Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 2013
Pemetaan Kondisi Tanah dan Vegetasi Sebagai Upaya Mengurangi Terjadinya Bencana Gerakan Tanah di Desa Rahtawu Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus Maeri Riani1*, Sri Prabandiyani2, Munifatul Izzati3 1Mahasiswa 2Staff
Magister Ilmu Lingkungan, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia Pengajar Program Studi Ilmu Lingkungan,Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia * Email:
[email protected]
ABSTRAK Kejadian gerakan tanah di Kabupaten Kudus salah satunya terjadi di Desa Rahtawu.Desa ini merupakan daerah pelindung bagi kawasan di bawahnya karena letaknya yang berada pada daerah hulu Sub DAS Gelis sekaligus sebagai daerah tangkapan air yang mengisi Cekungan Air Tanah Kudus. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji jenis vegetasi apa saja yang sesuai dengan peruntukan kawasan Desa Rahtawu sebagai kawasan lindung dan sekaligus daerah rawan gerakan tanah dan menampilkannya dalam peta sehingga mempermudah pengelolaan kawasan ini. Jenis tanah di Desa Rahtawu adalah tanah regosol yang sangat peka terhadap erosi dan tersusun atas batuanlava basalt, andesit, dan Leusit dari Formasi Lava Muria (Qvlm) dengan struktur geologi Formasi Lava Muria terdapat kekar-kekar lembaran pada lava basalt dan andesit. Struktur sekunder berupa kelurusan-kelurusan yang arahnya tidak teratur.Rahtawu terdapat pada daerah dengan zona kerentanan gerakan tanah tinggi dan zona kerentanan gerakan tanah sedang, dengan kemiringanlereng lebih dari 40%. Sedangkan potensi tanaman yang ada di Desa Rahtawu adalah tanaman 50 hektar tanaman kapuk, 250 hektar jagung, dan 45 hektar sengon laut. Dengan metode overlay peta kondisi tanah, jenis sebaran vegetasi, didapatkan hasil bahwa lokasi longsor pada Desa Rahtawu terdapat pada kawasan permukiman dengan tanaman keras yang kurang rapat. Karena kondisi tanah dan kelerangannya yang tajam, dominasi sawah dan ladang jagung pada desa ini tidak disarankan bila tidak disertai dengan penanaman tanaman keras. Kata kunci: mapping, land condition, vegetation, land movement.
1.
PENDAHULUAN
Kabupaten Kudus merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki struktur topografi yang beragam, yakni pada Sebelah Utara merupakan dataran tinggi Gunung Muria dengan ketinggian 1.600 mdpl dan kelerengan tajam yang rawan gerakan tanah. Bagian Selatan Kabupaten Kudus berupa dataran rendah dengan ketinggian 5 mdpl yang merupakan daerah cekungan, yang rawan terhadap bencana baik berupa banjir, kekeringan serta angin topan (angin ribut).Kejadian gerakan tanah yang terjadi setiap tahun di Desa Rahtawu Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus, menjadikan desa ini menarik untuk dijadikan lokasi penelitian. 1.1. Kejadian Gerakan Tanah Gerakan tanah baik berupa erosi dan tanah longsor sering terjadi di wilayah berbukit dan bergunung, terutama pada tanah berpasir (Regosol atau Psamment), Andosol (Andisols), tanah dangkal berbatu (Litosol atau Entisols), dan tanah dangkal berkapur (Renzina atau Mollisols). Di wilayah bergelombang, intensitas erosi dan longsor agak berkurang, kecuali pada tanah Podsolik (Ultisols), Mediteran (Alfisols), dan Grumusol (Vertisols) yang terbentuk dari batuan induk batu liat, napal, dan batu kapur dengan kandungan liat 2:1 (Montmorilonit) tinggi, sehingga pengelolaan lahan yang disertai oleh tindakan konservasi sangat diperlukan. Dalam sistem budidaya pada lahan berlereng >15% lebih diutamakan campuran tanaman semusim dengan tanaman tahunan atau sistem wanatani (agroforestry). Daerah rawan gerakan tanah harus dijadikan areal konservasi, sehingga