1
Urgensi Pembentukan Lembaga Profesi Penaksir Dan Lembaga Manajemen Nilai HKI*) Oleh: Prof. Em. Dr. Eddy Damian, S.H.**)
I. Pendahuluan Dua dekade terakhir ini, sudah umum diakui bahwasannya suatu kekayaan intelektual (KI) merupakan suatu benda tidak berwujud
bp hn
dilindungi hukum.
Sebagai benda tidak berwujud, yang dinamakan kekayaan intelektual
(KI) dapat difahami sebagai suatu kekayaan berasal dari olah pikir intelektual atau otak manusia bersifat tidak berwujud dilindungi hukum sebagai suatu hak bagi subjek-subjek hukum yang melahirkannya, seperti Hak Cipta, Hak Paten, Hak Merek, Hak Desain Industri, Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Hak Rahasia Dagang dan Hak Varietas Tanaman. 1)
*)
Makalah: Seminar Tentang Perlindungan HKI sebagai Alat Kolateral dalam Sistem Hukum Nasional, diselenggarakan Kemenhukham RI – Badan Pembinaan Hukum Nasional, 26 – 28 Februari 2013 di Bandung. **) Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran 1) Kamil Idris. Intellectual Property, A Power Tool for Economic Growth, WIPO, hlm. 9, mengemukakan: The World Intellectual Property Organization (WIPO) has proclaimed the universal value op IP, and has shown that IP is native to all peoples, relevant in all times and cultures, and that it has marked the world’s evolution and historically contributed to the progress of societies. Intellectual property is the heritage of us all;
1
2
Secara skematis pelbagai (KI) disebutkan diatas dapat dikelompokkan sebagai KI dewasa ini (kontemporer) seperti dapat dilihat dalam skema 2)
bp hn
berikut:
2) Eddy Damian, Glosarium Hak Cipta dan Hak Terkait, Penerbit Alumni, 2012, hlm. 54; Lihat juga Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, Penerbit Alumni, 2009, hlm. 20. Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionaty, Eight Edition, Thomson-West, 1999, hlm. 824: Intellectual Property= A Category of intangible rights protecting commercially valuable products of human intellect...
3
Pelbagai KI seperti termuat dalam skema tersebut diatas ini, yang telah atau belum mendapat perlindungan hukum hak-hak ekonominya sebagai benda tidak berwujud (intangable goods), merupakan aset berharga bagi pemegang hak. Aset ini dapat digunakan dengan pelbagai cara kreatif untuk memajukan dan mensejahterakan secara materiil, sosial dan budaya bangsa.
II. Pentingnya Potensi HKI Sebagai Aset Suatu pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pro rakyat dapat
bp hn
diperoleh dengan menggunakan aset-aset Hak Kekayaan Intelektual (HKI) bagi pembangunan ekonomi berbasis HKI dalam suatu industri kreatif. Pada dewasa ini, di Indonesia banyak industri kreatif mengandalkan
kekuatan kreativitas dan intelektualitas seorang pencipta atau inventor
(penemu). Produk-produk industri kreatif ini perlu mendapat perlindungan hukum HKI untuk dapat dijadikan sebagai suatu aset yang dijaminkan sebagai suatu benda tidak berwujud untuk mendapat pinjaman dari pelbagai lembaga keuangan. Pada umumnya produk-produk industri
kreatif dapat terdiri seperti misalnya ciptaan lagu atau musik dan karya tulis; paten program komputer; merek dagang; desain arsitektur dan lain sebagainya. Dalam suatu studi WIPO diselenggarakan pada tahun 2008 dikemukakan bahwa peran industri kreatif yang multiplier effect sifatnya, tidaklah dapat dipandang sebelah mata.
4
Hal ini terbukti dari kontribusi industri kreatif di Amerika Serikat yang mencapai 11,12% dari GDP, dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 8.49% Untuk Indonesia, studi Departemen Perdagangan (2007) menyebutkan bahwa pada periode 2002-2006, industri kreatif mampu menyerap tenaga kerja rata-rata sebesar 5,4 juta pekerja, dengan produktivitas mencapai Rp 19,5 juta per pekerja per tahun. Nominal ini ternyata lebih tinggi dari rata-rata nilai produktivitas nasional, yang mencapai kurang dari Rp 18 juta.
bp hn
Habiburrahman El Shirazy dan Andrea Hirata adalah contoh success
stories terkini industri penerbitan dan perfilman. Dalam konteks yang lain, industri fashion dan kerajinan merupakan kontributor utama dari sisi nilai ekspor periode 2002-2006, yaitu Rp 43,92 triliun dan Rp 24,18 triliun. Industri kreatif bahkan berada pada urutan keempat penyumbang teratas ekspor nasional, dengan nilai rata-rata Rp 69,58 triliun.
