UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI GAMBIR MELALUI PERBAIKAN SISTEM PENGOLAHAN DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA Ispinimiartriani 1)
THE EFFORTS TO INCREASE GAMBIER FARMERS INCOME BY IMPROVING GAMBIER PROCESSING SYSTEM IN KABUPATEN LIMA PULUH KOTA Abstract Gambier farmers in West Sumatera generally and in Kabupaten Lima Puluh Kota especially, has always utilize specialized workforce (usually called Orang Kampo) in processing the gambiers with a profit-sharing system because of the severity of processing the gambiers traditionally. Therefore, parts earned by gambier farmers from their gambier garden is only 50% of the sale of its gambier product. This condition makes the gambier farmers income will be hard to increase. Moreover, especially during this time the price of gambier still determined by the buyers. With the improving of gambier processing system by using artificial engineering tool made by the teaching staff from Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh, gambier farmers can process gambier themselves, so the parts earned from their gambier garden increase significantly, because beside it’s easy to do, it also has a higher yield. This changing of gambier processing system by using artificial engineering tool can increase the farmers income from Rp 1.843.333/Ha per year to Rp 3.160.000/Ha per year, or increased 71.43%. Keyword : Orang Kampo, Artficial Tool, Gambier. . PENDAHULUAN
Gambir merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia, karena memasok kebutuhan dunia hingga mencapai 80%, sementara 90% produk gambir Indonesia diproduksi oleh para petani di Sumatera Barat. Tanaman gambir (Uncaria gambir, Roxb) adalah komoditas spesifik lokasi Sumatera Barat. Artinya komoditas ini tumbuh dan berkembang baik di daerah ini dan merupakan mata pencaharian pokok yang memegang peranan penerimaan pendapatan masyarakat serta pendapatan daerah dan negara (Azmi, 2006). Pasar produk gambir dari Sumatera Barat mayoritas (sekitar 70%) adalah untuk ekspor, dengan negara-negara tujuan ekspor adalah Australia, Bangladesh, Hongkong, India, Malaysia, Nepal, Pakistan, Taiwan, Jepang, Saudi Arabia, Filipina, Thailand dan Singapura.
1)
Staf Pengajar Jurusan Budidaya Tanaman Perkebunan, Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh
1
Kabupaten Lima Puluh Kota di Provinsi Sumatera Barat dipilih sebagai salah satu daerah percontohan dengan fokus pada pengembangan komoditas gambir (Uncaria gambir,Roxb). Tanaman gambir mengandung zat katechine dan tanin, yang digunakan sebagai bahan baku industri farmasi, kosmetik, penyamak kulit dan industri batik. Saat ini pemasaran komoditas gambir sudah mencapai pasaran ekspor (seperti Jepang, India, Pakistan, Philipina, Nepal, Bangladesh, Malaysia dan beberapa negara eropa), dan pangsa pasarnya masih terbuka lebar dan berpotensi untuk terus tumbuh di masa mendatang. Para pelaku sub-sektor komoditas gambir masih dihadapkan pada berbagai kendala klasik maupun spesifik, yaitu harga jualdi tingkat petani rendah pada kisaran yang kedepan dikuatirkan akan memperlemah daya saing komoditas ini. Data dari provinsi tahun 2009 menunjukkan total luas areal tanaman gambir di Sumatera Barat adalah 28.335 Ha dengan daerah penghasil utama tanaman adalah Kabupaten Lima Puluh Kota yang memiliki luas pertanaman gambir 14.683 Ha (52% dari total luas tanaman gambir di Provinsi Sumbar) yang terdiri dari 13.973 Ha tanaman yang telah menghasilkan dan 710 Ha tanaman belum menghasilkan, dengan produksi mencapai 14.601.1 ton dalam bentuk gambir mentah (Dinas Perkebunan Kabupaten Lima Puluh Kota, 2010). Tujuan Penelitian untuk mengetahui pedapatan petani gambir dengan adanya perbaikan sistem pengolahan. METODA ANALISA
Dalam analisa ini digunakan penghitungan kriteria investasi (NPV, Net B/C dan IRR) terhadap pengusahaan tanaman gambir. Analisa ini dipakai untuk mengetahui kelayakan suatu pengusahaan komoditi gambir dalam kurun waktu tertentu (10 tahun). 1. Net Present Value (NPV) Net Present Value (NPV) dapat diartikan sebagai Nilai Bersih arus kas berdasarkan tahun sekarang pada discount rate tertentu. Semakin tinggi nilai discount rate yang digunakan, maka semakin rendah nilai NPV dari proyek tersebut. NPV dari suatu proyek merupakan nilai sekarang (Present Value) dari selisih antara Benefit (Manfaat) dengan Cost (Biaya) pada Discount Rate tertentu. NPV menunjukkan kelebihan Benefit (Manfaat) dibandingkan dengan Cost (Biaya). Jika seandainya Present Value Benefit lebih besar dari pada Present Value Cost, berarti proyek tersebut layak atau menguntungkan. Dengan perkataan lain, apabila NPV > 0, berarti proyek tersebut menguntungkan atau layak untuk dilaksanakan. Sebaliknya bila NPV < 0, berarti proyek tersebut tidak layak diusahakan.
