MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial PENYUSUN Tim Pengarah Prof. Dr. Muchammad Zaidun, SH, Msi Prof. Dr. Syamsul Bachri, SH, MS Herman Suryokumoro, SH, MS Prof. Dr. Guntur Hamzah, SH, MH Prof. Drs. Soetandyo Wignjosoebroto, MPA Tim Perumus Uli Parulian Sihombing, SH, L.LM Nurul Barizah, Ph.D Sulistyowati, SH, MH Rachmad Syafa’at, SH, Msi Ummu Hilmy, SH, MH Mustofa Bola, SH, MH Kasman Abdullah, SH, MH Fulthoni. AM Siti Aminah Diterbitkan Atas Kerja Sama The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar Dengan Dukungan Open Society Institute (OSI) Desember, 2009 Sekretariat ILRC Jl. Tebet Timur I No. 4 Jakarta, Indonesia Telp. 021-93821173, Fax. 021-8356641 Email :
[email protected] Website : www.mitrahukum.org Perpustakaan Nasional RI, Data Katalog dalam Terbitan (KDT)
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial Cetakan; 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 x + 180 halaman, ukuran kertas 15 cm x 21 cm
ISBN 978-979-17584-7-5 Design cover & layout by delca printing (canting) Dicetak oleh PT. Delca Indonesia Isi diluar tanggungjawab percetakan
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
PENGANTAR ILRC The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) bersama-sama dengan Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Fakultas Hukum Universitas Hasanudin (Unhas) Makassar dan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang telah menyusun Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial. Tujuan penyusunan cetak biru ini adalah untuk mengidentifikasi permasalahan penyelenggaraan pendidikan hukum, memberikan landasan pijak bagi upaya pembaruan penyelenggaraan pendidikan hukum, menyebarluaskan konsep dan gagasan pengarusutamaan
perspektif
keadilan
sosial
dalam
penyelenggaraan pendidikan hukum. Tidak bisa dipungkiri, pendidikan hukum memberikan kontribusi menciptakan kualitas lulusan pendidikan hukum. Di sini lain, permasalahan ketidakadilan sosial semakin lama semakin menumpuk, mulai dari dalamnya jurang perbedaan perlakuan penegakan hukum antara orang yang mempunyai akses ke sumber daya ekonomi politik, dengan orang yang tidak mempunyai akses ke sumber daya tersebut. Kemudian, aparat penegak hukum ternyata belum
vi MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
mampu memberikan jawaban atas permasalahan ketidakadilan sosial yang ada. Lebih parah lagi, minimnya nilai-nilai keadilan sosial di dalam aturan hukum itu sendiri. Akibatnya, masyarakat kehilang-an kepercayaan terhadap hukum dan aparat penegak hukum. Di titik inilah seharusnya dunia perguruan tinggi, khususnya pendidikan hukum ikut berkontribusi dalam menyelesaikan permasalahan ketidakadilan sosial. Selain itu, pendidikan hukum harus ikut men-ciptakan lulusannya yang berkualitas dan mempunyai sensitivitas terhadap permasalahan keadilan sosial. Hukum adalah dependent variable, artinya hukum bukanlah faktor penentu dalam kebijakan publik. Hukum tergantung variablevariable yang lain, karena itu hukum harus menyesuaikan dengan perkembangan sosial, politik dan ekonomi di masyarakat. Kemudian hukum itu tidak hanya diinterpretasikan secara tekstual, melainkan juga harus diinterpretasikan secara kontekstual. Jika kita sepakat, bahwa hukum adalah variable dependent [bukan variable indepen-dent], maka seharusnya pendidikan hukum ikut juga mempromosi-kan nilai-nilai keadilan sosial, baik secara internal maupun eksternal. Cetak biru pembaruan pendidikan hukum berbasis keadilan sosial ini merupakan langkah awal dari institusiinstitusi penyelenggara pendidikan hukum, seperti Fakultas Hukum Unair, Fakultas Hukum Unhas dan Fakultas Hukum Unibraw dalam mempromosikan keadilan sosial. Kami mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Hukum Unair, Dekan Fakultas Hukum Unhas dan Dekan Fakultas Hukum Unibraw yang mempunyai komitmen untuk mempromosikan keadilan sosial di masing-masing institusinya. Kemudian juga kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun cetak biru
Pengantar ILRC vii
yang sudah meluangkan waktu dan pemikirannya dalam penyusunan cetak biru ini. Tidak lupa juga mengucapkan terima kasih kepada Open Society Institute (OSI) dan semua pihak yang telah memberikan dukungan atas penyusunan dan penerbitan cetak biru. Kami mohon maaf apabila ada kekurangan baik substansi maupun redaksional di dalam cetak biru ini. Kami sadar, bahwa cetak biru ini merupakan sebuah living document yang akan disesuaikan dengan perkembangan ilmu hukum, sosial dan pendidikan hukum itu sendiri.
Jakarta, 2 Desember 2009
Uli Parulian Sihombing, SH, L.LM Direktur Eksekutif ILRC
PENGANTAR DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA Puji dan syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha Adil dan Maha Mengetahui, atas kucuran ilmu pengetahuan dan kehendakNya, Cetak Biru Pembaharuan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial, dengan judul “Mengajarkan Hukum yang Berkeadilan” dapat terselesaikan dengan baik. Cetak Biru ini disusun sebagai suatu respon atas berbagai kegalauan dan keprihatinan yang ada dan terjadi di masyarakat terhadap kualitas pendidikan hukum di negeri ini. Pada intinya, hukum yang seharusnya bekerja untuk melaksanakan fungsinya mewujudkan keadilan telah bergeser menjadi alat legitimasi bagi kepentingan sesaat, atau kepentingan kelompok penguasa. Akibatnya, hukum, da-lam perspektif masyarakat, adalah hukum yang tidak fair, lemah, tidak menegakkan keadilan dan tidak membela kepentingan masyarakat. Kondisi tersebut tidak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan hukum yang kita miliki termasuk model pembelajarannya, meskipun hal tersebut bukan satu-satunya penyebab. Model pendidikan hu-kum normatif yang sedang
x MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
dikembangkan saat ini, memang mampu mencetak ahli-ahli hukum (jurist) yang professional dan competence dalam memberikan legal opinion dan memecahkan permasalahan hukum lainnya. Namun, model seperti ini juga turut menyumbang-kan pemikiran yang legalistik dan positivistik, yang setia menjaga hukum yang serba birokratis dan kaku. Akibatnya, sifat kemanusiaan dan sosial sering dikesampingkan. Berangkat dari kenyataan tersebut, maka merupakan tanggung-jawab kita semua, sebagai staff pengajar di Fakultas Hukum untuk memberikan nuansa dan sentuhan keadilan sosial dalam pendidikan hukum kita. Salah satu caranya yaitu dengan meletakkan kembali visi pendidikan hukum kita, meskipun tetap berada pada perspektif model pembelajaran yang normatif, tetapi tetap tidak melupakan pentingnya keadilan sosial dalam kehidupan ber-masyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingga, dalam Cetak Biru ini, kami menggagas bahwa rumusan visi pendidikan hukum di Indo-nesia harus diarahkan kepada terwujudnya “Ahli hukum yang ber-moral, dan memiliki visi tentang keadilan”. Berdasarkan rumusan tersebut, setidaknya keluaran Fakultas Hukum mempunyai kualifi-kasi sebagai seorang ahli hukum, bermoral dan berkeadilan. Ketiga-nya, merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dengan demikian, sebagai staff pengajar di Fakultas Hukum, proses pendidikan hukum harus diorientasikan dalam rangka me-wujudkan cita ideal keluaran Fakultas Hukum tersebut. Tentunya, sasaran pembaca buku ini terutama adalah semua staff pengajar Fakultas Hukum (akademisi hukum) dan praktisi hu-kum. Cetak biru ini juga bisa dijadikan sebagai pedoman
Pengantar Dekan FH UNAIR xi
bagi para pemangku kepentingan di bidang pendidikan hukum di tanah air.
Diharapkan, dengan terbitnya Cetak Biru ini, maka
sebagai staff pengajar, kita semakin menyadari akan pentingnya sentuhan keadil-an sosial dalam pendidikan hukum dan model pembelajaran kita. Cetak Biru ini tidak mungkin terwujud tanpa kerja sama dari berbagai pihak, maka kami menghaturkan terima kasih kepada pihak-pihak yang memberikan kontribusi dan kerjasamanya, terutama kepada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, serta The Indonesian Legal Resources Center (ILRC) sebagai spon-sor utama. Terima kasih yang tak terhingga juga kami haturkan ke-pada semua tim pengarah dan tim perumus, dan juga dukungan dari Open Society Institute (OSI). Akhirnya, untuk dianggap sebagai Cetak Biru, kami merasa bahwa rumusan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu maka kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak guna perbaikan Cetak Biru ini. Kritik dan saran ini juga sangat penting bagi kami, untuk bekal kami dalam menyempurnakan Cetak Biru ini di masa mendatang. Akhirnya, semoga Cetak Biru ini bermanfaat, paling tidak bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum di Indonesia.
Surabaya, 8 Desember 2009
Atas Nama Tim Penyusun
Prof. Dr. Muchammad Zaidun, S.H., M.Si.
SISTEMATIKA PENGANTAR ILRC
v
PENGANTAR DEKAN FH UNAIR
ix
SISTEMATIKA
xiii
I.
1 1 4 11 12 14
PENDAHULUAN A. Pengembanan Hukum B. Realitas Pendidikan Hukum di Indonesia C. Urgensi Cetak Biru D. Metode Penyusunan Cetak Biru E. Sistematika
II. KONSEP KEADILAN SOSIAL A. Pengertian dan Ruang Lingkup Keadilan Sosial B. Urgensi Keadilan Sosial dalam Pendidikan Hukum C. Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial D. Konsep dan Indikator Keadilan Sosial 1. Tata Kehidupan Masyarakat, Bangsa, dan Negara yang Majemuk 2. Distribusi Hak dan Kewajiban Secara Setara 3. Individu atau Kelompok yang Termarginalkan 4. Efektif 5. Berkelanjutan III. VISI PENDIDIKAN HUKUM
17 17 22 31 32 39 40 41 41 42
xiv MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
A. Orientasi Pendidikan Hukum B. Visi Pendidikan Hukum IV. STRATEGI PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM A. Pembaruan Sistem Pendidikan dan Pengajaran 1. Kurikulum 2. Metode Pengajaran 3. Bahan Ajar 4. Pendidikan Latihan Kemahiran Hukum (PLKH) 5. Praktik Kerja Lapangan/Kuliah Kerja Nyata 6. Pendidikan Berasrama 7. Program Continuing Legal Education (CLE) B. Penguatan Sumber Daya Manusia 1. Rekrutmen 2. Pendidikan Prajabatan dan Supervisi 3. Pendidikan Khusus/Keahlian 4. Fellowship, Pemagangan, dan Studi Banding 5. Asosiasi Pengajar Fakultas Hukum 6. Public Lecture 7. Pendidikan Formal C. Revitalisasi Kelembagaan 1. Pimpinan Fakultas dan Bagian 2. Lembaga Penelitian dan Pusat Studi 3. Laboratorium Hukum 4. LBH Kampus 5. Organisasi Kemahasiswaan D. Penguatan Informasi, Jaringan, dan Kerjasama 1. Perpustakaan 2. Penerbitan Buku dan Jurnal 3. Pertukaran Mahasiswa 4. Kerjasama E. Penguatan Kelembagaan Penjamin Mutu F. Penegakan Kode Etik V. RENCANA AKSI PEMBARUAN HUKUM A. Pembaruan Sistem Pendidikan dan Pengajaran
43 43 46 51 51 51 55 57 58 61 63 64 65 65 68 69 70 71 72 73 74 74 75 80 82 86 87 87 89 90 90 93
SISTEMATIKA xv
B. C. D. E. F.
Penguatan Sumber Daya Manusia Reorientasi Kelembagaan Penguatan Informasi, Jaringan, dan Kerjasama Penguatan Kelembagaan Penjamin Mutu Penegakan Kode Etik
VI. PENUTUP A. Kesimpulan B. Rekomendasi DAFTAR BAHAN BACAAN WORKPLAN CETAK BIRU PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM BERBASIS KEADILAN SOSIAL 2010 - 2014
94 97 97 99 100 101 102 103 105 105 106 107
BAB I PENDAHULUAN A. Pengembanan Hukum di Indonesia Dewasa ini, pandangan masyarakat terhadap hukum sangat memprihatinkan. Sikap skeptis masyarakat terhadap hukum begitu tinggi, sehingga masyarakat lebih memilih menghindar dari hukum ketika menyelesaikan berbagai permasalahan aktual. Ada stigma negatif masyarakat terhadap pelaksanaan hukum, sehingga sering memunculkan ketidakpuasan, bahkan lebih jauh memilih jalan pintas dengan melanggar hukum. Kondisi ini disebabkan, tidak lain karena tidak bekerjanya hukum secara baik dalam masyarakat, karena tingginya penyimpangan, penyalahgunaan wewenang maupun adanya conflic of interest dalam pengembanan hukum. Hukum yang seharusnya bekerja untuk menegakkan keadilan, telah bergeser menjadi alat legitimasi bagi berbagai kelompok kepentingan kekuasaan. Dampaknya, gambaran dan pemahaman yang diterima masyarakat tentang hukum bukanlah hukum yang berwibawa, melainkan realitas hukum yang lemah, yang tidak mampu berbuat banyak dalam menegakkan keadilan dan membela kepentingan masyarakat. Permasalahannya adalah, siapa yang paling bertanggung jawab terhadap keadaan tersebut? Memang bukan pekerjaan mudah untuk mencari aktor yang paling bertanggung jawab, karena hukum meliputi banyak aspek1, dan juga dipengaruhi oleh banyak hal. Te-
2
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
tapi salah satu institusi yang banyak mendapat sorotan terkait buruknya citra hukum di Indonesia adalah lembaga pendidikan hukum. Pendidikan hukum dianggap memiliki kontribusi sangat besar terhadap permalahan hukum dewasa ini. Alasannya, aktor-aktor utama yang menjalankan hukum adalah sarjana hukum. Sarjana hukum selalu terlibat dalam kebijakan hukum, sejak pembentukan hingga implementasinya. Tidak dapat dipungkiri, bahwa berbagai pembentukan hukum di semua level, baik di pusat maupun daerah, peran sarjana atau ahli hukum sangat menentukan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seba-gai pembentuk utama hukum, para anggotanya tidak sedikit yang berlatar belakang hukum, bahkan para perancang perundang-un-dangan yang mendukung kerja-kerja DPR mayoritas berlatar bela-kang hukum. Akademisi dari fakultas hukum juga sering dipanggil dan dilibatkan untuk memberikan pandangan terkait substansi hukum tertentu. Tim pemerintah yang ikut membahas peraturan perundang-undangan, atau menyiapkan rancangan peraturan per-undang-undangan juga didominasi oleh sarjana atau ahli hukum. Begitu juga dengan biro-biro hukum yang ada di instansi peme-rintah, baik di pusat maupun daerah. Berbagai keputusan penting pemerintah yang menyangkut hidup orang banyak, selalu di-back up oleh sarjana atau ahli hukum. Keterlibatan sarjana atau ahli hukum dalam proses pembentukan atau keputusan hukum, ternyata belum mampu menghasilkan hukum yang baik, di mana hukum menjadi cerminan dari rasa keadilan masyarakat2. Terkait dengan bidang pembentukan hukum ini, Harkristuti Harkrisnowo mencatat ada beberapa permasalahan, di antaranya
1 Friedmen menyebut ada tiga hal yang memengaruhi penegakan hukum, yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Tiga hal ini sangat menentukan wajah hukum, di mana satu dengan yang lain saling memengaruhi dan tidak dapat dipisahkan.
PENDAHULUAN 3
adalah kurangnya kesadaran baik di legislatif, eksekutif, dan yudikatif bahwa setiap pemben-tukan hukum dalam satu bidang akan berimplikasi pada bidang-bidang yang lain. Selain itu, proses pembentukan hukum banyak diwarnai oleh kepentingan lembaga yang bersangkutan, dan tidak jarang sarjana hukum diminta memberikan justifikasi, bahkan sekaligus merumuskan sehingga terlihat legitimate. Harkristuti juga mencatat adanya disharmonisasi, bahkan konflik antarsubstansi hukum3. Dampak dari permasalahan ini adalah banyaknya pengaturan yang tidak sejalan dengan spirit keadilan masyarakat, menabrak pluralitas, mengabaikan keberlanjutan ekologis, dan melanggengkan marginalisasi kelompok rentan seperti masyarakat adat, anak, dan perempuan. Buruknya wajah hukum dewasa ini juga tidak luput dari proses implementasi hukum oleh institusi-institusi hukum yang ada seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Ketiga lembaga ini menjadi pilar bagi tegaknya hukum dan keadilan, serta terjaminnya perlin-dungan hak-hak warga negara. Warga yang menghadapi berbagai permasalahan hukum sangat menggantungkan harapan kepada tiga lembaga tersebut. Hanya saja, lembaga-lembaga yang seharusnya dapat menjaga martabat dan kehormatan, sehingga dapat memutus menggunakan pranata hukum secara adil, ternyata menjadi tempat yang subur bagi tumbuhnya mafia serta banyak terjadi penyim-pangan di dalamnya. Berdasarkan beberapa survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga, baik nasional maupun internasional, me-nempatkan institusi-institusi tersebut sebagai insitusi yang paling korup. Kondisi di atas menunjukkan bahwa buruknya sistem dan 2 Beberapa contoh dari peraturan belum mencerminkan rasa keadilan masyarakat. UU PMA menunjukkan tidak sensitifya perumus hukum terhadap kepentingan masyarakat dan lingkungan. UU Pornografi juga tidak mengakomodasi berbagai nilai-nilai lokal yang ada di masyarakat. 3 Harkristuti Harkrisnowo, Selintas Sejarah dan Prospek Pengembangan Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, Jurnal Jentera, Edisi Khusus, 2003, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta. 4 http://www.huma.or.id/document/I.03. Analisa Hukum/Perkembangan
4 MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
pelaksanaan hukum tidak luput dari campur tangan dan kontribusi dari sarjana atau ahli hukum, yang notabene dididik dan diajarkan tentang nilai-nilai hukum melalui pendidikan hukum sewaktu mereka kuliah. B. Realitas Pendidikan Hukum di Indonesia Pendidikan hukum selalu menarik untuk dicermati, karena eksistensinya selalu menjadi bagian dari perjalanan sejarah kebangsaan di Indonesia. Kondisi ketatanegaraan dan pendidikan tinggi hukum tidak dapat dipisahkan, antara keduanya saling mempengaruhi. Pendidikan hukum sangat memengaruhi wajah politik ketatanegaraan suatu masa, dan di sisi lain orientasi pendidikan hukum juga sangat dipengaruhi oleh tatanan politik yang berkembang. Penyelenggaraan pendidikan hukum beserta orientasinya, bu-kanlah sebuah proses yang otonom, melainkan suatu proses yang tertuntut secara fungsional mengikuti perkembangan politik, khusus-nya politik yang bersangkut paut dengan kebijakan dan upaya pe-merintah untuk mendaya-gunakan hukum untuk meraih tujuan-tujuan yang tak selamanya berada di ranah hukum dan/atau ke-adilan4. Pada umumnya, pendidikan hukum dikategorikan ke dalam dua jenis yaitu akademis dan profesi. Pendidikan hukum akademis bertujuan memberikan pengetahuan hukum bagi mahasiswa. Pendidikan hukum akademis mengajarkan apa yang dimaksud dengan hukum, apa saja cabang ilmu hukum, siapa yang menjadi subjek dari tiap-tiap cabang ilmu hukum, apa prinsip yang terkandung dalam hukum, dan lain-lain. Pengetahuan yang diberikan lebih bersifat teo-retis, yang tidak bisa begitu saja diterapkan dalam kehidupan nyata. Sedangkan pendidikan hukum profesi bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang bagaimana menerapkan hukum. Hukum Nasional & Pendidikan Hukum Di Indonesia Pada Era Pascakolonial_Soetandyo.pdf, diakses pada tanggal 3 juli 2009 5 Hikmahanto Juwana, Memikirkan Kembali Sistem Pendidikan Hukum Indonesia, Jurnal Jentera, Edisi Khusus, 2003, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia,
PENDAHULUAN 5
Untuk menja-lankan hukum dengan baik, maka dibutuhkan pendidikan hukum yang tidak hanya bermuatan teori, tetapi juga pendidikan yang membantu orang menjalankan profesi hukum. Diharapkan dengan pendidikan hukum profesi, peserta didik memiliki keahlian dalam menerapkan hukum5. Ada dua sistem pendidikan hukum yang dianut oleh banyak negara yang menyebabkan lulusan yang berbeda kualifikasinya, yaitu sistem pendidikan hukum profesi (dianut oleh Amerika Serikat), atau disebut juga ”sistem AS”, dan sistem yang mayoritas dianut oleh banyak negara, sehingga disebut ”sistem umum”. Dalam sistem AS, pendidikan hukum merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh sekolah hukum. Sebagai pendidikan profesi, pendidikan hukum dalam sistem AS diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar ingin menjalani profesi hukum. Dalam sistem ini mensyaratkan pesertanya telah memiliki ijazah S1 dalam bidang apa pun, sehingga dianggap sebagai pendidikan pascasarjana. Sedang-kan dalam sistem umum, pendidikan hukum dibagi dalam dalam dua tahap. Tahap pertama pendidikan hukum akademis dan tahap kedua pendidikan hukum profesi. Pendidikan hukum akademis model ini dapat langsung diikuti oleh mereka yang baru lulus SMA. Setelah lulus dari pendidikan hukum, tidak semua alumninya meng-geluti profesi hukum, dan hanya mereka yang minat dalam profesi hukum yang akan melanjutkan ke jenjang berikutnya. Dalam sistem umum, pendidikan hukum akademis merupakan prasyarat bagi mereka yang hendak memasuki pendidikan hukum profesi6. Berdasarkan kualifikasi jenis pendidikan hukum di atas, Indonesia dapat dikategorikan sebagai ”sistem umum”, di mana pendidikan hukum lebih mengedepankan penguasaan akademik Jakarta. 6 Ibid, 89-91. 7 Bismar Nasution, Reformasi Pendidikan Hukum untuk Menghasilkan Sarjana Hukum yang Kompeten dan Profesional, Dalam Komisi Yudisial, Bunga Rampai
6 MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
mengenai teori dan konsep ilmu hukum. Namun dalam perkembangannya, sistem pendidikan hukum juga mengarah pada pendidikan yang berdimensi akademis dan profesi. Keduanya hendak diwujudkan melalui sistem pendidikan hukum di Indonesia, sebagaimana terefleksi dalam berbagai mata kuliah yang diajarakan di fakultas hukum. Selain kedua jenis tersebut, model pendidikan hukum juga sangat dipengaruhi oleh pilihan sistem hukum yang dikembangkan oleh suatu negara. Ada dua sistem yang cukup populer di dunia, yaitu civil law dan common law. Menurut Bismar Nasution7, pilihan terhadap sistem hukum tersebut juga berimplikasi kepada model pendidikan hukum. Di negara civil law, sistem pendidikan hukum lebih menekankan kepada metode pengajaran yang bersifat doktrinal. Materi yang diberikan adalah pasal-pasal dari perundangundangan, dengan metode monolog. Para mahasiswa bersifat pasif dan umumnya diajarkan untuk menghafal perundang-undangan. Perbandingan suatu teori atau hukum juga jarang dilakukan, karena pada umumnya negara civil law menganut paham positivisme, sehingga landasan maupun pemikiran tentang hukum hanya berpedoman kepada perundang-undangan yang telah terkodifikasi. Sebaliknya, berbeda dengan sistem pendidikan hukum di negara yang menganut sistem common law. Sistem pendidikannya lebih menekankan kepada practical use. Sistem hukum yang menekankan kepada putusan hakim membuat perkuliahan difokuskan kepada pembahasan kasus hukum dan putusan pengadilan. Pemahaman teori hanya diberikan di awal perkuliahan dengan metode self learning, di mana dosen hanya memberikan pengantar dan referensi buku yang harus dipelajari. Sedangkan sisa perkuliahan Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Komisi Yudisial, Jakarta, 2007, hal. 167169. 8 Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia, Genta Publishing, Jogjakarta, 2009, hlm. 20. 9 http://www.huma.or.id/document/I.03. Analisa Hukum/Perkembangan
PENDAHULUAN 7
dipergu-nakan untuk diskusi dan pemaparan mahasiswa mengenai suatu kasus. Dalam model ini, peran mahasiswa sangat dominan dan dosen hanya berperan sebagai pengarah. Adanya perbedaan dalam sistem pendidikan menim-bulkan perbedaan besar, khususnya dalam menyelesaikan permasalahan hukum. Sarjana hukum dari civil law cenderung bersifat positivis dan rigid dalam menyelesaikan permasalahan hukum. Setiap permasalahan hanya dilihat dari satu aspek saja yaitu perundang-undangan, sehingga setiap permasalahan hukum diselesaikan dengan pendekatan doktrinal. Berbeda dengan sarjana hukum dalam negara yang menganut common law. Mereka bersifat kritis dan analitis. Peraturan perundang-undangan bukanlah harga mati dan satu-satunya rujukan untuk tegaknya sebuah keadilan. Sarjana dalam negara common law selalu kritis terhadap hukum yang ada, bahkan mereka sering melakukan perbandingan untuk memperkuat argumen mereka bahwa hukum yang berlaku tidak sesuai lagi diterapkan di masyarakat. Meskipun ada perbedaan karakter dalam penyelenggaran pendidikan hukum di negara-negara yang menganut sistem common law dan civil law, dalam perkembangannya pembedaan ini sepertinya tidak dapat diberlakukan secara kaku. Sistem hukum dianggap tidak terlalu berpengaruh terhadap model pendidikan hukum. Hal itu disebabkan karena orientasi mengajarkan hukum melalui case study dan metode Socrates menjadi tumpuan di banyak negara apa pun sistemnya, termasuk sistem common law dan civil law. Pendidikan hukum di Indonesia dimulai sejak didirikannya Rechshshoogeschool di Jakarta pada 1924. Tujuan utama pendidik-an ini tidak lain adalah menghasilkan tenaga yang akan mengabdi dan melanggengkan penjajahan atas negeri ini, sehingga pendidikan dan pembelajaran tentang bagaimana menjalankan hukum yang berlaku menjadi porsi utama. Mahasiswa pada masa itu
8 MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
disiapkan untuk mengisi pekerjaan-pekerjaan tenaga kehakiman, pegawai negeri, dan pekerjaan bebas (advokat). Prof. Sutjipto menyebut, politik pendidikan hukum pada masa kolonial sebagai “colonial based policy”. Pendidikan hukum dirancang untuk menghasilkan orang-orang yang akan mengabdikan struktur dan kepentingan kolonial di Indonesia8. Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, di sekolah ting-gi hukum tersebut materi kuliah diberikan dengan tujuan utama agar para mahasiswa menguasai sejumlah kaidah hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang harus dipahami menurut tra-disi reine rechslehre kelsenian., Kuliah tersebut juga memodelkan hukum sebagai suatu sistem normatif tertutup yang dalam peng-gunaannya harus dipandang tak ada hubungan logis dengan kenya-taan empiris yang dialami orang di lapangan9. Model pendidikan hukum dogmatis ini berpengaruh kuat terhadap hasil didikan pen-didikan hukum. Para lulusannya tidak hanya berpikir legalistik dan positivistik, melainkan juga sarjana hukum yang setia menjaga hukum yang serba kaku dan birokratis. Mereka cenderung anti-perubahan, bahkan melanggengkan status quo dominasi hegemoni hukum formal. Model pembelajaran hukum positivis tersebut tak bergeming menjadi pilihan model pendidikan di fakultas hukum dalam jangka waktu yang lama, meskipun berbagai perubahan terjadi dalam wilayah politik dan sosial pada level nasional. Perubahan dari era kolonial ke alam kemerdekaan, tidak serta merta mengubah model pendidikan hukum. Konservatisme pendidikan hukum warisan penja-jah masih terus dipergunakan dengan doktrin yang tidak berubah. Begitu pula ketika orde lama tumbang dan digantikan oleh Orde Baru yang mengusung visi baru atas nama “pembangunan”. Hukum Nasional & Pendidikan Hukum Di Indonesia Pada Era Pascakolonial_Soetandyo.pdf, diakses pada tanggal 3 juli 2009 10 Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, Op.Cit, hlm. 32-33. 11 Shidarta, Karakter Keilmiahan Ilmu Hukum dan Implikasinya dalam pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, LSD, Volume II, No. 2, April – Juli, 2009.
