V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Penghitungan Aspek Kependudukan Kependudukan merupakan salah satu bagian dari aspek sosial pada
Wilayah Pengembangan Tegallega. Permasalahan yang dapat mewakili kondisi kependudukan adalah jumlah penduduk dan kepadatan penduduk yang menempati suatu wilayah. Menurut Badan Pusat Statistik Kota Bandung, jumlah penduduk di Wilayah Pengembangan Tegallega mengalami kenaikan setiap tahun, dari tahun 1999 sebesar 408.779 jiwa menjadi 531.785 jiwa di tahun 2007 atau dengan kata lain dalam kurun waktu sembilan tahun terjadi penambahan jumlah penduduk sebesar 123.006 jiwa. Berikut data mengenai jumlah penduduk dan kepadatan penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada tahun 1999 hingga tahun 2007. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun 1999-2007 Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Jumlah Penduduk (jiwa) 408.779 491.254 494.943 503.750 516.259 517.271 520.646 525.945 531.785
Kepadatan Penduduk (jiwa/ km2) 15.668 18.829 18.971 19.308 19.788 19.826 19.956 20.159 20.383
Luas Wilayah (km2) 26,09 26,09 26,09 26,09 26,09 26,09 26,09 26,09 26,09
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bandung, 2007
Berdasarkan penghitungan didapatkan rata-rata proporsi kenaikan penduduk setiap tahun sebesar +3,34%. Namun, terdapat fenomena kenaikan jumlah penduduk yang sangat signifikan pada tahun 2000, yaitu sebesar 82.475 jiwa dari tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan pada tahun 1999 merupakan masa krisis yang melanda di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Kota Bandung, khususnya
Wilayah
Pengembangan
Tegallega.
Oleh
sebab
itu,
terjadi
kecenderungan adanya migrasi dari luar Wilayah Pengembangan Tegallega untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik, diantaranya dari Kabupaten Bandung ataupun wilayah lain di Kota Bandung. Kenaikan jumlah penduduk ini berkorelasi
positif terhadap kenaikan tingkat kepadatan penduduk dengan pertimbangan bahwa luas wilayah tetap, sehingga didapatkan kepadatan penduduk pada tahun 2007 sebesar 20.383 jiwa setiap 1 km2. Berdasarkan data jumlah penduduk dari tahun 1999 hingga 2007, dengan rata-rata proporsi kenaikan penduduk setiap tahun sebesar +3,34% maka dapat diprediksi bahwa jumlah penduduk pada tahun 2009 mencapai nilai sebesar 567.901 jiwa. Penghitungan ini didasarkan atas asumsi bahwa laju pertumbuhan penduduk pada masa lalu akan berlanjut di masa yang akan datang. Bila ditinjau dari tiap kecamatan, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk pada Wilayah Pengembangan Tegallega belum terdistribusi secara merata. Jumlah penduduk tertinggi pada tahun 2007 berada pada Kecamatan Babakan Ciparay yaitu sebesar 137.392 jiwa dan jumlah penduduk terendah pada tahun yang sama berada pada Kecamatan Astana Anyar yaitu sebesar 70.648 jiwa. Namun, Kecamatan Babakan Ciparay memiliki luas wilayah terluas di Wilayah Pengembangan Tegallega, yaitu sebesar 7,45 km2 sehingga kepadatan penduduknya masih relatif sedang (<25.000 jiwa/km2 menurut standar Dinas Pekerjaan Umum), yaitu sebesar 18.442 jiwa/km2. Kepadatan tertinggi pada tahun 2007 berada pada Kecamatan Bojongloa Kaler yang luas wilayahnya hanya 3,03 km2, yaitu sebesar 39.240 jiwa/km2 dengan jumlah penduduk sebesar 118.898 jiwa. Kecamatan Bojongloa Kidul merupakan kecamatan dengan kepadatan penduduk terendah dari tahun 1999 hingga tahun 2007, yaitu sebesar 12.696 jiwa/km2 pada tahun 2007. Distribusi penduduk di Wilayah Pengembangan Tegallega relatif tetap dari tahun 1999 hingga tahun 2007, dengan proporsi kenaikan yang berbeda tiap kecamatan. Berdasarkan penghitungan didapatkan rata-rata proporsi kenaikan penduduk tiap kecamatan yaitu dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah berturut-turut adalah Kecamatan Babakan Ciparay (+5,4%), Kecamatan Bandung Kulon (+4,0%), Kecamatan Bojongloa Kidul (+3,3%), dan Kecamatan Bojongloa Kaler (+3,0%). Sedangkan Kecamatan Astana Anyar mengalami trend proporsi yang cenderung menurun yaitu sebesar (-0,9%). Berikut grafik mengenai jumlah penduduk dan kepadatan penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega menurut
kecamatan pada tahun 1999 hingga tahun 2007 dapat dilihat pada Gambar 5.1 dan Gambar 5.2.
Jumlah Penduduk (jiwa)
140.000 Bandung Kulon
130.000
Babakan Ciparay
120.000
Bojongloa Kaler Bojongloa Kidul
110.000
Astana Anyar
100.000 90.000 80.000 70.000 60.000 1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Gambar 5.1 Grafik Jumlah Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega menurut Kecamatan pada Tahun 1999-2007
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2)
40.000 Bandung Kulon
35.000
Babakan Ciparay Bojongloa Kaler
30.000
Bojongloa Kidul
25.000
Astana Anyar
20.000
15.000
10.000
5.000 1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Gambar 5.2 Grafik Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega menurut Kecamatan pada Tahun 1999-2007 Namun, secara umum jumlah penduduk tertinggi relatif tetap berada pada Kecamatan Babakan Ciparay dan kepadatan tertinggi relatif tetap berada pada Kecamatan Bojongloa Kaler. Lokasi Kecamatan Bojongloa Kaler yang sangat strategis, yaitu berada di pusat Wilayah Pengembangan Tegellega menjadi faktor
penyebab berpusatnya penduduk di kecamatan tersebut. Sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk terendah berada pada dua kecamatan, yaitu Kecamatan Bojongloa Kidul dan Kecamatan Astana Anyar yang jumlahnya cenderung berfluktuasi. Dan kepadatan penduduk terendah pun tetap berada pada Kecamatan Bojongloa Kidul.
