Reformasi dan Penegakan Hukum yang Berkeadilan
Oleh Yusrizal1
Abstract Law enforcement should be based on actual law (rechtstaat) means that everything in the form of policy enforcement and administration of the state should be based on law, not by interests and otherwise transactional politics. Siding with the rule of law and social stratification within society greatly affect the authority and integrity in law enforcement. The law should be used as a tool for public happiness, which is the ultimate goal of social protection (social defense). Moral principles, such as truth, goodness, and justice which limit person as a member of society, are the sources of legal acts standard and needed to achieve a neutral law. Keywords: Reform, Law Enforcement, Justice A.
PENDAHULUAN Dewasa ini, polemik ditengah masyarakat antara para ahli hukum dan khalayak awam
pemerhati kehidupan hukum dalam soal luas sempitnya konsep hukum terlanjur marak, dan berkaitan dengan soal ini juga isu keadilan. Para ahli hukum berkeyakinan bahwa keadilan hanya bisa ditemukan dalam rumusan hukum undang-undang nasional yang berlaku untuk siapapun tanpa pandang bulu. Inilah keadilan dengan sebutan legal justice yang akan mampu menjamin kepastian tiadanya perlakuan diskriminatif. Sementara itu, khalayak ramai berkeyakinan bahwa keadilan merupakan substansi moral yang tak mungkin diakomodasi didalam hukum undang-undang yang berlaku umum untuk siapa pun tanpa kecuali. Lagi pula hukum undang-undang itu nyatanya dibentuk oleh wakil-wakil dari golongan yang umumnya berkedudukan sosial ekonomi mapan, dan bukan dari golongan mereka yang masih rawan.2
1
2
Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh. Tahun 2005 memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh dan Tahun 2011 memperoleh gelar Magister Hukum (M.H) di Universitas Sumatera Utara, Medan Soetandyo Wignjosoebroto, Nenek Minah Tak Curi Cokelat!, Harian Kompas, Tgl. 15 Februari 2010, hlm. 6
Reformasi dan Penegakan Hukum Yang Berkeadilan (Yusrizal) Hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku dalam suatu masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilainilai yang berlaku dalam masyarakat itu. Bila dicermati, terlepas dari pemaknaan dan apapun yang melandasinya, reformasi maupun revolusi sesungguhnya memberikan pemaknaan baru terhadap konsep yang ada, yaitu “pembangunan” termasuk didalamnya bidang hukum.3 Pembangunan (development) menurut kamus besar bahasa Indonesia dirumuskan sebagai suatu proses, pembuatan, cara membangun. Istilah penbangunan hukum di negeri ini bukan merupakan istilah baru atau sebatas retorika atau wacana semata. Sejak lama the founding fathers pembentuk negeri ini telah mencanangkan pembangunan hukum sebagai hal yang mendasar sejalan dengan terbentuknya negara yang sebelumnya diwarnai oleh nuansa kolonialisme penjajah bahkan dalam rentang waktu relatif berabad-abad lamanya.4 Selain pembangunan hukum, maka prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan perundangundangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtstaat, melainkan democratische
3
4
Satjipto Rahardjo, Menbedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2008), hlm. 239-240, Bandingkan dengan Sabian Utsman, Menuju Penegakan Hukum Responsif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.7-8, menjelaskan bahwa untuk menggagas bagaimana Indonesia berhukum, maka haruslah berangkat dari perspektif kolektif dalam struktur sistem peradilan sehingga membentuk konstruksi sebagai suatu kesatuan yang searah kepada sasaran tertentu. Sasaran tertentu itu tidak melenceng yang secara eksplisit disebutkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa dalam membentuk pemerintahan negara Indonesia adalah yang bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dimana nilai-nilai tersebut sudah mengristal bagi seluruh bangsa Indonesia dan tidak boleh sedikit pun menyimpang dari nilainilai tersebut dalam menjalankan hukum di Indonesia. Ibid 45
Jurnal Nanggroë, Volume 1, Nomor 1, Desember 2012 rechtsstaat.
