Upaya Pemulihan Hutan Indonesia dari praktek kelola yang amburadul Oleh : Deddy Ratih° Pendahuluan Membicarakan hutan Indonesia seolah-olah tidak ada habis-habisnya, mulai dari keragaman hayati yang menjadi salah satu keragaman terkaya di dunia sampai dengan keunikan hutan hujan tropis yang harusnya menjadi warisan luar biasa bagi dunia. Sebagai negara yang memiliki luasan hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia, Hutan alam Indonesia dihuni oleh berbagai spesies endemik dimana Indonesia memiliki 10% dari hutan tropis dunia yang masih tersisa. Alam Indonesia merupakan peringkat ke tujuh dalam keragaman spesies tumbuhan berbunga, memiliki 12% dari jumlah spesies binatang menyusui/mamalia (36% diantaranya spesies endemik), pemilik 16% spesies binatang reptil dan ampibi, 1.519 spesies burung (28% diantaranya spesies endemik), 25% dari spesies ikan dunia 121 spesies kupu-kupu ekor walet di dunia (44% di antaranya endemik), spesies tumbuhan palem paling banyak, kira-kira 400 spesies 'dipterocarps', dan kira-kira 25.000 spesies flora dan fauna 1, meskipun luas daratannya hanya 1,3 persen dari luas daratan di permukaan bumi. Pada tahun 1950-an berdasarkan peta vegetasi yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia pada waktu itu mencatat sekitar 84 persen luas daratan Indonesia (162.290.000 hektar) pada masa itu, tertutup hutan primer dan sekunder. Peta vegetasi 1950 juga menyebutkan luas hutan per pulau secara berturut-turut, Kalimantan memiliki areal hutan seluas 51.400.000 hektar, Irian Jaya (Papua) seluas 40.700.000 hektar, Sumatera seluas 37.370.000 hektar, Sulawesi seluas 17.050.000 hektar, Maluku seluas 7.300.000 hektar, Jawa seluas 5.070.000 hektar dan terakhir Bali dan Nusa Tenggara Barat/Timur seluas 3.400.000 hektar. Pada tahun 1999, Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia bekerjasama melakukan pemetaan ulang pada areal tutupan hutan. Menurut survei 1999 itu, laju deforestrasi rata-rata dari tahun 1985-1997 mencapai 1,7 juta hektar. Selama periode tersebut, Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan mengalami deforestrasi terbesar. Secara keseluruhan daerah-daerah ini kehilangan lebih dari 20 persen tutupan hutannya. Kemudian pada periode 1997-2000 deforestasi Indonesia meningkat menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Berdasarkan penelitian World Resouce Institute di tahun 1997, Indonesia telah kehilangan 72% hutan asli yang ada pada awal abad ini2. Berdasarkan penunjukan kawasan hutan dan perairan Indonesia, saat ini luas hutan Indonesia adalah 109.961.713,28 hektar yang terdiri dari Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Perlindungan Alam seluas 23.214.626,57 hektar, Hutan Lindung 29.037.397,02 hektar, Hutan Produksi Terbatas 16.215.977,26 hektar, Hutan Produksi Tetap 27.823.177,43 hektar dan Hutan Produksi Konversi 13.670.535,00 hektar 3. Praktek Kelola Hutan Indonesia Antara tahun 1985-1997, Indonesia secara keseluruhan telah kehilangan lebih dari 20 juta ha tutupan hutan atau sekitar 17 persen dari kawasan hutan yang ada pada tahun 1985. Laju deforestasi di Indonesia semakin meningkat, di mana pada tahun 1980-an laju deforestasi rata-rata sekitar 1 juta ha pertahun, kemudian meningkat menjadi sekitar 1,7 juta pertahun pada tahun pertama 1990-an. Sejak tahun 1996, laju deforestasi tampaknya meningkat lagi ° 1 2 3
Manejer Kampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Eksekutif Nasional WALHI Lihat http://www.globalforestwatch.org/bahasa/indonesia/ World Resource Institute, 1997 Berdasarkan Statistik Kehutanan 2002, dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan dalam http://www.dephut.go.id/informasi/statistik/ stat2002/contents_02.htm
