1
NILAI BUDAYA CINA DAN JAWA DALAM NOVEL PUTRI CINA KARYA SINDHUNATA SEBAGAI BUTIR PENDIDIKAN KARAKTER SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh Johan Aristya Lesmana NIM 107013001450
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H / 2014 M
2
3
4
5
ABSTRACT
JOHAN ARISTYA LESMANA, 107013001450, "Cultural Values China and Java in Putri Cina Novel Work Item Sindhunata as Character Education." Education Language and Indonesian literary, Faculty of Tarbiya and ScienceEducation, State Islamic UniversitySyarif Hidayatullah Jakarta. Supervisor: Drs. Jamal D. Rahman, M. Hum. January, 2014.
Culture is one of the typical symptoms of humane values that have to be developed for the benefit of human life. Chinese cultural values in a diverse and Java novel Putri Cina Sindhunata work is an example of that culture can be a major influence for human civilization. From the analysis in this paper there are five Chinese cultural values, among others, the value of religiosity, cultural sharing, the value of struggle, forecasts culture, and culture of simplicity. In addition, there are 7 values of Javanese culture is a culture of love harmony, unggah-ungguh culture or manners, culture ojo dumeh or do not get cocky, cultural welas asih or affection, culture nyekar, weton culture, and cultural responsibilities. Of all the cultural values are cultural values that constitute 9 grain character education, namely, the value of religiosity, cultural simplicity, sharing culture, the value of struggle, love harmony culture, a culture of compassion or affection, unggah-ungguh culture or manners, culture ojo dumeh or not overbearing, and cultural responsibility. There are also values that are rooted in both cultures, but not including grain character education, which in Chinese culture and cultural divination or fortune-telling weton of calculation day, date, month, and year in Java. There is also nyekar in Javanese culture is still done mostly Java community. Expected research can develop character education granules. Cultural values that can enrich the Indonesian cultural treasure that is currently depleting eroded times. Hence the need for seriousness to tackle the crisis before it happened culture of moral decay everywhere, by formulating the cultural values into an educational framework.
Keywords : Chinese Cultural Values, Cultural Values Java, Grain Character Education.
6
ABSTRAK
JOHAN ARISTYA LESMANA, 107013001450, “Nilai Budaya Cina dan Jawa dalam Novel Putri Cina Karya Sindhunata sebagai Butir Pendidikan Karakter”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Satra Indonesia, Fakultas Ilmu tarbiyah dan Pendidikan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Drs. Jamal D. Rahman, M.Hum. Januari, 2014.
Budaya adalah salah satu gejala khas manusiawi yang memiliki nilai untuk dikembangkan bagi kemaslahatan kehidupan manusia. Nilai-nilai budaya Cina dan Jawa yang beragam dalam novel Putri Cina karya Sindhunata adalah contoh bahwa budaya dapat memberikan pengaruh besar bagi peradaban manusia. Dari analisis dalam skripsi ini terdapat 5 nilai budaya Cina, antara lain; nilai religiusitas, budaya berbagi, nilai perjuangan, budaya ramalan, dan budaya kesederhanaan. Di samping itu terdapat 7 nilai budaya Jawa yaitu; budaya cinta harmoni, budaya unggah-ungguh atau sopan santun, budaya ojo dumeh atau jangan sombong, budaya welas asih atau kasih sayang, budaya nyekar, budaya weton, serta budaya tanggung jawab. Dari kesemua nilai budaya tersebut terdapat 9 nilai budaya yang merupakan butir pendidikan karakter, yaitu; nilai religiusitas, budaya kesederhanaan, budaya berbagi, nilai perjuangan, budaya cinta harmoni, budaya welas asihatau kasih sayang, budaya unggah-ungguh atau sopan-santun, budaya ojo dumeh atau jangan sombong, dan budaya tanggung jawab. Selain itu terdapat pula nilai-nilai yang mengakar di kedua budaya tersebut, namun tidak termasuk butir pendidikan karakter, yaitu budaya ramalan di Cina dan budaya weton atau meramal dari perhitungan hari, tanggal, bulan, dan tahun di Jawa. Adapula budaya nyekar di Jawa yang hingga saat ini masih dilakukan sebagian masyarakat Jawa. Diharapkan penelitian ini dapat mengembangkan butiran pendidikan karakter. Nilai-nilai budaya tersebut dapat memperkaya khazanah kebudayaan Indonesia yang saat ini semakin menipis tergerus zaman. Maka perlu adanya keseriusan untuk menanggulangi krisis budaya tersebut sebelum terjadi kerusakan moral dimana-mana, yaitu dengan merumuskan nilai-nilai budaya tersebut ke dalam suatu kerangka pendidikan.
Kata Kunci: Nilai Budaya Cina, Nilai Budaya Jawa, Butir Pendidikan Karakter.
KATA PENGANTAR
Asyhaduallaa ilaahailallah, wa asyhadu anna muhammadarrosulullah. Innasholati,
wanusuki,
wamahyaaya
wa
mamaati
lillahirabbil
aalamiin.
Alhamdulillah, segala puji dan puja hanyalah pantas untuk Haqqul Yaqien Rabbul Alamiin, Tuhan seru sekalian alam Allah Azza wa jalla yang senantiasa melindungi segenap makhluk yang ada di langit dan di bumi. Dialah Tuhan Esa yang hanya kepada-Nya penulis berlindung dan meminta pertolongan. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah dari seluruh umat kepada Sang Mandataris Tuhan di muka bumi untuk menyampaikan ajaran kebenaran, Yaitu Nabiullah Muhammad SAW. Petunjuknya dan segenap ajarannya akan terus terpatri pada seluruh pengikutnya hingga akhir zaman. Skripsi ini merupakan perjuangan panjang penulis selama tujuh tahun menjadi mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah untuk memperoleh kelulusan dengan
bekal
keilmuan
yang
insyaallah
bisa
diterapkan
dan
dipertanggungjawabkan dalam kehidupan nyata penulis. Penulis sadar dalam proses menjalani perkuliahan jauh dari kesan kesempurnaan, penulis mengakui bahwa penulis belum bisa menjadi mahasiswa yang baik selama mengikuti perkuliahan. Perjalanan panjang berliku ini akhirnya membawa penulis kembali di medan penempuhan Program Sarjana pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis berharap secercah tulisan ini dapat dijadikan setitik bahan renungan dan referensi bagi berbagai pihak yang membacanya. Semoga bermanfaat bagi penulis dan pembaca skripsi ini. Penulisan skripsi ini tentu menapaki fase jalan terjal dan berliku dalam proses penyelesaiannya. Karena itulah penulis membutuhkan banyak energi semangat positif dari berbagai pihak untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada :
i
ii
1. Nurlena Rifa’i, Ph.D., Sebagai Dekan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus dosen pengampu matakuliah terakhir dalam proses perbaikan perkuliahan penulis. Atas segala inspirasi dan motivasi beliau, penulis diizinkan mengikuti kuliah dan dapat menempuh perkuliahan dengan baik. 2. Dra. Mahmudah Fitriyah ZA, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Seorang Ibu yang baik bagi para mahasiswa PBSI dan dengan penuh kesabaran
menunggu
dan
mengingatkan
penulis
untuk
segera
menyelesaikan program sarjana serta selalu mendukung kegiatan aktivis penulis selama menjadi mahasiswa. 3. Dra. Hindun, M.Pd., selaku Sekretaris Jurusan sekaligus dosen pembimbing akademik penulis yang selalu memotivasi dan menginspirasi serta mengingatkan penulis agar bisa menjadi contoh yang baik, dosen yang selalu memberikan apresiasi pada kegiatan – kegiatan penulis selama menjadi mahasiswa dan segera menyelesaikan studi penulis di jurusan PBSI, juga selalu menyemangati penulis agar terus melanjutkan studi setinggi-tingginya. 4. Drs. Jamal D Rahman, M.Hum., seorang dosen pembimbing skripsi yang penulis kagumi pemikiran dan karyanya. Penulis dengan penuh kesadaran memilih konten judul skripsi agar bisa sesuai dengan bidang beliau dengan penuh pengharapan agar beliau bisa membimbing penbulisan skripsi penulis. Dengan kesabarannya, penulis banyak belajar untuk lebih bersemangat menyelesaikan skripsi ini. 5. Rusdy Zakariya, M.Ed. M. Phill., sesosok dosen yang pernah menyempatkan memberikan peringatan serius pada penulis agar mengurus perkuliahan dengan proses yang penuh idealisme dan independensi yang tinggi. Dari beliau penulis mendapat pelajaran berharga yang tidak akan pernah penulis lupa semasa hidup penulis dengan pesan “Anda ini pemimpin, leader. Anda harus mempertanggungjawabkan akademis anda
iii
dengan idealisme anda sebagai seorang leader, bukan sebagai mahasiswa biasa”. 6. Keluarga tercinta, Ibu dan Bapak, kedua orangtua penulis. Perpisahan mereka menorehkan tinta emas di hati penulis untuk memacu semangat menjalani kehidupan dengan segala kompleksitas tantangannya. Dengan segala keterbatasan pendidikan dan finansial mereka, penulis mendapat kesempatan untuk berusaha lebih dari yang biasanya. Penulis merasa sangat bangga memiliki orangtua seperti mereka juga adik semata wayang penulis yang menjadi harta berharga penulis agar lebih giat lagi menggapai impian-impian penulis. 7. Para kakanda-ayunda senior penulis di HMI yang memantik api semangat penulis untuk terus melakukan perbaikan dalam diri penulis, memotivasi, menginspirasi, dan terus membimbing penulis hingga saat ini. Amelya Hidayat, Faisal Anwar, M Fathul Arif, Fathul Munir, Riyan Nurdiansyah, Ujang Syarif Hidayatullah, Budi Kurniawan, Ridwan Afandi, Ahmad Fauzi, Eko Arisandi, Amelia Hidayat, Eko Arisandi, Nunung Nurjanah, Eka Setiawati, Neng Sri Nuraini, Siti Nurhayati, Syukri Rifa’i, Sofwan Tamami, Akbar Khadafi, Aris Maulana Akbar, Zul Hendra, Febrian Shandi, Ali Fuad Hendra, dan senior-senior lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. 8. Para teman seperjuangan penulis yang terus memberikan semangat. Terutama keluarga kecil penulis; Didah Nurhamidah, Istika Putri, Hilda Nurul Mawaddah. Juga para teman-teman; Ikhwan, Ahmad Bahrul Ulum, Rudi Sopiyadi, M Nurmilal, Eddy Najmudien, Faqih Mufti, Ahmad Zaenuddin, Siti Zaetun, Nia Nirawati, Iman Lesmana, Fajar Chandra Perdapa, Lutfi Syauki Faznur, Media, Sofyan Adenansi, Sri Wahyuni, Irfan Nawawi, Abdul Ghafur, Heri Darmawan, Aufa Maftuhah, Lindah, Mega Fiyani, Taufikurrahman, dan kawan-kawan lain yang tidak bisa disebutkan di sini. Terima kasih atas dedikasi kawan-kawan. 9. Para Adinda yang penuh potensi dan semangat, terutama Adinda Nurfaizah yang selalu memotivasi penulis dan menemani proses
iv
kehidupan yang penuh dengan kesabaran dan rasa syukur. Muhammad Abduh, Ahmad Fuad Basyir, Anang Jatmiko, Fathurrohman, Monica Harfiyani, Nurkamaliah, Fiera Endah Pratiwi, Desi Listyaningrum, Rusmiatun Fitriah, Febriandanu Sulistiawan, Siti Maesaroh, dan adindaadinda lainnya. Terima kasih atas dukungan dan semangatnya. 10. Keluarga Besar HMI Cabang Ciputat, Keluarga Besar HMI Komtar, Keluarga Besar BPL, Keluarga Besar Lapenmi, Keluarga Besar Bakornas LDMI PB HMI, Keluarga Besar Lisuma Jakarta, Keluarga Besar IMABSII, Keluarga Besar Mahasiswa PBSI Angkatan 2007, Keluarga Besar Dewan Pendidikan Kota Tangerang Selatan. Keluarga Besar HMI Cabang Bangka-Belitung, HMI Cabang Bengkulu. 11. Para dewan dosen PBSI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing penulis dengan penuh semangat dan kesabaran. 12. Dan berbagai pihak yang telah secara sengaja atau tidak sengaja membantu proses kehidupan penulis hingga saat ini. Semoga semua bantuan, dukungan, semangat, motivasi, inspirasi yang diberikan kepada penulis senantiasa mendapat balasan kemuliaan dari Allah SWT. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kebaikan bagi setiap pembacanya. Amin. Jakarta, Januari 2014
Penulis
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................i DAFTAR ISI...........................................................................................................v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...............................................................................1 B. Identifikasi Masalah.....................................................................................5 C. Pembatasan Masalah....................................................................................6 D. Rumusan Masalah........................................................................................6 E. Tujuan dan Manfaat Penelitian....................................................................6 F. Metodologi Penelitian..................................................................................7 G. Kajian Pustaka............................................................................................11 H. Sistematika Penulisan.................................................................................12 BAB II KAJIAN TEORETIS A. Hakikat Nilai Budaya.................................................................................13 1.
Definisi Nilai.......................................................................................13
2.
Definisi Budaya...................................................................................14
3.
Hakikat Nilai Budaya..........................................................................18
B. Budaya Cina...............................................................................................19 C. Budaya Jawa...............................................................................................22 D. Hakikat Novel............................................................................................27 E. Hakikat Pendidikan....................................................................................28 F. Pengertian Karakter....................................................................................29 G. Hakikat Pendidikan Karakter.....................................................................31 1.
Pengertian Pendidikan Karakter..........................................................31
2.
Nilai-Nilai Pendidikan Karakter..........................................................33
vi
BAB III DESKRIPSI UMUM TENTANG NOVEL PUTRI CINA A. Tinjauan Umum Terhadap Novel Putri Cina.............................................35 B. Tentang Penulis Novel Putri Cina.............................................................42 1. Sejarah Kelam Mengilhami Novel Putri Cina.....................................44 2. Totalitas Seorang Penulis.....................................................................46 C. Sinopsis Novel Putri Cina.........................................................................49 BAB IV NILAI BUDAYA CINA DAN JAWA DALAM NOVEL PUTRI CINAKARYA SINDHUNATASEBAGAI BUTIR PENDIDIKAN KARAKTER A. Deskripsi Budaya Cina dan Jawa dalam Novel Putri Cina.......................54 B. Analisis Nilai Budaya Cina dan Jawa dalam novel Putri Cina.................61 1. Nilai Budaya Cina................................................................................61 2. Nilai Budaya Jawa................................................................................69 C. Nilai Budaya Cina dan Jawa dalm Novel Putri Cina sebagai Butir Pendidikan Karakter...................................................................................74 BAB V PENUTUP A. Simpulan....................................................................................................80 B. Saran...........................................................................................................82 DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................83 DAFTAR TABEL Tabel 2.1
: ......................................................................................................34
Tabel 4.1
: ......................................................................................................63
Tabel 4.2
: ......................................................................................................65
DAFTAR BAGAN Bagan 2.1
: ......................................................................................................32
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Karya
manusia
untuk
menentukan
sejarah
peradabannya
adalah
budaya.Setiap manusia memerlukan suatu konsep kebudayaan yang dapat menjadi landasan untuk menjalani kehidupannya. Landasan tersebut menjadi kerangka terukur bagi setiap tindak-tanduk yang dilakukannyan, karena manusia akan mengolahnya sebagai sebuah aturan yang primer untuk mengatur lingkungannya dan hubungannya dengan makhluk lain secara horizontal. Konsep budaya tersebut juga berlaku bagi keyakinan manusia akan hal yang metafisik. Dimana peran budaya dalam hal ini menegaskan keyakinan manusia akan hal yang metafisik sebagai suatu khazanah pengetahuan, bukan suatu hal yang ditakuti atau tidak terjangkau. Dari hal inilah budaya sangat mempengaruhi karakter manusia. Bila kini kita tahu mulai bergesernya peradaban adalah karena nilai-nilai penyangganya tidak lagi dijadikan kunci pengukur, tidak lagi dihidupi, persoalan menata kembali serta menghadapi krisis nilai terletak pada tiang penyangganya kebudayaan ini.Penempatan kembali manusia pada titik sentral dengan nilai pada dirinya sendiri serta tujuan pada dirinya sendiri memang menjadi syarat pertama penggunaan manusia hanya sekedar nilai alat yang bisa dimanipulasi. Syarat kedua, setiap usaha merumuskan kembali strategi budaya yang sadar, yaitu penghormatan pada yang suci, apa yang esensial, dan yang spiritual dari manusia.1Jadi pengembangan kebudayaan perlu difokuskan pada strategi budaya yang bersumber pada nilai.Disinilah kebudayaan menjadi format karakter yang melekat pada manusia yaitu peningkatan spiritual. Pudarnya beberapa nilai salah satunya disebabkan oleh jarangnya penggunaan atau pengejawantahan nilai-nilai tersebut di lingkungan sosial, maka 1
Mudji Sutrisno, Filsafat Kebudayaan: Ikhtiar Sebuah Teks (Jakarta: Hujan Kabisat, 2008) cet.1, h.23.
1
2
perlu adanya keseriusan dari semua pihak untuk memberikan perhatian pada pendidikan budaya yang berbasis pendidikan karakter. Dunia ini sempat terguncang dengan beberapa berita yang memilukan, berbagai fenomena abnormal ini benar-benar terjadi di kehidupan nyata dan menyatu dengan masyarakat.Rutinitas tawuran antara SMAN 70 dengan musuh bebuyutannya SMAN 6 Jakarta adalah contoh kecil dari hilangnya nilai persahabatan di kalangan siswa.Sekolah yang bertetangga ini telah menunjukkan karakter yang buruk yang dapat mencoreng dunia pendidikan di negeri ini. Di manapun tawuran antarpelajar itu merupakan aib yang susah dilerai dan diselesaikan, karena ini merupakan kontak balas dendam dari masing-masing sekolah. Jika dirunut kembali ke belakang, awal terjadinya tawuran antara kedua sekolah tersebut sudah cukup lama, antara tahun 80-an. Salah satu faktor hal ini bisa terjadi karena kurangnya pengawasan orangtua, sekolah, dan masyarakat sebagai tripusat pendidikan, serta kurangnya penghayatan nilai-nilai saling memaafkan pada diri siswa. Nilai karakter
tentu menjadi pilar penting bagi
penyelesaian peristiwa negatif yang berlarut-larut tersebut. Maka semua elemen perlu mengawasi dan membina perjalanan pendidikan, baik di sekolah, maupun di lingkungan masyarakat dan keluarga. Pada segmen berita lain, kasus pencabulan, pernikahan di bawah umur dan pemerkosaan kian menjadi berita top range di Indonesia. Menikahi gadis di bawah umur seolah menjadi trend di kalangan para pejabat tinggi, bahkan para ulama dengan dalih mengikuti sunnah Rasulullah. Padahal dalam Undang-Undang telah diatur bahwa wanita yang boleh dinikahi adalah yang usinya telah berumur 18 tahun. Beberapa fenomena pernikahan yang tidak lazim sangat mudah kita temukan di tengah-tengah masyarakat. Budaya seperti ini tidak bisa dijadikan contoh yang baik untuk tumbuh kembang anak. Ini adalah penyimpangan budaya yang harus ditolak dan diperbaiki. Budaya pernikahan yang seharusnya menjadi landasan sucinya suatu ikatan menjadi ternoda akibat ulah segelintir orang yang memaksakan dirinya menikah dengan pasangan yang belum cukup umur.
3
Dari beberapa fenomena kemanusiaan di atas, penulis mencoba mengkaji konsep kebudayaan yang dibangun di tengah masyarakat yang heterogen dan plural. Tulisan akan difokuskan pada nilai budaya yang memberikan sentuhan pendidikan karakter bagi pengembangan kualitas pendidikan di Indonesia. Perlu diketahui bahwa salah satu definisi dari budaya adalah gejala khas manusiawi,2
maka untuk menentukan arah budaya yang benar perlu adanya
pendidikan, karena pendidikan merupakan sebuah subintegrasi dari kebudayaan yang khusus membina karakter manusia layaknya manusia secara utuh, dalam kesempatan lain, pendidikan juga dapat diartikan sebagai proses memanusiakan manuisa3. Melalui pendidikan diharapkan manusia dapat menentukan budaya yang baik dan benar untuk dapat membantu dirinya mencapai tujuan hidupnya.Maka perlu adanya pendidikan budaya yang mumpuni untuk dijadikan perangkat pembelajaran yang relevan demi terbinanya karakter manusia yang cerdas dan cakap.Di Indonesia dengan berbagai kompleksitasnya, diharapkan pendidikan karakter menjadi jawaban atas segala keresahan yg merundung masyarakat secara umum.Penerapan pendidikan karakter yang selama ini terus digarap oleh pemerintah mesti menjadi rujukan yang sistematis dan aplikatif dalam menjalankan roda pendidikan di semua tingkatan, tak terkecuali SLB sekalipun. Pendidikan karakter yang juga dipahami sebagai kerangka budaya yang memuat nilai-nilai kehidupan masyarakat Indonesia secara utuh mesti dijadikan grand design bagi terbinanya masyarakat yang mencintai dan mebnghormati kebudayaan nusantara yang sejak lama dibangun dan dicitrakan sebagai bahan rujukan bagi berbagai dimensi kehidupan berbudaya, berbangsa, dan bernegara. Semua tertuang dalam dalam senyawa yang utuh sebagai suatu kesatuan nilai yang menjadi penggerak semangat nasionalisme dan menjadi pemersatu bangsa Indonesia. Oleh karenanya, setiap lembaga pendidikan yang terus menerapkan pendidikan karakter pada kurikulumnya senantiasa mengafirmasi nila-nilai 2
Ibid., h.4. Isjoni, Saatnya Pendidikan Kita Bangkit (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Oktober 2001), Cet.1, h.3. 3
4
budaya bangsa sebagai pijakan utama dalam memberikan pemahaman akan kekayaan ragam budaya bangsa yang bernilai positif bagi kemajuan bangsa. Muatan nilai-nilai budaya secara formal diterapkan di sekolah ialah pembelajaran sastra.Bagi siswa sekolah, sastra dapat dipelajari bertahap, mulai dari berdongeng yang diterapkan di Sekolah Dasar, hingga pada tahap penulisan karya sastra itu sendiri yang ada pada Standar Kompetensi di Sekolah Menengah Atas dan sederajat.Sebagai pelajaran yang dirangkapkan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah, sastra juga erat kaitannya dengan sejarah bangsa seperti yang sering dituangkan dalam dongeng dan roman klasik.Dari berbagai kisah dalam sastra tersebut banyak memuat nilai-nilai budaya yang dapat menjadi daya semangat nasionalisme bagi siswa. Dalam klasifikasinya, sastra khususnya bagi anak, itu ada citraan tersendiri, sastra anak misalnya. Secara umum sastra anak adalah citraan dan atau metafora kehidupan yang disampaikan kepada anak yang melibatkan baik aspek emosi, perasaan, pikiran, saraf sensori, maupun pengalaman moral, dan diekspresikan dalam bentuk-bentuk kebahasaan yang dapat dijangkau dan dipahami oleh pembaca anak-anak.4 Di sisi lain, sastra juga dapat dimaksudkan pada kategori yang bertujuan untuk mengungkapkan nilai keindahan, sedangkan nilai keindahan ini kemudian dapat terintegrasi menjadi bebagai nilai-nilai yang dapat memaknai kehidupan. Nilai keindahan juga seringkali dipadukan dengan keharmonisan. James Joyce yang dikutif oleh William J. Grace (1965) mengemukakan bahwa keindahan itu mempunyai tiga cirri atau unsure pokok, yaitu: (1) Kepaduan (integrity), (2) keselarasan (harmony), dan (3) kekhasan (individuation).5 Dalam upaya memperkenalkan sastra sebagai ragam budaya membaca dan bercerita anak, tentu keindahan menjadi faktor penentu keberhasilan anak dalam bersastra pada usia dini. Hal demikian menjadi penting mengingat bahwa pendidikan karaktyer itu harus dimulai dan dibiasakan sedini mungkin.Maka, sastra merupakan bagian penting bagi jalannya fungsi pendidikan karakter sebagai upaya utuh untuk melestarikan budaya bangsa. 4
Rohinah M Noor, Pendidikan Karakter Berbasis Sastra: Solusi Pendekatan Moral yang Efektif (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011)cet.1, h.37. 5 Atar Semi, Anatomi Sastra (Padang: Angkasa Raya, 1988) cet.1, h.26.
