan a.
SSIM final yang telah memenuhi aturan transitivitas
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 b.
1
2 V
3 V V
4 V 0 0
5 V A A 0
6 X A A A A
Hasil Reachability Matrix final dan interpretasinya
Drv Dep R L
: : : :
Driver Power Dependence Ranking Level
7 V V V V V V
8 V V V X V V A
9 V V V V V V A A
211 Lampiran 11 Peran dan keterlibatan stakeholder dalam sistem pengelolaan HTR Stakeholder Pemerintah Pusat
Pemerintah Daerah Provinsi
Pemerintah Daerah Kabupaten
Aspek Manajemen
Peran dan Keterlibatan Menetapkan norma, pedoman, prosedur dan kriteria, serta pelaksanaan 1) penataan kawasan, 2) penyusunan dan pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang, menengah dan pendek, 3) pemberdayaan masyarakat, 4)penyediaan fasilitas pendanaan, dan 5) pemeliharaan jaminan harga dan pasar kayu rakyat
Organisasi/ Lembaga
Rekruitmen SDM pendamping yang akan ditempatkan di lokasi HTR guna memberdayakan masyarkat petani HTR
Pendanaan
Mempercepat mekanisme penyaluran kredit modal HTR
Manajemen
Memberikan pertimbangan teknis pengesahan rencana alokasi lahan HTR; Pemantauan, evaluasi dan fasilitasi pemberdayaan masyarakat petani HTR; memfasilitasi kegiatan kemitraan antara petani HTR dengan industri/HTI
Lembaga/ Organisasi
Mendukung pembentukan Kelompok Kerja Pengelolaan HTR di tingkat
Pendanaan
Mendukung pendanaan kepada Kelompok Kerja. Sumber pendanaan Pemerintah Daerah berasal dari APBD dan APBN
Manajemen
Menerbitkaan izin usaha HTR; Memberikan pertimbangan teknis alokasi calon lahan HTR; Bimbingan masyarakat, pengembangan kelembagaan dan usaha serta kemitraan masyarakat di sekitar kawasan hutan
Kelembagaan
Mengusahakan pembentukan Kelompok Kerja HTR; Memfasilitasi pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) melalui Peraturan Daerah Mendukung pendanaan kepada Pokja HTR; memberikan pendanaan kepada Dinas Terkait dan memberikan jaminan berupa pemisahan kekayaan negara kepada Badan Usaha Milik Desa.
Pendanaan
Dinas Terkait
Manajemen Lembaga/ Organisasi Pendanaan
Melaksanakan kebijakan Pemerintah Daerah dalam bidang pemberdayaan masyarakat, pembinaan koperasi, usaha kecil, memberikan. Menjadi anggota kelompok Kerja; Melaksanakan kebijakan Pemerintah Daerah dalam koordinasi dan fasilitasi penguatan BUMDes; penyelenggaraan penguatan dan evaluasi penguatan BUMDes Memperoleh APBD dari pemerintah daerah dan dialokasikan untuk mendukung operasionalisasi Pokja dan pembentukan Badan Usaha Milik Desa
212 Lanjutan Lampiran 11 Stakeholder Aspek Badan Layanan Manajemen Umum Organisasi Pendanaan Kelompok Kerja HTR
Peran dan Keterlibatan Melaksanakan penyaluran kredit modal bagi petani HTR, HTI, Hr, dan industri kayu skala rakyat Melakukan kerjasama pengelolaan dengan berbagai pihak terkait Mendapatkan alokasi dana untuk pembiayaan pembangunan hutan dan menyalurkan kepada petani HTR
Manajemen
Menetapkan peraturan dasar Kelompok Kerja yang mencakup nama, kedudukan dan sifat; azas, maksud, tujuan dan ruang lingkup; tugas dan fungsi; kepengurusan, keanggotaan, hak dan kewajiban pengurus/anggota; mekanisme koordinasi dan tata cara pengambilan keputusan; pembiayaan.
Lembaga/ Organisasi
Koordinasi dengan stakeholder untuk mendapatkan konsensus prioritas pengembangan HTR dan memberikan umpan balik kepada dinas terkait. Dukungan pendanaan dari Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten
Pendanaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)
Manajemen
Mendorong perkembangan kegiatan perekonomian masyarakat desa; meningkatkan peluang usaha produktif; mendukung perkembangan usaha mikro untuk penyerapan tenaga kerja masyarakat desa; Mengembangkan sistem pengawasan dan administrasi pembukuan, kekayaan Badan terpisah dengan kekayaan desa dan menetapkan struktur manajemen yang fungsional walaupun sederhana; menetapkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga
BUMDes
Lembaga/ Organisasi
Merupakan lembaga perekonomian masyarakat desa dan instrumen peningkatan pendapatan desa dan masyarakat; Pemerintah desa bertindak sebagai penasehat dan masyarakat sebagai pelaku operasional serta keanggotaan pengurus ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa, sedangkan kebijakan pengembangan usaha ditetapkan melalui Rapat Umum dalam musyawarah desa yang dilaksanakan oleh pengurus. Menetapkan peraturan dasar BUMDes yang mencakup nama, kedudukan dan sifat; azas, maksud, tujuan dan ruang lingkup; tugas dan fungsi; kepengurusan, keanggotaan, hak dan kewajiban pengurus/anggota; mekanisme koordinasi dan tata cara pengambilan keputusan; tata cara pengelolaan keuangan dan keuntungan.
Pendanaan
Modal dasar dari kekayaan desa atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang dipisahkan, tabungan masyarakat sebagai penyertaan modal, bantuan modal dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah, serta kredit dari Lembaga Keuangan yang dilakukan oleh Pemerintah Desa
213 Lanjutan Lampiran 11 Stakeholder Aspek Usaha Mikro, Kecil &Koperasi
Peran dan Keterlibatan Berpartisipasi dalam usaha pembangunan HTR
Badan Usaha Menengah dan Besar
Bekerjasama dengan usaha mikro, kecil dan koperasi untuk membangun HTR, berupa bantuan permodalan, CSR, kemitraan, dan jaminan pasar kayu bagi industri kehutanan.
Lembaga Keuangan
Memberikan dukungan pendanaan melalui kredit kepada BUMDes dan usaha mikro, kecil dan koperasi
Perguruan Tinggi
Melaksanakan kerjasama penelitian jangka panjang dan berkontribusi dukungan dana penelitian, serta berpartisipasi sebagai tim ahli dalam Pokja
Lembaga Swadaya Masyarakat
Mendorong masyarakat petani HTR untuk melaksanakan pembangunan HTR, pendampingan dan pemberdayaan masyarakat petani HTR; dan menjadi anggota Pokja HTR
Masyarakat
Menjadi petani pemegang izin usaha HTR; melakukan kegiatan usaha HTR; berinisiatif membentuk BUMDes sebagai upaya untuk peningkatan kesejahteraan;