menjadi rata-rata 2-3 juta ha per tahun. Pada 1998 – 2000, tiap tahunnya tidak kurang dari 3,8 juta ha (FWI, 2001). Kerugain negara tiap tahun mencapai tidak kurang dari 100 triliun. Berdasarkan data tersebut, sejak periode 2001-2003, laju kerusakan hutan meningkat lagi menjadi 4,1 juta ha per tahun dengan kerugian negara 110 triliun. Akar dari Permasalahan tersebut lebih banyak dikarenakan overcapacity industri pengolahan kayu, sejak awalnya, harga kayu bulat domestik yang terlalu murah, akibat kebijakan pemerintah dalam sektor kehutanan dan industri kayu yang tidak tepat, dimana lebih menguntungkan pengusaha disektor kehutanan ketimbang rakyat sekitar kawasan hutan atau masyarakat pada umumnya. Melalui konsep dan praktek pembangunan dengan menggunakan dana pinjaman asing dan hasil penjualan kekayaan hutan (baca alam) diberbagai pulau demi pertumbuhan ekonomi nasional (Presiden Suharto pada pidato peresmian Pasar Klewer Solo, 1971). Sejak saat itu Pemerintah Indonesia melepas 64 juta hektare(ha) hutan Indonesia melalui HPH kepada 500-an pengusaha swasta asing dan nasional, tidak hanya itu saja, lebih dari 30 juta ha kawasan hutan diobral untuk dikonversikan menjadi perkebunan, pertambangan dan lahan-lahan baru untuk pertanian monokultur yang diperuntukan kepada ratusan perusahaan. Penebangan hutan untuk industri (industrial logging) yang tidak terkontrol selama puluhan tahun telah menyebabkan terjadinya berkurangnya hutan tropis dalam skala besar. Ekspansi besar-besaran dalam industri kayu lapis dan industri pulp dan kertas selama puluhan tahun tahun terakhir menyebabkan permintaan terhadap bahan baku kayu pada saat ini jauh melebihi pasokan legal. Kesenjangannya mencapai 40 juta meter kubik setiap tahun. Banyak industri pengolahan kayu yang mengakui ketergantungan mereka pada kayu curian, jumlahnya mencapai 65 persen dari pasokan total pada 2000. Korupsi dalam pengelolaan hutan Pada tahun 2006, Human Rights Watch membuat laporan tentang korupsi di sektor kehutanan Indonesia yang diberi judul “Dana Liar : Konsekuensi Pembalakan Liar dan Korupsi di Sektor Kehutanan Indonesia pada Hak Asasi Manusia”, dalam laporan tersebut disebutkan bahwa antara tahun 2003 sampai dengan tahun 2006, lebih dari setengah kayu tebangan Indonesia merupakan hasil dari pembalakan liar dan luput dari pajak. Subsidi siluman, termasuk penetapan harga kayu dan nilai tukar mata uang yang oleh pemerintah sengaja dipatok lebih rendah dari harga riil dan penghindaran pajak oleh eksportir dengan taktik yang dikenal sebagai “harga transfer” semakin memperbesar kerugian yg ada. Dengan menggunakan metode yang sama yang digunakan oleh industri kayu serta memperbandingkan dengan seksama antara konsumsi kayu Indonesia dan pasokan kayu resmi, maka didapat total kerugian yang menggerogoti kas negara Indonesia pada tahun 2006 sebesar 2 milyar US Dollar. Angka kerugian sebesar 2 milyar US Dollar yang hilang setiap tahun antara 2003 sampai dengan 2006 tersebut sama nilainya dengan gabungan seluruh alokasi anggaran untuk kesehatan Nasional, Provinsi dan Kabupaten di Indonesia. Nilai kehilangan tahunan ini juga sama dengan perhitungan Bank Dunia terhadap anggaran yang cukup untuk memberikan layanan dasar kepada 100 juta penduduk miskin selama hampir 2 tahun. Dan Indonesia sendiri merupakan salah satu negara di Asia dengan anggaran kesehatan perkapita terkecil bahkan jika dibandingkan dengan negara yang memiliki GDP lebih rendah. Salah satu kasus terbesar illegal logging di Indonesia namun tidak pernah dituntaskan adalah
kasus illegal logging 14 perusahaan HTI di Riau, dimana kasus yang merugikan negara trilyunan rupiah itu menguap dengan adanya SP3 dari pihak kepolisian. Berkaca pada kasus ini nampak jelas bahwa pada level pemerintah, upaya untuk penyelamatan hutan di Indonesia masih pada tataran wacana. Perkembangan Pembangunan (Industri) Kehutanan Indonesia Berdasarkan study IWGFF, Perkembangan industri pulp di Indonesia pesat selama dua puluh tahun terakhir, meningkat dari 0.5 juta ton pada tahun 1987 menjadi 6.5 juta ton pada tahun 2010 dengan kebutuhan bahan baku sekitar 30 juta m3 setiap tahunnya 4. Dari 7 perusahaan pulp di Indonesia, kurang lebih 4 