2
2.
Net B/C ratio Net B/C sering disebut juga The Benefit Cost ratio of an investment project. Net B/C
didefinisikan sebagai ratio nilai sekarang atas arus kas masuk masa datang dari kas masuk bersih sekarang terhadap total nilai bersih dari biaya proyek masa datang pada discount rate tertentu. Net B/C adalah perbandingan antara jumlah NPV positif dengan jumlah NPV negatif. Net B/C ini menunjukkan gambaran berapa kali lipat Benefit yang kita peroleh dari Cost yang kita keluarkan. 3.
Internal Rate of Return (IRR) IRR digunakan untuk mengetahui persentase keuntungan dari suatu proyek tiap-tiap tahun.
IRR juga merupakan alat ukur kemampuan proyek dalam mengembalikan bunga pinjaman. IRR pada dasarnya adalah menunjukkan tingkat bunga tertentu (i), dimana pada tingkat bunga tersebut jumlah PV (B) akan sama dengan jumlah PV (C), atau dengan perkataan lain, pada i tersebut nilai NPV-nya = 0. Dengan demikian untuk mencari IRR, kita perlu menaikkan tingkat bunga (i) secara bertahap, sehingga tercapai nilai NPV = 0. Discount Factor yang digunakan tersebut merupakan Opportunity Cost of Capital. Berdasarkan penjelasan di atas, maka untuk mempermudah dan mempercepat mencari nilai IRR, adalah dengan cara melakukan interpolasi dari dua nilai NPV pada dua tingkat bunga (i) yang berbeda. Pada tingkat bunga pertama (i1) diperoleh nilai NPV yang positif (NPV1 > 0), dan pada tingkat bunga kedua (i2) diperoleh nilai NPV yang negatif (NPV2 < 0). Aktivitas atau kegiatan yang akan dianalisa dengan analisa value added adalah Perbaikan Pengolahan Gambir. Analisa dilakukan dengan membandingkan antara nilai tambah yang diperoleh dari bertambahnya rendemen gambir hasil kempaan dengan menggunakan alat kempa rekayasa dengan alat kempa tradisional.
HASIL DAN PEMBAHASN
Secara administratif Kecamatan Pangkalan Koto Baru termasuk wilayah kabupaten Limapuluh Kota, propinsi Sumatera Barat dengan luas wilayah 712,06 km2 , yang terdiri dai 6 Nagari dan 13 Desa. Secara geografis terletak pada 100033’ – 100052’ BT dan 00000’ – 00015’ LU. Ketinggian tempat berkisar antara 190 – 800 m dpl dengan rata-rata tinggi tempat 230 m dpl.l Topografi sebagian besar berbukit. Temperatur rata-rata harian 280C. Mata pencaharian masyarakat pada umumnya adalah bidang pertanian (sebagai petani), terutama pada komoditi tanaman perkebunan. Komoditi perkebunan merupakan komoditi terpenting di Kecamatan Pangkalan Koto Baru karena sebagian besar masyarakatnya 3
menggantung-kan hidupnya pada sektor ini. Hampir di seluruh desa di kecamatan diusahakan komoditi gambir dan karet Luas areal tanaman perkebunan di Kecamatan Pangkalan Koto Baru adalah 9.488 ha. Sedangkan untuk tanaman pangan hanya 748 ha, perikanan 19,13 ha. Rata-rata tiap KK mengusahakan + 2 ha untuk usaha berbagai jenis komoditi. Untuk tanaman perkebunan 1,8 ha, tanaman pangan 0,14 ha sedangkann sisanya merupakan lahan pekarangan. Dengan demikian kepemilikan lahan masih tergolong sempit, sementara lahan yang belum diusahakan 60.960 ha. Cara pengolahan yang dilakukan oleh petani masih bersifat tradisionil, proses pengempaan dilakukan dengan menggunakan alat kempa yang terbuat dari kayu. Pada pengempaan sistim tradisional, sangat mengandalkan tenaga manusia sehingga getah yang dihasilkan rendah. Selain itu alat kempa yang terbuat dari kayu ini memiliki usia ekonomis tiga tahun, alat ini mudah rusak/ patah apabila tekanan yang diberikan terlalu kuat. Kapasitas pengolahannya untuk 2 Ha luas tanaman gambir. Selain kuantitas hasil yang rendah kulitas gambir yang dihasilkan juga rendah karena untuk meningkatkan rendemen