5
Pada novel Putri Cina karya Shindunata terdapat beberapa kisah menarik yang disajikan dengan penuh ketelitian dan meyakinkan akan proses asimilasi budaya yang kaya akan makna. Perpaduan budaya tersebut merupakan ragam budaya yang saat ini masih berjaya di tanah nusantara. Bahwa dari beragamnya budaya nasional, mesti adanya keseriusan warga Negara untuk melestarikan dan terus mengembangkannya di masa depan. Penanaman budaya pada siswa sekolah diharapkan dapat menjadi faktor utama bagi berkembangnya pendidikan karakter yang berkualitas.Bahan sastra sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan budaya harus menjadi perhatian serius untuk diterapkan di sekolah sebagai media untuk meningkatkan pendidikan karakter. Putri Cina merupakan novel epik yang memuat kisah perjalanan seorang wanita keturunan etnik Tionghoa dalam mengarungi berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia, sikap feminis dari seorang wanita sejara tajam dikupas secara heroic untuk mempertahankan identitasnya sebagai warga Negara Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga Negara yang lain. Perjalanan cerita ini merujuk pada berbagai peristiwa sejarah dan budaya yang cerdas disadur oleh pengarang. Penampilan kisah beberapa sejarah budaya jawa yang kental begitu detil disampaikan menjadi sebuah suatu rangkaian peristiwa nyata yang berhubungan langsung dengan kehidupan nyata saat ini. Ketajaman mengupas budaya bahkan donging yang beredar di Nusantara ini yang kemudian menjadi titik fokus dalam mengkaji novel ini sebagai nilai yang berperan penting dalam pengembangan pendidikan karakter.
B. Identifikasi Masalah Dari beberapa permasalahan yang dibahas di atas, maka identifikasi masalah pada penelitian ini, antara lain: 1.
Pendidikan Karakter belum mengacu pada ragam nilai budaya.
2.
Belum tercapainya secara maksimal penanaman pendidikan karakter di lembaga pendidikan.
3. Kurangnya Karya sastra rujukan pembelajaran mengenai kebudayaan Cina dan Jawa sebagai butir pendidikan karakter.
6
4. Terbatasnya analisis novel tentang budaya Cina dan Jawa sebagai bahan ajar di sekolah.
C. Pembatasan Masalah Pembahasan dalam latar belakang dan identifikasi masalah di atas menyimpulakn ranah pengkajian masalah cukup umum dan luas, maka perlu adanya pembatasan masalah untuk memberikan titik fokus dalam masalah yang akan dibahas oleh penulis dalam skripsi ini. Penulis membatasi masalah dalam skripsi ini yaitu nilai budaya Cina dan Jawa yang terdapat dalam novel Putri Cina karya Sindhunata. D. Rumusan Masalah Penulisan skripsi ini akan dirumuskan dari identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas.Rumusan masalah dimaksudkan untuk menemukan solusi pada setiap masalah yang berkaitan dengan penelitian pada judulu skripsi ini. Rumusan masalah tersebut antara lain: 1. Bagaimana gambaran tentang nilai budaya Cina dan Jawadalam novel Putri Cina karya Sindhunata? 2. Nilai budaya Cina dan Jawa apa saja dalam novel Putri Cina karya Sindhunata yang merupakan butir pendidikan karakter?
E. Tujuan dan Manfaat Pengkajian Pengkajian ini bertujuan untuk: 1. Memberikan gambaran tentang nilai budaya Cina dan Jawa dalam novel Putri Cina karya Sindhunata sebagai keragaman identitas bangsa yang perlu dilestarikan. 2. Menganalisis nilai budaya Cina dan Jawa pada Novel Putri Cina karya Sindhunata yang merupakan butir pendidikan karakter. Adapun manfaat yang dapat diambil dari kajian ini adalah: 1. Secara praktis, manfaat yang diharapkan dari kajian ini adalah untuk menegaskanbeberapa persamaan nilai budaya Cina dan Jawa yang
7
terkandung dalam Novel Putri CinaKarya Sindhunata sebagai upaya untuk mengembangkan butir Pendidikan Karakter di Indonesia. 2. Secara teoretis, kajian ini dapat menjadi acuan bagi berbagai pihak yang mendalami dunia pendidikan dan kebudayaan untuk menelaah lebih dalam tentang nilai budaya Cina dan Jawapada novel Putri Cina karya Sindhunata sebagai pengembang butir Pendidikan Karakter.
F. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif.Metode kualitatif memberikan perhatian
terhadap
data
alamiah
dan
hubungannya
dengan
konteks
keberadaannya.Hal tersebut yang menjadikan metode kualitatif bersifat deskriptif. Dalam penelitian karya sastra, misalnya akan dilibatkan pengarang, lingkungan sosial dimana pengarang berada, termasuk unsur-unsur kebudayaan pada umumnya. Objek penelitian metode kualitatif merupakan makna-makna yang terkandung di balik tindakan yang mendorong timbulnnya gejala sosial.Penelitian mempertahankan hakikat nilai-nilai.Sumber data dalam ilmu sastra adalah karya, naskah, data penelitiannya sebagai data formal adalah kata, kalimat, dan wacana. Penelitian kualitatif lebih sesuai untuk penelitian hal-hal yang bersangkutan dengan masalah kultur dan nilai-nilai, seperti sastra.6 Penelitian sastra sebagai wujud penelitian kualitatif tentunya harus menerima kenyataan akan adanya keharusan penelitiannya memiliki wawasan yang luas tentang konvensi bahasa, konvensi sastra, dan konvensi sosial budaya agar dapat memberikan interpretasi yang tepat dan keputusan atau kesimpulan yang benar. Sehingga dengan demikian penelitian sastra akhirnya dapat memberi sumbangan yang berharga bagi pengembangan ilmu pengetahuan, ilmu, dan teori sastra, dan bagi peningkatan taraf hidup manusia. Penelitian dengan metode kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui nilainilai budaya Cina dan Jawa yang terdapat dalam novel Putri Cina karya Sindhunata. Metode penelitian sastra yang digunakan secara khusus adalah 6
Ibid., h. 34.
8
metode Pendekatan Ekspresif. Pendekatan Ekspresif adalah pendekatan dalam kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada ekspresi perasaan atau temperamen penulis. Pada abad ke-18, pada masa Romantik, perhatian terhadapa sastrawan sebagai pencipta karya sastra menjadi dominan. Karya sastra adalah anak kehidupan kreatif seorang penulis dan mengungkapkan pribadi pengarang. Karya sastra tidak akan hadir jika tidak ada yang menciptakannya sehingga pencipta karya sastra sangat penting kedudukannya.7 Dalam pendekatan ini, penilaian terhadap karya seni ditekankan pada keaslian dan kebaruan. Penilaian sebuah karya seni sebagian besar bergantung pada kadar kebaruan dan penyimpangannya terhadap karya-karya sebelumnya. Yang itu itu adalah yang baru, yaitu sesuatu yang dianggap lebih baik daripada yang lama. Ada keberatan dan kritik bagi pendekatan ekspresif, antara lain disampaikan oleh kaum formalis, strukturalis, dan pragmatis. Pendekatan ini telah ditonjolkan pada zaman klasik kebudayaan Barat. Walaupun pendekatan ini kemudian tidak begitu besar efeknya dalam sejarah kebudayaan Barat. Hal ini barangkali karena penonjolan diri manusia dalam kebudayaan yang berabad-abad lamanya dikuasai oleh agama Kristen dan filsafat yang coraknya sesuai dengan agama itu. Sejarah panjang mengenai munculnya pendekatan ekspresif sebenarnya ramai dibicarakan pada abad Pertengahan. Manusia selaku pencipta meneladani ciptaan Tuhan. Ide tentang manusia, khususnya sebagai pencipta baru lahir agak lambat dan secara berangsur-angsur dalam sejarah kebudayaan Barat. Kemudian dalam teologi Masehi dan dalam filsafat serta konsepsi klasik ini ditempatkan dalam rangka pandangan terhadap dunia dan alam sebagai ciptaan Tuhan. Tuhanlah yang menjadi pencipta, pencipta yang sungguh-sungguh sejati. Penciptaan oleh manusia selalu bersifat penciptaan kembali. Dalam rangka uraian ini menitikberatkan masalah point of view terutama penting sebagai gejala yang menggarisbawahi usaha untuk melepaskan pengarang dari karyanya dan menentukan serta mempertahankan otonomi karya sastra dari penulisnya. Gejala 7
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra (Jakarta: PT Grasindo, 2008) cet. 1, h.181
9
penghilangan atau penghapusan pengarang dari karya atau ciptaannya menjadi perdebatan panjang mengenai pendekatan ekspresif. Beberapa kritik tersebut tentu menimbulkan kritik baru yang berupaya untuk melampauinya.
Contoh
mutakhir tentang mempertahankan dan menyelamatkan kedudukan penulis karya sastra sebagai faktor yang mustahak dan menentukan dalam penafsiran karya sastra adalah buku P.D. Juhl yang berjudul Interpretation. An essay in the Philosophy of Literary Criticism (1980). Buku ini dengan sangat tegas menentang pendirian struktural dan otonomi yang melepaskan karya sastra dari niat penulisnya. Juhl pada pokoknya mempertahankan tiga dalil atau tesis ataupun tuntutan, yang bukan tidak berkaitan satu sama lain sebagai berikut: 1. Ada kaitan logis antara pernyataan mengenai arti sebuah karya dan pernyataan mengenai niat penulisnya. 2. Penulis adalah orang yang nyatanya terlibat dalam dan bertanggung jawab atas proporsi yang diajukan dalam karyanya. 3. Karya sastra hanya mempunyai satu arti. Niat bukanlah yang dinyatakan secara eksplisit oleh penulis mengenai rencana, motif, atau susunan karyanya, melainkan yang diniatkan oleh kata-kata yang digunakan dalam karyanya. Niat bukanlah sesuatu yang dipikirkan sebelum penciptaan atau penulisan karya sastra. Niat justru terwujud dalam proses perumusan kalimat-kalimat yang dipakai dalam karya.8 Daya ekspresi pengarang senantiasa tumbuh dan berkembang sehingga muncul berbagai variasi teknik penulisan, gaya, dan berbagai jenis ekspresif. Sastra dipandang memiliki sistem sendiri namun, tidak terlepas dari masalah penciptaan, masalah ekspresi, dan masalah penerimaan sastra oleh pembaca.9 Bagi banyak orang sastra menjadi sarana untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran, tentang apa yang baik dan yang buruk. Ada pesan yang sangat jelas di sampaikan, ada pula yang bersifat tersirat secara halus. Karya sastra juga 8
A Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984) cet.1, h. 177. 9 Atar Semi, Metode Penelitian Sastra (Bandung: Angkasa, 1993), cet.1, h.109.
10
dapat dipakai untuk menggambarkan apa yang ditangkap sang pengarang tentang kehidupan di sekitarnya.10 Kemampuan sastra dalam menyampaikan pesan menempatkan sastra menjadi sarana kritik sosial.11 Dipicu oleh kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka satu-satunya cara adalah mengembalikan karya sastra ke tengah-tengah masyarakat, memahaminya sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan system komunikasi secara keseluruhan.12 Dalam masyarakat primitif, misalnya, sastra sulit dipisahkan dari ucapan keagamaan, ilmu gaib, pekerjaan sehari, dan permainan. Dalam membaca novel atau sajak kita masih bisa mendapatkan kenikmatan seperti yang didapatkan dari permainan. Kita pun mungkin bisa merasa lega sehabis mengikuti upacara keagamaan. Dan apabila kita mampu memahami pesan yang terselubung di dalam karya sastra, batin kita lebih tetap dalam menghadapi pekerjaan sehari-hari. Lebih jauh lagi, sastra bisa mengandung gagasan yang mungkin dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu, dan bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: 1. Menentukan teks yang dipakai sebagai objek penelitian, yaitu teks novel Putri Cina karya Sindhunata, 2. Menentukan fokus penelitian yakni menelaah konteks nilai budaya Cina dan Jawadalam novel Putri Cina karya Shindunata sebagai butir Pendidikan Karakter. 3. Menyusun dan membuat laporan penelitian.
G. Kajian Pustaka Penelitian novel Putri Cina karya Sindhunata ini merupakan penelitian yang sangat jarang dilakukan. Hal ini disebabkan nilai budaya Cina dan Jawa sebagai pembentuk karakter pendidikan pada novel jarang disinggung dalam pengkajian
10
Melani Budianta, dkk. Membaca Sastra; Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. (Magelang: Indonesia Tera, 2006). Cet.3, h.19. 11 Ibid., h.20. 12 Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S. U. Teori, Metode, dan teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Poststrukturalisme. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). Cet.1. h.331.
11
karya ilmiah. Hal demikian yang mendasari penulis untuk mencoba menelaah lebih dalam mengenai kaitan antara kebudayaan daengan pendidikan karakter. Jika mengenai nilai pendidikan karakter sudah ada, berikut sekilas penjabaran maksud tersebut; Analisis berjudul “Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata sebagai Bahan Ajar Apresiasi Novel dan Model Pembelajaran di SMP” yang disusun oleh Candra Nurjaman dari mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung tahun 2012 adalah satu-satunya yang penulis dapatkan informasinya pengkajian novel yang menganalisis dengan pendidikan karakter. Penelitian ini dilatarbelakangi karena belum adanya penelitian yang mengkaji nilai pendidikan karakter dalam sebuah novel. Tujuan yang dicapai oleh peneliti adalah untuk mendeskripsikan berkenaan dengan (1) unsur-unsur dan hubungan antar unsure yang terdapat dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata, (2) nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata, (3) tingkat kesesuaian novel Sang Pemimpi sebagai bahan pembelajaran apresiasi sastra di SMP, (4) model pembelajaran apresiasi novel dengan menggunakan bahan ajar novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata. Jadi, kesimpulan yang dapat digarisbawahi dari kajian pustaka ini adalah bahwa belum ada penelitian mengenai nilai Budaya Cina dan Jawa sebagai butir Pendidikan Karakter di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh penulis mengenai Nilai Budaya Cina dan Jawa sebagai Pembentuk Karakter Pendidikan Nasional adalah penelitian pertama yang dilakukan. Belum ada penelitian serupa mengenai tema ini. Pada skripsi ini penulis akan membedakan kajian analisis atau kajian pustaka yang telah dilakukan sebelumnya dengan judul di atas. Perbedaan pertama, dalam penelitian ini akan banyak menganalisis mengenani kebudayaan yang digambarkan dalam novel Putri Cina. Kebudayaan yang sangat kental tersebut menjadi landasan peneliti untuk mengolah sebuah analisis mengenai budaya Cina dan Jawa yang menjadi pengiring perjalanan cerita pada novel karya Sindhunata tersebut. Kedua, penelitian ini akan mengkorelasikan antara kebudayaan Cina dan Jawa dengan Pendidikan Karakter yang selama ini sedang
12
dijadikan program unggulan dalam peningkatan kualitas pendidikan nasional. Peneliti menganalisis adanya nilai-nilai kebudayaan Cina dan Jawa dalam novel Putri Cinayang dapat dijadikan dasar sebagai pembentuk nilai-nilai karakter pendidikan nasional. H. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan terarah, maka penulis membagi pembahasan ke dalam lima bab yang dibagi ke dalam sub-sub sebagai berikut: BAB 1 Berisi Pendahuluan; membahas Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Kajian Pustaka, dan Sistematika Penulisan. BAB II Berisi Kajian Teoretis; Hakikat Nilai Budaya, Budaya Cina, Budaya Jawa, Hakikat Novel,Hakikat Karakter, Hakikat Pendidkan, dan Hakikat Pendidikan Karakter. BAB III Berisi Deskripsi Umum Novel Putri Cina; Tentang Penulis Novel Putri Cina, Sinopsis Novel Putri Cina. BAB IV Berisi Deskripsi Budaya Cina dan Jawa dalam Novel Putri Cina, Analisis Nilai Budaya Cina dan Jawa Novel Putri Cina, Nilai Budaya Cina dan Jawa dalam novel Putri Cinasebagai Butir Pendidikan Karakter. BABV Berisi Penutup; Simpulan dan Saran.
BAB II KAJIAN TEORETIS
A. Hakikat Nilai Budaya 1.
Definisi Nilai Definisi nilai menurut Rahmat adalah kemampuan yang dipercayai yang ada
pada suatu benda untuk memuaskan manusia, sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Pada dasarnya nilai merupakan sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu obyek, bukan obyek itu sendiri. Sesuatu yang mengandung nilai berarti ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu tersebut. Dengan demikian, nilai itu sebenarnya adalah suatu kenyataan yang tersembunyi di balik kenyataan-kenyataan lainnya. Adanya nilai karena adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai. Pandangan ini juga berarti nilai merupakan sifat yang melekat pada sesuatu yang telah berhubungan dengan subyek (manusia pemberi nilai).13 Nilai menunjukkan alasan dasar bahwa cara pelaksanaan atau keadaan tertentu lebih disukai secara pribadi atau sosial dibandingkan cara pelaksanaan atau keadaan akhir yang berlawanan. Nilai memuat elemen pertimbangan yang membawa ide-ide seseorang individu mengenai hal-hal benar, baik, dan diinginkan. Para peneliti bidang perilaku organisasi sudah lama memasukkan konsep nilai sebagai dasar pemahaman sikap dan motivasi individu. Individu yang memasuki suatu organisasi dengan pendapat yang telah terbentuk sebelumnya tentang apa yang “seharusnya” dan apa yang “tidak seharusnya” terjadi. Hal ini selanjutnya menimbulkan implikasi pada perilaku atau hasil-hasil tertentu yang lebih disukai dari yang lain. Dengan kata lain, nilai menutupi objektivitas dan rasionalitas.
13
Rahmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai (Bandung: Alfabeta, 2004), cet.1, h.13.
13
14
Kata ‘nilai’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga mempunyai arti sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Kata ‘nilai’ diartikan sebagai harga, kadar, mutu atau kualitas untuk mempunyai nilai. Maka sesuatu harus memiliki sifat-sifat yang penting dan bermutu atau berguna dalam kehidupan manusia. Memahami nilai akan lebih jelas apabila dilanjutkan dengan usaha mempelajari watak nilai. Dengan memahami watak nilai atau etos nilai, diharapkan seseorang dapat mengetahui sesuatu yang berharga dalam kehidupan ini, dan mengetahui apa yang harus diperbuatnya untuk menjadi manusia dalam arti yang sepenuhnya. Hal lain ialah bahwa nilai itu sendiri mempunyai dasar pembenaran atau sumber pandangan dari berbagai hal seperti metafisika, teologi, etika, logika, dan lain-lain. Nilai budaya sebagai suatu kesatuan makna merupakan kerangka aturan yang berlaku pada kondisi sosial tertentu. Nilai atau value didefinisikan sebagai alasan dasar bahwa “cara pelaksanaan atau keadaan akhir tertentu lebih disukai secara pribadi atau sosial dibandingkan dengan cara pelaksanaan atau keadaan akhir yang berlawanan Nilai memuat elemen pertimbangan yang membawa ideide seseorang individu mengenai hal-hal yang benar, baik dan diinginkan. Nilai memiliki sifat isi dan intensitas. Sifat isi menyampaikan bahwa cara pelaksanaan atau keadaan akhir dari kehidupan adalah penting. Sifat intensitas menjelaskan betapa pentingnya hal tersebut.
2.
Definisi Budaya Menelaah pengertian kebudayaan bukanlah hal yang mudah, mengingat
banyaknya batasan konsep dari berbagai bahasa, sejarah, dan sumber bacaannya atau literaturnya. Demikian juga dalam pendekatan metodenya, telah banyak disiplin ilmu lain seperti sosiologi, psikoanalisis, psikologi (perilaku) yang mengkaji bermacam-macam masalah, yang tingkat kejelasannya bergantung pada
15
konsep dan penekanan masing-masing. Bahkan ada yang bertentangan dalam hal pertanyaan tentang segi-segi epistemologis dan ontologis.14 Untuk merumuskan definisi Budaya, penulis mencoba membagi menjadi dua ranah pengertian, yaitu pengertian etimologis dan pengertian semantis. Kedua pengertian tersebut merupakan pengertian primer dalam memahami budaya. 2.1. Definisi Etimologis Dari segi asala katanya, kata ini kerap disejajarkan dengan kata: cultuur (Belanda), Kultur (Jerman), culture (Inggris), atau cultura (Latin). Kata budaya sendiri sering diartikan dari suku katanya kemudian diberi arti masing-masing suku kata tersebut.Ada yang memilahnya menjadi satuan kata antara budi dan daya, atau buah dan budi, bahkan bu dan daya.setelah memilah suku kata tersebut, kemudian suku kata itu diartikan terpisah dan disatukan menjadi satu kesatuan arti dari kata budaya. Kata ini juga sering merujuk pada kata buddhaya (Sansekerta) yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang artinya akal, maksud, dan pandangan. Dalam bahasa sansekerta ada kata lain yang lebih mendekati maksud dari kata budaya, yaitu abhyudaya yang artinya hasil baik, kemajuan, atau kemakmuran yang serba lengkap.15 Pada kesempatan yang lain kata budaya berasal dari buddhayah (sansekerta) yang merupakan bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal.16 Kata budi dan akal sebagai rangkaian makna yang menjadi satu kesatuan kata budaya merupakan hal yang tepat menjelaskan bahwa budaya itu merupakan proses menyejarah dengan akal dan budi sebagai pilar utama untuk menciptakan sebuah kebudayaan yang dapat bermanfaat bagi keberlangsungan hidup manusia sesuai fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi.17 14
M. Arifin Hakim, Ilmu Budaya Dasar, Teori dan Konsep Ilmu Budaya (Bandung: Pustaka Satya, 2001), cet.1, h. 16. 15 Mudji Sutrisno, Filsafat kebudayaan: Ikhtiar Sebuah Teks (Jakarta: Hujan Kabisat, 2008) cet.1, h.1. 16
Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006) cet.60, h.150. 17 QS Al-Baqarah (2:30), Al-Qur’an Al-Karim. Dijelaskan bahwa khalifah dalam bahasa arab sebagai pemimpin yang dimandatkan oleh Allah untuk mengelola alam semesta. Pada tafsir
16
Melihat banyaknya pendefinisian kata budaya tersebut, para ahli pun masih belum menarik kesimpulan makna dari kata budaya.Oleh karena itu, kata budaya tetap dibiarkan mendefinisikan kata budaya sesuai dengan kondisi dan keadaan tertentu dalam ruang masyarakat yang majemuk dan memiliki tata nilai sosial yang dinamis. 2.2. Definisi Semantis Kata budaya atau kebudayaan secara semantic, identik dengan suatu unsure yang menjadi bekal bagi manusia untuk menggali nilai-nilai.Dalam sejarahnya, kata budaya memang banyak digunakan oleh manusia sebagai seperangkat nilai kebaikan yang dapat mengantarkan suatu tatanan nilai untuk mengatur kehidupan manusia sesuai dengan kebutuhan dan keadaan sosial di mana manusia itu hidup.Budaya yang lekat dengan kehidupan manusia tersebut sering didefinisikan secara semantic oleh berbagai pihak yang serius mengkaji masalah-masalah dalam kebudayaan. 2.3. Macam-macam Definisi Menurut Beberapa Disiplin Ilmu A.L Kroeber dan C Kluckhohn memberikan makna pada 160 arti kebudayaan ke dalam 6 kategori pokok.Masing-masing menurut pendekatan ilmu tertentu.Ilmu sosiologi menekankan kebudayaan sebagai keseluruhan kecakapan (adat, akhlak, kesenian, ilmu, dan lain-lain) yang dimiliki manuisa sebagai subyek masyarakat.Ilmu sejarah menekankan perkembangan kebudayaan dan tradisi atau warisan dari generasi ke generasi.Sementara filsafat menekankan aspek normative, nilai-nilai, realisasi cita-cita, dan way of life.18 Manusia sebagai makhluk yang memiliki cirri khas sebagai makhluk pencari makna dengan kelebihan akalnya merupakan definisi primer dalam kaitannya dengan kebudayaan.Setiap manusia dalam Islam khususnya diberikan tugas sebagai khalifah Fi Al-Ardi atau pemimpin di muka bumi.Firman Allah lain, kata khalifah juga diartikan sebagai pengganti, yaitu manusia yang menggantikan makhlukmakhluk sebelumnya. Dengan kelebihan manusia yaitu memiliki akal, Tuhan menegaskan kepada seluruh makhluk ciptaannya untuk patuh dan menyembah manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya yang paling sempurna. Pada kesempatan yang sama Iblis adalah makhluk yang membangkang peritah Allah tersebut. 18 Mudji Sutrisno, Filsafat kebudayaan: Ikhtiar Sebuah Teks (Jakarta: Hujan Kabisat, 2008) cet.1, h.4.