bebas dari kegiatan pertanian, pembangunan perumahan dan infrastruktur. Apabila lahan digunakan untuk perumahan maka bahaya gerakan tanah akan meningkat, sehingga dapat mengancam keselamatan penduduk didaerah tersebut dan di sekitarnya. Penerapan teknik pengendalian gerakan tanah diarahkan kedaerah rawan gerakan tanah yang sudah terlanjur dijadikan lahan pertanian. Areal rawan gerakan tanah yang belum dibuka direkomendasikan untuk tetap dipertahankan dalam kondisi vegetasi permanen, seperti cagar alam, kawasan konservasi, dan hutan lindung. Pengendalian gerakan tanah dapat direncanakan dan diimplementasikan melalui pendekatan mekanis dan vegetasi atau kombinasi keduanya. Pada kondisi yang sangat parah, pendekatan mekanis sering kali bersifat mutlak jika pendekatan vegetative saja tidak cukup memadai untuk menanggulangi gerakan tanah. 1.2. Lokasi Studi Salah satu desa di Kabupaten Kudus yang sering terjadi bencana gerakan tanah adalah Desa Rahtawu, yang berada dalam wilayah administratif Kecamatan Gebog, seperti terlihat pada Gambar 1. Di desa ini pada ISBN 978-602-17001-1-2
283
Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 2013
setiapmusimhujan sering terjadi bencana gerakan tanah baik di tebing sungai, tebing jalan ataupun tebing-tebing bukityangmengelilingidesa. Tercatat dalam tulisan Widjanarko (2009), di Desa Rahtawu pernahterjadi bencana besar terjadi pada Maret 2006. BencanatersebutkarenaluapanKali GelisyangyangmelintasiDukuhSemliro, Desa Rahtawu. Pada bulan Januaridan Pebruari 2008, terjadi gerakan tanah lagi yangmenyebabkansaturumahdiDukuhSemlirodan tujuhrumahdidukuhWetan Kali rusaktotal,47 rumahrusak ringan (BPBD Kab. Kudus, 2010).
Gambar 1. Desa Rahtawu Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus Sementara itu menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kudus Tahun 2011-2016, Desa Rahtawu merupakan wilayah yang berada pada kawasan peruntukan kawasan lindung daerah dibawahnya. Desa ini merupakan Desa paling hulu dari sub DAS Gelis, yang memiliki fungsi sebagai kawasan strategis fungsi dan daya dukung lingkungan hidup yang perlu dilakukan pembatasan pengembangan untuk menjaga kelestarian kawasan, penetapan fungsi lindung dan tidak boleh dialihfungsikan sebagai kawasan budidaya yang memiliki peruntukan sebagaikawasan hutan lindung, kawasan hutan rakyat, kawasan rawan gerakan tanah, kawasan cagar budaya, kawasan perlindungan setempat sekitar mata air, dan kawasan peresapan air tanah (Bappeda Kab. Kudus, 2012). Air tanah memegang peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan air bersih di Kabupaten Kudus. Air tanah di Kabupaten Kudus digunakan sebagai sumber air baku air bersih utama, karena hampir 80% kebutuhan air penduduk, industri, dan niaga di Kabupaten Kudus dipenuhi oleh air tanah (Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Kudus, 2011). Air tanah di Kabupaten Kudus dipenuhi oleh adanya Cekungan Air Tanah Kudus yang mencakup wilayah Kab. Demak, Jepara, Pati, dan Kudus (Syamsul dan Dadi, 2007). Mengingat peranan penting air tanah ini, diperlukan langkah bijaksana untuk meresapkan air tanah tanpa memicu terjadinya gerakan tanah, karena gerakan tanah biasanya dipicu dengan adanya kondisi tanah yang jenuh air. Desa Rahtawu pada musim kemarau panjang mengalami kekeringan dan di musim penghujan mengalami gerakan tanah, oleh karena itu diperlukan upaya untuk menjaga agar air dapat teresapkan dalam tanah untuk mengisi akuifer, akan tetapi kadar air dalam tanah juga harus tetap dijaga kestabilannya. Cara yang dapat ditempuh untuk dapat menjalankan kedua fungsi tersebut adalah dengan pemanfaatan vegetasi.
2.
