UPAYA PERCEPATAN ADOPSI VARIETAS UNGGUL KEDELAI MELALUI DEMPLOT PTT: KASUS DI KECAMATAN WARUNG GUNUNG KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN Sri Kurniawati dan Iin Setyowati Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten, Jl. Raya Ciptayasa Km. 01 Ciruas, Serang, Banten 42182
[email protected] ABSTRAK Kedelai merupakan komoditas yang strategis dan banyak dikonsumsi di Indonesia. Namun pemenuhan kebutuhan kedelai masih bergantung pada impor. Oleh karenanya, upaya peningkatan produksi dan produktivitas perlu terus diupayakan melalui penerapan inovasi teknologi seperti penggunaan varietas unggul. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendiseminasikan varietas unggul sebagai upaya percepatan adopsi varietas unggul kedelai di Kabupaten Lebak yang disukai oleh masyarakat. Penelitian dilaksanakan di Desa Padasuka, Kecamatan Warung Gunung, Kabupaten Lebak pada bulan Mei – Agustus 2012. Tahapan penelitian meliputi Focus Group Discussion (FGD), pelaksanaan demplot PTT dan pengujian preferensi masyarakat terhadap varietas unggul kedelai. Pengujian preferensi masyarakat terhadap varietas Argomulyo, Burangrang, Grobogan dan Tanggamus dilaksanakan pada lokasi demplot PTT yang melibatkan 24 responden. Metode pengumpulan data menggunakan kuisioner. Selanjutnya, data kuantitatif dengan skala ordinal dianalisis menggunakan statistik non parametrik menggunakan piranti lunak SPSS 20 dengan alat uji Test Friedman. Hasil penelitian menunjukkan varietas unggul kedelai yang terpilih sesuai preferensi petani adalah varietas Burangrang dari performa tinggi tanaman, jumlah polong per tanaman dan warna biji dan varietas Grobogan dari umur tanaman, bentuk dan ukuran biji. Kata kunci: preferensi, Argomulyo, Burangrang, Grobogan, Tanggamus PENDAHULUAN Kedelai merupakan komoditas yang strategis karena produk olahan terutama tempe dan tahu merupakan bahan makanan yang banyak dikonsumsi di Indonesia. Konsumsi kedelai berdasarkan proyeksi pertumbuhan jumlah penduduk rata-rata 1,13% per tahun dan pertumbuhan konsumsi per kapita rata-rata 0,24% per tahun maka proyeksi kebutuhan kedelai tahun 2014 sebesar 2.499 juta ton (BPS dalam Kusbini 2011). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, selama ini masih mengandalkan impor terutama dari Negara Amerika Serikat, Brazil dan Kanada sebesar 90%. Hal ini dilakukan karena kebutuhan produksi kedelai dalam negeri masih kecil dengan produktivitas berkisar 1,2-1,5 ton/ha (Kusbini 2011). Sedangkan di Banten, Produktivitas kedelai tahun 2012 baru mencapai 1,247 ton/ha (BPS 2013).
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
1
Upaya peningkatan produksi kedelai diantaranya adalah dengan perluasan areal tanam termasuk di lahan-lahan milik Perhutani dan peningkatan produktivitas. Produktivitas dapat ditingkatkan melalui inovasi teknologi yang telah dikembangkan oleh Balai Penelitian baik Pemerintah maupun Swasta. Salah satu konsep rakitan teknologi yang melibatkan partisipatif petani dan dan bersifat spesifik lokasi adalah Pengelolaan Tanaman terpadu (PTT) kedelai. Di dalam PTT, penggunaan benih unggul dan bermutu merupakan salah satu komponen utama disamping pemupukan berimbang, pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dan pengairan. Pemilihan varietas unggul didasarkan pada kemampuan atau daya adaptasi varietas unggul tersebut di daerah produksi dan preferensi petani atau konsumen terhadap biji kedelai yang dihasilkan. Sebagian besar konsumen menghendaki karakteristik biji kedelai berukuran sedang atau besar, warna kuning mengkilat dan bersih. Varietas yang banyak disukai adalah Argomulyo, Burangrang, Anjasmoro dan Kaba untuk bahan baku industri tahu, tempe, tauco, susu dan aneka olahan camilan (snack), sedangkan untuk bahan baku industri kecap adalah Merapi, Cikurai dan Malika (Badan Litbang Pertanian 2007). Di Banten, khususnya di Kabupaten Lebak varietas unggul yang telah diadopsi petani masih terbatas pada varietas Grobogan. Hal ini pun karena ditunjang dengan adanya program Bantuan Benih Langsung (BLBU) dan adanya Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) kedelai. Sebagian besar petani lainnya masih menggunakan varietas lokal atau benih yang berasal turun-temurun dari pertanaman sebelumnya dan tidak jelas asal usulnya. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendiseminasikan varietas unggul sebagai upaya percepatan adopsi varietas unggul kedelai di Kabupaten Lebak yang disukai oleh masyarakat.
METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Pada Suka Kecamatan Warung Gunung Kabupaten Lebak pada bulan Mei – Agustus 2012. Tahapan kegiatan meliputi pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD), pelaksanaan demplot PTT dan pengujian preferensi masyarakat terhadap varietas unggul kedelai.
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
2
Focus Group Discussion (FGD) FGD dilaksanakan di saung kelompok tani Jalupang Indah Desa Pada Suka melibatkan petani kedelai kecamatan Warung Gunung, Penyuluh Pertanian dan Dinas Pertanian Kabupaten Lebak sebanyak 25 orang. Tujuan dari FGD ini untuk menggali permasalahan usaha tani kedelai dan upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut terutama dari aspek teknologi budidaya. Demplot PTT Kedelai Demplot PTT kedelai dilaksanakan di kelompok tani Jalupang Indah Desa pada Suka pada lahan sawah tadah hujan seluas 5000 m2. Varietas yang digunakan adalah Argomulyo, Burangrang, Grobogan dan Tanggamus. Pengolahan tanah dilakukan secara sederhana setelah pertanaman padi. Selanjutnya, benih ditanam dengan cara ditugal sedalam 2-3 cm, setiap lubang tanam diisi 2-3 benih. Jarak tanam yang digunakan adalah 40 x 10 cm. Pemupukan sesuai dengan hasil analisis tanah menggunakan perangkat uji tanah sawah (PUTS) yaitu urea 50 kg/ha, Phonska 100 kg/ha, KCl 40 kg/ha dan pupuk organik Petroganik 500 kg/ha. Pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dilakukan berdasarkan prinsip pengendalian hama secara terpadu (PHT). Uji Preferensi terhadap Varietas Unggul Kedelai Uji preferensi terhadap performa tanaman dan biji varietas unggul kedelai dilaksanakan saat tanaman sudah memasuki fase pemasakan polong. Pelaksana uji preferensi ini terdiri dari petani kedelai, petani sekaligus pedagang, wiraswasta dan penyuluh pertanian sebanyak 24 orang. Pengambilan sampel dilakukan secara sengaja (Purposive Sampling). Metode pengumpulan data dilakukan menggunakan alat kuisioner yang dibuat dengan sederhana agar responden mudah memahami dan mudah dalam menjawab pertanyaan. Kuisioner dibuat dengan skala ordinal, responden memilih jawaban sangat tidak suka, tidak suka, agak suka, suka dan sangat suka pada kolom yang sudah disediakan. Variabel yang diamati adalah umur tanaman, tinggi tanaman, jumlah polong per tanaman, ukuran, bentuk dan warna biji. Hasil penghimpunan data dan pengamatan lapang, selanjutnya diolah dan dianalisis secara deskriptif untuk data kualitatif. Adapun data kuantitatif dengan skala
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
3
ordinal selanjutnya dianalisis menggunakan statistik non parametrik menggunakan piranti lunak SPSS 20 dengan alat uji Test Friedman.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan FGD Rangkaian kegiatan dimulai dengan FGD untuk menggali permasalahan teknologi yang dihadapi oleh petani kedelai di Kec. Warung Gunung dan upaya pemecahan permasalahan yang dapat dilakukan. Dari hasil FGD selanjutnya dapat disusun rakitan teknologi spesifik lokasi yang dapat diimplementasikan pada kegiatan demplot PTT kedelai. Hasil diskusi disimpulkan mengenai permasalahan utama di Kec. Warung Gunung salah satunya adalah terbatasnya informasi mengenai varietas unggul dan akses untuk mendapatkan benih unggul tersebut. Permasalahan lainnya dapat dilihat pada Tabel 1. Pelaksanaan Demplot Pelaksanaan demplot
PTT kedelai bertujuan untuk mendiseminasikan
komponen teknologi PTT kedelai dan sebagai wahana pembelajaran petani. Komponen teknologi yang diimplementasikan berdasarkan hasil FGD diantaranya adalah display varietas unggul kedelai. Varietas yang dipilih adalah varietas yang menghasilkan biji berukuran sedang dan besar yaitu: Argomulyo, Burangrang, Grobogan dan Tanggamus. Komponen teknologi lainnya yang diterapkan adalah pemupukan berdasarkan hasil pengujian PUTS, pengendalian OPT berdasarkan prinsip pengendalian hama terpadu (PHT), penanganan panen dan pasca panen. Performa tanaman kedelai dapat dilihat pada di Tabel 2.
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
4
Tabel 1. Hasil FGD Usaha tani Kedela di Kecamatan Warung Gunung Permasalahan Produktivitas masih rendah dibandingkan dengan potensi dari varietas unggul kedelai yaitu 0,8 – 1 t/ha
Akar Permasalahan - kurangnya informasi dan sulitnya mendapatkan benih unggul kedelai. - Kurangnya pengetahuan dan keterampilan petani terhadap teknologi budidaya kedelai seperti pemupukan, pengendalian OPT, pengairan, panen dan pasca panen. Persaingan - Harga biji kering dengan komoditas kedelai rendah lain seperti padi, berkisar Rp 3.500 – kacang tanah dan Rp 4.000 per kg sayuran
Resiko kekeringan
- Penanaman kedelai dilakukan di lahan sawah tadah hujan atau lahan kering pada musim kemarau dan terbatasnya sumber air atau sarana pengairan seperti sungai, embung, sumur air dangkal
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
Upaya pemecahan masalah - Pengenalan varietas unggul kedelai melalui display/ demplot PTT kedelai - Memberikan pelatihan/sekolah lapang bagi petani terhadap komponen teknologi PTT kedelai spesifik lokasi meliputi pemupukan berdasarkan hasil uji PUTS, pengendalian OPT berdasarkan PHT, pengairan berdasarkan fase kritis tanaman terhadap kebutuhan air, penentuan waktu dan cara panen serta pengelolaan pasca panen yang tepat untuk mengurangi losses/ kehilangan hasil - Aspek teknologi budidaya: menanam varietas unggul yang berproduksi tinggi (adaptif) dan disukai konsumen sehingga dapat meningkatkan keuntungan melalui peningkatan produksi dan nilai jual yang lebih tinggi. - Aspek teknologi pengolahan hasil/pasca panen: Pengolahan produk kedelai untuk meningkatkan nilai tambah seperti pengolahan susu kedelai, makanan kecil, tahu tempe dan lain-lain. - Aspek kebijakan: mendorong Pemerintah untuk memberikan subsidi panen atau penentuan HPP yang lebih tinggi dari harga pasaran saat ini. - Aspek teknologi: mengurangi dampak kekeringan dengan penanaman kedelai segera setelah panen padi untuk memanfaatkan lengas air tanah dan penggunaan mulsa jerami untuk mengurangi penguapan, memahami fase krisitis tanaman terhadap air sehingga penggunaan air dapat dihemat. - Aspek kebijakan: penentuan areal penanaman kedelai dekat dengan sumber air, upaya pembuatan embung atau sumur air dangkal di daerah yang jauh dari sumber air yang telah ada.
5
Tabel 2. Keragaan Performa Tanaman pada Demplot PTT Kedelai No 1 2 3 4
Varietas
Tinggi Tanaman (cm)
Jumlah Cabang
Jumlah Polong
Jumlah Biji Bernas
Argomulyo Burangrang Grobogan Tanggamus
33.44 31.02 29.60 37.30
3.0 2.6 1.0 3.4
42.2 37.6 25.2 48.6
37.6 26.8 24.4 39.2
Uji Preferensi Masyarakat terhadap Varietas Unggul Kedelai Uji preferensi masyarakat terhadap varietas unggul kedelai bertujuan untuk pengembangan kedelai di wilayah tersebut. Pemilihan varietas unggul tidak hanya dari sudut pandang petani sebagai penghasil biji kedelai tetapi dari sudut pandang konsumen seperti pedagang, pengguna bahan biji kedelai untuk pengolahan produk lainnya dari kedelai serta Pembina pertanian seperti Petugas Penyuluh Pertanian (PPL). Karakteristik responden uji preferensi terdiri dari berbagai kalangan di wilayah Kec. Warung Gunung yang didominasi oleh Petani berjenis kelamin laki-laki, umur 31-40 tahun dan berpendidikan Sekolah Dasar (SD) (Tabel 3). Tabel 3. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, Pendidikan, dan Pekerjaan Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Proporsi Proporsi Proporsi Usia (th) Proporsi (%) Pendidikan Pekerjaan (%) (%) (%) 91,67 20 - 30 12,50 SD 58,33 Petani 62,50 8,33
31 - 40
45,83
SMP
20,83
Pedagang
41 - 50
25,00
SMA
16,67 Wiraswasta
16,67
51 - 60
16,67
S1
4,17
16,67
PPL
4,17
Hasil pengujian menggunakan alat uji Test Friedman menunjukkan preferensi responden terhadap empat varietas unggul kedelai berbeda nyata pada semua varietas dan semua variabel berdasarkan nilai Asymp. Sig < 0,05 (Tabel 4). Preferensi responden terhadap tinggi tanaman, jumlah polong per tanaman dan warna biji yang tertinggi adalah pada varietas Burangrang. Selanjutnya, untuk karakteristik umur tanaman, bentuk dan ukuran biji lebih tinggi pada varietas Grobogan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai mean rank yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas lainnya. Adapun varietas yang memiliki nilai preferensi terendah adalah varietas Argomulyo.
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
6
Preferensi petani atau masyarakat terhadap varietas unggul kedelai beragam tiap daerah. Di lampung, varietas yang disukai adalah Tanggamus karena memiliki karakteristik agronomis bercabang banyak, berpolong banyak, berdaun sempit, batang kokoh dan tahan rebah, selain itu memiliki umur dan karakteristik biji menyerupai Wilis yang sebelumnya telah banyak diadopsi oleh petani di daerah tersebut (Kasno et al. 2011). Di Sumatera Utara, varietas yang banyak disukai adalah Wilis, sementara itu di Sulawesi Selatan adalah Mahameru (Krisdiana 2011). Selanjutnya, Di Nangroe Aceh Darussalam, varietas kedelai yang dominan adalah Anjasmoro disamping varietas lainnya seperti Kipas Merah, Kipas Putih dan Wilis (Krisdiana 2014). Adapun di Jawa, pengembangan varietas unggul kedelai dengan ukuran biji besar, kulit biji berwarna kekuningan atau putih kekuningan dan tampilan biji mengkilat, lebih cepat diadopsi petani apabila benih terseda dan mudah didapat (Heriyanto 2013). Tabel 4. Hasil Uji Preferensi Petani terhadap Performa Tanaman Varietas Unggul Kedelai
Varietas
Umur Tanaman
Tinggi Tanaman
Argomulyo Burangrang Grobogan Tanggamus
2,06 2,81 2,90 2,23
1,92 3,25 2,33 2,50
Friedman test N Chi-Square Df Asymp. Sig.
