Katalog BPS: 1413.3204
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2009
KERJASAMA BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN BANDUNG DENGAN BAPPEDA KABUPATEN BANDUNG
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2009
ISBN
: 979.486.6199
Nomor Publikasi
: 3204.0904
Nomor Katalog
: 4716 3204
Ukuran Buku
: 25,7 Cm x 18,2 Cm
Jumlah Halaman
: 76 + xi
Naskah
: Seksi Statistik Sosial
Gambar kulit dan seting : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung Diterbitkan
: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung
Boleh dikutip dengan menyebutkan sumbernya
Bupati Bandung Kata Sambutan
Assalammu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh,
Segala puji kita panjatkan kehadirat Allah SWT sang pencipta alam semesta, atas perkenan dan rahmat-Nya, kita telah diberi kesempatan
untuk
mencurahkan
segenap
kemampuan
melalui
pemikiran, gagasan, ide sebagai bahan kajian dalam perencanaan pembangunan manusia di Kabupaten Bandung. Publikasi yang berjudul “INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2009“, merujuk kepada gagasan UNDP dalam penyempurnaan Indeks Mutu Hidup. Sebagai indikator yang digunakan untuk memotret pembangunan manusia, indikator yang dihasilkan diharapkan dapat memberikan gambaran secara makro kondisi pembangunan manusia di Kabupaten Bandung melalui beberapa komponen yang mempengaruhinya seperti komponen pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat. Dan selanjutnya data yang disajikan dapat menggambarkan keberhasilan pembangunan manusia di Kabupaten Bandung. Semoga kajian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, terutama bagi mereka yang tertarik untuk mengkaji lebih lanjut tentang pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Bandung.
Akhirnya semoga Allah SWT tetap memberikan rahmat-Nya kepada kita semua dalam mengemban tugas mulia pembangunan Kabupaten Bandung seutuhnya. Amiin.
Wassalammu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.
Soreang,
Desember 2009.
BUPATI BANDUNG,
H. OBAR SOBARNA, S. Ip.
Kata Pengantar Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan anugerah dan perkenan-Nya, sehingga publikasi ”Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bandung Tahun 2009” dapat disajikan. Publikasi edisi ketujuh ini diharapkan dapat memberikan gambaran makro terkini pencapaian pembangunan manusia di Kabupaten Bandung. Pencapaian IPM di Kabupaten Bandung diuraikan melalui masingmasing indikator pembentuknya. Pengukuran pencapaian di bidang kesehatan menggunakan Angka Harapan Hidup (AHH); pengukuran keberhasilan di bidang pendidikan menggunakan dua indikator, yaitu: Angka Melek Huruf (AMH) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS); dan penghitungan Komponen Daya Beli digunakan untuk mengukur pencapaian di bidang ekonomi. Publikasi IPM Kabupaten Bandung 2009 ini terwujud berkat kerjasama antara Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bandung, serta dukungan dari berbagai pihak di lingkup Pemerintah Kabupaten Bandung. Untuk itu disampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya atas dukungan yang diberikan. Disadari bahwa sajian publikasi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, tanggapan serta saran-saran dari semua pihak sangat diharapkan. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan pembangunan di Kabupaten Bandung.
Soreang, Desember 2009. KEPALA BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN BANDUNG,
SOEGIRI SOETARDI, MA NIP. 340010736
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
iii
DAFTAR ISI KATA SAMBUTAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR
i iii iv vi vii
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan 1.3. Ruang Lingkup dan Sumber Data
1 1 4 5
BAB II. METODOLOGI 2.1. Pengertian Indikator 2.2. Indikator-indikator Pembangunan Manusia 2.3. Metode Penghitungan IPM 2.4. Rumus dan Ilustrasi Penghitungan IPM 2.5. Ukuran Perkembangan IPM 2.6. Beberapa Definisi Operasional Indikator Terkait
6 7 8 10 14 15 16
BAB III. GAMBARAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI KABUPATEN BANDUNG 3.1. Kependudukan 3.2. Kesehatan 3.3. pendidikan 3.3.1. Angka Melek Huruf 3.3.2. Tingkat Partisipasi Sekolah 3.3.3. Rata–rata Lama Sekolah 3.4. Ketenagakerjaan
20 20 23 32 34 35 43 45
BAB IV. KEMAJUAN PENCAPAIAN PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN BANDUNG 4.1. Kemajuan Pembangunan Manusia Periode 2004-2008 4.2. Pencapaian Angka IPM Kecamatan
51 51 58
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 5.2. Saran
69 69 71
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
iv
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
v
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Daftar Komoditi Terpilih untuk Menghitung Paritas Daya Beli (PPP)
12
Tabel 2.2. Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM
15
Tabel 3.1. Angka kematian bayi (AKB) dan Rata – rata Umur Parkawinan Pertama Wanita di Kabupaten Bandung tahun 2003 - 2009
29
Tabel 3.2. Presentase Penduduk yang Mengalami Keluhan Kasehatan Menurut Jenis Kelamin di kabupaten Bandung Tahun 2006 – 2009
31
Tabel 3.3. Presentase lamanya Sakit Penduduk Kabupaten Bandung Tahun 2007 – 2009
32
Tabel 3.4. APK Menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung Tahun 2008 – 2009
38
Tabel 3.5. Presentase Penduduk Usia 10 Tahun Keatas menurut Pendidikan yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin di kabupaten Bandung Tahun 2008 - 2009
44
Tabel 3.6. Persentase Lapangan Pekerjaan Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas di Kabupaten Bandung Tahun 2006 - 2009
50
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1. Piramida Penduduk Kabupaten Bandung Tahun 2009
21
Gambar 3.2. Analisis Derajat Kesehatan
23
Gambar 3.3. Angka Kematian bayi (AKB) dan Angka Harapan Hidup (AHH) Kabupaten Bandung Tahun 2003 – 2009
25
Gambar 3.4. Presentase Balita Berdasarkan Penolong Pertama Kelahiran di Kabupaten Bandung Tahun 2007 – 2009
28
Gambar 3.5. Presentase Balita Berdasarkan Penolong Terakhir Kelahiran di Kabupaten Bandung Tahun 2007 – 2009 Gambar 3.6. Presentase Balita Menurut Lamanya diberi ASI di Kabupaten Bandung tahun 2009 Gambar 3.7. APK Menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung Tahun 2009
28
Gambar 3.8. Perbandingan APK dan APM menurut Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung Tahun 2009
39
Gambar 3.9. APM Menurut Jenis kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung Tahun 2009
39
Gambar 3.10. APS Menurut jenis Kelamin dan Jenjang pendidikan di Kabupaten Bandung Tahun 2009
42
Gambar 3.11. Tingkat Kesempatan kerja, Pengangguran dan TPAK Menurut Jenis kelamin di Kabupaten Bandung Tahun 2009
48
Gambar 4.1. Pertumbuhan IPM Kabupaten Bandung Tahun 2004 – 2009
52
Gambar 4.2. Pertumbuhan Angka Harapan Hidup (AHH) di Kabupaten Bandung Tahun 2004 – 2009
54
Gambar 4.3. Pertumbuhan Komponen Penyusun Indeks Pendidikan di Kabupaten Bandung Tahun 2004 - 2009
55
Gambar 4.4. Pertumbuhan komponen Daya beli (PPP) di Kabupaten Bandung Tahun 2004 - 2009
56
Gambar 4.5. Sebaran Angka Pencapaian IPM menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung Tahun 2009
59
Gambar 4.6. Peringkat Tujuh Kecamatan yang memiliki IPM Tertinggi di Kabupaten Bandung Tahun 2009
60
Gambar 4.7. Sebaran Pencapaian Angka AHH Menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung Tahun 2009
62
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
30 37
vii
Gambar 4.8. Sebaran Pencapaian Angka AMH Menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung Tahun 2009
64
Gambar 4.9. Sebaran Pencapaian Angka RLS Menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung Tahun 2009
66
Gambar 4.10. Sebaran Pencapaian Angka PPP Menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung Tahun 2009
68
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Pengembangan sumber daya manusia dinilai menjadi upaya yang
sangat mendesak terutama dalam pembangunan bidang ekonomi di Kabupaten Bandung menyongsong era perdagangan bebas. Hal tersebut sangat relevan bila melihat kondisi SDM di Kabupaten Bandung yang selama ini masih tergolong rendah, baik dibidang pendidikan, kesehatan, maupun daya beli masyarakat. Kualitas penduduk yang rendah akan mempunyai daya saing yang rendah, tidak memiliki kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang berkualitas, serta tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak. Pembangunan manusia atau peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi hal yang sangat penting. Penekananan terhadap pentingnya peningkatan SDM dalam pembangunan menjadi suatu kebutuhan, sebab kualitas manusia di suatu wilayah memiliki andil besar dalam menentukan keberhasilan pengelolaan pembangunan di suatu wilayah. Pencapaian
angka
IPM
Kabupaten
Bandung
masih
tertinggal
dibanding kabupaten/kota sekitarnya. Beberapa tahun yang lalu Kabupaten Bandung telah berusaha untuk mengejar ketertinggalannya. Berbagai upaya akselerasi
dan
pendanaan
telah
dilakukan
untuk
mencapai
tujuan
pembangunan manusia (human development) yang selama ini telah dirumuskan oleh UNDP. Pendanaan tidak terbatas dari APBD II, pendanaan APBN dan APBD I juga turut menunjang upaya akselerasi tersebut. Upaya untuk mencapai umur panjang dan sehat, memiliki ilmu pengetahuan dan mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak dilakukan melalui berbagai program terobosan. Pembangunan manusia yang dilakukan tidak terbatas kepada peningkatan kemampuan manusia dalam hal kesehatan dan pendidikan. Upaya yang dilakukan juga memperhatikan apa yang bisa dilakukan oleh manusia dengan kemampuan
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
1
yang dimilikinya, untuk menikmati kehidupan, melakukan kegiatan produktif, atau ikut serta dalam berbagai kegiatan budaya, dan sosial politik. Tujuan pembangunan manusia Kabupaten Bandung harus dapat menyeimbangkan berbagai aspek tersebut, sebab tujuan utama dari pembangunan manusia adalah untuk memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki manusia. Semakin tinggi pendidikan semakin banyak peluang-peluang yang bisa diraih, menggabungkan aspek produksi dan distribusi komoditas, serta peningkatan dan pemanfaatan kemampuan manusia. Pembangunan manusia merupakan paradigma pembangunan yang menempatkan manusia sebagai fokus dan sasaran akhir dari seluruh kegiatan pembangunan, yaitu tercapainya penguasaan atas sumber daya (pendapatan untuk mencapai hidup layak), peningkatan derajat kesehatan (usia hidup panjang dan sehat) dan meningkatkan pendidikan (kemampuan baca tulis dan keterampilan untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat dan kegiatan ekonomi). Pembangunan manusia melihat secara bersamaan semua isu dalam masyarakat; pertumbuhan ekonomi, perdagangan, ketenagakerjaan, kebebasan politik ataupun nilai-nilai kultural dari sudut pandang manusia. Pembangunan manusia juga mencakup isu penting lainnya, yaitu jender. Dengan demikian, pembangunan manusia tidak hanya memperhatikan sektor sosial, tetapi merupakan pendekatan yang komprehensif dari semua sektor. Menurut UNDP (1995), paradigma pembangunan manusia terdiri dari empat komponen utama, yaitu : (1) Produktifitas,
masyarakat harus dapat meningkatkan produktifitas mereka dan berpartisipasi secara penuh dalam proses memperoleh penghasilan dan pekerjaan berupah. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi adalah salah satu bagian dari jenis pembangunan manusia.
(2) Ekuitas,
masyarakat harus punya akses untuk memperoleh kesempatan yang adil. Semua hambatan terhadap peluang ekonomi dan politik harus dihapus agar masyarakat
dapat
berpartisipasi
di
dalam
dan
memperoleh manfaat dari kesempatan-kesempatan ini.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
2
(3) Kesinambungan, akses untuk memperoleh kesempatan harus dipastikan tidak hanya untuk generasi sekarang tapi juga generasi yang akan datang. Segala bentuk permodalan fisik, manusia, lingkungan hidup, harus dilengkapi. (4) Pemberdayaan,
pembangunan harus dilakukan oleh masyarakat dan bukan
hanya
untuk
mereka.
Masyarakat
harus
berpartisipasi penuh dalam mengambil keputusan dan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka. Tiga aspek yang patut menjadi perhatian dalam peningkatan SDM, yaitu peningkatan kualitas fisik (kesehatan), intelektualitas (pendidikan), maupun kemampuan ekonominya (daya beli) seluruh komponen masyarakat. Hal lainnya adalah pembinaaan aspek moral (keimanan dan ketaqwaan), sinergi pemanfaatan kemampuan fisik, kecerdasan dan daya beli merupakan perwujudan dari rasa keimanan dan ketaqwaan. Tingkat pendidikan dan kesehatan individu penduduk merupakan faktor dominan yang perlu mendapat prioritas utama dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Tingkat pendidikan dan kesehatan penduduk berpengaruh terhadap kemampuan untuk menyerap dan mengelola sumbersumber pertumbuhan ekonomi baik dalam kaitannya dengan teknologi sampai kelembagaan yang penting dalam upaya meningkatkan tingkat kesejahteraan penduduk itu sendiri yang semuanya bermuara pada aktivitas perekonomian yang maju. Kebijakan pembangunan yang tidak berorientasi kepada peningkatan
kualitas
manusia
hanya
akan
membuat
daerah
yang
bersangkutan tertinggal dari daerah lain. IPM merupakan wujud dari komitmen tujuan nasional yang ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Pembangunan sumber daya manusia di Kabupaten Bandung perlu dijabarankan lebih jelas, rinci dan terarah. Untuk keperluan tersebut diperlukan sistem pemantauan dan pelaporan yang dapat mengidentifikasi kesenjangan (baik kesenjangan antar waktu maupun antar wilayah) dan keadaan (target) yang diharapkan. Pengukuran kemajuan pencapaian menuju
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
3
keadaan yang diinginkan memerlukan seperangkat ukuran-ukuran atau indikator yang dapat dipantau. Sedangkan penentuan indikator yang relevan memerlukan kerangka pemikiran dan analisis yang beragam tetapi mampu menggali perbedaan potensi dan masalah yang ada di tingkat kabupaten.
1.2.
Tujuan IPM merupakan suatu indeks yang menunjukan tentang aspek-aspek:
peluang hidup panjang dan sehat, mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang memadai serta hidup layak. Secara tegas IPM tersebut merupakan kemudahan dalam memperoleh akses terhadap aspek sosial, budaya dan aspek ekonomi. IPM atau Human Development Indeks (HDI) telah dikembangkan oleh
United Nations Development Program (UNDP). IPM sangat perlu dievaluasi dalam rangka pembangunan suatu daerah karena IPM dapat memberikan kontribusi positif terhadap kesejahteraan masyarakat dilihat dari aspek pendidikan, kesehatan dan kemampuan ekonominya. Pembangunan manusia harus dipahami sebagai salah satu output penting dalam suatu proses perencanaan pembangunan karena IPM merupakan urutan skala kualitas pembangunan manusia yang mengukir keberhasilan pembangunan. Dengan dibuatnya IPM Kabupaten Bandung per kecamatan akan dapat dijadikan sebagai ukuran keberhasilan pembangunan dan
sebagai
bahan
perencanaan
pembangunan
dengan
segenap
intervensinya agar pencapaian pembangunan memiliki sinergi terhadap peningkatan kualitas masyarakatnya. Agar arah pembangunan manusia menuju arah yang lebih baik dan terspesifikasi baik secara sektoral maupun kewilayahan. Penyusunan
IPM
bertujuan
untuk
memaparkan
sejauhmana
perkembangan pembangunan manusia di Kabupaten Bandung dan memberi gambaran
yang
lebih
lengkap
dalam
melihat
sejauhmana
dampak
pembangunan yang dilaksanakan terhadap peningkatan kualitas penduduk.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
4
Disamping itu, dapat diperoleh pula gambaran tentang seberapa besar kemajuan IPM di masing-masing kecamatan setiap tahunnya dan bagaimana kontribusi
kecamatan
dalam
menunjang
akselerasi
pencapaian
IPM
Kabupaten Bandung. Tersedianya informasi tersebut diharapkan akan dapat membantu pihak-pihak yang berkepentingan dalam menyusun program dan kebijakan di Kabupaten Bandung. Khususnya kebijakan yang berkaitan dengan program-program pembangunan manusia di Kabupaten Bandung. 1.3.
Ruang Lingkup dan Sumber Data Perencanaan program pembangunan memerlukan informasi yang
dapat menyajikan gambaran kondisi sebenarnya (represent reality). Semua informasi yang ada akan berguna untuk penunjang bagi analisis, monitoring dan evaluasi suatu kebijakan. Ruang lingkup penyusunan Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2009
mencakup
seluruh
wilayah
administratif
Kabupaten
Bandung.
