V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PERBATASAN DARAT INDONESIA
5.1
Uji Model Regresi Data Panel Analisis data dalam penelitian ini menggunakan persamaan regresi data
panel untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia. Data yang digunakan dalam persamaan regresi adalah data panel yang berasal dari data sekunderdari Badan Pusat Statsitik (BPS) dan Kementerian Keuangan meliputi 16 Kabupaten/Kota di wilayah perbatasan darat Indonesia dalam kurun waktu 2007-2010. Sebelum melakukan estimasi maka perlu dilakukan pemilihan model regresi terbaik. Pemilihaan model regresei terbaik dilakukan untuk mendapatkan hasil estimasi yang sesuai. Proses ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu membandingkan pooled model dengan fixed effect model kemudian dilanjutkan dengan membandingkan fixed effect model dengan random effect model. Pada tahap pertama, digunakan uji Chow, untuk membandingkan pooled model dengan fixed effect model. Sedangkan pada tahap kedua untuk membandingkan fixed effect model dengan random effect model digunakan uji Hausman. Berdasarkan hasil uji Chow, secara signifikan H0 (Pooled model) ditolak atau terdapat heterogenitas individu pada model. Ini ditunjukkan dengan nilai pvalue sebesar 0,000 (lebih kecil dari 0,05). Jika dalam model terdapat heterogenitas individu maka fixed effect model akan memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan pooled model. Setelah dihasilkan pada tahap pertama, maka langkah selanjutnya membandingkan antara fixed effect model dan random effect model dengan uji Hausman. Statistik uji Hausman mengikuti ditribusi statistik Chi-Square dengan derajat bebas sebanyak jumlah variabel bebas.Hasil yang di dapat dari uji Hausman 19,86427 (Lampiran 5) dibandingkan dengan χ2
sama-sama
2
menunjukkan nilai p-value lebih besar dari nilai χ , maka H0 ditolak atau dengan kata lain menerima H1. Artinya, model yang tepat digunakan untuk analisis data pada penelitian ini adalah fixed effect model(FEM). Sehingga FEM merupakan
81
82
model yang lebih baik jika dibandingkan dengan Pooled Least square (PLS) ataupun random effects model (REM). Untuk model dalam penelitian ini, pengujian berbagai asumsi dasar dilakukan terhadap metode FEM sebagai model terpilih dilakukan untuk memperoleh hasil estimasi yang BLUE (best linear unbiased estimator), khususnya uji autokorelasi dan uji homoskedastisitas. Berdasarkan hasil uji Durbin-Watson (DW) diperoleh nilai DW sebesar 2,22 yang artinya tidak terjadi autokorelasi pada model. Sedangkan berdasarkan hasil uji kolinieritas diperoleh nilai korelasi kurang dari 0,8, yang menyatakan bahwa tidak ada kolinieritas antar variabel yang digunakan dalam penelitian. Sementara itu, dengan jumlah kuadrat residual (sum square residual) pada weighted statistics lebih kecil daripada unweighted statistics maka terdapat pelanggaran
asumsi
homoskedastisitas
pada
model.
