eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014, 2 (4): 935-948 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2014
UPAYA CHURCHILL MINING PLC DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN PEMERINTAH KUTAI TIMUR TERKAIT PENCABUTAN IZIN PT. RIDLATAMA Yuni Ati Sitanggang1 NIM.072045188
Abstract The research is motivated by the lawsuit Churchill Mining plc on the Indonesian government related to revocation permit of PT. Ridlatama. Churchill Mining plc is a multinational mining company from London, England. Its main activity is the mining of coal. Churchill invest to acquire a 75% stake owned national company Ridlatama group. Both companies are working to develop the East Kutai Coal Project in Busang and Telen east Kutai district, East Kalimantan Province, Indonesia. Revocation permit of PT. Ridlatama by the east Kutai regional government influence the course of EKCP, so that Churchill Mining plc do efforts to resolve these problems. The results showed that Churchill Mining plc efforts in resolving disputes with the East Kutai government related to revocation permit of PT. Ridlatama is to propose a lawsuit to court of administrative Samarinda, court of administrative Jakarta, and the supreme court of Indonesia but the efforts end with failure. Furthermore Churchill Mining plc propose a lawsuit to institute arbitration of International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID). The claim is received and in process inspection and verification lawsuit substance until the final verdict.
Keywords: Churchill Mining plc, revocation permit of PT. Ridlatama Pendahuluan Kalimantan Timur atau biasa disingkat Kaltim adalah salah satu provinsi di Indonesia dan terletak di Pulau Kalimantan bagian ujung timur yang berbatasan dengan Malaysia, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi. Luas wilayah Kalimantan Timur adalah 129.066,64 km dengan populasi sebesar 3,6 juta jiwa. Dari angka tersebut, Kalimantan Timur merupakan wilayah dengan 1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 4, 2014: 935-948
kepadatan penduduk terendah keempat di Nusantara. Ibu kotanya adalah Samarinda. Sebelum adanya pemekaran provinsi Kalimantan Utara, Kaltim merupakan provinsi terluas kedua di Indonesia. Setelah pembentukan provinsi Kalimantan Utara, Kalimantan Timur sekarang terbagi menjadi 7 kabupaten dan 3 kota, yaitu antara lain : Kabupaten Berau, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Paser, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kabupaten Mahakam Ulu, Kota Balikpapan, Kota Bontang, Kota Samarinda. (www.wikipwdiw.org, diakses pada tanggal 27 Februari 2014) Kegiatan pertambangan di Kalimantan Timur mencakup pertambangan migas dan non-migas. Dari kegiatan tersebut, minyak bumi dan gas alam merupakan hasil tambang yang sangat besar pengaruhnya dalam perekonomian Kalimantan Timur khususnya dan Indonesia pada umumnya, karena hingga saat ini kedua hasil tambang tersebut merupakan komoditi ekspor utama. Perkembangan produksi batubara misalnya, sejak tahun 2004 terus meningkat setiap tahunnya dan pada tahun 2012 produksi batubara sudah mencapai 216.669.424 ton, atau meningkat 4,13% dibandingakn tahun 2011. (www.kaltimprov.go.id, diakses pada tanggal 27 Februari 2014) Sebagaimana beberapa potensi alam di Indonesia yang dikelola bersama-sama dengan pihak asing, demikian halnya dengan batubara. Pengelolaan potensi alam yang terdapat di Kalimantan Timur, salah satunya batubara dilakukan melalui investasi ataupun kerjasama dengan investor asing. Kegiatan tersebut sebagian besar dilakukan oleh swasta dengan cara meminta Kuasa Pertambangan (KP), dan untuk kerjasama termasuk mengenai sistem berinvestasi dilakukan melalui sistem Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau Penanaman Modal Asing (PMA). Untuk Perusahaan lokal maupun asing yang akan melakukan Penanaman Modal di Indonesia, termasuk di daerah Kalimantan Timur perlu mengajukan permohonan Izin Usaha yang disebut Kuasa Pertambangan (KP) atau saat ini disebut juga Izin Usaha Pertambangan (IUP) sesuai dengan kegiatan yang akan dilakukan. Seperti yang tertera dalam peraturan UU otonomi daerah, dimana dijelaskan mengenai penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan serta kewajiban dalam mengatur kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh dalam memberi Ijin Usaha terkait pengelolaan sumber daya alam yang ada di Kalimantan Timur. Sehingga pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengeluarkan KP atau IUP. Jika permohonan telah disetujui selanjutnya adalah mendaftarkan perusahaannya di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), untuk selanjutnya ditetapkan sebagai perusahaan PMDN atau PMA.Hal itu dapat dilakukan setelah prosedur dalam UU terkait penanaman modal di Indonesia telah dipenuhi.