petani mencampurnya dengan tanah liat atau tepung
tapioka. Dengan metode pengolahan yang demikian, menjadikan pengolahan gambir hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang terbiasa melakukan pekerjaan yang berat serta harus terampil, yang umumnya didominasi oleh pemuda-pemuda tertentu yang dikenal dengan istilah Orang Kampo (maksudnya, sekelompok orang yang spesialisasinya mengempa gambir) dengan sistem bagi hasil 50%:50%. Dalam melakukan pengolahan gambirnya, orang kampo biasanya terdiri dari 3 orang yang memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing. Satu orang bertugas memanen daun dan ranting gambir, satu orang bertugas di bagian perebusan daun, dan satu orang lagi bertugas mengempa dengan dongkrak hidrolik. Kegiatan mengempa gambir biasanya dilakukan secara terus menerus dalam 2 - 3 bulan, karena lokasi kebun gambir pada umumnya terletak di atas bukit yang jaraknya cukup jauh, sehingga tidak efisien waktu yang digunakan apabila pengempaan dilakukan dengan tenggang waktu, mengingat jarah tempuh yang harus dilalui menuju kebun gambir diatas bukit bisa mencapai seharian penuh. Oleh karena itu, banyak petani gambir yang menyerahkan urusan pengempaan gambirnya kepada orang-orang yang sudah terbiasa melakukan hal itu (Orang Kampo). Sebelum orang kampo ini bekerja, biasanya mereka meminta bekal hidup di bukit untuk 1 bulan. Sehingga dengan demikian, sebetulnya bagian petani dari penjualan gambirnya bukan setengahnya (50%), melainkan lebih dari itu, karena petani masih harus memberi perbekalan orang kampo untuk hidup di bukit selama kurang lebih 1 bulan. Perbaikan cara pengolahan dapat dilakukan dengan merekayasa alat kempa dari daerah Palembang. Kebiasaan petani gambir daerah Palembang dalam mengempa gambirnya, berbeda 4
dengan kebiasaan petani gambir Sumatera Barat secara umumnya. Petani gambir disana mengempa gambirnya dengan merajang terlebih dahulu daun dan ranting gambir sebelum direbus. Ternyata cara ini memberikan rendemen yang lebih baik (8%) dibandingkan cara petani gambir Sumatera Barat yang hanya mampu menghasilkan rendemen 6%. Selain itu, cara ini juga mempermudah proses pengempaan, karena daun dan ranting gambir yang akan dikempa sudah dalam kondisi hancur. Dengan Alat Pengolah Gambir hasil rekayasa alat kempa gambir dari Palembang yang dikembangkan oleh salah satu staf pengajar Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh (Ir. Irzal, MP), maka pekerjaan pengempaan daun dan ranting gambir yang semula berat dan biasa dilakukan oleh Orang Kampo, sekarang menjadi jauh lebih ringan sehingga petani mampu mengolah sendiri hasil panen gambirnya, dan dapat dilakukan di sekitar rumah tempat tinggalnya. Petani gambir bisa memanen daun d an ranting gambir 2 hari sekali, lalu daun dan ranting gambir diolah dan dikempa di mesin yang bisa diletakkan di sekitar rumah tempat tinggalnya, bahkan bisa dikerjakan oleh istri petani dan anak-anaknya. Dengan cara demikian, banyak keuntungan yang diperoleh petani gambir dengan adanya Alat Pengolah Gambir hasil rekayasa ini, antara lain : 1. Pengempaan gambir bisa dilakukan sendiri (tidak menggunakan lagi tenaga Orang Kampo) sehingga porsi petani meningkat. 2. Rendemen gambir yang dihasilkan bisa meningkat 30% dibandingkan dengan pengolahan gambir dengan sistem dongkrak (meningkat dari rendemen 6% ke 8%). 