Sedangkan rentang isu yang dibahas mencakup aspek kependudukan, sosial budaya, ketenagakerjaan, kesehatan, dan pendidikan. Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini sebagian besar berasal dari hasil Survei Khusus IPM, Suseda dan Susenas. Juga dilengkapi dengan data hasil Sensus Penduduk, Sensus Ekonomi, Perhitungan PDRB dan data lain yang dikumpulkan dari berbagai dinas/instansi yang ada kaitannya dengan analisis.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
5
BAB II METODOLOGI
Dalam konsep pembangunan manusia, pembangunan seharusnya dianalisis serta dipahami dari sudut manusianya, bukan hanya dari pertumbuhan ekonominya. Pembangunan yang dapat mencapai manusia yang berharga dan diakui kemanusiaanya dan pencapaiannya. Premis penting dalam pembangunan manusia diantaranya adalah: Pembangunan harus mengutamakan
penduduk
sebagai
pusat
perhatian;
Pembangunan
dimaksudkan untuk memperbesar pilihan-pilihan bagi penduduk, tidak hanya untuk
meningkatkan
pendapatan
mereka;
oleh
karena
itu,
konsep
pembangunan manusia harus terpusat pada penduduk secara keseluruhan, dan bukan hanya pada aspek ekonomi saja; Pembangunan manusia memperhatikan bukan hanya pada upaya meningkatkan kemampuan (kapabilitas)
manusia
tetapi
juga
pada
upaya-upaya
memanfaatkan
kemampuan manusia tersebut secara optimal. Paradigma pembangunan lama menekankan pada pertumbuhan ekonomi yang menempatkan pendapatan sebagai acuan dan yang menjadi alat ukurnya adalah GNP atau GDP per kapita. Alat ukur ini dirasa kurang komprehensip karena hanya melihat satu sisi kehidupan manusia. Sejak tahun 1990, UNDP mengadopsi suatu paradigma baru mengenai pembangunan, yang disebut Paradigma Pembangunan Manusia (PPM). Peradigma ini melihat manusia dari sisi yang lebih komplek dan komprehensip karena disamping memperhitungkan keberhasilan pembangunan manusia dari aspek nonekonomi, juga memperhitungkan keberhasilan pembangunan manusia dari aspek
ekonomi,
yang
diukur
oleh
indikator
bernama
IPM
(Indeks
Pembangunan Manusia). Pembangunan manusia merupakan paradigma pembangunan yang menempatkan manusia (penduduk) sebagai fokus dan sasaran akhir dari seluruh kegiatan pembangunan, yaitu tercapainya penguasaan atas sumber
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
6
daya (pendapatan untuk mencapai hidup layak), peningkatan derajat kesehatan (usia hidup panjang dan sehat) dan meningkatkan pendidikan (kemampuan baca tulis dan keterampilan untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat dan kegiatan ekonomi). IPM merupakan salah satu indikator penting yang dapat digunakan dalam perencanaan kebijakan dan evaluasi pembangunan. IPM mencakup tiga bidang pembangunan manusia yang dianggap paling mendasar, yaitu usia hidup, pengetahuan, dan hidup layak. 2.1.
Pengertian Indikator Petunjuk yang memberikan indikasi tentang sesuatu keadaan dan
merupakan refleksi dari keadaan tersebut disebut juga sebagai Indikator. Dengan kata lain, indikator merupakan variabel penolong dalam mengukur perubahan. Variabel-variabel ini terutama digunakan apabila perubahan yang akan dinilai tidak dapat diukur secara langsung. Indikator yang baik harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain: (1)
sahih (valid), indikator
harus
dapat
mengukur
sesuatu
yang
sebenarnya akan diukur oleh indikator tersebut. (2)
objektif,
untuk hal yang sama, indikator harus memberikan hasil yang sama pula, walaupun dipakai oleh orang yang berbeda dan pada waktu yang berbeda.
(3)
sensitif,
perubahan yang kecil mampu dideteksi oleh indikator.
(4)
spesifik,
indikator
hanya
mengukur perubahan situasi
yang
dimaksud. Namun demikian, perlu disadari bahwa tidak ada ukuran baku yang benar-benar dapat mengukur tingkat kesejahteraan seseorang atau masyarakat.
Indikator bisa bersifat tunggal (indikator tunggal) yang isinya terdiri dari satu indikator, seperti Angka Kematian Bayi (AKB) dan bersifat jamak
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
7
(indikator komposit) yang merupakan gabungan dari beberapa indikator, seperti Indeks Mutu Hidup (IMH) yang merupakan gabungan dari 3 indikator yaitu Angka Melek Huruf (AMH), Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Harapan Hidup dari anak usia 1 tahun (e1). Menurut jenisnya, indikator dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok indikator, yaitu: (a) Indikator Input, yang berkaitan dengan penunjang pelaksanaan program dan turut menentukan keberhasilan program. Seperti: rasio murid-guru, rasio murid-kelas, rasio dokter, rasio puskesmas. (b) Indikator
Proses,
yang
menggambarkan
bagaimana
proses
pembangunan berjalan, seperti: Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM), rata-rata jumlah jam kerja, rata-rata jumlah kunjungan ke puskesmas, persentase anak balita yang ditolong dukun. (c)
Indikator Output/Outcome, yang menggambarkan bagaimana hasil (output) dari suatu program kegiatan telah berjalan, seperti: persentase penduduk dengan pendidikan SLTA ke atas, AKB, Angka Harapan Hidup, TPAK dan lain-lain.
2.2.
Indikator-Indikator Pembangunan Manusia Upaya untuk mengetahui dan mengidentifikasi seberapa besar
kemajuan pembangunan yang telah dicapai suatu wilayah, tentunya diperlukan data-data yang cukup up to date dan akurat. Data-data yang disajikan diharapkan sebagai bahan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan oleh pemerintah tersebut. Apakah pembangunan puskesmas dan puskesmas pembantu telah secara nyata meningkatkan derajat kesehatan masyarakat?
Apakah
pembangunan
gedung
SD
juga
telah
mampu
meningkatkan tingkat partisipasi sekolah di wilayah ini? Apakah program Kejar Paket telah mampu meningkatkan kemampuan baca tulis penduduk secara umum? Dalam konteks tersebut diatas diperlukan pula ukuran-ukuran
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
8
yang tepat untuk digunakan sebagai indikator. Untuk itu perlu kiranya diketengahkan mengenai berbagai ukuran-ukuran yang biasa digunakan sebagai indikator pembangunan. Berbagai program seperti pengadaan pangan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan dan peningkatan kegiatan olah raga dilaksanakan dalam upaya peningkatan taraf kualitas fisik penduduk. Namun demikian, seperti dikatakan Azwini, Karomo dan Prijono (1988:469), tolok ukur yang dapat digunakan untuk menentukan keberhasilan (pembangunan) dalam beberapa hal agak sulit ditentukan. Alat ukur yang sering digunakan untuk menilai kualitas hidup selama ini sebenarnya hanya mencakup kualitas fisik, tidak termasuk kualitas non fisik. Kesulitan muncul terutama karena untuk menilai keberhasilan pembangunan non-fisik indikatornya relatif lebih abstrak dan bersifat komposit. Salah satu pengukuran taraf kualitas fisik penduduk yang banyak digunakan adalah Indeks Mutu Hidup (IMH). Ukuran ini sebenarnya banyak mendapat kritik (Hicks and Streeten, 1979, Rat, 1982, Holidin, 1993a, dan Holidin 1993b) karena mengandung beberapa kelemahan, terutama yang menyangkut
aspek
statistik
dari
keterkaitan
antar
variabel
yang
digunakannya. Terlepas dari kelemahan tersebut, ada nilai lebih dari IMH yang membuat indikator ini banyak digunakan sebagai ukuran untuk menilai keberhasilan program pembangunan pada satu wilayah. Nilai lebih dari IMH ini adalah kesederhanaan didalam penghitungannya. Disamping itu, data yang digunakan untuk menghitung IMH ini pada umumnya sudah banyak tersedia. IMH bisa dihitung dengan mudah setiap tahun untuk setiap wilayah (nasional, propinsi, maupun kabupaten/kota), sehingga dapat dilakukan perbandingan antar wilayah. Sejalan dengan makin tingginya intensitas dalam permasalahan pembangunan, kesederhanaan IMH pada akhirnya kurang mampu untuk menjawab tuntutan perkembangan pembangunan yang semakin kompleks. Untuk itu perlu indikator lain yang lebih reprensentatif dengan tuntutan permasalahan. Dalam kaitan ini, indikator Indeks Pembangunan Manusia
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
9
(IPM; Human Development Index) merupakan salah satu alternatif yang bisa diajukan. Indikator ini, disampaing mengukur kualitas fisik; tercermin dari angka harapan hidup; juga mengukur kualitas non fisik (intelektualitas) melalui lamanya rata-rata penduduk bersekolah dan angka melek huruf; juga mempertimbangkan kemampuan ekonomi
masyarakat di wilayah itu;
tercermin dari nilai purcashing power parity index (ppp). Jadi indikator IPM terasa lebih komprehensif dibandingkan dengan IMH.
2.3.
Metode Penghitungan IPM Perkembangan
pembangunan
manusia
secara
berkelanjutan
diperlukan satu set indikator komposit yang cukup representatif. IPM adalah suatu indikator pembangunan manusia yang diperkenalkan UNDP pada tahun 1990. Pada dasarnya IPM mencakup tiga komponen yang dianggap mendasar bagi manusia dan secara operasional mudah dihitung untuk menghasilkan suatu ukuran yang merefleksikan upaya pembangunan manusia. Ketiga aspek tersebut
berkaitan
dengan
peluang
hidup
(longevity),
pengetahuan
(knowledge), dan hidup layak (decent living). Peluang hidup dihitung berdasarkan angka
harapan hidup ketika
lahir; pengetahuan diukur
berdasarkan rata-rata lama sekolah angka melek huruf penduduk usia 15 tahun keatas dan hidup layak diukur dengan pengeluaran per kapita yang didasarkan pada purchasing power parity (paritas daya beli dalam rupiah). Usia hidup diukur dengan angka harapan hidup atau e0 yang dihitung menggunakan metode tidak langsung (metode Brass, varian Trussel) berdasarkan variabel rata-rata anak lahir hidup dan rata-rata anak yang masih hidup. Komponen pengetahuan diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Sebagai catatan, UNDP dalam publikasi tahunan
Human Development Report (HDR). Indikator angka melek huruf diperoleh dari variabel kemampuan membaca dan menulis, sedangkan indikator ratarata lama sekolah dihitung dengan menggunakan dua variabel secara simultan; yaitu tingkat/kelas yang sedang/pernah dijalani dan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
10
Komponen standar hidup layak diukur dengan indikator rata-rata konsumsi riil yang telah disesuaikan. Sebagai catatan, UNDP menggunakan indikator Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita riil yang telah disesuaikan (adjusted real GDP per capita) sebagai ukuran komponen tersebut karena tidak tersedia indikator lain yang lebih baik untuk keperluan perbandingan antar negara. Penghitungan
indikator
konsumsi
riil
per
kapita
yang
telah
disesuaikan dilakukan melalui tahapan pekerjaan sebagai berikut : Menghitung pengeluaran konsumsi per kapita (=A) . Mendeflasikan nilai A dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) ibukota propinsi yang sesuai (=B). Menghitung daya beli per unit (=Purchasing Power Parity (PPP)/unit). Metode
penghitungan
sama
seperti
metode
yang
digunakan
International Comparison Project (ICP) dalam menstandarkan nilai PDB suatu negara. Data dasar yang digunakan adalah data harga dan kuantum dari suatu basket komoditi yang terdiri dari nilai 27 komoditi. Membagi nilai B dengan PPP/unit (=C). Menyesuaikan nilai C dengan formula Atkinson sebagai upaya untuk memperkirakan nilai marginal utility dari C. Penghitungan PPP/unit dilakukan dengan rumus :
E
( i, j )
j PPP / unit = -------------------------
(p( 9, j ) . q ( i,,j )
j dimana, E( i,
j)
: pengeluaran konsumsi untuk komoditi j di kabupaten ke-i
P( 9, j ) : harga komoditi j di DKI Jakarta (Jakarta Selatan) q( i,,j ) : jumlah komoditi j (unit) yang dikonsumsi di kabupaten ke-i
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
11
Tabel 2.1. Daftar Komoditi Terpilih Untuk Menghitung Paritas Daya Beli (PPP)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
Komoditi
Unit
(1)
(2)
Beras lokal Tepung terigu Ketela pohon Ikan tongkol/tuna/cakalang Ikan teri Daging sapi Daging ayam kampung Telur ayam Susu kental manis Bayam Kacang panjang Kacang tanah Tempe Jeruk Pepaya Kelapa Gula pasir Kopi bubuk Garam Merica/lada Mie instant Rokok kretek filter Listrik Air minum Bensin Minyak tanah Sewa rumah Total
Kg Kg Kg Kg Ons Kg Kg Butir 397 gram Kg Kg Kg Kg Kg Kg Butir Ons Ons Ons Ons 80 gram 10 batang Kwh M3 Liter Liter Unit
Sumbangan thd total konsumsi (%) *) (3) 7.25 0.10 0.22 0.50 0.32 0.78 0.65 1.48 0.48 0.30 0.32 0.22 0.79 0.39 0.18 0.56 1.61 0.60 0.15 0.13 0.79 2.86 2.06 0.46 1.02 1.74 11.56 37.52
Sumber : Badan Pusat Statistik
Unit kuantitas rumah dihitung berdasarkan indeks kualitas rumah yang dibentuk dari tujuh komponen kualitas tempat tinggal. Ketujuh komponen kualitas yang digunakan dalam penghitungan indeks kualitas rumah diberi skor sebagai berikut :
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
12
Lantai : keramik, marmer, atau granit = 1, lainnya = 0
Luas lantai per kapita : > 10 m2 = 1, lainnya = 0
Dinding : tembok = 1, lainnya = 0
Atap : kayu/sirap, beton = 1, lainnya = 0
Fasilitas penerangan : listrik = 1, lainnya = 0
Fasilitas air minum : leding = 1, lainnya = 0
Jamban : milik sendiri = 1, lainnya = 0
Skor awal untuk setiap rumah = 1
Indeks kualitas rumah merupakan penjumlahan dari skor yang dimiliki oleh suatu rumah tinggal dan bernilai antara 1 sampai dengan 8. Kuantitas dari rumah yang dikonsumsi oleh suatu rumah tangga adalah Indeks Kualitas Rumah dibagi 8. Sebagai contoh, jika suatu rumah tangga menempati suatu rumah tinggal yang mempunyai Indeks Kualitas Rumah = 6, maka kuantitas rumah yang dikonsumsi oleh rumah tangga tersebut adalah 6/8 atau 0,75 unit. Rumus Atkinson (dikutip dari Arizal Ahnaf dkk, 1998;129) yang digunakan untuk penyesuaian rata-rata konsumsi riil secara matematis dapat dinyatakan sebaga berikut : C (i)* = C(i) jika C(i) < Z = Z + 2(C(i) – Z) = Z + 2(Z)
(1/2)
(1/2)
+ 3(C(i) – 2Z)
jika Z < C(i) < 2Z (1/3)
= Z + 2(Z) (1/2)+ 3(Z) (1/3)+4(C(i) – 3Z)
jika 2Z < C(i) < 3Z (1/4)
jika 3Z < C(i) < 4Z
di mana, C(I) =
Konsumsi per kapita riil yang telah disesuaikan dengan PPP/unit (hasil tahapan 5)
Z =
Threshold atau tingkat pendapatan tertentu yang digunakan sebagai batas kecukupan yang dalam laporan ini nilai Z ditetapkan secara arbiter sebesar Rp 547.500,- per kapita setahun, atau Rp 1.500,- per kapita per hari.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
13
2.4.
Rumus dan Ilustrasi Penghitungan IPM Rumus penghitungan IPM dikutip dari Arizal Ahnaf dkk (1998;129) dapat
disajikan sebagai berikut :
IPM = 1/3 (X (1) + X (2) + X (3))
Dimana, X(1) :
Indeks harapan hidup
X(2) :
Indeks pendidikan = 2/3 (indeks melek huruf) + 1/3 (indeks ratarata lama sekolah)
X(3) :
Indeks standar hidup layak
Masing-masing
indeks
komponen
IPM
tersebut
merupakan
perbandingan antara selisih nilai suatu indikator dan nilai minimumnya dengan selisih nilai maksimum dan nilai minimum indikator yang bersangkutan. Rumusnya dapat disajikan sebagai berikut :
Indeks X(i) = (X(i) - X(i)min) / (X(i)maks - X(i)min) dimana, X(i)
:
Indikator ke-i (i = 1,2,3)
X(i)maks :
Nilai maksimum X(i)
X(i)min
Nilai minimum X(i)
:
Nilai maksimum dan nilai minimum indikator X(i) disajikan pada Tabel 2.2.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
14
Tabel 2.2. Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM Indikator Komponen IPM (=X(I))
Nilai maksimum
Nilai Minimum
(1)
(2)
(3)
85
25
100
0
15
0
Angka Harapan Hidup Angka Melek Huruf Rata-rata lama sekolah Konsumsi per kapita yang disesuaikan
Catatan:
2.5.
732.720
a)
300.000
Catatan (4) Sesuai standar global (UNDP) Sesuai standar global (UNDP) Sesuai standar global (UNDP) UNDP menggunakan PDB per kapita riil yang disesuaikan
b)
a) Proyeksi pengeluaran riil/unit/tahun untuk propinsi yang memiliki angka tertinggi (Jakarta) pada tahun 2018 setelah disesuaikan dengan formula Atkinson. Proyeksi mengasumsikan kenaikan 6,5 persen per tahun selama kurun 1996-2018. b) Setara dengan dua kali garis kemiskinan untuk propinsi yang memiliki angka terendah tahun 1996 di Papua.