METODOLOGI
Kejadian gerakan tanah di Desa Rahtawu dapat diketahui dengan adanya riwayat kejadian gerakan tanah (tanah longsor).Longsor yang terjadi dilihat dalam intensitas kejadian longsor yakni waktu terjadinya longsor dan intensitasnya.Longsor ini juga perlu diketahui adanya jumlah korban, untuk memastikan bahwa gerakan tanah longsor merupakan hal yang merugikan warga setempat.Faktor-faktor kondisi fisik daerah yang mempengaruhi longsor perlu diketahui.Dari kondisi fisik daerah yang perlu dikaji ialah curah hujan, keadaan topografi, kondisi geologi, dan kelerengan lahan. Langkah selanjutnya adalah memetakan sebaran jenis vegetasi yang telah ada di daerah ini, dan ditumpangsusunkan dengan sebaran kondisi tanah di Desa Rahtawu. Pemetaan akan dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG). Dari hasil tumpang susun (overlay) peta kondisi tanah dan peta kejadian longsor serta jenis sebaran vegetasi yang sudah ada, akan didapatkan fakta kejadian gerakan tanah di Desa Rahtawu. Data ini kemudian dianalisis sehingga menghasilkan pemetaan sebaran vegetasi yang sesuai untuk Desa Rahtawu secara ekologi. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil ISBN 978-602-17001-1-2
284
Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 2013
Selain yang dikemukakan pada bab sebelumnya, fakta kejadian longsor lainnya yang terjadi di Desa Rahtawu adalah pada Tahun 2011. Pada tanggal 2 Februari 2011, gerakan tanah terjadi di Dukuh Semliro dan Dukuh Wetan Kali, Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus dengan pada dua lokasi yaitu di Dukuh Semliro dan Dukuh Wetan Kali. Dukuh Semliro terjadi di Sub Dukuh Ngeluk (RT 04 RW 04) pada posisi 060 37’ 48,3” LS; 1100 52’ 40,0” BT Elevasi 680 m aml.Dalam peristiwa ini tidak terdapat korban jiwa, kerugian berupa1 (satu) dinding rumah yang jebol. Sedangkan di Dukuh Wetan Kali, RT 04 RW 02 pada posisi 060 37’ 48,3” LS; 1100 52’ 40,0” BT Elevasi 497 m aml. Tidak ada korban jiwa, dengan kerugian berupa jebolnya 2 (dua) dinding rumah warga. Faktor-faktor kondisi fisik Desa Rahtawu yang mempengaruhi longsor perlu diketahui.Kondisi fisik Desa Rahtawuyang perlu dikaji ialah curah hujan, keadaan topografi, kondisi geologi, dan kelerengan lahan. Intensitas curah hujan rata-rata di Desa Rahtawu sebesar 11,4 – 13,6 mm/hari hujan pada musim kemarau, sedangkan pada musim penghujan mencapai 2000 mm/hari hujan. Desa Rahtawu terletak pada ketinggian 500 – 1.200 m d.p.l. dengan permukaan tanah yang bergelombang.Kemiringan lahan berkisar antara 30-50% sampai dengan >70%, di lembah sungai.Struktur geologi Formasi Lava Muria terdapat kekar-kekar lembaran pada lava basalt dan andesit.Struktur sekunder berupa kelurusan-kelurusan yang arahnya tidak teratur.Jenis batuan tersusun oleh lava basalt, andesit, dan Leusit dari Formasi Lava Muria (Qvlm).Ketebalan tanah (soil) di bervariasi antara 0,5 m – 10 m. Desa Rahtawu merupakan terdapat banyak petilasan sehingga oleh Pemerintah Kabupaten Kudus, ditetapkan sebagai kawasan wisata religi.Adanya kawasan wisata religi ini mendorong tumbuhnya pemukiman penduduk dengan bangunan permanen yang berkembang pesat hingga ke daerah-daerah dengan kelerengan tinggi (>400) seperti di Dukuh Semliro yang merupakan pemukiman dengan topografi paling tinggi.Kawasan permukiman penduduk yang terdapat di Dusun Wetan Kali termasuk lingkungan yang padat.Di antara pemukiman terdapat lahan persawahan dan tegalan dengan tanaman semusim.Sebagian besar lahan persawahan terletak di atas pemukiman. Pola aliran air di daerah bencana pada umumnya tidak tertata dengan baik sehingga air tidak mengalir teratur pada musim penghujan.Banyaknya sawah yang terdapat di atas pemukiman menyebabkan air tergenang dan drainase kurang baik sehingga tanah menjadi jenuh air. Sedangkan tanaman yang terdapat di Desa Rahtawu adalah 50 hektar tanaman kapuk, 250 hektar jagung, dan 45 hektar sengon laut. Lahan sawah yang terdapat di Desa Rahtawu seluas 180,71 ha, terdiri dari 148,38 ha, sedangkan sawah tadah hujan seluas 180,71 ha. Pekarangan/bangunan seluas 76,55 ha. Tegal/kebun seluas927,30ha, luasan kebun tebu 33,90 ha, jahe 0,50 ha, kencur 0,30 ha. Terdapat 1.867 batang pohon cengkeh, 105.421 batang pohon kopi. Pada lokasi kejadian longsor, seperti yang terlihat pada Gambar 2, pada umumnya ditemukan bahwa tanaman yang terdapat disana adalah padi pada lahan persawahan dan tegalan dengan tanaman semusim terutama jagung.Sistem manajemen lereng kurang bagus karena sebagian besar persawahan justru terletak di atas pemukiman. 