5.2
Hasil Pengukuran Aspek Klimatologi Aspek klimatologi yang dilakukan pengamatan dan pengukuran adalah
suhu
udara
dan
kelembaban
udara.
Pengukuran
menggunakan
alat
termohgygrometer yang diletakkan pada suatu sangkar buatan dengan ketinggian relatif sebesar 30 cm terhadap ketinggian permukaan tanah setempat. Penentuan lokasi pengukuran suhu udara dan kelembaban udara berdasarkan pertimbangan klasifikasi penutupan lahan yang dibagi menjadi tiga kelas lokasi, yaitu kelas lahan terbuka hijau (tiga lokasi), kelas badan air (tiga lokasi), dan kelas lahan terbangun (tiga lokasi). Lokasi pengukuran dapat dilihat pada (Lampiran 4). Pengukuran dilakukan pada tiga waktu, yaitu pada pagi hari (Pukul 07.00 WIB), siang hari (Pukul 13.00 WIB), dan pada sore hari (Pukul 18.00). Hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 5.2. Berdasarkan hasil pengukuran didapatkan suhu udara rata-rata terendah adalah pada penutupan lahan badan air yaitu sebesar 26,0oC, sedangkan suhu udara rata-rata tertinggi sebesar 26,8oC berada pada lahan terbangun. Kelembaban relatif rata-rata terendah sebesar 77,1% pada lahan terbangun dan tertinggi pada lahan terbuka hijau sebesar 80,7%. Pada lahan terbangun, suhu udara rata-rata cenderung lebih tinggi dan kelembaban relatif rata-rata cenderung lebih rendah dibandingkan dengan badan air dan lahan terbuka hijau. Hal ini disebabkan suhu udara dipengaruhi oleh suhu permukaan bumi, di mana permukaan bumi merupakan permukaan penyerap utama dari radiasi matahari sehingga permukaan bumi merupakan sumber panas bagi udara di atasnya dan bagi lapisan tanah di bawahnya (Lakitan, 1994). Dalam hal ini, permukaan bumi adalah lahan terbangun yang material penyusunnya dapat berupa bangunan, jalan aspal, atau pun perkerasan beton. Material perkerasan tersebut menyerap panas sepanjang hari (Miller, 1986 dalam Irwan, 2008) dan
memindahkan panas secara konduksi pada lapisan udara yang sangat tipis dekat dengan permukaan (Handoko, 1995). Sedangkan kelembaban relatif rata-rata cenderung rendah karena kurangnya pori-pori permukaan untuk evaporasi. Suhu udara rata-rata dan kelembaban relatif rata-rata pada lahan terbuka hijau dan badan air berbanding terbalik bila dibandingkan pada lahan terbangun. Hal ini disebabkan pada kedua penutupan lahan tersebut memiliki material penyusun berupa vegetasi dan air di mana bersifat mengandung banyak kadar uap air yang dilepaskan ke atmosfer melalui proses transpirasi dan evaporasi (Lakitan, 1994). Proses tersebut yang menjadi faktor rendahya suhu udara rata-rata dan tingginya kelembaban relatif rata-rata pada badan air dan lahan terbuka hijau. Tabel 5.2 Hasil Pengamatan dan Pengukuran Suhu Udara dan Kelembaban Relatif di Wilayah Pengembangan Tegallega
Sumber: Pengukuran Lapang Bulan November 2009
⎡ (a × 2 ) + b + c ⎤ ⎥⎦ 4 ⎣
Keterangan: *) Nilai rata-rata = ⎢
a = hasil pengukuran Pukul 07.00 WIB b = hasil pengukuran Pukul 13.00 WIB c = hasil pengukuran Pukul 18.00 WIB (Metode penghitungan mengacu pada metode BMKG)
Pengukuran suhu udara dan kelembaban relatif pada beberapa lokasi di Wilayah Pengembangan Tegallega dilakukan pada Bulan November 2009. Menurut Lakitan (1994), suhu maksimum tertinggi umumnya tercapai pada sekitar Bulan Oktober (akhir musim kemarau) dan suhu minimum terendah tercapai pada Bulan Juli dan Agustus. Oleh karena itu, Bulan November termasuk awal musim hujan dengan suhu udara dan kelembaban relatif cenderung tidak ekstrim. Untuk pembanding data hasil pengukuran lapang dapat dilihat data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota Bandung pada Tabel 5.3. Tabel 5.3 Suhu Udara dan Kelembaban Relatif di Wilayah Pengembangan Tegallega Periode Bulan November 2009 Tanggal
Suhu Udara Rata-rata (oC)
Kelembaban Relatif Rata-rata (%)
1 24,3 73 2 24,6 71 3 21,9 76 4 25,1 72 5 25,2 69 6 23,8 75 7 24,2 78 8 24,5 73 9 25,2 71 10 24,2 83 11 23,0 88 12 22,4 91 13 23,5 83 14 24,6 77 15 24,3 81 16 23,8 84 17 21,8 90 18 22,1 89 19 22,8 87 20 21,2 94 21 21,8 90 22 21,3 94 23 23,5 66 24 23,0 79 25 22,5 84 26 23,0 86 27 23,4 85 28 23,8 84 29 23,6 84 30 22,6 84 Rata-rata 23,4 81 Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Kota Bandung, 2009
Menurut data BMKG Kota Bandung, suhu udara rata-rata pada Bulan November sebesar 23,4oC dan kelembaban relatif rata-rata sebesar 81%. Perbedaan nilai suhu udara rata-rata dan kelembaban relatif rata-rata antara hasil pengukuran lapang dengan data BMKG Kota Bandung disebabkan letak stasiun pengukuran BMKG Kota Bandung yang berada di wilayah dengan beda ketinggian relatif besar dengan Wilayah Pengembangan Tegallega. Dengan demikian, suhu udara dan kelembaban udara berdasarkan hasil pengukuran lapang lebih bersifat mikro untuk mewakili kondisi Wilayah Pengembangan Tegallega. 5.3
Penghitungan Nilai Temperature Humidity Index (THI)
Penghitungan aspek klimatologi meliputi unsur suhu udara dan kelembaban relatif dilakukan untuk mendapatkan nilai Temperature Humidity Index (THI) sebagai indikator kenyamanan manusia. Berikut hasil penghitungan nilai THI berdasarkan data pengukuran lapang dapat dilihat pada Tabel 5.4. Tabel 5.4 Nilai THI di Wilayah Pengembangan Tegallega Berdasarkan Data Hasil Pengukuran Lapang Bulan November 2009
Sumber: Hasil Penghitungan Data Pengukuran Lapang Bulan November 2009
Berdasarkan penghitungan data pengukuran lapang didapatkan nilai THI berturut-turut dari yang paling rendah yaitu pada badan air (THI=25,0), lahan terbuka hijau (THI=25,3), dan lahan terbangun (THI=25,6). Nilai THI pada lahan terbangun hampir mendekati nilai 26 yang berarti bahwa kenyamanan pada lahan terbangun hampir mencapai ambang batas kenyamanan manusia. Begitu pula THI pada badan air dan lahan terbuka hijau yang relatif kurang nyaman.