17
dalam Surat Al-Baqarah Ayat 30 ini menjelaskan bahwa Allah telah menugaskan pada manusia untuk mengelola dunianya di bumi dan menjadi pemimpin atasnya. Jika dicermati lebih mendalam, dalam upaya manusia dalam mengelola dan memimpin bumi itu diperlukan sebuah tatanan nilai sosial yang dapat dijadikan sebagai aturan dalam pengelolaan tersebut. Aturan itu dapat berupa tatanan nilai yang membudaya pada suatu kelompok manusia tertentu dan dijadikan sebagai rambu-rambu dalam menjalankan tugasnya sebagai Khalifah di muka bumi. Pada zaman saat ini mudah sekali menemukan manusia yang kehilangan makna sejati atau tujuan hidup. Dengan mudah orang melihat tidak adanya nilai-nilai penting yang diperlukan
bagi suatu keseimbangan manusiawi yang sejati.19 Padahal,
pemenuhan nilai-nilai manusiawi itu adalah hal terpenting untuk mewujudkan keseimbangan manusia berlandaskan pada keutuhan manusia sebagai makhluk berakal atau Insan Kamil. 2.4. Unsur- Unsur Kebudayaan Beberapa orang sarjana telah mencoba merumuskan unsure-unsur kebudayaan, misalnya Melville J Herskovits mengajukan empat unsur pokok kebudayaan, yaitu:20 1. Alat-alat Teknologi 2. Sistem Ekonomi 3. Keluarga 4. Kekuasaan Politik Bronislaw Malinowski yang terkenal sebagai salah seorang pelopor teori fungsional dalam antropologi menyebut unsur-unsur kebudayaan antara lain: 1. Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya, 2. Organisasi ekonomi, 3. Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan, perlu diingat bahwa keluarga merupakan lembaga pendidikan yang utama, 19
Louis Leahy, Esai Filsafat untuk Masa Kini: Telaah Masalah Roh-Materi Berdasarkan Data Empiris Baru (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991) cet.1, h.30. 20 Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006) cet.1, h.153-154.
18
4. Organisasi kekuatan. Masing-masing unsur tersebut memiliki fungsinya masing-masing dalam menentukan pola kehidupan manusia yang berbudaya. Dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur tersebut dapat diklasifikasikan kembali ke dalam tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagau unsur yang universal, yaitu: 1. Peralatan dan Perlengkapan Hidup Manusia 2. Mata Pencarian Hidup dan Sistem-sistem Ekonomi 3. Sistem Kemasyarakatan 4. Bahasa 5. Kesenian 6. Sistem pengetahuan 7. Religi
3.
Hakikat Nilai Budaya Pemahaman akan suatu nilai tidak lepas dari suatu tatanan sifat yang ada
pada fitrah manusia. Nilai yang menjadi konsekuensi hidup manusia dalam mengelola kehidupan di dunia merupaka perangkat penting bagi tercapainya tujuan hidup. Penanaman dan pemahaman nilai yang benar akan melahirkan suatu kebudayaan yang baik dan benar pula untuk menjapai tujuan itu. Maka setiap tujuan hidup manusia harus membawa perangkat nilai budaya yang luhur untuk dilestarikan dan dijaga. Jika proyeksi atau rancangan budaya manusia ke depan ditopangkan pada tatanan nilai luhur pada dirinya sendiri, kemungkina jejak perjalanan manusia juga kea rah nilai yang luhur pula. Di sini yang menentukan adalah kompas dasar langkah pengembangan si amnesia dengan kebudayaan itu. Agar rancang budaya di atas terlaksana dan berlaku, dibutuhkan dua syarat yaitu, pertama, rancang atau tatanan budaya ini mesti pas dengan manusia.Kedua, rancang budaya ini mesti berdimensi utuh manusiawi, artinya yang mampu mengembangkan manusia dalam nilainya yang paling luhur, yang lebih mengedepankan kualitas dari pada kuantitas, isi dari pada bungkus. Dengan kata
19
lain lebih menaruh cinta di depan dari pada kebencian atau ketakutan.21 Maka dapat disimpulkan bahwa nilai budaya yang sejati haruslah mengabdi pada manusia,
mengembangkan
manusia
menjadi
semakin
manusiawi,
mengembangkan pribadi yang memiliki pancaran karakter akhlak yang luhur serta sikap hidup yang cakap dan bisa diterima dengan baik dimanapun ia berada.
B. Budaya Cina Cina adalah nama dari daerah budaya, dan pemukiman turun temurun dari budaya kuno sejak dahulu kala hingga kini, dan merupakan negara di Asia Timur. Peradaban Cina adalah merupakan salah satu peradaban tertua di dunia, yang terdiri dari sejarah dan budaya beberapa negara yang ada sejak 6 milenia yang lalu.Pada perang saudara terakhir di Cina, perang ini berakhir dengan jalan buntu dan mengakibatkan adanya dua negara yang memiliki dua nama Cina yaitu Republik Rakyat Cina. Cina merupakan peradaban tertua di dunia yang masih ada hingga kini. Cina memiliki sistem penulisan yang konsisten sejak dahulu dan masih digunakan hingga kini. Banyak penemuan-penemuan penting bersumber dari peradaban Cina kuno, seperti kertas, kompas, serbuk mesiu, dan materi-materi
cetak.Dokumen
tertua
yang
mencatat
istilah
"cina"
di Nusantara adalah inskripsi (tulisan) pada lempeng tembaga Bungur A berangka tahun 860 M. Prasasti ini menyebut tentang juru cina sebagai orang yang bertugas mengurus pedagang/pemukim dari Cina. Dapat diduga, istilah ini dipinjam dari kata bahasa Sanskerta. Sebagian besar budaya Cina berdasarkan tanggapan bahwa adanya sebuah dunia roh. Berbagai metode penelahan telah membantu menjawab pertanyaan, dan dijadikan pun alternatif kepada obat. Budaya rakyat telah membantu mengisi kekosongan untuk segala hal yang tiada penjelasannya. Kaitan antara mitos, agama dan fenomena yang aneh memang rapat sekali. Dewa-dewi menjadi sebahagian tradisi, antara yang terpenting termasuk Guan Yin , Maharaja Jed dan Budai. Kebanyakan kisah-kisah ini telah berevolusi menjadi perayaan tradisional 21
Mudji Sutrisno, Filsafat kebudayaan: Ikhtiar Sebuah Teks (Jakarta: Hujan Kabisat, 2008) cet.1, h.16.
20
Cina . Kebanyakan kisah-kisah ini telah berevolusi menjadi perayaan tradisional Tionghoa . Konsep-konsep lain pula diperluas ke luar mitos menjadi lambang kerohanian seperti dewa pintu dan singa penjaga. Konsep-konsep lain pula diperluas ke luar mitos menjadi lambang kerohanian seperti dewa pintu dan singa penjaga. Di samping yang suci, turut dipercayai yang jahat. Di samping yang suci, turut dipercaya yang jahat. Amalan-amalan seperti menghalau mogwai dan jiang shi dengan pedang kayu pic dalam Taoisme adalah antara konsep yang diamalkan secara turun-temurun. Praktek seperti menghalau mogwai dan Jiang shi dengan pedang kayu pic dalam Taoisme adalah konsep yang dilaksanakan secara turuntemurun. Upacara penilikan nasibCina masih diamalkan pada hari ini selepas bertahun-tahun mengalami perubahan. Upacara penilikan nasibCina masih dilaksanakan pada hari ini setelah bertahun-tahun mengalami perubahan. Budaya China sangat dipengaruhi oleh tiga kekuatan besar. Tiga kekuatan yang membentuk budaya China adalah Confucianisme, Taoisme dan Buddhisme. Tiga kekuatan ini menghasilkan budaya humanisme yang membuat gaya hidup China jadi sangat praktis dan juga tenang dalam menghadapi situasi sulit. Contohnya dalam 4000 tahun dalam sejarah China, ribua peperangan telah berkecamuk tetapi tak satupun yang disebabkan perselisihan agama. Tiga ajaran ini saling memuji alih-alih bertentangan satu sama lain. Karakteristik utama ajaran Confusianisme terdiri dari dua komponen yaitu prinsip humanisme, prinsip logis dan tak berlebihan. Humanisme mencakup sikap sopan , murah hati, tulus, rajin dan baik hati. Taoisme yang dilahirkan oleh Lao Tzu lebih bersifat metafisik dan abstrak dibanding dengan Confusianisme. Dalam hal pengajaran Taoisme melibatkan bagaimana seuatu hal terjadi dan bagaimana sesuatu hal itu bekerja. Buddhisme berasal dari India yang berkembang sejak 250 SM. Buddhisme bertujuan untuk membimbing ras manusia menuju kedamaian dengan mengurangi atau menghentikan penderitaan dan pengembangan moral yang baik. Buddha mengajarkan “Doktrin Karma “ dan “Jalan menuju Nirwana”. Doktrin Karma yang merujuk ke kelahiran kembali, berasal dari pengetahuan tentang pengalaman hidup seseorang sebelumnya. Jalan menuju Nirwana merujuk kepada berakhirnya penderitaan universal dan pencapaian kebahagiaan abadi melalui pemahaman
21
spiritual. Perbedaan nyata di antara ketiga kekuatan pembentuk adalaha Confusianisme menganut paham humanism ( kemanusiaan), Taoisme menganut paham naturalism (kekuataan alam) dab Buddhismen menganut paham spiritualisme(kerohanian). Ketiga ajaran ini tidak bersifat religious secara kaku dalam semua upaya membentuk hidup dengan menggunakan metafisik dan epistemologi yang berbeda. Karena budaya dapat berubah sesuai dengan lingkungan baru, selama abad ke 11 ajaran Taoisme dan Buddhisme berasimilasi ke Confusianisme menjadi satu kesatuan yang mencakup ketiganya. Neo Confucian dan Post Confucianisme. Ajaran ini merupakan sistem yang dominan yang tetap menjadi pengaruh besar dalam pemikiran bangsa Cina. Referensi
"Tiga kekuatan
yang membentuk
budaya Cina adalah
Confucianisme, Taoisme dan Buddhisme. Tiga kekuatan ini menghasilkan budaya humanisme yang membuat gaya hidup Cina jadi sangat praktis dan juga tenang dalam menghadapi situasi sulit. Contohnya dalam 4000 tahun dalam sejarah Cina, ribua peperangan telah berkecamuk tetapi tak satupun yang disebabkan perselisihan agama. Tiga ajaran ini saling memuji alih-alih bertentangan satu sama lain. Karakteristik utama ajaran Confusianisme terdiri dari dua komponen yaitu prinsip humanism e, prinsip logis dan tak berlebihan. Humanisme mencakup sikap sopan , murah hati, tulus, rajin dan baik hati. Taoismen yang dilahirkan oleh Lao Tzu lebih bersifat metafisik dan abstrak dibanding dengan Confusianisme. Dalam hal pengajaran Taoisme melibatkan bagaimana seuatu hal terjadi dan bagaimana sesuatu hal itu bekerja. Buddhismen berasal dari India yang berkembang sejak 250 SM. Buddhisme bertujuan untuk membimbing ras manusia menuju kedamaian dengan mengurangi atau menghentikan penderitaan dan pengembangan moral yang baik. Buddha mengajarkan “Doktrin Karma “ dan “Jalan menuju Nirwana”. Doktrin Karma yang merujuk ke kelahiran kembali berasal dari pengetahuan tentang pengalaman hidup seseorang sebelumnya. Jalan menuju Nirwana merujuk kepada berakhirnya penderitaan universal dan pencapaian kebahagiaan abadi melalui pemahaman spiritual.
22
Beberapa kisah mengenai orang Cina di tanah air dikisahkan pula oleh Pramudya Ananta Toer dalam Hoa Kiau di Indonesia (1960). Kehadiran orang Cina di Indonesia menuai beragam sikap, ada yang menerima dan ada juga yang menolak. Namun, kehadiran orang-orang Cina di tanah air sejak berabad-abad yang lampau dan kemudian memberikan dampak positif terhadap perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di tanah air.22
C. Budaya Jawa Jawa adalah sebuah pulau di Indonesia dengan penduduk 136 juta, pulau ini merupakan pulau berpenduduk terbanyak di dunia dan merupakan salah satu wilayah berpenduduk terpadat di dunia. Pulau ini dihuni oleh 60% penduduk Indonesia. Ibu kota Indonesia, Jakarta, terletak di Jawa bagian barat. Banyak sejarah Indonesia berlangsung di pulau ini. Jawa dahulu merupakan pusat dari beberapa kerajaan Hindu-Buddha, kesultanan Islam, pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, serta pusat pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pulau ini berdampak sangat besar terhadap kehidupan sosial, politik, dan ekonomi Indonesia. Jawa adalah pulau yang sebagian besar terbentuk dari aktivitas vulkanik, merupakan pulau ketiga belas terbesar di dunia, dan terbesar kelima di Indonesia. Deretan gunung-gunung berapi membentuk jajaran yang terbentang dari timur hingga barat pulau ini. Terdapat tiga bahasa utama di pulau ini, namun mayoritas penduduk menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu dari 60 juta penduduk Indonesia, dan sebagian besar penuturnya berdiam di pulau Jawa. Sebagian besar penduduk adalah bilingual, yang berbahasa Indonesia baik sebagai bahasa pertama maupun kedua. Sebagian besar penduduk Jawa adalah Muslim, namun terdapat beragam aliran kepercayaan, agama, kelompok etnis, serta budaya di pulau ini.
22
Zulfa Hanum, Kritik Sastra: Sebuah Penilaian terhadap Karya Sastra (Tangerang: PT Pustaka Mandiri, 2012) cet.1, h. 68.
23
Asal mula nama 'Jawa' tidak jelas. Salah satu kemungkinan adalah nama pulau ini berasal dari tanaman jáwa-wut, yang banyak ditemukan di pulau ini pada masa purbakala, sebelum masuknya pengaruh India pulau ini mungkin memiliki banyak nama. Ada pula dugaan bahwa pulau ini berasal dari kata jaú yang berarti "jauh".Dalam Bahasa Sanskerta yava berarti tanaman jelai, sebuah tanaman yang membuat pulau ini terkenal. Yawadvipa disebut dalam epik IndiaRamayana. Sugriwa,
panglima wanara (manusia
kera)
dari
pasukan Sri
Rama,
mengirimkan utusannya ke Yawadvipa (pulau Jawa) untuk mencari Dewi Shinta. Kemudian berdasarkan kesusastraan India terutama pustaka Tamil, disebut dengan nama Sanskerta yāvaka dvīpa (dvīpa = pulau). Dugaan lain ialah bahwa kata "Jawa" berasal dari akar kata dalam bahasa Proto-Austronesia, yang berarti 'rumah'. Pulau
ini
merupakan
bagian
dari
gugusan kepulauan
Sunda
Besar dan paparan Sunda, yang pada masa sebelum es mencair merupakan ujung tenggara benua Asia. Sisa-sisa fosil Homo erectus, yang populer dijuluki "Si Manusia Jawa", ditemukan di sepanjang daerah tepian Sungai Bengawan Solo, dan peninggalan tersebut berasal dari masa 1,7 juta tahun yang lampau. Situs Sangiran adalah situs prasejarah yang penting di Jawa. Beberapa struktur megalitik telah ditemukan di pulau Jawa, misalnya menhir, dolmen, meja batu, dan piramida berundak yang lazim disebut Punden Berundak. Punden berundak dan menhir ditemukan di situs megalitik di Paguyangan, Cisolok, dan Gunung Padang, Jawa Barat. Situs megalitik Cipari yang juga ditemukan di Jawa Barat menunjukkan struktur monolit, teras batu, dan sarkofagus. Punden berundak ini dianggap sebagai strukstur asli Nusantara dan merupakan rancangan dasar bangunan candi pada zaman kerajaan Hindu-Buddha Nusantara setelah penduduk lokal menerima pengaruh peradaban Hindu-Buddha dari India. Pada abad ke-4 SM hingga abad ke-1 atau ke-5 M Kebudayaan Buni yaitu kebudayaan tembikar tanah liat berkembang di pesisir utara Jawa Barat. Pulau Jawa yang sangat subur dan bercurah hujan tinggi memungkinkan berkembangnya budidaya padi di lahan basah, sehingga mendorong terbentuknya
24
tingkat kerjasama antar desa yang semakin kompleks. Dari aliansi-aliansi desa tersebut, berkembanglah kerajaan-kerajaan kecil. Jajaran pegunungan vulkanik dan dataran-dataran tinggi di sekitarnya yang membentang di sepanjang pulau Jawa menyebabkan daerah-daerah interior pulau ini beserta masyarakatnya secara relatif terpisahkan dari pengaruh luar. Di masa sebelum berkembangnya negaranegara Islam serta kedatangan kolonialisme Eropa, sungai-sungai yang ada merupakan sarana perhubungan utama masyarakat, meskipun kebanyakan sungai di Jawa beraliran pendek. Hanya Sungai Brantas dan Bengawan Solo yang dapat menjadi sarana penghubung jarak jauh, sehingga pada lembah-lembah sungai tersebut terbentuklah pusat dari kerajaan-kerajaan yang besar. Budaya Jawa adalah budaya yang berasal dari Jawa dan dianut oleh masyarakat Jawa khususnya di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur. Budaya Jawa secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 yaitu budaya Banyumasan, budaya Jawa Tengah-DIY
dan
budaya
Jawa
Timur.
Budaya
Jawa
mengutamakan
keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan sehari hari. Budaya Jawa menjunjung tinggi kesopanan dan kesederhanaan. Budaya Jawa selain terdapat di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur terdapat juga di daerah perantauan orang Jawa yaitu di Jakarta, Sumatera dan Suriname. Bahkan budaya Jawa termasuk salah satu budaya di Indonesia yang paling banyak diminati di luar negeri. Beberapa budaya Jawa yang diminati di luar negeri adalahWayang Kulit, Keris, Batik dan Gamelan. Di Malaysia dan Filipina dikenal istilah keris karena pengaruh Majapahit LSM Kampung Halaman dari Yogyakarta yang menggunakan wayang remaja adalah LSM Asia pertama yang menerima penghargaan seni dari AS tahun 2011. Gamelan Jawa menjadi pelajaran wajib di AS, Singapura dan Selandia Baru. Gamelan Jawa rutin digelar di AS-Eropa atas permintaan warga AS-Eropa. Sastra Jawa Negarakretagama menjadi satu satunya karya sastra Indonesia yang diakui UNESCO sebagai Memori Dunia. Menurut Guru Besar Arkeologi Asia Tenggara National University of Singapore
John
meliputi Sumatera dan
N.
Miksic,
jangkauan
kekuasaan
Singapura bahkan Thailand yang
dibuktikan
Majapahit dengan
25
pengaruh kebudayaan, corak bangunan, candi, patung dan seni. Budaya Jawa termasuk unik karena membagi tingkat bahasa Jawa menjadi beberapa tingkat yaitu Ngoko, Madya Krama. Ada yang berpendapat budaya Jawa identik feodal dan sinkretik. Pendapat itu kurang tepat karena budaya feodal ada di semua negara termasuk Eropa. Budaya Jawa menghargai semua agama dan pluralitas sehingga dinilai sinkretik oleh budaya tertentu yang hanya mengakui satu agama tertentu dan sektarian. Jawa adalah kancah pertemuan dari berbagai agama dan budaya. Pengaruh budaya India adalah yang datang pertama kali dengan agama HinduSiwa dan Buddha, yang menembus secara mendalam dan menyatu dengan tradisi adat dan budaya masyarakat Jawa. Para brahmana kerajaan dan pujangga istana mengesahkan
kekuasaan
raja-raja
Jawa,
serta
mengaitkan kosmologi
Hindu dengan susunan politik mereka. Meskipun kemudian agama Islam menjadi agama mayoritas, kantong-kantong kecil pemeluk Hindu tersebar di seluruh pulau. Terdapat populasi Hindu yang signifikan di sepanjang pantai timur dekat pulau Bali, terutama di sekitar kota Banyuwangi. Sedangkan komunitas Buddha umumnya saat ini terdapat di kota-kota Besar terutama dari kalangan Tionghoa Indonesia. Sekumpulan batu nisan Muslim yang berukiran halus dengan tulisan dalam bahasa Jawa Kuna dan bukan bahasa Arab ditemukan dengan penanggalan tahun sejak 1369 di Jawa Timur. Damais menyimpulkan itu adalah makam orang-orang Jawa
yang
sangat
terhormat,
bahkan
mungkin
para
bangsawan. M.C.
Ricklefs berpendapat bahwa para penyebar agama Islam yang berpaham sufimistis, yang mungkin dianggap berkekuatan gaib, adalah agen-agen yang menyebabkan perpindahan agama para elit istana Jawa, yang telah lama akrab dengan aspek mistis agama Hindu dan Buddha. Sebuah batu nisan seorang Muslim bernama Maulana Malik Ibrahim yang bertahun 1419 (822 Hijriah) ditemukan di Gresik, sebuah pelabuhan di pesisir Jawa Timur. Tradisi Jawa menyebutnya sebagai orang asing non-Jawa, dan dianggap salah satu dari
26
sembilan penyebar agama Islam pertama di Jawa (Walisongo), meskipun tidak ada bukti tertulis yang mendukung tradisi lisan ini. Saat ini lebih dari 90 persen orang Jawa menganut agama Islam, dengan sebaran nuansa keyakinan antara abangan (lebih sinkretis) dan santri (lebih ortodoks). Dalam sebuah pondok pesantren di Jawa, para kyai sebagai pemimpin agama melanjutkan peranan para resi di masa Hindu. Para santri dan masyarakat di sekitar pondok umumnya turut membantu menyediakan kebutuhankebutuhannya. Tradisi pra-Islam di Jawa juga telah membuat pemahaman Islam sebagian orang cenderung ke arah mistis. Terdapat masyarakat Jawa yang berkelompok dengan tidak terlalu terstruktur di bawah kepemimpinan tokoh keagamaan, yang menggabungkan pengetahuan dan praktik-praktik pra-Islam dengan ajaran Islam. Sejarah kerajaan Jawa juga banyak menghiasi perjalanan peradaban di Jawa. Banyaknya konflik dan pertikaian di Jawa membuat paradigma tersendiri yang unik mengenai Jawa. Konflik tersebut lebih cenderung pada konflik internal. Konflik internal tersebut yang menimbulkan krisis di Jawa khususnya Yogyakarta pada waktu itu. Akibatnya kemerdekaan kerajaan di Jawa perlahan mulai hancur. Hal ini ditandai oleh datangnya orang-orang Eropa ke Jawa untuk tujuan menjajah. Simbol kesejahteraan Jawa baru muncul saat Hamengkubuwono II memimpin Yogyakarya. Penduduk Jawa mulai menikmati kesejahteraan dalam pelbagai segi, dan Yogyakarta khususya merupakan sebuah kerajaan yang sangat kuat.23 D. Hakikat Novel Novel sebagai salah satu jenis prosa dari karya sastra semakin popular di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagai bacaan cerita yang memiliki alur, novel dapat memberikan efek ekspresi dan apresiasi bagi pembacanya, bahkan tidak sedikit pembaca yang terkagum dan mengikuti karakter sang tokoh dalam novel. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘novel’ berarti karangan prosa yang
23
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008) cet.1, h.239.
27
panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orangorang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap perilaku. Menurut Nurgiyantoro, Dunia kesusastraan mengenal prosa (Inggris: prose) sebagai salah satu genre sastra di samping genre-genre yang lain. Prosa dalam pengertian kesusastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative discourse). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan (disingkat: cerkan) atau cerita khayalan.24 Bentuk karya fiksi yang berupa prosa adalah novel dan cerpen. Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dinia imajinatif, yang dibangun melalui sebagai unsur instrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain, yang kesemuannya tentu bersifat naratif. Novel berasal dari bahasa Italia,novella, yang dalam bahasa jerman Novelle, dan dalam bahasa Yunani novellus. Kemudian masuk ke Indonesia menjadi novel. Dewasa ini istilah novella dan novella mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelette (Inggris: novelette), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cakupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus.25 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. E. Hakikat Pendidikan Pengertian pendidikan yang dikemukakan para pakar tentu berbeda satu dengan yang lainnya.Pengertian tersebut didasarkan pada pemahaman, budaya, bangsa, dan lain sebagainya.Maka dalam menentukan pengertian pendidikan perlu kita mengambil beberapa pengertian dari pakar tersebut untuk kemudian dipadukan dan ditarik kesimpulan yang sesuai dengan pengertian atau definisi
24 25
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: UGM Press, 2000) cet.1, h. 1 Ibid., cet.1, h. 9.
28
yang diberikan oleh para pakar tersebut. Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara memberikan definisi pendidikan sebagai berikut: Pendidikan umumnja berarti daja-upaja untuk memadjukan bertumbuhnja budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak; dalam pengertian Taman Siswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-baian itu, agar supaja kita dapat memadjukan kesempurnaan hidup, jakni kehidupan dan penghidupan anak-anak jang kita didik selaras dengan dunianja.26 Sehubungan dengan pembahasan ini Alvin Toffler seperti yang dikutip oleh Louis Leahy (1991) mengungkapkan bahwa: Gelombang guncangan revolusi industri telah membongkar bangunan nilai-nilai lama.Kondisi-kondisi baru menuntut suatu tata nilai baru, tetapi para pendidik malah menghindarinya. Sebagai reaksi terhadap cara pendidikan yang bersifat klerikal, pengajaran fakta-fakta untuk “membiarkan murid bebas berfikir sesuai dengan kehendaknya sendiri” telah menjadi nilai tertinggi bagi paham progresif. Pendidikan masih tetap mempunyai makna pembentuk kepribadian , namun para pendidik telah membuang gagasan penanaman nilai-nilai. Pada kesempatan lain, kita dapat menuturkan beberapa pengertian pendidikan dari para pegiat di bidang pendidikan.27 Secara definitif, pendidikan diartikan sebagai berikut: a. John Dewey Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kea rah alam dan sesame manusia. b. Langeveld Mendidik adalah mempengaruhi anak dalam usaha membimbingnya supaya menjadi dewasa.Usaha membimbing adalah adalah usaha yang didasari dan dilaksanakan dengan sengaja antara orang dewasa dengan anak yang belum dewasa. c. Hoogeveld
26
Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, Karja Ki Hadjar Dewantara: Bagian Pertama; Pendidikan (Jogjakarta: Pertjetakan Taman Siswa, 1962), h.14-15. 27 Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan( Jakarta: Rineka Cipta, 2003), cet.2, h.69.