24 16,925 3 ,001
24 25,125 3 ,000
Mean Rank Jumlah Polong Bentuk per Biji Tanaman 2,15 2,31 3,06 2,73 2,40 2,98 2,40 1,98
24 14,053 3 ,002
24 17,842 3 ,001
Ukuran Biji
Warna Biji
2,35 2,77 2,94 1,94
2,23 2,90 2,73 2,15
24 16,015 3 ,001
24 16,395 3 ,002
Keterangan : Asymp. Sig. < 0.05 menunjukkan penilaian responden terhadap beberapa varietas berbeda nyata Uji preferensi konsumen terhadap varietas unggul diharapkan dapat menjadi referensi petani dan upaya percepatan adopsi teknologi kedelai khususnya adopsi terhadap varietas unggul. Namun demikian, adopsi varietas unggul ini akan tercapai apabila ditunjang dengan ketersediaan benih bermutu dan kemudahan dalam memperoleh benih tersebut. Oleh karenanya, perhatian dan peran serius Pemerintah dalam penyediaan benih sangat perlukan. Pengembangan benih dapat dilakukan
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
7
dengan mensinergikan berbagai program dan melibatkan berbagai institusi seperti Balai Benih Umum, Balai Benih Induk, Balai Penelitian komoditas, Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) BPTP, BUMN, Swasta dan Asosiasi Penangkar Benih. Upaya penyediaan benih yang tidak kalah pentingnya adalah dengan menumbuhkan dan memperkuat penangkar lokal serta membentuk jalinan benih antar lokasi dan musim. Penguatan penangkar lokal ini memiliki beberapa keunggulan diantaranya tidak memerlukan rantai distribusi yang panjang dikarenakan berada pada wilayah tersebut, tidak memerlukan waktu yang lama untuk sampai ke petani mengingat umur benih kedelai lebih singkat dibandingkan dengan benih padi dan kemungkinan adanya penyebaran penyakit terbawa benih dapat dibatasi pada wilayah yang sempit.
KESIMPULAN DAN SARAN Kegiatan demplot PTT kedelai merupakan salah satu upaya percepatan adopsi varietas unggul kedelai di Banten, khususnya di Kabupaten Lebak. Melalui adopsi varietas unggul yang adaptif dan sesuai dengan preferensi masyarakat, diharapkan dapat meningkatkan produksi dan produktivitas kedelai di wilayah tersebut. Adapun varietas unggul kedelai yang terpilih sesuai preferensi petani adalah varietas Burangrang dari performa tinggi tanaman, jumlah polong per tanaman dan warna biji dan varietas Grobogan dari umur tanaman, bentuk dan ukuran biji. Adopsi varietas unggul ini perlu ditunjang dengan dengan ketersediaan benih yang bermutu dan mudah didapatkan melalui penumbuhan dan penguatan produsen benih yang dikelola oleh intitusi pemerintah, swasta maupun penangkar lokal.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Imam, Kepala UPT Kecamatan Warung Gunung, Ibu Yeti, PPL Desa Padasuka, Kecamatan Warung Gunung yang telah membantu dalam pelaksanaan kegiatan ini.
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
8
DAFTAR PUSTAKA [Badan Litbang Pertanian] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kedelai. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta (Indonesia). [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Banten dalam Angka. [Deptan] Departemen Pertanian. Panduan pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) kedelai. 2008. Departemen Pertanian. Jakarta (Indonesia). Heriyanto. 2013. Upaya percepatan penyebaran varietas unggul kedelai di Pulau Jawa. Dalam: Rahmiana AA, Yusnawan E, Taufiq A, Sholihin, Suharsono, Sundari T, Hermanto. Penyunting. Peningkatan Daya Saing dan Implementasi Pengembangan Komoditas Kacang dan Umbi Mendukung Pencapaian Empat Sukses Pembangunan Pertanian, Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Tahun 2012. Malang, 5 Juli 2012. Bogor (Indonesia): Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm: 272-282. Krisdiana R. 2014. Dominasi varietas unggul kedelai di Nangroe Aceh Darussalam: Kajian penyebaran varietas dan preferensi petani. Dalam: Saleh N, Harsono A, Nugrahaeni N, Rahmiana AA, Sholihin, Jusuf M, Heriyanto et al. Penyunting. Prosiding Seminar Nasional hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Tahun 2013. Malang, 22 Mei 2013. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor (Indonesia). hlm: 293-299. Kasno A, Subandrio, Marwoto, Suherman M. 2011. Percepatan Adopsi Varietas Kedelai. Dalam Inovasi Teknologi untuk Pengembangan Kedelai Menuju Swasembada, Prosiding Prosiding Seminar Nasional hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Tahun 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor (Indonesia). hlm: 389-401. Krisdiana R. 2011. Penyebaran varietas unggul kedelai : Kasus di Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Dalam: Adie MM, Sholihin, Rahmiana AA, Tastra IK, Rozi F, Hermanto, Sumartini A. Penyunting. Inovasi Teknologi untuk Pengembangan Kedelai Menuju Swasembada, Prosiding Prosiding Seminar Nasional hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Tahun 2010. Malang, 9 Juni 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor (Indonesia). hlm: 360-369. Kusbini BA. 2011. Permasalahan, tantangan dan peluang pencapaian swasembada kedelai. Dalam: Adie MM, Sholihin, Rahmiana AA, Tastra IK, Rozi F, Hermanto, Sumartini A. Penyunting. Inovasi Teknologi untuk Pengembangan Kedelai Menuju Swasembada, Prosiding Prosiding Seminar Nasional hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Tahun 2010. Malang, 9 Juni 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor (Indonesia). hlm: 11-16.
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
9
KARAKTERISTIK SASARAN PENDAMPINGAN KAWASAN USAHA TERNAK SAPI POTONG DI KABUPATEN TANGERANG
Rika Jayanti Malik Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten Jl. Ciptayasa Km. 01 Ciruas – Serang Email :
[email protected] ABSTRAK Kementerian Pertanian telah menetapkan peraturan tentang pengembangan kawasan peternakan. Provinsi Banten tepatnya Kabupaten Tangerang merupakan wilayah pengembangan kawasan ternak sapi potong. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten melaksanakan pendampingan program pengembangan kawasan usaha ternak sapi potong pada tahun 2015. Sasaran pendampingan yaitu kelompok Bina Karya di Desa Cileles, Kecamatan Tigaraksa. Tujuan kajian ini untuk mengetahui karakteristik sasaran pendampingan. Lokasi kajian sesuai dengan sasaran pendampingan. Waktu pelaksanaan Pebruari 2015. Metode kajian menggunakan survey dengan teknik wawancara. Alat pengambilan data primer berupa kuisioner yang memuat pertanyaan tentang karakteristik individu peternak yang berkaitan dengan usaha ternak sapi potong. Data sekunder berupa karakteristik wilayah diperoleh dari profil Desa Cileles. data dianalisis secara diskriptif. Hasil yang diperoleh yaitu 1) luas lahan Desa Cileles mayoritas digunakan oleh tanah sawah yang dimanfaatkan tanaman padi. Umur penduduk mayoritas usia produktif (18-56 tahun) dengan tingkat pendidikan tamat SD/sederajat. Jenis kelamin penduduk didominasi oleh perempuan dengan mata pencaharian sebagai karyawaan perusahaan swasta. Sumberdaya alam yang dimiliki Desa Cileles mayoritas di bidang pertanian dan peternakan, 2) kelompok Bina Karya terbentuk sejak tahun 2010 dan telah mendapatkan bantuan ternak 22 ekor kurun waktu 2011 hingga 2013. Kelompok memiliki struktur pengurus yang lengkap dan melaksanakan fungsi sebagai wadah/sarana pembelajaran budidaya sapi potong yang baik dan benar bagi anggota maupun peternak di luar kelompok, 3) karakteristik peternak mayoritas umur 38-54 tahun, dengan tingkat pendidikan tamat SD/sederajat, menguasi lahan hijauan pakan ternak yang terbatas dan rata-rata kepemilikan ternak 2-5 ekor. Kata Kunci: pendampingan, kawasan, sapi potong
PENDAHULUAN Kementerian Pertanian sejak tahun 2010 telah mencanangkan swasembada daging. Program swasembada daging sapi/kerbau digulirkan pemerintah selama kurun waktu 5 tahun (2010-2014). Era Joko Widodo – Jusuf Kalla melanjutkan target tersebut melalui program pengembangan kawasan peternakan nasional. Pedoman pelaksanaan dan lokasi pengembangan kawasan diatur dalam peraturan menteri
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
10
pertanian nomor: 50/Permentan/OT.140/8/2012
dan keputusan menteri pertanian
republik Indonesia Nomor: 43/Kpts/PD. 410/1/2015. Provinsi Banten termasuk dalam wilayah pengembangan ternak sapi potong (Kabupaten Tangerang) dan kerbau (Kabupaten Lebak, Pandeglang, Serang, Kota Serang). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten berupaya mendukung program tersebut melalui kegiatan pendampingan berupa introduksi inovasi teknologi dan penguatan kelembagaan. Ruang lingkup kegiatan pendampingan meliputi: 1) koordinasi dan sinkronisasi program dengan instansi terkait pembangunan peternakan pusat maupun daerah, 2) baseline survey sasaran pendampingan, 3) introduksi budidaya sapi potong melalui pelatihan dan temu lapang untuk meningkatkan produktivitas ternak, 4) pengolahan limbah melalui praktik pembuatan pupuk organik dan 5) penguatan kelembagaan melalui konsep dinamika kelompok. Penentuan sasaran pendampingan didasarkan pada rekomendasi Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tangerang. Kelompok Bina Karya merupakan kelompok
ternak
yang
diusulkan
agar
mendapat
program
pendampingan
pengembangan kawasan peternakan. Kelompok Bina Karya telah mendapatkan program swasembada daging sapi/kerbau sejak tahun 2013. Idealnya kelompok tersebut telah mampu menjadi contoh bagi peternak lain di luar kelompok. Sehingga melalui program pendampingan pengembangan kawasan peternakan harapannya kelompok Bina Karya ditetapkan sebagai kelompok model dan melakukan difusi kepada peternak lingkup desa. Baseline survey merupakan kegiatan awal yang dilaksanakan sebelum melakukan
pendampingan
secara
intensif.
Fungsinya
untuk
mengetahui
data/informasi tentang peternak, petani, dan kondisi wilayah. Karya tulis ilmiah ini dibuat untuk mengetahui karakteristik kelompok Bina Karya sebagai sasaran pendampingan pengembangan kawasan usaha ternak sapi potong di Kabupaten Tangerang.
METODOLOGI Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Cileles, Kecamatan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang. Waktu pelaksanaan kegiatan Bulan Pebruari 2015 dengan melibatkan anggota kelompok 18 orang. Metode pelaksanaan kegiatan mengggunakan survey dengan teknik wawancara dan alat pengambilan data menggunakan kuisioner terbuka.
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
11
Kuisioner memuat pertanyaan tentang karakteristik individu peternak (umur, pendidikan, jenis kelamin, kepemilikan ternak, pengusaan lahan hijauan pakan ternak) dan kelembagaan kelompok (sejarah, struktur pengurus, fungsi). Data yang dimuat dalam kuisioner merupakan data primer, sedangkan data sekunder sebagai pendukung diperoleh dari profil desa yang dikeluarkan oleh Pemerintah Desa Cileles. Data pendukung yang dibutuhkan yaitu luas wilayah berdasarkan penggunaanya, jumlah penduduk, mata pencaharian penduduk, kondisi perekonomian, pendidikan, dan sumber daya alam. Data-data tersebut diolah dengan sistem tabulasi dan dianalisis secara diskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Konsep pendampingan pengembangan kawasan peternakan tidak terlepas dari aturan tata ruang yang telah ditetapkan pemerintah daerah. Kabupaten Tangerang telah menetapkan pengembangan sektor peternakan tahun 2011-2031 melalui Peraturan Daerah No. 13 tahun 2011. Kecamatan yang ditetapkan sebagai wilayah pengembangan peternakan yaitu Legok, Panongan, Pagedangan, Curug, Cikupa, Tigaraksa, Kemeri, Pasar Kemis, Rajeg, Teluk Naga, Cisauk, Jambe, Cisoka, Mauk, Gunung Kaler. Kelompok Bina Karya Desa Cileles Kecamatan Tigarkasa secara aturan tata ruang termasuk dalam wilayah pengembangan kawasan peternakan. Karakteristik Wilayah Desa Cileles Karakteristik Desa Cileles diperoleh dari Profil Desa tahun 2012. Luas wilayah Desa Cileles 578,32 ha dengan mayoritas penggunaannya oleh tanah sawah 348,56 ha (60,3%), sedangkan sisanya dimanfaatkan untuk lahan pemukiman, perkebunan, kuburan, pekarangan, perkantoran dan prasana umum lainya. Jarak Desa Cileles dengan ibu kota kecamatan relatif dekat yaitu 7 km, menggunakan kendaraan bermotor waktu tempuh cukup 15 menit. Demikian juga jarak dengan ibu kota kabupaten 9 km dengan waktu tempuh 30 menit. Berbeda dengan jarak dengan ibu kota provinsi yang relatif jauh mencapai 80 km dengan waktu tempuh 2,5 jam. Akses jalan menuju Desa Cileles baik dari ibu kota provinsi maupun kabupaten kategori mudah. Secara fisik melalui jalan raya (aspal) dan jalan desa telah menggunakan betonisasi. Jumlah penduduk Desa Cileles 7.117 orang dengan prosentase jenis kelamin laki-laki 47,93% (3.411 orang) dan perempuan 52,07% (3.706 orang). Jumlah kepala
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
12
keluarga (KK) didominasi laki-laki 1.603 KK dibanding perempuan 235 KK. Dilihat dari tingkat kesejahteraan KK, Desa Cileles masih memiliki keluarga prasejahtera 813 KK sedagkan sisanya 1.025 KK termasuk keluarga sejahtera 1, 2, 3 dan 3 plus. Berdasarkan tingkat pendidikan, penduduk Desa Cileles umur produktif (18-56 tahun) ditampilkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Jumlah penduduk umur produktif (18 – 56 tahun) berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Cileles, Kecamatan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang Gambar 1 menjelaskan bahwa mayoritas penduduk Desa Cileles tamat SD/sederajat. Kondisi ini menggambarkan bahwa penduduk Desa Cileles termasuk kategori bisa baca dan tulis (tidak buta aksara). Berdasarkan jenis kelaminnya, penduduk Desa Cileles usia produktif didominasi oleh perempuan. Dihubungkan dengan mata pencaharian penduduk Desa Cileles mayoritas laki-laki bekerja sebagai petani dan buruh tani 869 orang dan karyawan perusahaan swasta 586 orang, sedangkan perempuan didominasi karyawan perusahaan swasta 730 orang. Kondisi ini mengindikasikan bahwa preferensi penduduk dan peluang kerja banyak disediakan oleh perusahaan. Sumber daya alam yang dimiliki Desa Cileles tidak terlepas dari luas lahan menurut penggunaannya. Tanah sawah seluas 348,56 ha tercatat dimanfaatkan untuk tanaman padi. Kepemilikan lahan pertanian di Desa Cileles sebanyak 973 KK dengan mayoritas penguasaan lahan kurang dari 1 ha 813 KK (83,56%). Kegiatan pertanian cenderung berkaitan dengan usaha peternakan. Desa Cileles memiliki beberapa jenis ternak yang ditampilkan pada Gambar 2.
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
13
Gambar 2. Sumber daya alam Desa Cileles berdasarkan jumlah ternak yang dimiliki.
Gambar 2 menggambarkan bahwa populasi terbesar di Desa Cileles adalah ternak unggas, sedangkan ternak sapi potong tidak banyak. Hal ini terjadi akibat usaha ternak ayam broiler mayoritas dilaksanakan dengan cara inti plasma, sehingga kegiatan pemeliharaannya ada campur tangan perusahaan. Disisi lain, sapi potong seakan tidak berkontribusi dalam pengembangan kawasan peternakan di Desa Cileles. Akan tetapi konsep kawasan dilihat secara menyeluruh tingkat Kabupaten. Meskipun sapi potong di Desa Cileles relatif sedikit, namun penilaian populasi sapi potong satu kesatuan dengan jumlah di tingkat Kabupaten.