Ukuran Perkembangan IPM Untuk mengukur kecepatan perkembangan IPM dalam suatu kurun
waktu digunakan reduksi shortfall per tahun (annual reduction in shortfall). Ukuran ini secara sederhana menunjukkan perbandingan antara capaian yang
telah ditempuh dengan capaian yang masih harus ditempuh untuk mencapai titik ideal (IPM=100). Prosedur penghitungan reduksi shortfall IPM (=r) (dikutip dari Arizal Ahnaf dkk, 1998;141) dapat dirumuskan sebagai berikut : (IPM t+n – IPMt) x 100 r=
1/n
--------------------------(IPM ideal – IPMt)
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
15
dimana,
2.6.
IPM
t
:
IPM pada tahun t
IPM
t+n
:
IPM pada tahun t + n
IPM
ideal
:
100
Beberapa Definisi Operasional Indikator Terkait Untuk bisa melihat dengan jelas dan terarah beragam permasalahan
pembangunan manusia selama ini dan bagaimana mengimpelmentasikan program-program pembangunan secara baik dan terukur diperlukan ukuran atau indikator yang handal. Beberapa indikator yang sering digunakan diantaranya adalah :
Rasio jenis kelamin
Perbandingan antara penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan, dikalikan 100.
Angka ketergantungan
Perbandingan antara jumlah penduduk usia < 15 tahun ditambah usia > 65 tahun terhadap penduduk usia 15 - 64 tahun, dikalikan 100.
Rata-rata Lama Sekolah
Lama sekolah (tahun) penduduk usia 15 tahun ke atas.
Angka Melek Huruf
Proporsi penduduk usia 15 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis (baik huruf latin maupun huruf lainnya).
Angka Partisipasi Murni SD
Proporsi penduduk usia 7-12 tahun yang sedang bersekolah di SD.
Angka Partisipasi Murni SLTP
Proporsi penduduk usia 13 - 15 tahun yang sedang bersekolah di SLTP.
Angka partisipasi Murni SLTA
Proporsi pendudk usia 16 - 18 tahun yang sedang bersekolah di SLTA.
Persentase penduduk dengan pendidikan SLTP ke atas
Proporsi penduduk yang menamatkan pendidikan SLTP atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
16
Jumlah penduduk usia Banyaknya penduduk yang berusia antara 7 sekolah sampai 24 tahun. Bekerja
Melakukan kegiatan/ pekerjaan paling sedikit 1 (satu) jam berturut-turut selama seminggu dengan maksud untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan. Pekerja keluarga yang tidak dibayar termasuk kelompok penduduk yang bekerja.
Angkatan Kerja
Penduduk usia 10 tahun keatas yang bekerja atau mencari pekerjaan.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
Perbandingan angkatan kerja terhadap penduduk usia 10 tahun.
Angka Pengangguran Terbuka
Perbandingan penduduk terhadap angkatan kerja.
Persentase pekerja yang setengah menganggur
Proporsi penduduk usia 10 tahun keatas yang bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu.
Persentase pekerja dengan status berusaha sendiri
Proporsi penduduk usia 10 tahun keatas dengan status berusaha sendiri.
Persentase pekerja dengan status berusaha sendiri dibantu pekerja tidak tetap
Proporsi penduduk usia 10 tahun keatas dengan status berusaha sendiri dibantu pekerja tak dibayar
Persentase pekerja dengan status berusaha dengan buruh tetap
Proporsi penduduk usia 10 tahun keatas yang berusaha dengan buruh tetap
Persentase pekerja dengan status berusaha pekerja tak dibayar
Proporsi penduduk usia 10 tahun ke atas dengan status pekerja keluarga.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
yang
mencari
kerja
17
Persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga medis
Proporsi balita yang kelahirannya ditolong oleh tenaga medis (dokter, bidan dan tenaga medis lainnya).
Angka Harapan Hidup waktu lahir
Perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir yang akan dicapai oleh sekelompok penduduk.
Angka Kematian Bayi
Besarnya kemungkinan bayi meninggal sebelum mencapai usia satu tahun, dinyatakan dengan per seribu kelahiran hidup.
Persentase rumah tangga berlantai tanah
Proporsi rumah tangga yang tinggal dalam rumah dengan lantai tanah.
Persentase rumah tangga beratap layak
Proporsi rumah tangga yang menempati rumah dengan atap layak (atap selain dari dedaunan).
Persentase rumah tangga berpenerangan listrik
Proporsi rumah tangga sumber penerangan listrik.
Persentase rumah tangga bersumber air minum leding
Proporsi rumah tangga dengan sumber air minum leding.
Persentase rumah tangga bersumber air minum bersih
Proporsi rumah tangga dengan sumber air minum pompa/sumur/mata air yang jaraknya lebih besar dari 10 meter dengan tempat penampungan limbah kotoran terdekat.
Persentase rumah tangga berjamban dengan tangki septik
Proporsi rumah tangga yang mempunyai jamban dengan tangki septik.
Pengeluaran
Pengeluaran per kapita untuk makanan dan bukan makanan. Makanan mencakup seluruh jenis makanan termasuk makanan jadi, minuman, tembakau dan sirih. Bukan makanan mencakup perumahan, sandang, biaya kesehatan, pendidikan dan sebagainya.
Gini Rasio
Ukuran kemerataan pendapatan yang dihitung berdasarkan kelas pendapatan. Nilai Gini Rasio terletak antara 0 yang mencerminkan kemerataan sempurna dan 1 yang menggambarkan ketidak merataan sempurna.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
yang
menggunakan
18
Penduduk Miskin
Penduduk yang secara ekonomi tidak mampu memenuhi kebutuhan makanan setara 2100 kalori dan kebutuhan non makanan yang mendasar.
Garis Kemiskinan
Suatu batas dimana penduduk dengan pengeluaran kurang dari batas tersebut dikategorikan sebagai miskin. Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen yaitu komponen batas kecukupan pangan (GKM), dan komponen batas kecukupan non makanan (GKNM).
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
19
BAB III GAMBARAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI KABUPATEN BANDUNG
Sebagai suatu besaran komposit yang dibangun dari berbagai indikator tunggal di bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi, maka IPM baik langsung maupun tidak langsung akan dipengaruhi oleh berbagai kondisi sosial ekonomi yang ada. Karena merupakan indikator komposit, maka intervensi untuk meningkatkan angka IPM tidak dapat dilakukan langsung terhadap indikatornya, namun harus dilakukan terhadap indikator tunggal pembentuknya. Untuk indikator kesehatan dan daya beli, penghitungan yang dilakukan didasarkan kepada penghitungan teknis yang kurang operasional, sehingga akan lebih mudah melakukan intervensi tidak langsung dengan menganalisis indikator-indikator tunggal di bidang kesehatan dan ekonomi. Gambaran kondisi sosial-ekonomi masyarakat Kabupaten Bandung yang lebih detail merupakan upaya untuk mencermati kondisi kesejahteraan masarakat yang erat hubungannya dengan indikator IPM. Uraian berikut akan memaparkan hasil pembangunan manusia di Kabupaten Bandung yang mencakup berbagai bidang pembangunan, khususnya yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan indikator IPM.
3.1.
Kependudukan Jumlah penduduk Kabupaten Bandung pada
tahun 2006 =
2.994.551 jiwa 2007 = 3.038.082 jiwa, dan pada tahun 2008 = 3.127.008 jiwa (pasca pemekaran wilayah berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 2007, Kabupaten Bandung dibagi menjadi dua wilayah, yaitu Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat). Laju pertumbuhan penduduk tahun 2007 sebesar 1,45 persen, dan tahun 2008 mencapai 2,93 persen. Pada tahun 2009, penduduk meningkat sebesar 1,47 persen, sehingga jumlahnya menjadi 3.172.860 jiwa. Penduduk sejumlah tersebut mendiami wilayah seluas 1.767,93
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
20
km2 sehingga rata-rata kepadatan penduduk Kabupaten Bandung pada tahun 2009 adalah 1.795 jiwa per km2. Komposisi penduduk Kabupaten Bandung menurut struktur umur dan jenis kelamin digambarkan oleh piramida penduduk berikut ini:
Gambar 3.1. Piramida Penduduk Kabupaten Bandung Tahun 2009 75+ 70 - 74 65 - 69 60 - 64 55 - 59 50 - 54 45 - 49 40 - 44 35 - 39 30 - 34 25 - 29 20 - 24 15 - 19 10 - 14 05 - 09 00 - 04 200.000 150.000
100.000
50.000
50.000
0
L
100.000
150.000 200.000
P
Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2009
Piramida penduduk menunjukkan distribusi penduduk menurut umur dan jenis kelamin, serta tingkat perkembangan penduduk pada setiap kelompok umur yang berbeda.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
21
Dari
gambar
piramida
dapat
disimpulkan
bahwa
penduduk
Kabupaten Bandung masih termasuk golongan “penduduk muda menuju transisi”. Hal ini ditunjukkan oleh panjang batang piramida pada kelompok umur penduduk muda (0-9 dan 10-14 tahun) yang sedikit lebih panjang (mencapai 28,48 % dari total penduduk) dari kelompok umur lainnya. Dan batang piramida untuk kelompok umur tua (60 tahun ke atas) yang cukup pendek (mencapai 7,13 % dari total penduduk). Suatu penduduk digolongkan penduduk “muda” apabila proporsi penduduk dibawah 15 tahun sekitar 40 persen dari total penduduk. Sedangkan apabila proporsi penduduk diatas 60 tahun mencapai 10 persen, maka digolongkan penduduk “tua”. Apabila upaya pengendalian penduduk terus dilakukan, dan ditunjukkan dengan terus menurunnya tingkat fertilitas. Dan dilakukan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan, maka pada masa mendatang komposisi penduduk akan didominasi oleh usia produktif. Bila mencermati perbandingan panjang batang piramida pada kelompok umur 0-4 tahun yang lebih pendek dibandingkan kelompok umur 59 tahun, maka dapat disimpulkan bahwa masih terjadi penurunan tingkat fertilitas selama kurun waktu lima tahun terakhir. Hal ini berarti bahwa upaya Kabupaten Bandung mengendalikan jumlah kelahiran cukup berhasil. Informasi penting lainnya yang dapat diperoleh dari piramida penduduk adalah angka beban ketergantungan (Dependency Ratio). Angka beban ketergantungan menunjukkan seberapa jauh penduduk yang berusia produktif/aktif secara ekonomi harus menanggung penduduk yang belum produktif dan pasca produktif. Angka beban ketergantungan merupakan perbandingan antara penduduk yang belum/tidak produktif (usia 0 – 14 tahun dan usia 65 tahun ke atas) dibanding dengan penduduk usia produktif (usia 15 – 64 tahun). Selama kurun waktu 2002-2009 angka beban ketergantungan ini memperlihatkan kecenderungan berfluktuatif. Pada tahun 2002 angka beban ketergantungan penduduk di Kabupaten Bandung mencapai sebesar 53,22 sedikit meningkat menjadi 55,84 pada tahun 2003 dan di tahun 2004 menurun menjadi 52,48, sedangkan pada tahun 2005 menjadi 51,78 dan sedikit naik menjadi 51,81 pada tahun 2006 dan naik kembali ditahun 2007 IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
22
menjadi 51,93. Tahun 2008 angka beban ketergantungan sedikit meningkat menjadi 52,19 dan pada tahun 2009 angka beban ketergantungan kembali menurun menjadi 48,95 yang artinya pada setiap 100 penduduk usia produktif harus menanggung sebanyak 49 penduduk tidak produktif.
3.2.
Kesehatan Tujuan dari pembangunan manusia di bidang kesehatan adalah untuk
mencapai umur panjang yang sehat. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dapat diukur dari tingkat mortalitas dan morbiditas penduduknya. Menurut Henrik L Blum, peningkatan derajat kesehatan dipengaruhi oleh empat faktor penentu, yaitu : faktor lingkungan berpengaruh sebesar 45 persen, perilaku kesehatan sebesar 30 persen, pelayanan kesehatan sebesar 20 persen dan kependudukan/keturunan berpengaruh sebesar 5 persen. Hubungan derajat kesehatan dengan keempat faktornya digambarkan sebagai berikut: Gambar 3.2. Analisis Derajat Kesehatan
Lingkungan 45 persen
DERAJAT KESEHATAN Morbiditas & mortalitas
Keturunan 5 persen
Pelayanan Kesehatan 20 persen
Perilaku 30 persen
Sumber: Depkes RI
Berdasarkan bagan di atas, maka peningkatan kesehatan lingkungan dan pelayanan kesehatan merupakan faktor yang sangat memungkinkan untuk diintervensi dengan cepat, dan kontribusinya mencapai 65 persen. Sedangkan
perubahan
perilaku,
meskipun
dapat diintervensi,
namun
perubahannya memerlukan waktu yang cukup lama. IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
23
Departemen Kesehatan telah mencanangkan visi pembangunan kesehatan, yaitu tercapainya penduduk dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia. Untuk mencapai visi tersebut ditetapkan arah kebijakan bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial yang dirangkum ke dalam sembilan butir kebijakan sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 25 Tahun
2000
tentang
Program
Pembangunan
Nasional
(Propenas).
Kesembilan butir tersebut antara lain: meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan paradigma sehat, memelihara dan meningkatkan mutu lembaga dan pelayanan kesehatan melalui pemberdayaan SDM, dan lain-lain. Selanjutnya kebijakan tersebut dijabarkan dalam tujuh program kesehatan pokok, antara lain: peningkatan lingkungan sehat, perilaku sehat dan pemberdayaan masyarakat, upaya kesehatan, perbaikan gizi masyarakat, peningkatan kemampuan dan pengadaan sumber daya kesehatan, dan lain-lain. Angka Harapan Hidup saat dilahirkan (AHHo) / Expectation of Life at
Birth (e0), Angka Kematian Bayi (AKB) / Infant Mortality Rate (IMR), angka kematian kasar, dan status gizi, merupakan indikator yang mencerminkan derajat
kesehatan.
Dari
indikator-indikator
tersebut
yang
disepakati
digunakan sebagai acuan untuk mengukur kemajuan pembangunan manusia adalah Angka Harapan Hidup saat dilahirkan (AHHo). Gambar 3.3. memperlihatkan bahwa selama periode tahun 2003– 2009 angka harapan hidup cenderung mengalami peningkatan. Angka harapan hidup Kabupaten Bandung meningkat dari 65,40 tahun pada tahun 2003, menjadi 68,94 tahun pada tahun 2009. Seiring teori yang ada, angka harapan hidup berbanding terbalik dengan angka kematian (bayi lahir mati, kematian bayi dibawah 1 tahun, kematian anak dibawah lima tahun dan kematian ibu). Makin tinggi kualitas kesehatan menyebabkan makin rendahnya angka kematian, dan berakibat kepada meningkatnya harapan untuk hidup.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
24
Perbandingan dua indikator bidang kesehatan di kabupaten Bandung diperlihatkan pada gambar berikut:
Gambar 3.3. Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Harapan Hidup (AHH) Kabupaten Bandung, Tahun 2003-2009 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
AHH
65.40
65.85
66.23
66.98
67.33
68.42
68.94
AKB
47.74
46.37
43.50
40.18
38.72
37.36
36.02
AHH
AKB
Angka kematian bayi pada tahun 2003 adalah sebesar 48 bayi per 1000 kelahiran hidup. Pada tahun 2009 angka kematian bayi sudah berhasil ditekan hingga mencapai 36 bayi per 1000 kelahiran hidup. Artinya sepanjang rentang waktu enam tahun angka kematian bayi mengalami penurunan yang sangat signifikan sebagai dampak pelaksanaan pembangunan disegala bidang,
termasuk
didalamnya
intervensi
program
kesehatan
yang
dilaksanakan di seluruh wilayah Kabupaten Bandung. Menurut
"B-Pichart
classification"-Stan
D'Souza
(1984)
dalam
Brotowasisto (1990), Angka kematian Bayi dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah, yaitu:
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
25
1. Daerah dengan AKB diatas 100 per seribu kelahiran bayi hidup sebagai daerah soft-rock, di mana sebagian besar kejadian kematian bayi disebabkan oleh penyakit menular. 2. Daerah dengan AKB 30-100 per seribu kelahiran hidup dikategorikan sebagai daerah intermediate-rock, yang memerlukan perubahan sosial untuk menurunkan AKB-nya. 3. Daerah dengan AKB di bawah 30 per seribu kelahiran bayi hidup diklasifikasikan sebagai daerah hard-rock, yaitu hanya sebagian kecil saja kematian yang disebabkan oleh penyakit menular dan sebagian besar disebabkan oleh kelahiran bawaan atau congenital. Berdasarkan kriteria diatas, maka dengan tingkat kematian bayi yang terjadi pada tahun 2009, Kabupaten Bandung masih termasuk kategori: daerah
intermediate-rock, yang memerlukan perubahan sosial untuk
menurunkan AKB-nya. Menurut pendapat Singarimbun (1988: vii-viii) ada beberapa faktor yang memiliki kekuatan dalam menurunkan angka kematian, khususnya kematian bayi dan anak, yaitu: a. Adanya kemajuan ekonomi dalam meningkatkan taraf hidup; b. Adanya kemajuan teknologi kesehatan; c. Adanya kesadaran perbaikan sanitasi dan higiena; dan d. Adanya peningkatan persediaan makanan dan perbaikan gizi.
