1 Redaksi Penanggung Jawab: Dyah NK. Makhijani Pemimpin Redaksi: Difi A. Johansyah Redaksi Pelaksana: Harymurthy Gunawan, Rizana Noor, Dedy Irianto, Risanthy Uli N Alamat Redaksi Humas Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin 2 - Jakarta Telp. : 021 - 3817317, 3817187 email :
[email protected], website : www.bi.go.id Redaksi menerima kiriman naskah dan mengedit naskah sebelum dipublikasikan. Foto: “Senja di Pantai Losari Makassar”
MEJA REDAKSI Pembaca yang budiman, Gerai Info edisi Juni mengajak Anda meneropong sebuah isu global, yakni Inklusi Keuangan (financial inclusion) . Mungkin nama inklusi keuangan masih janggal di telinga Kita. Ya, hal ini bisa dimengerti karena gelora membahas soal inklusi keuangan di level internasional pun semakin membara baru belakangan ini. Seperti biasa, GI akan mengajak Anda untuk berkenalan terlebih dahulu dengan apa yang dimaksud dengan inklusi keuangan. Selanjutnya Anda akan diajak melihat isu inklusi keuangan dalam perspektif global dan upaya yang dilakukan Bank Indonesia agar semua anggota masyarakat di Indonesia bisa terjangkau layanan jasa keuangan. Pasalnya, dari survei Bank Dunia, ada 40 juta penduduk Indonesia yang belum tersentuh layanan jasa keuangan sama sekali. Melalui inklusi keuangan inilah coba diretas sedikit demi sedikit agar semua bisa mencicipi layanan jasa keuangan. Salam, Difi A. Johansyah Kepala Biro Humas Bank Indonesia
Edisi XV | Juni 2011 | Tahun 2 | Newsletter Bank Indonesia Inklusi Keuangan:
Memperluas Akses Keuangan
Untuk Bikin Rakyat Sejahtera T ahukah Anda bahwa hampir separuh dari 234,2 juta penduduk di Indonesia tidak memiliki akses atas layanan lembaga keuangan formal? Dari jumlah itu, sekitar 35 juta orang hanya terlayani lembaga keuangan non-formal seperti koperasi simpan-pinjam. Tapi, ada sekitar 40 juta orang yang sama sekali tidak tersentuh layanan jasa keuangan dalam bentuk apapun. Setidaknya itulah gambaran memprihatinkan dari hasil survei Bank Dunia pada tahun 2010. Masih kata Bank Dunia, setidaknya ada empat layanan jasa keuangan yang dianggap vital bagi kehidupan masyarakat, yakni penyimpanan dana, layanan kredit, layanan sistem pembayaran dan asuransi termasuk dana pensiun. Keempat aspek dalam lingkup pengelolaan sistem keuangan ini menjadi prasyarat mendasar untuk menggapai kehidupan masyarakat yang lebih baik. Lho, bagaimana mungkin begitu banyak orang di Indonesia tak terjangkau layanan jasa keuangan? Setidaknya, ada dua penyebab ditengok dari sisi penawaran dan permintaan. Sisi penawaran berbicara soal kendala seperti adanya ketidakseimbangan informasi (asymmetric information) dimana bank tidak memiliki info terkait profil risiko konsumen. Bank enggan mengurusi konsumen kecil karena tidak sesuai antara biaya dengan keuntungan yang diperoleh. Sedangkan dari sisi permintaan, persoalan yang muncul bisa karena faktor pemahaman konsumen terhadap kecanggihan produk perbankan dan keuangan. Atau, bisa juga karena hambatan legal seperti syarat agunan yang tak memadai untuk mendapatkan kredit. Kenyataan bahwa masih banyaknya anggota masyarakat yang belum terjangkau layanan jasa keuangan memperlihatkan bahwa sistem keuangan belum berfungsi dengan optimal. Padahal, suatu sistem keuangan yang ideal seharusnya mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Bila sebagian besar masyarakat sudah dapat memanfaatkan fasilitas jasa keuangan, dampak terhadap perekonomian pun akan sangat besar. Banyak fakta membuktikan bahwa ada hubungan sebab-akibat yang kuat antara penguatan sistem keuangan dengan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran suatu negara.