3. Petani gambir tidak harus menunggu 6 bulan untuk mendapatkan hasil panennya, karena sekarang petani dapat melakukan pengempaan gambir 2 hari sekali secara terus menerus dengan jumlah panen yang cukup untuk memenuhi kebutuhan petani. Permasalahan utama terletak pada harga Alat Pengolah Gambir hasil rekayasa yang relatif memberatkan petani untuk membelinya, walaupun secara finansial alat ini relatif sama biayanya dengan alat pengolah tradisionil (dengan menggunakan mesin dongkrak). Oleh karena itu dibutuhkan lembaga keuangan mikro yang dapat menfasilitasi petani untuk membeli Alat Pengolah Gambir hasil rekayasa tersebut. Ditinjau dari segi budidaya, pada umumnya petani kurang memperhatikan upaya pemeliharaan terhadap tanaman gambirnya, sehingga dikhawatirkan pada suatu saat tidak akan dapat lagi memberikan hasil seperti yang diharapkan. Untuk mengatasi keadaan yang demikian dapat dilakukan dengan melakukan teknik budidaya yang baik dan tepat sehingga nilai produktifitas tanah dapat dipertahankan. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Usman, Muhammad dan Wahid (1994) dalam Sorel Deni dkk. (2002), bahwa tanah sebagai media tumbuh mempunyai keterbatasan untuk dapat menyediakan hara yang memadai baik jumlah maupun macamnya.
5
Dengan makin meningkatnya pendapatan petani gambir, diharapkan ada upaya petani untuk tetap memelihara tanaman gambirnya dengan melakukan penyiangan dan pemupukan. Dalam melakukan pemupukan ini, bisa memanfaatkan ampas daun hasil pengempaan untuk dijadikan kompos. Dari daun dan ranting tanaman gambir yang diolah, dihasilhan ampas sebanyak 75%. Ampas gambir sebagai limbah dari pengolahan gambir akan dapat lebih dioptimalkan sebagai pupuk organik apabila dilakukan proses pengomposan terlebih dahulu dengan memberikan stimulan untuk mempercepat atau pemicu terjadinya proses pengomposan, salah satunya dengan memberikan Effektif Microorganisme 4 (EM4) dan Orgadec yang berfungsi sebagai bioaktivator. Dari beberapa uji coba yang telah dilakukan membuktikan bahwa dengan pemberian EM4 ini dapat mempercepat terjadinya proses perombakan bahan kompos, sehingga mampu mempercepat proses pengomposan. Kompos yang dihasilkan dari pengolahan ampas gambir sebanyak 64%. Selain kompos berguna untuk tanaman dapat pula memberikan tambahan pendapatan bagi petani. Tabel 1,
Th
Hasil analisa pengusahaan tanaman gambir dengan menggunakan Alat Pengolahan Gambir hasil rekayasa luas 3 ha selama 10 tahun
Cost
Benefit
Net benefit
DF 15%
NPV 15%
DF 20%
NPV 20%
0
83.600.000
0 -83.600.000
1
-83.600.000
1
-83.600.000
1
39.100.000
0 -39.100.000
0,87
-34.017.000
0,833
-32.570.300
2
109.000.000 126.700.000
17.700.000
0,756
13.381.200
0,694
12.283.800
3
131.940.000 192.580.000
60.640.000
0,658
39.901.120
0,579
35.110.560
4
153.900.000 236.500.000
82.600.000
0,572
47.247.200
0,482
39.813.200
5
163.900.000 236.500.000
72.600.000
0,497
36.082.200
0,402
29.185.200
6
153.900.000 236.500.000
82.600.000
0,432
35.683.200
0,335
27.671.000
7
153.900.000 236.500.000
82.600.000
0,376
31.057.600
0,279
23.045.400
8
163.900.000 236.500.000
72.600.000
0,327
23.740.200
0,233
16.915.800
9
163.900.000 236.500.000
72.600.000
0,284
20.618.400
0,194
14.084.400
10
163.900.000 236.500.000
72.600.000
0,247
17.932.200
0,162
11.761.200
148.026.320 IRR Net B/C 15%
Tabel 2,
93.700.260
= 35,4 % = 2,26
Hasil analisa pengusahaan tanaman gambir secara tradisional (kempa dongkrak hidrolik) dengan menggunakan tenaga Orang Kampo, luas 3 ha selama 10 tahun
Th
Cost
0
78.000.000
Benefit
Net benefit 0 -78.000.000 6
DF 15%
NPV 15%
DF 20%
NPV 20%
1
-78.000.000
1
-78.000.000
1
33.500.000
0 -33.500.000
0,87
-29.145.000
0,833
-27.905.500
2
93.500.000 100.000.000
6.500.000
0,756
4.914.000
0,694
4.511.000
3
110.500.000 154.000.000
43.500.000
0,658
