eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (4): 1027-1042 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2013
UPAYA PENYELESAIAN MASALAH PERBATASAN LAUT INDONESIA DENGAN AUSTRALIA DI LAUT ARAFURU PERIODE 2006 - 2010 Septian Rulianto1 NIM.0702045063
Abstract The Indonesian issue againts Australia in Arafura sea have occured since 1970 until now because of the lack of charity borders of Indonesian and Australia in Arafura sea, both countries have claimed their rights in the sea. Further more researcher using desciptive method that describes the phenomenon based on the facts how the Indonesian goverments effort to solve the maritime border issue with Australia. Later the result of this study are the result of Indonesian goverments effort to solve the maritime border issue with Australia in the period 2006 – 2010. Keywords: Indonesia, Maritime border issue, Arafura sea, Australia Pendahuluan Laut Arafuru terletak di Perairan Timur Indonesia berbatasan langsung dengan Laut Timor dan perairan Australia. Laut ini merupakan wilayah yang sangat strategis baik untuk Indonesia maupun Australia, wilayah perairan ini sangat berlimpah akan hasil laut seperti ikan, biota dalam lautnya, terumbu karang dan teripang. Kekayaan tersebut menjadikan Laut Arafuru sebagai laut yang sangat potensial untuk meningkatkan hasil perikanan dan kelautan baik bagi Indonesia maupun Australia. Sehingga kerapkali dihadapkan dengan permasalahan internasional. Salah satunya yaitu pelanggaran dalam hal kedaulatan yang dapat menimbulkan ketegangan hubungan antara pemerintah Indonesia dan Australia. Dimana pelanggaranpelanggaran ini kerapkali dilakukan oleh nelayan tradisional yang melakukan aktifitasnya di perairan Australia. (Melda Kamil Ariadno, 2007 : 15) Untuk mengatasi masalah di perairan ini terutama penangkapan atas nelayan-nelayan Indonesia oleh pemerintah Australia, pemerintah Indonesia berinisiatif untuk mengupayakan kesepakatan menyelesaikan masalah-masalah tersebut dengan mengadakan kesepakatan dengan Australia seperti Perjanjian Garis Batas Landas Kontinen (1971), dan Perjanjian Penetapan Batas Dasar Laut Tertentu (1971), Hak Perikanan Tradisional Nelayan Republik Indonesia (1974). Dalam kesepakatan tersebut kedua negara menyepakati hak-hak untuk melakukan penangkapan ikan. 1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (4): 1027-1042
Perbedaan persepsi tentang batas wilayah di perairan tersebut yang berakibat pada hak pemanfaatan sumber daya kelautan di Laut Arafuru di dasarkan pada beberapa hal. Pertama, terdapat wilayah yang tidak jelas atau overlap antara penerapan dua rezim penentuan batas laut yang berbeda. Australia menganut rezim lintas kontinen.(I Made Andi Arsana, 2007 : 120) Di dalam konvensi UNCLOS 1982 bahwa jarak landas kontinen Australia adalah kedalaman 3.500 – 5.500 m. Sedangkan Indonesia menggunakan rezim Zona Ekonomi Eksklusif dengan batas penarikan jarak pantai ke laut sepanjang 12 mil dengan kedalaman 2.500 - 4.000 m. Dalam aturan internasional terdapat delapan rezim penetapan batas wilayah. Sehingga dalam penerapannya, telah disepakati bahwa pada wilayah tersebut Indonesia memiliki yurisdiksi untuk pengelolaan ikan yang berenang (swimming fisher), sedangan Australia mempunyai yurisdiksi terhadap biota yang menempel di dasar laut (sedentary fish species), seperti teripang. Kedua, ada wilayah yang disepakati sejak tahun 1974. Walaupun menurut rezim ZEEI (Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia) sebetulnya terhitung wilayah Indonesia, disana merupakan wilayah penangkapan ikan atau teripang sejak jaman dulu oleh nelayan Rote, maka khususnya tradisional boleh beroperasi menangkap ikan digugusan Pulau Rashmora. Untuk melindungi keutuhan wilayahnya termasuk mempertahankan hak pemanfaatan sumber daya alam di Laut Arafuru sesuai ZEE dalam UNCLOS 1982, pemerintah Indonesia melakukan upaya untuk menyelesaikan masalah perbatasan yang berkenaan dengan pemanfaatan sumber daya alam di kawasan tersebut dengan pemerintah Australia. Memasuki tahun 2006, Indonesia membenahi kembali perjanjian yang sebelumnya sudah disepakati, tetapi kembali pemerintah Australia tidak melaksanakan perjanjian tersebut dengan masih adanya pelanggaran - pelanggaran yang dilakukan oleh angkatan laut mereka karena masih melakukan penangkapan terhadap kapal nelayan tradisional Indonesia. Melihat pelanggaran yang terus terjadi pihak Australia kembali melakukan perjanjian bilateral dengan pemerintah Indonesia sehingga Indonesia dan Australia merevisi MOU BOX 1974 dan menghasilkan “Agreed Minutes of Meeting Between Officials of Indonesian and Australian on Fisheries” pada tahun 1989. Namun dalam penelitian ini difokuskan pada upaya pemerintah Indonesia dalam mengatasi permasalahan perbatasan laut Indonesia – Australia di laut Arafuru. Kerangka Dasar Teori 1. Konsep Hukum laut Internasional / United Nation Common Law On The Sea ( UNCLOS ) 1982 Dalam hukum Laut Internasional telah diatur semua yang berhubungan dengan perbatasan-perbatasan negara yang wilayahnya berbatasan laut dengan negara lainnya, seperti pengaturan landas kontinen suatu wilayah. a) Konsep Landas Kontinen menurut Konvensi Hukum Laut 1982 Landas Kontinen (continental shelf) sudah diatur oleh Konvensi-Konvensi Jenewa 1958 yang sekarang sudah tidak berlaku lagi karena digantikan dengan Konvensi
1028
UpayaPenyelesaianMasalahPerbatasanLautIndonesia-Australia (Septian Rulianto)
