Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015
Upaya Peningkatan Mutu dan Sertifikasi Minyak Nilam di Kolaka Utara Tamrin1, Nur Asyik1, Gusnawaty2 1
Staf Pengajar Fakultas Teknologi dan Industri Pertanian Universitas Haluo Oleo Kendari 2 Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Haluo Oleo Kendari
ABSTRAK Kolaka Utara adalah salah satu Kabupaten di provinsi Sulawesi Tenggara, dengan ibukota Lasusua, merupakan merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Kolaka pada tahun 2003. Sekitar 80% penduduk kabupaten ini menekuni usahatani perkebunan (terutama kakao, kelapa dan cengkeh) untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun beberapa tahun terakhir nilam mulai dikembangkan disamping usahatani yang telah ditekuni sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan karakteristik mutu minyak nilam serta mengupayakan peningkatan mutu dan sertifikasi minyak nilam di Kolaka Utara. Penelitian ini diawali dengan survei beberapa faktor yang terkait dengan rendemen dan mutu minyak nilam (jenis tanaman, teknik budidaya, penanganan pasca panen, dan teknologi penyulingan minyak nilam). Selain itu dilakukan karakterisasi mutu minyak nilam menurut Standar Mutu Indonesia (SNI). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tanaman nilam yang diusahakan sebagian besar adalah jenis Sidikalang dan Tapaktuan serta teknik budidaya yang diterapkan rata-rata telah mendekati teknik budidaya yang sesuai untuk tanaman nilam, namun masih ditemukan penanganan pasca panen terutama ukuran terna yang panjang (5 – 10 cm) dan masih tedapat perbandingan terna 1 : 2 dalam proses penyulingan. Selain itu, belum dilakukan proses penjernihan/redestilasi pada minyak nilam yang hasilkan. Kondisi tersebut diduga kuat menyebabkan rendemen minyak nilam rata-rata hanya mencapai 1,8% dan masih sedikit yang mencapai 2 – 3% serta daya simpan minyak nilam yang rendah. Hasil analisis laboratorium menunjukkan karakteristik mutu minyak nilam dari Lasusua Kolaka Utara terutama warna, bobot jenis, bilangan asam, bilangan ester dan Patchouli Alcohol (PA) telah memenuhi standar SNI-No. 06-2388-2006. Keyword : Mutu, minyak, nilam, Patchouli Alcohol.
PENDAHULUAN Kolaka Utara adalah salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Tenggara, dengan ibukota Kecamatan Lasusua. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Kolaka yang disahkan dengan UU Nomor 29 tahun 2003 tanggal 18 Desember 2003. Jumlah penduduk dari hasil registrasi akhir tahun 2009, yaitu sebesar 118.386 jiwa terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 59.510 jiwa dan perempuan 58.876 jiwa. Sekitar 80% penduduk kabupaten ini menekuni usahatani tanaman perkebunan untuk memenuhi kebutuhan hidup (BPS Kab. Kolaka Utara, 2010). Hal ini menggambarkan bahwa sumber pendapatan utama masyarakat di kabupaten ini adalah usahatani tanaman perkebunan. Tanaman perkebunan yang menjadi andalan utama dan telah lama ditekuni masyarakat adalah kakao, kelapa dan cengkeh. Namun dalam beberapa tahun terakhir masyarakat Kolaka Utara mulai mengusahakan tanaman nilam disamping usahatani yang telah ditekuni sebelumnya. Peningkatan nilai pendapatan yang dirasakan masyarakat dari usaha tanaman nilam cukup menguntungkan sehingga usaha tanaman tersebut begitu cepat menyebar di Kabupaten Kolaka Utara. Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth.) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri penting yang menyumbang devisa 50% lebih dari total ekspor minyak atsiri Indonesia. Sebagian besar pertanaman nilam di Indonesia merupakan usahatani rakyat yang melibatkan 32.870 kepala keluarga petani (Ditjen Perkebunan, 2006). Indonesia merupakan pemasok minyak nilam terbesar di pasaran dunia dengan kontribusi 85%, dengan rata-rata volume ekspor mencapai 1.057 ton/tahun dengan pasar tujuan utama antara lain Amerika Serikat, Spanyol, Perancis, Inggris, dan Switzerland. Sifat fixatif (mengikat minyak astiri lainnya) yang sangat kuat dari minyak nilam menyebabkan pemanfaatannya yang luas dalam industri parfum, kosmetik, antiseptik dan insektisida serta penggunaannya dalam aroma terapi (Ibnusantoso, 2000; Wahyudi dan Emiarti, 2012).
