i
UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH DENGAN PENCAMPURAN BUNGKIL INTI SAWIT DAN DISTILLERS DRIED GRAINS WITH SOLUBLES DALAM KONSENTRAT
MASHA MARINA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Upaya Peningkatan Produksi Susu Sapi Perah dengan Pencampuran Bungkil Inti Sawit dan Distillers Dried Grains with Solubles dalam Konsentrat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2013 Masha Marina NIM D151100091
iv
RINGKASAN MASHA MARINA. Upaya Peningkatan Produksi Susu Sapi Perah dengan Pencampuran Bungkil Inti Sawit dan Distillers Dried Grains with Solubles dalam Konsentrat. Dibimbing oleh BAGUS PRIYO PURWANTO dan RA YENI WIDIAWATI. Tingkat produksi susu nasional yang masih rendah, tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi susu national. Salah satu alternatif untuk meningkatkan produksi susu nasional adalah dengan meningkatkan produksi susu sapi perah melalui perbaikan kualitas pakan. Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra pengembangan usaha ternak sapi perah karena produksi susu pada provinsi ini mencapai 34.81% dari produksi susu nasional. Populasi sapi perah terbesar di Jawa Barat berada di Lembang. Rata-rata produksi susu di Lembang berada di atas rata-rata produksi susu nasional. Ketergantungan terhadap pakan tambahan berupa konsentrat juga menjadi sangat tinggi guna mempertahankan produksi susu. Bungkil inti sawit (BIS) adalah hasil sampingan dari industri minyak sawit yang dapat digunakan sebagai bahan pakan untuk ternak yang berpotensi sebagai bahan pakan lokal untuk alternatif sumber energi dan protein. Meskipun harganya murah, namun penggunaannya masih sangat terbata karena belum banyak penelitian tentang penggunaan BIS pada sapi perah. Bahan lain sebagai sumber protein dan energi adalah distillers dried grains with solubles (DDGS) yang merupakan bahan pakan impor tetapi harganya relatif lebih murah dari pada bungkil kedele. Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh pencampuran konsentrat oleh bahan baku pakan lokal BIS dan bahan baku pakan impor DDGS, sebagai pengganti konsentrat terhadap produksi susu sapi perah di Lembang. Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam meningkatkan produksi susu sapi perah, menurunkan biaya pakan dan meningkatkan pendapatan peternak sapi perah di Lembang. Sebanyak dua puluh dua ekor sapi perah yang sedang laktasi dengan periode laktasi pertama sampai ketujuh dikelompokkan ke dalam 4 kelompok perlakuan: R0, R1, R2, dan R3, setiap kelompok perlakuan terdiri atas 5 dan 6 ekor ternak. R0 sebagai kontrol, R1 adalah sapi yang diberi pakan konsentrat campuran 1 kg DDGS, R2 adalah sapi yang diberi pencampur 2 kg BIS dan 1 kg DDGS; dan R3 adalah sapi yang diberi pakan campuran 3 kg BIS. Parameter yang diamati dan diukur adalah status fisiologis yang meliputi suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi respirasi; konsumsi pakan; lingkar dada (cm) diukur dengan menggunakan pita ukur dilakukan sebelum, saat dan setelah penelitian; produksi susu harian dicatat setiap hari pada pemerahan pagi pukul 04.00-06.00 dan sore pukul 15.00-17.00 WIB; kualitas susu diukur setiap dua minggu sekali pada awal penelitian sebelum diberi perlakuan, selama diberi perlakuan pakan dan setelah diberi perlakuan dengan mengambil sampel susu 200 ml dan keadaan mastitis diuji dengan Mastitis Test dengan reagen IPB-1 yang dilakukan sebelum, saat dan setelah penelitian. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas empat perlakuan pakan dan enam ulangan. Faktor jenis pakan (R0, R1, R2 dan R3) diamati dengan model linear pada rancangan percobaan ini. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam
v
General Linear Model. Jika terdapat perbedaan hasil, akan dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil penelitian menunjukkan pencampuran BIS dan DDGS pada pakan konsentrat tidak memberikan perbedaan yang nyata (P>0.05) terhadap status fisiologi ternak yang meliputi denyut jantung, respirasi dan temperatur rektal. Hasil pengukuran terhadap status fisiologi ternak masih berada pada kisaran normal. Hasil analisis pengaruh perlakuan terhadap kuantitas dan kualitas susu berupa kadar lemak susu, bahan kering tanpa lemak, protein dan bahan kering total, menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05). Konsumsi total digestible nutrients (TDN) pada perlakuan R1, R2, R3 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap perlakuan R0, sedangkan perlakuan R1 dan R2 menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap perlakuan R3. Konsumsi energi metabolis (ME) dan net energi laktasi (NEL) pada perlakuan R1, R2 dan R3 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap perlakuan R0, sedangkan perlakuan R1 dan R3 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap perlakuan R2. Produksi susu menunjukkan hasil yang sesuai dengan data konsumsi energi oleh ternak di setiap kelompok perlakuan. Produksi susu tertinggi terdapat pada ternak di R2 diikuti oleh R3, R1 dan R0. Sementara konsumsi energi yang meliputi TDN, ME dan NEL tertinggi terdapat pada ternak di R2 diikuti oleh R3, R1 dan R0. Pencampuran konsentrat oleh BIS dan DDGS juga dapat meningkatkan produksi susu selama periode perlakuan. Hal ini menunjukkan kontribusi campuran BIS dan DDGS dalam konsentrat. Biaya konsentrat R3 yang diperlukan tiap ekor ternak dalam sehari setelah dicampur oleh BIS, lebih murah daripada konsentrat yang dicampur oleh DDGS atau kombinasinya. Keuntungan peternak per kg susu yang dihasilkan lebih besar pada perlakuan R3, tetapi produksi susu yang dihasilkan lebih besar pada R2, sehingga keuntungan peternak pada kelompok perlakuan R2 adalah yang terbesar, diikuti oleh kelompok perlakuan R3. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pencampuran pakan konsentrat dengan kombinasi BIS dan DDGS dapat mempertahankan puncak produksi susu selama perlakuan. Pencampuran konsentrat dengan DDGS secara tunggal dapat menghasilkan persistensi produksi susu paling tinggi. Pencampuran konsentrat dengan BIS dapat menurunkan biaya pakan tiap kg susu yang dihasilkan. Kombinasi BIS dan DDGS dapat meningkatkan pendapatan peternak. Supaya peternak mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari usahanya, disarankan peternak menggunakan BIS yang dikombinasikan dengan DDGS sebagai salah satu bahan campuran konsentrat. Kata kunci: bungkil inti sawit, distillers dried grains with solubles, produksi susu
vi
SUMMARY MASHA MARINA. Improvement of Milk Yield by Using Palm Kernel Cake and Distillers Dried Grains with Solubles Mixed in Concentrate Feed. Supervised by BAGUS PRIYO PURWANTO and RA YENI WIDIAWATI.
National milk yield can not supply the national milk consumption. One alternative to improve national milk yield is by increasing the dairy cattle productivity through better feeding management. West Java is one of the centers of development of dairy cattle for milk yield. It provides about 34.81% of the national milk yield. The largest population of dairy cattle in West Java is in Lembang. The average milk yield in Lembang is higher than the average national milk yield. To maintain high milk yield, addition of high quality feed such as concentrates is very important for dairy cattle. Palm kernel cake (PKC) is a byproduct of the palm oil industry. As a local feed, it has a very high potential to be used as an alternative of energy and protein feed sources. Even though the price is low, there is still limited research that has been done concerning its effect on dairy cattle production. Using good quality of local feed for dairy cattle has two benefits, it decreases production costs while increasing farmer’s income as well as improving animal production. Distillers dried grains with solubles (DDGS) is a feedstuff that can be used as a protein and energy source. Distillers dried grains with solubles is imported feed but the price is lower than soybean meal. Concentrate feed mixed by PKC and DDGS, was expected to increase production and quality of milk of dairy cows in Lembang. An experiment was conducted to study the effect of concentrate mix by using PKC and DDGS on milk yield in Lembang, West Java. This experiment was expected to increase milk yield, to decrease feed costs and to increase dairy farmers income in Lembang. Twenty two lactating dairy cows devided into 4 groups: R0, R1, R2 and R3. Each group consisted of 5 and 6 lactating dairy cows with different lactating periods. R0 was fed by basal diet as control, R1 was fed by basal diet and 1kg DDGS, R2 was fed by basal diet and 2 kg PKC and 1kg DDGS, and R3 was fed by basal diet and 3 kg PKC. Parameters observed and measured were physiological status, feed intake and milk yield. Physiological status including rectal temperature, respiration rate and heart rate were measured every week; feed intake was measured every day by calculating the difference in feed given; consumption of dry matter; chest circumference (cm) measured using a measuring tape taken before, during and after the experiment and converted into body weight (kg); daily milk yield recorded daily in the morning at 04.00 to 06.00 am and 03.00 to 05.00 pm; milk quality was measured every two weeks by taken 200 ml of milk sampled before, during and after the experiment; mastitis test was measured by IPB-1 reagent performed before, during and after the study. The study design used was Completely Randomized Design (CRD), which consisted of four treatments with five to six replications. Data were analyzed by analysis of variance General Linear Model. The differences among the results, were tested by Duncan test.
vii
The experiment showed that there was no significant effect of treatment (P>0.05) on physiological status, feed consumption, body weight, milk yield and milk quality. Physiological status of cows was still in the normal range. The experiment showed there were no significant effect of treatments (P<0.05) on milk yield and milk quality (included milk fat, solid non fat, milk protein and total solid). Total digestible nutrients (TDN) consumption of R1, R2 and R3 showed significant effect (P<0.05) compared to R0, R1 and R2 showed significant effect (P<0.05) on R3. Metabolized energy (ME) consumption and Net energy of Lactation (NEL) consumption of R1, R2 and R3 showed significant effect (P<0.05) compared to R0, R1 and R3 showed significant effect (P<0.05) on R2. Milk yield showed the same pattern to energy consumption. R2 had the highest milk yield, followed by R3, R1 and R0. R2 had the highest energy feed consumption, included TDN, ME and NEL, followed by R3, R1 and R0. The experiment showed that mixture of PKC and DDGS on concentrate feed increased milk yield during the experiment period. Concentrate feed costs on R3 needed per day were lower than concentrate feed costs on R1 or R2. Dairy farmers profit of each kg of milk on R3 was higher than R2, but milk yield on R2 was the highest. It was concluded that dairy farmers profit on R2 was the highest. PKC and DDGS mixed in concentrate feed has increased energy consumption greater than DDGS mixed in concentrate feed and PKC mixed in concentrate feed. Combination of PKC and DDGS mixed in concentrate feed, maintain milk yield’s peak during experiment periods and also also increased profits of dairy farmers in Lembang. Mixture of DDGS in concentrate feed resulted in the highest milk yield persistency. Mixture of PKC in concentrate feed decreased feed costs in every kg of milk. Dairy farmers are advised to use a combination of PKC and DDGS as a mixture in their concentrate feed. Key words: distillers dried grains with solubles, palm kernel cake, milk yield
viii
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ix
UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH DENGAN PENCAMPURAN BUNGKIL INTI SAWIT DAN DISTILLERS DRIED GRAINS WITH SOLUBLES DALAM KONSENTRAT
MASHA MARINA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
x
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Afton Atabanny, MSi
xi
Judul Tesis : Upaya Peningkatan Produksi Susu Sapi Perah dengan Pencampuran Bungkil Inti Sawit dan Distillers Dried Grains with Solubles dalam Konsentrat Nama : Masha Marina NIM : D151100091
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Bagus Priyo Purwanto, MAgr Ketua
Dr RA Yeni Widiawati Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Muladno, MSA
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 28 Desember 2012
Tanggal Lulus:
xii
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2012 sampai Maret 2012 ini ialah produksi susu, dengan judul Upaya Peningkatan Produksi Susu Sapi Perah dengan Pencampuran Bungkil Inti Sawit dan Distillers Dried Grains with Solubles dalam Konsentrat. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Bagus Priyo Purwanto, MAgr dan Ibu Dr RA Yeni Widiawati selaku pembimbing, dan Dr Ir Afton Atabany, MSi selaku penguji luar komisi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik-adik serta seluruh keluarga dan sahabat atas segala do’a, dukungan dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2013 Masha Marina
xiii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
1.
PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 2
2.
TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Status Fisiologis Ternak Energi Pakan Total Digestible Nutrient Energi Metabolis Protein Pakan Bungkil Inti Sawit Distillers Dried Grains with Solubles Produksi Susu
3 3 3 4 4 5 5 6 8 9
3.
METODE Bahan Alat Lokasi dan Waktu Penelitian Prosedur Penelitian Analisis Data
10 10 12 12 12 14
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara Status Fisologis Ternak Denyut Jantung / Pulsus Respirasi Temperatur Rektal Konsumsi Pakan Konsumsi Hijauan Konsumsi Konsentrat Konsumsi BIS Konsumsi DDGS Total Konsumsi Pakan Bobot Badan Produksi Susu Kualitas Susu
14 14 15 15 17 18 20 21 22 23 24 25 28 30 34
xiv
5.
Kadar Lemak Susu Bahan Kering Tanpa Lemak Kadar Protein Bahan Kering Total Uji Mastitis Gambaran Pendapatan Berdasarkan Harga Pakan
34 36 37 38 38 40
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
41 41 41
DAFTAR PUSTAKA
42
LAMPIRAN
46
RIWAYAT HIDUP
59
xv
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
14
15
16
17
18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Kebutuhan gizi untuk produksi per liter susu Hasil ikutan tanaman dan olahan kelapa sawit tiap hektar Komposisi nutrien bungkil inti sawit Komposisi nutrien DDGS Syarat mutu susu berdasarkan SNI 01-3141-1998 Kondisi ternak yang digunakan selama penelitian Persentase BIS dan DDGS dalam konsentrat serta kandungan PK dan TDN konsentrat yang digunakan selama penelitian Populasi sapi di wilayah binaan KPSBU tahun 2010-2011 Pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata denyut jantung sapi Pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata respirasi sapi Pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata temperatur rektal sapi Kandungan nutrisi bahan pakan yang digunakan dalam penelitian Rata-rata konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NE L (Mkal/kg) hijauan selama penelitian Rata-rata konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NE L (Mkal/kg) konsentrat selama penelitian Rata-rata konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NE L (Mkal/kg) BIS selama penelitian Rata-rata konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NE L (Mkal/kg) DDGS selama penelitian Rata-rata total konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NE L (Mkal/kg) pakan selama penelitian Perngaruh perlakuan pakan terhadap selisih rata-rata bobot badan sapi yang digunakan dalam penelitian Perhitungan energi dibandingkan dengan laju metabolisme ternak selama penelitian Pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata selisih produksi susu (kg/ekor/hari) Pengaruh perlakuan pakan terhadap rataan persistensi produksi susu selama penelitian Pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata selisih kadar lemak susu Produksi susu 4% FCM Pengaruh perlakuan pakan terhadap kadar BKTL dalam susu Pengaruh perlakuan pakan terhadap protein susu Pengaruh perlakuan pakan terhadap kadar bahan kering total dalam susu Penyebaran kondisi kesehatan ambing dengan uji IPB-1 Biaya pakan per ekor per hari selama penelitian Pendapatan peternak setiap hari selama periode perlakuan
6 7 7 8 10 11 11 15 16 17 19 21
22
23
24
25
26 28 29 30 33 34 35 36 37 38 39 40 41
xvi
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5
6
7
8 9
Produksi lemak dan protein susu selama laktasi (Phillips 2001) Bungkil inti sawit expeller Distillers dried grains with solubles Timbangan gantung Kurva denyut jantung sapi dengan perlakuan berturut-turut (a) R0, (b) R1, (c) R2 dan (d) R3, periode 1, 2 dan 3 berturut-turut adalah pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan Kurva respirasi sapi dengan perlakuan berturut-turut (a) R0, (b) R1, (c) R2 dan (d) R3, periode 1, 2 dan 3 berturut-turut adalah pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan Kurva temperatur rektal sapi dengan perlakuan berturut-turut (a) R0, (b) R1, (c) R2 dan (d) R3, periode 1, 2 dan 3 berturut-turut adalah pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan Kurva produksi susu selama 7 minggu masa penelitian, R0 (◊), R1 (□), R2 (∆), dan R3 (X) Diagram produksi susu perlakuan (a) R0, (b) R1, (c) R2, dan (d) R3, periode 1, 2 dan 3 berturut-turut adalah pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan
10 11 12 12
16
18
20 31
32
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
5 6 7 8 9 10
Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata denyut jantung sapi selama penelitian Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata respirasi sapi selama perlakuan Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata temperatur rektal sapi selama perlakuan Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan pakan terhadap konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN ME dan NEL pakan selama penelitian Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan pakan terhadap selisih bobot badan ternak selama penelitian Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata produksi susu selama penelitian Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata kadar lemak susu selama penelitian Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata kadar BKTL susu selama penelitian Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata kadar protein susu selama penelitian Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata total bahan kering susu selama penelitian
48 49 50
51 53 54 55 56 57 58
1
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang Tingkat produksi susu nasional yang masih rendah, tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi susu nasional, sehingga menjadi tantangan bagi usaha ternak sapi perah untuk melakukan pengembangan produksi. Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra pengembangan usaha ternak sapi perah karena produksi susu pada provinsi ini mencapai 34.81% dari produksi susu nasional. Pada tahun 2010 populasi sapi perah di Provinsi Jawa Barat sebanyak 117 060 ekor dan populasi ternak sapi perah terbesar di Jawa Barat terdapat di Kabupaten Bandung Barat khususnya wilayah Kecamatan Lembang. Pada tahun 2010, populasi sapi perah di Kabupaten Bandung Barat sebanyak 31 816 ekor (Ditjennak 2010). Daerah ini memiliki rataan produksi susu terbesar di Jawa Barat sehingga mempunyai peluang yang sangat besar untuk dikembangkan lebih lanjut. Kecamatan Lembang terletak pada ketinggian 1 200 hingga 1 257 meter di atas permukaan laut dan memiliki suhu yang berkisar antara 15.6 sampai 16.8 oC pada musim hujan dan 30.5 sampai 32.7 oC pada musim kemarau (rataan suhu mencapai 15 sampai 18 oC) (Marliani 2008). Rata-rata produksi susu di Lembang 10 sampai 15 liter/ekor/hari dan masih di atas rata-rata produksi susu di Indonesia yang hanya 8 sampai 12 liter/ekor/hari. Ketergantungan terhadap pakan tambahan berupa konsentrat juga menjadi sangat tinggi guna mempertahankan produksi susu. Hal ini disebabkan kebutuhan nutrisi sapi perah yang sedang produksi belum dapat dipenuhi dari pakan hijauan. Kualitas konsentrat yang baik (mengandung protein kasar 18 sampai 19%) umumnya menggunakan bahan baku impor sebagai sumber protein seperti bungkil kedele, pollard dan lain-lain. Hal ini menyebabkan harga konsentrat menjadi tinggi, sedangkan harga susu masih relatif rendah, dan akan berpengaruh terhadap keuntungan peternak. Guna mendapatkan keuntungan dari usaha sapi perahnya, mayoritas peternak lebih memilih membeli konsentrat yang harganya dapat terjangkau atau lebih murah tetapi mempunyai kualitas yang kurang baik. Hal ini jelas akan berpengaruh terhadap produksi susu, sehingga diperlukan alternatif untuk mengganti pakan konsentrat dengan yang murah dan selalu tersedia, tanpa mempengaruhi produksi susu bahkan dapat meningkatkan produksi susu. Menurut Sukira dan Krisnan (2009), sumber bahan baku pakan lokal berbasis pertanian dan agroindustri di Indonesia sangat melimpah, namun ketersediaan bahan pakan tersebut sebagai makanan ternak masih belum termanfaatkan secara baik dan optimal. Telah banyak upaya yang dilakukan untuk menekan biaya pakan dan penggunaan bahan pakan alternatif yang berasal dari limbah industri yang tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, diharaokan dapat menekan biaya pakan.
