Pengakuan atas Hutan Kelola Rakyat: Jalan Menuju Kawasan Hutan yang Berkepastian Hukum dan Berkeadilan Oleh Budiman Sudjatmiko1 Pendahuluan Konflik agraria sampai saat ini belum juga mereda. Bahkan pada tahun-tahun terakhir ekskalasinya kembali meningkat. Secara umum, menurut data BPN RI sampai dengan 2007, jumlah sengketa agraria di Indonesia sampai dengan sebanyak 4.581 kasus; konflik agraria sebanyak 858 kasus; dan perkara agraria yang sedang diproses di pengadilan sebanyak 2.052 kasus. Dari segi luasan, tanah produktif obyek sengketa yang tidak dapat dimanfaatkan dan digunakan secara optimal seluas: 607.886 ha. Nilai ekonomi tanah yang menjadi obyek sengketa sebesar: 6.078.860.000 m2 x Rp. 15.000,(NJOP tanah paling rendah)= Rp. 91.182.900.000.000,-Sedangkan perkiraan opportunity lost dari tanah yang tidak termanfaatkan akibat status sengketa tersebut mencapai 146,804 triliun rupiah (melebihi angka APBN) dan dapat dipastikan angka tersebut terus bertambah hingga sekarang. Menurut banyak kalangan (akademisi, para pegiat reforma agraria, petani dan masyarakat adat) penyebab dari konflik agraria –termasuk didalamnya di “sektor” Kehutanan adalah adanya ketidakpastian dan ketimpangan penguasaan tanah, kawasan hutan maupuan masyarakat adat. Sesungguhnya, permasalahan ini bukan hanya domain petani, masyarakat adat dan pegiat reforma agraria. Meski dengan cara pandang yang berbeda, pihak lain seperti institusi swasta dan juga badan usaha/ badan hukum Negara maupun pemerintahan juga merasakan dampaknya. Dampak nyata dari adanya ketidakpastian hukum adalah adanya tumpang tindih klaim penguasaan kawasan hutan antara petani/ masyarakat adat dengan BUMN, Swasta maupun pemerintah. Penyebabnya tak lain adalah legislasi dan kebijakan yang tidak terumuskan dengan jelas, sektoralisasi agraria, pemberian izin yang tidak terkoordinasi dan dinafikkanya pengakuan atas hak kelola rakyat baik petani hutan maupun masyarakat adat. Untuk itulah diperlukan adanya arah perubahan kebijakan dan penganggaran dalam mencapai keadilan dan kepastian tenurial kehutanan. Tujuannya, tak lain dan tak bukan memastikan pelaksanaan konstitusi untuk memberikan kesejahteraan dan kemakmuran pada rakyat. Landasan hukum Reformasi kebijakan tenurial untuk memberikan kepastian dan keadilan kepada seluruh komponen kehutanan adalah mandat dari UUD 1945, TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria dan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Anggota Komisi II DPR RI. Gagasan yang ditulis ini sebagian besar berasal dari pandangan masyarakat sipil Indonesia yang bergerak dalam reforma agraria kehutanan dan juga dari Koalisi Pemulihan Hutan (KPH) Jawa. 1
Perubahan yang Hendak di Tuju Untuk mewujudkan kawasan hutan yang berkeadilan dan berkepastian hokum maka diperlukan langkah bersama antar komponen bangsa dalam bentuk: a. Perubahan kebijakan dan percepatan pengukuhan kawasan hutan Adanya fakta bahwa hanya terdapat 14,24 juta hektar atau hanya 12% kawasan hutan yang ditetapkan dengan status hukum yang final menandakan minimnya legalitas dan legitimasi atas kawasan hutan yang juga memberi dampak terus meningkatnya ekskalasi konflik agraria kehutanan. Oleh karenanya perubahan kebijakan dan percepatan pengukuhan kawasan hutan dalam bentuk pemberian kepastian hukum atas kawasan hutan sangatlah penting. Pemberian kepastian hukum dapat diawali dengan penunjukan, penetapan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan. Dengan begitu tercapai suatu kawasan yang legal dan legitimate. Legal dalam pengertian bahwa kawasan tersebut mengikuti tata aturan baik dalam konteks prosedural maupun substansial. Memperkuat kewenangan Kementerian Kehutanan atas Kawasan Hutan Negara melalui Hak Pengelolaan Hak pengelolaan adalah alas hak bagi kementerian/lembaga/pemerintah daerah untuk menguasai tanah demi melaksanakan tugasnya. Di masa kolonial, hak pengelolaan dikenal dengan istilah beheer (S.1911-110, S. 1940-430). Setelah kemerdekaan Indonesia, dasar hukum yang digunakan adalah PP No. 8/1953 tentang Penguasaan Tanah Negara. Peraturan ini tetap berlaku meski UUPA telah diundangkan pada tahun 1960, dengan penyesuaian terhadap penggunaan istilahnya. Hak penguasaan yang disebut dalam PP No. 8/1953 diubah menjadi hak pengelolaan. Ada beberapa peraturan terkait dengan hak