PG-186
0090: Yusrizal, dkk
PENGARUH PENGGUNAAN KOMBINASI PROBIOTIK DAN PREBIOTIK (SIMBIOTIK) BUNGKIL INTI SAWIT (BIS) FERMENTASI TERHADAP PENURUNAN EMISI AMONIA FESES, STATUS KESEHATAN DAN PERFORMANS AYAM PETELUR Yusrizal1), Noverdiman1), Fahmida Manin1), dan Yatno1) 1)Fakultas Peternakan Universitas Jambi Jl. Raya Jambi-Ma. Bulian Km 15, Kampus Mendalo Darat, Jambi
Disajikan 29-30 Nop 2012
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh penggunaan kombinasi probiotik dan prebiotik (simbiotik) bungkil inti sawit (BIS) fermentasi dalam menurunkan amonia feses, status kesehatan dan performans ayam petelur. Penelitian ini dilakukan dua tahap. tahap pertama merupakan aplikasi langsung (direct application) sinbiotik BIS fermentasi pada feses untuk penurunan amonia dengan konsentrasi 0%. 2%, 4%, 6%, 8% dari berat feses (v/w) dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan. Persiapan bahan dasar penelitian berupa bungkil inti sawit (BIS) yang dikombinsikan dengan bakteri probiotik sehingga dihasilkan sinbiotik fermentasi dengan bakteri Lactobacillus Acidophilus,Streptococcus Thermophilus, Bacillus Subtilis, Lactobacillus Bulgaricus, Bacillus Thuringiensis dan Bacillus Cereus. Untuk tahap kedua, dilakukan uji coba penggunaan sinbiotik fermentasi dalam ransum. Pada penelitian tahap dua ini, Penelitian dilakukan selama 6 minggu dengan menggunakan 180 ekor ayam petelur umur 52 minggu dengan strain ISA brown dari PT. Sierad, dan ransum yang digunakan diaduk sendiri dengan berbagai level penggunaan bungkil inti sawit (BIS) yang telah difermantasi. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan penggunaan sinbiotik fermentasi dalam ransum masing-masing adalah 0%, 10%, 20%, 30%. Peubah yang diukur adalah kadar amonia, pH dan kadar air feses, status kesehatan dan performans ayam petelur. Data dianalisis dengan ANOVA, jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian langsung (direct application) sinbiotik BIS fermentasi sampai taraf 8% dari berat feses terlihat sangat efektif dalam menurunkan amonia feses pada kandang ayam petelur di mana B. Cereus, L. Bulgaricus dan L. Acidophilus lebih efektif menurunkan amonia feses diantara enam bakteri yang diujicobakan. Untuk uji sinergitas,kombinasi tiga bakteri tersebut belum terlalu efektif menurunkan amonia feses. Sedangkan untuk status kesehatan ayam petelur terlihat pengaruh pemberian sinbiotik BIS fermentasi yang mengandung bakteri B. Cereus, L. Bulgaricus dan L. Acidophilus sampai taraf P2 (30%) dalam ransum tidak berpengaruh negative terhadap jumlah eritrosit, hemaktrokrit dan kadar HB ayam petelur Lebih lanjut juga terlihat pemberian simbiotik fermentasi sampai 30% (P3) dapat menurunkan kolesterol serum darah, trigliserida dan meningkatkan HDL-Cholesterol ayam petelur, namun belum dapat menurunkan cholesterol kuning telur. Dari indikator performans ayam petelur terlihat pemberian sinbiotik fermentasi sampai taraf P-30 (30%) dalam ransum berpengaruh negative terhadap henday, henhouse, massa telur dan konversi ransum namun tidak berpengaruh terhadap konsumsi ransum ayam petelur. Sedangkan untuk kualitas telur terlihat pengaruh pemberian sinbiotik BIS fermentasi sampai taraf P2 (30%) dalam ransum menghasilkan berat telur berat kuning telur, berat kerabang, Haugh Unit score dan tebal kerabang yang tidak berbeda, namun.menghasilkan, indeks kuning telur yang cendrung lebih tinggi dan warma telur yang semakin pucat. Pemberian sinbiotik fermentasi sampai taraf 30% dalam ransum terlihat sangat efektif dalam menurunkan emisi amonia, pH dan kadar air feses ayam petelur.
I. PENDAHULUAN Sebagaimana diketahui sumber emisi gas ammonia (NH3) di udara berasal dari manure hewan, pupuk dan sebagian kecil berasal dari industry. Namun diperkirakan bahwa 80 sampai 90% total amonia emisi berasal dari manure hewan asal peternakan (Heij dan Schneider, 1991). Bagi dunia perunggasan, bau amonia yang berasal dari kandang unggas petelur merupakan sumber pemicu utama penyebab penolakan dan keresahan lingkungan sekitar kandang unggas. Lebih lanjut gas ammonia juga sangat berperan dalam status kesehatan, tingkat produktivitas dan performans ternak unggas serta kesehatan pekerja kandang. Unggas terpapar amonia dengan level >25 ppm dapat menyebabkan terjadinya kerusakan cilia dari
trachea dan mudah terjadi penyakit seperti News Castle Deseases (ND), mengecilnya bursa of fabricus, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan status kesehatan, tingkat performans dan produktivitas unggas. Demikian juga halnya bagi pekerja kandang, level ammonia yang tinggi dalam kandang dapat menyebabkan infeksi radang paru-paru. Ammonia pada kandang ayam terbentuk dari reaksi kimia antara asam urat (C5H4N4O3) dan air (H2O) serta enzim uricase asal bakteri (gram-). Efek yang sangat merugikan dari emisi ammonia pada lingkungan dan performans ayam broiler serta kesehatan ternak sudah sangat diketahui. Untuk itu, pengontrolan ammonia pada kandang unggas sangat penting dilakukan untuk menjamin pengurangan emisi ammonia dan menciptakan lingkungan kandang yang lebih sehat.
0090: Yusrizal, dkk Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan komposisi unik bakteri khususnya bakteri yang memproduksi bakteriocin (antibiotic) dan enzim protease, serta bakteri yang mampu memfermentasi starch (karbohidrat) menjadi asam organic. Mekanisme dan teori di atas telah berhasil dibuktikan melalui penelitian terdahulu sebagaimana yang dilaporkan (Yusrizal dan Azis, 2009) bahwa pemanfaatan kombinasi bakteri Bacillus Cereus, (Bakteri proteolitic), Lactobacillus Acidophilus (Bakteri Asam) dan L. Bulgaricus (Bakteri Penghasil Antibiotic) memang nyata (P<0.05) dapat menurunkan amonia feses sampai 24 jam inkubasi feses pada suhu ruang. Namun kelemahannya yang harus segera di atasi adalah pelepasan ammonia feses setelah 24 jam inkubasi cendrung meningkat secara drastis. Hal ini disebabkan jumlah bakteri probiotic tersebut yang cendrung semakin menurun seiring bertambahnya waktu sehingga tidak efektif dan tidak cukup lagi jumlahnya untuk memproduksi asam dan antibiotic untuk menekan bakteri gram negative yang berperan dalam menghasilkan ammonia. Untuk mengatasi kelemahan ini dan mempertahankan efektifitas penurunan ammonia dalam jangka waktu yang lama, sangat diperlukan sumber makanan probiotik yaitu prebiotik sebagai sumber energi dan nutrisinya sehingga mikroba dapat meningkat sefl life (daya hidupnya). Kondisi ini dikenal dengan istilah simbiotik. Symbiotic secara defenisi sederhana adalah kombinasi probiotics and prebiotics (Collins and Gibson, 1989; Schrezenmeir and De Vrese, 2001). Kombinasi ini dapat meningkatkan daya hidup organism probiotik, karena substrate spesifiknya tersedia untuk di fermentasi. Hal ini dapat mengakibatkan keuntungan bagi inang melalui ketersediaan mikroorganisme hidup dan prebiotik. Untuk menghasilkan produk sinbiotik sangat diperlukan keberadaan prebiotik dan bungkil inti sawit merupakan hasil limbah sawit dan berpotensi untuk dapat dijadikan sebagai prebiotic karena mengandung mannan ologosakrida. Daud et al. (1992) melaporkan bahwa kandungan mannose (mannanoligosakarida) bungkil inti sawit (BIS) mencapai 56,4% dari total dinding selnya. Dalam hal terkait dengan penurunan amonia feses, dengan dikombinasikannya antara bakteri probiotic dan prebiotic (sinbiotic) yang diaplikasikan langsung (direct application) pada feses diharapkan juga dapat memperpanjang daya hidup bakteri probiotik sehingga dapat memperpanjang daya efektifitas penurunan ammonia feses pada kandang unggas. Mekanisme ini dikenal dengan metoda post-excretion pathway. Dengan mekanisme yang hampir sama penurunan amonia juga dapat dilakukan dengan penanganan langsung ke sumber asal amonia yaitu melalui saluran pencernaan unggas yang dikenal metodap pre-excretion pathway. Hal ini dapat dilakukan melalui pemberian probiotik dan prebiotik asal bungkil inti sawit (sinbiotik) melalui pakan unggas. Melalui metode di samping diharap dapat menurunkan amonia feses, pemberian sinbiotik ini juga dapat meningkat status kesehatan hewan dan performans ayam petelur. Hal ini sangat dimungkinkan karena bungkil inti sawit cukup mengandung protein yang berkisar antara 19%-21% kandungan protein (Ravindran dan Blair, 1992). Walaupun kekurangan dengan kandungan lisin (0,72%) dan rendah energy (ME 1.900 kkal/kg) dibanding bungkil kedele untuk unggas, BIS mengandung Ca dan P yang sebanding dengan Bungkil kedele dan mengandung methionin yang lebih tinggi (Ravindran dan Blair, 1992). Perez et al. (2000) melaporkan tidak terdapat tanda yang negative bagi ayam petelur yang diberikan makan sampai 40% BIS kecuali terjadi penurunan spesific gravity telur.