Perumusan Masalah Salah satu limbah yang sangat potensial untuk digunakan adalah limbah dari pengolahan minyak sawit berupa bungkil inti sawit (BIS). Bungkil inti sawit
2
berpotensi sebagai bahan pakan alternatif sumber protein dan energi, namun penggunaannya masih terbatas karena belum banyak penelitian tentang penggunaan BIS pada sapi perah. Bungkil inti sawit adalah hasil sampingan dari industri minyak sawit yang dapat digunakan sebagai bahan pakan untuk ternak. Menurut Sinurat et al. (2004), BIS merupakan bahan pakan yang mengandung protein yang cukup tinggi yaitu ada pada kisaran 14.6 sampai 19.0%. Bahan lain sebagai sumber protein dan energi adalah distillers dried grains with solubles (DDGS), namun bahan ini masih perlu diimpor dari negara produsen DDGS. Walaupun kandungan proteinnya masih lebih rendah dibandingkan bungkil kedele, tetapi harganya relatif lebih murah, sehingga masih memungkinkan untuk dapat digunakan sebagai pengganti bungkil kedele. Distillers dried grains with solubles adalah produk samping utama dari pengolahan etanol dan memiliki protein dan energi yang baik digunakan untuk pakan ternak. Sebagian besar DDGS berbahan dasar jagung. Menurut Rokhayati (2010), jagung dikenal sebagai bahan pakan sumber energi dan merupakan bahan pakan yang lambat terdegradasi dalam rumen. Menurut NRC (2003), DDGS memiliki kandungan protein kasar sebesar 29.7% dan fosfor sebesar 0.83%. Penelitian Schingoethe et al. (2009) mengungkapkan bahwa penggunaan DDGS dalam ransum seimbang sebesar 20% bahan kering atau lebih, dapat menghasilkan produksi susu yang sama bahkan bisa lebih tinggi dari pada pemberian 10 %. Kebutuhan energi ternak bergantung pada proses fisiologis yang berlangsung di dalam tubuh. Status fisiologis ternak sangat mempengaruhi konsumsi pakannya. Nutrisi yang sangat berpengaruh terhadap konsumsi pakan adalah jumlah energi yang terkandung dalam pakan (Tobing 2010). Pencampuran sebagian konsentrat oleh bahan baku lokal BIS dan bahan baku impor DDGS, diharapkan dapat meningkatkan produksi dan kualitas susu sapi perah di Lembang.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh pencampuran konsentrat oleh bahan baku pakan lokal BIS dan bahan baku pakan impor DDGS sebagai pengganti konsentrat, terhadap produksi susu sapi perah di Lembang.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam meningkatkan produksi susu sapi perah, menurunkan biaya pakan dan meningkatkan pendapatan peternak sapi perah di Lembang.
3
2. TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Perah Sapi perah merupakan ternak penghasil susu yang penting, sekitar 95% produksi susu dunia dihasilkan oleh sapi perah. Sapi perah diperkirakan berasal dari Asia Tengah dan telah didomestikasi sejak 400 tahun SM, kemudian menyebar ke Eropa, Afrika dan seluruh wilayah Asia (Sudono et al. 2005). Bangsa sapi perah yang umum dipelihara di Indonesia ialah sapi Friesian Holstein (FH). Tingginya produksi susu sapi perah ditentukan oleh faktor keturunan sebesar 25%, dan 75% ditentukan oleh faktor lingkungan termasuk di dalamnya adalah faktor pakan dan suhu lingkungan (Soetarno 2003). Apabila sapi FH ditempatkan pada lokasi yang memiliki suhu tinggi dan kelembaban udara yang tidak mendukung, maka sapi tersebut akan mengalami cekaman panas yang berakibat pada menurunnya produktivitas sehingga potensi genetiknya tidak dapat tampil secara optimal (Yani et al. 2007). Hal yang menentukan untuk mendapatkan produksi susu sapi yang baik dan optimal, selain bibit yang produksinya bagus, juga ditentukan oleh kualitas pakan dan cara pemberian pakan yang baik. Kualitas pakan yang rendah dapat menyebabkan produksi susu tidak optimal (Hartati 2010). Susu dihasilkan oleh sel-sel epitel pada alveoli (alveolus-alveolus) dari darah yang mengandung bahan-bahan pembentuk susu (milk precursors) melalui jalan darah yang halus (cappilair). Pada sapi yang sedang laktasi terdapat 150 sampai 220 alveoli. Susu yang dihasilkan ditampung di lumen. Zat-zat yang tidak dipergunakan (bukan pembentuk susu) dikembalikan ke jantung melalui dua vena susu: 1) vena pudica externa dan 2) vena abdominalis, vena yang besar berkelokkelok di bawah kulit dinding perut menuju ke depan dan melalui lubang (sumber susu) di dinding ruang dada kembali ke jantung. Aliran darah sebanyak 300 sampai 400 liter ke dalam ambing dibutuhkan untuk membentuk 1 liter susu. Seekor sapi yang menghasilkan susu 20 liter sehari, membutuhkan darah yang mengalir melalui ambing sebanyak 6 sampai 8 ton sehari semalam. Sapi setelah melahirkan, lima hari pertama menghasilkan kolostrum. Pada awal laktasi produksi susu meningkat dengan cepat, dan puncak (peak) produksi susu dicapai pada hari ke-30 sampai ke-60 atau minggu ke-3 sampai ke-6 atau bulan ke-1 sampai ke-2 (Soetarno 2003). Produksi rata-rata sapi FH di Indonesia 10 liter per ekor per hari atau lebih kurang 3 050 kg per laktasi (Sudono et al. 2005).
Status Fisiologis Ternak Respirasi penting bagi tubuh karena kebutuhan akan zat-zat makanan, oksigen dan panas dapat terpenuhi, serta zat-zat yang tidak diperlukan dibuang (Awabien 2007). Blakely dan Bade (1998) menyatakan bahwa frekuensi pernafasan normal (respirasi) untuk sapi berkisar antara 15 sampai 30 kali per menit. Perubahan denyut jantung dan frekuensi pernapasan sapi FH dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Denyut jantung sapi FH yang sehat pada daerah nyaman
4
(suhu tubuh 38.6 oC) adalah 60 sampai 70 kali/menit dengan frekuensi nafas 10 sampai 30 kali/menit (Ensminger 1993). Denyut jantung dan aliran darah lebih dipengaruhi oleh konsumsi pakan dan hasil proses fermentasi di rumen memiliki efek terhadap aliran darah (Cristoppherson 1984). Peningkatan frekuensi pernafasan membantu ternak meningkatkan pelepasan panas melalui pernapasan. Adapun peningkatan denyut jantung dapat membantu transportasi oksigen dan zat-zat makanan ke seluruh tubuh. Selain itu, peningkatan denyut jantung juga membantu transportasi panas hasil metabolisme ke seluruh tubuh sehingga dapat meningkatkan suhu permukaan tubuh (Gatenby 1986). Suhu rektal sedikit bervariasi pada kondisi fisik dan pada kondisi suhu lingkungan yang ekstrim. Bila laju pembentukan panas dalam tubuh lebih tinggi daripada laju hilangnya panas dalam tubuh, maka temperatur tubuh akan meningkat (Guyton dan Hall 1997). Jika suhu lingkungan meningkat dari 15.5 oC sampai 35 oC, suhu tubuh akan meningkat dari 38 oC sampai 40 oC, selanjutnya produksi susu turun dari 12.25 kg sampai 7.71 kg (Habibah 2004). Pengaruh yang ditimbulkan akibat peningkatan suhu tubuh antara lain menurunnya nafsu makan, anabolisme, konsentrasi hormon dalam darah, serta meningkatnya konsumsi air minum, katabolisme, pelepasan panas melalui penguapan, respirasi, temperatur tubuh dan denyut jantung (Mc Dowell 1972 dan Armstrong 1977).
Energi Pakan Upaya perbaikan nutrisi sapi perah, diantaranya dengan meningkatkan kualitas konsentrat yang dikonsumsi (Mundingsari et al 2006). Sapi akan merespon energi yang tersedia dalam bentuk produksi susu dan perubahan berat badan (Broster dan Thomas 1988). Respon ternak terhadap protein kasar pakan akan menjadi lebih baik apabila energi yang dikonsumsi tersedia dalam jumlah yang cukup (Satter 1986). Perlu diketahui bahwa nutrien yang terpenting dalam pakan sapi perah adalah energi (Schmidt dan Van Vleck 1974). Total Digestible Nutrient Aboenawan (1991) menyatakan bahwa total digestible nutrient (TDN) merupakan salah satu cara untuk mengetahui jumlah energi pakan yang tercerna. TDN suatu bahan makanan dinyatakan dengan bagian dari bahan makanan yang dimakan dan tidak diekskresikan dalam feses. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya cerna perlu diketahui guna mempertinggi efisiensi konversi makanan, antara lain suhu lingkungan, laju perjalanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan makanan, komposisi ransum dan pengaruh terhadap perbandingan dari zat makanan lainnya (Anggorodi 1990). Total digestible nutrient yang dikonsumsi dipengaruhi oleh kualitas ransum, dimana semakin tinggi kandungan serat kasar dalam ransum, maka TDN yang dikonsumsi semakin rendah dan ransum yang semakin baik kualitasnya maka TDN yang dikonsumsi semakin tinggi (Utomo 2003). Semakin tinggi nilai TDN suatu pakan maka pakan tersebut akan semakin baik karena semakin banyak zat-zat makanan yang dapat digunakan (Mundingsari et al. 2006). Konsumsi TDN dapat mempengaruhi produktivitas ternak (NRC 2003).
5
Kebutuhan energi dibedakan berdasarkan masa laktasinya, pada awal laktasi kebutuhan TDN sangat tinggi yaitu 73%, sedangkan pada bulan laktasi berikutnya kebutuhan TDN bergantung pada jumlah produksi susunya. Sapi yang memproduksi susu 7 sampai 13 kg/hari membutuhkan TDN sebanyak 63 sampai 67% dan sapi yang produksi susunya 13 sampai 20 kg/hari membutuhkan TDN sebanyak 67 sampai 71%. Sapi perah induk yang berada pada masa kering mempunyai kebutuhan TDN yang lebih rendah dari pada sapi yang berproduksi, kebutuhannya yaitu 56% (NRC 2003). Protein, lemak dan karbohidrat adalah bahan organik, sehingga TDN dapat juga didefinisikan sebagai bahan organik tercerna dengan mengalikan lemak dapat dicerna 1.25 (Sutardi 1981). Ternak muda menyimpan energi dalam bentuk otot, sedangkan ternak tua menyimpannya dalam bentuk lemak (Tillman et al. 1991). Energi digunakan dalam segala proses yaitu kerja otot jantung, pemeliharaan tekanan darah, pengantar impuls syaraf, transportasi ion menembus membran, absorbsi dalam ginjal, pembentukan protein dan lemak, sekresi susu, produksi dan tenaga gerak (Budianto 2002). Konsentrasi energi pakan berbanding terbalik dengan tingkat konsumsinya. Makin tinggi konsentrasi energi di dalam pakan, maka jumlah konsumsinya akan menurun (Tobing 2010). Nilai TDN tidak bisa menggambarkan jumlah energi yang terkandung dalam beberapa jenis pakan, salah satunya adalah DDGS (NRC 2003), oleh karena itu perhitungan jumlah energi dengan menghitung energi metabolis dan net energi laktasi perlu dilakukan. Energi Metabolis Kebutuhan energi untuk hidup pokok dan produksi susu dinyatakan dalam Net Energi Laktasi (NEL), energi dalam pakan juga dinyatakan dalam NE L (NRC 2003). Energi metabolis (ME) telah digunakan dalam penentuan energi pada sapi laktasi, tetapi untuk produksi susu memiliki efisiensi 60 sampai 64% dan untuk pertumbuhan sapi laktasi 75%. Ditambahkan pula bahwa energi tercerna (DE) adalah gross energi pakan yang dimakan dikurangi dengan energi yang terkandung dalam feses. Energi metabolis didapat dengan mengurangkan DE dengan energi yang terkandung dalam metan dan urin. Umumnya, ME digunakan untuk mengestimasi jumlah energi untuk metabolisme (Moe 1981). Protein Pakan Ketersediaan TDN yang tinggi perlu diimbangi dengan suplai protein agar terjadi kesimbangan energi dan protein guna mendukung produksi susu. Selain itu, pakan yang mengandung protein kasar (PK) dan TDN tinggi dapat menghasilkan produksi susu yang tinggi pula (Mundingsari et al. 2006). Protein di dalam ransum ternak sangat penting karena berperan sebagai bahan untuk pembangun tubuh dan pengganti sel-sel yang rusak; mengatur transportasi zat-zat makanan terlarut dan sebagai bahan pembuat hormon, enzim dan antibodi (Sutardi 1981). Kekurangan protein dapat berdampak buruk bagi ternak, karena ternak akan menggunakan cadangan protein yang ada di dalam darah, hati dan jaringan otot, yang mana hal ini dapat membahayakan kondisi kesehatan ternak, menekan perkembangan mikroorganisme rumen yang bermanfaat untuk mencerna selulosa dan sebagai sumber protein ternak, dan menghambat perkembangan reproduksi
6
dan produktivitasnya (McDonald et al. 1988). Terdapat beberapa pendekatan untuk mengevaluasi protein makanan untuk ruminansia dan ruminansia, salah satunya adalah dengan mencari nilai PK yang ditentukan dengan prosedur Kjeldahl (Tillman et al. 1991). Martawidjaja et al (1999) mengungkapkan bahwa konsumsi protein kasar meningkat sejalan peningkatan protein ransum. Ternak ruminansia membutuhkan protein, yang nantinya akan dikonversi menjadi asam amino, yang berguna untuk menghasilkan protein susu dan proses lainnya (Charles et al. 2009). Penggunaan protein pakan oleh mikrobia rumen sangat bergantung pada ketersediaan energi. Selain itu, suplai protein yang tidak diimbangi oleh ketersediaan energi, akan menyebabkan protein tersebut difermentasi dalam rumen sehingga suplai asam amino tidak cukup dan tidak dapat langsung digunakan (McDonald et al. 1988). Nilai kebutuhan gizi yang diperlukan untuk memproduksi susu dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Kebutuhan gizi untuk produksi per liter susu Kadar lemak (%) Protein kasar (g) TDN (kg) NEL (Mkal) Ca (g) P (g) 3.0 77 0.28 0.64 2.5 1.70 3.5 82 0.30 0.69 2.6 1.75 4.0 87 0.33 0.74 2.7 1.80 4.5 92 0.34 0.78 2.8 1.85 Sumber: NRC (2003) TDN = Total Digestible Nutrients NEL = Net Energy for Lactation
Kebutuhan protein bagi sapi perah dipengaruhi oleh umur, masa pertumbuhan, kebuntingan, laktasi, ukuran tubuh, kondisi tubuh dan rasio energiprotein (Ensminger 1993). Kebutuhan protein kasar untuk sapi yang sedang tumbuh adalah 16%, untuk ternak yang bobot badannya lebih dari 100 kg (NRC, 2003). Konsentrat dengan kandungan PK 13% merupakan komposisi yang paling baik untuk menghasilkan produksi susu paling optimal serta dapat memberikan nilai penerimaan dan income over feed cost paling tinggi (Sugandi et al. 2005).
Bungkil Inti Sawit Bungkil inti sawit atau palm kernel cake (PKC), merupakan hasil ikutan dalam pembuatan minyak sawit atau crude palm oil (CPO), yang paling tinggi nilai gizinya untuk pakan ternak dengan kandungan protein kasarnya yang bervariasi yaitu 15 sampai 17% (Sukria dan Krisnan 2009). Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar kedua di dunia setelah Malaysia. Luas pengembangannya di Indonesia hingga saat ini sangat pesat, dengan laju peningkatan areal penanaman sawit sebesar 14% per tahun (Muchtadi 2003). Hasil utama pengolahan tandan buah sawit adalah minyak sawit dan minyak inti sawit, dan sebagai hasil ikutan diperoleh bungkil inti sawit dan sisanya adalah limbah berupa serat perasan buah, tandan buah kosong, lumpur minyak sawit dan tempurung (Simanjuntak 1998). Bungkil inti sawit yang dihasilkan mencapai 45 sampai 46% dari inti sawit atau 2.0 sampai 2.5% dari bobot tandan sawit; dan umumnya mengandung air
7
kurang dari 10%, protein 14 sampai 17%, lemak 9.5 sampai 10.5%, dan serat kasar 12 sampai 18%, dimana dengan komposisi gizi seperti ini BIS berpotensi sebagai bahan pakan, baik untuk ternak ruminansia maupun nonruminansia (Iskandar et al. 2008). Hasil sampingan tanaman sawit dapat dilihat pada Tabel 2, dengan asumsi 1 hektar terdiri atas 130 pohon, 1 pohon dapat menghasilkan 22 pelepah per tahun, yang berbobot masing-masing 7 kg (Mathius 2009). Tabel 2 Hasil ikutan tanaman dan olahan kelapa sawit tiap hektar Biomassa Daun tanpa lidi Pelepah Tandan kosong Serat sawit Lumpur sawit Bungkil inti sawit Total biomassa
Segar (kg/ha/tahun) 1430 20000 3680 2800 4704 560
Bahan Kering (%) 46.18 26.07 92.10 93.11 24.07 91.83
Bahan Kering (kg/ha/tahun) 658 5214 3386 2681 1132 514 13 585
Sumber: Mathius (2009)
Bungkil inti sawit yang didapat langsung dari pabrik, diketahui masih banyak mengandung cangkang atau batok. Penelitian terhadap perlakuan fisik BIS, yakni pengayakan/penyaringan atau dengan pemisahan yang menggunakan gaya gravitasi (blower) menunjukkan bahwa tingkat cemaran cangkang pada BIS dapat dikurangi (Mathius 2009). Pengayakan memberikan pengaruh terhadap perubahan struktur fisik bahan, dimana jumlah produk hasil ayakan terendah pada BIS berada pada nomor mesh 100, yaitu sebesar 2.31% dan tertinggi berada pada nomor mesh 30, yaitu sebesar 29.04% (Situmorang 2011). Komposisi zat nutrien BIS disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi nutrien bungkil inti sawit Nutrien
Siregar (2003)
Simanjuntak (1998) (%)
Bahan kering Protein kasar Lemak kasar Serat kasar Abu Kalsium Fosfor TDN
91.11 15.40 7.71 10.50 5.18 81.00
85.10 - 89.90 12.50 - 16.80 0.50 - 6.50 11.90 - 20.80 3.60 - 9.80 0.30 - 0.40 0.30 - 0.70 -
Bungkil inti sawit adalah pakan yang memiliki kualitas yang baik untuk ruminansia dan memiliki kecernaan yang tinggi (O’Mara 1999), dan dapat digunakan sebagai sumber energi dan serat pada penggunaan 30 sampai 50% (Zahari dan Alimon 2011). Penggunaan daun sawit segar sebagai pengganti hijauan dalam konsentrat yang mengandung 30% BIS, memberikan pertambahan
8
bobot badan 750 g/ekor/hari (Sukria dan Krisnan 2009). Penggunaan 100% larutan ekstrak BIS pada sapi perah Sahiwal-Friesian meningkatkan produksi susu dari 4.8 kg menjadi 7.9 kg (Chin 2002).