29
Mendidik
adalah
membantu
anak
supaya
ia
cukup
cakap
menyelenggarakan tugas hidupnya atas tanggung jawabnya sendiri. d. Rousseau Pendidikan adalam memberi kita pembekalan yang tidak ada pada masa anak-anak, akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa. Secara garis besar pendidikan Indonesia mengarah pada definisi yang tertuang pada Undang-Undang No.20 tahun 2003, bahwa pendidikan adalah Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagmaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. F. Pengertian Karakter Pengertian karakter secara etimologis berasal dari kata Latin, yaitu “kharakter,”“kharassein,” dan “kharax,” yang bermakna “tools for marking,” “to angrave,” dan “pointed stake.” Kata ini mulai banyak digunakan dalam bahasa Perancis sebagai “caractere” pada abad ke-14. Ketika masuk ke dalam bahasa Inggris, kata “caractere” ini berubah menjadi “character.” Selanjutnya dalam bahasa Indonesia kata “character” ini menjadi “karakter.” Pada pemahaman yang lebih luas, karakter itu didefinisikan sebagai kualitas-kualitas yang teguh dan khusus, yang dibangun dalam kehidupan seseorang, yang menentukan responnya tanpa pengaruh kondisi-kondisi yang ada. Secara ringkas, karakter merupakan istilah yang menunjuk kepada aplikasi nilainilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Jadi, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Karakter juga bisa dipahami sebagai tabiat atau watak. Dengan demikian, orang berkarakter adalah orang yang memiliki kepribadian atau berwatak.
30
Menurut para ahli, karakter yaitu sebagai berikut:28 1. Karakter Menurut Lickona Karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral. Sifat alami ini dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati dan menghargai orang lain, dan karakter-karakter mulia lainnya. 2. Karakter Menurut Suyanto Suyanto mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara. 3. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau keperibadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. 4. Karakter menurut Ki Hadjar Dewantara Pada dasarnya belum ada kata karakter pada masa Ki Hadjar Dewantara. Namun, bisa dikorelasikan sebagai pendidikan budi pekerti. Menurutnya budi pekerti adalah bersatunya antara gerak dan pikiran, perasaan dan keghendak atau kemauan, yang kemudian menimbulkan tenaga. Secara ringkas, budi pekerti adalah sebagai sifatnya jiwa manusia, mulai dari angan-angan hingga terjelma menjadi tenaga. Dengan adanya budi pekerti manusia akan menjadi pribadi yang merdeka sekaligus berkepribadian, dan dapat mengendalikan diri sendiri.
Setiap orang menurut Ki Hadjar Dewantara memiliki ciri khas yang berbeda-beda, sebagaimana mereka memiliki roman muka yang berbeda-beda pula. Manusia satu dengan yang lain tidak ada kesamaan sebagaimana perbedaan 28
Agus Wibowo dan Hamrin, Menjadi Guru Berkarakter, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2012), cet. 1, hal. 42.
31
guratan tangan atau sidik jari mereka. Karena sifatnya yang konsisten, maka budi pekerti itu menjadi penanda seseorang. Misalnya apakah orang tersebut berbudi pekerti baik atau buruk. Maka pendidikan yang baik itu mestinya mampu mengalahjkan dasar-dasar jiwa manusia yang jahat, menutupi, bahkan mengurangi tabiat-tabiat yang jahat tersebut.
G. Hakikat Pendidikan Karakter 1.
Pengertian Pendidikan Karakter Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang
melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, pendidikan karakter tidak akan efektif.29 Dalam pendidikan karakter tidak cukup dengan pengetahuan lantas melakukan tindakan dengan pengetahuannya saja. Hal ini karena pendidikan karakter terkait erat dengan nilai dan norma. Pendidikan karakter merupakan suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter yang baik kepada semua yang terlibat dan sebagai warga pendidikan sehingga mempunyai pengetahuan, kesadaran, dan tindakan dalam melaksanakan nilai-nilai tersebut. Semua warga pendidikan yang terlibat dalam pengembangan karakter yang baik ini sesungguhnya dalam rangka pembangun karakter peserta didik. Hal ini penting untuk menemukan contoh dan lingkungan yang kondusif dengan karakter baik yang sedang dibangun dalam kepribadiannya. Di bawah ini adalah skema pendidikan karakter yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari:
29
Muhammad Muhaimin Azzet, Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), cet.1, h.28.
32
Bagan2.1: Skema Pendidikan Karakter
Pendidikan di negeri ini butuh mentransforamsikan kehidupan ke arah yang lebih dinamis dengan berbagai perangkat kehidupan yang bisa menunjang perkembangan zaman. Pendidikan karakter dihadirkan sebagai salah satu pandangan yang menawarkan semangat meraih masa depan pendidikan yang gemilang. Menurut Suyanto, setidaknya ada sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal sebagai berikut:30 a. Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya. b. Kemandirian dan tanggung jawab. c. Kejujuran/amanah. d. Hormat dan santun. e. Dermawan, suka menolong, dan kerja sama. f. Percaya diri dan pekerja keras. g. Kepemimpinan dan keadilan. h. Baik dan rendah hati. i. Toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Kesembilan pilar karakter di atas hendaknya diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan yang hiolistik. Apabila kesembilan pilar tersebut benarbenar dipahami, dirasakan kebaikan dan perlunya dalam kehidupan dan
30
Ibid, h.29.
33
diwujudkan dalam perilaku sehari-hari, inilah sesungguhnya pendidikan karakter yang diharapkan.
2.
Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Ada 18 butir nilai-nilai pendidikan karakter menurut Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif,cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Tabel2.1: Nilai-nilai Pendidikan Karakter
Pada filsafat pendidikan Paulo Freire, pendidikan karakter juga dapat ditafsirkan sebagai pendidikan penyadaran terhadap tugas dan tanggung jawab sebagai manusia. Freire menyebutnya dengan istilah Conscientizacao. Pada konsepsinya tentang pendidikan yang mashyur ini Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi tiga bagian, antara lain:31 1. Kesadaran Magis (magical consciousness), yaitu suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia—natural maupun supra natural—sebagai penyebab. 31
William A. Smith, Conscientizacao: Tujuan Pendidikan Paulo Freire (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) cet.2, h.117.
34
2. Kesadaran naif (naival consciousness) , keadaan yang dikategorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat. 3. Kesadaran Kritis (critical consciousness), kesadaran ini lebih melihat aspek sistenm dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari blaming the victims dan lebih menganalisis. Untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi, budaya, dan akibatnya pada keadaan masyarakat.
Salah satu tujuan pendidikan karakter ialah keadilan. Keadilan berasal dari fakta bahwa fase-fase perkembangan merupakan sebuah ukuran universal untuk menilai eksistensi manusia. Karena keadilan berasal dari proses dialogis yang melahirkan pertumbuhan. 18 butir nilai pendidikan karakter dapat menjadi prinsip dalam pertumbuhan kesadaran manusia dalam menjalani kehidupan sebagai warga negara Indonesia.
35
BAB III DESKRIPSI UMUM TENTANG NOVEL PUTRI CINA
A. Tinjauan Umum terhadap Novel Putri Cina Pada bagian pengantar dari novel ini disebutkan bahwa novel ini didedikasikan untuk mengenang ibunya yang juga seorang keturunan Cina. Pengarang menjelaskan bahwa novel ini merupakan sebuah katalog berjudul Babad Putri Cina yang ditulis untuk mengiringi Pameran Lukisan Putri Cina karya Hari Budiono pada Mei 2006.kemudian pengarang mengembangkan kembali ide dan cerita tersebut hingga akhirnya menjadi sebuah novel dengan judul Putri Cina. Kemudian pada bagian lainnya pengarang mengisahkan kembali cerita mengenai Jaka Prabangkara yang ia sadur dari buku Menyurat yang Silam Menggurat yang Menjelang karya Nancy K. Florida pada tahun 2003. Sebagian dari cerita Putri Cina ini pernah dipentaskan dalam ketoprak dengan lakon “Putri Cina” oleh grup ketoprak Tjap Tjonthong Djogjakarta. Pada dasarnya novel ini memuat berbagai problematika sosial yang cukup kompleks dalam kaitannya dengan sejarah kebudayaan nusantara. Kisah yang ditampilkan selalu merujuk pada penggalan sejarah para kerajaan yang pernah berjaya di bumi nusantara. Pengarang mengisahkan cerita sejarah kebudayaan tersebut secara terperinci dan meyakinkan para pembacanya untuk ‘menyelam’ bersama alur cerita yang disajikan. Novel dengan tebal 303 halaman ini merupakan cerita tragika anak manusia keturunan Cina. Sindunata berhasil menerjuni tragika itu dalam pelbagai likalikunya. Ia mendalami tragika itu lewat pengetahuannya yang luas dan kaya tentang filsafat dan mitos, baik Jawa maupun Cina. Tragika itu juga ditelusurinya lewat babad dan sejarah. Kemudian dijalinnya semua itu dalam sebuah sastra tentang Putri Cina. Putri Cina adalah sebuah sastra tragedi yang indah dan kaya akan permenungan hidup. Pengarang menuturkan dengan gaya yang khas, novel
36
ini akan membawa pembacanya ke dalam sebuah alam, dimana mitos dan kenyataan historis sedemikian bersinggungan tanpa pernah terpisahkan. Di sini sejarah seakan hanyalah panggung, tempat tragika mitos mementaskan dirinya. Dengan amat menyentuh novel ini berhasil melukiskan bagaimana di panggung sejarah yang tragis itucinta sepasang kekasing yang tak ingin terpisahkan oleh daging dan darah pun akhirnya hanya menjadi tragedi yang mengharukan hati. Putri Cina karya Sindhunata ini merupakan novel sejarah epik nusantara yang dirangkai dalam sajian budaya yang memukau.Pada beberapa segmentasinya tergambar jelas mengenai nilai-nilai moral yang terkandung dalam kisah kebudayaan tersebut.Maka pantas jika novel ini dapat menyuguhkan para pembacanya pada pesona budaya yang kental khususnya budaya Jawa.Deskripsi budaya yang ditampilkan meliputi kebudayaan kerajaan Majapahit yang wilayah kekuasaannya terbentang luas di tanah nusantara.Novel Putri Cina telah berhasil ‘menyihir’ pembacanya untuk larut dalam segmen kisahnya yang dibawakan secara memukau oleh pengarang.Novel yang diterbitkan November 2007 ini memulai kisahnya dengan pengembaraan hidup seorang wanita cantik keturunan Tionghoa yang hidup di tanah jawa. Dalam perjalanan awalnya itu sang wanita malah kebingungan akan jati dirinya yang semakin menimbulkan tanda tanya. Manusia ini tak punya akar. Dia diterbangkan kemana-mana Seperti debu yang berhamburan di jalanan. Ke segala arah, bertumbukan dengan angin Ia jatuh terguling-guling. Memang hidup kita ini sangatlah pendek Kita datang ke duian ini sebagai saudara; Tapi mengapa kita meski diikat pada daging dan darah? (Sindhunata, 2007: 9)
Berikut adalah petikan sajak T’ao Ch’ien yang menjadi gambaran awal cerita sang wanita ini menjadi garis besar kisah dalam novel Putri Cina yang dikarang oleh Sindhunata. Petikan sajak tersebut memberikan wajah yang muram tentang arti sebuah kehidupan. Sajak tersebut dalam novel ini menjadi ujung
37
tombak perjalanan cerita Putri Cina hingga akhir. Dari sepenggal sajak ini pula pengarang mencoba masuk ke jantung budaya yang kuat mengakar di tanah Jawa. Kisah-kisah yang ditampilkan dalam novel Putri Cina kemudian menjadi pesan moral dan sosial bagi siapa saja yang membacanya bahwa kerukunan hidup itu tidak bisa diikatkan pada suatu bangsa tertentu, atau yang lebih menyayat hati terbatas hanya pada keturunan suatu etnis tertentu. Gambaran utuh dari pesan ini secara umum ialah kesederhaan hidup haruslah menjadi yang utama untuk bisa hidup saling berdampingan. Pada titik nilai karakter yang terkandung pada pesan tersebut adalah saling menghargai atau toleransi perlu dijunjung tinggi sebagai bangsa yang bermartabat. Hal tersebut perlu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan ditanamkan sejak dini sebagai suatu pendidikan karakter bagi manusia. Jika kebersamaan yang “tidak terbatas” antar sesama manusia sudah hadir, maka pola sosial yang dibangun selanjutnya lebih bersifat gotong royong bersama membangun peradaban yang maju tanpa diskriminasi. Gotong royong dalam beberapa pengertian dapat juga diartikan sebagai suatu aspek terpenting dalam hubungan antarmanusia.32 Putri cina sebagai tokoh utama ditampilkan penuh kebimbangan dalam memecahkan masalah hidup yang dialaminya. Masalah tersebut yang kemudian mengajak pembaca untuk mengenal problematika filosofis yang kuat mengenai suatu nilai dalam ruang kebudayaan. Kisahnya menghadapkan pembaca pada sebuah titik benturan kebudayaan yang berdampak luas pada ruang lingkup sosial. Putri Cina mulai mempertanyakan mengapa hidupnya terasa tak berarti ketika dihadapkan pada persoalan asal dan keturunan. Tidakkah hidupnya memang tidak punya akar, yang mengikat dia pada suatu tanah, tempat ia bisa berpijak? Katanya ia berasal dari Cina. Tapi ia tak tahu sama sekali, apakah dan bagaimanakah keadaan di tanah leluhurnya itu dan ke sana sekalipun ia tidak pernah. (Sindhunata, 2007: 9)
Penggalan di atas merupakan pencitraan pengarang terhadap tokoh utama yang secara sederhana dapat disimpulkan sebagai suatau keluh-kesah seseorang 32
Peter Kropotkin, Gotong Royong Kunci Kesejahteraan Sosial; Tumbangnya Darwinisme Sosial (Depok: Piramedia, 2006) cet.1, h.161.
38
dalam menjalani hidup. Keluhan tersebut berpadu dengan keadaan identitas dirinya yang menyimpan tanda tanya mengenai dinamika perenungan seseorang yang merasa dirinya terbatas hanya karena asal-usulnya. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang saat ini menjadi momok bagi putri cina untuk bertahan hidup sebagai seorang yang mempunyai jiwa dan raga. Kegelisahan putri cina sebagai manusia adalah harga dirinya yang pengarang tampilkan dengan gaya bahasa yang halus yaitu ‘wajah’. Putri cina seakan tidak berwajah atas kecantikan dirinya, merasa tak punya apa-apa atas kekayaannya Tapi mengapa, makin ia bertambah kaya, makin terasa ia tak berwajah. Kekayaan dan hartanya tak lagi menjadi tumpuan yang menyangga wajahnya. Nyatanya wajahnya telah hilang, entah kemana (Sindhunata, 2007 :11) Skema bercerita dengan gaya filosofis cukup kental pada saduran-saduran yang dituliskan pengarang disajikan dalam beberapa segmen cerita untuk menggambarkan hati yang gundah-gulana sang putri cina. Pengarang mencoba menggambarkan bahwa dari syair-syair yang ditampilakn, pembaca akan berempati dengan kegelisahan tokoh utama yaitu Putri Cina. Pesan yang ingin disampaikan pengarang bahwa harta dan kehormatan akan sia-sia bila manusia ini tak lagi berwajah Wajah dari mawar Hitam melayu tanpa sinar Wahai wajah yang suram, Wajah Putri Cina mawar Hitam Telanjang ditelan malam
Pada beberapa segmen pengarang menyajikan filosofi kehidupan dari negeri Cina yaitu hikmah dan syair dari para leluhurnya. Syair-syair yang disajikan merupakan penguatan akan nilai-nilai kehidupan yang terkandung dari alur cerita. Hal ini dikemukakan melalui salah satu syair dari penyair Tionghoa, Han San sebagai berikut: Ketika aku masih tinggal di desa Orang-orang menyanjungku tiada taranya
39
Tapi ketika esok hari aku pergi ke ibu kota Anjing pun melihatku dengan memicingkan mata Seorang bergumam celanaku terlalu sempit Orang lain bilang bajuku terlalu panjang Cungkillah dariku mata kesombongan burung elang Aku akan terbang seperti burung gereja Mulia dan berharga (Sindhunata, 2007: 12-13)
Syair di atas merupakan antiklimaks dari segala kegelisahan putri cina yang merasa kehilangan wajahnya. Pengarang dengan jeli mengutarakan permasalahan harga diri sebagai seseorang itu dengan menggambarkan suatu kesombongan yang ada pada diri manusia. Oleh karena itu, untuk menangkal segala kesombongan manusia perlulah hidup dengan sederhana. Mestilah orang meninggalkan kesombongan akan harta dan bendanya, supaya ia menjadi sederhana seperti burung gereja, hingga ia kembali menemukan harga dirinya. Kesederhanaan tersebut adalah jalan menuju penemuan jati diri manusia. Sindhunata seakan berpesan bahwa setiap warga negara yang ditakdirkan sebagai keturunan etnis Tionghoa yang hidup di mana pun, di tanah air mana pun yang masih merasa ada batas dan jarak bagi dirinya untuk menyatu dengan tanah air tersebut jadikanlah kesederhanaan sebagai tanah airnya yang sejati. Sesungguhnya kesederhanaan itulah tanah air yang dibutuhkan. Sebab seperti kata penyair T’ao Ch’ien, ia sudah ditakdirkan untuk terbang seperti debu. Debu yang selalu terbang tak mungkin terikat pada suatu tanah air. Kalaupun ia mempunyai tanah air yang membuat hidupnya aman, itu adalah kesederhanaan. (Sindhunata, 2007: 13) Pengarang mencoba menarik sudut pandang budaya Tionghoa yang penuh kearifan dalam menafsirkan kehidupan. Di antara kemasan budaya tersebut dapat dijadikan acuan untuk menentukan nilai-nilai budaya yang dapat berfungsi sebagai pembentuk nilai pendidikan karakter. Tentu hal ini bila dicermati lebih jauh akan kita dapatkan kesimpulan bahwa dari kesederhanaan muncullah kehidupan yang bersahaja dan bermartabat. Begitu pula untuk membangun bangsa ini diperlukan nilai-nilai pendidikian karaktrer untuk membangun bangsa yang maju dan sejahtera. Disamping itu berbagai pedoman atau pepatah hidup dari para
40
leluhur budaya Cina ditampilkan dalam novel ini sebagai suatu rambu-rambu kehidupan bagi siapa saja yang meyakininya (etnis Tionghoa). “Jika saat berpulang telah tiba, aku hanya membutuhkan beberapa lembar daun pisang saja. Untuk apa semuanya, bila pada akhirnya manusia cukup dibaringkan di atas daun ketika ia selamanya tertidur”(Sindhunata, 2007: 14) Pada bagian ke-2 novel Putri Cina pengarang mulai memasukkan unsur budaya Jawa yang disajikan dalam bentuk kisah dongeng. Dongeng tersebut mengisahkan sekaligus mempertegas sejarah bahwa pada saat kerajaan terbesar di nusantara berjaya, istri Raja Majapahit yang terakhir, Prabu Brawijaya Kelima adalah seorang keturunan Tionghoa. Kisah dongeng sejarah ini yang memulai babak demi babak pengembaraan Putri Cina. Novel ini berbeda dengan novel pada umumnya. Perbedaan tersebut terlihat jelas pada gaya narasi pengarang dalam menyampaikan alurnya. Novel ini lebih ditekankan pada gaya penceritaan naratif. Karena hampir 90 persen gaya penulisan ceritanya disajikan secara narasi. Jarangnya dialog antar tokoh menguatkan citra bahwa novel ini menggunakan sudut pandang mahatahu. Bahwa pengarang sebagai pelaku dalam terjun secara tidak langsung ini mengisahkan alur cerita dan sekaligus menceritakan kisah para tokoh yang hadir dalam novel. Tragedi cinta antara sepasang kekasih yang berdarah Cina dan Jawa menjadi sentral cerita novel Putri Cina yang ditulis oleh Sindhunata ini. Tokoh Putri Cina dalam novel ini melesat menembus waktu dan jaman, antara jaman Majapahit hingga kerusuhan Mei yang berdarah, tahun 1998. Dia hadir sebagai Putri Campa pada jaman Prabu Brawijaya, Roro Hoyi pada jaman Amangkurat, Eng Tay pada legenda Sam Pek dan Eng Tay, dan hadir sebagai sosok Giok Tien pada masa ”kerajaan Medang Kamulan Baru”. Tragedi berdarah yang menimpa keturunan etnis Cina selalu berulang. Celakanya mereka tidak pernah belajar dari sejarah. Sindhunata melakukan otokritik terhadap etnis Cina yang tidak pernah belajar dari sejarah (kebetulan Sindhunata juga berdarah Cina, berayahkan Liem Swie Bie dan beribu Koo Soen
41
Ling). Orientasi etnis Cina yang ada di tanah Jawa selalu mengejar harta dan kekayaan dunia, melupakan tradisi leluhur bangsa Cina. Akibatnya mereka menjadi kelompok kaya elitis yang berada di tengah-tengah mayoritas etnis Jawa yang tertinggal secara ekonomi. Keahlian mereka di bidang perniagaan dimanfaatkan betul oleh penguasa, sejak jaman Belanda hingga sekarang.Mereka tidak sadar sedang dijadikan sapi perah, dan siap dikorbankan sewaktuwaktu. Kondisi ini secara laten bisa meledak sebagai bom waktu. Dan bom itu benar-benar meledak (atau tepatnya ”diledakkan”) ketika pecah kerusuhan Mei 1998. Tragedi Putri Cina yang diwakili oleh tokoh Giok Tien dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998 oleh Sindhunata diubah layaknya lakon ketoprak dengan mengganti nama masa Orde Baru dengan nama Kerajaan Medang Kamulan Baru, dengan raja bergelar Amurco Sabdo. Di sana muncul intrik antara senapati Gurdo Paksi, Patih Wrehonegoro, dan lurah prajurit Tumenggung Joyo Sumengah. Lakon ini mengingatkan pembaca pada perseteruan antara Wiranto dan Prabowo. Putri Cina digambarkan sebagai istri dari senopati Gurdo Paksi yang kemudian menjadi korban intrik tingkat tinggi hingga Giok Tien ternodai harga diri kewanitaannya oleh syahwat kuasa Amurco Sabdo dan menjadi rebutan antara Tumenggung Joyo Sumengah dan Gurdo Paksi. Keduanya telah menaruh hati kepada Giok Tan semenjak dia menjadi primadona ketoprak keliling Sekar Kastubo. Pada kenyataanya cinta Giok Tien hanya untuk Gurdo Paksi, yang waktu itu masih prajurit bernama Setyoko. Cinta Giok Tien yang Cina, dan Setyoko yang Jawa terjalin sudah. Dan itu membawa dendam kekalahan bagi Tumenggung Joyo Sumenggah yang juga mengharap cinta dari Giok Tien. Novel ini sangat menyentuh dan mampu mengungkap sisi kelam sejarah dan latar belakang budaya Cina-Jawa serta intrik politik yang melatarbelakangi berbagai peristiwa kerusuhan yang menjadikan etnis Cina selalu sebagai korbannya. Di dunia ini semua manusia menanggung nasib yang sama, karena kita hanyalah debu. Cina dan Jawa , sama-sama debunya. Mengapa kita mesti bertanya, siapakah kita? Toh dengan dilahirkan di dunia, kita semua adalah saudara(Sindhunata, 2007: 1)
42
B. Tentang Penulis Novel Putri Cina Lahir di Kampung Hendrik, Batu, Malang, Jawa Timur, 12 Mei 1952. Berlatar belakang pendidikan sekolah seminari di Seminarium Marianum Lawang, Malang pada
tahun
1971.