Hukum Laut 1982. Pengertian landas kontinen mengalami perubahan signifikan sebagaimana terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Menurut Pasal 1 Konvensi Jenewa (Convention on the Continental Shelf) 1958 pengertian landas kontinen adalah sebagai berikut : “For the purpose if these articles, the term continental shelf is used as referring (a) to the seabed and subsoil of the submarine areas adjacent to the coast but outside the area of the territorial sea, to a depth of 200 metres or, beyond that limit, to where the superjacent waters admits of the exploitation of the natural resources of the said areas; (b) to the seabed and subsoil of similar submarine areas adjacent to the coasts of islands” Pengertian landas kontinen menurut Konvensi Jenewa 1958 tersebut adalah : a) dasar laut dan tanah di bawahnya yang berhadapan dengan pantai tapi di luar laut teritorial sampai kedalaman 200 m atau di luar batas itu sampai dimungkinkan eksploitasi sumber daya alam tersebut; b) sampai dasar laut dan tanah di bawahnya yang berhadapan dengan pantai dari pulau-pulau. Pada umumnya pengertian landas kontinen tersebut akan mempunyai kedalamanan 130 - 500 m, di sambung dengan lereng kontinen (continental slope) dengan kedalaman 1.200 - 3.500 m, dan di terakhir adalah tanjakan kontinen (continental rise) dengan kedalaman 3.500 - 5.500 m. Ketiga kontinen tersebut membentuk continental margin atau pinggiran kontinen. Semua ketentuan tentang landas kontinen menurut Konvensi Jenewa 1958 diubah oleh Konvensi Hukum Laut 1982. Landas kontinen di atur oleh Pasal 76 -85 Konvensi Hukum Laut 1982 yang di dalamnya terdapat pengertian landas kontinen, hak negara pantai di landas kontinen, penetapan batas landas kontinen oleh setiap negara, pembuatan peta dan koordinat geografis dan menyampaikan ke Sekretaris Jenderal PBB. Pengertian landas kontinen menurut Pasal 76 Konvensi Hukum Laut 1982 adalah sebagai berikut : 1. The continental shelf of a coastal state comprises the sea-bed and subsoil of the submarine areas that extend beyond it’s teritorial sea throughout the natural prolongation of its land territory to the outer edge of the coninentl margin, or to a distance of 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured where the outer edge of the continental margin does not extend up to that. 2. The fixed points compising the line of the outer limits of the continental shelf rawn in accordance with paragraph 4 (a) (i) and (ii), either shall not exceed 350 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured or shall not exceed 100 nautical miles from the 2,500 metre isobath, which is a line connecting the depth of 2,500 metres. Pengertian Landas kontinen menurut Pasal 76 ayat (1), ayat (2) Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut adalah landas kontinen yang meliputi sebagai berikut : 1. Dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang adanya kelanjutan ilmiah dari wilayah daratannya sampai ke pinggiran tepi kontinen; atau 2. Dasar laut dan tanah di bawahnya sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal di mana laut teritorial diukur;
1029
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (4): 1027-1042
3. Landas kontinen dimungkinkan mencapai 350 mil laut dari garis pangkal di mana laut teritorial diukur; atau 4. Tidak melebihi 100 mil laut dari kedalaman (isobath) 2.500 m. Melihat konsep diatas Indonesia mempunyak hak eksplorasi dan eksploitasi kekayaan sumber daya alam di landas kontinen sebagaimana diatur oleh Pasal 77 Konvensi Hukum Laut 1982, tetapi di samping itu Indonesia mempunyai kewajiban untuk menetapkan batas terluar landas kontinen sejauh 350 mil dan menyampaikan kepada Komisi Landas Kontinen (Commission on the Limits of the Continental Shelf) yang selanjutnya diatur oleh Lampiran (Annex) II Konvensi Hukum Laut 1982. Penetapan batas-batas landas kontinen baik sejauh 200 mil maupun 350 mil tersebut wajib disampaikan salinannya kepada Sekretaris Jenderal PBB yang di dalamnya memuat informasi yang relevan seperti data geodetik dan peta-peta lainnya. Indonesia juga harus melakukan negosiasi penetapan batas-batas landas kontinen dengan negara tetangga. Atas dasar hukum inilah pemerintah Indonesia berinisiatif menggunakan haknya sesuai dengan UNCLOS tersebut untuk menyelesaikan masalah penangkapan nelayan tradisional Indonesia oleh kapal-kapal patroli laut Australia. 2. Konsep Diplomasi dan Negosiasi Kerangka dasar pemikiran yang peneliti gunakan untuk menjawab permasalahan mengenai bagaimana upaya penyelesaian masalah perbatasan laut Indonesia Australia di Laut Arafuru oleh pemerintah Indonesia adalah menggunakan konsepkonsep tentang perjanjian internasional. Dimana perjanjian adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasioanal yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban dibidang hukum publik dan perjanjian internasional ini sendiri dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu perjanjian bilateral yang merupakan perjanjian yang dilakukan antara dua belah pihak dan perjanjian multilateral yang merupakan perjanjian yang dilakukan oleh antara banyak pihak. Antara Indonesia dan Australia menerapkan perjanjian mengenai hak nelayan tradisional indonesia di perairan Australia dilakukan oleh dua belah pihak yaitu pemerintah Indonesia dan pemerintah Australia. Perjanjian yang dihasilkan ini kerapkali mendapat kendala yang berupa pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan tradisional Indonesia. Melihat hal ini, sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang tentang perjanjian internasional Republik Indonesia Bab VI Pasal 18, bahwa apabila salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian maka berakhirlah perjanjian tersebut. Dimana pelanggaran perjanjian oleh salah satu pihak memberikan alasan kepada peserta lain untuk mengakhiri atau menangguhkan berlakunya perjanjian untuk sebagian atau menangguhkan berlakunya perjanjian untuk sebagian atau seluruhnya. Serta yang dijadikan dasar untuk dapat mengakhiri atau menangguhkan suatu perjanjian menurut ketentuan ini, pelanggaran suatu pihak peserta itu harus merupakan suatu pelanggaran penting (material breach) sajalah yang dapat dijadikan alasan. Namun hal ini dapat dirundingkan kembali oleh kedua
1030