Kabupaten Bandung mempunyai wilayah yang cukup luas sehingga upaya peningkatan derajat kesehatan melalui penurunan angka kematian bayi secara signifikan sangat membutuhkan perhatian lebih dan kerja keras. Terutama masyarakat
dalam
melakukan
yang berkaitan
intervensi
problem-problem
kesehatan
dengan kesehatan ibu, bayi dan anak. Pada
daerah-daerah yang memiliki persebaran AKB yang cukup tinggi, terutama terjadi di wilayah Bandung selatan, peningkatan akses terhadap layanan kesehatan harus tetap diprioritaskan. Resiko kematian bayi lebih besar bagi bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan gizi, dibandingkan dengan ibu yang memiliki gizi cukup. IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
26
Pada umumnya kekurangan gizi berkorelasi positif dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah. Penyebab tingginya angka kematian bayi selain karena masalah infeksi/penyakit dan berat bayi lahir rendah, juga berkaitan erat dengan kondisi pada fase kehamilan, pertolongan kelahiran yang aman dan perawatan bayi pada saat dilahirkan. Kondisi
yang
cukup
menggembirakan
adalah
capaian
pada
pertolongan pertama persalinan. Kondisi menurut hasil Suseda tahun 2007, masih terdapat 45,59 persen balita yang lahir hanya mendapatkan pertolongan persalinan dari non tenaga kesehatan (non nakes) seperti dukun, dan 1,19 persen dibantu oleh non nakes lainnya. Pada tahun 2008 penanganan persalinan oleh tenaga non nakes dapat dikurangi menjadi 37,17 persen persalinan yang dibantu dukun bersalin, dan 0,41 persen oleh tenaga non nakes lainnya. Dan pada tahun 2009 persalinan oleh dukun bersalin dapat diturunkan menjadi 36,18 persen, dan oleh non nakes lainnya sebesar 0,27 persen. Pada gambar 3.4 dan 3.5 terlihat bahwa pada tiga tahun terakhir terlihat banyak terjadi kasus rujukan persalinan yang dilakukan oleh dukun bayi kepada bidan atau dokter (ditunjukkan oleh penolong persalinan pertama oleh dukun bayi pada tahun 2009 sebesar 36,18 persen, dan pertolongan terakhir menurun menjadi 34,43 persen. Sementara itu penolong terakhir persalinan
oleh dokter meningkat menjadi 5,94 persen (dari
penolong pertama kelahiran 5,59 persen); dan oleh bidan meningkat menjadi 59,01 persen (dari penolong pertama kelahiran 57,51 persen). Penanganan persalinan oleh non nakes memiliki peluang yang lebih besar untuk terkena infeksi atau perawatan pasca persalinan yang kurang baik dibandingkan dengan persalinan yang ditolong oleh tenaga nakes seperti dokter, bidan, maupun tenaga paramedis. Oleh karena itu, peranan tenaga medis dalam pertolongan persalinan harus terus ditingkatkan. Karena berbagai hal, masyarakat masih menggunakan bantuan dukun beranak pada proses persalinan, maka upaya untuk meningkatkan kualitas penanganan persalinan agar dilakukan, baik dengan cara pelatihan bagi dukun beranak, maupun kemitraan dukun beranak dengan nakes. IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
27
Gambar 3.4. Persentase Balita Berdasarkan Penolong Pertama Kelahiran di Kabupaten Bandung, Tahun 2007-2009
60 50 40 30 20 10 0
Dokter
Bidan
Nakes Lain
Dukun
Lainnya
2007
6,56
46,08
0,58
45,59
1,19
2008
4,42
57,57
0,43
37,17
0,41
2009
5,59
57,51
0,45
36,18
0,27
Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2007-2009 Gambar 3.5. Persentase Balita Berdasarkan Penolong Terakhir Kelahiran di Kabupaten Bandung, Tahun 2007-2009 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 Dokter
Bidan
Nakes Lain
Dukun
Lainnya
2007
6,60
46,59
0,52
43,18
3,11
2008
4,98
60,54
0,63
31,86
1,99
2009
5,94
59,01
0,45
34,43
0,17
Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2007-2009
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
28
Pencapaian AHH dan AKB juga berkaitan erat dengan tingkat pendidikan keluarga terutama ibu. Usia perkawinan pertama yang semakin meningkat, akan membuat wanita semakin dewasa dalam membina rumahtangganya,
termasuk
dalam
perilaku
kesehatannya.
Pada
saat
mempunyai keturunan, wanita dewasa dan berpendidikan cukup akan berusaha memberikan yang terbaik bagi bayinya, termasuk dalam pemberian ASI. Berdasarkan data Suseda, usia perkawinan pertama wanita di Kabupaten Bandung rata-rata diatas 22 tahun. Tabel 3.1. Angka Kematian Bayi (AKB) dan Rata-rata Umur Perkawinan Pertama Wanita di Kabupaten Bandung, Tahun 2003-2009
Tahun
AKB
[1] 2003
[2] 47,74
Rata-rata Umur Perkawinan Pertama (tahun) [3] 22,12
2004
46,37
21,65
2005
43,50
22,10
2006
40,18
22,16
2007
38.72
22,21
2008
37,36
22,27
2009
36,02
22,56
Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2003-2009 Disamping akibat faktor penanganan pada saat persalinan dan pengaruh usia perkawinan pertama, tinggi rendahnya AKB juga dipengaruhi oleh kualitas gizi berupa pemberian air susu ibu (ASI) dan makanan, serta pemberian imunisasi. Berdasarkan data Suseda 2009 umumnya balita telah diberi ASI selama kurun waktu diatas satu tahun (82,98 persen). Dari balita yang pernah diberi ASI, sebanyak 8,61 persen diberi ASI kurang dari 6 bulan, dan 8,41 persen diberi ASI hanya sampai berumur satu tahun. Dan sebagian IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
29
besar balita (42,86 persen) diberi ASI sampai berumur diatas dua tahun. Kesadaran masyarakat untuk memberikan ASI yang semakin meningkat apabila dibandingkan dengan tahun 2008, dimana yang diberi ASI sampai dengan diatas dua tahun mencapai 36,28 persen. Gambar 3.6. Persentase Balita Menurut Lamanya Diberi ASI di Kabupaten Bandung, Tahun 2009
1 - 5 bulan 8.61%
> 24bulan 42.86%
18 - 23 bulan 20.65%
6 - 11 bulan 8.41%
12 - 17 bulan 19.47%
Pemberian ASI yang seharusnya didapat seorang anak dengan berbagai keunggulannya, mungkin saja tidak dapat dilakukan kerena bebagai alasan, seperti meninggalnya ibu pasca persalinan, ASI yang tidak keluar, atau keluar tapi volumenya tidak mencukupi
kebutuhan bayi dan balita.
Asupan gizi lain bisa diberikan sebagai makanan pendamping ASI. Disamping peningkatan waktu pemberian ASI, berdasarkan data hasil Suseda 2009 ditemukan indikasi bahwa dibandingkan dengan tahun 2008, balita yang diberi ASI meningkat menjadi 96,41 persen. Persentase balita lakilaki yang disusui mencapai 95,84 persen, tidak jauh berbeda dengan balita perempuan yang mencapai 96,97 persen. Kondisi tersebut menunjukkan telah bertumbuh kembangnya kesadaran para orang tua tentang pentingnya membangun kebersamaan dalam membesarkan anak-anak, tanpa adanya perbedaan perlakuan dalam pemenuhan kebutuhan gizinya atau ASI.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
30
Tubuh
manusia
memerlukan
makanan
untuk
menjaga
kelangsungan hidup. Kebutuhan gizi bervariasi sesuai dengan tingkatan umur. Seiring dengan perkembangan usia, semakin besar, anak membutuhkan asupan gizi yang lebih banyak. Kebutuhan gizi remaja akan berbeda dengan bayi dan balita, sama halnya dengan kebutuhan gizi dewasa akan berbeda dengan kebutuhan gizi remaja maupun orang tua. Orang yang mengalami kekurangan
zat
gizi
berpeluang
besar
mengalami
hambatan
dalam
pertumbuhan, baik itu fisik maupun mental. Secara lahiriah salah satunya dapat terlihat dari ukuran tubuh dibawah rata-rata ukuran tubuh normal, kurangnya kecerdasan, selalu lesu, mata minus, dan berbagai permasalahan akibat kurang gizi lainnya. Yang patut diperlihatkan adalah adanya peningkatan persentase penduduk yang mempunyai keluhan kesehatan pada tahun 2009. Pada tabel 3.2 terlihat bahwa penduduk yang mengalami keluhan kesehatan cenderung berkurang pada tahun 2007 dan 2009. Sedangkan pada tahun 2009 terdapat sekitar 26,6 persen penduduk mempunyai keluhan kesehatan, atau terjadi peningkatan penderita, baik laki-laki maupun perempuan. Tabel 3.2 Persentase Penduduk Yang Mengalami Keluhan Kesehatan Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Bandung Tahun 2006-2009
Jenis Kelamin
2006
2007
2008
2009
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
Perempuan
26,54
20,24
22,09
27,84
Laki-laki
25,37
20,88
19,56
25,36
Kab. Bandung
26,31
20,56
20,81
26,60
Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2006-2009 Berdasarkan hasil SUSEDA tahun 2009, persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan lebih banyak dibandingkan dengan dua tahun IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
31
sebelumnya. Namun apabila ditelaah lebih lanjut, terlihat bahwa proses penyembuhan dari penyakit relatif lebih cepat. Lamanya menderita sakit antara 4-7 hari menurun dari 41,10 persen pada tahun 2007, menjadi 40,01 persen pada tahun 2008. Dan menurun menjadi 36,02 persen pada tahun 2009. Kondisi pada tahun 2009, sebagian besar penduduk mengalami sakit dapat sembuh kurang dari 4 hari (52,90 persen). Tabel 3.3 Persentase Lamanya Sakit Penduduk Kabupaten Bandung, Tahun 2007-2009
Lama Sakit
2007
2008
2009
[1]
[2]
[3]
[4]
=<3 Hari
37,29
47,09
52,90
4-7 Hari
41,10
40,01
36,02
8-14 Hari
10,67
5,99
6,14
15-21 Hari
2,95
2,94
1,45
22-30 Hari
7,99
3,98
3,49
100,00
100,00
100,00
Jumlah
Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2007-2009
3.3.
Pendidikan Sebagaimana digariskan dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa salah
satu tujuan berbangsa dan bernegara adalah ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Tujuan ini hanya akan dapat dicapai melalui pendidikan. Oleh karena itu, pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dinyatakan bahwa: setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan dalam ayat 2 ditegaskan: setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Untuk mengaktualisasikan amanah UUD 1945 tersebut, maka pemerintah
Indonesia
mengatur
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
penyelenggaraan
pendidikan
melalui 32
Undang-undang mengenai Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). UU No. 2 tahun 1989 dipandang tidak memadai lagi, serta perlu disempurnakan sesuai amanat perubahan UUD ’45 menjadi dasar pendidikan di Indonesia diselenggarakan sesuai dengan sistem pendidikan nasional yang ditetapkan dalam UU No. 20 tahun 2003 sebagai pengganti. Pendidikan nasional adalah pendidikan berdasarkan UUD dan Pancasila yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Sisdiknas dimaksudkan sebagai arah dan strategi pembangunan nasional bidang pendidikan. Dalam menyongsong era globalisasi, Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitaslah yang akan mampu bersaing dengan SDM negara lain. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah khususnya pemerintah daerah perlu lebih mengedepankan upaya peningkatan kualitas SDM melalui program-program pembangunan
yang
lebih
berorientasi
pada
pemenuhan
kebutuhan
pendidikan baik formal maupun non formal. Karena sudah saatnya masyarakat menyadari bahwa pendidikan merupakan kebutuhan yang penting. Dalam institusi terkecil seperti rumahtangga, pendidikan seyogyanya telah menjadi kebutuhan utama. Pemerintah seharusnya memfasilitasi hal tersebut, karena bagaimanapun juga SDM yang bermutu merupakan syarat utama bagi terbentuknya peradaban yang maju. Bila melihat kemajuan pencapaian IPM di Kabupaten Bandung selama empat tahun terakhir (periode tahun 2006-2009), kontribusi pencapaian
komponen
indeks
pendidikan masih
relatif
paling
tinggi
dibandingkan dua komponen IPM lainnya, yaitu kesehatan dan daya beli. Pencapaian IPM Kabupaten Bandung telah mencapai angka 73,39 di tahun 2009, dimana indeks pendidikan mencapai sebesar 85,61. Kondisi pendidikan jauh lebih baik jika dibandingkan dengan indeks kesehatan yang baru mencapai 73,23, maupun indeks daya beli yang mencapai sebesar 61,31. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa Pemerintah Kabupaten Bandung masih memiliki tugas besar untuk meningkatkan percepatan/akselerasi IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
33
pembangunan dibidang kesehatan dan perekonomian masyarakat guna mendukung daya beli. Tingginya indeks pendidikan dibandingkan dengan dua komponen lainnya belum cukup menunjukkan bahwa kemajuan pembangunan manusia Kabupaten Bandung dibidang pendidikan sudah baik. Bila dilihat dari laju perkembangannya, terlihat adanya penurunan pertumbuhan komponen pendidikan pada periode tahun 2007-2009 dibandingkan dengan periode tahun
sebelumnya.
Pembangunan
di
bidang
pendidikan
cenderung
mengalami perlambatan pertumbuhan dari periode sebelumnya, meskipun secara absolute mengalami peningkatan indeks.
3.3.1. Angka Melek Huruf Indikator melek huruf menggambarkan mutu Sumber Daya Manusia (SDM) yang diukur dari aspek pendidikan. Angka melek huruf yang digunakan pada bahasan berikut adalah pada penduduk dewasan (umur 15 tahun ke atas) yang dapat membaca dan menulis minimal kata-kata/kalimat sederhana aksara tertentu, baik huruf latin atau lainnya. Undang-undang mengamanahkan kepada penyelenggara negara untuk menyediakan anggaran setidaknya 20 persen untuk dialokasikan bagi pembiayaan pendidikan. Hal ini masih sulit untuk dipenuhi, karena minimnya anggaran pemerintah secara keseluruhan maka besaran 20 persen baru terpenuhi
untuk
keseluruhan
anggaran
pendidikan
(termasuk
gaji).
Pemerintah masih harus membiayai pembangunan disektor lain yang harus dilakukan secara sejalan. Namun hal ini setidaknya menunjukkan keseriusan pemerintah terhadap arti penting pendidikan bagi warganya. Keadilan dalam memperoleh pendidikan memang belum merata. Biaya yang harus dikeluarkan untuk mengenyam pendidikan relatif dirasa mahal. Padahal kondisi tersebut akan merendahkan martabat pendidikan itu sendiri sebagai salah satu media pembebasan manusia dari cengkraman kemiskinan. Hal itu mungkin terjadi akibat komersialisasi pendidikan yang
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
34
mereduksi hakikat pendidikan sehingga akan meminggirkan kalangan tidak mampu. Secara umum pembangunan pendidikan di Kabupaten Bandung relatif terus membaik. Hal ini ditunjukkan dengan semakin meningkatnya persentase penduduk yang melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Menurut data Suseda, persentase penduduk dewasa (usia 15 tahun keatas) yang melek huruf di Kabupaten Bandung mencapai 98,23 persen pada tahun 2004, meningkat menjadi 98,65 persen di tahun 2005. pada tahun 2006 menjadi 98,70 persen, dan pada tahun 2007 dan 2008 masing-masing sebesar 98,71 persen dan 98,84 persen.
Pada tahun 2009 angka melek huruf mencapai
98,87 persen.