Tahun
1980,
ia
berhasil
menyelesaikan studi filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, dan pada 1983 kembali menyelesaikan studi teologi di Institut Filsafat Teologi Kentungan, Yogyakarta. Melanjutkan studi doktoral filsafat di Hochschule für Philosophie, Philosophische Fakultat SJ di Munchen, Jerman, dari tahun 19861992, dan lulus dengan predikat sumacumlaude. Tesis doktoralnya membahas mengenai pemberontakan petani Jawa di zaman kolonial pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Tesisnya tersebut kini telah terbit menjadi buku berjudul Hoffen auf den Ratu-Adil. Sejak awal dekade 80-an ia bermukim di Yogyakarta. Awalnya aktif di bidang jurnalistik. Karir jurnalistiknya dimulai dengan bekerja sebagai wartawan Majalah Teruna terbitan P.N. Balai Pustaka Jakarta pada tahun 1974, di mana ia bertugas menulis berita tentang kegiatan di SMA di Jakarta. Tahun 1977 menjadi wartawan harian Kompas, Jakarta. Di harian ini Sindhunata menulis komentar tentang sepak bola dan berbagai masalah kebudayaan. Ia juga membuat featurefeature tentang nasib dan penderitaan orang kecil. Feature-featurenya yang dibuatnya mampu menyentuh hati pembacanya. Dengan membaca tulisannya, pembaca seolah dibawa masuk ke dalam nasib, penderitaan, dan pengalaman orang-orang kecil yang dijumpai Sindhunata dalam tugas jurnalistiknya Sindhunata boleh disebut sebagai puncak kecerdasan berbahasa. Sastrawan kelahiran Batu, yang sejak awal dekade 80-an bermukim di Jogjakarta itu, memang "Man of Letters". Penulis yang total dan setia membaktikan hidupnya bertekun di semak belukar makna huruf-huruf. Sindhunata dikenal luas sebagai wartawan, filsuf, novelis, penyair, pelopor jurnalisme sastrawi, penulis feature sepak bola, dan kurator senirupa. Ia menjalani karir sebagai penulis dalam kerangka hidup mistik. Kepengarangan dihayatinya sebagai wujud konkret intimitas cinta mendalam pada sang Khalik.
43
Menanti Ratu Adil - Motif Eskatologis Protes Petani Jawa Abad 19 dan Awal Abad 20 adalah naskah buku yang ia terjemahkan dari disertasi hasil ngangsu kaweruh (menimba ilmu) di Universitas Munchen, Jerman pada 19861992. Disertasi Hoffen auf den Ratu Adil itu merupakan tafsiran baru kajian gerakan protes petani yang sebelumnya dirintis sejarawan almarhum Sartono Kartodirdjo dan almarhum Onghokham. Karya terbaru ini perlu disebut, kecuali karena citra Sindhunata telanjur lekat dengan novel klasik Anak Bajang Menggiring Angin, disertasi itu ditulisnya dengan gaya bertutur prosaik layaknya menulis feature. Sindhunata sendiri mengalami pertobatan profetik pada saat belajar di Jerman. Ia peranakan Tionghoa berwajah Jawa. Di Indonesia ia hampir jarang bersentuhan dengan kaumnya. Aktivitasnya lebih tercurah untuk orang Jawa dengan segala persoalan sosio-kulturalnya.Wajah yang "menipu" ini membuat Sindhunata mengalami krisis identitas. Ia terasing total di negeri orang. Guncangan eksistensial itu mendorongnya menekuni novel-novel bertema Auf der Suche nach einer Heimat (para pencari tanah leluhur) karya pengarang imigran Yahudi.
Kaum
pelarian
itu
saking
trauma
dengan
holocaust
kerap
menyembunyikan identitas rombeng mereka, bahkan di ruang pengakuan dosa saat bertatap muka dengan pastor.Sindhunata sadar: ia sulit menerima identitas kecinaannya karena tidak bisa menerima ketidakadilan yang ditimpakan kepada kaumnya. Menanggung karma sejarah kambing hitam sangat merisaukan. Krisis itu akhirnya mereda. Di Jerman ia menemukan kembali identitasnya yang sekian lama ditelan wajah yang cenderung menipu diri sendiri maupun sesama. Perjuangan membebaskan diri dari karma pala itu bukanlah perlawanan sosial melainkan pergulatan batin individual. Penderitaan telah memurnikan dirinya hingga menjadi jujur terhadap diri sendiri maupun kaumnya. Sindhunata terbebas dari tirani tuduh-menuduh dengan spiral prasangka etnis makin menanjak karena berkepribadian bukan pendendam. Karakter pemaaf melepaskan dia dari belenggu kecublukan masa lalu dan membuatnya kembali kuat. Ia memaafkan keterbatasannya sendiri sehingga perasaan malu dan menyalahkan diri tidak terlalu berat ditanggung. Ia memaafkan juga orang lain
44
atas peran mereka dalam menghadirkan kekecewaan dan kesedihan. Tujuan hidupnya bukanlah untuk memikul segala keluhan sesal melainkan untuk terus tumbuh. Istilah "Cina" memang sangat menyakitkan bagi etnis Cina yang hidup dan menetap di Jawa. Justru karena tidak mau terjerumus kembali dalam mekanisme tipu-menipu, eskapisme, dan eufemisme Sindhunata bersikeras dengan identitas "(ke)Cina(an)"-nya. Kosa kata Tionghoa atau Cina menurutnya selalu menjadi pelarian dan permanisan dari realitas sosial yang berlumuran kekerasan, ketidakadilan, pengejaran, labelling, dan stigmatisasi. Penyempurnaan sarana dan pengaburan substansi memang karakteristik mendasar zaman sekarang. Itu sebabnya,
kendati
mendapat
reaksi
keras
di
mana-mana,
Sindhunata
mempertahankan judul novelnya dan tidak mau mengganti, misalnya, dengan judul Putri Cina.
1.
Sejarah Kelam Mengilhami Novel Putri Cina Sindhunata, setiap berpaling ke masa lalu, senantiasa teringat Sioe Lien,
gadis kecil teman bermain di tahun 50-an. Sioe Lien selalu tertawa riang saat bermain di sungai yang membelah kampung Hendrik, Batu, Malang. Sindhunata tidak tahu, mengapa tiba-tiba Sioe Lien harus pulang ke RRT bersama keluarga. Banyak peti-peti besar disiapkan menjelang kepergiannya. Baru kelak setelah dewasa, Sindhunata tahu keluarga Sioe Lien terkena PP 10/1959 tentang DwiKewarganegaraan. Setiap teringat Sioe Lien, Sindhunata tergoda melihat arti dan indahnya kesunyian. Sindhunata pun jadi tahu makna Tionghoa kelahiran Jawa.Percik
gerimis
kaki
kanak-kanakmu/
dingin
bermain
di
sungai
kesendirianmu. Itulah bait puisi yang dipersembahkan Sindhunata untuk Sioe Lien di antologi puisi Air Kata Kata (2004).Tokoh sentral novel Putri Cina, Giok Tien, istri Gurdo Paksi, sesungguhnya alter ego Koo Soen Ling, ibu kandung Sindhunata sendiri. Giok Tien dan Gurdo Paksi mati dibunuh Joyo Sumenggah, panglima Medang Kamulan, dalam krisis politik berujung pembersihan etnis. Dua sejoli beda etnis itu muksa menjadi sepasang kupu-kupu, persis legenda Sam Pek dan Eng Tay. Ketika Sindhunata masih belia, ibunya gemar mendongeng tentang
45
Sam Pek dan Eng Tay. Kisah tua Tiongkok zaman antik perihal cinta manusia yang tidak kesampaian. Ibunya senantiasa terharu setiap mengisahkan sepasang kekasih tak direstui orangtua karena perbedaan status sosial. Perjalanan spiritual Giok Tien ditemani Korsinah ke Gunung Kawi tidak lain kunjungan Sindhunata menemani ibunya berziarah ke makam guru kebajikan Eyang Djoego (Taw Low She) dan Eyang Imam Soedjono (Djie Low She) di Malang Selatan. Peziarahan Putri Cina ke pelbagai kelenteng dan makam kuno di Tuban sebenarnya perjalanan Sindhunata mengantar ibunya berziarah ke makam kakeknya di pantai utara Jawa. Menemukan makam Putri Cempa secara kebetulan saat Putri Cina dalam proses cetak adalah rahmat terselubung yang didapat sang novelis yang kesasar ketika mencari makan malam di Lasem. Koo Soen Ling menjanda sejak muda ditinggal mati Liem Swie Bie, suaminya. Ia membesarkan tujuh anaknya dengan bekerja sebagai penjahit. "Bimbang di Hati" adalah lagu kesukaan Koo Soen Ling. Lagu mengesan itu tanpa sengaja didengarnya dari pengamen jalanan sewaktu pergi ke Surabaya. Rombongan Orkes Keroncong Sinar Pangoentji dari Bekonang, Sukoharjo, Jawa Tengah, pun mendendangkan, "Kurasa bimbang di hati, meninggalkan kau pergi, juwita," di dekat peti jenazah Koo Soen Ling, saat disemayamkan di Kampung Hendrik, Batu, Malang, Oktober 2006. Lagu itu bertutur tentang seorang suami yang berat hati hendak bepergian mencari nafkah dengan meninggalkan keluarga. Anak-anak lalu diserahkan kepada istri untuk dirawat sampai suami pulang nanti. Sang istri pun sukses membesarkan anak-anak dengan penuh kasih sayang. Karya sastra merupakan sarana yang bisa membantu manusia terhubung secara lebih sadar dengan intelegensia abadi dalam hati. Sastra menggeser hadir dari kepala ke nurani mereka, beranjak dari logika menuju waskita, melampaui persepsi menuju visi, dan mengatasi keduniawian menjadi kesejatian.Karya sastra bisa dirunut kembali ke sumbernya. Sebuah karya sastra, tanpa kecuali novel Putri Cina, terpaut dengan pengalaman hidup, identitas, falsafah, maupun perasaan-perasaan
pengarangnya.
Pengarang
menyatakan
diri
dan
mengomunikasikan pengalaman hidupnya secara mendalam. Sindhunata setali
46
tiga uang Pramoedya Ananta Toer. Roman sejarah Pramoedya menjadi sangat memikat dan indah ketika bertutur mengenai tokoh-tokoh perempuan seperti Gadis Pantai atau Nyai Ontosoroh. Heroisme dalam roman sejarah Pramoedya selalu berkibar di tangan perempuan karena ia sangat dekat dengan ibu dan neneknya.Perempuan di tangan Sindhunata adalah representasi kehendak bebas. Pembaca pun sering dibikin cemburu pada kepiawaian Sindhunata mengisahkan tokoh simbok-simbok dalam buku Mata Air Bulan (1998). Kegandrungan Sindhunata pada tokoh-tokoh perempuan kadang disalah-mengerti sebagai efek samping hidup melajang. Padahal, yang benar, karena ia sangat mengidolakan ibunya.Tapi, Sindhunata tidak mau menanggung sesal begitu ibunya wafat. Ungkapan bijak yang mengatakan bahwa mistikus menjadi mashyur karena sangat mencintai ibunya menemukan kebenaran dalam karya-karya Sindhunata. Dalam menulis ia mempunyai prinsip yakni langsung terjun ke lapangan, Karena prinsip itu Sindhunata bahkan pernah menghabiskan beberapa hari di lokalisasi pelacuran Kramat Tunggak pada 1979. Pengalaman itu membuahkan empat feature bersambung tentang ‘dunia maksiat’ tersebut. Ia juga pernah ikut berjudi sabung ayam di Bali agar dapat memahami bagaimana dunia perjudian itu berjalan, sebelum kemudian menulis laporan jurnalistik. 2.
Totalitas Seorang Penulis Tentang kedalaman tulisan-tulisannya, tak usah diragukan lagi. Sindhunata
menulis dengan detail. Ia bukan tipe ‘jurnalis telepon’ yang hanya bermodal wawancara telepon, ditambah riset serba sedikit di perpustakaan atau internet, lalu menulis di belakang meja. Dengan berada di lapangan, Sindhunata bisa merengkuh detail peristiwa, dan juga rasa dari peristiwa itu. Salah satu cara lain dari Sindhunata dalam mengungkap detail tampak dalam tulisannya tentang tokoh-tokoh. Memang Sindhunata telah banyak menulis feature tentang tokoh-tokoh. Baik orang kecil sampai seniman tradisional kawakan seperti dalang Ki Darman Gondo, penari topeng Losari, Ibu Dewi, pembuat wayang suket, Mbah Gepuk, pelukis rakyat Citrowaluyo, Empu Gending Martopangrawit, penari topeng Malangan Mbah Gimun, dan sebagainya. Dari
47
tulisan-tulisannya tampak kepiawaian Sindhunata mengolah detail untuk membangun
perspektif
kemanusiaan
tokoh
tersebut.
Ia
juga
mampu
menggerakkan hati pembaca bahkan sampai mereka rela memberikan sumbangan yang nyata kepada orang ditulisannya dan memang membutuhkan bantuan mereka. Setelah berhenti menjadi wartawan Kompas, ia bekerja di majalah kebudayaan Basis di Yogyakarta. Tahun 1994, ia di angkat menjadi pemimpin redaksi majalah Kebudayaan basis menggantikan Dick Hartoko, yang memasuki masa pensiun. Berbekal dari pengalaman malang-melintang di dunia wartawan, Sindhunata membuat terobosan yang menyegarkan. Ia mengubah format dan tampilan Basis. Dalam hal ini, ia berhasil mematahkan anggapan bahwa sebuah majalah ilmiah itu harus berkesan serius dan ilmiah pula. Di bawah kepemimpinannya, ia membuat majalah ilmiah dan serius itu menjadi menarik dan enak dibaca tanpa mengurangi bobot ilmiahnya. Di majalah Basis ini pun Sindhunata tetap konsisten dengan pengalaman jurnalistiknya. Ia menggarap keilmiahan dengan citarasa jurnalistiknya yang humanis. Seperti yang tertera pada logonya, ia menyebut Basis sebagai jurnalisme seribu mata. Atas kesetiaannya menjalani garis hidupsebagai wartawan sampai kini, ia mendapatkan Penghargaan Kesetiaan Profesi sebagai Wartawan selama tiga puluh tahun masa pengabdian dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) pada tahun 2005. Selain sebagai wartawan, Sindhunata yang juga seorang rohaniwan Yesuit, filsuf dan teolog ini, juga di kenal sebagai seorang novelis yang telah melahirkan banyak karya. Dalam menulis Sindhunata tidak membatasi minatnya. Ia bisa menulis tentang apa saja: agama, pelacur, tukang rambutan, burung-burung di bundaran Hotel Indonesia, beras, dan lainnya. Semuanya di buat dengan gusto, penuh cita rasa, opini/ide yang telah dimatangkan, dan dimasak oleh benaknya. Tercatat hingga kini sudah lebih dari tiga puluh judul buku lahir dari tangannya. Pantas bila ia disebut sebagai penulis yang lengkap dan serba bisa.
48
Tercatat feature-feature jurnalistiknya telah diterbitkan pada tahun 2006 dalam pancalogi: ‘Manusia & Pengharapan’, ‘Manusia & Keadilan’, ‘Manusia & Keseharian’, ‘Manusia & Perjalanan’, dan ‘Manusia & Kebatinan’. Selain itu ia juga menciptakan sejumlah novel antara lain ‘Bharatayudha’ (Cerita Wayang, 1978), ‘Anak Bajang Menggiring Angin’ (Cerita Wayang, 1983), ‘Mengapa Aku Mencintaimu, Oh Maria’ (1986), dll. Ia juga menerbitkan buku kumpulan puisi berjudul ‘Air Kata-Kata’ (2003), yang berisi Puisi-puisi yang pernah ditulisnya. Pendiri komunitas Pangoentji atau Pagoejoeban Ngoendjoek Tjioe yang concern pada bidang seni dan budaya ini juga senang menulis dalam bahasa Jawa. Menurutnya bahasa Jawa itu harus diasah, maka menulislah ia dalam bahasa Jawa di rubrik ‘Blencong’ di harian Suara Merdeka.Berkat ‘kerja kaki’nya, dan dengan ramuan jurnalisme sastrawi, Sindhunata telah berhasil menyingkirkan anggapan bahwa wartawan itu hanya pandai menulis tapi tidak berbuat. Tulisantulisan Sindhunata jelas memperlihatkan bahwa seorang jurnalis juga bisa berbuat banyak untuk kemanusiaan dan menolong penderitaan. Maka tak salah bila ada yang
mengatakan,
fokus
Sindhunata
dengan
tulisan-tulisannya
adalah
kemanusiaan (humanisme), sesuatu yang mahal untuk era yangkadung disuntuki. Khusu Novel Putri Cina, novel Sindhunata paling gres, terbit September 2007 dan cetak ulang November 2007, dinobatkan komunitas sastra Bandung "Nalar" sebagai karya sastra paling bermutu. Putri Cina merupakan figurasi tragika nasib kaum minoritas Tionghoa Indonesia. Novel rumit dengan segerobak tokoh ini menggunakan teknik bercerita maju mundur. Sindhunata mengambil seting cerita dari zaman Majapahit era Brawijaya hingga pengujung Orde Baru, melumuri novelnya dengan babad, legenda, mitos, dan sejarah sekaligus.Para penguasa Jawa mengincar rahim perempuan peranakan Tionghoa. Raden Patah, raja Demak anak Brawijaya, lahir dari kandungan seorang ibu peranakan Tionghoa. Begitu tulis Sindhunata.Novel ini semula katalog berjudul Babad Putri Cina yang ditulis untuk pameran lukisan Putri Cina karya Hari Budiono di Jakarta, Surabaya, Denpasar, dan Yogjakarta, Mei 2006. Hari Budiono, perupa kelahiran Mojokerto, bekerja di Bentara Budaya Yogyakarta, mendapat inspirasi
49
setelah membaca draft Kambing Hitam. Hari Budiono memang konsultan artistik untuk buku-buku Sindhunata. C. Sinopsis Novel Putri Cina Kita datang ke dunia ini sebagai saudara, Tapi mengapa kita mesti diikat pada daging dan darah, Yang ternyata hanya memisahkan kita Putri Cina merasa risau dengan keadaan dirinya sendiri. Dia hidup di tanah Jawa namun secara fisik dia berbeda. Dia memang keturunan Cina, namun di kalangan orang Cina sendiri, dia tidaklah termasuk Cina karena tidak besar dan lahir di Cina. Dia bahkan tidak bisa berbahasa Cina. Namun, dia kemudian mengingat kisah, tentang keberadaan dirinya. Menurut dongeng Jawa, dia adalah istri Prabu Brawijaya kelima. Ketika Prabu Brawijaya jalan di kampung, dia melihat ada janda, kemudian menidurinya. Janda itu melahirkan seorang anak bernama Jaka Prabangkara. Dia pandai melukis, maka disuruhlah untuk melukis Putri Cempa. Setelah lukisan jadi, ternyata ada noda hitam di sekitar kemaluan Putri Cempa. Brawijaya menuduh kalau anaknya itu sudah pernah bersetubuh dengan permasurinya sehingga tahu benar letak noda tersebut. Akhirnya, Jaka Prabangkara diusir, dengan menerbangkan layang-layang raksasa, lantas dia terdampar di Cina dan ditemukan oleh pasangan yang tak punya anak. Maka, Jaka Prabangkara diangkatnya menjadi anak, dia menjadi terkenal, karena pandai melukis. Kemasyuran Jaka Prabangkara sampai ke Kaisar Cina, dia diangkat menjadi cucu kemudian dinikahkan dengan cucu Kaisar Cina sekaligus putri orang tua angkatnya. Putri Cina yang merupakan putri Kaisar Cina kemudian dinikahkan dengan Raja Majapahit, namun kemudian bercerai. Oleh Raja Majapahit, Putri Cina diberikan kepada putranya, Arya Damar yang memerintah di Palembang. Saat diceraikan usia dalam kandungan Putri Cina berumur 7 bulan. Tak berapa lama di Palembang Putri Cina melahirkan putra yang dinamakan Raden Patah. Dia juga melahirkan satu orang putra lagi bernama Raden Kusen. Arya Damar ingin Raden
50
Patah menggantikannya menjadi raja, namun Raden Patah menolak. Dia kemudian pergi diam-diam. Hal ini diikuti oleh adiknya Raden Kusen. Sesampainya di Jawa, mereka berdua bertemu dengan Sunan Ngampel dan berguru kepadanya. Setelah lama di sana, Raden Kusen mengingatkan pada Raden Patah, bahwa tujuan mereka ke Jawa adalah untuk menemui Prabu Brawijaya. Namun Raden Patah berniat untuk menetap, sedangkan Raden Kusen melanjutkan perjalanan dan oleh Brawijaya diangkat menjadi Adipati Terung. Suatu ketika, Raden Patah berniat mendirikan sebuah padepokan, maka oleh Sunan Ngampel dia ditunjukkan sebuah tempat bernama Bintara. Semakin lama Bintara semakin masyhur, kemasyhuran ini sampai ke Majapahit. Dia diminta untuk menemui Brawijaya. Raja Brawijaya sangat senang. Dia bahkan menghadiahi pasukan dan mengakui kekuasaan Bintara. Tak lama setelah itu, karena keinginan menyebarkan agama, maka Raden Patah berhasil menaklukan Majapahit, yang merupakan kerajaan milik ayahnya sendiri. Keruntuhan Majapahit disambut senang hati oleh Putri Cina, karena dia pernah terluka oleh sikap Prabu Brawijaya. Namun, dia juga merasa sedih karena anaknya sendirilah yang melakukan kudeta. Mengetahui anaknya menjadi raja di Puau Jawa, maka dia bertekad untuk menyusul. Namun, begitu sampai di Majapahit, dia mendapati bahwa kerajaan itu sudah tak berpenghuni lagi, tinggal sejarah. Di situlah dia bertemu dengan Loro Cemplon, pelayannya dulu. Dari Cemplon dia mendengar kabar bahwa Sabdopalon Nayagenggong, abdinya yang paling setia sudah tidak berada di Majapahit. Dia sudah ke Banyuwangi untuk murca. Di Banyuwangilah, kemudian dia bertemu dengan abdinya tersebut. Sabdopalon Nayagenggong, kemudian menceritakan, bahwa pertumpaahan di Tanah Jawa sebenarnya tumbal sejak lama, bahkan sejak para dewa belum diturunkan. Hal ini diawali ketika Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya berebut kekuasaan. Sang Hyang Tunggal marah kemudian menegur mereka. Ismaya menjadi Semar dan Antaga menjadi Togog. Sabdopalon Nyaagenggong sendiri merasa bersalah atas pertikaian yang terjadi antara Brawijaya dengan
51
Patah, maka dari itu dia ingin murca. Dia juga mengaku sebagai Semar. Untuk itulah, dia mengatakan, dia perlu bertanggungjawab atas semua ini. Setelah
Sabdopalon
Nayagenggong murca,
Putri
Cina
melanjutkan
perjalanan ke Tuban. Di sanalah dia berpisah dengan Cemplon. Dalam perjalanannya Putri Cina merasa senang bahwasannya dia melihat kaumnya serba berkecukupan. Namun, kemudian dia khawatir, karena sekarang kaumnya sangat mementingkan harta yang notabene akan menjadi bumerang untuk diri mereka sendiri. Dalam babak baru, Putri Cina melihat adanya kerajaan baru dinamakan Medang Kamulan. Dulu kerajaan ini tercipta karena Ajisaka dapat mengalahkan Dewata Cengkar yang lalim. Awalnya Negeri Medang Kamulan Baru, yang dipimpin oleh Prabu Murhardo sangat aman tentram, dan sejahtera. Rakyat sangat mencintai raja mereka. Namun, lambat laun, raja menunjukkan gelagat yang buruk. Dia mulai dikuasai oleh nafsu mempertahankan kekuasaan. Dia juga mulai memerintah dengan penuh kekerasan, bahkan terhadap rakyatnya sendiri. Tersiar kabar bahwa dalam menjalankan kepemimpinan, dia dibantu oleh kekuatan gaib. Dia memiliki keris bernama Kyai Pesat Nyawa, sebuah pusaka yang haus akan pertumpahan darah. Dia mempercayakan keris itu pada senapatinya bernama Gurdo Paksi. Dalam menjalankan pemerintahan dia dikelilingi anak buah yang penjilat dan licik, sebut saja patihnya sendiri bernama Patih Wrehonegoro dan juga Lurah Prajurit Tumenggung, Joyo Sumengah. Prabu Amurco Sabdo (semenjak lalim Prabu Murhardo diganti namanya oleh rakyat) sebenarnya tahu kalau ada persaingan antarbawahannya, namun dia memilih membiarkan. Mengetahui hal ini, Putri Cina merasa khawatir, karena setiap kali terjadi kerusuhan maka bangsanya selalu menjadi korban. Memang benar, di awal para penguasa nampak mendukung golongan Cina, karena orang Cina dinilai menguntungkan secara materi. Namun, ketika situasi tidak terkendali, maka penguasa akan mengorbankan orang Cina, dan melakukan provokasi, bahwa Cina adalah orang-orang yang rakus, serta pelit tidak peduli dengan masyarakat pribumi.