5
ISSN 2302-6219
sehingga perilaku dalam berhukum sangat menentukan nilai keadilan yang akan
diperoleh oleh para pencari keadilan. Antara perilaku menegakkan hukum dengan menggunakan hukum sulit dibedakan. Kebetulan, keduanya memang saling melengkapi. Menegakkan hukum tanpa menggunakan hukum dapat melahirkan tindakan sewenang-sewenang (abuse de droit). Sebaliknya, bila menggunakan hukum tanpa berniat menegakkan hukum dapat menimbulkan ketidakadilan, bahkan dapat membawa keadaan seperti tanpa hukum (lawless). Polisi, jaksa, hakim, advokat, birokrat, politisi, dan siapa saja yang berkecimpung dalam dunia penegakkan hukum akan merasakan himpitan paradoks tersebut. Mereka senantiasa ditantang untuk menyeimbangkan dua kutub, antara menegakkan hukum dan menggunakan hukum.6 Disinilah terjadi pergesekan dan penyimpangan dalam dunia hukum. Maka dalam tulisan ini akan membahas seputar mengenai bagaimana konsep berhukum yang adil serta dilandasi dengan nurani dan mental yang bijak sehinnga reformasi hukum tercapai dengan baik. B. PEMBAHASAN 1. Paradigma Penegakan Hukum Sebagaimana lumrahnya pada setiap organisasi dan manajemen harus jelas paradigmaparadigma atau tolok ukur, referensi dan parameter yang menjadi acuannya dalam menegakkan hukum. Bagi penyelenggaraan kekuasaan pemerintah sebagai sistem kehidupan bernegara, dikenal 3(tiga) macam paradigma dasar sebagai referensi yang dimaksud. Di Indonesia, tiga paradigma dasar itu adalah sebagai berikut:7 1. Paradigma filosofis yakni sistem nilai yang tercakup dalam dasar negara pancasila (philosophical paradigm) 2. Paradigma yuridis-konstitusional dalam UUD 1945 (juridical paradigm) 3. Paradigm politis dalam garis besar haluan negara (political paradigm). Secara teoritis-konstitusional, pada umumnya para pejabat dan aparat birokrat sudah tau isi dan makna paradigma filosofis ini, namun secara praktis-operasional masih menjadi pertanyaan 5
6 7
Jimly Asshiddiqie, Materi yang disampaikan dalam studium general pada acara The 1st National Converence Corporate Forum for Community Development, Jakarta, 19 Desember 2005. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 152-162 Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, (Jakarta: Kompas, 2006), hlm. Xii M. Solly Lubis, Kebijakan Publik, (Bandung: Mandar Maju, 2007), hlm. 70-71 46
Reformasi dan Penegakan Hukum Yang Berkeadilan (Yusrizal) besar, apakah konsekuen dan konsisten dijalankan, mulai dari level yang tertinggi hingga yang terendah dan disemua lini. Demikian juga mengenai paradigma yuridis yang induknya UUD, dapat dikatakan pada garis besarnya semua tahu, bahkan sudah tahu pula ketentuan-ketentuan konstitusional mana saja dalam UUD itu yang perlu diamandemen.8 Selanjutnya paradigma politik berupa haluan negara, justru mengenai faktor yang sangatsangat politis ini turut menjadi sasaran reformasi dan euforia demokrasi tadinya, sewaktu rejim orde baru itu bertubi-tubi disoroti yang akhirnya semuanya itu bermuara kepada yang namanya amandemen UUD 1945, renovasi dan revisi hukum negara dan hampir ratusan Undang-undang dan peraturan pelaksanaan (oeganieke verordenigen) lainnya direvisi. Namun, KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) semkin merajalela dalam praktek yang justru sangat bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip paradigmatik yang sudah berlaku secara formal itu sekaligus bertentangan dengan tujuan reformasi semula sehingga timbul persoalan siapa sebenarnya yang benar-benar reformis.9 Penbenahan sistem dan politik hukum dalam lima tahun mendatang diarahkan pada kebijakan untuk memperbaiki substansi (materi) hukum, struktur (kelembagaan) hukum, dan kultur (budaya) hukum, melalui upaya:10 1. Menata kembali substansi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan Perundang-undangan untuk mewujudkan tertib perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan hierarki Perundang-undangan; dan menghormati serta menperkuat kearifan lokal dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaharuan materi hukum nasional. 