936
Upaya Churchill Mining plc Terkait Pencabutan Izin PT. Ridlatama (Yuni Ati Sitanggang)
Adalah PT. Ridlatama, sebuah perusahaan Nasional yang bergerak dibidang pertambangan bermaksud mengelola batubara yang ada di kecamatan Busang dan kecamatan Telen kabupaten Kutai Timur dengan mengundang Investor Asing asal Inggris yaitu Churchill Mining plc yang merupakan sebuah perusahaan tambang multinasional asal London, Inggris. Dimana kegiatan utamanya adalah pertambangan batubara. Hal ini terdaftar di Alternative Investment Market (AIM) di Bursa Efek London sejak april 2005. Menjabat sebagai ketua eksekutif dari perusahaan tersebut adalah David F Quinlivan. Kerjasama antara keduanya dimulai tahun 2006, dimana kelompok perusahaan Indonesia, Ridlatama Group memperkenalkan proyek EKCP (East Kutai Coal Project) kepada perusahaan ChurchillMining plc. Karena dianggap menjanjikan, Churchill memutuskan untuk berinvestasi pada proyek tersebut dengan mengakuisisi 75% saham milik Ridlatama dan menjadi partner investor perusahaan lokal tersebut. Namun ditengah berjalannya kerjasama tersebut, pada tanggal 4 Mei 2010 pemerintah Kutai Timur secara sepihak mengeluarkan empat Pencabutan Surat Keputusan Ijin Eksploitasi IUP yang dimiliki PT. Ridlatama. Hal ini terjadi oleh karena adanya pelanggaran yang telah dilakukan PT. Ridlatama. Diantaranya, IUP perusahaan Ridlatama terindikasi palsu, lokasi rencana pertambangan dilakukan di atas kawasan hutan lindung, berkas Izin Usaha PT. Ridlatama tidak terdaftar di dinas pertambangan, dan pengalihan saham kepada pihak asing yang tidak sesuai dengan prosedur PMA. Dengan adanya pencabutan izin tersebut, Pihak Churchill merasa dirugikan karena pemerintah Kutai Timur dianggap telah menyita aset milik mereka tanpa ada kompensasi atas kerugian yang mereka alami. Selain itu, proyek EKCP yang mulai berjalan tahun 2007 terpaksa dihentikan. Sehingga berpengaruh pada nasib anak perusahaan milik Churchill, yang tidak lagi dapat beroperasi. Dan juga bertanggung jawab terhadap mitra bisnis mereka yang ikut menanamkan saham di proyek tersebut melalui perusahaan Churchill. Terkait dengan adanya permasalahan tersebut sehingga penulis ingin mengetahui bagaimana Upaya dari Churchill Mining Plc dalam penyelesaian sengketa dengan Pemerintah Kutai Timur.
Kerangka Dasar Teori 1. Teori Arbitrase Pengertian Arbitrase, menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, “Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) diatas mengenai pengertian Arbitrase, maka dapat diketahui bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa hukum diluar peradilan didasarkan pada perjanjian. 937
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 4, 2014: 935-948
Menurut Henry Campbell, mendefinisikan Arbitrase sebagai berikut: “the reference of a dispute to an impartial (third) person chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by the arbitrator’s award issued after a hearing at which both parties have an apportunity to heard”. Kemudian menurut Jean Robert yang menyebut sebagai berikut: “arbitration means instituting a private jurisdiction by which litigations arewitdrawn from the public jurisdictions in order to be resolved by individual vested, for a given case, with the powers to judge such litigation”. (Adolf : 10-11) Menurut Huala Adolf, bahwa dewasa ini arbitrase tidak hanya menawarkan atau memberikan jasa-jasa penyelesaian sengketa kepada para pengusaha industri atau perdagangan saja, arbitrase juga menyelesaikan masalah hukum, masalah-masalah yang berada diluar jurisdiksi pengadilan. Dewasa ini arbitrase tidak hanya diminta menyelesaikan masalah kontrak, atau memutuskan apakah suatu kontrak dilaksanakan, atau apa yang menjadi konsekuensi suatu pelanggaran, tetapi arbitrase dapat juga diminta untuk menyempurnakan suatu perjanjian yang tidak lengkap, atau hal-hal lainnya yang disebut oleh para pihak. Begitu juga halnya dengan permasalahan yang terjadi antara pihak Churchill dengan pemerintah Indonesia. Arbitrase menjadi pilihan penyelesaian sengketa antara Churchill Mining plc dengan Pemda Kutai Timur terkait adanya pencabutan izin usaha atas PT. Ridlatama. Apabila dengan jalan negoisasi atau perundingan tidak juga ditemukan penyelesaian atas sengketa yang terjadi, maka penyelesaian permasalahan hukum dapat dilakukan di luar peradilan maupun melalui badan-badan peradilan, termasuk melalui badan Arbitrase Internasional. Jenis-jenis Arbitrase 1. Arbitrase ad hoc Arbitrase ad hoc disebut juga “arbitrase volunter” atau “arbitrase perorangan”. Pengertian arbitrase ad hoc ialah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu. Kedudukan dan keberadaannya hanya untuk melayani dan memutus kasus perselisihan tertentu. Setelah sengketa selesai diputus, keberadaan dan fungsi arbitrase ad hoc lenyap dan berakhir dengan sendirinya. Pada prinsipnya jenis arbitrase ad hoc tidak terikat dan terkait dengan salah satu badan arbitrase. Oleh karena itu, boleh dikatakan jenis arbitrase ini tidak memiliki aturan tata cara tersendiri baik mengenai pengangkatan para arbiter maupun mengenai tata cara pemeriksaan sengketa. Mengenai cara penunjukan arbiter dalam arbitrase ad hoc dapat ditentukan dan dipilih sendiri berdasar kesepakatan para pihak. 2. Arbitrase Institusional Arbitrase institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang sifatnya permanen. Oleh karena itu, arbitrase institusional disebut juga “permanent arbitral body”. Arbitrase ini disediakan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian. Faktor 938