28.623.000
0,579
25.186.500
4
128.500.000 190.000.000
61.500.000
0,572
35.178.000
0,482
29.643.000
5
138.500.000 190.000.000
51.500.000
0,497
25.595.500
0,402
20.703.000
6
128.500.000 190.000.000
61.500.000
0,432
26.568.000
0,335
20.602.500
7
128.500.000 190.000.000
61.500.000
0,376
23.124.000
0,279
17.158.500
8
138.500.000 190.000.000
51.500.000
0,327
16.840.500
0,233
11.999.500
9
138.500.000 190.000.000
51.500.000
0,284
14.626.000
0,194
9.991.000
10
138.500.000 190.000.000
51.500.000
0,247
12.720.500
0,162
8.343.000
81.044.500 IRR Net B/C 15%
Tabel 3,
42.232.500
= 28,1 % = 1,76
Hasil analisa pengusahaan tanaman gambir dengan perbaikan pemeliharaan dan penggunaan Alat Pengolah Gambir hasil rekayasa, luas 3 ha selama 10 tahun
Th
Cost
Benefit
0
85.850.000
1
41.350.000
Net benefit
DF 15%
NPV 15%
DF 20%
NPV 20%
0 -85.850.000
1
-85.850.000
1
-85.850.000
0 -41.350.000
0,87
-35.974.500
0,833
-34.444.550
2
111.250.000 133.000.000
21.750.000
0,756
16.443.000
0,694
15.094.500
3
134.190.000 198.880.000
64.690.000
0,658
42.566.020
0,579
37.455.510
4
156.150.000 242.800.000
86.650.000
0,572
49.563.800
0,482
41.765.300
5
166.150.000 242.800.000
76.650.000
0,497
38.095.050
0,402
30.813.300
6
156.150.000 242.800.000
86.650.000
0,432
37.432.800
0,335
29.027.750
7
156.150.000 242.800.000
86.650.000
0,376
32.580.400
0,279
24.175.350
8
166.150.000 242.800.000
76.650.000
0,327
25.064.550
0,233
17.859.450
9
166.150.000 242.800.000
76.650.000
0,284
21.768.600
0,194
14.870.100
10
166.150.000 242.800.000
76.650.000
0,247
18.932.550
0,162
12.417.300
160.622.270 IRR Net B/C 15% Tabel 4.
103.184.010
= 36,4 % = 2,32
Rekapitulasi Hasil Analisa
No Pengusahaan Kebun NPV 15% 1 Budidaya tradisionil Kempa dengan Alat Rp 148.026.320 2 Budidaya tradisionil Kempa Dongkrak Rp 81.044.500 3 Perbaikan budidaya, Kempa dengan Alat Rp 160.622.270
7
Net B/C 15% 2,26 1,76 2,32
IRR 35,4 % 28,1 % 36,4 %
Perubahan Sistem Pengolahan Gambir 1. Biaya Alat Kempa hasil rekayasa Pembelian alat kempa Overhead alat Usia ekonomis Kapasitas olah
= = = =
Rp 25.000.000,Rp 1.500.000,10 tahun 10 ha
per tahun
Rp 25.000.000,- + 15.000.000 -
Biaya penyusutan alat
= 100 = Rp
2. Biaya Alat Kempa Kayu Pembelian alat kempa Overhead alat Usia ekonomis Kapasitas Olah
= = = =
400.000,-
Rp 5.000.000,Rp 1.000.000,3 tahun 4 ha Rp
-
Biaya penyusutan alat
5.000.000,-
/ ha / tahun
per tahun
+ Rp. 3.000.000
= 12 = Rp
666.667,-
/ ha / tahun
Pendapatan : Pengolahan tradisionil dengan menggunakan tenaga Orang Kampo 1. Harga Rp 20.000 /kg, dalam 1 ha dapat dipanen 4.600 kg daun 2. Rendemen = 6%, maka produk gambir = 276kg 3. Penjualan Hasil = 276kg x Rp 20.000,- = Rp 5.520.000,4. Bagian Petani = 50% x Rp 5.520.000 = Rp 2.760.000 5. Biaya Pengolahan = Penyusutan alat + Konsumsi = = Rp 666.667,- + Rp 250.000,- = Rp 916.667 5. Hasil bersih Petani = Rp 2.760.000 - Rp 916.667,- = Rp 1.843.333 Pengolahan dengan Alat Pengolah Gambir hasil rekayasa 1. Harga Rp 20.000 /kg, dalam 1 ha dapat dipanen 4.600 kg daun 2. Rendemen = 8%, maka produk gambir = 368kg 3. Penjualan Hasil = 368kg x Rp 20.000,- = Rp 7.360.000,4. Biaya pengolahan = kayu bakar + penyusutan alat + TK = Rp 800.000 + Rp 400.000 + Rp 3.000.000 = Rp 4.200.000 5. Hasil Bersih Petani = Rp 7.360.000 - Rp 4.200.000 = Rp 3.160.000
Pengolahan dengan Alat Pengolah Gambir hasil rekayasa dengan perbaikan Budidaya 1. Harga Rp 20.000 /kg, dalam 1 ha dapat dipanen 6.000 kg daun 2. Rendemen = 8%, maka produk gambir = 480kg 3. Penjualan Hasil = 480x Rp 20.000,- = Rp 9.600.000,4. Biaya pengolahan = kayu bakar + penyusutan alat + TK + Pupuk
8
5.