Kok bisa begitu? Begini. Secara umum kebijakan yang paling efisien untuk mengatasi kemiskinan adalah melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Percepatan pertumbuhan ekonomi berperan sebagai syarat dasar yang paling strategis bagi peningkatan kualitas kehidupan rakyat. Elemen penting dalam mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi adalah mengoptimalkan kontribusi sektor keuangan dengan membuka akses layanan jasa keuangan seluas mungkin kepada masyarakat dan pelaku usaha seperti UMKM. Artinya, harus ada upaya untuk mendorong pemanfaatan sektor keuangan dalam perekonomian masyarakat. Inilah esensi utama yang namanya inklusi keuangan (financial inclusion). Inklusi keuangan adalah kegiatan menyeluruh yang bertujuan meniadakan segala bentuk hambatan baik yang bersifat harga maupun nonharga terhadap akses masyarakat dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan. Yang dimaksud hambatan harga adalah prasyarat seperti mesti menyetor dana dengan besaran tertentu ketika membuka rekening di bank, misalnya. Padahal tidak semua lapisan masyarakat bisa memenuhi syarat minimal itu. Sedangkan hambatan nonharga biasanya berupa persyaratan administratif seabrek yang terkadang dianggap memberatkan konsumen. Sekarang tinggal bagaimana agar program inklusi keuangan yang penting itu menjadi agenda dan komitmen nasional. Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) adalah figur yang berkepentingan agar inklusi keuangan ini berjalan sukses. Persoalannya, tinggal bagaimana keduanya membangun koordinasi. Dari sinilah meluncur pemikiran untuk membuat sebuah “Strategi Nasional Inklusi Keuangan” (SNIK) dengan 5 (lima) pilar yang menjadi payung semua upaya guna menggenjot akses layanan keuangan baik yang digarap Pemerintah dan BI (Lihat: Rubrik IKHTISAR). Nah, di bawah payung SNIK inilah diharapkan akan berlangsung kolaborasi cantik antara Pemerintah dan BI yang bermuara pada perekonomian yang semakin bertumbuh dan terkikisnya angka kemiskinan serta kehidupan rakyat yang kian sejahtera. Newsletter Bank Indonesia | Edisi 15 | Juni 2011 | Tahun 2
2
IKHTISAR
Seabrek Cara Genjot Inklusi Keuangan P
emerintah dan Bank Indonesia telah menyiapkan seabrek kegiatan dibawah payung lima pilar “Strategi Nasional Inklusi Keuangan” agar akses layanan jasa keuangan semakin terbuka luas bagi seluruh lapisan masyarakat. Pilar pertama, Edukasi Keuangan. Pilar ini berbicara upaya meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap produk dan jasa keuangan. Setidaknya ada tiga kegiatan edukasi seperti pengenalan produk keuangan (simpanan, kredit, sistem pembayaran dan asuransi/dana pensiun), aspek perlindungan nasabah dan pengelolaan keuangan. Misalnya, program “Ayo Ke Bank”dan website Informasi dan Edukasi Konsumen. Pilar kedua, Eligibilitas Keuangan. Salah satu kendala masyarakat miskin dan UMKM bersentuhan dengan jasa keuangan karena persoalan di internal mereka sendiri.
Misalnya, soal legalitas. Masih banyak UMKM yang tak memiliki badan hukum dan ijin usaha serta aspek teknis lainnya. Misalnya, upaya BI mengembangkan klaster UMKM dan membentuk credit rating UMKM. Selain itu, BI menggarap Financial Identity Number (FIN) yang merujuk pada
program Single Identification Number (SIN) Kemendagri. Pilar ketiga, Kebijakan. Pemerintah dan BI akan memberi dukungan kebijakan
Ke Bank Yuk…Ngga Ribet Koq..!
B
ang bing bung yok kita ke bank.. Bang bing bung yok kita nabung.. Tang ting tung hey jangan dihitung.. Tau tau kita nanti dapat untung”. Begitu kira-kira bunyi salah satu bait lagu Titiek Puspa yang sangat populer di era tahun 1980an. Popularitas lagu itu sejalan dengan program yang pada waktu itu sedang digalakkan oleh Pemerintah, yaitu program Tabungan Pembangunan Nasional (TABANAS), Tabungan Asuransi Berjangka (TASKA), dan Tabungan Pelajar dan Pramuka (Tapelpram). Ketiga produk perbankan ini sungguh berkibar pada masanya. Persyaratannya sederhana. Setorannya boleh berapa saja. Menyetornya pun mudah, bisa di kantor pos terdekat. Dengan berbagai kemudahan ini, sangatlah mudah membudayakan kebiasaan menabung.
Edisi 15 | Juni 2011 | Tahun 2 | Newsletter Bank Indonesia
Ini merupakan salah satu contoh dari bagaimana produk perbankan dulu terasa begitu “akrab” bagi masyarakat. Dalam perkembangannya, bank kini menawarkan produk yang semakin beragam dan modern. Bukan hanya produk simpanan saja, tapi juga produk pembiayaan. Dengan tawaran yang beragam ini, bank sih berharap masyarakat bisa lebih mudah menggunakan jasa/produk yang ditawarkannya, sesuai dengan kebutuhan spesifik orang-perorang. Tapi, apakah seluruh masyarakat merasakan hal itu? Bagi sebagian orang, variasi ini justru membuat produk dan jasa bank menjadi “ribet”. Mau menabung saja, setoran minimalnya lumayan gede, biaya administrasinya malah bisa menggerus saldo. Mau mengajukan kredit, persyaratannya seabrek. Belum lagi kalau mau memanfaatkan fitur perbankan lainnya, masyarakat kudu lebih hati-hati. Juga di beberapa daerah tertentu, keberadaan kantor bank masih dirasakan sangat kurang. Kalaupun toh ada, gedung bank yang mentereng juga sering menimbulkan masalah psikologis tersendiri bagi masyarakat kebanyakan. Hal-hal itulah yang seringkali membuat masyarakat jadi “males” memanfaatkan jasa perbankan. Apakah masyarakat yang terlalu ingin mudahnya saja, ataukah bank yang terlalu
