V. PROFIL AGRO-EKOLOGI DAN SOSIO-BUDAYA KOMUNITAS PETANI TEMBAKAU
5.1.Lahan sebagai modal penghidupan utama Sarana utama petani dalam beraktifitas usaha tani adalah lahan pertanian. Berdasarkan lahan inilah yang kemudian dijadikan dasar penggolongan petani. Penggolongan tersebut dibedakan menurut dua kriteria yaitu pemilikan dan penguasaan tanah. Pemilikan tanah maknanya sudah jelas yaitu pembedaan petani didasarkan kepada luas dan sempitnya pemilikan lahan, sedangkan penguasaan tanah menggolongkan petani berdasarkan kekuasaan dalam penggarapan lahan pertanian. Petani boleh jadi tidak memiliki lahan pertanian tetapi bisa menguasai dengan kelembagaan tertentu, misalnya: bagi hasil. Desa Campursari, luas kepemilikan lahan semakin menyempit. Sebanyak 86,80 % lahan pertanian di desa ini berupa lahan sawah. Jumlah rumahtangga petani yang menggantungkan diri pada pekerjaan pertanian adalah sekitar 63 % (Kecamatan Bulu dalam Angka, 2008). Sementara menurut data hasil sensus pertanian (2003) sebanyak 0,56 % rumahtangga petani yang memiliki lahan lebih dari 1 hektar sementara sekitar 90 % rumah tangga petani memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar. Bahkan 70 % diantaranya hanya memiliki lahan kurang dari 0,1 hektar. Banyak hasil penelitian terdahulu yang menemukan hal yang sama walaupun pada lokasi yang berbeda bahwa kecenderungan luas kepemilikan lahan pada lahan padi-sawah semakin menurun (White, 1973; Sajogyo, 1990; Hardjono, 1990; Marzali, 2003). Salah satu penyebabnya adalah semakin banyaknya jumlah penduduk, sedangkan pada sisi yang lain luas lahan pertanian tidak mengalami peningkatan bahkan cenderung menurun. Hampir 70 % rumahtangga petani di desa Campursari hanya memiliki lahan kurang dari 0,1 hektar. Bahkan dalam penelitian dilapangan banyak diantara mereka adalah tunakisma atau tidak memiliki lahan pertanian.
54
Pada satu sisi ada kelompok petani yang memiliki lahan luas, sementara disisi lainnya banyak rumahtangga petani tidak memiliki lahan untuk melangsungkan kehidupannya. Beberapa kelompok pemilik lahan luas di desa ini biasanya adalah pejabat desa atau mantan pejabat desa. Hal ini menjadi hal umum bahwa secara cultural orang yang diangkat menjadi pamong desa adalah yang dianggap terpandang. Indikator orang terpandang salah satunya adalah seberapa luas dia memiliki akses terhadap lahan. Wsn (36 tahun), memiliki lahan pertanian seluas 5 hektar. Lahan tersebut merupakan warisan orang tuanya yang merupakan tuan tanah di desa Wonosari. Pada saat ini menjabat sebagai kepala desa dengan bengkok seluas 2 hektar. H. Rytn (56 tahun) adalah mantan carik (sekretaris desa) pada tahun 19751980) dan kepala desa tahun 1980-1998 dengan kepemilikan lahan seluas 1,25 Ha.
Lahan pertanian sebagai sumber alami penting petani tentu akan berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup mereka. Perbedaan kepemilikan dan penguasaan lahan akan menimbulkan perbedaan terhadap strategi dalam mengelola sumber nafkah. Pada gilirannya akan menimbulkan perbedaan terhadap kualitas hidup. Desa Wonotirto, 95 % rumahtangga menggantungkan kehidupan kepada lahan pertanian. Menurut data sensus pertanian (2003), sekitar 95 % rumahtangga di desa Wonotirto sangat tergantung kepada lahan pertanian. Mayoritas rumahtangga tersebut adalah petani tembakau. Menurut BPS (2005), rumahtangga petani usaha tanaman perkebunan adalah kegiatan yang menghasilkan produk tanaman perkebunan dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual/ditukar atau memperoleh pendapatan/keuntungan atas resiko usaha. Suatu rumah tangga dikategorikan sebagai rumah tangga pertanian perkebunan apabila banyak pohon/rumpun/luas yang diusahakan rumah tangga tersebut lebih besar atau sama
55
dengan batas minimal usaha (BMU) masing-masing jenis tanaman tersebut. BMU untuk tanaman tembakau adalah 1600 m2. Sebanyak 31,23 % rumahtangga petani di desa Wonotirto memiliki lahan lebih dari 1 hektar. Sedangkan rumahtangga petani dengan luas kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar sekitar 28 %. Sedangkan 40 % lainnya memiliki lahan antara 0,5 ha s.d. 1 ha (Sensus pertanian, 2003). Jika mendasarkan diri pada luas kepemilikan lahan, masih banyak ditemukan rumahtangga petani lahan luas. Namun demikian, pada umumnya lahan mereka tidak mengumpul dalam satu blok tetapi terpisah-pisah dan pada lereng-lereng yang curam. Sehingga hal ini menyebabkan tingginya biaya input pertanian, terutama untuk biaya pengangkutan pupuk kandang. Namun demikian, luas kepemilikan lahan tersebut cenderung menurun dari tahun ke tahun. Tk (58 tahun) Mulai bertanam tembakau pada tahun 1970’an dan mulai bertani sendiri tahun 1980’an. Luas lahan yang dimiliki pada waktu itu seluas 2 Ha, merupakan warisan orang tua. Sekarang sudah dibagi kepada 4 orang anaknya masing-masing 0,5 ha. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, dia menyewa lahan seluas 1 ha.