UpayaPenyelesaianMasalahPerbatasanLautIndonesia-Australia (Septian Rulianto)
belah pihak untuk menanggulangi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan tradisional indonesia, langkah-langkah tersebut dapat ditempuh salah satunya melalui jalan diplomasi. Diplomasi yaitu cara-cara dimana negara melalui wakil-wakil resmi maupun wakilwakil lainnya termasuk juga para pelaku lainnya, membicarakan dengan baik, mengkoordinasikan dan menjamin kepentingan-kepentingan tertentu atau yang lebih luas melalui surat-menyurat, pembicaraan secara pribadi dengan mengadakan pertukaran pandangan, dan kunjungan-kunjungan. Diplomasi pada hakikatnya juga merupakan kebiasaan untuk melakukan antar negara melalui wakil resminya dan dapat melibatkan seluruh proses hubungan luar negeri, perumusan kebjakan termasuk pelaksanaan. Dalam arti luas diplomasi dan politik luar negeri adalah sama. Namun dalam arti sempit atau lebih tradisional diplomasi itu melibatkan cara-cara mekanisme, sedangkan dalam politik luar negeri ada dasar dan tujuannya. Dalam arti yang lebih terbatas, diplomasi meliputi teknik operasional dimana negara mencari kepentingan diluar yurisdiksinya. Negosiasi sebagai unsur utama dari diplomasi dalam mencapai kepentingan nasional suatu negara, kini telah ada beberapa penambahan dan pengurangan mengenai subtansi diplomasi, yakni : manajemen konflik (menghindari dan menanggulangi konflik), pemecahan permasalahan (menyelesaikan berbagai permasalahan), interaksi lintas budaya (membina saling pengertian), berunding (pola perundingan dan posisi tawar menawar), serta pengelolaan program (pelaksanaan dan program). Dengan demikian negosiasi merupakan proses pengajuan usulan-usulan yang diajukan untuk dapat mencapai suatu kesepakatan bersama dan disamping itu juga negosiasi merupakan teknik diplomasi untuk dapat menyelesaikan perselisihan secara damai. Diplomasi dapat ditempuh melalui beberapa jalur, diantaranya yaitu: 1. One Track Diplomacy (Diplomasi Satu Jalur) Diplomasi yang dilakukan secara resmi oleh sebuah negara melalui perwakilanperwakilannya diluar negeri melalui kedutaan besarnya yang dilaksanakan oleh para pejabat-pejabat pemerintah yang telah ditunjuk untuk mewakili kepentingan negara dengan kata lain hubungan Government to Government. 2. Second Track Diplomacy (Diplomasi Dua Jalur) Bentuk interaksi yang dilakukan oleh aktor non-negara, seperti individu atau Non Government Organization (NGO). Bentuk diplomasi ini akan memegang peranan yang semakin penting dimasa depan, karena keterlibatan masyarakat sipil seharusnya dilihat sebagai mitra negara yang konstruktif dalam ikut serta menyelesaikan seluruhnya oleh negara tersebut. Second Track Diplomacy juga merupakan kebalikan dari diplomasi klasik atau One Track Diplomacy karena disini para wakil pemerintahan melakukan pertemuan dalam suasana informal, tanpa aturan protokoler yang ketat dan tidak diarahkan untuk mencapai kesepakatan yang mengikat.
1031
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (4): 1027-1042
3. Konsep Delimitasi dan Demarkasi Secara umum, delimitasi batas maritim diartikan sebagai proses perundingan untuk menentukan garis yang membagi laut teritorial antar kedua negara. Sedangkan demarkasi berarti penegasan atas batas pemisah wilayah negara yang ditetapkan oleh pihak yang bersengketa berdasarkan hasil dari delimitasi yang telah dilakukan sebelumnya. Dengan memiliki sepuluh negara tetangga, delimitasi dan demarkasi batas maritim adalah pekerjaan besar yang penting artinya bagi Indonesia. Menurut Dr. Sobar Sutisna,”Delimitasi merupakan batas maritim suatu negara yang dipengaruhi oleh kepentingan politik dan hokum suatu negara. Batas wilayah yang akan dibahas adalah mengenai batas-batas maritim Indonesia dengan negara tetangga”. Berbeda dengan batas darat yang tampak jelas, dimana letak perbatasan dipasangi patok atau tanda penunjuk batas, wilayah laut tidak mudah untuk dilakukan demarkasi. Demarkasi suatu wilayah didasarkan pada korelasi yang kuat dari beberapa bagian baik fisik maupun non fisik yang membentuk suatu wilayah tersebut. Proses pengelompokan (aggregation) ke dalam wilayah-wilayah akan bermanfaat untuk membuat suatu deskripsi atas pemisahan dan pengelompokan data lainnya yang lebih kecil. Sehingga jumlah keseluruhan dan rata-rata dari suatu wilayah sensus dan wilayah kecil akan lebih informative, mudah ditangani dan disajikan jika dibandingkan dengan hanya tumpukan hasil sensus belaka, terutama bagi yang terlibat langsung dalam proses tersebut. Delimitasi dan demarkasi masing-masing dipengaruhi oleh dua hal yang sebenarnya bertentangan yaitu antara fleksibel dan kaku, namun disaat yang sama harus saling bekerjasama. Delimitasi dipengaruhi oleh kepentingan politik dan hukum suatu negara sedangkan demarkasi bersifat teknis untuk mengkonstruksi hasil delimitasi agar dapat dikenali. Selanjutnya melalui demarkasi, pihak aparat maupun masyarakat dapat mengenali hak-hak dan kewajiban ketika mereka berada didalam negaranya atau harus tunduk kepada hukum negara lain ketika mereka berada di luar wilayah negaranya. Indonesia sebagai negara kepulauan sangat rentan terhadap masalah perbatasan dengan negara-negara tetangga, terutama dengan negara yang berbatasan laut. Banyaknya permasalahan yang terjadi akibat tidak jelasnya batas yang menunjukan wilayah negara Indonesia atau negara tetangga. Itu yang terjadi dilaut Arafuru, adanya klaim yang dilakukan oleh Indonesia maupun Australia membuat kedua negara sampai sekarang belum menemui kata sepakat dalam hal kepastian batas kedua negara di wilayah tersebut.
4. Teori Compliance Konsekuensi yang muncul dari dibuatnya sebuah perjanjian internasional adalah tentang perilaku para partisipan yang menyepakatinya untuk konsisten dalam memenuhi semua kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian internasioanal tersebut.