berupa penerbitan regulasi yang membantu masyarakat mendapat layanan jasa keuangan. BI, Kemenkop UKM dan Kemenkominfo mengkaji pembuatan ketentuan terkait metode distribusi berbasis teknologi seperti e-payment, branchless banking dan third party agents (termasuk mobile phones banking). Pilar keempat, Fasilitasi Intermediasi. Pilar ini memfokuskan diri pada upaya meningkatkan kesadaran (awareness) dari lembaga keuangan formal terhadap karakteristik kelompok masyarakat potensial (bankable) untuk mendapat layanan jasa keuangan. Misalnya, BI mengembangkan linkage program, bazaar intermediasi UMKM, baseline survey, lending model dan pendampingan UMKM. Atau, perluasan pendirian Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD). Pilar kelima, Saluran Distribusi. Bagaimana meningkatkan jangkauan layanan lembaga keuangan formal terhadap kelompok masyarakat di pelosok, inilah yang digarap pilar ini. Contohnya, optimalisasi jaringan kantor pos atau gawean bareng implementasi APEX Bank untuk BPR. Atau, proyek percobaan penerapan mobile money. kaku dengan berbagai macam aturannya? Tidak ada jawaban yang mutlak memang. Namun setidaknya, perlu ada upaya untuk menjembatani kedua kepentingan tersebut. Untuk itu, BI dan Pemerintah merintis sebuah langkah yang dikenal dengan program inklusi keuangan (financial inclusion). Program itu sendiri sudah menjadi tren global dan dilakukan pula oleh banyak negara. Bukan cuma untuk meningkatkan peran sektor keuangan sebagai pendukung utama sistem ekonomi, tapi juga dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan lembaga-lembaga keuangan. Dengan kata lain, inklusi keuangan menjadi sebuah langkah penting dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan masyarakat (sisi permintaan) akan produk keuangan yang “mudah dan praktis” dengan kebutuhan industri keuangan, termasuk bank (sisi penawaran) yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari produk yang ditawarkan. Bank perlu mendalami lebih jauh kebutuhan akan layanan “mudah dan praktis” tadi, agar bisa menyajikan produk yang lebih “akrab” di mata masyarakat. Jangkauan layananannya pun perlu lebih diperluas lagi, sehingga lebih dekat dengan masyarakat. Sedangkan di sisi masyarakat, ya perlu upaya memahami produk-produk perbankan tadi. Kalau masyarakat paham, sebenarnya produk dan jasa keuangan itu gak ribet-ribet amat kok.
WAWASAN Inklusi Keuangan :
Harapan dan Sasaran
Pungky Wibowo Purnomo, Peneliti Eksekutif di Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI
S
alah satu prasyarat bagi keberhasilan pembangunan adalah terciptanya suatu sistem keuangan yang berfungsi dengan baik dan memberi manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. Bahwa tak bisa dipungkiri pasar dan institusi keuangan memainkan peran penting dalam menyalurkan dana ke kegiatan ekonomi yang paling produktif serta mengalokasikan risiko ke pelaku ekonomi. Hanya sayangnya, industri keuangan yang berkembang sangat pesat ternyata belum sepenuhnya memenuhi harapan akan akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan yang paling mendasar sekalipun. Padahal, akses terhadap layanan jasa keuangan merupakan syarat penting keterlibatan masyarakat luas dalam sistem perekonomian, khususnya dalam upaya pemberdayaan masyarakat untuk mengentaskan kemiskinan yang muaranya pada pertumbuhan ekonomi. Saat ini, sudah tidak disangsikan lagi bahwa untuk menggapai pertumbuhan ekonomi sebagai motor penggerak pembangunan mutlak membutuhkan inklusi keuangan (financial inclusion). Inklusi keuangan sejatinya adalah upaya untuk membabat semua hambatan terhadap layanan yang menjangkau jasa layanan seperti tabungan, kredit, sistem pembayaran, asuransi dan dana pensiun. Namun sayangnya, kenyataan dunia saat ini justru memperlihatkan fakta bahwa ada lebih dari 2 miliar orang dewasa yang belum tersentuh layanan jasa keuangan. Dari jumlah itu, 90 persennya tersebar di Afrika, Asia, Amerika Latin dan Timur Tengah. Selama lebih dari dua dekade belakangan ini, perhatian pemimpin dunia banyak terfokus pada upaya pengembangan industri keuangan dan menjaga stabilitas sistem keuangan, namun arah untuk membuat layanan jasa keuangan ini dapat diakses
