Urgensi Integrasi Agama dan Sains Oleh: Bambang Irawan * Abstrak Perkembangan sains modern terutama di Barat memang kemudian menghadap-hadapkan secara diametris dengan agama. Pandangan positivistik yang menyatakan bahwa Tuhan tidak diperlukan lagi, karena seluruh masalah hidup manusia dapat dipecahkan oleh ilmu pengetahuan merupakan puncak 'permusuhan' sains dan agama. Tidak heran di Barat mayoritas ilmuan adalah ateis karena mereka merasa telah menemukan Tuhan baru mereka yaitu ilmu pengetahuan. Islam sendiri tidak pernah memusuhi dan bermasalah dengan sains. Akal, intuisi, dan wahyu di samping indera diakui sebagai sumber ilmu pengetahuan dalam Islam, sehingga tidak heran justru pada masa kejayaannya Islam bisa bermesraan dengan sains. Seiring dengan kemunculan postmodernisme di Barat dan banyaknya bencana alam yang kadang tidak bisa diprediksi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern, hubungan agama dan sains mulai mencair. Upaya-upaya untuk mengintegrasikan agama dan sains mulai banyak dilakukan tidak hanya di Timur tetapi juga di Barat. Momentum ini menandai kembalinya peran agama dalam kehidupan umat manusia. Kata kunci: agama, sains, integrasi A. Pendahuluan Cara pandang (paradigma) seseorang tentang pengetahuan dan dunia (world view) sering diartikan sebagai paradigma. Suatu paradigma baru misalnya, dalam tata surya kita bahwa planet-planet bumi, mars, dan sebagainya itu mengelilingi matahari, jelas menimbulkan konsekuensi dan implikasi teoretis yang berbeda dalam pengembangan ilmu astronomi dibandingkan dengan paradigma lama bahwa bumi adalah pusat jagad raya.1 Suatu paradigma yang memahami bahwa manusia semata-mata makhluk biologis, telah melahirkan ilmu pengetahuan kedokteran yang memandang orang sakit sebagai mesin rusak sehingga perlu dicari komponen atau organ tubuh yang rusak tersebut untuk diperbaiki secara mekanis pula. Demikian pula halnya paradigma yang meyakini bahwa sumber segala eksistensi (maujud) adalah Tuhan (theocentris) jelas akan *
Dosen Fak. Syariah IAIN Sumut, Kandidat Doktor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. 1Thomas
Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions : Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2000), p. 46. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Bambang Irawan: Urgensi Integrasi Agama dan Sains
788
mempunyai implikasi yang berbeda dalam pengembangan ilmu pengetahuanan, dibandingkan dengan paradigma yang meyakini bahwa manusia mempunyai kedudukan sentral dijagad raya ini (anthropocentris).2 Kemajuan pengetahuan, sains dan teknologi sebagai konsekuensi logis dari aplikasi rasionalisme dan empirisme telah begitu berjasa memunculkan banyak peralatan teknologi yang berguna bagi kehidupan dan kesejahteraan umat manusia. Banyak penemuan yang telah dihasilkan baik dalam bidang fisika, kimia, biologi, kedokteran, ekonomi bahkan psikologi. Kemajuan ini jelas tidak dapat disangkal dan dipungkiri sampai hari ini. Hampir kebanyakan aktifitas kita menggunakan hasil pengetahuan dan sains yang mekanistik ini. Pendekatan yang rasionalistis, logis, terukur, sebab akibat, ini semua telah membantu banyak orang dan para ahli untuk dapat menemukan banyak pemecahan dan persoalan hidup dan bidang mereka. Namun, meskipun sains dan teknologi modern memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia namun tidak dapat disangkal juga memiliki dampak negatif yang sangat membahayakan nilai-nilai keimanan yang tanpa diduga melahirkan semangat otonomi dan independensi yang mendorong sebagian orang untuk mendeklarasikan kebebasan dari Tuhan.3 Perkembangan sains yang sangat cepat, bila tidak diimbangi dengan perkembangan pengetahuan di bidang lain seperti misalnya bidang agama dan moral, akan menimbulkan terjadinya ketimpangan. Keadaan demikian tentu saja dapat menimbulkan terjadinya kesenjangan antara kelompok yang menamakan dirinya teknolog/ilmuan dengan kelompok agamawan, sehingga melahirkan dikotomi antara sains dan agama. Ketergantungan sains modern hanya semata-mata pada fenomenafenomena empiris-materialistik tentu tidak bisa dipisahkan dari temuan terkenal Isaac Newton (w.1725M) yang disebut mechanistic determinism (hukum mekanik). Dengan ditemukannya hukum mekanik ini oleh Newton, menurut mereka rahasia kerja alam sudah tersibak sehingga campur tangan Tuhan terhadap alam seperti yang dijelaskan agama dipandang tidak begitu penting lagi.4
2Mahmud
Thoha, Paradigma Baru Ilmu Pengetahuan Sosial & Humaniora, (Jakarta: Teraju, 2004), p. 10. 3Karen Armstrong, A history of God, pp. 446-482. lihat juga Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestafa Manusia Modern, terj. Anas Mahyudin, (Bandung: Pustaka, t.t.). 4Bertrand Russel, Religion and Science, (London: Oxford University Press, 1982), p. 57. Lihat juga Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon Terhadap Modernitas, (Jakarta: Erlangga, 2007), p. 103. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Bambang Irawan: Urgensi Integrasi Agama dan Sains
