Mugito, Usaha-Usaha Penguatan Peran dan Fungsi Kecamatan 43
USAHA-USAHA PENGUATAN PERAN DAN FUNGSI KECAMATAN DI ERA OTONOMI DAERAH
Mugito Doctoral Program at Faculty of Administrative Science University of Brawijaya
Abstract Kecamatan is a subordination regent government, which have function to be following decisive for realization goals of local autonomous at Indonesia. Now, kecamatan still not do optimalization roles and functions. Mintsberg (1979 : 181), says that “Once the units have been designed, it seems appropriate to address the question of how much power each should have.” This konsep will be made as basic for answer problem in this peper. Those problem need accomplishment, so that organization unit can support acceleration to realizatios that goal. In this peper try to clarify much attempt so kecamatan can optimal to realization its role and function. Keywords : districts, role, authority, aparatus, budget and fund Sayangnya nuansa semangat tersebut oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 maupun oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, tidak dinyatakan secara tegas sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Sebelum era reformasi, menurut Santoso (dalam Karim, 2006, 253), camat diposisikan sebagai penyelenggara pemerintahan wilayah kecamatan, merupakan Penguasa Tunggal di wilayahnya, yang sesuai ketentuan diberikan kewenangan yang cukup besar dan sangat strategis sebagai bentuk perwujudan pelaksanaan prisip dekonsentrasi pemerintahan. Saat ini, posisi tersebut telah berubah, dan tinggal hanya menjadi salah satu unsur Perangkat Pemerintah Kabupaten/Kota yang wewenang dan urusan yang menjadi tanggungjawabnya sangat ditentukan oleh Bupati/Walikota setempat. Dari kondisi perubahan posisi secara yuridis
I. Pendahuluan Dengan posisi Kecamatan saat ini, bila meminjam istilah yang digunakan oleh Norton (1994:106), maka berbagai wewenang dan urusan yang seharusnya diserahkan, terlihat mengikuti model decentralizations within city, terutama polanya dikatakan sebagai working towards a general pettern of decentralization of functions throughout the new area on the subsidiarity principle (bekerja mengarah pada pola umum fungsi desentralisasi melalui prinsip pembentukan cabang (subsidiarity) yang didasarkan pada area baru). Dengan merujuk istilah yang dikembangkan oleh Burns dkk. (1994 : 81-189), maka Kecamatan secara spesifik lebih mengarah pada bentuk decentralized management, atau bentuk decentralization yang bersifat deconcentration (yang banyak disebut oleh Rondinelli, C.Conyers, McCullough, Johnsond, dll).
33
34 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik Vol. XIII, No. 1, Juni 2012
formal institusi kecamatan ini, jelas banyak memunculkan berbagai persoalan yang menyangkut hubungan kelembagaan pemerintahan antara desa, kecamatan dan kabupaten/kota. Sinyal terkait hal ini, disampaikan oleh Purwo Santoso (dalam Karim, 2007, 252), bahwa Kecamatan tidak lagi berperan sebagai perangkat pemerintah nasional di wilayah kecamatan, melainkan sebagai staf Bupati dalam yuridiksi yang bersangkutan. Ketentuan ini menyebabkan peran pemerintah di tingkat kecamatan bersifat mengambang. Pemerintah Desa bisa dan kebanyakan langsung menuntut berhubungan langsung dengan Pemerintah Kabupaten. Urusan yang bisa diselesaikan di tingkat kecamatan, akhirnya harus tertimbun dan menguras energi pemerintahan tingkat kabupaten. Dari sini, yang terjadi seringkali Pemerintah Kabupaten/ kota menuntut camat untuk melaksanakan tugas dan fungsi, berjalan seperti ketika sebagai kepala wilayah kecamatan, yang memang saat itu menurut ketentuan perundang-undangan diberikan kewenangan yang cukup besar dan sangat strategis. Camat selaku Kepala Wilayah yang merupakan penguasan tunggal saat itu, sesuai ketentuan perundang-undangan memang tidak diberikan fasilitas anggaran yang jelas, tetapi dengan tegas dan jelas diberikan wewenang untuk membuat keputusankeputusan memobilisasi partisipasi masyarakat untuk turut serta mendukung kelancaran jalannya pemerintahan umum. Akan tetapi posisi camat saat ini, sering kali hanya menerima tuntutan tugas tanpa disertai dukungan pembiayaan maupun kewenangan yuridis formal untuk memobilisasai partisipasi dukungan masyarakat untuk memenuhi tuntutan pelaksanaan tugas tersebut.