juta ton diantaranya dikuasai oleh PT Indah Kiat Pulp and Paper dan PT Riau Andalan Pulp and Paper di Riau 5, dan selama lima tahun terakhir ternyata sumbangan bahan baku dari hutan alam kepada industri pulp rata-rata pertahunnya sebesar 54 persen, dan sisanya pasokan bahan baku dari hutan tanaman. Besaran Gap antara supply dan demand atas kayu yang berakibat pada praktek-praktek illegal untuk mendapatkan kayu dari hutan tidak dijadikan dasar bagi kebijakan pemerintah saat ini untuk menata ulang pola produksi sektor kehutanan. Untuk pemenuhan kebutuhan kayu, saat ini, ada 210 unit perusahaan HTI dengan izin definitif mencapai 8,83 juta ha. Selain itu, ada 25 unit yang sudah mendapat izin prinsip (sebanyak 484.000 ha) dan yang dalam tahap pencadangan sebanyak 49 unit seluas 2,7 juta ha, dg kata lain ada 11,53 juta ha kawasan HTI. Namun realisasi tanam dari HTI tersebut sangat kecil, dimana dari ijin seluas 1,55 juta ha yang diberikan pada kurun waktu 2008, realisasi tanam hanya 63.233 ha 6. Sementara itu, berdasarkan realisasi penanaman HTI dari 1990-2008 luas areal HTI yang sudah ditanam seluas 4,292,222 hektar. Angka tersebut menunjukan angka kumulatif total luas areal HTI yang sudah ditanami sejak awal pembangunan HTI. Sampai tahun 2008 berdasarkan daur tebang 7 – 10 tahun, data realisasi penanaman HTI ini sudah memasuki daur kedua atau ketiga. Artinya sudah ada pemanenan/penebangan sesuai daur penebangan. Oleh karena data real luas tanaman yang saat ini ada (existing) belum bisa dipastikan. Namun dengan menggunakan asumsi daur tebang 7 tahun maka berdasarkan data realisasi tanam, HTI 2002 – 2008 dapat diperkirakan seluas 1,414,329 Ha 7. Apabila kita melihat pada rajinnya Kementerian Kehutanan memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan dimana sampai dengan bulan Mei 2010 yang lalu telah diberikan izin untuk 184 unit HTI dengan luasan sekitar 149,5 ribu hektar.
Tabel1. Pencadangan Kawasan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (Ribu hektar)
4 5 6 7
Direktori Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (2007). FWI 2008, “Ekspansi Industri Pulp: Cara Optimis Penghancuran Hutan Alam”. WALHI 2010, kompilasi data dari berbagai sumber Laporan study Perkiraan Penggunaan Sumber Bahan Baku Industri Pulp & Paper, IWGFF, Desember 2010
Wilayah
Alokasi Hutan Alam
Sumatera
90,85
Nusa Tenggara
Restorasi Ekosistem
Hutan Tanaman Industri
Hutan Tanaman Rakyat
1.042,84
1.404,35
3.394,86
109,62
114,82
415,22
Kalimantan
2.078,19
3.352,20
4.692,16
440,33
Sulawesi
1.080,65
925,41
766,56
291,29
Maluku
1.063,68
1.005,53
1.396,52
289,32
Papua
8.915,99
1.024,69
813,56
701,73
Sumber : Kementerian Kehutanan 2011
Ditahun 2011 Kemenhut mencadangkan 9,1 juta ha untuk HTI dari 35,4 juta ha kawasan yang dianggap Kemenhut sebagai kawasan terdegedrasi. Ditahun 2011 Menteri Kehutanan telah menerbitkan ijin definitif bagi 12 investor HTI seluas 373.308 hektar. Dengan demikian maka kawasan hutan alam yang dirubah menjadi kawasan hutan monocultur semakin besar sementara produktivitasnya sampai saat ini masih rendah. Pemberian insentif yang berlebih di sektor industri kehutanan tersebut berdampak pada malasnya pengusaha untuk mendorong produktivitas dari hutan tanaman dan semakin mengandalkan pada penebangan hutan alam sebagai penyedia bahan baku industri-industri kehutanan. Problem Berkelanjutan di sektor Kehutanan Dari tahun ketahun, problem dasar sektor kehutanan hampir sama, dimana terjadi tumpang tindih perijinan di kawasan hutan yang menimbulkan konflik baik itu konflik vertikal maupun konflik horizontal. Konflik tersebut semakin meruncing dimana tidak ada jatah untuk masyarakat dalam pengelolaan hutan, sampai dengan tahun 2010 ini terdapat 19.420 desa di kawasanan hutan di 32 provinsi; Di dalam Kawasan Hutan Lindung 6.243 desa; Di dalam Kawasan Konservasi 2.270 desa; Di dalam Kawasan Hutan Produksi 7.467 desa; Di dalam Kawasan Hutan Produksi Terbatas 4.744 desa; Di dalam