PG-187 Karena kemampuan pakan mengandung Non Starch Polisakarida (NSP) dalam menyerap air, menghasilkan peningkatan viscositas digesta dan dapat menurunkan kecernaan pakan unggas (Choct, 2007), namun beberapa jenis dari NSP juga mempunyai efek prebiotics (Allent et all. 1997); Johnston et al., 2003; Karie et al., 2008). Berdasarkan jumlah rantai gula, maka polisakarida sangat umum digunakan sebagai prebiotik seperti mannan-oligosacharida (Pettigrew, 2000). Sebagai karbohidrat yang tidak dapat dicerna yang selektif mestimulasi perkembangan mikroba non pathogen spt. Lactobacillus sp. dan Bifidobacteria sp. pada saluran pencernaan, prebiotik juga dapat meningkatkan status kesehatan inangnya (Robertford, 2000). Kemudian fermentasi Serat kasar (prebiotik) oleh mikroba tertentu yang menghasilkan asam lemak rantai pendek dan menurunkan pH saluran percernaan yang menjadikan kondisi tersebut sangat disukai oleh Non pathogenic bacteria, tapi sebaliknya bagi pathogenic bacteria (Johnston et all., 2003). Ferket (2004) menyatakan mekanisme prebiotic dalam meningkatkan status kesehatan inangnya (sebagai mana juga pada mannanoligosacharida) melalui pengontrolan bakteri pathogen spt. E. Coli, menstimulasi immun sistim inangnya, dan meningkatkan morphology usus dan brush border enzymes. Berdasarkan pemikiran di atas di lakukan penelitian pengaruh penggunaan kombinasi probiotik dan prebiotik (simbiotik) bungkil inti sawit (BIS) fermentasi terhadap penurunan emisi amonia feses, status kesehatan dan performans ayam petelur
II. METODOLOGI Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Fakultas Peternakan Universitas Jambi dari bulan Februari sampai November 2012. Bahan yang digunakan bermacam kultur bacteria dan media seperti MRS Agar, MRS Broth, bungkil inti sawit, molasses, tepung ikan., Bahan culture atau bakteri yang digunakan dikelompokkan menjadi 3 bagian sebagai berikut: 1). Bakteri proteolitic (Bacillus cereus) 2). Bakteri Penghasil Asam (Lactobacillus Acidophilus,3). Bakteri penghasil Antibiotic (Lactobacilli Bulgaricus) Alat yang digunakan meliputi 1) Fasilitas penyimpanan bakteri (freezeer, kulkas, inkubator), 2) Gelas piala, erlemeyer, cawan petri, tabung reaksi, beaker glass, mikroskop,3). pH meter digital dan alat pengukur amonia (Kitagawa Air Pump20), Oven, coloni counter, 4) Laminar Flow Penelitian dilakukan beberapa tahap yaitu: Pembuatan Sinbiotik BIS Fermentasi Satu kg BIS dicampur dengan 10% poles (dedl halus), aduk sampai rata. Selanjutnya dicampur dengan larutan air sebanyak 20% sampai rata, dimasukkan dalam plastik tahan panas. Setelah itu disterilisasi tekanan 15 atm, suhu 121oC selama 15 menit. Didinginkan sampai suhu 38 C, kemudian diinokulasi dengan starter murni bakteri sinbiotik (campuran bakteri proteolitik, bakteri penghasil asam dan bakteri penghasil antibiotik) yang diperoleh pada riset tahap pertama. Kemudian disimpan dalam inkubator selama 48 jam setelah itu dikeringkan di oven dengan suhu 40oC sampai kering, produk fermentasi BIS mengandung sinbiotik siap digunakan.. Aplikasi Langsung (direct application) Fermentasi Pada Feses Ayam Petelur
Sinbiotik
BIS
PG-188
0090: Yusrizal, dkk
Aplikasi langsung (direct application) sinbiotik BIS fermentasi pada feses untuk penurunan amonia dengan konsentrasi 0%. 2%, 4%, 6%, 8% dari berat feses (v/w) dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan. Persiapan bahan dasar penelitian berupa bungkil inti sawit (BIS) yang dikombinsikan dengan bakteri probiotik sehingga dihasilkan sinbiotik fermentasi dengan bakteri Lactobacillus Acidophilus,Streptococcus Thermophilus, Bacillus Subtilis, Lactobacillus Bulgaricus, Bacillus Thuringiensis dan Bacillus Cereus. Penelitian ini menggunakan RAL dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan yang terdiri dari: P0 : Feses/litter 50 gram + tanpa penambahan bakteri), P1 : Feses/litter 50 gram + 2 % ( prebiotik +bakteri (v/w), P2 : Feses/litter 50 gram + 4 % (prebiotik + bakteri (v/w), P3 : Feses/litter 50 gram + 6 % (prebiotik + bakteri (v/w), P4 : Feses/litter 50 gram + 8 % ( prebiotik + bakteri(v/w). Uji Coba Sinbiotik BIS Fermentasi Dalam Ransum Ayam Petelur. Pada tahap ini parameter yang diukur adalah tingkat penurunan amonia feses, status kesehatan (gambaran darah) dan performans ayam petelur. Kombinasi sinergis probiotik dan prebiotik (sinbiotik fermentasi) ini diharapkan dengan mekanisme yang tidak jauh berbeda dalam penurunan amonia feses juga siap diaplikasikan pada pemeliharaan unggas melalui penggantian pakan. Adapun ransum yang digunakan adalah ransum yang diaduk sendiri. Penelitian ini menggunakan RAL dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan yang terdiri dari: P- 0= Ransum dengan 0% Sinbiotik BIS Fermentasi, P-10= Ransum dengan 10% Sinbiotik BIS Fermentasi, P-20= Ransum dengan 20% Sinbiotik BIS Fermentasi, P-30= Ransum dengan 30% Sinbiotik BIS Fermentasi, Komposisi Ransum Penelitian Tabel 1. Komposisi dan Nutrient Ransum Perlakuan Ransum Perlakuan BAHAN PAKAN (%) Jagung Dedak Konsentrat Tepung Ikan Bungkil Kelapa Meniral mix Minyak sawit Sinbiotik BIS Fermentasi Total NUTRIENTa Protein Kasar (%) Lemak (%) Serat Kasar (%) Kalsium (%) Pospor (%)
P-0
P-10
P-20
P-30
46,5 5 24,5 10 9 3 2
43 7 24 11 0 3 2
38 5 21,8 11 0 3 1,2
33 3 19,5 11 0 3 0,5
0 100
10 100
20 100
30 100
18,67 4.37 4.54 3.83 1.12
18.49 3.85 4.44 5.10 1.43
18.53 4.16 5.12 4.90 1.41
18.55 4.46 .5.78 4.70 1.39