Dari uraian diatas, maka secara garis besar perbedaan prisip posisi kecamatan, pada masa orde baru dan orde pasca reformasi, oleh Suharno (2008) sampaikan sebagaimana tabel 1 berikut: Tabel 1 Definisi Kecamatan dalam UndangUndang Pemerintahan Daerah di Indonesia UU No. 5 Tahun 1974 Kecamatan merupakan wilayah administrative pemerintahan dalam rangka dekonsentrasi
Kecamatan merupakan lingkungan kerja perangkat tugas pemerintahan umum di Daerah Kecamatan merupakan salah satu wilayah administrasi pemerintahan di Indonesia. Di Indonesia ada 5 wilayah administrasi : Nasional, Propinsi, Kabu-paten/ Kotamadya, Kota Administrative dan Kecamatan (Ams’ kring). Kecamatan merupakan wilayah kekuasaan (wilayah jabatan)
UU No. 32 Tahun 2004 Kecamatan merupakan wilayah kerja Camat sebagai Perangkat Daerah Kabupaten/Kota, Daerah pemerin-tahan dalam rangka dekonsentrasi. Kecamatan merupakan lingkungan kerja perangkat Pemerintah yang menyeleng-garakan tugas pemerin-tahan umum di Darah Kecamatan bukan wilayah admi-nistrasi pemerintahan, melainkan sebuah wilayah kerja seorang perangkat daerah (werk’ kring), artinya kecamatan adalah area dimana camat bekerja
Kecamatan bukan wilayah kekuasaan, melainkan wilayah pelayanan (lingkungan kerja)
Sumber : Suharno (2008) Dengan memperhatikan kondisi perkembangan posisi dan perlakuan kecamatan, seperti yang diuraikan diatas, kemudian penulis, tertarik untuk melakukan pengkajian masalah dalam kertas kerja ini, yaitu “Usaha apa yang harus dilakukan agar institusi kecamatan tetap eksis, dan turut berperan secara optimal untuk mewujudkan tujuan otonomi daerah?”
Mugito, Usaha-Usaha Penguatan Peran dan Fungsi Kecamatan 35
II. Metode Penelitian Karya tulis ini dipaparkan dengan mendasarkan diri pada jenis penelitian deskriptif kualitatif. Pendekatannya diarahkan pada latar belakang dan individu secara holistik (utuh). Dalam penyajian data dalam karya tulis ini digunakan teknik Analisis deskriptif kualitattif, yang dilakukan secara terus menerus dari awal sampai akhir penelitian, dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara deskripsi dan analisisnya, dalam arti 50 % untuk deskripsi data dan 50 % untuk analisis, dan dilakukan secara bersamaan mulai dari pengkodean, penulisan memo, desain umum, serta stimulating surender dan discipline (Lofland & Lofland, 1984 : 131-147). III. Pembahasan 1. Hasil Penelusuran Peran dan Fungsi Kecamatan dari Berbagai Peraturan Melalui penelusuran berbagai produk hukum (mulai UU, PP dan Permendagri), diketahui bahwa kecamatan masih menunjukan sebagai lembaga pemerintahan yang strategis didalam sistem tata pemerintahan Indonesia hingga saat ini. Dari 264 UU yang terbit pada era reformasi dari tahun 1999 s/d 2007 dan ditelaah, ternyata terdapat 18 UU (41,9 %) dari 43 UU yang terpilih untuk dikaji, menyebut secara tersurat tentang kecamatan. Sedangkan dari 549 PP yang keluar pada pereode yang sama, ternyata juga terdapat 18 PP (35,5 %) dari 59 PP yang terpilih untuk dikaji secara jelas menyunat keberadaan kecamatan. Produk hukum yang terkait dengan kecamatan tersebut secara garis besar dapat dikelompokan menjadi tiga. Yang pertama, pengaturan berkenaan dengan kewenangan yang dimandatkan kepada kecamatan, yang kedua, berkaitan dengan kelembagaan
dalam konteks lembaga-lembaga lain didalam tata pemerintahan daerah, dan yang ketiga berkaitan dengan pengaturan yang berhubungan dengan pengelolaan yang perlu dikembangkan oleh kecamatan (Kolopaking, 2008). Dari berbagai peraturan yang ditelaah, maka diketahui adanya empat bobot fungsi dan tugas yang diharapkan dilaksanakan kecamatan dan camat, yaitu bobot terbesar lebih pada tugas penyelenggaraan pemerintahan di wilayahnya termasuk didalamnya untuk mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundangundangan, serta melakukan pembinaan penyelenggaraan pemerintahan desa atau kelurahan. Tiga bobot tugas dan fungsi lainnya, berupa pengembangan kelembagaan dan mengelola tugas umum pemerintahan yang berkaitan dengan pembangunan, pemberdayaan dan pem-berian pelayanan kepada masyarakat. Grafis gambaran dari hasil telaah dan pengkajian dari berbagai UU, PP dan Permendagris, sebagai berikut :
Gambar
1.