2. Melakukan pembenahan struktur hukum melalui penguatan kelembagaan dengan meningkatkan profesionalisme hakim dan staf peradilan serta kualitas sistem peradilan yang terbuka dan transparan, menyederhanakan sistem peradilan, meningkatkan sistem transparansi agar peradilan dapat diakses oleh masyarakat dan memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan memihak pada kebenaran, memperkuat kearifan lokal dan 8 9
10
Ibid Ibid, Lihat Juga Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 191-192, bahwa Perubahan hukum (renovasi dan revisi hukum) pada dasarnya dimulai dari adanya kesenjangan antara aturan yang ditegakkan dengan masyarakat, sehubungan dengan sifat hukum tertulis yang kaku itu, maka sejak semula tentunya sudah dapat diduga bahwa dalam perjalanan waktu ia akan senantiasa sulit untuk segera melakukan adaptasi terhadap-terhadap perubahan-perubahan. Oleh karena itulah apabila timbul kesenjangan antara hukum dengan sesuatu perubahan dalam masyarakat, maka kesenjangan itu sebetulnya termasuk hal yang normal dan selayaknya diadakan pembaharuan hukum. Satjipto Rahardjo, Op. Cit. hlm. 244-245 47
Jurnal Nanggroë, Volume 1, Nomor 1, Desember 2012
ISSN 2302-6219
hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui peemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaharuan materi hukum nasional. 3. Meningkatkan budaya hukum antara lain melalui pendidikan dan sosialisasi berbagai peraturan perundang-undangan serta perilaku keteladanan dari kepala negara dan jajarannya dalam mematuhi dan menaati hukum serta penegakkan supremasi hukum. Secara harfiah politik hukum dapat dinyatakan sebagai pelaksanaan kebijaksanaan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintah, khususnya dibidang hukum yang meliputi: a. Pelaksanaan terhadap kaedah-kaedah hukum yang telah disusun; b. Pembangunan terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang telah usang dengan menyusun ketentuan hukum baru dengan menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan masyarakat; c. Penegasan fungsi lembaga penegak hukum atau pelaksana hukum; d. Meningkatkan kesadaran hukum masayarakat melalui berbagai upaya rasional. Dari rumusan diatas, pembaharuan/pembangunan dibidang hukum itu sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru. Sejak peryataan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan kolonial Belanda, telah dilakukan pelbagai upaya kearah pembaharuan hukum, baik dari segi sistem, teori, asas, fungsi dan tujuan, peraturan perundang-undangan, sampai dengan penerapan dan penegakannya demi tercapainya keadilan.11 Pembaharuan itu didasarkan pada hakikat dari hukum itu sendiri sebagai suatu peraturan yang berlaku nya harus memenuhi persyaratan filosofis, politis, yuridis, dan sosiologis. Secara filosofis, hukum itu harus sesuai dengan sistem, teori, asas-asas, fungsi dan tujuan hukum. Dari segi politis, hukum itu harus merupakan buatan dari pemerintahan negara merdeka dan bukan peninggalan kolonial. Secara yuridis pembuatannya harus memenuhi prosedur pembuatan Undang-Undang dan tata urutan peraturan perundang-undangan yang ada. Sedangkan dari segi sosiologis, hukum itu muncul dari aspirasi masyarakat sehingga berlakunya hukum diterima dan dipatuhi masyarakat.