Permasalahan
heteroskedastisitas dan autokorelasi pada model akan mempengaruhi perkiraan nilai parameter. Hal ini disebabkan model tidak akan memenuhi sifat BLUE. Oleh karena itu, agar nilai parameter dari model terpilih memenuhi sifat BLUE, maka dilakukan modifikasi model dengan menggunakan pendekatan Generalized Least Square(Greene, 2002). Berdasarkan model modifikasi ini berarti telah dilakukan koreksiatas permasalahan heteroskedastisitas, contemporaneously correlated acrosspanel, and first order autokorelasi. 5.2
Faktor yang Memengaruhi Indeks Pembangunan Manusia Hasil estimasi regresi data panel dalam Tabel 5.1 sebagian besar faktor
yang digunakan berpengaruh nyata terhadap indeks pembangunan manusia. Tanda koefisien parameter menunjukkan bahwa besarnya PDRB per kapita, jumlah penduduk miskin, pengeluaran pemerintah bidang pendidikan,pengeluaran pemerintah bidang kesehatan, rasio tenaga pendidikan tingkat SD, Rasio tenaga kesehatan
dan
infrastruktur
jalan
berpengaruh
nyata
terhadap
indeks
pembangunan manusia, sedangkan rasio tenaga pendidikan tingkat SMP dan tingkat pengangguran terbuka tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
83
Tabel 5.1 Hasil regeresi data panel faktor-faktor yang mempengaruhi indeks pembangunan manusia di perbatasan darat Indonesia Persamaan
Variabel
Koefisien
P-Value
PDRB Per kapita (INC) Miskin (POV)
0,663025 -0,151002
0,0948* 0,0000*
Pengeluaran Pem.Bid. Pendidikan (GOVE) Pengeluaran Pem. Bid. Kesehatan (GOVH) Rasio Tenaga Pendidikan SD(EDU1)
0,148092 -0,481910 -0.010218
0.0709* 0,0819* 0.1062*
Rasio Tenaga Pendidikan SMP(EDU2) Rasio Tenaga Kesehatan(HLTH)
0.008780 -0,031948
0.3846 0,1866*
Jalan(INF) Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
3,058979 0,048611
0,0001* 0,2306
F- Test R-Square
1299,553 0,99944
0,000
19,86
0,018
Hausman Test Ket.: * signifikan pada α = 10 %
Berdasarkan hasil regresi data panel, terlihat bahwa FEM lebih baik dibandingkan REM. Hal ini tercermin dari statistik uji Hausman (19,86) yang signifikan pada taraf uji 10 persen dengan p-value 0,018, artinya punya cukup bukti untuk menolak hipotesis
tidak adanya korelasi antara peubah penjelas
dengan komponen error. Uji model FEM secara keseluruhan valid dalam taraf uji 10 persen yang ditunjukkan dengan nilai statistik uji F (1299,553) dan p-value 0,000. Nilai R2 bernilai 0,9979 yang berarti keragaman tingkat indeks pembangunan manusia dapat dijelaskan oleh PDRB perkapita, kemiskinan, pelayan pendidikan,
pelayan kesehatan, pengeluaran pemerintah bidang
pendidikan dan kesehatan serta sarana infrastruktur jalan sebesar 99,79 persen, sedangkan sisanya 0,21 persen dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar model. Pada penelitian ini model yang digunakan adalah model FEM dengan pembobotan pada cross section (Panel EGLS /Cross-section weights). Hal ini dilakukan untuk mengurangi heteroskedastis antar unit cross section. Dari hasil uji signifikansi model terlihat bahwa variabel-variabel input secara bersama-sama berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia. Walaupun tidak semua faktor berpengaruh secara signifikan terhadap IPM, akan tetapi tanda pada koefisien dapat menunjukkan arah hubungannya terhadap IPM.
84
5.2.1 PDRB per kapita Besarnya pengaruh PDRB per kapita terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di wilayah Perbatasan Darat Indonesia dapat dilihat dari nilai koefisien parameternya.Persamaan menunjukkan bahwa peningkatan PDRB per kapita memiliki pengaruh yang nyata terhadap peningkatan IPM. dengan nilai elastisitas sebesar 0,66 yang artinya setiap kenaikkan PDRB per kapita 1 persen, maka akan meningkatkan indeks pembangunan manusia sebesar 0,66 persen, ceteris paribus. Hasil ini menunjukkan peran penting PDRB per kapita terhadap peningkatan IPM. Pentingnya PDRB per kapita sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya (Ramires, et al. 2000) yang menyatakan bahwa pembangunan ekonomi selalu menjadi modal awal dalam pembangunan manusia, dimana dengan semakin berkembangnya pembangunan ekonomi, maka akan tercipta lapangan pekerjaan, dan manusia sebagai faktor produksi akan mendapatkan penghasilan, sehingga majunya perekonomian