Distillers Dried Grains with Solubles Distillers dried grains with solubles merupakan hasil sampingan pada industri penyulingan etanol dan sebagian besar berbahan dasar jagung, dan dapat digunakan sebagai suplemen protein untuk sapi laktasi (Powers et al. 1995), disamping itu, DDGS dapat digunakan dalam bentuk basah atau kering dan biasanya DDGS digunakan sebagai pengganti konsentrat dan hijauan dalam pakan sapi perah (Schingoethe 2006). Menurut Linn dan Chase (1996), DDGS memiliki kandungan nutrien tiga kali lebih banyak daripada bijian, mengandung pati yang rendah, memiliki kandungan lemak, protein, serat, dan fosfor yang tinggi. Dalam hasil penelitiannya, Owen dan Larson (1991) mengungkapkan bahwa DDGS dapat meningkatkan produksi susu jika diberikan 18.8% dari total bahan kering pakan, namun produksi berkurang jika DDGS diberikan 35.8% dari total bahan kering pakan. Hal ini dikarenakan kecernaan protein makin rendah dan rendahnya konsentrasi lisin, sehingga menyebabkan menurunnya performa sapi. Kandungan TDN rata-rata berdasarkan hasil analisis terhadap 13 sampel DDGS dari berbagai daerah di Amerika Serikat adalah sebesar 77.45% (Anonim 2001). Menurut Shurson (2011), DDGS generasi terbaru mengandung bahan kering 89.2%, protein kasar 31.6%, lemak kasar 11.5%, serat kasar 6.2% dan abu 7.8%. Penggunaan DDGS 31.6% dengan alfalfa dapat meningkatkan produksi susu (Grings et al. 1992). Komposisi nutrien DDGS dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Komposisi nutrien DDGS Komposisi kimia
Spiehs et al. (2002)
Kalscheur et al. (2012) (%)
Bahan kering Protein kasar Lemak kasar Serat kasar Abu TDN
88.90 ± 1.70 30.20 ± 6.40 10.90 ± 7.80 8.80 ± 8.70 5.80 ± 14.70 -
88.10 ± 7.00 30.90 ± 4.00 13.10 ± 3.00 5.90 ± 1.00 83.30 ± 4.90
Penggunaan DDGS yang dianjurkan untuk sapi laktasi maksimal sebesar 20% bahan kering atau 10 sampai 20 lb per hari atau sekitar 4.53 sampai 9.07 kg per hari. Pemberian DDGS sampai level 35.5% dengan pakan dasar silase dan biji kapuk, dapat menghasilkan produksi susu lebih rendah daripada pemberian pada level 18.8%. Sedangkan penggunaan DDGS pada pakan yang mengandung protein 18%, akan meningkatkan produksi susu dan kualitas susu lebih tinggi dibanding dengan pakan yang mengandung protein 14% (Powers et al. 1995). Penggunaan DDGS yang dianjurkan adalah 26% bahan kering pakan dan dikombinasikan dengan sumber protein lain (Linn dan Chase 1996). Penggunaan DDGS dapat meningkatkan produksi susu, menurunkan kadar protein susu, dan
9
meningkatkan kadar lemak dan laktosa susu selama dan setelah pemberian (Tanaka 2008). Penggunaan DDGS yang berlebihan dapat menurunkan produksi susu dan performans sapi, karena DDGS memiliki kecernaan yang rendah dan defisiensi asam amino lisin (Linn dan Chase 1996). Meskipun DDGS dihasilkan dari bahan dasar jagung, namun keduanya mengandung energi dalam bentuk yang berbeda. Sumber energi DDGS dalam bentuk serat dan lemak tercerna sedangkan sumber energi dalam jagung dalam bentuk pati. Fermentasi pati dalam rumen biasanya menghasilkan asidosis, laminitis dan lemak hati (Schingoethe 2004). Konsentrat yang lambat degradasinya, seperti jagung dan kulit kedelai, dalam rumen cenderung menghasilkan susu lebih tinggi dibanding dengan yang cepat degradasinya, seperti gandum, gula beet, kulit jeruk dan bekatul (Agus 1997).
Produksi Susu Faktor yang dapat mempengaruhi kualitas susu adalah kesehatan ternak, pakan, kondisi pemerahan, kebersihan alat yang digunakan pemerahan, dan penanganan pasca panen (Mubarack et al. 2010). Pakan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan kualitas dan kuantitas susu, dimana pakan dengan kualitas rendah dapat berpengaruh buruk terhadap produksi susu maupun reproduksi. Nutrisi pakan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, produksi dan reproduksi (Ensminger 1993). Penggunaan konsentrat level tinggi dalam ransum dapat meningkatkan produksi susu, tetapi jika terlalu berlebihan akan menurunkan persentase lemak susu tetapi dapat meningkatkan protein susu (Keslera dan Spahra 2010). Tipe konsentrat dalam ransum dapat mempengaruhi produksi dan komposisi susu, jika proporsi konsentrat dalam ransum melebihi 60% (Agus 1997). Ditambahkan oleh Agus (1997), pemberian konsentrat tipe pati akan menghasilkan kadar protein yang lebih tinggi dan kadar lemak yang lebih rendah daripada konsentrat tipe serat. Konsentrat yang cepat degradasinya dalam rumen dapat menurunkan konsumsi bahan kering. Dalam ransum sapi perah harus diperhatikan imbangan protein dan energi. Jika energi dalam ransum berlebihan, konsumsi pakan akan meningkat dan apabila energi dalam pakan rendah, maka akan meningkatkan efisiensi penggunaan protein sehingga terjadi penurunan protein susu (Rokhayati 2010). Energi yang persentasenya ditingkatkan dari 60 menjadi 90% akan menurunkan kadar lemak susu (Sutton 1988). Defisiensi protein pada awal laktasi dapat menurunkan produksi susu dan kandungan lemaknya tapi tidak banyak berpengaruh terhadap kandungan bahan kering tanpa lemak (BKTL) atau solid non fat (SNF) (Oldham dan Smith 1981). Air susu mengandung tiga komponen utama yaitu laktosa, kasein dan lemak, selain masih ada komponen umum yang lain, mineral dan vitamin (Schmidt dan Van Vleck 1974). Persentase protein dan lemak berada di titik terendah ketika produksi berada di puncak laktasi dan berangsur-angsur meningkat menjelang akhir laktasi (Gambar 1) (Schmidt et al. 1988).
10
Gambar 1 Produksi lemak dan protein susu selama laktasi (Phillips 2001) Menurut Tillman et al. (1991), susu sapi mengandung sekitar 87.2% air, 3.7% lemak, 3.5% protein, 4.9% laktosa, 0.71% abu, 0.121% kalsium, 0.095% fosfor dan 73 Kkal/l. Sedangkan menurut Ensminger (1993), rata-rata komposisi susu sapi FH adalah BK 12.27%, lemak 3.80%, protein 3.19%, dan laktosa 8.47%. Standar Nasional Indonesia juga telah menetapkan syarat mutu susu seperti terlihat di Tabel 5. Tabel 5 Syarat mutu susu berdasarkan SNI 01-3141-1998 Karakteristik Berat jenis (27.5 °C) minimum Kadar lemak minimum Kadar BKTL/SNF minimum Kadar protein minimum Warna, bau, rasa, kekentalan Derajat asam Uji alcohol Uji katalase maksimum Kotoran dan benda asing Uji pemalsuan Total kuman maksimum
Syarat 1.028 kg/l 3.0% 8.0% 2.7% Tidak ada perubahan 6 sampai 7 °SH Negatif 3 (cc) Negatif Negatif 1 x 106 CFU/ml
Sumber: SNI 1998
3. METODE
Bahan Ternak yang digunakan adalah bangsa sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) laktasi sebanyak 22 ekor yang dibagi dalam 4 kelompok perlakuan (R0, R1, R2 dan R3). Perlakuan R0 dan R3 masing-masing terdiri atas 5 ekor ternak, sedangkan R1 dan R2 masing-masing terdiri atas 6 ekor ternak. Kondisi bulan
11
laktasi, umur dan bobot badan yang dicatat dan dirata-rata sebelum penelitian, dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Kondisi ternak yang digunakan selama penelitian Keterangan Bulan laktasi keTahun laktasi keBobot Badan (kg) R0 = R1 = R2 = R3 =
R0 1-7 2-6 414 ± 13.18
Perlakuan R1 R2 1-5 1-4 2-8 2-7 434 ± 26.17 421 ± 11.14
R3 1-7 3-8 426 ± 24.99
Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Pakan basal yang digunakan terdiri atas rumput gajah, rumput raja, rumput taiwan, rumput lapang, onggok dan makanan konsentrat produksi KPSBU. BIS (Gambar 2) mengandung PK 16.22% dan TDN 64.87%, sedangkan DDGS (Gambar 3) mengandung PK 28.68% dan TDN 83.58%. Kandungan PK dan TDN konsentrat setelah dicampur dengan BIS dan DDGS, ditampilkan pada Tabel 7. Tabel 7 Persentase BIS dan DDGS dalam konsentrat serta kandungan PK dan TDN konsentrat yang digunakan selama penelitian Perlakuan
BIS
DDGS
PK
TDN
16.82 18.52 18.32 16.64
71.22 72.95 71.00 69.29
(%) R0 R1 R2 R3 R0 = R1 = R2 = R3 =
28 42
14 14 -
Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Gambar 2 Bungkil inti sawit expeller
12
Gambar 3 Distillers dried grains with solubles
Alat Peralatan yang digunakan adalah milkcan ukuran 15 dan 40 liter, untuk menampung susu; timbangan gantung (salter) kapasitas 22 kg dengan kepekaan 250 g (Gambar 4) untuk menimbang susu, pakan, dan sisa pakan; termometer, stetoskop; paddle mastitis test; pita ukur dan milkanalyzer Lactoscan untuk mengukur berat jenis susu, protein, kadar lemak, bahan kering tanpa lemak dan total solid.
Gambar 4 Timbangan gantung
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2012 sampai Maret 2012 di Desa Gunung Putri, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Lokasi penelitian berada di Peternakan sapi perah Lembang yang berada dibawah binaan Koperasi Peternak Sapi Perah Bandung Utara (KPSBU), Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Pengujian dan analisis sampel susu dilakukan di Laboratorium Proksimat, Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. Sedangkan pengujian sampel pakan dilakukan di Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak, Dinas Peternakan Jawa Barat, Cikole, Lembang.
Prosedur Penelitian Keadaan mastitis diuji dengan Mastitis Test dengan reagen IPB-1 yang dilakukan sebelum, saat dan setelah penelitian yaitu saat pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan pakan. 1. Data fisiologis meliputi suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi respirasi. Pengukuran dilakukan setiap minggu sekali, sebelum dan setelah diberi pakan,
13
2.
3.
4.
5.
pada pagi, siang dan sore hari. Pengukuran dilakukan sebelum, saat dan setelah aplikasi perlakuan pakan. Periode pra perlakuan adalah pengukuran fisiologis pada minggu pertama, perlakuan adalah saat pengukuran fisiologis pada minggu ke 2 sampai 5, dan pasca perlakuan adalah pengukuran fisiologis pada minggu keenam. Suhu rektal diukur dengan memasukkan termometer ke dalam rektal sedalam ± 10 cm selama 15 detik yang kemudian dikonversi menjadi 1 menit. Denyut jantung diukur dengan menempelkan stetoskop di dekat tulang axilla sebelah kiri (dada sebelah kiri) selama 15 detik yang kemudian dikonversi menjadi 1 menit, diulang sebanyak tiga kali. Frekuensi pernafasan diukur dengan cara menempelkan stetoskop di dada untuk menghitung inspirasi dan ekspirasi pernafasan selama 15 detik yang kemudian dikonversi menjadi 1 menit, diulang sebanyak tiga kali pada setiap periode pengukuran. Konsumsi pakan (kg/ekor/hari). Konsumsi pakan diukur setiap hari dengan menghitung selisih pakan yang diberikan, dikurangi dengan pakan yang tersisa pada keesokan harinya. Konsumsi bahan kering pakan. Untuk mengetahui kandungan bahan kering, diambil sampel pakan rumput dan konsentrat baik yang diberikan maupun pakan sisa kemudian dikeringkan dalam oven 105 oC selama 24 jam. Kandungan bahan kering pakan ini kemudian dikalikan dengan jumlah pakan yang diberikan dan pakan sisa, sehingga selisih keduanya merupakan jumlah bahan kering yang dikonsumsi. Kandungan nutrisi rumput dan konsentrat, BIS, DDGS dan onggok. Sampel rumput dan konsentrat dikumpulkan secara komposit untuk kemudian dianalisa kandungan nutrisinya di laboratrorium analisis proksimat Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak, Dinas Pertanian Cikole, Lembang, Jawa Barat. Hal ini dilakukan untuk mengetahui jumlah nutrisi yang terkonsumsi oleh ternak. Lingkar dada (cm) diukur dengan menggunakan pita ukur dilakukan pada pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan, setelah itu dikonversi menjadi bobot badan (kg) dengan rumus Schrool (Soetarno 2003) dengan persamaan: Bobot Badan =
(Lingkar dada cm +22)
2
100
Hasil pengukuran bobot badan kemudian dikonversi menjadi metabolic body size (MBS) (Kleiber 1947), yang didapat dengan persamaan: MBS = Bobot badan (kg)0,75 6. Produksi susu harian, diukur dan ditimbang (kg) dan dicatat setiap hari pada pemerahan pagi pukul 04.00 sampai 06.00 WIB dan sore pukul 15.00 sampai 17.00 WIB selama penelitian dari minggu pertama hingga minggu ketujuh. Persistensi produksi susu (%) dihitung berdasarkan penurunan produksi susu setiap minggu setelah puncak produksi dengan persamaan: % Persistensi = 7.
Produksi susu setelah produksi puncak (kg ) Produ ksi puncak (kg )
x 100%
Kualitas susu diukur setiap dua minggu sekali yaitu pada pra perlakuan yaitu pada awal penelitian sebelum diberi perlakuan, periode perlakuan yaitu selama diberi perlakuan pakan pada minggu kedua dan keempat penelitian,
14
dan pasca perlakuan yaitu setelah diberi perlakuan pakan pada minggu keenam penelitian, dengan mengambil sampel susu sebanyak 200 ml. Analisis kualitas yang diukur meliputi berat jenis susu, protein (%), kadar lemak (%), bahan kering tanpa lemak (BKTL) (%) dan total bahan kering (%). Berdasarkan hasil analisis kadar lemak dan data produksi susu yang didapat, kemudian produksi susu dihitung berdasarkan 4% FCM dengan persamaan: Produksi susu 4% FCM = (0,4 x PS) + (15 x PS x %Fat) FCM PS Fat
= Fat Corrected Milk = Produksi susu = Kadar lemak susu sebenarnya
Analisis Data Sapi perah yang digunakan dalam penelitian dikelompokkan menjadi empat kelompok perlakuan pakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) (Mattjik dan Sumertajaya 2006) berdasarkan bulan laktasi dan tahun laktasi. Faktor jenis pakan (R0, R1, R2 dan R3) diamati dengan model linear pada rancangan percobaan ini. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam General Linear Model. Jika terdapat perbedaan hasil, akan dilanjutkan dengan uji Duncan. Penelitian terdiri dari tiga periode, yaitu pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan. Periode pra perlakuan adalah saat ternak belum diberi perlakuan pakan yaitu selama 7 hari; periode perlakuan adalah saat ternak diberi pakan perlakuan yaitu selama 30 hari; dan pasca perlakuan adalah saat ternak kembali tidak diberi pakan perlakuan yaitu selama 14 hari.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara adalah koperasi persusuan yang berada di Kabupaten Lembang, Jawa Barat dengan jumlah anggota mencapai 6 969 orang pada tahun 2011. Sepanjang tahun 2011, produksi susu di koperasi ini terus mengalami penurunan. Bahkan produksi terendah mencapai angka 98 500 liter/hari dengan rataan produksi 119 006 liter/hari. Namun, jika dibandingkan dengan tahun 2010, jumlah sapi menurun 0.88% yaitu dari 22 026 ekor menjadi 21 830 ekor. Populasi sapi di wilayah KPSBU pada tahun 2010 hingga 2011 dapat dilihat pada Tabel 8. Usaha peternakan sapi perah rakyat, bertujuan memenuhi aspek pemerataan, meluaskan lapangan kerja, meningkatan pendapatan peternak, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah pedesaan. Usaha peternakan sapi perah rakyat berskala keluarga, terhimpun dalam wadah koperasi persusuan sebagai pengumpul susu dan merupakan pemasok utama bahan baku susu segar bagi Industri Pengolahan Susu (IPS) yang mencapai 92% produksi nasional,
15
dimana jumlah sapi yang dikelola peternak rakyat sekitar 95% nya dari populasi sapi yang ada di Indonesia, kepemilikannya sekitar 3 ekor per peternak (Soetarno 2003). Tabel 8 Populasi sapi di wilayah binaan KPSBU tahun 2010-2011 Keadaan sapi Laktasi -Kosong -Bunting Dara -Kosong -Bunting Pedet -Jantan -Betina Jantan dewasa Sapi kering kandang Jumlah
2010
2011
7 296 4 113
6 954 5 025
2 228 1 394
2 395 907
1 569 3 085 635 1 706 22 026
1 722 3 491 295 1 041 21 830
Sumber : KPSBU 2011
Semakin meningkatnya harga pakan dan tidak diiringi dengan peningkatan harga susu, menjadi salah satu penyebab banyaknya peternak yang tidak melanjutkan usaha ternaknya. Produksi susu merupakan tujuan utama dalam pemeliharaan ternak. Sehingga berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan produksi susu dan memenuhi taraf hidup peternak. Salah satu cara yang dilakukan adalah meningkatkan efisiensi produksi melalui penggunaan bahan pakan lokal yang mempunyai kualitas baik tetapi harga relatif lebih murah. Bungkil inti sawit yang merupakan limbah pabrik pembuatan minyak sawit merupakan bahan pakan yang potensial untuk peternakan sapi perah.
Status Fisologis Ternak Reaksi sapi terhadap perubahan suhu yang dilihat dari respons pernapasan dan denyut jantung merupakan mekanisme dari tubuh sapi untuk mengurangi atau melepaskan panas yang diterima dari luar tubuh ternak (Yani dan Purwanto 2006). Denyut Jantung / Pulsus Pulsus merupakan denyut jantung yang dipengaruhi oleh temperatur lingkungan, ketinggian tempat, kelembaban, stres, penyakit dan lain-lain. Metode yang digunakan untuk mengetahui pulsus pada ternak dapat dilakukan dengan cara meraba bagian pangkal ekor sehingga terasa denyutan artery caudalisnya. Kisaran pulsus yang normal menurut Frandson (1992) adalah 60 sampai 70 kali/menit. Hasil pengukuran dan pengamatan laju denyut jantung selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 9.