PENDAHULUAN 9
Bahkan, pada orde ini hukum dituntut mampu mendukung kepentingan modal dan investasi yang dicanangkan oleh negara maju dengan jaminan kepastian hukum. Menurut Satjipto Rahardjo, pendidikan hukum lebih didominasi oleh cara pembelajaran yang bersifat teknologis daripada bersifat kemanusiaan dan sosial. Pembelajaran yang teknologis tersebut lebih menekankan pada pembi-naan keterampilan profesi. Disebut teknologis karena me-nekankan pada pengetahuan hukum dan cara-cara menggunakan hukum tersebut. Dampaknya, aspekaspek kema-nusiaan yang ada pada hukum kurang diperhatikan10. Pada saat Indonesia memasuki era reformasi dan mengoreksi seluruh sistem politik ketatanegaraan, sistem pendidikan hukum juga tidak banyak berubah secara signifikan. Pendidikan tinggi hukum misinya kurang lebih sama dengan pendidikan masa kolonial. Pen-didikan hukum diarahkan untuk melahirkan pekerjapekerja hukum guna menyuplai kantor-kantor notaris, pengacara, dan bagian legal di sebuah perusahaan. Sebagai pekerja hukum mereka dianggap sudah sangat memadai apabila dibekali keterampilan merancang kontrak, surat gugatan, atau peraturan perusahaan11. Dengan kata lain, mahasiswa hukum dididik tidak lain untuk memenuhi dan melayani kepentingan pasar (kapitalisme global). Hukum semata dipersepsikan sebagai komoditas untuk secara fungsional aspiratif terhadap investasi modal. Diadopsinya sistem badan hukum pendi-dikan, semakin mengukuhkan insititusi pendidikan, termasuk pendi-dikan hukum sebagai pelaku pasar. Terkait dengan para lulusan pendidikan hukum dari berbagai situasi politik sosial sejak kolonial hingga dewasa ini, Hikmahanto Juwana menilainya sama saja. Lulusan yang dihasilkan cenderung legalistik dan tidak berbeda dengan lulusan pada masa pemerintahan kolonial, bahkan cenderung tidak dapat memenuhi berbagai tujuan pen-didikan hukum pasca-Indonesia merdeka12. 12
Hikmahanto Juwana, Reformasi Pendidikan Hukum Indonesia,
10 MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
Mahasiswa hukum tidak pernah dididik untuk memaknai hukum secara kritis, sehingga dapat menilai spirit hukum sesuai dengan konteks tempat dan zaman. Mahasiswa hukum hanya disodorkan sebuah nilai yang sudah ada dalam teks peraturan perundang-undangan, tanpa harus melakukan perenungan mendalam tentang substansi yang ada di dalamnya dan merefleksikan nilai itu sesuai dengan pengalaman masing-masing. Konsepsi aturan hukum tertulis adalah sama dengan kebenaran dan keadilan, yang telah menjadikan para lulusan fakultas hukum menjadi robot-robot yang hanya bekerja sesuai norma yang telah ditetapkan. Pembelajaran hukum yang demikian telah mengabaikan hakikat kemanusiaan, yang seharusnya selalu berpikir dan melakukan perenungan. C. Urgensi Cetak Biru Pendidikan hukum berperan penting dalam proses penyeleng-garaan negara, khususnya dalam proses pengembanan hukum. Adanya problem dalam penyelenggaraan pendidikan hukum akan berkontribusi terhadap proses pengembanan hukum itu. Oleh kare-nanya, diperlukan refleksi menyeluruh terhadap penyelenggaraan pendidikan hukum. Refleksi ini berguna untuk mengidentifikasi permasalahan dan merumuskan strategi yang tepat untuk membe-nahi penyelenggaraan pendidikan hukum. Terkait dengan itu, Fakul-tas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Fakultas Hukum Univer-sitas Brawijaya Malang, dan Fakultas Hukum Universitas Hasanud-din Makassar, bekerja sama dengan The Indonesian Legal Resource Center menginisiasi penyusunan cetak biru reformasi pendidikan tinggi hukum. Tujuan umum penyusunan cetak biru ini adalah ”Pembaruan www.pemantauperadilan.com. 13 Lihat, Derrida dalam Roger, Cottorrel, Sociological Perspective on Law, Dartmouth Publishing Company and Ashgate Publishing Company, England, 2001, hlm 433. Keadilan merupakan condition sine quo non tercipta ketertiban dan merupakan syarat utama berlangsungnya kehidupan masyarakat. Keadilan menjaga
PENDAHULUAN 11
Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial”. Sedangkan secara khusus, penyusunan cetak biru ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi permasalahan penyelenggarakan pendi-dikan hukum. 2. Memberikan landasan pijak bagi upaya pembaruan penyelenggaraan pendidikan hukum. 3. Menyebarluaskan konsep dan gagasan pengarus-utamaan perspektif keadilan sosial dalam penyelenggaraan pen-didikan hukum. Cetak biru ini sangat penting bagi penyelenggara pendidikan tinggi hukum, karena cetak biru ini dapat menjadi acuan atau pijakan untuk mengembangkan dan memperkuat perspektif keadilan sosial. Dengan cetak biru, diharapkan kebijakan yang akan diambil oleh penyelenggara pendidikan hukum bersifat mendasar dan holistik, sehingga berdampak signifikan bagi keluaran fakultas hukum. Cetak biru ini disusun untuk jangka waktu lima tahun, yaitu periode 2010-2014. Selama periode ini diharapkan ada kebijakan strategis yang dilakukan oleh fakultas hukum untuk melakukan pem-benahan, sehingga diharapkan pada masa mendatang akan ada perubahan signifikan terhadap keluaran fakultas hukum. Pelaksana-an cetak biru ini akan dievaluasi secara periodik untuk mendapat-kan gambaran tentang capaian dan permasalahan yang dihadapi. D. Metode Penyusunan Ada beberapa tahapan kegiatan yang dilakukan sehingga menghasilkan cetak biru. Cetak biru ini diawali dengan komunikasi dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, dan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar tentang kemungkinan dan peluang mengembangkan perspektif keadilan sosial dalam pendidikan hukum. Hasil komunikasi menunjukkan hasil positif, dengan adanya kemauan fakultas hukum untuk melakukan pem-benahan dalam rangka
12 MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
memperbaiki keluaran fakultas hukum. Berangkat dari komitmen untuk melakukan pembenahan, maka Tim melakukan pemetaan awal terhadap berbagai permasala-han yang dihadapi fakultas hukum, praktik penyelenggaraan pendi-dikan tinggi hukum, dan upaya-upaya pembaruan yang pernah di-lakukan. Penelitian awal ini setidaknya menjadi informasi pembuka bagi pembahasan lebih lanjut dan mendalam terkait penyelenggara-an pendidikan hukum. Basis utama cetak biru ini adalah keadilan sosial. Keadilan sosial merupakan sebuah konsepsi yang abstrak, sehingga dipastikan setiap orang memiliki pemahaman dan pemaknaan yang berbeda-beda karena dipengaruhi pengalaman maupun konteks sosial lokal yang juga beragam. Guna menyamakan persepsi tentang keadilan sosial, maka dilaksanakan kegiatan workshop penyusunan konsep dan indiktor keadilan sosial yang diselenggarakan di Surabaya. Konsep dan indikator keadilan sosial ini berfungsi sebagai instrumen untuk melakukan refleksi terhadap penyelenggaraan pen-didikan hukum. Setelah tersusun konsep dan indikator keadilan sosial, dilanjutkan dengan kegiatan workshop yang secara khusus menajamkan konsep dan indikator, melakukan pemetaan terhadap permasalahan pendidikan tinggi hukum, mengidentifikasi inisiasi implementasi ke-adilan sosial, dan merumuskan strategi intervensi untuk memper-kuat perspektif keadilan sosial. Workshop diselenggarakan di Makas-sar dan menghasilkan rencana strategis pembaruan pendidikan hukum berbasis keadilan sosial. Rencana strategis yang telah disusun perlu mendapatkan respons dari stakeholder yang lebih luas, khususnya para user keluaran fakultas hukum. Oleh karena itu diselenggarakan kegiatan focus group discussion (FGD) di empat kota, yaitu Makassar, Malang, Surabaya, dan Irian Jaya. Kegiatan ini secara khusus bertujuan mengkritisi dan mendapatkan masukan bagi konsep dan
PENDAHULUAN 13
indikator keadilan sosial, serta rencana strategis pembaruan pendidikan hukum berbasis keadilan sosial. Kegiatan ini juga menjadi media sharing antar-stakeholder yang berkepentingan dengan pendidikan hukum. FGD diikuti oleh beberapa kalangan di antaranya aka-demisi, aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim, advokat), NGO, dan komunitas. Hasil workshop dan FGD di empat kota selanjutnya disusun dalam sebuah draf cetak biru yang dibahas lebih lanjut dalam workshop pembahasan cetak biru oleh tim perumus yang berasal dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, dan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar. Kegiatan bertujuan untuk menyempurnakan substansi cetak biru dan merancang rencana implementasi cetak biru. Kegiatan akhir adalah finalisasi cetak biru yang diikuti oleh para Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, dan tim perumus. Kegiatan ini diselenggarakan di Surabaya. E. Sistematika 1. Bab Pertama Pendahuluan. Bab ini menguraikan tentang latar belakang penyusunan cetak biru dengan melihat pada realitas pengembanan hukum dan pendidikan hukum. Pada bab ini juga akan diuraikan tentang pentingnya cetak biru, metode penyusunan, dan sistematika cetak biru. 2. Bab Kedua Konsep Keadilan Sosial. Bab ini mengurai-kan tentang pengertian dan ruang lingkup keadilan sosial, urgensi keadilan sosial dalam pendidikan hukum, pendidikan hukum berbasis keadilan sosial, serta konsep dan indikator keadilan sosial. 3. Bab Ketiga Visi Pendidikan Hukum. Bab ini mengurai-kan
14 MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
tentang orientasi pendidikan hukum dan visi pendi-dikan hukum. 4. Bab Keempat Strategi Pembaruan Pendidikan Tinggi Hukum. Bab ini menguraikan tentang strategi pembaruan sistem pendidikan dan pengajaran, penguatan sumber daya manusia, reorientasi kelembagaan, penguatan informasi-jaringan kerja sama, penguatan kelembagaan penjamin mutu, dan penegakan kode etik. 5. Bab Kelima Rencana Aksi Pembaruan Pendidikan Hukum. Bab ini menguraikan tentang rencana aksi terkait pembaruan sistem pendidikan dan pengajaran, penguatan sumber daya manusia, reorientasi kelembagaan, penguatan informasi jaringan kerja sama, penguatan kelembagaan penjamin mutu, dan penegakan kode etik. 6. Bab Keenam Penutup. Bab ini terdiri atas kesimpulan dan rekomendasi.
PENDAHULUAN 15
BAB II KONSEP KEADILAN SOSIAL A. Pengertian dan Ruang Lingkup Keadilan Sosial Perdebatan mengenai realitas keadilan telah terjadi sepanjang zaman. Apakah keadilan itu? Apakah keadilan itu konkret atau abstrak, realitas imajinatif ataukah realitas empirik. Sebagai suatu kenyataan sosiologis yang konkret dalam pengalaman kaum tertin-das sehari-hari, seharusnya keadilan bukanlah sebagai masalah filsa-fat melulu, melainkan keadilan lebih dilihat sebagai masalah material atau paling tidak perilaku atau relasi konkret. Membicarakan makna keadilan bukanlah terbatas pada suatu hal tentang definisi-definisi atau konsep-konsep dalam kaitannya dengan hukum alam (the natural law), tetapi lebih pada persoalan praksis. Derrida13 mengata-kan, ”The question of justice is not a matter of universal definition, but is rather following question: How can we, in our particular time and place, work toward justice.” Namun, menurut Derrida, menegakkan hukum tidak sekaligus menciptakan keadilan, bahkan Derrida dalam suatu supaya tidak terjadi ketimpangan sehingga tercipta keseimbangan antara hak dan kewajiban, adanya keseimbangan antara kepetingan pribadi dan kepentingan sosial. Lihat, Suteki dkk, Pendidikkan Pancasila di Era Reformasi, Badan Penerbit UNDP, Semarang, 2001, hlm.31. 14 Ibid, hlm. 433-434. 15 Lihat, Leon Petrazycki, Law and Morality, Harvard University Press, Cambridge Massachusetts, 1955, hlm. 241. 16 Gunawan Setiardjo, Filsafsat Pancasila Bagian I, cetakan X, 2004, hlm. 56. Bandingkan dengan pengertian keadilan Franz Magnis-Suseno yang mengatakan
18 MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
kesempatan mengatakan bahwa “The meaning of justice is elucidated through a contrast with law.” Selanjutnya dikatakan bahwa “In this sense, law is opposite of justice.”14 Demikian hubungan antara hukum dan keadilan. Pandangan Leon Petrazyscki terhadap keadilan dapat dimaknai sebagai pandangan yang berbeda dengan kebanyakan orang yang mengatakan bahwa keadilan itu adalah abstrak. Menurut Petrazyscki, keadilan adalah sebuah fenomena yang konkret yang dapat ditangkap melalui penelitian intuisi kita. Ia mengatakan, “The doctrine herein developed concerning law in general nad intuitive law in particular comprises all the premises needed to solve the problem of the nature of justice: actually, justice is nothing but intuitive law in our sense. As a real phenomenon justice is a psychic phenomenon, knowledge of which can be acquired through selfobservation and the joint method.”15 Pendapat Petrazycki tampaknya lebih realistis dan dapat diterima. Indonesia yang memiliki nilai ini sejak ratusan tahun lalu namun gagal mewujudkan keadilan (sosial) karena bangsa ini masih menganggap keadilan sebagai masalah abstrak, yang jauh dari realitas yang membumi. Uraian yang dikemukakan oleh Petrazycki semakin menegaskan bahwa sebenarnya keadilan --apalagi keadilan sosial-- bukan sesuatu yang abstrak, yang hanya berada pada dunia nilai-nilai saja tanpa perwujudan konkret. Demikian pula pendapat dari Gunawan Setiardja. Gunawan Setiardja mendefinisikan keadilan sebagai berikut.16 ”Keadilan itu adalah (diambil dalam arti subjektif) suatu kebiasaan,
bahwa adil pada hakikatnya berarti kita memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Prinsip keadilan mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang serta menghormati hak semua pihak yang
KONSEP KEADILAN SOSIAL 19
baik jiwa yang mendorong manusia dengan kemauan tetap dan terus menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.”
Gunawan Setiardja juga mengatakan bahwa itu adalah konkret dengan melihat pernyataan dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945, khusus alenia ke-4. Di dalam Pembukaan UUD NRI 1945 dicantumkan secara eksplisit kata keadilan sosial yang diawali dengan kata ”suatu”. Kata dalam kalimat ”...dengan mewujudkan suatu keadilan sosial...” memiliki makna bahwa objek yang menyer-tainya kata ”suatu” berarti bersifat konkret. Konsepsi tentang keadilan dapat dibedakan antara keadilan individual dengan keadilan sosial. Hegemoni negara-negara kapitalisme dan ideologi pembangunanisme telah menimbulkan ketergantungan dan keterbelakangan. Dalam konteks ini, keadilan dibicarakan dalam pengertian keadilan individual atau dalam pengertian keadilan yang mikro, yaitu suatu keadilan yang pelaksanaannya tergantung kepada kehendak pribadi. Bentuk yang dituntut pun jelas, yaitu ”perlakukanlah orang secara adil”. Jika yang dibicarakan adalah keadilan sebagai fenomena sosiologis, maka keadilan itu sudah tidak lagi bersifat individual, melainkan sosial bahkan struktural. Oleh karena itu, disebut dengan keadilan sosial atau keadilan makro. Keadilan sosial adalah keadilan yang pelaksanaannya tidak lagi tergantung pada kehendak pribadi, pada kebaikankebaikan individu yang bersikap adil, tetapi sudah bersifat struktural. Artinya, pelaksanaan keadilan sosial tersebut sangat tergantung kepada penciptaan struktur-struktur sosial yang adil. Jika ada ketidakadilan sosial, penyebabnya adalah struktur sosial yang tidak adil. Mengusahakan keadilan sosial pun berarti harus dilakukan melalui bersangkutan. Lihat, Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius, 1991, hlm. 132. 17 Budhy Munawar-Rachman, Op. Cit., hlm. 217 18 Nilai atau valere artinya: kuat, baik, berharga. Nilai menyangkut penilaian. Nilai hal sangat ditentukan hasil interaksi antara subjek yang menilai dan objek yang dinilai. Lihat, Bambang Daroeso, Dasar dan Konsep Pendidikan Moral Pancasila, Aneka Ilmu, Semarang, 1989, hlm. 19. Konstruk nilai tidak mendapat konsesus tentang definisinya karena konstruk nilai lebih abstrak dan bertingkat lebih tinggi daripada sikap, sehingga
20 MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
perjuangan memperbaiki struktur-struktur sosial yang tidak adil tersebut.17 Keadilan sosial juga dapat didefinisikan sebagai perilaku, yakni perilaku yang untuk memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya demi terwujudnya masyarakat yang sejahtera. Kesejahteraan adalah tujuan utama dari adanya keadilan sosial. Apabila ditelusuri makna nilai18 keadilan sosial bersama nilai-nilai dasar Pancasila lainnya, maka nilai keadilan sosial merupakan salah satu nilai yang dijadikan tujuan dari sebuah sistem nilai. Bagi bangsa Indonesia, nilai-nilai Pancasila bahkan ditempatkan sebagai paradigma politik hukum. Pancasila memiliki nilai-nilai dasar yang bersifat universal dan tetap. Nilai-nilai itu tersusun secara hierarkis dan piramidal. Substansi nilai-nilai dasar Pancasila yang terdiri atas nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial merupakan suatu sistem nilai. Prinsip dasar yang mengandung kualitas tertentu itu merupakan cita-cita dan harapan atau hal yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia yang akan diwujudkan menjadi kenyataan konkret baik dalam bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.19 Apabila ditinjau dari stratifikasi20 nilai dasar pancasila, nilai keadilan sosial merupakan nilai puncak pirami-da dari sistem nilai Pancasila. Menurut Notonagoro, nilai-nilai Pancasila termasuk nilai kerohanian, tetapi nilai yang mengakui nilai mate-rial dan nilai vital. Nilai sila pertama yaitu ketuhanan sebagai basis-nya dan keadilan sosial sebagai tujuannya.21
lebih sulit untuk dikonsepsikan secara jelas. Lihat, Danniel J. Muller, Mengukur Sikapsikap Sosial, Alih Bahasa oleh Cecep Syarifuddin dkk, Penerbit FISIP Press Universitas Pasundan, Bandung, 1990, hlm.5. 19 Kaelan, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2003, hlm. 70-71. 20 Max Scheler mengemukakan bahwa nilai yang ada tidak sama luhurnya dan tidak sama tingginya. Menurut tinggi rendahnya nilai dapat digolongkan menjadi empat tingkatan, yaitu (1) Nilai kenikmatan (erat dengan indera manusia), (2) Nilai kehidupan (misal kesehatan), (3) Nilai kejiwaan (kebenaran, keindahan), dan (4) Nilai kerohanian (nilai-nilai pribadi moral). Lihat, Driyarkara, Percikan Filsafat, Pembangunan Nasio-nal, Jakarta, 1978. Sedangkan menurut Notonagoro, nilai dibagi menjadi tiga macam,
KONSEP KEADILAN SOSIAL 21
Keadilan memiliki ragam makna yang telah menyebabkan keragaman dalam pendefinisiannya. John Rawls, misalnya, mengatakan bahwa sebuah masyarakat dikatakan baik apabila didasarkan pada dua prinsip, yaitu fairness, yang menjamin bagi semua anggota apapun kepercayaan dan nilai-nilainya, kebebasan semaksimal mungkin, dan veil ignorance, yang hanya membenarkan ketidak-samaan sosial dan ekonomi apabila ketidaksamaan itu dilihat dalam jangka panjang justru menguntungkan mereka yang kurang berun-tung.22 Dalam tradisi ilmu-ilmu sosial, sudah banyak refleksi tentang makna keadilan sosial.23 Para founding father Republik Indonesia pun mendasarkan gagasan dan cita-cita mereka pada ide yang bersifat universal itu. Meski begitu, masih banyak orang mengartikan keadilan sosial sekadar keadilan distributif, padahal ada perbedaan cukup mendasar antara keadilan sosial dengan keadilan distributif. Kalau keadilan distributif lebih banyak diartikan sebagai keadilan dalam ’pembagian harta’ masyarakat kepada individu atau kelompok, sedangkan keadilan sosial dalam arti luas adalah sebuah keadaan yang memungkinkan setiap individu dan kelompok dalam masyarakat bisa berkembang maksimal. Dalam keadilan distributif yaitu (1) Nilai material (untuk jasmnai manusia), (2) Nilai vital (untuk aktivitas: kesehatan), dan (3) Nilai yang terdiri dari empat tingkatan yaitu pertama nilai kebenaran, kedua nilai keindahan, ketiga nilai kebaikan, dan keempat adalah nilai religius. Lihat, Notonagoro, Pancasila secara Ilmiah Populer, Pantjuran Tudjuh, Jakarta, 1975. Lihat juga dalam Kaelan, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa, Paradigma, Yogyakarta, 2002, hlm. 124-125. 21 Lihat, Darji Darmodiharjo, Santiaji Pancasila, Usaha Nasional, Jakarta, 1979. 22 John Rawls, A Theory of Justice, Chambridge, Harvard University Press, hlm. 11. 23 Keadilan sosial memiliki hubungan yang sangat erat dengan kesejahteraan sosial. Dalam UUD 1945, Kesejahteraan Sosial diatur dalam Pasal 33 dan 34. Dapat dikatakan bahwa kesejahteraan sosial menyangkut pemenuhan kebutuhan materiil yang harus diatur dalam organisasi dan sistem ekonomi yang berdasarkan kekeluargaan. Kesejah-teraan sosial adalah sarana materiil yang harus dipenuhi untuk mencapai rasa aman dan tenteram yang disebut keadilan sosial. Sedangkan keadilan sosial merupakan tujuan yang lebih tinggi daripada sekadar kesejahteraan. Lihat, Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Pancasila, LP3ES, Jakarta, 0988. Pengertian lebih detail tentang kesejah-teraan sosial dapat dikaji dalam Muhammad Suud, 3 Orientasi Kesejahteraan So-sial, Perpustakaan Nasional, Jakarta, 2006, hlm. 1-8.