maka penghasilanpun
akan
meningkat sehingga dalam mengalokasikan pendapatannya dapat memilih sesuai dengan keinginannya. Hal ini sangat sesuai dengan tujuan dari pembangunan manusia yaitu bebas dalam menentukan pilihan (UNDP, 2000). PDRB per kapita juga menggambarkan kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.PDRB per kapita jugamenggambarkan kesejahteraan keluarga dalam suatu kabupaten/ kota. Peningkatan PDRB per kapita tentu memberikan kemudahan dalam memenuhi segala kebutuhan dasar termasuk akses terhadap pendidikandan kesehatan yang selanjutnya menentukan Indeks PembangunanManusia. PDRB per kapita di Perbatasan Darat Indonesia dalam selang waktu 2007-2010 mengalami peningkatan. Hal ini mencerminkan adanya perbaikan dalam peningkatan pendapatan yang berari pula adanya peningkatan dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup yang pada akhirnya akan meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut. PDRB per kapita yang meningkat dan diikuti peningkatan indeks pembangunan manusia dapat kita lihat pada tabel 5.2 berikut ini:
85
Tabel 5.2 IPM dan PDRB per kapita wilayah perbatasan darat Indonesia tahun 2007 - 2010 Kabupaten/Kota
IPM
PDRB
2007
2008
2009
2010
Kab. Sambas 63.01 Kab. Bengkayang 66.32 Kab. Sanggau 67.64 Kab. Sintang 66.89 Kab. K. Hulu 69.26 Kab. K. Barat 71.93 Kab. Malinau 71.68 Kab. Nunukan 72.17 64.77 Kab. Belu Kab. TTU 65.84 Kab. Kupang 62.82 Kab. Merauke 64.03 Kab. B. Digoel 48.65 Kab. P. Bintang 47.38 Kab. Keerom 67.99 Kota Jayapura 73.84 Sumber: BPS, (2008-2011)
63.73 66.81 67.86 67.44 69.41 72.16 71.78 72.86 65.02 66.53 63.41 64.44 49.20 47.94 68.55 74.56
64.46 67.18 68.19 68.00 69.79 72.60 72.30 73.48 65.58 66.95 63.91 64.77 49.56 48.54 68.89 75.16
64.93 5.132 5.353 5.582 67.55 5.012 5.186 5.310 68.55 6.159 6.271 6.479 68.31 5.028 5.155 5.311 70.03 4.931 4.988 5.078 72.90 17.007 17.942 18.949 72.65 9.193 9.412 9.760 73.84 9.943 9.797 9.616 66.00 2.133 2.107 2.091 67.49 2.007 2.095 2.195 64.34 2.727 2.761 2.806 65.73 7.298 7.510 7.883 50.21 11.572 12.150 12.884 48.99 1.621 2.054 2.291 69.26 6.054 6.466 6.934 75.76 10.145 10.450 13.900
5.2.2
2007
2008
2009
2010 5.915 5.417 6.526 5.720 5.321 19.701 11.089 10.148 2.901 2.171 3.315 7.802 9.023 3.829 7.255 13.127
Kemiskinan Penduduk merupakan subyek sekaligus obyek dalam pembangunan
ekonomi, maka untuk meningkatkan perekonomian dan pembangunan manusia tidak terlepas dari peran penduduk itu sendiri. Di wilayah Perbatasan Darat Indonesia, dari hasil pengujian di atas diketahui bahwa jumlah penduduk miskin memiliki pengaruh negatif terhadap indeks pembangunan manusia di Perbatasan Darat Indonesia. Tabel estimasi menunjukkan bahwa jika tingkat kemiskinan meningkat, maka indeks pembangunan manusia akan mengalami penurunan dan sebaliknya jika jumlah penduduk miskin mengalami penurunan, maka IPM akan mengalami peningkatan. Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan, diantaranya adalah studi Birdsall, Ross dan Sabot (1995) dan Ranis dan Stewart (2005) dalam Charisma (2008), yang
menyatakan bahwa jika
penduduk miskin memperoleh pendapatan yang lebih tinggi atau dengan kata lain terjadi pengurangan tingkat kemiskinan, maka akan berpengaruh terhadap peningkatan pembangunan manusia melalui peningkatan bagian pengeluaran
86
