UPAYA PEMBAURAN ORANG CINA BEKASI SEBAGAI STRATEGI ADAPTASI SOSIAL BUDAYA C. DEWI HARTATI SASTRA CINA – FAKULTAS SASTRA Email :
[email protected]
ABSTRAK Keanekaragaman suku-bangsa dan golongan sosial, telah memunculkan terjadinya berbagai strategi adaptasi. Pemahaman terhadap strategi adaptasi yang diterapkan mencerminkan bentuk kognitif yang dipelajari melalui sosialisasi dari pendukung suatu budaya, yang kemudian diharapkan mampu memberikan penjelasan terhadap fenomena sosial yang dihadapi. Adaptasi diartikan sebagai proses yang menghubungkan sistem budaya dengan lingkungannya. Orang Tionghoa Bekasi sudah beradaptasi selama beberapa generasi dan tetap mempertahankan tradisi budayanya. Strategi adaptasi orang Tionghoa Bekasi di satu sisi berusaha mempertahankan tradisi sebagai ikatan dengan leluhur, budaya, di sisi lain berbaur dengan masyarakat setempat. Penelitian ini bersifat eksploratif yang bertujuan untuk memperdalam pengetahuan mengenai suatu gejala tertentu atau mendapat ide-ide baru mengenai gejala itu sehingga dapat merumuskan masalah secara lebih terperinci. Penelitian ini juga bersifat deskriptif karena penelitian ini akan memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu kedaan, gejala atau kelompok tertentu Kata kunci : strategi adaptasi, kognitif,eksploratif 1
PENDAHULUAN
Fenomena migrasi merupakan salah satu dari tiga faktor dasar yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk, selain faktor lainnya yaitu kelahiran dan kematian. Migrasi cenderung dilakukan orang dengan berbagai alasan, baik faktor ekonomi, sosial dan budaya. Tempat yang biasa dijadikan untuk daerah migrasi oleh para migran adalah daerah perkotaan. Akan tetapi dalam kasus orang Tionghoa, fenomena migrasi tidak lepas dari unsur politik. Masyarakat Tionghoa di Indonesia banyak menjadi korban pembantaian-pembantaian akibat politik diskriminatif yang berlangsung pada Zaman Belanda (VOC,1740), era Orde Lama dan Orde Baru. Beberapa kali kelompok etnis Tionghoa menjadi korban pembunuhan massal atau penjarahan pada masa Penjajahan Belanda. Akibat dari pembantaian-pembantaian ini, banyak kelompok etnis Tionghoa yang tinggal di kota-kota besar seperti Batavia pindah ke tempat yang lebih aman, dan memilih Bekasi sebagai tempat menetap. Migrasi yang biasanya terjadi adalah dari desa ke kota namun dalam kasus Orang Tionghoa, mereka memilih meninggalkan Batavia sebagai suatu pusat atau kota ke luar kota yang dianggap lebih aman.