Taksalah pula jika berharap bahwa kedahsyatan industri kreatif
Indonesia akan menaikkan citra negeri dalam interaksi antarbangsa. Telah diterjemahkannya Ayat-Ayat Cinta dan khususnya Laskar Pelangi ke dalam berbagai bahasa dunia, selain tentu saja bahasa Inggris, menunjukkan kualitas global karya cipta tersebut. Berbagai capaian dan potensi ini diharapkan makin menaikkan derajat Indonesia di mata dunia. Pada saat ini saja, industri musik Indonesia mendominasi Malaysia. Bahkan musisi terkenal Malaysia, Amy Search, mengkhawatirkan
kemungkinan
Malaysia
bermetamorfosis
menjadi
5
‘Jakarta’ (The Jakarta Post, 3/9/2008). Kita boleh bangga. Namun, upaya pengembangan industri kreatif harus terus dikedepankan, termasuk salah satunya dengan peningkatan kualitas perlindungan Hak Cipta. 3 Selanjutnya, tentang industri kreatif ini, Firoz Gafar, Sekertaris Jenderal Asosiasi Konsultan HKI, mengemukakan dalam tulisannya di Koran Tempo, 3 Juni 2010, sebagai berikut: Industri kreatif adalah industri yang mengandalkan kekuatan kreativitas dan intelektualisme. Pada umumnya, produk-produk industri kreatif termasuk dalam perlindungan HKI, seperti periklanan, arsitektur, desain,
bp hn
kerajinan, fashion, lagu atau musik, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, seni pertunjukan, film, dan fotografi, dan lain-lain.
Suatu industri kreatif adalah bagian ekonomi kreatif yang tidak sama dengan ekonomi konvensional, karena berkarakter unik dari kreativitas, keterampilan, dan talenta individu. Dengan memanfaatkan HKI, industri ini berpotensi meningkatkan kesejah-teraan dan lapangan kerja.
Bahwasannya pada masa sekarang ini suatu industri kreatif
mempunyai kekuatan besar bagi suatu negara sebagai a power tool for economic growth sudah tidak dapat disangkal lagi. Hal yang demikian ini dengan ringkas dan jelas dikemukakan oleh Kamil Idris, 4) sebagai berikut: Although tangible assets such as land, labor, and capital used to be the yardsticks of economic health, this is no longer the case. The new drivers of wealth in contemporary society are knowledge-based assets.
3) 4)
Yasmi Adriansyah, Mencari Tempat Terhormat Indonesia, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2010, hlm. 87. Kamil Idris, Op. Cit., hlm. 54.
6
IP assets are gaining ground as a measure of corporate viability and future performance. In 1982, some 62 percent of corporate assets in the United States of America were physical assets, but by 2000, that figure had shrunk to a mere 30 percent (see Chart - 3.1). At the beginning of the 1990s, in Europe, intangible assets accounted for more than a third of total assets. In 1992, in the Netherlands, for example, intangible assets accounted for more than 35 percent of total public and private investments. A recent British study shows that, on average, 40 percent of the value of a company is not shown in any way on its balance sheet. IP is a
bp hn
significant component of intangible assets.
7
III. Gambaran Umum Lembaga Penaksir Penaksiran kekayaan intelektual yang menjadi aset seorang pencipta atau inventor, maupun yang menjadi aset suatu perusahaan industri kreatif, adalah sangat tidak mudah. Semenjak suatu kekayaan intelektual dapat dijadikan sebagai aset pada tahun sembilan puluhan, banyak karporasi besar di Amerika Serikat menetapkan aset berupa kekayaan-kekayaan intelektual sebagai faktor penting bagi strategi korporasi. Di Amerika Serikat, pada tahun 1993 diundangkan Omnibus Budget
bp hn
Reconciliation Act 1993. Didalam Undang-undang ini didefinisikan
beberapa kelas aset tidak berwujud (seperti: goodwill, daftar pelanggan, paten, hak cipta, formula, proses, desain, pola, know how, dan lisensi-
lisensi) dan mengizinkan dilakukannya penghapusan/penyusutan atas aset berupa kekayaan intelektual, sebagai ongkos yang dibebankan pada aset kekayaan intelektual.