Upaya Churchill Mining plc Terkait Pencabutan Izin PT. Ridlatama (Yuni Ati Sitanggang)
kesengajaan dan sifat permanen ini merupakan ciri yang membedakan dengan arbitrase ad hoc. Selain itu arbitrase institusional sudah ada sebelum sengketa timbul yang berbeda dengan arbitrase ad hoc, dimana arbitrase ad hoc baru dibentuk setelah perselisihan timbul. Arbitrase institusional berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai. (Harahap : 104-105) 2. Teori Penanaman Modal Asing Yang dimaksud dengan Penanaman Modal Asing (PMA) hanyalah meliputi penanaman modal asing secara langsung yang dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-Undang No.1 Tahun 1967 dan yang digunakan menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam arti pemilik modal secara langsung menanggung resiko dari penanaman modal tersebut. Penanaman Modal Asing (PMA) juga bisa diartikan sebagai kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing. Baik dengan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Penanaman Modal Asing yang merupakan Investasi langsung, merupakan persoalan yang kompleks dan sulit dijelaskan dengan cara yang sederhana, namun Stephen Hymer telah mengembangkan suatu teori yang cukup kuat untuk menjelaskan cara bekerja internasional dari perusahaan–perusahaan nasional. Menurut Hymer, invetasi langsung termasuk dalam teori persaingan tidak sempurna, dan bukan dalam teori persaingan biasa atau teori mengenai pergerakan modal secara internasional. Hymer mengemukakan bahwa inti pokok dari penanaman modal secara langsung adalah meratakan beberapa keuntungan monopolistik yang dinikmati oleh perusahaan induk. Menurut pendekatan ini, pengembalian investasi yang lebih tinggi di luar negeri tidak menjamin kelengkapan penjelasan arus modal, karena pengembalian investasi itu sendiri berarti bahwa modal akan lebih efisien bila dialokasikan melalui pasar modal dan tidak memerlukan pemindahan perusahaan. Jenis-Jenis Penanaman Modal Asing 1. Investasi Portofolio Investasi portofolio merupakan investasi dalam bentuk pembelian aset-aset-aset finansial seperti saham asing, obligasi, commercial papers atau bentuk sekuritas lainnya dengan mengharapkan returns (imbalan) dalam bentuk dividend, bunga, atau peningkatan modal. Investasi ini dapat dilakukan oleh perusahaan, individu, kelompok atau lembaga. 2. Investasi Langsung Investasi langsung (Foreign Direct Investment, FDI), adalah investasi riil dalam bentuk pendirian cabang perusahaan seperti perluasan atau pembelian sebuah perusahaan oleh perusahaan asing atau penduduk asing yang berlokasi di negara lain. FDI ini biasanya dimulai dengan pendirian subsidiary atau pembelian saham mayoritas dari suatu perusahaan di suatu negara.
939
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 4, 2014: 935-948
3. Teori Bargaining Power Dalam negoisasi, Bargaining Power merupakan kapasitas dari satu pihak untuk mendominasi yang lain karena pengaruh kekuasaan, ukuran atau status, ataupun melalui kombinasi taktik persuasi yang berbeda. Bargaining Power antara masing-masing pihak tergantung pada kemampuan satu pihak untuk memiliki kontrol atau memonopoli sesuatu yang dianggap berharga pada pihak lain. Dalam prakteknya proses tawar menawar biasanya mengacu pada situasi di mana dua atau lebih pemain/aktor yang bertikai harus mencapai kesepakatan tentang bagaimana untuk mendistribusikan suatu objek atau jumlah moneter. Vinod Aggarwal berpendapat bahwa pelaku/aktor yang bertikai menanggapi dorongan awal untuk melakukan tawar menawar, dikondisikan oleh "barang" yang terlibat dalam negosiasi yang dihasilkan, situasi individu dari aktor itu sendiri, dan konteks kelembagaan. (Aggarwal, ed. (Ithaca: Cornell University Press, 1998)) Tawar-menawar di antara para pelaku/aktor ditentukan oleh barang, situasi individu, dan juga lembaga yang dapat menghasilkan keuntungan yang mungkin berbeda-beda bagi para pelaku/aktor yang terlibat dalam negosiasi awal. Perubahan interaksi juga dapat mempengaruhi aktor negara dan masyarakat. Perundingan antara negara-negara umumnya dipicu oleh beberapa jenis dorongan yang datang melalui perubahan signifikan dalam pola interaksi yang ada sebagai akibat dari perubahan pola tata kelola atau perubahan ekonomi.