Bila meninjau data suhu udara dan kelembaban relatif berdasarkan data BMKG Kota Bandung, menunjukkan pada tahun 1999 hingga tahun 2007 (Lampiran 2) terjadi fluktuasi baik pada suhu udara, maupun kelembaban relatif. Secara teori, semakin tinggi suhu udara berbanding terbalik dengan semakin turunnya kelembaban relatif. Namun, trend perubahan dari tahun ke tahun cenderung meningkat, baik suhu udara maupun kelembaban relatif. Hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor radiasi matahari yang intensitasnya relatif tinggi, sehingga proses penguapan air ke atmosfer cenderung tinggi menyebabkan kelembaban relatif cenderung tinggi pula. Kemudian fenomena peningkatan ini terjadi pula pada nilai THI yang berfluktuasi pada rentang nilai terendah 21,84 hingga nilai tertinggi 22,62. Berikut perbandingan suhu udara, kelembaban relatif, dan nilai THI pada Wilayah Pengembangan Tegallega pada tahun 1999 hingga tahun 2007 dapat dilihat pada Gambar 5.3, Gambar 5.4, dan Gambar 5.5. Selanjutnya data aspek klimatologi ini akan dilakukan analisis lebih lanjut dalam kaitan hubungan dengan perubahan penutupan lahan di Wilayah Pengembangan Tegallega.
23,8
Suhu Udara (oC)
23,5
23,3
23,0
22,8 1999
2000
2001
2002
Suhu Udara Rata-rata
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Linear (Suhu Udara Rata-rata)
Gambar 5.3 Grafik Suhu Udara Rata-Rata Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun 1999-2007
Kelembaban Relatif (%)
83
81
79
77
75 1999
2000
2001
2002
2003
Kelembaban Relatif Rata-rata
2004
2005
2006
2007
Tahun
Linear (Kelembaban Relatif Rata-rata)
Gambar 5.4 Grafik Kelembaban Relatif Rata-Rata Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun 1999-2007 22,75
Nilai THI
22,50
22,25
22,00
21,75 1999
2000
2001
2002
Nilai THI Rata-rata
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Linear (Nilai THI Rata-rata)
Gambar 5.5 Grafik Nilai THI Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun 1999-2007 5.4
Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan
Penggunaan lahan pada suatu wilayah tidak dapat dipisahkan dengan penutupan lahan. Hal ini disebabkan adanya pengaruh manusia dalam memanfaatkan lahan sehingga penampakan permukaan lahan memiliki ciri tertentu. Penutupan lahan menurut Badan Pertanahan Nasional
(BPN)
diklasifikasikan menjadi kelas perkampungan, sawah, tegalan atau kebun, ladang berpindah, alang dan semak belukar, dan lain-lain.
Penutupan lahan dapat diinterpretasi melalui penginderaan jauh. Berdasarkan proses interpretasi dan pengolahan citra Landsat ETM+ Wilayah Pengembangan Tegallega tahun 1999, 2004 dan 2007 yang mengacu pada klasifikasi
BPN,
penutupan
lahan
Wilayah
Pengembangan
Tegallega
diklasifikasikan menjadi enam kelas, yaitu badan air, lahan sawah, lahan kebun campuran, lahan rumput dan semak, lahan tegakan pohon dan lahan terbangun. Data perubahan penutupan lahan di Wilayah Pengembangan Tegallega pada tahun 1999, tahun 2004, dan tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 5.5. Berdasarkan
hasil
pengolahan
citra
Landsat
ETM+
Wilayah
Pengembangan Tegallega tahun 1999, 2004, dan 2007 didapatkan luas total Wilayah Pengembangan Tegallega seluas 2.479,78 Ha. Luasan ini berbeda dibandingkan dengan hasil observasi dinas pemerintahan terkait. Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bandung menyampaikan bahwa luas total Wilayah Pengembangan Tegallega adalah seluas 2.707,07 Ha, menurut Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung seluas 2.549,90 Ha, dan berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung seluas 2.609 Ha. Hal ini disebabkan oleh metode dan alat untuk penghitungan luasan antara hasil penelitian dengan hasil observasi tiap-tiap dinas pemerintahan tersebut berbeda, sehingga terdapat perbedaan dalam proses pengolahan peta dan hasilnya pun menjadi berbeda satu sama lain. Sedangkan hasil klasifikasi penutupan lahan dari citra Landsat ETM+ menunjukkan nilai akurasi (Overall Classification Accuracy) sebesar 85,71%, hal ini menunjukkan bahwa hasil klasifikasi memiliki validitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Luas badan air, sawah, kebun campuran, rumput dan semak, dan tegakan pohon mengalami penurunan dari tahun 1999 hingga tahun 2007. Proporsi penurunan tiap tahun dari yang tertinggi hingga terendah berturut-turut yaitu badan air sebesar -18,13%, lahan sawah sebesar -6,88%, lahan kebun campuran sebesar -6,68%, lahan rumput dan semak sebesar -5,58% dan lahan tegakan pohon sebesar -1,85%. Namun, luas lahan terbangun terus mengalami peningkatan, yaitu sebesar +2,52%. Peningkatan luas lahan terbangun ini merupakan implikasi dari peningkatan jumlah penduduk, di mana kebutuhan perumahan, lapangan perkerjaan, dan lahan untuk beraktifitas lainnya cenderung