22 MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
tekanan pada individu sangat dominan, sedangkan dalam keadilan sosial tekanan individu diletakkan dalam dimensi sosial atau komunalnya. B. Urgensi Keadilan Keadilan Sosial dalam Pendidikan Hukum Masalah pokok keadilan sosial adalah pembagian (distribusi) nikmat dan beban dalam masyarakat yang oleh Brian Barry dirangkum dalam tiga kelompok, yaitu (1) ekonomi (uang); (2) politik (kuasa); dan sosial (status).24 Marxisme memandang keadilan bukan dari aspek distribusinya tetapi dari aspek produksi. Distribusi masih bisa diatur dan diperbaiki (fiskal progresif, misalnya), tetapi selama produksi berada di tangan kapitalis, selama itu pula ada masalah dengan keadilan.25 Ada indikasi bahwa intrusi semua sistem ekonomi kapitalisme telah membuat sebagian besar bangsa Indonesia meminggirkan kebersamaan yang merupakan esensi dari keadilan sosial. Beberapa gejala dalam masyarakat yang menampakkan bagaimana bangsa yang menyebut secara eksplisit keadilan sosial dalam ideologi Pancasilanya, seolah tidak menghiraukan lagi kebaikan ber-sama (common good) itu. Korupsi di segala lini kehidupan, minim-nya fasilitas sosial, adalah contoh konkret kurangnya rasa (sense) ke-bersamaan sebagai bangsa. Privatisasi perusahaan nasional dalam arti tertentu membuat banyak hal yang semula menjadi milik publik menjadi milik privat. Privatisasi air minum 24
Brian Barry, Theory of Justice, Harverster-Wheatssheaf, London, 1989, Vol. I, hlm 146. 25 Bur Rasuanto, op.cit.hlm. 15. 26 Al Andang L. Binawan, Keadilan Sosial, Kompas, 2004, hlm. vii. 27 Lihat, Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Editor Joni Emirizon, I Gde A.B. Wiranata, Firman Muntaqo), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006, hlm. 68. 28 Lihat, Kaelan, Pendidikan Pancasila: Yuridis Kenegaraan, Paradigma, Yogyakarta, 1998, hlm. 187-188. Nilai-nilai pancasila yang terkandung dalam setiap sila dapat dikategorikan sebagai nilai etis. Lihat, Notonagoro, Beberapa Hal Mnegenai Falsafah Pancasila, Pantjuran Tudjuh, 1967., hlm. 23. Nilai etis tersebut diungkapkan dalam norma moral. Norma moral itu diwujudkan dalam 36 butir norma yang terdapat dalam Tap MPR No. II Tahun 1978.
KONSEP KEADILAN SOSIAL 23
hanya merupakan salah satu contoh. Mengapa nilai keadilan sosial termarginalkan oleh bangsa Indonesia sendiri?.26 Keprihatinan serupa juga diungkapkan oleh Satjipto Rahardjo27 yang menempatkan Pancasila sebagai modal sosial kita. Kita sering menyatakan kebanggaan diri kita sebagai bangsa yang berbudi luhur, bermoral, bersifat kekeluargaan, kebersamaan, dan semacamnya, tetapi semua itu tidak tembus sampai ke dalam kultur hukum kita. Kultur hukum itu malah lebih cenderung ke individualisme. Sekalian moralitas itu belum menjadi social capital (SC) kita. Satjipto Rahardjo mengajak untuk membangun perilaku secara otentik dan baik lebih dahulu, sebelum memasuki kehidupan bernegara hukum. Perilaku merupakan modal amat penting sebelum kita berbicara tentang hukum. Tanpa perubahan cara bernegara hukum, hukum hanya akan menjadi permainan kepentingan dan gagal membawa bangsa ini kepada kesejahteraan, keadilan, kebahagiaan, dan kemuliaan. Bangsa Indonesia sebenarnya telah memiliki pedoman bagaimana melaksanakan keadilan sosial, khususnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Makna ”keadilan” pada sila kelima Pancasila memiliki pengertian makna ekonomis yang lebih tajam dibanding keadilan pada sila kedua, yang lebih bernuansa spiritual. Pada saat merumuskan UUD NRI 1945, founding fathers telah meletakkan makna keadilan sosial itu antara lain dengan merincinya dalam Pasal 33 UUD NRI 1945. Kemudian pada 1978, dengan Tap MPR No. II Tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, bangsa Indonesia sebenarnya telah dapat mengetahui bagaimana secara minimal kita memaknai sekaligus melaksanakan sila-sila Pancasila melalui 36 butir Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau dikenal Eka Prasetya Pancakarsa---meski masih dalam tataran ideologis. Sila 29
B. Herry-Priyono, Sesudah Asas Tunggal, dalam Keadilan Sosial (Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2004, hal. 283. 30 Bonum commune merupakan istilah yang pengertiannya dekat dengan istilah
24 MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dilaksanakan dengan:28 1. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan nuansa kekeluargaan dan kegotongroyongan. 2. Bersikap adil. 3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban. 4. Menghormati hak-hak orang lain. 5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain. 6. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain. 7. Tidak bersifat boros. 8. Tidak bergaya hidup mewah. 9. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. 10. Suka bekerja keras. 11. Menghargai karya orang lain. 12. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan keadilan sosial. Butir-butir nilai tersebut diangkat dari nilai-nilai puncak sosiokultural bangsa Indonesia dan bahkan dapat dikatakan nilai yang universal. Namun, mengapa realitas budaya, sosial, politik, dan ekonomi Indonesia jauh dari perwujudan nilai-nilai tersebut. Bahkan, move politik telah mengubah eksistensi dan pemaknaan tersebut, hingga pada 1998 MPR mencabut P4 dengan Tap MPR No. XVIII Tahun 1998. Menurut penulis, keputusan tersebut bukan keputusan yang bijaksana, melainkan lebih menekankan kepada kepentingan politik sesaat tanpa memikirkan jalan keluar yang sanggup menggan-tikannya. Kesalahan bukan ada pada butir-butir nilai, melainkan pada manusianya yang kurang memiliki komitmen untuk melaksa-nakan butir-butir nilai tersebut. Pemaknaan terhadap nilai-nilai Pancasila tidak cukup melalui penempatannya kebaikan umum, kesejahtraan bersama (sosial), kepentingan publik, public service, ranah publik, dan sebagainya. 31 B. Herry-Priyono, Sesudah Asas Tunggal, dalam Keadilan Sosial (Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2004, hlm. 283-284. 32 Francis Fukuyama, The Great Disruption: Human Nature and the
KONSEP KEADILAN SOSIAL 25
pada tataran kene-garaan atau mendudukkan Pancasila sebagai dasar negara melain-kan harus sudah dimulai pada mendudukkan Pancasila pada tataran way of life dan nation ideology sekaligus sebagai the margin of apprecition. Secara moral, pemaknaan nilai keadilan sosial memang dapat dilacak melalui Tap MPR No. II Tahun 1978 seperti telah dijelaskan di muka. Namun, di samping pemaknaan sila ke-5 diwujudkan dalam Tap MPR No. II Tahun 1978, pemaknaan terhadap keadilan sosial di bidang ekonomi dapat diperoleh pada Pasal 33 UUD NRI 1945 baik sebelum maupun pascaamendemen. Ada perbedaan yang cukup mendasar antara makna keadilan sosial dalam Pasal 33 UUD NRI 1945 sebelum amendemen dan setelah amendemen. Sebelum amendemen, keadilan sosial lebih diartikan pada pemaknaan sistem perekonomian yang bersifat sosiolis---atau lebih tepat dikatakan sosialisme Indonesia, sedangkan setelah diamendemen, makna keadilan sosial di bidang perekonomian lebih diarahkan pada pengertian yang bersifat neo-sosialisme Indonesia karena penambahan Ayat (4) pada Pasal 33 UUD NRI 1945. Pada Ayat (4) ini telah diintroduksi prinsip-prinsip baru sistem perekonomian ”liberal”--bukan lagi komunal---seperti demokrasi, efisiensi, kemandirian, dan sebagainya yang seringkali memarginalkan spirit kebersamaan sebagai esensi dari keadilan sosial. Sejarah manusia adalah perulangan gejala yang oleh pemikir ekonomi Hungaria, Karl Polanyi, disebut double movement.29 Artinya, ketika gerak sejarah berisi banyak proses yang mem-punyai kecenderungan menghancurkan mekanisme penyangga hidup bersama kita, pada saat yang sama berkembang berbagai gerakan untuk melakukan revitalisasi gugus penyangga hidup bers-ama tersebut. Beberapa orang memilih kembali ke doktrin di masa lalu, (baca: religi, tradisi) maka jadilah fundamentalisme, tetapi banyak pula gerakan yang secara genuine
26 MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
melakukan revitalisasi dengan inovasi. Salah satu di antaranya 30 menyangkut agenda bonum commune. Dalam periode satu dasawarsa ini, di berbagai pusat keunggulan akademis dunia berkembang pesat berbagai refleksi serius yang mempertanyakan kembali gerak tata ekonomi, finansial, politik, hukum, dan kultural yang dominan dewasa ini. Tata kehidupan tersebut mungkin menguntungkan, tetapi:31 1. Tidak menunjukkan ciri keberlanjutan (sustainable). 2. Ciri dan arahnya oligarkis, atau semakin terkonsentrasi di tangan sedikit orang. 3. Arahnya semakin ditentukan oleh mereka yang menguasai/mengontrol sumber daya finansial, dan akses bahkan pada kebutuhan mendasar hidup semakin ditentukan oleh daya beli dan kekuatan finansial. 4. Mekanisme distribusi kesejahteraan semakin tergantung pada agenda sejauh mana kinerja tatanan tersebut terlebih dahulu menguntungkan para pemilik/pengontrol sumber daya. 5. Karena itu bonum commune tidak lagi menjadi sesuatu yang dikejar secara intensional (intended good), tetapi hanya menjadi hasil-sampingan dari kinerja mekanisme di atas (unintended consequence). Berdasarkan lima sisi negatif (kerugian) dari sistem perekonomian kapitalistik tersebut di atas, menyadarkan kepada kita betapa penting keadilan sosial dijadikan pertimbangan utama. Keadilan sosial dapat ditempatkan sebagai modal sosial (social capital) untuk melakukan pembangunan di segala bidang, khususnya Reconstruction of Sosial Order, New York The Free Press, p. 194-211. 33 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial (Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hlm. 14. 34 Untuk Indonesia, sebetulnya masih memiliki ketersediaan air yang cukup berlimpah, yaitu rata-rata sebesar 15.500 meter kubik per orang per tahunnya--sembilan kali kebutuhan dasar hidup manusia. Lihat, Bulettin KruHA 2006, hlm. 2. 35 Raja Siregar, Privatisasi Air, dalam www.walhi.or.id tanggal 23 Agustus 2003 36 Lihat, Wayne Parsons, Op.Cit., hlm. 99. Bandingkan tiga ciri tersebut dengan Sanafiah Faisal, Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi, YA3, Malang, 1990,
KONSEP KEADILAN SOSIAL 27
dalam melakukan transformasi pendidikan hukum yang lebih bercorak kapitalistik. Bahkan, Francis Fukuyama32 menyatakan bahwa social capital sangat diperlukan bagi rancang bangun hukum yang akomodatif terhadap berbagai kepentingan, tak terkecuali kepentinagan yang bernuansa global. Sebagai negara hukum, Indonesia dapat mendayagunakan pendidikan hukum sebagai salah satu cara mengubah paradigma dan orientasi berpikir peserta didik untuk lebih peka atau sensitif terhadap nilai keadilan sosial. Membingkai proses pendidikan pengajaran, penelitian, dan pengabdian masya-rakat civitas academica di bidang hukum yang berbasis pada nilai keadilan sosial. Di sinilah tampak bahwa keadilan sosial perlu dijadikan basis politik hukum perubahan bagi sistem pendidikan hukum di Indonesia. Masalah keadilan sosial timbul dalam situasi yang oleh John 33 Rawls disebut circumstance of justice (COJ), suatu rumusan yang berasal dari David Hume. Hume sendiri menyebut COJ untuk meng-gambarkan bahwa keadilan baru merupakan keutamaan yang relevan (relevant virtue) hanya apabila terjadi kelangkaan dan orang-orang tidak spontan tergerak dalam ikatan emosional untuk mengulurkan bantuan. Prinsip keadilan Hume hanya berkaitan dengan situasi empiris transaksi antarindividual, sedangkan COJ Rawls adalah objective COJ, yaitu ”situasi normal konflik klaim di mana kerjasama antarmanusia mungkin dan perlu”. Pengertian keadilan berarti mengandalkan dua syarat, yaitu (1) adanya masyarakat, (2) adanya situasi kelangkaan wajar. Kita hanya bisa membicarakan adil jika yang disebut masyarakat itu memang ada. Pun tidak ada masalah keadilan untuk barang-barang atau nikmat yang mudah didapat dan berlimpahlimpah. Apakah air termasuk benda yang melimpah dan nikmat yang mudah didapat? Jawabnya bisa ”ya” bisa juga ”tidak”. Jawabhlm. 14-15. 37 Lihat, Sanafiah Faisal, Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi, YA3,
28 MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
an itu tergantung dengan pada situasi dan kondisi musim atau alam. Secara alamiah --sebagai negara kaya air terbesar kelima di dunia (curah hujan 2.799 mm/tahun)-- potensi SDA di Indonesia amat melimpah. Namun, sumber yang melimpah34 itu menjadi masalah karena distribusinya tidak merata sepanjang tahun sebagai akibat perubahan iklim global. Di samping itu, Indonesia perlu memperhatikan prediksi ilmiah yang mencuat dalam World Water Forum di Kyoto Jepang, Maret 2003, yang memaparkan bahwa 1 dari 5 negara berkembang akan mengalami kekurangan air pada 2030. Pada-hal, pada tahun itu kebutuhan air untuk pertanian akan meningkat 14%, bersamaan meningkatnya 60% kebutuhan pangan.35 Oleh karena itu, isu keadilan sangat penting diintegrasikan dalam penge-lolaannya. Pemahaman terhadap makna keadilan sosial dapat dibagi menjadi tiga tataran. Meminjam istilah dalam teori bekerjanya hukum yang dikemukakan oleh William J. Chambliss dan Robert B. Seidman, tataran pertama adalah pemaknaan oleh the policy maker/ law making institutions. Tataran kedua, pemaknaan oleh the law sanctioning institutions/law guardian institutions. Tataran ketiga ada-lah pemaknaan oleh role occupant. Pemaknaan terhadap fenomena keadilan dapat berbeda karena perspektif yang digunakan juga ber-beda. Bahkan, penafsiran dalam satu tataran dapat pula berbeda-beda. Misalnya, pada tataran law making institutions, fenomena ke-adilan sosial dapat diartikan lain antara para founding father dengan lembaga legislatif (DPR dan presiden) dewasa ini. Kualitas interaksi sosial di antara para stakeholders yang memaknai nilai keadilan sosial dalam ranah komunikasi di bidang ekonomi dan politik sangat menentukan ke arah mana keadilan Malang, hlm. 15. 38 Lihat pendapat Meltzer dalam Wayne Parsons, Op.Cit., hlm. 99. 39 Mariana Berbec Rostas, Clinical Legal Education, 1 (2005) 40 David McQuoid-Mason, Teaching Social Justice To Law Students Through Community Service-The South African Experience, 1-2 (2004)
KONSEP KEADILAN SOSIAL 29
sosial dimaknai. Apakah diarah-kan pada pencapaian kebahagiaan bersama atau hanya akan dijadi-kan simbol saja dan hanya menjadi unintended consequence. Studi masyarakat dalam pendekatan pragmatisme melibatkan pengkajian atas cara simbol-simbol dipakai dalam komunikasi dalam interaksi sosial. Untuk kepentingan pemahaman terhadap simbol-simbol perilaku yang digunakan oleh stakeholders dalam interaksi sosial, dapat dipakai teori interaksionalis simbolik. Blumer mengatakan bahwa pendekatan fungsionalis “interaksionalis simbolik” mengandung tiga premis utama.36 1. Manusia bertindak berdasarkan makna yang menurut mereka ada dalam sesuatu hal. Seseorang bertindak kadang hanya didasarkan pada yang mereka anggap ada pada sesuatu. Artinya, pada sesuatu itu ada makna, sesuatu itu sekadar simbol dari makna. Tindakan manusia ditujukan untuk mengejar makna itu sendiri (people do not can to ward thing, but to ward their meaning).37 2. Makna adalah hasil dari interaksi sosial. Makna tentang sesuatu berkembang dari atau melalui interaksi antarmanusia dalam kehidupan sehari-hari. Ini sejalan dengan arus perkembangan budaya itu sendiri sebagai suatu hasil saling membagi sistem makna (shared system of meanings). Maknamakna dimaksud dipelajari, direvisi, dipelihara, dan diberi batasan-batasan dalam konteks interaksi manusia. Dengan demikian, makna dapat menyempit, meluas, dan sesuatu dapat pula kehilangan makna karena perkembangan suatu interaksi sosial. 3. Makna dimodifikasi dan ditangani melalui proses interpretasi yang dipakai oleh individu dalam menghadapi ”tanda-tanda” (signs) yang dijumpai. Makna-makna dipegang, dijadikan acuan, dan diinterpretasikan oleh seseorang dalam berhubungan dengan sesuatu yang dihadapinya. Ia digunakan sebagai acuan untuk menafsirkan suatu situasi, keadaan,
41
F.Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif : Menimbang ‘Negara Hukum’ dan
30 MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
benda, atau lainnya dalam berbagai bidang kehidupan. Gambaran interaksionalis tentang manusia oleh Meltzer dapat dikatakan didasari oleh keyakinan bahwa:38 ”Individu dan masyarakat adalah unit yang tidak dapat dipisahkan... untuk memahami salah satu unit secara komprehensif juga memer-lukan pemahaman unit yang lain secara menyeluruh... Masyarakat harus dipahami dari segi individu yang menyusun masyarakat, individu harus dipahami dari segi masyarakat tempat di mana mereka menjadi anggotanya... Karena sebagian besar pengaruh lingkungan dirasakan dalam bentuk interaksi sosial, maka perilaku adalah sesuatu yang dikonstruksi dan bersifat sirkular, bukan bawaan dan bersifat lepas (released).
Melalui teori interaksionalis simbolik tersebut, dapat ditelusuri makna-makna tersembunyi di balik subjek dalam penegakan hukum. Makna apa yang ada di balik perilaku mereka? Perilaku subjek dalam penegakan hukum selalu ditentukan oleh berbagai disiplin mengenai mereka, yang oleh Chambliss dan Siedman dinyatakan sebagai hasil resultante. C. Pendidikan Hukum Berbasis Nilai Keadilan Sosial Hegemoni sistem pendidikan yang kapitalistik saat ini lebih mengedepankan konsepsi keadilan individu dan bersifat sangat formal. Aspek sosial yang lebih subtansial seringkali diabaikan dalam menilai keadilan dalam konteks pendidikan hukum. Model dan substansi pendidikan hukum seperti ini ternyata berimplikasi terhadap orientasi dan paradigma civitas academica di bidang hukum dalam memahami nilai keadilan. Keadilan dalam konteks pemahaman civitas academica di bidang hukum lebih dipahami dan dititikberat‘Ruang Publik’ Dalam Teori Diskursus Juergen Habermas’ 175-179 (2009) 42 Konsep dan indikator ini dibahas lebih lanjut dalam workshop reformasi pendidikan hukum di Makassar, 13-15 Maret 2009. Setelah ada penyempurnaan, konsep dan indikator ini dikonsultasikan dalam focus group discussion (FGD) tentang reformasi pendidikan hukum di empat kota, yaitu Makassar, Malang, Surabaya, dan Jayapura.
KONSEP KEADILAN SOSIAL 31
kan pada keadilan individual dan bersifat sangat formal sebagaimana telah ada dalam kontrak maupun perundang-undangan. Pemahaman yang sempit atas nilai keadilan sosial ternyata berimplikasi sangat luas terhadap proses pembentukan hukum serta perilaku hukum civitas academica. Keberpihakan dan kepekaan civitas academica terhadap nilai keadilan ternyata lebih bersifat sangat mekanik dan formalistik, bahkan acapkali mengabaikan aspek sosial yang lebih substansial. Dalam konteks ini tidak jarang civitas academica di bidang hukum kehilangan keberpihakan pada kelompok masyarakat marginal, bahkan lebih mengutamakan pada kepentingan pemodal. Agar civitas academica di bidang hukum tidak terjebak pada pemahaman yang sempit terhadap nilai keadilan sosial diperlukan sebuah perubahan yang mendasar di bidang pendidikan hukum dengan berbasis pada keadilan sosial yang merupakan social capital yang telah lama dimiliki oleh bangsa Indonesia. Untuk itu diperlukan berbagai parameter keadilan sosial dan berbagai strategi intervensi guna terwujudnya sistem pendidikan hukum yang berbasis pada nilai keadilan sosial. Keadilan sosial sebagai sebuah perspektif di dalam pendidikan tinggi hukum akan membawa manfaat tidak hanya untuk kalangan perguruan tinggi dan mahasiswa, tetapi juga untuk masyarakat yang merupakan user dari pendidikan tinggi hukum. Penelitian Ford Foundation menemukan bahwa kegiatan-kegiatan legal clinics, yang merupakan implementasi keadilan sosial di pendidikan tinggi hukum, mempunyai dampak positif terhadap pembangunan yang adil dan berkelanjutan. Begitu juga terhadap HAM, partisipasi masyarakat, dan tanggung jawab pemerintah seperti yang terjadi di negara-negara berkembang (Stephen Golub et all , 2003; 11). Ini berarti perspektif keadilan sosial memang dibutuhkan di dalam pendidikan hukum, terutama hubungannya dengan unsur ketiga Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu
32 MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
bahwa tidak cukup hanya membutuhkan kebebasan (freedom), akan tetapi juga harus diimbangi dengan kesejahteraan (welfare). Bahkan kemudian manusia tidak cukup hanya membutuhkan freedom dan welfare, akan tetapi juga membutuhkan kedamaian (peace) dan lingkungan hidup yang bersih, serta berkelanjutan (sustainable & healthy environment). Untuk mencapai kebebasan dan kesejahteraan, manusia juga membutuhkan kedamaian dan lingkungan hidup yang bersih dan sehat serta berkelanjutan. Dalam perspektif HAM, keadilan sosial tidak bisa dipisahkan dari kebebasan, kedamaian, dan lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan. Keadilan sosial diartikan distribusi yang adil atas kesehatan, perumahan, kesejahteraan, pendidikan, dan sumber daya hukum di masyarakat, termasuk jika perlu adanya tindakan afirmasi untuk distribusi sumber daya hukum tersebut terhadap disadvantages groups. Keadilan sosial lebih menekankan kepada kebutuhankebutuhan masyarakat (the needs of society), dibandingkan dengan keinginan masyarakat (wants of the society)40. John Rawls (1971: 303) memberikan penegasan disadvantages groups adalah the least well-off, yaitu mereka yang secara sosial ekonomi tidak mampu. Kita bisa melakukan identifikasi terhadap the least well-off, yaitu kelom-pok perempuan, anak-anak, difabel, masyarakat adat, dan kelom-pok-kelompok masyarakat lainnya secara sosial ekonomi tidak mampu/termarginalkan. Kelompok-kelompok inilah yang perlu mendapatkan perhatian khusus dari negara, karena kondisi riil mereka yang memiliki keterbatasan/hambatan atas akses distribusi yang adil atas sumber daya ekonomi dan hukum. Untuk itu perlu adanya tindakan afirmatif, yaitu diskriminasi positif untuk waktu terbatas yang diperlukan untuk mengangkat mereka ke dalam posisi yang sama dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya. 43
Mochtar Kusuma Atmadja, ”Pendidikan Hukum Indonesia – Penjelasan tentang
KONSEP KEADILAN SOSIAL 33
pengabdian masyarakat. Pendidikan hukum klinik (Clinical Legal Education/CLE) merupakan salah satu cara bagaimana keadilan sosial secara efektif dapat diaplikasikan ke dalam pendidikan tinggi hukum. CLE sendiri merupakan learning process di mana mahasiswa/mahasiswi fakultas hukum diberikan pengetahuan praktis (practical knowledge), keahli-an (skill), dan nilai-nilai (values) untuk memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat dan atas dasar nilai-nilai keadilan sosial dengan menggunakan metode pengajaran secara interaktif dan reflektif.39 Practical knowledge berkaitan dengan pengetahuan praktis mahasiswa tentang hukum [dalam arti yang luas] dan realitas sosial di masyarakat, skills berkaitan dengan keahlian mahasiswa seperti reading skills, litigation & non-litigation skills. Sementara values berhubungan dengan tanggung jawab profesional penegak hukum dan prinsip-prinisp keadilan sosial di mana mahasiswa juga harus memahami realitas sosial yang ada di masyarakat. Kata kunci untuk values dalam platform keadilan sosial adalah keberpihakan terhadap vulnerable groups/the least well-off/ disadvataged groups. Kompo-nen penunjang CLE adalah legal clinic atau sering disebut Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH/LBH Kampus). Legal clinic dijalankan oleh mahasiswa dengan supervisi dari dosen senior yang sudah berpengalaman di dalam praktik litigasi dan non-litigasi. Kegiatan yang paling utama dari legal clinic tersebut adalah pemberian bantuan hukum dan pendidikan hukum untuk the least well-off. D. Konsep dan Indikator Keadilan Sosial dalam Sistem Pendidikan Hukum Konsep keadilan sosial berkembang seiring dengan perkembangan hak asasi manusia (HAM) terutama pascaperumusan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob). Di dalam perspektif HAM, manusia menyadari
34 MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
Di sisi lain Rawls (1971:11) mencoba menawarkan konsep prosedural perumusan keadilan. Untuk menentukan apa yang adil di dalam masyarakat, setiap orang harus berada di posisi awal (original position) yang sama, dan keadilan itu ditentukan dari ketika setiap orang dalam kondisi tabir ‘ketidaktahuan’ (the veil of ignorance) di mana mereka tidak mengetahui status sosialnya di masyarakat, atau mereka tidak mengetahui tempatnya di masyarakat. Kondisi the veil of ignorance inilah yang mendorong setiap orang untuk merumus-kan apa itu keadilan di masyarakat, dengan menekankan kepada prinsip netralitas/ketidakberpihakan. Ketika masyarakat merumus-kan keadilan maka prosedurnya harus melalui hypothetical dan non-historical. Prinsip-prinsip keadilan yang dirumuskan dan diperoleh berdasarkan apa yang masyarakat setujui (hypothetical), dan bukan atas dasar yang telah masyarakat setujui sebelumnya (non-histo-rical). Kesepakatan keadilan tersebut tidak menjadikannya sebagai permasalahan. Inequalities hanya dapat terjadi jika benar-benar memberikan banyak keuntungan untuk kelompok-kelompok the least well-off. Juergen Habermas menajamkan konsep keadilan Rawls khusus dalam perumusan konsep keadilan di dalam posisi the veil of ignorance/netralitas para individu yang bersepakat merumuskan konsep keadilan. Keputusan individu tidak diambil secara sendiri, melainkan diuji sejak semula melalui diskursus praktis dengan orang lain [diuji secara intersubjektif]. Atau dengan kata lain ketidakberpihakan dalam perumusan konsep keadilan merupakan dari hasil komunikasi intersubjektif.41 Konsep keadilan Rawls secara sekilas membawa konsekuensi mendorong masyarakat untuk membuat kontrak sosial baik substansi dan proseduralnya dirumuskan dalam kondisi posisi awal setiap individu di dalam masyarakat, dan mereka harus melepaskan Kurikulum Tahun 1993”, dalam buku Konsorsium Ilmu Hukum, ”Pembaruan Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia dalam Menghadapi Tantangan Abad 21”, KIH, Jakarta, 1995.
