URGENSI LEMBAGA DWANGSOM DALAM PUTUSAN HADHONAH Oleh : M. Andri Irawan*
ABSTRAKSI Pemeliharaan anak (hadlanah) pada dasarnya adalah tanggungjawab kedua orang tua yang melahirkannya. Anak merupakan amanah dan karunia Allah SWT yang harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Orang tua, keluarga dan masyarakat bertanggung jawab untuk memelihara dan menjaga hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Perlindungan dan pemeliharaan anak ini menjadi penting karena anak merupakan asset yang sangat berharga bagi masa depan bangsa. Oleh karena itu anak harus memperoleh jaminan pemeliharaan dari orang yang berhak dengan pola pengasuhan yang terbaik semata-mata untuk kepentingan anak. Bagi orang tua, anak tersebut diharapkan dapat mengangkat derajat dan martabat orang tua; kelak apabila anak tersebut dewasa menjadi anak yang shaleh dan shalehah yang selalu mendoakan orang tua setelah meninggal dunia, Karenanya, baik ayah maupun ibu dari anak-anak itu sama-sama punya keinginan keras untuk dapat lebih dekat dengan anak-anaknya agar dapat membimbing langsung dan mendidiknya supaya kelak kalau anak-anaknya sudah dewasa dapat tercapai apa yang dicita-citakan itu. Begitu pula, anak selalu ingin dekat dengan orang tuanya, rasanya sulit untuk berpisah karena mereka selalu ingin dilindungi dan diberikan kasih sayang oleh kedua orang tuanya sampai mereka mampu berdiri sendiri dalam mengarungi bahtrera kehidupan di dunia ini. I.
PENDAHULUAN
Tujuan dilaksanakannya perkawinan berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna yang merupakan jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan anak-anak yang akan
1
dilahirkan sebagai satu pertalian yang amat teguh guna memperkokoh pertalian persaudaraan antara kaum kerabat suami dengan kaum kerabat istri yang pertalian itu akan menjadi suatu jalan yang membawa kepada saling menolong antara satu kaum dengan yang lain, dan akhirnya rumah tangga tersebut menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak perdataan biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah1. Oleh karena itu, suami istri dalam suatu perkawinan mempunyai pertanggungjawaban secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa di samping mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik suami dan istri serta anak-anak yang lahir dalam perkawinan. Anak merupakan penerus bangsa yang mengemban tugas bangsa yang belum terselesaikan oleh generasi-generasi sebelumnya. Sebagai penerus cita-cita bangsa dan negara, anak harus dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang sehat rohani dan jasmani, cerdas, bahagia, berpendidikan dan bermoral tinggi. Anak mempunyai peranan penting antara lain sebagai penyambung keturunan dan ahli waris Bahkan dalam hukum adat, anak adalah sebagai penerus keturunan, penerus kekerabatan dan sebagai kelanjutan dari keputusan orang tuanya. Sedangkan dalam skala negara dan bangsa anak adalah merupakan aset bangsa yang tidak ternilai harganya yang dapat dijadikan sebagai salah satu indicator utama (leading indicator) ekonomi suatu bangsa. Untuk itu, anak tersebut harus memperoleh kasih sayang, perlindungan, pembinaan, dan pengarahan yang tepat. Untuk mencapai kondisi ideal seperti di atas tentunya bukan tugas negara dan masyarakat semata tetapi terutama merupakan tugas dan tanggung jawab orang tua. Dalam ajaran Islam, anak justru yang sangat berguna bagi orang tua setelah ia meninggal dunia yaitu adanya amal yang tidak terputus dari anak yang soleh (human ment). Akan tetapi di dalam suatu perkawinan tidak semuanya berjalan seperti apa yang diharapkan, seperti dengan adanya sesuatu hal yang biasa memicu keretakan *Hakim PA. Gunungsitoli, Nias Sumatera Utara, alamat email :
[email protected] 1 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 69.