Karakteristik Kelompok Bina Karya Kelompok Bina Karya terbentuk sejak tahun 2010 dengan jumlah anggota 20 orang. Struktur kepengurusan ketua (Ahmad), skretaris (Saepudin) dan bendahara (Suryadi). Tahun 2015 terkadi pergantian sekretaris (M. Fikri). Perubahan pengurus terjadi atas mufakat anggota dan status Saepudin yang sudah tidak aktif dalam kelompok. Sampai dengan tahun 2015 anggota kelompok Bina Karya berkirang menjadi 18 orang. Komoditas utama yang diusahakan adalah tanaman padi dan ternak sapi potong. Fungsi utama kelompok adalah wadah pembelajaran bagi anggotanya. Kelompok Bina Karya dijadikan sentra kegiatan penerapan teknologi dari BPTP Banten dan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tangerang. Kelompok Bina Karya menjadi show window bagi anggota maupun peternak/petugas/stakeholder di luar kelompok. Teknologi yang telah diterapkan di kelompok Bina Karya yaitu penggemukan sapi menggunakan pakan tambahan konsentrat dan comin block,
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
14
pembuatan fermentasi jerami, pembuatan comin block, dan pengolahan limbah melalui pembuatan pupuk organik. Sampai dengan akhir tahun 2015, kelompok Bina Karya menghasilkan pupuk organik 18 ton/tahun. Distribusi pupuk cenderung kepada kelompok lain untuk pupuk organik lahan sawah dan kebun tanaman keras. Kepercayaan pemerintah terhadap eksistensi kelompok Bina Karya terwujud dalam pemberian bantuan pejantan sapi potong 4 ekor pada tahun 2011 dan tahun 2013 mendapatkan bantuan ternak sapi potong 18 ekor (17 ekor betina dan 1 pejantan). Jumlah sapi potong sampai dengan awal tahun 2015 sebanyak 58 ekor, sedangkan di akhir tahun berkurang menjadi 57 ekor. Pengurangan jumlah ternak akibat penjualan pejantan sebanyak 7 ekor untuk momen Idul Adha. Rata-rata harga jual sapi jantan dengan bobot ± 200 kg yaitu Rp 13.000.000,-. Pelaksanaan usaha ternak maupun kegiatan pendampingan berkaitan erat dengan karakteristik anggota kelompok (peternak sapi potong). Karakteristik individu anggota kelompok Bina Karya meliputi umur dan pendidikan (Gambar 3) serta kepemilikan ternak, luas lahan hijauan pakan ternak (Gambar 4).
Gambar 3. Prosentase umur dan pendidikan anggota kelompok Bina Karya
Kategori umur peternak rendah dengan asumsi muda (21-37 tahun), sedang adalah dewasa (38-54 tahun) dan tinggi diasumsikan tua (55-70 tahun). Mayoritas anggota kelompok Bina Karya pada kategori sedang/dewasa (57,1%). Sesuai profil Desa Cileles, kategori dewasa anggota kelompok termasuk dalam penduduk usia produktif. Kondisi ini mengindikasikan bahwa peternak secara fisik mampu mengelola usaha ternak sapi potong secara maksimal. Kemampuan ini berhubungan dengan keterlibatan peternak dalam melakukan kegiatan di kelompok (penyediaan dan pengolahan pakan, pemeliharaan dan pengolahan limbah).
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
15
Kategori pendidikan peternak rendah (tidak tamat SD), sedang (tamat SD) dan tinggi (tamat SLTP). Pendidikan anggota kelompok Bina Karya didominasi oleh peternak tamat SD. Hal ini menggambarkan bahwa anggota kelompok bisa membaca dan tulis. Kemampuan anggota kelompok berkaitan dengan metode pelatihan yang dilakukan. Pelatihan yang dilakukan BPTP Banten tahun 2015 menggunakan metode pendekatan kelompok dengan teknik ceramah dan diskusi. Pemaparan menggunakan slide show yang menampilkan gambar dan tulisan sebagai keterangan petunjuk pelaksanaan. Tingkat pendidikan formal merupakan faktor penting untuk mengetahui tingkat sumberdaya manusia. Makin tinggi tingkat pendidikan formal petani akan semakin rasional pola berfikirnya, dan daya nalarnya. Pendidikan merupakan sarana belajar untuk meningkatkan pengetahuan, yang selanjutnya akan menanamkan pengertian sikap dan mempengaruhi kemampuan petani untuk dapat bertindak yang lebih rasional sehingga semakin tinggi penerimaannya terhadap suatu inovasi (Suharyanto, dkk. 2006).
Gambar 4. Prosentase luas lahan hijuan pakan ternak (HPT) dan kepemilikan ternak anggota kelompok Bina Karya Luas lahan HPT yang dikuasai peternak mayoritas dalam kategori rendah (90,48%). Kategori luas lahan rendah dengan kisaran luas 300-6.800 m2, sedang dengan luasan 6.900-13.400 m2 dan luas lahan terbesar seluas 20.000 m2. Hijauan yang diintroduksikan BPTP Banten adalah rumput gajah Taiwan. Penguasaan HPT 300-6.800 m2 hanya menampung 600-13.600 stek rumput gajah.
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
16
Rumput gajah dipilih sebagai HPT karena mudah tumbuh dan daya adaptif. Rumput gajah ditanam pada lingkungan hawa panas yang lembab, tetapi tahan terhadap musim panas yang cukup tinggi dan dapat tumbuh dalam keadaan yang tidak seberapa dingin. Rumput ini juga dapat tumbuh dan beradaptasi pada berbagai macam tanah meskipun hasilnya akan berbeda (Kusnadi, dkk. 2015). Kategori kepemilikan ternak sapi potong rendah diartikan rata-rata kepemilikan 2-5 ekor, kategori sedang dengan kepemilikan 6-9 ekor dan kategori tinggi dengan kepemilikan 10-13 ekor. Mayoritas anggota kelompok Bina Karya memelihara ternak kategori rendah (90,48%). Kondisi ini berhubungan dengan tujuan pemeliharaan ternak sebagai tabungan, sehingga orientasi peternak bukan skala usaha penggemukan maupun pembibitan. Namun demikian, anggota kelompok tetap aktif dalam pertemuan/pelatihan yang dilaksanakan oleh BPTP Banten. Peserta pelatihan yang memiliki ternak dengan rata-rata 2,93 ekor tetap termotivasi untuk mengikuti pelatihan agribisnis peternakan disebabkan setelah pelatihan mereka dapat mempraktikan langsung hasil pelatihan terhadap ternak mereka (Wulanjari, dkk. 2009)
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Sasaran pendampingan pengembangan kawasan usaha ternak Provinsi Banten tahun 2015 berlokasi di kelompok Bina Karya Desa Cileles, Kecamatan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang. Kesimpulan yang diperoleh tentang karakteristik sasaran pendampingan meliputi: 1. Luas wilayah Desa Cileles mayoritas penggunaannya oleh tanah sawah yang ditanami padi. Akses menuju lokasi pendampingan relatif mudah dengan jarak tempuh dari provinsi relatif dekat. Mayoritas penduduk didominasi jenis kelamin perempuan dengan mata pencaharian sebagai karyawan perusahaan swasta. Usia bervariasi dan mayoritas penduduk termasuk usia produktif. Sumberdaya alam yang tersedia berupa komoditas pertanian dan peternakan. 2. Kelompok Bina Karya melaksanakan usaha tani padi dan ternak sapi potong. Struktur kepengurusan lengkap dengan fungsi kelompok sebagai tempat/wadah belajar budidaya ternak yang baik dan benar.
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
17
3. Karakteristik peternak beragam, mayoritas umur anggota kelompok kategori produktif, anggota kelompok bebas buta aksara karena lulus SD/sederajat, menguasai lahan hijauan pakan ternak dan memiliki ternak dengan rata-rata 2-5 ekor.
Saran Pelaksanaan pendampingan tidak hanya mengejar peningkatan produktivitas ternak, tetapi juga mengedepankan peningkatan kualitas sumberdaya manusia peternaknya. Salah satu metode pendampingan yaitu melalui pelatihan. Perencanaan pelatihan didasarkan pada kebutuhan materi dan karakteristik peternak. Media pelatihan perlu disesuaikan dengan kemampuan peternak untuk mencerna materi.
DAFTAR PUSTAKA Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor: 43/Kpts/PD. 410/1/2015 Kusnadi Harwi, Wahyuni Amelia Wulandari, Zul Efendi. Diunduh pada 10 November 2015. Teknologi Pengawetan Hijauan Makanan Ternak (HMT) dan Limbah Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu. Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 50/Permentan/OT.140/8/2012 Suharyanto, Rubiyo, dan Jemmy Tinaldy. 2006. Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Petani Terhadap Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) Conopomorpha Cramerella Snellen di Kabupaten Tabanan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Wulanjari M. Eti, Trie Joko Paryono, dan Nasriati. 2009. Kajian Peningkatan Pengetahuan Petani Melalui Pelatihan Pengembangan Agribisnis Peternakan. Prosiding Seminar Teknologi Peningkatan Produksi Pertanian Spesifik Lokasi.
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
18
PENINGKATAN PENGETAHUAN PETANI PADI TENTANG PERANGKAT UJI TANAH SAWAH (PUTS) DAN APLIKASI PEMUPUKAN PADI SAWAH MELALUI PELATIHAN (Kasus SL-PTT Padi di Desa Cikande, Kec. Jayanti, Kab. Tangerang) Kartono dan Nofri Amin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten Jl. Ciptayasa KM.01 Ciruas Serang – Banten Telp. 0254-281055, e-mail :
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Peningkatan produktivitas padi tidak terlepas dari ketersediaan dan daya serap tanaman terhadap unsur hara dalam tanah. Ketersediaan hara dalam tanah perlu diketahui sebagai dasar pemberian unsur hara (pupuk) yang sesuai. Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) merupakan alat untuk mengidentifikasi ketersediaan hara tersebut, sehingga perlu dipahami penggunaannya oleh petani. Proses pemahaman petani terhadap PUTS dan cara pemupukan berimbang dapat dilakukan melalui pelatihan dengan tujuan meningkatkan pengetahuan. Sejauh mana keefektivan proses pembelajaran tersebut perlu diketahui, untuk perlu dilakukan pengkajian terhadap peningkatan pengetahuan petani peserta pelatihan. Pengkajian dilakukan pada peserta belajar SL-PTT di Kelompok Tani Paguyupan di desa Cikande, Kecamatan Jayanti, Kabupaten Tangerang tahun 2014. Pengukuran peningkatan pengetahuan melalui pree test dan postest sebelum dan sesudah pembelajaran pada dua materi belajar yaitu: PUTS dan pemupukan berimbang. Hasil analisis data pengkajian menunjukan peningkatan pengetahuan yang sangat signifikan. Pada materi pembelajaran tentang PUTS, kenaikan pengetahuan petani peserta mencapai 73,68%, dari 38 menjadi 66 point, sedangkan pada materi pembelajaran pemupukan secara berimbang mencapai 20,17% maningkat dari 119 menjadi 143 point. Berdasarkan hasil analisis uji t peningkatan pengetahuan akibat pembeljaran terhadap kedua materi belajar sangat signifikan, yaitu dengan materi pembelajaran PUTS, t hitung 6,294 dan pada materi pembelajaran tentang pemupukan secara berimbang dengan t hitung 6,000, lebih besar dibanding dengan t tabel pada df 19 hanya 2,093. Kesimpulan bahwa pembelajaran melalui pelatihan pada kelompok tani Paguyuban di Desa Cikande, Kecamatan Jayanti, Kabupaten Tangerang cukup efektif meningkatkan pengetahuan peserta belajar. Kata kunci: pengetahuan, PUTS, cara pemupukan dan pelatihan PENDAHULUAN Padi merupakan komoditas strategis karena sebagian besar penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai bahan pangan utama dan sebagian lainnya memanfaatkannya sebagai bahan olahan. Keberhasilan meningkatkan produksi padi
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
19
secara nasional akan memberikan arti penting bagi ketahanan nasional, diharapkan keberhasilan tersebut juga akan meningkatkan kesejahteraan petani (Suriansyah dan Susilawati, 2013. Angka Tetap (ATAP) produksi padi Provinsi Banten tahun 2010 sebesar 2,05 juta ton gabah kering giling (GKG), meningkat sebesar 199,04 ribu ton (10,76%) dibandingkan produksi padi tahun 2009. Tahun 2011 diperkirankan produksi padi meningkat sebesar 16,49 ribu ton (0,80%) dibandingkan tahun 2010, yaitu mencapai 2,064 juta ton gabah kering giling (BPS Banten, 2011). Untuk mencapai produksi yang makmsimal tanaman padi memerlukan lingkungan yang optimal termasuk ketersediaan unsur hara. Pada pengelolaan tanaman terpadu, ada 12 komponen teknologi pengembangan PTT padi, namun ada 6 komponen teknologi yang perlu diterapkan bersamaan sebagai penciri utama, yaitu benih bermutu, varietas unggul baru, bibit muda, penanaman bibit secara terbatas, pemupukan N berdasarkan bagan warna daun (BWD) serta pemupukan P dan K berdasarkan status hara tanah (Makarim et al dalam Mayunar, 2012). Menurut Masganti, 2011 bahwa daya serap hara oleh tanaman merupakan salah satu faktor penting dalam peningkatan produksi padi. Daya serap hara yang tinggi akan memberikan hasil yang tinggi. Daya serap hara merupakan kemampuan tanaman secara nisbi menambang hara dari dalam tanah dan mengubahnya menjadi bagian tanaman (Makarim et al, 1999). Salah satu faktor yang menentukan kemampuan tanaman menyerap hara adalah tingkat ketersediaan hara yang diantaranya dipengaruhi oleh tingkat kemasaman tanah (Marshcner, 1986). Salah satu alat yang dapat digunakan dalam menentukan kandungan hara tanah serta tingkat kemasaman tanah sawah yaitu perangkat uji tanah sawah (PUTS). PUTS adalah suatu alat yang terdiri dari cairan pengekstrak dan peralatan pendukung untuk analisis kadar hara tanah sawah, yang dapat digunakan di lapangan dengan cepat, mudah, murah dan cukup akurat. Prinsip kerja PUTS ini adalah mengukur hara N, P, K dan pH tanah yang terdapat dalam bentuk tersedia secara resmi kuantitatif dengan metode kolorimetri (pewarnaan) (Diah Setyorini dan Ladiyani Retno Widowati, 2012). Proses penyebaran informasi terkait aplikasi pemupukan padi sawah menggunakan
PUTS terus dilakukan. Banyak metode penyuluhan yang dapat
digunakan dalam proses penyebaran informasi. Metode pelatihan dirasakan lebih efektif dibanding metode yang lainnya, karena pelatihan dapat mengombinasikan beberapa metode penyuluhan yang lain. Pelatihan sendiri adalah suatu kegiatan alih
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
20
pengetahuan dan keterampilan baik berupa teori maupun praktek dari fasilitator ke peserta/penerima melalui metode partisipatif (Susilo Astuti, 2014). Indikator keberhasilan proses pembelajaran dapat dilihat dari sejauh mana peningkatan pengetahuan peserta belajar dapat dicapai. Informasi peningkatan pengetahuan petani padi tentang kandungan hara tanah sawah dengan PUTS dan aplikasi pemupukan dampak dari pembelajaran SL-PTT padi didapat dan dikaji lebih dalam, maka perlu dilakukan kajian terhadap peningkatan pengetahuan tersebut setelah mengikuti pelatihan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi petunjuk terhadap kinerja pembelajaran yang telah dilakukan. METODOLOGI Penelitian dilaksanakan di Kelompoktani Paguyuban Desa Cikande, Kecamatan Jayanti, Kabupaten Tangerang pada bulan April sampai dengan Juli tahun 2014. Responden penelitian adalah petani peserta pembelajaran pada kegiatan SLPTT padi tahun 2014 berjumlah 20 peserta. Metode pembelajaran yang dilakukan menggunakan metode pelatihan dengan mengombinasikan pembelajaran teori di dalam ruangan dan praktek di lapangan. Pada pelatihan terkait materi pengenalan fungsi dan kegunaan alat Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) dan aplikasi pemupukan padi sawah disampaikan oleh nara sumber yang kompeten di bidang tersebut. Jenis data yang dikumpulkan meliputi data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari laporan kegiatan SL-PTT padi, progama Kecamatan Jayanti serta monografi wilayah setempat. Data primer diperoleh melaui hasil uji pre test dan post test melalui instrumen soal pertanyaan terkait materi pembelajaran dan data terkait biodata peserta belajar. Proses pengambilan data dilakukan bersamaan dengan uji pree test sebelum pembelajaran dimulai dan post test setelah pembelajaran dilakukan. Indikator peningkatan pengetahuan diukur dari selisih nilai pree test dan post test. Beberapa subtansi materi yang dijadikan tolok pengukuran, yaitu: pemahaman peserta belajar terhadap arti dan tujuan penggunaan PUTS, kinerja penggunaan PUTS dan materi terkait aplikasi pemupukan yang sesuai. Jumlah pertanyaan yang diujikan adalah 16 pertanyaan, dengan sistem soal pilihan ganda. Sistem penilaian mengikuti
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
21
jumlah jawaban yang benar oleh peserta belajar, bernilai satu untuk satu soal pertanyaan. Analisis data menggunakan analisis deskriptif untuk melihat keragaan karakteristik peserta belajar. Deskripsi diperlukan untuk memberikan gambaran secara jelas dari variabel yang diamati. Pengelompokan data berdasarkan klasifikasi interval (Nurgiyantoro dkk, 2002) dengan rumus: Nilai tertinggi – Nilai terendah Interval = ----------------------------------------Jumlah kelas Guna melihat signifikansi perbedaan pengetahuan antara sebelum pelatihan dan sesudah pelatihan menggunakan uji beda t. Proses analisis data dimulai dari input data dalam format excel, pengelompokan data dan menganalisis data menggunakan SPSS dengan uji t.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada proses pembelajaran SL-PTT padi di kelompok tani Paguyuban Desa Cikande Kecamatan Jayanti Kabupaten Tangerang. Jumlah kelompok tani di Desa Cikande sebanyak 7 kelompok tani, dengan mayoritas jenis usahatani tanaman padi. Luas tanam padi sawah di Desa Cikande mencapai 251 ha. Lahan sawah secara umum merupakan irigasi pompanisasi dan intensitas penanaman dalam satu dua kali tanam. Jumlah anggota kelompok tani Paguyuban berjumlah 58 orang dengan luas garapan 26 ha. Kelompok tani Paguyuban telah terbentuk sejak tahun 1999 sampai saat ini telah menduduki kelas lanjut.