3.3.2. Tingkat Partisipasi Sekolah Pada awal tahun 1972, ketika program life long education disosialisasikan, kesadaran akan pembangunan manusia ini telah disuarakan oleh Edgar Faure, Ketua The International Commision for Education
Development, yang menekankan bahwa pendidikan merupakan tugas negara yang paling penting. Hal senada oleh pemerintah telah dituangkan pada Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab IV (Hak Dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, Masyarakat Dan Pemerintah) pasal 6 ayat 1, yang mengatakan bahwa “Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”, dan pasal 11 ayat 2 “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin tersedianya dana, guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.” Hal ini berarti bahwa sepatutnya sudah tidak ada lagi anak usia 7-15 tahun yang tidak bersekolah, atau tingkat partisipasi sekolahnya 100 persen. Bila kondisi tersebut dicapai, akan dapat dijadikan modal kuat untuk memperkuat daya saing dibidang pendidikan, sehingga di masa mendatang kualitas kesejahteraan masyarakat Kabupaten Bandung, utamanya dibidang pendidikan tidak hanya berbicara pada skala provinsi tetapi juga ditingkat nasional.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
35
Begitu pula pada rata-rata lama sekolah, pada tahun 2004 rata-rata lama sekolah penduduk Kabupaten Bandung baru sekitar 8,03 tahun meningkat menjadi 8,26 tahun di tahun 2005; 8,39 tahun pada tahun 2006, pada tahun 2007 menjadi 8,58, tahun 2008 mencapai 8,86 tahun. Pada tahun 2009 sedikit mengalami peningkatan menjadi 8,87 tahun. Dilihat dari mutu SDM, di daerah perkotaan cenderung relatif lebih baik dibanding daerah perdesaan, hal ini terjadi karena akses ke berbagai fasilitas dan pelayanan masyarakat, terutama yang berhubungan dengan pendidikan, lebih mudah diperoleh. Kondisi ekonomi juga cenderung lebih baik sehingga kesempatan untuk meningkatkan mutu SDM lebih terbuka bagi penduduk perkotaan. Telah ditentukan segmentasi
usia yang harus
mendapatkan
kesempatan sekolah terletak pada selang usia 7-18 tahun, secara operasional kelompok umur tersebut dipilah menjadi tiga; yaitu usia 7-12 tahun untuk tingkat Sekolah Dasar (SD), usia 13-15 tahun untuk tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan umur 16-18 tahun untuk tingkat pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Pada penduduk kelompok umur 7-12 tahun, secara umum perbedaan partisipasi sekolah antara penduduk perkotaan dengan perdesaan relatif tidak mencolok. Hal ini kemungkinan karena gencarnya promosi program pendidikan dasar yang dilakukan pemerintah di berbagai daerah secara luas dengan disertai oleh bermacam penyaluran dana bantuan pendidikan, mulai dari yang hanya terbatas pada kelompok masyarakat sangat miskin (seperti: Program Keluarga Harapan), hingga yang sifatnya menyeluruh seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Setelah anggaran bidang pendidikan diperbesar, serta berbagai bantuan disalurkan, maka permasalahan putus sekolah di pendidikan dasar harus sudah dapat diselesaikan. Dengan kata lain, rata-rata lama sekolah penduduk Kabupaten Bandung harus dapat melewati angka 9 tahun. Untuk penduduk yang memiliki kemampuan secara ekonomi, harus terus didorong untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Karena memiliki ijazah SLTP saja tidak cukup untuk bersaing memperoleh IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
36
lapangan pekerjaan yang lebih layak. Masalah infrastruktur pendidikan tidak dapat dijadikan alasan, karena usia diatas 15 tahun sudah dikatagorikan dewasa untuk mandiri dan mengakses pendidikan yang lokasinya mungkin cukup jauh dari tempat tinggalnya. Untuk memperoleh gambaran partisipasi penduduk Kabupaten Bandung terhadap pendidikan, ditunjukkan dengan beberapa indikator, yaitu: Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Sekolah (APS). Indikator-indikator tersebut menunjukkan seberapa besar anak usia menurut tingkat pendidikan tertentu berada dalam lingkup pendidikan dan penyerapan dunia pendidikan formal terhadap penduduk usia sekolah.
Gambar 3.7. APK Menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2009
120,0 100,0 80,0 60,0 40,0 20,0 0,0
SD
SLTP
SLTA
PT
Laki-laki
104,18
88,95
63,72
8,25
Perempuan
107,28
87,47
55,28
8,23
Laki-laki + Perempuan
105,69
88,2
59,61
8,24
Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2009 Angka partisipasi kasar menunjukkan proporsi anak sekolah baik lakilaki maupun perempuan pada suatu jenjang pendidikan tertentu dalam kelompok umur yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut. Angka ini memberikan gambaran secara umum mengenai jumlah anak yang menerima IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
37
pendidikan pada jenjang tertentu, dan biasanya tidak memperhatikan umur siswa. APK suatu jenjang pendidikan mungkin saja mempunyai nilai lebih dari 100. Hal ini disebabkan oleh adanya siswa yang berusia di luar batasan usia sekolah (baik lebih muda ataupun lebih tua), namun bersekolah pada jenjang sekolah usia tersebut. Sebagai ilustrasi, pada Gambar 3.7 terlihat bahwa APK SD di Kabupaten Bandung adalah 105,69 persen (lebih dari 100 persen). Artinya masih terdapat sekitar 5,69 persen penduduk diluar usia 7-12 tahun yang berstatus murid SD, bisa berada pada pendidikan di tingkat yang lebih rendah (pendidikan pra sekolah), ataupun lebih tinggi (SLTP). Untuk mengawal bahwa seorang anak harus memperoleh pendidikan yang sesuai dengan usianya, dibutuhkan dukungan masyarakat, serta ketegasan dari institusi pendidikan. Tabel 3.4. APK Menurut Jenis Kelamin, dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2008-2009 2008
2009
Jenjang Pendidikan
L
P
L+P
L
P
L+P
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
SD
99,35
92,97
96,18
104,18
107,28
105,69
SLTP
74,20
86,04
80,06
88,95
87,47
88,20
SLTA
45,14
43,72
40,79
63,72
55,28
59,61
PT
13,63
13,55
13,59
8,25
8,23
8,24
Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2008-2009
Dari sudut kesetaraan jender, pada tingkat SLTP menurut data hasil Suseda 2009, APK murid perempuan sebesar 87,47 relatif sama dengan APK laki-laki yang mencapai 88,95 persen. Artinya tidak ada perbedaan perlakuan terhadap jenis kelamin sampai pada tingkat pendidikan dasar. Namun pada jenjang pendidikan SLTA antara APK laki-laki dibandingkan dengan APK perempuan menunjukkan perbedaan yang tinggi, yaitu sebesar 8,44 persen. IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
38
Gambar 3.8. Perbandingan APK dan APM Menurut Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2009 120,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00
SD
SLTP
SLTA
PT
APM
93,17
72,63
43,27
6,20
APK
105,69
88,2
59,61
8,24
Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2009 Gambar 3.9. APM Menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2009 100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00
SD
SLTP
SLTA
PT
Laki-laki
92,94
72,37
45,43
6,11
Perempuan
93,41
72,89
40,99
6,30
Laki-laki + Perempuan
93,17
72,63
43,27
6,20
Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2009
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
39
Proporsi anak sekolah pada satu kelompok umur tertentu yang bersekolah pada tingkat yang sesuai dengan kelompok umurnya dapat ditunjukan oleh Angka Partisipasi Murni (APM). APM selalu lebih rendah dibandingkan APK karena pembilangnya lebih kecil sementara penyebutnya sama. APM membatasi usia siswa sesuai dengan usia sekolah dan jenjang pendidikan sehingga angkanya lebih kecil. APM adalah indikator yang menunjukkan proporsi penduduk yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan dan usianya sesuai dengan usia sekolah pada jenjang pendidikan tersebut. APM yang bernilai 100 menunjukkan bahwa semua penduduk bersekolah tepat waktu, sesuai dengan usia sekolah dan jenjang pendidikannya. APM SD di Kabupaten Bandung pada tahun 2009 adalah sebesar 93,17 persen, artinya lebih dari 93 persen siswa usia sekolah SD bersekolah tepat waktu, sesuai dengan usia sekolah dan jenjang pendidikannya. Ketidaksesuaian usia dengan jenjang pendidikan yang diikuti dapat dilihat dengan jelas dari selisih antara APK dan APM. Pada jenjang pendidikan SD misalnya, capaian APK SD Kabupaten Bandung pada tahun 2009 sebesar 105,69 persen, masih relatif cukup besar disparitasnya dengan capaian APM SD yang sebesar 93,17 persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat sekitar 12,52 persen murid yang bersekolah di SD tidak sesuai dengan kelompok umur pendidikannya (7-12 tahun). Besarnya kesenjangan tersebut utamanya disebabkan karena sudah ada anak usia pra sekolah (di bawah usia 7 tahun) sudah sekolah di SD, dan ada siswa yang berusia 12 tahun keatas masih bersekolah di SD. Yang perlu diantisipasi adalah jangan sampai kesenjangan tersebut terjadi karena cukup banyaknya murid yang mengulang kelas. Karena hal ini erat hubungannya dengan kualitas pendidikan, dan kondisi ini dapat mengakibatkan terhambatnya pencapaian rata-rata lama sekolah dan pendidikan yang ditamatkan di masa mendatang. Pencapaian rata-rata lama sekolah di suatu daerah dewasa ini masing sangat tergantung kemajuan partisipasi murid pada pendidikan formal, utamanya pada jenjang pendidikan SLTP keatas. Dengan besaran APK pada jenjang pendidikan SLTP keatas di Kabupaten Bandung yang masih belum begitu menggembirakan, tampaknya diperlukan langkah-langkah terobosan
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
40
dan akseleratif oleh segenap komponen; baik jajaran dinas pendidikan, swasta, dan masyarakat agar anak-anak usia sekolah dapat menikmati pendidikan secara baik dan berkelanjutan (sustainable). Perlu diingat, bahwa penghitungan angka rata-rata lama sekolah dihitung hanya untuk golongan usia dewasa (15 tahun keatas). Sehingga apabila partisipasi sekolahnya rendah, maka pertumbuhan angka rata-rata lama sekolahnya cenderung rendah. APM perempuan biasanya lebih rendah daripada APM laki-laki utamanya pada jenjang pendidikan SLTA keatas. Pada jenjang ini mulai terjadi perbedaan pandangan antara orang tua yang masih mengutamakan pendidikan bagi anak laki-laki daripada anak perempuannya. Kebanyakan mereka masih menganut paham laki-laki harus diutamakan dalam segala hal, karena laki-laki nantinya akan jadi pemimpin, terutama dalam lingkup paling kecil yaitu keluarga. Pendidikan yang sedang diikuti digambarkan secara umum oleh Angka Partisipasi Sekolah (APS). Gambar 3.10 memperlihatkan bahwa pada APS penduduk laki-laki relatif lebih rendah dibandingkan APS penduduk perempuan pada kelompok umur pendidikan SD dan SLTP, namun untuk kelompok umur pendidikan yang lebih tinggi, angka partisipasi laki-laki lebih tinggi. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena perempuan
di
Kabupaten Bandung banyak yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan
berikutnya
karena
berbagai faktor, seperti: faktor biaya,
melakukan perkawinan, ataupun karena bekerja. Selain itu masih melekatnya faktor budaya nenek moyang (terutama di perdesaan) yang menganggap bahwa kaum perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan terlalu tinggi karena ujung-ujungnya akan ke dapur juga. Sehingga begitu mereka menamatkan SD atau SLTP, tidak perlu lagi melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sebagian mereka segera menikah dan sebagian lagi bekerja di dapur atau langsung bekerja untuk membantu mendapatkan penghasilan. Adalah tugas bersama untuk membuka wawasan masyarakat tentang pentingnya investasi di bidang pendidikan. Banyak alasan yang harus
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
41
terjawab, salah satunya adalah apakah pendidikan yang lebih tinggi dapat menjanjikannya masa depan bagi putra putri mereka? Dan apakah berpendidikan tinggi akan mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang lebih layak dibandingkan dengan mereka yang tidak melanjutkan sekolah?
Gambar 3.10. APS Menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2009
100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00
SD
SLTP
SLTA
PT
Laki-laki
99,08
86,32
52,80
10,73
Perempuan
99,31
87,98
47,83
8,76
Laki-laki + Perempuan
99,20
87,16
50,38
9,77
Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2009
Fakta yang ada adalah dunia kerja kita masih didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan rendah, seolah-olah menggambarkan bahwa kesempatan masuk ke dunia kerja masih terbuka lebar meskipun dengan tingkat pendidikan yang relatif terbatas. Sehingga memunculkan anggapan di masyarakat bahwa pendidikan tinggi belum menjadi jaminan kemudahan untuk mendapatkan pekerjaan. Rendahnya kesempatan kerja di Kabupaten Bandung tidak saja dirasakan oleh mereka yang berpendidikan rendah, namun juga bagi mereka yang berpendidikan tinggi. Pada akhirnya orangtua lebih memilih untuk mempekerjakan anaknya guna membantu usaha orang
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
42
tua atau meringankan beban ekonomi keluarga ketimbang menyekolahkannya ke jenjang yang lebih tinggi.
3.3.3. Rata-rata Lama Sekolah
Dari
sisi
pemerataan
pendidikan
khususnya
bagi
penduduk
perempuan masih relatif rendah dibandingkan dengan penduduk laki-laki. Menurut data Suseda 2009 penduduk perempuan usia 10 tahun keatas yang mampu melanjutkan pendidikan SLTP keatas sekitar 46,41 persen, lebih tinggi dibandingkan kondisi tahun 2008 yaitu sebesar 42,41 persen. Sedangkan penduduk laki-laki selalu memiliki persentase yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Pada tahun 2009, penduduk laki-laki yang mampu menyelesaikan pendidikan SLTP keatas mencapai 52,26 persen, meningkat dibandingkan tahun 2008 yang mencapai 48,81 persen. Dari perkembangan data pendidikan yang ditamatkan, dapat terlihat bahwa sebagian besar masyarakat sudah tidak lagi mengedepankan pendidikan anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Hal ini ditandai oleh kondisi pada setiap jenjang pendidikan terutama sampai dengan tingkat SLTP, kesenjangan pendidikan antara penduduk laki-laki dan perempuan relatif tidak jauh berbeda.
Menurut data Suseda 2009,
persentase penduduk perempuan yang tamat SD mencapai 37,15 persen relatif lebih baik dibandingkan laki-laki yang hanya mencapai 33,83 persen. Pola yang sama terjadi pula pada tingkat pendidikan SLTP, persentase penduduk perempuan yang tamat SLTP mencapai 25,35 persen sedikit diatas penduduk laki-laki yang mencapai 24,83 persen. Perbedaan mulai terlihat pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Pada tingkat pendidikan SLTA, pada tahun 2009 persentase penduduk perempuan yang menamatkan pendidikan SLTA baru mencapai 17,16 persen jauh lebih rendah dibandingkan penduduk laki-laki yang mencapai 22,74 persen. Kondisi ini dapat dimaklumi, karena pada umumnya lokasi sekolah SLTA relatif lebih jauh, sehingga ada kecenderungan orang tua untuk lebih berani mengirimkan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan untuk
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
43
bersekolah ke tempat yang relatif jauh Juga karena ada pemikiran bahwa suatu saat setelah dewasa, anak laki-laki lebih berkewajiban untuk mencari nafkah bagi keluarganya, sehingga perlu bekal pendidikan yang cukup sebagai bekal untuk mencari nafkah pada saat memasuki dunia kerja. Tabel 3.5. Persentase Penduduk Usia 10 Tahun Keatas Menurut Pendidikan Yang Ditamatkan dan Jenis kelamin di Kabupaten Bandung, Tahun 2008-2009
2008
Pendidikan yang
2009
Ditamatkan
L
P
L+P
L
P
L+P
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
Belum /Tidak tamat SD SD
16,32
18,23
17,27
13,91
16,44
15,17
34,87
39,36
37,11
33,83
37,15
35,48
SLTP
23,89
24,17
24,03
24,83
25,35
25,09
SLTA
21,17
15,30
18,24
22,74
17,16
19,96
Perguruan Tinggi
3,75
2,94
3,35
4,69
3,90
4,30
Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2008-2009 Pendidikan
merupakan
elemen
penting
pembangunan
dan
perkembangan sosial-ekonomi masyarakat. Pendidikan juga berperan penting dalam meningkatkan kualitas hidup individu, masyarakat dan bangsa. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, semakin baik kualitas sumber dayanya. Pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan manusia terdidik yang bermutu dan handal sesuai dengan kebutuhan jaman. Penduduk yang berkemampuan
diharapkan
dapat
meningkatkan
partisipasinya
dalam
berbagai kegiatan, sehingga dimasa mendatang mereka dapat hidup lebih layak.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
44
3.4.
Ketenagakerjaan Capaian kesejahteran masyarakat suatu wilayah sangat tergantung
kepada potensi sumber daya yang dimiliki dan bagaimana potensi SDA yang ada dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Kualitas SDA akan sangat berperan untuk menciptakan dan menggerakkan aktivitas perekonomiannya. Peranan
SDM
dalam
mengelola
perekonomian suatu
wilayah
dapat
ditunjukkan oleh indikator ketenagakerjaan. Salah satu indikator yang biasa dipakai
dalam
melihat
atau
menggambarkan
tingkat
perekonomian
masyarakat adalah laju pertumbuhan angkatan kerja yang terserap di lapangan pekerjaan. Tingginya angkatan kerja di suatu daerah akan menggerakan
perekonomian
daerah
tersebut.