meningkat. Bila dilihat pada Tabel 5.5, terdapat peningkatan jumlah penduduk sebesar 14.514 jiwa hanya dalam kurun waktu tiga tahun, yaitu dari tahun 2004 hingga tahun 2007. Hal ini pun berkorelasi pada peningkatan luas lahan terbangun sebesar +7,23% di tahun yang sama. Tabel 5.5 Jumlah Penduduk dan Perubahan Penutupan Lahan di Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun 1999, Tahun 2004, dan Tahun 2007 Tahun 1999 2004 2007 Jumlah Penduduk 408.779 517.271 531.785 (jiwa) Klasifikasi Luas Luas Luas Penutupan Lahan (Ha) (%) (Ha) (%) (Ha) (%) Badan air 109,19 4,40 80,52 3,25 22,03 0,89 Sawah 88,59 3,57 74,91 3,02 50,09 2,02 Kebun campuran 148,36 5,98 120,63 4,86 85,37 3,44 Rumput dan semak 336,39 13,57 251,52 10,14 212,47 8,57 Tegakan pohon 232,16 9,36 221,59 8,94 199,94 8,06 Lahan terbangun 1.565,09 63,11 1.730,61 69,79 1.909,89 77,02 Jumlah 2.479,78 100,00 2.479,78 100,00 2.479,78 100,00 Sumber: Hasil Pengolahan Citra Landsat, 2009 dan dan Badan Pusat Statistik Kota Bandung, 2007
Lahan terbangun merupakan hasil konversi kelas penutupan lahan lainnya, seperti konversi badan air menjadi lahan terbangun (perumahan) di Kecamatan Astana Anyar dan Bojongloa Kidul atau pun konversi sawah, kebun campuran, serta rumput dan semak menjadi lahan terbangun (industri) di Pinggiran Kecamatan Bandung Kulon dan Babakan Ciparay. Selain itu, perubahan luas penutupan lahan ini juga disebabkan oleh terjadinya alih fungsi antar kelas penutupan lahan. Tidak semua kelas lahan terbuka hijau berubah menjadi lahan terbangun, tetapi terdapat sebagian yang berubah menjadi kelas lahan hijau lainnya, seperti adanya badan air yang mengering sehingga berubah menjadi rumput dan semak. Selanjutnya rumput dan semak diolah penduduk menjadi lahan kebun campuran di tahun-tahun berikutnya. Berikut contoh-contoh perubahan penggunaan lahan yang berimplikasi pada perubahan penutupan lahan di Wilayah Pengembangan Tegallega yang didokumentasikan pada tahun 2009 pada Gambar 5.8. Perubahan penutupan lahan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelas utama, yaitu lahan terbangun, badan air, dan lahan terbuka hijau. Lahan terbuka
hijau terdiri dari sawah, kebun campuran, rumput dan semak, serta tegakan pohon. Berikut data perubahan penutupan lahan terbuka hijau di Wilayah Pengembangan Tegallega pada tahun 1999, tahun 2004, tahun 2007, dan tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 5.6. Tabel 5.6 Jumlah Penduduk dan Perubahan Lahan Terbuka Hijau di Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun 1999, Tahun 2004, Tahun 2007 ,dan Tahun 2009
Sumber: Hasil Pengolahan Citra Landsat, 2009 dan Badan Pusat Statistik Kota Bandung, 2007 Keterangan: * = prediksi
Berdasarkan Tabel 5.6, menunjukkan perubahan luas total lahan terbuka hijau dari tahun ke tahun. Pada tahun 1999 hingga tahun 2004 terjadi perubahan lahan terbuka hijau sebesar -5,52%, dan pada tahun 2004 hingga tahun 2007 sebesar -4,87%. Proporsi penurunan luas lahan terbuka hijau tiap tahun adalah sebesar -4,70%, sehingga dapat diprediksi bahwa pada tahun 2009 luas lahan terbuka hijau adalah sebesar 497,58 Ha, dengan kata lain hanya tersisa lahan terbuka hijau seluas 20,07% dari total luas Wilayah Pengembangan Tegallega. Perubahan lahan terbuka hijau ini yang akan dianalisis lebih lanjut dalam kaitannya dengan peningkatan jumlah penduduk.
(a) Perumahan di Kelurahan Pelindung Hewan, Kecamatan Astana Anyar (Konversi Badan Air serta Rumput dan Semak)
(b) Penyiapan Lahan Pergudangan dan Industri di Kelurahan Cirangrang, Kecamatan Babakan Ciparay (Konversi Sawah dan Kebun Campuran)
(c) Penyiapan Lahan Industri di Kelurahan Gempolsari, Kecamatan Bandung Kulon (Konversi Kebun Campuran serta Rumput dan Semak) Gambar 5.6 Beberapa Lokasi Alih Fungsi Lahan di Wilayah Pengembangan Tegallega
5.5
Model Dinamik
Model dinamik berdasarkan diagram causal loop, menunjukkan bahwa jumlah penduduk mempengaruhi luas tiap jenis lahan terbuka hijau yang secara langsung mempengaruhi pula luas total lahan terbuka hijau di Wilayah Pengembangan Tegallega. Selanjutnya, luas lahan terbuka hijau mempengaruhi suhu udara dan kelembaban relatif. Tahap pengujian kesesuaian model dilakukan untuk melihat apakah persamaan-persamaan yang digunakan sudah benar. Persamaan-persamaan antarvariabel yang digunakan dalam model digambarkan dalam diagram pencar. Diagram pencar antarvariabel dapat dilihat pada Gambar 5.7, Gambar 5.8, Gambar 5.9, Gambar 5.10, Gambar 5.11, Gambar 5.12, dan Gambar 5.13. 100
Sawah
Luas Sawah (Ha)
80
Linear (Sawah)
60
40
20
0 0
100000
200000
300000
400000
500000
600000
Jumlah Penduduk (jiwa)
Gambar 5.7 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) terhadap Luas Sawah (Y)
Luas Kebun Campuran (Ha)
160
Kebun Campuran Linear (Kebun Campuran)
120
80
40
0 0
Gambar 5.8
100000
200000
300000
400000
500000
600000
Jumlah Penduduk (jiwa)
Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) terhadap Luas Kebun Campuran (Y)
Luas Rumput dan Semak (Ha)
360
Rumput dan Semak Linear (Rumput dan Semak)
270
180
90
0 0
100000
Gambar 5.9
200000
300000
400000
500000
600000
Jumlah Penduduk (jiwa)
Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) terhadap Luas Rumput dan Semak (Y)
240
Luas Pohon (Ha)