52
Taktik ini pula yang kemudian dijalankan oleh Prabu Amurco Sabdo, ketika patihnya
Gurdo
Paksi
tidak
mau
menjalankan
perintah
untuk
mengkambinghitamkan orang Cina. Karena istri Gurdo Paksi sendiri orang China, bernama Giok Tien. Giok Tien masa mudanya dikenal sebagai seorang pemain Ketoprak yang termasyhur. Banyak orang berusaha untuk mendekati dia, tak terkecuali Tumenggung Joyo Sumengah. Namun ternyata, Giok Tien lebih memilih Gurdo Paksi sebagai pendamping hidupnya. Kisah persaingan inilah yang kemudian menyulut dendam Joyo Sumengah hingga ajal. Karena Gurdo Paksi tak ingin lagi ada kekerasan, maka dia menyerahkan pusaka Pesat Nyawa kepada Prabu Amurco Sabdo. Dia memilih untuk mengendalikan suasana dengan damai. Namun, pihak Joyo Sumengah secara diam-diam memperkeruh masyarakat dan terus membuat provokasi, agar seluruh orang Cina disingkirkan. Joyo Sumengah juga secara diam-diam membunuh kedua kakak Giok Tien menggunakan keris Pesat Nyawa. Dia kemudian berhasil membujuk Giok Tien untuk ikut ke istana, dengan alasan Gurdo Paksi sudah tidak bisa mengendalikan suasana. Ternyata, sampai di istana, Joyo Sumengah hanya ingin memperkosa Giok Tien. Untunglah, Prabu Amurca Sabdo mengetahui hal ini, sehingga dia dapat menyelamatkan Giok Tien. Namun sesampainya di kamar, Prabu Amurco Sabdo merasa terangsang, sehingga dia pun memaksa Giok Tien untuk bersetubuh. Giok Tien tidak dapat melawan. Persetubuhan ini secara diam-diam disaksikan oleh Tumenggung Joyo Sumengah, bahkan kemudian karena diancam oleh Joyo Sumengah, Prabu Amurco Sabdo mempersilahkan Joyo Sumengah untuk menyetubuhi Giok Tien. Sementara itu, di tempat lain Gurdo Paksi yang mati-matian meredam susana tak berhasil, banyak sekali orang China yang menjadi korban. Dia menjadi orang yang pertama kali disalahkan atas segala kerusuhan ini, terutama oleh masyarakat. Masyarakat meminta dia untuk turun, dan tak lagi memegang jabatan sebagai orang yang menjaga keamanan. Bahkan dia baru tahu kalau kakak iparnya telah dibunuh orang, dengan keris Pesat Nyawa menancap di tubuhnya. Maka, masyarakat langsung menuduh Gurdo Paksi sebagai seorang pembunuh, karena
53
masyarakat tahu bahwa satu-satunya orang yang memegang pusaka itu hanyalah Gurdo Paksi. Gurdo Paksi yang tak merasa bersalah, kemudian ingin meminta keadilan kepada Prabu Amurco Sabdo. Dengan kemarahan, dia mendatangi istana. Di sanalah, dia kemudian menyaksikan Tumenggung Jaya Sumengah hendak menyetubuhi istrinya, maka marahlah dia. Setelah tahu suaminya tak bersalah, maka Giok Tien, mengancam raja dan tumenggungnya itu, dengan cara mengumumkan apa yang telah diperbuat oleh dua orang pembesar tersebut. Hal ini menyiutkan nyali keduanya. Maka, sebagai gantinya, Gurdo Paksi meminta, Prabu Amurco Sabdo untuk turun tahta, begitu pun dirinya, akan turun tahta sebagai Senapati Perang. Hal ini mendapatkan persetujuan, maka Amurco Sabdo pun mencari penggantinya. Orang tersebut adalah Prabu Aryo Sabrang, yang notabene masih kerabat dekatnya. Berbeda dengan Amurco Sabdo, Aryo Sabrang memerintah dengan arif dan bijaksana. Dia juga meninggalkan cara-cara kekerasan. Sementara itu, Tumenggung Jaya Sumengah masih terus menyimpan dendam terhadap Gurdo Paksi. Maka ketika Gurdo Paksi dan Giok Tien sedang berziarah ke makan dua orang kakanya, Jaya Sumengah menyerang dengan menggunakan anak paah. Tewaslah kedua orang tersebut dan terbang menjadi kupu-kupu. Jaya Sumengah sendiri, kemudian menyesal dan bunuh diri.
54
BAB IV NILAI BUDAYA CINA DAN JAWA DALAM NOVEL PUTRI CINAKARYA SINDHUNATA SEBAGAI BUTIR PENDIDIKAN KARAKTER
D. Deskripsi Budaya Cina dan Jawa dalam Novel Putri Cina Dongeng sejarah kebudayaan Jawa merupakan senjata ampuh dalam novel ini untuk mengemukakan pesan nilai-nilai kehidupan yang sesuai dengan pendidikan karakter. Dongeng-dongeng tersebut memuat kisah sejarah kekuasaan di Jawa dengan asimilasi budaya Cina melalui kisah pengembaraan Putri Cina. Putri Cina adalah tokoh yang mewakili kaum berketurunan Cina. Inti pesan yang akan disampaikan mengenai nilai budaya Cina dan Jawa sebagai butir pendidikan karakter. Penulis menyajikan dalam berbagai filosofi hidup dari kedua budaya tersebut, yaitu Cina dan Jawa. Serta penulis juga menganalisis bagaimana karakter budaya orang-orang Cina yang Hidup di Jawa dengan segala kompleksitas problematikanya. Pada bagian ini penulis menggambarkan perpaduan budaya Cina dan budaya Jawa benar-benar menyatu lewat penyajian dongeng kerajaan. Kisah perpaduan ini diawali dengan pernikahan para raja dengan para wanita keturunan Cina. Bagian ini pula yang menjelaskan bahwa judul Putri Cina ini diambil oleh pengarang. Di Tanah Jawa, nama Putri Cina sudah tidak asing lagi. Bahkan ia sudah berperan jauh dalam kejayaan kerajaan-kerajaan di Jawa. Hal tersebut merupakan sumbangan terbesar budaya Cina untuk budaya Jawa. Perjalanan kebudayaan di Jawa hingga saat ini berkembang tidak lepas dari peran Putri Cina sebagai ‘Ibu’ yang melahirkan kebudayaan tersebut di Tanah Jawa. Putri Cina berkontribusi besar akan kelahiran anak-anaknya yang kelak memimpin kerajaan di Jawa. Dalam novel dikisahkan bahwa perjalanan Jaka Prabangkara yang merupakan hukuman dari Ayahandanya Parabu Brawijaya karena dituduh
55
berselingkuh dengan Sang Permaisuri Putri Cempa yang juga keturunan Cina dalam sebuah lukisan ‘polosnya’.33 Setelah itu Jaka Prabangkara diusir dari Tanah Jawa. Deru dan badai menyeret layang-layangnya. Tak lama kemudian layanglayangnya merendah. Dari ketinggian tampak terbentang di bawah sana daratan yang indah. Jangan-jangan itu adalah daratan Negeri Cina. Benar, akhirnya layang-layang itu menukik turun dan mendarat di sebuah dusun terpencil, Yut-wa-hi namanya. (Sindhunata, 2007: 18) Perjalanan panjang itu berakhir di Negeri Cina. Sesaat setelah itu pula Jaka Prabangkara ditemukan oleh keluarga pencari kayu di hutan kemudian diangkat menjadi anaknya. Dengan bakat melukis yang luar biasa, Jaka Prabangkara menjadi sosok terkenal di dusun terpencil tersebut hingga terdengar ke kerajaan Cina. Kemudian Jaka Prabangkara menikahi seorang Putri Cina yang canti jelita. Asimilasi budaya yang pertama dalam kisah ini adalah bahasa. Bahasa Jawa yang dibawa Jaka Prabangkara ke Cina menjadi suatu gambaran menarik mengenai interaksi sosial putra Jawa dengan warga Cina. Namun, beruntungnya Jaka Prabangkara cukup mahir berbahasa Cina karena ibunya yang juga seorang Cina sering mengajarinya bahasa Cina ketika ia masih kecil. ..... dan karena ia sempat tinggal di Istana Majapahit, maka ia sempat juga berkenalan dengan Putri Cina. Malahan dari putri cina itulah ia belajar bahasa Cina, sampai ia bisa. Karena itu pada perjumpaan yang pertama, Jaka Prabangkara dapat langsung berbicara dengan Kim Liyong dalam bahasa Cina dengan amat fasih. (Sindhunata, 2007: 23) Dari fenomena bahasa tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kondisi geografis dan perbedaan kebangsaan mengharuskan seseorang beradaptasi dengan interaksi sosial yang cakap di masyarakat sekitar ia berada di suatu tempat 33
Jaka Prabangkara memiliki bakat melukis sejak kecil, maka diperintahkannya ia melukis permaisuri Putri Cempa oleh Prabu Brawijaya (ayahandanya). Namun setelah lukisan tersebut jadi perseis dengan adanya, Prabu Brawijaya melihat ada kejanggalan akan titik hitam tinta di lukisan tepat pada kemaluannya. Prabu menuduh Jaka Prabangkara tidak mungkin mengetahui sedetil itu jika sebelumnya tidak bersetubuh dengan permaisuri Putri Cempa. Kemudian Raja hendak membunuhnya.. Kemudian Raja mencari akal untuk mengusirnya dari Tanah Jawa. Raja memberikan tawaran agar Jaka Prabangkara dihukum saya untuk melukis angkasa raya dengan layang-layang raksasa dengan sebuah surat dari Sang Raja.
56
tersebut.
Kecakapan interaksi tersebut merupakan suatu gejala sosial-budaya
yang pokok dalam memadukan kebudayaan. Di samping bahasa, barang-barang ukiran dan makanan juga ikut meramaikan gambaran asimilasi budaya. Dikisahkan bahwa Jaka Prabangkara membawa lukisan, barang ukiran, dan makanan dari jawa sebagai bekal ia dalam perjalanan mengudaranya selama berberapa bulan sebelum mendarat di Cina. Jaka Prabangkara merupakan sosok tampan yang bijak dan baik hati. Maka tidak heran janda dan anaknya yang menemukan Jaka di hutan menjadi sangat bahagia dengan kehadirannya. Dengan bakat melukisnya yang luar biasa, Jka Prabangkara sekejap terkenal seantero negeri Cina. Dalam waktu singkat dusun Yut-wa-hi jadi amat terkenal di seluruh Negeri Cina. Semua orang memuji, di sana ada anak seorang janda yang tampan rupanya, amat bijak perilakunya, dan amat pandai melukis apa saja. (Sindhunata, 2007: 20) Cerita tersebut mempertegas bahwa dengan kebijakan dan hati yang mulia semua orang akan merasakan sentuhan kebahagiaan. Begitu juga dalam kehidupan sosial-budaya di masyarakat. Kecakapan perilaku perlulah menjadi pilar utama dalam berinterakti ditambah lagi dengan kreatifitas melukis Jaka Prabangkara yang mahir, itu menjadi panutan semua orang. Nilai karakter yang dapat diambil dari interaksi budaya ini adalah kerendahan hati, mandiri, dan kerja keras sebagai perilaku yang mencerminkan budaya yang baik untuk membentuk pendidikan karakter. Serentak kondisi sosial-budaya berubah drastis ketika kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Prabu Brawijaya kalah oleh pasukan Raden Patah yang notabenenya sebagai anak dari Prabu Brawijaya. Saat itu pula Raden Patah berkuasa dan menjadikan Demak sebagai pusat kerajaan di Tanah Jawa. Raden Patah yang berguru pada Sunan Ngampeldenta (Sunan Ampel) tidak hanya membawa kerajaan baru melainkan juga agama baru—dari agama boedo menjadi agama Islam yang diajarkan oleh Sunan Ampel. Kerajaan dan agama baru tersebut membawa perubahan yang signifikan di masyarakat Jawa. Pertumbuhan agama
57
tersebut pun sangat pesat. Hingga saat ini pemeluk agama baru itu memiliki pengikut terbanyak di Tanah Jawa, begitu juga dengan kaum Putri Cina banyak yang memeluk agama tersebut bahkan menyebarkannya ke luar kerajaan dengan jalur perdagangan. Sambil berniaga, mereka menyebarkan agama baru itu. Dengan demikian berkat kaumnya pula, maka Tanah Jawa menjadi terbuka terhadap kegiatan dan kebudayaan baru yang dibawa agama baru tersebut ke Tanah Jawa. (Sindhunata, 2007: 32-33) Kondisi tersebut menjadi suatu perubahan kebudayaan dan sosial yang signifikan di Jawa. Orang mulai menjalankan kebiasaan baru dengan agama Islam tersebut. Agama tersebut memberikan dampak yang luas bagi kemajuan Jawa membina kebudayaannya. Tentu kondisi sosial tersebut sangat berpengaruh bagi perkembangan pemikiran manusia Jawa. Raden Patah, penguasa baru Tanah Jawa itu lahir dari rahim Putri Cina. Kenyataan ini tentu sangat menggembirakan bagi Putri Cina. Sejarah seakan meminjam rahimnya agar perubahan yang diinginkan bisa terjadi. Dengan demikian tidak sia-sia ia datang ke Jawa. Sudah jelas suratan takdir yang digariskan bagi hidupnya. Ia harus ikut memperanakkkan perubahan yang sekarang telah terjadi di Tanah Jawa. Kenyataan sejarah tersebut ternyata tak lama memberikan efek bahagia bagi Putri Cina, sekejap ia merenungkan kembali, bahwa kejayaan anaknya, Raden Patah sebagai penguasa Jawa tidaklah ia rasakan, karena sudah lama anaknya meninggalkannya, bahkan ketika ia berjaya tak satupun kabar yang datang kepadanya. Seolah Putri Cina tidak terlibat langsung dalam kejayaan Demak yang menjadi Kiblat seluruh kegiatan sosial dan budaya di Tanah Jawa. Kesedihan Putri ina memuncak saat ia harus mengingat bahwa kejayaan Demak yang dipimpin anaknya itu adalah hasil berperang melawan Kerajaan Majapahit yang notabenenya merupakan ayahandanya sendiri. ...tapi mengapa ia tak bisa diakui sebagai ibu penguasa dan pembaharu Tanah Jawa itu, hanya karena ia adalah Putri Cina?
58
Putri Cina tak mampu menghalau kesedihan itu. Memang kesedihannya benar-benar dalam ia telah dibuang oleh Prabu Brawijaya. Dan sekarang anaknya yang lahir dari Prabu Brawijaya, yang menjadi penguasa baru di Tanah Jawa itu juga menyia-nyiakannya sebagai ibu. Itu semuanya terjadi mungkin karena ia adalah perempuan Cina. Itulah kesedihan Putri Cina yang harus ditanggungnya. (Sindhunata, 2007: 35) Kondisi sosial-budaya tersebut telah mempengaruhi suasana hati dan perilaku seseorang. Oleh karena itu, nilai-nilai sosial-budaya yang tertanam di tengahtengah masyarakat hendaknya sebagai suatu tatanan nilai yang baik, agar sistem kemasyarakatan yang dijalankan oleh para anggota masyarakat tertentu dapat berjalan dengan baik dan dinamis. Implikasinya dari tatanan sosial yang baik bagi kemajuan pendidikan karakter adalah berkembangnya suatu negara yang berkarakter serta menjunjung tinggi sikap positif yang mengarah pada kemajuan dan kesejahteraan. Untuk mewujudkan hal itu, perlu penegakan pendidikan karakter ditanamkan sejak dini. Dimulai dari pendidikan, bangsa ini akan menuju masa depan yang cerah. Pada bagian kesepuluh novel ini pengarang mulai menceritakan awal mula dan sal-usul dari pertikaian manusia yang hingga saat ini menjadi tebing inggi untuk diselesaikan oleh berbagai kalangan. Kasus yang menjadi masalah utama dalam cerita ini adalah kekerasan yang terjadi di tengah masyarakat yang hanya karena perbedaan pendapat, golongan, suku, etnis, dan adat istiadat. Lebih parahnya
lagi
perbedaan
tersebut
menjadi
pertikaian
besar
dengan
mengatasnamakan agama. Lebih buruk lagi pertikaian dalam satu agama yang sama. Hal ini menjadi potret suram dari wajah pendidikan di negeri ini. Kisah pertikaian ini bermula dari kehidupan para dewa di langit. Pengarang mengisahkan tentang dongeng Sang Hyang Wenang, dewa dari semua dewa. Ia memiliki putra bernana Sang Hyang Tunggal. Di sisi lain ada pula kerajaan jin yang rajanya bernama Begawan Rekatama, ia mempunyai seorang putri cantik jelita bernama Dewi Rekatawi. Kedua orangtua tersebut bersepakat untuk mengawinkan kedua mereka. Tidak lama kemudian Dewi Rekatawi mengandung dan melahirkan. Namun, bukan bayi yang ia lahirkan akan tetapi sebutir telur.
59
Telur tersebut kemudian berubah menjadi 3 bayi laki-laki yang berasal dari kulit telur, putih telur, dan kuning telur. Dari sini berawal perebutan kekuasaan. Kulit telur dengan angkuhnya mengatakan dialah yang pantas menggantikan takhta kerajaan, begitu pula dengan putih telu yang juga ngotot bahawa dirinyalah yang lebih baik untuk menggantikan takhta kerajaan. Sementara kuning telur sebagai pihak penengah pertikaian itu. Kulit telur bernama Sang Hyang Antaga, putih telur bernama Sang Hyang Ismaya, dan kuning telur bernama Sang Hyang Manikmaya. Pada pertikaian tersebut Sang Hyang Manikmaya menawarkan sayembara untuk mengakhiri pertikaian tersebut dengan target menelan gunung Garbawasa, sebuah gunung yang luar biasa besarnya. Pergilah mereka menghadap gunung Garbawasa. Sang Hyang Antaga selaku petarung pertama yang mencoba menelan gunung itu, karena besarnya gunung tersebut ia tidak bisa menelannya, dari kenekatannya itu mulutnya robek menjadi lebar. Sekarang wajahnya menjadi jelek tidak karuan yang mulanya sebagai sosok yang tampan. Kemudian Sang Hyang Ismaya yang mencoba menelan gunung Garbawasa. Dengan perenungan yang tinggi Sang Hyang Ismaya dapat menelan gunung tersebut. Namun celakanya, gunung tersebut tidak bisa dikeluarkan lagi, sehingga perutnya membuncit ke depan dan bokongnya membesar pula tersodok puncak gunung Garbawasa. Dalam dongeng budaya Jawa, Sang Hyang Antaga dikenal sebagai Togog yang ditugaskan menemani manusia yang jahat dan Sang Hyang Ismaya dikenal sebagai Semar yang diperintahkan untuk menemani manusia yang baik. Sedangkan Sang Hyang Manikmaya sepintas kelihatan tidak bersalah, maka ia tetap ditempatkan di surga. Padahal akibar ide dari Sang Hyang Manikmaya itulah yang memanas-manasi keduanya untuk menelan gunung Garbawasa. Dan kemudian Sang Hyang Manikmaya diangkat untuk memimpin takhta dan menjadi penguasa dewa-dewa dengan gelar baru Batara Guru. Sama dengan semar dan togog, kelakuan Batara Guru pun seperti kelakuan manusia yang suka akan pertikaian dan haus akan kekuasaan. Itu sesuai dengan sifat kuning telur yang menjadi asal-usulnya. Jika kulit telur menandakan manusia hanya peduli akan hal-hal luaran, dan putih telur adalah lambang bagi manusia yang suka akan kejujuran, maka kuning telur
60
adalah lambang bagi manusia yang haus akan kekuasaan. (Sindhunata, 2007: 62) Dikisahkan bahwa Batara guru yang berasal dari kuning telur tersebut adalah dewa yang paling mirip dengan manusia. Ia gila akan kekuasaan yang diselimuti dengan rasa iri, dengki, persaingan, pertikaian, dan pertentangan terhadap sesamanya. Dalam budaya orang Jawa, Semar itu adalah pamomong orang Jawa sepanjang masa. Semarlah yang menjaga orang Jawa agar terhindar dari marabahaya. Dalam hal ini pengarang mencoba menguliti kebudayaan orang Jawa yang menjadikan semar sebagai panutan sebenarnya adalah dewa yang suka bertikai juga seperti halnya manusia. Gunung Garbawasa merupakan cerminan dari alam jagat raya. Semestinya Semar sadar bahwa seharusnya kebesaran jagat raya tak boleh ditaklukkan dengan nafsunya. Akhirnya jagat raya sendiri yang menghukumnya. Kisah keserakahan ini yang kemudian meluas menjadi pertikaian. Dijelaskan dalam kisah ini bahwa Sang Hyang Tunggal marah dan menegur mereka, “Kalian dewa, tapi kelakuan kalian seperti manusia saja.” Waktu itu manusia belum diciptakan. Itu artinya sesungguhnya telah direncanakan dalam rancangan jagat raya34 bahwa manusia senantiasa berbuat pertikaian dan kerusakan bagi dirinya. Dongeng ini menjadi lambang bahwa manusia yang diberi akal dan nafsu oleh Tuhan menjadi pilar pertikaian itu hadir di muka bumi hingga saat ini. Pengarang dengan tegas menuturkan kritiknya dalam segmen cerita di novel ini dengan menerjemahkan bahwa dari pertikaian itu dapat ditelusuri bahwa Putri Cina itu adalah sama tapi lain dengan mereka. 34
Dalam agama Islam peristiwa ini dikenal ketika para malaikat protes kepada Allah akan kekhawatirannya terhadap rencana Allah yang akan menciptakan manusia. Dalam Kitab Suci AlQuran dijelaskan yang artinya: “Ingatlah ketika Tuhan berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”, mereka berkata: “Mengapa engkau hendak menjadikan (Khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mengucikan Engkau?” Tuhan Berfirman: “Sesungguhnya Akumengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30).
61
“Karena Paduka dan kaum Paduka lain dengan mereka tapi sama dengan mereka,” jawab Sabdopalon-Nayagenggong. “Karena diriku yang tidak jelas ini? Cina bukan, Jawa bukan. Ya Jawa, ya Cina. Karena itukah maka aku lain tapi sama dengan mereka?” tegas Putri Cina. “Benar, Paduka. Pegitulah adanya,” jawab Sabdopalon-Nayagenggong. “Itukah suratan takdirku?” tanya Putri Cina lagi. “Benar, Paduka. Ketika keadaan damai, paduka adalah manusia seperti mereka karena sama dengan mereka. Tapi ketika keadaan pecah dalam pertikaian, Paduka bukanlah manusia karena Paduka tidak sama dengan mereka,” tegas Sabdopalon-Nayagenggong.(Sindhunata, 2007: 71) Kritik tajam ini merupakan suatu kesadaran status sosial orang keturunan Cina di Tanah Jawa yang hingga saat ini masih berada pada posisi yang tidak jelas dan menjadi bom waktu ketika pertikaian terjadi mereka akan dimusnahkan kembali seperti saat-saat sebelumnya mereka menjadi kambing hitam dari pertikaian yang kejam. Kritik tersebut dikisahkan dalam novel tersebut karena dari sudut oandang psikologis pengarang, bahwa pengarang merupakan orang keturunan Cina yang lahir dan besar di Tanah Jawa.
E. Analisis Nilai Budaya Cina dan Jawa dalam Novel Putri Cina Novel Putri Cina merupakan novel sejarah yang kental dengan budaya Cina dan Jawa. Novel dengan tebal 304 halaman ini dapat dikatakan sebagai sebuah novel yang menampilkan gaya penceritaan yang unik dalam menentukan suatu pesan kepada pembaca. Pengarang menyajikan dongeng dan petuah para dewa sebagai teknik untuk menyampaikan pesan. Setelah dilakukan penelitian, peneliti mencoba mengemukakan kategori nilai yang terdapat di dalam budaya Cina dan Jawa, yaitu: 1.
Nilai Budaya Cina Budaya Cina adalah budaya yang penuh dengan ajaran-ajaran kehidupan.