11
H. L. A Hart mengatakan bahwa prinsip umum yang tersembunyi dalam berbagai konsep keadilan adalah bahwa para individu dihadapan yang lainnya berhak atas kedudukan relatif berupa kesetaraan atau ketidaksetaraan tertentu. Ini merupakan sesuatu yang harus dipertimbangkan dalam ketidakpastian kehidupan sosial ketika beban atau manfaat hendak didistribusikan, ini juga harus juga merupakan sesuatu yang harus dipulihkan ketika terganggu. Lihat dalam H. L. A Hart, Konsep Hukum (The Concept of Law), Bandung: Nusamedia, 2009, hlm. 246
48
Reformasi dan Penegakan Hukum Yang Berkeadilan (Yusrizal) Salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam pembangunan hukum adalah pembaruan peraturan perundang-undangan sekaligus penegakan hukumnya akan menampakkan secara jelas mengenai bagaimanakah hukum kita dimasa depan. Dengan perencanaan yang baik, perubahan dan perkembangan hukum diarahkan sesuai dengan konsep pembangunan hukum di Indonesia, yang menurut Mochtar Kusumaatmaja harus dilakukan dengan jalan:12 1. Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum hukum nasional dengan antara lain mengadakan pembaruan, kodifikasi serta unifikasi hukum dibidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum masyarakat; 2. Menertibkan fungsi lembaga hukum menurut proporsinya masing-masing; 3. Peningkatan kemampuan dan kawibawaan penegak hukum; 4. Memupuk kesadaran hukum masyarakat serta; 5. Membina sikap penguasa para pejabat dan para penguasa pemerintah/negara ke arah komitmen yang kuat dalam penegakan hukum, keadilan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Solly Lubis, mengatakan bahwa masalah penegakan hukum merupakan masalah yang amat rumit, bila kita melihat pada unsur-unsur dalam sistem, maka kita temui sejumlah faktor yang berpengaruh seperti: peraturan Perundang-undangan, sumber daya manusia, fasilitas pendukung, kelompok kepentingan dalam masyarakat, dan terakhir, yang tidak kalah penting adalah budaya hukum. Pengamatan yang bersifat akademik mungkin memang diperlukan, tetapi dalam prakteknya keseluruhan masalah ini sangat kompleks. Meskipun kita terus berharap, misalnya membuat peraturan perundang-undangan yang sempurna, penghasilan yang memuaskan bagi para hakim, suatu budaya hukum yang mendukung atau iklim politik yang menguntungkan, namun dalam kenyataannya penegakan hukum oleh pengadilan sangat tergantung pada sejauh mana putusannya ditetapkan hakim memenuhi rasa keadilan telah diterapkan secara sungguh-sungguh. Asas keadilan dan kebijaksanaan hukum yang digunakan oleh hakim sebagai dasar penerapan hukum atas suatu perkara mungkin mengandung masalah, karena hakim bertugas menemukan landasan hukum yang sesuai dengan nilai-nilai keadilan yang dianut oleh masyarakat (tidak sebatas nilai yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan).13 12 13
Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 127-128 Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 2008), hlm. 54. Lihat Juga M. Syamsudin, Rekonstruksi Perilaku Etik Hakim dalam Menangani Perkara Berbasis Hukum Progresif, Dalam Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 18 Oktober 2011, hlm. 135 Rekonstruksi perilaku etik hakim sangat penting untuk dilakukan. Hal ini didasarkan pada hasil studi, bahwa proses menangani suatu perkara oleh hakim di pengadilan tidak semata-mata urusan 49
Jurnal Nanggroë, Volume 1, Nomor 1, Desember 2012
ISSN 2302-6219
2. Pendistribusian Keadilan Arbi Sanit mengatakan bahwa Penegakan hukum di Indonesia harus sesuai dengan rasa keadilan masyarakat dengan tetap memperhatikan kepastian hukum pada setiap individu warga negara yang merupakan ekspresi nilai-nilai demokratik dalam suatu negara demokratis. Keterkaitan antara nilai-nilai penunjang demokrasi dan elemen-elemen negara hukum, maka dapat dikatakan penegakan hukum yang berkeadilan dan memberi manfaat serta melindungi hak-hak warga negara hukum yang demokratis.14 Seiring terbukanya kran reformasi (pembaharuan) dibidang hukum, dengan mata telanjang dapat disaksikan betapa semangatnya sebagian orang untuk memposisikan lembaga-lembaga peradilan sebagai tempat penyelesaian konflik, mencari keputusan sebagai tujuan akhir demi tercapainya kepastian hukum sesuai dengan alam demokrasi yang tengah dibangun. Meskipun bukan sesuatu yang dilarang, pengajuan perkara ke pengadilan seharusnya menjadi alternatif yang terakhir. Komitmen yang demikian harus menjadi budaya oleh karena pengadilan tidak pernah mampu menyelesaikan konflik secara tuntas.15 Krisis hukum kita bukan semata-mata krisis