UNIVERSITAS INDONESIA
TINJAUAN HUKUM TERHADAP KLASULA FORCE MAJEURE DALAM ENERGY SALES CONTRACT ANTARA PLN, PERTAMINA, DAN PT XYZ.
TESIS
ADRITA 0806426295
FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN DEPOK JANUARI 2011
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
UNIVERSITAS INDONESIA
TINJAUAN HUKUM TERHADAP KLASULA FORCE MAJEURE DALAM ENERGY SALES CONTRACT ANTARA PLN, PERTAMINA, DAN PT XYZ.
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan
ADRITA 0806426295
FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN DEPOK JANUARI 2011
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
UNIVERSITAS INDONESIA
TINJAUAN HUKUM TERHADAP KLASULA FORCE MAJEURE DALAM ENERGY SALES CONTRACT ANTARA PLN, PERTAMINA, DAN PT XYZ.
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan
ADRITA 0806426295
FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN DEPOK JANUARI 2011
ii
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh : Nama NPM Program Studi Judul Tesis
: Adrita : 0806426295 : Magister Kenotariatan :Tinjauan Hukum Terhadap Klausula Force Majeure Dalam Energy Sales Contract Antara PLN, PERTAMINA Dan PT XYZ.
Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Suharnoko, S.H., MLI
(................................)
Penguji
:
(................................)
Penguji
:
(.................................)
iii
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, Dan semua sumber yang dikutip maupun dirujuk Telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Adrita
NPM
: 0806426295
Tanda Tangan
:
iv
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertandatangan dibawah ini: Nama
: ADRITA
NPM
: 0806426295
Program Studi : Magister Kenotariatan Fakultas
: Hukum
Jenis Karya
: Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-exlusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
TINJAUAN HUKUM TERHADAP KLASULA FORCE MAJEURE DALAM ENERGY SALES CONTRACT ANTARA PLN, PERTAMINA, DAN PT XYZ. Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-eksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Depok, Januari 2011 Yang menyatakan,
(Adrita)
v
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
KATA PENGANTAR
Assalamu'alaikum Warohmatullohi Wabarokaatuh,
Alhamdulillah, penulis mengucap syukur kepada Allah Subhannahu Wata’Ala, atas Rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Tesis TINJAUAN HUKUM TERHADAP KLASULA FORCE MAJEURE DALAM ENERGY SALES CONTRACT ANTARA PLN, PERTAMINA, DAN PT XYZ. Penulisan Tesis ini dilakukan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dalam Penyelesaian tesis ini penulis telah mendapat bimbingan dan bantuan dari banyak pihak. Namun demikian, masukkan-masukkan berupa saran dan kritik tetap penulis harapkan demi perbaikan dan peningkatan tesis ini sendiri. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah terlibat dalam penyusunan tesis ini : 1. Bapak Dr. Drs. Widodo Suryandono S.H., M.H. selaku ketua Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang telah memberikan banyak bantuan dan bimbingan kepada penulis. 2. Bapak Suharnoko, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing yang banyak membantu dalam bimbingan penulisan tesis ini. 3. Bapak Akhmad Budi Cahyono, S.H., M.H selaku penguji sidang tesis, yang telah banyak memberikan saran dan atau masukan kepada penulis terkait penulisan tesis ini.
vi
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
4. Ibu Wismar'Ain Marzuki, S.H., M.H selaku penguji sidang tesis, yang telah banyak memberikan saran dan atau masukan kepada penulis terkait penulisan tesis ini. 5. Bapak Parman, Bapak Zainal, Bapak Haji Irfangi dan Bapak Bowo dari pihak kesekretarian MKn Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang telah banyak membantu penulis selama proses perkuliahan dan penyusunan tesis. 6. Orang Tua Penulis, yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan doa kepada penulis. 7. Saudara-saudara yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu, yang telah tulus memberikan dukungan. 8. Sahabat-sahabat dan teman-teman Penulis, yang telah memberikan bantuan kepada penulis baik berupa bahan penulisan maupun dukungan moral. Akhir kata, Penulis berharap Tesis ini dapat bermanfaat, menjadi sumbangan pemikiran demi perkembangan ilmu pengetahuan.
Wassalamu’ alaikum warrahmatullahi Wabarrakatu.
Depok, Januari 2011
vii
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul
: Adrita : Magister Kenotariatan :Tinjauan Hukum Terhadap Klausula Force Majeure Dalam Energy Sales Contract Antara PLN, PERTAMINA Dan PT XYZ.
Pengembangan energi panas bumi di Indonesia sebagai pembangkit energi listrik, sejak dijalankannya proyek PLTP Kamojang yang merupakan proyek gabungan antara PLN dan PERTAMINA. Energi panas bumi di Indonesia, memang sebagian besar digunakan untuk membangkitkan tenaga listrik, melalui Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Terkait dengan energi panas bumi ataupun energi listrik yang dihasilkan dari suatu PLTP, yang kemudian dijual kepada PERTAMINA selaku pemegang Kuasa Pengusahaan Panas Bumi, dan kemudian oleh PERTAMINA dijual kepada PLN selaku pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan, telah terjadi beberapa kasus di Indonesia yang sehubungan dengan adanya kontrak jual beli listrik panas bumi tersebut, yang mana yang menjadi pokok sengketa adalah klausula force majeure yang terdapat pada kontrak jual beli energi listrik tersebut. Penelitian ini berusaha memaparkan apakah klausula force majeure tersebut dapat dilaksanakan, dan perlindungan hukum apakah yang dapat diberikan kepada PLN dan PERTAMINA dalam hal dikeluarkannya Keputusan Presiden yang menangguhkan proyek PLTP terkait dengan suatu ESC. Penelitian memaparkan ketentuan-ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang relevan terkait dengan ESC ini.Penelitian ini dari sudut jenisnya merupakan studi kepustakaan (Library Research) yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang menekankan pada penggunaan data sekunder atau berupa norma hukum tertulis. Metode penelitian dilakukan secara kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, dengan analisa data secara kualitatif, sehingga menghasilkan data yang bersifat evaluatif-analitis. Kata kunci : Panas Bumi, Kontrak Jual Beli Listrik.
viii
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
ABSTRACT
Name Study Program Title
: Adrita : Public Notary : Review Law Against Clause Force Majeure Of Energy Sales Contract Between PLN, Pertamina and PT XYZ.
Geothermal energy development in Indonesia as electrical energy generation, since the executable Kamojang PLTP project which is a joint project between Pertamina and PLN. Geothermal energy in Indonesia, is mainly used to generate electricity, through a Geothermal Power Plant (PLTP). Associated with geothermal energy or electrical energy generated from a plant, which then was sold to Pertamina as a shareholder, Geothermal Power, and then by PERTAMINA is sold to PLN, as a shareholder Electricity Business Authority, there have been several cases in Indonesia in connection with the contract geothermal power purchase it, which is the subject of dispute is the force majeure clauses contained in the contract of sale of energy power plant. The research is to explain whether the clauses of force majeure could be implemented, and whether legal protection can be provided to PLN and Pertamina in terms of suspending the issuance of Presidential Decree PLTP projects associated with the ESC key. The study describes the legal provisions and regulations of relevant legislation relating to ESC ini.Penelitian this from the point of its kind is the study of literature (Library Research) which is normative, that is research that emphasizes the use of secondary data or the form of written legal norms. Methods of research done in libraries that are normative, with the qualitative data analysis, resulting in data-analytical evaluative nature.
Key words: Geothermal, Contract of Sale and Purchase of Electricity.
ix
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN..............................................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS..................................................
iv
HALAMAN PERSETUJUAN.............................................................................
v
KATA PENGANTAR..........................................................................................
vi
ABSTRAK...........................................................................................................
viii
ABSTRACT.........................................................................................................
ix
DAFTAR ISI........................................................................................................
x
BAB I : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang..................................................................................
1
1.2. Pokok Permasalahan.........................................................................
7
1.3. Tujuan Penelitian..............................................................................
8
1.4. Metode Penelitian.............................................................................
8
1.5. Sistematika Penulisan.......................................................................
8
BAB II : TINJAUAN HUKUM ATAS KLAUSULA FORCE MAJEURE TERHADAP ENERGY SALES CONTRACT ANTARA PLN, PERTAMINA DAN PT XYZ. 2.1. Pendahuluan...................................................................................... 10 2.2. Syarat Sahnya Kontrak...................................................................... 13 2.3. Klausula Force Majeure Dikaitkan Dengan Asas Kebebasan........... Berkontrak......................................................................................... 31 2.4. Perlindungan Hukum Dalam Hal Terjadi Gugatan Terkait dengan... Rumusan Klausula Force Majeure Dalam ESC................................. 56
BAB 3. PENUTUP 3.1. Simpulan............................................................................................ 61 3.2. Saran.................................................................................................. 61
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
x
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Banyaknya gunung berapi yang tersebar di wilayah Indonesia, telah membawa
keuntungan tersendiri bagi Indonesia, dimana hal tersebut telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi terbesar di dunia dalam hal pemanfaatan energi panas bumi1, yaitu sebesar 40% dari potensi energi panas bumi yang ada di dunia, namun demikian fakta pemanfaatannya hingga hari ini masih dibawah 5 % dari potensi yang ada, dimana sebagian besarnya baru dijadikan sebagai sumber Pembangkit Energi Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP)2. Istilah “energi panas bumi” (geothermal energy) dapat didefinisikan sebagai energi panas yang berasal dari dalam bumi, yang panasnya mengalir dari kedalaman bumi merata ke permukaannya di semua area3. Inti bumi (core) yang berada pada kedalaman 4000 mil bersuhu sekitar 4800º celcius, dan lapisan mantle sedalam 2 sampai 30 mil memiliki suhu sekitar 1200º celcius4. Lapisan paling teratas disebut crust, dan panas mengalir melalui crust tersebut5.
1
Panas Bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik semuanya tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem Panas Bumi dan untuk pemanfaatannya diperlukan proses penambangan. Indonesia (a), Undang-Undang tentang Panas Bumi, UU No. 27 tahun 2003, LN No. 115 tahun 2003, TLN No. 4327, ps. 1 angka 1. 2 Eko Agung Bramantyo dan Syamsul Bachri (PT Pertamina Geothermal Energy), “Jualan Energy dengan Binary,” Warta Pertamina (Juli 2009): 30-33
, diakses 19 Februari 2010. Liat juga Ibid., ps. 1 angka 14-15. Pemanfaatan Panas Bumi dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: (a) Pemanfaatan Langsung adalah kegiatan usaha pemanfaatan energi dan/atau fluida Panas Bumi untuk keperluan nonlistrik, baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan sendiri, dan (b) Pemanfaatan Tidak Langsung untuk tenaga listrik adalah kegiatan usaha pemanfaatan energi Panas Bumi untuk pembangkit tenaga listrik, baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan sendiri. 3 Widyaningrum Soeparlan, “Beberapa Aspek Hukum Yang Penting Dalam Komersialisasi Panas Bumi Sebagai Sumber Energi Baru,” (Tesis Magister Hukum dalam Ilmu Hukum dan Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2001), hal. 20. Sebagaimana dikutip dari Sho Sato dan Thomas D. Crocker, “Property Rights to Geothermal Resources (Part One)”, Ecology Law Quarterly, Vol. 6 No. 247, 1977, hal. 250. 4 Ibid. Sebagaimana dikutip dari Steven D. Naumann, “Form Over Fraction:The Law Of Hot Water”, Journal of Energy Law and Policy, Vol. 4, 1983, hal. 207-208. 5 Ibid.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
2
Dalam rangka pemanfaatan panas bumi dari lapisan batuan dari dalam bumi dan membawanya ke permukaan, dibutuhkan media pemindah panas6. Berhubung bumi mendapat pasokan air tanah terus menerus untuk tujuan ini, mengakibatkan batuan yang baru meleleh akan memanaskan air tanah dalam sistem reservoir di dalam bumi dan membuat pergerakan7. Air panas kemudian akan naik ke atas melalui celah , retakan dan pori-pori yang berhubungan di dalam bebatuan8. Keseluruhan ruang yang tersedia pada celah, retakan dan pori-pori yang saling berhubungan dalam bebatuan tersebut hanyalah berkisar antar 2 persen hingga 5 persen dari volume bebatuan, tetapi setelah kemudian di isi oleh air panas, akan terbentuklah reservoir panas bumi9. Kita akan dapat melihat panas bumi ketika ia bercampur dengan air10. Penampakan panas bumi di permukaan tanah dapat berupa gelombang uap panas (fumarole), gelombang air panas (hot spring), dan geyser11. Oleh karena sifat dari terbentuknya panas bumi yang demikian inilah, maka energi panas bumi termasuk ke dalam golongan energi yang terbarukan12. Panas Bumi merupakan sumberdaya alam yang mempunyai 3 kelebihan, yaitu sumber yang tidak dapat diperjual belikan (non tradeable resources); panas bumi tidak akan pernah habis (renewable resources) selama bumi menghasilkan magma; dan yang terakhir ramah lingkungan karena tidak memberikan kontribusi pada efek gas rumah kaca13.