rumah tangga yang lebih tinggi, Sehingga dengan kata lain dapat dikatakan bahwa berkurangnya tingkat kemiskinan akan dapa meningkatkan IPM. Menurut penelitian Gevisioner (2007) bahwa jumlah penduduk miskin memiliki pengaruh negatif terhadap pembangunan manusia. Sehingga kemiskinan tetap menjadi agenda dan tantangan uatama dalam pembangunan baik secara nasional maupun masing-masing daerah. Selain itu pengurangan dan peningkatan kualitas SDM harus terus di intepretsikan di setiap agenda pembangunan dan senantiasa diarahkan agar dapat memberikan dampak positif yang nyata terhadap peningkatan pendapatan dan penghapusan hambatan-hambatan sosial yang dihadapi oleh penduduk miskin. Kemiskinan terkait erat dengan variabel ekonomi makro lainnya baiksecara langsung maupun tidak antara lain tingkat upah tenaga kerja, tingkat pengangguran, produktifitas tenaga kerja, kesempatan kerja, geraksektor riil, distribusi pendapatan, tingkat inflasi, pajak dan subsidi, investasi, alokasi dan kualitas sumber daya alam. Sedangkan dalam aspek sosial, kemiskinan sangat terkait dengan tingkat dan jenis pendidikan, kesehatan, kondisi fisik dan alam suatu wilayah, etos dan motivasi kerja, kultur atau budaya, hingga keamanan dan politik
serta
bencana
alam
(Yudhoyono
dan
Harniati,
2004).
Upaya
penanggulangan kemiskinan tidak dapat lepas dari penciptaan stabilitas ekonomi sebagai landasan bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat (Bappenas). Sehingga dapat dikatakan bahwa kemiskinan merupakan salah satu hambatan dalam meningkatkan IPM, hal ini dikarenakan kemiskinan membuat akses terhadap pendidikan dan kesehatan sebagai tolak ukur peningkatan IPM terganggu. Hal ini sesuai dengan definisi yang diberikan oleh BPS mengenai kemiskinan yaitu kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seseorang atau rumah tangga sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal/yang layak bagi kehidupannya. Ketidakmampuan ini akan mengganggu kebutuhan terhadap pendidikan dan kesehatan yang pada akhirnya akan membuat indeks pembangunan manusia menjadi rendah. Wilayah Perbatasan darat Indonesia
masih menghadapi masalah kemiskinan, dimana persentase angka
kemiskinan di wilayah tersebut secara umum lebih tinggi dari rata-rata nasional meskipun angka persentase kemiskinan mengalami penurunan setiap tahunnya,
87
antara lain ditandai oleh masih tingginya proporsi penduduk miskin, terutama di wilayah Kabupaten Pegunungan Bintang dan Boven Digoel yang berda di Provinsi Papua dan NTT yang memiliki angka kemiskinan sebesar 40,11 persen dan 25,81 persen pada tahun 2010. Hal ini tentunya mempengaruhi kemampuan daya beli masyarakat di wilayah tersebut. 5.2.3
Pendidikan Aspek pendidikan tidak hanya berkaitan dengan sarana pendidikan, tetapi
terdapat aspek-aspek lain yang lebih menyentuh terhadap kualitas pendidikan tersebut. Dengan demikian dalam penelitian ini dimasukkan rasio jumlah guru terhadap jumlah
penduduk usia sekolah (SD dan SMP). Rasio jumlah guru
terhadap jumlah penduduk usia SD dan SMP mempunyai pengaruh nyata terhadap indeks pembangunan manusia. Hal ini terlihat dari probabilitasnya yang sebesar 0,010. Nilai koefisien rasio jumlah guru-murid adalah -0,10218 untuk SD dan 0,008780 untuk tingkat SMP, yang berarti kenaikan 1 persen beban guru terhadap penambahan jumlah penduduk usia sekolah akan menurunkan
indeks
pembangunan manusia sebesar -0,14856. Berdasarkan uraian sebelumnya, diketahui bahwa pemenuhan ketersedian terhadap sumber daya pendidikan di wilayah perbatasan darat Indonesia telah tercukupi bahkan lebih baik dari standar yang ditetapkan. Selain itu juga diketahui bahwa indeks pendidikan di wilayah ini juga menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, akan tetapi ternyata hal ini tidak cukup untuk dapat membuat wilayah ini berada pada posisi nyang lebih baik dari sebelumnya. Jika ditelusuri lebih lanjut ternyata salah satunya disebabkan oleh masih rendahnya Angka Partisipasi Murni (APM) penduduk untuk bersekolah terutama untuk jenjang pendidikan tingkat SMP dibandingkan angka partisipasi murni nasional.