oleh seluruh individu masyarakat baru merupakan isu yang berkembang akhir-akhir ini. Padahal, akses terhadap layanan jasa keuangan ini adalah aspek kritikal dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Wajar saja bila Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Toronto, Juli 2010, melahirkan 9 “Prinsip untuk Inovasi Inklusi Keuangan”. Sembilan prinsip ini sudah dielaborasi oleh Tim Ahli Inklusi Keuangan yang ditunjuk oleh G20 untuk diturunkan menjadi sejumlah rekomendasi upaya meningkatkan akses ke layanan keuangan bagi penduduk miskin. Adapun kesembilan prinsip ini mencakup berbagai aspek yang luas, yaitu kepemimpinan, keragaman dan inovasi, perlindungan dan pemberdayaan, kerjasama antarlembaga, pemanfaatan pengetahuan, proporsionalitas kebijakan serta kerangka aturan. Prinsip-prinsip ini bukan merupakan ketentuan yang mengikat tapi lebih sebagai acuan bagi pengambil kebijakan di tiap negara, karena prinsip-prinsip ini didasarkan atas sejumlah praktek terbaik (best practises) dari berbagai negara. Selain memudahkan kerjasama antarnegara, adanya acuan yang sama memungkinkan terjadinya harmonisasi strategi dan kebijakan di tiap negara. Sejumlah negara sudah menjadikan kesembilan prinsip tersebut sebagai acuan dalam menyusun program inklusi keuangan seperti India, Pakistan, Afrika Selatan, Meksiko, Brasil, Kolumbia, Malaysia dan sejumlah negara Uni Eropa. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Selaku anggota G20 dan ikut merumuskan sembilan konsep Prinsip untuk Inklusi Keuangan, Indonesia pun menjadikan rumusan prinsip tersebut sebagai kerangka acuan pelaksanaan inklusi keuangan. Dari sinilah mengalir mimpi besar yang ingin disasar yakni bagaimana ”mewujudkan sistem keuangan yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan penanggulangan kemiskinan”. Harapan itu pun sejalan dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pertemuan Alliance for Financial Inclusion (AFI) Global Policy Forum di Bali, 2010 menyatakan bahwa “Financial inclusion will link the previously excluded group with the formal economy and they will eventually contribute to an
3
country’s economic growth. Financial inclusion cannot stop at just opening a saving account and obtaining micro-credit.” Agar mimpi besar itu bisa terwujud digagaslah sebuah “Strategi Nasional Inklusi Keuangan” yang bertumpu pada lima pilar utama. Melalui pilar-pilar tersebut dijabarkan semua agenda aksi, baik yang digagas oleh Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) atau kerja-bareng diantara keduanya (lihat: Rubrik IKHTISAR). Ada sejumlah misi yang ingin diemban. Sebut saja, upaya menjadikan inklusi keuangan menjadi bagian dari strategi besar pembangunan ekonomi dan penanggulangan kemiskinan. Fakta membuktikan ada hubungan timbalbalik antara kemiskinan dan akses pada layanan keuangan, yang mana keduanya saling mempengaruhi. Selain itu, ada niatan untuk menumbuhkan kesadaran dan kesiapan perilaku keuangan yang baik di masyarakat. Ya, maklumlah masih banyak jumlah penduduk Indonesia yang belum melek keuangan (financial illiteracy). Untuk itulah dipandang penting meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai cara mengelola uang. Misi lainnya yang ingin diwujudkan yakni membangun inklusi keuangan dengan memperkuat sinergi antara bank dan lembaga keuangan nonbank. Bank adalah lembaga keuangan yang paling luas cakupannya. Strategi keuangan inklusif akan berpijak di atas sektor perbankan sebagai basis. Untuk mengisi celah-celah konsumen yang tidak terlayani bank, sinergi antara bank dengan lembaga keuangan nonbank, salah satunya dengan Lembaga Keuangan Mikro yang sudah banyak melayani kelompok miskin dan UMKM perlu terus didorong. Yang juga tak kalah penting adalah bagaimana institusi keuangan menyediakan layanan jasa dan produk keuangan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Maksudnya, institusi keuangan pun perlu mengkaji setiap produk yang digulirkan agar benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat luas khususnya mereka yang belum terjangkau layanan perbankan dan jasa keuangan lainnya. Sekarang soalnya apakah harapan terwujudnya sistem keuangan yang mampu diakses oleh semua kalangan tanpa ada hambatan sudah bisa terpenuhi, tampaknya inklusi keuangan menjadi program yang sangat strategis untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam sistem perekonomian agar tumbuh dan berkembang menjadi lebih besar. Nah, hal inilah yang kini menjadi sasaran yang masih perlu terus diperjuangkan. Newsletter Bank Indonesia | Edisi 15 | Juni 2011 | Tahun 2
4
EDUKASI
Financial Identity Number :
“Nomor Unik Menuju
Masyarakat Sadar Perbankan K
Sri Noerhidajati, Peneliti Senior di Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI
Dengan memiliki FIN akan memudahkan pihak bank dan lembaga keuangan nonbank untuk mengetahui rekam jejak finansial anggota komunitas unbanked people.