16
Tabel 9 Pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata denyut jantung sapi Perlakuan R1 R2 R3 a (kali/menit) Pra perlakuan 63.63 ± 1.70 63.50 ± 1.22 66.00 ± 2.25 63.00 ± 2.53 Perlakuan 64.61 ± 1.75 65.00 ± 0.95 64.79 ± 2.63 65.48 ± 1.06 Pasca perlakuan 63.77 ± 2.96 63.39 ± 2.59 64.31 ± 1.80 62.23 ± 2.74 Periode
R0
a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
64,50 64,00 63,50 1
2
3
Periode
Frekuensi (kali/menit)
(a) R0
(c) R2
Frekuensi (kali/menit)
65,00
65,50 65,00 64,50 64,00 63,50 63,00 1
2
3
Periode
(b) R1 66,50 66,00 65,50 65,00 64,50 64,00 1
2 Periode
3
Frekuensi (kali/menit)
Frekuensi (kali/menit)
Rata-rata denyut jantung pada perlakuan R0, R1, R2 dan R3 masih berada pada kisaran normal. Frandson (1992) menyatakan bahwa pulsus sapi sekitar 60 sampai 70 kali/menit. Hasil analisis statistik menunjukkan denyut jantung antar perlakuan selama penelitian tidak berbeda nyata (P>0.05). Hal ini disebabkan oleh konsumsi pakan berupa bahan kering dan bobot badan ternak selama penelitian juga tidak berbeda nyata. Faktor-faktor yang mempengaruhi denyut jantung adalah bangsa, ukuran tubuh, umur, musim, kondisi fisik, temperatur lingkungan (Kelly 1984), derajat metabolisme tubuh, latihan dan aktivitas kerja (Evans et al. 1997).
65,00 64,00 63,00 62,00 1
2
3
Periode
(d) R3
Gambar 5 Kurva denyut jantung sapi dengan perlakuan berturut-turut (a) R0, (b) R1, (c) R2 dan (d) R3, periode 1, 2 dan 3 berturut-turut adalah pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan
17
Hasil penelitian Rakhman (2012) mengungkapkan bahwa peningkatan denyut jantung terjadi satu jam setelah ternak mengonsumsi pakan pada pagi hari. Peningkatan denyut jantung merupakan respon dari tubuh ternak untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin (Anderson 1983 dalam Yani dan Purwanto 2006). Kurva denyut jantung sapi selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 5. Berdasarkan Gambar 5 yang merupakan rataan denyut jantung pra perlakuan (1), perlakuan (2) dan pasca perlakuan (3), diketahui bahwa perlakuan R2 menunjukkan bentuk kurva yang berbeda dibandingkan dengan perlakuan R0, R1 dan R3. Kenaikkan denyut jantung selama penelitian pada perlakuan R0, R1 dan R3 menurut Swenson (1997) adalah keadaan sapi yang proestrus dimana terjadi gejala-gejala perubahan tingkah laku sapi yaitu sapi menjadi gelisah dan sapi selalu bergerak, dapat mengakibatkan kenaikkan pulsus. Kadar energi yang lebih tinggi menyebabkan produksi panas metabolis lebih tinggi dan selanjutnya dapat memicu peningkatan respon fisiologis termasuk denyut jantung. Berdasarkan hasil penelitian Rakhman (2012), diungkapkan bahwa ternak yang mengonsumsi konsentrat dengan tingkat energi (TDN) yang lebih tinggi, memiliki denyut jantung yang cenderung lebih tinggi terutama saat ada cekaman panas. Respirasi Fungsi utama respirasi adalah mengambil O2 dan melepaskan CO2, dan fungsi tambahannya adalah membantu pengaturan suhu tubuh (Frandson 1992). Frekuensi respirasi dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu berat badan, umur, exercise, rangsangan atau gerakan aktivitas yang banyak, temperatur lingkungan, kebuntingan, faktor kekenyangan pada ternak dan status kesehatan (Swenson 1997). Hasil pengukuran laju respirasi ternak disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata respirasi sapi Perlakuan
Periode R0
R1 R2 R3 a (kali/menit) Pra perlakuan 32.50 ± 3.66 31.08 ± 5.09 30.67 ± 2.23 32.20 ± 2.28 Perlakuan 30.48 ± 4.18 29.13 ± 3.97 30.25 ± 4.04 27.73 ± 4.13 Pasca perlakuan 29.40 ± 4.26 29.53 ± 3.65 28.72 ± 3.74 29.10 ± 3.17 a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Respirasi ternak pada saat penelitian masih berada pada kisaran normal yaitu 24 sampai 42 kali/menit (Swenson 1997). Hasil analisis antar perlakuan R0, R1, R2, R3 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05). Laju respirasi tertinggi selama perlakuan terdapat pada ternak yang diberi perlakuan R0 diikuti R2, dan yang terendah adalah ternak dengan perlakuan R3. Hal ini berkaitan
18
32,00 31,00 30,00 29,00 1
2
3
Periode
Frekuensi (kali/menit)
(a) R0
(c) R2
Frekuensi (kali/menit)
33,00
31,50 31,00 30,50 30,00 29,50 29,00 1
2
3
Periode
(b) R1 31,00 30,50 30,00 29,50 29,00 28,50 1
2 Periode
3
Frekuensi (kali/menit)
Frekuensi (kali/menit)
dengan konsumsi pakan ternak. Semakin tinggi konsumsi pakan dan produksi susu, maka laju respirasi yang dihasilkan akan semakin rendah. Hal ini sejalan dengan Schütz et al. (2010), yang menyatakan bahwa keadaan panas yang menyebabkan meningkatnya suhu udara akan meningkatkan suhu tubuh, laju respirasi yang akan menurunkan konsumsi pakan dan menurunkan produksi susu.
31,50 29,50 27,50 1
2
3
Periode
(d) R3
Gambar 6 Kurva respirasi sapi dengan perlakuan berturut-turut (a) R0, (b) R1, (c) R2 dan (d) R3, periode 1, 2 dan 3 berturut-turut adalah pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan Pernapasan merupakan respon tubuh ternak untuk membuang atau mengganti panas dengan udara di sekitarnya (Anderson 1983 dalam Yani dan Purwanto 2006). Berdasarkan Gambar 6 diketahui bahwa perlakuan R2 menunjukkan bentuk kurva yang berbeda dibandingkan dengan perlakuan R0, R1 dan R3. Tingginya laju respirasi pada perlakuan R2 pada periode perlakuan disebabkan oleh pakan yang dikonsumsi mengandung energi metabolis lebih tinggi dibandingkan dengan pakan pada perlakuan R0, R1 dan R3. Peningkatan laju respirasi merupakan salah satu aktivitas yang dapat dilakukan ternak agar suhu tubuhnya tidak terus menerus naik (McNeilly 2001). Temperatur Rektal Ternak harus mempertahankan keseimbangan panas yaitu antara panas yang diproduksi oleh tubuh atau panas yang didapat dari lingkungannya dengan panas yang hilang ke lingkungannya (Williamson dan Payne 1993). Menurut Anderson (1970), salah satu cara untuk memperoleh gambaran suhu tubuh adalah
19
dengan melihat suhu rektal dengan pertimbangan bahwa rektal merupakan tempat pengukuran terbaik dan dapat mewakili suhu tubuh secara keseluruhan sehingga dapat disebut sebagai suhu tubuh. Hasil pengukuran temperatur rektal selama penelitian disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata temperatur rektal sapi Periode R0
Perlakuan R1
R2 o
R3
a
( C) Pra perlakuan 37.93 ± 0.33 37.81 ± 0.38 37.96 ± 0.29 37.88 ± 0.29 Perlakuan 37.85 ± 0.11 37.70 ± 0.20 37.78 ± 0.20 37.75 ± 0.24 Pasca perlakuan 37.84 ± 0.13 37.72 ± 0.08 37.62 ± 0.19 37.74 ± 0.15 a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Hasil pengukuran menunjukkan perlakuan pakan tidak berpengaruh terhadap penurunan atau kenaikkan temperatur rektal ternak (P>0.05). Temperatur rektal yang didapat masih berada dalam kisaran normal sesuai dengan Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yang menyatakan bahwa temperatur rektal ideal bagi sapi adalah berkisar 38 oC. Kelompok R0 memiliki temperatur rektal tertinggi selama periode perlakuan dan pasca perlakuan. Perbedaan konsumsi energi pada ternak selama penelitian tidak dapat mempengaruhi temperatur rektal ternak. Gambaran peningkatan dan penurunan temperatur rektal selama penelitian pada tiap perlakuan, disajikan pada Gambar 7. Produksi panas sapi bergantung pada beberapa faktor, diantaranya jumlah pakan yang dikonsumsi, tingkat produksinya dan tingkah laku peternak (Dian et al. 2010). Berdasarkan kurva diketahui bahwa perlakuan R2 menunjukkan bentuk grafik yang berbeda dibandingkan dengan perlakuan R0, R1 dan R3. Tingginya energi metabolis pakan yang dikonsumsi oleh kelompok perlakuan R2 tidak menyebabkan kenaikan temperatur rektal ternak selama perlakuan seperti yang dijelaskan oleh Brosh et al. (1998), bahwa konsumsi energi pada sapi dapat menyebabkan peningkatan produksi panas. Beragamnya bulan dan periode laktasi ternak yang digunakan dapat menjadi penyebab tidak berbedanya temperatur rektal ternak.
20
37,90
37,95
Suhu (oC)
Suhu (oC)
38,00 37,90 37,85 37,80
37,80 37,70 37,60
1
2
3
1
2
Periode
Periode
(b) R1 37,85
38,00 37,90 37,80 37,70 37,60 37,50
Suhu (oC)
Suhu (oC)
(a) R0
37,80
37,75 37,70
1
2
1
3
2
3
Periode
Periode
(c) R2
3
(d) R3
Gambar 7 Kurva temperatur rektal sapi dengan perlakuan berturut-turut (a) R0, (b) R1, (c) R2 dan (d) R3, periode 1, 2 dan 3 berturut-turut adalah pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan Makanan yang berserat menghasilkan panas yang paling tinggi dalam proses pencernaannya, kemudian diikuti oleh protein, karbohidrat dan disusul oleh lemak yang memiliki kadar energi yang paling tinggi, akan tetapi, lemak menghasilkan panas terbuang/heat increament yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan protein dan karbohidrat (Parakkasi 1999). Penelitian Dian et al. (2010), mengungkapkan bahwa sapi perah induk berkemampuan produksi tinggi mempunyai aktivitas faali yang lebih tinggi, sehingga proses metabolisme pada sapi-sapi induk berkemampuan produksi tinggi berlangsung lebih cepat, guna mengimbangi produksi susu.
Konsumsi Pakan Konsumsi pakan merupakan faktor penting untuk menentukan kebutuhan hidup pokok dan produksi karena dengan tingkat konsumsi pakan maka dapat ditentukan kadar zat makanan dalam pakan untuk memenuhi hidup pokok dan produksi (Parakkasi, 1999). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan oleh ternak ruminansia antara lain jenis pakan, rasio pemberian pakan antara hijauan dan konsentrat, bentuk pakan, umur dan berat ternak, kebutuhan hidup pokok dan tujuan pemeliharaan ternak (Tillman et al. 1991). Pada peternakan rakyat, imbangan hijauan dan konsentrat pada sapi perah di awal dan akhir laktasi, lebih bergantung kepada ketersediaan pakan. Oleh sebab itu
21
konsumsi pakan perlu dinyatakan dalam bahan kering mengingat kandungan air dari pakan yang tersedia sangat bervariasi. Sapi yang berproduksi tinggi dapat mengonsumsi bahan kering pakan 3.6% sampai 4% bobot badannya (Sutardi 1983). Total digestible nutrients dihitung dengan rumus -21.7656 + (1.4284 x protein kasar) + (1.0277 x bahan ekstrak tanpa nitrogen) + (1.2321 x lemak kasar) + (0.4867 x serat kasar) (Wardek 1981). Tabel 12 menunjukkan hasil analisis proksimat bahan pakan yang digunakan saat penelitian. Tabel 12 Kandungan nutrisi bahan pakan yang digunakan dalam penelitian Bahan Pakan BIS DDGS Konsentrat KPSBU Onggok Rumput Gajah Rumput Lapang Batang Pisang Rumput Raja
Bahan Kering
Kadar Air
Kadar Abu
93.46 90.04
6.54 9.96
4.06 4.53
89.81
10.19
8.99
11.83 22.20
88.17 77.80
1.26 12.00
24.40
75.60
7.60 24.60
92.40 75.40
Kadar Protein (%) 16.22 28.68
Kadar Lemak
Serat Kasar
BETN
TDN
2.51 3.63
35.08 9.24
42.13 53.92
64.87 83.58
16.82
8.32
16.15
49.72
71.46
2.10 8.69
0.03 2.71
17.02 32.30
79.59 43.70
71.35 54.62
14.50
8.20
1.44
31.70
44.20
52.57
18.30 8.60
8.90 9.00
2.30 2.50
26.50 35.20
46.90 44.70
54.88 57.24
Konsumsi Hijauan Hijauan yang diberikan selama penelitian terdiri atas berbagai jenis rumput yaitu rumput gajah, rumput taiwan, rumput raja dan rumput lapang dan daun yang terdiri atas daun pisang, daun jagung dan lain-lain. Pemberian hijauan berbeda-beda setiap harinya bergantung pada ketersediaan hijauan yang ada di lokasi. Energi metabolis (ME) yang dikonsumsi dihitung dengan menggunakan rumus: ME = -0,45 + 1,01 DE (digestible energy) (Moe dan Tyrell 1970), adapun DE = 0.04409 x %TDN dan NEL = 0.0245 x %TDN (NRC 2003). Hasil konsumsi bahan kering dan nutrisi lainnya dari hijauan oleh ternak selama penelitian, dapat dilihat pada Tabel 13.
22
Tabel 13 Rata-rata konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NEL (Mkal/kg) hijauan selama penelitian Konsumsi Hijauan
Perlakuan R0
R1
R2 R3 (kg/ekor/hari)a Bahan kering 13.21 ± 1.70 13.89 ± 1.20 14.08 ± 1.96 13.60 ± 1.42 Protein kasar 1.16 ± 0.17 1.22 ± 0.12 1.24 ± 0.20 1.19 ± 0.14 Lemak kasar 0.36 ± 0.05 0.37 ± 0.04 0.38 ± 0.06 0.36 ± 0.04 Serat kasar 4.32 ± 0.64 4.57 ± 0.48 4.61 ± 0.74 4.44 ± 0.54 BETN 5.84 ± 0.83 6.16 ± 0.62 6.24 ± 0.98 6.00 ± 0.68 TDN 7.08 ± 0.59 7.40 ± 0.62 7.56 ± 0.96 7.06 ± 0.64 (Mkal/kg)a ME 1.96 ± 0.18 1.94 ± 0.18 1.95 ± 0.13 1.87 ± 0.12 NEL 1.21 ± 0.09 1.20 ± 0.10 1.20 ± 0.07 1.16 ± 0.07 a Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada konsumsi bahan kering, protein kasar, serat kasar, lemak kasar, BETN, TDN, ME dan NEL hijauan dalam setiap kelompok perlakuan pakan (P>0.05). Konsumsi bahan kering hijauan tertinggi terdapat pada perlakuan R2 yaitu 14.08 kg/ekor/hari sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan R0 yaitu 13.21 kg/ekor/hari. Konsumsi ME dan NEL hijauan tertinggi terdapat pada perlakuan R0, namun tingginya konsumsi ME dan NE L hijauan tidak diikuti oleh tingginya produksi susu. Konsumsi Konsentrat Pemberian pakan berupa hijauan saja tidak dapat mencukupi energi dan protein yang dibutuhkan oleh ternak. Oleh karena itu, perlunya pemberian konsentrat untuk memenuhi kebutuhan gizi ternak. Hasil data rata-rata konsumsi bahan kering dan nutrisi lainnya dari konsentrat selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 14.
23
Tabel 14 Rata-rata konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NEL (Mkal/kg) konsentrat selama penelitian Konsumsi Konsentrat
Perlakuan R0
R1
R2 R3 (kg/ekor/hari)a Bahan kering 8.81 ± 0.86 8.80 ± 1.10 7.91 ± 0.92 8.35 ± 1.55 Protein kasar 1.23 ± 0.31 1.34 ± 0.49 1.01 ± 0.21 1.11 ± 0.33 Lemak kasar 0.57 ± 0.12 0.59 ± 0.17 0.47 ± 0.73 0.51 ± 0.14 Serat kasar 1.30 ± 0.17 1.34 ± 0.28 1.12 ± 0.08 1.26 ± 0.23 BETN 5.06 ± 0.85 4.89 ± 0.99 4.77 ± 1.12 4.94 ± 1.26 TDN 6.46 ± 0.63 6.49 ± 0.81 5.85 ± 0.73 6.16 ± 1.13 (Mkal/kg)a ME 7.53 ± 0.64 7.23 ± 0.55 6.68 ± 0.42 6.99 ± 1.05 NEL 3.43 ± 0.00 3.43 ± 0.00 3.43 ± 0.00 3.43 ± 0.00 a Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Berdasarkan hasil analisis statistik, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan nyata dalam konsumsi bahan kering, protein kasar, serat kasar, lemak kasar, BETN, ME dan NEL dari setiap perlakuan (P>0.05). Pemberian konsentrat berupa onggok dan ampas tahu berbeda-beda pada tiap ternak, hal ini bergantung pada produksi susu masing-masing ternak. Penelitian Sugandi et al. (2005) mengungkapkan ternak yang mengonsumsi total bahan kering pakan rata-rata sekitar 17 kg/ekor/hari menghasilkan susu rata-rata 10 kg/ekor/hari. Menurut Tillman et al. (1991), sapi dengan kemampuan produksi susu tinggi, membutuhkan energi yang lebih besar dibandingkan dengan sapi yang berproduksi susu rendah. Ternak yang digunakan pada perlakuan R2 memiliki produksi susu tertinggi yang diikuti oleh perlakuan R3, sedangkan perlakuan R0 memiliki produksi susu yang terendah. Konsumsi BIS Konsumsi BIS rata-rata dalam berat basah selama penelitian pada perlakuan R2 sebesar 1.59 kg/ekor/hari dari pemberian 2 kg BIS dan pada perlakuan R3 sebesar 1.67 kg/ekor/hari dari pemberian 3 kg BIS. Hal ini menyebabkan konsumsi BIS selama penelitian pada perlakuan R2 hanya sebesar 24% dari jumlah konsentrat yang dicampur dan pada perlakuan R3 hanya sebesar 29% dari jumlah konsentrat yang dicampur. Jumlah konsumsi bahan kering dan nutrisi lainnya dari BIS sebelum, selama dan setelah penelitian dapat dilihat pada Tabel 15.