ISBN: 978-602-7998-92-6
A-202
Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015 Mutu minyak nilam ditentukan oleh sifat fisika kimia minyaknya. Faktor yang paling menentukan mutu minyak nilam adalah kadar patchouli alcohol (PA). PA merupakan komponen terbesar (50-60%) dari minyak dan memberikan bau yang khas pada minyak nilam. Dari jenis Nilam Aceh yang saat ini dikembangkan sebagai varietas unggul, kadar PA yang tertinggi dijumpai pada varietas Tapak Tuan (33,31%). Kadar PA >30%, merupakan syarat minimum untuk ekspor. Kadar PA dari Nilam selain dipengaruhi oleh jenis tanaman dan teknik budidaya, penanganan pasca panen dan teknik pengolahan minyak merupakan tahap yang paling menentukan mutu dan kadar PA dari minyak nilam. Tahap pasca panen mulai dari ukuran perajangan terna (daun dan ranting), cara dan lama penjemuran, serta cara dan lama penyimpanan. Sedangkan pada teknik pengolahan faktor yang berpengaruh meliputi perbandingan bahan terna, volume air dan kapasitas alat, cara dan lama penyulingan. Dan terkait dengan alat penyulingan terutama jenis bahan dari tangki penyulingan, tipe alat (model, kelengkapan alat kontrol suhu dan tekanan). Mutu minyak nilam selain ditentukan oleh Nilai PA, yang perlu menjadi perhatian adalah tingkat kejernihan, warna, berat jenis, indeks bias, putaran optic, kelarutan dalam alcohol, bilangan ester, bilangan asam, dan kadar besi dalam minyak nilam. Karakteristik minyak tersebut perlu diupayakan agar sesuai dengan standar nasional Indonesia (SNI). Untuk itu upaya peningkatan mutu dan sertifikasi minyak nilam yang dihasilkan masyarakat Kolaka Utara perlu dilakukan untuk perbaikan kualitas dan nilai jualnya. Keseluruhan proses peningkatan mutu dan sertifikasi perlu dikawal dalam sistem kelembagaan kemitraan multistakeholder. Kelembagaan tersebut perlu mendorong partisipasi petani/pengolah baik secara perorangan maupun kelompok dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan peningkatan mutu. Selanjutnya faktor-faktor terkait peningkatan mutu tersebut perlu dipelajari secara mendalam sehingga diperoleh paket teknologi penanganan nilam sejak dari budidaya sampai pengolahan untuk peningkatan mutu dari minyak nilam di kolaka utara. METODE Lokasi Kegiatan Kegiatan ini dilaksanakan di Kecamatan Lasusua Kolaka Utara. Pemilihan di lokasi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut adalah salah satu kawasan pengembangan nilam di Kolaka Utara. Selain itu juga mempertimbangkan kebijakan Pemerintah Daerah, kondisi wilayah dan masyarakat sasaran. Survey sistem budidaya, pascapanen dan pengolahan nilam Penelitian ini diawali dengan survey yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran teknik budidaya tanaman nilam, pascapanen, sistem pengolahannya dan nilai tambah yang diperoleh petani. Responden dalam kegiatan ini terdiri dari instansi terkait (antara lain penyuluh pertanian lapangan), kepala desa, kontak tani/petani. Proses pengumpulan data dengan teknik Focus Discussion Group (FGD) dan wawancara mendalam, kemudian dilanjutkan observasi di industri pengolahan nilam. Penentuan responden secara purposive dengan kriteria petani nilam: 1) memiliki lahan perkebunan nilam minimal 0,5 Ha; 2) memiliki umur tanaman nilam produktif; 3) mudah di jangkau. Karakterisasi minyak nilam dari Lasusua Kolaka Utara Karaterisasi dilakukan untuk memperoleh data minyak nilam menurut Standar Nasional Indonesia (SNI). Peralatan yang digunakan adalah neraca, polarimeter, refraktometer, hot plate, gas kromatografi, tabung polari, piknometer, termometer, tabung reaksi, labu, dan pendingin tegak. Parameter yang diukur meliputi bobot jenis, indeks bias, putaran optik, kelarutan dalam alkohol, bilangan asam, bilangan ester, dan patchouli alkohol. Bahan pereaksi yang digunakan adalah alkohol, HCl, KOH, boraks, dan indicator pp. Adapun tahap analisis menurut SNI No. 06-23882006 adalah sebagai berikut : - Berat jenis. Piknometer kosong yang telah diketahui bobotnya diisi minyak nilam kemudian ditimbang. Bobot piknometer yang berisi air juga diukur dan suhu dalam neraca dicatat. Perbandingan bobot minyak dan air menunjukkan bobot jenisnya.