Kawasan Hutan Produksi Konversi 3.848 desa. Sampai dengan tahun 2010, ada 22,5-24,4 jt Ha konflik (klaim) desa/kampung atas kawasan hutan. Disisi lain Izin pinjam pakai kawasan hutan yg terdaftar di Kemenhut sampai dengan bulan Mei 2010 tercatat telah diberikan izin untuk 184 unit kegiatan usaha. Fakta kekacauan penetapan kawasan hutan dapat dilihat dari kasus kawasan transmigrasi Desa Sungai Deras, Kecamatan Teluk Pekadai, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, dimana kawasan yg dihuni sekitar 4000 keluarga transmigrasi tersebut dimasukan kedalam peta kawasan hutan lindung gambut berdasarkan SK Menhut nomor 259 tahun 2000. Padahal sejak tahun 1954 kawasan tersebut sudah menjadi kawasan transmigrasi. Bila kita lihat pada tabel 1 diatas, perbandingan antara penyediaan kesempatan untuk partisipasi masyarakat dalam pengusahaan kawasan hutan sangat rendah dimana alokasi untuk partisipasi masyarakat masih sangat jauh dibandingkan untuk pengusaha atau swasta besar. Pengelolaan hutan berbasis keadilan dan lokalitas Dalam berbagai kesempatan selalu disebutkan bahwa kepentingan rakyat merupakan salah
satu hal yang diperjuangkan pemerintah dalam pembangunan, namun melihat dari berbagai regulasi dan kenyataan yang ada, fasilitasi kepentingan rakyat yang hidup dalam kawasan maupun dipinggiran kawasn hutan masih sangat minim ditambah rumit dan sulitnya rakyat secara langsung untuk mengakses berbagai skema model kelola yang ditawarkan oleh pemerintah melalui Kementerian kehutanan menimbulkan ketimpangan baru. Pengalaman memfasilitasi beberapa desa untuk mengakses skema kelola Hutan Desa memberikan gambaran betapa lemahnya dukungan aparatus ditingkat pemerintah terhadap hal ini, alasan utama yang hampir selalu terlontar dari aparatus kehutanan adalah ketidak percayaan mereka akan kemampuan masyarakat untuk mengelola hutan, mereka lebih yakin bahwa apabila hutan dikelola oleh perusahaan maka akan mendatangkan keuntungan besar, dan rakyat cukup hanya menjadi buruh-buruh diperusahaan-perusahaan tersebut. Minimnya dukungan ini memperlihatkan betapa terbelakangnya paradigma aparatus pemerintah dan minimnya pengetahuan mereka tentang kondisi dan kenyataan di tingkat lapang. Dari sini bisa kita lihat bahwa kesenjangan yang terjadi justru ditimbulkan oleh kebodohan aparatus pemerintah, pemiskinan secara sistematik terjadi karena model kelola yang berkeadilan tidak menjadi dasar dalam tindakan dan pemikiran pengelolaan hutan secara lestari dan berkeadilan. Pengarus utamaan korporasi sebagai tulang punggung pengelola kawasan hutan merupakan kecelakaan berpikir yang fatal karena terbukti sejak awal ketidak mampuan korporasi mengelola hutan secara lestari. Data yang dilansir oleh APHI menunjukan bahwa saat ini dari sekitar 80 juta hektar kawasan hutan produksi, 28 juta hektar merupakan kawasan kelola HPH dimana ada sekitar 300 HPH yang menguasai kawasan tersebut namun dari sekian besar jumlah HPH tersebut, hanya sekitar 50% saja yang masih aktif. Sementara itu terdapat 52 juta hektar kawasan hutan produksi yang belum dibebani hak namun keberadaannya tidak diketahui secara pasti, maksudnya sejauh ini belum ada inventarisasi yang mendalam untuk bisa menggambarkan kondisi dan situasi kawasan tersebut. Kecenderungan semakin berkurangnya HPH dan terpuruknya HPH di Indonesia mengidentifikasikan bahwa kemampuan daur produksi dari HPH dari tahun pertahun semakin berkurang. Terlebih bila kita mengacu pada HPH-HPH besar di masa orde baru yang hampir semuanya sekarang tiarap. Dan kegagalan kelola hutan berbasis korporasi ini tidak pernah menjadi pembelajaran yang berarti. Dari sekitar 32 juta hektar kawasan eks HPH, saat ini sekitar 10 jutanya dikelola oleh Hutan Tanaman Industri, yang sebagaimana penuturan di atas memiliki tingkat produktivitas yang rendah. Kondisi obyektif kelola hutan saat ini memperlihatkan ciri-ciri sebagaimana berikut : -
Orientasi pengelolaan lebih berfokus pada bisnis ekstraksi.