Metode Penelitian Penelitian yang digunakan adalah Deskriptif, yaitu memberikan gambaran melalui data dan fakta-fakta yang ada tentang upaya Churchill Mining plc dalam penyelesaian sengketa dengan Pemerintah Kutai Timur terkait pencabutan izin PT. Ridlatama. Serta teknik analisa data yang digunakan penulis adalah teknik analisis kualitatif.
Hasil Penelitian Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) menjadi salah satu sumber pembiayaan yang penting bagi wilayah yang sedang berkembang selain itu juga mampu memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pembangunan. Berbagai kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia guna menjadikan masyarakat Indonesia sejahtera dengan perekonomian yang ada saat ini, salah satunya yaitu dengan investasi (penanaman modal) baik itu yang dilakukan oleh Investor Domestik maupun Investor Asing. Penanaman modal asing sebagai suatu usaha yang dilakukan oleh pihak asing dalam rangka menanamkan modalnya disuatu negara dengan tujuan untuk mendapatkan laba melalui penciptaan suatu produksi atau jasa dengan jalan membangun, membeli total, atau mengakuisisi perusahaan. Penanaman modal asing di Indonesia dilakukan oleh pihak asing/perorangan atau badan hukum ke 940
Upaya Churchill Mining plc Terkait Pencabutan Izin PT. Ridlatama (Yuni Ati Sitanggang)
dalam suatu perusahaan yang seratus persen diusahakan oleh pihak asing atau dengan menggabungkan modal asing tersebut dengan modal nasional. Secara prosedural, tidak ada perbedaan yang mendasar dalam pengajuan permohonan PMA atas pendirian perusahaan baru maupun penyertaan atas perusahaan PMDN yang telah ada sebelumnya, karena dengan beralihnya suatu PMDN menjadi PMA, maka PMDN tersebut harus meminta persetujuanpersetujuan layaknya mendirikan perusahaan baru. Yang berbeda hanyalah terhadap perusahaan eksisting, tidak perlu melakukan pendaftaran perusahaan (Tanda Daftar Perusahaan (TDP) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)), melainkan hanya memerlukan persetujuan Menteri dalam rangka terjadinya perubahan struktur modal. Dalam kegiatan penanaman modal khususnya dalam rangka PMA, calon penanam modal wajib mengajukan permohonan penanaman modal kepada Meninves/kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal; atau Kepala Perwakilan RI setempat; atau Ketua Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah setempat. Untuk kewenangan pemberian persetujuan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970, dilimpahkan oleh Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal kepada Menteri Luar Negeri dan Gubernur Kepala Daerah Provinsi. Calon penanam modal yang akan mengadakan usaha dalam rangka penanaman Modal Asing harus terlebih dahulu mempelajari daftar Bidang Usaha yang tertutup bagi PMA. Setelah mengadakan penelitian yang cukup mengenai bidang usaha yang terbuka dan ketentuan-ketentuan lain yang bersangkutan, maka calon penanam modal bisa mengajukan permohonan kepada Menteri Negara Investasi/Kepala BKPM atau Gubernur Kepala Daerah Provinsi, dalam hal ini ketua BKPMD, atau Kepala Perwakilan RI dengan mempergunakan Tata Cara Permohonan yang ditetapkan oleh Menteri Negara Investasi/Kepala BKPM. (Widjaya : 36-38) Dalam prakteknya Penanaman modal yang dilakukan pihak Churchill Mining Plc jelas merupakan jenis penanaman modal asing. Tetapi kegiatan penanaman modal tersebut melanggar dan tidak sesuai dengan peraturan pengajuan permohonan PMA yang berlaku di Indonesia. Perusahaan Churchill Mining Plc mengadakan usaha dalam rangka penanaman Modal Asing tanpa adanya izin dari Menteri Negara Investasi/Kepala BKPM atau Gubernur Kepala Daerah Provinsi, dalam hal ini ketua BKPMD. Selain menanamkan modal, Churchill juga melakukan kerjasama dengan sebuah perusahaan nasional, PT. Ridlatama. Hubungan kerjasama antara Churchill dan PT. Ridlatama berawal di tahun 2006, dimana kelompok Ridlatama memperkenalkan proyek EKCP (East Kutai Coal Project) kepada Churchill Mining plc dan Planet Mining pty Ltd (perusahaan asal Australia). Mengenai kelompok Ridlatama sendiri merupakan perusahaan nasional yang bergerak di bidang pertambangan. Keberadaan Ridlatama di daerah Kutai Timur berawal setelah perusahaan tersebut mengambil alih lahan tambang 941
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 4, 2014: 935-948
yang sebelumnya dimiliki oleh group Nusantara milik Prabowo yang telah berakhir masa kontraknya pada 2006-2007. Mengetahui adanya kandungan batu bara yang cukup besar dan penting di wilayah Kutai Timur, Churchill Mining melalui dua kemudian tertarik untuk menanamkan modalnya dengan mengakuisisi 75% saham milik PT. Ridlatama dalam pengembangan proyek East Kutai Coal Project (EKCP). Perusahaan Churchill mengaku telah siap untuk mengembangkan proyek EKCP, hal ini ditandai dengan kesiapan pendanaan dan pembangunan konstruksi awal. Kemudian muncul permasalahan yang memicu terjadinya sengketa antara Pemda Kutai Timur dengan Churchill Mining plc. Perusahaan menghadapi masalah terkait adanya pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang di lakukan oleh pihak pemkab Kutai Timur atas PT. Ridlatama Group pada tanggal 4 Mei 2010. Alasan pencabutan izin tersebut antara lain terlihat dari skema berikut : 1.