24
Tabel 15 Rata-rata konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NEL (Mkal/kg) BIS selama penelitian Konsumsi BIS
Perlakuan R0
R1
R2
R3
(kg/ekor/hari)a Bahan kering Protein kasar Lemak kasar Serat kasar BETN TDN
-
-
1.49 ± 0.46 0.24 ± 0.07 0.04 ± 0.01 0.52 ± 0.16 0.63 ± 0.19 0.96 ± 0.30
1.68 ± 0.42 0.27 ± 0.07 0.04 ± 0.01 0.59 ± 0.15 0.71 ± 0.18 1.09 ± 0.27
(Mkal/kg)a ME 2.44 ± 0.00 2.44 ± 0.00 NEL 1.47 ± 0.00 1.47 ± 0.00 a Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering dan nutrisi lainnya dari BIS pada kelompok R2 dan R3 tidak berbeda (P>0.05). Selama periode perlakuan, tidak semua BIS yang diberikan (3 kg/ekor/hari) habis dikonsumsi oleh ternak. Kandungan lemak kasar dalam BIS yang tinggi, mengakibatkan rendahnya palatabilitas BIS. Lemak mempengaruhi palatabilitas suatu pakan oleh karenanya mempengaruhi tingkat konsumsi pakan (Sutardi 1981). Bungkil inti sawit memiliki keterbatasan yaitu kandungan serat kasar yang cukup tinggi terutama lignin serta palatabilitasnya rendah (Widjastuti et al. 2007), disamping itu faktor adaptasi juga berpengaruh pada konsumsi BIS. Ternak belum terbiasa mengkonsumsi BIS sehingga masih memerlukan waktu untuk beradaptasi. Jumlah konsumsi akan dipengaruhi oleh palatabilitas, komposisi kimia, jumlah pakan yg tersedia serta kualitas pakan tersebut, sedangkan kualitas ransum akan mempengaruhi besarnya protein yang dikonsumsi, palatabilitas, kapasitas alat pencernaan serta kemampuan menggunakan zat-zat makanan yang diserap menggunakan faktor yang ikut menentukan tingkat konsumsi (Okmal 1993). Konsumsi DDGS Distillers dried grains with solubles merupakan bahan pakan yang mengandung PK dan TDN tinggi yaitu masing-masing 28.68% dan 83.58%. Hasil bahan kering dan nutrisi lainnya dari konsumsi DDGS yang telah dirata-rata sebelum, selama dan setelah penelitian dapat dilihat pada Tabel 16.
25
Tabel 16 Rata-rata konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NEL (Mkal/kg) DDGS selama penelitian Konsumsi DDGS
Perlakuan R0
R1
R2 R3 (kg/ekor/hari)a Bahan kering 0.90 ± 0.00 0.90 ± 0.00 Protein kasar 0.24 ± 0.00 0.24 ± 0.00 Lemak kasar 0.03 ± 0.00 0.03 ± 0.00 Serat kasar 0.08 ± 0.00 0.08 ± 0.00 BETN 0.46 ± 0.00 0.46 ± 0.00 TDN 0.71 ± 0.00 0.71 ± 0.00 (Mkal/kg)a ME 3.27 ± 0.00 3.27 ± 0.00 NEL 1.93 ± 0.00 1.93 ± 0.00 a Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Berdasarkan hasil analisis statistik, konsumsi bahan kering dan nutrien lainnya dari DDGS tidak berbeda nyata pada kelompok R1 dan R2 (P>0.05). Hal ini dapat disebabkan oleh DDGS diberikan dan dikonsumsi dalam jumlah yang sama pada perlakuan R1 dan R2 yaitu 1 kg/ekor/hari. Penggunaan DDGS dalam pakan sangatlah ekonomis karena dapat menggantikan soybean meal (SBM) atau tepung kedelai dan merupakan sumber dikalsium fosfat pada pakan ternak (Anonim 2011). Pemberian yang berlebihan akan mengakibatkan kelebihan protein, pemberian 27 sampai 40% akan mengakibatkan menurunnya produksi susu, persentase lemak susu akan turun jika pemberiannya sebesar 13%, dengan penggunaan silase jagung dan hay alfalfa sebagai sumber hijauan (Schingoethe 2004). Total Konsumsi Pakan Biaya yang dikeluarkan untuk pakan di Indonesia mencapai 60 hingga 70% dari total biaya produksi (Sudono et al. 2005), oleh karena itu pemberian pakan hendaknya memperhatikan kebutuhan hidup pokok dan produksi. Menurut Kurihara dan Shioya (2003), sapi yang mengonsumsi pakan lebih dari 20 kg/ekor/hari bahan kering dengan TDN 75 sampai 77%, akan menurunkan suhu efektif lingkungan untuk berproduksi pada 25 oC, jika kurang dari 20 kg maka suhu akan relatif konstan. Peningkatan mutu pakan dapat memperbaiki kuantitas dan kualitas susu sapi perah yang dikelola peternak rakyat, tanpa harus meningkatkan volume pakan yang disediakan (Sugandi et al. 2005). Imbangan hijauan dan konsentrat selama penelitian pada R0 yaitu 54:46, dan pada perlakuan R1, R2 dan R3 yaitu 52:48. Imbangan ini masih berada didalam kisaran imbangan ideal yang disarankan oleh JICA (1992) dalam Soetarno (2003), imbangan hijauan:konsentrat untuk sapi perah pada awal laktasi yaitu 55:45, pada pertengahan laktasi 45:55, dan pada akhir laktasi 35:65.
26
Menurut McCullough (1973), untuk mencapai produksi susu yang tinggi dengan tetap mempertahankan kadar lemak susu yang memenuhi persyaratan kualitas, maka perbandingan antara bahan kering hijauan dengan konsentrat yang ideal adalah 60:40. Imbangan rumput dapat ditingkatkan menjadi 64:35 apabila rumput yang diberikan berkualitas sedang hingga tinggi. Total rata-rata konsumsi pakan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Rata-rata total konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NEL (Mkal/kg) pakan selama penelitian Perlakuan Konsumsi Bahan kering Protein kasar Lemak kasar Serat kasar BETN TDN ME NEL
R0 22.02 ± 1.41a 2.39 ± 0.44 a 0.93 ± 0.15 a 5.56 ± 0.73 a 10.90 ± 0.27 a 13.54 ± 0.57a 9.49 ± 0.71a 4.64 ± 0.10 a
R1 R2 R3 (kg/ekor/hari)a 22.70 ± 1.95 a 22.73 ± 1.67 a 22.78 ± 1.22 a 2.80 ± 0.61 a 2.72 ± 0,37 a 2.54 ± 0.40 a 1.00 ± 0.21 a 1.13 ± 0,12 a 0.91 ± 0.14 a 6.00 ± 0.75 a 6.30 ± 0.77 a 6.15 ± 0.55 a 11.51 ± 0.86 a 12.05 ± 0.98 a 11.55 ± 0.77 a 14.79 ± 1.16b 15.01 ± 0.94b 14.15 ± 0.56ab (Mkal/kg)a 11.62 ± 0.60b 14.34 ± 0.36c 11.31 ± 1.03b 6.09 ± 0.10b 8.02 ± 0.07c 6.05 ± 0.06b
a
Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Hasil analisis statistik menunjukkan perlakuan pakan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05) terhadap konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan BETN. Hasil analisis statistik menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap TDN, ME dan NE L. Konsumsi TDN pada perlakuan R1, R2, R3 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap perlakuan R0, sedangkan perlakuan R1 dan R2 menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap perlakuan R3. Terjadi kenaikan TDN sebesar 1.25 kg bahan kering pada R1, 4.85 kg pada R2 dan 1.82 kg pada R3. Adapun konsumsi ME pada perlakuan R1, R2 dan R3 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap perlakuan R0, sedangkan perlakuan R1 dan R3 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap perlakuan R2. Penambahan BIS dan DDGS pada perlakuan R1, R2 dan R3 meningkatkan konsumsi ME pakan. Konsumsi ME tertinggi pada perlakuan R2 yaitu dengan kombinasi penambahan BIS 2 kg dan DDGS 1 kg. Penambahan BIS dan DDGS ini meningkatkan konsumsi ME sebesar 4.85 Mkal/kg atau terjadi peningkatan sebesar 51%. Pada penambahan campuran BIS dan DDGS secara tunggal, maka peningkatan konsumsi ME lebih besar pada penambahan DDGS yaitu sebesar
27
2.13 Mkal/kg atau terjadi peningkatan sebesar 30%, dibandingkan dengan penambahan BIS saja yaitu 1.82 Mkal/kg atau 19%. Hal ini menunjukkan kontribusi DDGS terhadap ME pakan lebih besar, yaitu sekitar 26% pada perlakuan R1 dibandingkan dengan BIS yaitu sebesar 21% pada perlakuan R3. Adapun konsumsi NEL pada perlakuan R1, R2 dan R3 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap perlakuan R0, sedangkan perlakuan R1 dan R3 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap perlakuan R2. Terjadi peningkatan NEL sebesar 1.45 Mkal/kg pada perlakuan R1, 3.38 Mkal/kg pada perlakuan R2 dan 1.41 Mkal/kg pada perlakuan R3. Pemberian campuran DDGS secara tunggal pada konsentrat memberikan tambahan NE L lebih besar dari pada NEL pada pemberian campuran BIS dan DDGS atau BIS secara tungga pada konsentrat. Menurut Ensminger et al. (1990), kebutuhan zat-zat gizi untuk hidup pokok sapi perah dengan bobot 400 kg yaitu protein sebesar 373 g dan ME 11.9 Mkal atau setara dengan DE 14512.19 Kkal, sedangkan untuk memproduksi 1 kg susu, sapi perah membutuhkan protein sebesar 77 g dan ME 1.07 Mkal atau setara dengan DE 1304.87 Kkal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi energi metabolis ternak di perlakuan kontrol (R0) hanya 9.47 MKal dan masih dibawah kebutuhan ternak sapi laktasi dengan bobot 400 kg yaitu 11.9 Mkal. Penambahan BIS saja (R3) hanya meningkatkan konsumsi energi metabolis menjadi 11.33 Mkal sedikit dibawah kebutuhan untuk bobot hidup 400 kg yaitu 11.9 Mkal. Tetapi penambahan DDGS secara tunggal dapat meningkatkan konsumsi energi metabolis sampai 12.45 Mkal dan meningkat lagi menjadi 14.34 Mkal jika penambahan DDGS dikombinasi dengan BIS. sehingga dapat memenuhi kebutuhan untuk sapi yang sedang laktasi. Dengan adanya penambahan pada konsumsi energi ini maka diharapakan akan terjadi peningkatan produksi susu pada perlakuan yang diberi konsentrat dengan campuran BIS dan DDGS baik secara tunggal maupun campuran keduanya. Konsumsi NEL pada perlakuan R0 sebesar 48.89% ME pakan, sedangkan pada perlakuan R1 sebesar 52.41%, R2 55.93% dan R3 53.49%. Persentase NEL tertinggi terdapat pada perlakuan R2 yang diikuti oleh R3, R1 dan R0. Hasil ini sejalan dengan hasil produksi susu. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi persentase NEL, tampak semakin tinggi produksi susunya. Ransum yang sama kandungan zat-zat makanannya belum tentu sama pengaruhnya terhadap ternak karena dipengaruhi oleh kesukaan dan pencernaan masing-masing (Okmal 1993). Konsumsi bahan kering total dari semua perlakuan (21.76 sampai 24.23 kg/ekor/hari), ternyata jauh lebih tinggi dari pada konsumsi bahan kering yang seharusnya diberikan untuk sapi dengan bobot badan 400 sampai 450 kg, dengan produksi sekitar 20 kg/ekor/hari yang membutuhkan bahan kering sebesar 11.85 sampai 12.86 kg/ekor/hari (NRC 1989). Jumlah bahan kering yang dikonsumsi oleh ternak, lebih tinggi daripada produksi susu yang dihasilkan Hal ini menunjukkan bahwa ransum yang diberikan oleh peternak tidak efisien, karena rendahnya kecernaan pada pakan yang digunakan dalam penelitian.
28
Bobot Badan Kebutuhan nutrien yang tidak tercukupi, dapat mengakibatkan penurunan bobot badan. Bobot badan perlu diukur untuk mengetahui pertumbuhan ternak, yang dalam penelitian ini didapat melalui Rumus Schroorl, yaitu rumus untuk menduga berat badan ternak berdasarkan ukuran linear dari badannya (Soetarno 2003). Hasil pengukuran lingkar dada dan bobot badan hasil perhitungan melalui rumus Schroorl dapat dilihat pada Tabel 18. Pengukuran terhadap lingkar dada dilakukan guna mengestimasi bobot badan pada sapi, karena lingkar dada banyak dipengaruhi oleh keadaan perdagingan dan perlemakan. Penentuan bobot badan dengan menggunakan alat timbang masih terkendala oleh pengadaan alat dan kandang, selain itu juga dinilai kurang praktis dan ekonomis. Tabel 18 Perngaruh perlakuan pakan terhadap selisih rata-rata bobot badan sapi yang digunakan dalam penelitian Perlakuan
Periode R0 Perlakuan-pra perlakuan Pasca perlakuan- perlakuan
4.91 ± 9.68 4.99 ± 12.38
R1
R2
(kg/ekor)a -2.84 ± 16.00 0.74 ± 9.49 7.50 ± 9.48 2.05 ± 10.8
R3 1.87 ± 9.32 4.09 ± 10.19
a
Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan pakan tidak memberikan pengaruh nyata (P>0.05) terhadap lingkar dada dan bobot badan ternak. Ternak pada kelompok perlakuan R1 mengalami penurunan bobot badan selama periode perlakuan yang ditunjukkan oleh notasi (-) minus. Hasil pengukuran bobot badan pada pra perlakuan dibandingkan dengan periode perlakuan, memperlihatkan bahwa perlakuan R0 mengalami kenaikkan berat badan tertinggi disusul oleh perlakuan R3 dan R2 Kenaikkan bobot badan pada perlakuan R0 yang cukup tinggi disebabkan oleh sapi yang digunakan dalam penelitian didominasi oleh sapi-sapi yang berada pada tahun laktasi awal dan fase pertumbuhan cepat. Pada awal laktasi kebutuhan nutrien meningkat dengan pesat dan apabila tidak diimbangi dengan konsumsi yang mencukupi, maka akan terjadi mobilisasi energi dalam tubuh sehingga mengakibatkan penurunan bobot badan (Mundingsari et al. 2006). Hasil ini menunjukkan bahwa selama penelitian ternak mendapatkan asupan nutrisi yang diperlukan untuk fase ini. Kenaikan bobot badan yang terjadi pada kelompok perlakuan R1 dan R2 dapat disebabkan oleh konsumsi energi metabolis pada DDGS lebih tinggi daripada BIS yang diberikan selama penelitian. Pemberian DDGS sampai 25% dan 30% dalam pakan dapat meningkatkan bobot badan ternak (Di Costanzo 2005). Hasil pada Tabel 18 menunjukkan bahwa nutrien yang tersedia dari pakan
29
yang dikonsumsi ternak dapat memenuhi kebutuhan nutrien ternak sehingga tidak terjadi penurunan maupun kenaikan bobot badan yang signifikan. Metabolic body size adalah laju metabolisme per ukuran tubuh (Kleiber 1947). Menurut Soetarno (2003), MBS adalah berat seekor hewan yang dipangkatkan 0.75 (B0.75) dan digunakan dalam berbagai pengamatan metabolisme yang terjadi di dalam tubuh dan sangat berguna untuk membandingkan laju metabolisme hewan-hewan yang sangat berbeda berat badannya satu sama lain, selain itu juga digunakan untuk perbaikan jaringan. Hasil perhitungan TDN dibagi dengan bobot badan selama penelitian yang dikonversikan ke dalam MBS, ditunjukan pada Tabel 19. Tabel 19 Perhitungan energi dibandingkan dengan laju metabolisme ternak selama penelitian Perlakuan Uraian
R0
R1
R2
R3
0.75 a
MBS
(kg BB
)
-Pra Perlakuan
92.73 ± 3.09
95.14 ± 4.30
92.94 ± 1.89
93.79 ± 4.13
- Perlakuan
93.29 ± 2.78
94.68 ± 3.84
92.51 ± 3.39
94.09 ± 5.48
-Pasca Perlakuan
93.74 ± 2.00
95.91 ± 2.48
93.39 ± 1.32
94.75 ± 3.91
0.75 a
TDN/MBS
(g TDN/kg BB
)
-Pra Perlakuan
154.81 ± 14.41
153.73 ± 15.00
165.86 ± 10.12
152.84 ± 5.89
-Perlakuan
158.92 ± 12.54
166.35 ± 18.76
175.26 ± 18.86
169.32 ± 11.41
-Pasca Perlakuan
156.05 ± 11.18
157.02 ± 12.83
158.08 ± 14.45
155.14 ± 13.88
a
Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Hasil MBS selama penelitian menunjukkan bahwa, perlakuan pakan tidak memberikan pengaruh nyata (P>0.05) terhadap perubahan MBS ternak. Begitu pula hasil TDN per MBS. Perlakuan R0 mengalami kenaikan MBS paling besar yaitu 1,01. Hal ini dikarenakan energi pakan yang terkonsumsi oleh ternak di kelompok R0 lebih banyak digunakan untuk pertumbuhan daripada produksi susu. Kenaikan MBS pasca perlakuan pada perlakuan R1 dan R3 masing-masing 0.78 dan 0.95 kg BB0.75, sedangkan kenaikkan terkecil terdapat pada kelompok perlakuan R2 sebesar 0.45 kg BB0.75. Hal ini dapat disebabkan oleh konsumsi ME pada ternak di perlakuan R2 (14.34 Mkal/kg) lebih banyak digunakan untuk produksi susu, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 20. Pada perlakuan R1, R2 dan R3 terjadi peningkatan pemanfaatan energi yang tinggi selama pemberian pakan perlakuan. Pemanfaatan energi terbesar terbesar terjadi pada perlakuan R2 selama penelitian. Hasil TDN/MBS menunjukkan semakin besar energi pakan yang dikonsumsi, maka semakin banyak susu yang dihasilkan. Hal ini sejalan dengan produksi susu tiap perlakuan, dimana produksi tertinggi terdapat pada perlakuan R2, diikuti oleh R2, R1 dan R0. Hal ini juga menunjukkan bahwa pakan perlakuan memberikan asupan energi yang besar yang dapat digunakan untuk
30
produksi susu, metabolisme dan pertumbuhan bobot badan. Jika energi dalam ransum berlebihan, konsumsi pakan akan meningkat (Agus 1997).
Produksi Susu Kemampuan berproduksi seekor sapi perah dipengaruhi oleh sifat-sifat genetik dan lingkungan seperti makanan, manajemen, iklim dan penyakit. Sapi FH diketahui merupakan bangsa sapi perah yang memiliki produksi tertinggi jika dibandingkan dengan bangsa sapi perah lainnya. Menurut Sudono et al. (2005), produksi susu rata-rata sebanyak 6 liter/ekor/hari masih menguntungkan. Hasil rata-rata produksi susu selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 20. . Tabel 20 Pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata selisih produksi susu (kg/ekor/hari) Perlakuan
Periode R0 Perlakuan – pra perlakuan Pasca perlakuan – perlakuan
0.72 ± 0.76 0.01 ± 0.61
R1
R2
(kg/ekor/hari)a 0.14 ± 1.01 0.48 ± 0.70 -0.52 ± 1.23 -1.07 ± 1.17
R3 0.23 ± 0.92 -0.55 ± 1.07
a
Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3
Hasil analisis statistik selisih produksi susu sebelum dan setelah penelitian antar perlakuan (Tabel 20) menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0.05). Angka dengan notasi minus (-) menunjukkan terjadi penurunan produksi. Kenaikkan produksi susu tertinggi terdapat pada perlakuan R0 diikuti perlakuan R2. Setelah perlakuan, pada perlakuan R0 tidak terjadi penurunan produksi susu setelah perlakuan. Pada perlakuan R2 terjadi penurunan produksi yang paling tinggi setelah campuran BIS dan DDGS dihilangkan pada pasca perlakuan, yaitu 1.07 kg/ekor/hari. Hasil pengukuran di lapangan menunjukkan rataan produksi susu selama periode perlakuan yang terendah dimiliki oleh sapi dengan perlakuan R0 yaitu 15.99 kg/ekor/hari dan yang tertinggi dimiliki oleh sapi R2 dengan 19.61 kg/ekor/hari. Adapun produksi susu sapi R1 dan R3 adalah 17.76 dan 18.29 kg/ekor/hari. Data produksi susu ini sesuai dengan data konsumsi energi ternak disetiap kelompok perlakuan. Produksi susu yang lebih tinggi ada pada ternak di R2 diikuti oleh R3, R1 dan R0. Hasil ini sejalan dengan data konsumsi energi yang menunjukkan bahwa konsumsi energi tertinggi pada ternak di kelompok R2 diikuti oleh ternak dikelompok R3, R1 dan R0. Hasil ini menunjukkan bahwa produksi susu erat kaitannya dengan konsumsi dan ketersediaan energi dalam pakan.