Keragaan SL-PTT Padi Pada tahun 2011 luas areal SLPTT di Kabupaten Tangerang adalah 10.500 ha dengan 420 poktan atau unit LL atau SL. Dari jumlah tersebut sebanyak 10.000 ha untuk padi sawah dan 50 ha untuk padi gogo. Pada tahun 2012 luas areal SL-PTT padi di Kabupaten Tangerang meningkat menjadi 19.325 Ha dengan 773 poktan dari 29 Kecamatan. Kegiatan SL-PTT dalam pelaksanaannya mendapat animo atau respon yang tinggi dari petani. Pelaksanaannya di tingkat lapangan agak kurang berjalan
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
22
baik, dengan kendala utama adalah umumnya petani adalah petani penggarap dan pemahaman terhadap pelaksanaan SL-PTT masih rendah Kegiatan pelaksanaan pembelajaran SL-PTT padi di laksanakan di Kecamatan Jayanti. Kecamatan Jayanti merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Tangerang yang tergabung dalam wilayah kerja Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kaliasin. BPP Kaliasin memiliki wilayah kerja meliputi 4 kecamatan yaitu: Kecamatan Balaraja, Sukamulya, Kresek dan Jayanti. Wilayah binaan penyuluh di BPP Kaliasin meliputi 34 desa. Luas lahan pertanian di wilayah kerja BPP Kaliasin pada tahun 2012 tercatat seluas 8.031,70 ha. Luasan tersebut meliputi: lahan sawah irigasi 4.020 Ha, tadah hujan 1.848 ha dan lahan kering seluas 2.888,7 ha selebihnya adalah untuk pemukiman. Pada tahun 2014 Kecamatan Jayanti mendapatkan program SL-PTT padi pemantapan meliputi 7 desa yaitu: Desa Sumurbandung, Pasirmuncang, Dangdeur, Pabuaran, Jayanti, Cikande, Pasir Gintung dan Pangkat dengan jumlah kelompok tani yang terlibat 12 kelompok. Kegiatan SL-PTT padi yang dilasanakan pada tahun 2014 berupa demontrasi lapangan berupa Laboratorium Lapang (LL) dengan komponen teknologi penggunaan varietas unggul, sistem tanam jajar legowo dan penggunaan umur tanam bibit muda.
Karakteristik Petani Peserta Belajar SL-PTT Padi Peserta belajar SL-PTT padi meliputi petani padi sawah yang tergabung dalam kelompok tani Paguyuban di Desa Cikande berjumlah 20 orang yang tidak terlibat dalam kegiatan SL-PTT pemantapan tahun 2014. Karakteristik peserta SL-PTT beragam mulai dari umur, pendidikan dan penguasaan lahan garapan serta produktivitas usahatani. Karakteristik tersebut diduga turut mempengaruhi proses pembelajaran. Pembelajaran SL-PTT padi merupakan proses komunikasi dalam penyebaran informasi inovasi teknologi. Menurut Soekartawi (1988), variabel yang mempengaruhi proses tersebut diantaranya adalah: (a) umur, (b) tingkat pendidikan, dan (c) tingkat pengetahuan/pengalaman dan latar belakang sosial ekonominya. Karakteristik peserta belajar dalam kegiatan SL-PTT padi ini, yang diamati meliputi: umur, pendidikan, luas garapan dan tingkat produktivitas sebelum melakukan pembelajaran. Umur peserta belajar diklasifikasikan menjadi tiga golongan, yaitu berumur muda, sedang dan tua. Penggolongan umur berdasarkan tingkatan umur, kurang dari 43 tahun termasuk muda, antara 43 tahun sampai dengan
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
23
54 tahun termasuk sedang dan diatas 54 tahun tergolong tua. Jumlah peserta yang berumur muda sebanyak 3 orang, berumur sedang 12 orang dan selebihnya 5 orang berumur tua. Data dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik peserta belajar pada pelatihan SL-PTT Padi di Kelompok Tani Paguyuban.
1.
Karakteristik Peserta Belajar Umur (tahun)
2.
Pendidikan (tahun)
3.
Lahan (Ha)
4.
Produktivitas (ton/Ha)
No.
Skor < 43 43 - 54 > 54 1< 6 6<9 < 0,4 0,4 - 0,7 > 0,7 < 5,1 5,1 - 7,2 > 7 ,2
Kategori Muda Sedang Tua SD SMP Sempit Sedang Luas Rendah Sedang Tinggi
Jumlah Frekwensi Persentase 3 15 12 60 5 25 11 55 9 45 8 40 7 35 5 25 17 85 2 10 1 5
Keterangan n=20
Secara alamiah umur akan mempengaruhi kemampuan fisik dan kemampuan berfikir. Umur dapat menggambarkan pengalaman seseorang sehingga turut mempengaruhi keragaman pengetahuannya dan keterampilannya. Semakin berumur muda biasanya seseorang memilki semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga dimungkinkan semangat untuk mengikuti pembelajaran cukup tinggi, sedangkan umur seseorang semakin tua akan semakin lamban dalam menerima hal baru dan cenderung mengikuti kebiasaan yang telah ada (Mardikanto, 1993). Tingkat pendidikan peserta belajar SL-PTT padi tergolong masih rendah. 55% hanya sampai Sekolah Dasar, dan selebihnya hanya sampai SMP. Tingkat pendidikan seseorang disinyalir juga akan berpengaruh terhadap pola pikir dan cara pengambilan keputusan. Tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah menerima sesuatu dan bekerja akan didasari oleh pemahaman konsep dan pengetahuan yang cukup. Pengetahuan tersebut dapat diperoleh dari pendidikan formal dan non formal yang pernah mereka tempuh. Penguasaan lahan peserta belajar SL-PTT padi relatif sempit, 40% peserta belajar hanya memiliki lahan seluas kurang dari 4.000 m2 dan hanya 25% peserta
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
24
yang memiliki lahan lebih dari 7.000 m2. Luas usahatani yang relatif sempit akan menjadi kendala dalam penerapan sistem usahatani secara intensif. Kondisi ini dimungkinkan akan turut mempengaruhi tindakan seseorang dalam menerimahal baru terkait usaha intensifikasi. Produktivitas usahatani padi peserta belajar SL-PTT merupakan tolok ukur keberhasilan dampak hasil pembelajaran. Sebelum pembelajaran dilakukan informasi tentang produktivitas usahatani padi para peserta belajar perlu diketahui sebagai pembanding terhadap produktivitas usahatani padi setelah pembelajaran. Produktivtas usahatani padi peserta belajar SL-PTT padi di Desa Cikande Kecamatan Jayanti masih relatif rendah yaitu kurang dari 5,1 ton/ha dan hanya 5% yang mencapai produktivitas lebih dari 7,2 ton/ha. Kondisi ini apabila di dibandingkan dengan potensi hasil yang sebenarnya, masih cukup rendah, yaitu mencapai 8.5 – 10 ton/ha pada varietas Ciherang dan Inpari, maka dengan peningkatan pengetahuan hasil pembelajaran diharapkan dapat membantu meningkatkan produktivitas.
Peningkatan Pengetahuan Proses peningkatan pengetahuan oleh peserta pelatihan dalam kegiatan pembelajaran diawali dengan mengumpulkan semua data dan informasi terkait materi yang akan disampaikan. Data dan informasi itu akan masuk di dalam memori peserta belajar sehingga terjadi proses pengolahan. Pada akhirnya peserta belajar harus mampu untuk memberikan arti, melakukan interpretasi dan mampu memberikan kesimpulan dari data yang mereka dapatkan tersebut. Peningkatan pengetahuan peserta pelatihan dengan dua materi, yaitu: rekomendasi penggunaan PUTS dan aplikasi pemupukan secara berimbang, selanjutnya indikator pengukurannya akan dijabarkan dalam bentuk soal pertanyaan. Keefektivan hasil
pembelajaran
dari kegiatan
pelatihan berdasarkan
peningkatan pengetahuan peserta belajar terhadap kedua materi tersebut dapat dilihat dari perubahan hasil ujian dari soal yang telah dirancang. Pengujian dilakukan sebelum dan sesudah pemberian materi. Guna melihat perbedaan nilai hasil pengujian dianalisis menggunakan selang kepercayaan 95 %, alpha 5 %, dengan df = 19, serta nilai t tabel = 2,093, jika dibandingkan nilai t hitung lebih besar dari t tabel, maka hasil pembelajaran melalui pelatihan mengalami peningkatan. Nilai ujian hasil sebelum dan sesudah pembelajaran mengalami kenaikan. Untuk memudahkan cara penampilan data, jumlah responden 20 orang dikelompokan
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
25
dalam 4 kelompok, yaitu kelompok, A, B, C dan D. Materi pengujian disesuaikan dengan materi pembelajaran yaitu tentang penggunaan PUTS dan pemupukan secara berimbang. Nilai sebelum pembelajaran pada materi penggunaan PUTS sebesar 38 point dan setelah pembelajaran meningkat menjadi 66 point, terjadi peningkatan 73,68%. Pada materi pemupukan secara berimbang mengalami kenaikan sebesar 20,17%, yaitu dari 119 manjadi 143 point, Tabel 2. Tabel 2. Nilai ujian hasil sebelum dan sesudah pembelajaran Materi Pembelajaran: PUTS Pemupukan Berimbang Kelompok No. Sebelum Sesudah Selisih % Sebelum Sesudah Selisih % Responden 1 A 10 18 8 80,00 30 35 5 16,67 2 B 9 14 5 55,56 33 40 7 21,21 3 C 7 15 8 114,29 31 38 7 22,58 4 D 12 19 7 58,33 25 30 5 20,00 Total 38 66 28 73,68 119 143 24 20,17
Berdasarkan uji beda t nilai sebelum dan sesudah pembelajaran rata-rata dari 4 kelompok respoden cukup berbeda nyata apabila dilihat dari nilai t tabel dan t hitung. Hasil pembelajaran pada materi PUTS berdasarkan kelompok responden hampir seluruh kelompok berbeda nyata, Tabel 3. Secara keseluruhan peserta belajar mengalami peningkatan pengetahuan sangat signifikan dengan t hitung 6,3 sedangkan t tabel hanya 2.093 pada materi PUTS. Tabel 4. Tabel 3. Hasil uji t pada pembelajaran tentang PUTS dan pemupukan berimbang. No. 1. 2. 3. 4.
Kelompok uji Kelompok A Kelompok B Kelompok C Kelompok D
PUTS t hitung 3.138 1.826 6.532 2.746
Sig. .035 .142 .003 .052
Pemupukan Berimbang t hitung Sig. 3.162 .034 2.333 .080 5.715 .005 2.236 .089
Keterangan: df =4, t tabel =2,776 Pada pembelajaran tentang pemupukan berimbang, peningkatan pengetahuan sangat nyata pada kelompok responden A dan C, Tabel 3, namun secara keseluruhan terjadi peningkatan yang sangat nyata, Tabel 4.
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
26
Tabel 4. Hasil uji t pada nilai pembelajaran tentang PUTS dan pemupukan berimbang. No.
Materi Uji
1.
PUTS
2.
Pemupukan berimbang
Hasil uji beda t t hitung Sig. 6.294 .000 6.000
.000
Keterangan: df= 19, t tabel = 2,093
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil pengkajian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Karakteristik petani peserta belajar SL-PTT padi di Kelompok Tani Paguyuban Desa Cikande Kecamatan Jayanti cukup beragam: mayoritas umur peserta pada kategori sedang, pendidikan mayoritas SD, produktivitas usahatani padi masih rendah dan luas lahan tergolong sempit. 2. Hasil pembelajaran cukup efektif dengan peningkatan pengetahuan sebelum belajar dan sesudah belajar sangat signifikan, pada materi pembelajaran pemanfaatan PUTS dan pemupukan secara berimbang padi sawah.
Saran Proses pembelajaran melalui pelatihan pada kegiatan SL-PTT padi di Kelompok Tani Paguyuban di Desa Cikande Kecamatan Jayanti Kabupaten Tangerang dapat dijadikan contoh sebagai pembelajaran yang efektif, danperlu dikaji lagi terhadap peningkatan sikap, keterampilan dan produktivitas setelah pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA BPS Provinsi Banten. 2011. Banten dalam Angka Tahun 2010. Badan Pusat Statistik. Serang. Diah Setyorini dan Ladiyani Retno Widowati. 2012. Perangkat Uji Tanah Sawah V. I.I Paddy Soil Test Kit. Balai Penelitian Tanah. Bogor. Makarim, A.K., I. Las, A. M. Djulin dan Sutoro. 1999. Penentuan Takaran Pupuk untuk Tanaman Padi Berdasarkan Analisis System dan Simulasi. Agronomika.
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
27
Mardikanto, Totok, 1993, Penyuluhan Pertanian, Sebelas Maret University Press Surakarta. Hal. 121. Marschner, 1986. Mineral Nutrition of Higher Plants. Academic Press, Hourcourt Brace Javanovich Publ. Masganti, 2011. Perbedaan Daya Serap Hara Beberapa Varietas Unggul Padi pada Tipe Lahan Berbeda di Lahan Pasang Surut. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian. Mayunar, 2012. Tingkat Produktivitas dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Melalui Sistem Tanam Legowo dan Tegal di Kecamatan Kramatwatu, Serang. Buletin IKATAN BPTP Banten. Nurgiyantoro, B. Gunawan dan Marzuki. 2002. Statistik Terapan untuk Penelitian Ilmu-ilmu Sosial. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Hal. 36. Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).
Penerbit
Suriansyah dan Susilawati. 2013. Teknologi Spesifik Lokasi PTT Padi dan Pendampingan SL-PTT di Kalimantan Tengah. Buletin Inovasi Teknologi Pertanian BPTP Kalimantan Tengah. Susilo Astuti, H. 2014. Penyelenggaran Pelatihan dalam Sistem LAKU. http://cybex.deptan.go.id/penyuluhan/penyelenggaran-pelatihan-dalam-sistemlaku. BPPSDMP Kementan.