2.
3.
4.
Adanya temuan dari audit khusus yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2006-2008 ada indikasi bahwa KP atau saat ini disebut IUP yang dimiliki perusahaan Ridlatama Group palsu; Kuasa Pertambangan (KP) atau saat ini disebut Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dipegang oleh PT. Ridlatama Group tidak terdaftar di Dinas Pertambangan dan Planologi Kabupaten Kutai Timur; Empat perusahaan yang tergabung dalam Ridlatama Group melaksanakan kegiatan pertambangan di atas kawasan Hutan produksi tanpa ada Izin pinjam pakai dari Kementrian Kehutanan. Perusahaan Ridlatama telah mengalihkan saham kepada Investor asing tanpa Izin Pemerintah Indonesia, dan tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan pemerintah Indonesia terkait Penanaman Modal Asing. (m.detik.com diakses pada tanggal 1 Maret 2014)
Permasalahan ini yang kemudian menjadi penyebab terjadinya sengketa antara pihak perusahaan Churchill Mining plc dengan pemerintah daerah Kutai Timur. Churchill merasa izin anak perusahaannya dicabut sepihak dan mengalami kerugian atas hal tersebut. Sesuai dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dimana mengenai Pemberian Izin Usaha Pertambangan Batuan berdasarkan PP No. 23 Tahun 2010 dilakukan dengan cara permohonan wilayah. Yang dimaksud Permohonan Wilayah adalah setiap pihak badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang ingin memiliki IUP harus menyampaikan permohonan kepada Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Dan untuk Permohonan Wilayah yang berada di dalam 1 wilayah kabupaten/kota atau wilayah laut sampai dengan 4 mil, maka yang berwenang memberi Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah Bupati/Walikota. Terkait adanya peraturan tersebut maka sebelum membuka proyek di wilayah Kabupaten Kutai Timur perusahaan Ridlatama juga mengajukan permohonan izin 942
Upaya Churchill Mining plc Terkait Pencabutan Izin PT. Ridlatama (Yuni Ati Sitanggang)
kepada pemerintah kabupaten Kutai Timur melalui Bupati. Karena bidang usaha yang dikelola oleh Ridlatama disini adalah usaha pertambangan batubara, maka surat izin yang diperlukan adalah izin Kuasa Pertambangan (KP). Setelah permohonan diajukan dan telah memenuhi persyaratan yang berlaku di wilayah kabupaten Kutai Timur, maka kewajiban pemerintah daerah dalam hal ini Bupati Kutai Timur untuk menerbitkan Surat Keputusan (SK) terkait perizinan usaha tersebut kepada perusahaan Ridlatama. Bupati Kutai Timur kemudian menerbitkan SK terkait Izin Usaha Pertambangan (IUP) atas perusahaan Ridlatama Group dengan NOMOR 188.4.45/118/HK/III/2009. Dengan adanya Surat keputusan (SK) tersebut maka PT. Ridlatama telah resmi memiliki Izin atas kawasan pertambangan yang terletak di Kecamatan Busang dan Kecamatan Telen, Kabupaten Kutai Timur. Sementara itu, kontrak kerja Churchill (melalui anak perusahaannya yaitu ICD dan TCUP) dengan perusahaan - perusahaan Ridlatama didasarkan pada Perjanjian Kerjasama dan Investasi tahun 2007, dimana di dalam perjanjian itu Churchill setuju untuk mendanai dan mengelola pekerjaan eksplorasi dan studi kelayakan dengan tujuan mendapatkan 75% manfaat dan pengendalian pengelolaan Proyek Batubara Kutai Timur. Sehingga terjalin kerjasama antar keduanya yaitu dengan adanya akuisisi saham sebesar 75% oleh pihak Churchill atas perusahaan Ridlatama. a. Upaya Churchill Mining plc di Pengadilan Indonesia Sebelum mengajukan gugatan ke International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID), Churchill Mining plc melalui anak perusahaannya PT. Investama Resources yang merupakan salah satu perusahaan di bawah Ridlatama group mengajukan gugatan terhadap pemerintah kabupaten Kutai Timur melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda tepatnya pada tanggal 27 Agustus 2010. Adapun dasar gugatan tersebut yaitu mengenai keputusan Bupati Kutai Timur terkait pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksploitasi kepada PT. Investama Resources seluas 10.000 Ha. Setelah adanya gugatan tersebut, pada tanggal 3 Maret 2011 Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda memutuskan bahwa bupati Kutai Timur tidak bertindak menyalahi prosedur terkait