Energi metabolis (kkal/kg)b 2.665 2.694 2.645 2.600 Ket: a. Hasil Perhitungan. B. ME=0,725xGE (NRC, 1994). Pengamatan Peubah Peubah yang diamati adalah: A, Uji Kadar Amonia, pH, Kadar Air 1). Kadar Ammonia, emisi ammonia material feses dan litter diukur dengan menggunakan Kitagawa Toxic Gas Detector (Kitagawa, aspirating Gas Pump AP-20). Dan ammonia detecting tubes (0.2 to 20/260 ppm capacity, Komyo Rikagaku Kogyo KK). Lima puluh gram feses dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam 400 ml beaker glass serta ditutupi dengan plastic. Selanjutnya beaker glass diinkubasi pada suhu kamar selama 24 jam sebelum pengukuran I (pertama) dan selanjutnya di inkubasi selama 48 jam, 2) pH Feces, diukur dengan interval waktu yang sama dengan ammonia dengan menggunakan pH meter (Hana). 3) Kadar air Feses, dihitung menurut metode AOAC (2005). Dua gram feses ditimbang dan ditempat pada aluminum dish dan dikeringkan pada oven pada suhu 105 C selama minimal 3 jam. Penimbangan untuk mendapatkan kadar air dilakukan setelah sample didinginkan di dessicator. . B. Performans ayam Petelur 1) konsumsi ransum (g/ekor) diukur dengan cara mengurangi jumlah ransum yang diberikan dengan sisa ransum. 2) Produksi telur harian/henday (%), dihitung berdasarkan jumlah telur yang diproduksi pada waktu tertentu dibagi dengan jumlah ayam yang ada pada waktu tersebut, 3) bobot telur rata-rata (g/butir) diperoleh dengan membagi bobot telur total kemudian dibagi dengan jumlah telur selama penelitian, 4) produksi massa telur (g/ekor/hari) diperoleh dengan mengalikan % henday dengan bobot rata–rata sebutir telur yang dihasilkan, 5) konversi ransum dihitung dengan cara membagi konsumsi ransum (g/ekor/hari) dengan produksi massa telur (g/ekor/hari). Kolesterol kuning telur diukur dengan menggunakan metode spectrophotometer (Zak modification of Zialis Method, 1954). C. Kualitas interior 1). Berat Putih, Kuning, dan Kerabang telur diukur dengan cara menimbangnya dalam gram. 2). Indeks Bentuk Telur, Yolk Index dan Albumin Index diukur dengan membanding antara tinggi dan lebarnya.,3) Haugh Unit diukur dengan menggunakan rumus Haugh Units (HU=100log (H+7.57-1.7.W0.37), 4). Yolk Color Index diukur menggunakan 15 point skala the DSM Yolk color fan (DSM Nutriotional Products Ltd. Basel Sitzerland), Tebal Kerabang diukur dengan a stainless steel digital caliper (Model 500-196-20, Mitutoyo, Kawasaki Japan, Japan).. D. Parameter Gambaran Darah 1).Jumlah eritrosit, dihitung menurut metode hemocytometer, darah dihisap dengan pipet pengencer untuk eritrosit sampai angka 0.5. Kemudian dengan pipet yang sama dihisap larutan Hayem sampai angka 101 dan dikocok dengan memutar-mutar pergelangan tangan membentuk angka 8. Campuran tersebut kemudian dimasukkan kedalam kamar hitung Neubauer dan jumlah eritrosit dihitung pada 5 bujur sangkar kecil berukuran 1/25 mm3 menggunakan mikroskop dengan pembesaran 40X (juta/mm3). 2) Kadar hematokrit, nilai hematokrit diukur dengan
0090: Yusrizal, dkk
PG-189
metode mikro hematokrit, darah dihisap dengan microhematocrit straw sampai jarak 1 cm dari ujung bagian atas dan disumbat menggunakan chrysta seal. Kemudian disentrifus selama 5 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Nilai hematokrit dibaca dengan menggunakan microhematocrit reader (%/100 ml darah). 3) Kadar hemoglobin, nilai hemoglobin diukur dengan metode Sahli, darah dihisap dengan pipet Sahli sampai angka 20 l. Kemudian darah dimasukkan kedalam tabung Sahli yang sudah berisi HCl 0.1 N dan dibiarkan hingga berwarna coklat. Kemudian ditambah aquadest sampai warnanya sesuai dengan batang standar. Kemudian tinggi permukaan pada tabung Sahli dibaca, angka yang terbaca menunjukkan kadar hemoglobin dari sampel darah (g/100 ml).4).Cholesterol serum darah diukur dengan metoda Enzymatic coloricmetric test for determination of cholesterol, CHO-PAP method. 5).Trigliserida diukur dengan Enzimatic colorometric test for determination of triglycerides, GPO-PAP method. 6). HDL Cholesterol ditentukan dengan metode Precipitant and Standard
for determination of HDL-Cholesterol, for use with Cholesterol test kit (cat-no:101592. Rancangan Percobaan dan Analisis data Percobaan pada tahap pertama menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 taraf perlakuan dan 5 kali ulangan yang terdiri dari: P0 : Feses/litter 50 gram + tanpa penambahan bakteri), P1 : Feses/litter 50 gram + 2 % ( prebiotik +bakteri (v/w), P2 : Feses/litter 50 gram + 4 % (prebiotik + bakteri (v/w), P3 : Feses/litter 50 gram + 6 % (prebiotik + bakteri (v/w), P4 : Feses/litter 50 gram + 8 % ( prebiotik + bakteri(v/w). Percobaan tahap kedua menggunakan RAL dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan yang terdiri dari: P- 0= Ransum dengan 0% Sinbiotik BIS Fermentasi, P-10= Ransum dengan 10% Sinbiotik BIS Fermentasi, P-20= Ransum dengan 20% Sinbiotik BIS Fermentasi, P-30= Ransum dengan 30% Sinbiotik BIS Fermentasi. Data dianalisa menggunakan analisis keragaman pola RAL dan perbedaaan antar perlakuan diuji dengan Duncan multiple range test (DMRT) menurut Steel & Torrie (1980).
Tabel 2. Efektivitas sinbiotik Fermentasi dengan berbagai Bakteri dalam menurunkan Kadar Ammonia, pH dan kadar air feses inkubasi selama 24 dan 48 jam. Bakteri Spesies Lactobacillus acidophillus
Streptococcus thermophillus
Amonia (ppm)
Amonia (ppm)
Taraf
24 Jam
48 Jam
0% 2% 4% 6% 8%
452.00a 352.00b 328.00b 336.05b 216.00c
1072.00a 756.00b 592.00c 648.00c 472.00d
Rataan penurunan amonia 0% 456.00a 1055.00a b 2% 352.00 800.00b
22,12 27,43 25.66 52.21 31.86 37.15 22.81
III.