Mendasarkan diri pada pengalaman tersebut, maka kecenderungan kepemilikan lahan pertanian setiap rumahtangga akan semakin kecil. Hal ini juga ditambah dengan tingkat migrasi yang rendah. 5.2.Kondisi Agro-ekologi 5.2.1. Desa Campursari: pengairan cukup, terbukanya pilihan komoditas Kondisi lahan pertanian sawah memberikan banyak pilihan kepada petani baik komoditas maupun banyaknya musim panen. Pancaran sinar matahari yang cukup memberikan peluang kepada petani untuk memetik hasil pertanian sebanyak tiga kali setiap tahunnya. Pergiliran tanaman yang biasanya diterapkan oleh petani adalah padi-padi-padi atau padi-tembakau-padi. Keputusan menanam padi atau tembakau tergantung kepada pengalaman selama ini. Pergiliran tanam padi-padi-padi memicu munculnya hama tikus, sehingga mereka sering kali mengalami gagal panen. Alternatifnya adalah diganti
56
dengan tanaman jagung atau tembakau. Tanaman tembakau dipilih karena komoditas ini bersifat turun temurun, sehingga dari aspek cultural ada anggapan bahwa “ojo ngaku wong temanggung menowo ora nandur mbako” (jangan mengaku orang temanggung kalau tidak menanam tembakau). Kualitas tembakau yang dihasilkan di areal persawahan termasuk mutu sedang sehingga harganyapun tidak setinggi di daerah pegunungan. Namun demikian, berbagai harapan akan tingginya harga tembakau membuat mereka tetap membudidayakannya. Selain tanaman pokok, biasanya petani juga menanam berbagai jenis tanaman yang di tanam dipinggiran sawah pada saat menanam padi dan sebagai tumpangsari pada saat menanam tembakau. Beberapa tanaman selingan yang biasa ditanam antara lain: kapri, kedelai, kacang merah, kacang panjang, brokoli, kacang tanah, sawi, tomat, cabai, kacang panjang, dan sayuran lainnya. Sementara ada beberapa petani yang tidak menanam tanaman selingan terutama pada saat musim tanam tembakau karena diyakini akan menurunkan kualitas tembakau. Hasil tanaman tumpangsari tersebut pada umumnya tidak dijual tetapi dipergunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Selain bertani, sebagian petani memiliki ternak. Jenis ternak yang dipelihara adalah kerbau. Petani memanfaatkan batang padi (jawa: dami) sebagai makanan ternak tersebut. Sedangkan apabila persediaan dami/damen berkurang, petani mencari rumput disekitar desa.
5.2.2. Desa Wonotirto: pada saat musim kemarau, hanya tembakau yang bisa hidup Lahan tegal di Kabupaten Temanggung tersebar di seluruh lereng gunung Sindoro-Sumbing. Sebanyak 50 % lahan di Kecamatan Bulu berupa tegal. Wonotirto adalah salah satu desa paling ujung di lereng Gunung Sindoro. Pada Musim Tanam (MT) April-September hampir 100 % mengusahakan tanaman tembakau. Dalam satu tahun, petani mengusahakan dua musim tanam. Hal ini sebabkan karena kondisi pengairan yang bersifat tadah hujan dan intensitas sinar matahari yang relative lebih sedikit sehingga masa tanam hingga panen lebih lama dibandingkan lahan sawah yang mendapat intensitas sinar matahari yang lebih 57
panjang. Pola tanam pada lahan tegal adalah jagung-jagung-tembakau dengan pengolahan tanah secara intensif 3 kali setahun. Tanaman jagung dipergunakan untuk makanan pokok. Namun lama kelamaan, jagung dijual kemudian ditukar dengan beras. Pada sela-sela tanaman jagung mereka juga mengusahakan tanaman seperti: kacang merah, bawang merah, terkadang kedelai, dan tanaman sayuran. Hasil dari tanaman tumpangsari tersebut dipergunakan untuk kebutuhan makan sehari-hari. Seringkali mereka saling bertukar bahan makanan dengan tetangga sekitar. Sebagian besar rumahtangga petani dalam memasak menggunakan bahan bakar kayu yang diambil dari pohon jagung dan tembakau. Sehingga untuk kebutuhan pangan, rumahtangga petani lebih banyak menggunakan sumberdaya alami yang diambil dari ladang, kecuali beras yang dibeli dari hasil penjualan tanaman jagung. Dalam perkembangannya, petani mulai meninggalkan tanaman jagung untuk kemudian beralih kepada tanaman cabai. Pengaruh desa di sekitarnya melalui interaksi mengenai menanam cabai lebih memberikan keuntungan dibandingkan tanaman jagung merubah pola tanam petani. Tahun 2004-2005 secara perlahan petani mulai menggeser tanaman jagungnya dengan cabai dengan tetap menggunakan tanaman sela seperti: kacang merah, kubis, dan lainnya. Petani mengusahakan tanaman di lereng-lereng gunung dengan sistem terasiring. Lahan yang curam dan jauh dengan akses jalan raya membuat semakin tingginya biaya angkut pupuk kandang disamping harga pupuknya juga sudah tinggi. Beberapa petani memasang tali yang menghubungkan antara bukit yang satu dengan yang lainnya, untuk kemudian pupuk dalam karung dipasang pada tali tersebut dan didorong sehingga bisa meluncur lebih mendekat dengan lahan masing-masing. Pada setiap lahan terlihat bangunan sederhana yang mereka sebut sebagai gubug. Bangunan tersebut berukuran kira-kira 2x3 m dengan dinding terbuat dari anyaman bambu dan dilapisi dengan mulsa yang tidak terpakai. Gubug berfungsi sebagai tempat untuk berlindung ketika hujan turun, untuk menikmati makanan
58
kiriman13, dan adakalanya untuk melakukan kegiatan jaga malam ketiga musim cabai tiba mengingat ada beberapa orang yang melakukan tindakan pencurian terhadap hasil panen. Tanaman tembakau diusahakan pada bulan April-September. Sebelumnya mereka menyemai benih tembakau pada lahan masing-masing. Bagi rumahtangga petani dengan lahan sempit biasanya mereka mengakses lahan milik tetangga yang tidak terpakai untuk tempat pembibitan. Beberapa petani secara kolektif menggunakan lahan tersebut tanpa dipungut biaya. Apabila harga tembakau bagus, mereka memberi pemilik lahan tanpa adanya jumlah nominal baku. Benih tembakau diperoleh dari tanaman tembakau milik sendiri yang telah dipersiapkan sebelumnya. Setelah bunga dirasakan cukup tua, petani segera memetiknya (Jawa: munggel) untuk kemudian dijemur. Setelah kering, disimpan untuk kemudian dibibitkan pada lahan yang telah disiapkan. Tempat pembibitan dibuat dari alas anyaman bamboo dengan posisi diatas tanah, disangga dengan empat tiang yang juga berasal dari bambu. Di atas alas bambu tersebut diletakkan tanah dan pupuk kemudian ditutup dengan rumput atau daun untuk mengurangi penguapan. Setelah tumbuh, dedaunan tersebut diambil. Para petani terkadang gagal dalam melakukan pembibitan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, petani membeli kepada petani lain apabila kebutuhannya banyak tetapi apabila hanya sedikit seringkali petani meminta tetangga yang berlebihan. Berdasarkan letak penanaman14, mutu tembakau di Desa Wonotirto masuk pada kelompok lamsi. Tembakau dengan mutu atau kualitas lamsi ini tersebar di lereng utara dan timur laut Gunung Sumbing (Bulu dan Parakan) pada lahan 13
Ketika petani melakukan aktifitas pertanian lebih dari jam 12.00 petani mendapatkan makanan yang dikirim oleh anggota keluarga (biasanya perempuan) dan dimakan bersama-sama di dalam gubug. 14 Ada 7 (tujuh) golongan daerah penanaman tembakau yang membedakan mutu hasil tembakau, yaitu: (1) LAMUK, tersebar di lereng timur gunung Sumbing (Tegalmulyo pada lahan > 1.100 m dpl, menghasilkan mutu Srintil Istimewa; (2) LAMSI tersebar di lereng utara dan timur laut Gunung Sumbing (Bulu dan Parakan) pada lahan Regosol>1.100 m dpl, kelerengan 15-40 %, mutu Srintil Istimewa; (3) PAKSI tersebar di lereng timur gunung Sundoro (Ngadirejo dan Bansari) pada lahan Regosol > 1.100 m dpl, mutu Srintil cukup istimewa; (4) TOALO tersebar di lereng selatan gunung Sundoro dan barat Gunung Sumbing (Kledung) pada lahan Regosol > 1,100 m, mutu sedang; (5) TIONGGANG tersebar pada lahan persawahan 500-700 m dpl, mutu sedang; (6) SWANBING tersebar di sekitar gunung Prahu (Tretep dan Wonoboyo), lahan Ondosol 900-1.400 m dpl, mutu sedang; dan (7) KIDUL tersebar di tenggara Gunung Sumbing pada daerah baru, mutu sedang
59
Regosol>1.100 m dpl, kelerengan 15-40 %, mutu Srintil Istimewa. Mutu ini satu tingkat di bawah Lamuk. Pada petani di lereng gunung yang berbasis tegal termasuk di desa Wonotirto, ada semacam kondisi yang memaksa mereka untuk tetap setia menanam tembakau karena pada musim kemarau tanaman semusim yang cocok hanyalah tembakau. Tidak ada tanaman musiman lainnya yang bisa hidup ditanam pada musim kemarau.