6
Ibid. Ibid. Sebagaimana dikutip dari “Energi Panas Bumi”, brosur hasil kerjasama Amoseas Indonesia, Inc dan Asosiasi Panas Bumi Indonesia, tanpa tahun, hal. 2-3. 8 Ibid. 9 Ibid. 10 Ibid. 11 Ibid. 12 Ibid. Lihat Indonesia (b), Undang-Undang Tentang Energi, UU No. 30 tahun 2007, LN No. 96 tahun 2007, TLN No. 4746, ps. 1 angka 6. 13 “Sinkronisasi Nalar Ekonomi dengan Nalar Teknologi Cita-Cita Menristek,” , diakses 19 Februari 2010. Lihat Abdul Razak, “Kajian Yuridis Carbon Trade dalam Penyelesaian Efek Rumah Kaca,” (makalah disampaikan pada Seminar Etika dan Kebijakan Perdagangan Lingkungan Program Pasca Sarjana S2 – Program Studi Manajemen Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta), hlm. 10-11 Efek Rumah Kaca disebabkan naiknya konsentrasi gas-gas (Gas Rumah Kaca (GRK) ), yaitu Karbon Dioksida (C02), Sulfur Dioksida (SO2), Nitrogen Monoksida (NO) dan Nitrogen Dioksida (NO2) serta beberapa senyawa organik seperti Gas Metana (CH4) dan Khloro Fluoro Karbon (CFC) di atmosfer,Efek Rumah Kaca akan meningkatkan suhu bumi sehingga menyebabkan peningkatan pemanasan global. Lihat Indonesia (a), op. cit.,bagian menimbang poin (a)- (c): Bahwa panas bumi adalah sumber daya alam yang dapat diperbaharui...;bahwa pemanfaatan panas bumi relatif ramah lingkungan, karena tidak memberikan kontribusi gas rumah kaca ...;bahwa pemanfaatan panas bumi akan mengurangi 7
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
3
Melihat besarnya potensi panas bumi yang ada di Indonesia, Pemerintah Indonesia akhirnya menetapkan sampai dengan tahun 2025, energi panas bumi diharapkan dapat menyumbang sebesar 5% (lima persen) dari total kebutuhan energi nasional14. Harapan pemerintah Indonesia tersebut pada dasarnya sejalan dengan rencana Pemerintah Indonesia lainnya, yaitu untuk mengurangi Gas Rumah Kaca setidaknya sebesar 26% (dua puluh enam persen) untuk 10 (sepuluh) tahun ke depan15. Hal ini dikarenakan Indonesia telah menerapkan konsep Clean Development Mechanism (CDM) atau disebut juga Mekanisme Pembangunan yang bersih (MPB)16, yang ditetapkan berdasarkan Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (Protokol Kyoto)17, yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004. Usaha di bidang panas bumi, diatur oleh dua ketentuan perundang-undangan, dimana untuk usaha hulu (upstream) yaitu usaha pertambangan panas bumi, diatur oleh ketentuan perundang-undangan mengenai panas bumi18, sedangkan untuk usaha hilir
ketergantungan terhadap bahan bakar minyak sehingga dapat menghemat cadangan minyak bumi. 14 Bramantyo dan Bachri, loc. cit. Hal ini ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006. Ketentuan ini kemudian ditegaskan lagi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam World Geothermal Conference di Bali yang diadakan pada tanggal 26-30 April 2010. 15 Hillary Brenhouse, “Indonesia Seeks to Tap Its Huge Geothermal Reserves.” , diakses 3 Desember 2010 16 Indonesia (c), Undang-Undang Pengesahan Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan BangsaBangsa Tentang Perubahan Iklim), UU No. 17 tahun 2004, LN No. 72 Tahun 2004, TLN No. 4403, bagian Penjelasan. Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) merupakan bentuk investasi baru di negara berkembang yang bertujuan mendorong negara industri untuk melaksanakan kegiatan penurunan emisi di negara berkembang guna mencapai target penurunan emisi Gas Rumah Kaca dan membantu negara berkembang untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. 17 Ibid., Protokol Kyoto mengatur emisi Gas Rumah Kaca akibat kegiatan manusia, sehingga dapat menstabilkan konsentrasi Gas Rumah Kaca di atmosfer dan tidak membahayakan iklim bumi. 18 Indonesia (a), op.cit., penjelasan bagian umum alinea ketujuh (7). Indonesia (a), op.cit., ps. 1 angka 7. Usaha Pertambangan Panas Bumi adalah usaha yang meliputi kegiatan eksplorasi, studi kelayakan dan eksploitasi. Indonesia (a), op.cit., ps. 1 angka 4. Eksplorasi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyelidikan geologi, geofisika, geokimia, pengeboran uji, dan pengeboran sumur eksplorasi yang bertujuan untuk memperoleh dan menambah informasi kondisi yang bertujuan untuk memperoleh dan menambah informasi kondisi geologi bawah permukaan guna menemukan dan mendapatkan perkiraan potensi panas bumi. Indonesia (a), op.cit., ps. 1 angka 5. Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan Panas Bumi untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan usaha pertambangan Panas Bumi, termasuk penyelidikan atau studi jumlah cadangan yang dapat dieksploitasi. Indonesia (a), op.cit., ps. 1 angka 6. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan pada suatu wilayah kerja tertentu yang meliputi pengeboran sumur pengembangan dan sumur reinjeksi, pembangunan fasilitas lapangan dan operasi sumber daya Panas Bumi.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
4
(downstream) yaitu pemanfaatan dari energi panas bumi itu sendiri, diatur oleh ketentuan perundang-undangan mengenai ketenagalistrikan19. Pada awalnya, pengusahaan panas bumi dipercayakan oleh Pemerintah Indonesia kepada Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA), berdasarkan Keputusan Presiden No. 6 Tahun 1974 tanggal 20 Maret 1974, walaupun pada saat itu dengan Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi (WKP)20 yang masih terbatas, yaitu hanya di Pulau Jawa21. Namun kemudian WKP tersebut diperluas berdasarkan Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1981 tanggal 1 Juni 1981, dimana kedudukan PERTAMINA dalam hal ini yaitu sebagai Pemegang Kuasa Pengusahaan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya Panas Bumi untuk pembangkitan energi/listrik di Indonesia (Kuasa Pengusahaan Panas Bumi)22. PERTAMINA berdasarkan Keputusan Presiden tersebut diwajibkan menjual energi/listrik sebagai hasil produksi pelaksanaan Kuasa Pengusahaan Panas Bumi tersebut kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN)23. Selain itu, kalaupun PERTAMINA belum ataupun tidak dapat melaksanakan Kuasa Pengusahaan Panas Bumi tersebut, dapat mengadakan kerjasama dengan kontraktor dalam bentuk Kontrak Operasi Bersama (Joint Operation Contract/JOC)24. Dalam perkembangan berikutnya, Pemerintah mengizinkan instansi lain (selain PERTAMINA), baik Badan Usaha Milik Negara Lain, Badan Usaha nasional, termasuk 19
Ibid., penjelasan bagian umum alinea ketujuh (7). ... kegiatan pada sisi hilir yang berkaitan dengan pemanfaatannya diatur tersendiri atau mengikuti peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam hal menyangkut pemanfaatan Panas Bumi secara tidak langsung untuk pembangkitan tenaga listrik, pengaturannya dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang ketenagalistrikan .... Liat juga Tasnim Ilmiardhi (Energy Legal Practitioners), “Geothermal Energy In Indonesia,” , 2 Juni 2010. 20 Ibid., ps. 1 angka 9. Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi, selanjutnya disebut Wilayah Kerja, adalah wilayah yang ditetapkan dalam IUP. Liat juga Indonesia (a), op.cit., ps. 1 angka 8. Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi, selanjutnya disebut IUP, adalah izin untukmelaksanakan Usaha Pertambangan Panas Bumi. 21 “Sejarah Panas Bumi”, , diakses 14 Januari 2010. 22 Ibid. Lihat Indonesia (d), Keputusan Presiden Tentang Pemberian Kuasa Pengusahaan Panas Bumi Eksplorasi dan Eksploitasi kepada PERTAMINA, Kepres No. 22 Tahun 1981, Lembaran Lepas 1981, bagian PERTAMA angka a. jo. bagian PERTAMA angka b. 23 Ibid. Lihat Indonesia (d), op.cit., bagian KEDUA. 24 Ibid. Lihat Indonesia (d), op.cit., bagian KEEMPAT angka a.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
5
koperasi untuk mengembangkan usaha dalam bidang ketenagalistrikan, hal ini diatur dalam Keputusan Presiden No. 45 Tahun 1991 tanggal 1 Oktober 198125. Pertamina selaku pemegang Kuasa Pengusahaan Panas Bumi dapat menjual energi berupa uap panas bumi atau listrik hasil produksi pelaksanaan Kuasa Pengusahaan Panas Bumi kepada PLN, instansi lain, Badan Usaha Milik Negara Lain dan Badan Usaha Nasional yang berstatus badan hukum termasuk Koperasi26. Seperti telah disebutkan di atas, bahwa energi panas bumi dijadikan sebagai sumber Pembangkit Energi Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP), hal ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk kelangsungan pemenuhan kebutuhan energi nasional27. Salah satu upaya Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk memenuhi permintaan akan tenaga listrik, adalah dengan mengadakan kontrak pembelian tenaga listrik dari Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA), kedudukan PERTAMINA dalam hal ini yaitu sebagai Pemegang Kuasa Pengusahaan Panas Bumi28. Dalam praktiknya untuk memanfaatkan energi panas bumi, sebagai sumber energi untuk pembangkit tenaga listrik, PERTAMINA mengadakan perjanjian dengan perusahaan swasta sebagai kontraktor yang membangkitkan tenaga listrik (PLTP)29, dimana kontrak di antara PERTAMINA dengan kontraktor tersebut dituangkan dalam Kontrak Operasi Bersama (Joint Operation Contract/JOC) . Berdasarkan Kontrak Operasi Bersama tersebut, maka PERTAMINA kemudian menjual tenaga listrik yang didapat dari PLTP ini kepada PLN. Dalam lingkup dunia bisnis panas bumi sendiri dikenal 2 jenis kontrak yang berlaku di Indonesia, yaitu: Steam Sales Contract (SSC)
25
Ibid., Lihat Indonesia (e), Keputusan Presiden Tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1981, Kepres No. 45 Tahun 1991, Lembaran Lepas 1991, ps. 1 angka 1. 26 Ibid., Lihat Indonesia (e), op.cit., ps. 1 angka 2. 27 Indonesia (a), op.cit., bagian menimbang (d). Liat juga Indonesia (c), Undang-Undang Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, UU No. 17 tahun 2007, LN No. 33 tahun 2007, TLN No. 4700. 28 Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1981 tanggal 1 Juni 1981, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 45 tahun 1991 tanggal 1 Oktober 1991, Presiden memberikan kuasa kepada PERTAMINA untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi atas sumber energi geothermal di Indonesia serta membangkitkan tenaga listrik dari sumber tersebut dan menjual produknya berupa energi geothermal atau listrik. 29 Indonesia (f), Peraturan Pemerintah Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik, PP No. 3 tahun 2005, LN No. 5 tahun 2005, TLN No. 4469, ps. 6 ayat 1 jo ps. 6 ayat 2 jo ps. 6 ayat 3.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
6
atau Perjanjian Jual Beli Uap dan Energy Sales Contract (ESC) atau Perjanjian Jual Beli Listrik/Energi30. Adapun yang menjadi objek penelitian ini, adalah Energy Sales Contract (ESC) atau Perjanjian Jual Beli Listrik/Energi, dimana ESC tersebut ditandatangani atau disepakati pada tahun 1996 antara PLN sebagai pembeli dengan PERTAMINA sebagai penjual dan PT XYZ sebagai kontraktor. Pertimbangan dari dijadikannya ESC sebagai objek penelitian, adalah oleh karena sudah terdapat 3 (tiga) kasus mengenai sengketa ESC yang diajukan oleh para kontraktor kepada PLN dan PERTAMINA, dimana sengketa tersebut diajukan oleh para kontraktor, yaitu Karaha Bodas Company L.L.C, Himpurna California Energy Ltd. dan Patuha Power Ltd. Ketiga sengketa yang diajukan tersebut adalah mengenai ESC antara para kontraktor di atas dengan PERTAMINA dan PLN yang diadakan atau diperjanjikan pada tahun 1994 dan 1996, dan ketiga sengketa tersebut berawal dari permasalahan yang sama dimana pada tahun 1997 dan 1998 Indonesia mengalami krisis moneter, sehingga nilai tukar Rupiah terdepresiasi sangat hebat terhadap mata uang Dollar US31, dan berdasarkan hal tersebut maka pemerintah Indonesia pada saat itu diharuskan oleh International Monetary Fund (IMF) untuk mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997 tanggal 20 September 1997 tentang Penangguhan/Pengkajian Kembali Proyek Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, dan Swasta yang Berkaitan dengan Pemerintah/Badan Usaha Milik Negara. Dalam Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997, disebutkan bahwa diantaranya PLTP Karaha (Karaha Bodas Company L.L.C), PLTP Patuha (unit 2,3,4) (Patuha Power Ltd.), PLTP Dieng (unit 4) (Himpurna California Energy Ltd.) merupakan proyek-proyek yang ditangguhkan sampai keadaan ekonomi Indonesia pulih kembali32. Proyek-proyek yang dilakukan pengkajian ulang dan berdasarkan hasil kajian
30
Bramantyo dan Bachri, loc. cit. Tentu saja terdepresiasinya nilai Rupiah terhadap Dollar US membawa konsekuensi tersendiri bagi pihak pembeli, dalam hal ini adalah PLN, dimana dalam ketentuan yang ada pada ESC ditentukan PLN membayar pembelian energi/listrik yang dihasilkan oleh PLTP yang diusahakan oleh kontraktor dan/atau PERTAMINA dengan tarif dalam mata uang Dollar US, sementara PLN akan menjual listrik yang dibelinya dari kontraktor dan/atau PERTAMINA kepada masyarakat dalam tarif mata uang Rupiah. Lebih lanjut lihat bagian mengenai “Harga” pada perjanjian ESC. 32 Indonesia (g), Keputusan Presiden Tentang Penangguhan/Pengkajian Kembali Proyek 31
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
7
ulang tersebut ditentukan apakah suatu proyek dapat diteruskan, ditangguhkan atau dijadwalkan kembali, diantaranya yaitu PLTP Patuha (unit 1) (Patuha Power Ltd.)33. Untuk proyek yang diteruskan, yaitu proyek yang proses pembangunannya sudah berjalan dan akan dilanjutkan sesuai dengan jadwal semula, diantaranya adalah PLTP Dieng (unit 1,2,3) (Himpurna California Energy Ltd.)34. Keputusan Presiden tersebut tentunya kemudian dijadikan dasar oleh pihak PLN dan/atau PERTAMINA untuk menangguhkan atau mengkaji kembali ESC dari ketiga kontraktor di atas. Ketiga kontraktor tersebut kemudian tidak bisa menerima alasan dari PLN dan/atau PERTAMINA yang menjadikan Keputusan Presiden tersebut sebagai salah satu “Force Majeure” dan karenanya dapat menangguhkan ataupun membatalkan ESC yang telah disepakati dengan para kontraktor tersebut, sehinggga mengajukan sengketa terhadap PLN dan/atau PERTAMINA, karena PLN dan/atau PERTAMINA dianggap telah melanggar ketentuan ESC yang disepakati di antara mereka, dan karenanya terhadap PLN dan/atau PERTAMINA dapat dituntut ganti kerugian. Berdasarkan penjelasan sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, maka penulis, pada penelitian ini akan menelaah mengenai asas kebebasan berkontrak dikaitkan dengan klasula force majeure yang ada pada ESC yang menjadi objek penelitian ini, dan perlindungan hukum bagi Badan Usaha Milik Negara yang mengadakan ESC yang menjadi objek pada penelitian ini dengan kontraktor.
1.2
Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya,
maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah tinjauan terhadap klausula force majeure dalam ESC ini dihubungkan dengan asas kebebasan berkontrak?
Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, Dan Swasta Yang Berkaitan Dengan Pemerintah/Badan Usaha Milik Negara, Kepres No. 39 Tahun 1997, Lembaran Lepas 1997, angka 5 jo. lampiran V jo. angka 8 ayat 1. 33 Indonesia (g), op.cit., angka 6 jo. lampiran VI jo. angka 8 ayat 2. 34 Indonesia (g), op.cit., angka 7 jo. lampiran VII jo. angka 8 ayat 3.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
8
2. Bagaimana memberikan perlindungan hukum terhadap Badan Usaha Milik Negara yang menjadi pihak pada ESC ini, dalam hal diterbitkannya suatu Keputusan Presiden yang menangguhkan ataupun membatalkan ataupun mengkaji ulang ESC ini?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
untuk: 1.
menggambarkan secara umum mengenai konsepsi hukum perdata mengenai kontrak, terutama tentang klausula force majeure dalam ESC ini dikaitkan dengan asas kebebasan berkontrak.
2.
menjabarkan perlindungan hukum yang dapat diberikan oleh ketentuan hukum perdata yang berlaku di Indonesia, kepada Badan Usaha Milik Negara yang menjadi pihak dalam ESC ini, dalam hal dikeluarkannya Keputusan Presiden yang membatalkan atau menangguhkan atau mengkaji ulang ESC ini.
1.4
Metode Penelitian Metode penelitian adalah suatu sistem dari prosedur dan teknik penelitian yang
pada
hakekatnya
memberikan
pedoman
tentang
cara-cara
seorang
ilmuwan
mempelajari, menganalisa dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapinya35. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang bersifat yuridis normatif karena penelitian ini mengandalkan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier36. Alat pengumpul data yang digunakan adalah dengan studi dokumen. Penelitian ini menggunakan analisa data kualitatif sehingga menghasilkan data evaluatif-analitis. 35
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 6. Ibid., hal. 52. Bahan hukum primer yang digunakan berupa ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan mengikat yang berlaku di masyarakat, yang terkait dengan pokok bahasan dari penelitian ini. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku-buku referensi, yang terdiri dari buku, artikel koran, internet, majalah, dan skripsi, yang mana bahan hukum sekunder tersebut berkaitan dengan bahasan dari penelitian ini. Bahan hukum tersier yang digunakan adalah bahan-bahan penunjang yang menjelaskan bahan umum primer dan bahan hukum sekunder atau disebut juga sebagai bahan penunjang, bahan hukum tersier yang digunakan berupa kamus, dan lain sebagainya.
36
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
9
1.5
Sistematika Penulisan Berdasarkan permasalahan yang diteliti, maka sistematikan penulisan penelitian
ini, adalah sebagai berikut: Bab I: Pendahuluan Bab ini menguraikan mengenai latar belakang pemikiran mengenai perlunya penelitian tentang klausula force majeure yang dipergunakan dalam obyek penelitian ini, perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II: Tinjauan Hukum Atas Klausula Force Majeure Dalam Energy Sales Contract antara PLN, PERTAMINA, dan PT XYZ Dihubungkan Dengan Asas Kebebasan Berkontrak Bab ini menguraikan mengenai teori-teori, asas-asas, peraturan perundangundangan yang terkait perjanjian dan analisa hukum terhadap klausula force majeure dalam ESC yang menjadi obyek penelitian ini (untuk selanjutnya disebut ESC). Serta bagaimana perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap Badan Usaha Milik Negara yang menjadi pihak dalam ESC ini, dalam hal dikeluarkannya Keputusan Presiden terkait dengan pelaksanaan ESC ini.