Pohon Linear (Pohon)
220
200
180 0
100000
200000
300000
400000
500000
600000
Jumlah Penduduk (jiwa)
Gambar 5.10 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) terhadap Luas Pohon (Y)
Luas Lahan Terbuka Hijau (Ha)
900 Lahan Terbuka Hijau
800
Linear (Lahan Terbuka Hijau)
700
600
500
400 0
100000
200000
300000
400000
500000
600000
Jumlah Penduduk (jiwa)
Gambar 5.11 Diagram Pencar Hubungan Linear Jumlah Penduduk (X) terhadap Luas Lahan Terbuka Hijau (Y)
30,00
Suhu Udara Rata-rata Linear (Suhu Udara Ratarata)
o
Suhu Udara ( C)
27,50
25,00
22,50
20,00 0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
Luas Lahan Terbuka Hijau (Ha)
Gambar 5.12 Diagram Pencar Hubungan Linear Luas Lahan Terbuka Hijau (X) terhadap Suhu Udara (Y) Kelembaban Relatif Ratarata
Kelembaban Relatif (%)
81,00
Linear (Kelembaban Relatif Ratarata)
79,50
78,00
76,50
75,00 0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
Luas Lahan Terbuka Hijau (Ha)
Gambar 5.13 Diagram Pencar Hubungan Linear Luas Lahan Terbuka Hijau (X) terhadap Kelembaban Relatif (Y) Berdasarkan diagram pencar, diketahui bahwa hubungan linear antara jumlah penduduk dengan luas tiap jenis lahan terbuka hijau dan luas lahan terbuka hijau keseluruhan memiliki nilai negatif. Hal ini berarti setiap penambahan jumlah penduduk akan mengurangi baik luas sawah, kebun campuran, rumput dan semak, maupun tegakan pohon sehingga keseluruhan lahan terbuka hijau akan mengalami penurunan. Begitu pula pada hubungan linear antara luas lahan terbuka hijau dengan suhu udara dan kelembaban relatif yang memiliki nilai negatif. Luas lahan terbuka hijau yang semakin berkurang mengindikasikan terjadinya peningkatan suhu udara dan kelembaban relatif. Selanjutnya, hubungan linear antara variabel bebas dan variabel terikat tersebut menghasilkan persamaan fungsi yang dapat dilihat pada Tabel 5.7.
Tabel 5.7 Persamaan Fungsi Variabel Bebas (X) terhadap Variabel Terikat (Y) dan Nilai Peluang Nyata (X) Hubungan Variabel Terikat (Y)
Variabel Bebas (X)
Luas Sawah Luas Kebun Campuran Luas Rumput dan Semak Luas Pohon Luas Lahan Terbuka Hijau Suhu Udara Kelembaban Udara
Jumlah Penduduk Jumlah Penduduk Jumlah Penduduk Jumlah Penduduk Jumlah Penduduk Luas Lahan Terbuka Hijau Luas Lahan Terbuka Hijau
Persamaan Fungsi y = 204,61 - 0,0003x y = 339,15 - 0,0005x y = 718,59 - 0,0009x y = 332,59 - 0,0002x y = 1599,3 - 0,0019x y = 29,406 - 0,0085x y = 88,367 - 0,015x
Nilai Peluang Nyata 0,10193 0,07222 0,01344* 0,11223 0,04526* 0,24222 0,08112
Keterangan: *) Nyata pada α = 5%
Terdapat nilai peluang nyata variabel X yang menunjukkan signifikansi pengaruhnya terhadap variabel Y. Pada selang kepercayaan 5% terdapat hubungan yang nyata pengaruhnya, yaitu pengaruh jumlah penduduk terhadap luas rumput dan semak dengan nilai 1,34% serta pengaruh jumlah penduduk terhadap luas lahan terbuka hijau keseluruhan dengan nilai 4,52%. Sedangkan pengaruh jumlah penduduk baik terhadap luas sawah (dengan nilai 10,19%), luas kebun campuran (dengan nilai 7,22%), maupun terhadap luas tegakan pohon (dengan nilai 11,22%) cenderung tidak signifikan pada selang kepercayaan 5%. Begitu pula pada pengaruh luas lahan terbuka hijau terhadap suhu udara dan pengaruh luas lahan terbuka hijau terhadap kelembaban udara dengan nilai berturut-berturut, yaitu 24,22% dan 8,11%. Dengan demikian, tidak semua variabel X berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 5%, yang berarti peluang terjadinya penerimaan kebenaran hipotesis bahwa ternyata hipotesis tersebut salah cenderung tinggi. Berdasarkan analisis korelasi didapatkan nilai koefisien korelasi yang menggambarkan kekuatan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Variabel yang diukur adalah jumlah penduduk, suhu udara dan kelembaban udara, serta luas kelas lahan terbuka hijau. Nilai koefisien korelasi dilambangkan dengan r, yang menggambarkan suatu ukuran hubungan linear antara variabel bebas dan veriabel terikat (Walpole, 1995). Berdasarkan pengukuran seluruh hubungan variabel bebas dan variabel terikat didapatkan nilai r negatif mendekati -1, yaitu jumlah penduduk terhadap luas sawah (r luas kebun campuran (r semak (r
=
=
=
-0,8980), jumlah penduduk terhadap
-0,9277), jumlah penduduk terhadap luas rumput dan
-0,9865), jumlah penduduk terhadap luas pohon (r = -0,8877), jumlah
penduduk terhadap luas lahan terbuka hijau (r = -0,9547), luas lahan terbuka hijau terhadap suhu udara (r kelembaban udara (r
=
=
-0,7577), dan luas lahan terbuka hijau terhadap
-0,9188). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi
negatif yang tinggi antara variabel bebas terhadap variabel terikat. Analisis regresi menghasilkan persamaan regresi linear dan nilai koefisien determinansi (R2). Nilai R2 menunjukkan kemampuan model menerangkan keragaman nilai variabel Y. Jika nilai R2 semakin besar berarti model semakin mampu menerangkan perilaku variabel Y. Seluruh nilai R2 menunjukkan nilai cenderung mendekati +1, yaitu jumlah penduduk terhadap luas sawah (R2 0,8065), jumlah penduduk terhadap luas kebun campuran (R2 penduduk terhadap luas rumput dan semak (R2