“ojo meneh tanduran sing ora kuat panas, suket wae mati” “Jangankan tanaman yang tidak kuat pada musim kemarau, rumput saja (biasanya rumput lebih tahan terhadap kondisi apapun) kalau ditanam di sini mati”
Berkaitan dengan kondisi rumah yang tidak selalu memiliki lahan pekarangan yang luas, maka seringkali tempat pembibitan meminjam kepada tetangga. Bahkan ada satu tempat yang agak luas dimana pekarangan tersebut dipergunakan oleh beberapa petani secara bersama untuk melakukan pembibitan. Lahan tersebut dipergunakan tanpa adanya biaya sewa. Apabila harga tembakau bagus, mereka memberi pemilik lahan tanpa adanya jumlah nominal baku. Tembakau membutuhkan air pada saat proses tanam, dan terik matahari pada saat masa penjemuran. Perubahan cuaca yang tidak menentu seringkali membuat petani mengalami gagal panen, dimana pada saat proses tanam kebutuhan air kurang, sementara pada saat proses penjemuran curah hujan tinggi. Penjemuran yang tidak sempurna membuat kualitas tembakau menurun akibatnya harga tembakau turun drastis. Biasanya petani melakukan perajangan dan nganjang15 tembakau pada malam hari dengan harapan pada saat pagi hari hasil rajangan bisa langsung terkena sinar matahari. Tembakau semakin berkualitas apabila menerima sinar matahari secara sempurna yaitu terkena sinar matahari secara utuh (penuh) selama 2-3 hari.
15
Nganjang adalah proses meletakkan tembakau yang telah di rajang di atas rigen dan biasanya dilakukan oleh beberapa perempuan pada malam hari. Rajangan tembakau ditata secara rapi dengan ukuran ketebalan yang hampir sama dengan harapan bisa kering secara merata dan sempurna.
60
Intensitas sinar matahari di Kabupaten Temanggung relative lebih banyak jika dibandingkan daerah lain di sekitarnya, misalnya di Kabupaten Wonosobo. Untuk menyiasati hal tersebut, mereka menjemur tembakau ke daerah lain yang memiliki intensitas matahari yang relative lebih panjang. Pada saat musim jemur, mulai jam 04.00 pagi terlihat mobil pick-up dengan beberapa orang (laki-laki dan perempuan) duduk di sekitar tumpukan rigen16 berlalu lalang di sepanjang jalan di sekitar Parakan. Setelah itu, di pinggir-pinggir jalan yang masih ada lahan yang tidak terpakai terhampar “lautan kuning”. Lahan yang dipakai untuk menjemur rajangan tembakau tersebut ada yang dengan sistem sewa (terutama yang merupakan hak milik pribadi) dan ada yang tidak menyewa (terutama lahan milik umum). Proses penjemuran tersebut berlangsung dari pagi hingga pukul 14.00 apabila cuaca cerah, dan apabila cuaca tidak cerah, sangat tergantung datangnya air hujan. Selama menunggu proses penjemuran, beberapa orang yang memang ditugaskan untuk menjemur rajangan tembakau melakukan proses pembalikan sehingga bisa kering secara merata. Setelah kurang lebih pukul 14.00 WIB mereka mengangkut kembali tembakau ke atas mobil pick-up untuk kemudian dibawa pulang kembali. Aktifitas “mengejar matahari17” ini berlangsung secara terusmenerus hingga tembakau benar-benar kering dan siap dijual. Sedangkan bagi petani tembakau di Temanggung sendiri, mereka menjemur tembakau di sekitar rumah, dipinggir jalan, atau di tanah lapang. Mereka biasanya mendirikan tiang-tiang dari bamboo setinggi kurang lebih 1 meter untuk meletakkan rigen. Saat musim jemur terlihat sepanjang jalan dan disekitar rumah banyak berjajar tiang-tiang bambu dengan deretan tembakau rajang yang tertata rapi. Bagi petani dengan lahan pekarangan sempit, alternative 16
Rigen merupakan tempat untuk menjemur tembakau yang sudah dirajang. Pada saat bukan musim tembakau terkadang juga difungsikan untuk menjemur hasil panen seperti: kedelai, bawang, kacang tanah, kacang merah (kacang tunggak), dan lainnya. Rigen dibuat dari bamboo yang dianyam berbentuk persegi panjang dengan harga sekitar Rp. 12.000/buah. Salah satu daerah yang memproduksi rigen adalah di Kecamatan Kedu, dan juga bisa di beli di pasar Parakan. 17 Istilah mengejar matahari merupakan ungkapan yang menggambarkan bagaimana petani terutama di luar Kabupaten Temanggung yang berusaha mencari sinar matahari untuk menjemur tembakau. Hal ini disebabkan karena intensitas sinar matahari di daerah mereka sangat pendek (sedikit) sehingga sangat riskan terhadap degradasi kualitas tembakau karena tidak kering secara sempurna.
61
tempat penjemuran selain di jalan adalah ikut pekarangan tetangga. Hal ini menjadi kebiasaan petani sebagai bagian dari kehidupan social masyarakat.