KONSEP KEADILAN SOSIAL 35
semua status sosialnya yang melekat pada setiap individu. Di dalam masyarakat demokratis yang modern, salah satu bentuk kontrak sosialnya adalah konstitusi. Pembentukan konstitusi harus memasukkan nilai-nilai substansi keadilan sosial. Kegiatan workshop perumusan konsep dan indikator keadilan sosial yang diselenggarakan di Surabaya, 12-13 Februari 2009, telah berhasil merumuskan konsep keadilan sosial, yaitu “Suatu tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang majemuk yang mendistribusikan hak dan kewajiban yang setara terhadap individu atau kelompok sosial yang termarginalkan oleh sistem hukum dan sosial, secara efektif dan berkelanjutan”.42 Dari rumusan konsep yang telah dihasilkan, keadilan sosial setidaknya memiliki lima variabel, dan setiap variabel memiliki indikator. Lima variabel tersebut adalah. 1. Suatu tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang majemuk. 2. Yang mendistribusikan hak dan kewajiban secara setara. 3. Individu atau kelompok sosial yang termarginalkan. 4. Secara efektif, dan 5. Berkelanjutan. Perumusan konsep keadilan sosial ini bukanlah konsep yang baku, melainkan disesuaikan dengan kondisi sosial (kontekstual/ living documents). Perumusan konsep keadilan tidak berarti mengkesampingkan adanya perlakuan khusus untuk kelompokkelompok the least well-off. Penegasan perlakuan khusus untuk kelompok-kelompok the least well-off tersebut termasuk ke dalam pengertian mendistribusikan hak dan kewajibannya secara setara terhadap indi-vidu/kelompok. Pengertian kelompok ini juga termasuk kelompok-kelompok the least well off. Distribusi hak dan kewajiban merupakan kata kunci dalam perumusan konsep keadilan sosial. Distribusi tersebut menekankan 44
KHN, Laporan Penelitian Reformasi dan Reorientasi Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, KHN, Jakarta, 2004, hal. 16. 45 KHN, Ibid, hlm. 20
36 MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
pelaksanaannya harus setara (equal). Seperti yang telah dijelaskan di atas ketidaksetaraaan (inequalities) tidak bisa dibenarkan kecuali ketidaksetaraan tersebut lebih banyak menguntungkan/memberi manfaat untuk kelompok-kelompok the least well-off tersebut. Ini tidak lain dari sebuah bentuk diskriminasi positif yang harus dinikmati oleh kelompok-kelompok the least well-off. Penerima manfaat keadilan sosial (the beneficiary of social justice) adalah baik untuk individu maupun kelompok, lebih khusus lagi untuk kelompok-kelompok the least well-off. Untuk kelompokkelompok the least well-off itu membutuhkan perlakuan khusus untuk mencapai distribusi sumber daya secara adil. Kemudian akan sangat sulit dicapai distribusi sumber daya secara adil jika tidak ada perlakuan khusus terhadap kelompok-kelompok the least well-off tersebut. Keadilan sosial harus dibedakan dengan keadilan hukum (legal justice), karena keadilan hukum belum tentu menciptakan dan merupakan keadilan sosial. Menurut Soetandyo Wignjosubroto, dari aspek pembentukannya keadilan sosial lebih menekankan kepada konsensus masyarakat, sementara keadilan hukum lebih menekankan pada kodifikasi/unifikasi hukum. Di dalam perspektif keadilan hukum, tujuan hukum ditekankan untuk public order. Sementara keadilan sosial lebih menekankan pada living law. Pembedaan antara keadilan sosial dan keadilan hukum penting, mengingat kondisi riil di masyarakat sering kali keadilan sosial termarginalkan oleh keadilan hukum, khususnya terhadap kelompokkelompok the least well-off. Ketika terjadi pembentukan undangundang (UU) di tingkat negara, pembentuk UU sering sekali melupakan makna keadilan sosial itu sendiri. Sebagai adalah ilustrasi 46 Hasil rumusan pertemuan Dekan Fakultas Hukum Unair Surabaya, Dekan Fakultas Hukum Unibraw Malang, dan Fakultas Hukum Unhas Makassar di Surabaya, 17 November 2009. Komisi Hukum Nasional, Laporan Penelitian Reformasi dan Reorientasi Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, Jakarta, 2004.
KONSEP KEADILAN SOSIAL 37
pembentukan UU Anti Pornografi. Pembentukan UU tersebut melupakan esensi keadilan sosial di mana budaya di tingkat lokal dibentuk dengan konsensus sebagai sebuah identitas lokal termasuk dalam hal berpakaian, sementara negara bermaksud melakukan penyeragaman budaya berpakaian melalui UU Anti Pornografi. Di sinilah UU Anti Pornografi mengabaikan aspek keadilan sosial. Implementasi keadilan sosial di tingkat konstitusi bisa dilihat secara eksplisit di dalam beberapa pasal yang berkaitan dengan kesejahteraan, misalnya Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 menjelaskan, setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pasal 28 D ayat (2)UUD 1945 menjelaskan, setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan pekerjaan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, Pasal 28 H Ayat (1) UUD 1945, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang sehat dan baik serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, Pasal 28 H Ayat (2) UUD 1945 menjelaskan, setiap orang berhak mendapatkan ke-mudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Pasal-pasal di dalam konstitusi tersebut mencerminkan konstitusi kita memang dibentuk oleh founding fathers dengan nuansa keadilan sosial. Keadilan sosial tersebut harus memberikan manfaat, baik untuk individu/kelompok, terutama kelompok-kelompok yang selama ini termarginalkan/rentan menjadi korban pelanggaran HAM. Kemudian, hal yang paling penting di dalam keadilan sosial adalah keadilan substantif harus lebih didahulukan dibandingkan dengan keadilan prosedural. Ketika ada konflik antara keadilan sosial dan prosedural, kita harus mengedepankan keadilan substantif dibandingkan dengan keadilan prosedural. Berikut ini merupakan penjabaran variabel dan indikator keadilan sosial.
38 MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
1. Tatanan Kehidupan Masyarakat, Bangsa, dan Negara yang Majemuk Di dalam variabel ini terdapat beberapa indikator, yaitu adanya prinsip pluralisme, adanya prinsip inklusivisme, adanya prinsip toleransi, dan adanya prinsip koeksistensi. Masyarakat yang demokratis membutuhkan adanya kemajemukan (pluralitas) dalam berbagai hal, sebagai sebuah konsekuensi masyarakat yang beradab. Terdapat beberapa indikator di dalam sebuah masyarakat majemuk yaitu pluralisme, inklusivisme, toleransi, dan koeksistensi. Pluralisme lebih menekankan adanya pengakuan perbedaan di antara kelompok-kelompok agama, budaya, bahasa, gender, dan lain-lain. Perbedaan membawa konsekuensi untuk saling menghargai dan memahami perbedaan tersebut atau sering disebut dengan toleransi. Toleransi dan pluralisme berlaku tidak hanya eksternal di antara komunitas, tetapi juga di internal komunitas itu sendiri. Di dalam masyarakat majemuk tersebut juga membutuhkan inklusivisme di mana individu setiap komunitas dan antara komunitas harus hidup secara inklusif, dan eksklusivisme hanya diterapkan untuk hal-hal tertentu saja dalam kehidupan privat dari individu setiap anggota komunitas. Individu yang hidup di komunitas maupun antarkomunitas harus bisa hidup berdampingan (coexistence). Satu komunitas tidak bisa mengesampingkan komu-nitas yang lain, begitu juga individu di dalam komunitas tidak bisa dimarginalkan oleh individu yang lain. Di dalam kemajukan juga terkandung prinsip negara bangsa, di mana negara ada atas dasar kedaulatan rakyat, dan negara tidak didasarkan atas ras, etnis, agama, bahasa, budaya, dan nilai-nilai lainnya. Prinsip negara-bangsa ini sudah ditegaskan baik di dalam konstitusi maupun Pancasila. Prinsip negara bangsa adalah hal yang tidak bisa ditawa-tawar di dalam suatu masyarakat yang demokratis.
KONSEP KEADILAN SOSIAL 39
2. Distribusi Hak dan Kewajiban Secara Setara Di dalam variabel ini terdapat beberapa indikator, yaitu adanya kesadaran distribusi sumber daya alam secara adil, adanya politik afirmasi, adanya disentralisasi, adanya sistem sosial yang partisipatif, serta adanya pengakuan dan penguatan lembagalembaga lokal. Kesetaraan (equality) mempunyai dimensi kesetaraan atas kesempatan (equal opportunity) dan perlakuan (equal treatment). Kaitannya dengan distribusi keadilan, di mana distribusi hak dan kewajiban tersebut harus dilaksanakan atas dasar kesetaraan dalam hal kesempatan dan perlakuan. Kesetaraan kesempatan biasanya berkaitan dengan prosedural keadilan sosial, sementara kesetaraan perlakuan kaitannya dengan substansi keadilan sosial. Kesetaraan perlakuan dan kesempatan harus saling melengkapi. Untuk mencapai kesetaraan terdapat diskriminasi positif, di mana kelompokkelompok the least well-off berhak untuk memperoleh perlakuan dan kesempatan khusus karena mereka mempunyai hambatan dan keterbatasan dalam mencapai keadilan sosial. Perlakuan khusus tersebut berlaku untuk jangka waktu terbatas, dan tidak bisa diterapkan selamanya. Diskriminasi positif ini tidak melanggar prinsip kesetaraan dalam hal kesempatan dan perlakuan sepanjang diterapkan dalam jangka waktu tertentu, dan tidak ekstensif. 3. Individu atau Kelompok Sosial yang Termarginalkan Pada bagian variabel ini terdapat beberapa indikator, yaitu kelompok the least well-off, mereka yang tidak memperoleh akses ke sumber daya, dan kelompok minoritas. Di atas telah dijelaskan siapa itu yang disebut kelompok-kelompok the least well-off, yaitu mereka yang termarginalkan secara ekonomi dan sosial di masyarakat. Atau dikenal dengan istilah vulnerable groups, yaitu kelompok-kelompok rentan korban pelanggaran HAM. Vulnerable groups ini terdiri atas perempuan, anak-anak, difabel, masyarakat adat, masyarakat miskin, dan lain-lain. Kelompok-kelompok the
40 MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
least well-off inilah yang berhak atas perlakuan khusus dari negara. Dalam distribusi hak dan kewajiban, mereka merupakan the main beneficiary of social justice. Porsi implementasi keadilan sosial harusnya ditujukan lebih banyak untuk kelompok-kelompok the least well-off ini. Kelompok minoritas secara budaya, bahasa, etnis, agama, dan lain-lain harus mendapatkan perlakuan nondiskriminasi dalam mengakses distri-busi sumber daya. Kelompok minoritas ini merupakan bagian dari negara-bangsa. 4. Efektif Pada bagian variabel ini terdapat beberapa indikator, yaitu adanya jaminan hukum; adanya kapasitas individu, kelompok sosial marginal, dan negara; serta adanya kesesuaian kebutuhan individu dan kelompok marginal. Distribusi hak dan kewajiban harus dilaksanakan secara efektif. Ini mengandung pengertian distribusi hak dan kewajiban tersebut dilaksanakan secara optimal, yang bermanfaat untuk individu dan kelompok sehingga ada jaminan hukum, baik norma maupun penegakannya. Efektif juga mengandung arti bahwa baik individu maupun kelompok harus mempunyai kapasitas untuk mengakses distribusi keadilan sosial. Selanjutnya, di sisi lain negara harus mempunyai posisi kuat untuk mengimplementasikan tanggung jawabnya di dalam distribusi hak dan kewajiban tersebut. Tang-gung jawab negara tersebut meliputi pemenuhan, penghormatan, serta pelindungan hak-hak individu dan kelompok. 5. Berkelanjutan Pada bagian variabel berkelanjutan ini terdapat indikator, yaitu adanya jaminan hukum; adanya kapasitas individu, kelompok sosial, dan negara; adanya kesesuaian antara kebutuhan individu dan kelompok sosial marginal; adanya penghargaan terhadap kearifan lokal dan nasional; adanya keberpihakan pemegang
KONSEP KEADILAN SOSIAL 41
sumber daya terhadap individu dan kelompok sosial marginal; serta adanya konsistensi kebijakan dan implementasinya. Distribusi hak dan kewajiban atas individu dan kelompok harus berkelanjutan. Keadilan sosial perlu melihat keberlanjutan, di mana ada penghormatan terhadap kearifan lokal dan nasional, kemudian adanya keberpihakan pemegang sumber daya alam terhadap individu dan kelompok marginal, serta adanya konsistensi kebijakan dan implementasinya. Keadilan sosial tidak menegasikan eksistensi kearifan lokal dan nasional, di mana individu dan kelompok tidak melakukan perusakan terhadap lingkungan. Lingkungan merupakan bagian dari kehidupan individu dan kelompok. Terdapat kearifan lokal dan nasional yang mengakui keseimbangan ekosistem lingkungan. Hal tersebut harus dihormati oleh setiap individu dan kelompok. Selain itu, negara harus konsisten membuat kebijakan.
42 MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
BAB III VISI PENDIDIKAN HUKUM A. Orientasi Pendidikan Hukum Pendidikan hukum merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis bertangung jawab. Sedangkan tujuan penyelenggaraan pendidikan hukum seperti yang diuraikan dalam kurikulum 1993, yaitu memberikan dasar akademis atau teori hukum (legal theory), di samping berusaha menekankan aspek keterampilan hukum (legal skills) dan penguasaan hukum positif secara praktis sehingga kualitas lulusannya terjamin dan berdaya saing tinggi. Menurut Mochtar Kusuma Atmadja, pendidikan hukum sebagai bagian dari sistem pendidikan hukum nasional mengemban fungsi untuk membekali dan menyiapkan peserta didik dengan ilmu pengetahuan dan kemahiran hukum yang cukup, agar secara profesional mereka mampu merumuskan dan memecahkan berbagai kasus dan masalah hukum yang muncul dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Sebagai salah satu institusi hukum dari sistem hukum nasional, pendidikan hukum juga mengemban fungsi untuk memperkuat, memperbaiki, serta mengembangkan sistem hukum nasional itu sendiri melalui lulusan yang dihasilkannya.43
44 MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Komisi Hukum Nasional,44 bahwa ada dua mainstreams atau kelompok pendapat tentang orientasi pendidikan hukum. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa pendidikan tinggi hukum di tingkat sarjana adalah pendidikan akademik dan bukan pendidikan profesi. Sebagai pendidikan akademik, tidak mungkin para lulusannya akan siap mengemban profesi hukum. Sebagai pendidikan akademik, fokus pendidikan hukum adalah mengupayakan dan menyiapkan lulusannya agar menguasai ilmu pengetahuan, dengan penekanan pada aspek teori dan kognitif. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa pendidikan tinggi hukum strata 1 meskipun merupakan pendidikan akademik, tetapi kurikulumnya juga memuat mata kuliah yang melatih aspek kemahiran hukum kepada peserta didik. Pendapat ini sejalan dengan ketentuan normatif yang diatur dalam Kepmendikbud No. 0325/U/ 1994. Dalam keputusan ini disebutkan bahwa tujuan pendidikan tinggi program sarjana bidang ilmu hukum adalah menyiapkan pe-serta didik menjadi sarjana hukum yang memiliki kriteria sebagai berikut. a. Menguasai hukum Indonesia. b. Menguasai dasar-dasar ilmiah dan dasar-dasar kemahiran kerja untuk mengembangkan ilmu hukum. c. Mengenal dan peka terhadap masalah-masalah keadilan dan masalah-masalah kemasyarakatan. d. Mampu menganalisis masalah-masalah hukum dalam masyarakat. e. Mampu menggunakan hukum sebagai sarana untuk memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan dengan bijaksana dan tetap berdasarkan pada prinsip-prinsip Gagasan ini sebenarnya bukan hal baru, karena pada 1980-an telah muncul keinginan untuk mengembangkan pendidikan hukum klinik (clinical legal education) di fakultas hukum. Bahkan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran diberikan mandat oleh Dikti untuk mengembangkan jenis pendidikan ini melalui suatu proyek percontohan. Hal lain juga dapat dilihat melalui kurikulum inti tahun 1983, di mana mencantumkan “mata kuliah pembulat studi”, dan para lulusan diharuskan menyusun laporan
VISI PENDIDIKAN HUKUM 45
hukum. Terkait dengan masalah di atas, KHN menyatakan bahwa pen-didikan tinggi hukum di Indonesia saat ini seperti berada di persim-pangan jalan yang bercabang dua. Pertama, kearah jenis pendidik-an hukum yang memberi penekanan pada pengetahuan dan pena-laran akademik di bidang hukum, yang pada akhirnya menghasilkan lulusan yang memiliki pengetahuan mengenai substansi hukum positif yang sangat memadai namun tidak didukung dengan kete-rampilan profesional seorang ahli hukum (lawyering skills). Akibat-nya, para lulusan fakultas hukum akan membutuhkan serangkaian pendidikan lanjutan untuk mengisi kekosongan itu sebelum mereka dapat dianggap sebagai lulusan yang siap pakai untuk mengemban profesi hukum tertentu di dalam masyarakat. Kedua, ke arah jenis pendidikan hukum yang memberi penekanan pada kemampuan dan keterampilan profesional hukum, yang pada akhirnya akan menghasilkan lulusan yang memiliki penguasaan atas keterampilan profesional hukum walaupun mungkin tidak cukup didukung oleh pengetahuan tentang asas-asas hukum dan substansi hukum positif secara mendalam dan komprehensif. Tujuan dari jenis pendidikan hukum ini terfokus pada upaya untuk menghasilkan lawyers atau ahli-ahli hukum dalam arti yang lebih sempit (advokat, pengacara, konsultan hukum, hakim, jaksa), dan akan menuntut serangkaian proses pendidikan berkelanjutan (continuing legal education) untuk mendalami suatu bidang hukum tertentu sebelum mereka dapat menjadi ahli hukum yang berspesialisasi dalam bidang hukum tertentu.45 B. Visi Pendidikan Hukum Setiap organisasi membutuhkan visi, tidak terkecuali lembaga pendidikan hukum. Visi merupakan rumusan pernyataan yang ringkas dan padat mengenai cita-cita sebuah organisasi yang hendak dipelaksanaan bantuan hukum di pengadilan.
46 MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
wujudkan dalam kurun waktu tertentu. Dalam konteks kelembagaan, visi berfungsi ibarat kompas, yang akan memandu menunjukkan arah dan tujuan ke mana sebuah lembaga akan berjalan dan bermuara. Kesalahan dalam merumuskan visi akan berdampak buruk terhadap cita-cita yang hendak diwujudkan. Pada dasarnya, pendidikan hukum berdiri dan tegak di tengah-tengah masyarakat. Karenanya, keberadaan lembaga pendi-dikan hukum tidak dapat dilepaskan dari realitas masyarakat yang ada. Berbagai problem yang ada di masyarakat saat ini harus men-jadi concern pendidikan hukum apabila eksistensinya ingin tetap dihargai dan mendapatkan tempat di tengah masyarakat. Concern itu harus diwujudkan melalui berbagai kebijakan yang mengarah kepada perbaikan kualitas keluaran fakultas hukum. Kebijakan yang tepat sangat ditentukan oleh visi yang dirumuskan oleh lembaga pendidikan hukum. Oleh karena itu, dibutuhkan perumusan ulang terhadap visi pendidikan hukum yang lebih kontekstual dengan realitas masyarakat dan merupakan respons pendidikan hukum ter-hadap berbagai permasalahan yang ada. Visi pendidikan hukum di Indonesia harus diarahkan kepada perwujudan ”Ahli hukum yang bermoral dan memiliki visi tentang keadilan”.46 Dari rumusan visi ini setidaknya mengandung tiga variabel yang menunjukkan karakteristik keluaran fakultas hukum, yaitu seorang ahli hukum, bermoral, dan memiliki visi keadilan. Ketiga ka-rakteristik ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Proses penyelenggaraan pendidikan hukum harus diorientasikan dalam rangka mewujudkan cita ideal keluaran fakul-tas hukum tersebut. Karakteristik pertama keluaran fakultas hukum adalah menjadi seorang ahli hukum/jurist. Seorang ahli hukum/jurist harus memiliki pemahaman dan penguasaan yang baik tentang hukum. Komisi Hukum Nasional, Laporan Penelitian Reformasi dan Reorientasi Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 41-42. KHN, Ibid, hlm. 41-42.