pengelolaan ini. Hak pengelolaan memungkinan instansi pemerintah memanfaatkan tanah untuk kepentingannya sendiri atau memberikannya kepada pihak lain. Untuk tujuan terakhir ini didasarkan pada perjanjian pemanfaatan antara instansi dengan pihak ketiga yang akan memanfaatkan tanah. Pihak ketiga kemudian membayar uang pemasukan kepada instansi pemegang hak pengelolaan. BPN menerbitkan sertifikat hak atas tanah, umumnya adalah hak pakai, hak guna bangunan atau hak guna usaha dengan ketentuan di dalam sertifikat tanah tercantum bahwa tanah tersebut berada di atas hak pengelolaan. Pada saat durasi hak berakhir maka tanah akan kembali pada pemegang hak pengelolaan. Kemenhut perlu mempunyai hak pengelolaan atas kawasan hutan negara yang dikelolanya. Dengan memegang hak ini maka Kemenhut tidak akan terbebani dengan urusan pelepasan kawasan hutan untuk menjawab kebutuhan tanah bagi pembangunan di sektor lain. Hak pengelolaan memungkinkan Kemenhut menjalankan wewenang mengurus manajemen hutan terhadap pemegang hak atas tanah yang berada dalam lingkup hak pengelolaannya. Di dalam kawasan yang menjadi hak pengelolaan, Kementerian juga tetap dimungkinkan pemberian izin-izin pemanfaatan hutan. Pertimbangan memberikan hak pengelolaan kepada Kementerian Kehutanan telah diwacanakan oleh Pemerintah beberapa dekade silam. Dalam buku sejarah kehutanan Indonesia dinyatakan bahwa pengelolaan hutan memerlukan penguasaan atas tanah atas dasar PP No. 8/1953. Selain itu, Instruksi Menteri Dalam Negeri No, 26/1982 dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 522.12/4275/Agr tanggal 3 November 1982 menyatakan bahwa pengesahan batas-batas kawasan tata guna hutan kesepakatan perlu mendapat persetujuan Menteri Dalam Negeri. Untuk setiap fungsi kawasan hutan agar segera dipastikan statusnya sebagai hak pengelolaan Kemenhut (Parlindungan 1989:27-8).
b. Penyelesaian Konflik Kehutanan Menurut data yang dirilis Huma di tahun 2011, setidaknya ada 85 kasus konflik agrarian yang secara terbuka 2 di kawasan hutan Indonesia. Berbagai konflik tersebut disebabkan salah satunya adalah adanya penafikan, kesewenang-wenangan dan pelanggaran sepihak “pemerintahan kolonial” dan juga berlanjut oleh Kemenhut terhadap prosedur penunjukkan kawasan hutan dan klaim wilayah hutan. Sejauh ini sudah banyak inisiatif untuk penyelesaian konflik baik pada level akar rumput maupun nasional, sayangnya sampai saat ini belum terdapat mekanisme penyelesaian yang terlembaga dan komprehensif dalam penyelesaian konflik agraria termasuk didalamnya kehutanan. KNUPKA: Mati Sebelum Sempat Hidup (?) Gagasan pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) mempunyai referensi legislasi. Dari sisi administrasi pemerintahan, bentuknya sebagai komisi memang dilajimkan seperti yang terjadi pada kasus Komnas HAM. Bila cara peneguhannya melalui Keppres, selain mirip dengan kasus Komnas HAM, juga sama dengan kasus Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Meskipun dibentuk oleh Keppres, keputusannya tetap mengikat semua pihak. Bahkan, selain mengikat, keputusannya juga final, sekalipun tidak bersifat eksekutorial. Untuk membuat keputusan mengenai kasus-kasus itu bersifat eksekutorial, diperlukan pengesahan dari pengadilan (khusus). Dalam posisi demikian, putusan KNuPKA tidak akan bersifat eksekutorial karena masih harus disahkan oleh pengadilan. Prinsip dan doktrin-doktrin progresif dalam penyelesaian sengketa telah mulai dikembangkan seperti yang tampak dalam uraian di atas. Semisal asas retroaktif, pembuktian terbalik dan defenisi-defenisi tentang barang bukti. Karena hendak menyelesaikan konflik masa lalu, maka KNUPKA harus lebih memajukan prinsip dan doktrin progresif tersebut. Ini penting, karena yang sedang dilawan oleh pikiranpikiran KNUPKA adalah sebuah pandangan hukum yang membenci semangat menoleh ke belakang. Mengenai prosedur beracara, tentu saja KNuPKA akan menggunakan sistem beracara sendiri yang khusus. Karena mengkritik prosedur beracara di pengadilan yang tidak mungkin bisa menyelesaikan konflik masa lalu, KNuPKA justru harus merumuskan prosedur beracara tersendiri yang memihak pada korban (sederhana, murah, tidak formalistik). Gagasan pembentukan komisi ini dibuat untuk menanggapi menguatnya tuntutan keadilan dari para korban sejalan dengan adanya perubahan politik, khususnya perubahan konfigurasi komitmen pimpinan dan lembaga negara, yang bisa membuka peluang bagi dihargai, dilindungi dan dipenuhinya hak-hak korban ketidakadilan yang terjadi pada periode ketika Indonesia dikuasai oleh Rejim sebelumnya. (dipetik dari Naskah Akademik KNUPKA dengan pemberian judul oleh Penulis)