Bab III:Simpulan Dan saran Bab ini menguraikan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya, serta saran terkait dengan obyek penelitian ini.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
10
BAB II Tinjauan Hukum Atas Klausula Force Majeure Dalam Energy Sales Contract Antara PLN, PERTAMINA dan PT XYZ Dihubungkan Dengan Asas Kebebasan Berkontrak
2.1
Pendahuluan Tenaga listrik yang dibangkitkan oleh pihak swasta dapat dijual kepada PLN
atau kepada pihak lain. Penjualan tenaga listrik, sewa jaringan transmisi dan sewa jaringan distribusi dari Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum kepada Perusahaan Umum Listrik Negara atau kepada pihak lain diatur dalam suatu perjanjian. Sejak tahun 1970-an kebutuhan tenaga listrik di Indonesia khususnya di Pulau Jawa, mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, yakni lebih dari 15 % rata-rata per tahun. Untuk mengantisipasi pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik itu, Pemerintah melalui penjabaran RUKN 1993-1994 dan Repelita VI 1993/1994-1998/1999 telah mengindikasikan kebutuhan tambahan sarana pembangkit dan sarana penyediaan tenaga listrik lainnya. Mengingat keterbatasan dana, Pemerintah tidak dapat membangun semua sarana yang dibutuhkan. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan yang memungkinkan adanya partisipasi swasta dalam penyediaan tenaga listrik, maka sejak awal tahun 1990-an, Pemerintah membuka kesempatan bagi swasta untuk pembangkit-pembangkit listrik. Cukup banyak pihak swasta yang memanfaatkan kesempatan ini, dan sebagian besar melaksanakan proyekproyek yang diusulkan swasta sendiri (unsolicited), bukan proyek-proyek yang telah ditentukan oleh Pemerintah (solicited). Usaha penyediaan tenaga listrik oleh swasta dapat dilakukan sebagai penanaman modal sesuai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 11 Tahun 1970, atau penanaman modal di luar Undang-Undang tersebut.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
11
Ketentuan hukum yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 yang memungkinkan dilakukannya usaha penyediaan tenaga listrik oleh pihak swasta adalah Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1989 Tentang Penyediaan Dan Pemanfaatan Tenaga Listrik dan Keputusan Presiden No. 37 Tahun 1992 Tentang Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Oleh Swasta. Dengan Keputusan Presiden No. 37 Tahun 1992, kesempatan bagi pihak swasta untuk berpartisipasi dalam usaha pembangkit tenaga listrik, transmisi tenaga listrik dan distribusi tenaga listrik lebih ditegaskan lagi. Pasal 2 ayat 1 Keputusan Presiden No. 37 Tahun 1992 menegaskan bahwa Pemerintah mengundang partisipasi swasta di dalam proyek-proyek yang ditentukan Pemerintah dan disamping itu atas prakarsa sendiri swasta dapat mengusulkan proyek-proyek tenaga listrik lain untuk dipertimbangkan Pemerintah. Keputusan Presiden tersebut juga menegaskan bahwa pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik oleh swasta diutamakan dilaksanakan dengan pola "Membangun, Memiliki dan Mengoperasikan" atau Build, Own and Operation (BOO). Artinya, pihak swasta berkewajiban untuk membangun dan mengurus pembiayaan untuk pembangunan pusat-pusat pembangkit tenaga listrik yang ditawarkan oleh Pemerintah, kemudian mengoperasikannya. Tenaga listrik yang dihasilkan kemudian dijual kepada PLN, sedangkan kepemilikan pembangkit listrik tersebut tetap berada pada perusahaan swasta tersebut. Ketentuan penting lain yang terdapat dalam Keputusan Presiden No. 37 Tahun 1992 adalah dibukanya kesempatan bagi perusahaan swasta asing untuk berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik. Keikutsertaan perusahaan swasta asing dilaksanakan dalam konteks investasi. Oleh karena itu kebijaksanaan investasi dalam bidang ketenagalistrikan adalah sejalan dengan kebijaksanaan investasi di Indonesia yang diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, yang keduanya telah direvisi pada tahun 1970. Salah satu kebijaksanaan yang penting adalah bahwa investasi asing harus dalam bentuk patungan (Joint
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
12
Venture/JV) dengan partner Indonesia dan harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah. Sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK), PLN mempunyai kewajiban untuk menyediakan tenaga listrik (obligation to supply) sektoral maupun regional. Kewajiban ini mengharuskan PLN untuk menginvestasikan dananya untuk membangun saran pembangkit, transmisi dan distribusi tenaga listrik. Namun tingginya kebutuhan akan tenaga listrik menjadikan dana yang dimiliki oleh PLN tidak mencukupi lagi untuk memenuhi kewajibannya untuk menyediakan tenaga listrik. Permasalahan ini kemudian dipecahkan dengan pemberian kesempatan kepada pihak swasta untuk membangun pembangkit tenaga listrik dan kemudian menjual tenaga listrik yang dihasilkannya kepada PLN. Pembelian listrik oleh PLN dari pihak swasta ini dituangkan dalam perjanjian. Perjanjian jual beli listrik antara swasta dengan PLN ada dua nama, yaitu Power Purchase Agreement (PPA) dan Energy Sales Contract (ESC). Perbedaan penamaan ini didasarkan pada pembangkit listrik dengan tenaga apa swasta menyediakan tenaga listrik yang kemudian dijual kepada PLN. Sebagaimana diketahui, tenaga listrik merupakan bentuk energi sekunder, sehingga memerlukan sumber daya energi. Beberapa sumber daya energi yang digunakan untuk membangkitkan tenaga listrik di Indonesia antara lain adalah tenaga air, batubara, minyak bumi, gas bumi dan panas bumi. Untuk tenaga listrik yang dihasilkan dari pembangkit yang menggunakan sumber daya energi non panas bumi, kontrak jual beli listrik antara swasta dan PLN dituangkan dalam Power Purchase Agreement (PPA), sedangkan untuk pembangkit yang menggunakan sumber daya energi panas bumi kontraknya dituangkan dalam Energy Sales Contract (ESC). 1. Power Purchase Agreement (PPA) Perbedaan penamaan kontrak jual beli listrik antara perusahaan swasta dengan PLN dikarenakan adanya perbedaan kedudukan perusahaan swasta dalam kontrak jual beli listrik dengan PLN. Dalam Power Purchase Agreement (PPA), swasta berkedudukan Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
13
sebagai Penjual (seller) tenaga listrik kepada PLN. Hal ini dapat dilihat dari bagian pendahuluan salah satu Power Purchase Agreement (PPA) dengan pihaknya, sebut saja PT Z, sebagai Penjual dengan PLN sebagai Pembeli. Dalam bagian pendahuluan perjanjian tersebut disebutkan hal sebagai berikut: Terjemahan bebasnya penulis artikan sebagai berikut: POWER PURCHASE AGREEMENT Power Purchase Agreement ini tertanggal (), dibuat oleh dan antara PT Z ("Penjual"), sebuah perusahaan perseroan terbatas yang didirikan berdasarkan hukum Republik Indonesia dengan alamat kantor pusatnya di (), Indonesia, dan PT PLN (Persero) ("PLN"), sebuah perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum Republik Indonesia, dengan alamat kantor pusatnya di Jl. Trunojoyo No. 135 Kebayoran Baru, Jakarta 12160, Indonesia. "MENYATAKAN BAHWA" ......... BAHWA Penjual berniat untuk membentuk, membiayai, membangun, memiliki dan mengoperasikan fasilitas pembangkit listrik tenaga () yang terdiri dari () MW nilai nominal kapasitas dari fasilitas pembangkit dengan menggunakan tenaga () dari lapangan () dan Penjual berkeinginan untuk menjual kepada PLN tenaga listrik yang dibangkitkan dari pembangkit tersebut dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang tercantum dalam perjanjian ini; BAHWA PLN berkeinginan untuk membeli tenaga listrik dari Penjual dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang tercantum dalam perjanjian ini; ..." Dari kalimat-kalimat yang terdapat dalam bagian pendahuluan perjanjian tersebut di atas nyatalah bahwa pihak swasta dalam hal ini berkedudukan sebagai Penjual dan PLN
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
14
sebagai Pembeli. Walaupun kalimat-kalimat di atas hanyalah contoh dari salah satu Power Purchase Agreement, namun karena Power Purchase Agreement (PPA) adalah standard contract, khususnya mengenai hal-hal dan ketentuan yang bersifat umum, maka kalimat yang demikianlah yang terdapat dalam Power Purchase Agreement (PPA) yang lain. Artinya, dalam setiap PPA selalu hanya terdapat dua pihak sebagai subjek perjanjian yaitu pihak swasta yang berkedudukan sebagai penjual power/listrik dan PLN sebagai Pembeli power/listrik tersebut.
2.2
Syarat Sahnya Kontrak. ESC merupakan kontrak yang melibatkan tiga pihak, dimana pihak kontraktor
(PT XYZ) diberikan kewenangan untuk membangun, menguasai dan mengoperasikan PLTP di WKP di Indonesia berdasarkan Joint Operation Contract (JOC) dengan PERTAMINA, dan kemudian energi/listrik yang dihasilkan dari PLTP tersebut dijual kepada PERTAMINA (selaku pemegang Kuasa Pengusahaan Panas Bumi), untuk kemudian dijual kembali oleh PERTAMINA kepada PLN untuk kemudian didistribusikan kepada masyarakat. Dari pengertian mengenai ESC tersebut di atas, dapat kita simpulkan bahwa ESC merupakan suatu kontrak komersial (commercial contract)37. Robert W. Clark memberikan ciri kontrak komersial yang membedakan dengan kontrak konsumen, dimana dalam kontrak komersial terdapat “financial or economic motive
(benefit
motive)” yang mendasari hubungan para pihak38. Prinsip-prinsip UPICC tidak memberikan definisi yang tegas tentang rumusan kontrak komersial, tetapi membandingkannya dengan transaksi-transaksi yang
37
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, (Yogyakarta: LaksBang Mediatama Yogyakarta, 2008), hal, 5. Dalam prinsip-prinsip UNIDROIT (International Institute for the Unification of Private Law), Principles of International Commercial Contracts – penyebutan dalam tulisan ini kadang-kadang disingkat UPICC, Rome, 1994, hal. 2. Istilah kontrak komersial (commercial contracts) digunakan untuk membedakan dengan kontrak konsumen (consumer contracts). 38 Ibid., hal. 30.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
15
melibatkan konsumen (kontrak konsumen), yaitu dengan memberikan batasan mengenai “commercial contracts” sebagai berikut39: The restriction to “commercial” contracts is in no way intended to take over the distinstion traditionally made in some legal systems between “civil” and “commercial”parties and/or transactions, i.e. to make the application of the Principles dependent on whether the parties have the formal status of “merchants” (commercants, Kaufleute) and/or the transaction is commercial in nature. The idea is rather that of excluding from the scope of the Principles socalled “consumer transactions” which are within the various legal systems being increasingly subjected to special rules, mostly of a mandatory character, aimed at protecting the consumer, i.e. a party who enters into the contract otherwise than in the course of its trade or profession. The criteria adopted at both national and international level also vary with respect to the distinction between consumer and non-consumer contracts. The Principles do not provide any express definition, but the assumption is that the concept of “commercial” contracts should be understood in the broadest possible sense, so as to include not only trade transactions for the supply or exchange goods or services, but also othe types of economic transactions, such as investment and/or concession agreements, contracts for professional services, etc. Kontrak komersial, merupakan kontrak yang dapat dicirikan dengan unsur-unsur sebagai berikut40: a.
para pihak umumnya berorientasi pada tujuan “profit motive”;
b.
hubungan kontraktual antara para pihak (dianggap) seimbang dalam posisi tawar menawar;
c.
akseptasi syarat dan ketentuan dalam kontrak dapat dinegoisasikan oleh para pihak, atau dengan bentuk-bentuk lain yang disepakati;
d.
karakter bisnis (saling mencari keuntungan) lebih menonjol;
e.
pertukaran hak dan kewajiban tidak dilihat dari konteks keseimbanganmatematis, tetapi pada proses serta hasil pertukaran hak dan kewajiban yang fair (proporsional);
f.
bukan merupakan kontrak konsumen, artinya salah satu pihak bukan merupakan “end user” atau pengguna akhir dari produk;
39 40
Ibid., hal 30-31. Sebagaimana terdapat di prinsip-prinsip UNIDROIT, Rome, 1994, hal. 2. Ibid., hal. 32
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
16
g.
apabila dalam kontrak konsumen adanya intervensi (campur tangan) otoritas tertentu bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi konsumen, maka dalam kontrak komersial dalam hal terdapat intervensi pengaturan hal itu lebih ditujukan untuk memberikan dasar hukum bagi terciptanya aturan main yang fair di antara para pihak.
Sementara itu definisi dari kontrak atau perjanjian sendiri terkadang masih dipahami secara rancu, dimana banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah keduanya merupakan pengertian yang berbeda41. Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disingkat BW), memakai istilah overeenkomst dan contract untuk pengertian yang sama, dimana hal ini dapat dilihat dari judul pada Buku III titel kedua tentang “Perikatan-Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Perjanjian”42. Pengertian ini juga didukung pendapat banyak sarjana, diantaranya: Jacob Hans Niewenhuis43, Hofmann44, J.Satrio45, Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan46, Mariam Darus Badrulzaman47, Purwahid Patrik48, dan Tirtodiningrat49, dimana mereka menggunakan istilah kontrak dan perjanjian dalam perjanjian yang sama50. Istilah “kontrak” berasal dari bahasa Inggris, yaitu “contract”, sementara dalam bahasa Belanda disebut dengan “overeenkomst”, yang diterjemahkan dengan istilah “perjanjian”51.
41
Ibid., hal, 11. Ibid. 43 Ibid., Sebagaimana dikutip dari J.H. Niewenhuis dalam bukunya Hoofstukken Verbintennissenrecht, Kluwer-Deventer, 1976 (selanjutnya disingkat J.H. Niewenhuis-I), dan Drie Beginselen van Contractenrecht, Kluwer-Denver, 1979 (selanjutnya disingkat J.H. Niewenhuis-II), yang juga menggunakan istilah “contract” dalam beberapa tulisannya. 44 Ibid., Sebagaimana dikutip dari J. Satrio, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 19 45 Ibid., Ibid, Sebagaimana dikutip dari Soetojo Prawirohamdjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Perikatan, (Surabaya: Bina Ilmu, 1978), hal. 84 (selanjutnya disingkat Soetojo Prawirohamdjojo & Marthalena Pohan-I). 47 Ibid.,Sebagaimana dikutip dari Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Ed. II, Cet. 1, (Bandung: Alumni, 1996), hal. 89 (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzaman-I). 48 Ibid, Sebagaimana dikutip dari Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 45. 49 Ibid., Sebagaimana dikutip dari R.M. Suryodiningrat, Azas-Azas Hukum Perikatan, (Bandung: Tarsito, 1985), hal. 72. 50 Ibid., Madjedi Hasan, Pacta Sunt Servanda (Penerapan Asas “Janji Itu Mengikat” Dalam Kontrak 42
46
51
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
17
Sementara Subekti mengatakan bahwa perjanjian dan persetujuan adalah dua perkataan yang sama artinya, sedangkan perkataan “kontrak” lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis52. Black’s Law mendefinisikan kontrak sebagai suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan tertentu (“An agreement between two or more persons which creates an obligation to do or not to do a particular thing”)53. Adapun definisi dari perjanjian berdasarkan ketentuan Pasal 1313 BW yaitu54, suatu perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Perjanjian dapat melahirkan perikatan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1233 BW, bahwa55:
Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, baik karena undangundang.
Prof. Subekti membedakan pengertian dari perikatan dengan perjanjian, dimana definisi dari perikatan diberikan sebagai berikut56: Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Adapun definisi perjanjian yang diberikan Prof. Subekti57:
Bagi Hasil di Bidang Minyak dan Gas Bumi), (Jakarta: Fikahati Aneska, 2005), hal. 14. 52 Subekti, Hukum Perjanjian, cet. XII, (Jakarta: Intermasa, 1990), hal. 1. 53 Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, cet.2, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hal. 1. Sebagaimana dikutip dari Black’s Law Dictionary, 54 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 34, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), ps. 1313. 55 Ibid., ps. 1233. 56 Subekti, loc.cit. 57 Ibid.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
18
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari kedua definisi yang diberikan di atas, terlihat adanya perbedaan dari segi konsekuensi hukumnya, dimana pada perikatan masing-masing pihak mempunyai hak hukum untuk menuntut pelaksanaan prestasi dari masing-masing pihak yang telah bersepakat untuk terikat, sedangkan pada perjanjian tidak ditegaskan mengenai hak hukum yang dimiliki oleh masing-masing pihak yang mengadakan perjanjian, dalam hal salah satu dari pihak yang mengadakan perjanjian tersebut ternyata ingkar janji58. Mr.Dr. H.F. Vollmar dalam bukunya yang berjudul “Inleiding tot de Studie van het Nederlands Burgerlijk Recht”, menyatakan sebagai berikut59: Ditinjau dari isinya ternyata bahwa perikatan itu ada selama seseorang itu (debitur) harus melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat dipaksakan terhadap kreditu kalau perlu dengan bantuan hakim. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada 4 (empat) unsur penting dalam perikatan, yaitu: hubungan hukum, kekayaan, pihak-pihak dan prestasi60. Sementara, 5 (lima) hal yang menjadi unsur dari suatu kontrak, yaitu61:
58
Ricardo Simanjuntak, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, (Jakarta: Gramedia, 2006), hal. 23-24. 59 Mariam Darus Badrulzaman et al., Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 1. 60 Ibid., hal. 1-6. Lebih lanjut Ricardo Simanjuntak, op.cit., hal 24 mengungkapkan bahwa keempat unsur tersebut merupakan dasar terbentuknya perikatan sebagai sesuatu yang harus dipenuhi oleh para pihak yang berkontrak. Artinya, untuk tercipta suatu perikatan harus ada minimal dua orang yang melakukan hubungan hukum untuk melakukan prestasi ataupun pemenuhan terhadap hal-hal atau objek-objek yang disepakati. Objek kesepakatan tersebut, merupakan sesuatu yang dapat dinilai dengan uang (mempunyai nilai ekonomis) ataupun dapat diperdagangkan, seperti yang di atur dalam Pasal 1332 BW, yang apabila salah satu pihak tidak melakukan prestasinya (wanprestasi) baik dalam bentuk tidak melakukan atau terlambat melakukan, atau melakukan tidak sesuai dengan yang disepakati, maka pihak yang dirugikan akibat dari adanya wanprestasi tersebut, berdasarkan pasal 1266 BW, dapat melakukan langkah hukum melalui pengadilan, untuk memaksa pihak yang melakukan wanprestasi tersebut untuk kembali melakukan kewajiban-kewajibannya (memenuhi prestasinya) ataupun membatalkan disertai dengan penggantian biaya kerugian dan bunga (Pasal 1267 BW). 61 Elnawisah, “Klausula Force Majeure Dalam Kontrak Operasi Bersama Antara Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara dan Karaha Bodas Company L.L.C,” (Tesis Magister Hukum dalam Ilmu Hukum dan Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2005), hal. 16. Sebagaimana dikutip dari Brian Blum, Contracts-Examples & Explanations (New York: Aspen Law & Business), hal. 2
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
19
a.
perjanjian dapat dilakukan secara lisan ataupun tertulis (an oral or written agreement), yang dibuat secara sukarela, sehingga sifat dari perjanjian tersebut mencerminkan hubungan sukarela yang berisi kesepakatan (voluntary and consensual relationship); Meskipun pada dasarnya kontrak dapat dilakukan secara lisan, namun ada kontrak-kontrak yang oleh peraturan perundangundangan diwajibkan untuk dibuat secara tertulis;
b.
adanya keterlibatan dua pihak atau lebih (the involvement of two or more persons);
c.
adanya hubungan timbal balik (exchange relationship) yang mengikat para pihak untuk mencapai suatu tujuan bersama. Dalam hubungannya dengan kontrak dagang, unsur tukar menukar yang menandakan adanya hubungan timbal balik, adalah merupakan hal yang penting;
d.
janji (promise) melakukan sesuatu di masa yang akan datang, baik yang dinyatakan secara jelas (express) maupun tersirat (implied); dan adanya pengakuan hukum mengenai dapat dijalankannya suatu kontrak (legal recognized of enforceability).