31
Gambaran produksi susu selama penelitian ditunjukkan pada Gambar 8. Terjadi kenaikan produksi susu pada masing-masing kelompok perlakuan selama pemberian pakan perlakuan. Kenaikan produksi tertinggi terdapat pada kelompok R0 diikuti R2, R3 dan R1. Penurunan produksi terjadi setelah ternak tidak diberi pakan perlakuan. Penurunan paling drastis terjadi pada kelompok perlakuan R2, diikuti R3, R1 dan R0. Selisih kenaikan produksi pasca perlakuan dengan pra perlakuan menunjukkan penurunan pada kelompok perlakuan R2, diikuti R1 dan R3. Pada kelompok R2 terjadi kenaikkan produksi susu. Hal ini disebabkan, pakan perlakuan berupa BIS dan DDGS, memberikan pengaruh mempertahankan produksi susu pada level produksi yang tinggi.
Gambar 8 Kurva produksi susu selama 7 minggu masa penelitian, R0 (◊), R1 (□), R2 (∆), dan R3 (X) Produksi susu tertinggi dimiliki oleh sapi dengan perlakuan R2, sedangkan produksi susu terendah dimiliki oleh sapi dengan perlakuan R0. Semua perlakuan mengalami kenaikan produksi susu pada minggu keempat. Bulan laktasi yang beragam menjadi penyebab ikut meningkatnya produksi susu pada perlakuan kontrol R0 mengikuti perlakuan R1, R2 dan R3. Puncak produksi didapatkan pada minggu kelima penelitian pada perlakuan R2. Puncak produksi tertinggi terdapat pada perlakuan R2. Hal ini berarti pengaruh pemberian campuran BIS dan DDGS dapat meningkatkan produksi susu selama periode perlakuan. Produksi susu mengalami penurunan cukup tajam mulai minggu keenam atau setelah perlakuan pakan.
0.06 %
16,80 16,60 16,40 16,20
4.50 %
16,00 15,80
15.99 16.71
16.72
15,60 1
2
Produksi Susu (kg/ekor/hari)
Produksi Susu (kg/ekor/hari)
32
18,10
0.81 % 2.95 %
17,60 17,10 16,60 16,10
17.61 17.76 17.23
15,60 1
3
(b) R1
20,60
2.50 % 5.46%
18,60 17,60
19.13 19.61 18.54
15,60 1
2
Produksi Susu (kg/ekor/hari)
Produksi Susu (kg/ekor/hari)
(a) R0
16,60
18,60
1.26 %
2.98%
18,10 17,60 17,10 16,60 16,10
18.06 18.29
17.75
15,60
3
1
Periode
(c ) R2
3
Periode
Periode
19,60
2
2
3
Periode
(d) R3
Gambar 9 Diagram produksi susu perlakuan (a) R0, (b) R1, (c) R2, dan (d) R3, periode 1, 2 dan 3 berturut-turut adalah pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan Rerata produksi susu ditampilkan pada Gambar 9, periode merupakan pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan pakan. Produksi susu R0 mengalami peningkatan 4.50% selama perlakuan dan tidak mengalami penurunan pasca perlakuan. Produksi susu R1 mengalami peningkatan 0.81% selama penelitian dan mengalami penurunan pasca perlakuan sebesar 2.95%. Produksi susu R2 mengalami peningkatan 2.50% selama perlakuan dan mengalami penurunan 5.46% pasca perlakuan. Produksi susu R3 mengalami peningkatan 1.26% selama perlakuan dan mengalami penurunan 2.98% pasca perlakuan. Penghentian pemberian perlakuan pakan lebih berdampak negatif menurunkan produksi susu (Tabel 20), dibandingkan dengan pengaruhnya terhadap penurunan bobot badan (Tabel 18). Penurunan produksi susu terjadi pada kelompok perlakuan R1, R2 dan R3 yang diberi campuran BIS, DDGS dan campuran keduanya. Hal ini menunjukkan bahwa campuran BIS dan DDGS secara tunggal maupun campuran keduanya, meningkatkan produksi susu selama periode perlakuan.
33
Kemampuan untuk mempertahankan puncak laktasi secara terus menerus dalam waktu yang lama (persistensi) akan menghasilkan total produksi susu yang lebih tinggi (Phillips 2001, Tyler dan Ensminger 2006). Masa laktasi adalah periode sapi selama menghasilkan air susu yaitu antara waktu beranak dengan masa kering (Sudono et al. 2005). Untuk melihat perubahan pengaruh perlakuan terhadap puncak produksi susu dan persistensi, maka dilakukan perhitungan selisih perbedaan kenaikkan dan penurunan produksi susu. Pernurunan produksi susu dapat diketahui melalui persistensi produksi susu. Persistensi yang tinggi adalah proses penurunan produksi susu yang lambat. Hasil penelitan menunjukkan, puncak produksi susu perlakuan R0, R1, dan R3 didapat pada minggu ke-4, sedangkan pada perlakuan R2 didapat pada minggu ke-5. Perhitungan persistensi produksi susu selama penelitian disajikan pada Tabel 21. Tabel 21
Pengaruh perlakuan pakan terhadap rataan persistensi produksi susu selama penelitian
Penurunan produksi susu
R0
Minggu ke-5 Minggu ke-6 Minggu ke-7
0.49 ± 0.55 0.43 ± 0.38 0.91 ± 1.05
Persistensi produksi susu/minggu
96.39 ± 3.73
Perlakuan R1 R2 (kg/ekor/minggu) 0.05 ± 0.73 0.25 ± 0.80 0.86 ± 0.75 1.10 ± 1.59 1.82 ± 1.12 (%)a 98.21 ± 5.62 93.30 ± 4.91
R3 0.54 ± 1.07 0.81 ± 1.28 1.09 ± 1.88 95.78 ± 7.31
a
Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Persistensi produksi adalah kemampuan sapi induk untuk mempertahankan produksi susu tinggi selama masa laktasi (Blakely dan Bade 1998). Sedangkan kemampuan sapi dalam mempertahankan puncak produksi susunya disebut persistensi laktasi (Sudono et al. 2005). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa rataan persistensi antar kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (P>0.05). Persistensi produksi susu merupakan laju peningkatan produksi susu pada kurva produksi susu menaik dan laju penurunan produksi susu pada kurva produksi susu menurun (Tillman et al. 1991). Produksi susu akan meningkat dengan cepat sampai puncak produksi pada 35 sampai 50 hari setelah melahirkan kemudian produksi susu harian akan mengalami penurunan rata-rata 2.5% per minggu (Siregar 1990). Penurunan atau slope kurva laktasi pertama lebih rendah dibandingkan dengan periode laktasi berikutnya (Fadlemoula et al. 2007). Menurut Cole dan Null (2009) banyak sapi FH yang mempunyai masa laktasi melebihi 305 hari karena sapi-sapi tersebut mempunyai persistensi yang tinggi dan tetap menguntungkan walaupun selang beranak melebihi satu tahun. Menurut Sudono et al. (2005) persistensi dipengaruhi oleh umur sapi, kondisi sapi saat beranak, lama masa kering sebelumnya, banyaknya pakan yang diberikan ketika sapi sedang laktasi.
34
Konsumsi ME yang tinggi pada perlakuan R2 tidak mendukung persistensi produksinya. Produksi susu perlakuan R2 menurun tajam pada minggu keenam dikarenakan manfaat kombinasi BIS dan DDGS pada pakan konsentrat dihilangkan. Berdasarkan hasil pada tabel di atas, diketahui persistensi tertinggi berada pada kelompok perlakuan R1, disusul oleh R3 dan R0, dan yang terendah yaitu perlakuan R2. Hal ini berarti, campuran 1 kg DDGS secara tunggal pada konsentrat dapat mempertahankan persistensi produksi susu lebih lama dibandingkan dengan DDGS yang dikombinasikan dengan BIS, terutama jika sudah tidak diberikan. Sapi yang berproduksi tinggi pada umumnya puncak produksi susunya dicapai lebih lama jika dibandingkan dengan sapi yang produksinya rendah (Bath et al. 1985).
Kualitas Susu Umumnya yang diperhatikan untuk mengetahui kondisi fisik susu adalah warna, normalnya putih kekuningan, ditentukan oleh penyerapan warna oleh lemak susu; kekentalan, lebih kental dari air, tergantung dari komposisi biokimia; bobot jenis, juga tergantung dari komposisinya, umumnya antara 1.027 sampai 1.034 pada temperatur standar (27.5 oC); keasaman/pH, susu sifatnya agak asam, mendekati normal; titik beku, berkisar -0.54 sampai -0.59 oC (Soetarno 2003). Kondisi biokimia susu lebih dikenal dengan komposisi susu pada umumnya seperti lemak, bahan kering tanpa lemak, protein dan total bahan kering. Susu yang memiliki nilai bahan kering dan persentase lemak yang tinggi, juga jumlah bakteri di bawah persyaratan maksimal, akan dihargai lebih mahal oleh KPSBU. Kadar Lemak Susu Hasil analisis selisih kadar lemak susu rata-rata selama penelitian, disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata selisih kadar lemak susu Perlakuan
Periode R0
R1 (%)
R2
R3
a
Perlakuan – pra perlakuan
0,03 ± 0.26
-0,51 ± 0.64
0,27 ± 0.85
-0,30 ± 0.66
Pasca perlakuan – perlakuan
0,28 ± 0.67
0,29 ± 0.24
0,41 ± 0.46
0,02 ± 0.44
a
Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Kadar lemak susu selama penelitian masih berada pada kisaran normal SNI (1998) yaitu 3.00 %. Angka dengan notasi minus (-) menunjukkan terjadi penurunan. Pada perlakuan R0 dan R2 terlihat kadar lemak susu rata-rata terus
35
mengalami kenaikan sejak sebelum perlakuan hingga setelah perlakuan. Sedangkan pada perlakuan R1 dan R3, kadar lemak susu sebelum perlakuan berada pada angka tertinggi kemudian mengalami penurunan selama perlakuan dan mengalami kenaikan pada akhir perlakuan (R1) atau tidak mengalami perubahan (R3). Rerata kadar lemak selama perlakuan berturut-turut untuk perlakuan R0, R1, R2 dan R3 yaitu 4.73%, 4.56%, 4.72% dan 4.56%. Hasil analisis statistik menunjukkan kadar lemak susu selama penelitian tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05). Hal ini dapat disebabkam karena tidak berbedanya tingkat konsumsi pakan hijauan dan konsentrat pada tiap perlakuan. Kadar lemak susu dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain adalah ketersediaan prekursor pembentuk lemak susu, dimana prekursor utamanya adalah asam asetat dan beta-hidroksi butirat (Susanty 2011). Kadar lemak susu yang berbeda, dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti bangsa, individu, tahap laktasi, musim, status nutrisi, tipe pakan, kesehatan dan umur ternak. Pakan dengan kandungan serat kasar yang rendah dapat menurunkan kadar lemak susu dan juga sedikit menurunkan produksi susu (Fox dan Mc Sweeney 1988). Data hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi serat kasar ternak di kelompok perlakuan R2 adalah yang tertinggi (6.30 kg), kemudian diikuti oleh R3 (6.15 kg), R1 (6.00 kg) dan yang paling rendah R0 (5.56 kg). Hal ini memungkinkan terjadinya perbedaan kandungan lemak susu di antara pelakuan. Produksi susu berkorelasi negatif dengan kadar lemak susu sehingga peningkatan produksi susu relatif akan mengurangi kadar lemak susu (Akers 2002). Produksi susu kemudian dibakukan ke 4% FCM. Rumus FCM dikembangkan untuk standarisasi catatan produksi susu setara energi untuk analisis genetik (Erdman 2011). Lemak susu yang terkandung di dalam susu berkisar 50% atau lebih dari total energi yang terkandung dalam susu, selain itu lemak susu merupakan komponen variabel utama dalam laktasi sapi perah (Sutton 1989). Tabel 23 Produksi susu 4% FCM Periode Pra perlakuan Perlakuan Pasca perlakuan
Perlakuan R0
R1 R2 R3 (kg/ekor/hari)a 17.67 ± 3.39 20.46 ± 4.82 22.23 ± 5.91 20.41 ± 4.67 18.59 ± 3.88 19.71 ± 3.89 21.62 ± 4.19 19.78 ± 2.82 19.10 ± 4.24 19.48 ± 2.70 21.36 ± 2.83 19.18 ± 3.66
a
Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Produksi susu berdasarkan 4% FCM (Tabel 23) pada kelompok perlakuan R0 mengalami kenaikan sebesar 5.21% selama periode perlakuan, sedangkan pada kelompok perlakuan R1, R2 dan R3 mengalami penurunan masing-masing sebesar 3.67%, 2.74% dan 3.01%. Pada pasca perlakuan, kelompok perlakuan R0 masih mengalami kenaikkan produksi sebesar 2.74%, sedangkan kelompok
36
perlakuan R1, R2 dan R3 mengalami penurunan produksi susu masing-masing 1.17%, 1.20% dan 3.03%. Penurunan produksi susu terjadi selama perlakuan pada kelompok perlakuan yang diberi campuran BIS dan DDGS secara tunggal maupun keduanya dalam konsentrat. Produksi susu 4 % FCM tidak dapat menggambarkan produksi susu yang sebenarnya. Hal dapat disebabkan oleh perbedaan tahun atau periode laktasi pada masing-masing perlakuan. Pada awal laktasi umumnya ternak mengalami keseimbangan energi negatif (negative energy balance) karena tingginya kebutuhan nutrisi untuk memproduksi susu yang semakin tinggi yang mana konsumsi dari pakannya tidak terpenuhi (Bath et al. 1985). Kandungan lemak susu akan menurun selama 4 sampai 6 minggu pertama setelah melahirkan dan meningkat perlahan selama laktasi sampai kering (Fox dan McSweeney 1988). Bahan Kering Tanpa Lemak Bahan kering tersusun dari lemak dan bahan kering tanpa lemak (BKTL). Bahan kering tanpa lemak disusun oleh protein, vitamin, dan enzim, sedangkan protein tersusun lagi oleh kasein dan laktosa (Otto et al. 2010). Hasil analisis kadar bahan kering tanpa lemak rata-rata selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Pengaruh perlakuan pakan terhadap kadar BKTL dalam susu Perlakuan
Periode R0
R1 (%)
R2
R3
a
Perlakuan – pra perlakuan
0,10 ± 0.29
0,10 ± 0.29
0,10 ± 0.25
0,21 ± 0.40
Pasca perlakuan – perlakuan
0,13 ± 0.29
0.08 ± 0.34
0,22 ± 0.34
-0,13 ± 0.56
a
Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Hasil analisis BKTL dalam penelitian masih berada pada kisaran normal sesuai dengan SNI (1998), yaitu pada angka 8.00%. Tetapi hasil analisis statistik BKTL selama penelitian tidak berbeda nyata (P>0.05). Ini berarti perlakuan pakan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap BKTL sejak awal perlakuan hingga akhir perlakuan. Angka dengan notasi minus (-) menunjukkan terjadi penurunan. Bahan kering tanpa lemak pada perlakuan R0 dan R2 terus meningkat sejak sebelum perlakuan hingga setelah perlakuan, sedangkan pada perlakuan R1 dan R3 terus mengalami kenaikkan sebelum akhirnya turun setelah tidak diberi perlakuan pada R3 dan tetap (pada perlakuan R1). Kadar BKTL selama perlakuan pada Rg0, R1, R2 dan R3 berturut-turut adalah 8.35%, 8.13%, 8.28% dan 8.25%. Kadar lemak dan BKTL akan mengalami kenaikan pada awal laktasi, kemudian akan mengalami penurunan setelahnya secara terus-menerus sampai dua atau tiga
37
bulan laktasi (Chamberlain 1989). Variasi BKTL dapat diubah sedikit, namun variasi BKTL lebih rendah dari pada lemak susu (Schmidt dan van Vleck 1974). Perubahan kadar BKTL dapat sebagian besar diakibatkan dari adanya perubahan kandungan protein susu, sedangkan konsumsi bahan kering ransum dengan kadar protein susu memiliki hubungan yang positif, yaitu peningkatan konsumsi bahan kering ransum akan meningkatkan kadar protein susu (Cahyana et al. 2012). Kadar Protein Protein merupakan salah satu dari BKTL yang paling bervariasi, namun tinggi rendahnya kandungan BKTL dalam susu tidak selalu dapat menggambarkan tinggi rendahnya protein susu. Hasil analisis pengaruh perlakuan pakan terhadap kadar protein susu rata-rata selama penelitian ditampilkan pada Tabel 25. Tabel 25 Pengaruh perlakuan pakan terhadap protein susu Perlakuan
Periode R0
R1
R2
R3
a
Perlakuan – pra perlakuan
0,06 ± 0.09
(%) 0,05 ± 0.11 0,03 ± 0.10
-0,08 ± 0.38
Pasca perlakuan – perlakuan
0.05 ± 1.07
0,02 ± 0.13
-0.04 ± 0.21
0,08 ± 0.13
a
Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa pengaruh perlakuan pakan tidak dapat meningkatkan protein susu, hal ini dibuktikan dengan analisis stastistik yang tidak berbeda nyata (P>0.05). Angka dengan notasi minus (-) menunjukkan terjadi penurunan. Kadar protein susu selama penelitian pada perlakuan R0, R1, R2 dan R3 berturut-turut 3.06%, 2.97%, 3.04% dan 3.02%. Kadar protein susu ini berhubungan dengan konsumsi dan pemanfaatan energi (Mundingsari et al. 2006). Menurut Broster (1973), kebutuhan protein yang tinggi pada masa laktasi harus diikuti dengan imbangan energi yang baik. Konsumsi bahan kering ransum dengan kadar protein susu memiliki hubungan yang positif, yaitu meningkatan konsumsi bahan kering ransum akan meningkatkan kadar protein susu. Susu sapi normal mengandung 2.7% protein (SNI 1998) yang konsentrasinya dapat berubah secara signifikan selama laktasi, terutama selama beberapa hari setelah kelahiran (Fox dan Mc Sweneey 1988). Protein susu pada periode perlakuan menunjukkan hasil yang lebih tinggi dari SNI. Efisiensi penggunaan nutrisi untuk produksi susu terutama bergantung pada banyaknya produksi susu. Semakin tinggi tingkat produksi maka proporsi nutrisi pakan untuk hidup pokok juga akan semakin berkurang. Walaupun jumlah protein yang dikonsumsi meningkat, namun
38
peningkatan konsumsi protein tidak dapat mencukupi untuk meningkatkan produksi susu. Bahan Kering Total Bahan kering total susu di peternakan sapi perah rakyat sangat menentukan harga susu. Semakin tinggi kadar bahan kering total dalam susu, maka harga susu yang ditentukan oleh koperasi juga semakin tinggi. Hasil analisis bahan kering total selama penelitian, ditunjukkan pada Tabel 26. Tabel 26 Pengaruh perlakuan pakan terhadap kadar bahan kering total dalam susu Perlakuan
Periode R0
R1
R2
R3
a
Perlakuan – pra perlakuan
0.14 ± 0.53
(%) -0.39 ± 0.92 0.37 ± 1.08
-0.08 ± 1.02
Pasca perlakuan – perlakuan
0.42 ± 0.92
0.37 ± 0.34
-0.11 ± 0.89
0.64 ± 0.78
a
Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan pakan memiliki pengaruh tidak nyata terhadap bahan kering total (P>0.05). Angka dengan notasi minus (-) menunjukkan terjadi penurunan. Kandungan bahan kering total mengalami peningkatan setelah perlakuan, kecuali perlakuan R3 yang sedikit mengalami penurunan. Hal ini dapat diakibatkan oleh konsumsi bahan kering pakan yang mengalami penurunan setelah perlakuan. Kadar total bahan kering selama penelitian pada perlakuan R0, R1, R2 dan R3 berturut-turut adalah 13.09%, 12,70%, 13.00% dan 12.82%. Salah satu yang mempengaruhi kandungan bahan kering susu adalah pakan. Perlakuan R1, R2 dan R3 memiliki rerata konsumsi bahan kering lebih tinggi daripada perlakuan R0. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan kualitas pakan dengan pencampuran BIS dan DDGS tidak mempengaruhi kadar bahan kering total dalam susu. Menurut hasil penelitian Umiyasih et al. (1997), perbaikan kualitas pakan dapat meningkatkan produksi susu secara nyata (riil) maupun yang telah dibakukan ke dalam 4% FCM, sedangkan kualitas susu seperti lemak tidak berbeda nyata.