1032
UpayaPenyelesaianMasalahPerbatasanLautIndonesia-Australia (Septian Rulianto)
Dalam situasi seperti ini, tentunya dibutuhkan upaya-upaya kooperatif dari masingmasing negara anggota yang membuat perjanjian internasional. Bentuk dari upaya kooperatif yang dimaksud adalah kepatuhan (compliance) terhadap kesepakatan. Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes (1995) telah mengaskan ada 3(tiga) alasan utama yang mendorong sebuah negara mengambil tindakan untuk mematuhi perjanjian internasional, yaitu efisiensi, kepentingan, dan norma. Dengan mematuhi aturan dan kesepakatan yang diformulasikan dalam perjanjian internasional, berarti sama halnya dengan melakukan tindakan yang efisien. Tentunya akan memberikan keuntungan tersendiri bagi negara yang patuh karena perilaku mematuhi kesepakatan jauh lebih baik daripada melanggar perjanjian. Kecenderungan lain yang diyakini dapat menstimulan bagi terpenuhinya kesepakatan, biasanya karena formulasi perjanjiannya mengakomodir kepentingan dari negaranegara anggota, sehingga dengan mematuhi perjanjian internasional berarti negaranegara partisipan dapat memaksimalkan kepentingan nasionalnya masing-masing. Secara normatif perjanjian internasional seringkali diakui sebagai sesuatu yang mengikat (legally binding) bagi negara yang telah meratifikasinya. Sehingga dengan begitu perjanjian internasional adalah norma hukum yang harus dipatuhi. Sebagaimana halnya prinsip dasar dari hukum internasional yakni pacta suny servanda (hukum harus dipatuhi). Faktor-faktor inilah yang menjadi asumsi dasar kecenderungan untuk mematuhi sebuah kesepakatan. Sementara situasi yang memicu untuk tidak mematuhi kesepakatan, antara lain: pertama, ambiguitas dan tidak tepatnya bahasa yang digunakan dalam perjanjian. Persoalan bahasa dalam memformulasi kesepakatan dalam perjanjian sering kali menjadi kendala yang tidak dapat dihindarkan. Ketidakjelasan makna bahasa yang digunakan dalam kesepakatan dapat menciptakan interpretasi yang berbeda-beda sehingga dapat menciptakan zone of ambiguity, akibatnya negara partisipan cenderung mengambil tindakan untuk tidak memenuhi kesepakatan; kedua, perjanjian adalah kesepakatan antar negara yang menjadi acuan bagi perilaku di masa depan. Itu artinya pelaksanaan kesepakatan sangat tergantung pada kemampuan negara partisipan. Keterbatasan partisipan tentu saja sangat berpengaruh pada tingkat kepatuhan terhadap perjanjian; ketiga, perjanjian internasional biasanya bersifat temporal dikarenakan perubahan signifikan yang terjadi dalam struktur sosial, sistem ekonomi dan kondisi politik. Agar sebuah rezim dapat berlangsung lama biasanya membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan dan kondisi perubahan yang terjadi. Dimensi temporal ini tentu saja dapat berdampak pada tingkat kepatuhan (compliance) negara. Dalam studi tentang compliance terdapat dua aliran yang saling bertentangan satu sama lain, yaitu : enforcement school dan management school. Menurut aliran enforcement bahwa tindakan non-compliance terhadap suatu perjanjian internasional dapat terjadi dalam berbagai motif. Compliance baru bisa terjadi jika aturan ditegakkan dan disertai dengan adanya sanksi (punishment). Strategi ini cukup efektif agar perjanjian dapat terlaksana, karena setiap pihak mengetahui jika melanggar atau tidak mematuhi perjanjian maka dia akan mendapatkan sanksi. Berbeda dengan aliran enforcement, aliran management justru menegaskan bahwa kepatuhan (compliance)
1033
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (4): 1027-1042
dapat terjadi tanpa harus menyertakan strategi sanksi (punishment) dalam formasi perjanjian, karena dianggap tidak efektif. Permasalahan compliance sebenarnya memang lebih tepat dianggap sebagai permasalahan pengelolaan (management) daripada permasalahan pelaksanaan (enforcement). Munculnya tindakan non-compliance terhadap rezim bukan tidak sengaja, akan tetapi lebih disebabkan oleh kurangnya kapabilitas, kejelasan, dan prioritas kesepakatan dalam perjanjian. Untuk itu dibutuhkan strategi pengelolaan yang sophisticated, contohnya dengan menggunakan metode persuasi. Adapun elemen yang dibutuhkan dalam metode ini antara lain: transparency, dispute settlement, capacity building. Keberadaan tiga elemen ini dalam sebuah perjanjian internasional diyakini bisa menstimulan munculnya perilaku compliance. Teori dalam penelitian ini digunakan untuk mengukur derajat kepatuhan dari masing-masing pihak yang membuat kesepakatan. Metode Penelitian Penelitian ini akan menggunakan tipe eksplanatif. Eksplanatif karena menerangkan hubungan atau relasi kausal antar fenomena : penyelesaian masalah perbatasan laut Indonesia dengan Australia dapat dicapai tanpa merugikan salah satu pihak. Dan penulis menggunakan teknik analisi kualitatif Hasil Penelitian Laut Arafuru terletak di perairan timur Indonesia berbatasan langsung dengan Laut Timor dan perairan Australia. Sebelah utara Laut Arafuru berbatasan dengan Laut Seram dan bagian tenggara dan bagian timur berbatasan dengan Laut Banda. Sementara itu, di bagian timurnya adalah pantai tenggara dari Pulau Irian dari Karufa sampai ke mulut Sungai Bensbach dan sampai ke ujung barat laut dari Peninsula York, Australia. Di bagian selatan, Laut Arafuru dibatasi oleh pantai utara Australia dari Peninsula York sampai ke Semenanjung Don. Dan di sebelah barat merupakan garis yang ditarik dari Semenanjung Don ke Tanjung Aro Usu serta titik barat daya dari kepulauan Selaru dan Tanimbar, Laut Arafuru memiliki panjang 1.290 km, lebar 560 km, dan kedalaman 50 - 80 m. Laut ini merupakan wilayah yang sangat strategis baik untuk Indonesia maupun Australia, wilayah perairan ini sangat berlimpah akan hasil laut seperti ikan, biota dalam lautnya, terumbu karang dan teripang. Secara geografis, Laut Arafuru menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat di sekitarnya. Kekayaan tersebut menjadikan Laut Arafuru sebagai laut yang sangat potensial untuk meningkatkan hasil perikanan dan kelautan baik bagi Indonesia maupun Australia. (http;//perbatasanIndonesia.blogspot.com/perjanjian-atas-bataswilayah.html) Meskipun pada skala nasional Pemerintah Indonesia dan pemerintah Australia telah menyepakati bahwa fishing ground yang telah disebut terdahulu adalah termasuk ke dalam perairan Australia, namun sebagian dari nelayan, masyarakat umum dari dan birokrat di Nusa Tenggara Timur menganggap bahwa fishing ground tertentu adalah wilayah mereka, atau paling tidak mereka mempunyai hak untuk mengakses dan mengeksploitasi sumberdaya yang ada di wilayah tersebut. Fishing ground yang secara jelas dibawah klaim seperti ini adalah Ashmore Reef atau Pulau Pasir. Usaha-