VISI PENDIDIKAN HUKUM 47
Adanya penguasan yang baik ditandai dengan adanya pengetahuan terhadap asas-asas, kaidah-kaidah, dan atau norma hukum, baik pada level lokal, nasional, bahkan internasional. Penguasaan seorang jurist juga ditandai dengan adanya kemampuan melihat hukum secara sistemik, metodik, dan rasional. Dengan kemampuan ini, keluaran fakultas hukum diharapkan mampu menjawab berbagai permasalahan hukum dalam perspektif yang multidimensional. Keluaran fakultas hukum memiliki kemampuan menalar tatanan hukum yang berlaku, untuk mewujdukan cita ideal hukum yaitu keadilan. Selain itu, seorang ahli hukum/jurist harus memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan apa yang dipahami dan apa yang didapatkan dalam proses pembelajaran dalam kehidupan nyata. Seorang ahli hukum tidak hanya mampu memahami teksteks hukum secara normatif, tetapi lebih dari itu harus mampu menerapkannya dalam sistem sosial yang beragam. Kemampuan menerapkan hukum dalam masyarakat ini diperlukan, agar hukum hadir dan menjadi bagian dari pergulatan kehidupan masyarakat. Seorang ahli hukum/jurist harus memiliki kemampuan/kompetensi praktik dengan adanya keahlian dan keterampilan khusus. Hal lain yang harus diperhatikan oleh seorang ahli hukum atau jurist adalah adanya komitmen untuk menjaga dan memelihara kehormatan profesi hukum. Ahli hukum harus memiliki kesadaran etik terhadap profesi hukum, khususnya terkait dengan pembebanan profesi hukum sebagai profesi yang berorientasi pada upaya mewujudkan keadilan di dalam masyarakat serta profesi hukum sebagai profesi yang terhormat (officium nobile). Karakteristik kedua keluaran fakultas hukum adalah bermoral. Seorang ahli hukum yang bermoral memiliki kecenderungan terhadap yang hanif, berpihak kepada kebenaran, dan akan selalu mengedepankan nuraninya dalam merespons berbagai perma-salahan yang ada di tengah masyarakat. Dengan
48 MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
adanya kecen-derungan kepada yang hanif dan mengedepankan nurani, keluaran fakultas hukum akan selalu lurus dalam menjalankan profesinya dan menghindari tindakan-tindakan yang mengarah kepada penyalah-gunaan wewenang. Seorang ahli hukum yang bermoral akan me-ngedepankan norma-norma etika dan memiliki komitmen dalam penegakannya. Seorang ahli hukum yang bermoral, juga harus men-jaga konsistensi antara perkataan dan perbuatan (taat asas). Sebagai wujud dari sikap bermoral, seorang ahli hukum memiliki sifat malu yang tinggi dalam hal melakukan pelanggaran, baik etik maupun hukum. Karakteristik ketiga keluaran fakultas hukum adalah memiliki visi keadilan. Selain ahli dan bermoral, maka keluaran fakultas hukum harus memiliki visi tentang keadilan. Seseorang dianggap bervisi keadilan jika orientasi hidupnya diwarnai dengan nuanasa keikhlasan dan kejujuran. Seorang ahli hukum harus ikhlas dan jujur dalam menjalani profesinya, sehingga dengan itu dapat memperkuat profesionalisme. Visi keadilan juga termanifestasi dari sikap kritis terhadap hukum yang ada. Ada kesadaran bahwa hukum tidak selamanya aspiratif terhadap kebutuhan masyarakat dan mencerminkan rasa keadilan. Manakala ada benturan antara hukum dan rasa keadilan, maka rasa keadilan harus diutamakan. Selain itu, ahli hukum yang bermoral dan bervisi keadilan memiliki kepekaan sosial dan rasa empati. Kepekaan sosial adalah sikap kritis terhadap realitas sosial, dan segala bentuk kesewenangwenangan. Dengan kepekaan itu, sorang ahli hukum dituntut untuk dapat melakukan pembelaan terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang termarginalkan. Dengan adanya empati, seorang ahli hukum diharapkan mampu menyelami berbagai persoalan yang dihadapi oleh warga negara dan masyarakat.
VISI PENDIDIKAN HUKUM 49
BAB IV STRATEGI PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM A. Pembaruan Sistem Pendidikan dan Pengajaran 1. Kurikulum Aspek penting dalam pendidikan hukum adalah kurikulum. Kurikulum di dalamnya mengandung dua hal, yaitu substansi dan proses pengajaran. Substansi terkait dengan apa yang diajarkan, sedangkan proses terkait dengan metode atau dengan cara apa substansi itu disampaikan kepada mahasiswa. Kurikulum yang berlaku hingga saat ini adalah kurikulum yang tetapkan berdasarkan Keputusan Mendikbud No. 0325/U/1994 dan 056/U/1994 yang kemudian dalam perkembangannya mengalami sedikit perubahan pada 2000 dengan Keputusan Mendikbud No. 232/U/2000. Secara umum, kurikulum 1994 mengandung beberapa prinsip, di antaranya47 kurikulum pendidikan tinggi hukum terdiri atas kurikulum inti dan kurikulum institusional. Kurikulum inti meliputi beberapa mata kuliah yang wajib diajarkan secara nasional di semua fakultas hukum, yang jumlahnya berkisar antara 40-80% dari jumlah SKS yang ada. Sedangkan kurikulum institusional meliputi mata kuliah-mata kuliah yang jenis, susunan, dan bobot kreditnya 47 Komisi Hukum Nasional, Laporan Penelitian Reformasi dan Reorientasi Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, Jakarta, 2004.
52
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
dise-rahkan sepenuhnya kepada masing-masing fakultas hukum untuk merancang dan mengembangkannya, sesuai dengan keunikan masing-masing dan memperhatikan SDM. Berdasarkan kurikulum 1994, pendekatan yang digunakan bersifat content base dengan proses belajar yang bertumpu pada me-tode effective teaching dan transfer of knowledge. Sedangkan ber-dasarkan kurikulum 2000 bersifat competent based dengan proses belajar yang mengarah pada life-long learning. Kurikulum 1994 di-maksudkan untuk menyiapkan peserta didik menjadi sarjana hukum yang memiliki kemahiran/keterampilan hukum agar mampu meng-emban profesi hukum secara profesional, kompeten, dan bertang-gung jawab. Kurikulum 1994 menghapus jurusan dan mengganti dengan bagian, serta mengharuskan bagi fakultas hukum memben-tuk unit laboratorium hukum yang bertugas menyelenggarakan mata kuliah PLKH dan membina sistem pendidikan dengan pende-katan terapan. Terkait kurikulum pendidikan hukum yang selama ini menjadi acuan dalam proses pengajaran hukum masih mengandung kelemahan, sehingga menimbulkan permasalahan yang dapat berpengaruh terhadap target dari proses pendidikan itu sendiri. Secara kuantitas, mata kuliah yang diajarkan di fakultas hukum sangat banyak. Bahkan, ada kecenderungan untuk selalu menambah mata kuliah baru berdasarkan kebutuhan bagian. Banyaknya mata kuliah menyebabkan beban yang diterima mahasiswa menjadi lebih berat. Banyaknya tatap muka perkuliahan yang harus diikuti menyebabkan minimnya mahasiswa berinteraksi dengan realitas sosial. Beberapa mata kuliah yang diajarkan kepada mahasiswa sebenarnya cukup banyak yang mengulas atau bersentuhan dengan isu-isu keadilan sosial, baik langsung maupun tidak langsung. Mata kuliah tersebut potensial meningkatkan sikap kritis dan kepekaan mahasiswa. Hanya saja, dalam silabi yang menjadi acuan dalam pengajaran belum ada penajaman aspek-aspek keadilan sosial.
STRATEGI PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM 53
Penajaman perspektif keadilan sosial melalui silabi penting untuk dilakukan agar setiap pengajaran menggunakan pendekatan atau perspektif keadilan sosial, dan memudahkan untuk mengukur tingkat keberhasilan proses pengajaran yang berlangsung. Meskipun ada beberapa permasalahan dalam mengembangkan perspektif keadilan sosial dalam pendidikan hukum, sebenarnya ada juga peluang yang dapat dimanfaatkan. Peluang tersebut antara lain adanya otonomi fakultas untuk menentukan kurikulum. Dengan adanya otonomi, fakultas dapat menentukan kurikulum inti dan lokal sesuai dengan konteks lokal dan kebutuhan masyarakat. Untuk melakukan reformasi pendidikan hukum berbasis keadilan sosial, pintu utamanya adalah kurikulum. Hal ini karena kurikulum memegang peranan signifikan dalam proses dan metode pembelajaran. Melalui kurikulum dapat ditentukan ruang lingkup materi perkuliahan dan metode yang akan digunakan dalam melakukan transformasi pengetahuan kepada mahasiswa. Perlu ada pembenahan menyeluruh terhadap kurikulum yang saat ini menjadi acuan bagi penyelenggaraan pendidikan hukum. Pertama yang harus dilakukan untuk memperbaiki kurikulum adalah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kurikulum fakultas hukum. Evaluasi bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada dalam pelaksanaan kurikulum. Evaluasi ini sangat berguna untuk merancang kurikulum baru yang sejalan dengan visi dan orien-tasi pendidikan hukum yang hendak diwujudkan. Untuk itu, perlu dilakukan perubahan terhadap Garis Besar Rancangan Pembelajaran (GBRP) dan Satuan Acara Pembelajaran (SAP) yang berperspektif keadilan sosial. Idealnya, seluruh mata kuliah yang diajarkan di fakultas hukum memiliki perspektif keadilan sosial. Cakupan keadilan sosial sangat luas sehingga sangat memungkinkan untuk direfleksikan melalui berbagai materi perkuliahan. Hampir tidak ada bidang hukum
54
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
yang tidak terkait dengan aspek keadilan sosial. Namun, karena jum-lah mata kuliah yang diberikan cukup banyak, maka perlu dilakukan identifikasi pemilihan mata kuliah tertentu yang bersifat strategis dan sarat dengan muatan materi keadilan sosial. Dengan pilihan ini, di-harapkan proses transformasi perspektif keadilan kepada mahasiswa lebih berdampak signifikan. Ada beberapa mata kuliah yang cukup strategis membentuk perspektif mahasiswa, dan selama ini materi yang diajarkan juga sangat dekat dengan isu-isu keadilan sosial. Mata kuliah tersebut antara lain Pengantar Ilmu Hukum, Pengantar Hukum Indonesia, Pengantar Teori Hukum, Filsafat Hukum, Ilmu Negara, Hukum Adat, HAM, Hukum Lingkungan, Filsafat Pancasila, Sosiologi Hukum, Kriminologi dan Viktimologi, Perburuhan, dan lain-lain. Fakultas hukum dapat mengidentifikasi mata kuliah tersebut disesuaikan dengan kepentingan lokal masing-masing. Mata kuliah yang dipan-dang bersifat strategis perlu dilakukan penajaman aspek-aspek ke-adilan sosialnya. Selain pendekatan sebagaimana tersebut di atas, untuk memperkuat perspektif keadilan sosial adalah mengembangkan mata kuliah tersendiri. Akan tetapi hal ini harus melalui proses pertimbangan yang matang, dengan memperhatikan kuantitas mata kuliah yang sudah ada, dan kemungkinan peminatan mahasiswa terhadap mata kuliah ini. Pengembangan mata kuliah “keadilan sosial” yang berdiri sendiri akan terkendala dengan banyak jumlah mata kuliah yang ditawarkan, dan kemungkinan minimnya mahasiswa yang tertarik mengambil mata kuliah ini. 2. Metode Pengajaran Kurikulum yang baik belum menjamin penguasaan yang baik pula jika tidak didukung dengan metode pengajaran yang sesuai dan mendukung. Metode pengajaran dalam pendidikan hukum berpengaruh terhadap keluaran fakultas hukum, khususnya dalam
STRATEGI PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM 55
memahami aspek keadilan sosial. Metode pengajaran yang saat ini digunakan dalam proses pembelajaran hukum di Indonesia, lebih banyak menggunakan metode ceramah atau pola teaching. Pengajar dan peserta didik bertatap muka di ruang kelas, pengajar menyampaikan materi dan peserta didik menerima apa yang disampaikan pengajar. Dalam posisi ini, peserta didik lebih sebagai objek yang akan menerima berbagai ilmu dari pengajar, sehingga partisipasi dan peran aktif dari peserta didik sangat minim. Meskipun terkadang pengajar memberikan ruang untuk tanya jawab, proses itu tidak berpengaruh segnifikan, karena pengajar tetap sebagai pusat pembelajaran. Metode teaching yang selama ini banyak digunakan oleh para pengajar dianggap kurang efektif memberikan pembelajaran dan pemahaman yang utuh terhadap permasalahan hukum. Realitas menunjukkan, ada jarak yang cukup tajam antara hukum dalam buku dan hukum dalam kenyataan. Dengan metode teaching, mahasiswa hanya mengenal hukum secara teori dan minim pengalaman empirik. Padahal seorang sarjana hukum dituntut menguasai hal-hal yang bersifat teori maupun penyelesaian masalah yang bersifat empirik. Pengenalan lebih dini terhadap hukum yang bersifat empirik bertujuan untuk lebih mengenalkan peserta didik terhadap hukum dalam kenyataan, sehingga dapat meningkatkan kepekaan mereka dan melatih mahasiswa memecahkan masalahmasalah yang bersifat nyata, bukan rekaan atau khayalan. Dalam dunia pendidikan ada satu metode yang dianggap cukup efektif menanamkan nilai dan mentransformasikan pemahaman kepada peserta didik yaitu metode learning. Dalam metode ini, mahasiswa bukan hanya sebagai objek yang akan diberikan pengetahuan oleh pengajar, melainkan mahasiswa adalah subjek yang secara aktif dapat mengembangkan pikiran kritis terhadap hukum. Selain itu, pengajaran yang dilakukan tidak hanya dalam bentuk tatap muka di kelas, tetapi juga menggabungkan dengan
56
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
praktik atau analisis terhadap kasus-kasus konkret yang ada di masyarakat. Bahkan lebih jauh, mahasiswa dikenalkan dengan realitas hukum yang ada di masyarakat, baik melalui pengadilan maupun institusi sosial yang lain. Dalam metode learning, peran dari pengajar lebih sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran, sehingga hubungan yang dibangun antara pengajar dan peserta didik adalah hubungan yang setara dan interaktif. Selain pola relasi kesetaraan dalam proses pembelajaran hukum, yang juga penting adalah metode pembelajaran yang dilakukan. Banyak metode yang dapat digunakan oleh pengajar untuk mentransformasikan pemahaman hukum kepada peserta didik. Metode-metode tersebut di antaranya adalah bermain peran, simulasi, peradilan semu, praktik peradilan (mock trials), studi-studi kasus, small group discussions, debat, dan lain-lain. Ada keuntungan lebih jika metode ini diterapkan, di antaranya mahasiswa akan lebih mudah menyerap informasi atau pemahaman tentang hukum. Se-lain itu, beragamnya metode pengajaran juga akan mengurangi atau meminimalisasi kebosanan mahasiswa dalam mempelajari hukum. Meskipun metode ini sangat efektif untuk mengajarkan hukum, tetapi dalam pelaksanaannya memang tidak mudah. Ada beberapa hal yang menjadi hambatan sehingga sulit menerapkan metode ini. Hambatan itu di antaranya adalah tingkat pemahaman pengajar terhadap metode dan kemampuan menerapkannya dalam proses pembelajaran. Tidak banyak pengajar fakultas hukum yang memahami dan mampu menerapkan metode-metode alternatif tersebut. Untuk lebih meningkatkan kemampuan dalam pengajaran berbasis learning, perlu pemahaman pengajar fakultas hukum terhadap metode pengajaran tersebut. Oleh karena itu, perlu ada panduan atau manual yang dapat digunakan pengajar fakultas hukum dalam menerapkan proses pengajaran berbasis learning. Selain itu,
STRATEGI PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM 57
fakultas hukum juga dapat menyelenggarakan pelatihan yang dilakukan secara periodik bagi para pengajar, maupun membuat kebijakan yang mengharuskan dosen baru untuk mengikuti program pelatihan ini. Dengan pemahaman yang cukup tentang metode pengajaran berbasis learning, diharapkan proses belajar mengajar akan lebih dinamis. Hambatan lain terkait dengan jumlah peserta didik. Banyaknya jumlah peserta didik dalam satu kelas juga sangat menyulitkan pengajar menerapkan berbagai model atau metode pengajaran. Akhirnya, pilihan yang paling memungkinkan adalah metode ceramah dan tanya jawab. Agar proses pembelajaran berjalan efektif, dibutuhkan jumlah yang proporsional agar berbagai alternatif metode pengajaran dapat diterapkan. Idealnya peserta didik yang mengikuti mata kuliah dalam satu kelas antara 30-40 orang. Lebih dari itu, proses pembelajaran tidak akan efektif dan interaksi antara peserta didik dan pengajar menjadi minim. 3. Bahan Ajar Aspek lain yang juga tidak kalah pentingnya dalam proses pendidikan hukum adalah ketersediaan bahan ajar. Dalam proses pendidikan hukum, bahan ajar berfungsi sebagai rujukan bagi pengajar maupun peserta didik memahami secara utuh aspekaspek hukum yang diajarkan. Setiap materi yang disampaikan dalam perkuliahan membutuhkan bahan ajar. Untuk mewujudkan visi pendidikan hukum yang berorientasi pada keadilan, bahan ajar yang dipergunakan harus mengandung dan mencerminkan spirit atau nilai keadilan. Pada umumnya, bahan ajar yang saat ini dipergunakan oleh pengajar fakultas hukum belum sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan bahan ajar yang secara komprehensif menjelaskan aspek-aspek hukum secara utuh dan mengandung spirit keadilan. Literatur yang digunakan sebagai materi pembelajaran sedikit
58
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
sekali yang bermuatan keadilan sosial, sehingga diperlukan handbook yang secara khusus menjelaskan tentang keadilan sosial. Selain itu, materi yang ada didalamnya dapat diadopsi dan menjadi pers-pektif bagi mata kuliah yang diajarkan kepada mahasiswa. Hand-book menjadi bahan rujukan bagi dosen maupun mahasiswa, yang ingin mendalami keadilan sosial secara khusus. Konsep keadilan so-sial banyak diulas oleh buku-buku teks berbahasa asing dan sangat penting untuk diketahui oleh kalangan dosen maupun mahasiswa. Untuk lebih menyebarluaskan konsep keadilan sosial, maka perlu dilakukan penyediaan bahan dan penerjemahan bukubuku terse-but, sehingga mudah digunakan. 4. Pendidikan dan Latihan Kemahiran Hukum (PLKH) Pendidikan dan latihan kemahiran hukum merupakan bidang perkuliahan yang tercantum dalam kurikulum nasional tahun 1993. Diselenggarakannya Pendidikan dan Latihan Kemahiran Hukum, merupakan bagian dari strategi pendidikan hukum untuk memberikan dan membekali peserta didik dengan berbagai keterampilan, yang diharapkan dapat meningkatkan kapasitas peserta didik.48 Kurikulum nasional tahun 1993 juga menganjurkan diterapkannya pendidikan dengan pendekatan terapan dengan maksud agar mahasiswa memiliki pemahaman bukan hanya aspek teori tetapi juga praktis. Peserta didik diharapkan mampu menghubungkan antara hukum dan realitas masyarakat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN),49 jenis-jenis kemahiran hukum yang diajarkan di fakultas hukum dikategorikan menjadi dua, yaitu kemahiran hukum umum dan kemahiran hukum khusus. Kemahiran hukum umum meliputi aspek-aspek kemahiran hukum yang wajib dikuasai oleh semua peserta didik, terlepas dari apa pun jenis profesi hukum yang akan dipilih di kemudian hari. Tujuannya adalah memberikan dasar atau landasan bagi kemahiran hukum lanjutan yang sifatnya khusus
STRATEGI PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM 59
dan mutlak dibutuhkan. Jenis kemahiran ini juga biasa disebut dengan kemahiran hukum dasar. Berbeda dengan kemahiran hukum umum, kemahiran hukum khusus memiliki tujuan lebih spesifik. Kemahiran hukum khusus erat kaitannya dengan jenis profesi hukum seperti advokat, konsultan, notaris, hakim, atau jaksa. Kategori kemahiran hukum juga dikategorikan sebagai kemahiran hukum lanjutan, sehingga tidak semua alumni fakultas hukum harus menguasai kemahiran hukum khusus. Ada beberapa jenis kemahiran yang masuk dalam kategori kemahiran hukum umum yaitu kemampuan berpikir logis dan jernih, kemampuan melakukan analisis dan penalaran hukum, kemampuan berkomunikasi bahasa lisan secara jelas dan efektif, kemampuan berkomunikasi bahasa tulis secara jelas dan efektif, serta kemampuan melakukan penelusuran hukum/perundangundangan dalam konteks riset hukum. Sedangkan kemahiran hukum khusus meliputi, menggali dan mengumpulkan fakta hukum, mengiden-tifikasi masalah hukum berdasarkan fakta hukum, kemampuan me-wawancarai orang/klien, kemampaun bernegosiasi, kemampuan memberikan konsultasi, kemampuan menulis memorandum hukum dan/atau opini hukum, kemampuan melakukan teknik advokasi di depan pengadilan, kemampuan menyusun dokumen hukum yang berkaitan dengan prosedur beracara di pengadilan, kemampuan menyusun prosedur dan dokumen hukum yang berkaitan dengan metode alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, ke-mampuan merancang dokumen hukum kontrak, kemampuan me-rancang bentuk formal 48 Gagasan ini sebenarnya bukan hal baru, karena pada 1980-an telah muncul keinginan untuk mengembangkan pendidikan hukum klinik (clinical legal education) di fakultas hukum. Bahkan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran diberikan mandat oleh Dikti untuk mengembangkan jenis pendidikan ini melalui suatu proyek percontohan. Hal lain juga dapat dilihat melalui kurikulum inti tahun 1983, di mana mencantumkan “mata kuliah pembulat studi”, dan para lulusan diharuskan menyusun laporan pelaksanaan bantuan hukum di pengadilan. 49 Komisi Hukum Nasional, Laporan Penelitian Reformasi dan Reorientasi Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 41-42. 50 KHN, Ibid, hlm. 41-42.