2
dalam suatu perkawinan, keretakan yang bisa menimbulkan kekecewaan atau mematahkan hati bagi semua pihak yang terlibat diantaranya suami, istri, anak-anak, dan anggota lain dalam keluarga, bahkan orang-orang terdekatnya. Perceraian dapat menimbulkan efek-efek yang kurang baik, dari segi moral maupun keluarga dan bagi mereka yang mempunyai anak akan membawa tanggung jawab yang lebih berat, sehingga anak-anak mengalami perubahan dalam kehidupan mereka setelah perceraian itu terjadi, mengingat anak-anak masih membutuhkan kasih sayang dan pendidikan yang semestinya di dapat dari kedua orangtuanya. Dalam hal terjadinya perceraian orangtua, biasanya anaklah yang menjadi korban. Orang tua beranggapan bahwa dalam perceraian mereka, persoalan anak akan dapat diselesaikan nanti setelah masalah perceraian diselesaikan. Padahal tidak demikian adanya, dan tidak demikian sederhananya, bahwa penyelesaian terbaik bagi anak akan dapat dengan mudah dicapai. Dalam kondisi apapun harus tetap diingat bahwa anak adalah juga individu yang mempunyai hak-hak dasar yang diakui sebagaimana halnya orang dewasa. Ini berarti bahwa anak adalah subjek kehidupan, bukan objek yang dapat diperlakukan sesuka hati orang dewasa (orangtua). Oleh sebab itu, dalam kasus perceraian orangtua, anak merupakan salah satu subjek dan kepentingan anak tetap harus menjadi prioritas utama. Seorang anak atau lebih yang belum dewasa/dapat berdiri sendiri masih berhak atas pengasuhan kedua orangtuanya, walaupun orangtuanya sudah bercerai, dan pengasuhan tersebut semata-mata hanya untuk kepentingan anakanak tersebut. Bila nanti terjadi perselisihan dalam penguasaan anak maka pengadilan memberikan putusan yang seadil-adilnya tanpa sedikitpun mengurangi hak-hak anak tersebut. Sesuai dengan rumusan dan makna Undang-Undang, bahwa untuk menentukan hak pemeliharaan anak yang harus diperhatikan adalah demi kepentingan hukum anaknya. Jadi hakim harus benar-benar memperhatikan apabila anak tersebut dipelihara oleh ibunya atau bapaknya mempunyai jaminan sosial dan kesejahteraan yang lebih baik. Di dalam Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 secara jelas menyebutkan sesungguhnya sang Bapak atu sang Ibu berkewajiban memelihara anaknya. Namun jika seorang Bapak tidak mampu secara
3
sosial ekonomi untuk membiayai penghidupan anaknya, dan ibunya ternyata lebih mampu untuk membiayainya, maka sang Ibu lah yang harus bertanggungjawab memberi penghidupan pada anaknya. Jadi tanggung jawab seorang Bapak dan Ibu memang diwajibkan untuk membiayai penghidupan anaknya. Kenyataan terjadi di lingkungan masyarakat Indonesia yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, bila terjadi perceraian dan telah mempunyai anak di bawah umur maka akan menimbulkan permasalahan dalam hal tanggung jawab orang tua terhadap anak setelah terjadinya perceraian, dan permasalahan antara hak pemeliharaan anak dengan tanggung jawab pemberian nafkah terhadap anak ini sering berbanding terbalik. Maksudnya disini adalah dalam hal hak pemeliharaan anak orang tua umumnya menginginkan anak-anaknya berada dalam asuhannya, tetapi untuk kewajiban pemberian nafkah sering kali pihak yang telah diwajibkan membiayai pemeliharaan anaknya tidak menjalankan kewajibannya sesuai dengan putusan pengadilan. Berikut adalah akibat-akibat hukum terhadap kewajiban kedua orang tua, dan bagaimana hubungannya dengan financial planning yang sudah seharusnya rencanakan oleh kedua belah pihak.2 1. Jika perkawinan putus karena perceraian, baik ibu atau bapak tetap berkewajiban
memelihara
dan
mendidik
anak-anaknya,
semata-mata
berdasarkan kepentingan si anak. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan si anak, apabila kemudian si bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. (hukum positif –> berdasarkan pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Bapak
tetap
berkewajiban
memberi
nafkah
untuk
anak
menurut
kemampuannya, sekurang kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). (Penegasan dalam Kompilasi Hukum
2
http://finance.detik.com/read/2012/03/05/080116/1857627/722/biaya-anak-pascaperceraian-siapa-yang-menanggung diakses pada tanggal 31 Juli 2012
4
Islam (KHI) menurut pasal 149 huruf d juncto pasal 156 huruf d KHI berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991) . Istri dapat dibenarkan meminta kepada suami untuk tetap memberikan nafkah kepadanya untuk jangka waktu tertentu pasca perceraian, melalui mekanisme pengadilan. 2. Biaya bagi anak meliputi seluruh kebutuhan hidupnya, sehingga seluruh hakhak si anak dapat terjamin dengan baik yaitu hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan. II.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Apa yang menjadi faktor-faktor penyebab tidak dilaksanakannya putusan Pengadilan Agama yang telah menghukum orang tua laki-laki (ayah) untuk membiayai nafkah anak sah setelah terjadinya perceraian? 2. Upaya apa yang harus ditempuh oleh ibu agar orang tua laki-laki (ayah) melaksanakan
kewajibannya
dalam
membiayai
hidup
anaknya
setelah
terjadinya perceraian ? 3. Bagaimana formulasi efektif dalam hal pembiayaan nafkah pemeliharaan terhadap anak pasca perceraian jika upaya hukum eksekusi terkendala oleh hukum formiil yang tidak mengakomodir upaya eksekusi terus menerus jika dalam posisi kasus orang tua laki-laki jarang memberikan biaya nafkah?
III. Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tentang Pemeliharaan dan Nafkah Anak
Mengenai pelaksanaan Putusan Pengadilan tentang pemeliharaan dan nafkah anak pada umumnya yang sering menjadi masalah dalam pelaksanaannya adalah mengenai tanggung jawab biaya nafkah anak yang pada umumnya dibebankan pada orang tua laki-laki. Setelah putusan Pengadilan memutuskan bahwa mengenai tanggung jawab biaya nafkah anak dibebankan kepada orang tua
5
laki-laki, hanya beberapa bulan pertama saja ayah (mantan suami) melaksanakan tanggung jawabnya membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak, setelah beberapa bulan berikutnya ayah melalaikan tanggung jawabnya tersebut dan tidak memberikan nafkah pemeliharaan dan pendidikan terhadap anak-anaknya. Prinsip hukum mengenai biaya nafkah anak setelah terjadinya perceraian, pada prinsipnya membebankan kewajiban itu kepada orang tua laki-laki. Akan tetapi hal tersebut merupakan prinsip hukum (das sollen), dalam kenyataannya (das sein) meskipun biaya nafkah anak setelah terjadinya perceraian merupakan tanggung jawab orang tua laki-laki, pada prakteknya dalam proses peradilan, tuntutan biaya nafkah anak harus turut dimintakan dalam proses persidangan.
A. Faktor-Faktor Penyebab Tidak Dilaksanakannya Putusan Pengadilan Agama Yang Mewajibkan Orang tua Untuk Memelihara dan Membiayai Anaknya Setelah Perceraian
Dalam hal yang biasanya sering tidak melaksanakan Putusan Pengadilan yang telah mewajibkan orang tua untuk memelihara dan/atau membiayai anaknya setelah perceraian adalah orang tua laki-laki. Sebagian besar orang tua laki-laki melalaikan tanggung jawabnya dalam hal membiayai pemeliharaan dan pendidikan anaknya. Orang tua perempuan yang telah diserahi hak pemeliharaan anak berdasarkan Putusan Pengadilan pada umumnya dapat menjalankan hak tersebut dengan baik meskipun orang tua perempuan tersebut telah menikah lagi, sehingga hal itu tidak menggugurkan hak pemeliharaan anak yang telah diserahkan padanya. Berikut beberapa faktor seringnya orang tua laki-laki tidak melaksanakan Putusan Pengadilan yang telah mewajibkannya untuk membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya setelah terjadinya perceraian. 1. Faktor Ekonomi Dalam peraturan perUndang-Undangan yang berlaku di Indonesia maupun Hukum Islam serta beberapa ketentuan tradisi adat di Indonesia mengatur bahwa tanggung jawab tentang pemeliharaan anak pada prinsipnya dibebankan kepada orang tua perempuan dan biaya nafkah anak dibebankan kepada orang
6
tua laki-laki. Dan apabila dikaitkan dengan kedaan dan kondisi masyarakat Indonesia, lazimnya orang tua laki-laki yang bertanggung jawab dalam memberikan biaya nakah anak kepada keluarga karena pada umumnya kaum lelakilah yang bekerja. Seandainya pun dijumpai istri atau ibu yang bekerja, hal tersebut tidak lain adalah untuk menunjang kehidupan ekonomi keluarga, bukan merupakan tanggung jawab. Dalam hal terjadi perceraian, mengingat bahwa orang tua laki-laki yang lazimnya mencari nafkah, maka biaya nafkah anak setelah perceraian adalah merupakan tanggung jawab orang tua laki-laki. Adapun yang menjadi penyebab tidak dilaksanakannya Putusan Pengadilan Agama yang menghukum untuk memberikan biaya nafkah anak oleh orang tua laki-laki, sangat ditentukan oleh berbagai faktor. Sebagian besar penyebab tidak dilaksanakannya putusan Pengadilan Agama adalah dikarenakan orang tua lakilaki tidak terbatas dalam hal pendapatan ekonomi sehari-hari karena berpenghasilan kecil. Dari faktor ekonomi ini menjelaskan bahwa tingkat kepatuhan orang tua laki-laki terhadap Putusan Pengadailan Agama yang menghukumnya untuk memberi nafkah anak sangat rendah. 2. Faktor Orang tua Menikah Lagi Setelah terjadinya perceraian, Baik pihak orang tua laki-laki maupun orang tua perempuan berhak untuk menikah lagi. Jika pihak-pihak telah menikah lagi, persoalan anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan sebelumnya menjadi sangat penting untuk dijamin terutama mengenai biaya nafkah anaknya. Meskipun biaya nafkah anak telah dijamin dalam Putusan Pengadilan Agama yang memutus perceraian kedua orangtuanya, akan tetapi dalam hal orang tua laki-laki telah menikah lagi, maka akan sangat sulit bagi orang tua laki-laki tersebut untuk tetap memberikan biaya nafkah anak, kecuali orang tua laki-laki tersebut sangat berkecukupan secara financial. Sedangkan biasanya bagi orang tua perempuan yang diserahi hak hadhanah, apabila ia menikah lagi tetapi tidak melalaikan tanggung jawabnya dalam hal pemeliharaan anak, sehingga tidak mencabut haknya sebagai pemegang hak hadhanah. Apabila orang tua laki-laki menikah lagi, hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap keadaan finansial orang tua laki-laki tersebut dimana ia harus