teknis, struktur, atau peraturan, tetapi lebih mendalam dan mendasar dari itu. Karena pemulihan dan pengobatannya pun harus melewati jalan lebih mendasar atau substansial yaitu perilaku (moralitas). Kendati hukum masih berjalan, tetapi kita mencatat, yang lebih banyak terjadi adalah orang-orang yang bermain dengan peraturan dan prosedur, bukan menjalankan hukum untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan. Keadaan diperparah korupsi dalam hukum, dan hukum sudah dijadikan barang dagangan. Era reformasi telah melahirkan dampak yang cukup signifikan terhadap keberadaan dunia peradilan di Indonesia, yang diawali dengan masuknya hakim-hakim agung nonkarier (akademisi dan praktisi) sebagai hakim di Mahkamah Agung, hingga diterapkannnya sistem satu atap, yaitu digabungkannya fungsi administratif, finansial, dan organisasi yang awalnya berada dibawah
14 15
teknis yuridis, akan tetapi melibatkan unsurunsur etika dalam menjalankan hukum. Unsur etik ini terkait dengan orientasi dan motivasi hakim dalam menjalankan hukum. Dalam praktik ternyata telah banyak terjadi pergeseran orientasi dan motivasi hakim dalam memandang dan memaknai perkara yang ditangani. Orientasi untuk mewujudkan nilai-nilai objektif hukum dan perlindungan terhadap masyarakat bergeser ke orientasi subjektif hakim yaitu dalam rangka mendapatkan keuntungan-keuntungan tertentu di luar tujuan ideal hukum tersebut. Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1985), hlm. 25 Waluyadi, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana,(Bandung:Mandar Maju,2009),hlm. 6 50
Reformasi dan Penegakan Hukum Yang Berkeadilan (Yusrizal) Departemen Kehakiman ke Mahkamah Agung. Perubahan lain yang cukup menarik adalah munculya pengadilan-pengadilan khusus yang berfungsi untuk memeriksa perkara-perkara tertentu yang ditetapkan Undang-undang. Hingga saat ini jika dilihat dari bidang hukumnya, terdapat lima pengadilan khusus yang merupakan pengadilan pidana, yakni pengadilan ekonomi, pengadilan anak, pengadilan HAM, pengadilan korupsi dan pengadilan perikanan, serta terdapat dua pengadilan khusus bidang hukum perdata, yakni pengadilan niaga dan pengadilan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, serta yang termasuk pada pengadilan tata usaha negara adalah pengadilan pajak. Yang bertindak sebagai hakim dalam pengadilan khusus adalah hakim ad hoc yang diangkat dalam jangka waktu tertentu atau diadakan untuk perkara tertentu. Hakim ad hoc berasal dari kalangan hakim nonkarier atau orang yang bukan berprofesi sebagai hakim.16 Dan pendirian KPK sebagai akibat dari lemahnya penegakkan hukum (krisis kepercayaan) masyarakat terhadap lembaga kejaksaan dan kepolisian sehingga terjadi claim saling berhasil yang berujung pada perseteruan yang berkepanjangan. Pada akhirnya setiap lembaga tersebut bisa melahirkan keputusan-keputusan hukum yang berwibawa dan berkeadilan tanpa adanya saling klaim kompetensi mengadili. Dalam situasi gonjang ganjing politik dan penegakkan hukum akhir-akhir ini, terlihat pergumulan “rebut peran” antara kepentingan politik dan kepentingan berlakunya hukum, sedangkan kedua faktor ini sebagai two faces of a coin sudah jelas silih berganti dan saling mempengaruhi bahkan menunjukkan interdepedensi fungsional. Untuk menentukan faktor mana yang lebih berperan sangat banyak tergantung pada tuntutan situasi dan kondisi kasuistis dan tidak mudah menbuat praduganya terlalu dini, bahkan kadang-kadang unpredictable. Sering terjadi teori yang indah dan muluk amblas dibuat oleh kenyataan dalam praktek.17 Sewaktu-waktu disaat-saat kepentingan politik berperan unggul membawahi ide penegakkan kebenaran secara hukum, disitu orang lalu berkata dengan mudah ”namanya juga politik”, meskipun penilaian ini belum tentu benar atau tidak seluruhnya benar, jika diukur berdasarkan paradigmaparadigma yang selayaknya mendasari pertimbangan dan pemikiran yang jernih dan proporsional. Oleh karena itulah, jika kita berhadapan dengan sesuatu kasus, perlu ditetapkan kesepakatan lebih 16
17
Sirajuddin dan Zulkarnain, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 59-60 M. Solly Lubis, Kebijakan Publik, (Bandung: Mandar Maju, 2007), hlm. 57 51
Jurnal Nanggroë, Volume 1, Nomor 1, Desember 2012
ISSN 2302-6219