1034
UpayaPenyelesaianMasalahPerbatasanLautIndonesia-Australia (Septian Rulianto)
usaha klaim terhadap Pulau Pasir tidak hanya ditunjukan oleh aktifitas penangkapan di daerah tersebut tetapi juga usaha-usaha “politik”. Pada bulan April 2003, misalnya dewan-dewan raja di daratan Timor, Rote, Sabu, dan Alor mengadakan pertemuan dalam rangka membicarakan masalah ini. Pertemuan yang dihadiri oleh 150 peserta ini menghasilkan kesepakatan untuk memberikan mandat kepada kelompok kerja (Pokja) Celah Timor dan Pulau Pasir untuk memperjuangkan hak-hak dan kepentingan mereka di laut Timor, termasuk Celah Timor dan Pulau Pasir. (http://Negarahukum.com/landas-kontinen.html) Ada dua hal yang dijadikan landasan klaim terhadap Pulau Pasir, yaitu sejarah (lisan) penemuan pulau itu dan tradisi mengeksploitasi sumberdaya laut di wilayah tersebut. Peristiwa penemuan Ashmore Reef terekam dalam sejarah lisan yang merupakan sejarah asal mula agama Kristen di pulau Rote. Penelusuran sejarah (tertulis) menunjukan bahwa sejarah lisan seperti itu memang mengacu pada tokoh individual atau kejadian yang dapat diidentifikasi. Dalam konteks cerita diatas nama-nama penguasa yang disebut dalam sejarah lisan tersebut terdapat dalam dokumen belanda dalam periode 1720-an, dukungan sejarah tertulis dalam sejarah lisan ini tentu saja memperkuat klaim orang Rote tehadap Pulau Pasir Pulau Pasir secara resmi ditemukan dan diberi nama oleh kapten Samuel Ashmore yang berlayar ke daerah itu dengan kapal Hibernia pada tahun 1811. Pada saat itu Ashmore Reef dijadikan tempat untuk mengambil pupuk dari kotoran burung dan kelelawar (Guano) yang kebanyakan dilakukan oleh orang Amerika. Untuk menguasai eksploitasi guano ini, pemerintah Inggris menganeksasi Ashmore Reef pada tahun 1878. Klaim Australia seperti di atas juga disertai oleh proses “penutupan” perairan itu dari akses nelayan Indonesia. Pada awalnya berupa pengaturan ijin dan pemungutan biaya atas pengurusan ijin itu. Hal ini terjadi pada tahun 1880. Pada akhirnya penutupan total dengan ijin bagi nelayan Indonesia. Meskipun secara eksplisit kebijakan penutupan akses ini didasari pertimbangan untuk melindungi orang aborigin dari pengaruh buruk (penyakit dan minuman keras) nelayan Indonesia, alasan utamanya adalah melindungi bisnis pengusaha perikanan Australia dan sebagian dari politik penguasaan daerah perbatasan oleh Australia. Bersamaan dengan lahir dan adanya pengakuan internasional tentang hukum laut yakni United Nations Convention on the Law of The Sea (UNCLOS) tahun 1982, pemerintah Indonesia dan Australia terdorong untuk duduk bersama menegosiasikan batas laut kedua negara karena rujukan hukum memungkinkan terjadinya overlapping claim. Negosiasi dan kesepakatan antara pemerintah Indonesia terjadi pada tahun 1970-an. Selain tentang batas antar kedua negara, kesepakatan beroperasinya nelayan
1035
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (4): 1027-1042
tradisional di perairan Australia yang disebut sebagai Australian Fishing Zone (AFZ). Dengan kesepakatan yang dikenal dengan MOU 1974 ini disebutkan bahwa nelayan tradisional Indonesia diberikan akses untuk mengambil sumberdaya laut di lima titik Australian Fishing Zone (AFZ). Kelima titik ini adalah (1) Ashmore Reef, (2) Cartier Island, (3) Seringpatan Reef dan (5) Browse Islet. Sumberdaya yang boleh diambil di lima titik itu meliputi throcus (bio-lola), teripang, abalone, kerang hijau, sponges dan semua kerang-kerangan. Semua jenis penyu dilarang diambil dari perairan tersebut. Selain itu nelayan Indonesia diperbolehkan ke daratan di dua titik di Ashmore Reef untuk mengambil air. MOU 1974 menunjukan pengakuan Australia akan hak tradisional nelayan Indonesia untuk mengeksploitasi Australian Fishing Zone (AFZ). Namun demikian, masih terdapat masalah yang melahirkan konflik karena pemahaman yang berbeda tentang apa yang disebut “tradisional”. Dalam MOU kata tradisional diacukan kepada nelayan yakni “traditional fisherman” dan teknik teknologi penangkapan “traditional (fishing) methods”. Pemahaman tersebut kita dapati dalam teks MOU yang berbunyi ”the fisherman who have traditionally taken fish and sedentary organisms in the Australian waters by methods which have been the tradition over decodes.” Dalam revisi MOU yang dikeluarkan tahun 1986, definisi metode tradisional diklarifikasi dengan menyebutkan bahwa semua teknologi yang menggunakan mesin adalah diluar definisi tradisional yang dimaksudkan dalam MOU 1974. (http://bakorkamla.go.id/hukum-laut-zona-maritim-sesuai-unclos1982.html) Sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Australia di Laut Arafuru, hubungan pemerintah Indonesia dengan Australia senantiasa dihadapkan pada pelanggaran kedaulatan. Pelanggaran kedaulatan tersebut kerap berujung pada terciptanya ketegangan hubungan diplomatik kedua negara. A. Menegakkan ZEE menurut UNCLOS 1982 Dalam menyelesaikan masalah perbatasan dilaut arafuru, pemerintah Indonesia harus mempertegas batas yang jelas di wilayah perairan Arafuru. Indonesia menetapkan batas maritim dengan menarik garis pangkal (base line) yang dimulai dari titik dasar. Dengan mengedepankan hukum laut yang telah dibuat oleh PBB melalui konvensikonvensi yang telah disetujui oleh negara-negara yang mempunyai masalah di perbatasan laut. Dalam konvensi hukum laut tahun 1982 terdapat 3 ketentuan delimitasi batasan maritim atau wilayah laut (Delimitation of Maritime Bounderies) antar negara – negara yang berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent), yaitu mengenai perbatasan laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif, dan landas kontinen. Secara garis besar ketentuan tersebut diatas adalah sebagai berikut : 1. Dalam hal pantai dua negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan dalam menentukan batas laut teritorialnya digunakan prinsip garis tengah (median line principle) dan prinsip sama jarak (equidistant principle). Tetapi ketentuan diatas tidak berlaku apabila terdapat alasan hal histotis (historic principle) atau keadaan