789
Sebuah semangat revolusi sains yang berpijak pada ide pembebasan rasio dari mitologi terus berkembang dan tumbuh bak jamur di musim hujan. Agama sebagai dasar fundamental dari keyakinan ditinggalkan. Tuhan dianggap tidak memiliki andil dalam proses pengetahuan. Maka kemudian timbullah pemikiran bahwa kehidupan ini berpusat pada manusia (antroposentris).5 Akal-lah yang mampu mendapatkan segala pengetahuan (rasionalisme). Ilmu pengetahuan tetap diposisikan secara netral. Agama dan ilmu dipisahkan, dan Tuhan dijauhkan dari urusanurusan pengembangan pengetahuan. Sains modern sejauh ini hanya ingin meneliti fakta dan meninggalkan persoalan makna, lebih menekankan unsur empiris daripada hal-hal yang non-empiris karena hanya yang bersifat empiris, menurut mereka yang dapat diukur dan dihitung. Galileo pernah mengatakan bahwa hanya fenomena-fenomena yang bisa dihitung yang bisa dimasukkan dalam domain sains. Apa saja yang tidak dapat dihitung dan tidak dapat diukur itu tidak ilmiah dan tidak real (nyata).6 Kecenderungan sains pada kuantifikasi fakta tentu dapat kita telusuri dari pandangan seorang tokoh sentral peradaban modern, Rene Descartes. Menurut Seyyed Hossein Nasr, Descartes telah mereduksi realitas-realitas eksternal yang begitu kaya kepada angka-angka dan filsafat alam kepada matematika.7 Penekanan terhadap rasionalitas oleh masyarakat Barat modern, mengakibatkan unsur-unsur non-rasional seperti yang banyak kita temukan dalam agama dan mistisisme cenderung ditolak sebagai ilusi atau halusinasi.8 Wahyu yang pada dasarnya diterima melalui intuisi (hati) ditolak otoritasnya oleh masyarakat modern karena kecurigaan masyarakat modern terhadap metode non-rasional. Bahkan, Nabi sering dianggap sebagai psikopat yang mengalami gangguan jiwa, khususnya epilepsi.9 Akibatnya muncul fenomena ateis pada sebagian ilmuan Barat yang sekuler. Menurut mereka, gagasan tentang Tuhan hanyalah sebuah proyeksi dan pelarian manusia dari ketidakmampuan mereka mengatasi 5Mahmud
Thoha, Paradigma Baru…, p. 10. Capra, Kearifan Tak Biasa, Percakapan dengan Orang-orang Yang Luar Biasa, (Yogyakarta: Bentang, 2002), p. 143. 7Sayyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, (London: Mandala Book, 1976), p. 69. 8Brain Hines mengatakan bahwa bagi kaum materialis, kebenaran spiritual sebagaimana yang dialami dalam pengalaman mistik tidak lain daripada sebuah halusinasi. Lihat Brain Hines, God’s Whisper, Creation’s Thunder, (Bratleboro, Vermont: Treshold Books, 1996), p. 135. 9Danah Zohar dan Ian Marshall, S Q: Memanfaatkan Kecerdasa Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik Untuk memaknai kehidupan, (Bandung ; Mizan, 2001), p. 81. 6Fritjof
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
790
Bambang Irawan: Urgensi Integrasi Agama dan Sains
problem hidup. Tuhan juga sering dianggap hanya sebatas hipotesa yang berfungsi sekedar melengkapi penjelasan ilmiah, ketika sains gagal memberikan penjelasan yang koheren tentang alam semesta.10 Sampai sekarangpun banyak ilmuan yang menolak otoritas agama dan memilih tidak bertuhan atau ateis. Menurut survei yang dilakukan akhir-akhir ini lebih dari 60% fisikawan dunia adalah ateis.11 Karen Armstrong dalam bukunya A history of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam, misalnya mengajukan pertanyaan bernada pesimis ”Akankah gagasan tentang Tuhan dapat bertahan dalam tahun-tahun mendatang?”. Selama 4000 tahun gagasan itu telah mampu menjawab tuntutan zaman, tetapi pada abad kita ini, tulisnya, semakin banyak orang yang merasakan bahwa gagasan tentang Tuhan tak lagi bermanfaat bagi mereka, dan ketika sebuah gagasan keagamaan kehilangan fungsi, ia pun akan terlupakan.12 Pernyataan Karen Armstrong sesungguhnya banyak didukung oleh realitas di Eropa, misalnya, gereja-gereja mulai kosong; ateisme tidak lagi merupakan ideologi segelintir pelopor intelektual, tetapi telah menjadi keyakinan yang menyebar luas. Kaum sekularis abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh memandang ateisme sebagai kondisi kemanusiaan yang tidak dapat dihapuskan pada era ilmiah. Banyak orang yang tidak gentar dengan prospek hidup tanpa Tuhan. Ada pula yang melihat ketiadaan-Nya sebagai hal yang melegakan.13 Sebut saja pandangan Jean-Paul Sartre (1905-1980) yang mengatakan bahwa ”Sekiranya Tuhan sungguh-sungguh ada, Dia tetap perlu ditolak sebab gagasan tentang Tuhan menafikan kemerdekaan”. Demikian juga Albert Camus (1913-1960) yang menyuarakan ateisme heroik. Ia mengatakan, ”Orang harus menolak Tuhan secara membabi buta agar cinta mereka tercurah sepenuhnya kepada umat manusia14. Lain halnya pendapat A.J. Ayer (1910-1991), ia mempertanyakan, ”Apakah ada gunanya percaya kepada Tuhan? Bukankah ilmu alam merupakan satusatunya sumber pengetahuan yang dapat diandalkan karena dapat diuji dengan secara empirik.15 10Mulyadhi Kartanegara, Kata Pengantar dalam buku Tuhan dalam Filsafat Allamah Thabathaba’i karya Achmad Muchaddam, (Jakarta: Teraju, 2004), p. v. 11Mulyadhi Kartanegara, Titik Balik Peradaban: Pengaruh Mistisisme atas Fisika Baru, dalam Jalan Paradoks: Visi Baru Fritjof Capra tentang Kearifan dan Kehidupan Modern, (Jakarta: Teraju, 2004), p. 148. 12Karen Armstrong, A history of God: The 4,000-Year Quest of Judaism…. p. 483. 13Karen Armstrong, A history of God: The 4,000-Year…, p. 484 . 14Albert Camus, Mite Sisifus: Pergulatan dengan Absurditas, (terj. Apsanti), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), p. 79. 15Karen Armstrong, A history of God…, pp. 484-485.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Bambang Irawan: Urgensi Integrasi Agama dan Sains