Pada awalnya, mereka hanya mengungsi untuk menghindari pembantaian-pembantaian yang terjadi. Namun, lama kelamaan mereka menetap di wilayah ini dan menjadi penduduk Kota Bekasi. Ada beberapa hal yang memghambat dan memperlancar adaptasi. Yang menghambat proses adaptasi adalah perbedaan ras dan keterpisahan sosial budaya. Kemudian faktor-faktor yang memperlancar integrasi adalah lama menetap, pendidikan, namun yang paling berpengaruh adalah peraturan pemerintah terutama produk Orde Baru, terutama peraturan tentang ganti nama, agama dan kepercayaan serta adat istiadat orang Tionghoa, yang mendorong orang-orang Tionghoa berintegrasi dengan masyarakat pribumi. Adapun dampak integrasi adalah terjadinya asimilasi budaya antara budaya Tionghoa dengan budaya masyarakat pribumi, juga terjadinya kawin campur (amalgamasi). Proses adaptasi budaya yangterjadi pada setiap suku bangsa ada beberapa model adaptasi yang dilakukan oleh pendatang terhadap penduduk asli, adaptasi yang dilakukan penduduk asli terhadap pendatang dan adaptasi yang tidak dilakukan oleh pihak manapun,dimana masingmasing etnik berdiam diri tanpa melakukan adapatasi. Pada umumnya adaptasi yang paling sering terjadi adalah adaptasi yang dilakukan oleh penduduk pendatang terhadap penduduk asli. Keberadaan pendatang tersebut dengan membawa budaya asalnya dengan mudah dapat ditemui dan dikenali misalnya dari logat maupun bahasa yang digunakan. Hal ini menjadikan mereka “berbeda” dengan masyarakat host culture. Keadaan “berbeda” ini akan menyebabkan suatu perasaan “asing”bagi para “perantau” ketika berada dilingkungan yang baru. Inilah yang disebut dengan gegar budaya. Ketika pertama kali berada di sebuah lingkungan yang baru berbagai macam ketidakpastian (uncertainty) dan kecemasan (anxiety) dialami oleh hampir semua individu. Ternasuk pendatang tersebut ketika berada di daerah baru. Namun pada umumnya orang Cina Bekasi lebih bisa diterima dalam lingkungan sosial masyarakat di Bekasi. Mereka dapat menjalin hubungan dengan baik dengan penduduk setempat. Masyarakat Cina di Indonesia adalah keturunan dari wilayah Tiongkok Tenggara yang sebagian tiba di salah satu wilayah di Indonesia(Hindia Belanda atau Nusantara) sebelum abad XVII dan sebagian besar sesudahnya, yaitu masa awal, pertengahan, dan akhir abad XVII, XVIII, XIX, dan awal abad XX sampai kira-kira tahun 1930-an. (Gondomono,2002:5)
Imigran yang berasal dari Tiongkok Tenggara pada waktu itu kemudian datang lebih banyak lagi pada awal abad ketujuh belas sebagai pekerja dan pedagang, sebagai pekerja pada mulanya sebagian dipaksa oleh Belanda dan sebagian besar lagi secara sukarela mencari nafkah di Batavia yang baru saja didirikan oleh Belanda. Belanda mengadakan penggabungan lebih lanjut masyarakat Tionghoa kota ini ke dalam jaringan perdagangan Belanda yang berpusat di Batavia (Blusse, 1987:12) Kehidupan di Nusantara terbukti lebih baik dan memberi harapan yang
lebih cerah
dibandingkan di tanah airnya di Tiongkok Tenggara, hal itu menyebabkan makin banyaknya arus imigrasi dalam jumlah besar keIndonesia. Pada kedatangan mereka yang pertama mereka datang tanpa membawa kaum perempuannya. Awalnya mereka masih berencana untuk kembali ke tanah airnya jika telah mengumpulkan kekayaan, namun lama-kelamaan mereka malah kemudian hidup dengan perempuan setempat dan menetap di Indonesia untuk selama-lamanya. Mereka membentuk komunitas sendiri yang makin lama makin berbeda secara budaya dengan masyarakat Tionghoa di Tiongkok