Peranan Kecamatan berdasarkan Penelusuran UU, PP dan Permendagri Sumber : Kolopaking (2008) 2. Harapan dan Praktek Pening-katan Peran dan Kecamatan Debat kebijakan yang berkembang hingga saat ini, keberadaan kecamatan yang
Usaha Fungsi banyak terkait ada di
36 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik Vol. XIII, No. 1, Juni 2012
Indonesia, membentuk dinamika dua kutub padangan tentang kecamatan. Satu sisi, ada pihak yang menilai bahwa kewenangan kecamatan seperti saat ini adalah ideal, karena kewenangan otonom sudah ada di desa dan kabupaten/kota. Bahkan sebagian pihak yang berpandangan demikian tadi, berpendapat bahwa pada suatu saat nanti, pemerintah kecamatan dapat hilang atau berganti fungsi lebih kepada pemberian pelayanan kepada masyarakat. Sementara itu, disisi lain, ada pihak yang menilai wewenang kecamatan sebagaimana ditetapkan saat ini tidaklah cukup. Oleh karena fungsi pemerintahan dari kecamatan masih diperlukan untuk mendorong pembangunan. Belum lagi, menurut pihak yang berifikiran wewenang kecamatan saat ini tidak cukup dengan menimbang, bahwa sebagaian masyarakat masih tetap beranggapan bahwa peranan dan kewenangan kecamatan sepatutnya tetap sebagaimana seperti menjadi perangkat wilayah dan menjadi bagian dari pemerintah pusat dengan azas dekonsentrasi.Pandangan ini cenderung disuarakan oleh berbagai pihak, baik dari pemerintahan, lembaga bukan pemerintahan, maupun masyarakat sendiri yang tinggal serta beraktivitas di kawasan terpencil (pedalaman, pinggir hutan, dan pulau-pulau kecil) dan perba-tasan antar negara yang sulit dijangkau oleh sarana komunikasi dan transpotasi konvensional dari pusat pemerintahan kabupaten (Kolopaking, 2008 : 2). Dengan menggunakan pemahaman desentralisasi Cheema dan Rondineli (1983), Burns dkk. (1994), kedudukan kecamatan saat ini, dapat dilihat dalam dua aspek. Yang pertama, kecamatan hubungannya dengan kabupaten/kota. Yang kedua, hubungan kecamatan dengan kelurahan dan desa
termasuk dengan masyarakat. Isu yang ada kemudian adalah menemukan peran kecamatan yang dapat menjadi institusi yang saling menguatkan kapasitas baik kabupaten maupun masyarakat dan desa/kelurahan. Ada tiga perspektif yang melandasi kajian ini. Perspektif yang pertama, adalah penataan posisi kecamatan melalui power-approach yang memandang penguatan kapasitas kecamatan dapat dilakukan melalui pemberian hak memerintah atau menjadikan kecamatan sebagai “wilayah otonom” dalam sistem tata pemerintahan di Indonesia. Perspektif kedua, adalah penataan posisi kecamatan di dalam kerangka governance approach, untuk penguatan kelembagaan dan modal sosial. Perspektif ketiga, pendekatan penguatan kelembagaan kecamatan melalui network governance, atau perspektif jejaring pemerintahan. Hal ini dipengaruhi oleh pandangan bahwa ma-syarakat dan birokrasi akan berkembang menjadi masyarakat berjejaring (network society) pada masa depan (Castell, 2001). Dari hasil penelitian Kolopaking (2008), berhasil diidentifikasi sepuluh fungsi dan tugas pokok yang diharapkan kedepan untuk tetap dapat diperankan oleh kecamatan dan camat, yaitu (1) sebagai lembaga pelayanan masyarakat, (2) sebagai lembaga simpul pembangunan dan pemberdayaan masyarakat dan desa, (3) sebagai lembaga pengendali ketertiban dan keamanan masyarakat, (4) sebagai lembaga pengelola krisis dan tanggab darurat (5) sebagai lembaga penyelenggara pemerintahan di tingkat kecamatan, (6) sebagai lembaga yang mendampingi penyelenggaraan pemerintahan desa didalam kerangka memperkuat kapasitas pemerintahan desa untuk
Mugito, Usaha-Usaha Penguatan Peran dan Fungsi Kecamatan 37