dahulu, apakah akan ditinjau dan dikaji menurut pendekatan dan kacamata hukum utamanya, atau menurut kacamata politis, supaya tidak terjadi debat kusir, tanpa kesamaan tolok ukur. Disaat-saat meningkatnya eforia demokrasi dan tuntutan terhadap adanya perlakuan yang adil oleh pejabat dibidang kekuasaan yang manapun, legislatif, eksekutif dan yudikatif, makin popular pula perihal asas-asas umum pemerintahan yang baik, khususnya dalam wacana-wacana yang menyangkut good governance dan clean government tidak hanya dilevel kekuasaan pusat tetapi juga didaerah-daerah, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak ketimpangan dalam penegakan hukum. Akibatnya tujuan-tujuan hukum yang hendak dicapai jauh dari keadilan.18 Bila dikaitkan dengan tujuan hukum yang hendak dicapai dalam rangka pembangunan hukum nasional adalah pembaharuan peraturan perundang-undangan sekaligus penegakkan hukumnya sehingga akan menampakkan secara jelas mengenai bagaimanakah hukum kita dimasa depan. Hal demikian menjadi mutlak, sebab tanpa adanya arah yang jelas mengenai bagaimanakah perubahan yang diinginkan oleh masyarakat sebagai suatu upaya mengatasi krisis ekonomi dan hukum dalam melanjutkan pembangunan ke masa depan, maka perubahan itu bias sekedar hanya “ganti baju” dari yang lama ke yang baru, tetapi substansinya masih tetap sama, atau perubahan tak terkendali (revolusi) yang mungkin mengakibatkan tujuan yang diinginkan tidak tercapai sama sekali. Oleh karena itu, reformasi hukum tidak sekedar mengadakan yang baru melainkan perlu adanya pengembangan moralitas hukum sebagai arah dari perubahan sehingga mewujudkan penyelenggaran hukum yang benar-benar hukum dan tidak kepada hukum yang bukan hukum.19 Dengan demikian apabila perkembangan praktek hukum di Indonesia di era reformasi diarahkan pada pengembangan moralitas hukum untuk mewujudkan kesadaran hukum masyarakat yang bertanggung jawab, yang percaya bahwa hukum yang ada adalah “ hukum yang hukum” dan bukan “hukum yang bukan hukum”, yaitu hukum yang hanya sekedar diadakan untuk kepentingan penguasa, tetapi bukan hukum yang sarat dengan nilai-nilai moral. Penegakkan hukum tanpa intuisi moralitas yang tinggi telah mejadikan Negara Indonesia saat ini sebagai salah satu negara yang dianggap telah banyak terjadi pelanggaran terhadap hukum dan hak asasi manusia serta negara terkorup di dunia pada masa pemerintahan orde baru dan era reformasi, Oleh karena itu, sangat penting untuk melihat berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan terhadap warga negara sipil dan 18 19
Ibid, hal. 57-58 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2008), hlm. 262 52
Reformasi dan Penegakan Hukum Yang Berkeadilan (Yusrizal) mencari serta menyelesaikan berbagai pemecahan masalah secara obyektif dan adil sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.20 Menurut Jeremy Bentham bahwa ukuran moral perlu digunakan agar setiap tingkat kebahagiaan dan kesengsaraan dapat dipahami dalam berhukum.21 Tidak berfungsinya institusi-institusi negara yang berwenang dan wajib menegakkanm HAM. Hal tersebut terjadi diseluruh instansi yang ada, mulai dari Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Pengadilan, Kementerian Hukum dan HAM, DPR RI, hingga Lembaga Kepresidenan. Hal itu diakibatkan karena seluruh institus-institusi tersebut terjebak dalam alasan prosedural hukum, politik birokrasi, dan aksi saling lempar tanggung jawab, sehingga proses penegakan dan reformasi hukum berjalan ditempat tanpa penyelesaian yang pasti. Penegakkan hukum dan kepastian hukum belum dinikmati oleh masyarakat Indonesia, bagi sebagian masyarakat Indonesia hukum dirasakan belum memberikan rasa keadilan, kemamfaatan, kesetaraan dan perlindungan terhadap HAM khususnya terhadap masyarakat kecil dan tidak mampu. Penegakkan hukum dan kepastian hukum masih melihat status sosial seseorang, demikian pula pelaksanaan putusan pengadilan yang sering kali hanya memihak pada pihak yang kuat dan penguasa. Hukum dan pengadilan hanya sekedar diberlakukan sebagai aturan-aturan tertulis, tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lain. Penggunaan interpretasi hukum dan yurisprudensi belum digunakan secara optimal oleh hakim untuk menberikan putusan yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Bila kita melihat secara menyeluruh, perkembangan penegakkan hukum di Indonesia bukannya tidak tidak menyimpan cerita-cerita sukses dalam penegakkan hukum, seperti diantaranya pembongkaran tempat-tempat pembuatan narkoba, pemberantasan terorisme, penahanan dan penangkapan pejabat publik dan anggota DPR yang terlibat skandal korupsi dan suap, jadi dalam hal ini kita memaknai penegakkan hukum harus dilihat secara arif dan bijaksana, karena disana masih ada cerita tentang para hakim jujur yang tidak mau korupsi, tetapi selalu dikucilkan oleh sejawatnya.