Mengenai syarat sahnya suatu kontrak, dalam ketentuan hukum Indonesia, dapat kita temukan dalam buku III BW, mengenai perikatan, dimana ditetapkan62: a.
Syarat sahnya kontrak yang diatur dalam Pasal 1320 BW, dan;
b.
Syarat sahnya kontrak yang diatur di luar Pasal 1320 BW (vide Pasal 1335,
Pasal 1337, Pasal 1339 dan Pasal 1347 BW). Pasal 1320 BW, merupakan ketentuan utama dalam ketentuan hukum Indonesia, untuk menguji keabsahan suatu kontrak yang dibuat para pihak, dimana di dalam Pasal 1320 BW tersebut terdapat 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu kontrak, yaitu63: a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (de toesteming van degenen die zich verbinden);
62 63
Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal. 136. Ibid., Lihat juga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), op.cit., ps. 1320
BW
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
20
b. kecakapan untuk membuat perikatan (de bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan); c. suatu hal tertentu (een bepald onderwerp); d. suatu sebab yang halal atau diperbolehkan (eene geoor loofde oorzak). Harold mengemukakan, bahwa suatu kontrak yang sah (valid contract), harus memenuhi unsur-unsur berikut ini64: (1)
adanya suatu penawaran (offer);
(2)
adanya suatu penerimaan (acceptance);
(3)
didukung oleh konsiderans (dengan beberapa pengecualian);
(4)
dilakukan oleh para pihak yang memiliki kapasitas untuk melakukan kontrak; dan
(5)
tujuan dari kontrak harus merupakan sesuatu hal yang sah (legal). Dalam sistem hukum common law, untuk sahnya suatu kontrak disyaratkan
untuk dipenuhinya beberapa unsur, secara garis besar unsur-unsur tersebut meliputi65: a) Intention to create a legal relationship, para pihak yang berkontrak memang bermaksud bahwa kontrak yang mereka buat dapat dilaksanakan berdasarkan hukum. b) Agreement (Offer and Acceptance), artinya harus ada kesepakatan (meeting of mind) diantara para mereka. c) Consideration, merupakan janji diantara para pihak untuk saling berprestasi. M.L Barron menambahkan unsur-unsur untuk terbentuknya kontrak, selain ketiga unsur tersebut di atas, yaitu meliputi juga66: a) Capacity of parties, kecakapan para pihak. b) Reality of consent, artinya harus benar-benar kesepakatan yang sesuai dengan kehendaknya, bukan karena adanya cacat kehendak (mis-representation, duress or undue influence). c) Legality of Object (terkait dengan tujuan atau obyek yang harus diperbolehkan menurut hukum).
64
Elnawisah, loc.cit. Sebagaimana dikutip dari Harold F Lusk, Business in Law – Principles and Cases, (Illinois: Richard D. Irwin Inc, 1966), hal. 83. 65 Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal. 137 66 Ibid., hal. 137-138.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
21
UPICC dan RUU Kontrak (ELIPS) merumuskan keabsahan kontrak secara acontrario, sebagaimana terdapat dalam Pasal 3.1, dengan demikian disimpulkan bahwa untuk sahnya suatu kontrak, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut67: a) kemampuan (capacity); b) kewenangan (authority); c) berdasar hukum dan kesusilaan (morality and egality). Terkait dengan ketentuan Pasal 1320 BW, mengenai 4 (empat) syarat sahnya suatu kontrak, maka dari keempat syarat tersebut dapat dikategorikan menjadi 2 (dua), berdasarkan dari konsekuensi hukum yang akan diterima terkait tidak dipenuhinya masing-masing syarat yang dimaksud68. Pertama, syarat kesepakatan dan kecakapan, adalah syarat subyektif, karena berkenaan dengan diri orag atau subyek yang membuat kontrak69. Kedua, syarat obyek tertentu dan causa yang diperbolehkan, adalah syarat obyektif, karena mengenai objek dari kontrak70. Suatu kontrak yang tidak memenuhi syarat sahnya kontrak, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW, baik syarat subyektif maupun syarat obyektif, akan mempunyai akibat-akibat sebagai berikut71: a) “non-eksistensi”, apabila tidak ada kesepakatan maka tidak timbul kontrak. b) vernietigbaar, atau dapat dibatalkan, apabila kontrak tersebut lahir karena adanya cacat kehendak (wilsgebreke) atau karena ketidakcakapan (onbekwaamheid) – (syarat Pasal 1320 BW angka 1 dan 2), berarti hal ini terkait dengan unsur subyektif, sehingga berakibat kontrak tersebut dapat dibatalkan, dan c) nietig, atau batal demi hukum, apabila terdapat kontrak yang tidak memenuhi syarat obyek tertentu atau tidak mempunyai causa atau causanya tidak diperbolehkan (syarat Pasal 1320 BW angka 3 dan 4), berarti hal ini terkait dengan unsur subyektif, sehingga berakibat kontrak tersebut batal demi hukum. 1.
Kesepakatan. Adanya kesepakatan dalam mengadakan suatu kontrak, maka berarti para pihak
haruslah mempunyai kebebasan kehendak, dimana para pihak tidak mendapatkan
67 68 69 70 71
Ibid., hal. 138. Ibid., hal. 139. Ibid. Ibid. Ibid., hal. 139-140.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
22
sesuatu tekanan apapun yang mengakibatkan adanya “cacat” bagi terwujudnya kehendak tersebut72. Pengertian sepakat dengan demikian merupakan pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antara para pihak73. Pernyataan dari pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offer), sedangkan pernyataan dari pihak yang menerima tawaran disebut akseptasi (acceptance)74. Ajaran mengenai kapankah terjadinya suatu kontrak antara para pihak, yaitu75: 1) Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat. 2) Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran. 3) Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima. 4) Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak di anggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.
Berdasarkan syarat-syarat sahnya suatu kontrak, maka Asser membedakan bagian perjanjian, menjadi bagian inti (wezenlijk oordeel) dan bagian yang bukan inti (non wezenlijk oordeel)76. Termasuk bagian inti, yaitu essensialia dan bagian non-inti terdiri dari naturalia dan aksidentalia77.
Essensialia
: Bagian ini merupakan sifat yang harus ada di dalam perjanjian. sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta
72 73 74 75 76 77
Mariam Darus Badrulzaman et.al., op.cit., hal. 73 Ibid., hal 74. Ibid. Ibid. Ibid. Ibid. hal. 74-75.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
23
(constructive oordeel). Seperti, persetujuan antara para pihak dan objek perjanjian.
Naturalia
: Bagian ini merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti menjamin tidak ada cacat dalam benda yang dijual (vrijwaring).
Aksidentalia : Bagian ini merupakan sifat yang melekat pada perjanjian dalam hal secara tegas diperjanjikan oleh para pihak, seperti ketentuanketentuan mengenai domisili para pihak. Kontrak yang lahir dari adanya kesepakatan (karena bertemunya penawaran dan permintaan), adalah dimana terjadi kesesuaian antara kehendak dan pernyataan. Namun, hal tersebut tentunya tidak menutup kemungkinan bahwa kesepakatan dibentuk oleh adanya unsur cacat kehendak (wilsgebreke), bila demikian maka kontrak tersebut mempunyai akibat hukum dapat dibatalkan (vernietigbaar) . Dalam BW, tiga hal yang dapat menyebabkan suatu kontrak dapat dibatalkan berdasarkan adanya cacat kehendak, yaitu78: 1)
Kekhilafan. Pasal 1321 BW79: Tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Pasal 1322 BW80: Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan selainnya apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan. Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu persetujuan, kecuali jika persetujuan itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.
78 79 80
Ibid. hal. 75-77. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), op.cit., ps. 1321. Ibid., ps. 1322.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
24
Kekhilafan dibedakan dalam kekhilafan mengenai orangnya dinamakan error in persona, sedangkan kekhilafan mengenai hakikat barangnya dinamakan error in substantia81. 2)
Paksaan. Pasal 1323 BW82: Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu persetujuan, merupakan alasan untuk batalnya persetujuan, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk kepentingan siapa persetujuan, tersebut tidak telah dibuat. Pasal 1324 BW83: Paksaan telah terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada, orang tersebut bahwa dirinya atau kekayannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Dalam mempertimbagkan hal itu, harus diperhatikan usia, kelamin dan kedudukan orang-orang yang bersangkutan. Mengenai paksaan terhadap para pihak, diatur dalam Pasal 1325 BW84: Paksaan mengakibatkan batalnya suatu persetujuan tidak saja apabila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat persetujuan, tetapi juga apabila paksaan itu dilakukan terhadap suami atau ister atau sanak keluarga dalam garis ke atas maupun bawah. Pasal 1327 BW85: Pembatalan sesuatu persetujuan berdasarkan paksaan tidak lagi dapat dituntutnya, apabila setelah paksaan berhenti, persetujuan tersebut dikuatkan baik secara dinyatakan dengan tegas, maupun secara diam-diam, atau apabila seorang melampaukan waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dipulihkan seluruhnya.
81
82 83 84 85
Mariam Darus Badrulzaman et.al., op.cit., hal. 75 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), op.cit., ps. 1323 Ibid., ps. 1324. Ibid., ps. 1325. Ibid., ps. 1327.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
25
3)
Penipuan. Pasal 1328 BW86: Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan persetujuan, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan tetapi harus dibuktikan.
2.
Kecakapan. Kecakapan (bekwaamheid-capacity) yang dimaksud dalam Pasal 1320 BW,
yang merupakan syarat kedua tentang syarat sahnya kontrak, adalah kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum87. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, diartikan sebagai kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat diri sendiri tanpa dapat diganggu gugat88. Berdasarkan Pasal 1329 BW, yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum89: Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh undangundang tidak dinyatakan tidak cakap. Sementara yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, berdasar Pasal 1330 BW90: Tidak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan, adalah: 1. Orang-orang belum dewasa; 2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan 3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang, membuat persetujuan-persetujuan tertentu. Kriteria belum dewasa ditetapkan oleh Pasal 330 BW, sebagai berikut91: Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan sebelumnya belum kawin.
86 87 88
89 90 91
Ibid., ps. 1328. Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal. 161. Ibid. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), op.cit., ps. 1329. Ibid., ps. 1330. Ibid., ps. 330
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
26
Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, menurut Pasal 433 BW92: Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya. Apabila seseorang yang belum dewasa dan mereka yang diletakkan di bawah pengampuan itu akan mengadakan perjanjian, maka yang yang mewakilinya masingmasing adalah orang tua dan pengampunya93. Pasal 1330 BW butir ketiga menyebutkan bahwa seorang wanita yang bersuami tidak cakap untuk mengadakan perjanjian, namun ketentuan tersebut tidaklah berlaku lagi karena sejak tahun 1963 berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3/1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, kedudukan wanita yang telah bersuami diangkat ke derajat yang sama dengan pria, untuk mengadakan mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan pengadilan, dengan itu maka ia tidak memerlukan bantuan lagi dari suaminya94. Dikatakan bahwa yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, dapat menuntut pembatalan, maka sejauh mana mereka yang tidak cakap tersebut berhak membatalkan perjanjian yang dibuatnya, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1446 BW dan seterusnya95. Pasal 1331 BW96: Karena itu orang-orang yang di dalam pasal yang lalu dinyatakan tak cakap, boleh menuntut pembatalan perikatan-perikatan yang mereka telah perbuat, dalam hal-hal di mana kekuasaan itu tidak dikecualikan oleh undang-undang. Orang-orang yang cakap untuk mengikatkan diri tidak sekali-kali diperkenankan mengemukakan ketidakcakapan orang-orang yang belum dewasa, orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan dan perempuan-perempuan yang bersuami dengan siapa mereka telah membuat suatu persetujuan.
92
93 94 95 96
Ibid., ps. 433. Mariam Darus Badrulzaman et.al., op.cit., hal. 78. Ibid., hal. 79 Ibid. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), op.cit., ps. 1331.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
27
3.
Suatu Hal Tertentu. Suatu perjanjian haruslah mempunyai objek (bepaald onderwerp) tertentu,
sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan yang nantinya akan ada, lebih lanjut dijelaskan97: 1) Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan. 2) Barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum antara lain seperti jalan umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum dan sebagainya tidaklah dapat dijadikan objek perjanjian. 3) Dapat ditentukan jenisnya. 4) Barang yang akan datang. Pasal 1332 BW98: Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok persetujuan-persetujuan.
5) Objek perjanjian. Pasal 1333 BW99: Suatu persetujuan harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.
6) Barang yang akan ada. Pasal 1334 BW100: Barang yang baru, akan ada di kemudian hari dapat menjadi pokok suatu persetujuan. Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok
97 98 99 100
Mariam Darus Badrulzaman et.al., loc.cit. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), op.cit., ps. 1332. Ibid., ps. 1333. Ibid., ps. 1334.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
28
persetujuan itu; dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan Pasal 169, Pasal 176 dan Pasal 178 yang dilarang oleh undang-undang untuk dijadikan pokok perjanjian adalah benda-benda yang berada di luar perdagangan dan warisan yang belum terbuka. 4.
Suatu Sebab Yang Halal. Mengenai pengertian “suatu sebab yang halal” (eene geoorloofde oorzaak) atau
“causa yang diperbolehkan”, beberapa Sarjana mengajukan pemikirannya, antara lain H.F.A Vollmar dan Wirjono Prodjodikoro, yang memberikan pengertian sebab (causa) sebagai maksud atau tujuan dari perjanjian101. Sementara Subekti, menyatakan bahwa sebab adalah isi dari perjanjian itu sendiri, dengan demikian causa merupakan prestasi dan kontra prestasi yang saling dipertukarkan oleh para pihak102. Yurisprudensi menafsirkan kausa sebagai isi atau maksud dari perjanjian103. Melalui syarat kausa, di dalam praktek maka ia merupakan upaya untuk menempatkan perjanjian di bawah pengawasan hakim104. Mengenai suatu sebab yang halal, harus diperhatikan ketentuan BW sebagai berikut
105
:
1) Perjanjian tanpa kausa. Pasal 1335 BW106:
Suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarag, tidak mempunyai kekuatan.
2) Sebab yang halal. Pasal 1336 BW107: Jika tak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab lain, dari pada yang dinyatakan, persetujuannya namun demikian adalah sah.
101 102 103 104 105 106 107
Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal. 171 Ibid. Mariam Darus Badrulzaman et.al., op.cit., hal. 81 Ibid. Ibid., hal. 80-81. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), op.cit., ps. 1335. Ibid., ps. 1336.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
29
3) Sebab yang terlarang. Pasal 1337 BW108:
Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Hakim dapat menguji apakah tujuan dari suatu perjanjian itu dapat dilaksanakan dan apakah isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 BW)109. Berdasarkan ketentuan Pasal 12 ESC, disebutkan bahwa:
This Contract shall be governed by the laws and regulations of the Republic of Indonesia. Terjemahan bebasnya, penulis artikan sebagai berikut: Kontrak ini tunduk pada ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian, sebelum menganalisa lebih jauh mengenai ESC ini, maka Penulis terlebih dahulu akan menganalisa apakah ESC ini telah memenuhi syarat sahnya kontrak, sebagaimana yang diatur dalam hukum dan perundang-undangan di Indonesia, dalam hal ini adalah pasal 1320 BW, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya: 1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Kesepakatan para pihak dalam ESC ini dapat dilihat pada bagian pendahuluan
angka 4 ESC ini, yang menyatakan: “... WHEREAS PLN agrees to purchase and pay for Geothermal Energy and Electricity from Geothermal Energy delivered and or made available from ..., and PERTAMINA agrees to sell such Geothermal Energy and Electricity to PLN pursuant to a Joint Operation Contract with COMPANY ...” Terjemahan bebasnya penulis artikan sebagai berikut: “... BAHWA PLN setuju untuk membeli dan membayar untuk semua energi panas bumi dan listrik yang dihasilkan dari energi panas bumi yang dikirimkan dan/atau
108 109
Ibid., ps. 1337 Mariam Darus Badrulzaman, op.cit., hal. 82.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
30
dihasilkan dari ..., dan PERTAMINA setuju untuk menjual energi panas bumi dan listrik kepada PLN sebagaimana ditetapkan dalam Joint Operation Contract (Kontrak Operasi Bersama) dengan Perusahaan..” Yang dimaksud dengan “Perusahaan” dalam ESC, adalah PT XYZ, yang bertindak sebagai kontraktor berdasarkan Joint Operation Contract yang dibuatnya dengan PERTAMINA. Kesepakatan tersebut kemudian ditegaskan kembali lebih lanjut dalam Pasal II ayat 1, yang berbunyi:
“This Contract, entered into pursuant to and in conjuction with the Joint Operation Contract, is a contract in which PLN agrees to purchase from PERTAMINA, Geothermal Energy and Electricity generated from such Geothermal Energy which may be produced and delivered by COMPANY to PLN on behalf of PERTAMINA pursuant to its Joint Operation Contract with PERTAMINA.” Terjemahan bebasnya, penulis artikan sebagai berikut: “Kontrak ini, dibuat berdasarkan dan bersesuaian dengan Joint Operation Contract, merupakan kontrak dimana PLN setuju untuk membeli dari PERTAMINA, energi panas bumi dan listrik yang dibangkitkan dari energi panas bumi yang dihasilkan dan dikirimkan oleh PERUSAHAAN kepada PLN atas nama atau sebagai kuasa dari PERTAMINA sebagaimana ditetapkan dengan Joint Operation Contract yang dibuat dengan PERTAMINA. Dari perumusan pasal ESC tersebut di atas, jelas dinyatakan kesepakatan di antara para pihak, mengenai ESC tersebut. 2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Syarat sahnya kontrak yang kedua adalah para pihak yang membuat kontrak
tersebut haruslah cakap untuk membuat kontrak. Dalam ESC ini, para pihaknya bukanlah merupakan orang perseorangan, melainkan merupakan badan hukum.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
31
Dalam BW, ketentuan-ketentuan mengenai badan hukum (baik definisi dan kewenangannya) diatur dalam Pasal 1653 BW sampai dengan Pasal 1665 BW.110 Dalam Pasal 1653 BW dinyatakan sebagai berikut111:
Selain perseroan perdata sejati, perhimpunan orang-orang sebagai badan hukum juga diakui undang-undang, entah badan hukum itu diadakan oleh kekuatan umum atau diakuinya sebagai demikian, entah pula badan hukum itu diterima sebagai yang diperkenankan atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan. Selanjutnya, pasal 1654 BW menegaskan kewenangan badan hukum untuk melakukan perbuatan-perbuatan perdata, yaitu112:
Semua badan hukum yang berdiri dengan sah, begitu pula orang-orang swasta, berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan perdata, tanpa mengurani perundang-undangan yang mengubah kekuasaan itu, membatasi atau menundukkannya kepada tata cara tertentu.