sendiri. Keturunan perkawinan campur antara pria Tionghoa dengan perempuan penduduk setempat yang manapun di Indonesia masih menyebut dirinya orang Tionghoa karena sistem kekerabatan yang masih menjadi tradisi adalah patrilineal yaitu mengikuti garis keturunan pria. Setelah beberapa abad dan beberapa generasi terbentuklah sebuah golongan yang dinamakan golongan Tionghoa-Indonesia. Golongan ini banyak dikenal dengan sebutan golongan “peranakan”. Dari sinilah terbentuk apa yang dinamakan golongan Tionghoa “peranakan” (terutama di pulau Jawa). Keturunan perkawinan campur itu menggunakan salah satu bahasa Nusantara yaitu bahasa ibunya dan tidak dapat berbahasa Tionghoa apapun, seperti Hokkian, Teociu, Hinghua dan lain-lain, kecuali penggunanaan beberapa istilah sehari-hari yang sering digunakan ayahnya seperti istilah kekerabatan, istilah keagamaan, dan istilah pedagangan termasuk hitung-menghitung. Kebudayaan kaum “Tionghoa Peranakan” tidak sepenuhnya bercirikan pribumi seperti golongan sukubangsa ibunya misalnya yang berasal dari Jawa, Sunda, Bugis, dan lain sebagainya dan tidak juga sepenuhnya bercirikan Tionghoa, misalnya Hokkian, Teociu, Hinghua, dan lain-lain. Keturunan perkawinan campur antara pria Cina dengan perempuan penduduk setempat yang mana pun di Indonesia, masih disebut dan menyebut dirinya orang Cina karena tradisi kekerabatan mereka yang patrilineal. Beberapa generasi sesudahnya dan beberapa abad
kemudian terbentuklah yang disebut dengan kaum Cina Peranakan terutama di Pulau Jawa. Orang Cina Bekasi , di mana Bekasi merupakan bagian dalam Pulau Jawa tentu saja juga merupakan kaum peranakan. Karena sejak lahir anak-anak dari kaum peranakan pada umumnya lebih dekat dengan ibunya yang merupakan kaum perempuan setempat maka tentu saja keturunan perkawinan campur menggunakan bahasa ibu yaitu bahasa-bahasa di Nusantara. Biasanya kaum peranakan tidak lagi dapat berbahasa Mandarin, kecuali beberapa istilah yang sering digunakan terutama istilah kekerabatan, keagamaan, perdagangan khususnya istilah hitung-menghitung. Kebudayaan kaum peranakan ini pun berbeda dari satu keluarga ke keluarga lain tergantung dari leluhur dan tempat asalnya.Masa sesudahnya yaitu kaum imigran yang datang pada awal abad kesembilan belas sampai awal tahun 1930-an banyak yang membawa istri atau keluarganya sehingga mereka membentuk komunitas sendiri yang berbeda dengan golongan TionghoaIndonesia dan secara budaya lebih akrab dengan budaya leluhur mereka di negeri Tiongkok. Golongan ini yang dikenal dengan golongan Tionghoa Totok. Kebudayaan mereka termasuk bahasanya berbeda dengan kaum “Tionghoa Peranakan”, walaupun dalam golongan “Tionghoa Totok” sendiri kebudayaan dan bahasanya pun bermacam-macam menurut subsukubangsanya seperti Hokkian, Teociu, Kanton, Hakka, dan lain-lain. Orang-orang Tionghoa di Jakarta sangat beragam atau dengan kata lain masyarakat Tionghoa adalah suatu kelompok yang heterogen hal ini terlihat dari banyaknya sub-sub etnis Tionghoa di Jakarta. Sub-sub etnis Tionghoa ini ada yang menyebutnya sebagai kelompok dialek atau kelompok bahasa (lihat Gondomono, 1996:11) Di Jakarta dan Bekasi umumnya terdapat kelompok Hokkian (yang dibedakan lagi dalam subkelompok Ciangciu, Cuanciu, dan Hokcia), Kanton, Hakka, Teochiu, Hai Lu Hong, Hinghua, Hainan, Shantung, Hunan, dan lain sebagainya. Sub-subetnis ini biasanya berkaitan dengan sistem mata pencaharian hidup. Seperti dikemukakan oleh Thomas T.W. Tan dalam Chinese Dialect Groups: Traits and Trades, di Singapura ia menunjukkan kalau orang-orang Hokkien bergerak dalam bidang usaha pertokoan, orang-orang Kanton dan Hakka di bidang obat-obatan, orang-orang Hainan di bidang usaha restauran, orang-orang Fuchou dalam bidang usaha kedai kopi. Sementara di Indonesia khususnya Jakarta sub-subetnis memang menunjukkan adanya spesialisasi dalam bidang usaha mereka akan tetapi tidak mutlak seperti yang telah dikhususkan