624.00c 624.00c 616.00c
Efektifitas Penurunan Amonia (%) 48 Jam 29.48 44.78 39.55 55.97 42.44 24.24
pH
pH
Kadar Air %
Kadar Air %
24 jam 8.64 a 8.62 a 8.31 b 8.40b 8.30b
48 Jam
24 Jam 70.14 a 69.15 ab 67.69 cb 66.74 c 66.44c
48 Jam 71.37 a 70.73 ab 69.41 bc 69.23 bc 68.24c
8.78 a 8.62 b
8.80 a 8.40 b
70.86a
71.87a
69.69b 69.37b 67.95c 67.29c
71.85a 71.60a 70.71ab 69.75b
8.48 a 8.46 a 8.31bc 8.42cb 8.26c
25.44 40.91 8.46 c 8.46 b d 29.82 40.91 8.28 8.26 c d 40.35 41.67 8.28 8.24 c 29.61 36.93 Rataan penurunan amonia 33.26 Ket: Huruf yang berbeda pada setiap kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05) 4% 6% 8%
340.00b 340.00b 272.00c
Efektifitas Penurunan Amonia (%) 24 Jam
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Uji Penurunan Ammonia, pH dan Kadar Air Feses Ayam Petelur. Hasil uji aplikasi lansung (direct application) sinbiotik BIS fermentasi dalam penurunan Ammonia, Uji pH dan Kadar Air Feses ayam petelur dapat dilihat pada Tabel 2. 3 dan 4 di bawah ini. Dari Tabel 2,3 dan 4 menunjukkan dari identifikasi awal perlakuan aplikasi langsung (direct application) bakteri penghasil asam, bakteri protease dan bakteri penghasil antibiotik yang dikombbinasikan dengan bungkil inti sawit (BIS) yang mengandung mannan oligosakarida (sinbiotik fermentasi) secara
nyata (P<0,05) dapat menurunkan emisi ammonia dan pH feses ayam petelur setelah diinkubasi selama 24 jam dan 48 Jam. Pada Tabel 2,3 dan 4 terlihat bahwa kombinasi masing-masing Bakteri dan dengan bungkil inti sawit yang mengandung mannan oligosakarida (sinbiotik fermentasi) memiliki kemampuan untuk menurunkan ammonia dan pH feses setelah inkubasi 24 jam dan 48 jam dibandingkan dengan kontrol. Semakin tinggi taraf penggunaan sinbiotik fermentasi secara nyata akan menurunkan kadar ammonia feses dan kadar ammonia terendah dicapai pada konsentrasi penggunaan bakteri 6 dan 8%. Kondisi ini menunjukkan bahwa berbagai bakteri sinbiotik dengan kombinasi berbagai bakteri yang diaplikasikan pada media feses ayam petelur secara langsung dapat menghambat proses pembentukan amonia
PG-190
0090: Yusrizal, dkk
Tabel 3. Efektivitas sinbiotik Fermentasi dengan berbagai Bakteri dalam menurunkan Kadar Ammonia, pH dan kadar air feses inkubasi selama 24 dan 48 jam.
Bakteri
Amonia (ppm)
Amonia (ppm)
Spesies
Taraf
24 Jam
48 Jam
Bacillus thuringiensis
0% 2% 4% 6% 8%
512.00a 488.00a 415.00b 356.00c 336.60c
1088.00a 1056.00a 1056.00a 864.00b 824.00b
Rataan penurunan amonia 0% 472.00a 1616.00a 2% 400.00b 1344.60b bc 4% 352.00 1184.00b cd 6% 320.00 1280.00b 8% 280.00d 908.00c
Efektifitas Penurunan Amonia (%) 24 Jam
Efektifitas Penurunan Amonia (%) 48 Jam
4.68 18.75 30.47 34.38 22.07 16.79
2.04 2.04 18.37 23.56 11.50
pH
pH
Kadar Air %
Kadar Air %
24 jam 8.63 a 8.56 a 8.54 a 8.36 b 8.30b
48 Jam
24 Jam 72.59a 71.14b 69.41c 68.85c 67.76d
48 Jam 73.76a 73.30ab 72.35bc 71.60b 70.10d
72.89a 71.05b 68.67c 68.33c 67.31c
73.25a 72.72a 71.26b 69.76c 69.63d
8.92 a 8.68b 8.64 b 8.50 c 8.42c
8.46 a 8.98 a 15.25 16.83 8.38b 8.70 b bc 25.42 26.73 8,32 8.62 b cd 32.20 20.79 8.23 8.50c 40.68 43.81 8.22d 8.38c 28.39 27.04 Rataan penurunan amonia 27.72 Ket: Huruf yang berbeda pada setiap kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05) Bacillus cereus
Tabel 4. Efektivitas sinbiotik Fermentasi dengan berbagai Bakteri dalam menurunkan Kadar Ammonia, pH dan kadar air feses inkubasi selama 24 dan 48 jam.
Bakteri Spesies Lactobacillus bulgaricus
Taraf 0% 2% 4% 6% 8%
Amo nia (ppm)
Amo nia (ppm)
24 Jam
48 Jam
922.00a 768.00b 624.00c 592.00bc 528.00d
2048.00a 1504.00b 1440.00b 1024.00c 1024.00c
Rataan penurunan amonia Bacillus subtilis
0% 2% 4% 6% 8%
960.00a 784.00b 544.00c 608.00c 544.00c
Efektifitas Penurunan Amonia (%) 24 Jam
Efektifitas Penurunan Amonia (%) 48 Jam
22.00 37.09 40.32 46.77 36.69 37.88
26.56 29.69 50.00 50.00 39.06
1888.00a 1512.00b 1212.00bc 1248.00bc 1088.00c
pH
pH
Kadar Air %
Kadar Air %
24 jam 8.26 a 8.00 b 7.86c 7.78d 7.73d
48 Jam 8.38a 8.10 b 8.00c 7.98c 7.88d
24 Jam 72.89a 71.35ab 69.33bc 67.99c 65.91d
48 Jam 74.69a 73.90a 72.04b 70.86c 70.45c
8.06 a 7.94 b 7.84c 7.78cd 7.74 d
8.22 a 8.10 b 8.08b 7.98c 7.86 d
74.92a 73.21b 71.34c 70.06d 69.36d
75.40a 74.34a 72.40b 71.13bc 70.82c
18.33 19.92 43.33 35.81 36.67 34.75 43.33 42.37 35.42 33.21 Rataan penurunan amonia 34.31 Ket: Huruf yang berbeda pada setiap kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05) Selanjutnya untuk kadar air feses secara umum terlihat bahwa terjadi penurunan kadar air feses seiring makin bertambahnya dosis perlakuan sampai 8%. Penurunan kadar air ini dapat dipahami karena aplikasi langsung berbagai bakteri tersebut pada feses dalam bentuk serbuk bungkil inti sawit yang dapat menyerap kadar air feses. Pada Tabel 2 terlihat dalam uji indentifikasi awal untuk bakteri kelompok penghasil asam menunjukkan bakteri Lactobacillus acidophillus yang dikombinasikan dengan prebiotik mannanoligosakarida (sinbiotik) lebih efektif menurunkan amonia dibandingkan sinbiotik yang mengandung bakteri Streptococcus thermophillus. Hal ini terlihat dengan lebih tingginya daya efektifitas penurunan amonia rata-rata yaitu 37.15% (Lactobacillus acidophillus) dibanding 33.26% (Streptococcus thermophillus).