5.3. Tanaman Sela dan pemanfaatan limbah tanaman Tanaman sela Kebiasaan petani menanam tanaman lain di sela-sela tanaman pokok telah dilakukan semenjak dahulu. Secara kuantitas, seringkali tidak diperhitungkan sebagai pendapatan karena secara nyata tidak selalu diuangkan (dijual). Kontribusi terbesar adalah untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari dan terkadang sebagai sarana membangun modal social dengan tetangga sekitar dengan cara saling bertukar hasil panen. Namun demikian, apabila diperhitungkan sebagai bentuk pengeluaran untuk konsumsi maka akan memberikan sumbangan yang besar dalam mempertahankan
kelangsungan
hidupnya.
Twyman
dan
Slater
(2005)
menyebutnya sebagai hidden livelihood. Banyak cara yang diterapkan oleh rumahtangga petani, tetapi tidak dianggap penting bagi sumber nafkah. Tanaman sela adalah salah satu contoh penting, yang kelihatannya perannya tidak penting namun kalau ditelisik lebih mendalam mampu menopang kebutuhan komsumsi rumahtangga petani. Kebiasaan menanam tanaman sela pada komoditas tembakau, oleh perusahaan rokok dianggap tidak baik bagi perkembangan dan kualitas tembakau. Untuk mencapai tembakau yang baik, tembakau harus ditanam secara monokultur. Bagi sebagian petani dengan lahan luas, berbagai anjuran ini mungkin bisa dilakukan. Sedangkan bagi rumahtangga petani gurem, kebiasaan menanam tanaman sela masih dilakukan. Hal ini disebabkan karena gagal panen pada tembakau akan berdampak terancamnya kelangsungan hidup, apalagi tidak ada tanaman sela yang menunjang konsumsi mereka.
62
Batang tembakau dan jagung sebagai bahan bakar Salah satu hidden livelihood lainnya yang dimanfaatkan oleh rumahtangga petani adalah batang tembakau dan jagung. Batang tembakau atau jagung yang sudah dipetik hasilnya akan menjadi sampah yang harus dibuang dari lahan. Rumahtangga
petani
biasanya
membawa
batang-batang
tersebut
untuk
dikeringkan dan disimpan disamping rumah atau di dalam dapur. Batang tembakau dan jagung tersebut dimanfaatkan oleh petani yang sebagian besar menggunakan tungku untuk memasak. Sehingga petani tidak mengeluarkan ongkos untuk bahan bakar. Penggunaan tanaman sela untuk konsumsi dan batang tembakau-jagung untuk memasak merupan salah satu bukti kemandirian petani. Mereka mampu menghasilkan sendiri kebutuhan pangan tanpa tergantung pada pihak lain. Berbagai sumberdaya yang tidak penting ternyata mampu dimanfaatkan oleh rumahtangga petani tembakau untuk menopang kebutuhan konsumsinya. 5.4.Kendaraan bermotor: sarana transportasi penting Kendaraan bermotor adalah salah satu prioritas dalam menyusun alokasi pendapatan dari tembakau terutama pada masyarakat pegunungan. Ketika pada masa sukses panen tembakau, hamper semua rumahtangga petani membeli kendaraan bermotor. Kendaraan ini digunakan sebagai cara adaptasi masyarakat dalam menyikapi persoalan kondisi jalan relative agak susah dan sarana transportasi umum yang terbatas. Namun demikian, menurut sebagian petani merupakan symbol kejayaan bagi petani tembakau. Pada saat masa tanam, terutama apabila musim tanam sebelumnya mengalami gagal panen, kendaraan bermotor tersebut dijual untuk menutup hutang atau sebagai tambahan modal menanam. Siklus tersebut berjalan tiada henti, dimana ketika sukses hasil panennya dibelikan sepeda motor. Pada kelompok petani yang lebih beruntung (berlahan luas), selain kendaraan bermotor, mereka juga membeli mobil baik untuk kepentingan perdagangan ataupun sebagai sarana transportasi keluarga.
63
Kendaraan bermotor menjadi penting bagi petani, karena sebagai sarana transportasi ketika pergi ke lahan pertaniannya. Jarak yang relative agak jauh antara tempat tinggal dengan lahan membuat mereka harus menggunakan sepeda motor. Sepeda motor terkadang juga sebagai sarana pengangkutan baik input pertanian (misalnya: pupuk) maupun hasil pertanian. Hal ini sangat membantu petani, karena tanpa sarana ini mereka akan memerlukan waktu berjam-jam untuk mencapai lahan pertaniannya. 5.5.Bangunan rumah, peninggalan masa lalu Bangunan rumah di komunitas padi sawah biasanya berbentuk khas Jawa (limasan) dan sebagian lagi bercorak modern. Pada kelompok petani yang berlahan luas biasanya berdidinding tembok dan berlantai keramik. Sedangkan kelompok petani yang miskin, bercirikan dinding kayu atau anyaman bamboo (jawa: gedhek) dan berlantai tanah atau sudah dikeraskan (jawa: peluran atau plasteran). Sebagian petani, rumah yang dimilikinya adalah warisan orang tuanya. Sedangkan jika menengok pada masyarakat pegunungan, akan terlihat bangunan-bangunan yang kokoh tetapi kelihatan telah dibangun 10 atau 15 tahun yang lalu. Hal ini adalah salah satu symbol kejayaan masa lalu-sekitar tahun 1970-an-. Sebagai ilustrasi yang menggambarkan bagaimana masa lalu masih menjadi momentum yang sangat penting bagi petani tembakau adalah sebagai berikut: Pada tahun 1982, harga tembakau untuk totol D sekitar Rp. 10.000,- dan totol E/F Rp. 35.000,-; sementara harga emas adalah Rp. 15.000/gram. Apabila satu keranjang memuat 30 kg tembakau kering dengan harga per kg sekitar Rp. 20.000,- ; maka petani akan mendapatkan Rp. 600.000, per keranjang. Apabila hasil tersebut dibelikan emas, maka petani akan mendapatkan 40 gram atau 4 ons. Tembakau dengan harga Rp. 35.000,per; petani mampu membeli pupuk kandang dua rit. Pada saat ini, harga pupuk kandang ± 1 juta per rit, sedangkan harga tembakau hanya sekitar Rp. 50.000,- s.d. Rp. 70.000,-.per kg.