sebagaimana yang digambarkan dengan keadaan di Singapura. Jika orang Hokkien di Singapura hanya dalam bidang usaha pertokoan saja, di Jakarta tidak selalu usaha-usaha bidang tertentu dilakukan oleh sub etnis tertentu. Penelitian etnis Cina di Indonesia telah banyak dilakukan seperti Gondomono yang meneliti tentang etnis Cina di Tangerang juga Melly G. Tan di Sukabumi, Hari Purwanto masyarakat Cina di Singkawang yang semuanya melihat identitas kesukubangsaan atau etnisitas mereka. Dalam penelitian masyarakat Cina Bekasi ini, saya berupaya untuk melihat strategi adaptasi mereka, atau tingkah laku yang adaptive yang dilakukan oleh orang Cina Bekasi. 2
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian penulis, ada beberapa bentuk strategi adaptasi yang dilakukan orang Cina Bekasi yaitu melakukan 1. Akulturasi antara kebudayaan Cina dan Bekasi , akulturasi antara dua kebudayaan tersebut terjadi dalam bentuk sebagai berikut : Akulturasi Bahasa. Menurut Profesor Kong Yuanzhi dalam Silang Budaya Tiongkok Indonesia terdapat 1046 kata pinjaman bahasa Cina yang memperkaya bahasa Melayu / Indonesia dan 233 kata pinjaman Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Tionghoa. Misalnya anglo (洪爐) bakiak(木屐), bakmi (肉麵), cangklong, cawan(茶 碗), cukong(主公), giwang (耳環) jamu (草藥),jok, kecap (茄汁, kecoa,kongkalikong (串 謀), kongko (講座), kongsi(公司), koyo, kuli (苦力), langseng, lihai (厲害),loak, loteng, lonceng, mangkok (碗鍋), misoa ( 碗鍋), pisau(匕首), pengki, sampan (舢舨), singkek, sinse (診師), suhu, sumpit, sempoa, taifun, teko (茶壶), toko,tukang (土工), dan lain-lain。
Selain itu ada kata-kata lain seperti untuk memasak di dapur ada langseng (lang-sng) 'dandang', anglo (hang-lou) 'perapian dengan arang'. Meja bisa dibersihkan dengan topo' (tohpou) 'lap meja', bisa juga pakai kemoceng (ke-mo cheng) 'bulu ayam' untuk menghilangkan debunya. Lantas tesi (te-si) 'sendok teh' tentunya untuk menyendok. Untuk mengumpulkan sampah yang sudah disapu ada pengki (pun-ki). Di tempat-tempat becek doeloe orang suka memakai
bakiak
(bak-kiah)
yang
tahan
air.
Dalam kosa kata sehari-hari banyak istilah Tiongkok yang sudah dianggap punyanya orang
Betawi. Sebut saja cepek (seratus), engkong (kakek), gua (saya), lu (kamu), cabo (pelacur), centeng (penjaga malam), toko (tempat bertransaksi), sekoteng (minuman sejenis wedang jahe), cincau (minuman ringan dari sari daun), dan bakiak (sandal dari kayu). Istilah ubin, lonceng, pangkeng (kamar tidur), kongkow, teh, kuaci, tapang (bermakna balai-balai), langseng, anglo, topo, kemoceng, dan pengki, juga berasal dari dialek Hokkian. Mengenai istilah kekerabatan orang Betawi menyebut kakenya ngkong (ng-kong), ibunya enya' (ng-nia), paman dan bibinya encing (ng-cim). Dari ketiga istilah kekerabatan ini ngkong-lah yang paling jelas dipinjam dari istilah kekerabatan Hokkian Selatan.
Kesenian.
Pertukaran musik dan tari telah dilangsungkan sejak jaman Dinasti Tang (618-907). Alat musik seperti Gong dan Canang, Erhu (rebab Cina senar dua), suling, kecapi telah masuk dan menjadi alat musik daerah di Indonesia.