791
Pierre de Laplace (w.1827) seorang astronom Prancis mengatakan, ”Penjelasan tentang fenomena alam tidak perlu melibatkan Tuhan. Tuhan telah berhenti menjadi apapun, baik sebagai pencipta, pemelihara, bahkan perusak alam semesta ini.” Kenyataan bahwa Laplace telah menjelaskan tentang kejadian alam tanpa menyinggung Tuhan sedikitpun, tentu telah menimbulkan banyak keheranan dalam benak orang-orang sezamannya, tak terkecuali Kaisar Napoleon sendiri, yang menanyakan perihal itu kepada Laplace. Laplace sebagaimana dikutip Bertrand Russel dalam bukunya Science and Religion, menjawab “I don’t need that kind of hypothesis” (saya tidak butuh hipotesis seperti itu). Rupanya bagi Laplace, kehadiran Tuhan dalam teori-teori ilmiah berfungsi sebagai hipotesa, dan dia tidak membutuhkan hipotesa seperti itu.16 Tantangan lain terhadap kepercayaan kita pada Tuhan muncul dari seorang ahli psikologi, yaitu Sigmund Freud. Freud adalah keturunan Yahudi Austria, tetapi menjadi ateis setelah berhasil menjadi ilmuan terkenal. Dalam bukunya The Future of an Illusion,17 dia menyebut agama sebagai ilusi dan meramalkan agama akan bernasib malang di masa depan karena irrasionalitasnya. Lebih dari itu ia menganjurkan agar etika, kalau masih dianggap perlu, tidak menyandarkan prinsip-prinsipnya pada ajaranajaran agama. Kalau tidak, maka etika akan ditinggalkan bersama-sama dengan agama. Juga penekanan terhadap rasio sebagai alat kognitif yang paling utama tercermin dari pernyataan filosof Jerman, Hegel, salah seorang tokoh Aufklarung yang terkemuka, bahwa realitas berpadanan dengan rasionalitas: segala yang bersifat rasional adalah real (nyata), sehingga semakin rasional seseorang, maka semakin realistik ia dan semakin mendekati kebenaran.18 Demikian juga Tuhan menurut Freud, sebagaimana dipresentasikan oleh Erich Fromm, dalam bukunya Psychoanalysis and Religion, ide Tuhan muncul dalam pikiran manusia ketika masih lemah dan tidak mampu berpikir rasional serta tidak mampu menghadapi tantangan lingkungan secara rasional. Tuhan kemudian tercipta dalam pikiran manusia sebagai proyeksi dari kelemahan, keterbatasan, dan kesengsaraan manusia sendiri ketika menghadapi alam lingkungan, dan tidak sanggup menghadapi alam secara rasional.19
16Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon terhadap Modernitas, (Jakarta: Erlangga 2007), pp. 44-45. 17Sigmund Freud, The future of an Illusion , (New York: Norton, 1961), pp. 9-10. 18Antony Flew, A Dictionary of Philosophy, revised edition, (New York : St. Martin’s Press, 1979), p. 79. 19Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar...., p. 47.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Bambang Irawan: Urgensi Integrasi Agama dan Sains
792
Begitu juga pandangan seorang sosiolog terkenal dari Prancis, Emile Durkheim. Adapun tentang Tuhan, Durkheim—sebagaimana dikemukakan dalam The New Dictionary of Sociology—mengatakan, ”What we call God is actually society” (Apa yang kita sebut Tuhan tak lain hanyalah masyarakat). Karena masyarakatlah yang paling cocok untuk mengemban semua atribut (sifat) yang biasanya dialamatkan kepada Tuhan.20 Yang lebih dramatik adalah ungkapan seorang filosof linguistik yang secara antusias mengikuti Nietzsche, ia memproklamasikan kematian Tuhan. Di dalam The Gospels of Christian Atheism (1966), Thomas J. Altizer mengklaim bahwa ”kabar baik” tentang kematian Tuhan : ”Hanya dengan menerima dan bahkan menghendaki kematian Tuhan di dalam pengalaman kita barulah kita bisa terbebas dari sesuatu yang transenden di atas, sesuatu yang asing di atas yang telah dikosongkan dan digelapkan oleh alienasi-diri Tuhan di dalam Kristus. Altizer berbicara dalam terma mistikal tentang gelap malam jiwa dan nestapa keterasingan. Kematian Tuhan mewakili keheningan yang dibutuhkan sebelum Tuhan bisa kembali menjadi bermakna. Semua konsepsi lama kita tentang Tuhan harus terlebih dahulu mati sebelum teologi dapat dilahirkan kembali. Kita tengah menanti sebuah bahasa dan cara yang dengannya Tuhan kembali menjadi suatu kemungkinan. Senada dengan Paul Van Buren, ia mengatakan,”Pembicaraan tentang Tuhan sudah tidak mungkin lagi dilakukan di dunia ini. Sains dan teknologi telah meruntuhkan mitologi kuno. Kita mesti bertahan hidup tanpa Tuhan”, ujarnya.21 Argumen ateistik berpijak pada filsafat naturalisme dan materialisme. Kaum naturalisme berpendapat