Ketiadaan standar-standar akunting yang diterima secara umum
didunia mengakibatkan penghitungan aset-aset kekayaan intelektual berupa benda takberwujud seperti dikemukakan di atas adalah tidak mudah. Misalnya, perbedaan antara nilai buku (bookvalue) dengan kapitalisasi pasar (market capitalisation) suatu korporasi. Penelitian terhadap rekening 350 korporasi besar di Inggris, dengan market capitalisation US $ 2.167 miliar, mengungkapkan bahwa dari jumlah ini, aset perusahaan berjumlah US $ 603 miliar dan aset takberwujud hanya US $ 38,9 miliar.
8
Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan yang tak dapat dijelaskan antara market capitalisation dan aset aset tercantum dalam rekening koran sebesar US $ 1500 miliar atau 72%. 5) Untuk
mengatasi
pelbagai
kesulitan
membuat
standar-standar
akunting baku yang dapat diterima secara umum (paralel dengan perundang-undangan nasional yang sedang disusun pelbagai negara industri maju) suatu usaha koordinasi untuk harmonisasi standar-standar akunting yang baku untuk menghitung aset tak berwujud berupa kekayaankekayaan intelektual dimiliki korporasi telah mulai diadakan pada tahun
bp hn
1977. Asosiasi Akuntan Eropah telah berusaha melakukan kerja sama antara para pemangku kepentingan bidang akuntansi terdiri dari akademisi-akademisi ekonomi, pakar hukum hak kekayaan intelektual, untuk merumuskan standar akunting Uniform memecahkan masalahmasalah akunting dalam menghitung aset-aset korporasi yang berbentuk intangible atau tak berwujud.
Pada tataran internasional, usaha merumuskan standar-standar
akunting kredibel yang dapat diterima secara umum telah diusahakan oleh Accounting Standars Committee (IASC)6 sebagai suatu lembaga penilai
aset KI privat yang independen.
5) 6)
Thayne Forbes, To Have and to Hold, Managing Intellectual Property, hlm. 210. Lihat juga http: //www.caa.online.org IASC didirikan 1973 oleh Lembaga-Lembaga Profesional Akuntan dari Australia, Kanada, Perancis, Jerman, Jepang, Meksiko, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat dengan tujuan mencapai prinsip-prinsip akunting seragam untuk digunakan dunia usaha dan organisasi-organisasi yang menyelenggarakan Laporan Keuangan secara internasional.
9
Usaha utamanya adalah merumuskan standar-standar akunting untuk menilai aset-aset tak berwujud, (termasuk didalamnya aset K.I) yang dapat diterima secara internasional oleh negara-negara anggota. Pada tahun 1998 IASC mengeluarkan fatwa bernama International Accounting Standards 38 (I AS 38) 7) yang isinya a.l. adalah sbb: . . . requirent that an intangible asset should be recognized in financial statements only if it is an identifiable asset that is controlled and clearly distinguisable from an enterprises’s goodwill. Intangible assets should 8
bp hn
be amortized over the best estimate of their useful life. )
IV. Lembaga Manajemen Aset HKI
Urgensi pembentukan suatu Lambaga Manajemen Aset HKI (LMA-HKI) yang kredibel sudah merupakan suatu conditio sine quanon pada dewasa ini.
Suatu LMA-HKI dapat digunakan negara dan pemegang HKI sebagai
power tool for economic development, baik bagi pemegang HKI individual,
masyarakat adat, korporasi maupun negara. Untuk pembentukan suatu LMA-HKI yang kredibel perlu adanya campur
tangan
pemerintah
negara
yang
mempunyai
kewajiban
memberikan perlindungan atas HKI, sebagaimana dikatakan Arpad Bogsch (mantan Dirjen WIPO):
7) 8)
Lihat http://www.iasc.org.uk lihat http://www.iasc.org.uk
10
It is the duty of the state to ensure with diligence the protection of the arts and inventions. Campur tangan pemerintah mengenai pembentukan LMA-HKI berupa pengaturan dalam suatu undang-undang. Undang-undang pembentukan LMA-HKI hendaknya memerhatikan adanya suatu LMA-HKI yang benar-benar efektif berfungsi melindungi aset HKI secara signifikan untuk dapat digunakan sebagai power tool bagi pembangunan ekonomi.