Lebih lanjut, ketentuan Pasal 1655 BW menetapkan kewenangan pengurus badan hukum sebagai berikut113:
Para pengurus badan hukum, bila tidak ditentukan lain akta pendiriannya, dalam surat perjanjian atau dalam reglemen, berkuasa untuk bertindak demi dan atas nama badan hukum itu kepada pihak ketiga atau sebaliknya dan untuk bertindak dalam sidang pengadilan, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat. Dengan demikian, maka mengenai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, dari masing-masing pihak dalam ESC ini, haruslah memenuhi ketentuan Pasal 1653-1655 BW, dimana harus diperhatikan Anggaran Dasar dari masing-masing pihak dalam ESC untuk mengetahui siapa yang berhak untuk menandatangani (menyepakati) dan mengadakan ESC ini. Dalam hal ini, penulis berasumsi bahwa para pihak yang menandatangani ESC ini, PLN, PERTAMINA dan PT XYZ merupakan pihak-pihak
110 111 112 113
Madjedi Hasan, op.cit., hal. 18 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), op.cit., ps. 1653. Ibid., ps. 1654 Ibid., ps. 1655
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
32
yang
berwenang
untuk
mengadakan
perjanjian
ESC
ini,
dan
menyepakati
(menandatangani) ESC ini, oleh karena pada bagian penandatanganan ESC, dapat dilihat bahwa ESC ini telah disetujui oleh Menteri Pertambangan dan Energi Republik Indonesia, sebagai perwakilan atau mewakili Pemerintah Republik Indonesia. 3.
Suatu Hal Tertentu. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa suatu perjanjian haruslah
mempunyai objek tertentu. Dalam ESC ini, yang menjadi objek dari perjanjian adalah energi panas bumi dan tenaga listrik yang dihasilkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi yang dibangun, dimiliki dan dioperasikan oleh PT XYZ, sebagaimana dinyatakan dalam bagian pendahuluan angka 3 dan Pasal II ayat 1 ESC ini, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. 4.
Suatu Sebab Yang Halal. ESC ini tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban
umum, oleh karena pembuatan ESC ini didasarkan (bersesuaian) pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat dibuatnya ESC ini, sebagaimana ternyata dari bagian pendahuluan angka 4.
Dengan menguraikan satu persatu unsur-unsur syarat sahnya perjanjian dan dikaitkan dengan isi pasal-pasal dalam ESC ini, maka ESC ini adalah sah dan oleh karenanya isinya mengikat para pihak yang membuatnya114.
2.3
Klausula Force Majeure ESC Dikaitkan Dengan Asas Kebebasan Berkontrak. Terkait dengan force majeure (keadaan memaksa), buku III BW mengaturnya
secara tersebar dalam beberapa pasal, yaitu bagian IV Tentang Penggantian Biaya, Rugi dan Bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan (Pasal 1244-1245 BW) dan bagian
114
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), op.cit., ps. 1338. Dikatakan bahwa: (1) “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. (2) Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. (3) Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
33
VII Tentang Musnahnya Barang yang terutang (Pasal 1444-1445 BW)115. Rumusan force majeure menurut pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 1244 BW menyatakan116: Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum untuk mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan, bahwa tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu jika tidak ada iktikad buruk padanya. Pasal 1245 BW117: Tidak ada penggantian biaya, rugi dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena suatu kejadian yang tidak disengaja, si berutang debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang. Pasal 1444 BW118: Jika barang tertentu yang menjadi pokok persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkannya suatu barang sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama di tangannya si berpiutang, seandainya sudah diserahkan kepadanya. Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicuri, musnah atau hilang, hilangnya barang ini tidak sekali-kali membebaskan orang yang mencuri barang dari kewajibannya untuk mengganti harga. Pasal 1445 BW119: Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang, musnah, tak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang mengutangkan kepadanya.
115 116 117 118 119
Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal. 242. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), op.cit., ps. 1244. Ibid., ps. 1245. Ibid., ps. 1444. Ibid., ps. 1445.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
34
Berdasarkan rumusan-rumusan dari pasal-pasal tersebut di atas, maka force majeure merupakan peristiwa yang tidak terduga yang terjadi di luar kesalahan debitor, setelah ditandatanganinya kontrak, yang menghalangi debitor untuk memenuhi prestasinya, sebelum ia dinyatakan lalai dan karenanya tidak dapat dipersalahkan serta tidak menanggung resiko atas kejadian tersebut120. Dengan adanya force majeure, maka mengakibatkan suatu perikatan tidak lagi bekerja (werking) walaupun perikatannya sendiri tetap ada, dalam hal ini maka121: a. Kreditur tidak dapat menuntut agar perikatan itu dipenuhi. b. Tidak dapat mengatakan debitur berada dalam keadaan lalai dan karena itu tidak dapat menuntut. c. Kreditur tidak dapat meminta pemutusan perjanjian. d. Pada perjanjian timbal balik, maka gugur kewajiban untuk melakukan kontraprestasi. Jadi pada asasnya perikatan itu tetap ada dan yang lenyap hanyalah daya kerjanya. Bahwa perikatan tetap ada, penting pada keadaan memaksa yang bersifat sementara. Perikatan itu kembali mempunyai daya kerja jika keadaan memaksa itu berhenti. e. Hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan keadaan memaksa ini ialah: 1) Debitur dapat mengemukakan adanya keadaan memaksa itu dengan jalan penangkisan (eksepsi). 2) Berdasarkan Jabatan Hakim tidak dapat menolak gugat berdasarkan keadaan memaksa, yang berutang memikul beban untuk membuktikan adanya keadaan memaksa. Adanya force majeure, tentunya tidak lepas dengan resiko122 tanggung gugat bagi para pihak123. Berikut adalah teori-teori terkait dengan adanya keadaan memaksa124:
120
Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal. 243. Mariam Darus Badrulzaman et.al., op.cit., hal. 26. 122 Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal. 244. Sebagaimana dikutip dari Subekti, yang dimaksud dengan resiko adalah kewajiban untuk memikul beban kerugian apabila terjadi peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak yang dimaksud dalam perjanjian atau menghalangi pelaksanaan prestasi. Subekti, Aneka 121
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
35
a)
Ajaran yang objektif (de objectieve overmachtsleer) atau absolut. Menurut teori ini, yang dimaksud dengan force majeure (keadaan memaksa) yang objektif, adalah dimana pemenuhan prestasi dari suatu kontrak tersebut tidak akan mungkin dilaksanakan oleh siapapun juga atau setiap orang (lihat Pasal 1444 BW).
b)
Ajaran yang subjektif (de subjectieve overmachtsleer) atau relatif. Menurut teori ini, keadaan memaksa yang relatif timbul apabila debitur sebenarnya masih dimungkinkan untuk melaksanakan pemenuhan prestasi dari suatu kontrak tersebut, hanya saja pemenuhan prestasi tersebut akan menyebabkan kesukaran atau pengorbanan yang besar dari si debitur (kesulitan yang besar), sehingga dalam hal ini maka kreditur tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi tersebut. Berdasarkan dari pengertian yang diberikan oleh Pasal 1244 dan Pasal 1245
BW, terlihat bahwa dalam hukum Indonesia doktrin force majeure dilaksanakan demi hukum, bukan karena pelaksanaan kesepakatan dalam kontrak (contractual obligation), jadi meskipun para pihak dalam suatu kontrak tidak secara spesifik mengatur adanya keberlakuan doktrin force majeure dalam kontraknya, tetapi tetap saja demi hukum doktrin force majeure tersebut dapat diberlakukan sebagai alasan hukum bagi salah satu pihak yang tidak dapat melakukan kewajibannya sesuai dengan yang telah diperjanjikan dalam kontrak125. Mengenai sifat dari force majeure, Subekti menjelaskan bahwa pada awalnya pengertian force majeure yang dipahami oleh para ahli, hanya sebagai halangan yang muncul dari kejadian hebat dan menimbulkan akibat besar yang luas dan permanen, contohnya: bencana alam, wabah penyakit, peperangan, ataupun kekacauan yang begitu hebat yang mengakibatkan debitur menjadi tidak mungkin sama sekali untuk memenuhi
Perjanjian, cet. 6, (Bandung: Alumni, 1995), hal. 144. Sementara menurut Mariam Darus Badrulzaman, resiko adalah ajaran tentang siapakah yang harus menanggung ganti rugi apabila debitor tidak memenuhi prestasi dalam keadaan force majeure (keadaan memaksa). Periksa Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Ed. II, Cet. 1, (Bandung: Alumni, 1996), hal. 39. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada kaitan antara force majeure dengan resiko. 123 Ibid. 124 Mariam Darus Badrulzaman et.al., op.cit., hal. 26-27. 125 Richardo Simanjuntak, op.cit., hal. 203.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
36
prestasinya dalam kontrak tersebut, yaitu misalnya karena barang yang menjadi objek dari kontrak tersebut musnah126. Dalam perkembangannya, ternyata force majeure juga mencakup kejadian-kejadian penghalang yang tidak bersifat mutlak atau bersifat mutlak127. Bahkan menurut William F. Fox, cakupan dari force majeure tidak hanya meliputi hal-hal yang umum seperti disebutkan di atas, tetapi juga meliputi halanganhalangan yang timbul mulai dari bencana alam (natural disasters) hingga adanya kekacauan politik di suatu negara (political disruptions)128. Pemahaman bahwa force majeure juga meliputi halangan yang bersifat sementara juga dengan tegas diatur dan dijelaskan dalam Pasal 7.1.7 dari UNIDROIT, yaitu129: 1) Non-performance by a party is excused if that party proves that the nonperformance was due to an impediment beyond its control and that if could not reasonably be expected to have taken the impediment into account at the time of the conclusion of the contract or to have avoided or overcome it or its consequences. 2) When the impediment is only temporary, the excuse shall have effort for such period as is reasonable having regard to the effect of the impediment on the performance of the contract. 3)The Party who fails to perform must give notice to the other party of the impediment and its effect on its ability to perform. If the notice is not received by the other party who fails to perform knew or ought to have known of the impediment, it is liable for damages resulting from such non-receipt. 4) Nothing in this article prevents a party from exercising a right to terminate the contract or to withold performance or request interest on money due. Berdasarkan Pasal 7.1.7 dari UNIDROIT tersebut di atas, sangatlah penting diperhatikan bahwa daalam perancangan kontrak, selain terhadap ketentuan force majeure yang bersifat permanen, perlu juga disertakan pengaturan force majeure yang hanya bersifat sementara130. Selain itu, dalam ketentuan tersebut dijelaskan pula tentang
126
Ibid., hal. 205. Ibid. 128 Ibid. Sebagaimana dikutip dari Professor William F. Fox dalam bukunya The International Commercial Agreements (second edition), yang menggambarkan bahwa bentuk-bentuk halangan yang masuk pada kualifikasi force majeure tersebut tipikalnya lebih digambarkan pada bentuk-bentuk halangan yang diakibatkan oleh bencana alam (natural disasters) walaupun banyak kemudian dikembangkan kepada halangan-halangan yang timbul dari suatu kekacauan politik suatu negara (political disruptions). 129 Ibid., hal. 205-206. 130 Ibid., hal. 206. 127
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
37
perlunya diatur tentang kewajiban debitur yang tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk segera melaporkan adanya peristiwa force majeure kepada kreditur ataupun mitra berkontraknya131. Debitur dalam hal ini tidak dapat bebas dari kewajiban hukumnya, apabila peristiwa force majeure yang menjadi latar belakang dari ketidakmampuannya untuk melaksanakan pemenuhan prestasi sebagaimana yang ditetapkan dalam kontrak, tidak dilaporkan kepada pihak lainnya132. “Sepakat mereka yang mengikatkan diri” merupakan asas yang paling penting dari
Hukum
Perjanjian,
dimana
asas
ini
dinamakan
juga
asas
“konsensualisme”, yang menentukan adanya (raison d’etre, het bestaanwaarde)
otonomi 133
.
Kebebasan berkontrak merupakan refleksi dari perkembangan paham pasar bebas yang dipelopori oleh Adam Smith134. Pemikiran Adam Smith ini sendiri berdasarkan pada ajaran hukum alam135. Penganjur ajaran hukum alam yang terkemuka ini diantaranya adalah Hugo Grotius, yang berpendapat bahwa hak untuk mengadakan perjanjian adalah salah satu dari hak-hak asasi manusia136. Hugo Grotius ini yang mengemukakan bahwa ada suatu supreme body of law yang didasari oleh nalar manusia (human reason) yang disebutnya sebagai hukum alam (natural law), oleh karenanya ia beranggapan bahwa suatu kontrak adalah suatu tindakan sukarela dari seseorang dimana ia berjanji sesuatu kepada orang lain dengan maksud bahwa orang lain itu akan menerimanya, dimana kontrak tersebut adalah lebih dari sekedar suatu janji, karena suatu janji tidak memberikan hak kepada pihak yang lain atas pelaksanaan dari janji tersebut137. Pendekatan berdasarkan hukum alam terhadap kebebasan berkontrak sebagai suatu kebebasan manusia yang fundamental, juga dikemukakan oleh Thomas Hobbes, dimana kontrak, menurut Thomas Hobbes, merupakan metode dimana hak-hak
131
Ibid. Ibid. 133 Mariam Darus Badrulzaman et.al., op.cit., hal. 83. 134 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 17. 135 Ibid. 136 Ibid., hal. 19. 137 Ibid., hal. 20. Sebagaimana dikutip dari Peter Aronstam, Consumer Protection, Freedom of Contract And The Law, (Cape Town: Juta & Company Limited, 1979), hal. 1. 132
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
38
fundamental dari manusia dapat dialihkan138. Sebagaimana halnya dengan ajaran hukum alam, yang mengedepankan tentang perlu adanya kebebasan bagi manusia, maka hal tersebut berlaku juga berkaitan dengan kontrak-kontrak139. Adam Smith bahkan mengusulkan sebagai salah satu asas ekonomi politik (politic economy) suatu ketentuan yang menyatakan bahwa peraturan perundangundangan seharusnya tidak digunakan untuk mencampuri kebebasan berkontrak karena kebebasan ini penting bagi kelanjutan perkembangan perdagangan dan industri140. John Stuart Mill dalam karangannya On Liberty, yang diterbitkan pada tahun 1859, Mill menggunakan konsep freedom of action dalam dua cara141. Pertama, menggunakan konsep tersebut sebagai pernyataan dari kebebasan-kebebasan dasar manusia142. Mill mengemukakan bahwa campur tangan negara di dalam masyarakat mana pun juga harus diusahakan seminimum mungkin dan bahwa campur tangan negara atau institusi negara yang merintangi terhadap kebebasan-kebebasan dasar manusia, yang tindakan mana merupakan campur tangan terhadap kebebasan-kebebasan dasar manusia, harus dihentikan143. Kedua, Mill mengemukakan bahwa setiap orang di dalam masyarakat harus bebas untuk mengejar kepentingannya dengan cara yang dipilihnya sendiri, tanpa perlu mengacuhkan pendapat-pendapat anggota masyarakat lainnya terhadap kebijaksanaan dari tindakannya itu, oleh karena itu ia bebas untuk mengadakan setiap hubungan kontraktual, hal mana merupakan bagian dari kebebasan umum untuk berbuat144. Mill kemudian juga berpendapat, bahwa adalah merupakan fungsi dari suatu hukum untuk menjamin dapat dilaksanakannya kehendak untuk mengadakan kontrak145. Dari pandangan Mill tersebut dapat dikatakan bahwa tidak perlu dipedulikan apakah orang tersebut telah melakukan tawar menawar dengan posisi ekonominya yang lemah dan tidak pula perduli apakah pihak yang lain telah menerapkan syarat-syarat 138
Ibid. Ibid. Sebagaimana dikutip dari Peter Aronstam, Consumer Protection, Freedom of Contract And The Law, (Cape Town: Juta & Company Limited, 1979), hal. 3. 140 Ibid., hal. 20-21. 141 Ibid., hal. 25. 142 Ibid. 143 Ibid. 144 Ibid. 145 Ibid. 139
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
39
yang secara tidak wajar sangat memberatkan146. Seseorang yang mengadakan kontrak tersebut adalah merupakan hakim yang terbaik dari kepentingannya sendiri, sangatlah bebas untuk menentukan apakah ia mau memenuhi suatu kontrak meskipun telah diketahuinya bahwa kontrak tersebut tidaklah adil147. Namun demikian, Mill dalam pendapatnya yang lain telah menyediakan suatu klasifikasi dalam filsafat utilitarianisme ini, yaitu bahwa kebebasan seseorang untuk bertindak, harus dibatasi sehingga tindakannya tersebut tidak mendatangkan kerugian bagi orang lain148. Pada tahun 1870, pengadilan-pengadilan tidak saja menerima asas kebebasan berkontrak tetapi telah mengembangkannya sampai mencapai klimaksnya, hal ini dibuktikan dari pendapat Hakim Jessel M.R dalam perkara Printing and Numerical Registering Company v. Sampson (1875), sebagai berikut149: If there is one thing which more than another public policy requires, it is that men of full and competent understanding shall have the utmost libert of contracting, and that their contracts when entered into freely and voluntarily shall be held sacred and shall be enforced by courts of justice. Therefore you have this paramount public policy to consider in that you are not lightly to interfere with this freedom of contract. Hakim Jessel M.R kemudian juga mengungkapkan pendapat yang sama dalam putusan yang lain, yaitu Bennet v Bennet (1876), suatu putusan yang menyangkut money lending, dimana dalam perkara ini Hakim Jessel M.R membenarkan suatu transaksi money lending dengan tingkat bunga 60% (enam puluh persen) yang dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kekayaan yang banyak, tetapi adalah seorang pemabuk150. Dalam putusan tersebut, hakim Jessel M.R berpendapat bahwa seseorang boleh saja setuju untuk membayar bunga 100% (seratus persen) apabila dikehendakinya, dan tidak ada alasan mengapa seseorang tidak boleh berlaku bodoh151. Lebih lanjut dikatakan, bahwa seseorang diperbolehkan oleh hukum untuk berlaku bodoh apabila dikehendakinya, seseorang mungkin saja berjudi atas pasar bursa atau di
146
Ibid. Ibid. 148 Ibid. 149 Ibid., hal. 25. Sebagaimana dikutip dari P.S. Atiyah, The Rise and Fall of Freedom of Contract, (Oxford: Clorendon Press, 1979), hal. 387. 150 Ibid. Sebagaimana dikutip dari P.S. Atiyah, op.cit., hal.388. 151 Ibid. Sebagaimana dikutip dari P.S. Atiyah, loc.cit. 147
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
40
suatu meja permainan, atau menghabiskan uangnya untuk suatu pesta pora yang berlebih-lebihan, seseorang mungkin saja bodoh untuk melakukan hal tersebut, tetapi tetap saja hukum tidak dapat mencegah orang itu untuk berlaku bodoh152. P.S. Atiyah menyatakan kesepakatannya bahwa asas kebebasan berkontrak merupakan aturan dasar yang utama dan terpenting, dengan menyatakan153: “(It) is one of the most fundamental features of the law of contract...”