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
28
PROFIL DAN ANALISA USAHA TERNAK KERBAU DI DESA MUARA DUA KECAMATAN CIKULUR KABUPATEN LEBAK Eka Rastiyanto dan Eko Kardiyanto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten. Jl. Ciptayasa Km 01 Ciruas-Serang 42182, Banten. Tel. 0254-281055, Fax. 0254-282507 ABSTRAK Kajian profil dan analisa kelayakan usaha ternak kerbau dapat memberikan gambaran usaha yang saat ini dijalankan oleh peternak dan informasi bagi pengambil kebijakan dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan produktivitas usaha ternak kerbau agar dapat lebih berperan dalam ekonomi rumah tangga peternak. Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui profil usaha ternak kerbau yang dijalankan oleh peternak kerbau di Desa Muara Dua, Kecamatan Cikulur, Kabupaten Lebak dan analisa kelayakan usaha yang dilakukan oleh peternak sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan keluarga. kajian dilaksanakan dengan metoda survei dengan menggunakan kuesioner dan wawancara terhadap 20 responden peternak kerbau. Data sekunder dan data primer yang terkumpul kemudian dianalisis secara deskriptif serta analisis ekonomi B/C rasio. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa Desa Muara Dua berpotensi sebagai daerah usaha ternak kerbau, mempunyai potensi lahan perkebunan sawit sebagai sumber hijauan pakan, populasi ternak 49 ekor, umur ternak 1-7 tahun, umur peternak 20->46 tahun, pendidikan peternak maksimal SLTA/sedarajat, pengalaman beternak 1-10 tahun. Rata-rata kepemilikan kerbau 1-4 ekor memperoleh keuntungan Rp 8.250.000/tahun dengan nilai B/C rasio 1,09. Kata kunci: kerbau, profil, analisis usaha PENDAHULUAN Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub famili Bovinae yang berkembang di banyak bagian di dunia dan diduga berasal dari India. Kerbau domestikasi yang ada pada saat ini berasal dari spesies Bubalus arnee. Spesies kerbau lainnya yang masih liar adalah Bubalus mindorensis, Bubalus depressicornis dan Bubalus cafer (Hasinah dan Handiwirawan, 2006). Populasi ternak kerbau di Indonesia pada tahun 2014 tercatat sekitar 1.3 juta ekor yang tersebar di seluruh propinsi kecuali di Sulawesi Utara dan Papua Barat. Lebih dari 40% populasi kerbau berada di Pulau Sumatera dan sekitar 23% berada di Pulau Jawa. Ternak kerbau bagi masyarakat tani di pedesaan merupakan sumber kekayaan, status sosial dan untuk pesta perayaan yang nilainya sulit ditentukan secara obyektif. Ternak kerbau di Indonesia pada umumnya mempunyai beberapa kegunaan, yaitu : 1) sebagai ternak penggarap sawah, 2) sebagai ternak penarik beban, 3) sebagai ternak
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
29
penghasil daging, 4) sebagai ternak penghasil susu, 5) sebagai ternak penghasil pupuk kandang (Departemen Pertanian, 2008). Kerbau sebagai ternak penghasil daging, sumber tenaga kerja, dan pupuk kandang. Ternak kerbau memiliki keunggulan dibandingkan dengan ternak sapi. Keunggulan tersebut di antaranya dapat berkembang baik dalam kondisi lingkungan yang sangat luas dan lingkungan dengan kondisi basah sampai dengan kondisi kering. Kondisi lingkungan yang kering terutama bila pakan yang tersedia berkualitas rendah, pertumbuhan kerbau dapat menyamai atau bahkan lebih baik serta dapat berkembang biak dengan baik dibandingkan dengan sapi (Diwyanto dan Handiwirawan, 2006). Usaha ternak kerbau merupakan komponen penting dalam usahatani penduduk pedesaan karena dapat membantu pendapatan rakyat di pedesaan dengan pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia di sekitarnya (Kusnadi et al.,2005). Pemeliharaan ternak
kerbau
secara
tradisional
pada
umumnya
cenderung
mengabaikan
perkandangan yang baik. Hal seperti ini sangat merugikan, tidak hanya bagi kerbau tetapi juga peternak dan lingkungannya. Kandang bagi ternak kerbau berfungsi sebagai : 1) perlindungan dari teriknya matahari, angin dan hujan, 2) memudahkan pemberian makanan dan minuman, 3) pengawasan, pencegahan dan pengobatan penyakit dapat terkontrol, 4) seleksi dan pemilihan bibit lebih mudah dilakukan dan 5) memudahkan membersihkan dan mengumpulkan kotorannya (Departemen Pertanian, 2008). Sampai saat ini usaha ternak kerbau di pedesaan belum banyak mempertimbangkan aspek keuntungan, pemeliharaan kerbau belum diupayakan oleh peternak agar dapat berproduksi secara optimal. Kabupaten Lebak merupakan wilayah pendukung ibukota Jakarta dan berpotensi sebagai wilayah pensuplai komoditas ternak bagi ibukota Jakarta. Daya dukung lahan yang dimiliki masih memungkinkan bagi pengembangan usaha ternak baik ruminansia maupun non ruminansia. Ketersediaan hijauan baik rumput atau berbagai limbah pertanian sebagai pakan masih cukup tersedia bagi ternak ruminansia. Studi mengenai profil dan analisa kelayakan usaha ternak kerbau dapat memberikan gambaran usaha ternak kerbau yang saat ini dijalankan oleh peternak dan informasi bagi pengambil kebijakan dalam memperbaiki dan meningkatkan produktivitas ternak kerbau agar dapat lebih berperan dalam ekonomi rumah tangga peternak. Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui profil usaha ternak kerbau yang dijalankan oleh peternak kerbau di Desa Muara Dua, Kecamatan Cikulur, Kabupaten
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
30
Lebak dan analisa kelayakan usaha yang dilakukan oleh peternak sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan keluarga.
METODOLOGI Pengkajian ini dilaksanakan dengan metoda survey menggunakan kuesioner untuk mewawancarai 20 responden peternak kerbau di Desa Muara Dua, Kecamatan Cikulur, Kabupaten Lebak. Penentuan desa lokasi penelitian ditetapkan sesuai dengan informasi Dinas Peternakan setempat. Data sekunder dan data primer yang terkumpul kemudian dianalisis secara deskriptif serta analisis ekonomi B/C rasio. Data jumlah ternak dianalisa dengan analisa ragam berdasarkan umur, pendidikan, pekerjaan dan pengalaman beternak. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Peternak Kerbau Karakteristik individu meliputi umur, pendidikan, dan pengalaman beternak merupakan data awal yang dapat menggambarkan kondisi peternak berkaitan dengan usaha ternaknya. Secara konseptual, karakteristik individu akan berpengaruh terhadap pola usaha yang dilakukannya. Adapun karakteristik peternak kerbau di Desa Muara Dua Kecamatan Cikulur Kabupaten Lebak disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Karakteristik responden Karakteristik Umur (tahun) 20-35 36-45 >46 Pendididkan formal Tidak Sekolah Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Pengalaman beternak 1-5 tahun 6-10 tahun >10 tahun
Jumlah Responden
Persentase
Kepemilikan ternak
3 5 12
15 25 60
2,33 1,40 2,83
4 11 3 2
20 55 15 10
1,75 1,91 4,33 2,50
5 7 8
25 35 40
1,60 3,14 2,13
Tabel 1 memperlihatkan karakteristik responden peternak berdasarkan umur, pendidikan, dan pengalaman beternak. Umur sebagian besar peternak dalam kategori sudah tidak produktif untuk melakukan pemeliharaan ternak kerbau (60%). Dilihat
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
31
dari tingkat pendidikannya sebagian besar kurang dari 9 tahun yaitu sebesar 55% berpendidikan SD. Hasil analisa menunjukkan bahwa jumlah kepemilikan kerbau peternak berdasarkan umur, pendidikan, dan pengalaman beternak tidak berbeda nyata (p > 0,05), akan tetapi terdapat beberapa kecenderungan bahwa semakin tua, semakin rendah pendidikan dan semakin berpengalaman dalam beternak.. Kecenderungan peternak dengan umur lebih tua mempunyai kerbau lebih banyak juga menunjukkan bahwa ketergantungan sumber nafkah pada kerbau menjadi semakin tinggi. Peternak dengan pengalaman beternak lebih lama juga cenderung memiliki kerbau lebih banyak. Suatu hal yang wajar mengingat pengalaman memberikan kepercayaan diri yang tinggi kepada peternak untuk berusaha ternak. Jenis pekerjaan juga memberikan kecenderungan peningkatan atau penurunan pemilikan ternak kerbau. Data selanjutnya yaitu tentang karakteristik ternak kerbau. Informasi yang diperoleh status ternak berupa umur dan jumlahnya ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Struktur populasi ternak kerbau Uraian
Rata-rata umur/ekor
Jumlah/ekor
Persentase
Jantan dewasa
7,75
4
8,16
Betina dewasa
6,09
27
55,10
Jantan muda
1,40
1
2,04
Betina muda
1,20
4
8,16
Jantan anak
0,55
4
8,16
Betina anak
0,53
9
18,37
49
100
Jumlah
Dari struktur populasi ternak kerbau yang dipelihara di lokasi pengamatan nampak bahwa proposi induk yang dipelihara mencapai 55,10%, keadaan ini menggambarkan bahwa usaha pemeliharaan ternak kerbau di Desa Muara Dua merupakan usaha budi daya ternak kerbau untuk produksi anak dan pendapatan diperoleh hasil pembesaran anak. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa jarak kandang dari rumah peternak tidak begitu jauh, sekitar 5-10 m dari rumah. Sistem pemeliharaan dengan cara digembalakan, yaitu mengandangkan ternak pada malam hari dan digembalakan pada siang hari di diikat pindah di kebun karet atau di areal lahan penggembalaan
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
32
yang terbuka yang ditumbuhi dengan berbagai jenis rerumputan. Hijauan merupakan pakan utama untuk ternak ruminansia. Ternak kerbau dipelihara oleh peternak di Desa Muara Dua berumur 1-15 tahun. Setelah induk kerbau tua dan tidak produktif lagi biasanya dipotong untuk tujuan konsumsi, tidak jarang setelah beranak lebih dari 4-8 kali. Namun kerbau jantan banyak dijual pada umur yang masih relatif muda untuk dikonsumsi. Untuk mengetahui layak/tidaknya suatu usaha, maka dilakukan hitungan analisa usaha ternak kerbau (tabel 3). Tabel 3. Analisis usaha ternak kerbau di Desa Muara Dua, Kecamatan Cikulur, Kabupaten Lebak. Kriteria
Volume
Harga Satuan (Rp)
Jumlah (Rp)
Modal investasi Pembelian induk
1
8.500.000
8.500.000
Pembelian jantan
1
11.500.000
11.500.000
Kandang
1
1.500.000
1.500.000
Biaya investasi
21.500.000
Tenaga kerja/bulan
1
300.000
3.600.000
Penyusutan kandang
1
300.000
300.000
Total biaya produksi
3.900.000
Penjualan ternak
1
8.250.000
49.500.000
Penjualan induk setelah 8 tahun
1
9.250.000
9.250.000
Penjualan jantan
1
12.000.000
12.000.000
Total pendapatan
70.750.000
NVP
3.883.000
B/C
1.09
IRR (%)
11.70
Rataan kepemilikan ternak di Desa Dangdang adalah 1-2 ekor induk kerbau/KK ada juga yang memiliki kerbau hingga 4 ekor induk/KK. Pada umumnya kerbau tersebut adalah milik sendiri, disamping itu ada juga yang memelihara kerbau milik orang lain dengan sistem bagi hasil, apabila sudah beranak anaknya maka dibagi dua antara pemilik dan pemelihara. Analisis Usaha Ternak Kerbau Tabel 3 memperlihatkan hasil analisa ekonomi usaha ternak kerbau dengan jumlah
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
33
pemeliharaan 2 ekor/KK. Berdasarkan informasi dari peternak, per tahun peternak memperoleh penerimaan sebesar Rp 8.250.000/tahun dari penjualan ternak. Induk kerbau dibeli dalam kondisi siap kawin dengan harga Rp 8.500.000/ekor dan pejantan dengan harga Rp 11.500.000/ekor dipelihara selama 8 tahun, menghasilkan keturunan 6 kali, dan dijual dengan harga Rp 8.250.000/ekor, setelah itu induk dinilai sudah tidak produktif dan dijual dengan harga Rp 9.250.000 serta untuk pejantan Rp 12.000.000. Hasil analisis usaha didapatkan bahwa nilai B/C ratio sebesar 1.09 yang berarti usaha ternak kerbau masih dianggap menguntungkan walaupun tidak terlalu banyak. KESIMPULAN Desa Muara Dua, Kecamatan Cikulur, Kabupaten Lebak memiliki potensi sebagai daerah untuk usaha ternak kerbau karena mempunyai daya dukung lahan yang potensial sebagai sumber hijauan. Jumlah pemilikan kerbau oleh peternak berdasarkan umur, pendidikan dan pengalaman beternak tidak berbeda, namun terlihat ada kecenderungan bahwa semakin tua, semakin rendah pendidikan dan semakin berpengalaman dalam beternak, jumlah kepemilikan kerbau semakin meningkat. Dari pemeliharaan
kerbau,
peternak
mendapatkan
hasil
penjualan
sebesar
Rp
8.250.000/tahun dengan nilai B/C rasio 1.09. Nilai B/C rasio tersebut menunjukkan bahwa usaha ternak kerbau tersebut cukup layak untuk dijalankan dan dipertahankan karena dianggap menguntungkan walaupun sangat kecil. DAFTAR PUSTAKA Kusnadi,U.,D.A. Kusumaningrum,R.S.G. Sianturi dan E. Triwulaningsih. 2005. Fungsi dan Peranan Kerbau dalam Sistem Usahatani di Propinsi Banten. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12-13 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Departemen Pertanian. 2008. Road Map Perbibitan Ternak. Direktorat Perbibitan, Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. Hasinah, H. & E. Handiwirawan. 2006. Keragaman Genetik Ternak Kerbau di Indonesia. Prosiding lokakarya nasional usaha ternak kerbau mendukung program kecukupan daging sapi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Diwyanto, K & E. Handiwirawan. 2006. Strategi Pengembangan Ternak Kerbau (aspek penjaringan dan distribusi). Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
34
KAJIAN KARAKTERISASI DAN IDENTIFIKASI PLASMA NUTFAH AYAM WARENG LOKAL PROVINSI BANTEN Dewi Haryani dan Maureen C.H Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Banten Jl. Raya Ciptayasa Km. 01 Ciruas, Serang – Banten 281055 E-mail :
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi dan mengidentifikasi ternak lokal ayam wareng asli Banten. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey, dari responden peternak melalui pengamatan langsung dan wawancara. Populasi sampel yang diambil adalah 10-15% dari jumlah populasi yang ditemui. Parameter yang diamati meliputi sifat kualitatif dan sifat kuantitatif ternak, dimana sifat kualitatif meliputi warna bulu, intensitas warna kerabang telur, warna shank, dan warna paruh, sedangkan sifat kuantitatif atau ukuran tubuh meliputi bobot badan, panjang paruh, lebar paruh, panjang betis, panjang paha, panjang shank, lingkar shank, lingkar dada, panjang jari ke-3, panjang punggung, panjang leher, panjang sayap, dan jarak tulang pubis. Data dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik ayam wareng memiliki paruh warna hitam, warnajengger merah, warna mata kuning, warna cuping merah, warna pial merah. Tingkat mortalitas relatif tinggi mencapai 10,53%, umur pertama bertelur bagi yaitu 148.130±13.07 hari dengan berat telur pertama yaitu 23.46±3.43 gram/butir, dan telur yang dihasilkan rata-rata 24 butir per periode bertelur, mempunyai bentuk jengger yang seragam yaitu semua berbentuk tunggal (single), bobot hidupnya ringan yaitu untuk ayam jantan dewasa berkisar 1,024-1,78 kg dan untuk betinanya memiliki bobot berkisar 0,742-1,128 kg; dagingnya berwarna putih, Penampilan ayam Wareng gesit dan agak liar. Kata kunci: karakterisasi, plasma nutfah, ayam wareng PENDAHULUAN Keanekaragaman Sumber Daya Genetik Ternak (SDGT) merupakan aset yang besar bagi negara Indonesia dan menjadi tugas nasional untuk menjaga dan melestarikannya serta upaya pengembangannya. Hal ini didasarkan antara lain bahwa SDGT memiliki keunggulan kompetitif dan mempunyai potensi beradaptasi pada keterbatasan lingkungan serta mempunyai laju reproduksi relatif lebih baik. Keunggulan SDGT lokal belum banyak terungkap sedangkan usaha pelestarian dan pemanfaatannya masih terbatas, disamping itu pencemaran beberapa SDGT cenderung untuk menyebabkan terjadinya kepunahan dan akhirnya hilangnya SDGT. Ancaman akan kepunahan SDGT semakin bertambah dengan kemajuan bioteknologi