memberikan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat, (7) sebagai lembaga yang memfasilitasi kerjasama dengan berbagai pihak lain yang datang ke aras atas desa, untuk pengembangan kerjasama kemitraan, (8) sebagai lembaga simpul pengembangan wilayah, khususnya dalam pengembangan wilayah desa, (9) sebagai lembaga yang mampu dikembangkan dan juga mengembangkan cakupan wilayah didalam tipologi yang menitik beratkan pada keberagaman, dan (10) sebagai lembaga penjamin mutu perencanaan dan pelaporan keuangan pembanunan (quality assurance). Hasil penelitian secara lengkap, sebagai berikut : Tabel 2
Sumber : Dharmawan (2008) Dari informasi tersebut, diketahui bahwa keberadaan kecamatan dan camat hingga kedepan, Nampak masih dirasa diperlukan, akan tetapi bobot peran dan fungsi yang dijalankan nampaknya tidak harus selalu seragam. 3. Hambatan dalam Peningkatan Peran dan Fungsi Kecamatan Apabila kita membandingkan antara peran dan fungsi kecamatan menurut UU, PP dan Permendagri (ketentuan
tingkat pusat) dengan harapan berbagai kalangan tersebut, sebenarnya sudah terjadi kesesuaian, akan tetapi yang terkait kebijakan implementatif di tingkat kabupaten, menurut Dharmawan (2008 : 32), masih ditemui berbagai hambatan yang disampaikan, sebagai berikut : Yang pertama, yang berkaitan dengan kewenangan camat, dijelaskan sebagai berikut: Kewenangan tetap berada di tangan bupati dan didistribusikan secara proporsional kepada dinas-dinas sebagai satuan kerja perangkat daerah (SKPD) pendukung/ kelengkapan organisasi pemerintahan bupati. Camat atau kecamatan tidak dapat berbuat banyak untuk melakukan fungsinya, sekalipun di wilayahnya ditemukan kekosongan intervensi dari dinas teknis, karena keewenangan tersebut tidak melimpah kepadanya. Tidak ada political will ataupun sekedar goodwill dari Bupati untuk mengalihkan sebagian kewenangan dinas yang tidak efektif kepada camat/kecamatan. Terdapat beragam alasan mengapa deleged authority ini tidak melimpah kepada camat. Yang kedua, berkaitan dengan anggaran operasional kecamatan, digambarkan bahwa “Selama ini penganggaran pendanaan bagi SKPD berpedoman pada peraturan pemerintah yang membolehkan penyusunan anggaran yang berbasiskan kinerja. Namun, khusus bagi kecamatan rejim yang dipakai adalah flafonisasi atau anggaran dalam jumlah yang tetap sepanjang tahun betapapun ada kebutuhan berkembang yang seharusnya dipenuhi. Artinya, sekalipun di wilayah ditemukan ada kebutuhan pembangunan yang mendesak untuk segera dipenuhi, namun karena ketiadaan kewenangan, maka kecamatan tidak berhak untuk mengajukan pendanaan bagi
38 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik Vol. XIII, No. 1, Juni 2012
pemenuhan kebutuhan tersebut (sekalipun permasalahan itu, berada didepan mata). Yang ketiga, berkaitan dengan infrastruktur, penopang keberfungsian ke-camatan, disampaikan bahwa “Pemerintahan yang efektif dan efisien sela-yaknya didukung oleh adanya infrastruktur berupa peralatan atau teknologi yang memadai. Keempat, berkaitan dengan sumberdaya aparaturnya, disampaikan bahwa persoalan SDM yang dihadapi oleh kecamatan cukup rumit. Kerumitan itu disebabkan persoalan SDM bukan hanya sekedar menyangkut tingkat pendidikan yang kurang mencukupi kebutuhan yang berkembang serta skill atau ability para aparatnya yang tidak memenuhi perkembangan. Namun persoalan SDM lebih dari pada semua itu, mulai dari (1) Kekosongan kemampuan kewirausahaan sosial atau social entrepreneurship yang selayaknya dimiliki oleh camat sebagai pejabat publik dengan fungsi kemasyarakatan yang melekat erat padanya. (2) Diperlukan standar moralitas minimal yang dapat menjamin goodgovernment pratices di tingkat kecamatan. Dan (3) Sistem perencanaan SDM yang baik dan disesuaikan dengan kebutuhan yang berkembang merupakan tuntutan berikutnya yang harus dilakukan oleh pemerintah kabupaten. Faktanya, selama ini kelembagaan kecamatan digunakan sekedar sebagai stopingstone bagi pejabat publik yang hendak berkarier lebih lanjut di biro kesekretariatan pemerintah daerah.” Meski terdapat peluang legal bagi camat untuk berfungsi dan berperan lebih besar sebagaimana ditentukan pada pasal 126 ayat 2 UU No,32/2004 dan secara lebih rinci lagi telah diatur dalam PP 19 No. Tahun 2008 tentang