redit ...kredit...kredit...” lantun seorang tukang kredit barang rumah-tangga dengan nada kalem sambil hilir mudik dari kampung ke kampung. Si tukang kredit selain menawarkan aneka barang yang bisa diangsur juga setiap harinya memungut uang cicilan kredit barang. Ada yang mencicil dengan bayar harian atau mingguan. Besarnya cicilan tergantung nilai barang dan termin pembayaran. Profil tukang kredit barang keliling dan debitur yang umumnya ibu-ibu bukanlah pemandangan yang aneh meski di kota Jakarta sekalipun. Debitur yang meminjam dari tukang kredit keliling ini umumnya figur kelompok masyarakat yang belum
tersentuh layanan jasa keuangan atau lazim disebut unbanked people. Profil komunitas kelompok unbanked people biasanya mayoritas berada di pedesaan dengan beragam profesi seperti petani, buruh tani, sopir angkot, tukang ojek, tukang becak, buruh bangunan, pengrajin kecil atau pelaku usaha mikro. Jumlah mereka yang terhisap dalam kelompok unbanked people di Indonesia hampir separuh dari jumlah penduduk yang mencapai 234,2 juta (survei Bank Dunia 2010). Ini memang bukan bilangan yang kecil. Tapi fenomena unbanked people bukanlah melulu cerita memprihatinkan di negara berkembang. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan lainnya pun masih menyisakan kelompok masyarakat berstatus unbanked people meski
Edisi 15 | Juni 2011 | Tahun 2 | Newsletter Bank Indonesia
jumlahnya tidaklah sebesar di negara berkembang. Akar masalah unbanked people pada umumnya karena kurangnya informasi tentang rekam jejak (track record) keuangan masyarakat kelompok unbanked yang membatasi akses mereka ke bank. Situasi ini dalam bahasa orang perbankan disebut simetri informasi. Lantas yang menjadi pertanyaan, bagaimanamengikisjumlahunbanked people tadi beralih status menjadi banked people. Sudah barang tentu hal ini bukanlah semudah membalik telapak tangan. Namun sesuatu harus dilakukan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia agar jumlah unbanked people tadi berkurang. Sebuah program Strategi Nasional Inklusi Keuangan telah digulirkan sebagai payung semua langkah aksi agar masyarakat yang terlayani jasa keuangan semakin luas. Salah satu langkah taktis guna menjangkau unbanked people menjadi banked people adalah dengan menggagas program Financial Identity Number (FIN). Program ini dimaksudkan untuk memberikan nomor identifikasi tunggal yang unik bagi setiap orang khususnya unbanked people. Dengan memiliki FIN akan memudahkan pihak bank dan lembaga keuangan nonbank untuk mengetahui rekam jejak finansial anggota komunitas unbanked people. FIN akan berubah menjadi Customer Indentity Number (CIN) ketika mereka memiliki rekening bank, dan berubah lagi menjadi Debtor Identity Number (DIN) tatkala mendapat kredit bank. Saat ini, BI memiliki Sistem Informasi Debitur (SID) yang dapat diakses oleh bank dan penyedia jasa keuangan lainnya untuk mengetahui riwayat kredit si nasabah melalui sistem biro kredit yang tersentralisasi. Kehadiran FIN mestilah diiringi dengan upaya memberikan pengetahuan tentang bagaimana mengelola keuangan pribadi bagi para unbanked people, sebab
tanpa memberdayakan mereka untuk bertanggungjawab atas masa depan keuangan sendiri, mungkin pelaksanaan FIN tak memberi hasil optimal. Untuk itulah BI meluncurkan program pendidikan perbankan secara besar-besaran seperti mencakup pendidikan keuangan, standarisasi produk perbankan dan mekanisme penyelesaian sengketa dan mediasi perbankan. Kesemua program edukasi publik itu ditujukan untuk mendidik masyarakat mengenai keuntungan dan risiko dari berbagai macam produk perbankan. FIN adalah program anyar bank sentral dengan beberapa tahapan agenda penggarapan. Untuk tahun pertama diagendakan menyusun cetak biru model pengumpulan data dengan sampel awal adalah 350 desa dengan target 17.500 orang yang masuk komunitas unbanked people. Setelah dihasilkan cetak biru, memasuki tahun kedua diupayakan mengembangkan model pengumpulan data dengan terus memperluas jangkauan desa menjadi 400 dan target responden hingga 120.000 orang. Tahun ketiga pun agenda aksinya masih mengembangkan model pengumpulan data, tapi target yang dibidik semakin tinggi yakni 1,5 juta orang dengan jumlah desa dan orang yang disasar akan terus meningkat seiring dengan perjalanan waktu. Sudah barang tentu muara dari kehadiran FIN adalah meningkatnya kapasitas dan akses dari komunitas unbanked productive poor terhadap layanan jasa keuangan (simpanan, pembiayaan, transfer, asuransi), dan mengikis unbanked people di negeri ini yang jumlahnya masih segunung. Nah, kalau semakin banyak masyarakat dari kelompok unbanked people yang tersentuh layanan bank dan jasa keuangan, maka peluang mereka meningkatkan taraf hidup dan keluar dari lingkaran setan kemiskinan akan semakin terbuka.
RUANG BACA
5
Seminar BI-OECD:
Wujud Peran Aktif Indonesia Di Forum Inklusi Keuangan Global P
ertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara G-20 sepakat menetapkan inklusi keuangan (financial inclusion) sebagai pilar penting dalam pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan di negaranegara anggotanya. Indonesia sebagai salah satu anggota G-20 pun terlibat aktif dalam berbagai pembahasan program inklusi keuangan termasuk ketika merumuskan 9 Prinsip Inovasi Inklusi Keuangan serta rencana aksi (Financial Inclusion Action Plan/ FIAP). Keterlibatan Indonesia semakin intens ketika G-20 membentuk Global Partnership for Financial Inclusion (GPFI) sebagai organisasi untuk menerapkan rencana aksi inklusi keuangan. Apalagi setelah Indonesia bersama Korea Selatan dipercaya menjadi koordinator pada Sub Group Principles & Standard Setting Bodies di GPFI.