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
35
sehingga dengan transfer gen dari jaringan tubuh sudah dapat dijadikan sumber gen bagi perkembangan genetik ternak. Di berbagai wilayah Indonesia terdapat beberapa rumpun atau galur ternak asli dan/atau lokal yang secara turun temurun dibudidayakan peternak. Rumpun atau galur ternak tersebut di antaranya hasil upaya pemerintah dan masyarakat serta dimanfaatkan secara berkelanjutan. Keragaman genetik ternak masih tetap dalam ancaman. Jumlah breed ternak yang dalam kondisi extinct (punah) sangatlah mengkhawatirkan, namun yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah banyaknya sumberdaya genetik yang tidak tercatat telah hilang sebelum sifat karakteristiknya sempat dipelajari dan dievaluasi potensi produksinya. Salah satunya adalah ayam wareng yang merupakan sumberdaya genetic yang berasal dari Provinsi Banten. Agar populasi ini tidak punah diperlukan upaya yang sangat kuat untuk, mengutamakan dan memahami sumberdaya genetik ternak (SDGT) tersebut. Ayam Wareng merupakan plama nutfah ayam local Indonesia yang masih perlu digali potensinya. Informasi atau studi tentang ayam Wareng masih sangat sedikit terutama mengenai potensi genetiknya. Informasi genetik diperlukan untuk mengetahui mutu genetic suatu ternak yang nantinya akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam seleksi maupun persilangan. Salah satu penelitian dasar untuk menggali informasi genetik diantaranya melalui pengamatan karakteristik genetik eksternal (sifat kualitatif). Karakteristik genetic eksternal yang dapat diamati antara lain warna bulu, pola bulu, corak bulu, kerlip buku, bentuk jengger dan warna shank (NISHIDA et al., 1980). Dengan mengetahui karakteristik genetik eksternal ayam Wareng dan ayam Kampung dapat diketahui secara jelas fenotipe ayam Wareng yang berbeda dengan ayam Kampung. Keaslian ayam Wareng dan ayam Kampung dapat diketahui dari frekuensi gen karakter genetic eksternalnya (NISHIDA et al., 1982), sehingga pemasukan gen (introgresi genetik) ayam ras unggul luar negeri juga dapat diketahui. SARTIKA dan ISKANDAR (2007) mengemukakan bahwa ayam Wareng mempunyai ukuran tubuh lebih kecil bila dibandingkan dengan ayam lokal lainnya tetapi lebih besar dari ayam Kate. Selanjutnya dikatakan bahwa ayam Wareng asli hanya terdiri atas tiga macam warna bulu yakni warna hitam, blorok/ blurik atau putih saja. Susanti et al. (2006) ayam Wareng ditemukan di daerah Tangerang dan Kabupaten Indramayu. Nama Wareng berarti ringan, jenis ayam ini masih langka dan
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
36
saat ini hanya dapat ditemukan di daerah Tangerang. Iskandar et al. (2006) menjelaskan bahwa ayam Wareng mempunyai sifat-sifat unggul diantaranya, produksi telurnya tinggi, konsumsi pakan rendah. Sulandari et al (2007b) ciri spesifik dari ayam Wareng adalah bobot hidupnya yang ringan yaitu untuk ayam jantan dewasa berkisar 1,024-1,78 kg dan untuk betinanya memiliki bobot berkisar 0,7421,128 kg; dagingnya berwarna putih, Jengger pada jantan berbentuk tunggal dan sebagian betina kepalanya berbulu mahkota. Penampilan ayam Wareng gesit dan agak liar. Ayam betina pertama kali bertelur pada umur 6 bulan dan usia produktifnya sampai berumur 1,5 tahun, telur yang dihasilkan rata-rata 24 butir per periode bertelur. METODOLOGI Penelitian dilakukan di Kabupaten Tangerang pada tahun 2014. Penelitian menggunakan metode survey, dimana data primer diperoleh dari responden peternak melalui pengamatan langsung, dan wawancara berdasarkan daftar pertanyaan yang telah disediakan. Data sekunder diperoleh dari kelompok ternak dan instansi terkait melalui berbagai laporan yang telah dipublikasi. Populasi sampel yang diambil adalah 10–15% dari jumlah populasi dengan melihat ternak yang masih murni atau belum tercampur dengan ternak lain dari daerah lain. Peubah yang diamati meliputi sifat kualitatif dan sifat kuantitatif ternak, dimana sifat kualitatif meliputi warna bulu, intensitas warna kerabang telur, warna shank, dan warna paruh, sedangkan sifat kuantitatif atau ukuran tubuh meliputi bobot badan, panjang paruh, lebar paruh, panjang betis, panjang paha, panjang shank, lingkar shank, lingkar dada, panjang jari ke-3, panjang punggung, panjang leher, panjang sayap, dan jarak tulang pubis. Data dianalisis secara deskriptif, meliputi nilai rataan (Mean), nilai tengah (Me), modus (Mo), simpangan baku, koefisien variasi, dan persentase sifat kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Ayam Wareng merupakan jenis ayam lokal yang tersebar di wilayah Kabupaten Tangerang dan sudah ditetapkan melalui SK Bupati Tangerang No. 522.51/SK.21-LH/1995 sebagai ayam asli Kabupaten Tangerang. Berdasarkan sejarahnya, Ayam Wareng merupakan jenis ayam hasil perkawinan generasi ketiga antara ayam Rusia dengan ayam buras local Tangerang. Ayam ini mulai ditemukan pada awal tahun 1980-an dan diperkirakan populasi di tahun 1993 mencapai 300 ekor
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
37
yang tersebar di beberapa wilayah Kabupaten Tangerang seperti Cikupa, Legok, Balaraja,
Curug,
Pondok
aren,
Ciputat,
Tigaraksa
dan
lainnya.
Dalam
perkembangannya, populasi Ayam Wareng semakin menyusut setaip tahunnya. Selain itu sifat yang agak liar, mortalitas yang tinggi, memerlukan pemeliharaan yang intensif
dan
kemampuan
modal
yang
rendah
menjadi
kendala
dalam
pengembangannya (Dinas Pertanian dan Peternakan, 2005). Menurut Iskandar et al, (2006), secara kualitatif ayam Wareng jantan dewasa memiliki warna jengger merah (100%) dengan bentuk tunggal (single, 100%), paruh berwarna putih (62%) dan kuning (26%), warna shank putih (47%) dan kuning (40%), warna cuping didominasi warna merah (98%) dan kulit berwarna putih (98%). Karakter warna bulu ayam Wareng jantan dewasa didominasi oleh warna putih meliputi bulu leher (91%), punggung (89%), dada (93%), sayap luar (93%), sayap dalam (87%), ekor (87%) dan paha (91%). Sedangkan Ayam Wareng betina memiliki warna jengger merah (98%) berbentuk tunggal (100%), paruh berwarna putih (53%) dan kuning (38%), shank berwarna putih (58%) dan kuning (24%), cuping berwarna merah (90%) dan kulit berwarna putih (98%). Warna bulu didominasi oleh warna putih meliputi bulu leher (80%), punggung (78%), dada (80%), sayap luar (78%), sayap dalam (80%), ekor (70%) dan paha (78%). Berdasarkan hasil penelitian, tingkat mortalitas relative tinggi mencapai 10,53%, umur pertama bertelur bagi ayam Wareng yaitu 148.130±13.07 hari dengan berat telur pertama yaitu 23.46±3.43 gram/butir. Berikut beberapa parameter hasil pengukuran Ayam Wareng (Tabel 1). Tabel 1. Bobot badan dan ukuran-ukuran bagian tubuh ayam Wareng jantan dan betina dewasa Peubah Bobot badan (gram) Panjang shank (cm) Lingkar shank (cm) Panjang tibia (cm) Panjang femur (cm) Panjang dada (cm) Lingkar dada (cm) Panjang punggung (cm) Panjang sayap (cm) Panjang leher (cm) Panjang paruh (cm) Lebar kepala (cm) Bentuk jengger Panjang kepala (cm)
Jantan dewasa 1007.6±136.0 7.8±1.4 3.7±0.5 11.7±0.7 9.7±1.1 13.7±2.1 25.1±2.2 15.5±1.7 17.1±1.6 10.8±1.2 3.1±0.2 3.3±0.7 Single 6.8±1.9
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
Betina dewasa 841.1±122.3 6.9±0.5 3.1±0.3 10.1±0.6 7.7±0.9 12.1±1.8 23.5±1.9 13.4±1.0 14.1±1.1 18.9±1.4 3.1±0.4 3.5±0.8 Single 6.4±0.5
38
Hasil survey menemukan wilayah penyebaran ayam wareng yaitu sekitar Kabupaten Tangerang seperti Kecamatan Cikupa, Legok, Balaraja, Curug, Pondok Aren, Ciputat dan Tigaraksa. Namun demikian populasi yang dimiliki serta cirri khusus untuk masing-masing daerah tidak sama, hal ini diduga telah terjadi perkawinan yang tidak terkontrol sehingga potensi genetiknya semakin punah. Dari Hasil wawaancara menunjukkan bahwa tidak banyak peternak yang paham akan keberadaan ayam wareng tersebut, mereka menganggapnya sama seperti ayam biasa sehingga tanpa disadari lama kelamaan plasma nutfah ayam wareng semakin lama semakin tidak diketahui keberadaannya. Menurut Susanti et al. (2006) ayam Wareng ditemukan di daerah Tangerang dan Kabupaten Indramayu. Nama Wareng berarti ringan, boleh dikatakan jenis ayam ini masih
langka dan saat ini hanya dapat
ditemukan di daerah Tangerang Iskandar et al. (2006) menjelaskan Ayam Wareng memiliki keunggulan sebagai berikut : 1) bentuk badannya kecil, 2) produksi telurnya tinggi, 3) konsumsi pakan rendah, 4) ayam betina tidak mau mengerami telurnya 5) telur berwarna putih mulus dengan kerabang tipis dan pori-pori yang halus. Selanjutnya Sulandariet al (2007b) mengemukakan bahwa ciri spesifik dari ayam Wareng adalah bobot hidupnya yang ringan yaitu untuk ayam jantan dewasa berkisar 1,024-1,78 kg dan untuk betinanya memiliki bobot berkisar 0,742-1,128 kg; dagingnya berwarna putih, Jengger pada jantan berbentuk tunggal dan sebagian betina kepalanya berbulu mahkota. Penampilan ayam Wareng gesit dan agak liar. Ayam betina pertama kali bertelur pada umur 6 bulan sampai ayam berumur 1,5 tahun, dan telur yang dihasilkan rata-rata 24 butir per periode bertelur. Tabel 2. Sifat kualitatif ayam Wareng Tangerang bagian kepala NO
Sifat Kualitatif (Peubah yang Diamati)
N
Jantan (♂)
Betina (♀)
Jumlah (Ekor)
Frekuensi Relatif (%) 100
1
Warna Paruh Hitam
6
3
3
6
2
Bentuk Jengger Single Rose
6
21
3
5
3
Warna Jengger Merah
6
3
3
6
83.3316.66 100
4
Warna Mata Kuning
6
3
3
6
100
5
Warna Cuping Merah
6
3
3
6
100
6
Warna Pial Merah
6
3
3
6
100
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
39
Tabel 3. Karakteristik warna dan pola warna, corak dan kerlip bulu ayam wareng Karakteristik Warna Bulu : Putih Hitam Abu-abu Coklat Pola Warna Bulu : Polos Liar Kolumbian Corak Bulu : Lurik Polos Kerlip Bulu : Perak Emas Warna Shank Putih/kuning Hitam/abu-abu Shank berbulu Shank tidak berbulu
Jumlah Ekor
Persentase (%)
62 45 31 12
66 30 21 8
97 53 -
65 35 -
112 38
75 25
133 17
89 11
47 72 11 20
31 48 7 13
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ayam Wareng memiliki shank yang berbulu sebanyak 11 ekor dari 150 ekor ayam Wareng yang diamati atau sebesar 7 %. SOMES (1990), menyatakan bahwa shank berbulu hanya dimiliki oleh bangsa ayam Asia. Berdasarkan hal tersebut, diduga bahwa ayam Wareng dipengaruhi oleh bangsa ayam Asia. Ayam Wareng mempunyai bentuk jengger yang seragam yaitu semua berbentuk tunggal (single) dengan persentase fenotipe sebesar 100%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Susanti et al. (2006), bahwa ayam Wareng baik jantan maupun betina memiliki bentuk jengger tunggal dengan persentase mencapai 100%. Ayam Wareng yang diamati memiliki bulu kepala bermahkota. Menurut Iskandar et al. (2006), salah satu ciri yang dimiliki oleh ayam Wareng dari Tangerang adalah memiliki bulu kepala bermahkota. Ayam Kampung yang diamati memiliki bentuk jengger tunggal dan kapri serta tidak ditemukan bulu kepala bermahkota.
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
40
Tabel 4. Pengukuran Ayam Wareng Jantan dan Betina Umur 6 bulan sebanyak 20 Ekor. Jenis Kelamin 1 Betina 2 Betina 3 Betina 4 Betina 5 Betina 6 Betina 7 Betina 8 Betina 9 Betina 10 Betina 11 Betina 12 Betina 13 Betina 14 Betina 15 Betina 16 Jantan 17 Jantan 18 Jantan 19 Jantan 20 Jantan Rata-rata Betina Rata-rata Jantan
No
BB (kg) 1.02 1.06 1.05 1.1 0.92 1.2 1.14 1.2 1 1.29 1.33 1.22 1.09 0.98 1.2 1.22 1.46 1.28 1.31 1.28 1.12 1.31
PP (cm) 2.1 3 2.5 2.7 2.1 2.1 2.2 2 2.1 2.1 2.2 2.4 2 2.3 2.3 2.1 2.8 2.5 3 2.6 2.27 2.6
LP (cm) 0.43 0.66 0.64 0.65 0.51 0.54 0.5 0.5 0.49 0.64 0.62 0.64 0.55 0.47 0.61 0.66 0.65 0.65 0.67 0.66 0.56 0.658
PL (cm) 12.1 12 12 13.7 12.6 13.6 14 13.5 12.9 13.1 14.1 13.7 13 13 13.2 14.6 15.2 13.8 15.1 14 13.10 14.54
PJ (cm) 2 2.2 2 2.2 2 3 2.4 2.3 2.3 2.1 2.6 2.6 2.2 2.5 2.3 3.1 3.2 3.2 3.1 3.1 2.31 3.14
TJ (cm) 0.6 0.5 0.8 0.6 0.5 0.6 0.6 0.5 0.5 0.8 0.6 0.6 0.7 0.6 0.6 1 1.2 1.3 1.1 1 0.61 1.12
PP2 (cm) 16.6 16 15.5 15.7 15.2 15.6 15.6 15.6 15.4 15.7 16 15.8 15.5 15.6 16.1 16.6 17 15.8 16 16 15.73 16.28
LD (cm) 4.1 4.1 4.1 4.2 4 4.5 4.5 4.4 4.1 4.5 4.5 4.3 4.1 4.2 4.5 4.5 5 4.6 4.6 4.3 4.27 4.6
LD2 (cm) 24.4 24.5 25 25 24.6 25.8 26 26.4 25.1 25.8 30.8 26.2 25.4 24.6 25.5 26.7 31.1 29.3 26.8 25.7 25.67 27.92
PS (cm) 14.8 15.1 15.3 16 15 14.5 15.8 16.3 15.3 16 16 16.4 15.8 14.5 15.6 16.4 17 16.5 16.1 16.2 15.49 16.44
PP3 (cm) 21.7 22.4 23.7 23 22.7 21.5 21.4 21.7 22 22.8 21.7 23.4 22.8 21.5 21.5 22.8 23.5 21.5 22.6 23.5 22.25 22.78
PS2 (cm) 7 7.4 7.3 7 7.2 7.6 7.5 7.4 7.2 7.5 7.3 7.4 7.3 7.2 7.4 7.8 7.6 7.4 7.5 8 7.31 7.66
LS (cm)
PJK3 cm)
3.7 3.8 4.1 4.3 3.8 4.3 4.2 3.9 4 4 4.6 4.5 4.1 3.7 3.8 4.5 4.5 4.1 4.5 4.4 4.05 4.4
5.1 4.8 5.2 5.2 4.5 5.5 5.3 5.6 5.3 5.2 5.3 4.8 5 4.8 4.8 5.4 5.5 5.3 4.6 5 5.09 5.16
Keterangan : BB= Bobotbadan| PP= PanjangParuh| LP= LebarParuh| PL= PanjangLeher| PP2= PanjangPunggung| LD= Lebar Dada| LD2= Lingkar Dada| PS= PanjangSayap| PBE= PanjangBuluEkor| PP3= Panjangpaha| PS2= Panjang Shank| LS= Lingkar Shank
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
41
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Sumberdaya Genetik Ternak yang ada di Provinsi Banten merupakan sumberdaya plasma nutfah yang memiliki nilai potensi ekonomis yang dapat dikembangkan dengan baik. 2. Keberadaan SDGT lokal Provinsi Banten Ayam Wareng tidak diketahui oleh sebagian besar peternak. Sehingga perkawinan ternak berlangsung secara tidak terkontrol. Dan diduga telah terjadi penurunan potensi genetik, akibat perkawinan tersebut.