Pada saat ini, harga tembakau per kg naik hampir 4 kali lipat tetapi hargaharga kebutuhan yang lain meningkat jauh lebih tinggi. Belum lagi kalau dibandingkan dengan meningkatnya harga input produksi seperti: pupuk kandang
64
yang mutlak diperlukan dalam membudidayakan tembakau, sehingga petani merasa merugi, apalagi kalau musim tidak mendukung. Sedangkan sebagian petani dengan lahan yang tidak terlalu luas, akan merasakan masa kejayaan tersebut tetapi tidak seperti petani dengan lahan luas. Mereka tetap menempati bangunan rumah seadanya, bahkan tidak berubah dari tahun ke tahun secara total. Hasil panen yang berlebih hanya dapat dipergunakan untuk melakukan renovasi saja tanpa bisa mengganti dengan yang baru. Rumah tidak hanya sebagai tempat tinggal bagi petani, tetapi disinilah berbagai aktifitas nafkah dilakukan. Rumah sebagai tempat menyimpan berbagai hasil panen. Pada saat musim tembakau, disinilah petani melakukan kegiatan merajang tembakau. 5.6.Teknologi :dari cacak dan gobang ke mesin Beberapa teknologi yang dipakai petani tembakau dalam kegiatan usaha taninya antara lain: cangkul, ponjo, cacak dan gobang, rigen, dan keranjang. Untuk mengetahui secara detail masing-masing alat tersebut akan uraikan sebagai berikut: a. Cangkul, adalah alat yang dipergunakan untuk membalik tanah sehingga tanah tidak padat sehingga pori-pori tanah mampu menyerap hara tanaman. Alat ini terbuat dari logam pada ujungnya yang berbentuk persegi panjang dan bersifat tajam pada salah satu ujungnya. Sedangkan gagang atau alat untuk memegang terbuat dari kayu berbentuk bulan panjang dengan panjang kurang lebih 1 meter. b. Ponjo, adalah alat yang dipergunakan petani untuk melobagi tanah pada saat menanam bibit tembakau. Lobang tersebut akan diisi dengan pupuk kandang untuk kemudian sebagai tempat meletakkan bibit tembakau. Ponjo terbuat dari kayu bulat panjang dengan ujungnya yang lancip dan panjangnya kurang lebih 1,5 meter. c. Cacak dan gobang, adalah alat yang digunakan untuk meletakkan tembakau sebelum dirajang. Alat ini terbuat dari kayu berbentuk balok setinggi kurang lebih 1 meter. Pada bagian atas terdapat lobang dengan diameter ± 10 cm
65
berguna untuk meletakkan tembakau yang akan dirajang. Alat perajangnya disebut dengan gobang yang terbut dari logam agak lebar dan tajam pada salah satu sisinya. d. Rigen, merupakan tempat untuk menjemur tembakau yang sudah dirajang. Pada saat bukan musim tembakau terkadang juga difungsikan untuk menjemur hasil panen seperti: kedelai, bawang, kacang tanah, kacang merah (kacang tunggak), dan lainnya. Rigen dibuat dari bamboo yang dianyam berbentuk persegi panjang dengan harga sekitar Rp. 12.000/buah. Salah satu daerah yang memproduksi rigen adalah di Kecamatan Kedu, dan juga bisa di beli di pasar Parakan. e. Keranjang, alat ini dibuat dari bambu yang didalamnya dilapisi debog kering (batang pohon pisang). Salah satu sentra pengrajin keranjang ini adalah di Kecamatan Kedu. Biasanya petani membeli minimal 1 kepok (berisi dua buah kerangjang) dengan harga yang bervariasi tergantung pada: (1) waktu pembelian, pada musim panen (bulan September) biasanya lebih mahas, ±@keranjang Rp. 100.000,00; bagi petani dengan modal yang lebih mereka membeli sebelum masa panen dengan harga yang relative murah ±@keranjang Rp. 75.000,00; (2) besar kecilnya ukuran keranjang, semakin besar keranjang semakin mahal, ukurang keranjang antara 30-45 kg tembakau rajangan kering. Berat keranjang berkisar antara 10-12 kg. Semenjak sekitar 5 tahunan, peran cacak dan gobang mulai digantikan dengan mesin. Mesin perajang ini biasanya dimiliki oleh petani lahan luas atau sedang. Sementara petani gurem sebagian besar masih memakai alat manual. Terkadang mereka menitipkan kepada pemilik mesih untuk dirajangkan dengan membayar ongkos perajangan satu kranjangnya sebesar Rp. 40.000,00. Perubahan alat perajang ke mesin ternyata membawa perubahan pada hubungan social masyarakat. Sebelum terjadinya perubahan ke mesin dan sebelum maraknya fenomena “impor”, pada saat melakukan kegiatan perajangan biasaya mereka saling membantu dengan cara membawa alat perajang masingmasing kepada tetangga yang membutuhkan. Kemudian mereka merajang tembakau dengan alat rajangnya masing-masing. Fenomena “impor” dan
66
perubahan ke mesin ini muncul hampir bersamaan dan diduga munculnya mesin karena untuk mempermudah dan mempercepat proses perajangan tembakau yang secara kuantitatif pada masing-masing rumahtangga lebih banyak karena ditambah yang tembakau impor. Hal inilah yang menyebabkan kesibukan yang luar biasa pada saat proses merajang. Pada akhirnya cacak dan gobang ditinggalkan seiring dengan hubungan social yang semakin merenggang. 5.7.Hewan ternak dan pupuk sebagai tabungan Pada saat panen tembakau berhasil, petani menyisihkan sebagian hasilnya untuk membeli ternak dan sepeda motor sebagai tabungan. Selain itu, mereka juga membeli pupuk lebih awal sebagai bagian dari tabungan karena apabila dibelanjakan menjelang musim tanam biasanya lebih mahal. Kemampuan menyimpan sangat tergantung luasan lahan dan harga tembakau, mengingat harga tembakau pada satu orang dan orang lainnya berbeda-beda. Pada petani berlahan luas, keberhasilan pada musim panen biasanya diinvestasikan untuk membeli lahan kembali. Selain itu, mereka juga membeli kendaraan baik roda dua maupun roda empat. Sebagian lainnya ditabung di bank, dan siap dipergunakan untuk kebutuhan mendadak. Pada saat gagal panen, biasanya memanfaatkan uang di bank atau bahkan menjual sepeda motor dan mobil yang dimiliki. Hasil panen terutama berupa kebutuhan pokok, seperti beras pada masyarakat padi-sawah dan jagung pada masyarakat pegunungan biasanya tidak dijual semuanya. Sebagian lainnya disimpan sebagai persediaan makanan sembari menunggu musim panen berikutnya. Petani padi sawah menyimpan bahan pokok dalam bentuk padi, sedangkan petani di pegunungan dalam bentuk jagung yang belum dikupas kulitnya. Pada awalnya, jagung adalah tanaman yang selalu diusahakan sebagai bahan makanan pokok. Setelah beralih ke komoditas cabe, petani tidak menanam jagung setiap tahun. Pada umumnya mereka akan menanam jagung pada tahun tertentu dan akan menanam lagi setelah persediaan di rumah telah habis. Ada
67
sebagian petani dengan lahan luas mengusahakan cabe dan jagung pada waktu yang bersamaan. 5.8. Kemampuan mengelola tembakau, warisan orang tua Kemampuan petani dalam melakukan kegiatan usaha tani sifatnya otodidak yang diperoleh dari orang tuanya. Mereka terbiasa membantu orang tuanya mengolah tanah, menanam, panen, dan memasarkan semenjak kecil. Setelah menamatkan pendidikan tingkat Sekolah Dasar atau tidak lulus SD atau tidak sekolah menambah waktunya untuk belajar dari orang tuanya. Berbagai kebiasaan yang diwariskan orang tuanya tersebut, petani dilatih secara mandiri dengan sekaligus mendapatkan warisan berupan lahan pertanian. Kebiasaan-kebiasaan tersebut disosialisasikan oleh orang tuanya untuk kemudian diadopsi oleh generasi berikutnya hingga sekarang. Rendahnya migrasi pemuda untuk mencari pekerjaan di luar daerah memaksa mereka harus belajar lebih sehingga menjadi petani sukses seperti generasi sebelumnya. Hasil warisan ilmu pengetahuan inilah yang membawa petani generasi sekarang bisa melangsungkan kehidupannya. Ngt (53 tahun) mulai belajar mengelola tembakau semenjak umur 12 tahun tahun dengan ikut orang tua. Dan mulai tanam atau bertani tembakau sendiri dari tahun 1987 dengan luas lahan 1,5 Ha. Lahan itu berasal dari warisan orang tua seluas 0,5 Ha dan yang 1 Ha menyewa per musim/per tahun tanam. Memiliki 2 orang anak yaitu: (1) JL (26 tahun) sebagai kepala dusun dan ikut mengelola tanah bengkoknya; (2) BN (22 tahun) juga ikut membantu ayahnya mengelola tanah. Jml (66 tahun) adalah salah satu petani kaya di desa Wonotirto. Mendapatkan warisan tanah dari orang tuanya seluas 3 hektar. Memiliki dua orang anak laki-laki yang dididik untuk menjadi petani tembakau. Lahan seluas 3 hektar tersebut dibagi kepada kedua anaknya, masingmasing 1,5 hektar. Sekarang kedua anaknya tersebut mengikuti jejak ayahnya menjadi petani tembakau dengan segenap warisan tanah dan ilmu mengelola tembakau yang telah didapatkan semenjak kecil.