60
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
akta notaris, kemampuan merancang undang-undang, dan kemampuan merancang produk hukum admi-nistrasi negara.50 Untuk mencapai target dari pendidikan kemahiran hukum dan pendidikan hukum terapan, maka dibentuk sebuah laboratium sebagai wadah khusus yang berada di bawah naungan fakultas hukum yang bertugas menyelenggarakan pendidikan kemahiran dan melakukan pembinaan dengan pendekatan terapan. Pada umumnya, laboratorium hukum ini memiliki 3 unit kerja, yaitu unit latihan kemahiran berlitigasi (hakim, jaksa penasihat hukum), unit kemahiran non-litigasi (negosiasi, mediasi, menyusun kontrak, legal drafting), dan unit latihan pemberian bantuan hukum orang miskin (legal aid). Pemberian mata kuliah yang bercorak kemahiran dan terapan ini sangat penting dan strategis untuk membentuk karakter dan orientasi mahasiswa, karena melalui mata kuliah ini mahasiswa dihadapkan pada persoalan nyata yang membutuhkan solusi. Namun dalam pelaksanaannya ternyata menghadapi banyak kendala. Salah satunya adalah hambatan ketersediaan sumber daya manusia. Tercapainya target, pemberian mata kuliah ini sangat ditentukan oleh kualifikasi pendidik yang bertanggung jawab membimbing dan menyampaikan materi. Pada umumnya, mereka yang menyampaikan tidak berdasarkan pengalaman, karena tidak menggeluti secara langsung profesi itu. Untuk lebih mengembangkan materi PLKH, perlu ada penataan menyeluruh terhadap penyelenggaraan laboratorium hukum, baik dari aspek struktur, sumber daya, maupun material yang dipegunakan dalam proses pembelajaran melalui laboratorium hukum. Sejauh mungkin pembelajaran dalam laboratorium hukum mendekatkan mahasiswa dengan kasus-kasus nyata yang sering dihadapi oleh masyarakat. Bahkan, peserta didik didorong menjadi aktor dalam menyelesaikan masalah itu, sehingga secara faktual 51
“Street Law : Pendidikan Hukum untuk Rakyat dan Mahasiswa”, Mitra Hukum,
STRATEGI PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM 61
peserta didik juga telah belajar secara langsung ikut memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. 5. Praktik Kerja Lapangan Praktik kerja lapangan menjadi salah satu program yang lazim dilaksanakan dalam pendidikan hukum sebagai bagian dari proses pendidikan dan pengajaran. Biasanya dilakukan melalui Kuliah Kerja Nyata (KKN) atau Program Kerja Lapangan (PKL). Intervensi terhadap kedua kegiatan tersebut sangat penting, mengingat strategisnya kegiatan itu bagi pembentukan karakter berpikir dan orientasi mahasiswa. Pergulatan dengan isu-isu aktual, bahkan nyata di masyarakat akan meningkatkan kepekaan mahasiswa pada persoalan sosial. Revitalisasi dapat dilakukan melalui perubahan model KKN dan PKL, dengan memasukkan dimensi-dimensi keadilan sosial dalam ruang kegiatan tersebut. Dosen pembimbing berperan penting dalam menjelaskan pentingnya perspektif keadilan sosial dalam menganalisis problem hukum tertentu. Semua bidang atau penjurusan hukum dapat dianalisis melalui perspektif keadilan. Keterlibatan mahasiswa dengan konsep maupun gagasan keadilan sosial, diharapkan mampu membentuk pola pikir yang lebih progresif dalam melihat hukum dan keadilan. Dalam penyelenggaraan pendidikan hukum dikenal istilah street law. Street law adalah program yang didesain untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap hak-hak hukum dan bagaimana mendapatkan bantuan untuk pemenuhan hak-hak tersebut. Pada umumnya street law memiliki beberapa tujuan, di antaranya adalah membantu orang biasa memahami bagaimana hukum bekerja dan bagaimana hukum melindungi mereka, menjelaskan apa yang diharapkan hukum untuk dilakukan orang dalam situasi tertentu, menjelaskan problem-problem hukum apa saja yang hendaknya diketahui agar dapat terlindungi, menunjukkan kepada orang
62
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
bagaimana menyelesaikan problem-problem hukum tertentu, mendorong toleransi dengan membuat orang berargumen dalam menghadapi pandangan-pandangan yang berlawanan, dan mendorong penggunaan penyelesaian sengeketa alternatif seperti negosiasi, mediasi, dan arbitrase daripada menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa.51 Mahasiswa yang mengikuti program ini diterjunkan langsung ke masyarakat guna mentransformasikan pemahamannya tentang hukum, dan pada sisi lain belajar untuk memecahkan masalah hukum yang dihadapi masyarakat. Pada umumnya, mahasiswa yang mengikuti program street law, diterjunkan ke sekolah-sekolah menengah atas untuk mengajar siswa-siswa SMA tentang hukum, hak asasi manusia, dan demokrasi. Sebagian dari mereka ada juga yang pergi ke lembaga pemasyarakatan untuk mengajar para tahan-an tentang hak-hak dan tanggung jawab hukum mereka, dan ada juga yang diterjunkan ke komunitas-komunitas yang rentan terha-dap pelanggaran hukum dan HAM, misalnya petani, buruh, nela-yan, kaum miskin kota, dan lain-lain. Dengan langsung hadir ke tengah masyarakat, mahasiswa belajar memahami bagaimana bekerjanya hukum dalam kenyataan, dan pada saat yang sama peserta didik dituntut memahami konteks masalah dan belajar memecahkan masalah itu. Seringnya peserta didik berinteraksi dengan problem hukum masyarakat akan melatih kemahiran dalam menganalisis permasalahan hukum dan meningkatkan kepekaan sosialnya. 6. Pendidikan Berasrama Sebagai upaya membangun watak dan karakter mahasiswa dengan menanamkan nilai keadilan sosial, dapat dipertimbangkan penyelenggaraan pendikan berasrama yang wajib diikuti oleh Edisi 3 September-Oktober 2009. 52 Soetandyo Wignjosoebroto, dalam Pradjarta Dirdjosanjoto, Penelitian Hukum
STRATEGI PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM 63
mahasiswa pada tahun pertama perkuliahan. Pendidikan berasrama merupakan model pendidikan yang meniscayakan adanya interaksi lebih intensif antara peserta didik dengan para pengajar. Ada beberapa tujuan pendidikan berasrama, di antaranya adalah sebagai media transisi seorang peserta didik memasuki perguruan tinggi yang menuntut kedewasaan dan kemandirian. Suasana pendidikan tinggi berbeda dengan SMA, sehingga dibutuhkan pemahaman yang utuh terhadap kehidupan perguruan tinggi. Se-lain itu, pendidikan berasrama pada tahun pertama pendidikan hukum bertujuan menumbuhkembangkan sikap toleransi dan empati, serta kemampaun manajerial. Dengan pola pendidikan berasrama ini, interaksi antara peserta didik dan pendidik sangat luas, sehingga memungkinkan bagi pendidik menanamkan berbagai nilai-nilai dasar dalam hukum, dan kaitannya dengan masyarakat. Dengan pola ini, maka mahasiswa dapat merefleksikan secara bersama setiap konsep-konsep dasar yang diperoleh di bangku perkuliahan dan merelevansikan dengan kenyataan yang ada. Agar pendidikan berasrama ini berjalan efektif, diperlukan sebuah konsep yang utuh meliputi sistem, struktur, dan manajemen SDM. 7. Program Continuing Legal Education (CLE) Continuing Legal Education (CLE) merupakan model pendidikan hukum khusus yang bersifat lanjutan dan melengkapi kebutuhan mahasiswa terhadap pemahaman hukum sebagaimana telah diajarkan dalam perkuliahan. Program ini bersifat sukarela untuk diikuti peserta didik, tetapi setelah mereka menyatakan kesediaannya mengikuti program ini, mereka terikat dengan ketentuan yang ada dalam pelaksanaan program. Ada beberapa pilihan tema yang dapat diberikan misalnya program pemahaman komprehensif tentang keadilan sosial. Program disusun untuk lebih memberikan perspektif dan pemahaman
64
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
kepada peserta didik tentang aspek-aspek keadilan sosial. Materi yang disampaikan keseluruhannya mengandung unsur-unsur keadilan sosial. Progam lain misalnya bantuan hukum. Program ini dapat diintegrasikan dengan penyelenggaraan bantuan hukum oleh lembaga konsultasi dan bantuan hukum yang ada di bawah fakultas hukum. Program ini bertujuan memberikan pembekalan kepada pe-serta didik tentang perspektif keadilan dan kemampuan praktis da-lam memberikan bantun hukum. Program diawali dengan seleksi, pendidikan bantuan hukum, dan dilanjutkan pemagangan dengan menangani kasus-kasus yang ada dilembaga konsultasi dan bantuan hukum. Agar program ini berjalan efektif, perlu disusun secara khu-sus silabi yang akan menjadi acuan dalam menjalankan program. B. Penguatan Sumber Daya Manusia 1. Rekrutmen Adanya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan merupakan upaya untuk meningkatkan martabat dan mutu pendidikan nasional. Kebijakan ini telah dan sedang ditindaklanjuti oleh seluruh penyelenggara pendidikan termasuk penyelenggara pendidikan hukum. Meskipun tujuan yang hendak dicapai sudah cukup jelas, tetapi jika tidak didukung dengan sistem dan fasilitas yang baik dan memadai, tujuan itu sulit tercapai. Jika sistem sudah tertata rapi dan fasilitas pendidikan tersedia lebih dari cukup, tetapi tidak dilaksanakan dalam suatu proses yang baik, maka tujuan pun tetap sulit tercapai. Proses hanya bisa terlaksana dengan baik, jika didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang cukup serta memiliki kemam-
STRATEGI PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM 65
puan dan keterampilan yang memadai. Berhasilnya proses pendidikan dan pengajaran hukum sangat ditentukan oleh sumber daya yang ada. SDM, khususnya tenaga pendidik sebagai tenaga profesional, berada pada posisi sentral dan strategis sebagai aktor utama dalam proses pembelajaran, bertanggung jawab terhadap terwujudnya tujuan pendidikan nasional. Salah satu aspek yang dapat meme-ngaruhi kualitas sumber daya manusia adalah proses rekrutmen. Persoalan yang ada saat ini adalah, dalam rekrutmen pengajar belum menjadikan pemahaman dan perspektif keadilan sosial se-bagai salah satu kriteria untuk menjadi pengajar di fakultas hukum. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan tentang tugas dosen yang harus diemban berdasarkan kedudukan, fungsi dan tujuan, perinsip profesionalitas, kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasinya. Namun kesemuanya itu masih dalam tataran normatif dan perlu dikem-bangkan baik dalam tataran substansial maupun teknis operasional, terutama dalam rangka pelaksanaan program pembaruan pendi-dikan hukum berbasis keadilan sosial. Tenaga pengajar, khususnya yang bertugas di lingkungan pendidikan hukum tidak cukup hanya dengan standar kualifikasi dan syarat yang bersifat umum, tetapi diperlukan spesifikasi khusus untuk mendukung program pendidikan hukum berbasis keadilan sosial. Ada beberapa hal yang perlu ditata dan dikembangkan sebagai upaya meningkatkan kapasitas sumber daya pendidik. Suatu proses menentukan hasilnya, begitu pula dalam proses rekrutmen pengajar di fakultas hukum. Proses dan mekanisme rekrutmen sangat menentukan keluaran fakultas hukum, karena dosen yang terpilih beertanggung jawab mentransformasikan berbagai pandangannya tentang hukum dan keadilan kepada mahasiswa. Oleh karena itu, penting menentukan tolok ukur dan standar dalam proses rekrutmen pengajar fakultas hukum.
66
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
Dalam merekrut calon dosen harus mempertimbangkan minat dari calon. Hanya dengan minat seorang tenaga pengajar dapat mencintai pekerjaannya sebagai pengajar, jujur dan tulus, serta bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas yang diamanatkan kepadanya. Selain minat, juga harus memperhatikan bakat, karena hanya dengan bakat seorang tenaga pengajar dapat memanfaatkan setiap instrumen pendidikan yang tersedia, mampu menciptakan kreasi baru sesuai kebutuhan berdasarkan situasi dan kondisi yang dihadapi untuk memudahkan tercapainya tujuan pembelajaran. Dua unsur ini saling bergantung satu sama lainnya karena minat saja tanpa bakat sama sulitnya (tidak bekerja) jika bakat saja tanpa minat, atau karena bersatunya “bakat dan minat” maka dosen dalam mengemban tugasnya selalu dipandang sebagai panggilan jiwa dan idealismenya. Seorang dosen harus memiliki kompetensi pedagogik. Seseorang diterima sebagai tenaga pengajar karena memiliki kapasitas dan kapabilitas mengelola (menyusun, merencanakan, melaksana-kan, dan mengevaluasi) pembelajaran peserta didik. Selain itu juga harus memiliki kompetensi kepribadian. Seseorang diterima sebagai tenaga pengajar karena berwibawa (berakhlak mulia, santun dalam berucap, bijak dalam bertindak) dan di mata mahasiswa adalah tela-dan. Seorang dosen juga harus memiliki kompetensi profesional, ya-itu seorang tenaga pengajar diterima karena memiliki kemampuan penguasaan dan pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap bidang ilmu hukum (materi bahan ajar) yang akan menjadi bidang tugasnya. Kompetensi sosial juga harus dimiliki seorang dosen yaitu seorang tenaga pengajar memiliki kemampuan mengenal dan memahami orang lain, pada saat yang sama ia pun mampu untuk dikenal dan dipahami oleh orang lain. Juga kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama dosen, orang tua atau wali peserta didik, dan masyarakat seki-
STRATEGI PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM 67
tar. Selain itu, juga kompetensi kemasyarakatan. Mereka terbiasa bersentuhan langsung dengan masyarakat, selalu ada hasrat untuk merasakan suka duka yang dialami dan dirasakan masyarakat, rasa keadilan masyarakat, dan ada ikhtiar melakukan kegiatan pemberdayaan (advokasi), serta melindungi hak dan kepentingan masyarakat. Seorang pengajar harus memiliki kemampuan umum, di mana tenaga pengajar sadar bahwa dalam hidup ini tidak ada yang berdiri sendiri. Segala sesuatu merupakan bagian dari sistem, dan antara elemen/unsur yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan termasuk hukum. Hukum bekerja tidak hanya ditentukan oleh ilmu hukum, tetapi juga ditentukan oleh ilmu lain. Seperti halnya norma hukum tidak akan bekerja dengan benar tanpa dukungan dari norma lainnya. 2. Pendidikan Prajabatan dan Supervisi Seseorang yang telah diterima menjadi pengajar di fakultas hukum tidak serta merta dapat langsung mengajarkan hukum kepada mahasiswa. Perlu proses pengenalan terhadap berbagai aspek terkait penyelenggaraan pendidikan hukum. Setidaknya ada dua program penting yang perlu dikembangkan dan harus diikuti oleh seorang pengajar baru, yaitu pendidikan prajabatan dan supervisi oleh dosen yang lebih berpengalaman. Pendidikan prajabatan harus diikuti oleh semua pengajar baru. Di beberapa fakultas hukum menyelenggarakan pelatihan pekerti sebagai pengganti Akta Mengajar V dan pelatihan Applied Aproach (AA). Kedua model pelatihan ini dilaksanakan oleh Lembaga Kajian Pengembangan Pendidikan, dimaksudkan untuk mem-perbaiki dan meningkatkan kompetensi pedagogik dan diperuntukkan bagi seluruh dosen. Juga dijadikan sarana untuk melakukan pembaruan sistem pembelajaran dari teaching ke learning dengan menggunakan model Student Center Learning (SCL).
68
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
Dalam pendidikan ini akan dikenalkan aspek-aspek mendasar dalam pendidikan hukum, termasuk di dalamnya metode peng-ajaran hukum. Setiap fakultas hukum telah memiliki prosedur dalam menyelenggarakan pendidikan prajabatan bagi dosen baru. Untuk meningkatkan perspektif keadilan dan kemampuan pengajaran yang berbasis learning diperlukan sebuah kurikulum yang menjamin tercapainya tujuan tersebut. Setelah mengikuti pendidikan prajabatan, program selanjutnya adalah program supervisi. Seorang dosen baru akan mendapatkan arahan dari dosen yang memiliki pengalaman lebih sebagai supervisor. Pada tahap awal program ini, dosen baru tidak langsung mengajar, tetapi mengikuti dosen supervisor untuk belajar dan mendapatkan pengalaman dalam proses pengajaran hukum. Dosen supervisor bertugas mendampingi dan memberikan sharing pengalaman dalam pengajaran hukum. Supervisor juga dapat memberikan kesempatan kepada dosen baru untuk mengajarkan topik tertentu, dan supervisor memberikan catatan terhadap proses pengajaran yang dilakukan. 3. Pendidikan Khusus/Keahlian Terwujudnya ahli hukum yang bermoral dan memiliki visi keadilan sangat ditentukan oleh kapasitas dan kemampuan pengajar. Kurangnya pemahaman pengajar terhadap konsep keadilan sangat berpengaruh terhadap hasil pembelajaran yang dilakukan. Pengajar kurang sensitif terhadap isu-isu konkret atau aktual yang relevan dengan permasalahan keadilan sosial. Berbagai perdebatan yang muncul dalam proses pembelajaran di dalam kelas kurang merefleksikan berbagai permasalahan yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengembangkan perspektif keadilan di fakultas hukum, yang utama harus mendapatkan perhatian adalah pengajar itu sendiri. Untuk itu, diperlukan pendidikan khusus yang dilakukan secara periodik maupun berjenjang terkait dengan
STRATEGI PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM 69
keadil-an sosial. Pendidikan ini harus diikuti oleh pemangku mata kuliah strategis di fakultas hukum yang sarat dengan nilai keadilan sosial. Diharapkan dengan pendidikan khusus ini, para pengajar memiliki paradigma yang baik tentang keadilan sosial, sehingga mampu mentransformasikan nilai-nilai keadilan kepada para peserta didik melalui proses pembelajaran. Seperti sudah disinggung dalam pembahasan terdahulu bahwa pola pengajaran yang banyak dilakukan oleh pengajar fakultas hukum masih sangat monoton melalui ceramah, dan sedikit tanya jawab. Pengajar hanya terpaku pada silabi dan materi yang harus disampaikan. Metode pembelajaran belum banyak menjadi concern para pengajar, padahal banyak metode yang dapat digunakan untuk lebih mendinamisasi proses pembelajaran. Monotonnya proses pembelajaran ini salah satunya disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan pemahaman pengajar tentang metode-metode alternatif yang dapat dipergunakan selama pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu, perlu ada pendidikan khusus tentang metode pembelajaran alternatif, yang pada umumnya berbasis learning. Program ini harus dilakukan secara rutin bagi para pengajar fakultas hukum. Selain kedua bentuk pelatihan di atas, pengajar fakultas hukum juga perlu mengikuti berbagai pelatihan atau kursus tentang hukum aktual dan berperspektif keadilan, baik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga dalam negeri maupun luar negeri. Pelatihan ini diperlukan dalam rangka peningkatan kapasitas dan updating terhadap perkembangan ilmu hukum yang ada di masyarakat, baik ditingkat lokal, nasional, maupun global. 4. Fellowship, Pemagangan, dan Studi Banding Banyak program yang dapat dimanfaatkan oleh para pengajar fakultas hukum untuk meningkatkan kapasitasnya. Banyak lembaga baik nasional maupun internasional yang menyediakan fellowship atau beasiswa penelitian. Program-
70
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
program itu perlu dimanfaatkan karena penting bagi pengajar bersangkutan untuk penguatan kapasi-tas dan bagi kalangan akademis, terutama mahasiswa untuk lebih memperluas informasi dan perspektif tentang perkembangan hukum. Berbagai hasil penelitian harus menjadi bahan diskursus dalam proses pengajaran. Selain fellowship, program yang juga strategis untuk meningkatkan kapasitas pengajar adalah program magang dan studi banding. Program magang dan studi banding pada dasarnya adalah program yang diperlukan untuk mempelajari dan berbagi pengalam-an tentang penyelenggaraan pendidikan hukum oleh berbagai insti-tusi, baik di tingkat nasional maupun internasional. Target pema-gangan dan studi banding adalah lembaga-lembaga pendidikan hukum yang telah eksis dan berhasil dalam menyelenggarakan pen-didikan hukum yang berorientasi pada penguatan HAM dan keadilan sosial. 5. Asosiasi Pengajar Fakultas Hukum Berbagai asosiasi yang mewadahi kalangan dosen banyak dibentuk. Pada umumnya asosiasi itu dibentuk berdasarkan pada kesamaan bagian atau mata kuliah yang diajarakan, misalnya hukum pidana, hukum tata negara, hukum dasar, hukum bisnis, dan lain-lain. Ada juga asosiasi pengajar yang dibentuk berdasarkan kesamaan paradigma dalam mengembangkan pandangan hukum tertentu, dengan tidak membatasi latar belakang mata kuliah yang diajarkan. Mereka bisa berasal dari bagian yang berbeda-beda. Mereka yang tergabung dalam berbagai asosiasi ini biasanya para dosen dari berbagai perguruan tinggi yang berbeda. Untuk pengembangan kapasitas, khususnya penguatan perspektif keadilan sosial, berbagai asosiasi ini strategis untuk dimanfaatkan. Melalui media ini, para pangajar dapat melakukan pembelajaran bersama melalui sharing informasi dan updating berbagai pemikiran dan perkembangan hukum yang ada. Diskursus yang
STRATEGI PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM 71
terjadi di antara para pengajar dapat langsung ditransformasikan kepada mahasiswa pada saat perkuliahan berlangsung. Selain asosiasi lintas perguruan tinggi, perlu juga dikembangkan media atau wadah yang dapat menampung berbagai diskursus di internal fakultas hukum. Wadah tersebut idealnya berbasis lintas mata kuliah yang ada dalam sebuah fakultas hukum. Persoalan yang saat ini terjadi adalah tidak adanya interaksi antara para pengajar dengan mata kuliah yang berbeda. Akibatnya, seorang dosen hanya memahami dan mendalami hukum dalam perspektif bidangnya saja. Padahal tidak ada hukum yang bersifat tunggal dan mandiri. Mata kuliah yang diajarkan membutuhkan perspektif dan pandangan dari mata kuliah yang lain. Setiap mata kuliah yang diajarkan di fakultas hukum selalu bertalian erat dengan aspek keadilan sosial. Oleh karena itu, memahami bidang lain, khususnya perspektif keadilan untuk memperkuat analisis bidang mata kuliah yang dipegang perlu dilakukan oleh setiap pengajar fakultas hukum. 6. Public Lecture Kuliah umum merupakan salah satu sarana yang cukup strategis untuk mengembangkan diskursus keadilan sosial dalam pendidikan tinggi hukum. Kuliah umum yang biasanya diikuti oleh civitas academica, baik dosen maupun mahasiswa menjadi ruang yang efektif mentranformasikan konsep dan gagasan keadilan sosial. Melalui media kuliah umum, diharapkan civitas academica dapat mengetahui berbagai perkembangan ilmu hukum, khususnya terkait dengan isu keadilan sosial. Kuliah umum hendaknya dilakukan secara rutin pada awal semester. Tema yang diangkat bisa beragam, sesuai dengan kebutuhan lokal masing-masing. Narasumber yang dihadirkan hendaknya ahli yang memiliki kompetensi di bidangnya, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.
72
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
7. Pendidikan Formal Jenjang pendidikan seorang pengajar sangat memengaruhi kualitas dan komptensinya dalam proses pengajaran. Oleh karenanya, setiap pengajar fakultas hukum hendaknya mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tinggi, baik yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri. Para pimpinan fakultas hukum perlu mendukug setiap upaya peningkatan jenjang pendidikan yang dilakukan oleh para pengajar fakultas hukum, dengan memfasilitasi pembiayaan mau-pun akses informasi beasiswa yang disediakan oleh berbagai lem-baga, baik yang berasal dari pemerintah maupun swasta, lembaga nasional maupun internasional. UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menentukan kualifikasi tenaga pengajar. Secara normatif ditegaskan bahwa yang dapat mengajar pada jenjang diploma dan sarjana (S1) harus berkualifikasi magister (S-2), dan untuk dapat mengajar pada program pascasarjana harus berkualifikasi doktor (S3). Untuk itu dosen yang telah diterima sebelum ketentuan ini tetapi masih berkualifikasi pendidikan sarjana (S1) diharuskan mengikuti pendidikan pascasarjana (S2 dan S3). C. Revitalisasi Kelembagaan 1. Pimpinan Fakultas dan Bagian Unsur kelembagaan yang paling vital bagi penyelenggaraan pendidikan hukum adalah pimpinan fakultas. Pimpinan fakultas pada umumnya terdiri atas dekan dan pembantu dekan. Dekan merupakan pimpinan dan penanggung jawab utama fakultas. Dekan biasanya dibantu oleh tiga pembantu dekan, yaitu pembantu dekan bidang akademik, pembantu dekan bidang administrasi umum, dan pembantu dekan bidang kemahasiswaan. Ketiga pembantu dekan bekerja berdasarkan tugas dan fungsi masing-masing. Di beberapa fakultas ada yang ditambah satu pembantu dekan yang bertugas menjalin kerjasama dan hubungan eksternal.
STRATEGI PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM 73
Untuk mengembangkan perspektif keadilan sosial, peran dan posisi dari pimpinan fakultas sangat penting, mengingat unsurunsur inilah yang memiliki wewenang membuat kebijakan di tingkat fakultas terkait dengan penyelenggaraan pendidikan hukum. Oleh karena itu, pemahaman pimpinan fakultas terhadap aspek keadilan sosial menentukan upaya pembenahan sistem pendidikan berbasis keadilan sosial. Perlu membangun kesamaan pandangan di antara pimpinan fakultas tentang arah dan orientasi pendidikan hukum yang hendak diwujudkan dan komitmen bersama dalam melakukan pembaruan pendidikan hukum. Selain pimpinan fakultas, unsur fakultas yang juga vital adalah bagian. Pada umumnya, bagian mempunyai tugas melakukan penataan, monitoring, dan evaluasi terhadap mata kuliah, dosen pengasuh mata kuliah, silabi, GBPP (SAP), buku ajar, pelaksanaan perkuliahan, evaluasi hasil belajar mahasiswa, dosen pembimbing tugas akhir, dan kuliah kerja lapangan (KKL). Selain itu, bagian juga bertugas membantu dekan dalam mengelola mata kuliah konsentrasi. Tugas bagian sangat penting, karena ruang lingkup tanggung jawabnya terkait dengan substansi hukum yang diajarkan kepada peserta didik. Bagian dan orang-orang di dalamnya menentukan karakteristik hukum yang akan berkembang dan memengaruhi orientasi maupun pandangan peserta didik terhadap hukum, kemasyarakatan, dan aspek keadilan. Oleh karenanya, untuk mengembangkan perspektif keadilan dalam pendidikan hukum, penting melakukan intervensi terhadap bagian-bagian yang ada di fakultas hukum. 2. Lembaga Penelitian dan Pusat Studi Dunia pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan aktivitas penelitian. Penelitian merupakan proses pemahaman yang dilakukan secara sistematis, konsisten, dan menggunakan metode tertentu. Pada umumnya kegiatan penelitian dilakukan oleh
74
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
lembaga peneli-tian atau pusat studi yang bernaung di bawah fakultas hukum mau-pun perguruan tinggi. Ada empat tipologi penelitian hukum, yaitu penelitian yang menginventarisasi hukum positif, penelitian yang berupaya menemukan asas-asas dan dasar falsafah hukum positif, penelitian yang berusaha menemukan hukum dalam kenyataan yang layak diterapkan untuk menemukan teori mengenai terjadinya proses, dan bekerjanya hukum dalam masyarakat.52 Tipe penelitian 1, 2, dan 3 merupakan studi doktriner yang mempelajari hukum sebagai “skin in system”, karena ketiganya meneliti hukum sebagai sistem hukum yang tertutup dan mandiri terlepas dari lingkungannya. Dengan kata lain, hukum dianggap sebagai fenomena normatif yang otonom. Sedangkan tipe penelitian yang keempat tidak memandang hukum sebagai sistem yang terisolasi, melainkan justru dalam interelasinya dengan subsistem sosial lainnya dalam satu makro sistem masyarakat. Hukum dipandang sebagai institusi sosial yang secara riil berkaitan dengan institusi sosial lainnya seperti agama, politik, ekonomi, dan lain-lain. Dalam hal ini hukum dapat dilihat sebagai salah satu variabel yang mandiri yang dapat berpengaruh terhadap berbagai aspek sosial atau sebagai variabel mandiri yang dapat dipengaruhi oleh variabel sosial lainnya. Studi ini merupakan studi nondoktriner yang bersifat sosiologis dan empiris.53 Untuk memperkuat perspektif keadilan sosial, penting membudayakan tipe penelitian nondoktiner yang bersifat sosiologis dan empirik. Penelitian merupakan kegiatan utama bagi dunia akademis, karena melalui aktivitas penelitian, ilmu hukum dapat berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat. Penelitian juga menjadi sarana pengembangan diri pengajar untuk lebih meningkatkan kapasitas intelektualnya dan sebagai instrumen mendiseminasikan gagasan dan konsep tentang hukum kepada masyarakat pada umumnya, dan kalangan akademis khususnya.