Uji Mastitis Mastitis pada sapi perah merupakan salah satu penyakit yang berbahaya dan sangat merugikan karena dapat menurunkan produktivitas dan kualitas susu (Martindah et al. 2009). Kejadian mastitis pada sapi perah di Indonesia sangat tinggi, terutama mastitis subklinis. Kasus mastitis subklinis di Jawa Barat tercatat
39
sebesar 61.66% (Sudarwanto 1998). Sebagian besar mastitis disebabkan oleh masuknya bakteri patogen melalui lubang puting susu kedalam ambing dan berkembang di dalamnya sehingga menimbulkan reaksi radang. Pemeriksaan mastitis pada penelitian ini menggunakan metode IPB-1. Metode IPB-1 adalah modifikasi metode CMT dan telah terbukti dapat digunakan untuk menguji sampel susu dalam berbagai jenis sampel (kwartir, individu, susu gabungan) di Indonesia (Susanty 2011). Berikut adalah hasil pemeriksaan mastitis selama penelitian dengan menggunakan reagen IPB-1. Tabel 27 Penyebaran kondisi kesehatan ambing dengan uji IPB-1 Pengamatan Pra Perlakuan
Periode Perlakuan
Pasca Perlakuan
R0 = R1 = R2 = R3 =
Skor
R0
N 1 2 3 N 1 2 3 N 1 2 3
12 6 1 1 3 16 1 0 7 12 0 1
Perlakuan R1 R2 Jumlah Kwartir 7 13 10 8 2 1 4 1 0 2 17 18 3 2 3 1 6 8 11 9 3 2 3 4
R3 4 14 1 0 2 14 2 1 14 4 0 1
Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Berdasarkan pengamatan mastitis selama penelitian (Tabel 27), didapat skor rata-rata pengujian mastitis subklinis. Skor N (negatif) diansumsikan bahwa jumlah sel somatis (JSS) berkisar 160 sampai 880 ribu sel/ml, skor positif 1 menunjukkan JSS 400 sampai 1 440 ribu sel/ml, positif 2 menunjukkan bahwa JSS 1 sampai 3 560 juta sel/ml dan positif 3 menunjukkan JSS minimal 1 880 sampai 7 780 juta sel/ml. Hasil menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan R0, R1, R2 dan R3 terjadi kenaikan JSS pada periode perlakuan yang kemudian menurun pada pasca perlakuan. Kondisi ternak penderita mastitis sub klinis selain mengakibatkan penurunan produksi susu, kadar lemak dan protein susu (Sudarwanto dan Sudarnika 2006). Kondisi kesehatan ambing sebelum perlakuan pakan masih tergolong sehat. Selama periode perlakuan, skor mastitis mengalami peningkatan pada setiap kelompok perlakuan, terutama pada skor 1. Setelah perlakuan pakan, kondisi kesehatan ambing berlangsung normal kembali. Hal ini dikarenakan selama perlakuan pakan, terjadi kenaikan produksi susu. Pada saat produksi lebih tinggi dari biasanya, jaringan puting dan ambing lebih aktif sehingga lebih mudah
40
terinfeksi bakteri patogen mastitis. Mastitis yang disebabkan oleh Staphylococcus merupakan bentuk mastitis terpenting pada peternakan sapi perah karena mikroorganisme ini terdapat dimana-mana seperti pada kulit sapi, ambing yang sakit maupun yang sehat, lingkungan, pemerah, peralatan yang digunakan, air, dan udara (Abrar et al. 2012). Mastitis lebih banyak dipengaruhi oleh kebersihan lingkungan ambing.
Gambaran Pendapatan Berdasarkan Harga Pakan Pakan konsentrat yang biasa digunakan oleh peternak baik sebelum, selama maupun setelah penelitian adalah pakan produksi KPSBU. Pada saat penelitian berlangsung, harga pakan konsentrat KPSBU Rp2 000/kg. Pakan dikemas dalam kemasan 50 kg/karung. Harga BIS saat penelitian berlangsung adalah Rp1 700/kg, sedangkan harga DDGS adalah Rp3700/kg. Harga hijauan atau rumput saat penelitian berlangsung adalah Rp300/kg, dan harga onggok Rp600/kg. Biaya konsentrat yang diperlukan per kg susu yang dihasilkan dari setiap kelompok perlakuan dapat dihitung berdasarkan data biaya konsentrat dan produksi susu yang dihasilkan. Hasil perhitungan tersebut ditampilkan pada Tabel 28. Tabel 28 Biaya pakan per ekor per hari selama penelitian Perlakuan
Biaya konsentrat /ekor/hari
Biaya Hijauan
Biaya Onggok
Total Biaya Pakan
(Rp)
R0 = R1 = R2 = R3 =
R0
14 000
17 763
7 418
39 180
R1
15 700
18 935
9 418
44 054
R2
15 100
19 253
8 762
43 114
R3
13 100
18 361
8 305
39 766
Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Biaya konsentrat R3 yang diperlukan tiap ekor ternak dalam sehari setelah dicampur oleh BIS, lebih murah daripada konsentrat yang dicampur oleh DDGS atau kombinasinya. Pencampuran konsentrat dengan DDGS maupun dengan kombinasinya menyebabkan biaya pakan khusus konsentrat lebih mahal daripada perlakuan R0 yang hanya diberi konsentrat KPSBU. Dilihat dari biaya konsentrat tiap kg susu yang dihasilkan, maka dengan campuran BIS, biaya konsentrat yang diperlukan untuk setiap kg susu menjadi paling murah, sehingga dapat meningkatkan keuntungan peternak. Jika harga susu berdasarkan produksinya yang diterapkan di KPSBU adalah Rp3 500/kg, pendapatan peternak setiap harinya dapat dilihat pada Tabel 29.
41
Tabel 29 Pendapatan peternak setiap hari selama periode perlakuan Perlakuan
Produksi Susu
Total Pendapatan
R0 R1 R2 R3
16.17 17.76 19.61 18.29
56 595 62 160 68 635 64 015
R0 = R1 = R2 = R3 =
Keuntungan peternak/ekor ternak (Rp) 17 415 18 106 25 521 24 249
Pendapatan/kg susu/hari 1 077 1 019 1 301 1 326
Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg
Keuntungan peternak per kg susu yang dihasilkan lebih besar pada perlakuan R3, tetapi produksi susu yang dihasilkan lebih besar pada R2, sehingga keuntungan peternak pada kelompok perlakuan R2 adalah yang terbesar, diikuti oleh kelompok perlakuan R3. Pada perlakuan R1 keuntungan lebih sedikit daripada R0. Hal ini disebabkan harga DDGS yang masih cukup tinggi dibandingkan dengan harga pakan konsentrat KPSBU, karena DDGS merupakan bahan baku impor. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan bahan baku lokal BIS yang mempunyai harga relatif lebih murah dari pakan KPSBU dan DDGS, dapat menurunkan biaya pakan. Kombinasi BIS dengan DDGS dapat meningkatkan produksi susu lebih tinggi dari pada pakan yang dicampur BIS secara tunggal, sehingga pendapatan akhir peternak menjadi lebih tinggi.
5. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pencampuran pakan konsentrat dengan kombinasi BIS dan DDGS dapat mempertahankan puncak produksi susu selama perlakuan. Pencampuran konsentrat dengan DDGS secara tunggal dapat menghasilkan persistensi produksi susu paling tinggi. Pencampuran konsentrat dengan BIS dapat menurunkan biaya pakan tiap kg susu yang dihasilkan. Kombinasi BIS dan DDGS dapat meningkatkan pendapatan peternak.
Saran Supaya peternak mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari usahanya, disarankan peternak menggunakan BIS yang dikombinasikan dengan DDGS sebagai salah satu bahan campuran konsentrat.
42
DAFTAR PUSTAKA
Aboenawan L. 1991. Pertambahan berat badan, konsumsi ransum dan total digestible nutrients (TDN) pellet isi rumen dibanding pellet rumput pada domba jantan. Laporan Penelitian. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Abrar M, IWT Wibawan, BP Priosoeryanto, M Soedarwanto, FH Pasaribu. 2012. Isolasi dan karakterisasi hemaglutinin Staphylococcus aureus penyebab mastitis subklinis pada sapi perah. J. Kedokteran Hewan 6: 1. Akers RM. 2002. Lactation and the Mammary Gland, First Ed. Unitted State: Iowa State Pr. Animal Production. Riis PM Editor. New York (US): Elsiever. 89-104. Agus A. 1997. Pengaruh tipe konsentrat sumber energi dalam ransum sapi perah berproduksi tinggi terhadap produksi dan komposisi susu. Buletin Peternakan 21: 1. Anderson BE. 1970. Temperature regulation and environmental physiology. In: Duke’s Physiology of Domestic Animals. Ithaca. New York (US): Cornell University Pr. [Anonim]. 2001. The Value and Use of Distillers Dried Grains with Solubles (DDGS) in Livestock and Poultry Feeds. Minnesota (US):University of Minnesota. Tersedia pada: http://www.ddgs.umn.edu. Anggorodi E. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta (ID): PT Gramedia. Armstrong CS. 1977. 'Grasslands Nui' perennial ryegrass. NZ J Exp Agr 5: 381384. Awabien RL. 2007. Respon Fisiologis Domba yang Diberi Minyak Ikan dalam Bentuk Sabun Kalsium. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Bath DL, FN Dickinson, HA Tucker, RD Applemen. 1985. Dairy cattle: Principles, practices, problems, profits. 3rd ed. Philadelphia (US): Lea and Febiger. Brosh A, Y Aharoni, AA Degen, D Wright, BA Young. 1998. Effect of solar radiation, dietary energy, and time of feeding on thermoregulatory responses and energy balance in cattle in a hot environment. J. Anim. Sci. 76: 2671– 2677. Broster WH. 1973. Protein-energy interrelationship in growth and lactation of cattle and sheep. Proc. Nutr. Soc. 32: 115-122. Broster WH, C Thomas. 1988. The influence of level and pattern of concentrate input on milk output. Recent developments in ruminant nutrition (UK): Butterworths-Heinemann. Budianto A. 2002. Respon pertumbuhan sapi peranakan friesian holstein (PFH) Jantan terhadap pemberian berbagai aras ampas bir dalam pakan konsentrat.[Tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro Blakely J, DH Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Ed ke-4. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Cahyana, NADA, T Nurhajati dan ATS Estoepangestie. 2012. Potensi Pemberian Formula Pakan Konsentrat Komersial terhadap Konsumsi dan Kadar Bahan Kering Tanpa Lemak Susu. Artikel Ilmiah. Surabaya (ID): Universitas Airlangga. Chamberlain A. 1989. Milk Production in Tropics. Intermediate Tropical Agriculture Series. [kota tidak diketahui] (GB): [penerbit tidak diketahui].
43
Charles CS, MD Hanigan, RE James. 2009. Feeding protein to meet dairy cow nutrient requirements can result in cheaper, environmentally friendly rations. Virginia cooperative extension : 404-453. Chin FY. 2002. Utilization of Palm Kernel Cake as Feed in Malaysia. Asian Livestock. XXVI:. 4. Bangkok (TH): FAO Regional Office. Christopherson RJ. 1984. Management and housing of animals in cold environment. In Stress Physiology in Livestock. [kota tidak diketahui] (US):CRC Pr. Cole JB, Null DJ. 2009. Genetics evaluations of lactation persistency for true breeds of dairy cattle. J. Dairy Sci. 92:2248-2258. Dian R, A Rasyid, L Affandhy. 2010. Kinerja Produktivitas Sapi Perah Impor dan Hasil Turunannya di Jawa Timur: Studi Kasus di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi Pasuruan. Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020. [Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2010. Statistik Peternakan 2010. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian. Ensminger ME, Oldfield JE, Heinemann MW. 1990. Feeds and Nutrition. Ed ke2. Illinois (US): The Ensminger Publishing Company. Ensminger ME. 1993. Dairy Cattle Science. Danville. Illinois (US): The Interstate Printers and Publisher Inc. Erdman R. 2011. Monitoring Feed Efficiency in Dairy Cows Using Fat-Corrected Milk per Unit Dry Matter Intake. Maryland (US): University of Maryland. Evans JW, A Borton, HF Hintz, DVleck. 1997. The Horse.Ed ke-2. New York (US): WH Freeman. Fadlemoula AA, Yousif LA, Abu Nikhaila AM. 2007. Lactation curve and persistency of crossbred dairy cows in the Sudan. J App Sci Res 3: 11271133. Fox PF, McSweeney PLH. 1998. Dairy Chemistry and Biochemistry. London (UK): Blackie Academic & Professional an Imprint of Thomson Science. Frandson RD. 1992. Anatomi Dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Gatenby RM. 1986. Sheep Production in tropics and subtropics. Ed ke-1. Singapore (SG): Singapore Publisher Ltd. Grings EE, RE Roffler, DP Deitelhoff. 1992. Responses of dairy cows to additions of distillers dried grains with solubles in alfalfa-based diets. J. Dairy Sci 75:1946. Guyton AC, JE Hall. 1997. Fisiologi kedokteran. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC. Habibah. 2004. Tampilan produksi susu dan fisiologis tubuh akibat perbedaan tinggi tempat dan bulan laktasi pada sapi perah friesian holstein. [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Hartati S. 2010. Pemberian Pakan dan Minum bagi Sapi Perah. Jakarta (ID): Pusat Penyuluhan Pengembangan Pertanian. Iskandar S, AP Sinurat, B Tiesnamurti, A Bamualim. 2008. Bungkil Inti Sawit Potensial untuk Pakan Ternak. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 30: 16-17. Kalscheur KF, AR Hippen, AD Garcia. 2012. Feeding Ethanol Coproducts to Dairy Cattle dalam Distillers Grains Production, Properties and Utilization. K Liu, KA Rosentrater, editor. Florida (US): CRC Pr dan AOCS Pr.
44
Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical Diagnostic. Baltimore (US): The Williams and Williams Company. Keslera EM, SL Spahra. 2010. Physiological Effects of High Level Concentrate Feeding. J. Dairy Sci. 47 (10): 1122-1128. Kleiber M. 1947. Body Size and Metabolic Rate. Physiological Reviews 27: 511– 541. [KPSBU] Koperasi Peternak Susu Bandung Utara. 2011. Laporan Tahunan ke 40. Bandung (ID). [penerbit tidak diketahui]. Kurihara M dan S Shioya. 2003. Dairy Cattle Management in Hot Environment. [diunduh 2012 Nov 27]. Ibaraki, Todighi (JP). Tersedia pada: http//www.fffc.agent.org/library/abstract/eb529.htm Linn JG, L Chase. 1996. Using Distillers Grains in Dairy Rations. University of Minnesota dan Cornell University (US). Marliani Y. 2008. Analisis kontribusi pendapatan usahaternak sapi perah terhadap pendapatan rumah tangga peternak anggota KPSBU lembang kabupaten bandung.. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Martawidjaja, M Setiadi, S Sitorus. 1999. Pengaruh Tingkat Protein-Energi Ransum terhadap Kinerja Produksi Kambing Muda. JITV 4 (3): 161-172. Mathius IW. 2009. Produk Samping Industri Kelapa Sawit dan Teknologi Pengayaan sebagai Bahan Pakan Sapi yang Terintegrasi dalam Sistem Integrasi Ternak Tanaman:Padi-Sawit-Kakao. AM Fagi, Subandriyo, IW Risastra, editor. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan dan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Martindah E, Y Sani, SM Noor. 2009. Penyakut endemis pada sapi perah dan penanggulangannnya dalam Profil Peternakan Sapi Perah Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Mattjik AA, IM Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan. Bogor (ID): IPB Pr. McCullough ME. 1973. Optimum Feeding of Dairy Animals for Meat and Milk. Athens (GR): The Univ of Georgia Pr. McDonald P, RA Edward, JFD Greehalgh. 1988. Animal Nutrition. Ed ke-4. New York (US): JW and Sons. McDowell RE. 1972. Effect of heat stress on energy and water utilization of lactating cows. J. Dairy Sci.52: 188-191. McNeilly AS. 2001. Reproduction, fertility, and development. CSIRO Publishing 13:583-590. Moe PW. 1981. Energy metabolism of dairy cattle. J. Dairy. Sci. 64:1120-1139. Mubarack HM, A Doss, R Dhanabalan, S Balachander. 2010. Microbial quality of raw milk samples collected from different villages of Coimbatore District, Tamilnadu, South India. Indian J Sci Tech. 3 (1): 61-63. Muchtadi TR. 2003. Indentifikasi Agenda Riset Strategis dalam Rangka Pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit. Lokakarya Nasional Program Rusnas Industri Hilir Kelapa Sawit. [No. abstr tidak diketahui]. Mundingsari RD, Adiarto, A Agus. 2006. Efek Substitusi Kosentrat Suplemen Energi dan Protein terhadap Kinerja Produksi dan Reproduksi Sapi Perah PFH Awal Laktasi. Agrosains 19 (4). [NRC] Nutrient Requirements of Dairy Cattle. 1989. Nutrient Requirement of Dairy Cattle. Ed ke-6. Washington DC (US): National Academic Pr.