1036
UpayaPenyelesaianMasalahPerbatasanLautIndonesia-Australia (Septian Rulianto)
khusus lain (other special circumstances) yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan diatas ( Pasal 15 Konvensi Hukum Laut 1982 ) 2. Penetapan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara negara yang pantainya berhadapan harus diadakan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional sebagaimana ditetapkan dalam pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, untuk mencapai suatu pemecahan yang adil ( Pasal 74 ). Jadi dalam penetapan batas ZEE digunakan prinsip keadilan (equiptable principle). 3. Penetapan garis batas landas kontinen antar negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan diatur dalam pasal 82 KHL 1982. Untuk penetapan garis batas landas kontinen, pengaturannya sama seperti ZEE sebagaimana diatur dalam pasal 74. Selanjutnya pasal 74 menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa. Sambil menunggu penyelesaian yang besifat tetap. Seperti pada permasalahan perbatasan Indonesia dan Australia di Timor Gap dan Laut Arafuru, sambil menunggu penyelesaian yang bersifat tetap, pemerintah Indonesia dan Australia membentuk Zona kerjasama (Zone of Cooperation) di wilayah yang disengketakan yang dapat dimanfaatkan kedua belah pihak yang saling menguntungkan. Landas Kontinen (continental shelf) sudah diatur oleh Konvensi-Konvensi Jenewa 1958 yang sekarang sudah tidak berlaku lagi karena digantikan dengan Konvensi Hukum Laut 1982. Penentapan batas-batas landas kontinen baik sejauh 200 mil maupun 350 mil tersebut wajib disampaikan salinannya kepada Sekretaris Jenderal PBB yang di dalamnya memuat informasi yang relevan seperti data geodetik dan peta-peta lainnya. Pemerintah sudah melaksanan aturan dalam UNCLOS 1982 dan membuat peta baru karena keluarnya Timor – Timor dari Indonesia pada tahun 1999. Dalam penerapannya masih banyak nelayan – nelayan tradisional yang tidak mengetahui peta yang baru dibuat oleh pemerintah Indonesia, karena mereka menganggap batas laut wilayah Indonesia dan Australia masih sama seperti tahun – tahun sebelumnya. Hal itu menyebabkan banyaknya nelayan dari Indonesia yang ditangkap oleh kapal patroli Australia, Dan setiap tahunnya selalu meningkat. Pada tahun 2006 Pemerintah Indonesia mulai memperketat perbatasan di laut Arafuru agar mengurangi pelanggaran - pelanggaran yang terjadi di perairan tersebut. Karena sesuai amanat UNCLOS 1982 indonesia menetapkan batas wilayah 200 mil dari pulau terluar yang ada di daerah laut Timor dan Laut Arafuru. Dengan menempatkan beberapa kapal patroli di perairan tersebut agar nelayan yang keluar dari wilayah perairan Indonesia diperingatkan agar tidak melebihi batas NKRI. Sedangkan pemerintah Australia masih tetap melakukan penjagaan ketat terhadap wilayah perbatasan di laut Arafuru karena banyaknya kejahatan – kejahatan Internasional yang terjadi di perairan tersebut seperti Ilegal Fishing, Perompakan, dan Masuknya Imigran gelap yang berasal dari negara-negara konflik di Asia Selatan dan Timur Tengah yang ingin meminta perlindungan di Australia.
1037
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (4): 1027-1042
Selama ini Pemerintah Australia selalu saja mengklaim bahwa perbatasan di daerah tersebut masuk didalam wilayah yuridiksi Pemerintah Australia. Mereka mempunyai bukti sesuai MOU BOX 1984 yang isinya memuat batas – batas Perairan Australia dan Indonesia di laut Timor dan Laut Arafuru, Koordinat – Koordinat batas laut antara Australia dan Indonesia yang telah disepakati kedua negara. B. Perjanjian Kerjasama Penuntasan Masalah Pelanggaran Kedaulatan Antara Indonesia - Australia Pentingnya penuntasan masalah pelanggaran kedaulatan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional indonesia ini mendorong pemerintah Indonesia dan Australia untuk duduk bersama dalam mengatur kegiatan nelayan Indonesia yang beroperasi di Laut Arafuru dan Perairan Australia. Pengaturan tersebut bertujuan agar dapat menjamin kelangsungan hak-hak perikanan tradisional (traditional fishing rights) disatu sisi dapat melindungi kepentingan Australia di sisi lain, dalam hal ini indonesia dan Australia melakukan kesepakatan atau perjanjian antar dua Negara (perjanjian bilateral). Kesepakatan atau perjanjian bilateral antara Indonesia dan Australia untuk menuntaskan masalah ini telah dilakukan tiga kali, yaitu : 1) Pada tahun 1974 yang menghasilkan “Memorandum of Understanding between the Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia Regarding the Operation of Indonesian Traditional Fisherman in Areas of the Australia Exclusive Fishing Zone and Continental Shelf” atau yang dikenal dengan istilah MOU BOX 1974; 2) Pada tahun 1981 yang menghasilkan “Memorandum of Understanding between the Republic of Indonesia and Government of Australia Concerning the Implementation of Provisional Fisheries Survellance and Enforcement Arrangement”; dan 3) Pada tahun 1989 yang menghasilkan “Agreed Minutes of Meeting Between officials of Indonesian and Australia on Fisheries” Salah satu subtansi yang dimuat dalam ketiga perjanjian tersebut di atas, adalah tentang jaminan bagi adanya hak-hak perikanan tradisional indonesia. dalam konteks hukum perjanjian Internasional khususnya konsep Hukum Laut, MOU BOX 1974 merupakan perjanjian pertama dan semata-mata mengatur tentang hak perikanan tradisional. Oleh karena itu, maka baik MOU 1981 maupun Agreed Minutes 1989 hanyalah merupakan penegasan kembali disertai petunjuk pelaksanaan terhadap MOU BOX 1974. Memorandum of Understanding (MOU) biasanya dipakai dalam perjanjian internasional untuk member nama kepada catatan mengenai pengertian yang telah disepakati para pihak, yang kemudian digunakan sebagai dasar persetujuan yang akan dibuat atau sebagai dasar persetujuan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi dari perjanjian induk. Sedangkan Agreed Minutes (notulen yang disetujui) digunakan untuk menyebut hal-hal yang disetujui dalam konferensi, tetapi baru akan menjadi perjanjian internasional kalau syarat-syarat yang ditentukan terwujud termasuk kemauan para pihak untuk terikat.