88
2007
2008
2009
2010
Ind-10 65.32
70 60 50 40 30 20 10 0
Sumber: BPS (diolah) Gambar 5.1 Angka partisipasi murni (APM) sekolah tingkat SMP di wilayah perbatasan darat Indonesia tahun 2007 dan 2010
Selain itu jika dilihat dari persentase angka putus sekolah tingkat sekolah dasar maupun sekolah menengah pertama di masing-masing provinsi di wilayah ini, ternyata secara umum memiliki angka putus sekolah yang berada di atas angka putus sekolah Indonesia. Hal ini mengindikasikan angka putus sekolah di wilayah perbatasan darat ini cukup tinggi dan perlu mendapatkan penanganan secara tepat dan cepat agar tidak semakin berkelanjutan. Tabel 5.3 Angka putus sekolah tingkat SD dan SMP di wilayah perbatasan darat Indonesia tahun 2007 – 2010 SD Provinsi
2006/ 2007
NTT 2.01 Kalimantan Barat 3.10 Kalimantan Timur 4.85 Papua 4.04 Indonesia 2.37 Sumber: Kemendiknas, 2010.
2007/ 2008
3.53 2.90 3.21 3.35 1.81
SMP
2008/ 2009
3.10 2.54 3.08 3.1 1.64
2009/ 2010
2006/ 2007
2007 /2008
2008/ 2009
2.81 2.56 3.28 2.81 1.65
5.24 4.64 3.10 3.55 2.88
8.24 7.47 4.43 3.53 3.94
6.61 5.87 2.22 4.23 2.49
2009/ 2010
0.84 0.99 1.48 2.73 2.06
Pengaruh pengeluran pemerintah terhadap IPM dari hasil pengolahan data adalah berpengaruh
positif
dan signifikan dengan besarnya nilai koefisien
sebesar 0,148092 dan p-value 0,0709. Artinya jika pengeluaran pemerintah bidang pendidikan bertambah sebesar 1 persen maka indeks pembangunan manusia akan mengalam peningkatan sebesar 14, 80 persen. Hal tersebut sejalan dengan beberapa penelitian mengenai pengeluaran pemerintah (public expenditure) yang sudah banyak dilakukan oleh para ahli.
89
Diantaranya penelitian Martin dan Lemis (1956), Goffman dan Mahar (1968), Ahmed-Javed-Lodh (2001) dan Sylvester (2002), dimana dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa negara yang memberikan perhatian lebih terhadap pendidikan sebagai anggaran dari pengolahan GDP akan mempunyai tingkat ketimpangan yang lebih rendah antara pengeluaran pemerintah dan anggaran pendidikannya. Hal tersebut didasarkan pada teori human capital, bahwa anggaran pendidikan merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Pengeluaran pemerintah yang ditujukan sebagai perbaikan modal manusia pada dasarnya merupakan investasi, sehingga anggaran yang dibuat untuk bidang pendidikan diharapkan dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya dan dijadikan sebagai investasi dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia, Dengan kualitas pendidikan yang lebih baik maka akan mendukung pencapaian IPM yang tinggi yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Jadi dapat dikatakan bahwa besarnya anggaran yang telah disusun dapat mempengaruhi pencapaian pembangunan manusia yang tinggi. Selain itu realisasi dari anggaran juga menjadi salah satu penilaian bagi suatu wilayah dalam peningkatan kualitas SDM khususnya pada bidang pendidikan dan kesehatan. Namun
demikian
investasi
pendidikan
berupa
kemudahan akses
pendidikan ini harus juga diikuti dengan mendorong partisipasi masyarakat terhadappendidikan. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat tentunya diperlukan perhatian dari pemerintah kembali sebagai pengambil kebijakan agar biaya murah terhadap pendidikan dapat dilakukan dan dilaksanakan sehingga semua lapisan masyarakat dapat menikmati pendidikan secara baik dan merata. Dengan meningkatnya partisipasi masyarakat pada pendidikan maka akan menjadi investasi tak hanya bagi perorangan, tetapi juga bagi komunitas bisnis dan masyarakatumum. Pencapaian pendidikan pada semua level niscaya akan meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat.