Keadaan ini dapat terjadi dengan tersedianya subrat prebiotik mananoligosakarida (food colony) asal bungkil inti sawit yang dapat difermentasi oleh Lactobacillus acidophillus sehingga cukup banyak menghasil asam yang menjadikan cukup banyaknya tersedia ion H+. Banyaknya tersedia ion H+ dalam feses akan dapat mengikat amonia feses menjadi amonium (NH4+) sehingga sedikit terjadi pelepasan amonia feses. Mobley dan Hausinger (1989) menyatakan bahwa pH feses sangat berperan dalam pelepasan amonia pada feses, sebab penurunan pH manure akan merubah keseimbangan amonia (NH3) menjadi amonium (NH4+) yang lebih larut dalam air sehingga tidak mudah menguap dibanding amonia NH3. Untuk bakteri proteolitik terlihat bahwa bakteri Bacillus cereus yang dikombinasikan dengan prebiotik mannanoligosakarida
0090: Yusrizal, dkk
PG-191
(sinbiotik fermentasi) asal bungkil inti sawit terlihat lebih efektif dibandingkan sinbiotik yang mengandung Bacillus Thuringiensis dalam penurunan amonia (Tabel 3). Hal terlihat dengan lebih tingginya daya efektifitas penurunan amonia rata-rata yaitu 27.72% (Bacillus cereus) dibanding 16,79% (Bacillus Thuringiensis). Hal ini mengkonfirmasi apa yang di laporkan Yusrizal et.al. (2012) bahwa pemberian sinbiotik fermentasi asal bungkil inti sawit yang mengandung bakteri Bacillus cereus terlihat lebih efektif dibandingkan sinbiotik yang mengandung Bacillus Thuringiensis dalam penurunan amonia pada feses ayam broiler. Rendahnya amonia dan pH feses yang dihasilkan dapat terjadi diduga karena bakteri Bacillus cereus lebih cepat dan lebihB. banyak menggunakan uric acid sebagai zat nutrisinya. Keadaan ini menjadikan ketersediaan uric acid menjadi terbatas untuk dikonversi menjadi amonia. Untuk kelompok bakteri penghasil antibiotik terlihat bahwa Lactobacillus Bulgaricus yang dikombinasikan dengan prebiotik mannanoligosakarida (sinbiotik fermentasi) asal bungkil inti sawit cukup efektif menurunakan amonia dibandingkan sinbiotik yang mengandung bakteri Bacillus Subtilis. Keadaan ini ditunjukan dengan lebih tingginya daya efektifitas penurunan amonia rata-rata
yaitu 37.81% (Bacillus Bulgaricus) dibanding 34.31% (Bacillus Subtilis) (Tabel 4). Hal ini dapat terjadi dikarenakan bakteri Lactobacillus Bulgaricus di samping menghasilkan asam yang berperan dalam mengikat amonia menjadi amonium (NH4+) juga disebabkan Lactobacillus Bulgaricus lebih banyak menghasilkan bacteriocin (antibiotik) yaitu bulgarican yang berfungsi menekan pertumbuhan bakteri pathogenic gram (-). Tertekannya pertumbuhan bakteri gram (-) ini menjadikan sedikitnya diproduksi enzim uricase yang dapat digunakan untuk mengkonversi uric acid menjadi amonia. Efek Sinergis Berbagai Bakteri Sinbiotik BIS Fermentasi Dari Identifikasi awal terlihat bahwa tiga bakteri dari masingmasing kelompok bakteri proteolitik, penghasil asam dan antibiotik yang dikombinasikan dengan prebiotik mannanoligosakarida (sinbiotik fermentasi) asal bungkil inti sawit yang cukup efektif dalam penurunan amonia yaitu Lactobacillus acidophillus, Bacillus Cereus dan Lactobacillus Bulgaricus. Untuk melihat dan mengetahui efek sinergis dari kombinasi bakteri tersebut dalam menurunkan kadar ammonia dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Efektivitas sinbiotik Fermentasi dengan berbagai Bakteri dalam menurunkan Kadar Ammonia, pH dan kadar air feses inkubasi selama 24 dan 48 jam.
Bakteri Spesies L. acidophillus + B. Cereus + L. bulgaricus
Taraf
Amonia (ppm)
Amonia (ppm)
24 Jam 680.00a 544.00bc 608.00ab 496.00c 380.00d
48 Jam 1024.00 a 752.00 b 712.00 b 688.00 bc 640.00 c
Efektifitas Penurunan Amonia (%)
Efektifitas Penurunan Amonia (%)
pH
pH
Kadar Air (%)
24 jam
48 Jam 8.16 a 7.76 bc 7.80 b 7.68 cd 7.58 d
24 Jam 66.97a 65.51ab 64.21bc 62.34c 63.75bc
7.86a 20.00 26,56 7.72b 10.59 30,47 7.74b 27.06 32.81 7.56c 44.12 37.50 7.42d 25,44 31,84 Rataan penurunan amonia 28.64 Ket: Huruf yang berbeda pada setiap kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05). 0% 2% 4% 6% 8%
Penggunaan tiga bakteri Lactobacillus acidophillus, Bacillus Cereus dan Lactobacillus Bulgaricus yang dikombinasikan dengan prebiotik mannanoligosakarida (sinbiotik fermentasi) asal bungkil inti sawit secara nyata (P<0,05) dapat menurunkan ammonia feses 24 dan 48 jam (Tabel 12). Bila dibandingkan dengan hasil pengujian awal, terlihat bahwa penggunaan campuran berbagai bakteri ini belum terlalu efektif dalam menurunkan kadar ammonia feses. Hal ini terlihat dari daya efektivitas penurunan amonia kombinasi ke tiga bakteri (Lactobacillus acidophillus, Bacillus Cereus dan Lactobacillus Bulgaricus) hanya 28.64% dibanding masing-masing bakteri seperti Streptococcus thermophillus (33.26%), Bacillus cereus (27.72%), Bacillus Thuringiensis (16,79%), Lactobacillus Bulgaricus (37.88%) dan Bacillus Subtilis (34.31%) dan Lactobacillus acidophillus (37.15%). Setelah feses diinkubasi selama 24 dan 48 jam inkubasi terlihat terjadi penurunan pH seiring terjadinya penurunan amonia yang signifikan. Namun nilai pH feses yang diperoleh masih berada di bawah pH optimal penguraian uric acid, karena pada umumnya enzim uricase dalam kebanyakan reaksi mempunyai pH optimum kira-kira pH 9,0 (Vogels dan Van Der Drift, 1976). Hasil ini menunjukkan bahwa peran bakteri sangat menentukan dalam menurunkan amonia dan pH pada feses ayam broiler. Secara
Kadar Air (%) 48 Jam 67.27 a 66.35 a 65.87abc 65.46bc 64.21c
umum hasil ini telihat bahwa kombinasi bakteri penghasil asam, bakteri proteolitik dan bakteri penghasil antibiotik belum meperlihatkan efek sinergisnya yang optimum untuk mengurangi ammonia feses. Untuk kadar air terlihat terjadi penurunan yang signifikan (P<0,5) terhadap kadar air feses. Hal ini dapat dimengerti terjadinya penurunan ini disebabkan bahan sinbiotik fermentasi merupakan serbuk BIS yang mempunyai kadar air cukup rendah karena hasil pengeringan di oven sebelum digunakan. Jadi perlakuan sinbiotik fermentasi kalau dicampurkan dengan feses akan dapat menyerap kadar air feses. C.
Performans Petelur
Konsumsi ransum, Henday (%), Bobot telur (gr) Massa Telur (gr/ekor/hari), Konversi Ransum dan cholesterol telur ayam petelur yang diberi perlakuan ransum menggunakan sinbiotik fermentasi pada masing-masing perlakuan tercantum pada Tabel 6 di bawah ini.
PG-192
0090: Yusrizal, dkk
Table 6. Pengaruh penggunan Sinbiotik Fermentasi Terhadap Bobot Potong, pertambahan bobot badan (PBB) ayam petelur selama penelitian.