ISBN: 978-602-7998-92-6
A-203
Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015 - Bilangan asam. Minyak nilam 1,5-2,5 g minyak nilam ditambahkan 10 ml alkohol netral serta beberapa tetes indikator pp, kemudian dititar dengan KOH 0,1 N hingga berwarna merah muda. ml contoh x N x 56,1. Bilangan asam = g contoh, ml contoh = ml penitaran contoh, N = normalitet dari KOH 56,1 = bobot setara KOH g = bobot contoh - Bilangan ester adalah kelanjutan dari bilangan asam. Ke dalam contoh ditambahkan 25 cc KOH 0,5 N kemudian dipanaskan hingga mendidih selama 1,5 jam, didinginkan lalu dititar dengan HCI 0,5 N hingga warnanya berubah. (blanko - contoh) ml x N x 56,1, Bilangan ester = g contoh - Kadar patchouli alkohol (PA) diukur dengan menggunakan gas kromatografi pada kondisi kolom Carbowax 20 M; detector ionisasi nyala; gas pendorong nitrogen; suhu injector 220°C; suhu detektor 250°C; suhu kolom program 60-180oC kecepatan kenaikan 3°C/menit; laju alir N2 kenaikan 3oC/menit; laju alir H2 30 ml/menit; laju alir UT 40 ml/menit; sensitivitas 4 x 10 m; dan volume contoh 0,2. HASIL DAN PEMBAHASAN Teknik Budidaya Tanaman Nilam, Pasca Panen dan Pengolahannya di Kecamatan Lasusua Teknik Budidaya Survey tanaman Nilam dan wawancara terhadap petani Nilam dilakukan di kelurahan Lasususa dan beberapa desa di Kecamatan Lasusua yaitu Pongiha, Patowonua, Tojabi, Watuliu dan Pitulua. Hasil survey menunjukkan karakteristik petani nilam secara umum dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Petani Nilam di Lasusua Karakteristik Petani Nilam Umur Pendidikan Kedudukan usaha Nilam bagi petani Luas lahan Usaha tani dilakukan secara
Hasil Survey 38 – 62 tahun SMP - SMA Usaha sampingan 0.25 – 0.5 Ha Individu
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa umur rata-rata petani yang dijumpai di kecamatan Lasusua berada pada kisaran umur yang cukup produktif, walaupun beberapa diantaranya sudah berusia lanjut (62 tahun). Dari segi pendidikan (yaitu tingkat SMP – SMA), petani Lasusua memiliki kemampuan menyerap informasi dan potensi mengembangkan diri untuk kemajuan usahanya. Namun dari Tabel 1 diketahui bahwa secara umum usaha nilam skala produksi per petani tergolong kecil. Hasil survey menunjukkan rata-rata luas areal tanaman nilam berkisar antara 0.25 – 0.5 Ha/petani dan umum hanya menjadi usaha sampingan. Kondisi ini berbeda dengan situasi beberapa tahun sebelumnya, yaitu tanaman nilam menjadi usaha utama karena tingginya harga yang diperoleh petani. Tetapi setelah harga nilam kering mengalami penurunan (saat survey hanya sekitar 1.500 – 2.000/kg), banyak petani tidak lagi mengurus tanaman nilamnya karena biaya produksi lebih tinggi dibandingkan hasil penjualan yang diperoleh. Oleh karena itu terdapat areal penanaman nilam yang dijumpai telah berumur lebih dari 1 (satu) tahun belum dipanen dan sudah bercampur dengan gulma (tanaman pengganggu) karena tidak pernah lagi dilakukan penyiangan. Kondisi ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Areal penanaman Nilam yang tidak lagi terurus di desa Pongiha Kecamatan Lasusua Kolaka Utara
ISBN: 978-602-7998-92-6
A-204
Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015 Gambar 1 menunjukkan kondisi tanaman nilam yang tidak lagi di pedulikan oleh pemiliknya karena taksiran harga penjualan yang diperoleh tidak dapat menutupi biaya produksi (modal) yang telah diinvestasikan. Menurut Kastaman (2003) Gulma yang tumbuh disekitar tanaman nilam harus dibersihkan (penyiangan) sebelum pemupukan, yakni menjelang umur 1 bulan, 3 bulan dan 5 bulan. Disamping itu juga ditemukan areal tanaman yang sebelumnya merupakan lokasi penanaman nilam, namun pada saat survey areal tersebut tidak lagi ditanami nilam. Walaupun demikian beberapa petani yang memiliki tanaman nilam yang masih bertahan dan terus menerapkan beberapa teknik budidaya dalam penanamannya. Petani tersebut umumnya juga memiliki penyulingan nilam atau yang telah terikat perjanjian dengan pengusaha nilam. Teknik budidaya yang dijumpai bervariasi, dan sumber bibit umumnya diperoleh dari Pak Hamsa, seorang tokoh masyarakat Lasusua yang diketahui sebagai orang pertama yang membawa dan mengusahakan tanaman nilam di Lasusua. Selain itu, beberapa petani juga memperoleh bibit nilam dari desa Lapolu yang jaraknya sekitar 30 kilometer dari Lasusua. Secara rinci teknik budidaya yang diterapkan pada tanaman nilam dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Teknik Budidaya Tanaman Nilam di Lasusua Budidaya Tanaman Nilam Hasil Survey Varietas nilam yg ditanam Sidikalang dan Tapak Tuan Sumber bibit Lasusua (dari Pak Hamsa) dan desa Lapolu Jarak tanam nilam 50 x 50 cm dan 80 x 80 cm Sistem pertanaman Monokultur dan Tumpang sari Umur panen nilam pertama 6 - 7 bulan Lama umur produktif tanaman nilam 1 tahun – 1,5 tahun sampai diganti dgn tanaman baru Jenis pupuk yang digunakan Urea Alat panen yg digunakan Gunting pangkas Panjang batang bawah yang akan menjadi 10 cm, 20cm, dan 25 cm tempat pertumbuhan vegetative berikutnya Banyaknya Penyiangan yang dilakukan 1 – 4 kali dan ada yang seringkali (setiap sampai panen bulan) Pengendalian hama penyakit tanaman Pestisida/fungsida Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa jenis tanaman nilam yang paling banyak diusahakan oleh masyarakat Lasusua yaitu jenis sidikalang dan Tapak Tuan. Nilam ini termasuk jenis Pogostemon cablin atau sering disebut nilam Aceh. Pogostemon cablin termasuk famili Labiate yaitu kelompok tanaman yang mempunyai aroma yang mirip satu sama lain. Jenis ini sebenarnya dari Filipina, yang kemudian berkembang ke Malaysia, Madagaskar, Paraguay, Brazilia, dan Indonesia (Sudaryani et al, 2004). Sudaryani et al. (2004) dan Herdiani (2011) menjelaskan bahwa Tanaman nilam tumbuh pada ketinggian 2.200 m dpl. Akan tetapi nilam akan tumbuh dengan baik dan berproduksi tinggi pada ketinggian tempat 10-400 m dpl, suhu yang panas dan lembap serta memerlukan curah hujan yang merata. Curah hujan yang diperlukan berkisar 2500-3500 mm/tahun dan merata sepanjang tahun. Sedang suhu yang baik adalah 240C-280C dengan kelembapan lebih dari 75%. Agar pertumbuhannya optimal tanaman nilam memerlukan intensitas penyinaran matahari yang cukup. Kondisi iklim dan curah hujan tersebut secara umum terpenuhi di Kecamatan Lasusua. Kecamatan Lasusua memiliki luas daratan sebesar 287,67 km 2. Ketinggian wilayahnya mencapai ± 15 m dari permukaan laut. Keadaan iklim Kecamatan Lasusua terdiri dari dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Selama tahun 2008, musim hujan terjadi dua kali yaitu pada bulan Februari sampai April dan pada bulan Agustus sampai dengan Nopember. Arus angin yang terjadi pada bulan-bulan tersebut banyak mengandung uap air yang berhembus dari Asia dan Samudera Pasifik sehingga terjadi musim hujan. Sedangkan musim kemarau terjadi antara akhir bulan April sampai dengan Juli dimana antara bulan tersebut angin Timur yang bertiup dari Australia yang sifatnya kering dan kurang mengandung uap air (BPS Kab. Kolaka Utara, 2010). Tabel 2 juga menggambarkan bahwa jarak tanam nilam di Lasusua yaitu 50 x 50 cm dan 80 x 80 cm. jarak tersebut telah sesuai dengan jarak tanam yang dianjurkan. Sudaryani et al. (2004) dan Herdiani (2011) menjelaskan bahwa lubang tanam dibuat dengan ukuran 30 cm x 30 cm x 30
ISBN: 978-602-7998-92-6
A-205
Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015 cm, dengan jarak tanam antara barisan 90 cm - 100 cm dan jarak tanam dalam barisan 40 cm - 50 cm. Jarak tanam disesuaikan dengan kondisi lahan. Pada lahan datar, jarak tanam dalam barisan lebih besar (100 cm x 50 cm) sedangkan pada lahan yang agak miring (150) jarak tanam dalam barisan lebih sempit (40 cm) dan arah baris menurut kontur tanah. Pada lokasi dengan kesuburan yang tinggi (banyak humus) jarak tanam sebaiknya 100 cm x 100 cm, karena pada umur 5 - 6 bulan, kanopi sudah bertemu. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa selama proses penanaman nilam di Lasusua sebagian besar hanya di pupuk dengan urea. Kondisi tersebut menyebabkan pertumbuhan tanaman tidak seragam, beberapa diantaranya menunjukkan pertumbuhan yang lambat. Untuk itu perlu upaya peningkatan kesuburan tanah melalui sistem pemupukan maupun pergiliran tanaman sehingga diperoleh hasil produksi nilam yang optimal. Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa pola tanam yang diterapkan untuk tanaman nilam di Lasusua adalah monokultur dan tumpang sari. Walaupun pola tanam yang terbaik adalah system monokultur, tumpang sari juga dapat dilakukan tetapi diupayakan agar tanaman tidak banyak ternaungi. Tanaman nilam yang ternaungi umumnya memiliki kadar minyak yang rendah. Tanaman nilam memerlukan intensitas penyinaran berkisar antara 75- 100 %. Pada tempat-tempat yang agak terlindung, nilam masih dapat tumbuh dengan baik, tetapi kadar minyak lebih rendah dari pada tempat terbuka. Tanaman nilam yang ditanam di tempat terbuka, pertumbuhan tanaman kurang rimbun, habitus tanaman lebih kecil, daun agak kecil dan tebal, daun berwarna kekuningan dan sedikit merah, tetapi kadar minyaknya lebih tinggi (Anonimous, 2012). Umur panen nilam di Lasusua menurut Tabel 2 yaitu umur 6 - 7 bulan. satu tahun. Pemanenan seperti ini telah sesuai, tetapi yang terbaik adalah umur 6 bulan. Jika panen terlambat, maka akan terjadi penurunan kadar minyak. Menurut Nuryani (2006) panen pertama dilakukan saat umur tanaman 6 bulan dan panen berikutnya dilakukan setiap 4 bulan sampai tanaman berumur tiga tahun. Panen dilakukan ketika daunnya masih berwarna hijau tua dan belum berubah menjadi cokelat. Panen sebaiknya dilakukan pada pagi atau menjelang malam hari agar kandungan minyaknya tetap tinggi. Bila pemetikan dilakukan siang hari, sel-sel daun sedang berfotosintesa sehingga laju pembentukan minyak berkurang, daun kurang elastis dan mudah robek. Kandungan minyak tertinggi terdapat pada 3 pasang daun termuda yang masih berwarna hijau. Alat untuk panen bisa dipergunakan sabit dengan cara memangkas tanaman pada ketinggian 20 cm dari permukaan tanah. Penanganan pasca panen dan sistem pengolahan/penyulingan nilam Berdasarkan hasil survey, karakteristik bahan baku dan proses penyulingan nilam di Lasusua rata-rata seperti yang terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Karakteristik bahan baku dan proses penyulingan Nilam di Lasusua Uraian Hasil Survey Bahan Baku: -Ukuran terna Panjang potongan 5 – 10 cm -Pengeringan Dengan Sinar matahari -Lamanya pengeringan 2 – 4 hari Proses Penyulingan Jenis bahan : - ketel suling Plat besi - Pipa kondensor Stainless steel tipe spiral Sistem penyulingan Sistem kukus Kapasitas ketel suling (kg daun kering) 350 – 500 kg Tinggi ketel (cm) 180 – 360 cm Diameter ketel (cm) 200 cm Diameter kondensor (cm) 10 cm o Suhu air pendingin ( C) 50oC Bahan bakar Kayu bakar dan oli bekas Perbandingan Terna 2:1 dan 1:2 Lama Penyulingan 7 – 9 jam
ISBN: 978-602-7998-92-6
A-206
Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015 Jumlah minyak yang dihasilkan Daya simpan Rendemen (mL)
8 - 14 kg/hari Jika lebih dari 1 bulan akan asam 1,8 % dan sebagian kecil 2 – 3%
Berdasarkan hasil survey (Tabel 3) diketahui bahwa panjang ukuran terna (perbandingan daun dan ranting) pada nilam yaitu 5 – 10 cm. Ukuran tersebut masih cukup panjang jika dibandingkan dengan anjuran ukuran terna. Menurut Pujiharti et al., (2008) potongan hasil pangkasan nilam yang dianjurkan adalah 3 – 5 cm dan pengeringan dengan sinar matahari selama 5 – 6 jam. Proses tersebut perlu dilakukan karena minyak atsiri di dalam tanaman dikelilingi oleh kelenjar minyak, pembuluh-pembuluh, kantong minyak atau rambut gladular. Apabila bahan dibiarkan utuh, kecepatan pengeluaran minyak hanya tergantung dari proses difusi yang berlangsung sangat lambat. Perlakuan tersebut akan menyebabkan kelenjar minyak dapat terbuka sebanyak mungkin sehingga memudahkan pengeluaran minyak dari bahan dan mengurangi sifat kamba bahan tersebut. Tabel 3 juga menunjukkan bahwa pengeringan nilam di Kolaka Utara rata-rata dilakukan 2 – 4 hari. Pengeringan dilakukan menggunakan sinar matahari. Nuryani (2006) menjelaskan bahwa pelayuan terna (daun dan ranting) dengan cara mengering anginkan selama 2 - 3 hari, sampai kadar air mencapai 15%. Tebal lapisan penjemuran sekitar 50 cm dan harus dibalik 2 - 3 kali sehari. Terna (daun dan ranting) yang sudah cukup kering dapat disimpan atau langsung dilakukan proses penyulingan. Hindari pengeringan yang terlalu cepat atau terlalu lambat. Pengeringan yang terlalu cepat membuat daun menjadi rapuh dan sulit disuling. Kalau terlalu lambat seperti musim hujan, daun menjadi lembab dan mudah terserang jamur, hingga rendemen dan mutu minyak yang dihasilkan rendah. Pelayuan dan pengeringan bertujuan untuk menguapkan sebagian air dalam bahan sehingga penyulingan berlangsung lebih mudah dan lebih singkat. Selain itu juga untuk menguraikan zat yang tidak berbau wangi menjadi berbau wangi (Ketaren, 1985). Penyulingan daun segar akan menghasilkan rendemen minyak terlalu rendah, karena hanya minyak dipermukaan saja yang dapat keluar saat pemanasan. Dengan pelayuan atau pengeringan, dinding-dinding sel akan terbuka sehingga lebih mudah ditembus uap. Nurdjanah dan Ma’mun (1994) menyatakan bahwa daun nilam yang tanpa dijemur atau dianginkan selama 2 minggu menghasilkan produksi lebih tinggi yaitu 29,7 ml/2 kg bahan sedangkan dengan di-jemur selama 4 jam di panas matahari menghasilkan minyak nilam 27,0 ml/2 kg bahan. Minyak nilam yang dihasilkan dari daun yang mengalami penjemuran mempunyai bilangan ester yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak mengalami penjemuran. Penyulingan menggunakan ketel stainless steel Penyulingan nilam yang dijumpai di Lasusua adalah cara kukus. Secara umum terdapat dua cara yang bisa digunakan dalam penyulingan daun nilam, pertama cara uap tidak langsung atau cara dikukus. Kedua, cara uap langsung yang menggunakan ketel uap terpisah. Metode yang diterapkan di Lasusua termasuk cara yang pertama. Cara pertama biayanya relatif murah dan baik untuk bahan baku yang berupa rumput-rumputan dan daun. Sedang cara yang kedua memerlukan modal besar dan teknologi yang rumit. Prosesnya, daun nilam dibersihkan kemudian dimasukkan ke dalam ketel penyulingan dan dipanaskan dengan brander melalui dapur dialirkan melaui celahcelah daun kering, dimana uap tersebut membawa serta uap minyak yang berasal dari daun ke dalam sebuah pendingin. Di dalam alat pendingin ini uap air dan minyak tersebut akan mengalami pengembunan. Dari alat pendingin campuran air dan minyak pada tempertur 40 – 50° C (suamsuam kuku) mengalir ke alat pemisah minyak dari air. Minyak nilam yang lebih ringan dari air akan mengapung di atas air dan dialirkan melalui bagian atas alat pemisah ke alat pengumpul minyak. Sedangkan air yang dihasilkan dari proses penyulingan dapat digunakan kembali pada proses penyulingan berikutnya, dengan memasukkan kembali ke dalam ketel uap, agar minyak yang masih terdapat dalam air dapat diambil kembali (Anonimous, 2012). Ketel suling dan pipa kondensor sebaiknya terbuat dari stainless steel (besi tahan karat). Sementara yang dijumpai di Lasusua, ketel suling masih menggunakan bahan besi plat seperti yang terlihat pada Gambar 3.
ISBN: 978-602-7998-92-6
A-207
Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015
Gambar 3. Ketel penyulingan di Lasusua yang terbuat dari plat besi Gambar 3 menunjukkan ketel penyuilingan masih menggunakan bahan dari plat besi, tetapi pipa kondensator sudah berbahan stainless steel. Penggunaan stainless steel sebagai bahan konstruksi sangat menguntungkan karena selama masa pakai cukup lama karena tahan karat, juga warna minyak yang dihasilkan cerah sehingga mutu minyak tinggi. Ketel penyulingan berbahan stainlees steel seperti yang tampilkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Ketel penyulinngan dari bahan stainless steel Gambar 4 menunjukkan ketel penyulingan dan pipa kondensator yang telah menggunakan bahan stainless steel. Alat ini telah digunakan untuk uji coba proses penyulingan untuk membandingkan minyak Nilam dari Lasusua yang diproses menggunakan ketel penyuilingan berbahan besi plat tetapi pipa kondensator berbahan stainless steel.
Gambar 5. Minyak nilam dari Lasusua yang dihasilkan dari alat penyulingan menggunakan bahan besi plat Hasil penyulingan menunjukkan bahwa secara organoleptik warna minyak nilam tidak berbeda nyata dengan warna minyak nilam dari Lasusua (Gambar 5). Keadaan ini menggambarkan bahwa walaupun ketel penyulingan masih menggunakan bahan besi plat, tetapi jika pipa kondensator berbahan stainless steel dapat menghasilkan minyak dengan warna yang hampir sama dengan ketel penyulingan yang menggunakan stainless steel. Walaupun demikian secara kimia, karakteristik kedua minyak tersebut kemungkinan dapat berbeda. Ketel penyulingan dapat berbentuk konikal (besar ke atas). Bentuk silinder yang konikal gunanya untuk memudahkan membongkar bahan sesudah penyulingan dengan bantuan katrol. Pada bagian pinggir saringan penahan bahan diberi 4 buah kuping untuk kaitan rantai sehingga
ISBN: 978-602-7998-92-6
A-208
Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015 bahan sisa penyulingan dapat diangkat dengan katrol (Rusli, 2002). Penyulingan dengan cara dikukus dianjurkan selama 5 – 10 jam dengan perbandingan daun dan tangkai/ranting 2:1 (Pujiharti et al., 2008). Dengan demikian lama penyulingan di Lasusua telah sesuai dengan anjuran, tetapi perbandingan terna masih ada yang menggunakan 1:2. Proses penyulingan berlangsung menggunakan prinsip pemisahan komponen cairan berdasarkan perbedaan titik uapnya. Awal penyulingan, menghasilkan komponen minyak yang bertitik didih rendah, lalu disusul dengan komponen yang bertitik didih lebih tinggi. Jumlah minyak yang menguap bersama-sama dengan uap air ditentukan oleh tiga faktor, besarnya tekanan uap yang digunakan, bobot molekul dari masing-masing komponen dalam minyak, dan kecepatan minyak yang keluar dari bahan yang disuling. Uap hasil penyulingan dialirkan melalui pipa dan melewati tempat pendinginan untuk mengubah uap menjadi cair. Proses pendinginan dilakukan di saluran air yang terus mengalir. Setelah didinginkan, campuran minyak nilam dan air dipisahkan di sebuah tempat dengan mengandalkan beda berat jenis kedua zat itu. Hasil survey juga menemukan bahwa rendemen minyak nilam yang dihasilkan hanya mencapai 1,8 – 3%. Rendemen 3% sebenarnya sudah cukup tinggi, namun persentase tersebut tidak selalu diperoleh. Rendemen nilam aceh sebenarnya bisa mencapai 2,5 sampai dengan 5 %. Meskipun demikian dalam praktek rendemen rata-rata hanyalah 1 sd. 2 %. Rendahnya rendemen ini bisa disebabkan oleh teknik budidaya, penanganan pasca panen maupun sistem penyulingannya. Jika rendemen minyak nilam 3 % saja, dan hasil penyulingan diperoleh 1,8 %, berarti masih terdapat 1,2 % minyak dalam ampas tersebut. Analisis Laboratorium dan Penjernihan Minyak Nilam Minyak Nilam yang dihasilkan dari penyulingan di Lasusua selanjutnya di analisis di laboratorium dengan mengacu pada SNI (Standar Nasional Indonesia No. 06-2385-1998). Berdasarkan analisis tersebut diperoleh hasil seperti yang tertera pada Tabel 4. Tabel 4. Karakteristik kimia minyak nilam dari Lasusua Jenis Uji Warna Bobot Jenis (25oC)/25oC Bilangan Asam Bilangan Ester Patchouli Alcohol (C15H26O) *SNI- No. 06-2388-2006.
SNI* Kuning muda - coklat kemerahan 0,950-0,975 Maksimum 8,0 Maksimum 20,0 Minimal 30%
Sampel Minyak Nilam Sebelum pemurnian Setelah pemurnian (Crude) (Pure) Kuning Kuning 0,957 7,6 18,9 29,41 %
0,952 7,0 19,2 29 %
Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa warna, bobot jenis, bilangan asam, bilangan ester dan (Patchouli Alcohol) PA yang dihasilkan dari minyak Nilam Lasusua telah memenuhi standar SNINo. 06-2388-2006. Tingginya bilangan asam dapat menjadi indikator adanya reaksi hidrolisis yang cukup tinggi selama penyimpanan minyak nilam. Adanya proses hidrolisis menggambarkan kadar air yang terdispersi di dalam minyak nilam masih cukup tinggi. Kondisi ini akan menyebabkan minyak nilam yang disimpan lama menjadi asam. Hasil survey menunjukkan minyak nilam Lasusua tidak dapat disimpan lebih dari tiga bulan karena akan menjadi asam yang menyebabkan harga jualnya menurun. Untuk itu kadar air perlu dikurangi melalui proses penyaringan dan pemurnian. Minyak nilam sebenarnya terdiri atas campuran senyawa terpen yang bercampur dengan alkohol, aldehid, dan ester-ester yang memberikan aroma yang khas dan spesifik. Senyawasenyawa tersebut antara lain : sinamaldehid, benzaldehid, patchoulen, eugenol benzoat, dan patchouli alkohol (PA) sebagai komponen utama minyak nilam (sekitar 50 %) (Hernani dan Risfaheri, 1989).
ISBN: 978-602-7998-92-6
A-209
Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015
Gambar 6. Perbandingan warna minyak Nilam Lasusua sebelum dan sesudah pemurnian Standar mutu minyak nilam belum seragam untuk seluruh dunia, karena setiap negara penghasil dan pengimpor menentukan standar minyak nilam sendiri. Di Indonesia standar yang digunakan sebelumyan mengacu pada SNI 06-2385-1998 yang telah direvisi tahun 2003, namun tahun 2006 telah diterbitkan standar mutu nilam dengan SNI 06-2388-2006. Hayani (2005) menjelaskan bahwa mutu minyak nilam yang memenuhi standar SNI dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain bibit yang baik, teknik budidaya yang tepat, umur panen yang cukup, dan penanganan bahan yang tepat sebelum penyulingan. Penjernihan Minyak Nilam Warna minyak Nilam Lasusua yang telah memenuhi standar SNI antara lain karena faktor alat penyulingan yang digunakan. Walaupun ketel suling masih menggunakan plat besi, tetapi pipa kondensator sudah menggunakan bahan stainless steel. Alat penyuling yang terbuat dari logam besi, menyebabkan minyak nilam yang dihasilkan berwarna gelap dan keruh, karena terjadi reaksi antara logam besi (Fe) dengan minyak. Payne (1964) dalam Ma’mun (2008) menjelaskan bahwa ion logam selain secara langsung dapat menimbulkan perubahan warna, juga