7
membiayai keluarganya yang baru. Keadaan ini akan sangat berpengaruh pula terhadap perhatian orang tua laki-laki dalam memberikan biaya nafkah anak yang dilahirkan dalam perkawinan terdahulu. Karena orang tua laki-laki harus membiayai keluarganya yang baru, ia menjadi kurang atau tidak mampu lagi untuk memberikan baiya nafkah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang terdahulu. Meskipun dalam hal ini tentunya faktor orang tua laki-laki menikah lagi yang lebih dominan, namun faktor ini sangat berkaitan erat dengan faktor ekonomi dari orang tua laki-laki. Jadi faktor menikah lagi ini sangat berkolerasi dengan faktor ekonomi. 3. Faktor Psikologis Terjadinya perceraian antara suami istri memang disebabkan berbagai alasan, dan kadang-kadang alasan yang menjadi penyebab perceraian tersebut sangat prinsip bagi pihak-pihak yang mengakibatkan hubungan antara suami istri tidak dapat dipertahankan lagi dan harus bercerai. Ironisnya setelah terjadi perceraian, hubungan antara mereka tetap dalam keadaan retak. Hal ini kadang-kadang sangat berpengaruh terhadap hubungan anak dengan orangtua, dimana salah satu pihak yang biasanya sebagai pemegang hak pemeliharaan anak (hadhanah) tidak mengijinkan pihak lain untuk menemui anak-anaknya. Hak pemeliharaan bagi anak yang belum mumayyiz sebagaimana ditetapkan dalam
peraturan
perUndang-Undangan,
diberikan
kepada
orang
tua
perempuan. Karena alasan-alasan tertentu, orang tua perempuan kadangkadang tidak memeperbolehkan mantan suaminya untuk bertemu dengan anakanaknya. Biasanya hal tersebut berkaitan dengan aspek psikologis orang tua perempuan. Maksudnya adalah berkaitan dengan perasaan sakit hati, dan perasaan tertekan yang dialami akibat tindakan yang tidak layak dalam perkawinan. Perasaan tertekan dan sakit hati yang dirasakan misalnya selama dalam masa perkawinan suami melakukan tindakan kekerasan, perselingkuhan dan menikah lagi, dan lain sebagainya. Faktor-faktor psikologis ini dapat menyebabkan orang tua perempuan sebagai pemegang hak pemeliharaan tidak mengijinkan mantan suaminya untuk bertemu dengan anak mereka. Keadaan
8
ini akan dapat mengakibatkan orang tua laki-laki tersebut tidak mau memberikan biaya nafkah anak. Di samping itu, orang tua laki-laki juga tidak mau memberikan biaya nafkah anak berkaitan dengan aspek psikologis orang tua laki-laki yang menganggap bahwa biaya nafkah anak tersebut tidak lain adalah akan dipergunakan dan dimanfaatkan oleh mantan istrinya. Akibatnya orang tua laki-laki menjadi tidak mau untuk memberikan biaya nafkah kepada anaknya. 4. Faktor Orang tua Perempuan Mampu Untuk Memberikan Biaya Nafkah Anak Banyak faktor yang menyebabkan orang tua perempuan mampu untuk memberikan biaya nafkah anak setelah terjadinya perceraian. Dewasa ini, bukanlah hal yang baru dimana perempuan juga mempunyai penghasilan sendiri dengan bekerja, sehingga secara ekonomi ia tidak bergantung pada suaminya jika telah menikah. Dengan demikian, bagi perempuan yang mempunyai penghasilan sendiri apabila terjadi perceraian, persoalan biaya nafkah anak tidak begitu menjadi persoalan apalagi sejak dalam masa perkawinan
pihak
istrilah
yang
secara
finansial
lebih
menghasilkan
dibandingkan suaminya. Di samping itu, faktor lain yang menyebabkan orang tua perempuan mampu untuk memberikan biaya nafkah anak adalah misalnya orang tua perempuan berasal dari keluarga yang berkecukupan secara ekonomi sehingga dengan bantuan orangtuanya, persoalan biaya nafkah anak tidak menjadi persoalan baginya.
B. Hal-hal
Yang
Menyebabkan
Kesulitan
Dalam
Melaksanakan
Putusan
Pengadilan Yang Telah Mewajibkan Orang tua Untuk Memelihara dan Membiayai Anaknya Setelah Perceraian.