Saran Pemeliharaan plasma nutfah dalam rangka pelestarian plasma nutfah yang dimiliki harus lebih serius dan harus mendapat perhatian dari pemerintah dan institusi terkait agar keberadaannya tidak punah atau bahkan hilang dan berpindah ke Negara lain.
DAFTAR PUSTAKA Dwiyanto, K. dan B. Setiadi. 2003. Peran Komisi Plasma Nutfah dalam Pengelolaan Sumber Daya Genetik Pertanian. Makalah disampaikan pada Apresiasi Pengelolaan Plasma Nutfah, Bogor, 23-27 Juni 2003. Komisi Nasional Plasma Nutfah-Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Iskandar, S., T. Susanti dan S. Sopiyana. 2006. Pengaruh Pakan Bebas Pilih pada Masa Grower-Developer terhadap Kinerja Peneluran Dini Ayam WarengTangerang. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.Bogor, 5 - 6 September 2006. Puslitbangnak, Bogor.hlm: 629-634. Nishida, T., K. Nozawa, K. Kondo, S.S. Mansjoer And H.Martojo. 1980. Morphological and genetical studies in the Indonesian native fowl. The Origin and Phylogeny of Indonesian Native Livestock. Vol 1. pp. 47-70. Nishida, T., K. Nozawa, Y. Hayashi, T. Hashiguchi And S.S. Mansjoer. 1982. Body measurement and analysis of external genetic characters of Indonesian native fowl. The Origin and phylogeny of Indonesian Native Livestock. Vol 3. pp. 73-83. Sartika, T. dan S. Iskandar. 2007. Mengenal Plasma Nutfah Ayam Indonesia dan Pemanfaatannya. Buku. Edisi pertama. Balai Penelitian Ternak, Bogor. Sulandari., S., M.S.A. Zein, S. Paryanti dan T. Sartika. 2007a. Taksonomi dan asal usul ayam domestikasi. Dalam: DIWYANTO, K dan S.N PRIJONO (Edt.). Keanekaragaman sumber daya hayati ayam local Indonesia: Manfaat dan potensi. LIPI Press. hlm. 7-24.
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
42
POTENSI LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN KOMODITAS PADI SAWAH DI KABUPATEN SERANG PROVINSI BANTEN Rina Sinta Wati dan Ivan Mambaul Munir Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten Jl. Raya Ciptayasa KM.01-Ciruas, Serang
ABSTRAK Pengembangan pertanian yang produktif dan lestari memerlukan ketersediaan informasi sumberdaya lahan yang handal, mutakhir, mudah ditampilkan dan diakses. Penelitian ini menggunaka metode deskriptif yaitu berdasarkan pada kegiatan desk study dan survei. Hasil peneltian yaitu menunjukkan bahwa lahan yang termasuk sesuai (S) mencakup luas 93.693 ha (64,91%) terdiri dari lahan cukup sesuai (S2) seluas 70.305 ha (48,71%) dan sesuai marginal (S3) seluas 23.388 ha (16,20%), dengan faktor pembatas utama media perakaran (drainase terhambat), retensi hara (kesuburan lahan), bahaya sulfidik (sulfat masam). Kata Kunci: potensi, lahan, padi
PENDAHULUAN Lahan merupakan suatu lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, topografi, tanah, hidrologi, dan vegetasi di mana pada batas-batas tertentu mempengaruhi kemampuan penggunaan lahan (FAO,1976). Setiap tanah mempunyai sifat dan keterbatasan masing-masing yang akan menentukan kapabilitas atau kemampuannya, sehingga untuk mengembangkannya diperlukan suatu tindakan khusus yang berbedabeda untuk tiap-tiap jenis tanah (Hutasoit, 2011). Pengembangan pertanian yang produktif dan lestari memerlukan ketersediaan informasi sumberdaya lahan yang handal, mutakhir, mudah ditampilkan dan diakses. Berkaitan dengan pengembangan pertanian tersebut, data sumberdaya lahan sebagai modal dasar dalam perencanaan fisik pembangunan daerah memegang peranan yang penting, karena tersedianya data tersebut akan dapat dihindari adanya tumpang tindih dan konflik kepentingan penggunaan lahan. Banten
memiliki
sumberdaya
lahan
yang
cukup
potensial
untuk
pengembangan pertanian secara umum khususnya komoditas padi. Padi termasuk komoditas strategis Nasional dan andalan Provinsi Banten. Dari tanaman padi dihasilkan berbagai produk, yang utama beras sebagai bahan pangan pokok orang Indonesia dan berperan menopang perekonomian masyarakat dan Bangsa. Untuk
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
43
wilayah Provinsi Banten Luas area panen padi sebesar 362.636 ha, dengan produksi 1.865.896 ha. dan produktivitas 51,45 ku/ha. Salah satu sentra produksi padi berada di Kabupaten Serang, dengan luas areal panen padi sebesar 75.152 ha dan produksi 396.897 ton (BPS, 2013). Faktor lahan mempunyai andil yang cukup besar dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sehingga untuk mengoptimalkan kemampuan penggunaan lahan agar dapat dimanfaatkan secara terarah dan efisien diperlukan tersedianya data dan informasi yang lengkap mengenai keadaan iklim, tanah, dan sifat lingkungan fisik lainnya, serta persyaratan tumbuh tanaman yang akan diusahakan, terutama tanaman yang mempunyai peluang pasar dan arti ekonomi cukup baik. Pada saat ini pemerintah telah melakukan upaya-upaya khusus untuk meningkatkan produksi di 7 komoditas utama diantaranya padi, diantaranya melalui intensifikasi dan ektensifikasi lahan, sehingga tercapai tujuan swasembada. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui potensi lahan untuk pengembangan padi sawah berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan, sehingga dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lahan untuk pengembangan pertanian dan meningkatkan produksi dan produktivitas komoditas padi.
METODOLOGI Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode ini berdasarkan pada kegiatan desk study dan survei. Prinsip metode tersebut didasarkan pada pendekatan landscape mapping yaitu mendelineasi satuan lahan (landform) dan hasil interpretasi foto udara atau citra satelit. Lokasi dan Bahan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Serang, Provinsi Banten pada tahun 2013. Bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi Citra Landsat TM7, Petatopografi/petarupabumi Indonesia skala 1:25.000, peta ZAE skala 250.000, peta kontur digital, SRTM 30m, dan peta geologi, Seperangkat computer hard ware dansoft ware (Sistem operasi Windows, ArcView/Arc GIS, Globbal Mapper, SAGA), serta peralatan lapang untuk observasi dan verifikasi lapang.
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
44
Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan kegiatan penelitian, pertama adalah melakukan kegiatan desk work dengan memanfaatkan semua data yang tersedia secara manual dan atau komputerisasi dengan software Arc View/Arc GIS. Tahapan penelitian, meliputi : (1) Tahap persiapan dan identifikasi lahan Data yang telah terkumpul selanjutnya di susun untuk selanjutnya dilakukan analisis. Pada tahap awal dengan melakukan klasifikasi lereng dari citra landsat TM7dengan program SAGA untuk mengidentifikasi dan mendeliniasi lereng berdasarkan pengelompokkan kelas lereng (Juknis AEZ, 2013). Analisis landform dilakukan
untuk
membuat
peta
kerja
sebagai
awal
dalam
melakukan
verifikasi/pengecekan lapang. Pengelompokan landform mengacu pada klasifikasi Landform (Juknis AEZ, 2013). Landform sangat erat kaitannya dengan keadaan geologi, litologi, iklim, dan relief, yang mempengaruhi sifat-sifat tanah. (2) Tahap pengumpulan data di lapangan dan analisis data Kegiatan pengecekan lapang dilakukan dengan mengumpulkan data morfologi lahan melalui deskripsi tanah di lapang yang mengacu pada Guideline for Soil Profile Description (FAO, 1990). Satuan lahan mempunyai hubungan yang erat dengan sifatsifat tanah, sehingga digunakan sebagai dasar dalam membedakan satuan peta lahan. Klasifikasi tanah mengacu pada System Taxonomy Tanah (Soil Survey Staff, 2010). Klasifikasi dilakukan sampai pada tingkat Sub gruf. (3) Tahap Evaluasi Kesesuaian Lahan. Penilaian tingkat kelas kesesuaian lahan dilakukan secara komputerisasi dengan menggunakan program (software) Sistem Penilaian Kesesuaian Lahan (SPKL) edisi 2 (Saefoel Bachri, Anny Mulyani, Rofik dan Hapid H, 2014), pada prinsipnya dilakukan dengan cara “matching”, yaitu dengan cara membandingkan antara sifat dan karakteristik tanah dengan persyaratan tumbuh tanaman. Metode penilaian kesesuaian lahan mengacu pada Petunjuk Teknis Penilaian Kesesuaian lahan Untuk Komoditas Pertanian (Pusat Penelitian Tanah, 2003).
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
45
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Wilayah Kegiatan penelitian dilaksanakan di Kabupaten Serang yang merupakan salah 1 (satu) dari 8 (delapan) Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, dengan luas wilayah sekitar 1.467,35 Km2. Wilayah Kabupaten Serang secara geografis berada pada koordinat 05o50’00” - 06o20’00” lintang Selatan dan 105o00’00” - 106o22’00’ bujur timur (BPS, 2014). Iklim Curah hujan merupakan unsur iklim yang besar pengaruhnya terhadap budidaya tanaman di daerah trofis terutama pada lahan kering dan tadah hujan. Dalam hal ini curah hujan sangat menetukan pola dan intensitas tanaman yang dicirikan oleh musim tanam (Growing season) suatu lahan. Berdasarkan data curah hujan dari selama 10 tahun terakhir (2005-2014), dapat diketahui bahwa rata-rata curah hujan tahunan sebesar 1.886 mm/tahun. Menurut Schmidt dan Ferguson (1952) wilayah kabupaten ini termasuk tipe iklim B (basah), yaitu wilayah dengan nilai rasio Q = 0,143-0,333 yaitu perbandingan jumlah bulan kering (<60 mm/bl) terhadap jumlah bulan basah (>100 mm/bl). Menurut Oldeman dan Darmiyati (1977) wilayah kabupaten ini termasuk zone agroklimat E yang dicirikan oleh jumlah bulan basah (> 200 mm/bulan) berturut-turut selama lebih 2 bulan dan bulan kering (< 100 mm/bulan) 2 bulan. Daerah ini umumnya terlalu kering, mungkin hanya dapat satu kali palawija, itupun tergantung adanya hujan. Menurut Oldeman et al., (1978) bahwa curah hujan 200 mm/bulan atau lebih, dapat ditanami padi sawah, dan palawija dapat diusahakan pada curah hujan 100 mm/bulan atau lebih. Topografi dan Landform Kabupaten Serang mempunyai kondisi tofografi (bentuk wilayah) pada umumnya tergolong pada kelas topografi lahan dataran dan bergelombang dengan ketinggian antara 0-1.778 m dpl. Pada umumnya wilayah Kabupaten Serang (> 97,5%) berada pada ketinggian kurang dari 500 m dpl. Ketinggian 0 m dpl membentang dari Kecamatan Tirtayasa sampai Kecamatan Cinangka di pantai barat selat Sunda dan ketinggian 1.778 m dpl terdapat di puncak Gunung Karang yang terletak di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pandeglang.
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
46
Berdasarkan
hasil
analisis
data
citra
penginderaan
jauh,
formasi
geologi/batuan, dan pengamatan di lapangan, wilayah kabupaten Serang dapat dibedakan menjadi 4 grup landform (bentang lahan), yaitu Grup Aluvia (A)l, Grup Marin (M), Grup Fluvio marine (B), dan
Grup
Volkanik. Grup Volkanik/V
merupakan landform yang mendominasi di Kabupaten Serang sekitar 71,64%. Bentuk Wilayah Bentuk wilayah di kabupaten ini cukup bervariasi mulai dari datar sampai bergunung. Wilayah dengan lereng <15% yang mencakup luas 94.274 ha (27,28%), lereng 15-40% mencakup 27.938 ha (19,35%), sedangkan wilayah berlereng di atas 40% sekitar 19.603 ha (13,58%). Untuk pengembangan pertanian tanaman pangan dapat diarahkan pada wilayah berlereng <15%, sedangkan untuk tanaman tahunan/perkebunan diarahkan pada lahan berlereng 15-40%, dengan memperhatikan sifat-sifat tanahnya.
Keadaan Tanah Proses pembentukan tanah sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim, bahan induk, topografi, vegetasi (organisme) dan waktu. Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan dan didukung data hasil penelitian terdahulu, tanah yang dijumpai di wilayah kabupaten ini berkembang dari berbagai macam bahan induk yaitu batupasir, batuliat, napal, batuan volkan andesit-basalt dan endapan aluvium dan koluvium. Hasil identifikasi tanah berdasarkan sistem taxonomi tanah (Soil Survey Staff, 2010, tanah yang dijumpai di daerah ini terdiri dari 10 grup tanah dari 5 Ordo (Entisols, Inceptisols, Andisols, Alfisols, Ultisols dan Oxisols). Sub grup ordo Entisols (Typic Endoaquents dan Typic Udipsamments), Inceptisols (Typic Epiaquepts, Sulfic Endoaquepts, Vertic Endoaquepts, Typic Endoaquepts, Aquic Eutrudepts, Andic Eutrudepts, dan Typic Dystrudepts). Sub grup ordo Andisols (Typic Hapludands dan Ultic Hapludands), Alfisols (Typic Hapludalfs), Ultisols (Typic Hapludults) dan sub grup ordo Oxisols adalah Typic Eutrudoxs.