Meningkatnya
produktifitas akan meningkatkan penghasilan, kemampuan daya beli, kemampuan untuk memilih, daya saing dan sebagainya yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan.
90
Pemerintah Indonesia selama ini telah melakukan peningkatan terhadap besarnya belanja bidang pendidikan yaitu yang semuala pada tahun 1967-1997 anggaran pendidikan hanya sebesar 2-3 persen menjadi sebesar 10 persen dari keseluruhan APBN setelah era reformasi tahun 1998 dan yang terakhir melalui Undang-undang nomor 20 tahun 200, tentang Sistem Pendidikan Nasional, alokasi pengeluaran pendidikan menjadi sebesar 20 persen, dimana alokasi terebut digunakan untuk mendukung operasional penyelengaraan pendidikan, seperti penyediaan sarana danprasaran, termasuk pembangunan fisik gedung dan ruang belajar. Dengan kata lain alokasi dana 20 persen itu tidak termasuk gaji ataupun tunjangan tenaga pendidik dan kependidikan. Namun demikian dalam Human Development Report (2007), dari proporsi GDP pada tahun 2005, pengeluaran pemerintah untuk bidang pendidikan Indonesia masih termasuk rendah, karena rata-rata negara di dunia persentase angarannya sebesar 4,6 persen sedangkan Indonesia hanya sebesar 0,9 persen dari PDB. Hal tersebut menunjukkan perhatian pemerintah untuk bidang pendidikan masih kurang, sehingga perlu ditingkatkan lagi, terutama realisasi dalam peningkatan kualitas pendidikan baik dari segi pelayanan maupun penyediaan fasilatas yang lebih lengkap dan memadai serta merata agar dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Selain itu juga diperlukan dalam hal memberikan akses yang lebih mudah bagi masyarakat ketika memperoleh pendidikan, memperbanyak
beasiswa
pendidikan,
serta
peningkatan
BOS
(Bantuan
Operasional Sekolah) dengan pengawasan yang lebih baik dan merata di seluruh daerah/wilayah. Dengan demikian berarti pemerintah telah berperan dalam peningkatan kualitas SDM. 5.2.4 Kesehatan Pengaruh
pengeluaran
pemerintah
bidang
kesehatan
terhadap
pembangunan dari hasil estimas adalah memiliki pengaruh negatif. Sehingga jika pengeluaran pemerintah bidang kesehatan mengalami penurunan maka indeks pembangunan manusia akan meningkat, dan sebaliknya. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan UNICEF dan UNDP (HDR, 2000) menemukan bahwa pada negara-negara berkembang pada umumnya terjadi diskriminasi yang serius pada pengeluaran publik untuk kesehatan antara
91
penduduk yang lebih kaya, dimana mereka mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik dan lebih besar dibandingkan dengan masyarakat yang miskin. Sehingga terdapat bias yang sangat jauh untuk subsidi dalam bidang kesehatan. Berdasarkan uraian pada bab empat diketauhi bahwa pengeluaran pemerintah bidang kesehatan berfluktuasi, dimana anggaran tahun 2008 cenderung lebih besar dibandingkan tahun berikutnya, yaitu 2009 dan 2010. Sementara itu jumlah penduduk di wilayah perbatasan secara umum semakin meningkat setiap tahunnya, ini mengindikasikan semakin kecilnya alokasi pengeluaran pemerintah per penduduk pada tahun 2009 dan 2010. Tabel: 5.4 Jumlah penduduk di wilayah perbatasan darat Indonesia 2007- 2010 Kabupaten/Kota Sambas Bengkayang Sanggau Sintang Kapuas Hulu Kutai Barat Malinau Nunukan Belu TTU Kupang Merauke Boven Digoel Peg. Bintang Keerom Jayapura Sumber: BPS (diolah)