1038
UpayaPenyelesaianMasalahPerbatasanLautIndonesia-Australia (Septian Rulianto)
Ketiga perjanjian tersebut juga merupakan hal yang diamanatkan oleh pasal 51 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982), bahwa sebagai negara kepulauan yang berbatasan dengan negara lain, setiap negara harus mengakui hak-hak perikanan tradisional suatu negara yang telah berlangsung lama. Namun, syarat untuk melaksanakan hak-hak perikanan tradisional tersebut adalah perundingan dengan negara-negara tetangga yang bersangkutan. Adapun bunyi pasal 51 secara lengkapnya adalah “Tanpa mengurangi arti pasal 49, negara kepulauan harus menghormati perjanjian yang ada dengan negara lain dan harus mengakui hak perikanan tradisional dan kegiatan lain yang sah negara tetangga yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan demikian, termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah dimana hak dan kegiatan demikian berlaku, atas permintaan salah satu negara yang besangkutan harus diatur dengan perjanjian bilateral antara mereka. Hal demikian tidak boleh dialihkan atau dibagi dengan negara ketiga atau warga negaranya”. Meski pemerintah Indonesia dan pemerintah Australia telah melakukan perjanjian bilateral untuk mengatasi pelanggaran kedaulatan yang dilakukan nelayan-nelayan Indonesia, namun dilapangan ternyata masih saja terjadi pelanggaran. Hal ini tercermin dari data tertangkapnya nelayan-nelayan Indonesia, baik tradisional maupun modern oleh aparat pemerintah Australia. Pada tahun 2006, Australia dilaporkan menahan sebanyak 138 kapal ikan dan menyita 327 perahu nelayan Indonesia karena melakukan kegiatan penangkapan ikan secara tidak sah (illegal fishing) dan pengangkut imigran gelap asal timur tengah yang mencari suaka di Australia. Hal ini meningkat 100% dibanding tahun sebelumnya, seperti dirilis oleh pemerintah Australia. Selain melalui perjanjian tadi, Indonesia dan Australia juga melakukan diplomasi yang tercermin dalam bentuk forum tingkat menteri maupun forum kerjasama dalam bidang tertentu. Beberapa bentuk forum kerjasama Indonesia dan Australia antara lain Forum Australia-Indonesia Ministerial Forum (AIMF), Australia Timor Sea Forum (ATSEF), serta The Working Group on Marine and Fisheries (WGMAF). Pada tahun 2007, Indonesia dan Australia sepakat untuk memantapkan kerjasama bilateral Indonesia dan Australia, khususnya dalam kerangka Asean - Australia - New Zealand FTA, identifikasi pengelolaan ekosistem Laut Arafuru melalui ATSEF (Australia Timor Sea Forum), dan penguatan kerjasama antar lembaga melalui forum Coral Triangle Initiative (CTI). Pada tahun 2008, pemerintah Indonesia meminta kepada Pemerintah Australia agar dapat memperbaharui perjanjian landas kontinen 1974, tetapi hal tersebut selalu tidak mendapat perhatian khusus dari pemerintah Australia karena menurut pemerintah Australia perjanjian tersebut telah menguntungkan kedua belah pihak. Sedangkan mengenai penyelesaian sengketa Indonesia - Australia dalam wilayah karang Ashmore, sebagaimana yang disepakati dalam MOU BOX, kedua belah pihak membahas dan merundingkan beberapa hal, seperti pentingnya joint survey dan riset
1039
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (4): 1027-1042
komoditan perikanan di wilayah MOU BOX, konservasi di wilayah MOU BOX terkait dengan cara penangkapan nelayan tradisional untuk spesies teripang, serta implementasi alternative livelihood melalui program Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang dilakukan pada tahun 2009. Riset bersama di wilayah MOU BOX dimaksudkan untuk memperoleh data bersama tentang tingkat ketersediaan atau stok ikan di wilayah tersebut, sehingga jelas jenis yang perlu di konservasi dan mana yang masih berkelanjutan. Selain itu, keduannya juga membahas mengenai pengelolaan perikanan bersama seperti riset sistem pendataan dan informasi perikanan tuna dan kakap merah di wilayah Indonesia timur, pengembangan metode dan database melalui pelaksanaan log book, serta program observer untuk perikanan tuna dan kakap merah. Indonesia dan Australia sepakat untuk meningkatkan pengawasan dalam upaya penanggulangan illegal fishing dan penyelundupan imigran gelap di perairan Arafuru melalui beberapa kerjasama, yaitu : peningkatan patrol terkoordinasi, pertukaran data dan informasi, kunjungan timbal balik antara kapal patrol Australia dan Indonesia dengan kapal patroli bea cukai Australia, peningkatan kapasitas SDM dalam pengawasan melalui pelatihan dan dukungan teknis lain yang diperlukan untuk kapal pengawas perikanan dan keamanan Indonesia. yang ditangani tidak hanya kapal penangkap ikan ilegal, tapi termasuk juga “kapal induk (mothership)”. yang sering berada di perbatasan dua negara, menampung ikan hasil jarahan. Kesepakatan tersebut dicapai dalam forum The Working Group on Marine and Fisheries (WGMAF). Disamping mengenai illegal fishing, pertemuan regular dua tahunan ini juga membahas tentang manajemen perikanan di perbatasan dua negara, Public Information Campaign, koordinasi wilayah “MOU Box”, serta kemitraan dan kerjasama lainnya. Dalam rangka kegiatan pengelolaan perikanan, kedua negara menghasilkan beberapa kesepakatan, antara lain : mengembangkan sistem pendataan dan informasi, melalui pengembangan jaringan kerjasama