Beberapa hal yang menyebabkan kesulitan dalam melaksanakan Putusan Pengadilan atas perceraian yaitu : a. Ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang hanya mengatur tentang Kewajiban Ayah (Orangtua) untk membiayai pemeliharaan anaknya pasca perceraian tanpa adanya sanksi atau hukuman bagi ayah (orangtua)
9
yang melalaikan kewajibannya, menutup kemungkinan upaya memaksakan kewajibannya. b. Memang ada upaya untuk menggugat Ayah tersebut ke pengadilan dan putusan akan tetap mewajibkan ayah tersebut menjalankan kewajibannya untuk membiayai pemeliharaan anaknya. Namun upaya tersebut akan tetap nihil, karena pengadilan hanya memberi putusan tanpa adanya wewenang dari lembaga manapun yang memberi hukuman bagi ayah yang bersangkutan dan belum ada peraturan yang mengatur wewenang untuk menghukumnya. c. Sebelum gugatan cerai diajukan ke pengadilan, para pasangan yang akan bercerai mengadakan kesepakatan tertulis di hadapan Notaris untuk membuat suatu perjanjian dengan membuat akta mengenai biaya pemeliharaan anak, siapa yang akan memelihara anak setelah mereka bercerai, dan hak untuk mengunjungi anak serta hal-hal lain yang berkaitan dengan perlindungan anak yang akan dibuat dalam grosse akte perjanjian tersebut baru berlaku jika mereka bercerai. Kesepakatan tertulis yang telah dibuat atas permintaan istri dan/atau suami kepada hakim yang akan dijadikan sebagai salah satu amar putusan hakim, namun terkendala oleh tidak adanya sanksi atau hukuman bagi seorang ayah yang melalaikan kewajibannya membiayai pemeliharaan anaknya. d. Selanjutnya kesulitan dalam melaksanakan putusan pengadilan atas perceraian juga karena aspek psikologis orang tua perempuan (ibu). Orang tua perempuan kadang-kadang tidak memperbolehkan mantan suaminya bertemu dengan anak-anaknya, karena adanya perasaan sakit hati, perasaan tertekan yang dialami akibat tindakan kekuasaan, perselingkuhan dan menikah lagi. Hal ini menyebabkan orang tua perempuan tidak mengijinkan mantan suaminya untuk bertemu dengan anak mereka. Keadaan ini dapat mengakibatkan orang tua laki-laki tersebut tidak mau memberikan biaya nafkah anak. Selain itu juga sangat berpengaruh dengan aspek psikologis si anak yang tidak dapat menerima perceraian kedua orangtuanya, apalagi disebabkan oleh tindakan yang orang tua laki-laki
10
yang tidak pantas dalam pandangan anak tersebut, misalnya alasaan perceraian karena perselingkuhan orang tua laki-laki, orangtua laki-laki menikah lagi atau tindakan kekerasan yang pernah dilakukan orang tua laki-laki terhadap orang tua perempuannya atau terhadap anak itu sendiri.
C. Upaya Yang Dapat Dilakukan Apabila Orang tua Tidak Memenuhi Kewajibannya Terhadap Anak Sesuai Putusan Pengadilan
Seperti diketahui, hakim membuat putusan-putusan dengan keyakinan putusan tersebut berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga para hakim akan memutus perkara (perceraian) seadil-adilnya dan mencerminkan perlindungan terhadap anak. Dalam hal hak pemeliharaan anak, apabila orang tua yang memelihara anaknya dinyatakan dalam Putusan Pengadilan Agama tidak berhak mengasuhnya dan diwajibkan untuk menyerahkan kepada orangtuanya yang lain yang berhak memeliharanya. Tata cara pelaksanaan putusan pemeliharaan anak adalah dengan melakukan pemaksaan terhadap pihak yang tidak berwenang memelihara anaknya dan mengambil secara baik anak tersebut untuk diserahkan kepada pihak yang berhak. Permasalahan lain adalah mengenai tanggung jawab biaya nafkah pemeliharaan dan pendidikan anak yang dtelah dibebankan kepada orang tua lakilaki. Dalam kenyataannya, ada saja ayah yang telah diwajibkan membiayai pemeliharaan anaknya tidak menjalankan kewajibannya. Pada beberapa bulan pertama ayah masih patuh menjalani putusan hakim yaitu memberi biaya pemeliharaan anak, yang berada di bawah pemeliharaan mantan istri sesuai nilai nominal yang telah ditetapkan putusan pengadilan atas perceraian. Namun untuk bulan-bulan berikutnya, ayah sudah melalaikan kewajibannya, ia tidak lagi memberikan biaya pemeliharaan anaknya. Upaya yang dapat dilakukan apabila orang tua melalaikan kewajibannya membiayai pemeliharaan anak sedangkan orang tua masih mampu maka dalam hal ini jika sudah ada putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, salah satu pihak yang merasa dirugikan dapat menggugat melalui pengadilan dengan
11
memohon eksekusi pembayaran biaya nafkah ke Pengadilan Agama untuk memberikan biaya nafkah anak. Hal ini hanya bisa dilakukan jika salah satu pihak orang tua mempunyai harta benda yang dapat dieksekusi. Dalam praktek Pengadilan Agama dikenal dua macam eksekusi yaitu (1) eksekusi riil atau nyata sebagaimana yang diatur dalam Pasal 200 ayat (11) HIR, Pasal 218 ayat (2) RBg yang meliputi penyerahan, pengosongan, pembongkaran, pembahagian dan melakukan sesuatu, (2) Eksekusi pembayaran sejumlah uang melalui lelang sebagaimana tersebut dalam Pasal 200 HIR dan Pasal 215 RBg yang dilakukan dalam pembahagian harta bila pembahagian dengan perdamaian dan persetujuan pihak-pihak (in natura) tidak dapat dilakukan seperti dalam perkara harta bersama dan warisan.3 Dari ketentuan di atas jika dikaitkan dengan permasalahan dalam tulisan ini yang menyangkut upaya yang dapat dilakukan untuk memaksa orang tua laki-laki dalam memenuhi isi putusan Pengadilan Agama yang menghukumnya untuk memberi biaya nafkah anak, maka ibu dapat memohon eksekusi pembayaran biaya nafkah anak ke Pengadilan Agama untuk memaksa orang tua laki-laki tersebut untuk memberikan biaya nafkah anak. Ibu dapat mengajukan permohonan eksekusi terhadap orang tua laki-laki yang melalaikan kewajiban memberi nafkah anak tentunya hanya bisa dilakukan jika orang tua laki-laki tersebut mempunyai harta benda yang dapat dieksekusi. Persoalan biaya nafkah ini tidak juga dapat diatasi melalui upaya hukum jika ternyata harta benda orangtuanya tidak ada, sehingga jikapun dimohonkan eksekusi akan menjadi sia-sia. Selanjutnya, apabila sejak awal biaya nafkah anak tidak dimintakan oleh ibu pada saat terjadinya pemeriksaan sengketa perceraian dan kemudian ternyata orang tua laki-laki tidak memberi biaya nafkah anak, maka ibu dapat mengajukan gugatan baru mengenai biaya nafkah anak terhadap orang tua laki-laki ke Pengadilan Agama yang terpisah dari sengketa perceraian sebelumnya.