pencabutan Izin yang telah dikeluarkan sebelumnya pada tanggal 4 Mei 2010 . PTUN Samarinda juga menilai tindakan Bupati Kutim dalam pencabutan IUP adalah benar dan tidak melanggar peraturan administrasi manapun. Churchill tentu tidak terima dengan keputusan pengadilan Tata Usaha Negeri Samarinda tersebut, sehingga pada tanggal 9 Maret 2011 perusahaan-perusahaan Ridlatama kemudian mulai mengajukan permohonan banding atas keputusan PTUN Samarinda kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di Jakarta, dan diperoleh hasilnya pada tanggal 8 Agustus 2011, dimana Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara justru menguatkan keputusan PTUN Samarinda. Meskipun Pengadilan Tinggi TUN Jakarta juga mengeluarkan keputusan yang mengecewakan, upaya tetap terus dilakukan pihak Churchill untuk menemukan penyelesaian atas permasalahan sengketa tersebut. Dan pada tanggal 26 943
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 4, 2014: 935-948
September 2011 pihak perusahaan Churchill melalui PT. Ridlatama memutuskan untuk mangajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia, tetapi pihak Churchill kembali mengalami kegagalan karena pada Januari 2012 Mahkamah Agung memutuskan menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak Churchill Mining plc tersebut. (www.italaw.com diakses pada tanggal 5 Maret 2014) Setelah gagal mengupayakan penyelesaian di pengadilan Indonesia, pada April 2012 perusahaan Churchill mencoba mengirimkan surat kepada Presiden Republik Indonesia yang berisi tentang permohonan perlindungan serta kepastian hukum terkait masalah perizinan yang diterbitkan dan kemudian dicabut secara sepihak oleh Bupati Kutai Timur. Dalam surat tersebut Churchill menjelaskan bagaimana kronologi awal terjadinya sengketa dengan pemda Kutai Timur. Dan memohon bantuan kepada Presiden Indonesia untuk membantu mencari penyelesaian niaga atas sengketa tersebut secara musyawarah mufakat. Akan tetapi surat tersebut juga tetap tidak mendapat tanggapan dari Presiden RI. Karena upaya hukum yang dilakukan Churchill di Indonesia selalu kalah dan permohonan perlindungan hukum yang disampaikan melalui surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak juga mendapat tanggapan, akhirnya Churchill memutuskan untuk membawa perkara ini ke Pengadilan Arbitrase Internasional dengan mengajukan gugatan ke International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID). b. Upaya Churchill Mining plc di Lembaga Arbitrase Internasional Upaya penyelesaian yang dilakukan Churchill Mining plc di luar peradilan Indonesia yaitu dengan mengajukan tuntutan di Lembaga Arbitrase Internasional atas perkara pencabutan Izin Usaha yang terjadi pada anak perusahaan mereka (PT. Ridlatama) yang mana telah menimbulkan sengketa dan melibatkan pemerintah Indonesia. Dimana pada tanggal 22 Mei 2012 Churchill Mining plc mengajukan gugatan ke International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID). Gugatan resmi terdaftar di badan Arbitrase Internasional pada akhir Juni 2012. Setelah gugatan diterima secara resmi oleh ICSID, pada tanggal 3 Oktober 2012 proses pengadilan mulai memasuki tahap penetapan Tribunal yang mana diketuai oleh Gabrielle Kaufman Kohler dari Swiss. Untuk arbitratornya sendiri, Churchill Mining plc sebagai pihak penggugat menunjuk Albert Jan Van Den Berg dari Belanda. Sedangkan pihak tergugat, dalam hal ini pemerintah Indonesia menunjuk Michael Hwang dari Singapura. Setelah penetapan Tribunal dilakukan pemerintah Indonesia (tergugat) selanjutnya mengajukan petisi kepada pihak Tribunal untuk menjadi pihak yang berperkara dalam arbitrase. Kemudian tanggal 22 November 2012, tergugat mengobservasi kembali petisi yang telah diserahkan sebelumnya. Selain itu pihak pemerintah Indonesia mengajukan permohonan kepada Tribunal untuk memutuskan hasil dari dokumen dan mengajukan permohonan untuk langkah-langkah sementara. Selanjutnya pada tanggal 26 November 2012 pihak Churchill (penggugat) mengajukan pandangan atau peninjauan dalam petisi yang telah diajukan tergugat pada 20 November 2012, dan mengajukan pandangan terhadap permohonan tergugat agar pengadilan memutuskan hasil dokumen.