bahwa alam ini ada dengan sendirinya (self generating) dan berjalan secara mandiri (self operating ) dan karena itu dianggap tidak membutuhkan Tuhan sebagi agen eksternal, yang biasanya bertanggung jawab atas peristiwa yang terjadi di alam ini. Kelompok ini diwakili oleh ilmuan-ilmuan naturalis seperti Pierre Simon de Laplace, astronom Prancis dan Charles Darwin seorang ahli biologi Inggris yang dikenal dengan teori evolusinya.22 Kaum positivisme yang dicetuskan oleh August Comte yang secara perlahan namun pasti telah menyingkirkan Tuhan dari kehidupan dunia. Menurutnya, perkembangan sejarah manusia dapat dibagi kedalam tiga tahap, tahap teologis, tahap metafisik, dan tahap positivistik. Pada tahap terakhir, ilmu pengetahuanlah yang menentukan segalanya dan Tuhan tidak lagi berperan. Berangkat dari teori Comte, saat ini sepertinya Tuhan 20Mulyadhi
Kartanegara, Mengislamkan Nalar..., p. 48. Armstrong, A history of God.., p. 487. 22Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu : Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2002), p. 145. 21Karen
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Bambang Irawan: Urgensi Integrasi Agama dan Sains
793
tidak diperlukan lagi, karena seluruh masalah hidup manusia (material) dapat dipecahkan oleh ilmu pengetahuan. Bisa jadi mereka mengakui bahwa Tuhan yang menciptakan alam, tetapi setelah alam tercipta, maka Tuhan tidak dibutuhkan lagi. Teori ini biasanya disebut dengan clock maker theory yang menyatakan bahwa sekali alam tercipta, maka seperti jam tangan, alam tidak membutuhkan lagi tangan pembuatnya karena alam dicipta dengan perangkatnya yang lengkap yang membuatnya bisa berjalan secara otomatis. Argumentasi ateistik ini biasanya dikunci dengan pernyataan, kebenaran adanya Tuhan tidak bisa diukur dan tidak pula dapat diverifikasi. Tokoh-tokoh yang dikemukakan oleh para ilmuan sekuler di atas sejauh ini dipandang sebagai orang-orang yang sangat populer dalam bidang sains modern. Selain itu, pemaparan pandangan-pandangan para tokoh dari ilmuan Barat tersebut, adalah untuk menunjukkan besarnya pengaruh pandangan keagamaan atau lebih tepat anti keagamaan atau anti ketuhanan mereka terhadap komunitas ilmiah, termasuk di negeri Indonesia. Jika pada masa-masa lalu, pandangan mereka mungkin sangat sulit untuk diakses, namun pada era globalisasi ini, ide-ide mereka akan membanjiri pikiran kita dengan mudah dan cepat, sementara kita belum siap dengan jawaban yang harus kita berikan pada mereka. Tentu ini sangat memprihatinkan dan harus segera kita pecahkan dan mencari solusi serta jawaban yang tepat, sehingga kita terhindar dari krisis kepercayaan dan keimanan yang lebih besar lagi dimasa mendatang. Keadaan ini diperparah lagi oleh kenyataan bahwa hingga saat ini, kita tidak melihat seorangpun dari ahli sosiologi, biologi, astronomi, psikologi bahkan para sufi di Indonesia yang mengambil inisiatif untuk memberikan bantahan atau kritik terhadap para ateis dari ilmuan-ilmuan besar Barat tersebut. Padahal, serangan-serangan mereka itu amat radikal dan membahayakan keyakinan kita kepada Tuhan. Serangan mereka terhadap keyakinan kita pada Tuhan tersebut pada akhirnya bermuara pada serangan terhadap sistem epistemologi Islam23, terutama dalam kaitannya dengan sumber ilmu pengetahuan. Dengan 23Dalam epistemologi atau filsafat ilmu yang berdasarkan ajaran Islam terdapat prinsip tauhid yang artinya bukan terbatas pada mengesakan Tuhan dalam hati sanubari, melainkan suatu pandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan berupa alam raya yang bersifat empirik material, perilaku sosial dan wahyu pada hakikatnya merupakan satu kesatuan yang berasal dari Allah. Dengan mempelajari alam raya yang bersifat empirik, material dan fisik dapat dihasilkan ilmu-ilmu kealaman. Dengan mempelajari wahyu Allah dapat dihasilkan ilmu-ilmu agama Islam seperti tafsir, fikih, ilmu kalam, tasawuf, akhlak, pendidikan Islam dan sebagainya. Kesemua ilmu tersebut berasal dari Allah, namun metodologinya saja yang berbeda.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Bambang Irawan: Urgensi Integrasi Agama dan Sains
794
ditolaknya dunia metafisik, maka satu-satunya sumber dari ilmu pengetahuan bagi kaum positivis adalah pengalaman, atau dengan kata lain indra. Mereka tidak percaya pada sumber lain yang menempati posisi penting dalam epistemologi Islam, yaitu akal, intuisi, dan wahyu. Padahal dalam tradisi epistemologi Islam, ketiga sumber ilmu pegetahuan tersebut juga diakui sebagai sumber-sumber ilmu yang sah sebagaimana halnya indra.24 Bahkan Mulla Sadra, (w.1050/1640), seorang filsuf besar Muslim abad ketujuh belas, menyebut masing-masing dari ketiga sumber ilmu pengetahuan itu sebagai burhan (untuk akal), ’irfan (untuk intuisi), dan Qur’an (untuk wahyu).25 Kaum positivis, kenyataannya hanya mengakui indra (melalui observasi) sebagai satu-satunya sumber ilmu yang sah dan dapat dipercaya. Sumber-sumber ilmu pengetahuan yang lain, seperti wahyu dan intuisi, tidak