dapat memacu reaksi oksidasi yang menghasilkan senyawa pembentuk warna dari gugus >C=C< atau >C=O dengan ikatan rangkap yang terkonyugasi. Pada temperatur yang tinggi, besi dari ketel suling berada dalam bentuk ion akan terikut dengan uap dan terakumulasi dalam minyak. Keadaan tersebut sangat tidak dikehendaki, karena dapat berpengaruh terhadap produk-produk yang dibuat dari minyak Nilam, seperti obat-obatan dan parfum (Gunawan, 2002). Di samping itu minyak nilam yang tidak jernih mempunyai nilai jual yang lebih rendah. Ma’mun (2008) menjelaskan bahwa secara garis besar teknik pemurnian dapat dilakukan secara fisik dan kimia. Secara kimia terdapat dua cara, pertama dapat dilakukan dengan mengadsorpsi logam pengotor menggunakan adsorban seperti bentonit, arang aktif, dan zeolit. Cara kedua yaitu dengan mengkhelat (menyelimuti) logam pengotor dengan larutan senyawa pembentuk khelat seperti asam sitrat dan asam tartarat. Rusli (2003) dan Ketaren (2005) menjelaskan cara fisika dapat dilakukan dengan redestilasi atau penyulingan ulang. Namun metode pengkelatan lebih mudah dan lebih menguntungkan dibanding cara penyulingan ulang. Ma’mun (2008) menjelaskan bahwa minyak nilam yang keruh (berwarna gelap) dapat dimurnikan dengan metoda kompleksometri menggunakan bahan pengkelat Etilen Diamin Tertra Asetat (EDTA), asam sitrat atau asam tartarat. Perlakuan pengkelat dengan EDTA pada konsentrasi 1,50% dan pengadukan selama 90 menit menghasilkan minyak nilam dengan tingkat kejernihan 88,86%. Pengkelatan merupakan proses pengikatan logam dalam suatu cairan oleh suatu senyawa yang memiliki lebih dari satu pasang elektron bebas. Mekanisme pengkelatan (dari metode kompleksometri) karena adanya penggunaan elektron bersama (sharing electron) antara ion logam dan ion bahan pengkelat, sehingga terbentuk senyawa kompleks antara logam dengan bahan pengkelat.
ISBN: 978-602-7998-92-6
A-210
Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: - Teknik budidaya yang diterapkan dan kondisi iklim di Lasusua telah sesuai untuk tanaman nilam. - Penanganan pasca panen dan teknik penyulingan nilam masih perlu disempurnakan, terutama ukuran terna dan perbandingan terna dalam proses penyulingan - Hasil karakterisasi minyak nilam menunjukkan warna, bobot jenis, bilangan asam, bilangan ester dan Patchouli Alcohol ( PA) dari minyak nilam Lasusua telah memenuhi standar SNI-No. 06-2388-2006. - Proses penjernihan/pemurnian dengan cara redestilasi dan cara kimia dapat meningkatkan mutu Minyak Nilam. Cara kimia dengan menggunakan EDTA dalam proses penjernihan minyak Nilam menghasilkan mutu minyak yang lebih baik tanpa mempengaruhi nilai PA. Saran Penelitian ini baru pada tahap karakterisasi minyak nilam atau masih kegiatan awal dari proses sertifikasi. Karakterisasi minyak nilam yang dilakukan di Lasusua Kolaka Utara hanya meliputi warna, bobot jenis, bilangan asam, bilangan ester dan kadar PA, atau belum semua kriteria mutu sesuai standar SNI-No. 06-2388-2006 dilakukan pengujian. Untuk itu kriteria mutu tersebut perlu dilengkapi (uji lanjut) termasuk perubahan mutu selama proses penyimpanan.
DAFTAR PUSTAKA Hayani E., 2005. Teknik Analisis Mutu Minyak Nilam. Teknik Pertanian Vol. 10 (1): pp. 20-22. Herdiani E. 2011. Nilam, Primadona Tanaman Aromatik Indonesia. http://www2.bbpp-lembang. Hernani dan Risfaheri. 1989. Pengaruh perlakuan bahan sebelum penyulingan terhadap rendemen dan karakteristik minyak nilam. Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri XV(2): 84-87. Ketaren, S.2001. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka. Jakarta. Ma’mun, 2008. Pemurnian Minyak Nilam dan Minyak Daun Cengkeh Secara Kompleksometri. JURNAL LITTRI VOL. 14, No. 1 Maret, ,: pp. 36 – 42 Nuryani, 2006. Karakteristik Empat Aksesi Nilam. Buletin Plasma Nutfah Vol.12 No.2 Th.2006: pp. 45-49 Rusli, S. 2003. Teknologi Penyulingan dan Penanganan Minyak Bermutu Tinggi. Booklet Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat : 18p. Santoso, H.R. 1990. Bertanaman Nilam (Bahan Industri Wewangian). Kanisius, Yogyakarta. Wahyudi A. dan Emiarti, 2012. Prospek Pengembangan Industri Minyak Nilam di Indonesia. Bunga Rampai Inovasi Tanaman Atsiri Indonesia, Balittro, Bogor. Wijaya, H.S. 2000. Ekstraksi Minyak Atsiri dari Daun Jeruk (Citrus hystrix DC) pada skala Pilot-Plant. Jurnal Teknologi Industri Pertanian Vol.9 (3) : pp. 164-171.
ISBN: 978-602-7998-92-6
A-211