3
Yahya Harahap dalam Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta : Yayasan Al-Hikmah, Cet. II, 2001), h. 215
12
D. Menerapkan Lembaga Dwangsom dalam Putusan Hadlanah
Salah satu permasalahan dalam hadhonah adalah eksekusi putusan hadlanah itu tidak ada aturan hukumnya, maka hal ini berarti suatu kekosongan hukum acara yang harus ditemukan hukumnya melalui hak deskresional hakim yang diberikan undang-undang. Pengadilan Agama sebagai Law of Court terikat dengan asas pokok kekuasaan kehakiman bahwa: “pengadilan tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Ps. 16 ayat (1) UU No.4 Th. 2004). Oleh karena itu hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. (Ps.28 ayat (1) UU No.4 Th. 2004). Dalam konteks ini tentu saja termasuk dalam hal meneyelesaikan upaya pelaksanaan atau eksekusi isi putusan pengadilan. Namun demikian – memang kebebasan hakim untuk menggali hukum ini tampaknya sempat memunculkan kekhawatiran dari kalangan pakar hukum. Keberanian untuk menggali nilai-nilai inilah yang dikhawatirkan oleh Satjipto Rahardjo (alm) sehingga memunculkan ide hukum progresif, yang merupakan lawan dari aliran positivisme hukum.4 Oleh karena itu yang dibutuhkan adalah bagaimana menggabungkan kedua idealisme pemikiran tersebut sehingga melahirkan kemajuan di bidang hukum tanpa kehilangan tujuan luhur hukum itu sendiri, yakni keadilan untuk seluruh umat manusia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Andi Hamzah5, dwangsom atau lengkapnya dwangsom of astreinte (Belanda): uang paksa, sejumlah uang yang harus dibayar oleh seseorang sebagai hukuman berdasarkan putusan pengadilan, sepanjang atau sesering ia tidak memenuhi kewajiban pokok
yang
dibebankan
kepadanya
oleh
keputusan
pengadilan itu. Senada dengan itu R. Subekti6 menyatakan bahwa yang dimaksud dwangsom
adalah
uang
paksa;
sebegitu
jauh
pengadilan
memutuskan
4
Romli Atmasasmita, Varia Peradilan Majalah Hukum No.306 Mei 2011, Ikatan Hakim Indonesia, 2011, h. 21 5 Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Cet.Pertama, Jakarta, 1986, h. 163 6 R. Subekti, , Kamus Hukum, Cet.ke-16, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, h. 37
13
penghukuman untuk sesuatu lain daripada untuk membayar sejumlah uang, maka dapatlah ditentukan di dalamnya, bahwa jika, selama atau manakala si terhukum tidak/belum memenuhi keputusan tersebut, ia pun wajib membayar sejumlah uang yang ditetapkan dalam putusan itu, uang mana disebut uang paksa. (pasal 606a Rechtsvordering). Dengan demikian maka uang paksa ini merupakan suatu alat eksekusi secara tak langsung. Persoalan mengenai boleh atau tidaknya menerapkan lembaga dwangsom dalam putusan hadlanah masih diperselisihkan oleh para praktisi hukum. Sebagian praktisi hukum berpendapat bahwa lembaga dwangsom ini tidak boleh diterapkan dalam putusan hadlanah karena konteksnya berbeda, sebagian praktisi hukum yang lain berpendapat bahwa lembaga dwangsom dapat juga diterapkan dalam putusan hadlanah karena dengan mencamtumkan dwangsom itu pihak tergugat akan memenuhi isi putusan hakim jika ia mengetahui ada kewajiban yang harus dipenuhi apabila ia tidak melaksanakan hukuman pokok yang dibebankan kepadanya. Hipotesa atas persoalan ini tampaknya pendapat yang terakhir menginginkan diterapkan lembaga dwangsom dalam putusan hadlanah apabila dilihat dari doolmattigheit-nya,
lebih-lebih
lagi
apabila
penerapan
itu
dengan
tujuan
kemaslahatan.7 Aturan hukum lembaga dwangsom ada dalam pasal 606 a dan 606 b Rv. Sedangkan dalam RBg dan HIR lembaga dwangsom tidak disebutkan secara rinci. Lembaga
dwangsom
mulai
dipergunakan
oleh
Raad
van
Justice
dan
Hoegerechtteschof sejak tahun 1938. Meletakkan lembaga dwangsom merupakan tindakan logis yuridis dengan tujuan untuk memaksa orang yang dikenakan hukuman itu agar serius dan tidak main-main dalam mematuhi dan melaksanakan putusan hakim. Dengan hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa dwangsom adalah suatu hukum tambahan pada orang yang dihukum untuk membayar sejumlah uang selain yang telah disebutkan dalam hukuman pokok dengan maksud agar ia
7