dengan pemerintah daerah dan perguruan tinggi. Public Information Campaign (PIC) ini perlu dilaksakan karena di perairan perbatasan dua negara terdapat dua wilayah yang menerapkan peraturan secara unik. Pertama, adalah wilayah yang landas kontinennya adalah berstatus dalam yurisdiksi Australia, adapun perairannya dalam wilayah ZEE Indonesia. di kawasan tersebut nelayan Indonesia dilarang mengambil biota yang menempel di dasar lautnya, seperti teripang dan kerang adapun ikan yang berenang diatasnya di perbolehkan. Keunikan yang kedua adalah pada wilayah yang sejak dahulu kala menjadi daerah tangkapan nelayan tradisional Indonesia. untuk memberikan hak menangkap ikan secara sub sistem diwilayah ini pada tahun 1974 dibuat nota kesepahaman antara Indonesia dan Australia yang dikenal sebagai MOU BOX. Perbedaan penentuan garis batas antara Indonesia dan Australia berpotensi menimbulkan konflik. Agar tidak terjadi hal demikian, Indonesia dan Australia melakukan beberapa upaya diplomasi yaitu menerapkan manajemen konflik,
1040
UpayaPenyelesaianMasalahPerbatasanLautIndonesia-Australia (Septian Rulianto)
pemecahan masalah, membina saling pengertian dan berunding serta pengelolaan beberapa program yang telah disepakati. Beberapa bidang kerjasama yang telah dilakukan selama ini antara Indonesia dan Australia, dengan mengacu pada kebijakan dan strategi nasional mengenai pengelolaan kawasan perbatasan antar negara di Indonesia, baik perbatasan darat maupun laut telah disepakati agar tidak menimbulkan kembali konflik yang terjadi di kemudian hari dan dapat menjaga keharmonisan hubungan bilateral kedua negara. Kesimpulan 1. Perjanjian bilateral Indonesia - Australia dalam MOU BOX 1974 ditindak lanjuti dengan beberapa forum kerjasama, yaitu Australia Indonesia Ministrial Forum (AIMF), Australia Timor Sea Forum (ATSF) serta The Working Group on Marine and Fisheries (WGMAF), terkait penanganan nelayan-nelayan Indonesia yang melintasi batas melakukan penangkapan sumber daya laut yang terlarang diambil didaerah Ashmore Reef, Cartier Island, Scott Reef, Seringpatam Reef, dan Browse Islet. 2. Forum-forum tersebut merupakan upaya menghindari dan mengurangi konflik, menyelesaikan berbagai permasalahan, membina saling pengertian serta pengelolaan berbagai program yang telah disepakati antara kedua negara. 3. Tingkat Kepatuhan dan Derajat Compliance Indonesia dan Australia terhadap isi dari MOU BOX 1984 sangat rendah, itu dibuktikan dengan banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi selama 22 tahun semenjak perjanjian tersebut dibuat. 4. Diplomasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sangat efektif agar masalah yang terjadi sebelumnya tidak terjadi di kemudian hari dan tidak merugikan kedua negara. 5. Upaya bantuan hukum nelayan-nelayan yang menjalani proses peradilan di Australia dilakukan Pemerintah Indonesia melalui konsulat Republik Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Buku Ariadno, Melda Kamil, Hukum Internasional Hukum yang hidup, diadit Media, Jakarta, 2007 Arsana, I Made Andi ST., ME, 2007. Batas Maritim Antar Negara (Gadjah Mada University Press, 2007) Cassell, Catherine and Symon, Gillian (eds), 1994. Qualitative Methods in Organizational Research, London, Sage Publications. Dedi S Adhuri, (ed), Fishing In, Fishing Out, Memahami Konflik-Konflik Kenelayanan di Kalimantan Timur dan NTT, LIPI Press, Jakarta, 2005, hal. 55 Hasjim Djalal, Indonesia and the Law of the Sea, CSIS, Jakarta, 1995. Hamzah, A, Laut Teritorial dan Perairan Indonesia, Himpunan Ordonansi, Undangundang dan Peraturan Lainnya, Akademika Pressindo, Jakarta, 1984. Likaja, Frans, E and Daniel Frans Bessie, 1988. Desain Instruksional Dasar Hukum Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia.
1041
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (4): 1027-1042
May Rudy, T, Teory, Etika dan Kebijakan Hubungan Internasional, Angkasa, Bandung, 1992 Mas’oed, Mochtar, 1990. Ilmu Hubungan Internasional, Disiplin dan Metodologi, Jakarta : LP3ES. World Web Wide (www) Celah Timor, dalam (http://ensiklopediaindonesia.com/pengertian-celah-timor.html), diakses pada tanggal 11 September 2013 Evaluasi Kebijakan dalam Rangka Implementasi Hukum Laut Internasional (Unclos 1982) di Indonesia, dalam (http://depkin.go.id/kebijakan-hukum-laut-di-indonesia.html), diakses pada tanggal 12 Maret 2012 Geografi Nasional Laut Arafuru, dalam (http://PerbatasanIndonesia.blogspot.com/perjanjian-batas-wilayah.html), diakses pada tanggal 12 Maret 2012 Hukum Laut, Zona-zona Maritim sesuai Unclos 1982, dalam (http://bakorkamla.go.id/hukum-laut-zona-maritim-sesuai-unclos1982.html), diakses pada tanggal 15 agustus 2011 Indonesia dan Australia tingkatkan kerjasama kelautan dan perikanan, dalam (http://dekin.dkp.go.id/indonesia-dan-australia-tingkatkan-kerjasamaperikanan-dan-kelautan.html), diakses pada tanggal 12 maret 2012 Keunggulan dan kekayaan Laut Arafuru, dalam (http://Koranjakarta.com/keunggulan-laut-arafuru.html), diakses pada tanggal 21 juni 2012 Landas Kontinen, dalam (http://Negarahukum.com/landas-kontinen.html), diakses pada tanggal 11 April 2012 Peraturan perundang-undangan : Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan United Nations Convention Law of The Sea, 1982
1042