Kecamatan, namun terdapat fakta seperti yang disampaikan Dhamawan (2008) tersebut menunjukan fakta yang sangat memprihatinkan. Kendala yang paling utama adalah ketiadaan goodwill secara polotis dari Bupati, sebagai akibat adanya “kekha-watiran politis” akan hilangnya kekuasaan Bupati (dimata publik) bila kewenangan melimpah ke camat. Sudigno, (2009) mengungkapkan pendapatnya terkait hambatan peningkatan peran dan fungsi Kecamatan sebagai berikut : Yang pertama, berupa hambatan historis. Pada era orde baru dan sebelumnya, kewenangan atau kekuasaan camat sudah kelewat besar.. Yang kedua, hambatan yang bersifat struktural. Hingga orde baru dan sebelumnya, secara struktural hubungan kelembagaan mulai kepala desa, camat dan bupati hubungannya sangat hierarkhis linier komando, sehingga ketika hubungan ini dilakukan regulasi perubahan hubungan yang bersifat fungsional, koordinatif, fasilitatif, pembinaan dan pengawasan dengan derajad hieakhis kesetaraan, menjadi begitu sulit dilaksanakan.. Yang Ketiga, hambatan yang bersifat politis. Hambatan ini banyak terkait dengan kemauan Bupati dan dorongan dari para anggota DPRD yang rendah atau hampir tidak ada keinginan untuk mengoptimalkan peran camat dalam pencapaian tujuan otonomi daerah maupun pencapaian tujuan nasional. Yang kempat, hambatan yang bersifat rendahnya kemauan dukungan para pejabat birokrasi dalam memberikan telaah untuk meningkatkan peran kecamatan, terutama yang menyangkut anggaran dan keuangan semua instansi teknis maupun instansi pembinannya.
Mugito, Usaha-Usaha Penguatan Peran dan Fungsi Kecamatan 39
4. Model Hubungan Kelembagaan antara Pemerintah Kabupaten/Kota dengan Kecamatan, yang dinilai bisa mening-katkan efektivitas hubungan Penerapan dan pengembangan teori model hubungan kelembagaan di Indonesia, terlihat cukup menyolok sejak bergulirnya reformasi menyeluruh terhadap berbagai sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 maupun Undang-udang 32 Tahun 2004, telah memposisikan keca-matan tidak lagi sebagai wilayah kekuasaan administratif (ams’ kring) sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat, akan tetapi kecamatan diposisikan sebagai sub ordinasi kewilayahan dari Pemerintah Kabupaten/Kota. Bahkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, juga telah menentukan posisi kelurahan juga tidak lagi menjadi sub ordinasi linier dari kecamatan. Kecamatan dan kelurahan saat ini sama-sama diposisikan sebagai SKPD kewilayahan dari Kabupaten/Kota. Dengan demikian, untuk membahas dan menganalisis pola dan model penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia dengan model yang disampaikan Alderfer (1964), yang masih memposisikan sub ordinasi pemerintahan setingkat kecamatan, kelurahan dan desa (subdistricts, municipalities, villages) sebagai wilayah kekuasaan (ams’ kring), dapat dinilai tingkat relevansi cukup rendah. Konsep teoritik yang disampaikan oleh Burns et al. (1994), berupa decentralization management dan decentralization democracy, dimana pentransferan atau pendistribusi kewenangan bisa terjadi dan dilakukan oleh pemerintah lokal kepada subordinasi kewilayahannya atau bila meminjam istilahnya Norton (1994)
yang disebutnya sebagai decentalization within city. Model hubungan kelembagaan antara Pemerintah Kabupaten/Kota dengan kecamatan, yang berlangsung saat ini, seperti yang disampaikan oleh Heywood (dalam Karim, 2006) & Hotman, Keizer, Schutze (dalam Said, 2008), sebagaimana gambar 2 sebagai berikut:
Gambar 2. Model Alur Hubungan Kelembagaan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, Kecamatan dan Desa/Kelurahan Sumber : Heywood (dalam Karim, 2006) & Hotman, Keizer, Schutze (dalam Said, 2008), disesuaikan dengan UU 32/2004. Pada gambaran model tersebut, bisa diketahui dengan jelas, bahwa Kecamatan, Kelurahan dan Desa, tidak lagi sebagai bentuk pemerintahan lokal, akan tetapi sebagai perangkat daerah sub ordinasi manajemen pemerintah kabupaten. Camat sebagai pimpinan SKPD kewilayahan kecamatan, bertanggung-jawab kepada bupati melalui sekretaris daerah. Camat juga tidak mensubordinasikan secara linier terhadap Kelurahan dan Desa, akan tetapi salah satu tugas pokoknya adalah melakukan koordinasi, pembinaan dan pengawasan terhadap penyeleng-garaan pemerintahan di kelurahan dan desa. Kelurahan dan Desa secara linier merupakan subordinasi langsung dari
40 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik Vol. XIII, No. 1, Juni 2012
bupati, hanya saja dalam mempertanggung jawabkan tugastugasnya harus disampaikan kepada bupati melalui camat masing-masing. Model hubungan kelembagaan tersebut, yang berjalan lebih banyak pada posisi camat/kecamatan ketika melaksanakan tugas umum pemerintahan yang merupakan salah satu tugas atributifnya. Tugas yang bersifat delegatif yang berkaitan dengan tugas pelayanan dan tugas teknis operasional dalam kaitannya mendapat limpahan sebagian wewenang urusan otonomi daerah, belum nampak, karena memang disebagian besar daerah kabupaten/kota masih belum melaksanakan hal tersebut. Model hubungan kelembagaan antara Pemerintah Kabupaten/Kota dengan keca-matan tersebut, menurut penulis secara lebih lengkap disampaikan pada gambar 3.
Gambar 3. Model Alur Hubungan Kelembagaan Antara Pemerintah Kabupaten, Kecamatan dan Desa/Kelurahan Bupati selaku Kepala Daerah sebagai pemegang otoritas kewenangan penyeleng-garaan pemerintahan daerah, dalam melaksakan tugasnya didukung oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terdiri dari Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah dan SKPD Kewilayahan dalam bentuk kecamatan, kelurahan dan desa. Secara structural Kecamatan tidak mensub-ordinasikan secara linier komando terhadap Desa dan
Kelurahan. Hubungan kelembagaan antara kecamatan dengan desa dan kelurahan merupakan hubungan yang bersifat koordinasi, fasilitasi, pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan yang ada di desa/kelurahan. Hanya saja untuk pertanggungjawaban berbagai urusan yang dijalankan oleh Kepala Desa dan Lurah, penyampaiannya ke Bupati melalui Camat setempat. Demikian pula terhadap hubungan kelembagaan antara kecamatan dengan Sekretariat Daerah, Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah juga bersifat koordinasi, fasilitasi, pengawasan dan pembinaan. Penyampaian pertanggung-jawaban tugas-tugas yang menjadi lingkup tugas pokok dan fungsi Camat, seperti halnya Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah, untuk disampaikan kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah. Lingkup tugas pokok dan fungsi kecamatan sebagai SKPD kewilayahan dipilah menjadi dua, yaitu (1) melaksana urusan tugas umum pemerintahan dan (2) melaksanakan sebagian urusan otonomi daerah yang dilimpahkan kewenangannya dari Bupati/ Walikota. Camat dalam melaksanakan urusan tugas umum pemerintahan tersebut, didukung oleh sekretariat kecamatan dan seksi-seksi kecamatan. Sedangkan untuk melaksanakan sebagian urusan otonomi daerah yang dilimpahkan kewenangannya dari Bupati/Walikota, secara struktural kondisi saat ini tidak disediakan sub unit pelaksana teknis (UPT) yang seharusnya sebagai sub unit secara teknis melaksana urusan otonomi daerah yang dilimpahkan kepada camat. Apabila urusan otonomi daerah yang dilimpahkan kepada Camat bersifat parsial, memang masih dimungkinkan untuk dimasukan
Mugito, Usaha-Usaha Penguatan Peran dan Fungsi Kecamatan 41