STRATEGI PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM 75
Strategisnya kegiat-an penelitian, maka penting untuk memasukkan perspektif dan nilai keadilan sosial dalam aktivitas penelitian hukum. Permasalahannya adalah, budaya penelitian di lingkungan fakultas hukum saat ini masih rendah. Aktivitas penelitian belum menjadi kebutuhan utama dalam menunjang proses pembelajaran di fakultas hukum. Kalau-pun ada aktivitas penelitian, pada umumnya penelitian masih meng-gunakan pendekatan hukum normatif dan belum menggunakan perspektif keadilan sosial. Penelitian hukum yang bersifat non-doktriner belum menjadi pilihan dalam proses penelitian. Permasalahan lain terkait dengan sumber daya penelitian. Sumber daya penelitian terkait dengan dukungan anggaran dan ketersediaan literatur yang menunjang proses penelitian. Penelitian merupakan kegiatan yang membutuhkan anggaran tidak sedikit, sehingga keberhasilan proses penelitian juga ditentukan besar kecilnya anggaran yang disediakan. Pada level nasional, sebenarnya banyak anggaran penelitian yang disediakan baik oleh negara maupun swasta. Hanya saja, anggaran penelitian banyak dialokasikan pada penelitian yang bersifat science, dan minim anggaran yang diberikan kepada bidang ilmu sosial, termasuk bidang hukum. Kenyataan ini menyebabkan semakin tidak berkembangnya budaya penelitian di fakultas hukum. Selain kebijakan penelitian yang tidak memihak bagi bidang ilmu sosial, anggaran yang diberikan sangat minim sehingga kurang memadai untuk memperoleh hasil penelitian yang maksimal. Lebih jauh, bidang penelitian yang dilakukan sudah ditentukan sedemikian rupa, dan seringkali kurang mengadopsi aspek-aspek yang terkait dengan keadilan sosial. Problem sumber daya yang lain adalah minimnya ketersediaan literatur. Terbatasnya literatur sebagai Sarana Pemahaman Keberadaan Hukum dalam Masyarakat, Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat FH UII Jogjakarta, 1982, hlm. 35 53 Ibid, hlm. 36.
76
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
menyebabkan terhambatnya proses transformasi gagasan melalui kegiatan penelitian. Sebuah penelitian seharusnya tidak hanya berhenti pada penelitian itu sendiri, tetapi perlu ada tindak lanjut hasil penelitian yang dapat berguna bagi masyarakat. Pada umumnya, hasil-hasil penelitian tentang hukum belum banyak dimanfaatkan untuk memperbaiki atau mengubah kebijakan hukum. Belum ada skema di fakultas hukum yang mencoba mengintegrasikan antara kegiatan penelitian dengan aksi nyata mendorong hasil penelitian menjadi kebijakan yang kongkret. Meskipun terdapat beberapa permasalahan, sejatinya ada peluang yang dapat dimanfaatkan untuk memperkuat perspektif keadilan sosial melalui penelitian. Peluang tersebut antara lain, tersedianya banyak sumber daya manusia di fakultas hukum yang dapat melakukan aktivitas penelitian. Sumber daya manusia yang ada juga didukung dengan banyaknya lembaga atau pusat kajian yang ada di bawah fakultas hukum maupun universitas. Selain itu, ruang lingkup ilmu hukum sangat luas dan mencakup banyak sektor sehingga dapat mempermudah bagi peneliti menentukan topik sesuai minat dan kompetensi. Kebutuhan terhadap hasil penelitian hukum sebenarnya sangat banyak, baik oleh instansi pemerintah untuk membuat kebijakan maupun masyarakat pada umumnya. Sehingga tidak perlu ada kekhawatiran, bahwa hasil penelitian tidak akan bermanfaat. Peluang kerjasama penelitian dengan lembaga eksternal sebenarnya sangat banyak, baik dalam negeri maupun luar negeri. Peluang itu harus bisa dimanfaatkan untuk lebih membudayakan kegiatan penelitian, utamanya penelitian nondoktriner. Agar budaya penelitian lebih berkembang di fakultas hukum dan dapat memperkuat perspektif keadilan perlu dilakukan upaya
54
Mardjono Reksodiputro, Laboratorium Hukum dalam Pembaruan system
STRATEGI PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM 77
strategis dan terencana, terkait dengan peningkatan budaya penelitian nondoktriner, dukungan pendanaan penelitian, peningkatan sumber daya manusia, dan pengembangan jaringan penelitian. Budaya penelitian yang berbasis keadilan sosial perlu dikembangkan di fakultas hukum. Fakultas hukum perlu lebih banyak memfasilitasi proses penelitian yang bercorak nondoktiner, sehingga berbagai pemikiran hukum dapat berkembang dengan baik. Untuk merangsang budaya penelitian ada beberapa strategi yang perlu dilakukan. Pertama, penghargaan terhadap hasil penelitian. Penghargaan tersebut dapat berupa perolehan kredit yang tinggi, sehingga me-macu inisasi kegiatan penelitian dan dapat meningkatkan karier se-bagai pengajar. Penghargaan juga dapat berupa kesempatan untuk mempresentasikan hasil penelitian dalam forum fakultas, nasional, bahkan internasional. Kedua, pemberian beasiswa penelitian secara periodik. Untuk merangsang budaya penelitian, fakultas perlu menyelenggarakan beasiswa penelitian bagi pengajar dan juga mahasiswa. Topik yang ditawarkan diupayakan selalu mengaitkan dengan aspek keadilan sosial. Ketiga, melibatkan mahasiswa dalam kegiatan penelitian. Lembaga penelitian atau pusat studi perlu melibatkan mahasiswa dalam aktivitas penelitian. Dengan keterlibatan mahasiswa ada dua keuntungan yang diperoleh, yaitu transformasi pengalaman dan pemahaman tentang substansi dan proses penelitian kepada mahasiswa, dan secara tidak langsung meringankan beban pengajar dalam melakukan penelitian. Aspek yang juga penting dalam mendukung budaya penelitian adalah pendanaan. Sebenarnya cukup banyak lembaga-lembaga baik nasional maupun internasional, negara maupun swasta yang menyediakan dana untuk kegiatan penelitian, termasuk di dalamnya isu hukum. Dana juga dapat diberikan untuk penelitian dalam rangka penyelesaian tesis maupun disertasi. Ada keterbatasan
78
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
informasi, sehingga kurang mampu mengakses dana tersebut. Fakultas hukum secara aktif perlu melakukan penggalangan dana tersebut dan menyalurkannya kepada pengajar maupun mahasiswa. Seperti pembahasan terdahulu, seringkali hasil penelitian yang dilakukan oleh pengajar hanya berhenti pada penelitian itu sendiri dan tidak ada tindak lanjut yang lebih kongkret. Untuk menjawab masalah ini, maka fakultas hukum maupun pusat studi atau kajian yang ada di fakultas hukum perlu memperkuat jaringan dengan berbagai kalangan yang berkepentingan dengan hasil penelitian. Pihak tersebut bisa dari kalangan lembaga negara, NGO, asosiasi profesi, baik yang bertaraf regional, nasional, bahkan internasional. Untuk melakukan advokasi hasil penelitian, secara khusus fakultas hukum dapat bekerjasama dengan NGO yang sudah terbiasa melakukan advokasi kebijakan. 3. Laboratorium Hukum Dalam sistem pendidikan hukum, laboratorium hukum merupakan wadah yang bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan kemahiran hukum dan melakukan pembinaan dengan pendekatan terapan. Tujuannya adalah menyiapkan peserta didik agar menjadi seorang ahli hukum yang profesional, dengan penguasaan kemahiran dan pengetahuan khusus tentang hukum. Bukan hanya itu, diharapkan melalui laboratorium hukum dapat membangun kesadaran kritis peserta didik terhadap hukum dan memiliki komitmen dalam penegakan keadilan dalam masyarakat. Pada hakikatnya laboratorium hukum dapat diibaratkan “jantung” dan “paru-paru” bagi proses reorientasi pendidikan hukum di Indonesia. Karena pentingnya kelembagaan ini, lembaga ini wajib dibentuk oleh setiap fakultas hukum dan menjadi salah satu alat akreditasi keberhasilan fakultas hukum bersangkutan dalan melaksanakan pembaruan pendidikan hukum.54 Dengan demikian,
STRATEGI PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM 79
keber-adaan laboratorium hukum ini sangat strategis dan menentukan potret fakultas hukum ke depan. Idealnya, laboratorium ini setidaknya memiliki tiga unit.55 1. Unit latihan dan kemahiran litigasi yang bertugas mempersiapkan peserta didik memahami pekerjaan seorang hakim, jaksa, dan penasihat hukum. 2. Unit latihan kemahiran nonlitigasi yang mempersiapkan peserta didik mempunyai kemahiran antara lain kemahiran bernegosiasi, menyusun kontrak, dan menyusun per-aturan perundang-undangan. 3. Unit latihan memberi bantuan kepada orang miskin atau unit bantuan hukum. Melalui unit ini peserta didik dilatih kemampuan dalam memberikan bantuan hukum sebagai cerminan keprihatinan dan kepedulian fakultas hukum ter-hadap mayarakat miskin. Dengan kegiatan ini diharapkan tertanam konsep pelayanan sosial dalam diri peserta didik. Dalam praktik, ada perbedaan dalam mengimplementsikan konsep laboratorium oleh setip fakultas hukum. Ada beberapa fakul-tas hukum yang menggabungkan tiga aspek kemahiran sekaligus, yaitu kemahiran litigasi, nonlitigasi, dan kemahiran dalam memberi-kan bantuan hukum. Ada sebagian fakultas hukum yang memisah-kan unit kemahiran bantuan hukum. Dalam perkembangannya, selain mewadahi ketiga unit tersebut, laboratorium juga diharapkan dapat meningkatkan kemahiran peserta didik dalam bidang penulisan hukum dan bahasa hukum. Penulisan hukum berdasarkan kurikulum nasional menjadi mata kuliah pembulat dan disebut skripsi yaitu karya tulis ilmiah yang memuat hasil penelitian tertentu yang ditulis untuk memperoleh gelar akademik. Setidaknya ada tiga aspek yang menentukan keberhasilan laboratorium hukum ini dalam menjalankan misinya, yaitu kuri-
80
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
kulum, sumber daya manusia, dan material bahan penunjang. Kurikulum terkait dengan struktur materi yang diberikan kepada peserta didik dan metode pengajaran yang digunakan. Sumber daya manusia adalah para pendidik yang bertanggung jawab terhadap setiap materi kemahiran yang diajarakan kepada peserta didik. Sumber daya manusia yang melaksanakan fungsi laboratorium ini harus memiliki kompetensi dalam bidangnya, berpengalaman, dan penguasaan metode pengajaran yang baik. Sedangkan material atau bahan penunjang terkait dengan ketersediaan alat-alat atau instrumen yang menjadi penunjang dalam proses kegiatan laboratorium hukum. Laboratorium hukum tidak selalu dalam bentuk ruang, tetapi dapat juga dalam bentuk keadaan sehingga suatu keadaan masyarakat, oleh dosen fakultas hukum harus dapat dijadikan bahan renungan dan berpikir untuk melahirkan pendapat hukum (legal opinion). Pusat dokumentasi dan jaringan informasi hukum yang berada di bawah naungan laboratorium hukum, oleh dosen harus dijadikan objek kajian untuk menguji berbagai macam teori hukum dengan fakta hukum yang terjadi dalam masyarakat. Melalui unit bantuan hukum, para dosen bersama mahasiswa perlu membentuk kelompok masyarakat (desa) binaan agar dalam jangka waktu tertentu masyarakat akan sadar dan mampu melaksanakan hak dan kewajiban hukumnya termasuk hak dan kewajiban sosialnya. Namun yang terpenting adalah, bahwa melalui kelompok masyarakat binaan ini dapat diakses berbagai macam informasi yang akan menjadi bahan penguat bahan ajar. Karena strategisnya laboratorium hukum, maka diperlukan penataan secara menyeluruh terhadap fungsi dan peran Pendidikan Hukum, dalam Konsorsium Ilmu Hukum, Pembaruan Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia dalam Menghadapi Tantangan Abad Ke-21, Jakarta, Konsorsium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 71. 55 Ibid, hlm. 73. 56 Program ini merupakan program kerjasama antara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Fakultas Hukum. Fungsi utama program ini adalah
STRATEGI PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM 81
laboratorium. Penatan dimulai dari kurikulum yang disampaikan, dan penguatan kapasitas penanggung jawab laboratorium hukum. Jika memungkinkan, laboratorium hukum dapat melibatkan tenaga-tenaga ahli dari luar fakultas hukum, untuk terlibat dalam pembinaan kemahiran hukum. Perspektif keadilan sosial harus menjadi spirit dalam penyelenggaraan laboratorium hukum ini, sehingga keluaran fakultas hukum memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap permasalahan yang ada di masyarakat. Butuh komitmen dari pimpinan fakultas hukum untuk mendukung program-program yang dilakukan laboratorium hukum. 4. Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Pengabdian masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan hukum. Salah satu lembaga pelaksana pengabdian masyarakat adalah Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LBH Kampus). Terkait dengan konsep dan implementasi pengabdian masyarakat, ada beberapa permasalahan yang mengemuka. Permasalahan tersebut terkait dengan model pengabdian masyarakat, penilaian terhadap pengabdian masyarakat, dan kapasitas lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi pengabdian masyarakat. Model atau metode yang banyak dikembangkan fakultas hukum dalam melaksanakan fungsi pengabdian masyarakat tidak banyak berkembang. Dari tahun ke tahun, kegiatannya hanya itu saja, dan yang paling banyak dilakukan dalam bentuk konsultasi dan bantuan hukum. Tidak berkembangnya metode pelaksanaan pengabdian masyarakat, menjadikan aktivitas pengabdian bersifat formal dan normatif, serta kurang menyentuh esensi pengabdian yang se-benarnya, yaitu pemberdayaan masyarakat terhadap hukum. Salah satu faktor yang menyebabkan kurang berkembangnya pelaksanaan pengabdian masyarakat di antaranya adalah minim-
82
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
nya penghargaan terhadap pengabdian masyarakat. Berbeda dengan kegiatan penelitian, bimbingan mahasiswa, dan lain-lain, yang dalam skema pendidikan hukum memperoleh kredit yang cukup baik. Pengajar yang melakukan fungsi pengabdian masyarakat tidak mendapatkan penghargaan yang selayaknya, terutama melalui kredit. Kondisi ini berimplikasi pada tingkat keterlibatan dan kesungguhan pengajar melaksanakan fungsi pengabdian masyarakat. Persoalan lain adalah orientasi dan penyelenggaraan lembaga pelaksana pengabdian masyarakat. Orientasi kelembagaan belum ditujukan untuk mendukung proses pendidikan dan pengajaran. Pada umumnya hanya melaksanakan kegiatan rutin dan berorien-tasi program. Proses pelembagaan belum berjalan baik, sehingga sistem organisasi belum tumbuh dalam lembaga-lembaga tersebut. Secara umum, eksistensi LBH Kampus cukup memprihatinkan terutama dilihat dari aspek orientasi dan kelembagaan. Ada beberapa permasalahan yang dihadapi oleh LBH Kampus, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Problem internal antara lain adanya perbedaan persepsi dalam melihat keberadaan LBH Kampus, sehingga menimbulkan orientasi yang kelembagaan yang kurang tepat. Anggaran juga menjadi permasalahan yang berkontribusi kurang efektifnya kerja-kerja pengabdian masyarakat oleh LBH Kampus, dan yang paling penting adalah keberadaan LBH Kampus belum menjadi bagian dari kurikulum pengajaran di fakultas hukum. Sedangkan problem eksternal yang memengaruhi kinerja dari LBH Kampus adalah adanya UU Advokat yang mengkriminalkan siapa saja yang memberikan bantuan hukum seolah lazimnya peng-acara. Meskipun pasal ini telah dimandulkan oleh MK, dalam praktik belum ada pemahaman yang utuh terhadap kebijakan ini, khsusus-nya aparat penegak hukum, sehingga LBH
STRATEGI PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM 83
Kampus kurang leluasa dalam memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang mem-butuhkan. Selain permasalahan, sebenarnya ada peluang yang dapat dimanfaatkan bagi fakultas hukum untuk mengembangkan pengabdian masyarakat, yaitu ketersediaan sumber daya manusia yang cukup, baik secara kuantitas maupun kualitas. Banyaknya sumber daya manusia yang memahami hukum dapat mendukung kerjakerja pengabdian kepada masyarakat, khususnya dalam memberikan penyuluhan dan bantuan hukum. Peluang yang lain adalah adanya SK MA yang memberikan ruang bagi pendidikan tinggi hukum untuk berpraktik di pengadilan, sebagai bagian dari proses pendidikan hukum. Untuk lebih meningkatkan peran fakultas hukum dalam pengabdian masyarakat, maka diperlukan strategi terencana sehing-ga eksistensi fakultas hukum betul-betul dirasakan oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang terpinggirkan. Strategi tersebut antara lain. Pertama, perlunya memberikan penghargaan terhadap kegiatan pengabdian masyarakat. Perlu ada kebijakan baru yang memberikan penghargaan lebih baik bagi kegiatan-kegiatan pengabdian masyarakat. Penghargaan tersebut dilakukan melalui peningkatan angka kredit maupun pemberian reward lain yang dapat merangsang civitas academica melakukan fungsi pengabdian masyarakat. Kedua, mengintegrasikan pengabdian masyarakat dalam kurikulum. Pengabdian masyarakat merupakan ruang bagi pengajar maupun mahasiswa untuk berinteraksi langsung dengan permasa-lahan hukum yang riil ada di masyarakat. Keterlibatan mereka dalam kasus-kasus konkret akan meningkatkan pemahaman hukum dan keahliannya dalam memecahkan permasalahan hukum. Pada sisi lain, persentuhan dengan kasus konkret akan mengasah kepekaan sosial dan pemahaman tentang pentingnya menjaga nilai dalam proses penegakan hukum. Agar
84
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
program pengabdian masyarakat ini bisa berdampak signifikan, terutama kepada mahasiswa, maka lazimnya kegiatan tersebut diintegrasikan dengan sistem kurikulum yang ada di fakultas hukum. CLE sebagai metode pembelajaran hukum selayaknya dikembangkan di fakultas hukum. Dengan di-integrasikan dengan sistem kurikulum akan meningkatkan keter-libatan mahasiswa, dan semakin baik bagi penguatan perspektif keadilan sosial bagi mahasiswa. Ketiga, perlunya penguatan kelembagaan LBH Kampus. Untuk meningkatkan kapasitas lembaga pengabdian masyarakat ada beberapa strategi yang perlu dilakukan. Terkait dengan LBH Kampus, perlu revitalisasi kelembagaan melalui peningkatan pemahaman tentang keadilan sosial, pembenahan kelembagaan baik sumber daya manusia, instrumen kelembagaan (SOP), maupun anggaran yang disediakan. Perlu kebijakan dari fakultas maupun universitas yang memberikan dukungan anggaran memadai kepada LBH Kampus. Dalam menjalankan fungsi pengabdian, diperlukan kreativitas dan inovasi sehingga metode pengabdian yang dijalankan dapat berkembang sesuai kebutuhan lokal. 5. Organisasi Kemahasiswaan Setiap fakultas hukum memiliki organisasi kemahasiswaan se-bagai media pembelajaran dan penguatan kapasitas mahasiswa. Lembaga-lembaga/organisasi mahasiswa yang ada juga melakukan berbagai kegiatan terkait dengan pengembangan pemikiran hukum, dan kegiatan lain terkait dengan isu ketatanegaraan dan kemasya-rakatan. Pada umumnya lembaga kemahasiswaan di tingkat fakultas terdiri atas Badan Eksekutif Mahasiswa, Badan Legislatif Mahasiswa, dan beberapa lembaga otonom seperti Asean Law Student Asso-ciation, Lembaga Pers Mahasiswa, Forum Kajian dan Penelitian Hukum, Law English Study Club, dan lain-lain. Kelembagaan mahasiswa ini sangat penting untuk
STRATEGI PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM 85
meningkat-kan kapasitas dan kepekaan mahasiswa terhadap berbagai persoal-an yang ada di masyarakat. Kelembagaan ini juga dapat melatih ke-disiplinan mahasiwa dan membentuk karakteter berpikir kritis ter-ha-dap realitas hukum yang ada. Sehingga perlu ada perhatian khusus terhadap perkembangan dan dinamika dalam penyelenggaraan lembaga kemahasiswaan. Aktivitas atau progam kegiatan lembaga kemahasiswaan perlu diarahkan pada program kegiatan yang ber-dimensi keadilan. Pembantu dekan yang bertanggung jawab terhadap kemahasiswaan, perlu secara khusus memberikan perhatian kepada organisasi kemahasiswaan dan menjadikannya mitra strategis dalam mewujudkan visi pendidikan hukum. D. Penguatan Informasi, Jaringan, dan Kerjasama 1. Perpustakaan Komunitas perguruan tinggi, termasuk di dalamnya fakultas hukum merupakan komunitas akademik, yang akan selalu berkecimpung dalam dunia pemikiran dan gagasan. Orang-orang yang terlibat di dalamnya, khususnya dosen adalah elite-elite terdidik, intelektual, dan ilmuan. Mereka bukan saja guru bagi peserta didik, tetapi juga seorang ilmuwan yang dituntut untuk membaca, menulis, dan meneliti. Sebagai seorang ilmuwan, karya-karyanya selalu ditunggu oleh masyarakat. Karya-karya kritis dan reflektif yang dapat menjadi inspirasi dan rujukan proses pembenahan sistem hukum dan kemasyarakatan. Bagi seorang ilmuwan, ketersediaan bahan referensi dalam bentuk buku, penelitian, jurnal, dan berbagai dokumen lain menjadi keniscayaan. Tanpa itu, pengembangan kapasitas seorang dosen dapat terhambat. Dalam posisi seperti ini, maka penting keberadaan perpustakaan di fakultas hukum yang menyediakan berbagai referensi hukum. Keberadaan perpustakaan bukan hanya untuk peningkatakan kapasitas dosen dan menunjang proses pem-
86
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
belajaran, tetapi juga sangat berguna bagi mahasiswa yang membutuhkan berbagai referensi hukum. Kenyataannya, tidak semua fakultas hukum memiliki perpustakaan sendiri, karena pada umumnya perpustakaan bergabung menjadi satu dengan universitas. Kondisi ini menyebabkan civitas academica kurang dekat dan familier dengan buku-buku yang diperlukan. Oleh karena itu, untuk mengembangkan perspektif keadilan sosial dalam pendidikan tinggi hukum, penting juga untuk dikembangkan perpustakaan yang keberadaannya di lingkungan fakultas hukum, bahkan jika dimungkinkan setiap bagian juga mengembangkan perpustakaan yang menyediakan referensi sesuai kebutuhan masing-masing. Perpustakaan hendaknya menyediakan berbagai referensi hukum pada umumnya, dan khususnya referensi yang berdimensi keadilan dalam bentuk buku, baik dalam maupun luar negeri, hasil penelitian, karya ilmiah, peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan dokumen-dokumen lain yang dapat menunjang kemajuan ilmu hukum. Perpustakaan juga perlu berlangganan jurnal-jurnal internasional, baik hukum, politik, maupun sosial yang dapat diakses oleh civitas academica. Untuk lebih membuka akses informasi perpustakaan bagi civitas academica, perlu dikembangkan sistem perpustakaan online, yang memungkinkan informasi buku diakses secara luas oleh masyarakat. Perlu juga dipertimbangkan membangun kerjasama perpustakaan lintas perguruan tinggi, dengan lembaga kemasyarakatan yang menyediakan perpustakaan, sehingga memperbanyak ketersediaan buku referensi yang dibutuhkan oleh civitas academica. Untuk membangun perspustakaan yang baik dan lengkap, ada dua kebutuhan yang harus dipenuhi, yaitu kapasitas pustakawan yang baik dan adanya dukungan dari fakultas hukum dengan mengalokasikan anggaran pembelian buku yang memadai. Untuk
STRATEGI PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM 87