944
Upaya Churchill Mining plc Terkait Pencabutan Izin PT. Ridlatama (Yuni Ati Sitanggang)
Kemudian pada tanggal 27 November 2012 Pengadilan Arbitrase menyelenggarakan sidang pertama via video conference. Pada 6 Desember 2012, Perintah Acara Persoalan Pengadilan No. 1 mengenai pelaksanaannya dan hasil dari dokumen. Pada 17 Desember 2012, Churchill kembali mengajukan pandangan terhadap permohonan tergugat agar pengadilan memutuskan hasil dari dokumen, dan mengajukan pandangan terhadap permohonan tergugat untuk tindakan/langkah-langkah sementara. Di bulan Januari 2013, dari pihak pemerintah Indonesia mengajukan respon atas pandangan Churchill pada 17 Desember 2012. Setelah itu Churchill mengajukan pandangan lebih lanjut dalam permohonan untuk tindakan sementara. tanggal 5 Februari 2013, pengadilan arbitrase mengeluarkan Perintah Acara Persoalan Pengadilan No. 2 mengenai petisi (surat permohonan) dari pemerintah Indonesia yang diajukan pada 20 November 2012. Pengadilan kembali menyelanggarakan sidang bersama di ICSID pada tanggal 1 maret 2013 dengan perkara Nomor ARB/12/14 dan ICSID dengan perkara Nomor ARB/12/40 melalui video conference. Pada 4 maret 2013, keluar surat Perintah Acara Persoalan Pengadilan Nomor 3 mengenai tindakan sementara. Beberapa hari kemudian Churchill selaku penggugat mengajukan peringatan dalam yurisdiksi (hak hukum) dan kepatutan/penilaian kebaikan. Setelah itu pada 14 Maret 2013, pemerintah Indonesia selaku tergugat mengajukan sebuah permohonan kepada pengadilan untuk memutuskan hasil dari dokumen. Setelah itu keluar surat Perintah Acara Persoalan Pengadilan Nomor 4 mengenai pelaksanaan sidang bersama yang diselenggarakan sebelumnya di ICSID dan Perintah Acara Persoalan Pengadilan Nomor 5 mengenai hasil dokumen. Di bulan berikutnya yaitu April 2013, pemerintah Indonesia mengajukan sebuah peringatan tandingan/banding dalam yurisdiksi. Atas hal tersebut pihak Churchill mengajukan jawaban/balasan dalam yurisdiksi. Dan pada tanggal 8 Mei 2013, proses arbitrase masuk pada tahap Pengadilan menyelenggarakan rapat prehearing organisasi dengan partai-partai/kelompok melalui telephone-conference. Perintah Acara Persoalan Pengadilan Nomor 6 mengenai hal yang mengatur dengar-pendapat dalam yurisdiksi. Setelah melewati proses panjang dimana masing-masing pihak yang bersengketa mengajukan bukti-bukti yang mereka miliki, serta sidang yang dilakukan melalui video conference akhirnya pada 13-14 Mei 2013, pelaksanaan Sidang perdana yang merupakan sidang tatap muka pertama antara kedua belah pihak, pemerintah Indonesia dengan Churchill Mining plc. Sidang dilaksanakan di Stamford Raffles Room, Maxwell Chamber 3, Temasek Avenue, Centennial Tower, Singapura. Dengan Agenda penyampaian keterangan dari ahli yang diajukan pihak penggugat, Churchill Mining plc, yaitu Prof. Nono Anwar Makarim, pakar hukum bisnis dari Indonesia. (icsid.worldbank.org diakses pada tanggal 5 Maret 2014)
945
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 4, 2014: 935-948
Selanjutnya setelah tahapan-tahapan awal persidangan dilaksanakan, pada tanggal 24 Februari 2014 International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID) mengeluarkan putusan sela tentang yurisdiksi yang menyatakan lembaga ini memiliki kewenangan untuk memeriksa gugatan Churchill Mining plc dan menolak argumen Indonesia terkait pencabutan Izin tambang perusahaan Churchill. Dengan demikian proses arbitrase akan berlanjut pada agenda pemeriksaan Substansi gugatan dan pembuktian. Selama ini Tribunal ICSID masih sebatas memeriksa aspek formal dan belum masuk dalam substansi gugatan. Dengan keluarnya putusan tersebut, maka gugatan pihak Churchill atas Indonesia diterima. Diterimanya gugatan Churchill oleh ICSID merupakan awal dari proses penyelesaian sengketa antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan asing asal Inggris Churchill Mining plc di lembaga arbitrase. Proses arbitrase sendiri membutuhkan waktu yang cukup lama hingga sampai pada putusan akhir. Dan dari proses arbitrase yang baru saja berjalan diatas belum dapat diketahui hasil akhirnya. Lebih jelasnya hasil dari upaya yang telah dilakukan Churchill Mining plc dalam penyelesaian sengketa dengan Pemda Kutai Timur terkait pencabutan izin PT. Ridlatama. Apakah pihak pemerintah Indonesia atau pihak perusahaan Churchill yang nantinya akan menang dalam sengketa tersebut. Oleh karena itu penulis mencoba menganalisis dengan melihat bargaining power yang dimiliki oleh masing-masing pihak yang bertikai, yaitu Pemerintah Indonesia, PT. Ridlatama, dan Churchill Mining plc. Ketiga aktor yang bertikai dalam sengketa ini mempunyai kekuatan serta kelemahan yang dapat menentukan posisi tawar-menawar mereka antara lain : Kekuatan Pemerintah Indonesia adanya bukti-bukti hukum yang kuat mengenai pelanggaran yang dilakukan PT. Ridlatama, pengadilan umum hingga Mahkamah Agung di Indonesia mendukung serta membenarkan tindakan bupati Kutai Timur untuk mencabut izin perusahaan Ridlatama, tidak ada perjanjian kerjasama dengan Churchill Mining plc, memiliki sumber daya batubara yang besar dan merupakan tujuan utama Churchill berinvestasi di Indonesia. Sementara kekuatan PT. Ridlatama hanya pada SK (surat keputusan) yang diterbitkan oleh bupati Kutai Timur. Dan kekuatan Churchill Mining plc antara lain investasi dengan mengakuisisi saham PT. Ridlatama, tim pengacara yang dipilih cukup berkompeten dalam menangani kasus mereka, dan terakhir Bilateral Investment Treaty (BIT) Indonesia dan Inggris. Kemudian kelemahan dari ketiga aktor tersebut diatas antara lain : Kelemahan Pemerintah Indonesia hanya pada Tim pengacara yang dipilih untuk mewakili Indonesia di lembaga arbitrase kurang berkompeten. Kelemahan di pihak Ridlatama yaitu pengalihan saham kepada investor asing secara illegal dan tidak sesuai dengan prosedur Penanaman Modal Asing (PMA), selain itu KP (kuasa pertambangan) atau IUP (izin usaha pertambangan) yang dimiliki Ridlatama terindikasi palsu.