Pandangan P.S Atiyah tersebut, juga disepakati dalam Resolusi yang dikeluarkan dalam sidang tahunan Institut Hukum Internasional (The Institute of International Law) di Kota Basel, 1991, dimana dalam Resolusi tersebut ditegaskan bahwa otonomi para pihak merupakan prinsip fundamental dalam hukum perdata internasional154. Ketentuan mengenai force majeure yang tercantum dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 BW memuat unsur-unsur force majeure. Maksud dari unsur “peristiwa” dalam keadaan yang memaksa adalah peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan yang bagaimana saja yang menurut ajaran tentang keadaan memaksa diterima untuk adanya keadaan memaksa. Sebagaimana disebutkan di atas Undang-Undang tidak memberikan keterangan lebih lanjut mengenai apa yang disebut “keadaan memaksa”(Pasal 1244, 1245 dan Pasal 1444 BW). Sebagai akibat dari overmacht menurut Pasal 1244 dan Pasal 1245, “kewajiban prestasi” debitur menjadi hapus dan konsekuensi lebih lanjut adalah bahwa debitur tidak perlu mengganti kerugian kreditur yang diakibatkan oleh peristiwa itu (karena tidak ada kewajiban prestasi pada debitur). Menurut ketentuan Pasal 1244 dan Pasal 1245 tersebut dapat diketahui bahwa unsur-unsur force majeure adalah sebagai berikut: 152
Ibid., hal. 27. Sebagaimana dikutip dari P.S. Atiyah, loc.cit. Huala Adolf, op.cit., hal. 20. Sebagaimana dikutip dari P.S Atiyah, An Introduction to the Law of Contract, (Oxford: Clarendon Press, 1984), hal. 7. Dimana menurut P.S Atiyah, prinsip kebebasan berkontrak ini (freedom of contract) bermuara pada dua konsep: (1) kebebasan berkontrak menandakan bahwa kontrak tersebut didasarkan pada kesepakatan timbal balik; (2) bahwa kebebasan tersebut menekankan bahwa pembentukan kontrak sebagai hasil dari pilihan yang bebas para pihak yang tidak dipengaruhi oleh adanya campur tangan pihak luar (external control), misalnya campur tangan pemerintah atau legislatif. (P.S. Atiyah, op.cit., hal. 5) 154 Ibid. 153
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
41
-
hal yang tidak terduga
-
tidak dapat dipersalahkan kepadanya (tak dapat dipertanggungjawabkan padanya)
-
tidak ada itikad buruk daripadanya Sebagai contoh kasus overmacht dapat disebutkan putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 409/K/Sip/1983 tanggal 25 Oktober 1984 mengenai sengketa jasa pengangkutan antara Rudi Suardana, direktur CV. Samekar Indah (Penggugat) melawan Perusahaan Pelayaran PT Gloria Kaltim (Tergugat). Penggugat mengirim barang berupa 66 unit sepeda motor dari Surabaya ke Samarinda dengan menggunakan jasa PT Gloria Kaltim. Untuk melaksanakan kontrak pengangkutan barang tersebut, PT Gloria Kaltim memakai KM Halifah Akbar yaitu kapal yang diageninya. Dalam perjalanan ke Samarinda kapal mengalami musibah laut karena diterjang ombak besar yang mengakibatkan kapal tersebut tenggelam. Penggugat mengajukan klaim ganti rugi kepada tergugat dengan alasan tergugat melakukan wanprestasi karena tenggelamnya kapal telah dapat diduga oleh tergugat, dengan alasan: 1. kapal motor terbuat dari kayu, 2. kapal motor melebihi muatan. 3. waktu berlayar bulan Desember musim ombak besar Tergugat tidak bersedia memenuhi tuntutan tersebut dengan alasan terjadi kejadian yang di luar dugaan, yaitu kapal tenggelam karena musibah di laut. Pada tingkat Pengadilan Negeri, gugatan tersebut dikabulkan karena
tergugat terbukti
melakukan wanprestasi. Putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Samarinda. Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung memutuskan membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dan mengadili sendiri dengan menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya, yang berarti tergugat dibebaskan dari tuntutan ganti rugi karena wanprestasi, dengan pertimbangan bahwa kapal motor Khalifah tenggelam karena force majeure, dengan alasan: 1. kapal khalifah akbar telah dinyatakan sebagai kapal yang laik laut, 2. tidak ada bukti bahwa kapal dalam keadaan kelebihan muatan, 3. keberangkatan kapal telah mendapat izin dari syahbandar, 4. terbukti (bukti T2) kapal tenggelam karena ombak besar memukul lambung kapal, dampul pada nad kapal lepas sehingga air banyak masuk. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat bahwa tenggelamnya kapal tersebut bukan karena kelalaian tergugat,
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
42
sehingga tidak mampunya tergugat menyerahkan 66 unit sepeda motor kepada penggugat hanyalah disebabkan keadaan memaksa (overmacht) yang dialaminya155. Riduan Syahrani mengemukakan inspannings theori yang dikutip dari Houwing yang menyatakan bahwa seseorang tidak lagi dapat dimintakan pertanggungan jawabannya apabila ia telah berusaha dengan sekuat tenaga untuk melaksanakan perjanjian dan menghindarkan diri dari segala malapetaka tetapi tetap tidak membawa hasil apa-apa. Teori ini menurut Hofman mengandung kelemahan-kelemahan yaitu: (1) hanya menitikberatkan kepada usaha-usaha, sedangkan yang penting bukann usahanya melainkan hasilnya, dan (2) teori itu tidak mengenal adanya risiko, sehingga kendatipun seseorang tidak bersalah namun ia tetap menanggung resikonya. Hofmann dan Pitlo menganut gevaarzetting theori yang menyatakan bahwa dalam lalu lintas hukum ditengah-tengah masyarakat, orang harus berani menanggung resiko, sehingga kendatipun seseorang tidak bersalah namun ia tetap menanggung resikonya. Selanjutnya Riduan
Syahrani
mengatakan
teori-teori
tentang
overmacht
itu
hendaknya
dikombinasikan sedemikian rupa dalam menyelesaikan tiap-tiap kasus yang terjadi dalam suatu keadaan tertentu, sehingga dapat menentukan sesuatu secara seadil-adilnya. Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa ada 3 (tiga) unsur pokok suatu peristiwa berada dalam keadaan force majeure: a.
Unsur adanya peristiwa yang menghalangi prestasi debitur yang diterima
sebagai halangan yang dapat membenarkan debitur untuk tidak berprestasi sebagaimana mestinya. Para sarjana menyebut peristiwa yang menghalangi prestasi debitur itu dengan istilah ketidakmungkinan (onmogelijkheid), artinya ketidakmungkinan prestasi itu dapat dilaksanakan: Teori ini ada dua macam: 1)
Ketidakmungkinan yang obyektif. Unsur ini mengemukakan adanya peristiwa yang menghalangi prestasi debitur
sehingga debitur tidak mungkin untuk berprestasi. Teori ini didasarkan pada ketentuan pasal 1444. Dalam pasal ini ditentukan bahwa halangan-halangan apa saja yang dapat 155
Ali Budiarto, Pertanggungan Jawab Pengangkut, dalam Varia Peradilan, (Jakarta: IKAHI, 1986), Nomor. 4, Januari, 1986, hal. 67-76.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
43
membebaskan debitur dari kewajiban prestasinya tanpa ia harus menanggung kerugian yang muncul pada kreditur sebagai akibat dari peristiwa itu. Kalau setiap orang dalam kedudukan debitur tidak mungkin untuk berprestasi, maka keadaan itu disebut keadaan overmacht yang objektif Overmacht yang objektif ini disebut juga oleh Vollmar dengan keadaan memaksa yang mutlak, yaitu keadaan pemenuhan perutangan adalah sama sekali tidak mungkin. Contoh: apabila ada seseorang memesan kamar-kamar hotel dan hotelnya habis terbakar di luar kesalahan pengusaha hotel, maka pengusaha itu tidak dapat memenuhi kewajibannya karena keadaan memaksa yang objektif karena mereka tidak mungkin dapat menginap di hotel tersebut karena kamar hotel telah hangus terbakar. 2)
Ketidakmungkinan yang subjektif. Disebut juga keadaan memaksa yang subjektif, yang oleh Vollmar disebut
keadaan memaksa nisbi, terjadi apabila pemenuhannya, memang mungkin, tetapi pemenuhan ini harus dilakukan dengan memberikan korban besar yang tidak seimbang atau dengan menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kekuatan manusia atau dengan kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Asser memberi istilah ketidakmungkinan yang subjektif ini dengan istilah mustahil yang subjektif (relatif), yang mengandung dua kelompok perkara: a. perkara yang secara teoritis pemenuhannya tidak mungkin bagi setiap orang, namun mungkin bagi si berutang ini (misalnya dia telah jatuh sakit, atau dalam hal utang uang, dia telah jatuh melarat total) b. yang untuk memenuhi secara teoritis memang mungkin, namun secara praktis telah menjadi terlampau berat. Teori ini mendapat reaksi sesudak kodifikasi Napoleon, yaitu perlindungan yang terlampau besar terhadap para berutang, kemustahilan subjektif bagi dia tidak menciptakan force majeure. Menurut Satrio, teori overmacht yang subyektif ini memperhitungkan upaya debitur yang bersangkutan, bukan debitur pada umumnya dalam situasi seperti itu. Berarti ada ukuran yang lebih longgar untuk menentukan adanya unsur overmacht. Peristiwa yang dapat menimbulkan keadaan memaksa sudah lebih luas daripada yang dikemukakan oleh teori overmacht obyektif. Pada teori ini unsur ketidaksalahanlah yang pokok, sedangkan syarat ketidakmampuan disingkirkan. b)
Unsur tidak adanya kesalahan pada debitur.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
44
Pasal 1244 BW, memberikan istilah tidak dapat dipersalahkan kepadanya dengan istilah tak dapat dipertanggungjawabkan padanya (debitur). Pasal 1365 menyatakan bahwa setiap perbuatan hukum yang mendatangkan kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Selanjutnya Pasal 1366 mengatur bahwa setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau karena kekurang hati-hatiannya. Kedua
pasal di ats dengan jelas menyebutkan kewajiban mengganti rugi
terhadap seseorang yang mendatangkan kerugian kepada orang lain karena perbuatan atau kelalaiannya, dengan kata lain harus ada unsur kesalahan (schuld). Ketentuan mengganti kerugian tersebut tentu tidak berlaku terhadap perbuatan yang tidak terdapat di dalamnya unsur kesalahan, sehingga yang bersangkutan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Satrio mengatakan bahwa untuk dapat membebaskan debitu dari kewajibannya berprestasi tidak hanya karena adanya peristiwa/keadaan yang memaksa tetapi juga harus dilihat lebih dulu apakah untuk timbulnya halangan itu debitur tidak mempunyai andil kesalahan pada hilangnya benda yang harus diserahkan, atau dengan kata lain apakah debitur telah memelihara benda tersebut laksana seorang bapak keluarga yang baik. Asser menjelaskan bahwa unsur tidak adanya kesalahan ini telah dipopulerkan pula oleh J.F. Houwing dengan istilah “hal tidak dapat dipertanggungjawabkan” atas kemustahilan dari si berutang, dengan kata lain, ketidakmungkinan itu harus merupakan akibat dari keadaan, atas mana si berutang dengan jalan apapun tidak boleh dipersalahkan. Si berutang yang telah melakukan segala sesuatu yang wajar dan masuk akal, tidak bersalah dalam cedera janji itu dan oleh sebab itu dia dibebaskan, force majeure dimulai pada saat kesalahan berhenti. Selanjutnya Asser mengatakan bahwa pendapat-pendapat J.F. Houwing sangat berpengaruh, jasanya yang besar dari ajaran berusaha keras (ajaran upaya) telah menyisihkan sarat yang kaku dari kemustahilan yang objektif dan dengan menunjuk kepada prinsip-prinsip beritikad baik, dan menempatkan kedepan untuk menilai tiap perkara sendiri-sendiri. c)
Unsur Tidak Dapat Diduga Sebelumnya Oleh Debitur
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
45
Pasal 1244 dengan jelas menyatakan bahwa jika debitur dapat membuktikan bahwa ia tidak menduga peristiwa yang menghalangi prestasinya itu sebelumnya maka ia debitur dapat dibebaskan dari tanggung jawab kerugian. Jika debitur pada waktu menutup perjanjian sudah menduga atau dapat menduga, bahwa peristiwa yang menghalangi prestasi akan muncul, yang kemudian ternyata benar-benar muncul, namun ia tetap saja menutup perjanjian itu, maka kita boleh beranggapan bahwa debitur memang berani menanggung resiko, dan kalau peristiwa itu nanti benar-benar muncul adalah patut untuk dipertanggungjawabkan kepada debitur dan karenanya ia tidak dapat atas dasar itu mengemukakan overmacht. Kalau debitur sudah tahu atau patut menduga bahwa perang akan segera meletus dan bahwa akan ada larangan untuk memperdagangkan objek perjanjian, tetapi ia tetap menutup perjanjian yang mewajibkan penyerahan objek prestasi yang kemudian, karena perang benar-benar meletus dan benar-benar ada larangan memperdagangkan barang seperti itu, mengakibatkan, bahwa debitur tidak dapat memenuhi kewajiban prestasinya, maka sekalipun ada halangan seperti yang disebutkan dalam Pasal 1444 BW, dan sekalipun ia tidak mempunyai kesalahan dalam keluarnya larangan seperti itu, kerugian tetap harus dipikul oleh debitor. J. Satrio mengatakan bahwa memang sulit untuk menentukan secara umum, kapan orang dikatakan dapat menduga dan karenanya kita memakai patokan debitur yang baik pada umumnya atau ukuran objektif, jadi apakah debitur pada umumnya dalam situasi seperti yang dialami debitur yang bersangkutan dapat menduga atau sepatutnya dapat menduga akan munculnya halangan dan kerugian itu. d)
Unsur tidak ada iktikad buruk daripadanya. Iktikad buruk (bad faith) lawan dari iktikad baik (good faith). Secara umum
dapat dikatakan bahwa iktikad buruk dalam suatu kontrak terjadi apabila salah satu pihak melakukan penipuan atau merancang untuk melakukan sesuatu yang menyesatkan pihak lain, melalaikan, atau penolakan untuk memenuhi tugas atau kewajiban kontrak. Pengertian iktikad buruk semata-mata berdasarkan penilaian buruk atau lalai melainkan harus ada unsur “melakukan dengan perbuatan salah” dengan maksud yang tidak jujur atau penyesatan moral. Maka iktikad buruk memang agak berbeda dengan lalai, karena
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
46
unsur iktikad buruk lebih menitikberatkan pada kenyataan dalam pikiran untuk berbuat sesuatu yang bertentangan dengan maksud diadakannya kontrak. Dalam pembahasan mengenai iktikad buruk, Ridwan Khairandi dengan mengutip pendapat Summers mengemukakan bahwa untuk mengetahui apakah seseorang beriktikad baik, seorang lawyer seharusnya tidak bertannya apa arti iktikad baik. Selanjutnya Ridwan, dengan mengutip Summer, menyebutkan sebagai contoh jika hakim mengatakan bahwa seorang pejabat publik harus bertindak dengan iktikad baik dalam membiarkan proses pelelangan, sedangkan dari fakta atau bahasa yang digunakan dalam pendapat tersebut mungkin lebih efektif jika hakim berkata bahwa tergugat bertindak dengan iktikad buruk karena dia membiarkan pelelangan hanya dengan semata tampil untuk menyampaikan maksudya mengesahkan kontrak kepada seorang penawar yang disukai. Penentuan unsur force majeure menurut BW, harus memenuhi unsur tidak adanya iktikad buruk. Di samping unsur-unsur yang telah disebutkan di atas, pada bagian terakhir dari Pasal 1244 BW yang menyatakan bahwa kesemuanya itu pun jika iktikad buruk tidaklah ada pada pihaknya. Artinya unsur-unsur hal yang tidak terduga dan tidak dapar dipertanggungjawabkan itu baru dapat memenuhi unsur keadaan memaksa (tidak ada kesalahan pada debitur), jika debitur tidak mempunyai iktikad buruk. Untuk membuktikan iktikad buruk selalu sulit, maka oleh karena iktikad baik pada asasnya selalu dipersangkakan ada, maka menjadi kewajiban dari kreditur untuk membuktikan bahwa debitur mempunyai iktikad buruk dalam peristiwa itu, dan jika kreditur berhasil membuktikan adanya unsur salah pada debitur, maka untuk membebaskan diri dari tuntutan ganti rugi ia (debitur) harus dapat membuktikan bahwa seandainya barangnya diserahkan dengan baik, kepada kreditur, maka barang tersebut akan musnah juga dalam tangan kreditur (Pasal 1244 ayat 2). Pihak yang harus membuktikan adanya force majeure, dalam BW disebutkan dengan jelas pada Pasal 1244 dan 1444 BW adalah debitur, bahwa apabila debitur tidak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan
itu,
disebabkan
suatu
hal
yang
tak
terduga,
pun
tak
dapat
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
47
dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itupun jika iktikad buruk tidaklah ada pihaknya. Subekti menjelaskan, bahwa adanya keadaan memaksa harus dibuktikan oleh pihak debitur, sedangkan siapa yang menuntut penggantian kerugian yang disebabkan suatu perbuatan melanggar hukum harus membuktikan adanya kesalahan pihak yang dituntut. Pasal 1243 dan Pasal 1244 BW mengatur tentang kewajiban, semacam hukuman mengganti kerugian bagi debitur yang lalai memberikan prestasinya. Jika debitur lalai memenuhi kewajiban perikatannya, maak debitur harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak dapat membuktika bahwa hal tidak dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena hal yang tidak terduga, pun tidak dapat dipersalahkan kepadanya, kesemuanya itupun jika iktikad buruk tidaklah ada pada pihaknya. Jadi, jika debitur tidak berprestasi atau tidak berprestasi sebagaimana mestinya maka pembuat Undang-Undang beranggapan bahwa kesemuanya itu terjadi karena kesalahan debitur dan kerugian yang muncul adalah akibat dari kesalahan itu. Karenanya sekarang terserah pada debitur, jadi kewajiban pembuktian sebaliknya ada pada debitur untuk membuktikan bahwa hal itu disebabkan karena ada halangan yang tidak dapat diduga sebelumnya dan iapun tidak mempunyai salah pada munculnya halangan itu, kecuali debitur mempunyai iktikad yang buruk. Ringkasnya adalah menjadi kewajiban debitur untuk membuktikan: 1. ia tidak mempunyai kesalahan atas timbulnya halangan prestasi. 2. halangan itu tidak dapat diduga sebelumnya. Sebaliknya, karena iktikad baik pada asasnya selalu dipersangkakan ada, maka menjadi kewajiban dari krediturlah untuk membuktikan bahwa debitur mempunyai iktikad buruk dalam peristiwa itu. Kalau debitur dapat mengemukakan adanya halangan yang seperti yang disebutkan Pasal 1444 atau halangan keadaan seperti yang dimaksud oleh teori upaya, tetapi kreditru berhasil membuktikan adanya unsur salah pada debitur, maka untuk membebaskan diri dari tuntutan ganti rugi ia (debitur) harus dapat membuktikan bahwa seandainya barangnya diserahkan dengan baik, barang tersebut akan musnah juga dalam tangan kreditur (Pasal 1444 ayat 2).