dapat dipercaya karena tidak berpijak pada realitas, tapi pada keinginan manusia. Alasan mereka mengatakan begitu adalah karena wahyu dan pengalaman mistik selalu mengandaikan adanya hubungan yang erat dengan dunia metafisik, sehingga validitasnya tergantung pada status eksistensi (ontologis) dunia metafisik itu sendiri. Sekali eksistensi metafisika ditolak, maka validitas sumber-sumber ilmu yang bergantung padanya akan tertolak dan tidak punya pijakan logisnya. Karena wahyu dan pengalaman mistis memang begitu sifatnya, maka validitas mereka hanya bisa dipertahankan apabila kita mengafirmasi status ontologis realitas-realitas metafisik tersebut. Padahal kita tahu kalau wahyu (alQur’an) ditolak sebagai sumber ilmu yang sah, maka seluruh sistem kepercayaan, teologis, dan mistiko-filosofis Islam akan runtuh. Tantangan lain yang terkait dengan serangan kaum positivis terhadap metafisika, juga berdampak pada bangunan etika Islam, baik yang religius maupun filosofis, termasuk yang disandarkan—sampai taraf tertentu—pada perintah-perintah Tuhan. Namun, ketika eksistensi Tuhan sendiri sebagai salah satu entitas metafisik ditolak, maka etika Islam akan kehilangan dasar pijakannya. Kehidupan dunia modern selanjutnya sebagaimana yang kita saksikan dan rasakan sekarang ini disamping krisis ketuhanan, juga dihadapkan pada serangkaian krisis yang bertubi-tubi. Kita menghadapi krisis energi, krisis penanganan kesehatan, pencemaran dan perusakan lingkungan, diskontinuitas pembangunan, sekularisasi pengetahuan, ancaman disintegrasi bangsa, centang prenangnya dunia pendidikan, dunia 24Mulyadhi
Kartanegara, Mozaik Khasanah Islam: Bunga Rampai Dari Chicago, cet. I, (Jakarta: Paramadina, 2000), pp. 117-123. 25Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar..., p. 24. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Bambang Irawan: Urgensi Integrasi Agama dan Sains
795
riset, dunia hukum, serta berbagai masalah besar di bidang ekonomi dan sosial seperti kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial, problem intelektual dan religius dan deretan krisis-krisis lainnya yang menimpa kita. Permasalahan-permasalahan besar tersebut sesungguhnya bersumber pada lemahnya fondasi ilmu pengetahuan. Namun ironisnya, para intelektual seakan tidak begitu mengenali persoalan yang mendasari krisis pemikiran ini. Sebagian besar akademisi menganut pemikiran-pemikiran sempit terhadap realitas, yang tidak memadai lagi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan besar di zaman kita ini. Modernitas yang menjanjikan kesejahteraan manusia lewat gagasan-gagasan seperti kemajuan (idea of progress), kebebasan, egalitarian (prinsip persamaan), dan humanisme, ternyata diiringi dengan berbagai krisis multi-dimensi yang menimpa umat manusia. Berangkat dari keprihatinan terhadap pandangan ilmuan sekuler yang anti pada agama dan Tuhan di atas penulis terdorong untuk melakukan penelitian tentang urgensi integrasi agama dan sains. B. Tipologi Ilmuwan dan Agamawan Ilmuan dengan bantuan peralatan teknologi tinggi dan informasi yang canggih serta matematika fisika dan lain-lainnya dapat menemukan dan menciptakan sesuatu yang dapat dibanggakan dengan cepat. Hal ini berarti bahwa kecepatan kemajuan dibidang sains karena ditopang oleh peralatan. Begitu juga bila agamawan ingin mengembangkan bidang agama dengan cepat diperlukan pula bantuan peralatan juga. Peralatan yang dibutuhkan dalam mengembangkan bidang agama adalah seperti misalnya: bahasa Arab dan gramatikalnya, ilmu balaghah, fiqih dan ilmu ushul fiqh, al-Hadis, sejarah, filsafat, dan lain sebagainya. Mengapa kecepatan kemajuan perkembangan di bidang sains harus diimbangi dengan kecepatan kemajuan perkembangan dibidang agama? Karena bila tidak, maka akan terjadi dikotomi antara sains dan agama dan adanya saling mengklaim bahwa hanya dipihaknyalah yang benar dan pihak yang lainnnya salah. Seperti misalnya temuan karya cipta ilmuan dianggap oleh agamawan akan menyesatkan dan membahayakan umat manusia, sementara ilmuan beranggapan bahwa agama adalah penghambat perkembangan sains. Seperti misalnya kasus bayi tabung, cangkok organ tubuh, penggunaan sinar ultra violet, dan lain-lainnya.26 26Afzalurrahman,
Al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan, terj. Arifin, (Jakarta: Bina
Aksara, 1980), p. 78. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Bambang Irawan: Urgensi Integrasi Agama dan Sains
796