Hasil Bersih Petani
= Rp 800.000 + Rp 400.000 + Rp 3.000.000 + Rp_750.000 = Rp 4.950.000 = Rp 9.600.000 - Rp 4.950.000 = Rp 4.650.000
KESIMPULAN
Dari hasil analisa didapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1.
Penggunaan Alat Pengolah Gambir hasil rekayasa memberikan banyak keuntungan, antara lain : a. Pekerjaan mengempa gambir menjadi lebih mudah b. Petani gambir bisa mengolah sendiri hasil panen daun gambirnya, sehingga tidak memerlukan lagi tenaga Orang Kampo, akibatnya terjadi peningkatan pendapatan petani dari Rp 1.843.333,- menjadi Rp 3.160.000,-. Peningkatan pendapatan akan semakin besar apabila petani memelihara kebunnya dengan memberikan kompos dan penyiangan. c. Rendemen gambir yang dihasilkan meningkat, karena daun dan gambir sudah dirusak selnya, sehingga getah gambir lebih mudah untuk terlepas (keluar).
2.
Penggunaan Alat Pengolah Gambir hasil rekayasa, juga memberikan dampak positif terhadap pemeliharaan tanaman, karena dengan semakin meningkat pendapatan petani, maka petani gambir lebih memiliki dana untuk pemeliharaan kebun gambirnya. DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2000. Laporan tahunan kecamatan Pangkalan Koto Baru, 1999-2000. Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kabupaten 50Kota, Propinsi Sumatera Barat. Anonim, 2007. Gambir Sumbar semakin bersinar. WWW.depkop.go.id. Diakses tanggal 7 September 2007. BIP Sumbar, 1995. Pemupukan dan Pengolahan Gambir. Departemen PIP Sumatera Barat. Biro Pusat Statistik, 2004. Kabupaten Limapuluh Kota Dalam Angka. Bappeda Tk. II Kabupaten Limapuluh Kota dan Kantor Statistik Kabupaten Limapuluh Kota. Choliq, A. 1989. Evaluasi Proyek Suatu Pengantar. Linda Karya Bandung. Irzal dan Eviza Andi, 2002. Upaya Peningkatan Rendemen Gambir dengan Perubahan Cara Pengolahan. Lumbung. politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh. 2: 25 – 44 Kanwil Departemen Perdagangan Sumbar, 1997. Standar mutu komoditi dalam menunjang peranan mutu pada perdagangan internasional. Penyuluhan peningkatan bokor gambir di Pondok Sate Taman Sari Padang. Kanwil Deperindag Sumbar. Padang Kusuma Indra , 1994. Beberapa Aspek Budidaya Tanaman Gambir Di Sumatera Barat. balittro Solok Sumatera Barat.
9
Noviar Nazir, 2000. Gambir, Budidaya, Pengolahan dan Prospek Diversifikasinya. Yayasan Hutanku Padang. Roswita, R. 1998. Prospek gambir di Sumatera Barat. BIP (01) Padang. H. 8-10. Susilobroto, B. 2000. Keragaan industri pengolahan gambir dan penyulingan nilam dan peluang pasar. Prosiding Teknologi Pengolahan Gambir dan nilam. Padang 24-25 Januari 2000. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. H. 36-44.
10