Parameter
P-0 120.40
Konsumsi Ransum (gr/ekor/hari)
P-10 120.52
Perlakuan P-20 120.25
P-30 120.30
Henday (%) 72.43 a 65.61 b 64.31 b 60.90 b Henhouse (%) 72.43 a 65.61 b 64.31 b 60.90 b Bobot Telur (gr/butir) 60.42 61.26 60.88 60.83 Massa Telur (g/ekor/hari) 43.76 a 40.17 b 39.14 b 37.10 b Koversi Ransum 2.77 a 3.06 ab 3.08 ab 3.28 c Mortality (%) 0 0 0 0 Ket: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) Pada Tabel 6. terlihat dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf penggunaan sinbiotik fermentasi didalam ransum memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap henday, massa telur dan konversi ransum. Hasil uji jarak Duncan menunjukkan ayam petelur yang diberi ransum P-10, P-20, P-30 menghasilkan henday dan henhouse yang lebih rendah dibanding dengan perlakuan ransum kontrol (P-0). Keadaan yang sama juga terjadi untuk massa telur di mana massa telur untuk perlakuan ransum P-10, P-20, P-30 jauh menurun massa telur yang dihasilkan dibanding perlakukan ransum control. Hal ini diduga disebabkan bungkil inti sawit dalam ransum mempunyai daya cerna nutrisi yang kurang bagus dibanding ransum control sehingga ayam petelur kekurangan ketersediaan nutrisi (Adrizal dkk, 2012).. Terjadinya penurunan henday ini berpengaruh nyata terhadap peningkatan angka konversi ransum dari 2.77 pada P-0 menjadi 3.28 pada perlakuan P-30. Ini dapat diartikan bahwa peningkatan penggunaan bungkil inti fermentasi sampai 30% dalam ransum dapat menurunkan efesiensi
ransum dalam menghasilkan telur. Chong et. al. (2008) melaporkan bahwa pemberian bungkil inti sawit dalam ransum sampai 25% menghasilkan koversi ransum yang lebih jelek dibandingkan ransum control, Namun penggunaan bungkil inti fermentasi sampai 30% dalam ransum tidak berpengaruh negative (P>0,05) terhadap konsumsi ransum dan bobot telur yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa bungkil inti fermentasi tidak berpengaruh negative terhadap palatable ransum. D.
Gambaran Darah
Rataan Erittrosit, Hemaktrokrit, Hb dan Plasma Protein masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 7. 1.
Eritrosit Rataan jumlah eritrosit ayam petelur disajikan pada Tabel 13.
Tabel 7. Rataan Eritrosit, Hematokrit, HB dan Plasma Protein Ayam Petelur.
Ulangan
P- 0 P-10 P-20 P-30
Eritrosit (106/mm3) 2276000 2058000 2192000 2288000
Perlakuan Hematokrit % 23.76 23.25 25.55 23.08
Pada Tabel 7. terlihat berdasarkan hasil analisis ragam diketahui bahwa pemberian sinbiotik fermentasi tidak nyata berpengaruh (P>0,05) terhadap jumlah eritrosit ayam petelur. Hal ini berarti pemberian sinbiotik fermentasi dalam ransum sampai taraf 30% atau perlakuan P3 tidak berpengaruh negatih terhadap jumlah eritrosit ayam petelur dengan kisaran 2.28 juta/mm3 pada perlakuan P-O dan 2.29 juta/mm3 pada perlakuan P-30. Zanu et. al (2012) juga melaporkan bahwa pemberian palm kernel cake sampai 15% dalam ransum ayam petelur tidak berpengaruh terhadap sel darah merah (eritrosit) yang berkisar antara 2.00 – 2.5 juta/mm3 dan masih dikategorikan pada range normal untuk unggas yang sehat. Sel darah merah (eritrosit) pada unggas berbentuk lonjong (oval) dan berinti dengan kisaran 2.5 – 3.2 juta/mm3 darah (Widjajakusuma dan Sikar, 1986).. Sedangkan kisaran eritrosit yang diperoleh selama penelitian yaitu 2.06 – 2.29 juta/mm3 darah. Pada penelitian ini terlihat bahwa P-0, P-10, P-20 dan P-30 memiliki jumlah eritrosit yang mendekati kisaran normal dari jumlah eritrosit normal pada ayam atau tiap perlakuan masih
HB g/100 ml 7.92 7.72 7.51 7.54
Plasma Protein g/dL 6.88 6.41 6.78 6.71
sedikit di bawah normal. Eritrosit berfungsi untuk mengangkut oksigen (Frandson, 1996). Meskipun jumlah eritrosit pada tiap perlakuan belum memenuhi kadar normal. Namun jaraknya tidak begitu jauh dan hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Jumlah eritrosit pada tiap hewan dipengaruhi oleh bangsa, ukuran eritrosit, umur, aktivitas fisik dan kondisi nutrisi (Dellmann dan Brown, 1989). 2.
Hematokrit
Rataan hematokrit ayam petelur selama penelitian disajikan pada Tabel 7. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian sinbiotik fermentasi tidak nyata berpengaruh (P>0,05) terhadap jumlah hematokrit ayam broiler. Hal ini berarti pemberian sinbiotik fermentasi dalam ransum sampai taraf 30% dalam ransum tidak berpengaruh negatif terhadap jumlah hematokrit. Pada penelitian ini terlihat bahwa nilai hematokrit pada tiap perlakuan berada dalam kisaran normal yaitu 23.76% pada perlakuan P-O dan
0090: Yusrizal, dkk
PG-193
23.08% pada perlakuan P-30. Nilai hematokrit (PCV) pada keadaaan normal pada ayam adalah 22,0 – 35,0 % (Zinkl, 1986). Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) adalah persentase sel-sel darah merah di dalam 100 ml darah. Nilai hematokrit merupakan perbandingan antara jumlah sel dengan plasma darah (Widjajakusuma dan Sikar, 1986). Kadar hematokrit sangat tergantung pada jumlah sel eritrosit, karena eritrosit merupakan massa sel terbesar dalam darah. Peningkatan kadar hematokrit dapat terjadi pada keadaan edema hebat di mana terjadi pengeluaran cairan dari pembuluh darah ke jaringan ekstravaskuler (Winarsih, 2005).
terhadap jumlah hemoglobin ayam petelur. Pada penelitian ini terlihat bahwa nilai hemoglobin pada tiap perlakuan berada dalam kisaran normal yaitu 7.92 g/100 ml pada perlakuan P-O dan 7.54 g/100 ml pada perlakuan P-3O. Kadar normal hemoglobin pada ayam berkisar antara 6.5-9.0 g/100 ml darah (Widjajakusuma dan Sikar, 1986). Kadar Hb biasanya berhubungan dengan jumlah eritrosit. Hb berada didalam eritrosit dan berfungsi dalam membawa oksigen ke jaringan atau sel dan mengekskresikan karbondioksida (CO2) dari jaringan. Peningkatan kadar Hb menyebabkan kemampuan membawa oksigen ke jaringan menjadi lebih baik dan ekskresi CO2 lebih efisien. Sehingga keadaan dan fungsi sel dan jaringan menjadi lebih baik (Winarsih, 2005).
3.
Hemoglobin Rataan hemoglobin ayam petelur selama penelitian disajikan pada Tabel 7. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian sinbiotik fermentasi tidak nyata berpengaruh negarif (P>0,05)
4.
Kolesterol Serum, Trigliserida, High Density Lipoprotein Cholesterol (HDL) dan Low Density Lipoprotein Cholesterol (LDL)
Tabel 8. Pengaruh penggunan Sinbiotik Fermentasi Terhadap Kolesterol, Trigliserida, HDL dan LDL ayam boiler pada akhir penelitian
Perlakuan Kolesterol Serum Darah
Trigeliserida
HDL
Kolesterol Kuning telur (mg/g)
P- 0
116.70a
1280.20a
6.20 a
11.11
P-10
96.66ab
643.20b
24.60 ab
13.55
P-20
73.04b
853.00ab
15.20 ab
14.06
Ulangan
P-30 85,00ab 515.00b 46.20 b 14.18 Ket: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) 5.
Cholesterol Serum Darah dan Kolesterol Kuning telur Pada Tabe 8. terlihat dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian sinbiotik BIS fermentasi nyata berpengaruh (P>0,05) terhadap kolesterol serum darah ayam petelur. Ini terlihat dengan meningkatnya pemberian sinbiotik BIS fermentasi dalam ransum dapat menurunkan kolesterol serum darah. Hal ini sesuai dengan pendapat Jouybari (2010) menyatakan bahwa pemberian probiotik.siknifikan menurunkan kolesterol serum darah ayam. Walaupun terjadi penurunan kolesterol serum darah ayam petelur namun pemberian simbiotik BIS fermentasi dalam ransum belum berpengaruh (P>0.05) terhadap penurunan kolesterol kuning telur.
6.