penguatan kapasitas pustakawan, diperlukan pendidikan atau pelatihan bagi pustakawan untuk memahami sistem-sistem mutakhir keperpustakaan. Hal ini penting agar sistem pengelolaan perpustakaan dapat mengikuti perkembangan sistem teknologi informasi sehingga pengelolaannya dapat dilakukan lebih efektif. 2. Penerbitan Buku dan Jurnal Tradisi keilmuan, pada umumnya ditunjukkan dengan penerbitan buku. Untuk mengembangkan perspektif keadilan dalam pendidikan hukum, perlu diadakan penerbitan buku-buku yang berdimensi keadilan sosial, baik yang ditulis oleh ahli hukum atau sosial dalam negeri, maupun luar negeri. Penerbitan buku-buku yang berdimensi keadilan ini penting dilakukan untuk lebih memperkaya perspektif para pengajar hukum tentang keadilan sosial, sehingga hukum yang diajarakan kepada mahasiswa merupakan hukum yang dinamis, kontekstual dengan realitas masyarakat, dan lebih mencerminkan keadilan. Harapan lebih jauh, hukum hendaknya dapat menjawab berbagai permasalahan yang ada di masyarakat. Selain buku, penerbitan jurnal juga perlu dilakukan. Jurnal berfungsi sebagai wadah yang menampung berbagai pemikiran dari para akademisi. Melalui jurnal dapat dikembangkan berbagai diskursus tentang hukum dan masyarakat, khususnya pemikiran-pemikiran yang berdimensi keadilan. Target yang agak pragmatis, bahwa dengan adanya jurnal dapat menunjang karier para pengajar, karena mendapatkan kredit dengan menulis di jurnal. Hampir setiap fakultas hukum memiliki jurnal, tetapi jurnal yang banyak diterbitkan umumnya jurnal dengan ragam topik dan perspektif. Belum ada jurnal yang secara khusus mengembangkan diskursus keadilan sosial. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan penerbitan jurnal yang bertujuan mengembangkan diskurus keadilan sosial. Jurnal tidak membatasi topik tertentu, seluruh aspek
88
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
hukum dapat dimuat dalam jurnal asalkan menggunakan menggunakan pendekatan atau perspektif keadilan sosial. 3. Pertukaran Mahasiswa Pertukaran mahasiswa merupakan program pengiriman mahasiswa ke lembaga pendidikan hukum lain, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk jangka waktu tertentu. Program ini bertujuan untuk lebih mengenalkan peserta didik dengan berbagai tradisi dan pemikiran hukum yang lebih beragam. Dengan program ini mahasiswa dapat belajar langsung tradisi atau pemikiran hukum yang menjadi unggulan di lembaga pendidikan tersebut. Program ini juga bertujuan untuk membangun dan memperluas jaringan akademik dari berbagai perguruan tinggi, baik dalam maupun luar negeri. Fakultas hukum perlu merintis dan mengupayakan kerjasama ini, dengan terlebih dahulu merancang konsep dan rencana implementasinya. Pada tahap awal bisa diawali dari perguruan tinggi dalam negeri, dan diharapkan ke depan dapat dilakukan kerjasama dengan perguruan tinggi di luar negeri. 4. Kerjasama Sebagai bagian dari masyarakat dan bernegara, tercapainya visi pendidikan hukum juga dipengaruhi oleh faktor-faktor ekternal. Banyak kelembagaan eksternal fakultas hukum yang ikut menentukan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan hukum. Oleh karena itu, kerjasama dengan berbagai elemen di masyarakat, baik lokal, nasional, maupun internasional perlu dilakukan. Kerjasama dijalin dengan lembaga-lembaga pemerintah, swasta, maupun swadaya masyarakat. Di tingkat lokal, fakultas hukum pada umumnya memiliki hubungan baik dengan berbagai instansi pemerintah daerah, khususnya aparat penegak hukum, ikatan profesi dan juga lembaga
STRATEGI PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM 89
swadaya masyarakat. Jaringan yang kuat ini sangat bermanfaat untuk lebih mendekatkan mahasiswa dengan problem hukum riil yang ada dan meningkatkan kapasitas mahasiswa. Secara nasional, fakultas hukum juga memiliki jaringan yang kuat, baik antara penyelenggara pendidikan hukum maupun dengan lembaga-lembaga ditingkat pusat yang terkait dengan persoalan hukum. Di tingkat nasional ada forum dekan fakultas hukum universitas negeri. Badan koordinasi ini sangat penting, karena merupakan jaringan pimpinan fakultas hukum yang memiliki otoritas meng-ambil kebijakan di tingkat fakultas. Forum ini secara rutin melakukan evaluasi dan perencanaan terhadap kurikulum dan penyelenggara-an pendidikan tinggi hukum. Forum ini dapat dijadikan sebagai sarana transformasi ide dan saling pembelajaran antara perguruan tinggi negeri untuk memperkuat perspektif keadilan sosial. Pada level internasional, pada umumnya pendidikan hukum negeri memiliki jaringan yang kuat. Jaringan ini dapat dimanfaatkan untuk lebih me-ningkatkan kapasitas pengajar dan dalam rangka memperkuat perspektif keadilan sosial serta memperoleh berbagai referensi yang relevan dengan kebutuhan mahasiswa. Jejaring dengan pihak luar kampus, hasilnya juga harus digunakan untuk menunjang pengembangan kualitas lulusan. Semua hasil kerjasama dari seluruh lembaga yang ada di dalam fakultas, termasuk lembaga/organisasi mahasiswa, kerjasama dengan pihak lain dari dalam maupun luar negeri dikelola untuk mengembangkan dalam upaya meningkatkan lulusan pendidikan tinggi hukum yang profesional dan dapat mengembangkan ilmu hukum yang berperspektif social justice. Selain jaringan sesama penyelenggara pendidikan hukum, fakultas hukum juga memiliki jaringan yang kuat, baik dilingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun instansi pusat yang lainnya. Fakultas hukum seringkali dilibatkan dalam berbagai aktivitas yang
90
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
membutuhkan keahlian hukum di bidangnya. Hampir setiap fakultas hukum negeri memiliki fasilitas video conference yang dapat dijadikan sebagai sarana komunikasi maupun untuk memperkuat perspektif keadilan sosial melalui berbagai aktivitas bersama. Peristiwa penting yang terjadi di masyarakat merupakan bahan baku yang paling dasar bagi tenaga pengajar untuk mengembangkan bahan dan metode pegajaran hukum. Jaringan informasi adalah sarana untuk mengakses berbagai informasi yang diperlukan dengan memanfaatkan teknologi informasi, media (elektronik dan cetak), masyarakat lokal, nasional, dan internasional. Ada beberapa strategi yang perlu dilakukan untuk membangun dan menciptakan jejaring (networking) yang kuat. Perlu ada penguatan forum kerjasama antara dekan fakultas hukum. Melalui forum kerjasama ini diharapkan ada proses pertukaran informasi dan pengalaman, terutama mengenai hambatan maupun perkembangan yang dialami dalam pelaksanaan pendidikan hukum berbasis keadilan sosial. Forum ini juga penting untuk mendialogkan berbagai inisiasi dan perkembangan penyelenggaran pendidikan hukum. Selain itu, fakultas hukum perlu membentuk dan meningkatkan kerjasama dengan berbagai instansi pemerintah, swasta, asosiasi, dan lain-lain. Kerjasama perlu dijalin dengan pemerintah dan legislatif, baik di pusat maupun daerah. Kerjasama ini dimaksudkan tidak hanya untuk mengakses informasi legislasi, tetapi yang terpenting penyelenggara pendidikan hukum dapat melihat proses penyelenggaraan pemerintahan, pembentukan kebijakan, dan peraturan perundang-undangan. Dengan pengamatan secara langsung diharapkan dapat memahami permasalahannya, dan dapat memberikan masukan untuk penyempurnaan. Kerjasama juga perlu dilakukan dengan lembaga penegak 56
STRATEGI PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM 91
hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, organisasi advokat). Kerjasama ini dimaksudkan selain untuk memudahkan akses informasi, juga dapat melihat bekerjanya hukum dan mengetahui hambatan-hambatan yang ada, terutama terkait dengan penegakan dan pelaksanaan hukum. Sedangkan kerjasama dengan swasta dimaksudkan agar penyelenggara pendidikan hukum dapat mengakses berbagai informasi tentang kejadian/peristiwa di alami seperti tenaga kerja, perjanjian kerja, yang selanjutnya dapat dijadikan bahan/objek kajian akademik, yang hasilnya kembali kepada pihak-pihak terkait sebagai umpan balik dalam mengatasi permasalahan. E. Penguatan Kelembagaan Penjamin Mutu Lembaga penjaminan mutu diperlukan untuk memastikan agar seluruh kegiatan pendidikan dan pengajaran serta penelitian dan pengabdian kepada masyarakat berjalan dengan baik dan sesuai dengan visi pendidikan hukum. Kualitas penyelenggaraan pendidikan hukum mempunyai peran penting dalam menjaga keberlangsungan pendidikan hukum dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap masyarakat hukum. Lembaga penjaminan mutu ini berperan memonitor dan mengevaluasi penyelenggaraan pendidikan dan memberikan penilaian terhadap kelaikan institusi pendidikan. Semakin maraknya institusi pendidikan hukum beserta program-program khusus yang ditawarkan, semakin penting menempatkan peran lembaga penjaminan mutu. Di tengah persaingan yang semakin ketat, baik antarperguruan tinggi negeri maupun swasta semakin dirasakan pentingnya penjaminan mutu, agar keluaran fakultas hukum dapat terjaga kualitasnya. Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penjaminan mutu yang berbasis keadilan sosial. Pertama, diperlukan lembaga penjaminan mutu di tingkat
92
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
fakultas. Institusi ini akan menilai secara internal proses penyelenggaraan pendidikan hukum. Lembaga ini akan lebih memfokuskan pada penilaian terhadap kompetensi SDM dalam proses pembelajaran dan pemenuhan terhadap kebutuhan penyelenggaraan pendidikan hukum. Kedua, perlu penyusunan standar mutu dan standard operational procedure (SOP) sebagai pedoman penilaian kualitas pendidikan hukum yang berbasis keadilan sosial. SOP ini akan menjadi pedoman bagi penilaian terhadap peran dan aktivitas pendidikan dalam memperkuat dan mempromosikan prinsipprinsip keadilan sosial. SOP akan merumuskan variabel-variabel penting bagi pendidikan hukum yang memiliki perspektif keadilan sosial. Selain itu, perlu ada peningkatan pemahaman tentang keadilan sosial di kalangan asesor di lembaga penjaminan mutu. Hal ini penting agar asesor dalam melakukan penilaian juga memperhatikan implementasi prinsip keadilan sosial oleh pendidikan hukum. F. Penegakan Kode Etik Perilaku pengajar, sangat berpengaruh terhadap proses transformasi ide maupun gagasan tentang nilai hukum dan keadilan kepada mahasiswa. Oleh karena itu, penting bagi para pengajar memegang etika moral, baik dalam proses pengajaran maupun diluar proses pengajaran. Pengajar harus memiliki integritas pribadi yang kuat, artinya tidak mudah terpengaruh tetapi mampu memengaruhi, kesabarannya tak terbatas tetapi mampu berpikir cepat. mendukung MK dalam melaksanakan fungsi dan wewenangnya, khususnya dalam menyelesaikan perkara sengketa hasil pemilu. Alat ini digunakan untuk persidangan jarak jauh. Selain digunakan untuk persidangan jarak jauh, fasilitas ini dalam perkembangannya juga dapat dimanfaatkan oleh fakultas hukum maupun lembaga lain untuk menyelenggarakan kegiatan bersama, dan diikuti oleh fakultas hukum yang telah memiliki fasilitas ini.
STRATEGI PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM 93
Dalam melaksanakan tugasnya, pengajar harus penuh rasa tanggung jawab, karena pembelajaran bukanlah sekadar membuat mahasiswa berpengetahuan, tetapi lebih dari itu, pendidik harus menjadikan mahasiswa menjadi terpelajar (being educated) dan berakhlak mulia. Selain itu pengajar harus menjadi teladan dalam segala hal termasuk bermasyarakat dan harus jujur, terbuka, dan memberi tahu mahasiswa ke mana mereka harus melangkah menjadi terbaik dan terkemuka. Pengajar harus mengedepankan kejujuran, ketulusan, dan kelurusan logika berpikir, tidak sentimental dan fanatisme buta agar tertanam nilai sosial. Seorang pengajar juga harus mempu membangun kesadaran mahasiswa dan menumbuhkan kepekaan terhadap kebenaran dan keadilan sosial serta kesediaan menghentikan kezaliman. Pengajar harus berada dalam kegiatannya membaca, berpikir, merenung, berkata, dan berbuat untuk kepentingan mahasiswa, masyarakat dan bangsa, serta keadilan untuk semua sepanjang masa. Tidak mudah menjaga martabat dan kehormatan seorang pengajar, khususnya dalam pendidikan hukum. Dalam perjalanan, tidak jarang datang godaan yang dapat mengganggu integritas dan idealisme pengajar. Sebagai seorang ilmuwan, seharusnya dapat memegang teguh pendirian dengan berpijak pada independensi dan moralitasnya, sehingga sifat keilmuan yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan.
94
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
STRATEGI PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM 95
BAB V RENCANA PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM A. Pembaruan Sistem Pendidikan dan Pengajaran Dalam rangka pembaruan sistem pendidikan dan pengajaran, maka diperlukan beberapa kebijakan dan program sebagai berikut. 1. Pembaruan kurikulum pendidikan hukum berbasis keadilan sosial, dengan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap materi yang disampaikan dalam perkuliahan pendidikan hukum. 2. Menyusun silabi dengan melakukan penajaman aspek keadilan sosial terhadap materi-materi dasar dan materi lain yang berkaitan erat dengan isu keadilan sosial. 3. Mengembangkan metode pengajaran yang berbasis learning, dengan mengadopsi berbagai metode pengajaran yang lebih beragam. 4. Memperkuat kapasitas pengajar fakultas hukum dalam menerapkan metode pengajaran berbasis learning melalui pelatihan dan penyediaan buku panduan. 5. Mengevaluasi sistem perkuliahan dengan jumlah peserta didik yang terlalu banyak. Agar proses pengajaran berbasis learning ini berjalan efektif. Jumlah mahasiswa yang ideal adalah antara 30-40 orang per kelas.
98
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
6. Menyediakan bahan ajar yang dapat menunjang pemahaman para pengajar fakultas hukum terhadap aspek keadilan sosial dan penerapannya dalam masyarakat. 7. Melakukan evaluasi dan penataan terhadap mata kuliah pendidikan dan pelatihan kemahiran hukum, agar lebih efektif dan berpengaruh signifikan bagi pembentukan karakter peserta didik. Sejauh mungkin pembelajaran mata kuliah PLKH mendekatkan mahasiswa dengan kasus-kasus nyata yang sering dihadapi oleh masyarakat. 8. Melakukan revitalisasi model KKN dan PKL, dengan memasukkan dimensi-dimensi keadilan sosial dalam ruang kegiatan tersebut. Pendidikan hukum perlu mempertimbangkan pelaksanaan progam street law yang umum diselenggarakan oleh pendidikan hukum di berbagai negara. Progam yang didesain untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap hak-hak hukum dan bagaimana mendapatkan bantuan antuk pemenuhan hak-hak tersebut. 9. Pendidikan hukum perlu mempertimbangkan penyeleng-garaan pendidikan berasrama untuk tahun pertama bagi peserta didik. Pendidikan berasrama ini bertujuan mem-berikan landasan yang kokoh bagi peserta didik dalam mempelajari hukum di fakultas hukum. 10. Mengembangkan Continuing Legal Education sebagai model pendidikan hukum khusus yang bersifat lanjutan dan melengkapi kebutuhan mahasiswa terhadap pemahaman hukum sebagaimana telah diajarkan dalam perkuliahan. Ada beberapa pilihan tema yang dapat diberikan, misalnya program pemahaman komprehensif tentang keadilan sosial dan progam bantuan hukum yang diintegrasikan melalui LBH Kampus.
RENCANA PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM 99
B. Penguatan Sumber Daya Manusia Dalam rangka memperkuat sumber daya manusia dalam penyelenggaraan pendidikan hukum, diperlukan beberapa kebijakan dan program sebagai berikut. 1. Menyusun prosedur dan standar penilaian dalam proses rekrutmen pengajar fakultas hukum, dengan memasukkan unsur-unsur keadilan sosial di dalamnya. 2. Menyusun manual pendidikan prajabatan bagi calon pengajar fakultas hukum yang lebih mencerminkan nilainilai keadilan sosial dan pengenalan terhadap metode pengajaran berbasis learning. 3. Mengembangkan metode supervisi bagi calon pengajar fakultas hukum, yang efektif, akuntabel, dan berdimensi keadilan sosial. 4. Meningkatkan kapasitas pengajar fakultas hukum melalui berbagai pelatihan yang dapat menunjang proses pengajaran. Pelatihan itu di antaranya adalah pelatihan khusus tentang keadilan sosial dan pengajaran yang berbasis learning. Pelatihan juga dapat dilakukan untuk menajam-kan aspek keadilan sosial pada mata kuliah tertentu. 5. Menyelenggarakan program fellowship, pemagangan, dan studi banding. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pengajar fakultas hukum, khususnya perspektif keadilan sosial. 6. Membentuk dan memperkuat asosiasi pengajar fakultas hukum yang berbasis keadilan sosial. Keanggotaan asosiasi dapat berasal dari pengajar dengan mata kuliah yang berbeda. 7. Mengembangkan diskursus keadilan sosial di kalangan internal fakultas hukum dengan berbasis lintas mata
100
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
kuliah, sehingga terjadi interaksi di antara para pemangku mata kuliah yang berbeda. 8. Menyelenggarakan kuliah umum setiap awal semester yang mengangkat topik keadilan sosial atau fenomena hukum aktual. Narasumber bisa berasal dari dalam maupun luar negeri. 9. Memfasilitasi peningkatan kapasitas pengajar fakultas hukum melalui peningkatan jenjang pendidikan formal (S2 dan S3), baik dalam negeri maupun luar negeri. C. Reorientasi Kelembagaan Dalam rangka melakukan reorientasi kelembagaan dalam penyelenggaraan pendidikan hukum, maka diperlukan beberapa kebijakan dan program sebagai berikut. 1. Memperkuat kapasitas dan pemahaman pimpinan fakultas hukum dan bagian terhadap perspektif keadilan sosial. 2. Membangun kesamaan pandangan di antara pimpinan fakultas hukum dan bagian terhadap pentingnya perspek-tif keadilan sosial dalam penyelenggaraan pendidikan hukum. 3. Mengembangkan dan membudayakan penelitian hukum nondoktriner sebagai metode alternatif dalam tradisi penelitian di fakultas hukum. 4. Memfasilitasi penelitian-penelitian nondoktriner melalui penyediaan anggaran yang memadai. 5. Memanfaatkan berbagai hasil penelitian civitas academica untuk pengembangan diskursus dalam proses peng-ajaran dan menjadikannya acuan dalam mendorong perubahan kebijakan. 6. Melibatkan mahasiswa dalam program penelitian sebagai media pembelajaran dan transformasi
RENCANA PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM 101
7.
8. 9.
10. 11.
12.
pengalaman. Melakukan penataan secara menyeluruh terhadap fungsi dan peran laboratorium hukum. Penataan dilakukan terhadap struktur, materi, dan sumber daya manusia. Memberikan penghargaan melalui kredit yang memadai terhadap kegiatan pengabdian masyarakat. Mengembangkan metode CLE dalam proses pembelajaran hukum, dengan mengintegrasikan kegiatan bantuan hukum oleh mahasiswa dalam sistem kurikulum. Memperkuat kapasitas manajerial pimpinan LBH Kampus dan pemahamannya terhadap aspek keadilan sosial. Melakukan pembenahan terhadap LBH Kampus dengan memperbaiki sistem rekrutmen dan SDM, melengkapi instrumen kelembagaan (SOP), dan penyediaan anggaran yang memadai. Mengembangkan diskursus dan perspektif keadilan sosial kepada mahasiswa, melalui lembaga-lembaga kemaha-siswaan yang ada.
D. Penguatan Informasi, Jaringan, dan Kerjasama Dalam rangka memperkuat informasi, jaringan, dan kerjasama dalam penyelenggaraan pendidikan hukum, diperlukan beberapa kebijakan dan program sebagai berikut. 1. Membentuk dan mengembangkan perpustakaan di tingkat fakultas yang menyediakan berbagai referensi hukum yang dibutuhkan oleh civitas academica. 2. Mengembangkan sistem perpustakaan secara online dan menjalin kerjasama dengan perpustakaan lain dalam menyediakan bahan referensi. 3. Memfasilitasi penyediaan karya ilmiah melalui langganan jurnal, baik nasional maupun internasional, bidang hukum maupun nonhukum.
102
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
4.
5. 6.
7. 8.
9.
Memfasilitasi penerbitan buku-buku berdimensi keadilan sosial, baik yang ditulis oleh penulis dalam negeri maupun luar negeri. Membentuk dan menerbitkan jurnal yang khusus mengembangkan diskursus keadilan sosial. Mengembangkan progam pertukaran mahasiswa, baik antarfakultas hukum di dalam negeri maupun dengan fakultas hukum di luar negeri. Memperkuat jaringan atau forum antardekan fakultas hukum, baik regional, nasional, maupun internasional. Menjalin kerjasama dengan aparat penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan advokat untuk mendapatkan akses informasi terhadap dokumen hukum dan membuka kemungkinan mahasiswa berpraktik dalam proses penegakan hukum. Menjalin kerjasama dengan instansi pemerintah, baik di daerah maupun pusat, dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang concern pada penguatan HAM dan keadilan sosial.
E. Penguatan Kelembagaan Penjamin Mutu Dalam rangka memperkuat kelembagaan penjamim mutu dalam penyelenggaraan pendidikan hukum, maka diperlukan beberapa kebijakan dan program sebagai berikut. 1. Membentuk dan mengembangkan lembaga penjamin mutu di tingkat fakultas, bahkan jika dimungkinkan pada bagian. 2. Menyusun standar mutu dan standard operational procedure (SOP) sebagai pedoman penilaian kualitas pendidikan tinggi hukum yang berbasis keadilan sosial. F. Penegakan Kode Etik
RENCANA PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM 103
Dalam rangka penegakan kode etik dalam penyelenggaraan pendidikan hukum, maka diperlukan beberapa kebijakan dan program sebagai berikut. 1. Mengembangkan standar etika bagi civitas academica yang berbasis keadilan sosial. 2. Mendorong civitas academica menjunjung tinggi kode etik dan proses penegakannya.
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pendidikan hukum memiliki kontribusi besar terhadap buruknya sistem dan pelaksanaan hukum di Indonesia. Hal itu disebabkan karena pembuatan kebijakan hukum dan pelaksanaannya di berbagai bidang dan level banyak melibatkan orang-orang hukum. 2. Keadilan sosial sebagai sebuah perspektif di dalam pendidikan hukum perlu dikembangkan untuk memperbaiki keluaran fakultas hukum. Pengarusutamaan keadilan sosial ini akan membawa manfaat tidak hanya untuk perguruan tinggi dan mahasiswa, tetapi juga untuk masyarakat sebagai user dari keluaran pendidikan hukum. 3. Visi pendidikan hukum di Indonesia harus diarahkan kepada perwujudan ”Ahli hukum yang bermoral dan memiliki visi tentang keadilan”. Dalam rumusan visi ini setidaknya mengandung tiga variabel yang menunjukkan karakteristik keluaran fakultas hukum, yaitu seorang ahli hukum, bermoral, dan memiliki visi tentang keadilan. 4. Upaya pembaruan pendidikan hukum berbasis keadilan sosial perlu dilakukan dengan melaksanakan beberapa strategi di antaranya pembaruan sistem pendidikan dan pengajaran, penguatan sumber daya manusia, reorientasi
106
MENGAJARKAN HUKUM YANG BERKEADILAN
Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial
kelembagaan, penguatan informasi-jaringan-kerjasama, penguatan kelembagaan penjamin mutu, dan penegakan kode etik. B. Rekomendasi 1. Karena begitu banyaknya strategi yang akan dilakukan dalam mendorong pembaruan pendidikan hukum, maka masing-masing penyelenggara pendidikan hukum perlu menentukan prioritas di antara strategi yang ada. Yang cukup penting dan strategis untuk menjadi prioritas adalah pembaruan sistem pendidikan dan pengajaran, serta penguatan kapasitas pengajar fakultas hukum terhadap perspektif keadilan. 2. Untuk mengevaluasi dan menjamin pelaksanaan rencana aksi pembaruan pendidikan hukum berbasis keadilan sosial ini diperlukan evaluasi dan perencanaan secara reguler dari pimpinan fakultas hukum.