Banyak leluhur Negeri Tirai Bambu itu yang menjadi pubnggawa sejarah peradaban Cina yang menjadikan negeri itu melesat dengan sangat cepat menjadi penguasa di Asia. Dalam budaya Cina, pepatah-pepatah leluhur bisa saja menjadi suatu kepercayaan atau agama mereka seperti ajaran Konfusius yang menjadi
62
landasan agama Konghucu. Pada novel Putri Cina akan dibahas mengenai nilainilai butir karakter tentang ajaran-ajaran itu sekaligus implikasinya terhadap pendidikan. Berikut beberapa hasil analisis nilai budaya Cina dalam novel Putri Cina: a. Nilai Religiusitas Nilai religiusitas merupakan nilai kehidupan sesuai dengan ajaran agama atau keyakinan manusia. Nilai ini meliputi banyak hal dalam menjaga kehidupan manusia agar tetap pada koridor keimanan dan ketakwaannya. Nilai religiusitas juga bisa diartikan sebagai pedoman hidup agar kehidupan lebih baik dan tertata dengan benar. Pada novel Putri Cina banyak sekali ragam nilai religiusitas yang ditampilkan oleh pengarang seperti contoh penggalan cerita di bawah ini: Memang, beginilah ajaran K’ung Tzu, bapak agama Kong Hu Cu yang lama dipeluknya. K’ung Tzu berkata, siapa menghormati orangtuanya, dia tidak akan memberontak pada mereka yang lebih tinggi daripada dia. Dan siapa yang hormat dan taat pada mereka yang memang lebih tinggi daripadanya dia, dia tidak akan menemukan kesulitan dalam hidupnya. (Sindhunata, 2007: 35) Demikian tekun ia bersembahyang dan percaya bahwa Dewi Kuan Im akan menolongnya. Apalagi kalau ia sembahyang dengan tekun seperti makco, mak, dan mamaknya sendiri, pasti Dewi Kuan Im akan menolongnya seumur hidup. (Sindhunata, 2007:217) Selama ini, setiap hari Giok Tien masih bersembahyang dan menyalakan hio di meja sembahyangan, di mana terpasang kedua gambar kakaknya tercinta, giok Hong dan Giok Hwa. Sambil mengangkat hio dipandanginya gambar kedua kakaknya itu dengan linangan ari mata. (Sindhunata, 2007:280). Ia mengangkat lagi hionya. Aroma hio harum bertebaran. Asapnya halus menerpa wajahnya. Lalu dia pun melakukan sajah di depan bongpay kedua kakaknya. (Sindhunata, 2007: 288) Empat puluh hari setelah kematian kedua kakaknya. Pagi itu ketika hari masih remang-remang, Giok Tien pergi ke kuburan kedua kakaknya. Di depan kuburan Giok Tien bersembahyang, semoga arwah kakaknya beristirahat dengan tenang untuk selamanya. Ia mengangkat hio, mengangkatnya di depan bongpay kedua kakaknya yang amat dicintainya itu. (Sindhunata, 2007: 288)
63
Penggalan-penggalan cetita di atas merupakan bukti nilai religiusitas sangat dijunjung tinggi oleh putri Cina. Ia berdoa untuk minta pertolongan dan keselamatan pada Dewi Kuan Im untuk ia dan kaumnya yang hidup di Jawa. Doadoa itulah yang menjadi teman setia ketika putri Cina bersedih hati dan untuk mengenang kedua kakaknya yang telah meningggal akibat kekerasan dan pembantaian yang dialami keluarganya dan kaumnya di Tanah Jawa.
b.
Budaya Kesederhanaan Selain nilai religius di atas, nilai budaya kesederhanaan juga merupakan
nilai yang penting dalam novel Putri Cina. Agar memudahkan pembaca, peneliti membuat
tabel
untuk
memudahkan
memahami
kategori
nilai
budaya
Kesederhanaan, maka peneliti menguraikan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 4.1: Kategori Nilai Pendidikan Karakter dalam Teks Novel Putri CinaBagian 1
No 1
Kategori
Teks Novel Putri Cina
Budaya Cina tentang Ia sendiri terheran-heran, mengapa ia dan Kesederhanaan
kaumnya selalu tergoda untuk mencintai harta dan kekayaan yang berlebih-lebihan. Padahal leluhurnya telah mengajarkan bahwa “hanya dengan
menjadi
sederhana
kau
dapat
menemukan dirimu yang sesungguhnya” Leluhurnya juga mengajarkan berulang-ulang untuk menemukan tao, jalan kebahagiaan itu, manusia tak boleh terikat akan benda atau harta apa pun jua. Dan tidakkah Chuang Tzu berkata, “Jika saat berpulang telah tiba, aku hanya membutuhkan beberapa lembar daun pisang saja.” Untuk apakah semuanya, bila akhirnya manusia cukup dibaringkan di atas daun ketika ia untuk selamanya tertidur? (Sindhunata, 2007: 13)
64
Analisis nilai karakter pada tabel di atas menggambarkan bahwa putri Cina dan kaumnya adalah karakter manusia yang rajin mengumpulkan harta. Kebahagiaan yang selama ini mereka cari tentu akan sia-sia jika hanya berpatok pada hal yang duniawi. Kekayaan bukanlah segalanya dalam hidup ini. Malah kekayaan tersebutlah yang menjadikan putri Cina semakin tak berwajah. Dulu ia dikenal kaya raya. Ia mempunyai segala harta benda. Dan tentu saja, karena kekayaan dan hartanya, ia semakin bisa mempercantik wajahnya. Memang ia kelihatan makin cantik, bila ia memperagakan dirinya beserta semua kekayaan dan hartanya. Sekarang ia juga semakin bertambah kaya. Hartanya semakin bertumpah-ruah. Apa saja yang diinginkannya bisa dibuatnya. Tapi kenapa makin ia bertambah kaya. Makin terasa ia tak lagi berwajah. Kekayaan dan hartanya tak lagi bisa menjadi tumpuan yang menyangga wajahnya. Nyatanya wajahnya telah hilang, entah kemana. (Sindhunata, 2007: 11) Secara tegas pengarang menyampaikan pesan bahwa Putri Cina dan kaumnya harus menuruti apa kata leluhurnya untuk menjadi pribadi-pribadi yang sederhana dan tidak terikat pada dunia semata dengan mengumpulkan kekayaan dan harta. Karena pada akhirnya manusia akan mati. Saat mati leluhurnya berpesan bahwa manusia hanya akan membutuhkan beberapa lembar daun saja. Jadi apalah gunanya harta berlimpah tersebut. Kesederhanaan merupakan sebuah nilai hidup yang amat bermanfaat yang akan mengantarkan seseorang pada gerbang kebahagiaan sejati. Dengan kesederhanaan itulah manusia telah mencapai puncak kebahagiaannya di dunia. Pada dasarnya nilai kesederhanaan sebagai suatu entitas dari kebudayaan timur khususnya Asia. Kesederhanaan juga yang menjadi akar bagi kehidupan manusia untuk menjadi manusia yang selalu ramah kepada siapa pun. Keramahan tersebut akan menghilangkan sifat-sifat yang tidak terpuji seperti kesombongan. Kesederhanaa merupakan nilai utama dari kebudayaan manusia yang harus dijaga. Kesederhanaan pula menjadi pilar bagi kehidupan beragama. Dalam kisah novel tersebut kesederhanaan dikisahkan melalui para leluhur orang Cina, seperti Chuang Tzu. Di tanah Jawa, hal senada juga sering diungkapkan mengenai
65
kesederhanaan. Hal tersebut menjadi falsafah hidup bagi orang Jawa urip ojo neko-neko, hidup itu jangan macam-macam. Sugih tanpa Bandha, kekayaan tidak didasari kebendaan. Akulturasi dua kebudayaan tersebut memang menjadi sangat menarik mengingat kedua kebudayaan tersebut merupakan kebudayaan yang paling banyak pepatah hidupnya.
Tabel 4.2: Kategori Nilai Pendidikan Karakter dalam Teks Novel Putri Cina Bagian 2
No. 2
Kategori Budaya Cina yang
Teks Novel Putri Cina -Mestilah ia meninggalkan segala kesombongan
Menjauhkan Diri dari akan harta dan bendanya supaya ia menjadi Kesombongan dan
sederhana seperti burung gereja. (Sindhunata,
Keserakahan
2007: 13) -itulah sesungguhnya sifat orang Cina. Senang menikmati kebadanan, tapi tak
membenci
kerohanian. Menyenangi dunia, tapi nafsunya tak terlalu duniawi. Menyenangi yang rohani, tapi keinginannya tak terlalu rohani. Di antara dua hal
itulah
terletak
kebahagiaan
manusia.
(Sindhunata, 2007: 77) -Putri Cina teringat, beginilah sifat orang Cina itu pernah ditegur oleh penyair Han San dari Pegunungan Salju: orang kaya itu khawatir akan banyak hal. Mereka hanya berdagang dan berdagang. Tak tahu bersyukur meski rezekinya banyak. Di lumbungnya, padinya membusuk sudah. Toh segantang saja tak rela mereka pinjamkan. Pikiran mereka berkisar pada keinginan Bagaimana mengeruk keuntungan. Dengan semurah-murahnya mereka membeli kain sutera
66
Tapi dari yang murah itu dibuatlah Busana mahal dan mewah. Pada saat mati nanti, mereka lupa. Hanya lalatlah yang mengucapkan dukacita. (Sindhunata, 2007: 78)
Keseimbangan hidup menjadi pilar utama untuk melenyapkan rasa sombong dan keserakahan. Hidup penuh syukur dengan segala kesederhanaan itu lebih baik dari banyak harta namun terus diliputi rasa tidak puas, iri, dan dengki. Pada novel Putri Cina sifat-sifat sombong ditampilkan sebagai sebuah realita sejarah yang dilakoni orang-orang Cina selama ini. Padahal para leluhurnya sudah mengingatkan berkali-kali agar hidup manusia itu sederhana. Manusia sebagai makhluk yang diberikan keistimewaan berupa akal dan nafsu perlu hati-hati menggunakan kelebihan tersebut, sebab jika tidak akan menjerumuskannya dalam kesombongan dan keserakahan. Sifat demikian adalah sifat yang tidak terpuji dalam kehidupan. Keserakahan tersebut akan menimbulkan kerusakan-kerusakan tatanan sosial dan budaya yang berkembang di masyarakat. Bahkan hingga pada titik ekstrim yaitu kekerasan. Hal demikian juga diceritakan dalam novel Putri Cina bahwa dalam sejarah raja-raja yang bertikai di Tanah Jawa. Dalam setiap pertikaian yang akan terjadi dalam setiap penguasa beserta para pengikutnya merasa dirinya benar dan lawannya salah. Bila demikian, maka keadaan itu menuntut adanya mereka yang bisa dipersalahkan. Pada mereka inilah ditimpakan segala kesalahan dari mereka-mereka yang bertikai. Dengan menimpakan kesalahan itu, maka mereka yang bertikai merasa dirinya bersih. Mereka mencari korban kesalahan dari luar mereka, supaya terasa bahwa mereka tak bersalah, karena mereka memeang mau menyembunyikan kesalahan mereka. Tapi korban itu tak boleh terlalu lain dari mereka, supaya bisa mewakili mereka. Itulah sejarah kekejaman dari pertikaian yang diawali dengan sifat keserakahan akan kekuasaan.
67
Sifat sombong dan serakah itu akan berdampak sistemik pada pola pengembangan sosial-budaya di masyarakat luas. Dari sifat seperti itu pula perpecahan demi perpecahan muncul di permukaan masyarakat. Terjadilah kerusakan pada tata kelola kehidupan. Tabel di atas memberikan gambaran bahwa semua kebudayaan direncanakan secara baik untuk memberikan efek sosial yang baik pula. Karena dari nilai-nilai kebudayaan tersebut dapat dijadikan pedoman hidup bagi para pengikutnya untuk memperjuangkan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Untuk menjawab segala tantangan itu, hidup sederhana harus mulai ditanamkan sejak dini. Hal tersebut dapat diimplementasikan dalam sistem pendidikan yang berkarakter. Inilah sebabnya peneliti mencoba mengurai dan menganalisis novel ini sebagai suatu proses perubahan sosial tercipta. c. Nilai Perjuangan Putri Cina selalu ingat pepatah leluhurnya agar hidup di dunia ini selalu menekankan semangat perjuangan yang senantiasa menjadi teman setia di saat menjalani kehidupan. Hidup manusia di dunia itu dapat dinilai dari cara bagaimana ia berjuang hidup dengan sgala kompleksitas permasalahan yang ada. Nilai perjuangan ini ditunjukkan pada bagian ke-5 dan ke-19 novel ini. Ketika Majapahit lengser oleh Raden Fatah anaknya yang kemudian ia mendirikan kerajaan baru bernama Demak dengan agama barunya pula, dan saat sedang terjadinya kerusuhan besar-besaran di negeri Pedang Kemulan. Semua orang Cina dibantai, dibunuh, diperkosa, dijarah, dan dibakar hidup-hidup akibat adu domba pemerintahan Prabu Amurco Sabdo seperti pada penggalan cerita berikut: Memang beginilah ajaran K’ung Tzu, tiap manusia mulia harus mengusahakan apa yang pokok dalam hidupnya. Jika ada yang pokok itu kuat mengakar pada dirinya, jalan yang benar bagi hidupnya akan terus muncul dan mengalir dari dalam dirinya. (Sindhunata, 2007: 35) Sejarah seakan meminjam rahimnya, agar perubahan yang diinginkan bisa terjadi. Dengan demikian tak sia-sialah kedatangannya ke Tanah Jawa ini. Kalaupun tetap tidak jelas, siapa dia dan dari manakah asal-usulnya, adalah jelas suratan takdir yang digariskan bagi hidupnya: ia harus ikut memperanakkan perubahan yang sekarang telah terjadi di Tanah Jawa. (Sindhunata, 2007: 33)
68
“Benar Tien. Begitulah perjalanan nasib.Semula kamu tdak tahu mengapa kamu harus menjalani hidup seperti itu.Baru kelak kamu tahu, tanpa jalan hidup yang sudah kamu tempuh itu tak mungkin kamu sampai menjadi seperti sekarang.Karena itu, Tien, kamu harus bersyukur dan terus berjuang atas segala peristiwa yang telah terjadi pada hidupmu” kata Siok Nio. (Sindhunata, 2007:218) Nilai perjuangan yang digambarkan tidak sekedar perjuangan dalam peperangan seorang putri Cina, melainkan perjuangan memperanakkan seorang putra yang menjadi raja di Tanah Jawa. Perjuangan itu semakin bergelora saat putri Cina dihantui kecemasan akan tidak dianggapnya dirinya oleh Raden Patah anaknya yang kini menjadi pemimpin di Tanah Jawa. Pada penggalan cerita berikutnya nilai perjuangan hidup Giok Tien di Tanah Jawa menjadi penggalan kisah yang mengharukan untuk ditelusuri setiap ceritanya. Berakar dari pejuangan untuk bertahan hidup pulalah seorang Cina dapat hidup dengan penuh semangat di Jawa walaupun perjalanan hidupnya dihantui oleh pengadudombaan kaumnya yang selalu menjadi kambing hitam dalam setiap pertikaian di Tanah Jawa.
d.
Budaya Berbagi Pengarang semakin menunjukkan kiatnya menyuguhkan nilai cinta harmoni
dengan menyajikan bait-bait syair mengenai penguatan dan berpikir positif. Sebagai seorang Cina yang lahir dan besar di Tanah Jawa. Pengarang piawai menceritakan bagaimana semangat yang harus ditempuhg oleh orang-orang Cina yang hidup di Jawa. Penggalan syair itu sebagai berikut: Jika orang lain bikin kami susah di hati Kami akan menganggap itu adalah tumpukan rezeki Kami akan belajar, setiap hari, mulai sekarang juga Jangan kami membuat orang lain susah hatinya Dengan apa yang kami miliki saat ini. Setiap kami diberi satu Kami akan memberi lipat sepuluh. Bila kami difitnah padahal kami tidak bersalah Kami hendak menganggapnya sebagai pahala. Bila kami salah tapi dipuji dan dianggap benar Akan kami rasakan itu sebagai hukuman. (Sindhunata, 2007:301)
69
Syair itulah bagian akhir dari cerita novel Putri Cina. Sangat jelas pengarang mengharapkan dari novel ini tercipta perdamaian. Perdamaian yang dibuat oleh orang-orang Cina yang hidup di Jawa dengan mengubah pola pikir positif dalam setiap menanggapi keadaan dan peristiwa. Nilai cinta harmoni inilah yang harus diterapkan dalam butiran-butiran pendidikan karakter. Cinta harmoni merupakan nilai inti dari pendidikan karakter yang selama ini diprogramkan oleh pemerintah. Nilai cinta harmoni akan tumbuh dengan sendirinya jika manusia dapat memberikan respon yang positif terhadap setiap keadaan. Oleh karena itu, segala perbuatan kita yang dirangkum dalam pendidikan karakter adalah berawal dari pikiran kita. e.
Budaya Ramalan Ramalan merupakan kunci perjalanan hidup bagi sebagian besar orang Cina.
Dengan ramalan itu mereka dapat menjadikan kehidupan lebih bermakna dan patut diperjuangkan. Ramalan-ramalan bagi orang Cina hadir dari leluhurnya dan berupa Shio pada tahun-tahun Cina. Tidak sedikit pula orang Cina menggantungkan hidupnya pada ramalan-ramalan tersebut. Giok Tien tersentak karena kata-kata itu. Ia merasa kematian menjadi suatu yang nyata baginya. Ia sendiri lalu teringat, mamanya pernah pergi ke seorang empek gwamia, kakek peramal. Empek itu menganjurkan agar ia dan suaminya mesti banyak prihatin, karena salah seorang anaknya akan mengalami banyak cobaan. (Sindhunata, 2007: 175) 2.
Nilai Budaya Jawa Pada budaya Jawa, nilai-nilai yang disajikan seputar kisah-kisah kerajaan
dan tatanan kehidupan kerajaan dan masyarakat di Tanah Jawa dalam menyikapi sesuatu. Budaya Jawa sangat kental dengan ajaran kehidupannya yang mengakar kuat di hati masyarakatnya sebagai spirit untuk menjalani kehidupan. Berikut adalah nilai-nilai yang dirangkum dari novel Putri Cina, antara lain: a.
Budaya Cinta Harmoni Nilai ini merupakan substansi dari nilai-nilai kehidupan yang dinamis. Nilai
cinta harmoni adalah nilai cinta terhadap perdamaian dan ketenteraman hidup. Pada novel ini dapat ditemui banyak kisah-kisah yang menawarkan pemahaman
70
tentang kekerasan. Namun di atas semua itu para masyarakat sangat menjunjung tinggi perdamaian. Hal tersebut pula tertuang dalam penggalan kisan Putri Cina mengenai pertikaian yang sering terjadi di tanah Jawa. Pertikaian tersebut tentu bertolak belakang dengan kedua budaya besar—Cina dan Jawa—tersebut. Budaya Cina dan Budaya Jawa memiliki kesamaan untuk menjunjung tinggi harmonisasi kehidupan. Oleh karena itu penekanan terhadap harmoni kehidupan perlu di frasakan dengan kata “cinta” agar tercipta suasana penuh kasih. Nilaqi cinta harmoni ditunjukkan pada penggalan novel berikut: Perlahan-lahan kedamaian dan ketenteraman rakyat Tanah Jawa pulang kembali ke Pedang Kemulan. Rakyat berpengharapan besar, semoga kedamaian dan ketenteraman tadi selama-lamanya lestari. Mereka senang, karena Prabu Aryo Sabrang memerintah dengan sabar dan penuh keterbukaan. Sesungguhnya hal itulah budaya yang baik di Tanah Jawa. (Sindhunata, 2007: 297) Pada aplikasi kekuasaan, harmoni adalah cara penguasa dengan sabar dan terbuka terhadap rakyat untuk memerintah demi kedamaian dan ketenteraman. Pesan ini merupakan pesan tersirat dari penggalan kisah di atas. Pengarang terus memberikan kisah yang menggenapkan kesewenangan, yaitu menjadi keadilan. Perjalanan Putri Cina yang terakhir dilakoni oleh Giok Tien. Pada bagian akhir cerita ini pengarang menyuguhkan pesan-pesan cinta yang dalam bagi umat Cina di manapun berada, khususnya di Jawa dengan petikan sebagai berikut: Seperti kupu-kupu kuning di Tanah Jawa, ia juga terbang ke utara. Kupukupu kuning itu mati di utara dan hujan kembali berjatuhan ke dunia, menyegarkan dan menyuburkan tanahnya. Kupu-kupu Putri Cina itu juga terbang ke utara dan dari sana bunga-bunga ungu di tangannya menjadi taburan hujan emas yang jatuh bertaburan ke dunia.(Sindhunata, 2007: 300) b.
Nilai Tanggung Jawab Nilai tanggung jawab sering muncul dari kisah upaya-upaya penguasa
dalam melayani rakyatnya dalam berbagai kisah perjalanan hidup Putri Cina.Nilai tanggung jawab sangatlah penting dalam memerintah suatu kerajaan, karena tanggung jawab adalah pilar utama setiap pemimpin di dunia ini. Dari nilai tanggung jawab ini akan lahir Negara yang berkeadaban, adil, makmur, dan sejahtera. Nilai tanggung jawab juga hadir untuk mengevaluasi kualitas kehidupan
71
setiap manusia.Pesan nilai tanggung jawab disajikan secara bertahap tentang kisah kekuasaan kerajaan.Contoh kekuasaan kerajaan yang sangat brutal dalam kisah ini, yaitu kerajaan Pedang Kemulan menjadi salah satu contoh betapa penting nilai tanggung jawab yang harus diemban oleh seorang pemimpin.Nilai tanggung jawab juga dapat disaksikan atas perebutan kekuasaan yang terjadi di Tanah Jawa.Seringnya hadir kemunafikan, saling curiga, dan saling berperang serta kegaduhan merupakan dampak hilangna rasa tanggung jawab pada manusia. Hal tersebut tersirat dalam penggalan novel sebagai berikut: Malahan ia bertekad manghapus segala kenangan lama yang membuat rakyat takut dan susah. Ia tidak ingin negeri Medang Kemulan dialami rakyat seperti pedang kemulan............... (Sindhunata, 2007: 279) Tak hanya keamanan dan kedamaian saja yang kembali pulih di Medang Kemulan. Dalam waktu singkat kesejahteraan dan kemakmuran mulai datang merambati Medang Kemulan. (Sindhunata, 2007: 280) Samapi kini tidak jelas bagi rakyat, siapakah sesungguhnya orang-orang dibalik kekerasan terhadap orang-orang Cina tersebut. Tak mungkinlah massa rakyat bisa mengamuk dengan demikian terencana, jika tiada orang yang mengatur dan menggerakkan mereka dengan cerdik dan licik. (Sindhunata, 2007: 282) c.
Budaya Welas Asih (Menyayangi setulus hati) Nilai welas asih atau kasih sayang merupakan inti dari segala nilai
kehidupan manusia di dunia.Nilai ini perlu menjadi prioritas bagi siapa saja dalam menjalankan harmoni kehdupan untuk saling menghargai dan menghormati sesama.Nilai kasih sayang yang ditunjukkan dalam novel ini meliputi niai yang selalu menjadi pegangan bagi orang Cina dalam menjalani hidup dimana pun mereka berada. Nilai welas asih sesungguhnya adalah nilai yang sangat diperankan oleh orang Jawa dalam kehidupan.Dari kisah dalam novel ini kita dapat menganalisis bahwa Budaya Cina pun memiliki nilai welas asih sebagai pegangan hidup masyarakatnya. Nilai welas asih yang ditampilkan dalam novel ini sebagai berikut: “Ya Tien, dan air mata itu hanya diberikannya kepada orang yang mau berhati welas asih seperti dia. Maka dengan memegang Suinli, kamu tak
72
hanya akan didatangi rezeki, tapi juga harus mempunya hati yang welas asih.Dengan permata Suini, Dewi Welas Asih mengingatkan kamu. Nak, bahwa janganlah kamu mencari kebahagiaan, sebab dengan mencari kebahagiaan kamu akan menemi kemalangan. Maka yang harus kamu kerjakan adalah mencintai, karena hanya dengan mencintai kamu akan menjadi bahagia dan menemui kebahagiaan,” tutur Siok Nio. (Sindhunata, 2007:218)
d.
Budaya Unggah-ungguh(Sopan Santun) Sopan santun merupakan nilai luhur bagi orang Jawa. Salah satu ciri khas
orang Jawa adalah sopan santun. Setiap orang Jawa membudayakan sopan santun dalam kehidupan sehari-hari. Pada kasta kerajaan sopan santun menjadi pilar kelakuan orang di lingkungan kerajaan. Setiap orang harus berjalan sambil duduk dan membungkuk saat menghadap raja dan sungkeman terhadap orangtua. Budaya ini sangat kuat dipegang oleh orang-orang Jawa. Seperti penggalan cerita di bahawa ini: Maka Roro Hoyi pun diboyong ke mataram. Sesampainya di sana, Sultan amangkurat belum mau menggaulinya. Maklum, Roro Hoyi bukanlah perawan Keraton. Karena itu untuk sementara ia dititipkan pada Bei Wirorejo di Kademangan Wirorejan. Di sana ia dididik untuk belajar unggah-ungguh, adat istiadat kehalusan, Keraton. (Sindhunata, 2007:187) e.
Budaya Nyekar (Menabur bunga di kuburan) Bagi kebanyakan orang Jawa, budaya berkunjung ke kuburan menjadi
keharusan untuk mendoakan orang yang telah meninggal dan mengingat kematian. Nyekardengan menaburkan bunga di atas tanah kuburan merupakan budaya leluhur orang Jawa. Sebagian dari mereka juga meyakini dari proses nyekar tersebut mereka akan mendapat rezeki yang melimpah. “Dulu papaku berpesan, kalau ke Gunung Kawi, jangan lupa mampir ke makam Mbah Kromeo di desa Kebobang. Aku ingin mengirim bunga ke sana, sejak papa meninggal baru kali ini aku nyekar lagi Mbah Kromeo,” kata Giok Tien. (Sindhunata, 2007:172) f.