Triglyseride dan High-Density Lipoprotein (HDL)Cholesterol Pada Tabel 8. terlihat dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian sinbiotik fermentasi dapat menurunkan (P>0,05) trigliserida darah ayam petelur. Kalau ditelusuri lebih lanjut terlihat pemberian sinbiotik BIS fermentasi sampai taraf 30% dalam ransum terdapat kecendrungan penurunan Trigliserida serum darah ayam petelur. Hal ini sesuai dengan pendapat Jouybari (2010) menyatakan bahwa pemberian probiotik.siknifikan menurunkan trigliserida ayam broiler.
Tabel 9. Pengaruh penggunan Sinbiotik Fermentasi Terhadap Kualitas Telur ayam petelur pada minggu ke 5 akhir penelitian
Parameter Berat telur (gr) Berat kuning telur (gr) Berat kuning telur (%) Berat putih telur (gr) Berat putih telur (%) Berat kerabang (gr) Berat kerabang (%) Index bentuk telur Haugh Unit score Indeks Albumin Yolk Index Yolk color Tebal kerabang (mm)
Perlakuan P-0 59.60 15.00 26.25 32.63 a 56.38 a 6.95 11.67 0.764 76.78 0.034 0.398 a 8.80 a 0.434
P-10 59.41 16.00 25.99 33.60 bc 56.55 ab 7.06 11.89 0.762 79.76 0.034 0.410 ab 7.80 b 0.482
P-20 61.75 16.20 26.69 36.90c 59.73b 6.79 11.10 0.774 79.79 0.034 0.436b 7.60 b 0.446
P-30 60.67 16.50 27.77 36.20 bc 59.61b 6.80 11.25 0.770 83.98 0.040 0.412 ab 7.30 b 0.482
Ket: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
PG-194
0090: Yusrizal, dkk
Sedangkan Pemberian sinbiotik fermentasi terlihat berpengaruh (P>0,05) terhadap peningkatan High Density Lipid (HDL) atau lemak baik ayam petelur. Kalau ditelusuri lebih lanjut dari Tabel 8. terlihat pemberian sinbiotik fermentasi sampai taraf 30% dalam ransum dapat menaikkan HDL kolesterol serum darah ayam petelur. E.
Kualitas Telur Pada Tabel 9. terlihat dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf penggunaan sinbiotik fermentasi didalam ransum ayam petelur tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) terhadap berat telur, berat kuning telur, berat kerabang, Indeks bentuk telur, Haught Unit dan tebal kerabang ayam petelur. Hasil ini seiring denagn yang dilaporkan Adrizal (2012) bahwa penggunaan bungkil inti sawit sampi 30% dalam ransum petelur arab lokal tidak berpengaruh terhadap parameter kualitas telur seperti tinggi albumen, haugh unit, tebal kerabang dan luas area telur. Lebih lanjut Zanu et. al. (2012) juga melaporkan bahwa pemberian 15% bungkil inti sawit dalam ransum ayam petelur tidak berpengaruh terhadap berat telur, tebal kerabang, haugh unit score Namun dengan semakin meningkatnya penggunaan simbiotik fermentasi dalam ransum ayam petelur berpengaruh (P<0.05) terhadap berat putih telur, Yolk Index dan Yolk Color telur. Dari Tabel 9. terlihat semakin tinggi penggunaan sinbiotik fermentasi didalam ransum ayam petelur menjadi berat putih telur semakin meningkat dari 32.63 gr (56.38% dari berat telur) pada perlakuan P-O menjadi 36.30 gr (59.61%) pada perlakuan (P-30). Peningkatan ini seiring dengan peningkatan yolk indeks dari 0.398 pada perlakuan P-O menjadi 0.412 pada perlakuan P-30. Namun untuk Indek warna kuning telur (Yolk color index) terjadi penurunan dari 8.80 pada perlakuan P-O menjadi lebih pucat yaitu 7.30 pada perlakuan P-30. Hal ini sesuai yang dilaporkan Adrizal (2012) bahwa penggunaan bungkil inti sawit dengan taraf 30% dalam ransum ayam arab local menghasilkan warna kuning telur yang lebih pucat dibanding ransum control. F. Pengukuran Amonia Feses Pada Kandang Pemeliharaan Sebagaimana terlihat Tabel 10. bahwa hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf penggunaan sinbiotik fermentasi didalam ransum memberikan pengaruh nyata (P<0,05) dalam menurunkan ammonia feses ayam petelur. Semakin tinggi tingkat
pemberian sinbiotik semakin rendah amonia feses yang dihasilkan baik pada feses yang diinkubasi 1 jam, 24 jam maupun 48 Jam. Untuk feses yang diinkubasi selama 1 jam terlihat, pemberian simbiotik fermentasi dalam ransum berpengaruh nyata dalam menurunkan amonia feses ayam petelur. Hal ini terlihat tingkat penurunan amonia feses sangat jauh berbeda antara perlakuan P3 yang mencapai 66.40 ppm dibanding perlakuan control P0 (336,00 ppm) selama 1 jam inkubasi. Hal yang sama juga masih terjadi pada perlakuan inkubasi feses pada selama 24 jam di mana perlakuan control (P-0) mencapai 1024 ppm sedangkan perlakuan P-30 masih 108.80 ppm. Inkubasi feses lebih lanjut selama 48 jam masih menunjukan fenomena yang sama di mana amonia pada perlakuan control (P-O) terus meningkat menjadi 1792 ppm namun amonia pada perlakukan simbiotik dalam ransum (P-30) masih bertahan dengan amonia 109.20 ppm. Terjadinya penurunan ini tidak terlepas dengan terjadinya penurunan pH feses akibat peningkatan pemberian sinbiotik fermentasi dalam ransum (P-30) petelur yang mampu menurunkan pH feses ayam petelur. Hasil ini seiring sebagaimana yang dilaporkan Yusrizal dan Chen, (2003) bahwa pemberian prebiotik Raftifeed dalam pakan dapat menurunkan amonia dan pH feces pada minggu ke empat pemeliharaan ayam broiler. Lebih lanjut hasil ini juga disebabkan peran probiotik yang terkandung dalam sinbiotik fermentasi sebagaimana yang dilaporkan Chang dan Hsien (1995) bahwa pemberian probiotik yang mengadung L. Acidophilus, S. faeciem dan B. Subtilis dapat menurunkan konsentrasi amonia pada feses dan litter ayam broiler. Penurunan amonia ini juga tidak terlepas dengan efek sinbiotik fermentasi yang mampu menstimulasi pertumbuhan Lactobacillus sehingga diproduksi asam lemak rantai pendek dalam saluran pencernaan sehingga berakibat menurunkan pH feses. Penurnan pH feses sangat terkait dengan meningkatnya pertumbuhan bakteri Lactobacillus dalam saluran pencernaan yang mampu menggunakan mannanoligosakarida dalam dari log 8.73 cfu/gr pada perlakukan control (P-O) menjadi log 9.00 cfu/gr pada perlakuan (P-30). pH yang rendah dalam saluran pencernaan atau feses menjadikan cukup banyaknya tersedia ion H+ (protonase) akibat hasil fermentasi dalam saluran pencernaan. Banyak tersedianya ion H+ akan dapat mengikat amonia (NH3) feses yang berupa gas menjadi ammonium (NH4+) yang mudah larut dalam air dan terikat pada feses. Keadaan ini mengakibatkan sedikitnya emisi amonia yang terlepas ke udara sehingga menyebakan amonia turun pada feses ayam petelur.
Tabel 10. Efektivitas Penggunaan Sinbiotik Fermentasi dalam ransum untuk menurunkan Kadar Ammonia, pH dan Kadar Air Feses ayam petelur yang inkubasi selama 1 jam, 24 jam dan 48 jam.