sebagai salah satu urusan yang menjadi tugas pokok dan fungsi seksi-seksi yang ada di kecamatan. Misalnya urusan kebersihan kota kecamatan dan pemadam kebakaran, dimungkinkan untuk menjadi urusan yang ditangani oleh Seksi Ketentraman dan Ketertiban Kecamatan. Urusan perijinan usaha kecil mikro dan mendirikan perumahan pedesaan, dimung-kinkan untuk menjadi urusan yang ditangani oleh Seksi Ekonomi dan Pem-bangunan Kecamatan. dan sebagainya. Oleh karena itu, apabila camat/ kecamatan tidak diperankan dan difungsikan secara optimal sesuai tugas pokok dan fungsinya oleh bupati/walikota, maka sebagai alternatif untuk mening-katkan efektivitas hubungan kelembagaan antara pemerintah kabupaten dengan kecamatan dan juga mengoptimalkan peran dan fungsi gubernur selaku kepala daerah otonom, maka ditawarkan model pola hubungan kelembagaan antara pemerintah kabupaten dengan kecamatan dan sekaligus dengan gubernur, dengan gambarannya sebagai berikut :
Gambar 4. Model Alur Hubungan Kelembagaan Antara Pemerintah Kabupatendengan Kecamatan dan Pemerintah Provinsi, yang Direkomendasikan Dengan model hubungan kelembagaan yang direkomendasikan tersebut, maka camat/kecamatan secara struktural tidak menjadi sub ordinasi dari Bupat/Walikota, akan tetapi
menjadi sub ordinasi kewilayahan dari Gubernur atau Pemerintah Provinsi sebagai daerah otonom. Hubungan kelembagaan antara Pemerintah Kabupaten dengan kecamatan cukup bersifat koordinasi dan fasilitasi. Model tersebut, memposisikan camat/ kecamatan sebagai SKPD kewilayahan dari Gubernur guna menjalankan tugas urusan umum pemerintahan dan sekaligus sebagai street level bureaucracy seperti yang katakan Lipsky (1980) atau sebagai street level public organization seperti yang dikatakan oleh McCavitt (2003), yang berposisi sebagai salah satu instansi front line service dari pemerintah provinsi. Peran dan fungsi tersebut, untuk di Kabupaten/Kota bisa dijalankan oleh Kepala Desa/Lurah. Peters (2001), menyampaikan bahwa untuk penguatan peran dan fungsi sebuah organisasi public seperti halnya kecamatan, paling tidak harus dilakukan reformasi strategis meliputi (1) structural changes, (2) empowerments, (3) process, (4) deregulations dan (5) marketization.. Model tersebut, menggambarkan hubungan penyampaian pertanggungjawaban tugas pokok dan fungsi camat disampaikan kepada Gubernur melalui Bupati/Walikota, agar berbagai proses kerja dan berbagai program Pemerintah Provinsi yang berjalan di Kecamatan, nantinya tetap terjadi koordinasi dan singkronisasi secara intensif dengan Pemerintah Kabupate/Kota, agar tidak terjadi over laping program, serta tidak terjadi terbengkelainya urusan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan yang sebenarnya sangat dibutuhkan masyarakat. IV. Penutup Usaha peningkatan peran dan fungsi kecamatan yang bersifat regulasi di tingkat pusat ada kemajuan yang
42 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik Vol. XIII, No. 1, Juni 2012
cukup signifikan, dengan diterbitkannya PP Nomor 19 Tahun 2008, meskipun tetap ada kritik yang menyaran-kan adanya ketegasan pengaturan di tingkat pusat yang menyangkut lingkup tugas teknis operasional dan teknis pelayanan yang wajib dilakukan oleh kecamatan. Regulasi tingkat propinsi, tidak ditemukan sama sekali, dikarenakan kecamatan terakhir ditentukan sebagai perangkat kewilayahan sebagai sub ordinasi kabupaten/kota. Yang bisa dianggap tragis, justru terletak minimnya regulasi di tingkat kabupaten/kota terhadap usaha peningkatan peran dan fungsi kecamatan, meskipun amanat undangundang sebenarnya memberikan keleluasaan untuk melakukan fungsi ini. Regulasi yang dilakukan oleh kabupaten/ kota umumnya hanya berupa pembentukan organisasi dan tata kerjanya, itupun hanya memindah begitu saja sesuai ketentuan yang diatur dari tingkat pusat tanpa dijabarkan