45
[NRC] Nutrient Requirements of Dairy Cattle. 2003. Nutrient Requirement of Dairy Cattle. Ed ke-7. Washington DC (US): National Academic Pr. O’Mara FP, FJ Mulligan, EJ Cronin, M Rath, PJ Caffrey. 1999. The nutritive value of palm kernel meal measured in vivo using rumen fluid and enzymatic techniques. Livestock Production science 60:305-316. Okmal. 1993. Manfaat leguminosa pohon sebagai suplemen protein dan minyak kelapa sebagai agensia defaunasi dalam ransum pertumbuhan domba. [tesis]. Padang (ID): Program Pascasarjana KPK IPB-Unand. Oldham JD, Smith T. 1981. Protein-energy interrelationships for growing and for lactating cattle dalam Protein Contribution of Feedstuffs for Ruminants: Application to Feed Formulation. London (GB): Butterworths. Otto FW, Denis, AS Minot. 2010. Lactose, Fat, and Protein in Milk of Various Animals. Boston (US): Biochemical Laboratories of the Harvard Medical School and of the Massachusets General Hospital. Owen FG, LL Larson.1991. Corn distillers dried drains versus soybean meal in lactation diets. J Dairy Sci 74: 972-979. Parakkasi A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Jakarta (ID): UI Pr. Phillips CJC. 2001. Principles of Cattle Production. New York (US): CABI Publishing. Powers WJ, HH Van Horn, B Harris, Jr, CJ Wilcox. 1995. Effects of variable sources of distillers dried grains plus solubles on milk yield and composition. J. Dairy Sci 78:388-396. Rakhman A. 2012. Respon Fisiologis Sapi Dara Peranakan Fries Holland dengan Manajemen Waktu Pemberian Pakan dan Penggunaan Minyak Kelapa dalam Konsentrat. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rokhayati UA. 2010. Pengaruh Suplementasi Energi dan Undegarated Protein terhadap Produksi Susu Sapi Perah Friesian Holstein. INOVASI 7 (2). Satter LD. 1986. Protein supply from undegrated dietary protein. J. Dairy. Sci 69:2734-2739. Schingoethe DJ. 2004. Distillers grains for dairy cattle dalam Iowa Regional Distillers Grains Workshops. Iowa (US): Calmar, Waverly, and Cherokee. Schingoethe DJ. 2006. Utilization of DDGS by Cattle. Proc.27: 61 -74. Schingoethe DJ, KF Kalscheur, AR Hippen, AD Garcia. 2009. Invited review: The use of distillers products in dairy cattle diets. American Dairy Science Association. Elsevier Inc. [No. abstr tidak diketahui]. Schmidt, GH, LD Van Vleck. 1974. Principles of Dairy Science. San Fransisco (US): WH Freeman Schmidt GH, LD Van Vleck, MF Hutgens. 1988. Principles of Dairy Science. Ed ke-2. New Jersey (US): Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs. Schütz KE, AR Rogers, YA Poulouin, NR Cox, CB Tucker. 2010. The amount of shade influences the behavior and physiology of dairy cattle. J. Dairy Sci. 93 :125–133. Shurson J 2011. Use of High Quality U.S. Corn DDGS in Swine Feeds. Minnesota (US): Department of Animal Science. University of Minnesota. Simanjuntak SDD. 1998. Penggunaan Aspergillus niger untuk meningkatkan nilai gizi BIS dalam ransum broiler.[Tesis]. Bogor (ID): IPB.
46
Sinurat AP, T Purwadaria, IW Mathius, DM Sitompul, BP Manurung. 2004. Integrasi sapi-sawit: Upaya pemenuhan gizi sapi dari produk samping. Proc Seminar Sistem Integrasi Tanaman-Ternak: 424-429. [kota tidak diketahui] (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali dan CASREN. Siregar Z. 2003. Peningkatan Pertumbuhan Domba Persilangan dan Lokal Melalui Suplementasi Hidrolisat Bulu Ayam dan Mineral Esensial dalam Ransum Berbasis Limbah Perkebunan.[disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Situmorang H. 2011. Kajian Pengaruh Pengayakan terhadap Fisik Bungkil Inti Sawit dan Bungkil Kelapa. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Smith JB, S Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Yogyakarta (ID): UGM Pr. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1998. Standar Susu Segar. No. 01-3141-1998. Jakarta (ID): Badan Standarisasi Nasional. Soetarno T. .2003. Manajemen Budidaya Sapi Perah. Yogyakarta (ID): UGM. Spiehs MJ, Whitney MH, Shurson GC. 2002. Nutrient data base for distillers dried grains with solubles produced from new generation ethanol plants in Minnesota and South Dakota. J. Anim. Sci 80:2639-2645. Sudono A, RF Rosdiana, BS Setiawan. 2005. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Jakarta (ID): PT Agro Media Pustaka. Sugandi D, Hermawan, H Supratman. 2005. Perbaikan Mutu Pakan Untuk Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Susu Sapi Perah. Proc. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. [No. abstr tidak diketahui]. Sudarwanto M. 1998. Pereaksi IPB-1 sebagai peraksi alternatif untuk mendeteksi mastitis subklinis. Media veteriner 5 (1): 1-5. Sudarwanto M, E Sudarmika. 2006. Nilai Diagnostik Tes IPB Mastitis Dibandingkan dengan Jumlah Sel Somatik dalam Susu. Bogor (ID): [penerbit tidak diketahui]. Sukira AH, R Krisnan. 2009. Sumber dan Ketersediaan Bahan Baku Pakan di Indonesia. Bogor (ID): IPB Pr. Susanty H. 2011. Pemanfaatan Temu Putih (Curcuma zedoaria (berg.) Roscoe) Dalam Meningkatkan Produksi dan Komposisi Susu Sapi Perah Penderita Mastitis Subklinis. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sutardi T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Pakannya. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sutardi T. 1983. Landasan Ilmu Nutrisi. Jilid I. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sutton JD. 1998. Altering milk composition by feeding. J. Dairy Sci. 72: 28012814. Sutton JD. 1989. Concentrate feeding and milk composition dalam Recent Developments in Ruminant Nutrition 2. United States (US): Butterworths. Swenson GM. 1997. Duke’s Physiology of Domestics Animal. New York (US): Comstock Publishing Associates. Cornell Univ. Pr. Tanaka M. 2008. Effects of Corn Distillers Dried Grains with Solubles (DDGS) under Hot Summer Conditions in Lactating Dairy Cows. Study Report. [kota tidak diketahui] (US): US Grains Council.
47
Tyler HD, Ensminger ME. 2006. Dairy Cattle Science. Ed ke-4. Upper Saddle River. New Jersey, Colombus, Ohio (US): Prentice Hall. Tillman AD, H Hartadi, S ReksohadiProdjo, S Prawirokusomo, S. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Ed ke-5. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Tobing NL. 2010. Pengaruh Formulasi Pakan terhadap Kandungan Pakan Ternak Ruminansia. Ed ke-1. Publikasi Budidaya Ternak Ruminansia. [No. abstr tidak diketahui]. Umiyasih U, Mariyono, L Affandhy. 1997. Perbaikan pakan pada sapi perah produksi tinggi dalam sistem usaha tani ternak rakyat, pengaruhnya terhadap produktivitas. Proc Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner: 511-517. Utomo B. 2003. Tampilan Produksi Susu dan Komponen Metabolisme Tubuh Sapi Perah Friesian Holstein (FH) Akibat Perbedaan Kualitas Ransum. [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Widjastuti T, Abun, W Tanwiriah, IY Asmara. 2007. Pengolahan bungkil inti sawit melalui fermentasi oleh jamur Marasimus sp guna menunjang bahan pakan alternatif untuk ransum ayam broiler. Makalah Ilmiah Program Hibah Kompetisi A3. [No. abstr tidak diketahui]. Williamson G, WWJA Payne.1993. Pengantar Ilmu Peternakan di DaerahTropis. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Yani A, BP Purwanto. 2006. Pengaruh Iklim Mikro terhadap Respons Fisiologis Sapi Peranakan Fries Holland dan Modifikasi Lingkungan untuk Meningkatkan Produktivitasnya. Media Peternakan 29 (1): 35-46. Yani A, H Suhardiyanto, R Hasbullah, BP Purwanto. 2007. Analisis dan Simulasi Distribusi Suhu Udara pada Kandang Sapi Perah Menggunakan Computational Fluid Dynamics (CFD). Media Petern 30 (3): 218-228. Zahari MW, AR Alimon. 2011. Use of Palm Kernel Cake and Oil Palm byproducts in Compound Feed. [kota tidak diketahui] (MY): Strategic Livestock Research Centre, Malaysian Agricultural Research and Development Institute dan Department of Animal Science, Faculty of Agriculture, Universiti Putra Malaysia.
48
Lampiran 1
Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata denyut jantung sapi selama penelitian
Lampiran 1.1 Hasil analisis ragam rataan denyut jantung sapi pra perlakuan SK Perlakuan Sisa Total
DB 3 18 21
JK 30.96 69.86 100.82
KT 10.32 3.88
F Hit 2.66
Nilai P 0.08
Lampiran 1.2 Hasil analisis ragam rataan denyut jantung sapi saat perlakuan SK Perlakuan Sisa Total
DB 3 18 21
JK 2.14 55.91 58.05
KT 0.71 3.11
F Hit 0.23
Nilai P 0.87
Lampiran 1.3 Hasil analisis ragam rataan denyut jantung sapi pasca perlakuan SK Perlakuan Sisa Total SK DB JK KT
= Sumber keragaman = Derajat bebas = Jumlah kuadrat = Kuadrat tengah
DB 3 18 21
JK 12.34 115.06 127.40
KT 4.11 6.39
F Hit 0.64
Nilai P 0.60
49
Lampiran 2 Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata respirasi sapi selama perlakuan Lampiran 2.1 Hasil analisis ragam rataan respirasi sapi pra perlakuan SK Perlakuan Sisa Total
DB 3 18 21
JK 12.61 228.84 241.45
KT 4.20 12.71
F Hit 0.33
Nilai P 0.80
Lampiran 2.2 Hasil analisis ragam rataan respirasi sapi saat perlakuan SK Perlakuan Sisa Total
DB 3 18 21
JK 24.58 298.68 323.26
KT 8.19 16.59
F Hit 0.49
Nilai P 0.69
Lampiran 2.3 Hasil analisis ragam rataan respirasi sapi pasca perlakuan SK Perlakuan Sisa Total SK DB JK KT
= Sumber keragaman = Derajat bebas = Jumlah kuadrat = Kuadrat tengah
DB 3 18 21
JK 2.27 249.21 251.48
KT 0.76 13.85
F Hit 0.05
Nilai P 0.98
50
Lampiran 3 Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata temperatur rektal sapi selama perlakuan Lampiran 3.1 Hasil analisis ragam rataan temperatur rektal sapi pra perlakuan SK Perlakuan Sisa Total
DB 3 18 21
JK 0.10 1.73 1.82
KT 0.03 0.10
F Hit 0.34
Nilai P 0.80
Lampiran 3.2 Hasil analisis ragam rataan temperatur rektal sapi saat perlakuan SK Perlakuan Sisa Total
DB 3 18 21
JK 0.07 0.69 0.76
KT 0.02 0.04
F Hit 0.57
Nilai P 0.64
Lampiran 3.3 Hasil analisis ragam rataan temperatur rektal sapi pasca perlakuan SK Perlakuan Sisa Total SK DB JK KT
= Sumber keragaman = Derajat bebas = Jumlah kuadrat = Kuadrat tengah
DB 3 18 21
JK 0.14 0.38 0.51
KT 0.05 0.02
F Hit 2.20
Nilai P 0.12
51
Lampiran 4
Lampiran 4.1 SK Perlakuan Sisa Total
Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan pakan terhadap konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN ME dan NEL pakan selama penelitian Hasil analisis ragam rataan konsumsi bahan kering pakanselama penelitian DB 3 18 21
JK 1.98 46.93 48.91
KT 0.66 2.61
F Hit 0.25
Nilai P 0.86
Lampiran 4.2 Hasil analisis ragam rataan konsumsi protein kasar pakan selama penelitian SK Perlakuan Sisa Total
DB 3 18 21
JK 0.57 3.97 4.54
KT 0.19 0.22
F Hit 0.86
Nilai P 0.48
Lampiran 4.3 Hasil analisis ragam rataan konsumsi lemak kasar pakan selama penelitian SK Perlakuan Sisa Total Lampiran 4.4 SK Perlakuan Sisa Total
DB 3 18 21
JK 0.164 0.482 0.646
KT 0.055 0.027
F Hit 2043.00
Nilai P 0.144
Hasil analisis ragam rataan konsumsi serat kasar pakan selama penelitian DB 3 18 21
JK 1.37 9.16 10.52
KT 0.46 0.51
F Hit 0.90
Nilai P 0.46
Lampiran 4.5 Hasil analisis ragam rataan konsumsi BETN pakan selama penelitian SK Perlakuan Sisa Total
DB 3 18 21
JK 3.58 11.20 14.78
KT 1.19 0.62
F Hit 1.92
Nilai P 0.16
52
Lampiran 4.6 Hasil analisis ragam rataan konsumsi TDN pakan selama penelitian SK Perlakuan Sisa Total
DB 3 18 21
JK 7.13 13.80 20.94
KT 2.38 0.77
F Hit 3.10
Nilai P 0.05
Lampiran 4.5 Hasil analisis ragam rataan konsumsi ME pakan selama penelitian SK Perlakuan Sisa Total
DB 3 18 21
JK 66.82 8.73 75.56
KT 22.27 0.49
F Hit 45.92
Nilai P 0.00
Lampiran 4.6 Hasil analisis ragam rataan konsumsi NE L pakan selama penelitian SK Perlakuan Sisa Total SK DB JK KT
= Sumber keragaman = Derajat bebas = Jumlah kuadrat = Kuadrat tengah
DB 3 18 21
JK 32.22 0.14 32.35
KT 10.74 0.01
F Hit 1422.84
Nilai P 0.00
53
Lampiran 5 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan pakan terhadap selisih bobot badan ternak selama penelitian Lampiran 5.1 Hasil analisis ragam rataan selisih bobot badan periode perlakuan dengan pra perlakuan SK Perlakuan Sisa Total
DB 3 18 21
JK 167.73 2454.00 2621.74
KT 55.91 136.33
F Hit 0.41
Nilai P 0.75
Lampiran 5.2 Hasil analisis ragam rataan selisih bobot badan periode pasca perlakuan dengan perlakuan SK Perlakuan Sisa Total SK DB JK KT
= Sumber keragaman = Derajat bebas = Jumlah kuadrat = Kuadrat tengah
DB 3 18 21
JK 90.89 2061.38 2152.27
KT 30.30 114.52
F Hit 0.26
Nilai P 0.85
54
Lampiran 6 Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata produksi susu selama penelitian Lampiran 6.1 Hasil analisis ragam rataan selisih produksi susu periode perlakuan dengan pra perlakuan SK Perlakuan Sisa Total
DB 3 18 21
JK 1.04 17.11 18.15
KT 0.35 0.95
F Hit 0.37
Nilai P 0.78
Lampiran 6.2 Hasil analisis ragam rataan selisih produksi susu periode pasca perlakuan dengan perlakuan SK Perlakuan Sisa Total
DB 3 18 21
JK 3.09 21.03 24.13
KT 1.03 1.17
F Hit 0.88
Nilai P 0.47
Lampiran 6.3 Hasil analisis ragam rataan persistensi produksi susu selama penelitian SK Perlakuan Sisa Total
DB 3 18 21
JK 77.96 548.15 626.11
KT 25.99 30.45
F Hit 0.85
Nilai P 0.48
Lampiran 6.4 Hasil analisis ragam rataan produksi susu 4% FCM selama perlakuan SK Perlakuan Sisa Total SK DB JK KT
= Sumber keragaman = Derajat bebas = Jumlah kuadrat = Kuadrat tengah
DB 3 18 21
JK 29.31 233.09 262.40
KT 9.77 12.95
F Hit 0.75
Nilai P 0.53
55
Lampiran 7 Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata kadar lemak susu selama penelitian Lampiran 7.1 Hasil analisis ragam rataan selisih kadar lemak susu periode perlakuan dengan pra perlakuan SK Perlakuan Sisa Total
DB 3 18 21
JK 2.03 7.67 9.70
KT 0.68 0.43
F Hit 1.59
Nilai P 0.23
Lampiran 7.2 Hasil analisis ragam rataan selisih kadar lemak susu periode pasca perlakuan dengan perlakuan SK Perlakuan Sisa Total SK DB JK KT
= Sumber keragaman = Derajat bebas = Jumlah kuadrat = Kuadrat tengah
DB 3 18 21
JK 0.44 3.94 4.38
KT 0.15 0.22
F Hit 0.67
Nilai P 0.58
56
Lampiran 8 Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata kadar BKTL susu selama penelitian Lampiran 8.1 Hasil analisis ragam rataan selisih kadar BKTL susu periode perlakuan dengan pra perlakuan SK Perlakuan Sisa Total
DB 3 18 21
JK 0.05 1.93 1.98
KT 0.02 0.11
F Hit 0.16
Nilai P 0.92
Lampiran 8.2 Hasil analisis ragam rataan selisih kadar BKTL susu periode pasca perlakuan dengan perlakuan SK Perlakuan Sisa Total SK DB JK KT
= Sumber keragaman = Derajat bebas = Jumlah kuadrat = Kuadrat tengah
DB 3 18 21
JK 0.36 2.91 3.26
KT 0.12 0.16
F Hit 0.74
Nilai P 0.54
57
Lampiran 9 Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata kadar protein susu selama penelitian Lampiran 9.1 Hasil analisis ragam rataan selisih kadar protein susu periode perlakuan dengan pra perlakuan SK Perlakuan Sisa Total
DB 3 18 21
JK 0.06 0.73 0.79
KT 0.02 0.04
F Hit 0.52
Nilai P 0.67
Lampiran 9.2 Hasil analisis ragam rataan selisih kadar protein susu periode pasca perlakuan dengan perlakuan SK Perlakuan Sisa Total SK DB JK KT
= Sumber keragaman = Derajat bebas = Jumlah kuadrat = Kuadrat tengah
DB 3 18 21
JK 0.04 0.40 0.44
KT 0.01 0.02
F Hit 0.64
Nilai P 0.60
58
Lampiran 10 Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata bahan kering susu selama penelitian Lampiran 10.1 Hasil analisis ragam rataan selisih kadar bahan kering susu periode perlakuan dengan pra perlakuan SK Perlakuan Sisa Total
DB 3 18 21
JK 1.87 15.40 17.27
KT 0.62 0.86
F Hit 0.73
Nilai P 0.55
Lampiran 10.2 Hasil analisis ragam rataan selisih kadar bahan kering susu periode pasca perlakuan dengan perlakuan SK Perlakuan Sisa Total SK DB JK KT
= Sumber keragaman = Derajat bebas = Jumlah kuadrat = Kuadrat tengah
DB 3 18 21
JK 1.59 10.16 11.74
KT 0.53 0.56
F Hit 0.94
Nilai P 0.44
59
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 Maret 1988 dari ayah Dr Ir Bambang Sadhotomo, MS dan ibu Iwi Gunarsih. Penulis adalah putri pertama dari lima bersaudara (Arius Wiratama, STp., Ken Sidharta, Ines Saraswati dan Ivan Akhmadi). Pendidikan sarjana ditempuh di Universitas Gadjah Mada (UGM) Fakultas Peternakan pada tahun 2005 dan lulus pada tahun 2009. Pada tahun 2010, penulis diterima di Program Studi Ilmu dan Teknologi Peternakan pada Sekolah Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis pernah bekerja sebagai Asisten Laboratorium Ilmu Ternak Unggas UGM pada tahun 2007 sampai 2009, kemudian penulis bekerja sebagai supervisor di PT Sukamulya Farm pada tahun 2009 sampai 2010. Selama mengikuti program S-2, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan organisasi kampus (antara lain Forum Wacana dan Himmpas IPB), seminar dan kuliah internasional di bidang peternakan (antara lain Cow-Oil Palm Integration, Farm Milk Quality Controls Mastitis in Relation with Good Farming Practices, Large scale genotyping and sequencing-new tools in animal conservation genetic, Climate Change, and Animal Genomic).