I.PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Gelatin digunakan luas di berbagai bidang seperti dalam industri pangan untuk diaplikasikan dalam produk jelly, pasta, mayonnaise, es krim atau marshmallow. Gelatin dalam industri pangan bersifat sebagai pembentuk gel (gelling), pengental (thickening), penstabil (stabilizing), pengemulsi (emulsifier), atau pembentuk buih (foaming). Dalam industri farmasi, gelatin diaplikasikan dalam produk cangkang kapsul, dan dalam industri fotografi gelatin diaplikasikan dalam produk film atau tinta inkjet. Gelatin diperoleh melalui pemanasan kolagen dalam air yang akan mengubah kolagen menjadi gelatin terlarut, membentuk larutan koloidal dan menjadi gel pada konsentrasi dan suhu tertentu. Kolodziejska et al. (2008) menyampaikan bahwa laju konversi kolagen menjadi gelatin tergantung dari parameter dalam proses yaitu suhu, waktu, dan pH serta sifat bahan baku dan perlakuan pendahuluan. Suhu pemanasan pada proses ekstraksi merupakan hal yang harus dikendalikan untuk mendapatkan rendemen gelatin dengan kualitas yang lebih baik (Kasankala et al., 2007). Karena faktor suhu adalah faktor yang utama dalam menentukan sifat gelatin yang dihasilkan, maka suhu yang optimal pada proses ekstraksi gelatin perlu diteliti lebih lanjut.
1
Umumnya gelatin dibuat dari tulang dan kulit hewan yang hidup di darat, seperti sapi dan babi. Kemunculan penyakit Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) dan Foot-and-Mouth Disease (FMD) menimbulkan perhatian khusus karena dapat ditularkan ke manusia melalui gelatin yang berasal dari sapi atau babi. Selain itu adanya larangan mengkonsumsi babi dan sapi pada agama tertentu juga menjadi alasan penting untuk mencari sumber gelatin alternatif (Mohtar et al., 2010). Indonesia adalah negara kepulauan yang 2/3 wilayahnya terdiri dari lautan serta memiliki garis pantai yang panjang. Dengan luasnya wilayah perairan Indonesia maka pengembangan potensi kelautan dan perikanan menjadi salah satu sektor unggulan pemerintah (Anonim, 2004). Ikan kurisi (Nemipterus spp) di Indonesia tersebar di laut Jawa serta samudera India, dengan probabilitas kehadiran tertinggi di sepanjang pantai utara pulau Jawa (Carpenter, 2013) dan merupakan ikan dengan nilai ekonomis penting karena dimanfaatkan masyarakat dalam perdagangan sehari-hari, baik dalam bentuk segar maupun olahan (Sjafei dan Robiyani, 2001). Dalam bentuk olahan, ikan kurisi umumnya dibuat menjadi surimi, fillet maupun bakso. Menurut data statistik Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (2013), nilai produksi perikanan tangkap di laut untuk ikan kurisi pada tahun 2010 meningkat lebih dari 50% dibandingkan dengan tahun 2008. Meningkatnya produksi ikan
2
kurisi tentunya akan diiringi pula peningkatan produk samping ikan seperti kulit dan sisik ikan. Produk samping sektor perikanan selain dihasilkan oleh Tempat Pelelangan Ikan (TPI) juga dihasilkan oleh industri-indusrti kecil yang bergerak di bidang pengolahan produk perikanan. Saat ini belum ada upaya untuk mengolah lebih lanjut produk samping perikanan yang berupa kulit dan sisik ikan (Hartati dan Kurniasari, 2010), padahal 30% produk samping industri pengolahan ikan berupa kulit dan tulang ikan (Gomez-Guillen et al., 2002). Saat ini kulit ikan lebih banyak dimanfaatkan untuk pakan ternak dan sebagian kecil untuk olahan kerupuk. Sementara kulit ikan bertulang rawan, beberapa ikan demersal serta ikan air tawar dapat dimanfaatkan untuk pembuatan gelatin karena memiliki karakteristik bagian derma yang mengandung tenunan pengikat kolagen, elastin, dan reticular (Anonim, 2010). Penelitian mengenai gelatin yang diekstrak dari kulit ikan telah banyak dilakukan pada beberapa jenis ikan laut seperti cucut, tuna, dan kakap serta ikan tawar seperti patin dan nila. Penelitian di luar Indonesia yang sudah pernah dilakukan antara lain pada jenis ikan laut seperti cod, haddock, pollock, sin croaker, nile perch, snapper, hake, salmon, tuna, mackerel, shortfin scad, megrim, flounder, dover sole, dan shark dan jenis ikan tawar seperti black dan red tilapia (Rahmawati, 2008). Penelitian mengenai gelatin kulit ikan kurisi sejauh ini belum pernah dilaporkan.
3
Es krim merupakan salah satu produk olahan susu yang paling banyak dikonsumsi di dunia, karena disukai oleh hampir semua umur. Dalam pembuatan es krim, gelatin digunakan sebagai pengemulsi dan penstabil. Penstabil merupakan bahan pendukung dalam meningkatkan mutu es krim karena penstabil berfungsi mencegah terjadinya pemisahan konstituen lemak dengan konstituen lain sehingga dapat mencegah timbulnya kristal es yang besar (Ekles et al., 1980). Dengan melimpahnya produk samping hasil pengolahan ikan kurisi dan potensinya sebagai bahan baku gelatin yang belum pernah diteliti, maka perlu dilakukan penelitian tentang suhu optimal yang digunakan dalam ekstraksi gelatin kulit ikan kurisi. Lebih lanjut gelatin kulit ikan kurisi terpilih akan diaplikasikan sebagai pengemulsi dan penstabil ke dalam produk pangan yaitu es krim.
1.2.
Tujuan 1.2.1. Mengetahui suhu optimal yang digunakan dalam ekstraksi gelatin kulit ikan kurisi. 1.2.2. Mengetahui karakteristik dan sifat fungsional gelatin kulit ikan kurisi dibandingkan dengan gelatin sapi komersial.
4
1.2.3. Mengaplikasikan gelatin kulit ikan kurisi pada produk pangan, yaitu es krim.
1.3.
Manfaat 1.3.1. Pemanfaatan kulit ikan kurisi sebagai bahan baku pembuatan gelatin merupakan solusi dalam penanganan produk samping industri pengolahan ikan. 1.3.2. Memberikan gambaran karakterisitik gelatin kulit ikan kurisi dibandingkan dengan gelatin sapi komersial. 1.3.3. Gelatin kulit ikan kurisi diharapkan dapat menjadi salah satu diversifikasi produk gelatin, yang selama ini berasal dari sapi dan babi.
5