Pola pewarisan tata cara mengelola tembakau secara turun temurun mendarah daging dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Mereka diajarkan
68
mulai dari pembibitan, pemupukan, panen, hingga pemasaran. Hal tersebut terjadi baik pada petani pada golongan miskin maupun kaya. Untuk meningkatkan kualitas tembakau, pada tahun 2005-2006 PT. Jarum melakukan “kemitraan18” dengan menyewa konsultan pendamping untuk memperkenalkan teknologi baru mengenai usaha tani tembakau dengan kualitas dan harga yang tinggi. yang muncul setelah adanya inisiatif dari salah satu pabrik rokok yang membeli tembakau petani untuk mengenalkan sistem usaha tani yang berbeda. Konsultan pendamping tersebut kemudian melatih beberapa petani yang ditunjuk oleh beberapa grader. diantaranya adalah: KHD, USB, dan KIT. Konsultan pendamping tersebut mendampingi petani selama 2 tahun, hingga kemudian dari petani KHD menggantikannya untuk didifusikan kepada petani lainnya. Keanggotaan “kemitraan” bersifat sukarela dan terbuka. Hingga saat ini tercatat sebanyak ± 400 petani yang telah tergabung dalam anggota kemitraan. Kegiatan yang dilakukan adalah siapapun yang berminat ikut kemitraan mengikuti penyuluhan mengenai teknologi yang diterapkan. Selain teknik budidaya, juga diperkenalkan teknologi berupa pupuk KNO3 dan fertila. Harga Fertila setiap kwintal mencapai ± 800 ribu rupiah sedangkan harga KNO3 adalah 1,6 juta rupiah/kw. Setiap hektarnya dibutuhkan ± 4,5 kw fertila dan 1,5 kw KNO3. Sehingga untuk kedua input tersebut diperlukan sekitar 6 juta/hektar. Beberapa kelebihan dari sistem tersebut antara lain: (1) produktifitas: dengan cara biasa 6-7 kwintal/hektar jika menggunakan teknologi ini bisa menjadi 8 kw/ha; (2) harga, bisa mencapai 200 ribu s.d. 250 ribu per kg dibandingkan dengan cara tradisional (local) dengan harga 50 ribu s.d. 100 ribu. Harga tersebut sama dengan kualitas srintil. Para petani anggota kemitraan tersebut kemudian membentuk semacam koperasi untuk penyediaan pupuk tersebut. Setiap anggota koperasi difasilitasi untuk mendapatkan fertile dan KNO3 dengan sistem pembayaran di belakang. Pada saat pembayaran, anggota koperasi membayar harga pupuk dan bunganya (uang jasa membayarkan). 18
Bagi sebagian petani, istilah kemitraan ini tidak tepat karena tidak ada ikatan antara petani dengan grader atau perusahaan. Mereka hanya diberi pelatihan mengenai sistem budidaya tanaman. Sedangkan harga jual tergantung dari kualitas tembakau yang dihasilkan.
69
Teknik yang diperkenalkan tersebut merubah berbagai kebiasaan petani yang diperoleh secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Salah satunya adalah sistem tumpang sari tidak diperbolehkan karena akan mengganggu perkembangan daun tembakau. Sistem ini telah diterapkan sebagai upaya memberikan penghasilan alternative ketika tembakau mengalami kegagalan. 5.9.Pertanian tembakau dan daya serap tenaga kerja pedesaan Mengusahakan tembakau memiliki karakteristik yang unik, diantaranya adalah perlunya masa tanam, panen, dan penjemuran yang tepat waktu. Berbagai aktivitas tersebut tidak bisa ditunda karena akan menyebabkan gagal panen, misalnya masa tanam yang terlambat akan menyebabkan tanaman tidak berkembang dengan baik karena kebutuhan air tidak tercukupi. Masa petik yang tidak tepat akan menyebabkan kualitas tembakau akan menurun atau bahkan tidak bisa dijual. Sementara menjemur pada saat hujan tiba akan menyebabkan kualitas tembakau menurun. Hal ini menyebabkan diperlukannya tenaga kerja yang banyak pada musim tembakau. Bulan Pebruari-maret adalah aktifitas pertama yang dimulai dengan mencangkul lahan. Banyak petani berlahan sempit menuai pendapatan tambahan pada kegiatan ini, karena banyak petani berlahan sedang dan luas memerlukan tenaga mereka. Kurang lebih 1-2 bulan mereka berkecimpung dalam aktifitas mencangkul. Menanam dan menyiangi juga memerlukan tenaga kerja yang relative banyak, tetapi tahap ini hanya berlangsung beberapa hari saja. Tenaga kerja yang banyak akan dibutuhkan kembali pada bulan Agustus-September. Bulan Agustus adalah masa petik pertama, yang kemudian dilanjutkan aktifitas mengeram dan merajang. Siklus ini berlangsung kurang lebih dua bulan. Saat merajang dan menjemur paling tidak dibutuhkan tenaga kerja 7 orang, 3 orang merajang dan 4 orang menjemur. Fenomena “impor” berdampak semakin banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan.