-
Hutan dipandang semata-mata dari sudut penyedia bahan mentah
-
Hutan tidak dipandang sebagai faktor penyedia jasa lingkungan
-
Tidak pernah dilakukan audit terhadap kemampuan dan daya dukung dari installed industry (kapasitas industri terpasang jauh lebih besar dibanding kemampuan hutan alam dan HTI dalam menyediakan bahan baku kayu) Hutan sebagai bisnis ekstraksi cenderung menjadi mesin uang (Politik Konversi) PAD dari ekstraksi hutan cenderung semakin kecil dibanding beban APBD untuk memperbaiki infrastruktur yag rusak akibat kelebihan daya dukung hutan tersebut (contoh kasus banjir dan kebakaran hutan/kabut asap)
-
-
Besarnya pengaruh industri kehutanan, konversi hutan serta pinjam pakai kawasan hutan terhadap berbagai kebijakan penataan ruang diberbagai propinsi.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, sudah seharusnya pemerintah melakukan audit menyeluruh terhadap kelola korporasi yang menjadi basis pilihan selama ini. Pilihan untuk moratorium saat ini sebenarnya sebuah pilihan yang tepat, kendati demikian, moratorium setengah hati ini pun tidak akan mendatangkan hasil yang baik bagi keberlanjutan hutan dan kesejahteraan rakyat apabila basis pikir aparatus masih pada upaya-upaya eksploitasi kawasan hutan dan bertumpu pada korporasi. Moratorium sebagai solusi Mendorong penyelamatan hutan lewat komersialisasi hutan dengan mendorong swasta sebagai motor utama melalui pemberian IUPHHK-RE atau dikenal juga dengan nama HPHRestorasi Ekosistem justru akan semakin memperparah kompleksitas permasalahan kehutanan Indonesia, demikian juga dengan mendorong skema-skema mitigasi perubahan iklim yang berbasiskan pada pasar serta carbon offset. Sistem dan mekanisme yang dibangun dalam skema mitigasi ini tidak dilandaskan atas kebutuhan mendasar penyelamatan hutan dan distribusi kesejahteraan warga. Skema yang dibangun lebih mendorong pada memfasilitasi kebutuhan negara-negara industri untuk tetap bisa membuang emisi dan mengotori bumi. Dan kedua hal tersebut justru memperparah permasalahan kehutanan di Indonesia. Jalan satu-satunya untuk mencegah kekacauan dan membesarnya kerusakan hutan di Indonesia adalah dengan melakukan Moratorium penebangan hutan alam dan konversi hutan. Moratorium pemberian ijin baru dan konversi hutan atau Jeda Tebang adalah berhenti sejenak dari aktivitas penebangan dan konversi hutan. Tujuannya adalah untuk mengambil jarak dari masalah agar didapat jalan keluar yang bersifat jangka panjang dan permanen. Jadi dampak yang diharapkan dari sebuah moratorium tidak dampak sesaat tetapi jangka panjang, dampaknya juga harusnya meluas dan memberikan jaminan terhadap penyelesaian problematika sektor kehutanan yang kompleks sehingga Moratorium tidak bisa dilakukan dengan hanya dua tahun tanpa ada prinsip dan kriteria yang menjadi pijakannya. Dukungan terhadap moratorium hendaknya juga dilakukan oleh korporasi dengan membuat rencana kerja jangka panjang selama proses moratorium berlangsung. Dimana asumsi yang digunakan oleh korporasi harusnya mengacu pada kondisi dimana ada keharusan untuk tidak menggunakan hutan alam sebagai bahan baku dan tidak ada konversi selama proses itu berlangsung. Dengan jeda, seluruh kepentingan bisa dipinggirkan terlebih dahulu untuk kemudian permasalahan didalam tata kelola dan kebijakan yang tumpang tindih bisa diperbaiki. Demikian halnya dengan penyelesaian konflik, peraturan perizinan dan sistem kelola