3.2. Diskusi Melihat jenis gerakannya maka longsoran di Dukuh Semliro RT 04 RW 04, serta Dukuh Wetan Kali RT 04 RW 02 termasuk jenis gerakan tanah rotasi (memutar/nendatan) sedangkan dilihat dari jenis material longsoran maka longsoran di Dusun Wetan Kali termasuk jenis nendatan bahan rombakan karena terdiri dari tanah kasar sementara untuk longsoran di Dusun Semliro termasuk jenis nendatan tanah karena terdiri dari tanah halus. Untuk Dukuh Semliro RT 04 RW 04 dan sekitarnya, kejadian longsor dapat terjadi kembali apabila hujan turun terus menerus dan tidak ada perbaikan tebing yang mengalami longsor.Apalagi jarak antara fondasi rumah di bagian atas tebing dengan bibir tebing hanya tersisa ± 50 cm saja. Apabila longsor terus berlanjut maka akan juga membahayakan rumah di atas tebing. Tanah yang tebal dan vegetasi yang nyaris tidak ada atau hanya tanaman musiman saja menyebabkan tidak ada akar yang menahan massa tanah pada tebing, sehingga mudah terjadi longsor.
ISBN 978-602-17001-1-2
285
Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 2013
U
Gambar 2. Vegetasi dan Lokasi Longsor di Desa Rahtawu Khusus untuk rumah-rumah di sekitar lokasi longsor di dukuh Semliro akan lebih baik bila direlokasi ke tempat yang lebih aman atau mendapat perlakuan khusus secara geoteknik (pembuatan talud dengan dipancang dengan kedalaman mencapai batuan yang belum lapuk) sehingga aman dari kerawanan gerakan tanah. Di Dukuh Wetan Kali RT 04 RW 02, potensi terulangnya kejadian longsor dapat terjadi apabila hujan terus menerus terjadi, apabila belum ada perbaikan secara geoteknis terhadap tebing yang mengalami longsor. Selain itu kondisi tanah di daerah ini tebal, rumah penduduk sangat padat (terpadat di Desa Rahtawu) sehingga hanya menyisakan sedikit ruang untuk tempat menanam vegetasi dengan akar tunjang. Drainase di daerah ini juga kurang baik sehingga air terkadang menggenang dan mempunyai kesempatan untuk meresap ke dalam tanah yang labil tersebut dan menambah beban tanah.Untuk mengurangi beban tanah tersebut maka perlu untuk menusuk endapan tanah pada tebing yang terlihat tanda-tanda telah jenuh air (adanya rembesan atau muncul mata air mendadak saat hujan), agar air bisa keluar dari endapan tanah. Untuk rumah-rumah di sekitar lokasi longsor di dukuh Wetan Kali agar aman dari kerawanan gerakan tanah harus mendapat perlakuan khusus secara geoteknik (pembuatan talud yang dipancang dengan kedalaman mencapai batuan yang belum lapuk), mengingat untuk merelokasi penduduk di dukuh tersebut yang berjumlah ribuan karena merupakan daerah terpadat di Rahtawu, sehingga akan lebih banyak menimbulkan dampak sosial.
4.
KESIMPULAN
Tanah yang tebal dan vegetasi yang nyaris tidak ada atau hanya tanaman musiman saja menyebabkan tidak ada akar yang menahan massa tanah pada tebing, sehingga mudah terjadi longsor.Karena kondisi tanah dan kelerangannya yang tajam, dominasi sawah dan ladang jagung pada desa ini tidak disarankan bila tidak disertai dengan penanaman tanaman keras.Menanam tanaman keras berakar tunjang di lereng yang terjal terutama serta pengaturan drainase yang baik untuk mencegah air hujan masuk ke dalam endapan tanah akan mengurangi bencana tanah longsor. Diperlukan kajian ekonomi secara mendalam untuk mengetahui pendapatan masyarakat dari hasil menanam tanaman semusim atau tanaman keras yang tidak diambil hasil kayunya.
5.