Pada era globalisasi ini kemajuan di bidang sains tidak dapat dibendung untuk tidak hadir dihadapan kita, pada sisi lain pemberlakuan ajaran-ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari juga sangat diperlukan. Untuk itu perlu adanya perjelasan mengenai hubungan antara agama dengan sains dalam mencari kebenaran guna menghindarkan dari dikotomi, dan mengklaim bahwa dirinya sendirinya yang paling benar, karena kedua bidang tersebut sumber asalnya adalah sama. Dengan demikian, perlu disosialisasikan bahwa kebenaran dapat dicari melalui beberapa cara, di antaranya menurut praktiknya dapat melalui interpretasi terhadap fenomena Qauniyah dan fenomena Naqliyah disatu sisi dan pada sisi yang lain dengan fenomena Qauliyah.27 Interpretasi manusia terhadap fenomena qauniyah akan menghasilkan fisika, kimia, astronomi, geologi, botani dan sebagainya, sedangkan di bidang manusia akan menghasilkan biologi, ilmu kedokteran. Interpretasi manusia terhadap fenomena qauliyah akan menghasilkan ilmu tafsir, ilmu fiqih, ushul fiqih dan lain-lainnya. Kualitas pemahaman keagamaan yang dihasilkan dari interpretasi manusia terhadap fenomena qauniyah sangat tergantung pada tingkat perkembangan pengetahuan. Termasuk di dalamnya adalah ilmu pendukungnya. Menurut Ahmad Baiquni (1997), ilmu pendukung yang harus dikuasai oleh seseorang untuk memahami fenomena qauniyah antara lain misalnya matematika, mekanika, gravitasi dan evolusi bumi. Matematika merupakan sarana menghitung, sedangkan mekanika adalah dasar pemehaman gejala-gejala alamiah baik kelistrikan, stuktur atom, maupun proses alami lainnya.28 Demikian pula dengan kualitas pemahaman keagamaan yang dihasilkan dari interpretasi manusia terhadap fenomena qauliyah juga sangat tergantung pada tingkat perkembangan pengetahuan seseorang.29 Termasuk ilmu pendukungnya seperti misalnya tata bahasa, hikmah tasyri’, filsafat, pemikiran para ahli terdahulu dan lain sebagainya. Sebab dengan bantuan ilmu-ilmu pendukung tersebut seseorang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan agama dan menghasilkan pemahaman keagamaan secara utuh, sehingga pengembangan pengetahuan dibidang agama tidak ketinggalan dengan perkembangan pengetahuan dibidang sains demikian
27Ibid.,
p. 89. Baequni, Al-Qur’an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (Yogyakarta: Dana Baktii Prima Yusa, 1997), p. 98. 29Ahmad Sahirul Alim, "Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Keterpaduannya dengan Islam", Makalah Seminar Nasional al-Islam dan Iptek UMJ dan UMP, 1997. 28Ahmad
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Bambang Irawan: Urgensi Integrasi Agama dan Sains
797
pula sebaliknya.30 Ilmu-ilmu pendukung tersebut memiliki peran yang cukup penting dalam membantu merespon tantangan zaman, baik yang terkait dengan persoalan keagamaan, perkembangan ilmu pengetahuan, tehnologi dan seni, sosial budaya, maupun persoalan kultur pada umumnya. Sudah ratusan abad umat Islam diterpa kemunduran, dan telah lama mereka terlena menghabiskan waktu tanpa perkembangan dinamis yang produktif sehingga mereka selalu menjadi santapan kaum dan bangsabangsa lain yang mengitari mereka dengan ketergantungan dalam berbagai bidang secara berkesinambungan. Di samping itu, sudah lama umat Islam terbelenggu kesalaahan besar dengan pola kehidupan yang memisahkan ilmu agama dan umum sehingga nilai-nilai agama Islam belum mengkristal ditengah-tengah umat secara menyeluruh. Umat Islam perlu disadarkan dan dibangunkan dari tidurnya dan kembali dicerahkan secara garis besar setelah dulu Muhammad Abduh memulainya dengan menganjurkkan kerja keras dan perjuangan. Kita umat Islam meyakini bahwa agama Islam itu adalah agama yang sempurna. Al-Qur’an adalah kitabullah yang berisi petunjuk dan pedoman yang lengkap untuk memimpin seluruh segi kehidupan manusia kearah kebahagiaan yang hakiki dan abadi. Kita yakin bahwa al-Qur’an juga mengandung ayat-ayat yang dapat dijadikan pedoman. Meskipun hanya secara garis besar, diantarana adalah tentang sains (ilmu pengetahuan) dan teknologi dalam rangka mempertebal keimanan dan meningkatkan kesejahteraan manusia. Dalam al-Qur’an dapat kita temukan tentang kejadian alam semesta, penciptaan mahkluk hidup dan berbagai proses alamiah lainnya, meskipun al-Qur’an itu bukan buku pelajaran astronomi, biologi, fisika atau sains pada umumnya.31 Di dalam masyarakat orang lebih banyak membicarakan sains dari buku-buku umum, padahal al-Qur’an juga mengandung cukup banyak ayat yang berkaitan dengan teknologi. Sebagai contoh dapat kita ambil surat al-Anbiya’ ayat 80 dan 81 sebagai berikut: Dan setelah Kami ajarkan kepada Dawud pembuatan baju perisai (dari besi) untuk kamu, untuk memeliharamu dalam peperanganmu, maka apakah kamu tidak bersyukur ? Dan telah Kami tundukkan bagi Sulaiman, angin yang kencang tiupannya yang menembus ke negeri yang Allah berkati; dan Kami Maha Mengetahui tentang segala sesuatu. 30Ahmad Baequni, Al-Qur’an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yusa, 1997), p. 90. 31Ismail R. Al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung, Pustaka, 1984), p. 59.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Bambang Irawan: Urgensi Integrasi Agama dan Sains
798