2007
2008
2009
2010
485,446 201,600 382,594 357,479 213,760 157,847 56,107 125,421 418,004 211,350 373,663 168,513 33,995 94,780 42,582 215,609
491,077 205,675 388,909 365,058 218,804 159,852 59,200 132,886 441,451 213,153 383,896 172,478 34,786 96,511 44,402 243,930
496,464 209,927 395,061 373,380 222,893 161,778 62,423 140,707 465,933 214,842 394,173 176,466 35,581 98,234 46,282 224,615
496,120 215,277 408,468 364,759 222,160 165,091 62,580 140,841 352,297 229,803 304,548 195,716 55,784 65,434 48,536 256,705
Penurunan alokasi pengeluaran pemerintah bidang pendidikan di wilayah kabupaten/kota perbatsanan selama 2008 sampai 2010 ternyata tidak membuat indeks kesehatan di wilayah ini menurun. Hal ini salah satunya dikarenakan meningkatnya persentase rumah sehat di wilayah tersebut (gambar 5.2) selama periode penelitian. Selain itu berdasarkan data profil kesehatan Indonesia 2010 juga diketahui adanya penurunan persentase jumlah penderita gizi buruk dan kurang gizi, terutama untuk wilayah di provinsi Nusa Tenggara Timur yang pada
92
tahun 2007 jumlah penderita gizi buruk dan gizi kurang sebesar 33, 6 persen berkurang menjadi 20,3 persen pada tahun 2010. 2007
2010
80 60 40 20 0
Sumber: Kementrian kesehatan, 2010 Gambar 5.2 Persentase rumah sehat di wilayah perbatasan darat Indonesia 2007 - 2010
Semakin
meningkatnya
pemahaman
masyarakat
akan
pentingnya
kesehatan, tentu merupakan suatu langkah yang baik untuk meningkatkan sumber daya manusia menuju peningkatan kesejahteraan yang lebih baik sebagaimana yang terdapat dalam penelitian E. Setiawan pada tahun 2006, bahwa kesehatan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap manusia, tanpa kesehatan masyarakat tidak dapat menghasilkan suatu produktivitas bagi wilayahnya. Kegiatan ekonomi suatu wilayah dapat berjalan jika ada jaminan kesehatan bagi setiap penduduknya. Berkaitan dengan pengeluaran pemerintah bidang kesehatan di wilayah Perbatasan
Darat
Indonesia,
ternyata
hal
ini
tidak
diikuti
dengan
peningkatan/pemenuhan tenaga-tenaga di bidang kesehatan, di mana diketahui dari Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat selama kurun waktu 2008-2010 jumlah tenaga kesehatan di Wilayah Perbatasan sebagian besar masih kekurangan tenaga kesehatan sebesar 20 persen sampai 30 persen. Jika dikaitkan dengan infrastruktur yang ada di wilayah perbatasan berdasarkan uraian pada bab sebelumnya juga diketahui bahwa infrastruktur jalan di wilayah ini selama periode penelitian masih sangat memprihatikan atau dengan kata lain akses penduduk untuk dapat menuju ke akses kesehatan ataupun akses lainnya masih sulit untuk dijangkau. Oleh karena itu, realisasi anggaran bidang kesehatan sebaiknya dapat dikelola dengan baik dengan diikuti sarana dan prasara pendukung lainnya terkait dengan kemudahan, ketersediaan perangkat maupun aparat di bidang kesehatan masyarakat demi tercapainya peningkatan kualitas SDM dan peningkatan IPM.