=
=
=
0,8608), jumlah
0,9733), jumlah penduduk
terhadap luas pohon (R2 = 0,7881), jumlah penduduk terhadap luas lahan terbuka hijau (R2
=
0,9115), luas lahan terbuka hijau terhadap suhu udara (R2 = 0,5742),
dan luas lahan terbuka hijau terhadap kelembaban udara (R2
=
0,8443), yang
berarti bahwa hampir 100% di antara keragaman nilai-nilai variabel Y dapat dijelaskan oleh hubungan linearnya dengan variabel X. Persamaan
fungsi
dan
nilai
koefisien
korelasi
yang
dihasilkan
menunjukkan terdapat kecenderungan bahwa setiap penambahan jumlah penduduk yang terjadi di Wilayah Pengembangan Tegallega mengakibatkan penurunan baik pada luas tiap jenis lahan terbuka hijau maupun luas lahan terbuka hijau keseluruhan. Terdapat pula kecenderungan bahwa pada setiap pengurangan luas total lahan terbuka hijau mengakibatkan peningkatan suhu udara dan kelembaban relatif di Wilayah Pengembangan Tegallega. Kemudian untuk tahap perancangan skenario pada simulasi model memerlukan landasan sebagai acuan dalam penentuan input pada masing-masing variabel. Oleh karena itu, terdapat beberapa Peraturan Pemerintah Daerah terkait dengan permasalahan kependudukan dan tata ruang kota yang digunakan sebagai acuan dalam pembuatan skenario. Hal-hal yang menjadi pertimbangan pembuatan skenario adalah batasan jumlah penduduk sesuai ruang lingkup skala pelayanan penduduk wilayah pengembangan, laju pertumbuhan penduduk sesuai kebijakan RUTRK Kotamadya Bandung, dan batasan pencapaian luas minimal lahan terbuka hijau sesuai RDTRK Wilayah Pengembangan Tegallega.
Skala pelayanan penduduk wilayah pengembangan merupakan batasan jumlah penduduk yang dapat diakomodasi sesuai sarana dan prasarana wilayah pengembangan, yaitu sebesar 450.000 jiwa hingga kurang dari 1.000.000 jiwa. Oleh karena itu, diasumsikan jumlah penduduk tidak melebihi batasan tersebut pada tahun simulasi berakhir. Laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,77% yang pernah dicapai pada tahun 2003 menjadi batasan pada simulasi. Setiap skenario dilakukan perlakuan berbeda pada laju pertumbuhan penduduknya, yaitu diasumsikan terdapat laju aktual dan laju prediksi. Proporsi lahan terbuka hijau di Wilayah Pengembangan Tegallega saat ini hanya sebesar 20% luas wilayah maka pencapaian luas minimal lahan terbuka hijau sesuai RDTRK Wilayah Pengembangan Tegallega sebesar 30% luas wilayah cenderung sulit direalisasikan. Asumsi yang digunakan pada simulasi adalah batas minimal lahan terbuka hijau adalah 15% luas wilayah atau 371,19 ha. Oleh karena itu, diharapkan pada masa simulasi berakhir luas lahan terbuka hijau masih berada di atas 371.19 ha. Proses simulasi model menggunakan program aplikasi komputer STELLA 9.0.2 yang dapat membantu pembuatan konstruksi model simulasi serta dalam running model simulasinya. Model disimulasikan untuk melihat kondisi pada masa 25 tahun mendatang dengan skenario yang berbeda. Berdasarkan struktur model simulasi, terdapat laju penambahan dan laju pengurangan pada setiap variabel. Laju penambahan dan pengurangan dipengaruhi koefisien laju desakan pada tiap variabel. Dalam hal ini, laju desakan luasan tiap jenis lahan terbuka hijau dipengaruhi oleh penambahan penduduk setiap tahun. Selanjutnya, mengacu pada empat pertimbangan skenario dan hasil penghitungan pada Tabel 5.6 didapatkan koefisien laju desakan tiap jenis lahan terbuka hijau akibat pertumbuhan jumlah penduduk per tahun yang dapat dilihat pada Tabel 5.8.
Tabel 5.8 Koefisien Laju Desakan Tiap Jenis Lahan Terbuka Hijau akibat Pertumbuhan Jumlah Penduduk per Tahun
Skenario Ke-
Laju Pertumbuhan Penduduk per Tahun
1 2 3 4 5 6
0,0334 0,0400 0,0100 0,0200 0,0150 0,0334
Koefisien Desakan Tiap Jenis Lahan Terbuka Hijau Sawah
Kebun Campuran
Rumput dan Semak
Pohon
Total
0,0873 0,0873 0,0873 0,2163 0,0000 0,0000
0,1494 0,1494 0,1494 0,2784 0,0000 0,0000
0,3807 0,3807 0,3807 0,5097 1,0000 1,0000
0,3871 0,3871 0,3871 0,0000 0,0000 0,0000
1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000
Berdasarkan hasil running model simulasi, dihasilkan enam skenario untuk melihat kondisi pada masa 25 tahun mendatang di Wilayah Pengembangan Tegallega. Penjelasan mengenai tiap skenario diuraikan satu per satu. 1. Skenario 1 Pada Skenario 1, diasumsikan bahwa laju pertumbuhan penduduk sebesar 3,34%, sesuai dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP) saat ini. Peningkatan jumlah penduduk ini mengakibatkan adanya konversi lahan yang diasumsikan bahwa seluruh kelas lahan terbuka hijau diizinkan untuk dikonversi sehingga terjadi desakan pengurangan luas tiap jenis lahan terbuka hijau. Berdasarkan hasil simulasi untuk 25 tahun mendatang, jumlah penduduk mencapai 1.291.171 jiwa, jumlah yang melebihi batas maksimal skala pelayanan penduduk wilayah pengembangan dan luas total lahan terbuka hijau sebesar 322,55 ha. Hal ini berimplikasi pada nilai THI pada tahun ke-25 mencapai nilai 25,79.