Gambang Kromong merupakan salah satu jenis perangkat musik yang berasal dari DKI Jakarta. Perangkat musik ini dapat digolongkan ke dalam perangkat gamelan. Sebutan Gambang Kromong di ambil dari nama dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan kromong. Bilahan Gambang yang berjumlah 18 buah, biasa terbuat dari kayu suangking, huru batu atau kayu jenis lain yang empuk bunyinya bila dipukul. Kromong biasanya dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah 10 buah (sepuluh pencon). Perangkat musik ini merupakan sebuah produk hasil akulturasi dari budaya Tionghoa dengan pribumi. Hal ini bisa dilihat pada instrumen-instrumen yang digunakan pada perangkat musik Gambang Kromong.
Secara umum, Gambang Kromong disajikan pada pesta-pesta rakyat, perkawinan, pesta tahun baru Cina, serta pada acara Tapekong (tempat peribadatan Cina). Jumlah pemain Gambang Kromong terdiri dari 8 sampai 12 orang pemusik ditambah beberapa penyanyi, penari, bahkan pemain lenong. Gambang Kromong telah mengalami banyak perkembangan pada repertoir lagunya. Hingga sekarang terdapat tiga jenis lagu yang disajikan pada musik Gambang Kromong, yakni lagu Pobin, lagu Dalem, dan lagu sayur.
Lagu-lagu yang dibawakan oleh Gambang Kromong pada awalnya hanya lagu-lagu instrumentalia yang disebut lagu-lagu Pobin. Lagu-lagu Pobin dapat ditelusuri kepada
lagu-lagu tradisional Tionghoa di bagian barat propinsi Hokkian (Fujian) di Cina Selatan. Lagu-lagu pobin inilah yang kini merupakan lagu tertua dalam repertoar Gambang Kromong. Di antara lagu-lagu Pobin yang kini masih ada yang mampu memainkannya, meskipun sudah sangat langka, adalah Pobin Khong Ji Liok, Peh Pan Thau, Cu Te Pan, Cai Cu Siu, Cai Cu Teng, Seng Kiok, serta beberapa Pobin lain yang khusus dimainkan untuk mengiringi berbagai upacara dalam pernikahan dan kematian Tionghoa tradisional.
Setelah lagu-lagu Pobin, mulai diciptakan lagu-lagu yang dinyanyikan. Lagu-lagu ini disebut lagu Dalem. Lagu-lagu Dalem ini dinyanyikan dalam bentuk pantun-pantun dalam bahasa Melayu Betawi. Di antara lagu-lagu Dalem yang ada, tinggal Masnah dan Ating (sebagian) yang masih mampu menyanyikannya antara lain: Poa Si Li Tan, Peca Piring, Semar Gunem, Mawar Tumpa, Mas Nona, Gula Ganting, dan Tanjung Burung. Setelah generasi lagu Dalem yang kini telah menjadi lagu klasik Gambang Kromong, generasi selanjutnya adalah lagu-lagu yang disebut lagu sayur. Berbeda dengan lagu Dalem, lagu sayur memang diciptakan untuk ngibing (menari). Beberapa contoh lagu sayur di antaranya adalah: Kramat Karem (Pantun dan Biasa), Ondé-ondé, Glatik Ngunguk, Surilang, Jali-jali (dalam berbagai versi: Ujung Mèntèng, Kembang Siantan, Pasar Malem, Kacang Buncis, Cengkarèng, dan Jago), Stambul (Satu, Dua, Serè Wangi, Rusak, dan Jalan), Pèrsi (Rusak, Jalan, dan Kocok), Centè Manis, Kodèhèl, Balo-balo, Rènggong Manis, Kakang Haji, Rènggong Buyut, Jeprèt Payung, Lènggang Kangkung, Kicir-kicir, dan Siri Kuning.
Laras Gambang Kromong Sistem laras dari Gambang Kromong akan dianalisis dengan mempergunakan contoh repertoir lagu yang terdapat pada Volume 1 no. 3 pada buku Musik Tradisi Nusantara: Musik-Musik yang Belum Banyak Dikenal. Perangkat Gambang Kromong ini dimainkan oleh grup Gambang Kromong Harapan Jaya, dari Cibubur Jakarta di bawah pimpinan Mamit Repertoar. Mendengarkan rekaman tersebut dapat didengarkan secara jelas bahwa Gambang Kromong mempergunakan lima nada (pentatonis) dan bukan tujuh nada (diatonis). Dalam permainannya juga terdengar adanya dua gembyangan. Hal ini juga bisa dibuktikan dengan jumlah pencon pada instrumen Kromong yang berjumlah 10 buah.