70
Sebagai ilustrasi berapa banyak tenaga kerja yang dibutuhkan oleh Swto (58 tahun) dengan lahan 3 hektar: Aktifitas Mencangkul Menanam Menyiangi Munggel Mrithili Memetik daun Merajang Menjemur Melinting
Jumlah tenaga kerja 10 orang 10 orang 50 orang 1 orang 10 orang 10 orang 5 orang 6 orang 6 orang
Waktu yang dibutuhkan 1,5 bulan 2 hari 2 hari 5 hari 5 hari Sekali petik Sekali rajang Sekali menjemur Sekali melinting
Aktifitas tersebut dilakukan selama enam bulan yaitu April s.d. September. Pada tahap mencangkul hingga mrithili biasanya dikerjakan oleh petani di sekitar desa. Akibat kurangnya tenaga kerja dari wilayah desa sendiri, buruh tani diambil dari beberapa wilayah lain seperti Wonosobo dan Banjarnegara. Untuk kebutuhan Memetik, merajang, menjemur, dan melinting tembakau, Swto (58 tahun) memiliki buruh tani sebanyak 15-20 orang yang menginap dirumahnya selama kurang lebih 2 bulan. Beberapa masyarakat desa juga ikut menikmati keuntungan dibalik hirukpikuknya pertembakauan di Wonotirto dan Campursari walaupun secara tidak langsung. Untuk menjemur, petani memerlukan rigen; sementara pada saat menjual, petani membutuhkan keranjang. Peluang ini dimanfaatkan oleh warga masyarakat untuk mensuplai barang-barang tersebut dan bagi mereka aktifitas ini mampu memberikan pendapatan tersendiri walaupun sifatnya musiman. 5.10. Perilaku Konsumtif Musim tembakau adalah suatu waktu yang ditunggu oleh setiap rumahtangga di lereng Sindoro-Sumbing. Berbagai harapan akan cuaca mendukung dan harga tinggi menjadikan spirit untuk selalu bergelut dengan dunia pertembakauan. Mereka juga selalu berharap agar pulung pada musim tanam tahun ini akan jatuh pada dirinya. Bayangan masa keemasan tembakau masih
71
menjadi keinginan bagi setiap petani untuk terus berharap bisa mengulang kembali. Ketika musim tembakau tiba dan cuaca mendukung, maka pada bulan Agustus-September (saat panen tembakau), banyak dealer yang datang ke desa untuk menawarkan produknya. Mereka mengatakan “tuku sepeda motor koyo tuku krupuk, endog dirego sawo, tongkol dirego gesek” (membeli sepeda motor seperti membeli kerupuk, telor dihargai seperti buah sawo, ikan tongkol dihargai seperti ikan teri). Ungkapan ini menekankan bahwa pada saat panen tembakau, para petani tidak terlalu menghiraukan harga barang-barang yang akan dibeli. Bahkan pada saat membeli hampir tidak ada proses tawar menawar. Harga telor lebih mahal dibandingkan sawo, sehingga saat membeli harus berpikir dahulu berapa banyak akan dibeli dan berapa harga normal dipasar. Pada saat musim panen tembakau, membeli telor disamakan dengan membeli buah sawo, tanpa adanya pertimbangan mengenai jumlah yang akan dibeli dan harga yang ditawarkan. Sehingga membeli telor disamakan seolah-olah membeli buah sawo. Bahkan harga barang-barang dipasar disekitar lereng Sindoro-sumbing secara otomatis akan naik ketika musim tembakau tiba. Harga-harga tersebut jauh lebih mahal dibandingkan harga-harga di kota kabupaten sekalipun. Meskipun harga melonjak, tetapi hal itu tidak menjadikan persoalan bagi komunitas petani tembakau. Perubahan harga yang drastis tersebut dianggap sudah menjadi tradisi sejak nenek moyang mereka. Pada saat mengalami gagal panen, harga-harga tetap melambung tinggi. Petani meresponnya dengan mengurangi berbelanja di pasar dan swalayan. Selain itu pada level rumahtangga, mereka juga mengurangi atau paling tidak sama dalam hal kualitas makanan dibandingkan sebelum musim tembakau. Biasanya, pada musim tanam sebelum tembakau (cabe atau jagung), rumah tangga petani lebih banyak memanfaatkan bahan pangan dari lahan miliknya. Pengeluaran untuk membeli bahan makanan relative kecil, apalagi ditambah seringkali ada pertukaran hasil panen dengan tetangga. Musim tembakau adalah saat yang ditunggu-tunggu untuk meningkatkan kualitas makanan yang dikonsumsi. Panen tembakau yang berhasil akan ditandai
72
dengan meningkatknya mutu bahan pangan, seperti: penggunaan telor, daging ayam, tongkol untuk lauk-pauk dan terkadang ada pertukaran bahan makanan pokok dari jagung ke beras. Perubahan tersebut tidak hanya dinikmati oleh rumahtangga petani tembakau saja, tetapi juga pada buruh tani, dimana mereka akan menikmati telor dadar, ayam goreng, atau ikan tongkol goreng. Ketika musim tembakau tidak memberikan keuntungan lebih karena harga tembakau rendah, maka petani mengkonsumsi makanan seperti layaknya musim tanam cabe dan jagung, atau bahkan menurun. 5.11. Ikhtisar 5.11.1. Pertanian sebagai basis penghidupan utama petani tembakau Menurut data sensus pertanian (2003), sekitar 95 % rumahtangga di desa Wonotirto sangat tergantung kepada lahan pertanian. Mayoritas rumahtangga tersebut adalah petani tembakau19.
Hal ini memberikan pemahaman bahwa
ketergantungan petani terhadap lahan sebagai basis sumber nafkah menjadi sangat penting. Fakta menunjukkan, pada petani lahan sawah sebanyak 90 % rumahtangga petani hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar. Sedangkan pada lahan pegunungan, Sebanyak 31,23 % rumahtangga petani memiliki lahan lebih dari 1 hektar. Sedangkan rumahtangga petani dengan luas kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar sekitar 28 %. Sedangkan 40 % lainnya memiliki lahan antara 0,5 ha s.d. 1 ha (Sensus pertanian, 2003). Fakta diatas memberikan informasi bahwa pada petani lahan sawah banyak petani gurem yang menggantungkan diri pada lahan pertanian melalui hubungan patronase dengan pemilik lahan luas. Sementara pada petani pegunungan, kepemilikan lahan pertanian masih relative luas walaupun ada kecenderungan menurun karena faktor fragmentasi akibat diwariskan dan migrasi yang rendah sehingga banyak petani yang bertumpu pada lahan pertanian sebagai 19
Menurut BPS (2005), rumahtangga petani usaha tanaman perkebunan adalah kegiatan yang menghasilkan produk tanaman perkebunan dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual/ditukar atau memperoleh pendapatan/keuntungan atas resiko usaha. Suatu rumah tangga dikategorikan sebagai rumah tangga pertanian perkebunan apabila banyak pohon/rumpun/luas yang diusahakan rumah tangga tersebut lebih besar atau sama dengan batas minimal usaha (BMU) masing-masing jenis tanaman tersebut. BMU untuk tanaman tembakau adalah 1600 m2.