Gambaran
kondisi
ketenagakerjaan seperti persentase angkatan kerja yang bekerja, dan distribusi lapangan pekerjaan sangat berguna untuk melihat prospek ekonomi Kabupaten Bandung. Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat apakah benar-benar digerakan oleh produksi yang melibatkan tenaga kerja daerah atau karena pengaruh faktor lain. Banyaknya penduduk yang bekerja akan berdampak pada peningkatan kemampuan daya beli dan peningkatan pendapatan penduduk sangat menentukan untuk pemenuhan kebutuhan hidup yang layak. Secara sederhana untuk melihat kualitas pembangunan manusia dapat disandarkan kepada dua pendapat Ramirez dkk (1998): Pertama, bahwa kinerja ekonomi mempengaruhi pembanguan manusia, khususnya melalui aktivitas rumahtangga dan pemeritah, aktivitas rumahtangga
yang
memiliki
kontribusi
langsung
terhadap
pembangunan manusia antara lain kecenderungan rumahtangga untuk membelanjakan pendapatan bersih untuk memenuhi kebutuhan (pola konsumsi), tingkat dan distribusi pendapatan antar
rumahtangga,
dan
makin
tinggi
tingkat pendidikan
terutama pendidikan perempuan akan semakin positif bagi pembangunan manusia berkaitan dengan andil yang tidak kecil dalam mengatur pengeluaran rumahtangga.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
45
Kedua,
pembangunan
manusia
yang
tinggi
akan
mempengaruhi
perekonomian melalui produktifitas dan kreatifitas masyarakat. Pendidikan
dan
kesehatan
penduduk
sangat
menentukan
kemampuan untuk mengelola dan menyerap sumber-sumber pertumbuhan ekonomi. Dari kedua pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa antara pembangunan manusia dan pertumbuhan ekonomi berhubungan secara simultan, dengan kata lain tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang disertai pemerataan distribusi pendapatan, maka tingkat daya beli, kesehatan dan pendidikan akan lebih baik. Dan pada giliranya akan memperbaiki tingkat produktifitas tenaga kerja yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Karakteristik suatu wilayah dapat pula dilihat dari aspek pendidikan, dimana tingkat pendidikan dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh seorang pekerja, maka pekerja tersebut akan memiliki produktivitas yang relatif lebih baik dan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi. Target pertumbuhan ekonomi sebenarnya
tidak hanya
untuk
mencapai tinggi angka pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi yang diinginkan adalah pertumbuhan yang berkualitas dan digerakkan oleh peningkatan kapasitas produksi masyarakat. Walaupun angka pertumbuhannya tidak terlalu tinggi, namun apabila kualitas capaiannya jauh lebih tinggi, maka akan mempengaruhi
capaian
pembangunan
manusia.
Pertumbuhan
yang
berkualitas adalah yang dapat menggerakan pendapatan perkapita, dan menyerap tenaga kerja, yang pada akhirnya dapat memperbaiki pola distribusi
pendapatan
antar
kelompok
masyarakat.
Pada
akhirnya,
pertumbuhan ekonomi yang berkualitas mengakibatkan banyak penduduk yang memiliki cukup uang untuk memenuhi kebutuhannya untuk membiayai kebutuhan makanan, pendidikan, kesehatan dan perumahan sehingga dapat mempercepat pembangunan manusia.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
46
Pertumbuhan ekonomi merupakan sarana utama (principal means) bagi
pembangunan
manusia
untuk
dapat
berlangsung
secara
berkesinambungan. Hal ini sejalan dengan banyak bukti empiris yang menunjukkan bahwa tidak ada suatu negara pun yang dapat membangun manusia secara berkesinambungan tanpa tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Walaupun demikian tidak berarti bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat mutlak bagi pembangunan manusia. Antara keduanya tidak ada hubungan otomatis tetapi berlangsung melalui berbagai jalur antara lain yang penting ketenagakerjaan. Artinya, pertumbuhan ekonomi akan dapat ditransformasikan
menjadi
peningkatan
kapabilitas
manusia,
jika
pertumbuhan itu berdampak secara positif terhadap penciptaan lapangan kerja atau usaha. Lapangan kerja yang diciptakan pada akhirnya akan meningkatkan “membiayai”
pendapatan peningkatan
rumahtangga
kualitas
manusia
yang anggota
memungkinkannya rumahtangganya.
Kualitas manusia yang meningkat pada sisi lain akan berdampak pada peningkatan kualitas tenaga kerja, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat dan kualitas pertumbuhan ekonomi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pertumbuhan mempengaruhi ketenagakerjaan dari sisi permintaan (menciptakan lapangan kerja) dan sisi penawaran (meningkatkan kualitas tenaga kerja). Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) di Kabupaten Bandung pada tahun 2009 mencapai 52,00 persen. Jika dilihat berdasarkan perspektif jender, TPAK perempuan di Kabupaten Bandung yang mencapai 27,46 persen relatif jauh tertinggal dibandingkan dengan penduduk laki-laki yang mencapai lebih dari 76,32 persen. Terdapat ketimpangan yang sangat tajam dalam pasar kerja, dimana perempuan cenderung kurang memiliki akses untuk memasuki dunia kerja. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sebagian besar perempuan usia produktif di kabupaten Bandung berada pada posisi sebagai ibu rumah tangga. Kondisi tersebut menunjukkan perempuan masih mengalami perlakuan tidak berimbang dengan laki-laki dalam dunia kerja, dimana
laki-laki
lebih
diprioritaskan
daripada
perempuan,
sehingga
kesempatan kerja bagi perempuan cenderung sangat kompetitif.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
47
Gambar 3.11. Tingkat Kesempatan Kerja, Pengangguran dan TPAK Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Bandung, Tahun 2009
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
TPAK
Kesempatan Kerja
Pengangguran
Laki-laki
76,32
89,39
10,61
Perempuan
27,46
82,14
17,86
Laki-laki+Perempuan
52,00
87,49
12,51
Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2009
TPAK merupakan indikator yang menggambarkan seberapa banyak dari angkatan kerja yang aktif secara ekonomi. Pendapatan rumahtangga perlu diberi perhatian lebih, mengingat dampaknya yang luas terhadap taraf kesejahteraan terhadap kemiskinan. Kemiskinan sangat dipengaruhi oleh pendapatan rumahtangga karena hampir semua rumahtangga mengandalkan upah/gaji (bagi yang berstatus buruh/karyawan) atau keuntungan usaha (bagi yang berstatus berusaha). Dengan demikian masalah ketenagakerjaan secara langsung berkaitan dengan masalah kemiskinan. Implikasi logisnya jelas: upaya pengentasan kemiskinan yang merupakan keprihatinan nasional bahkan global (tercermin dari sasaran pertama dan utama Millenimum
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
48
Development Goals, MDG) mestinya harus ditempuh melalui upaya penyelesaian
masalah
ketenagakerjaan.
Dalam
hal
ini
masalah
ketenagakerjaan, paling tidak mengandung dua aspek pokok: penyediaan lapangan kerja/usaha dan peningkatan produktifitas tenaga kerja. Berdasarkan Suseda tahun 2009 tingkat pengangguran terbuka di Kabupaten Bandung sebesar 12,51 persen. Angka pengangguran ini terus mengalami penurunan dibandingkan kondisi tahun 2007 yang mencapai 14,64 persen dan tahun 2008 sebesar 13,19 persen. Namun demikian angka pengangguran masih tergolong tinggi, sehingga harus terus diupayakan penyediaan lapangan pekerjaan. Tingkat pengangguran terbuka masih didominasi oleh penduduk perempuan yang mencapai sebesar 17.86 persen. Kondisi tersebut lebih banyak disebabkan karena lapangan kerja yang ada belum sesuai dengan ketersediaan kualitas tenaga kerja perempuan di Kabupaten Bandung. Untuk meningkatkan daya saing kaum perempuan, maka peningkatan kualitas pekerja perempuan menjadi mutlak terus dilakukan, baik melalui pendidikan formal maupun informal. Pergeseran penyerapan lapangan pekerjaan ke sektor industri dapat menjadi indikator meningkatnya kesejahteraan masyarakat suatu wilayah. Berdasarkan data pada tabel 3.6 diperlihatkan bahwa lapangan pekerjaan penduduk 10 tahun ke atas mengalami pergeseran dari sektor pertanian ke sektor industri, transportasi, dan komunikasi. Persentase lapangan usaha di sektor industri mengalami peningkatan dari tahun 2007 sebesar 23,56 persen, menjadi 27,08 persen pada tahun 2008. Kemudian pada tahun 2009 kembali meningkat menjadi 29,87 persen. Ada indikasi bahwa peningkatan pada sektor industri adalah pada usaha industri kecil dan mikro yang cukup mampu menyerap tenaga kerja. Pada tahun 2009 proporsi rumah tangga yang bekerja di sektor perdagangan mengalami masih berada pada kisaran 19 persen. Sedangkan yang bekerja di sektor jasa meningkat dibandingkan tahun 2008, menjadi 12,49 persen. Fluktuasi proporsi rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian masih belum menunjukkan perubahan yang berarti, bahkan indikasi perpindahan lapangan usaha penduduk dari sektor pertanian ke sektor-sektor
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
49
lainnya (pertambangan, listrik gas dan air, angkutan dan komukasi, koperasi dan lembaga keuangan), sehingga proporsi sektor lainnya mencapai 17,02 persen.
Tabel 3.6. Persentase Lapangan Pekerjaan Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas, Tahun 2006-2009
Lapangan Pekerjaan
2006
2007
2008
2009
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
Pertanian
25,86
25,02
20,66
21,87
Industri
26,42
23,56
27,08
29,87
Perdagangan
19,06
18,54
19,51
18,75
Jasa
10,76
21,19
10,21
12,49
Lainnya
17,90
11,69
22,54
17,02
14,73
14,64
13,19
12,51
Angkatan Kerja yang Bekerja
Angkatan Kerja yang Menganggur
Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2006-2009
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
50
BAB IV KEMAJUAN PENCAPAIAN PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN BANDUNG
Upaya untuk meningkatkan derajat manusia di Kabupaten Bandung melalui berbagai program akselerasi di berbagai bidang komponen IPM telah menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini dapat terlihat dari pertumbuhan IPM pada lima tahun terakhir. Adanya peningkatan kualitas hidup manusia yang cukup signifikan baik dari sisi kesehatan, pendidikan maupun ekonomi maka akan terlahir generasi-generasi penerus yang berkualitas. Hingga suatu saat nanti penduduk Kabupaten Bandung tidak lagi menjadi beban dalam pembangunan, namun dapat menjadi penggerak pembangunan. Peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan dan daya beli, satu dengan yang lain saling mempengaruhi. Sehingga capaian yang ada untuk satu komponen tidak hanya milik satu sektor, namun dipengaruhi oleh sektor lain. Pada paparan berikut akan digambarkan pencapaian IPM Kabupaten Bandung beserta komponen pembentuknya, serta pencapaian yang telah terjadi di wilayah tingkat kecamatan. 4.1.
Kemajuan Pembangunan Manusia Periode 2004-2009 Sebagai salah satu daerah penyangga ibukota propinsi Jawa Barat,
Kabupaten Bandung memiliki peluang yang cukup besar untuk tumbuh dan mengembangkan berbagai sektor perekonomian, khususnya sektor industri, perdagangan serta jasa. Pengembangan usaha pada ketiga sektor ini dapat berimplementasi langsung terhadap meningkatnya penyerapan tenaga kerja serta pendapatan perkapita. Dengan posisi strategis serta kekayaan alam yang cukup potensial, Kabupaten Bandung cukup berpeluang menjadi kabupaten termaju.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
51
Permasalahan terbesar terletak pada kesiapan sumber daya manusia yang dimiliki Kabupaten Bandung dalam menjawab tantangan tersebut. Meskipun banyak kesempatan kerja yang diciptakan, bila kualitas SDM Kabupaten Bandung lebih rendah dan tidak dapat memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan oleh lapangan kerja yang ada, maka lambat laun peluang kerja akan diisi oleh para pendatang. Jawaban
dari
permasalahan
tersebut
adalah
melalui
strategi
pembangunan yang berorientasi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat agar tercapai pemerataan hasil-hasil pembangunan secara lebih berkeadilan. Hal tersebut ternyata tidak mudah untuk diwujudkan pada daerah-daerah yang sedang berkembang, seperti di Kabupaten Bandung.
Gambar 4.1. Pertumbuhan IPM Kabupaten Bandung, Tahun 2004-2009
1.00
0.95
0.90
0.89
0.85
0.80 0.70
0.64
0.62
0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 2004-2005
2005-2006
2006-2007
2007-2008
2008-2009
Sumber : BPS Kabupaten Bandung, IPM 2004-2009
Fokus pembangunan yang masih berpusat pada daerah-daerah yang cepat pertumbuhan ekonominya, mengakibatkan daerah-daerah yang relatif tertinggal menjadi kurang mendapat perhatian. Karena ada pemikiran, hasil pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada daerah tertentu suatu saat IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
52
diharapkan akan memberi efek tetesan ke bawah pada daerah-daerah
periferal tersebut, yang pada akhirnya diharapkan berdampak kuat pada upaya pemberantasan kemiskinan (Denis A. Rondinelli dan Shahir G. Cheema : 1983). Untuk mengurangi kesenjangan tersebut, peningkatan SDM yang handal menjadi solusi dan salah satu modal utama dalam proses pembangunan. Upaya peningkatan kualitas SDM yang dalam skala luas disebut sebagai pembangunan manusia dengan upaya perbaikan derajat kesehatan,
tingkat
pengetahuan
dan
keterampilan
penduduk
serta
kemampuan daya beli masyarakat. Pada Gambar 4.1 terlihat selama periode lima tahun terakhir, pencapaian angka IPM Kabupaten Bandung dari tahun ke tahun
terlihat
relatif cukup baik. Namun hal tersebut belum berarti bahwa kemajuan pembangunan manusia Kabupaten Bandung sudah optimal. Hal ini dapat dilihat dari sisi laju perkembangannya, yaitu kenaikan berkisar 0,5 poin sampai 1 poin setiap tahunnya. Pencapaian Angka Harapan Hidup sejak tahun 2003 adalah sebagai berikut: pada tahun 2003, pencapaian Angka Harapan Hidup Kabupaten Bandung sebesar 65,4 tahun meningkat sedikit menjadi 65,85 tahun (naik 0,45 poin) pada tahun 2004 dan ditahun 2005 mencapai sebesar 66,23 tahun (naik 0,38 poin) serta ditahun 2006 sebesar 66,98 (naik sebesar 0,75 poin) dan tahun 2007 67,90 (naik 0,92 poin). Kondisi pada tahun 2008 pencapaian AHH dapat ditingkatkan sebesar 0,52 poin menjadi 68,42 dan mengalami perbedaan peningkatan yang relatif sama (0,52 poin) pada tahun 2009, yaitu 68,94. Upaya perbaikan derajat kesehatan yang ditunjukkan dengan makin meningkatnya angka harapan hidup dan terus menurunnya angka kematian bayi harus tetap menjadi prioritas. Berbagai kasus kesehatan, terutama yang mewabah harus dapat ditekan perkembangannya. Penanggulangan terhadap keluhan kesehatan yang menunjukkan indikasi peningkatan pada tahun 2009 harus ditindaklanjuti sebaik-baiknya.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
53
Gambar 4.2. Pertumbuhan Komponen Angka Harapan Hidup Kab. Bandung 2004-2009 0.8
0.75
0.7 0.6 0.5 0.4
0.38
0.52
0.52
2007-2008
2008-2009
0.35
0.3 0.2 0.1 0 2004-2005
2005-2006
2006-2007
Sumber : BPS Kabupaten Bandung, IPM 2004-2009
Gambaran
pencapaian
pembangunan
manusia
dari
komponen
pendidikan diperlihatkan bahwa laju pertumbuhan komponen pendidikan yaitu AMH dan RLS terlihat seolah tidak dapat mempertahankan kemajuan yang telah dicapai pada periode sebelumnya. Pada periode 2004-2005, untuk komponen AMH naik 0,42 poin, periode 2005-2006 naik 0,05 poin, dan periode 2006-2007 naik 0,01 poin, kondisi terakhir yaitu pada periode 20072008 naik sebesar 0,09 poin. Pada tahun 2009 hanya mengalami peningkatan sebesar 0,03 poin. Sedangkan untuk komponen RLS, periode 2004-2005 naik 0,23 poin, periode 2005-2006 naik 0,13 poin dan 2006-2007 naik 0,14 poin. Pada periode 2007-2008 dapat ditingkatkan sebesar 0,28 poin. Pada tahun 2009 peningkatan mencapai 0,01 poin.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
54
Gambar 4.3. Pertumbuhan Komponen Penyusun Indek Pendidikan Kabupaten Bandung, tahun 2004-2009
0,45
0,42
0,4 0,35 0,3 0,25
0,28
AMH
0,23
RLS
0,2 0,15
0,13
0,14 0,09
0,1 0,05
0,05
0,03 0,01
0,01
0 2004-2005
2005-2006
2006-2007
2007-2008
2008-2009
Sumber : BPS Kabupaten Bandung, IPM 2004-2009
Pencapaian AMH yang relatif lambat kenaikannya setiap tahun, serta belum tercapainya bebas buta huruf, kemungkinan disebabkan oleh masih ada penduduk berusia diatas 15 tahun yang sudah berusia lanjut dan tidak bisa membaca dan menulis. Ada anggapan pada masyarakat awam, bahwa kebutuhan untuk bisa membaca dan menulis adalah dalam kaitannya untuk kepentingan bekerja. Sehingga apabila mereka sudah berumur tua dan tidak akan bekerja lagi, atau pekerjaannya tidak memerlukan kecakapan membaca dan menulis, maka mereka menganggap tidak perlu lagi untuk belajar membaca dan menulis. Untuk itu perlu kiranya disusun intervensi dengan penyuluhan kepada masyarakat, bahwa bebas buta huruf adalah untuk membuka wawasan dan tak kalah pentingnya dibandingkan kebutuhan lainnya. Sedangkan perkembangan pencapaian RLS yang belum begitu besar dan cenderung melambat laju pertumbuhannya, kemungkinan disebabkan karena masih cukup besarnya penduduk yang tingkat pendidikannya rendah. Dengan komposisi penduduk yang relatif besar diusia muda, tampaknya perlu dipersiapkan sarana penunjang pendidikan yang memadai, utamanya ditujukan bagi penduduk usia 10-14 tahun. Intervensi dalam menaikkan RLS IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
55
dengan program pendidikan dasar 9 tahun masih terus perlu dipacu. Disamping terus dijalankan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) seperti program paket A, B dan C untuk menanggulangi anak yang putus sekolah pada usia 15 tahun keatas. Banyak anggapan yang mengatakan bahwa hanya negara yang mempunyai SDM berkualitas sajalah yang akan mampu bersaing dengan negara lain dalam era globalisasi. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah khususnya pemerintah daerah perlu lebih mengedepankan upaya peningkatan kualitas SDM melalui program-program yang lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pendidikan baik formal maupun non formal. Karena bagaimanapun juga SDM yang bermutu merupakan syarat utama bagi terbentuknya peradaban yang baik. Begitupula sebaliknya akan melahirkan kehidupan masyarakat yang buruk. Peningkatan pencapaian angka IPM Kabupaten Bandung pada tahun 2009 sangat ditunjang oleh kontribusi dari komponen indeks kemampuan daya beli penduduk. Meskipun pencapaiannya tidak sebesar tahun 2007, namun pertumbuhan daya beli ini mampu mendongkak pertumbuhan IPM secara keseluruhan.