Jika dalam satu gembyangan terdapat lima nada, maka secara jelas instrumen Kromong memiliki dua gembyangan. Lima nada pada Gambang Kromong semuanya mempunyai nama dalam bahasa Tionghoa yaitu: sol (liuh), la (u), do (siang), re (che) dan mi (kong). Tidak ada nada fa dan si seperti dalam musik diatonis. Sedangkan larasnya adalah slèndro yang khas Tionghoa yang disebut Slèndro Cina atau ada pula yang menyebutnya Slèndro Mandalungan. Dengan demikian semua instrumen dalam orkestra Gambang Kromong dilaras sesuai dengan laras musik Tionghoa, mengikuti laras Slèndro Cina tadi. Para pemain (panjak) gambang kromong bisa dari etnik Tionghoa peranakan, bisa dari etnik Betawi, atau campuran antara keduanya. Selain memainkan lagu-lagu pobin, gambang kromong juga mengiringi lagu-lagu yang dinyanyikan wayang cokek. Wayang adalah 'anak wayang' (aktor atau aktris), sedangkan cokek dari kata chiounkhek yang artinya 'menyanyi' (to sing a song). Wayang cokek menyanyi sambil menari (ngibing) bersama pasangan laki-laki. Selendang untuk menari bersama wayang cokek disebut cukin (chiu-kin) atau soder. Di Bekasi setiap acara-acara seperti pesta pernikahan selalu menampilkan music gambang kromong. Bentuk akulturasi juga nampak pada kesenian Lenong, dimana gambang kromong sebagai orkes pengiringnya terdapat alat-alat musik seperti kecrek, gendang, kempul dan gong yang merupakan unsur pribumi, sedangkan sebagian lagi berupa alat musik gesek Cina yakni kongahyan, tehyan, dan skong. Lagu-lagu yang biasa dibawakan orkes tersebut juga ada yang merupakan pengadopsian lagu-lagu Cina yang disebut pobin, seperti pobin mano Kongjilok, Bankinhwa, Posilitan, Caicusiu dan sebagainya. Biasanya disajikan secara instrumental. Contoh lain adalah Tarian Cokek, tarian tersebut merupakan bentuk interaksi dari kebudayaan Cina dan Betawi. Tarian Cukok berasal dari bahasa Cina yaitu Cio Kek, dalam sejarah kesenian Betawi, Tari Cukok merupakan tari unggulan yang diselenggarakan untuk pesta hiburan, baik perayaan jamuan perkawinan hingga pesta pengantin sunat. Pada zaman dulu, Tari Cukok dibina dan dimiliki oleh cukongcukong peranakan Cina yang kaya raya. Alat musik Tanjidor selain mendapat pengaruh dari budaya Cina, kesenian Betawi dipengaruhi oleh beragam budaya dari Eropa. Orkes Tanjidor, misalnya, mulai ada
sejak abad ke-18. Konon salah seorang Gubernur Jenderal Belanda, Valckenier menggabungkan rombongan 15 orang pemain alat musik tiup Belanda dengan pemain gamelan, pesuling Cina, dan penabuh tambur Turki untuk memeriahkan pesta.
Makanan
Menurut Dennys Lombard, dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya, asal mula Soto adalah makanan Cina bernama Caudo, pertama kali populer di wilayah Semarang. Dari Caudo lambat laun menjadi Soto, orang Makassar menyebutnya Coto, dan orang Pekalongan menyebutnya Tauto. Antropolog dari Universitas Gadjah Mada, Dr Lono Simatupang, mengemukakan bahwa, soto merupakan campuran dari berbagai macam tradisi. Di dalamnya ada pengaruh lokal dan budaya lain. Mi atau soun pada soto, misalnya, berasal dari tradisi China. Budaya Cina yang hadir di bumi nusantara sejak ratusan tahun lalu terus berjejalin dan berkelindan dengan budaya lokal sehingga menciptakan aneka budaya baru yang merupakan perpaduan dari keduanya dan sering disebut dengan istilah budaya peranakan.