Nilai
THI
tersebut
mengindikasikan
bahwa
Pengembangan Tegallega hampir mencapai tidak nyaman.
kondisi
Wilayah
Gambar 5.14 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu Udara, Kelembaban Udara, dan Nilai THI menurut Skenario 1 Berdasarkan grafik Skenario 1, luas lahan terbuka hijau (LTH) menurun sejak tahun pertama simulasi sehingga hanya dapat dipertahankan hingga tahun ke-19 untuk batas minimal lahan terbuka hijau 15% luas wilayah, yaitu sebesar 378,45 ha. Nilai THI cenderung beranjak naik seiring dengan naiknya suhu udara dan kelembaban udara. Hasil simulasi secara spasial dapat dilihat pada Gambar 5.19. Peta penutupan lahan hasil Skenario 1 ini merupakan hasil pengolahan Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega tahun 2007 yang menggambarkan kondisi penutupan lahan pada tahun ke-25 simulasi yang bersifat ilustrasi dan tidak merepresentasikan kondisi penutupan lahan sebenarnya. 2. Skenario 2 Pada Skenario 2, diasumsikan bahwa terjadi ledakan jumlah penduduk dengan LPP sebesar 4,00%. Diasumsikan pula bahwa seluruh jenis lahan terbuka hijau diizinkan untuk dikonversi sehingga diprediksi terjadi desakan pengurangan luas tiap jenis lahan terbuka hijau secara besar-besaran. Berdasarkan hasil simulasi untuk 25 tahun mendatang, jumlah penduduk hanya dapat dipertahankan sesuai dengan skala pelayanan penduduk wilayah pengembangan hingga tahun ke-14, yaitu sebesar 983.420 jiwa. Luas total lahan terbuka hijau hanya sebesar 268,64 ha pada tahun ke-25. Hal ini berimplikasi pada
nilai THI pada tahun ke-25 yang mencapai nilai 26,27. Nilai THI tersebut mengindikasikan bahwa kondisi Wilayah Pengembangan Tegallega sudah dalam kategori tidak nyaman.
Gambar 5.15 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu Udara, Kelembaban Udara, dan Nilai THI menurut Skenario 2 Berdasarkan grafik Skenario 2, suhu udara dan kelembaban udara mengalami kenaikan lebih signifikan jika dibandingkan dengan Skenario 1. LTH menurun lebih cepat sejak tahun pertama simulasi hingga hanya dapat dipertahankan hingga tahun ke-16 mengacu batas minimal lahan terbuka hijau 15% luas wilayah, yaitu sebesar 377,60 ha. Ilustrasi penutupan lahan hasil Skenario 2 dapat dilihat pada Gambar 5.20.
Gambar 5.16 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Skenario 1
Gambar 5.17 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Skenario 2
3. Skenario 3 Pada Skenario 3, diasumsikan bahwa terjadi penyusutan jumlah penduduk akibat migrasi ke luar wilayah dengan LPP hanya sebesar 1,00%. Diasumsikan pula bahwa seluruh jenis lahan terbuka hijau diizinkan untuk dikonversi sehingga terjadi pula desakan pengurangan luas tiap jenis lahan terbuka hijau. Ternyata dengan laju pertumbuhan penduduk hanya sebesar 1,00%, jumlah penduduk pada tahun ke-25 masih di bawah batas maksimal skala pelayanan penduduk wilayah pengembangan, yaitu sebesar 728.194 jiwa. Luas total lahan terbuka hijau juga masih dalam batas 15%, yaitu sebesar 458,76 ha. Nilai THI pun berada pada 24,56 yang berarti masih dalam kategori nyaman.
Gambar 5.18 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu Udara, Kelembaban Udara, dan Nilai THI menurut Skenario 3 Berdasarkan grafik Skenario 3, suhu udara dan kelembaban udara tetap mengalami kenaikan, tetapi kenaikannya diimbangi dengan penurunan LTH secara tidak signifikan. Ilustrasi penutupan lahan hasil Skenario 3 dapat dilihat pada Gambar 5.23. 4. Skenario 4 Pada Skenario 4, dilakukan pengendalian jumlah penduduk dengan LPP sebesar 2,00%, dan dilaksanakan kebijakan bahwa lahan tegakan pohon tidak
diizinkan untuk dikonversi sehingga hanya lahan sawah, lahan kebun campuran, serta lahan semak dan rumput yang dijinkan untuk dikonversi. Kebijakan penduduk berhasil mengendalikan jumlah penduduk sehingga pada tahun ke-25 terdapat sebesar 931.701 jiwa dan lahan terbuka hijau masih sebesar 409,54 ha. Namun, ternyata nilai THI masih cukup tinggi pada tahun ke25, yaitu sebesar 25,00.
Gambar 5.19 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu Udara, Kelembaban Udara, dan Nilai THI menurut Skenario 4 Berdasarkan grafik Skenario 4, LTH tetap mengalami akumulasi penurunan karena desakan pengurangan yang seharusnya terjadi pada lahan tegakan pohon terdistribusi pada lahan sawah, lahan kebun campuran, serta lahan semak dan rumput. Nilai kelembaban udara mengalami kenaikan lebih cepat di awal tahun simulasi jika dibandingkan suhu udara, tetapi pada akhirnya suhu udara mengalami kenaikan yang cukup signifikan di tengah tahun simulasi sehingga nilai THI tetap masih relatif tinggi. Ilustrasi penutupan lahan hasil Skenario 4 dapat dilihat pada Gambar 5.24.
Gambar 5.20 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Skenario 3
Gambar 5.21 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Skenario 4
5. Skenario 5 Pada Skenario 5, dilakukan pengendalian jumlah penduduk kembali dengan penekanan lebih tinggi sehingga LPP sebesar 1,50% dan diterapkan kebijakan mengenai pemanfaatan ruang yang lebih ketat, yakni hanya lahan rumput dan semak yang diizinkan untuk dikonversi. Berdasarkan hasil simulasi untuk 25 tahun mendatang, jumlah penduduk berhasil ditekan, yaitu sebesar 823.993 jiwa dan lahan terbuka hijau juga masih sebesar 435,61 ha. Hal ini berimplikasi pada nilai THI pada tahun ke-25 yang menurun jika dibandingkan dengan skenario sebelumnya, yaitu sebesar 24,77.