Tugas GPFI antara lain mendorong pengembangan metode dan alat untuk mengevaluasi penerapan inklusi keuangan. Kemudian meningkatkan pemahaman, akses dan pemanfaatan metode tersebut bagi negara-negara anggota maupun non anggota melalui forum-forum pertemuan untuk saling belajar dan berbagi pengalaman. Kerjasama OECD dan BI untuk menyelenggarakan seminar bertajuk “BI-OECD ASIAN SEMINAR On Financial Literacy Towards a National Strategy on Financial Education” pada 27 Juni 2011 merupakan bentuk kongkrit peran Indonesia di GPFI. Seminar tersebut difokuskan pada topik edukasi masyarakat agar melek keuangan (financial literacy) dalam bingkai inklusi keuangan. Hal-hal yang dibahas antara lain kerangka strategi untuk edukasi masyarakat, metode evaluasi program edukasi yang telah digulirkan, mitigasi
Rizana Noor, Analis Senior di Direktorat Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat BI
Keterlibatan OECD dalam seminar tersebut karena G-20 telah menetapkan Financial Literacy Assessment Tools (FLAT) yang dimiliki OECD sebagai metodologi untuk menerapkan prinsip pemberdayaan.
hambatan implementasi strategi dan upaya mencari terobosan inovasi edukasi keuangan lewat berbagi pengalaman negara peserta seminar. Keterlibatan OECD dalam seminar tersebut karena G-20 telah menetapkan Financial Literacy Assessment Tools (FLAT) yang dimiliki OECD sebagai metodologi untuk menerapkan prinsip pemberdayaan (empowerment) yang merupakan Pilar 5 Principle for Innovative Financial Inclusion. Nah, dari gambaran ringkas di atas, sangat jelas terlihat bahwa isu inklusi keuangan adalah persoalan besar semua negara di dunia yang kemudian diangkat oleh G-20 menjadi salah satu agenda kerjasama global untuk pembangunan negaranegara anggota dan nonanggota. Penyelenggaraan seminar BIOECD merupakan peran kongkrit Indonesia sebagai anggota aktif G-20.
M-PESA,
Contoh Sukses Inklusi Keuangan B
ila orang bicara inklusi keuangan (financial inclusion) tanpa menyebut M-Pesa, rasanya kok kurang afdol ya. M-Pesa adalah salah satu contoh sukses program inklusi keuangan di Kenya. M-Pesa adalah mobile money yang diperdagangkan melalui agen-agen yang bertindak sebagai tempat penukaran uang (cash in and out merchant). Cara kerja M-Pesa yang diterbitkan Safaricom— sebuah perusahaan telekomunikasi di Kenya tahun 2007—persis seperti kalau hendak membeli pulsa elektrik M-Pesa yang dibeli bisa dikirim melalui HP kepada nomor HP orang lain, untuk kemudian ditukarkan menjadi uang tunai di agen-agen.
Kunci sukses M-Pesa karena didukung oleh jaringan agen (cash merchant) yang luas hingga 10.000 agen yang bisa melakukan transaksi M-Pesa di seluruh pelosok Kenya. Nilai transaksi uang elektrik M-Pesa bisa mencapai US$1,96 juta sehari dengan rata-rata besaran per transaksi yang dilakukan adalah US$20. Total nilai transaksi M-Pesa sejak diluncurkan pertama kali sudah melebihi US$31 miliar dengan jumlah pelanggan mencapai 7 juta orang. Sejak Mei 2010, pihak Safaricom memperluas layanan M-Pesa dengan menggandeng Equity Bank di Kenya yang menjadi tempat menerima atau membeli M-Pesa. Itu artinya
Bukan tak mungkin melalui M-Pesa nantinya akan dikembangkan layanan ke jasa keuangan lainnya seperti asuransi dan dana pensiun.
warga Kenya yang tadinya belum memiliki akun tabungan (M-Kesho Account) di bank akan membuka rekening. Bukan tak mungkin melalui M-Pesa nantinya akan dikembangkan layanan ke jasa keuangan lainnya seperti asuransi dan dana pensiun. Kisah M-Pesa adalah contoh sukses mobile money yang diusung Alliance for Financial Inclusion (AFI) sebagai salah satu partner dari Global Partnership for Financial Inclusion. Maksudnya sudah jelas agar negara-negara anggota dan nonanggota G20 bisa memetik pelajaran dari M-Pesa dan mencoba menerapkannya di negara masingmasing. Newsletter Bank Indonesia | Edisi 15 | Juni 2011 | Tahun 2
6
REHAT
Apakah Masyarakat Indonesia Sudah Mengenal Bank? 51% 110 juta orang Telah menggunakan jasa/produk bank (banked people)
49% 106 juta orang Belum menggunakan jasa/produk bank (unbanked people)
Survei World Bank, 2010
KETAWA ALA BI Apa Reaksi Pertama Dokter Tentang Lukisan Itu?
Jum’at Pagi Yang Misterius
Ada kejadian aneh di Unit Perawatan Intensif (ICU), di mana para
Ada seorang pelukis terkenal di dunia. Dalam karir
pasien selalu meninggal di tempat tidur yang sama pada kamar yang
utamanya, dia mulai kehilangan penglihatannya. Takut bahwa
sama dan selalu pada hari Jumat pagi, tanpa peduli umur, kelamin,
ia akan kehilangan hidupnya sebagai pelukis, ia pergi menemui
kondisi kesehatan mereka ataupun latar belakang kesehatan.
ahli bedah mata terbaik di dunia.
Hal ini sangat membingungkan para dokter. Beberapa bahkan
Setelah beberapa minggu melakukan operasi halus dan
berpikir bahwa hal tersebut ada hubungannya dengan supranatural.
terapi, penglihatannya dipulihkan. pelukis itu begitu bersyukur
Mengapa selalu pada hari jumat dan pada tempat tidur yang sama?
dan dia memutuskan untuk menunjukkan rasa terima kasihnya dengan mengecat kantor dokter.