Fecal
Taraf P- 0 P-10 P-20 P-30
Taraf
Amonia (ppm) 1 Jam 336.00a 165.20b 102.40c 66.40c
pH
Kadar Air (%) 1 Jam 76.60a 71.82b 71.44bc 69.65c
Amonia (ppm) 24 Jam 1024.00 a 928.00 a 294.40 b 108.80 c
Amonia (ppm)
pH
48 Jam
48 Jam
Kadar Air (%) 48 Jam
1 7.80a 7.66b 7.44c 7.28d
pH 24 jam 7.94 a 7.88a 7.68 b 7.30 c
Kadar Air (%) 24 Jam 76.09 a 71.30 b 70.12b 68.26b Lactobacillus sp (cfu/gr feses)
0090: Yusrizal, dkk
PG-195
P- 0 P-10 P-20 P-30
1792.00 a 768.00 b 285.60 c 109.20 c
7.94 a 7.82a 7.56b 7.24 c
78.48 a 74.98b 73.64bc 72.24 c
8.73 b 8.70 b 8.65 b 9.00 a
Ket: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
IV.
KESIMPULAN
Aplikasi langsung (direct application) sinbiotik BIS fermentasi sampai 8% yang mengandung enam bakteri perlakuan terlihat Bacillus Cereus, Lactobacillus Bulgaricus dan Lactobacillus Acidophilus lebih efektif menurunkan amonia feses diantara enam bakteri yang diujicobakan. Untuk uji sinergitas,kombinasi ke tiga bakteri tersebut tidak terlalu efektif menurunkan amonia feses. Untuk status kesehatan ayam petelur terlihat pengaruh pemberian sinbiotik BIS fermentasi sampai taraf P2 (30%) dalam ransum tidak berpengaruh negative terhadap jumlah eritrosit, hemaktrokrit dan kadar HB ayam petelur dan dapat menurunkan kolesterol serum darah, trigliserida dan meningkatkan HDLCholesterol ayam petelur. Pemberian sinbiotik BIS fermentasi sampai taraf P-30 (30%) dalam ransum menghasilkan pengaruh negative terhadap henday, henhouse, massa telur dan konversi ransum namun tidak berpengaruh terhadap konsumsi ransumr Sedangkan untuk kualitas telur terlihat pengaruh pemberian sinbiotik BIS fermentasi sampai taraf P2 (30%) dalam ransum menghasilkan berat telur berat kuning telur, berat kerabang, Haugh Unit score dan tebal kerabang yang tidak berbeda, namun.menghasilkan, indeks kuning telur yang lebih tinggi dan warma telur yang semakin pucat. Sedangkan pemberian sinbiotik BIS fermentasi sampai taraf 30% dalam ransum terlihat sangat efektif dalam menurunkan emisi amonia, pH feses, dan kadar air feses ayam petelur.
DAFTAR PUSTAKA [1] Adrizal, A., Y. Yusrizal, S. Fakhri, W. Haris, E. Ali, and C. R. Angel. Feeding native laying hens diets containing palm kernel meal with or without enzyme supplementations: 1. Feed conversion ratio and egg production. J. Appl. Poult. Res. 20: 40-49. Doi:10.3382/japr.2010-00196. [2] Allent, V. M., F. Fernandez, and M.H. Hinton. 1997. Evalauation of influence of supplementing the diet with mannose or palm kernel meal on salmonella cplonization in poultry. Br. Poult. Sci: 38:485-488. [3] AOAC, 2005. Official Method of Analysis of AOAC International.. 18th ed. Assoc. Off. Anal. Chem. Arlington. [4] Chang S.H. and W.M. Hsien, 1995. Effect of direct feed microrganisme on broiler growth a. performance and litter amonia level. AsiaanAustralian J. Animal Sci. 8, 159-162. [5] Choctt, M. 2007. Role of biotechnology in utilization of alternative feed ingredients for monogastric animals. The university of New England, New England, Australia. [6] Chong, C.H., I. Zilkifli, and R. Blair. 2008. Effects of dietary inclusion of palm kernel cake and palm oil, and enzyme supplementation on performance of laying hens. Asian-Aust J. Anim. Sci. 21 (7):1053-1058.
[7] Daud, M. J. and Jarvis, M.C. 1992. Mannan of oil palm kernel. Phytochemistery 31:463-464. [8] Dellmann, H D dan Brown, E. M. 1989. Buku Teks Histologi Veteriner I. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. [9] Ferket, P.R. 2004. Alternatives to antibiotics in poultry production: respons, practical experience and recommendations. Pages 56-67 in: Nutritional Biotechnology in the Feed and Food Industries: Proc. Alltech’s 20th annual Symp. Kentatucky, USA. [10] Heij, G.J.,T. Schneider, 1991. Studies in Environmental Science 46. Acidification Research in The Netherlands. Final Report of the Dutch Priority Programme on Acidification. ELSEVIER SCIENCE PUBLISHING COMPANY INC. 655, Avenue of the Americas. New York, NY 10010, U.S.A. [11] Johnston, L. J. S. Noll, A. Renteria, and J. Shurson. 2003. Feeding by-products high in concentration of fiber to non ruminats. Third Natl. Symp Alternative Feeds for Livestock and Poultry. Kansas City, November 4, 2003. Mo, USA [12] Kiarie, E, E. G. B. A. Slominski, D. O. Krause, and C. M. Nyacchoti. 2008. Nonstarch polysaccharide hydrolysis products of soybean and canola meal protect against enterotoxigenic Escheria coli in piglets. J. Ntr. 138: 502-508 [13] Mobley, D. F., and R. P. Hausinger. 1989. Microbial ureases: singnificance, regulation, and moleculer characterization. Micbiol. Rev. 53:85-108. [14] NRC, 1994. National Research Council. Ninth Revised Ed. National Academy i. Press, Washington, DC. [15] Perez, J. F.., A. G. Germat, and J. G. Murillo. 2000. The effect of different levels of palm a. kernel meal in layer diets. Poult. Sci. 79: 77-79. [16] Pettigrew, J. E. 2000. Bio-Mos effects on pig performance: a review. Pages 31-44 in: a. Biotechnology in the feed Industry: Proc. Alltech’s 16 th Annual Symp., Kentucky, b. USA [17] Ravindran, V., and R. Blair. 1992. Feed resiuces for poultry production in Asia and the Pasific. II. Plant protein sources. World’s Poult. Sci. J. 48: 205-203. [18] Roberfroid, M. B. 2000. Prebiotics and probiotics: are they functional foods?. Am. J. Clin. Nutr. 71 (Supppl. 6): 16821687S. [19] Steel, R.G.D. dan J.H Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan: B. Sumantri. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. [20] Vogels, G. D., and C. Van der drift, 1976. Degration of pirines and pyrimidines by micro-organisms. Bacteriological Reviews 40:403-407. [21] Widjajakusuma dan Sikar3. 1986. Kumpulan Materi Kuliah Fisiologi Hewan. Jilid I. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor Watkins, B.A. and F.A. Kratzer. 1984. Drinking water treatment with commercial of preparation of conceptrated Lactobacillus cultures for broiler chicks Poultry Sci., 63: 1671-1673.
PG-196
[22] Winarsih, W. 2005. Pengaruh probiotik dalam pengendalian salmonellosis subklinis pada ayam: Gambaran patologis dan performan. Disertasi Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor. [23] Yusrizal and T. C. Chen. 2003. Effect of adding chicory fructans in feed of fecal and intestinal microflora and excreta volatile ammonia. Int. J. of Poult. Sci 2 (3): 188 - 194 [24] Yusrizal dan A.Azis (2009). Identifikasi dan Pemanfaatan Kombinasi Berbagai Bakteri a. Untuk Menurunkan Kadar Amonia Feses dan Litter Unggas. Laporan Penelitian b. Fundamental Tahun 2009. [25] Yusrizal, F. Manin, Yatno, and Noverdiman. 2012. The Use of Probiotic and Prebiotic (Symbiotik) derived from palm Kernel Cake in Reducing Ammonia Emision in the Broiler House. Proceeding the Ist Poultry International Seminar 2012. The Role of Poultry in Improving Human Welfare. Faculty of Animal Science, University of Andalas, Padang. Indonesia. 2012. [26] Zanu, H. K., J. Abangiba, W. Arthur-Badoo, A.D. Akparibo, and Sam R. 2005. Laying chickens respons to various levels o palm kernel cake in the diet. Int. J. Livestock. Prod. 3(1):1216.
0090: Yusrizal, dkk