Ayat di atas menyatakan bahwa Nabi Dawud a.s. diberitahu oleh Allah s.w.t. tentang pembuatan baju pelindung dari besi yang dapat dipakainya dalam peperangan. Jadi ia diberi ilmu tentang cara pembuatannna; beliau memperoleh know-how dan beliau menguasai teknologinya. Dan begitu pula Nabi Sulaiman a.s. menurut ayat di atas. Ia diberitahu oleh Allah s.w.t. tentang pemanfaatan tenaga angin sehingga ia dapat terbang dengan cepat ke negeri-negeri sekitarnya sesuai dengan kehendaknya karena ia dapat memerintahkan angin itu. Karena itu, ia mendapatkan pengetahuan tentang pengendalian tenaga angin. Ayat-ayat al-Qur’an seperti di atas—yang cukup banyak jumlahnya—menunjukkan betapa pentingnya sains bagi manusia yang bertugas sebagai khalifah di bumi dalam rangka bersyukur kepada Allah. C. Integrasi Ilmu Islam dan Umum Kita ketahui bahwa sejak mula al-Qur’an diturunkan sudah mulai merangsang akal agar berpikir integratif antara semangat untuk menuntut ilmu dan iman kepada Allah. Perintah Allah ”bacalah” (surat al-Alaq ayat 1) berarti kita dianjurkan untuk berpikir secara teratur (sistematik) dan terarah dalam mempelajari firman-Nya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa ilmu itu tidak bisa dipisahkan dengan iman karena ilmu dan iman merupakan identitas umat Islam yang harus dijunjung tinggi. Dasar sains (ilmu-ilmu) Islam adalah al-Qur’an dan sunnah, sementara dasar ilmu umum seperti fisika, kimia, biologi, matematika, filsafat kosmologi dan sebagainya adalah alam. Al-Qur’an memandang alam semesta sebagai ayat-ayat Tuhan (ayat kauniyah), tanda-tanda kekuasaan-Nya. Itulah sebabnya para pemikir Islam klasik mengkaji dan meneliti ilmu pengetahuan alam (yakni ilmu-ilmu umum yang didasarkan pada alam di atas) bukan hanya sebatas ilmu pengetahuan saja tetapi lebih merupakan upaya menemukan jejak-jejak ilahi.32 Sangat disayangkan bahwa pemikir dan ilmuan modern-terutama Barat- sampai saat ini tidak mengkaji alam sebagai ayat-ayat kauniyah Tuhan. Inilah salah satu kesalahan besar yang dimiliki Barat dan pemikir modern sehingga ilmu-ilmu umum yang berkembang saat ini telah terjerumus dalam koridor ilmu semata, yang mengarah pada materialisme, kekosongan akan nilai-nilai moral agama, ke-Tuhanan dan ketidaksadaran akan kekuasaan dan kebesaran Tuhan.33
32Ibid.,
p. 80.
33Muhammad
Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, terj. Saiful Muzani, (Bandung, Mizan, 1995), p. 78. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Bambang Irawan: Urgensi Integrasi Agama dan Sains
799
Seluruh ilmu itu berasal dari Tuhan yang dipelajari melalui ayat-ayatNya yang tertulis (al-Qur’an) yang melahirkan berbagai macam ilmu pengetahuan dan semestinya disertai kesadaran yang tinggi terhadap keberadaan Tuhan yang mana dari ayat-ayat Tuhan yang bersifat kauniyah (yang terbentang di alam semesta) yang juga telah melahirkan berbagai disiplin ilmu yang kita kenal dengan ilmu umum seperti, ilmu alam, ilmu falak, matematika, kimia, fisika, biologi, minerologi, geologi, botani dan sebagainya.34 Keringnya nilai-nilai ke-Tuhanan dalam ilmu-ilmu umum ini terkadang dibenturkan lagi dalam al-Qur’an, padahal ayat kedua ayat-ayat Tuhan itu (baik tertulis, al-Qur’an dan yang tidak tertulis, alam semesta) tidak mungkin pernah berseberangan dan bertentangan sampai dunia berakhir karena keduanya berasal dari zat yang sama yaitu Tuhan. Itulah sebabnya hasil dari penelitian kauniyah (alam) yang yang telah melahirkan banyak ilmu-ilmu umum itu seharusnya mampu memperkuat kebenaran ayat-ayat Tuhan yang tertulis (al-Qur’an) sehingga mampu menyadarkan manusia akan ketinggian dan kedalaman pengetahuan Tuhan yang tak terbatas dan tak terhingga. Tidak dapat disangkal bahwa semua ilmu berasal dari Tuhan, maka tentu saja kita tidak boleh mempertentangkan antara al-Qur’an dan sains teknologi, karena keduanya sama-sama ayatayat Tuhan yang saling melengkapi. Sayyed Husen Nasyr adalah salah seorang ilmuan muslim modern yang mengkaji ulang sains.35 Buku tersebut banyak membahas tentang ilmu-ilmu alam yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh Islam dalam lintas sejarah dan persentuhannya dengan teori-teori barat. Di samping itu, beliau juga mampu menunjukkan peninggalan kitab-kitab penting ilmuan muslim yang membahas sains sehingga berguna bagi perkembangan masyarakat modern saat ini. Misalnya dalam buku itu beliau menyebutkan karya-karya ulama terdahulu yang banyak membahas ilmu tentang mineral adalah al-Kindi dengan karyanya Risalah Fi Anwa’ al-Jawahir at-Thaminah wa Ghayriya yang banyak membahas tentang mineral. Kemudian dilanjutkan oleh al-Jahid dan Ikhwan ash-Shofa yang menambahkan bahasannya tentang batu-batuan, begitu pula dengan at-Tamimi dalam kitab al-Mursyid yang juga banyak berbicara tentang mineral, batu-batuan dan metal. Demikian juga dengan Ibn Sina dan al-Biruni. Buku as-Syifa’ dan Qanun adalah buku yang paling terkenal yang beliau miliki di mana di 34Ibid.,
p. 79. Hossein NAsr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines: Conception of Nature and Methode Used for its Study by The Ikhwan al-Shafa, al-Bairuni and Ibn Sina, (New Delhi: Sambala Boulder, 1970), p. 29. 35Sayyed
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Bambang Irawan: Urgensi Integrasi Agama dan Sains
800