untuk disesuaikan dengan potensi yang ada di wilayah. Usaha penguatan peran dan fungsi kecamatan dari sisi SDM nya, juga masih sangat terbatas baik dari segi jumlah maupun kemampuannya, serta secara umum SDM kecamatan sangat tertinggal dalam penguasaan dan pemanfatan teknologi informasi. Penguatan peran dan fungsi kecamatan dari segi ketersediaan sarana dan prasarana kerjanya, juga masih sangat minim dan terbatas. Usaha penguatan peran dan fungsi kecamatan dari segi pemberian tambahan kewenangan menangani sebagian urusan otonomi daerah, juga hampir tidak ada. Kalaupun ada, umumnya tambahan kewenangan yang bersifat koornasi dan fasilitasi, dengan ketidak jelasan sumber biaya operasinya. Usaha penguatan dari sisi dukungan
penganggaran dan keuangan, umumnya diberikan sangat minim dan bersifat flafonisasi dengan jumlah disamakan untuk semua kecamatan yang ada di kabupaten/kota. Hambatan dalam penguatan peran dan fungsi kecamatan berkutat pada persepsi historis tidak difahami secara menyeluruh, kemauan politik yang rendah dalam menditribusikan kewenangan, egoisme dinas teknis yang tidak mau menurunkan urusannya ke kecamatan, kondisi jumlah dan kualitas SDM yang terbatas dan yang berkaitan dengan keuangan hampir semua daerah rendah sekali kemauannya untuk memberikan ke tingkat kecamatan. Untuk itu agar kecamatan dapat berperan dan berfungsi secara optimal, maka disarankan agar pemerintah pusat mengupayakan regulasi ketegasan terhadap tugas teknis operasional dan teknis pelayanan yang menjadi lingkup kewajiban kecamatan. Kabupaten harus didorong untuk mengkaji secara menyeluruh tehadap posisi kecamatan dalam tata pemerintahan Indonesia. Para pejabat politik baik eksekutif maupun legislatif, juga harus didorong agar tumbuh kesediaannya untuk mendistribusikan kewenangan mengurus sebagian urusan otonomi daerah hingga ke tingkat kecamatan, termasuk yang menyangkut kebutuhan SDM, sarana dan prasarana kerja serta kebutuhan keuangan kecamatan harus disediakan dan diberikan sesuai volume dan beban tugas yang menjadi beban dan tanggung-jawabnya. Namun demikian, apabila usaha penguatan peran dan fungsi kecamatan dari tingkat kabupaten/ kota, tidak ada upaya riil yang dilakukan dan kondisi tetap berjalan seperti saat ini, maka agar peran dan fungsi kecamatan bisa lebih optimal maka disarankan agar kecamatan posisinya ditarik sebagai
Mugito, Usaha-Usaha Penguatan Peran dan Fungsi Kecamatan 43
sub ordinasi perangkat kewilayahan tingkat pemerintah pusat atau paling tidak menjadi sub ordinasi perangkat kewilayahan dari pemerintah propinsi, mengingat sebagian besar stekholder elemen masyarakat dan pemerintah tetap mengingkan keberadaannya.
Mintzberg, Henry, 1979, The Structuring of Organization, A Synthesis the Research, The Theory of Management Policy, McGill Univercity, London. Norton, Allan, 1994, International Handbook of Local and Regional Government, A Comparative Analysis of Advenced Democracies, Adwarad Elgar, UK. Datar Pustaka Alderfer, H.F., 1964, Local Goverment Peter McKinlay, 2005, Local in Developing Countries, McGrawGovernment in New Zealand : Hill, New York. Developmment, Challanges and Burns, Danny, et.al., 1994, The Politic Opportunities, a Director of Decentralization, Revitalising McKinlay Douglas Ltd., a Public Local Democracy, MacMillan, Sector Consulting Firm, Taurange, Hongkong. New Zeland. Karim Abdul Gaffar, 2006, Suharno, 2008, Kelembagaan dan Tata Kompleksitas Persoalan Otonomi Pemerintahan Kecamatan : Review Daerah di Indonesia, Pustaka Implementasi dan Rekomendasi, Pelajar, Yogyakarta. Kajian Inovasi Kecamatan Sebagai Lipsky, Michael, 1980, Street Level Oraganisasi Publik, Project Working Bureaucracy, Dilemmas of The Paper Series No. 5, USAID, DRSP, Individual in Public Services, PSP-3 IPB. Russell Sage Foundation, Newyork.
33