Lumpia. Makanan tersebut mula-mula berasal dari daratan Tiongkok kemudian mengalami proses penyesuaian dengan lidah masyarakat lokal. Lunpia Semarang, isi utamanya adalah irisan kulit rebung sedangkan lunpia yang dari China isi utamanya mihun.
Tahu pong.
Bakpao yang semula isinya daging babi, kemudian oleh orang Jawa diganti isi daging sapi atau kacang ijo.
Bolang-baling dan Cakue adalah kue goreng dengan rasa manis dan asin juga merupakan bentuk akulturasi.
Capjay yang semula berupa campuran sayur, oleh orang Jawa dimodifikasi dengan sayur dan bahan sesuai selera orang Jawa.
Mie Titee adalah masakan khas Cina berupa masakan berupa mie yang dicampur sayur bayam dan daging babi bagian kaki. Kemudian berkembang dengan bentuk mie kopyok
yang berupa mie direbus dengan taoge dan krupuk yang diremuk dengan saus bawang putih.
Bacang. Dahulu bacang diyakini orang China adalah makanan untuk menghormati seorang pahlawan yang mati akibat difitnah orang bentuk peringatan adalah makan bakcang (Hanzi: 肉粽, hanyu pinyin: rouzong) Penganan ini terdiri dari daging cacah sebagai isi dari beras ketan dibungkus daun bambu dan diikat tali bambu. Di beberapa tempat Indonesia,diadakan festival memperingati sembahyang bacang
Dalam sistem religi ada persamaan kebudayaan masyarakat Cina – Jawa, seperti sesajen jajan pasar, yang dilakukan saat satu suro (Jawa) dan hari raya Imlek (Cina).Sajian khas seperti -
Kue Mangkok atau Kue Moho, yang melambangkan sumber rejeki atau permohonan karunia sumber rejeki.
-
Kue Kura atau Kuweh Ku, yang melambangkan panjang umur seperti binatang kura-kura yang hidupnya beribu-ribu tahun.
-
Tumpeng dan makanan lainnya, yang melambangkan ucapan syukur atas berkat Tuhan.
Di bidang makanan kecap (ke-ciap) Benteng (Tangerang) memang sudah bekend en tersohor sejak jeman doeloe. Manisan tangkue (tang-koa atau tang-koe) 'beligo' atau 'kundur' memang enak buat dinikmati sembari minum teh. Mi (mi), bihun (bi-hun), tahu (tau-hu), toge (tau-ge), tauco (tau-cioun), kucai (ku-chai), lokio (lou-kio), juhi (jiu- hi), ebi (he-bi), dan tepung hunkwee (hun-koe) tak terpisahkan lagi dengan culinary Betawi. Selain itu kue mangkok (hoat-koe), kue ku (ang-ku- koe), kue sengkulun (sang-ko-lun) telah menjadi kue-kue khas Betawi.
lumpia (lun-pian) yang tak kalah sedapnya. Sudah pernah mencoba makan ngohiang (ngou-hiang)
alias
gohiong?
ikan
cuwe
(choe)
dan
nasi
tim
(tim),
kecap, mi, bihun, tahu, toge, tauco, kucai, lokio, juhi, ebi, dan tepung hunkue.
2.
Pemertahanan identitas budaya dapat dilihat pada sistem religi dan tradisi yang senantiasa dilakukan oleh orang Cina di mana pun mereka berada.