dalamnya juga banyak membahas mineral, metal dan klasifikasinya. Buku tersebut banyak dijadikan rujukan ilmuan Islam dan Barat.36 Saat ini kita juga mengenal Harun Yahya yang mencoba membuktikan keselarasan antara ayat-ayat Tuhan yang tertulis dengan ayat-ayat Tuhan yang tidak tertulis dengan berbagai judul buku dan CDnya. Kesemua upaya yang dilakukan para ulama dan ilmuan Muslim di atas menunjukkan keserasian yang terbentang dalam al-Qur’an dan alam. Dengan demikian tidak ada alasan sedikitpun untuk mempertentang ilmuilmu alam, sains dan teknologi dengan al-Qur’an. Dengan begitu kita bisa mengembalikan hak-hak Tuhan yang terlupakan yang seharusnya selalu kita ingat dan kita patuhi. Kita diciptakan Allah di muka bumi ini sebagai khalifah yang dikaruniai kemampuan besar yang sangat istimewa, yaitu akal pikiran yang membedakan manusia dari binatang. Akal pikiran ini seyogyanya beriman kepada khaliknya, yaitu Allah yang menciptakan manusia dan seluruh alam semesta. Dalam menghadapi alam semesta ini, kita dianjurkan untuk mempelajari alam secara ilmiyah dan memanfaatkannya sebagai sarana ibadah dan sebagai pemenuhan bagi keperluan dan kesejahtraan hidupnya. Untuk itu kita diwajibkan menggunakan akal pikiran dan iman kita secara terpadu. D. Penutup Tidak kita ragukan lagi tentang pentingnya melakukan tadabbur terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang merupakan bukti perkataan dari Allah, dan juga tentang pentingnya melakukan penelitian-penelitian dan penemuan ilmiah. Dari uraian di atas kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa eksplorasi terhadap bukti-bukti ciptaan Allah memberikan keuntungan-keuntungan sebagai berikut: 1. upaya integrasi agama dan sains harus berbasiskan tauhid. 2. integrasi ilmu agama dan ilmu umum dapat berupa objek ilmu, klasifikasi, sumber ilmu, metode ilmiah, penjelasan ilmiah, teoritis dan praktis. 3. penemuan dalam bentuk hukum-hukum alam, yaitu hubunganhubungan matematis yang berhubungan gejala-gejala alam melalui penalaran. 4. penerimaan yang lebih mudah terhadap seruan ajaran Islam.
36Ibn
Sina, The Life of Ibn Sina: A Critical Edition and Annotated Translation, penyunting dan penerjemah W. Gohlman, (Albany: State University of New York Press, 1974), p. 48. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Bambang Irawan: Urgensi Integrasi Agama dan Sains
801
5. kemauan yang lebih besar untuk mempergunakan ilmu tentang hukumhukum alam bagi pemanfaatan dan penguasaan alam untuk kesejahtraan umat manusia.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
802
Bambang Irawan: Urgensi Integrasi Agama dan Sains
Daftar Pustaka Al-Attas, Muhammad Naquib, Islam dan Filsafat Sains, terj. Saiful Muzani, Bandung: Mizan, 1995. Al-Faruqi, Ismail R., Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1984. Armstrong, Karen, A history of God Baequni, Ahmad, Al-Qur’an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Yogyakarta, Dana Bakti Prima Yusa, 1997. Camus, Albert, Mite Sisifus: Pergulatan dengan Absurditas, (terj. Apsanti), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999. Capra, Fritjof, Kearifan Tak Biasa, Percakapan dengan Orang-orang Yang Luar Biasa, Yogyakarta: Bentang, 2002. Flew, Antony, A Dictionary of Philosophy, revised edition, New York: St. Martin’s Press, 1979. Freud, Sigmund, The future of an Illusion , New York: Norton, 1961. Hines, Brain, God’s Whisper, Creation’s Thunder, Bratleboro, Vermont: Treshold Books, 1996. Kartanegara, Mulyadhi, Menembus Batas Waktu : Panorama Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2002. _______, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon Terhadap Modernitas, Jakarta: Erlangga, 2007. _______, Mozaik Khasanah Islam: Bunga Rampai Dari Chicago, cet. I, Jakarta: Paramadina, 2000. Kuhn, Thomas, The Structure of Scientific Revolutions: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2000. Nasr, Sayyed Hossein, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines: Conception of Nature and Methode Used for its Study by The Ikhwan alShafa, al-Bairuni and Ibn Sina, New Delhi: Sambala Boulder, 1970. _______, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, London: Mandala Book, 1976. _______, Islam dan Nestafa Manusia Modern, Bandung: Pustaka, t.t.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
terj. Anas Mahyudin,
Bambang Irawan: Urgensi Integrasi Agama dan Sains
803
Rahman, Afzalur, Al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan, terj. Arifin, Jakarta, Bina Aksara, 1980. Russel, Bertrand, Religion and Science, London: Oxford University Press, 1982. Sina, Ibn, The Life of Ibn Sina: A Critical Edition and Annotated Translation, penyunting dan penerjemah W.Gohlman, Albany: State University of New York Press, 1974. Thoha, Mahmud, Paradigma Baru Ilmu Pengetahuan Sosial & Humaniora, Jakarta: Teraju, 2004. Zohar, Danah dan Ian Marshall, SQ: Memanfaatkan Kecerdasa Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik Untuk memaknai kehidupan, Bandung ; Mizan, 2001.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009