Gambar 4.4. Pertumbuhan Komponen Daya Beli (PPP) Kabupaten Bandung 2004-2009
3.34
3.50 3.00 2.50 2.00
1.77
1.50
1.26
1.00 0.50
0.50
0.30
0.00 2004-2005
2005-2006
2006-2007
2007-2008
2008-2009
Sumber : BPS Kabupaten Bandung, IPM 2004-2009
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
56
Pasca adanya kenaikan BBM pada tahun 2008 tampaknya cukup menghambat peningkatan daya beli masyarakat Kabupaten Bandung. Peningkatan kemampuan daya beli masyarakat Kabupaten Bandung pada tahun 2009 juga masih terhambat oleh kelesuan di berbagai sektor usaha sebagai dampak dari krisis global yang terjadi pada tahun 2009. Namun stabilitas sektor moneter yang juga tercermin dari angka inflasi yang sangat rendah dibandingkan tahun sebelumnya (sekitar 3 persen), cukup membantu peningkatan daya beli. Pada tahun 2009 kemampuan daya beli penduduk Kabupaten Bandung mencapai kisaran Rp. 565.320,- (naik sebesar 7,64 poin dari kondisi tahun 2008. Laju pertumbuhannya belum mampu menyamai pertumbuhan yang pernah dicapai pada periode tahun 2006-2007. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Kabupaten Bandung dan masyarakatnya mampu menyikapi permasalahan perekonomian yang ditimbulkan oleh dampak krisis global, sehingga mampu mempertahankan kemampuan daya belinya. Langkah pemerintah pusat dalam menyalurkan bantuan langsung tunai, dan penyaluran beras untuk rakyat miskin mampu mempertahankan kemampuan daya beli masyarakat secara luas. Penyaluran bantuan khusus seperti PKH juga dapat membantu mendongkrak daya beli masyarakat karena bantuan-bantuan tersebut langsung dikonsumsi oleh masyarakat, dan akan tercermin dari konsumsi rumahtangga. Series data peningkatan daya beli penduduk Kabupaten Bandung mulai tahun 2005, sebesar Rp. 536.490, pada tahun 2006 meningkat menjadi Rp. 541.930. Bila dilihat dari periode sebelumnya 2004-2005, komponen daya beli penduduk naik sebesar 0,50 poin, sedangkan pada periode 20052006 naik cukup tajam sebesar 1,26 poin dan kembali naik pada periode 2006-2007 sebesar 1,67 poin. Pada periode 2007-2008 mengalami kenaikan sebesar 0,30 poin. Dan pada periode 2008-2009 meningkat sebesar 1,77 poin.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
57
4.2.
Pencapaian Angka IPM Kecamatan
Seiring dengan program pembangunan yang digulirkan di seluruh wilayah Kabupaten Bandung, maka sepanjang periode 2004-2009 telah terjadi peningkatan IPM dengan capaian yang variatif antar kecamatan. Capaian pertumbuhan pembangunan manusia menurut kecamatan sangat dipengaruhi oleh potensi dan permasalahan lokal kecamatan. Pada tahun 2009, dari 31 kecamatan di Kabupaten Bandung, tujuh kecamatan memiliki angka IPM diatas angka IPM Kabupaten Bandung, 24 kecamatan lainnya berada dibawah angka kabupaten. Kecamatan yang posisi IPM-nya berada diatas angka Kabupaten Bandung adalah Kecamatan: Cileunyi, Margahayu, Dayeuhkolot, Rancaekek, Bojongsoang, Margaasih dan Katapang. Sangat dipahami apabila ketujuh kecamatan tersebut mempunyai IPM yang cukup tinggi, karena wilayah tersebut mempunyai infrastruktur kesehatan, pendidikan, dan perekonomian yang memadai. Disamping itu, sebagai daerah urban, tingkat pendidikan masyarakatnya relatif lebih baik dibandingkan dengan kecamatan lainnya, sehingga tingkat kesadaraan akan budaya hidup sehat dan kemampuan untuk memperoleh pekerjaan yang memadai jauh lebih baik. Di Kabupaten Bandung masih terdapat sekitar 24 kecamatan yang angka pencapaian IPM-nya masih dibawah rata-rata Kabupaten Bandung. Hal ini dapat dicermati dari
Gambar 4.5. Kondisi ini hendaknya memberikan
informasi kepada pemegang kebijakan untuk melakukan langkah akselerasi agar ketimpangan yang terjadi antar capaian IPM kecamatan tidak terlalu besar.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
58
Gambar 4.5. Sebaran Pencapaian Angka IPM menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung Tahun 2009 Cimenyan Cilengkrang Cileunyi Bojongsoang Dayeuhkolot Margahayu Margaasih Kutawaringin Soreang Katapang Pameungpeu k Cangkuang Banjaran Arjasari Baleendah Ciparay Solokanjeruk Majalaya Rancaekek Nagreg Cicalengka Cikancung Paseh Ibun Pacet Kertasari Pangalengan Cimaung Pasirjambu Rancabali Ciwidey 60.00
65.00
70.00
75.00
80.00
Sumber : BPS Kabupaten Bandung, IPM 2009
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
59
Pencapaian IPM tujuh kecamatan yang memiliki peringkat terbaik, pada umumnya disumbang oleh pencapaian indeks kemampuan daya beli masyarakat (PPP) yang relatif tinggi dan derajat kesehatan (AHH) yang sudah cukup baik. Hal tersebut dapat dimaklumi karena pada umumnya kecamatankecamatan dimaksud merupakan daerah perkotaan yang memiliki akses terhadap pendapatan dan kesehatan yang cukup baik. Sebagai daerah perkotaan mayoritas pendidikan yang ditamatkan umumnya lebih tinggi dibandingkan kecamatan lainnya.
Gambar 4.6. Peringkat Tujuh Kecamatan yang Memiliki IPM Tertinggi di Kabupaten Bandung, Tahun 2009 76.00 75.00 74.00 73.00 72.00
Sumber: BPS Kabupaten Bandung 2009.
Kesenjangan antar wilayah untuk melihat disparitas IPM tiap kecamatan, ditunjukkan oleh rentang antara IPM kecamatan tertinggi dengan kecamatan terendah. Semakin besarnya disparitas pencapaian angka IPM antar kecamatan menunjukkan bahwa bahwa kesenjangan pembangunan antar kecamatan semakin melebar, utamanya pada kecamatan-kecamatan dianggap berhasil kemajuan pembangunan manusianya dengan kecamatan yang masih tergolong tertinggal. Kesenjangan antar kecamatan lebih terlihat pada pola antar daerah. Daerah yang bercorak urban seperti Kec. Cileunyi, IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
60
Kec. Margahayu, Kec. Dayeuhkolot dan Kec. Rancaekek, pada umumnya memiliki IPM cukup tinggi diatas IPM kabupaten. Sementara daerah yang bercorak
rural
seperti
Kecamatan:
Kertasari,
Rancabali,
Pacet,
dan
Solokanjeruk memiliki angka IPM yang relatif rendah. Tidak dapat dipungkiri bahwa kota-desa sampai saat ini masih mewarnai dikotomi dari proses dan distribusi hasil-hasil pembangunan. Pada tahun 2003 rentang sekitar 10,22 poin sedikit mengalami pergeseran menjadi 10,48 poin pada tahun 2004 dan tahun 2005 menjadi sebesar 11,29 poin serta sebesar 10,93 poin pada tahun 2006 dan 10,87 poin pada tahun 2007. Pada tahun 2008, jaraknya semakin mengecil yaitu sebesar 7,81 poin. Dan pada tahun 2009 rentangnya mencapai 7,91 poin. Hal ini menunjukkan bahwa kecamatan dengan capaian IPM yang terendah sudah diupayakan untuk mengejar ketertinggalannya. Jika dilihat menurut kecamatan, sebaran pencapaian angka harapan hidup di tiap-tiap kecamatan belum begitu menggembirakan, masih cukup banyak kecamatan yang memiliki pencapaian angka Angka Harapan Hidup dibawah rata-rata Kabupaten Bandung. Menurut data IPM 2009, dari 31 kecamatan di kabupaten Bandung dewasa ini baru terdapat sekitar empat kecamatan yang memiliki Angka Harapan Hidup di atas rata-rata kabupaten. Kecamatan yang memiliki angka harapan hidup tertinggi terdapat di Kecamatan Cileunyi yang mencapai 69,57 tahun, kemudian disusul oleh Kecamatan: Rancaekek (69,25 tahun), Majalaya (69,01 tahun), dan Ibun (68,95 tahun). Lihat Gambar 4.8.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
61
Gambar 4.7. Sebaran Pencapaian Angka AHH menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung, Tahun 2009 Cimenyan Cilengkrang Cileunyi Bojongsoang Dayeuhkolot Margahayu Margaasih Kutawaringin Soreang Katapang Pameungpeu k Cangkuang Banjaran Arjasari Baleendah Ciparay Solokanjeruk Majalaya Rancaekek Nagreg Cicalengka Cikancung Paseh Ibun Pacet Kertasari Pangalengan Cimaung Pasirjambu Rancabali Ciwidey 58.00
60.00
62.00
64.00
66.00
68.00
70.00
72.00
Sumber: BPS Kabupaten Bandung, IPM 2009
Menurut data Suseda tahun 2004, pencapaian Angka Melek Huruf Kabupaten Bandung sebesar 98,23, pada tahun 2005 angka melek huruf penduduk dewasa Kabupaten Bandung mencapai sebesar 98,65 persen,
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
62
sedangkan pada tahun 2006 adalah 98,70 persen dan 98,71 persen pada tahun 2007. Pada tahun 2008 Angka Melek Huruf telah mencapai 98,84 persen. Pada tahun 2009 mencapai 98,87 persen. Selama periode tahun 2004-2009, lebih dari separuh kecamatan di Kabupaten Bandung memiliki Angka Melek Huruf diatas rata-rata. Kecamatan yang memiliki angka melek huruf
cukup
tinggi
umumnya
didominasi
oleh
kecamatan-kecamatan
perkotaan, seperti Kecamatan Katapang, Margahayu, dayeuhkolot dan Baleendah. Selengkapnya dapat dilihat pada gambar 4.8.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
63
Gambar 4.8. Sebaran Pencapaian AMH menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung, Tahun 2009 Cimenyan Cilengkrang Cileunyi Bojongsoang Dayeuhkolot Margahayu Margaasih Kutawaringin Soreang Katapang Pameungpeuk Cangkuang Banjaran Arjasari Baleendah Ciparay Solokanjeruk Majalaya Rancaekek Nagreg Cicalengka Cikancung Paseh Ibun Pacet Kertasari Pangalengan Cimaung Pasirjambu Rancabali Ciwidey 94.00
95.00
96.00
97.00
98.00
99.00
100.00
101.00
Sumber: BPS Kabupaten Bandung, IPM 2009.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
64
Pola yang hampir serupa terjadi pada rata-rata lama sekolah. Hampir separuh kecamatan di Kabupaten Bandung yang memiliki rata-rata lama sekolah diatas angka Kabupaten. Kondisi tersebut tentunya belum cukup membanggakan karena target pendidikan adalah untuk mencapai tuntas pendidikan dasar ( RLS = 9 tahun). Dan disparitas/kesenjangan antara kecamatan yang memiliki rata-rata lama sekolah paling tinggi dengan kecamatan yang memiliki rata-rata lama sekolah terendah ternyata masih cukup besar, yaitu mencapai sebesar 2,23 tahun. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kesempatan menikmati pendidikan di beberapa wilayah masih begitu rendah dibandingkan wilayah lainnya. Dengan sebaran wilayah yang sangat luas, kabupaten Bandung memang akan memiliki kendala dalam membangun fasilitas pendidikan yang memadai dan mudah dijangkau oleh penduduknya. Peranan strategis guru dan pemuka masyarakat di daerah terpencil masih sangat diperlukan dalam mempromosikan pentingnya mencapai pendidikan yang memadai untuk meningkatkan kualitas hidup. Pemerintah daerah tentunya memiliki komitmen kuat untuk secara terus-menerus mendorong peningkatan partisipasi sekolah di daerah terpencil sehingga terjamin kelangsungan proses belajar mengajar. Pada akhirnya kesemuanya akan mampu meningkatkan indeks pendidikan di wilayahnya.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
65
Gambar 4.9. Sebaran Pencapaian Angka RLS menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung, Tahun 2009 Cimenyan Cilengkrang Cileunyi Bojongsoang Dayeuhkolot Margahayu Margaasih Kutawaringin Soreang Katapang Pameungpeuk Cangkuang Banjaran Arjasari Baleendah Ciparay Solokanjeruk Majalaya Rancaekek Nagreg Cicalengka Cikancung Paseh Ibun Pacet Kertasari Pangalengan Cimaung Pasirjambu Rancabali Ciwidey 0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
Sumber: BPS Kabupaten Bandung, IPM 2009.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
66
Kemajuan angka IPM Kabupaten Bandung selama beberapa periode ternyata sangat ditunjang oleh adanya peningkatan komponen kemampuan daya beli masyarakat. Menurut data IPM tahun 2004, kemampuan daya beli penduduk Kabupaten Bandung mencapai sebesar Rp. 534.320, pada tahun 2005 menjadi sebesar Rp. 536.490, tahun 2006 meningkat menjadi Rp. 541.930, dan meningkat terus pada tahun 2007 menjadi sebesar Rp. 549,170. Pada tahun 2008 daya beli mencapai Rp.557.680. Daya beli pada tahun 2009 berada pada besaran Rp.565.320. Komponen IPM ini memang sangat dipengaruhi kondisi perekonomian nasional, dimana perbaikan ekonomi makro dewasa ini berjalan cukup baik dan berpengaruh terhadap perekonomian regional. Nilai tukar rupiah yang relatif stabil dan inflasi yang terkendali tampaknya mampu menggeliatkan kembali dunia usaha yang selama krisis ekonomi sangat terpuruk. Daerah sentra-sentra industri di Kabupaten Bandung kembali berkembang walaupun belum dapat pulih seperti sebelum masa krisis ekonomi. Menurut data IPM 2009, dari 31 kecamatan di kabupaten Bandung terdapat sekitar 15 kecamatan memiliki kemampuan daya beli masyarakatnya di atas rata-rata kabupaten, sedangkan pada tahun 2008 hanya 12 kecamatan. Kecamatan yang memiliki kemampuan daya beli masyarakat tertinggi adalah Kecamatan Dayeuhkolot yang mencapai Rp.580.220, kemudian disusul oleh Kecamatan Bojongsoang dan Margahayu, yang masing-masing
daya
belinya
sebesar
Rp.579.680
dan
Rp.578.900
(selengkapnya lihat Gambar 4.10). Beberapa kecamatan tampaknya perlu mendapat prioritas agar mampu mengejar ketertinggalan kemampuan daya beli masyarakatnya. Kecamatan tersebut adalah Kecamatan Nagreg dengan daya beli sebesar Rp. 546.140, dan Kecamatan: Kertasari, Rancabali, Pasirjambu, dan Pacet dengan daya beli masing-masing sebesar Rp.547.410; Rp.549.150; Rp.549.830; dan Rp.554.320. Dalam rangka meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat, upaya pengembangan usaha skala kecil/mikro tampaknya dapat menjadi pilihan untuk mendongkrak pendapatan masyarakat yang relatif tertinggal.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
67
Gambar 4.10. Sebaran Pencapaian Angka PPP menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung, Tahun 2009 Cimenyan Cilengkrang Cileunyi Bojongsoang Dayeuhkolot Margahayu Margaasih Kutawaringin Soreang Katapang Pameungpeuk Cangkuang Banjaran Arjasari Baleendah Ciparay Solokanjeruk Majalaya Rancaekek Nagreg Cicalengka Cikancung Paseh Ibun Pacet Kertasari Pangalengan Cimaung Pasirjambu Rancabali Ciwidey 520.00
530.00
540.00
550.00
560.00
570.00
580.00
590.00
Sumber: BPS Kabupaten Bandung, IPM 2009.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
68
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan Pemanfaatan
indikator
IPM
untuk
pemantauan
pencapaian
pembangunan di Kabupaten Bandung harus dapat ditercermin diseluruh kegiatan pembangunan yang garapannya adalah peningkatan martabat manusia Kabupaten Bandung. IPM merupakan indikator komposit, yang dibentuk dari indikator sosial ekonomi komponennya. Gambaran kondisi yang didasarkan kepada angka sampel harus diterjemahkan menjadi data dan sasaran yang jelas dan terukur dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan. Karena dengan data dan sasaran yang terukur akan memberikan arah dan sasaran yang lebih mudah dalam pencapaiannya. IPM memberikan potret pembangunan manusia Kabupaten Bandung dari sisi kondisi fisik manusia (kesehatan dan kesejahteraan), maupun sisi non-fisik (intelektualitas). Pencapaian pada kondisi fisik manusia tercermin pada angka harapan hidup dan kemampuan daya beli, sedangkan untuk dampak non-fisiknya (intelektualitas) digambarkan oleh angka melek hurup dan tingkat pendidikan yang ditamatkan. Yang penting untuk diperhatikan dalam mengevaluasi keberhasilan pencapaian IPM adalah berapa perubahan (pertumbuhan) yang telah dicapai. Karena pencapaian angka IPM bukanlah suatu pencapaian dari proses pembagunan yang berlangsung jangka pendek. Peningkatan IPM pada prinsipnya merupakan perubahan pola pikir manusia, yaitu: perubahan untuk semakin berperilaku hidup bersih dan sehat (bidang kesehatan); peningkatan intelektual (bidang pendidikan) dan peningkatan kemampuan bersaing secara ekonomi (bidang ekonomi). Bertumbuhnya angka pada satu bidang tidak tumbuh secara parsial, sebab dipengaruhi oleh kondisi yang dicapai pada bidang lainnya. Dengan kata lain pencapaian pada bidang kesehatan bukan hanya hasil kinerja SKPD bidang kesehatan saja, karena pengetahuan hidup
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
69
sehat juga diberikan di sekolah formal maupun informal. Disamping itu, kemampuan untuk membiayai kesehatannya juga ditunjang oleh SKPD bidang ekonomi. Demikian juga pada bidang pendidikan, peranan kemampuan ekonomi sangat besar dalam mendorong orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Dari berbagai gambaran kondisi sosial ekonomi masyarakat dan indikator IPM Kabupaten Bandung pada tahun 2009, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.