73
basis nafkah. Kasus keluarga Tk (58 tahun) memberikan fakta bagaimana fragmentasi lahan akibat pola pewarisan merupakan kondisi serius bagi keberlangsungan petani yang mengandalkan lahan pertanian sebagai basis kehidupannya. Tk (58 tahun) Mulai bertanam tembakau pada tahun 1970’an dan mulai bertani sendiri tahun 1980’an. Luas lahan yang dimiliki pada waktu itu seluas 2 Ha, merupakan warisan orang tua. Sekarang sudah dibagi kepada 4 orang anaknya masing-masing 0,5 ha. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, dia menyewa lahan seluas 1 ha.
Pada petani lahan sawah, selain memanfaatkan hubungan patronase dengan petani berlahan luas, mereka mulai terdorong bekerja pada sektor non pertanian (sistem nafkah ganda) karena lahan pertanian tidak lagi mampu menyangga seluruh kebutuhan hidupnya. Sedangkan pada lahan pegunungan, mereka mengalami stagnasi dengan berpijak sepenuhnya kepada lahan pertanian. Hal ini disebabkan karena lahan pertanian yang tersedia masih memberikan ruang bagi petani untuk mengeksplosari sumberdaya lahannya. Selain itu, proses produksi tembakau juga masih mampu menyerap tenaga kerja pedesaan, bahkan sebagian besar buruh tani pada saat musim tembakau diambil dari daerah lain. Kemampuan lahan pertanian terhadap serapan tenaga kerja pedesaan merupakan hal yang positif. Namun demikian, pertanyaan berikutnya adalah seberapa lama daya serap tersebut mampu memberikan peluang bagi tenaga kerja pedesaan dan sejauh mana memberikan kemampuan (capability) kepada petani tembakau untuk bertahan atau memperbaiki standar hidupnya. 5.11.2. Tembakau sebagai produk budaya Tembakau merupakan komoditas penting bagi petani di lereng Sumbing Sindoro. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, yaitu: pertama, secara agroekologi tanaman yang mampu bertahan hidup di lahan tegalan pada musim kemarau (April-September) hanyalah tembakau. “ojo meneh tanduran sing ora kuat panas, suket wae mati“ (jangankan tanaman yang tidak kuat pada musim kemarau, rumput saja-biasanya rumput lebih tahan terhadap kondisi apapun-kalau
74
ditanam di sini mati)”. Ungkapan tersebut menunjukkan adanya dugaan sementara bahwa tembakau adalah bagian dari komoditas yang pada awalnya adalah produk yang dipaksakan colonial dan sekarang terpaksa karena kondisi agro-ekologi lahan tegal. Namun pertanyaannya kemudian adalah bagaimana dengan petani berlahan sawah? Mereka memiliki peluang untuk tidak menanam tembakau karena kondisi lahannya memungkinkan untuk diusahakan tanaman lainnya. Pada kenyataannya, petani pada lahan sawah tetap menanam tembakau pada musim kemarau. Hal ini memberikan tanda bahwa tembakau memiliki sisi historis yang terlepas dari dugaan faktor agro-ekologi. Alasan kedua, yaitu karena rasionalitas instrumental yang berbasis keuntungan. Alasan ini boleh jadi benar, karena produk ini sejak awalnya merupakan komoditas komersial yang diintroduksi penjajah melalui sistem tanam paksa dan berhubungan langsung dengan pasar internasional. Secara historis, petani juga memiliki pengalaman masa kejayaan yang tidak pernah dilupakan. Misalnya cerita salah satu petani yang mencoba mengingat masa keemasan yang pernah dialami: Pada tahun 1982, harga tembakau untuk totol D sekitar Rp. 10.000,- dan totol E/F Rp. 35.000,-; sementara harga emas adalah Rp. 15.000/gram. Apabila satu keranjang memuat 30 kg tembakau kering dengan harga per kg sekitar Rp. 20.000,- ; maka petani akan mendapatkan Rp. 600.000, per keranjang. Apabila hasil tersebut dibelikan emas, maka petani akan mendapatkan 40 gram atau 4 ons. Tembakau dengan harga Rp. 35.000,per; petani mampu membeli pupuk kandang dua rit. Pada saat ini, harga pupuk kandang ± 1 juta per rit, sedangkan harga tembakau hanya sekitar Rp. 50.000,- s.d. Rp. 70.000,-.per kg.
Dugaan lain adalah karena adanya spirit pulung yang melekat pada setiap lekuk pemikiran petani. Berbagai harapan akan pulung yang akan menghampiri mereka mendorong petani untuk tetap mengusahakan tembakau. Kalau alasan tersebut benar, artinya menambah kuat dugaan bahwa tembakau tetap eksis hingga sekarang karena alasan rasionalitas keuntungan walaupun berdiri diatas ketidakrasionalan (pulung sebagai sesuatu yang bersifat mistik).
75
Namun demikian, dugaan tersebut meninggalkan pertanyaan lainnya dikaitkan dengan fakta bahwa tembakau sangat berisiko terhadap berbagai perubahan kondisi lingkungan dan fluktuasi harga. Bahkan petani seringkali terjerat hutang dan sering merugi, tetapi mereka tetap menanam tembakau. Artinya mengapa mereka tidak meninggalkan tembakau untuk kemudian mencari peluang lain. Bahkan cerita tentang migrasi di komunitas tembakau pada lahan tegalan hanya bersifat temporer yang dilakukan sebagai langkah terakhir karena tidak berdaya menghadapi gagal panen yang berturut-turut. Setelah musim tembakau beranjak bagus, petani serta merta akan meninggalkan daerah perantauan untuk kembali menekuni dan terjun di pertembakauan. Beberapa fakta diatas menggiring peneliti untuk mengambil kesimpulan sementara bahwa tembakau tidak hanya melekat pada petani karena alasan agroekologi dan alasan rasional instrumental tetapi juga karena produk budaya. Dugaan tersebut dikuatkan oleh pernyataan petani: “ojo ngaku wong temanggung menowo ora nandur mbako” (jangan mengaku orang Temanggung kalau tidak menanam tembakau). Pernyataan tersebut seolah memberikan gambaran bahwa apapun kondisinya tembakau tetap menjadi bagian penting bagi kehidupan petani. Tembakau bukan sekedar bermakna ekonomi tetapi juga bermakna social.
76