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
48
Dari Pasal 1243, 1244 dan 1245 BW, dapat dipahami bahwa keadaan memaksa atau kejadian tak disengaja yang menyebabkan suatu perikatan tidak dapat dipenuhi, menjadi alasan hukum bagi si berutang untuk dibebaskan dari kewajiban penggantian biaya, rugi dan bunga. Dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1244 pembebasan itu hanya dapat dibenarkan apabila si berutang tidak terdapat iktikad buruk pada pihaknya. Selain itu kewajiban menanggung resiko dalam keadaan memaksa itu diatur dalam Pasal 1264 dan 1444 BW. Seorang debitur yang mempunyai kewajiban melakukan sesuatu, ternyata tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya yang mengakibatkan timbulnya kerugian pada kreditur. Mungkin karena kesalahan debitu maka debitur harus memberikan ganti rugi. Mungkin pula kesalahan tidak ada pada debitur (juga tidak ada pada kreditur dan Undang-Undang juga tidak memberikan ketentuan yang menyimpang). Masalahnya dalam hal demikian, siapa yang akan menanggung resiko. Masalah keadaan memaka berkaitan dengan masalah resiko dan kesalahan. Faktor salah adalah faktor yang berkaitan dengan masalah timbulnya halangan dan prestasi (dengan baik). Kesalahan dicari pada saat timbulnya halangan, apakah debitur mempunyai faktor salah pada timbulnya halangan berprestasi. Sedangkan peraturan tentang resiko adalah peraturan yang mengatur akibat dari halangan tersebut, mengatur pembagian beban akibat yang muncul dari halangan tersebut, mengatur pembagian beban akibat yang muncul dari halangan itu tanpa memandang lagi apa yang menjadi sebab munculnya akibat itu: pokoknya ada keadaan memaksa, siapa yang menanggung kerugian, terlepas dari siapa yang bersalah. Kalau Undang-Undang atau yurisprudensi mengatakan bahwa pada perjanjian sepihak resiko ada pada kreditur dan pada perjanjian timbal balik kecuali jual beli, resiko ada pada debitur. Sebaliknya bagaimana dengan kewajiban prestasi debitur kalau kreditur karena sesuatu hal diluar salahnya terhalang untuk bisa menikmati prestasi yang telah disediakan oleh debiturnya. BW mengatur secara khusus masalah resiko dalam PasalPasal sebagai berikut: -
Pasal 1237 BW tentang hibah, resiko keadaan memaksa ditanggung oleh kreditur
-
Pasal 1460 BW tentang jual beli, resiko ditanggung kedua belah pihak
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
49
-
Pasal 1545 BW tentang tukar menukar, resiko ditanggung oleh pemiliknya
-
Pasal 1553 BW tentang sewa menyewa, resiko ditanggung oleh pemilik benda. Sebagaimana telah dikemukakan di atas Riduan Syahrani dalam inspannings
theorinya yang dikutip dari Houwing menyatakan bahwa seseorang tidak lagi dapat dimintakan pertanggungan jawaban resikonya apabila ia telah berusaha dengan sekuat tenaga untuk melaksanakan perjanjian dan menghindarkan diri dari segala malapetaka tetapi tetap tidak membawa hasil apa-apa. Teori ini dibantah oleh Hoffman karena menurutnya inspannings theorie mengandung kelemahan-kelemahan, yaitu (1) hanya menitik beratkan kepada usaha-usaha, sedangkan yang penting bukan usahanya melainkan hasilnya, dan (2) teori itu tidak mengenal adanya resiko sehingga kendatipun seseorang tidak bersalah namun ia tetap menanggung resikonya. Hoffman dan Pitlo menganut gevaarzetting theorie yang menyatakan bahwa dalam lalu lintas hukum di tengah-tengah masyarakat, orang harus berani menanggung resiko, sehingga kendatipun seseorang tidak bersalah namun ia tetap menanggung resikonya. Selanjutnya Riduan Syahrani
menyatakan
teori-teori
tentang
keadaan
memaksa
itu
hendaknya
dikombinasikan sedemikian rupa dalam menyelesaikan tiap-tiap kasus yang terjadi dalam suatu keadaan tertentu, sehingga dapat menentukan sesuatu secara seadil-adilnya. Terkait dengan adanya klasula force majeure dalam ESC, yang menguntungkan kedudukan kontraktor, dimana cakupan dari keseluruhan doktrin force majeure, dapat diberlakukan kepada kontraktor sebagai alasan untuk tidak memenuhi prestasi sebagaimana ditentukan dalam ESC, dan karenanya adalah bukan wanprestasi dan karenanya pihak kontraktor tidak dapat dituntut pemenuhan atas prestasinya tersebut. Sementara untuk pihak PLN dalam hal ESC ini, tidak dapat menggunakan alasan force majeure untuk tidak dapat dilakukannya pemenuhan kontrak dalam hal ini, sesuai dengan bahasan dalam penelitian ini, yaitu sehubungan dengan dalam hal ditetapkannya suatu Keputusan Presiden yang menangguhkan PLTP yang dijadikan sebagai sumber dari energi panas bumi dan/atau listrik yang akan dijual kepada PLN dalam ESC ini, hal ini ternyata dari ketentuan Pasal 9.2.5 ESC, sebagaimana berikut:
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
50
SECTION IX FORCE MAJEURE 9.1 An event of “Force Majeure” shall mean any circumstances not within the reasonable control, directly, or indirectly, of the Party affected, but only if and to the extend that (i) such circumstance, despite the exercise of reasonable diligence, cannot be or be caused to be prevented, avoided or removed by such Party, (ii) in the case of claims by COMPANY, such event materially adversely affects (in cost and/or time) the ability of the COMPANY to perform its obligation under this Contract and COMPANY has taken all reasonable precautions, due care and reasonable alternative measure in order to avoid the effect of such event on COMPANY’s ability to perform its obligation under this Contract and to mitigate the consequences thereof, (iii) such event is not the direct or indirect result of the failure of such Party to perform any of its material obligations under this Contract and (iv) such Party has given the other Parties prompt notice describimg such event, the effect thereof and the actions being taken in order to comply with this section 9.1.
9.2 Subject to the provisions of Section 9.1 and 9.4 Events of Force Majeure shall include, but not be limited to: 9.2.1 acts of war or the public enemy whether war be declared or not; 9.2.2 public disorders, insurrection, rebellion, sabotage, riots or violent demonstrations. 9.2.3 explosions, fires, natural calamities and acts of God; 9.2.4 strikes or lockouts or other industrial action by workers or employees of COMPANY, any contractor or any subcontractor of any contractor, other than non-manual personnel; 9.2.5 with respect to COMPANY only, any action or failure to act without justifiable cause by any Government instrumentality of the Republic of Indonesia (including any action or failure to act without justifiable cause by any duly authorized agent of such Governmental instrumentality), including without limitation the denial or delay in, without justifiable cause, the granting of any consent or approval upon due application therefor and the dilligent effort by applicant to obtain, the failure without justifiable cause of any such consent once granted to remain in full forces and effect or to be renewed on substantially similar terms, and any delay in the importation of equipment or supplies into Indonesia resulting from any action or failure to act without justifiable cause by any Governmental instrumentality of the Republic of Indonesia; and 9.2.6 with respect to COMPANY only, the adoption, enactment or application to COMPANY, any sub-contractor or the project of any legal requirement of any Governmental instrumentality of the Republic of Indonesia (i) relating to the environment other than those in effect as of the Effective Date or (ii) not existing or not applicable to the COMPANY, such sub-contractor or the project as of the Effective Date, or (iii) any change in any such legal requirement or the application or interpretation thereof by a Governmental instrumentality of the
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
51
Republic Of Indonesia after the Effective Date, as described in Appendix E, but not including any such legal requirement or the interpretation thereof in existence at such date which by its terms became or will become effective and applicable to the COMPANY, such sub-contractor or the project after such date. 9.3 Effect of Force Majeure. 9.3.1 Except as provided in Section 9.3.3 and in Section 9.4 either party shall be excused from performance and shall not be construed to be in default in respect of any obligation hereunder for so long as failure to perform such obligation shall be due to an Event of Force Majeure. 9.3.2 If an Event of Force Majeure shall have occured, the Parties shall consult with one another as soon as practicable concerning the effect of such delay upon the project schedule, and the project schedule shall be equitably adjusted by the Parties to take into account such effect and the ability of the COMPANY, or subcontractors to reschedule project activities to avoid or minimize overall delays resulting from the Event of Force Majeure and the effect of such Force Majeure on the ability of the respective Party to deliver or take delivery of the Geothermal Energy and Electricity and to discuss steps to determine appropriate measures to be taken. 9.3.3 Except as provided in 9.3.6 to the extent that an Event of Force Majeure affects PLN’s ability or willingness to take delivery of or utilize the Electricity generated from any Unit owned and operated by COMPANY or that an Event of Force Majeure described in Section 9.2.5 or 9.2.6 affects the COMPANY’s ability to provide the Unit Rated Capacity of any Unit, the Unit will be deemed dispatched (i.e. capable of delivering Electricity) to the extent that COMPANY would have been able to deliver the Unit Rated Capacity of that Unit in accordance with the terms and conditions of this Contract but for the occurence of such Event of Force Majeure, and PLN shall continue to be obligated to make the payments due in accordance with the provisions of Section V and VI to the extent of such deemed dispatch. Is such an Event of Force Majeure prevents the initial establishment of the Unit Rated Capacity for a Unit the Unit Rated Capacity for that Unit will be assumed to be, for the purpose of calculating payment under section V, the planned gross unit capacity provided to PLN in the notice required in Section 4.2, provided, however that if upon completion of the First Unit Rated Capacity test such Unit shall fail to achieve a capacity of at least 95% of the amount of the planned gross unit capacity provided to PLN in the notice required in Section 4.2, then the excess of the amount actually paid by PLN over the amount that would have been due using the result of the Unit Rated Capacity Test shall be credited against future amounts due from PLN under this contract. 9.3.4 If any Event of Force Majeure described in Section 9.2.5 or 9.2.6 shall have occured, the provisions of Appendix E shall be applied for purpose of determining adjustments, if any, in the Electricity Charge or otherwise. 9.3.5 If an Event of Force Majeure shall have occured that results in a material delay in the completion of the project facilities or causes material damage to the project, and such Event of Force Majeure (i) is of a type not normally insured
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
52
against by entities engaged in activities substantially similar to those engaged in by the COMPANY, (ii) is not required to be insured against in accordance with good utility practice, and in fact has not been insured against by COMPANY or (iii) could not have been insured against by COMPANY prior to the time of its occurence, then for a period ending six (6) months after the end of such Event of Force Majeure the Parties shall enter into good faith negotiatioms regarding an adjustment of the Electricity Charge and COMPANY shall use its best efforts to obtain funding to complete or repair the project facilities. During such period, COMPANY shall not be required to complete or repair the project facilities, as the case may be, and such failure to complete, repair or operate the project facilities shall not constitue a default of COMPANY’s obligations. 9.3.6 If, as provided in Sections 9.1 hereof, an Event of Force Majeure shall cause damage to or destruction of PLN’s transmission line with respect to and only with respect to any transmission line constructed from the Point of Interconnection with Units owned and operated by COMPANY to the point of connection of such transmission line to PLN’s switchyard at the ... Unit which is owned and operated by PLN, then the provisons of Section 9.3.3 herein shall not apply provided, however, that PLN shall undertake, to the extent practicable, immediate and urgent action to repair or restore said transmission line. For purpose of this Section 9.3.6 such an Event of Force Majeure does not include any natural Events of Force Majeure that PLN, in exercising reasonable diligence and prudent construction, either could have or should have prevented or avoided. 9.4 Notwithstanding that an Event of Force Majeure otherwise exists, the provisions of this Section IX shall not excuse: 9.4.1 late payment of money; 9.4.2 delays resulting from reasonably foreseeable unfavorable weather or reasonably foreseeable unsuitable ground or sea conditions or other similar reasonably foreseeable adverse conditions. 9.5 As soon as possible following the date of commencement of any Event of Force Majeure, if any Party desires to invoke such Event of Force Majeure as a cause for delay in the performance of any obligation (other than the payment of money) hereunder, it shall advise the other Parties in writing of such date and the nature and expected duration of such Event of Force Majeure. As soon as possible following the cessation of such Event of Force Majeure, the Party having invoked such Event of Force Majeure as a cause for such delay shall submit to the other Parties reasonable proof of the nature of such delay and its effect upon the time of performance. The Parties: 9.5.1 shall make all reasonable efforts to prevent and reduce to a minimum and mitigate the effect of any delay occasioned by any Event of Force Majeure including recourse to alternate acceptable sources of services, equipment and materials and construction equipment; and
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
53
9.5.2 shall use their best efforts to ensure resumption of normal performance of this Contract after the termination of any Event of Force Majeure and shall perform their obligations to the maximum extent practicable agreed between the Parties.