Angka harapan hidup terus bertumbuh mencerminkan perkembangan yang positif seiring dengan penurunan angka kematian bayi. Seorang bayi yang dilahirkan saat ini mempunyai harapan untuk hidup selama 68,94 tahun kedepan. Sedangkan kematian bayi telah dapat ditekan menjadi 36 bayi per 1000 kelahiran hidup. Kondisi ini merupakan dampak dari peningkatan peranan tenaga kesehatan dalam proses pertolongan kelahiran yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.
2.
Kesadaran ibu menyusui telah mengalami peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pemberian ASI terhadap bayi cenderung diberikan lebih lama, sehingga berdampak sangat positif terhadap tumbuh kembang bayi/balita dikemudian hari.
3.
Berbagai program yang memberikan kemudahan untuk memperoleh pendidikan telah digulirkan. Program-program tersebut diantaranya adalah Bantuan Operasional Siswa (BOS) dan Program Keluarga Harapan (PKH). Dengan berbagai bantuan tersebut, diharapkan Angka Drop Out (DO) dapat semakin ditekan. Capaian angka rata-rata sekolah penduduk dewasa di Kabupaten Bandung mencapai 8,87 tahun, atau setara dengan telah menyelesaikan kelas 2 SLTP. Sedangkan angka melek hurup mencapai 98,87 persen dari penduduk dewasa. Dapat dikatakan bahwa sebanyak 1,13 persen penduduk dewasa yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Bandung tidak mempunyai kemampuan membaca dan menulis.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
70
4.
Tingkat Kesempatan Kerja yang semakin meningkat menjadi 87,49 persen dan Tingkat Pengangguran yang dapat dikurangi menjadi 12,51 persen telah mampu menahan tekanan pengaruh krisis global yang melanda sektor industri di Kabupaten Bandung. Disamping itu, tingkat inflasi yang jauh lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, mengakibatkan daya beli dapat bertumbuh lebih cepat. Pada tahun 2009 Daya Beli Penduduk Kabupaten Bandung mencapai 565.000 rupiah perkapita.
5.
Pada periode 2003-2009, perkembangan kemajuan IPM di Kabupaten Bandung menunjukkan kemajuan yang sangat berarti. Menurut data IPM tahun 2003, angka IPM Kabupaten Bandung mencapai 67,52 dan setelah enam tahun kemudian (2009) meningkat menjadi 73,39. Kontribusi peningkatan capaian terbesar diberikan oleh indeks Purchasing Power Parity (PPP).
5.2.
Saran Mempertimbangkan berbagai potensi dan kendala yang dihadapi
dalam pencapaian IPM kabupaten Bandung, beberapa saran diberikan guna memelihara pertumbuhan adalah sebagai berikut : 1. Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan, terutama dalam upaya meningkatkan angka harapan hidup, perlu diperhatikan penuntasan penanganan wabah penyakit yang berpotensi menyebabkan kematian selama tahun 2009 karena wabah penyakit yang berjangkit dapat langsung berpengaruh terhadap penurunan harapan hidup. 2. Ada kecenderungan terjadi peningkatan keluhan kesehatan masyarakat dibandingkan dua tahun sebelumnya. Meskipun lamanya menderita sakit umumnya relatif singkat (dibawah seminggu) namun persentasenya mencapai 26,6 persen (mirip dengan pola yang terjadi pada tahun 2006). Untuk itu pelayanan dan promosi kesehatan hendaknya lebih ditingkatkan lagi. 3. Penurunan angka buta huruf yang telah dilakukan secara besar-besaran selama periode 2006-2008, hendaknya terus ditindaklanjuti dengan IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
71
berbagai program pelestariannya agar yang telah terbebas buta huruf tetap bisa membaca menulis (terutama yang telah berumur tua dan aktifitas kesehariannya tidak memerlukan media tertulis). Hal ini penting karena apabila tidak ada kelanjutan penanganannya, tidak mustahil mereka kembali menjadi buta huruf. 4. Program bantuan pendidikan melalui BOS, Beasiswa Masyarakat Miskin, dan
Program
keluarga
Harapan,
diperkirakan
sangat
membantu
masyarakat dalam meningkatkan partisipasi sekolah dan meringankan beban pembiayaan pendidikan. Sehingga perluasan dan pengembangan program tersebut selayaknya dapat didukung oleh pembiayaan APBD. 5. Dalam upaya meningkatkan kemampuan daya saing, maka terhadap produk
usaha-usaha
kecil/mikro
yang
ada
di
masyarakat
harus
diupayakan untuk ditingkatkan kualitasnya (dengan standarisasi mutu). Dengan menghasilkan produk bermutu, maka peluang pemasaran dapat terbuka lebar dan produknya dapat bersaing sebagai tuan rumah di negeri sendiri maupun pada saat menghadapi perdagangan bebas. Upaya pemberdayaan usaha kecil/mikro relatif lebih besar pengaruhnya terhadap peningkatan daya beli karena besarnya cakupan pekerja pada usaha tersebut. Disamping itu, besarnya nilai tambah yang dihasilkan dari usaha kecil/mikro cenderung dinikmati oleh rumah tangga (lokal) yang akhirnya bermuara pada peningkatan kesejahteraan.
IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009
72
DAFTAR PUSTAKA
BPS-Bappenas. 2001. Indonesia Laporan Pembangunan Manusia 2001. BPSBappenas, Jakarta. BPS Kabupaten Bandung dan Bapeda Kabupaten Bandung. 2003. Data Sosial Ekonomi Masyarakat Kabupaten Bandung Tahun 2003. BPS Kabupaten Bandung, Bandung. BPS Kabupaten Bandung dan Bapeda Kabupaten Bandung. 2004. Data Sosial Ekonomi Masyarakat Kabupaten Bandung Tahun 2004. BPS Kabupaten Bandung, Bandung. BPS Kabupaten Bandung dan Bapeda Kabupaten Bandung. 2005. Data Sosial Ekonomi Masyarakat Kabupaten Bandung Tahun 2005. BPS Kabupaten Bandung, Bandung. BPS Kabupaten Bandung dan Bapeda Kabupaten Bandung. 2006. Data Sosial Ekonomi Masyarakat Kabupaten Bandung Tahun 2006. BPS Kabupaten Bandung, Bandung. BPS Kabupaten Bandung dan Bapeda Kabupaten Bandung. 2007. Data Sosial Ekonomi Masyarakat Kabupaten Bandung Tahun 2007. BPS Kabupaten Bandung, Bandung. BPS Kabupaten Bandung dan Bapeda Kabupaten Bandung. 2008. Data Sosial Ekonomi Masyarakat Kabupaten Bandung Tahun 2008. BPS Kabupaten Bandung, Bandung. BPS Kabupaten Bandung dan Bapeda Kabupaten Bandung. 2007. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bandung Tahun 2007. BPS Kabupaten Bandung, Bandung. BPS Propinsi Jawa Barat dan Bapeda Propinsi Jawa Barat. 2006. Data Basis Untuk Analisis Indeks Pembangunan Manusia. BPS Propinsi Jawa Barat, Bandung. BPS dan Departemen Kesehatan. 2002. Laporan Hasil Survei Konsumsi Garam Yodium Rumahtangga 2002. BPS, Jakarta. BPS dan Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. 2001. Profil Statistik dan Indikator Gender di Propinsi Jawa Barat. BPS, Jakarta. Gani, Ascobat. 1984. Indikator Kualitas Manusia dan Penduduk. Prisma No. 9 Tahun XIII, Jakarta.
LP3ES,
Tabel Lampiran 1. Indikator Pembangunan Manusia Kabupaten Bandung Menurut Kecamatan, Tahun 2009
No
Kecamatan
(1)
(2)
Angka
Angka
Rata-rata
Daya
Harapan Hidup
Melek
Lama
Beli
IPM
Huruf
Sekolah
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
1
Ciwidey
66,78
99,05
8,00
558,57
71,07
2
Rancabali
66,31
98,91
7,48
549,15
69,66
3
Pasirjambu
68,10
98,88
7,67
549,83
70,84
4
Cimaung
67,65
99,44
8,13
555,24
71,47
5
Pangalengan
68,03
98,36
8,14
564,01
72,13
6
Kertasari
64,71
97,07
6,76
547,41
67,70
7
Pacet
64,56
99,13
8,67
554,32
70,02
8
Ibun
68,95
98,40
8,54
561,27
72,73
9
Paseh
66,02
98,67
8,00
557,66
70,49
10
Cikancung
62,59
98,88
7,93
566,35
69,25
11
Cicalengka
65,43
98,98
9,46
567,64
72,08
12
Nagreg
67,66
98,76
8,97
546,14
71,25
13
Rancaekek
69,25
99,16
10,24
568,56
74,89
14
Majalaya
69,01
98,88
9,09
562,60
73,38
15
Solokanjeruk
64,52
99,07
7,79
563,50
70,04
16
Ciparay
67,65
99,24
9,28
565,33
73,06
17
Baleendah
67,79
99,52
9,29
566,56
73,30
18
Arjasari
66,67
96,44
9,52
557,87
71,50
19
Banjaran
68,20
99,31
8,10
566,25
72,58
20
Cangkuang
67,90
97,93
7,59
561,91
71,39
21
Pameungpeuk
67,74
98,27
9,59
562,67
72,92
22
Katapang
66,33
99,83
10,06
570,14
73,40
23
Soreang
67,93
99,39
8,13
568,47
72,64
24
Kutawaringin
67,00
96,00
7,27
562,42
70,26
25
Margaasih
67,77
99,27
10,04
571,59
74,18
26
Margahayu
67,04
99,66
11,09
578,90
75,20
27
Dayeuhkolot
67,52
99,57
10,54
580,22
75,14
28
Bojongsoang
66,22
98,15
10,77
579,68
74,23
29
Cileunyi
69,57
99,43
10,24
574,75
75,61
30
Cilengkrang
68,11
97,74
8,06
565,59
72,10
31
Cimenyan
66,20
99,27
9,22
566,90
72,34
68,94
98,87
8,87
565,32
73,39
Kab. Bandung
68,320
99,33
8,84
559,54
72,68067603
Tabel Lampiran 3. Indikator Pembangunan Manusia Kabupaten Bandung Menurut Kecamatan, Tahun 2008
No
Kecamatan
(1)
(2)
Angka
Angka
Rata-rata
Daya
Harapan
Melek
Lama
Beli
IPM
Hidup
Huruf
Sekolah
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
1
Ciwidey
66,56
99,02
8,00
549,661
70,25
2
Rancabali
65,73
98,88
7,48
537,669
68,45
3
Pasirjambu
68,04
98,83
7,66
537,014
69,81
4
Cimaung
67,61
99,43
8,12
542,549
70,47
5
Pangalengan
67,45
98,35
8,13
548,879
70,63
6
Kertasari
63,97
97,04
6,76
541,961
66,86
7
Pacet
63,95
99,09
8,67
540,194
68,58
8
Ibun
69,21
98,36
8,53
546,238
71,71
9
Paseh
65,52
98,64
8,00
545,977
69,30
10
Cikancung
61,87
98,84
7,93
563,294
68,60
11
Cicalengka
64,78
98,96
9,45
558,161
70,97
12
Nagreg
67,14
98,73
8,96
541,020
70,55
13
Rancaekek
68,77
99,12
10,23
560,918
74,02
14
Majalaya
68,31
98,84
9,08
552,255
72,18
15
Solokanjeruk
63,83
99,04
7,79
555,319
69,01
16
Ciparay
66,99
99,20
9,27
557,130
72,04
17
Baleendah
67,43
99,49
9,28
560,047
72,59
18
Arjasari
66,15
96,41
9,51
551,272
70,69
19
Banjaran
67,73
99,27
8,09
558,105
71,68
20
Cangkuang
67,46
97,88
7,59
554,025
70,53
21
Pameungpeuk
67,16
98,22
9,58
553,698
71,89
22
Katapang
65,89
99,80
10,05
560,856
72,43
23
Soreang
67,46
99,35
8,13
557,922
71,55
24
Kutawaringin
66,59
95,96
7,27
556,322
69,56
25
Margaasih
68,26
99,24
10,04
558,874
73,46
26
Margahayu
66,79
99,62
11,08
572,023
74,52
27
Dayeuhkolot
67,19
99,53
10,54
571,642
74,29
28
Bojongsoang
65,74
98,11
10,77
567,413
73,01
29
Cileunyi
69,18
99,40
10,23
565,633
74,67
30
Cilengkrang
67,62
97,70
8,06
555,376
71,03
31
Cimenyan
65,64
99,24
9,22
551,849
70,86
68,42
98,84
8,86
557,68
72,50
Kab. Bandung
68,320
99,33
8,84
559,54
72,68067603
Tabel Lampiran 5. Indikator Pembangunan Manusia Kabupaten Bandung Menurut Kecamatan, Tahun 2007
No
Kecamatan
(1)
(2)
Angka
Angka
Rata-rata
Daya
Harapan
Melek
Lama
Beli
IPM
Hidup
Huruf
Sekolah
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
1
Ciwidey
65,92
98,98
7,97
548,747
69,79
2
Rancabali
65,03
98,24
7,46
536,770
67,83
3
Pasirjambu
67,05
98,99
7,64
535,711
69,18
4
Cimaung
66,84
98,79
8,10
541,016
69,76
5
Pangalengan
66,77
98,80
8,09
547,656
70,23
6
Kertasari
63,35
96,87
6,74
541,059
66,39
7
Pacet
63,26
99,29
8,62
538,860
68,11
8
Ibun
67,87
98,51
8,50
544,898
70,87
9
Paseh
64,70
96,01
7,96
544,760
68,14
10
Cikancung
61,29
98,74
7,90
561,875
68,13
11
Cicalengka
64,15
99,75
9,40
556,797
70,66
12
Nagreg
66,40
98,75
8,94
539,783
70,04
13
Rancaekek
68,10
98,02
10,16
559,519
73,24
14
Majalaya
67,80
99,34
9,03
550,955
71,87
15
Solokanjeruk
63,10
99,08
7,76
553,957
68,50
16
Ciparay
66,37
98,92
9,20
555,745
71,48
17
Baleendah
66,71
99,90
9,21
558,734
72,13
18
Arjasari
65,50
97,01
9,47
549,888
70,32
19
Banjaran
66,96
98,27
8,05
556,964
70,91
20
Cangkuang
66,80
97,88
7,57
552,772
70,05
21
Pameungpeuk
66,50
98,73
9,56
552,455
71,52
22
Katapang
65,25
99,80
9,99
559,644
71,94
23
Soreang
66,61
99,44
8,09
556,420
70,96
24
Kutawaringin
65,84
98,25
7,24
554,870
69,52
25
Margaasih
67,59
99,41
9,99
557,462
72,99
26
Margahayu
66,10
99,88
11,03
570,805
74,06
27
Dayeuhkolot
66,53
99,63
10,49
570,283
73,80
28
Bojongsoang
65,10
98,61
10,73
566,125
72,64
29
Cileunyi
68,50
99,82
10,18
564,030
74,23
30
Cilengkrang
66,96
98,81
8,05
554,461
70,83
31
Cimenyan
65,06
98,79
9,19
550,660
70,33
67,90
98,75
8,58
556,39
71,88
Kab. Bandung