Lalu para dokter memutuskan untuk menuntaskan kasus ini dan menyelidiki penyebab dari beberapa kejadian ini. Begitu
Sebagian karyanya termasuk lukisan mata raksasa pada
tiba hari Jumatnya, semua orang di rumah sakit tersebut dengan
satu dinding. Ketika ia telah menyelesaikan pekerjaannya, dia
tegang menunggu akankah kejadian buruk itu terulang kembali.
mengadakan konferensi pers untuk mengungkap pekerjaan
Lalu terbaringlah pasien baru rumah sakit itu disana. Beberapa
seni terbarunya: kantor dokter.
dokter sudah memegang Tasbih, Qur’an, Injil bahkan sebagian
Selama konferensi pers, seorang reporter melihat mata
lagi memegang salib kayu dan benda-benda suci lainnya untuk
di dinding, dan bertanya kepada dokter, “Apa reaksi pertama
menangkal iblis. Sementara sang pasien masih terbaring di sana.
Anda saat melihat kantor Anda yang baru dicat, terutama
Seiring waktu berputar… pukul 07:00… 07:30… tepat sebelum waktu
lukisan mata yang besar di dinding?”
keramat itu tiba… Pintu kamar itu terbuka…
Dokter mata itu menjawab, “Saya berkata kepada diri
Kemudian masuklah Suparman… petugas kebersihan paruh
sendiri ‘Syukurlah aku bukan seorang dokter spesialis
waktu untuk hari Jumat. Ia langsung mencabut kabel alat untuk
kelamin.’”
bantuan pernafasan dari stop kontaknya lalu menggantinya dengan vacuum cleaner dan mulai membersihkan ruangan.
Edisi 15 | Juni 2011 | Tahun 2 | Newsletter Bank Indonesia
PERISTIWA
7
Contact Person Perbankan Perkuat Perlindungan Konsumen S Peningkatan layanan contact person ini dapat juga sebagai tindakan pencegahan tindak kejahatan perbankan dan melindungi nasabah.
eluruh bank harus punya contact person untuk pelayanan konsumen. Jadi bank tidak hanya menjual produk tapi menjadi agen loyalitas konsumen,” ungkap Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Muliaman D. Hadad dalam sebuah seminar di Jakarta, 8 Juni. BI menyarankan agar bank memiliki dua poin penting agar keluhan nasabah tidak berdampak pada risiko reputasi bank. Pertama, memastikan bahwa bank tidak melanggar ketentuan yang ada atau telah memenuhi ketentuan atau koridor hukum ataupun sistem dan prosedur internal yang berlaku. Kedua, mengupayakan agar pelayanan atau penyelesaian
atas pengaduan nasabah dapat diselesaikan sesuai ketentuan yang berlaku, dengan tetap memperhatikan aspek pelayanan dan perlindungan nasabah. Keberadaan Contact per
son di setiap bank perlu ditingkatkan guna memperkuat perlindungan konsumen. Hal
Kaltim Dirikan PPKD Untuk Sokong UMKM P
Kredit mempunyai multiplier effect yang sangat besar bagi perekonomian rakyat.
emerintah Daerah Kalimantan Timur bersama komunitas perbankan di sana dan Kantor Bank Indonesia (KBI) Samarinda menyepakati pentingnya kehadiran Perusahaan Penjamin Kredit Daerah (PPKD) guna mendorong roda perekonomian dan menyokong penyaluran kredit ke UMKM. Hal ini terungkap dalam pertemuan triwulanan antara Pemda Kaltim, BI dan Badan Musyawarah Perbankan Daerah (BMPD) Kaltim yang mengambil tema “Sinergi Pemerintah Daerah dan Perbankan dalam Mengembangkan Perekonomian Rakyat” di KBI Samarinda, 9 Juni 2011. Dalam pertemuan itu hadir Gubernur
Kaltim, Bupati dan Walikota se Kaltim, BI dan BMPD Kaltim. “Kami menyambut baik ide pendirian PPKD
dan perlu tindak lanjut pendiriannya,” ujar Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek Ishak.
ini terkait dengan upaya BI menguatkan perlindungan na sabah yang merupakan salah satu pilar Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Muliaman Hadad mengingatkan agar bahwa peningkatan la yanan contact person ini merupakan salah satu upaya tindakan pencegahan tindak ke jahatan perbankan dan melindungi nasabah se hingga bisa menjaga loyalitas mereka. Dengan cara ini diharapkan mengundang nasabah baru disamping mem pertahankan nasabah lama. Kepedulian ter hadap perlindungan kon sumen merupakan suatu bentuk persaingan non harga dalam industri perbankan.