20 21
Ibid Jeremy Bentham, Teori Perundang-Undangan: Prinsip-Prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana, terjemahan dari The Theory of Legislation oleh Nurhadi, (Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2010), hlm. 132 53
Jurnal Nanggroë, Volume 1, Nomor 1, Desember 2012
ISSN 2302-6219
Eman Suparman mengatakan bahwa dalam menegakkan hukum dan keadilan sudah seyogiyanya hal-hal berikut ini menjadi pemandu aparatur yang terlibat dalam penegakan hukum terutama hakim sebagai ujung tombak pendistribusi keadilan kepada kepada masyarakat. Hal-hal tersebut dapat diperjelas sebagai berikut:22 1. Berani mencari jalan keluar baru (rule breaking) dan tidak membiarkan diri terkekang cara menjalankan hukum yang lama dan tradisional yang jelas-jelas melukai rasa keadilan; 2. Dalam kapasitas masing-masing penegak hukum (apakah sebagai polisi, jaksa, hakim, advokat, birokrat, pendidik, dan lain-lain) didorong untuk selalu bertanya kepada nurani tentang makna hukum lebih dalam; dan 3. Hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika semata, tetapi dengan perasaan kepedulian dan semangat keterlibatan (compassion) kepada bangsa kita yang sedang menderita. Sungguh amat ideal apabila pemerintahan sekarang ditandai dengan reformasi hukum dam moral di Indonesia. Untuk itu sudah saatnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memulai pengubahan siasat dalam penegakkan hukum di negeri ini, dalam kampanyenya berjanji akan menegakkan hukum dan berada digarda terdepan dalam memberantas korupsi, kini waktunnya rakyat menagih janji, jangan lagi kita terjatuh kedalam kultur retorika, seperti supremasi hukum, tetapi turun ke bawah secara nyata dengan melakukan aksi-aksi mobolisasi. Mobilisasi hukum! Angkat jaksa, hakim, polisi, dan birokrasi yang progresif. Berikan imbalan (reward) dan promosi kepada mereka, pinggirkan mereka yang berfikir negatif, ajak dan rangkul masyarakat serta LSM untuk mengontrol dan membersihkan hukum.23 Akhirnya, Penegakan hukum yang bernurani dan bermoral dirasakan sangat penting untuk mengatur keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam suatu masyarakat. Maka selanjutnya adalah hukum tersebut harus dilaksanakan oleh pelaksana hukum. Pelaksanaan hukum dalam kehidupan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari mempunyai arti penting karena apa yang menjadi tujuan hukum justeru terletak pada pelaksanaan hukum tersebut. Ketertiban dan ketenteraman hanya dapat diwujudkan dalam kenyataan kalau hukum dilaksanakan. Kalau tidak, peraturan hukum itu
22
23
Suparman, Eman, Persepsi Tentang Keadilan dan Budaya Hukum dalam Penyelesaian Sengketa, Jurnal Penegakan Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Vol. 4 No.1 Januari 2007, Akreditasi Dikti No. 55/Dikti/Kep/2005, hlm. 30-31 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Op.Cit. hlm. 262-264 54
Reformasi dan Penegakan Hukum Yang Berkeadilan (Yusrizal) hanya berupa susunan kata yang yang tidak mempunyai makna dalam kehidupan masyarakat yang tentu akan mati dengan sendirinya.24 C.