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama, Penerbit Kencana, Jakarta, 2005, h. 438
14
bersedia melaksanakan hukuman pokok sebagaimana mestinya. Dengan pengertian ini dapat diketahui bahwa sifat dwangsom adalah sebagai berikut : 1)
Merupakan accecoir, tidak ada dwangsom apabila tidak ada hukuman pokok, apabila hukuman pokok sudah dilaksanakan maka dwangsom yang ditetapkan bersama hukuman pokok tidak mempunyai kekuatan lagi,
2)
Merupakan hukuman tambahan, apabila hukuman pokok yang ditetapkan oleh hakim tidak dipenuhi oleh tergugat (yang dihukum), maka dwangsom itu dapat dieksekusi
3)
Merupakan hukuman psychis, dengan adanya dwangsom yang ditetapkan oleh hakim dalam putusannya, maka orang yang dihukum itu ditekan secara psychis agar ia dengan sukarela melaksanakan hukuman pokok yang telah ditentukan oleh hakim. Dwangsom berbeda dengan ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 225
HIR, dan berbeda pula dengan kompensasi yang dikenal dalam hukum perdata, sebab dalam dwangsom ini kewajiban yang disebut dalam putusan hakim tetap ada dan tidak bisa diganti atau dihapus. Dengan demikian lembaga dwangsom ini sangat tepat apabila diletakkan pada putusan hadlanah karena dwangsom tersebut merupakan salah satu strategi yang diyakini dapat mencegah putusan hadlanah menjadi ilusoir (hampa) yang memang selama ini disinyalir banyak putusan hadlanah yang tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Agar lembaga dwangsom ini dapat dicantumkan dalam putusan hakim, maka penggugat harus meminta diletakkan dwangsom ini dalam surat gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Agama dengan menyebutkan alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum. Alasan ini dapat berupa hal yang diperjanjikan sebelumnya antara penggugat dan tergugat, atau juga dengan alasan adanya kekhawatiran penggugat kepada tergugat yang tidak bersedia melaksanakan hukuman pokok sebagaimana yang ditetapkan oleh hakim. Permintaan dwangsom ini dapat juga didasarkan pada pasal 225 HIR dan pasal 259 RBg yaitu gugatan untuk melaksanakan suatu persetujuan berdasarkan pasal 1267 KUHPerdata. Tapi
15
dwangsom tidak dapat dituntut bersama-sama dengan tuntutan pembayaran sejumlah uang (vide Putusan MA RI No.791 K/SIP/1972 jo.pasal 611 Rv).8 Secara teknis yuridis penggugat dalam gugatannya dapat mengajukan tuntutan dwangsom sebagaimana diatur dalam pasal 606 a Rv dengan ketentuan sebagai berikut9 1) tuntutan dwangsom diajukan bersama-sama dalam bentuk satu kesatuan dengan gugatan pokokperkara; 2) tuntutan dwangsom didasarkan pada posita yang jelas; 3) besarnya dwangsom tidak berkenaan dengan gugatan pembayaran sejumlah uang; 4) tuntutan dwangsom tersebut dicantumkan dengan jelas dan tegas dalam petitum; Apabila tuntutan dwangsom itu diajukan dalam gugatan hadlanah, maka petitum gugatan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Mengabulkan gugatan penggugat; 2) Menetapkan anak yang bernama …………bin/binti …… berada di bawah pemeliharaan (hadlanah) ………….; 3) Menghukum tergugat untuk menyerahkan anak bernama……….bin/binti…… kepada penggugat; 4) Menghukum tergugat untuk membayar kepada penggugat uang sebesar Rp …. (………………..…………rupiah) setiap hari keterlambatannya melaksanakan putusan ini terhitung sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap; 5) Menetapkan biaya perkara menurut hukum yang berlaku. Dengan diajukannya tuntutan dwangsom dalam gugatan penggugat maka hakim yang memeriksa perkara terebut dalam memutus pokok perkara harus pula memberikan putusan terhadap tuntutan dwangsom ini dengan mengabulkan atau
8
Mahkamah Agung RI, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 2008, Penerbit Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, h. 440 9 Mahkamah Agung RI, Himpunan Perundang-undangan Peradilan Agama, Proyek Peningkatan Tertib Hukum dan Pembinaan Hukum Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1994.h.441
16
menolak permohonan tersebut. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Majelis Hakim dalam memeriksa tuntutan dwangsom ini adalah sebagai berikut: 1) beralasan hukum atau tidaknya tuntutan dwangsom itu; 2) boleh atau tidaknya dwangsom itu diterapkan dalam perkara tersebut; 3) kondisi