3
PENUTUP
Adaptasi adalah strategi bertahan hidup. Daya tahan hidup populasi tidak bekerja secara pasif dalam menghadapai kondisi lingkungan tertentu, melainkan memberikan ruang bagi individu dan populasi untuk bekerja secara aktif memodifikasi perilaku mereka dalam rangka memelihar kondisi tertentu, menanggulangi resiko tertentu pada suatu kondisi yang baru, atau mengimprovisiasi kondisi yang ada. Beberapa adaptasi juga adalah kesempatan, efek dari sosial dan praktek kulturalyang secara tidak sadar mempengaruhinya. Sehingga adaptasi bisa kita sebut sebagai sebuah strategi aktif manusia dalam menghadapi lingkungannya. Adaptasi dapat dilihat sebagai usaha untuk memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi perubahan. Menurut Hardestry,ada 2 macam perilaku yang adaptif, yaitu perilaku yang bersifat idiosyncratic (cara-cara unik individu dalam mengatasi permasalahan lingkungan) dan adaptasi budaya yang bersifat dipolakan, dibagi rata sesama anggota kelompok, dan tradisi. Bagi hardestry, adaptasi dilihat sebagai suatu proses pengambilan ruang perubahan, dimana perubahan tersebut ada di dalam perilaku kultural yang bersifat teknologikal (technological), organisasional, dan ideological. Sifat-sifat kultural mempunyai koefisiensi seleksi seperti layaknya seleksi alam, sejak tedapat unsur variasi, perbedaan tingkat kematian dan kelahiran, dan sifat kultural yang bekerja melalui sistem biologi. Proses adaptif yang aktual sedapat mungkin merupakaa kombinasi dari beberapa mekanisme biologis dan modifikasi budaya tersebut diatas. Sehingga adaptasi dapatlah disebut sebagai sebuah strategi aktif manusia (Hardestry, 238-240). Adaptasi dapat dilihat sebagai usaha untuk memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi perubahan. Konsep kunci adaptasi pada tingkat sosial individu kemudian menjadi perilaku adaptif, tindakan strategik dan sistensis dari keduanya yang disebut strategi adaptif. Perilaku adaptif merupakan term yang lebih umum dan mengacu pada bentuk perilaku yang menyesuaikan pada tujuan, pencapaian kepuasan, danputusan. Tindakan strategik, dianggap lebih spesifik dan mengacu pada kepentingan khusus yang dipunyai sang aktor. Dalam tindakan stratejik sendiri terdapat konsep yang meliputinya seperti rasionalitas, maksimalisasi, orientasi pencapaian, Homo faber dll. Term ke-3, yaitu strategi adaptif, adalah komponen dari tindakan strategi atau tindakan spesifik dengan tingkatan prediksi keberhasilan, dimana diseleksi oleh individu dalam menentukan keputusannya (Hardestry,271-272).
4
DAFTAR PUSTAKA
Donald L. Hardesty
Rethinking Cultural The Professional Geographer Volume 38, Issue 1,
pages 11–18, February 1986 Article first published online: 23 FEB 2005
Giok, Lan Tan 1963 The Chinese of Sukabumi: A Study in Social and Cultural
Accomodation
Ithaca, New York : Cornell University Gondomono 1996
Membanting
Tulang,
Menyembah
Arwah,,
Kehidupan
Kekotaan
Masyarakat Cina, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus ------- 2002 Pelangi Cina Indonesia, Jakarta: PT. Intisari Mediatama John W Bennet, 1976The Ecological Transsition Cultural Anthropology and Human Adaptation Leonard, Blusse 1988 Persekutuan Aneh Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC (Terj) Jakarta : Penerbit Pustazet Perkasa Lohanda, Mona Nio, Joe Lan
2009 Unsur Lokal Dalam Ritual Peranakan Intisari 1961 Peradaban Tionghoa Selajang Pandang Djakarta : Keng po
Prasetijo.
2009.
Adaptasi
Dalam
Anthropologi.
http://prasetijo.wordpress.com/2008/01/28/adaptasi-dalam-anthropologi/ diakses tanggal 24 Maret 2014 Purnomo, Widjil
1996 “Cina Benteng” Bekasi Hidup Bersahaja Suara Pembaruan
Tan, Thomas TW 1989Your Chinese Roots : The Overseas Chinese Story, Singapore : Times Books ----------- 1990 Chinese Dialect Groups : Traits and Trades, ORC Pte. Ltd, Singapore