Gambar 5.22 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu Udara, Kelembaban Udara, dan Nilai THI menurut Skenario 5 Berdasarkan grafik Skenario 5, penurunan luas LTH terhadap kenaikan suhu udara dan kelembaban udara berjalan dengan kecenderungan yang relatif sama. Proteksi pada lahan sawah, lahan kebun campuran, dan lahan tegakan pohon menyebabkan korelasi yang positif terhadap tingkat kenyamanan yang dapat ditunjukkan melalui indikator nilai THI yang menurun jika dibandingkan dengan skenario sebelumnya. Ilustrasi penutupan lahan hasil Skenario 5 dapat dilihat pada Gambar 5.27.
6. Skenario 6 Pada Skenario 6, kebijakan mengenai pengendalian jumlah penduduk tidak diterapkan, sehingga LPP sesuai pada kondisi aktual, yaitu 3,34%. Akan tetapi kebijakan mengenai pemanfaatan ruang tetap dilaksanakan dengan ketat, yakni hanya lahan rumput dan semak yang diizinkan untuk dikonversi. Ternyata hasil simulasi untuk 25 tahun mendatang menunjukkan jumlah penduduk ysng mencapai 1.291.171 jiwa dan lahan terbuka hijau hanya sebesar 322,55 ha sehingga nilai THI tetap tinggi, yaitu sebesar 25,79. Hasil ini serupa dengan Skenario 1 dan terjadi karena proporsi desakan yang seharusnya mendesak tiap-tiap kelas lahan terbuka hijau kini mendesak secara akumulatif pada rumput dan semak sehingga total luas lahan terbuka hijau yang terkonversi tetap sama jumlahnya. Ilustrasi penutupan lahan hasil Skenario 6 dapat dilihat pada Gambar 5.28.
Gambar 5.23 Grafik Hubungan Luas Lahan Terbuka Hijau dengan Suhu Udara, Kelembaban Udara, dan Nilai THI menurut Skenario 6
Gambar 5.24 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Skenario 5
Gambar 5.25 Peta Penutupan Lahan Wilayah Pengembangan Tegallega Skenario 6
Berdasarkan enam skenario simulasi model yang telah dibuat dapat dikategorikan skenario menurut sifatnya. Pada Skenario 1 dan Skenario 2 merupakan skenario agresif, yakni perlakuan yang diterapkan lebih bersifat tanpa pengawasan sehingga prediksi kerusakan pada pemanfaatan ruang dan kenyamanan terjadi sebelum masa simulasi berakhir. Skenario 3 dan Skenario 6 merupakan skenario semiagresif karena perlakuan yang diterapkan bersifat pengawasan parsial. Prediksi kerusakan pada pemanfaatan ruang dan kenyamanan terjadi bervariasi, dengan Skenario 3 berhasil sampai masa simulasi berakhir dan Skenario 6 tidak berhasil. Kemudian Skenario 4 adalah skenario terkendali, dengan perlakuan bersifat pengawasan penuh. Namun, ternyata hasil prediksi dari Skenario 4 belum memuaskan. Skenario 5 merupakan skenario yang bersifat konservasi, yakni perlakuan bersifat pengawasan dengan batasan yang lebih ketat. Berdasarkan serangkaian skenario yang telah disimulasikan, skenario terbaik yang dapat diterapkan sebagai rekomendasi kebijakan adalah Skenario 5. Skenario ini menghasilkan prediksi jumlah penduduk sebesar 823.993 jiwa, lahan terbuka hijau sebesar 435,61 ha dan nilai THI sebesar 24,77 pada tahun ke-25. Nilai THI ini menunjukkan kategori nyaman. Pemanfaatan ruang sebagai lahan terbangun memerlukan persyaratanpersyaratan tertentu untuk menunjang kelayakannya, seperti topografi dan kemiringan lahan. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak semua lahan dapat dimanfaatkan sebagai lahan terbangun sehingga tidak semua lahan terbuka hijau pula dapat dikonversi menjadi lahan terbangun. Lahan terbuka hijau yang diizinkan untuk dikonversi menjadi lahan terbangun di Wilayah Pengembangan Tegallega sebagian besar tidak memerlukan persyaratan khusus. Hal ini disebabkan topografi dan kemiringan lahan yang relatif datar di sebagian besar Wilayah Pengembangan Tegallega. Namun, perlakuan ini belum tentu dapat diimplementasikan pada wilayah lain karena perbedaan karakteristik masingmasing wilayah. Secara umum, Wilayah Pengembangan Tegallega termasuk dalam kategori cenderung kurang nyaman walaupun berdasarkan nilai THI tergolong nyaman. Kategori nyaman tidak hanya berdasarkan indikator suhu udara dan kelembaban udara, tetapi terdapat banyak faktor yang mendukung untuk menjadikan suatu area
nyaman bagi manusia. Faktor-faktor pendukung kenyamanan dapat berupa, antara lain, kadar kebersihan udara dari debu, kadar kebisingan, intensitas angin, intensitas matahari serta kerapatan dan ketinggian bangunan. Hal ini dapat ditinjau dari pemanfaatan ruang yang terdapat di lapangan, yakni kurang jelasnya zonasi pemanfaatan ruang sehingga banyak terdapat pemanfaatan ruang campuran (mixed land use) seperti pada Kelurahan Gempolsari, Kecamatan Bandung Kulon, yang terdiri dari lahan perumahan berdampingan dengan lahan industri berpolutan. Namun, pemanfaatan ruang homogen juga dapat menyebabkan ketidaknyamanan secara fisik dan estetis bila kerapatan dan ketinggian antarbangunan tidak diperhatikan, seperti pada Kelurahan Jamika, Kecamatan Bojongloa Kaler, yang terdiri perumahan padat penduduk. Selain itu, sirkulasi transportasi yang tidak lancar juga menyebabkan ketidaknyamanan, di antaranya lalu lintas di Jalan Kopo (Kecamatan Bojongloa Kidul) dan di Jalan Otto Iskandardinata (Kecamatan Astana Anyar), yang berupa akumulasi asap kendaraan, bising, panas, dan bahkan ketidaknyamanan secara psikologi. Permasalahan-permasalahan ini sebaiknya ditinjau kembali pada saat perencanaan tata ruang wilayah sehingga menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan mengenai pemanfaatan ruang Wilayah Pengembangan Tegallega.