93
Selain itu program-program yang telah dibuat dan dijalankan agar dapat dioptimalkan kembali agar masyarakat bisa memperoleh pelayanan kesehatan dan dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Seperti program JAMKESMAS, dimana program ini telah menaikkan proporsi anggaran pemerintah sebesar 8 persen tapi pada kenyataannya program tersebut belum efektif, karena rumitnya prosedur yang harus dipenuhi untuk mendapatkan jaminan kesehatan. 5.2.5. Infrastruktur Infrastruktur jalan berdasarkan hasil estimasi mempunyai koefisien yang bertanda positif (3,058979) dan signifikan pada α sebesar 1 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa indeks pembangunan manusia sangat dipengaruhi oleh infrastruktur jalan, dimana kenaikkan infrastruktur jalan sebesar 1 per sen akan menaikkan nilai indeks pembangunan mansuia sebesar 3,059 persen, ceteris paribus. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukan Bappenas (2003) dalam Patriaka (2011), dimana ketersediaan infrastruktur, seperti jalan, pelabuhan, bandara, listrik, air bersih dan lain-lain merupakan social overhead capital, memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan tingkat perkembangan wilayah, yang antara lain dicirikan oleh laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Keberadaan infrastruktur sangat diperlukan dan harus menjadi prioritas dalam setiap program pembangunan karena infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatanproduktivitas bagi faktor-faktor produksi. Dalam permasalahan penelitian ini, ketersediaan infrastruktur dapat memudahkan masyarakat dalam mengakses aspek-aspek yang menentukan pembangunan manusia seperti sarana kesehatan dan sarana pendidikan. Sarana infrastruktur yang memadai juga akan mempengaruhi biaya yangdikeluarkan menjadi lebih rendah. Sehingga pendapatan masyarakat tidak terbuang hanya untuk biaya transportasi dan dapat dialihkan untuk pengeluaran kesehatan maupun pendidikan. Infrastruktur merupakan kunci dalam mendukung pembangunan nasional dan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, maka sudah seharusnya pemerintah memberikan perhatian yang lebih besar dan nyata dalam perbaikan maupun perluasan infrastruktur jalan maupun infrastruktur lainnya di
94
wilayah Perbatasan Darat Indonesia, karena masih banyak infrastruktur yang sangat sulit untuk dijangkau bahkan tidak dapat dijangkau oleh masyarakat di wilayah perbatasan tersebut.
5.2.6
Tingkat pengangguran terbuka dan rasio tenaga pendidikan tingkat SMP Variabel pengangguran yang diwakili oleh rasio tingkat pengangguran
terbuka dan variabel rasio tenaga pendidikan tingkat SMP berdasarkan hasil analisis regresi data panel tidak signifikan memengaruhi indeks pembangunan manusia di wilayah perbatasan darat Indonesia, dimana terjadinya peningkatan tingkat pengangguran terbuka dan peningkatan tenaga pendidikan justru tidak memberikan pengaruh terhadap nilai indeks pembangunan manusianya. Variabel tingkat pengangguran terbuka tidak signifikan terhadap indeks pembangunan manusia hal ini disebabkan salah satunya karena adanya pengaruh sosial budaya di wilayah perbatasan. Contohnya di salah satu wilayah perbatasan yaitu di Provinsi NTT, sebagaimana dikemukakan oleh Nakmofa dalam Demarce 2012, yang mengemukakan bahwa falsafah hidup yang dianut yaitu budaya “puah manus”, yang merupakan falsafah keterbukaan, penghargaan dan partnership dengan semua manusia. Sehingga ini dapat diartikan jika ada kerabat maupun saudara mereka yang tidak memiliki pekerjaan maka dengan keterbukaan, penghargaan dan rasa kemitraan yang tinggi mereka akan merangkul saudaranya dengan baik dan bersahaja. Sedangkan dalam kaitannya dengan rasio tenaga pendidikan, dimana jika tenaga pendidikan ditingkatkan maka tidak signifikan memengaruhi indeks pembangunan manusia di wilayah perbatasan. Kondisi ini disebabkan kartena rasio beban guru yang ada di wilayah perbatasan pada dasarnya sudah lebih baik dari standar yang ada di kementerian pendidikan nasional. Sehingga jika jumlah guru semakin ditingkatkan sementara jumlah murid tidak meningkat, maka rasio beban guru akan semakin kecil, hal ini tentunya akan menjadi tidak efisien, karena jumlah guru yang semakin meningkat sementara jumlah murid tidak meningkat akan membuat beban pemerintah yang semakin besar.