Budaya Weton (Hitungan Jawa) Meramal juga menjadi kebiasaan orang-orang Jawa. Mereka kadang
menokohkan seseorang menjadi juru weton untuk meramal orang-orang menurut
73
hitungan hari, tanggal, bulan, dan tahun Jawa. Namun, terkadang juga orang Jawa meramalkannya sendiri. Hitungan dalam Jawa menjadi aktivitas masyarakat yang memiliki kepercayaan tinggi akan suatu persamaan angka-angka dan nama-nama dalam hari, tanggal, bulan, dan tahun. Seperti dalam cerita di bahawa ini. Giok Tien meneruskan ceritanya, ia dan ayahnya mempunyai weton, hari kelahiran yang sama, yakni senin Legi. Karena itu Mbah Kromeo menganjurkan, agar setiap malam Senin Legi ayahnya mencemplungkan bunga mawar, melati, dan kenanga kedalam segelas air. Esok paginya air bunga itu harus diminum mereka berdua, dan sisanya untuk mencuci muka. Setelah itu Giok Tien berjalan menuju perempatan kampung, dan menaburkan bunga itu di tengah-tengahnya. Waktu itu Giok Tien tidak tahu, untuk apa itu semuanya. Namun seperti ayahnya, ia yakin, minum air bunga dan mencuci muka dengan air bunga itu akan membuat mereka selamat sejahtera. (Sindhunata,2007: 173) g.
Budaya Ojo dumeh (Jangan Sombong) Setiap manusia Jawa memegang teguh prinsip ojo dumeh dalam menjalani
kehidupan agar terhindar dari kesombongan yang bisa mencelakakan dirinya sendiri. Ojo dumeh juga menjadi kebudayaan yang mulia bagi orang Jawa yang telah mencapai kesuksesan dan atau meraih jabatan tinggi agar semakin tinggi kekuasaan dan ilmu, seperti ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk. Berikut penggalan cerita mengenai budaya tersebut: Wahyu dan segala perangkat ghaibnya membuat ia ora eling lan waspada. Ia menjadi lupa akan ajaran leluhur, bahwa manusia ini harus selalu ingat akan pesan ojo dumeh. Maksudnya, kalau sudah sakti dan berkuasa, janganlah lupa, bahwa wong sekti ana kalane apes, pangkat bisa minggat, wong pinter bisa lali, rejeki bisa mati, donya bisa lunga: orang sakti bisa celaka, pangkat bisa pergi, orang pintar bisa lupa, rezeki bisa mati, dunia bisa pergi. (Sindunata, 2007: 101) Nilai-nilai tersebut merupakan nilai yang dijaga dan dilestarikan secara turun-temurun oleh masyarakat Cina dan masyarakat Jawa. Nilai itu memuat hal yang paling primer dalam kehidupan manusia untuk mengembangkan dirinya menjadi pribadi yang baik dan dapat diterima di lingkungannya hidup dan berinteraksi. Nilai-nilai tersebut merupakan kesungguhan peran masyarakat dalam menjaga dan membudayakannya menjadi suatu tatanan sosial yang mampu menjadi pembentuk dan penggerak pendidikan yang memiliki karakter
74
kebangsaan. Dari nilai-nilai budaya tersebut penulis mengangkatnya sebagai butir pendidikan karakter sesuai dengan judul skripsi ini. Nilai-nilai yang terkandung di dalam novel Putri Cina ini adalah nilai yang tersirat dari falsafah hidup yang ditanamkan oleh para leluhur sebagai suatu tatanan nilai budaya yang harus dijaga. Nilai tersebut disajikan melalui teknik kausalitas dan tanya-jawab. Nilai hidup itu lahir dari pertanyaan-pertanyaan tokoh yang kemuydian mendapatkan poenjelasan dari orang di sekitarnya maupun pengingatan tokoh terhadap sajak-sajak para leluhurnya yang mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai budaya yang penuh damai tersebut. Nilai-nilai tersebut juga dapat dijadikan landasan untuk mengimplementasikan pendidikan karakter.
F. Nilai Budaya Cina dan Jawa sebagai Butir Pendidikan Karakter Berbagai nilai budaya Cina dan Jawa dalam novel Putri Cina telah banyak mengilhami lahirnya suatu kebebasan dalam menjalani kehidupan dan memberikan gambaran utuh mengenai peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi di Tanah Jawa. Peristiwa sejarah tersebut dapat dijadikan ‘guru’ bagi kita untuk merenungi hal-hal mendasar tentang pengelolaan suatu budaya yang dapat mengantarkan manusia ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu pelu adanya kesadaran sejarah. Menurut Diana (Sindhunata, 2000: 69):35 Kesadaran sejarah adalah sikap mental atau sikap jiwa pada diri suatu individu, masyarakat, atau bangsa yang ditumbuhkan dari hasil penggalian kebenaran yang dikandung fakta sejarah lengkap dengan hubungan kausalitasnya secara menyeluruh untuk mengembangkan kearifan dan kebijaksanaan yang bersangkutan dalam menghadapi masa sekarang dan masa datang. Kata kunci untuk memaknai kesadaran sejarah secara berurutan adalah kebenaran sejarah, kearifan, dan kebijaksanaan. Artinya dengan menelaah, menemukan, memahami serta menghayati adanya kebenaran sejarah maka seseorang atau sekelompok masyarakat akan dapat mengambil keputusan 35
Diana Nomida Musnir, “Arah Pendidikan Nasional dalam Perspektif Historis” dalam Sindhunata (ed), Menggagas Paradigma Baru Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi (Yogyakarta: Kanisius, 2000), cet.1, h. 69.
75
bertindak yang bijaksana dengan penuh kearifan untuk menghadapi hidup mereka, baik secara individu, maupun kelompok. Setiap sejarah mengandung nilai budaya yang menjadi pelengkap kisah dalam sejarah tersebut. Nilai budaya yang dapat dijadikan pegangan kehidupan bagi siapa saja yang memahaminya dan menghikmahinya. Nilai budaya tersebut dapat dijadikan sumber bagi pemikiran pendidikan nasional agar mencapai tujuannya. Pendidikan karakter sangat penting diterapkan di setiap sendi kehidupan pendidikan di Indonesia, terutama lembaga-lembaga pendidikan formal seperti sekolah. Hal ini karena karakter yang baik terkait erat dengan keberhasilan anak didik dalam belajar. Pencapaian yang akan didapat oleh peserta didik dalam pendidikan karakter akan jauh lebih luas dibandingkan dengan pelaksanaan pendidikan seperti biasa saja. Berbagai nilai yang diterapkan dalam pendidikan karakter diharapkan dapat diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta beragama. Hal ini tentunya akan sangat menunjang keberhasilan pendidikan nasional untuk mencapai tujuan pendidikan. Dari sudut pandang dalam skripsi ini, penulis mengambil Nilai budaya Cina dan Jawa yang khas dan masing-masing memeiliki karakter kebudayaan yang beragam dan identik dengan ajaran-ajaran kehidupan. Penelaahan yang dilakukan tentang budaya Cina dan Jawa dapat dibawa ke ranah upaya seluruh stake holders bidang pendidikan untuk mengupayakan secara serius dalam mencanangkan pendidikan karakter sebagai suatu hal yang utama untuk mencapai keberhasilan pendidikan nasional. Beberapa faktor indikator pencapaian keberhasilan pendidikan karakter dapat dilihat dari berbagai aspek kesalihan sosial di lingkungan masyarakat secara luas, tidak hanya mengandalkan aspek kecerdasan intelektual saja. Dalam proses belajar-mengajar, baik di sekolah maupun di lembaga pendidikan lainnya, anak didik harus dibangun karakternya agar mempunya rasa percaya diri yang baik. Rasa percaya diri dapat dimunculkan dengan memberikan
76
bantuan kepada mereka untuk menemukan kelebihan atau poteni yang ia miliki. Setiap anak manusia pasti mendapatkan anugerah dari Tuhan berupa kelebihan atau potensi masing-masing. Di sinilah butuh kesabaran, keteladanan, dan ketelitian seorang pendidik untuk memberikan pendidikan bagi anak didiknya. Dalam karya novel Putri Cinaperan seorang pendidik atau guru sangat berpengaruh bagi seluruh sendi kehidupan. Bahkan pada kisahnya setiap orang keturunan Cina pasti memiliki rambu-rambu kehidupan yang terus digenggam oleh hatinya. Rambu-ranmbu kehidupan itu asalnya dari nenek moyang mereka yang tertuang dalam beberapa kitab, terutam kitab suci mereka yang selalu menekankan ajaran kebaikan dan keseimbangan dengan alam semesta. Dari sini muncul rasa percaya diri untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan hikmah. Pada bagian novel Putri Cina terdapat ajaran leluhur Cina mengenai keyakinan. Dari hal ini setiap tindakan yang dilakukan masnuisa harus didasari oleh keyakinan agar bisa dilaksanakan dengan percaya diri. Setiap manusia diberikan kepercayaan untuk melakukan suatu hal dengan sendirinya akan tumbuh dan berkembang rasa percaya diri yang kuat. Dalam praktik di lingkungan masyarakat, terutama di lingkungan sekolah, tidak jarang kita temui anak yang tidak mempunyai rasa percaya diri, karena memang tidak diberi kepercayaan dalam melakukan sesuatu. Maka setiap pendidik perlu memberikan kepercayan bagi anak didiknya agar dia dapat melakukan sesuatu dengan penuh percaya diri. Karakter penting yang harus dibangun agar setiap manusia dapat meraih keberhasilan, baik di lingkungan keluiarga, kelompok, maupun di lingkungan masyarakat secara luas adalah kemampuan untuk menjalin kerja sama dengan yang lain. Kemapuan dalam menjalin kerja sama ini dapat dilatih sejak dini. Misalnya ketika anak di sekolah, seorang guru membuatkan kelompok belajar pada saat proses belajar mengajar. Uapayaka seorang guru untuk memantau dan sesering mungkin untuk mendorong anak didik agar lebih aktif terlibat dalam kegiatan kelompok yang dilakukan. Kemampuan dalam menjalin kerja sama juga dapat dibangun dengan permainan yang menyenangkan di sekolah. Sebagai makhluk sosial, kemampuan dalam bekerja sama ini harus dibangun sejak kanak-kanak. Di samping keluarga, lembaga pendidikan
77
mempunyai tugas dan tanggung jawab akan hal ini. Sebab orang yang tidak bisa menjalin kerja sama dengan orang lain akan sulit mencapai kesuksesan dan kebahagiaan hidup. Dikisahkan pula dalam kisah Putri Cina seorang Jaka Prabangkara selama berada di negeri Cina pandai bergaul dan mudah diajak kerja sama. Maka ia pun dengan cepat terkenal seantero negeri itu. Dengan berbagai keahliannya melukis, Jaka pun dipanggil seorang raja untuk dianugerahi hadiah oleh kerajaan. Dari kisah tersebut, dapat diambil hikmahnya bahwa, jiwa yang mudah bergaul dan selalu berjiwa kerja sama akan melahirkan banyak kemampuan dan kesuksesan dalam hidupnya. Analisis terhadap novel Putri Cina ini dapat memberikan gambaran utuh bagaimana pendidikan dan kebudayaan adalah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena pendidikan merupakan gejala khas kebudayaan, begitu pula kebudayaan merupakan hasil dari pembangunan pendidikan yang menitikberatkan pada nilai-nilai budi pekerti dan karakter. Para pengamat perkembangan masyarakat sering mengeluhkan bahwa pembangunan nasional kita kurang memberi tempat yang memadai bagi dimensi kebudayaan. Dalam kata lain, terlepas dari apa yang dimaksudkan dengan pengertian kebudayaan yang telah diulas pada Bab 2 dalam skripsi ini, penulis memandang pendidikan selalu terkait dengan kebudayaan, karena hakikat dari proses pendidikan adalah proses perubahan manusia dalam tingkah lakunya (cara dan kemampuan berpikir, sikap dan nilai, dan kemampuan kerja). Atas dasar itu pendidikan ditempatkan oleh Undang-Undang
No.2
Tahun
1989
untuk
berfungsi
memelihara
dan
mengembangkan kebudayaan nasional.36 Menurut UU Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan disamping berfungsi mengembangkan, juga harus berakar pada kebudayaan nasional. Nilai-nilai budaya Cina dan Jawa dalam novel Putri Cina pada penjelasan sebelumnya merupakan nilai budaya secara keseluruhan yang terdapat dalam novel. Maka untuk menjabarkan nilai-nilai budaya Cina dan Jawa sebagai butir 36
Soedijarto, Pendidikan sebagai Sarana Reformasi Mental dalam Upaya Pembangunan Bangsa (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), cet.1, h.7.
78
pendidikan karakter, penulis mengklasifikasikan kembali nilai-nilai budaya tersebut dengan butir pendidikan karakter yang berjumlah 18 butir seperti yang sudah dijelaskan pada Bab 2. Berikut ini adalah nilai-nilai budaya Cina dan Jawa yang merupakan butir pendidikan karakter: 1. Nilai Religiusitas, 2. Budaya Kesederhanaan, 3. Budaya Berbagi, 4. Nilai Perjuangan, 5. Budaya Cinta Harmoni, 6. Budaya Tanggung Jawab, 7. Budaya Welas Asih (Menyayangi setulus hati), 8. Budaya Unggah-Ungguh (Sopan Santun), dan 9. Budaya Ojo Dumeh (Jangan Sombong). Itulah nilai-nilai budaya Cina dan Jawa dalam novel Putri Cina karya Sindhunata yang menjadi butir pendidikan karakter. Diharapkan penelitian ini dapat mengembangkan butiran nilai pembentuk pendidikan karakter. nilai budaya tersebut dapat memperkaya khazanah kebudayaan Indonesia yang saat ini semakin menipis tergerus zaman. Maka perlu adanya keseriusan untuk menanggulangi krisis budaya tersebut sebelum terjadi kerusakan moral dimana-mana. Terdapat 3 nilai budaya yang tidak masuk kateogi pendidikan karakter, yaitu budaya ramalan, budaya nyekar, dan budaya weton. Ketiga budaya tersebut adalah budaya Cina dan Jawa yang hanya merupakan adat-istiadat atau kebiasaan masyarakat kedua etnis tersebut, bukan merupakan nilai yang pantas untuk menjadi butir pendidikan karakter. Pengarang sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di Jawa sangat mempengaruhi sajian budaya dalam novel Putri Cina. Dari analisis skripsi ini menyimpulkan bahwa nilai budaya Jawa lebih dominan dibandingkan dengan nilai budaya Cina. Salah satu faktornya adalah pengarang seorang yang lebih dikenal sebagai budayawan Jawa, latar geografis dalam novel ini sebagian besar di Jawa dan segala kompleksitas orang keturunan Cina yang hidup di Jawa.
79
Nilai budaya Cina dan Jawa dalam novel Putri Cina dapat dijadikan sumber dalam mengembangkan butir pendidikan karakter di Indonesia, karena Indonesia adalah suatu bangsa yang mempunyai budaya yang beragam yang dipersatukan oleh semangat dan tujuan untuk memelihara kesatuan dan persatuan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, Indonesia menggunakan motto “Bhineka Tunggal Ika.” Pendidikan di Indonesia dilaksanakan dalam konteks kebudayaan ini.37
37
Ibid., h. 96.
80
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Nilai budaya Cina dan Jawa dalam novel Putri Cina karya Sindhunata merupakan perangkat untuk mengembangkan Pendidikan Karakter di Indonesia. Ragam nilai budaya Cina dan Jawa yang disajukan dalam novel tersebut dapat dijadikan suatu khazanah kebudayaan nasional yang berbasis pada Pendidikan Karakter. Berikut ini adalah simpulan dari pembahasan dalam skripsi ini, antara lain: 1. Sindhunata menggambarkan perpaduan budaya Cina dan budaya Jawa benar-benar menyatu lewat penyajian dongeng sejarah. Di Tanah Jawa, nama Putri Cina sudah tidak asing lagi. Bahkan ia sudah berperan jauh dalam kejayaan kerajaan-kerajaan di Jawa. Hal tersebut merupakan sumbangan terbesar budaya Cina untuk budaya Jawa. Perjalanan kebudayaan di Jawa hingga saat ini berkembang tidak lepas dari peran Putri Cina sebagai ‘Ibu’ yang melahirkan kebudayaan tersebut di Tanah Jawa. 2. Berdasarkan analisis, diketahui bahwa novel Putri Cina karya Sindhunata memuat nilai-nilaibudaya Cina dan Jawa yang menjadi pegangan kehidupan masyarakat. Nilai-nilai tersebut antara lain; a. Nilai budaya Cina Nilai budaya Cina yang dapat diklasifikasikan dalam novel Putri Cina, antara lain nilai religiusitas, budaya kesederhanaan, nilai perjuangan, budaya berbagi, dan budaya ramalan b. Nilai Budaya Jawa Sedikitnya terdapat 7 nilai budaya Jawa yang disajikan dalam novel Putri Cina, antara lain budaya cinta harmoni, budaya unggah-ungguh atau sopan-santun, budaya nyekar, budaya weton atau hitungan Jawa,
81
budaya ojo dumeh atau jangan sombong, budaya welas asih atau kasih sayang, dan budaya tanggung jawab. c. Perpaduan nilai budaya Cina dan Jawa Dari dua jenis nilai budaya, yaitu Cina dan Jawa, terdapat perpaduan nilai budaya di antara keduanya, yaitu budaya ramalan dan atau weton, budaya tanggung jawab, budaya berbagi, budaya nyekar, budaya perjuangan, dan budaya kesederhanaan. d. Pengarang sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di Jawa sangat mempengaruhi budaya dalam novel Putri Cina. Nilai budaya Jawa lebih dominan dibandingkan dengan nilai budaya Cina. Salah satu faktornya adalah pengarang seorang yang lebih dikenal sebagai budayawan Jawa, latar geografis dalam novel ini sebagian besar di Jawa dan segala kompleksitas orang keturunan Cina yang hidup di Jawa.
3. Nilai budaya Cina dan Jawa dalam novel Putri Cina yang merupakan butir pendidikan karakter antara lain budaya nilai religiusitas, budaya kesederhanaan, nilai perjuangan, budaya berbagi, budaya cinta harmoni, budaya unggah-ungguh atau sopan-santun, budaya welas asih atau kasih sayang, budaya ojo dumeh atau jangan sombong, dan budaya tanggung jawab.
Nilai-nilai
budaya
tersebut
dapat
memperkaya
khazanah
kebudayaan Indonesia yang saat ini semakin menipis tergerus zaman. Maka perlu adanya keseriusan untuk menanggulangi krisis budaya tersebut sebelum terjadi kerusakan moral dimana-mana, yaitu dengan merumuskan nilai-nilai budaya tersebut ke dalam suatu kerangka pendidikan. Adapun nilai budaya yang tidak termasuk dalam butir pendidikan karakter adalah budaya ramalan, budaya nyekar, dan budaya weton. Ketiga budaya tersebut hanyalah kebiasaan orang Cina dan Jawa yang menjadi kepercayaan hidup masyarakat keduanya, bukan termasuk butir pendidikan karakter yang mampu memberikan kontribusi bagi pendidikan.
82
B. Saran Berdasarkan hasil analisis dan simpulan yang telah diuraikan, ada beberapa saran yang diajukan penulis yaitu: 1. Nilai budaya Cina dan Jawa dalan novel Putri Cina karya Sindhunata dapat dijadikan sebagai acuan untuk memperkaya khazanah butir pendidikan karakter. 2. Para stakeholders dunia pendidikan dapat menjadikan nilai-nilai budaya Cina dan Jawa dalam novel Putri Cina sebagai sumber rujukan dalam memperkenalkan ragam budaya bangsa untuk menambah kualitas pendidikan karakter. 3. Diharapkan nilai-nilai budaya Cina dan Jawa yang terkandung di dalam novel Putri Cina ini dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan dapat juga dijadikan pembelajaran sastra di sekolah yang berbasis pendidikan karakter bagi kemajuan pendidikan di masyarakat. 4. Hasil analisis skripsi ini dapat dijadikan rekomendasi bagi pemerintah untuk mengembangkan butir Pendidikan Karakter.
83
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. 2003. Azzet, Akhmad Muhaimin. Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia. Jakarta: Ar-Ruzz Media. 2011. Baedowi, Ahmad. Calak Edu: Esai-esai Pendidikan. Jakarta: Pustaka Alvabet. 2012. Budianta, Melani, dkk. Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. Magelang: Indonesia Tera. 2006. Damono, Sapardi Djoko. Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. 2004. Effendi, S. Panduan Berbahasa Indonesia dengan Baik dan Benar. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. 2009. Freire, Paulo. Politik Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007. Hakim, M. Arifin. Ilmu Budaya Dasar, Teori dan Konsep Ilmu Budaya. Bandung: Pustaka Satya. 2001. Hanum, Zulfa. Kritik Sastra: Sebuah Penilaian terhadap Karya Sastra. Tangerang: PT Pustaka Mandiri. 2012. Hasanuddin WS, Prof. Dr., M.Hum (Editor). Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu. 2004. Hasbullah. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2009. Ikram, Achadiati, dkk. Sejarah Kebudayaan Indonesia: Bahasa, Sastra, dan Aksara. Jakarta: Rajawali Press. 2009. Kropotkin, Peter. Gotong Royong Kunci Kesejahteraan Sosial; Tumbangnya Darwinisme Sosial. Depok: Piramedia. 2006. Leahy, Louis. Esai Filsafat untuk Masa Kini: Telaah Roh-Materi Berdasarkan Data Empiris Baru. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 1991. Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Karja Ki Hadjar Dewantara: Bagian Pertama; Pendidikan. Jogjakarta: Pertjetakan Taman Siswa. 1962. Mulyana, Rahmat. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. 2004.
84
Noor, Rohinah M. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra: Solusi Pendidikan Moral yang Efektif. Yogyakarta: Ar-Ruz Media. 2011. Nurgiyantoro, B. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press. 2000. Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Poststrukturalisme: Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004. Ricklefs, MC. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2008. Rosidi, Ajip. Sastra dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindonesiaan. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1995. Semi, Atar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya. 1988. Semi, Atar. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa. 1993. Sindhunata (ed). Menggagas Paradima Baru Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi. Yogyakarta: Kanisuis. 2000. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008. Smith, William A. Conscientizacao: Tujuan Pendidikan Paulo Freire. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008. Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2006. Soedijarto. Pendidikan sebagai Sarana Reformasi Mental dalam Upaya Pembangunan Bangsa. Jakarta: Balai Pustaka. 1998. Sugono, Dandi (Pimpinan Redaksi). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2003. Sutrisno, Mudji. Filsafat Kebudayaan: Ikhtiar Sebuah Teks. Jakarta: Hujan Kabisat. 2008. Wibowo, Agus dan Hamrin. Menjadi Guru Berkarakter. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012. Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia Edisi 1. Bandung: UPI Press. 2006.
85
86
BIOGRAFI PENULIS JOHAN ARISTYA LESMANA lahir di Bekasi, 16 Juli 1989. Menuntaskan Sekolah Dasar (SD) di SDN Karangsambung 01 Bekasi. Kemudian, melanjutkan ke MTs Al-Rosyadiyah Bekasi. Setelah itu ia melanjutkan Sekolah Menengah Atas di SMA KORPRI Karawang. Ia meneruskan ke Perguruan Tinggi Negeri di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FITK UIN Syarif Hidayayullah Jakarta, masuk pada tahun 2007. Selain itu, ia juga mengikuti jenjang kuliah D3 Plus di KAHFI Motivator School Jakarta. Mahasiswa yang gemar membaca dan diskusi ini adalah seorang aktivis di berbagai organisasi kepemudaan. Tercatat ia pernah menjadi Ketua Umum HMI Komisariat Tarbiyah Cabang Ciputat pada 2010-2011, Ketua HMI Cabang Ciputat 2011-2012, saat ini memegang amanah sebagai Koordinator Tim Kareteker Badan Koordinasi Nasional Lembaga Pendidikan Mahasiswa Islam (LAPENMI) PB HMI. Di samping itu ia juga pernah menjadi Ketua Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia se-Indonesia (IMABSII) Wilayah Pulau Jawa-Madura pada 2010-2012. Pernah pula menjabat sebagai Ketua Bidang Politik, Hukum, dan HAM Lingkar Studi Mahasiswa DKI Jakarta pada 20102011. Dari segudang pengalaman aktivisnya, ia sering diminta untuk menjadi narasumber diskusi kebangsaan di berbagai Kampus di Indonesia, diantaranya; UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Pakuan Bogor, STAIN SAS Bangka-Belitung, Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja-Bali, STKIP PGRI Bangkalan-Madura, Universitas Suryakancana Cinajur, Universitas Indonesia Depok, Universitas Gunadarma, Universitas Trisakti Jakarta. Selain itu sering juga diundang untuk menjadi motivator di berbagai Fakultas di UIN Jakarta dan di berbagai Sekolah di wilayah Jabodetabek. Dari kesibukannya sebagai aktivis dan motivator, ia juga gemar menulis di berbagai media online. Dalam hidupnya berprinsip bahwa “Setiap ucapan, sikap, dan perbuatan kita upayakan tidak sedikitpun memberikan kesempatan bagi orang lain untuk berprasangka negatif terhadap kita.” Dari prinsip itu ia punya harapan besar untuk memimpin bangsa ini sebagai Presiden Republik Indonesia yang ia canangkan terwujud pada tahun 2034.
87
88