REFERENSI
Arsyad, S. 2006, Konservasi Tanah dan Air, Bogor : IPB Press Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Kudus dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus, 2012, Kudus Dalam Angka 2011/2012, Kudus : Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus. Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Kudus, 2012, Rancangan Review Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kudus 2013-2023, Kudus : Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Kudus.
ISBN 978-602-17001-1-2
286
Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 2013
CIFOR, 2006, Laporan Pertemuan Dialog Pertama Gerakan Tanah dan Perubahan Iklim, Pengarusutamaan Adaptasi Perubahan Iklim ke Dalam Agenda Pembangunan : Tantangan Kebijakan dan Keilmuan, Jakarta : CIFOR. Chao-Yuan Lin, Huang-mu Lo, Wen-Chieh Chou, 2004, Ecological Modelling : Vegetation recovery assessment at the Jou-Jou Mountain Landslide Area Caused by the 921 Earthquake in Central Taiwan, Elsevier B.V Departemen Pertanian, 2006, Lampiran Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 47/Permentan/OT.140/10/2006 Tentang Pedoman Budidaya Pertanian di Lahan Pegunungan, Jakarta : Departemen Pertanian. Departemen Pertanian, 2007, Agenda Nasional (2008-2015) dan Rencana Aksi 2008-2009 Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Pertanian, Jakarta : Departemen Pertanian. Eagleson, Peter S, 2002, Ecohydrology :Darwinian Expression of Vegetation Form and Function, Cambrigde Eddy van der Maarel, 2005, Vegetation Ecology, Blackwell Science, Ltd. Gerrit W. Heil, Bart Muys, Karin Hansen, 2007, Environmental Effect of Afforestation in North-Western Europe, Springer Hadi ,Syamsul dan Dadi Harnandi , 2007, Penyelidikan Konservasi Cekungan Air Tanah Kudus Propinsi Jawa Tengah, Bandung : Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Badan Geologi Pusat Lingkungan Geologi Bandung. Hary Christady Hardiyatmo, 2006, Penanganan Tanah Longsor dan Erosi, Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Kartasapoetra AG, G. Kartasapoetra, dan Mul Mulyani Sutedjo, 2005, Teknologi Konservasi Tanah dan Air, Jakarta : PT. Rineka Cipta Kementerian Lingkungan Hidup, 2007a, Kajian Risiko dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Sektor Pertanian, Jakarta : Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup, 2007b, Kajian Risiko dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Sektor Sumber Daya Air, Jakarta : Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup, 2007c, Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim, Jakarta : Kementerian Lingkungan Hidup. Khanafi, Imam, 2011, Pemetaan Potensi Bencana Di Desa Rahtawu Kabupaten Kudus Berbasis GIS (Geographic Information System) dalam http://www.mpbi.org/files/workshops/20111205_Imam-Khanafi_ Pemetaan-DesaRahtawu-Kudus.pdf McNeely, Jeffrey A.; Kenton R.Miller; Walter V.Reid; Russell A.Mittermeier; Timothy B.Werner. 1994. Biolological Diversity. Gland, Switzerland, and Washigton D.C.: IUCN, WRI, CI, WWF-US, The World Bank. Meyer , Don E. & Virginia M Dryden (Eds.) 1963. Biological Science; an Inquiy into Life.BSCS Yellow version. New York, Chicago,Atlanta, Dallas, Burlingame: Harcourt,Brace & World,Inc. Naryanto, Heru Sri, 2011, Analisis Risiko Bencana Tanah Longsor di Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah, Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 2 Nomor 1 Tahun 2011 Odum, Eugene P. 1983. Basic of Ecology Japan:Holt- Sounders Co.. Puntodewo A, Dewi S, dan Tarigan J. 2003. Sistem Informasi Geografis untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam. Bogor Barat: Center for International Forestry Research Sembiring, K, 2007, Aplikasi Sistem Informasi Penanggulangan Bencana di Indonesia. Lomba Karya Tulis Mahasiswa. Bandung Sumarmo, 1999, Penyelamatan Plasma Nutfah dari Desakan Budaya dan Pertanian Modern.Makalah. Surakarta: Universitas Negeri Surakarta. ISBN 978-602-17001-1-2
287
Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 2013
Widjanarko, 2009, Mitigasi Bencana di Rahtawu, Suara Merdeka, 17 Maret 2009 Wildi, Otto, 2010, Data Analysis in Vegetation Ecology, John Willey & Sons, Ltd.,
ISBN 978-602-17001-1-2
288