Ia juga berharap agar sektor perbankan terus mengambil peranan dalam pembangunan di Kalimantan Timur dengan pemberian kredit kepada proyekproyek yang memang layak dan pantas dibiayai. PBI Samarinda, Androecia Darwis mengatakan bahwa kredit mempunyai multiplier effect yang sangat besar bagi perekonomian rakyat. Berkaitan dengan hal itu, BI senantiasa mendorong perbankan untuk dapat menyalurkan kredit dengan sebaik-baiknya tanpa mengabaikan prinsip kehatihatian. Dalam pertemuan bertindak selaku nara sumber Deputi Direktur DKBU, Mahdi Mahmudy, narasumber BapepamLembaga Keuangan (Rugun Hutapea), konsultan JICA (Kenichi Tamagaki) serta Direktur Utama Jamkrida Jatim, Achmad Nur Chasan. Newsletter Bank Indonesia | Edisi 15 | Juni 2011 | Tahun 2
8
HUMANIORA
Kisah Rupiah di Tapal Batas Negeri
G
ulungan ombak tinggi tak habishabisnya menerpa dan mengayun Kapal Republik Indonesia (KRI) Sultan Nuku bernomor lambung 873. Arah kemudi kapal perang sudah ditetapkan yakni Pulau Marore, Miangas, Melonguane dan Lirung yang berbatasan langsung dengan negara Filipina. Perjalanan menuju pulau-pulau tersebut memakan waktu 18 jam dari pelabuhan Bitung di Menado, Sulawesi Utara. Misi KRI kali ini bukanlah untuk mengamankan pulau-pulau itu dari ancaman pihak luar, namun membawa uang Rupiah. Pelepasan misi membawa Rupiah ke tapal batas negeri di empat pulau tersebut selama 6 hari (24-30 Juni 2011) dilakukan Deputi Direktur Direktorat Pengedaran Uang (DPU) Bank Indonesia Adnan Djuanda bersama Komandan Pangkalan Utama TNI AL VIII – Laksamana Pertama TNI Sugianto, SE., MAP., didampingi A. Herani (PPSK) serta pejabat KBI Makassar dan KBI Manado. Kegiatan Kas Keliling ke wilayah perbatasan ini sekaligus sebagai upaya kerjasama antara BI dengan TNI AL terkait layanan transportasi untuk memperlancar kegiatan tersebut.
Dari kejauhan mulai terlihat Pulau Marore sebagai pulau pertama yang menjadi tujuan. Mendekati pulau itu, perahu-perahu
sekoci diturunkan untuk menjangkau pantai pulau dan menuju ke lokasi rumah-rumah penduduk. “Sepasukan” tim dari DPU, KBI Manado, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) serta Direktorat Perencanaan Strategis dan Humas (DPSHM) BI bersama anggota TNI Angkatan Laut menggelar gawean layanan kas, sosialisasi keaslian uang rupiah bagi penduduk Pulau Marore. Setelah selesai menggarap Marore arah perahu sekoci pun menuju tiga pulau lainnya dengan agenda yang sama.
3.449 Fotografer Pecahkan Rekor MURI S
ebanyak 3.449 orang memecahkan rekor MURI (Museum Rekor Dunia Indonesia) untuk pemotretan bersama dengan peserta terbanyak di Teluk Kendari, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (25/6) sore. Pemecahan rekor tersebut merupakan bagian dari acara “1001 Wajah Teluk Kendari” yang digagas Kantor Bank Indonesia (KBI) Kendari dan didukung bersama Pemerintah Provinsi Sultra dan Pemerintah Kota Kendari. Rekor itu dicatatkan dengan nomor 4.965 dalam kategori “Rekor Berburu Foto secara Serentak dengan Peserta Terbanyak”. Rekor ini menumbangkan Edisi 15 | Juni 2011 | Tahun 2 | Newsletter Bank Indonesia
rekor sebelumnya dalam gelaran 16 Oktober 2010 di DKI Jakarta yang diikuti 2.113 orang.
Ribuan peserta memadati kawasan Pantai Kendari di bibir Teluk Kendari
“Senangnya bisa pegang uang mulus lagi, Pak, terima kasih BI,” ujar salah seorang warga di Pulau Marore yang menukarkan uangnya kepada Tim Kas Keliling. Sambutan masyarakat dan aparat Pemda di keempat pulau tersebut luar biasa antusias mengikuti kegiatan sosialisasi keaslian Rupiah dan penukaran uang yang terbukti dengan ludesnya modal kerja sebesar Rp2 miliar yang dipersiapkan Tim Kas Keliling. Di tengah penyelenggaraan layanan kas di keempat pulau ini, BI sempat melakukan penelitian terkait upaya meningkatkan eksistensi Rupiah di wilayahwilayah perbatasan dengan negara lain. Kepada masyarakat di keempat pulau itu juga dibagikan sejumlah buku-buku bacaan, alat tulis dan peralatan olahraga. Ketersedian uang Rupiah layak edar di pulau terdepan tidak hanya menjadi simbol kedaulatan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) namun menjadi salah satu prasyarat untuk menunjang kegiatan ekonomi di wilayah perbatasan. Naik kapal perang membawa Rupiah hingga ke tapal batas ke seantero negeri ini adalah wujud peran aktif BI dalam menjaga kedaulatan NKRI sebagai harga mati! sejak siang hari. Para peserta berasal dari warga umum, siswa sekolah, mahasiswa, komunitas fotografi, awak media, hingga ibu rumah tangga. Mereka mengabadikan berbagai obyek menarik di sekitar kawasan Pantai Kendari Teluk Kendari yang juga menjadi lokasi wisata populer di sana. Pemotretan tidak dibatasi dengan jenis kamera tertentu. Segala macam kamera bisa digunakan mulai dari jenis kamera DSLR profesional, kamera saku, hingga kamera handphone. Selain pemecahan rekor MURI, acara “1001 Wajah Teluk Kendari” juga menampilkan pameran foto dan lomba foto bagi semua kalangan. Gubernur Sultra Nur Alam dan Walikota Kendari Asrun turut berpartisipasi dalam acara tersebut. “Semoga kegiatan ini bisa semakin mempopulerkan pariwisata di Teluk Kendari,” kata Nur Alam dalam sambutannya.