PENUTUP
1. Kesimpulan Reformasi dibidang hukum memamg membutuhkan waktu yang lama dan dalam pelaksanaannya merupakan masalah yang rumit dan kompleks yang tidak mungkin dapat diatasi dengan memperbaiki salah satu bagian dari unsur-unsur hukum. Memperbaikinya harus secara keseluruhan dan tak dapat ditunda lagi. Perbaikan itu meliputi tahap formulasi (pembuatan peraturan perundang-undangan), tahap aplikasi (penerapan hukum) dan tahap eksekusi (penegakan hukum). Di samping itu upaya terhadap pembaruan hukum juga perlu terus dikembangkan melalui kegiatan-kegiatan non hukum
yang mendukung penyelenggaraan hukum, seperti peningkatan
pengetahuan dan kepatuhan hukum, kesadaran hukum, partisipasi dan peran serta masyarakat dalam penegakan hukuk, serta ditingkatkan pemberdayaan (empowering) masyarakat dalam pemyelenggaraan hukum sesuai dengan hak asasinya manusianya. Sudah saatnya kultur penyelenggaraan hukum yang terlalu berkonsentrasi pada sistem hukum sebagai satu-satunya bangunan peraturan tanpa memasukkan dan memformulasikan unsur perilaku atau manusia didalamnya harus ditinggalkan. Hukum tidak dapat lagi ditempatkan sebagai sebuah dokumen absolut dan otonom. Kreatifitas manusia penegak hukumnya harus diberikan kesempatan dalam berolah improvisasi pada penegakan hukum dan pembangunan hukum. 2. Saran a. Sudah saatnya pendidikan dan pembangunan hukum di Indonesia lebih memberikan perhatian kepada nilai-nilai hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Karena pada intinya menyatakan bahwa hukum itu harus berhati nurani, hukum itu diciptakan dan ada untuk mengabdi pada masyarakat, dan janganlah masyarakat dikorbankan untuk kepentingan hukum.
24
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 181 55
Jurnal Nanggroë, Volume 1, Nomor 1, Desember 2012
ISSN 2302-6219
b. Membuat atau memperbaharui peraturan peraturan perundang-undangan agar hukum yang berlaku memenuhi aspek keadilan bukanya perubahan peraturan yang parsial dan tambal sulam yang tidak sesuai lagi dipraktekkan. c. Hukum hendaknya tidak dijalankan menurut prinsip logika saja, tetapi dengan perasaan, kepedulian, dan semangat keterlibatan kepada bangsa dan negara kita yang sedang menderita. Segala daya dan upaya hendaknya dilakukan dengan perilaku (moralitas) yang benar untuk bangun dari keterpurukan dan selama ini yang lebih banyak mendatangkan rasa susah. Sudah semestinya hukum merupakan institusi yang berfungsi untuk menjadikan bangsa kita merasa sejahtera dan bahagia.
DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005 Hart, H. L. A., Konsep Hukum (The Concept of Law), Bandung: Nusamedia, 2009 Jeremy Bentham, Teori Perundang-Undangan: Prinsip-Prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana, terjemahan dari The Theory of Legislation oleh Nurhadi, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2010 Bisri, Ilhami, Sistem Hukum Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004 Lubis, M. Solly, Kebijakan Publik, Mandar Maju, Bandung, 2007 Nitibaskara, Tb. Ronny Rahman, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Jakarta: Kompas, 2006 Sanit, Arbi, Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1985 Serikat Putra Jaya, Nyoman, Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, P.T.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008 Suparman, Eman, Persepsi Tentang Keadilan dan Budaya Hukum dalam Penyelesaian Sengketa, Jurnal Penegakan Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Vol. 4 No.1 Januari 2007, Akreditasi Dikti No. 55/Dikti/Kep/2005 Syahrani, Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004
56
Reformasi dan Penegakan Hukum Yang Berkeadilan (Yusrizal) Syamsudin, M, Rekonstruksi Perilaku Etik Hakim dalam Menangani Perkara Berbasis Hukum Progresif, Dalam Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 18 Oktober 2011 Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991 ----------------------, Menbedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2008 Sirajuddin dan Zulkarnain, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006 Utsman, Sabian, Menuju Penegakan Hukum Responsif, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010 Waluyadi, kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2009 Wignjosoebroto, Soetandyo, Nenek Minah Tak Curi Cokelat!, Harian Kompas, Tgl. 15 Februari 2010
57