Selain konflik terbuka, ada model konflik lain yang berjalan tertutup/ laten. Merujuk pada James C. Scott, konflik tertutup tersebut berlangsung “sehari-hari”, seperti dalam bentuk pencurian kayu dalam jumlah kecil, tidak mau menuruti perintah dari petugas kehutanan, mematikan pohon, menggeser/ mencabut patok batas dan lain-lain. 2
c. Perluasan dan Pengakuan atas Hak Kelola Rakyat (Petani maupun Masyarakat Adat) atas hutan Petani hutan maupun masyarakat adat merupakan dua tipologi utama masyarakat yang berada mendiami, di sekitar dan di dalam kawasan hutan. Keduanya mempunyai sejarah penguasaan hutan dan isinya sebelum maupun sesudah adanya pemerintahan kolonial maupun sebelum dan sesudah Indonesia berdiri. Klaim sejarah dan kebutuhan akan pengelolaan hutan oleh petani dan masyarakat adat pada satu sisi dengan pihak lain (perusahaan swasta, BUMN/BHMN, pemerintah) menjadi landas picu terjadinya ekskalasi konflik. Ekskalasi konflik yang terjadi lebih banyak kemudian membuat rakyatlah yang mengalami “kekalahan” sehingga tidak dapat “mengakses” hutan. Hasilnya, menurut data CIFOR (2006) setidaknya terdapat 15% dari 48 juta orang yang tinggal di dalam dan sekitar hutan merupakan masyarakat miskin. Berdasarkan Rencana Strategis Kementerian Kehutanan 2010-2014 disebutkan bahwa pada tahun 2003 terdapat 10, 2 juta orang miskin berada di wilayah hutan. Sesungguhnya, Kemenhut telah mengembangkan kebijakan pemberdayaan masyarakat melalui berbagai skema seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat dan Kemitraan (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat/PHBM). Sayangnya, berbagai skema tersebut masih saja menimbulkan konflik dan “perlawanan” oleh masyarakat. Padahal sesungguhnya banyak inisiatif petani hutan maupun masyarakat adat yang “tidak lagi menimbulkan konflik dan perlawanan” dan saat ini memerlukan pengakuhan dan pengukuhan serta perluasan wilayah kelola (untuk wilayah lain) dari pemerintah. Kalijaya: Runtuhnya Klaim Perhutani atas Klaim Hutan Negara Saat memasuki wilayah hutan Kalijaya hal yang pertama dapat dilihat adalah “kemegahan” sekretariat Serikat Petani Pasundan (SPP) OTL Kalijaya. Secretariat ini menjadi symbol bahwa lahan yang dulunya dikuasai oleh Perhutani sekarang telah jatuh kembali kepada pemilik sahnya yakni masyarakat Desa Kalijaya. Menurut penuturan warga, pada jaman dahulu wilayah tersebut merupakan tempat pemukiman penduduk. Baru pada tahun 1918, masyarakat di usir oleh pihak Belanda dan “ditampung” di daerah yang lebih rendah. Sejauh ini belum diketahui alasan “pemindahan” tersebut. Proses pengusiran warga didahului dengan ditariknya surat “cap Singa” yang waktu itu dianggap sebagai “bukti pemilikan” lahan. Bukti bahwa nenek moyang telah pernah tinggal di sana, salah satunya adalah terdapat kuburan di tengah hutan. Di era setelahnya, yakni pada tahun 1950 lahan tersebut dikuasai oleh Djawatan Kehutanan yang kemudian diteruskan oleh Perhutani di tahun 1978. Pada era reformasi, terjadi penjarahan hutan yang dilakukan oleh blandong. “SPP tidak mau terlibat saat pengambilan kayu. Kami sengaja tidak mau terlibat karena kalau mengambil kayu maka kami akan ditangkap dan dituduh sebagai penjarah. Baru setelah hutan gundul maka masyarakat mulai masuk hutan”, ujar Ndang (56), Koordinator Wilayah SPP Kalijaya. Di tahun 2000 warga memasuki wilayah hutan. Proses masuknya warga ke hutan dimulai dengan ajakan kepada masyarakat yang tidak mempunyai tanah untuk mendaftar sebagai anggota SPP. Dari hasil pendaftaran terdapat 1200 orang pendaftar yang kemudian membagi lahan. Model pembagian lahan dilakukan dengan cara mengundi. Rata-rata pemilikan lahan adalah 1-3 hektar. Pada awalnya, teknik kelola yang dilakukan adalah model jadah artinya masyarakat menanam hutan secara asal-asalan yang penting target ke depannya adalah hutan kembali ada tanamannya. Beberapa tanaman yang ada diantaranya jagung, singkong, pisang (tanaman pertanian) dan petai, kelapa, khapol, kopi dan albasia (tanaman keras).