946
Upaya Churchill Mining plc Terkait Pencabutan Izin PT. Ridlatama (Yuni Ati Sitanggang)
Sementara kelemahan dari pihak Churchill antara lain akuisisi saham Ridlatama secara illegal, melanggar prosedur penanaman modal asing yang berlaku di Indonesia, tidak memiliki perjanjian langsung dengan pihak pemerintah kabupaten Kutai Timur baik secara lisan maupun tertulis, penanaman modal tidak didaftarkan di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan terakhir tidak ada izin prinsip perubahan penanaman modal dimana apabila perusahaan asing mengambil alih saham perusahaan nasional dengan jumlah melebihi 50% maka perusahaan nasional tersebut harus berubah status menjadi perusahaan penanaman modal asing (PMA). Dari analisa ketiga aktor yang bertikai diatas, yaitu pemerintah kabupaten Kutai Timur yang kemudian melibatkan pemerintah Indonesia, perusahaan Ridlatama Group dan Perusahaan Churchill Mining plc dimenangkan oleh pihak pemda Kutai Timur. Karena dilihat dari bargaining power yang dimiliki ketiganya, posisi pemerintah Indonesia lebih kuat dibandingkan dengan posisi Ridlatama dan Churchill Mining plc. Kesimpulan Terkait dengan adanya sengketa yang terjadi antara Churchill Mining plc dengan pemerintah daerah Kutai Timur mengenai Izin Usaha Pertambangan (IUP), perusahaan Churchill melakukan upaya dengan cara mengajukan gugatan di pengadilan tingkat nasional. Mulai dari Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda, kemudian Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di Jakarta tetapi hasilnya gugatan tersebut ditolak.Mahkamah Agung juga menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak Churchill Mining plc. Karena proses melalui pengadilan umum di Indonesia tidak memberikan hasil Churchill Mining plc mengupayakan penyelesaian sengketa dengan mengajukan gugatan ke tingkat Arbitrase Internasional melalui lembaga International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID) di Washington DC. Keputusan yang dikeluarkan ICSID memberikan titik terang bagi pihak Churchill, dimana keputusan tersebut menolak argumen Indonesia mengenai pencabutan Izin tambang perusahaan asal Inggris tersebut. Dengan demikian gugatan Churchill atas pemerintah Indonesia diterima dan akan berlanjut pada tahap pemeriksaan substansi gugatan dan pembuktian. Akan tetapi, dilihat dari bargaining position yang dimiliki Churchill dan Pemerintah Indonesia, maka diperoleh prediksi sementara bahwa sengketa tersebut dapat dimenangkan oleh pihak Pemerintah Indonesia.
Daftar Pustaka 1. Buku Adolf, Huala,2002. Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Hal 10-11 Harahap, M. Yahya, 2003. Arbitrase, edisi kedua, Jakarta: Sinar Grafika. Hal 104-105 947
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 4, 2014: 935-948
Widjaya,I.G Rai, 2000 Penanaman Modal : Pedoman Prosedur Mendirikan dan Menjalankan Perusahaan Dalam Rangka PMA dan PMDN, cetakan pertama Jakarta, PT. Pradnya Paramita. Hal 36-38 Aggarwal, Vinod K. A revised version appears as Chapter 6 in Institutional Designs for A Complex World: Bargaining, Linkages, and Nesting, , ed. (Ithaca: Cornell University Press, 1998) 2. Media massa cetak dan elektronik / internet Ini Alasan Bupati Kutai Timur cabut Izin Tambang Churchill plc, dapat diakses melalui http://m.detik.com/finance/read/, diakses 1 maret 2014 Kronologi perkara berdasarkan publikasi ICSID di website, dapat di akses melalui http://icsid.worldbank.org, diakses 5 maret 2014 Permohonan Perlindungan Hukum, dapat di akses melalui http://www.italaw.com/case-documents/ita1024.pdf, diakses 5 maret 2014 Potensi Pertambangan Kalimantan Timur, dapat diakses melalui www.kaltimprov.go.id, pada tanggal 27 februari 2014 Profil Kalimantan Timur, dapat diakses melalui http://id.m.wikipwdiw.org/wiki/Kalimantan_Timur, pada tanggal 27 februari 2014
948