bp hn
Paling tidak terdapat 4(empat) bagian utama yang perlu diatur dalam suatu Undang-undang tentang Pembentukan LMA-HKI, yaitu: 1. Ketentuan Umum
2. Lingkup Eksistensi LMA-HKI
3. Operasional LMA-HKI
4. Evaluasi dan Pengawasan
ad 1
•
LMA-HKI adalah suatu lembaga non pemerintah, berbentuk badan hukum dengan kuasa dari pemegang aset HKI dilindungi oleh perundang-undangan.
•
Tujuan pendirian adalah menjembatani kepentingan pemegang aset HKI dengan pengguna secara komersial aset HKI untuk menysejahterakan pemegang aset HKI.
11
ad 2 •
Untuk keberadaan LMA-HKI yang perlu diperhatikan adalah: pendirinya terdiri para pemegang aset HKI. Paling tidak diantara para pendiri ada beberapa orang pemegang aset HKI.
•
Pemberi izin operasional LMA-HKI adalah pemerintah dalam hal ini Kementrian Hukum dan HAM R.I. cq. Ditjen HKI.
ad 3 •
Pada bagian operasional, undang-undang memberi kewenangan
bp hn
kepada LMA-HKI mewakili anggota LMA-HKI pemegang aset HKI mengadakan perjanjian lisensi dengan pengguna aset HKI untuk tujuan-tujuan komersial.
•
LMA-HKI diberi kewenangan mengolek (collecting) royalty dari
pengguna aset HKI.
Ad 4
•
Untuk mengawasi kredibelitas kinerja LMA-HKI peran serta aktif pemerintah Kemenhukham cq Ditjen HKI, diperlukan.
•
Kemenhukham mencabut izin operasi LMK yang melanggar kepatutan dan kelayakan atau undang-undang yang berlaku.
12
V. Kesimpulan 1. Pembentukan Lembaga Penaksir aset kekayaan intelektual yang merupakan benda tidak berwujud sudah waktunya untuk didirikan. 2. LMA-HKI seperti diatur dalam undang-undang dapat digunakan sebagai dasar hukum memanfaatkan aset HKI untuk melindungi dan menggunakannya sebagai alat bakti pinjaman modal di lembaga
bp hn
keuangan atau perbankan.
13
Daftar Pustaka dan Bacaan Disarankan ∗
Bernard Nainggolan, Pemberdayaan Hukum Hak Cipta dan Lembaga Manajemen Kolektif, Penerbit Alumni, 2011.
∗
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Thomson West, Eight Edition, 2004.
∗
Eddy Damian, Glosarium Hak Cipta dan Hak Terkait, Penerbit Alumni, 2012.
∗
---------, Hukum Hak Cipta, Penerbit Alumni, 2009.
∗
---------, Pemanfaatan Lisensi HKI, Makalah Focus Group Discusion,
bp hn
Kemenhukham Ditjen HKI, Bandung, 2012. ∗
Kamil Idris, Intellectual Property, A Power Tool For Economic Growth, WIPO.
∗
Kansil, C.S.T., et.al, Kitab Undang-undang Hak Kekayaan Intelektual, Pradnya Paramita, 2004.
∗
Lindsey, Tim, et.al., Hak Kekayaan Intelektual, Suatu Pengantar, Penerbit Alumni, 2006.
∗
Microsoft Indonesia, Panduan Lisensi Microsoft, 2008.
∗
Thayne Forbes, To Have and to Hold, Managing Intellectual Property, hlm. 210. Lihat juga http: //www.caa.online.org
∗
WIPO-International
Trade
Center
(ITC),
Nilai
Pertukaran
Menegosiasikan Perjanjian Lisensi Teknologi, Suatu Buku Panduan Pelatihan, WIPO No.906E, terjemahan Ditjen HKI, 2011. ∗
Yasmi Adriansyah, Mencari Tempat Terhormat Indonesia, Penerbit Alumni, 2010.