hutan rakyat bisa dilihat secara lebih jernih. Moratorium akan memberikan keuntungan ganda dalam perbaikan pengelolaan sumberdaya hutan dan industri perkayuan yang berkelanjutan, seperti antara lain: a) Memberikan ruang politik dan ekologi kepada hutan alam untuk ‘bernafas’ dan menahan berlanjutnya kehancuran hutan tropis di Indonesia; b) Memberikan kesempatan terbaik untuk memonitor pelaksanaan lacak balak (timbertracking) dan audit kayu bulat; c) Memberikan kesempatan untuk menata industri kehutanan dan hak-hak tenurial
(penguasaan) sumber daya hutan; d) Mengkoreksi distorsi pasar kayu domestik dengan membuka keran impor seluas-luasnya; e) Lewat mekanisme pasar, melakukan restrukturisasi dan rasionalisasi industri olah kayu dan mengkoreksi over kapasitas industri: hanya industri yang melakukan bisnis dengan benar dan bersaing yang dapat melanjutkan bisnisnya dan yang mengandalkan suplai kayu haram dengan sendirinya tidak akan mampu bersaing; f) Lewat mekanisme pasar, memaksa industri olah kayu meningkatkan efisiensi pemakaian bahan baku; dan lewat mekanisme pasar, mendorong industri pulp untuk secara serius membangun hutan-hutan tanamannya. Indonesia akan mengalami kerugian besar pada masa yang akan datang apabila tidak memberlakukan moratorium secara benar saat ini, seperti sebagai berikut: a) Pemerintah tidak dapat memonitor kegiatan penebangan haram secara efektif; b) Distorsi pasar tidak dapat diperbaiki dan pemborosan kayu bulat akan terus terjadi; c) Tidak ada paksaan untuk industri untuk meningkatkan efisiensi pemakaian bahan baku d) Industri akan menunda-nunda pembangunan hutan-hutan tanaman dan semakin menghancurkan hutan alam; e) Defisit kehutanan akan terus bertambah; f) Hutan dataran rendah Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi akan habis pada 2012 dan hutan dataran rendah Papua akan habis pada 2022; g) Indonesia akan kehilangan basis industri diluar pulp yang menghasilkan devisa sebesar US$ 4 milyar dan bila sumberdaya hutan habis, dan ratusan ribu pekerja kehilangan pekerjaannya dalam masa 7 tahun mendatang. Selama Proses moratorium, hal yang utama dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan perbaikan terhadap tatakelola, penata batasan, distribusi lahan untuk rakyat melalui reforma agraria mengembangkan protocol resolusi konflik, mengembangkan standar pelayanan ekologi sebagai pijakan mengeluarkan kebijakan pada sektor kehutanan, perkebunan dan pertambangan, mengembangkan pengelolaan hutan berbasis pada masyarakat terutama memberikan hak kepada masyarakat adat dalam mengelola kawasannya serta mengatur dengan ketat lalu lintas perdagangan kayu. Tentu saja selama proses moratorium industriindustri kehutanan harus dapat tetap berjalan, ini dimulai dengan melakukan audit, mengevaluasi kinerja dan kemampuan produktivitas lestari berdasarkan standar pelayanan ekologi. Dari hasil tersebut, maka mekanisme insentif dapat diberlakukan bagi industriindustri yang mampu memenuhi kriteria dan standarisasi ketat. Sementara bagi yang tidak memenuhi kriteria akan secara langsung tercerabut dari bisnisnya. Pemerintah dapat mengeluarkan sebuah regulasi dasar bagi proses-proses tersebut diatas selama benar-benar memikirkan keberlanjutan Indonesia dan menitik beratkan perlindungan terhadap keselamatan warga negara dengan melestarikan hutan dan mendorong lebih luas peran masyarakat dalam mengembangkan ruang-ruang produktifitasnya.