Potensi Lahan untuk Komoditas Padi Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Tingkat kesesuaian lahan dikelompokan mejadi 4 kelas yaitu Sangat Sesuai (S1), Cukup Sesuai (S2), Sesuai Marginal (S3) dan Tidak Sesuai (N),
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
47
selanjutnya dibedakan berdasarkan faktor pembatas yang paling menjatuhkan menjadi subkelas kesesuaian lahan. Hasil penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah (Tabel 1) menunjukkan bahwa Untuk lahan yang termasuk sesuai (S) mencakup luas 93.693 ha (64,91%) dan lahan tidak sesuai (N) seluas 49.815 ha (34,52%). Lahan yang sesuai (S) terdiri dari lahan cukup sesuai (S2) seluas 70.305 ha (48,71%)
dan sesuai
marginal (S3) seluas 23.388 ha (16,20%). Tabel 1. Kelas kesesuaian lahan komoditas padi di Kabupaten Serang Faktor pembatas
Kelas/Subkelas
Luas Ha
%
CUKUP SESUAI S2nr
Retensi hara
12.343
8,55
S2rc,nr
Media perakaran dan retensi hara
25.169
17,44
S2rc,eh
Media perakaran dan bahaya erosi lereng >8% Media perakaran/Retensi hara
23.688
16,41
9.105
6,31
23.388
16,2
8.295
5,75
14.542
10,08
6.814
4,72
562
0,39
19.602
13,58
818
0,57
144.325
100
S2rc/S2nr
SESUAI MARGINAL/CUKUP SESUAI S3xs/S2nr
Bahaya sulfidik/Retensi hara
TIDAK SESUAI/CUKUP SESUAI Neh/S2nr
Bahaya erosi (lereng >15%)/retensi hara
TIDAK SESUAI/SESUAI MARGINAL Neh/S3eh,lp TIDAK SESUAI
Bahaya erosi (lereng >15%) dan penyiapan lahan
Neh
Bahaya erosi (lereng >15%)
Nrc
Media perakaran
Neh,lp
Bahaya erosi (lereng >15%) dan penyiapan lahan
Bentuk lahan lain X.3
Badan air (Sungai dan danau) Luas total
Faktor penghambatnya yang utama adalah rendahnya kesuburan tanah, erosi berat, berlereng (>15%), berkerikil dan bersolum dangkal, drainase terhambat, sangat cepat atau cepat, dan rendahnya ketersediaan air. Lahan-lahan yang tidak sesuai (N)
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
48
sebaiknya tidak dikembangkan karena akan merugikan dan merusak kelestarian lingkungan sehingga akan mengganggu keseimbangan ekosistem. Apabila sebagian lahan-lahan tersebut masih dapat digunakan untuk pengembangan komoditas maka perlu mempertimbangkan kondisi lahan, teknik pengelolaan lahan, teknik pengaturan tata air, kesesuaian ekologis dan sistem konservasi tanah dan air.
Gambar 1. Peta kelas Kesesuaian Lahan Padi di Kabupaten Serang
KESIMPULAN
1.
Luas daerah survei penelitian yang dipetakan di Kabupaten Serang sekitar 144.325 ha, meliputi 28 kecamatan, yang didominasi grup Volkanik sebesar 71,64%. Secara fisiografik daerah survei terbagi kedalam 4 grup fisiografi, yaitu : grup Aluvial/A, grup Marin/M, grup fluvio-marine, dan grup Volkan/V. Pengembangan pertanian tanaman pangan (padi, palawija, dll) dapat diarahkan pada wilayah berlereng <15% mencakup luas 94.274 ha (27,28%).
2.
Evaluasi kesesuaian lahan komoditas padi sawah menunjukkan bahwa lahan yang termasuk sesuai (S) mencakup luas 93.693 ha (64,91%) terdiri dari lahan cukup sesuai (S2) seluas 70.305 ha (48,71%) dan sesuai marginal (S3) seluas 23.388 ha
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
49
(16,20%), dengan faktor pembatas utama media perakaran (drainase terhambat), retensi hara (kesuburan lahan), bahaya sulfidik (sulfat masam). 3.
Upaya perbaikan terhadap faktor pembatas dari lahan aktual untuk menjadi lahan potensial dapat dilakukan diantaranya : media perakaran (drainase) dengan perbaikan sistem drainase, seperti pembuatan saluran drainase/saluran; retensi hara dengan pengapuran atau penambahan bahan organik; bahaya sulfidik dengan pengaturan sistem tata air tanah, tinggi permukaan air tanah harus diatas lapisan bahan sulfidik.
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. 2013. Provinsi Banten dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. 2013. Petunjuk Teknis Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan AEZ Pada Skala 1:50.000. Dalam rangka Pendampingan Litkaji Pemetaan Sumberdaya Lahan. BBSDLP. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. Bogor. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. 2012. Sistem Penilaian Kesesuaian Lahan (SPKL) version 1.0. BBSDLP. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. Bogor. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. 2011. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan Untuk Komoditas Pertanian. BBSDLP. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. Bogor. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2003. Petunjuk Teknis Penelitian dan Pengkajian Nasional Sumberdaya Lahan. Bogor. FAO, 1976. Report on the Agro-Ecological Zones Project. Volume I. Methodology and Results for Africa. World Soil Resources Report 48. Rome. Rina SW, Mulyaqin T, Munir I.M, Wahyu, A, D, Subardja, Wahdini W, Gunawan, W. 2013. Laporan Akhir Pengkajian Karakterisasi dan Evaluasi Sumberdaya Lahan Pertanian di Provinsi Banten. Badan Litbang Pertanian. BPTP Banten. Soil survey laboratory staff. 1991. Soil Survey Laboratory Methods Manual. ScsUSDA. October 1991. 611p. Soil survey laboratory staff. 1998. Keys to Soil Taxonomy, 8th edition. USDA Natural Resources Conservation Service. Washington, DC.
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
50
PENGKAJIAN TEKNOLOGI FEROMON SEKS SEBAGAI PEMANTAU POPULASI HAMA ULAT (Spodoptera exiqua) PADA TANAMAN BAWANG MERAH DI PROVINSI BANTEN Ahmad Fauzan dan Dewi Widyastuti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten Email :
[email protected]
ABSTRAK Hama ulat bawang, Spodoptera exiqua merupakan salah satu faktor pembatas dalam budidaya bawang merah. Untuk mengetahui suatu wilayah terindikasi serangan hama ulat bawang dapat digunakan perangkap Feromon Exi. Imago yang tertangkap lebih dari 10 ekor/perangkap/hari hama ulat sudah diatas nilai ambang kendali. Pengkajian dilaksanakan di Kabupaten Serang, Pandeglang dan Tangerang pada bulan Februari sampai April 2014. Luas lahan pada masing-masing lokasi pengkajian 1 ha, pada 2 HST dipasang perangkap Feromon Exi sebanyak 20 buah. Peubah yang diamati adalah populasi imago ulat bawang yang tertangkap pada umur 7, 14, 21, 28, 35, 42, 49 HST dan hasil panen bawang merah. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa jumlah imago yang tertangkap di Kab. Serang berkisar 17-21 ekor, Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Pandeglang berkisar 2-3 ekor. Jumlah popolasi imago yang tertangkap ini menunjukkan bahwa di Kabupaten Serang hama ulat bawang pada musim tanam Februari – April sudah berada diatas nilai ambang ekonomi sedangkan di Kabupaten Pandeglang dan Tangerang hama ulat berada dibawah nilai ambang ekonomis. Hasil panen bawang merah di Kabupaten Serang 8 t/ha, Kabupaten Pandeglang 11 t/ha, dan Kabupaten Tangerang 12 t/ha. Kata Kunci : feromon exi, pemantau, ulat, bawang
PENDAHULUAN Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan banyak diusahakan oleh petani di dataran rendah. Salah satu kendala dalam budidaya bawang merah ialah serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) yang sangat merugikan.
Menurut Moekasan et al., (2012), ulat
bawang (Spodoptera exiqua) merupakan OPT utama pada tanaman bawang merah yang menyerang sepanjang tahun, baik musim kemarau maupun musim hujan. Menurut Udiarto et al. (2005), kehilangan hasil yang disebabkan oleh serangan OPT pada tanaman bawang merah berkisar antara 20-100% dengan potensi kerugian secara ekonomi mencapai 138,4 milyar rupiah per tahun. Moekasan et al., (2005)
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
51
melaporkan, hama utama dalam budidaya bawang merah adalah
ulat bawang
(Spodoptera exiqua), dimana kehilangan hasil panen akibat serangan dapat mencapai 100% jika tidak dilakukan upaya pengendalian karena hama ini bersifat polifag. Hasil pengkajian Thamrin et. al., (2003) di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa S. exiqua merupakan hama dominan pada pertanaman bawang merah. Selanjutnya Resmayeti et al., (2013) melaporkan bahwa produksi bawang merah pertanaman di luar musim (off season)
di Kabupaten Serang menurun sampai 50% akibat diserang hama ulat
bawang, penanaman pada periode Januari-April, bahkan sampai petani gagal panen. Ulat bawang sebagai OPT utama tanaman bawang merah dapat menyerang sepanjang tahun, baik musim kemarau maupun musim hujan. Jika tidak dikendalikan, serangan hama tersebut dapat menyebabkan kegagalan panen. S. exiqua mulai menyerang tanaman bawang merah sejak umur 3-7 MST, tingkat serangan minggu ketiga sampai dengan keenam relatif rendah atau dibawah ambang kendalai yaitu 10%, sedangkan serangan tertinggi terjadi pada umur 7 MST (Putrasamedja et al., 2012). Untuk pengembangan komoditas bawang merah pada suatu wilayah perlu dilakukan pemantauan, apakah daerah tersebut endemik atau bebas dari hama ulat bawang. Terobosan inovasi teknologi yang telah dihasilkan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BBBiogen) adalah Feromon Exi. Feromon Exi bermanfaat sebagai pemantau keberadaan hama ulat bawang dan sebagai pengendalian hama ulat bawang. Bila hasil pematauan menunjukkan jumlah imago yang tertangkap rata-rata lebih besar dari 10 ekor/perangkap/hari, maka daerah tersebut endemik hama ulat bawang dan tidak layak dilakukan budidaya bawang merah karena akan rugi (Haryati dan Nurawan, 2009; Samudera, 2006). Berdasarkan manfaat teknologi feromon seks tersebut maka dilakukan kajian penggunaan perangkap feromon exi sebagai pemantauaan hama ulat, Spodoptera exiqua pada tanaman bawang merah di Kabupaten Serang, Pandeglang dan Tangerang.
METODOLOGI Pengkajian dilakukan pada lahan petani di Kecamatan Kramatwatu, Kabupaten Serang; Desa Mekarsari, Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang dan Kecamatan Gunung Kaler, Kabupaten Tangerang masing-masing seluas 1 ha.
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
52
Waktu pengkajian dilaksanakan pada bulan Februari – April 2014. Pada hari ke-2 setelah tanam dipasang 20 perangkap Feromon Exi/ha. Varietas bawang merah yang digunakan adalah Bima. Pupuk dasar yang digunakan adalah Petroganik; 600 kg, SP36 200 kg, Pupuk kandang 2000-3000 kg, NPK Phonska 300 kg/ha, Urea 200 kg/ha. Bibit yang ditanam sebelumnya dirompes (pemotongan 1/3 bagian umbi) agar proses penumbuhan bawang secepatnya di lahan. Agar bibit tidak terkena infeksi ditambahkan fungsida Dithane. Data yang dikumpulkan meliputi jumlah imago dan hasil panen bawang merah. Pengamatan jumlah populasi imago
ulat bawang Spodoptera exiqua per
perangkap feromon exi/hari dilakukan pada umur 7, 14, 21, 28, 35, 42, 49 HST. Panen bawang merah dilakukan umur 55-60 hari dengan ukuran ubinan 1,5 x 1,5 m. Data jumlah populasi imago dan hasil panen dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi imago yang tertangkap pada lokasi pengkajian dapat dilihat pada Tabel 1. Rata-rata Jumlah imago yang tertangkap lebih banyak ditemukan di kabupaten Serang, kemudian Kabupaten Tangerang dan Pandeglang. Jumlah imago yang tertangkap pada lokasi Kabupaten Serang berkisar 12-20 ekor, sedangkan di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Tangerang berkisar 2-3 ekor. Kondisi ini menunjukkan bahwa pertanaman bawang merah pada petani di Kabupaten Pandeglang dan Tangerang memiliki tingkat serangan hama ulat bawang yang rendah di bawah ambang ekonomi, dimana tingkat serangan tidak menimbulkan kerugian secara ekonomi, sedangkan di Kabupaten Serang serangan hama ulat bawang melebihi ambang ekonomi yang menimbulkan kerugian dari aspek ekonomi. Menurut Moekasan et al. (2013), jumlah imago yang tertangkap lebih besar dari 10 ekor mengindikasikan serangan hama ulat berada diatas nilai ambang kendali, yang selanjutnya dapat mempengaruhi hasil panen bawang merah. Tabel 1. Rata-rata jumlah imago yang tertangkap dengan Feromon Exi Rataan Populasi
Umur Tanaman (HST)
Lokasi pengkajian 7
14
21
28
35
42
49
Kab.Serang
12
15
17
16
20
21
20
15,71
Kab.Pandeglang
2
3
2
2
2
2
3
2,29
Kab.Tangerang
2
3
2
2
2
2
2
2,14
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
53
Hasil panen bawang merah pada setiap lokasi pengakjian disajikan pada Tabel 2. Akibat dampak serangan hama ulat bawang, hasil panen yang diperoleh petani pada Kabupaten Serang lebih rendah dibandingkan petani pada Kabupaten Pandeglang dan Tangerang. Produksi bawang merah petani pada Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Pandeglang mencapai 12 t/ha sedangkan pada petani Kabupaten Serang hanya mencapai 8 t/ha. Berdasarkan hasil pengamatan, rendahnya produksi bawang di Kabupaten Serang disebabkan adanya serangan hama ulat pada daun. Intesitas serangan hama ulat pada tanaman bawang merah menyebabkan berkurangnya jumlah daun yang melakukan fotosintesis sehingga menganggu pembentukan cadangan makanan yang akhirnya berdampak terhadap produksi umbi bawang yang rendah. Menurut Moekasan et al. (2013), intesitas serangan hama ulat pada daun bawang berhubungan erat dengan produksi sehat umbi, makin tinggi intesitas serangan hama makin rendah produksinya. Tabel 2. Rataan produktivitas bawang merah di Kabupaten Serang, Pandeglang dan Tangerang Lokasi Pengkajian
Rataan produksi
Kabupaten Serang
8,0
t/ha
Kabupaten Pandeglang
11,0
t/ha
Kabupaten Tangerang
12,0
t/ha
KESIMPULAN Hasil pemantauan hama ulat bawang, Spodopetara exiqua menggunakan Feromon Exi pada pertanaman bawang mengindikasikan bahwa Kabupaten Serang merupakan wilayah endemik hama ulat bawang di bulan Februari – April, sedangkan Kabupaten Pandeglang dan Tangerang tidak menunjukkan indikasi sebagai wilayah endemik hama ulat.
DAFTAR PUSTAKA Haryati, Y dan A. Nurawan. 2009. Pengkajian Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Cirebon. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol.12.No.5 :201-209. Moekasan, T. K., L. Prabaningrum dan M. S. Ratnawati. 2005. Penerapan PHT Pada Sistem Tanam Tumpanggilir Bawang Merah dan Cabai. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Puslitbang Hortikultura : 44 hal.
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
54
Moekasan, TK , R.S. Basuki dan L. Prabuningrum. 2012. Penerapan Ambang Pengendalian organisme Pengganggu Tumbuhan pada Budidaya Bawang Merah dalam Upaya Mengurangi Penggunaan Pestisida. Jurnal Hortikultura 22(1) : 47-56. Moekasan, TK, W.Setiawati, F. Hasan, R. Runa dan A. Somatri. 2013. Penetapan Ambang Pengendalian Spodoptera exiqua pada Tanaman Bawang merah Menggunakan Feromonoid Seks. Jurnal Hortikultura 23(1 ): 80-90. Putrasamedja, S., W. Setiawati, I.Lukman dan A.Hasyim.2012. Penampilan beberapa Klon Bawang Merah dn Hubungannya dengan Intensitas Serangan Organisme Pengganngu Tanaman. Jurnal Hortikultura 22(4) : 349-359. Resmayeti, P., Mayunar, T. Mulyaqin dan Y. Astuti. 2013. Kajian Sistem Usahatani Bawang Merah di Banten. Laporan Akhir. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten. 60 halaman. Samudra, 2006. Pengendalian Ulat Bawang Ramah Lingkungan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 28(6):3-5. Thamrin, M., Ramlan, Armiati, Ruchjatiningsih dan Wahdania. 2003. Pengkajian Sistem Usahatani Bawang Merah di Sulawasi Selatan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol, 6 (2) : 14-153. Udiarto, TK.Moekasan, S. Rubini. 2005. Pengendalian Hama Ulat Bawang, S.exiqua pada tanaman bawang merah di Brebes. Jurnal Hortikultura.15 (3) : 178-187.
Buletin IKATAN Vol. 5 No. 2 Tahun 2015
55