tergugat
bagaimana,
apakah
memungkinkan
secara
ekonomis
melaksanakan tuntutan dwangsom itu. Jika pertimbangan yang dikemukakan ini tidak terpenuhi secara utuh dan menyeluruh, sebaiknya tuntutan dwangsom tersebut ditolak atau dikesampingkan. Akan tetapi jika tuntutan dwangsom dikabulkan oleh Majelis Hakim, maka amar putusannya adalah sebagai berikut: 1) Mengabulkan gugatan penggugat; 2) Menetapkan anak yang bernama …..bin/binti….. berada di bawah pemeliharaan (hadlanah) penggugat; 3) Menghukum
tergugat
untuk
menyerahkan
anak
bernama
….bin/binti…….kepada penggugat terhitung sejak putusan ini berkekuatan 14ersu tetap; 4) Menghukum tergugat untuk membayar uang paksa sebesar Rp……………… (……………………………….rupiah) setiap hari, setiap tergugat melalaikan putusan ini sejak putusan berkekuatan hukum tetap; 5) Membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp ………. (…………….rupiah);
IV. PENUTUP
Lembaga dwangsom dapat juga diterapkan dan efektif dalam putusan hadhonah karena dengan mencantumkan dwangsom itu pihak Tergugat akan mematuhi isi putusan Hakim jika ia mengetahui ada kewajiban yang harus dipenuhi apabila ia tidak melaksanakan hukuman pokok yang dibebankan kepadanya. Tujuan diletakkan dwangsom dalam putusan Hakim agar Tergugat bersedia memenuhi prestasinya jika mengetahui ada kewajiban yang harus dibayar apabila ia tidak
17
melaksanakan hukuman pokok yang dibebankan kepadanya. Merupakan tindakan logis untuk memaksa orang yang dikenakan hukuman itu agar serius dan tidak mainmain dalam mematuhi dan melaksanakan putusan Hakim. Diharapkan secara psikologis dapat mempengaruhi getaran jiwa Tergugat yang pada gilirannya akan menyadarkan dan berpikir betapa besarnya jumlah uang yang harus dibayar jika putusan hakim itu tidak dilaksanakan sebagaimana yang telah ditetapkan. Demikian beberapa hal yang dapat disampaikan melalui tulisan ini yang berkenaan dengan masalah urgensi lembaga dwangsom dalam putusan hadlanah. Hal pokok yang penulis sampaikan adalah bahwa dalam menyelesaikan masalah hadlanah ini tidak hanya mengacu kepada ketentuan yuridis normative saja, melainkan harus pula memperhatikan nilai-nilai hukum dalam masyarakat, kaidahkaidah agama, lingkungan dari ayah dan ibu yang akan diberi hak asuh dan aspek lain demi kemaslahatan diri anak yang akan menjadi asuhannya. Pada prinsipnya, baik itu menurut Peraturan perundang-undangan Nasional, Hukum Islam dan Hukum Perdata, orang tua dari anak berhak untuk melaksanakan pemeliharaan terhadap anaknya, tetapi jika terjadi perceraian antara kedua orang tua anak tersebut, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (belum berumur 12 tahun) adalah hak ibunya. Bahwa prinsip hukum tentang kewajiban memberi nafkah anak setelah terjadinya perceraian dalam Peraturan PerUndang-Undangan di Indonesia, Hukum Islam dan Hukum Perdata pada hakekatnya membebankan kewajiban tersebut kepada orang tua laki-laki sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa.
18
V.
Pustaka Acuan :
Abdul Manan, Dr.Drs.SH.SIP, Mhum. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama, Penerbit Kencana, Jakarta, 2005 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998 Andi Hamzah, DR., S.H., Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Cet.Pertama, Jakarta, 1986 Mahkamah Agung RI, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 2008, Penerbit Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008 Mahkamah Agung RI, Himpunan Perundang-undangan Peradilan Agama, Proyek Peningkatan Tertib Hukum dan Pembinaan Hukum Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1994 Romli Atmasasmita, Varia Peradilan Majalah Hukum No.306 Mei 2011, Ikatan Hakim Indonesia, 2011 R. Subekti, Prof, S.H., R. Tjiptosudibio, Kamus Hukum, Cet.ke-16, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005 Yahya Harahap dalam Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta : Yayasan Al-Hikmah, Cet. II, 2001)
Website
:
http://finance.detik.com/read/2012/03/05/080116/1857627/722/biaya-anak-pascaperceraian-siapa-yang-menanggung diakses pada tanggal 31 Juli 2012
19