Usai penguasaan bukan berarti tidak ada tindakan dari Perhutani. Pernah terjadi Brimob datang ke wilayah tersebut. Selain itu, Perhutani juga menwarkan PHBM di tahun 2002-2005. Penwaran tersebut di tolak oleh anggota SPP dengan cara mengulur pertemuan hingga akhirnya Perhutani jenuh dan kemudian secara tidak tertulis Perhutani akhirnya membiarkan SPP mengelola hutan tetapi tidak memperluas lahan. Penolakan terhadap PHBM dilakukan SPP dikarenakan beberapa sebab diantaranya: sharing kayu diyakini tidak akan sampai ke kas Negara dan sarat korupsi, PHBM berpotensi koruptif karena bagi hasil bersifat sangat transaksional, kampanye tentang PHBM bagus, implementasinya sangat jelek dan tidak mensejahterakan rakyat. Sebagai sebuah catatan di wilayah ini PHBM dan kelembagaannya yakni LMDH juga ada dan mempunyai anggota. Tanaman yang ada adalah Mahoni dan Jati tetapi sekarang masih kecil dan cenderung tidak berkembang. Selain itu, LMDH juga mendapatkan dampak politik dari keberadaan SPP karena mereka bisa menawar Perhutani dan akhirnya dibolehkan menanam hutan dengan albasia dengan bagi hasil 75% untuk masyarakat dan 25% untuk Perhutani. Dalam hal penggarapan lahan model kelola yang dilakukan adalah system “kebon” yakni beberapa macam tanaman jadi satu (petani, khapol, kopi, kelapa, albasia, karet). Hasil dari tanaman ini relative bagus. Para petani berpendapat bahwa dengan adanya model hak kelola rakyat maka masyarakat mendapatkan manfaat baik dalam bentuk kesejahteraan dan keamanan hutan yang berhubungan dengan kelestarian hutan. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Kesejahteraan Keamanan dan Kelestarian Hutan Masyarakat bisa naik haji. Setidaknya saat Hutan betul-betul aman dari pencurian ini ada 5 orang yang sudah dan akan berhaji karena rasa kepemilikan yang tinggi Masyarakat bisa beli motor minimal 1 dalam Hutan lestari dengan dibuktikan tanaman1 keluarga tanaman yang relative beragam. Hal ini berbeda dengan wilayah di PHBM yang tanamannya tidak tumbuh baik dan “tidak hijau” Masyarakat bisa membuat rumah seharga 70-100 juta Masyarakat bisa menyekolahkan anaknya bahkan sampai kuliah Masyarakat Desa Kalijaya beranggapan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat lebih baik dari desa lainnya Kondisi yang baik pada pengelolaan hutan model rakyat ini semakin membuktikan bahwa klaim hutan yang dilakukan rakyat telah berhasil membuat masyarakat sejahtera dan keamanan atas hutan yang berimbas pada kelestarian dan secara maupun langsung maupun tidak langsung telah meruntuhkan klaim Perhutani atas hutan. (Barid Hardiyanto: 2012)
Penutup Upaya mewujudkan kawasan hutan yang berkeadilan dan berkepastian hukum hanya dapat tercapai bila seluruh komponen bangsa berpegang pada substansi dari konstitusi bahwa “semua hal yang dilakukan” berawal dan berakhir pada upaya
mensejahterakan dan memberikan pengelolaan sumber daya agraria demi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Oleh karenanya, tak ada jalan dan pilihan lain selain bahwa segala pikiran dan tindakan baik dalam konteks kebijakan maupun penganggaran ditujukan pada upaya pengakuan dan perluasan wilayah atas hak kelola rakyat. Sebab telah teruji bahwa inisiatif yang di buat telah menghasilkan “konflik” dan “perlawanan” yang paling minimal. Dan terbukti memberikan kesejahteraan dan kemakmuran yang langsung dan sebesar-besarnya pada rakyat.