Berlakunya asas kebebasan berkontrak dalam ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dan karenanya mengikat bagi perjanjian-perjanjian yang dibuat menurut hukum Indonesia, dalam hal ini termasuk ESC, dimana pada ketentuan Pasal 12 ESC dinyatakan bahwa ESC ini tunduk pada ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, sebagaimana isinya sebagai berikut: SECTION XII PROPER LAW This Contract shall be governed by the laws and regulations of the Republic of Indonesia.
antara lain dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat BW, dimana dinyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya. Lebih lanjut harus diteliti mengenai apakah ESC ini dibuat secara sah, yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 1320 BW, sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya pada bagian penelitian ini. Setelah diteliti, bahwa benar pada saat dilakukannya penandatangan ESC (penutupan kontrak ESC), ESC ini telah bersesuaian dengan apa-apa yang dipersyaratkan oleh ketentuan Pasal 1320 BW, mengenai syarat sahnya kontrak, dan karenanya kontrak ini adalah sah dan berlaku mengikat seperti undang-undang bagi para pihak yang menyepakatinya. Diberlakukannya asas kebebasan berkontrak dalam ketentuan hukum dan peraturan-perundangan di Indonesia, dapat juga kita temukan pada ketentuan Pasal 1329 BW, yang menentukan bahwa pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika ia ditentukan tidak cakap oleh undang-undang. Kemudian dari ketentuan Pasal 1332 BW dapat disimpulkan bahwa sepanjang menyangkut barangbarang
yang
bernilai
ekonomis,
maka
setiap
orang
adalah
bebas
untuk
memperjanjikannya. Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
54
Dalam ketentuan Pasal 1320 ayat BW jo Pasal 1337 BW, dinyatakan bahwa asalkan bukan mengenai kausa yang dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan baik ataupun ketertiban umum, maka setiap orang adalah bebas untuk memperjanjikannya. Pada dasarnya BW maupun peraturan perundang-undangan lainnya di Indonesia tidak memuat ketentuan yang mengharuskan maupun melarang seseorang untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian ataupun mengharuskan maupun melarang untuk tidak mengikatkan diri dalam suatu perjanjian, yang mana hal ini adalah sejalan dengan ketentuan asas kebebasan berkontrak. Diberlakukannya asas konsesualisme menurut ketentuan hukum perjanjian di Indonesia memantapkan kebebasan berkontrak, dimana tanpa adanya sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tersebut adalah tidak sah. Seseorang dalam hal ini tidak dapat dipaksakan untuk memberikan sepakatnya, karena apabila demikian, maka akan timbul cacat kehendak, sebagaimana disebutkan sebelumnya. Adanya suatu paksaan dalam suatu kesepakatan justru menunjukkan tidak adanya kesepakatan yang terjadi. BW maupun ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, tidak melarang bagi seseorang untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun juga yang dikehendakinya. BW hanya menentukan bahwa orang-orang tertentu tidak cakap untuk membuat perjanjian, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1330 BW. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat disimpulkan setiap orang bebas untuk memilih pihak dengan siapa ia menginginkan untuk membuat perjanjian, sepanjang pihak tersebut bukanlah merupakan pihak yang tidak cakap untuk membuat perjanjian. Bahkan, dalam ketentuan Pasal 1331 BW, apabila seseorang membuat perjanjian dengan seseorang lain yang menurut undang-undang tidak cakap untuk membuat perjanjian, maka perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap. Lebih lanjut BW maupun ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, juga tidak memberikan larangan kepada seseorang untuk mengadakan perjanjian dalam bentuk tertentu yang dikehendakinya, sepanjang tidak ditentukan lain bentuknya oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. Hukum perjanjian di Indonesia, yang diatur dalam buku III BW mengandung ketentuan-ketentuan yang memaksa dan yang opsional sifatnya. Dimana terhadap
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
55
ketentuan-ketentuan yang memaksa, maka para pihak tidak diperkenankan untuk mengadakan penyimpangan dalam perjanjian yang mereka buat. Namun, terhadap ketentuan-ketentuan yang bersifat opsional, maka para pihak diberikan kebebasan untuk menyimpangi ketentuan-ketentuan tersebut dengan mengadakan sendiri syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan lain sesuai dengan kehendak para pihak. Adapun maksud dari adanya ketentuan-ketentuan yang bersifat opsional tersebut, adalah hanya untuk memberikan aturan yang berlaku bagi perjanjian yang dibuat oleh para pihak bila memang para pihak belum mengatur atau tidak mengatur secara tersendiri, agar tidak terjadi kekosongan pengaturan mengenai hal atau materi yang dimaksud. Dalam hal ternyata terdapat juga kekosongan aturan untuk suatu hal atau materi yang menyangkut perjanjian tersebut, maka adalah kewajiban dari seorang Hakim untuk mengisi kekosongan tersebut dengan memberikan aturang yang diciptakannya untuk menjadi acuan yang mengikat bagi para pihak dalam menyelesaikan masalah yang menjadi sengketa. Kemudian terdapat perkembangan doktrin terbaru, terkait dengan adanya hambatan atau kendala dalam pelaksanaan kontrak yang cukup penting dan mendasar untuk diperhatikan, yaitu doktrin hardship (keadaan sulit). Aturan tentang hardship menentukan bahwa apabila pelaksanaan kontrak menjadi lebih berat bagi salah satu pihak, pihak tersebut bagaimanapun juga terikat melaksanakan perikatannya dengan tunduk pada ketentuan tentang hardship (sebagai perkecualian), hal ini adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 6.2.1 UNIDROIT, tentang (Contract to be observed – kontrak yang harus dipatuhi). Ketentuan ini menentukan dua hal pokok, yaitu156: a.
sifat mengikat dari kontrak sebagai aturan umum (binding character of the
contract the general rule). Tujuan dari aturan umum tersebut adalah untuk mempertegas bahwa kontrak itu mengikat untuk dilaksanakan asalkan dimungkinkan, tanpa memperhatikan beban yang dipikul oleh pihak yang melaksanakan. Dengan kata lain, meskipun salah satu pihak mengalami kerugian besar ataupun pelaksanaan kontrak menjadi tidak berarti bagi pihak lain, bagaimanapun kontrak tersebut harus tetap dihormati.
156
Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal. 253
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
56
b.
perubahan keadaan yang relevan hanya terkait kontrak-kontrak tertentu (kontrak
yang pelaksanaannya belum dilakukan/masih berlaku dan jangka panjang) (change in circumstances relevant only in exceptional cases). Prinsip sifat mengikatnya kontrak sebagaimana huruf a di atas tidaklah bersifat absolut, terutama dalam hal terjadi keadaan yang menimbulkan perubahan fundamental terhadap keseimbangan dalam suatu kontrak. Keadaan ini merupakan situasi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam prinsip-prinsip ini sebagai hardship. Selanjutnya Pasal. 6.2.2 (Definition of hardship) memberikan definisi hardship sebagai peristiwa yang secara fundamental telah mengubah keseimbangan kontrak, yang disebabkan oleh biaya pelaksanaan kontrak yang menjadi meningkat semakin tinggi, sehingga membebani pihak yang melaksanakan kontrak (debitor) atau nilai pelaksanaan kontrak menjadi sangat berkurang bagi pihak yang menerima (kreditor), atau157: a.
Peristiwa itu terjadi atau diketahui oleh pihak yang dirugikan setelah penutupan kontrak.
b.
Peristiwa tersebut tidak dapat diperkirakan secara wajar oleh pihak yang dirugikan pada saat penutupan kontrak.
c.
Peristiwa terjadi di luar kontrol dari pihak yang dirugikan;
d.
Risiko dari peristiwa tersebut tidak diduga oleh pihak yang dirugikan. Dengan diperhatikannya definisi dari Pasal 6.2.2 UNIDROIT serta syarat-syarat
tambahan sebagaimana yang disebut dalam huruf (a) sampai dengan (d) di atas, terdapat 3 unsur (elemen) untuk menentukan ada atau tidaknya hardship, yaitu158: a.
Perubahan keseimbangan kontrak secara fundamental.
b.
Meningkatnya biaya pelaksanaan kontrak;
c.
Menurunnya nilai pelaksanaan kontrak yang diterima salah satu pihak. Dengan diterimanya suatu peristiwa yang secara fundamental mempengaruhi
keseimbangan kontrak sebagai hardship, tentunya akan menimbulkan akibat hukum bagi kontrak yang dibuat para pihak, dengan demikian dalam hal terjadinya hardship, Pasal 6.2.3 UNIDROIT memberikan alternatif penyelesaian, sebagai berikut159:
157 158 159
Ibid., hal, 254. Ibid. Ibid., hal. 255.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
57
(1)
Pihak yang dirugikan berhak untuk meminta dilakukan renegoisasi kontrak kepada pihak lain. Permintaan tersebut harus diajukan segera dengan menunjukkan dasar (hukum) permintaan renegoisiasi tersebut.
(2)
Permintaan
untuk
dilakukannya
renegoisasi
tidak
dengan
sendirinya
memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menghentikan pelaksanaan kontrak. (3)
Apabila negoisasi yang dijalankan gagal mencapai kesepakatan dalam jangka waktu yang wajar, maka para pihak dapat mengajukannya ke pengadilan.
(4)
Apabila pengadilan membuktikan adanya hardship, maka pengadilan dapat memutuskan untuk: a. mengakhiri kontrak pada tanggal dan waktu yang pasti. b. mengubah kontrak dengan mengembalikan keseimbangannya.
2.4.
Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Tergugat (PLN dan PERTAMINA) Dalam Hal Terjadi Gugatan Wanprestasi Oleh Kontraktor Sehubungan Dengan Tidak Dilakukannya Prestasi Sebagaimana Ditentukan Dalam ESC, Terkait Dengan Adanya Keputusan Presiden Yang Menangguhkan PLTP Yang Terkait Dengan ESC ini. Pada bagian ini, peneliti berasumsi terjadi kasus terkait dengan pelaksanaan
ESC, dimana pihak kontraktor menggugat PLN dan PERTAMINA secara bersamasama,
karena
dianggap
melakukan
wanprestasi,
sehubungan
dengan
tidak
dilaksanakannya prestasi sebagaimana ditentukan dalam ESC. Dalam hal ini, pihak kontraktor tidak menerima alasan dari pihak PLN dan PERTAMINA yang menjadikan adanya Keputusan Presiden yang menangguhkan PLTP yang terkait dengan ESC ini, sebagai suatu force majeure untuk tidak dapat melakukan prestasi, dan karenanya tidak dapat dituntut pemenuhan prestasinya. Bahwa memang, berdasarkan ketentuan Pasal 9.2.5 ESC: “with respect to COMPANY only, any action or failure to act without justifiable cause by any Government instrumentality of the Republic of Indonesia (including any action or failure to act without justifiable cause by any duly authorized agent of such Governmental instrumentality), including without limitation the denial or delay in, without justifiable cause, the granting of any
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
58
consent or approval upon due application therefor and the dilligent effort by applicant to obtain, the failure without justifiable cause of any such consent once granted to remain in full forces and effect or to be renewed on substantially similar terms, and any delay in the importation of equipment or supplies into Indonesia resulting from any action or failure to act without justifiable cause by any Governmental instrumentality of the Republic of Indonesia; and”
maka PLN dan PERTAMINA tidak dapat menggunakan alasan adanya Keputusan Presiden tersebut sebagai force majeure, untuk dijadikan alasan untuk tidak dapat memenuhi prestasi. Ketentuan mana, dalam hal ini penulis hormati, sebagai penerapan dari asas kebebasan berkontrak. Namun demikian, ada prinsip fundamental lainnya dalam prinsip-prinsip hukum Kontrak Internasional, selain prinsip fundamental kebebasan berkontrak, yaitu prinsip dasar supremasi atau kedaulatan hukum Nasional, dimana prinsip ini mensyaratkan bahwa hukum nasional dimana di tempat kontrak tersebut dilaksanakan, tidak dapat diganggu gugat keberadaannya, dan memiliki kekuatan mengikat yang mutlak160. Dengan demikian, maka setiap benda, subjek hukum, perbuatan ataupun peristiwa hukum, termasuk di dalamnya transaksi dagang yang dituangkan dalam kontrak, yang terjadi di dalam wilayah suatu negara, tunduk secara mutlak kepada ketentuan hukum nasional tersebut161. Prinsip ini diberlakukan secara absolut, sehingga prinsip fundamental yang kedua, yaitu kebebasan berkontrak, tidak dapat dan tidak boleh menyimpangi ketentuan prinsip Kedaulatan Hukum Nasional162. Terlebih dengan ketentuan dalam ESC, yang mana memilih hukum Indonesia, sebagai pilihan hukum dalam melaksanakan ESC tersebut, sebagaimana ternyata dari ketentuan Pasal 12 ESC. Maka, segala pelaksanaan terkait ESC tersebut, harus tunduk kepada ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, baik yang telah ada pada saat dibuatnya ESC maupun yang akan ada selama masih dalam jangka waktu pelaksanaan ESC tersebut. Dalam ketentuan ESC, juga tidak ada ketentuan yang secara spesifik menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia melepaskan asas kedaulatannya, terkait 160 161 162
Huala Adolf, op.cit., hal. 19. Ibid. Ibid., hal. 20
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
59
dengan pelaksanaan ESC. Oleh karena itu, kedaulatan Nasional dalam hal ini kedaulatan Negara Republik Indonesia terhadap ESC diberlakukan secara mutlak. Sehingga Keputusan Presiden yang menangguhkan PLTP terkait dengan ESC tersebut, adalah berdasarkan penegakan asas kedaulatan nasional, oleh karenanya maka Pemerintah Indonesia dapat mengesampingkan ketentuan ESC tersebut. Mengenai batasan pemberlakuan asas kebebasan berkontrak, dapat kita temukan pada Pasal 1320 BW, mengenai syarat sahnya kontrak, dan Pasal 1337 dan Pasal 1339 BW. Dimana dalam Pasal 1337 BW disebutkan bahwa suatu kausa adalah terlarang, apabila kausa itu dilarang oleh undang-undang, atau bertentangan dengan undangundang, moral dan atau dengan ketertiban umum. Sementara ketentuan Pasal 1339 BW, menyatakan bahwa persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat dari perjanjian itu diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Ketentuan Pasal tersebut harus ditafsirkan, bahwa bukan hanya ketentuanketentuan dari kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang yang membolehkan atau berisi suruhan saja yang mengikat atau berlaku bagi suatu perjanjian, tetapi juga ketentuanketentuan yang melarang atau berisi larangan mengikat atau berlaku bagi perjanjian tersebut. Dengan perkataan lain, larangan-larangan yang ditentukan (atau hal-hal yang dilarang) oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang merupakan juga syarat-syarat yang harus diberlakukan pada suatu perjanjian. Kemudian
terkait
dengan
dikeluarkannya
Keputusan
Presiden
yang
menangguhkan PLTP terkait ESC, dan karenanya segala hal yang terkait dengan PLTP tersebut juga ditangguhkan sampai dengan pulihnya kondisi perekenomian, maka apabila ketentuan ESC tersebut tetap dijalankan oleh PLN dan PERTAMINA padahal sudah ada Keputusan Presiden atas hal tersebut, maka apabila tetap dijalankan ESC tersebut maka justru akan menyebabkan ESC tersebut menjadi tidak sah, oleh karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 1320 ayat 4 BW, mengenai adanya suatu sebab yang halal. Oleh karena berdasarkan ketentuan Pasal 1337 BW, maka suatu causa adalah terlarang apabila hal tersebut dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan ketertiban umum.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
60
Dengan demikian, maka dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden tersebut adalah tepat merupakan force majeure bagi pihak PLN dan PERTAMINA dan karenanya tidak dapat melakukan pemenuhan prestasi sebagaimana ditentukan dalam ESC, oleh karena itu disebabkan adanya public policy dari Pemerintah Indonesia, dan apabila ESC ini tetap dijalankan tanpa mengindahkan ketentuan Keputusan Presiden yang telah ditetapkan, maka ESC tersebut akan menjadi perjanjian yang ilegal.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
61
BAB III SIMPULAN DAN SARAN
3.1
SIMPULAN 1. Bahwa ketentuan klasula force majeure sebagaimana terdapat pada ESC, adalah dimungkinkan berdasarkan asas kebebasan berkontrak, sepanjang dalam pembuatan ESC ini terpenuhi ketentuan yang mengikat dari ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
2. Bahwa dalam hal diterbitkan Keputusan Presiden untuk menangguhkan PLTP terkait ESC, maka hal ini menjadi force majeure bagi PLN dan PERTAMINA untuk melaksanakan prestasinya dalam ESC.
3.2.
SARAN 1.
Bahwa pembuatan klasula force majeure dalam suatu ESC, hendaknya
memperhatikan kepentingan dari PLN dan PERTAMINA, dan tidak diciptakan dual-standard dalam penerapan atau ketentuan klausula force majeure dalam ESC.
2. hal ini
Bahwa berlaku asas kedaulatan nasional yang absolut, oleh karenanya hendaknya diperhatikan oleh para pihak dalam mengadakan suatu
perjanjian.
Universitas Indonesia
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Asser's, C et al. Pengajian Hukum Perdata Belanda. Jilid 3. Jakarta: Dian Rakyat, 1991. Abdurrasyid, Priyatna. Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Suatu Pengantar). Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2002. Amos, H.F. Abraham. Legal Opinion (Aktualisasi Teoritis dan Empirisme). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004. Anwari. Panas Bumi Dalam Perspektif Nasional. Jakarta: Manajemen Pembangunan LAN RI, 1997. Badrulzaman, Mariam Darus et al. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001. Black, Henry Campbell. Publishing, 1979.
Black's Law Dictionary. St. Paul & Minn: West
Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial). Yogyakarta: LaksBang Mediatama Yogyakarta, 2008. Khairandy, Ridwan. Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003 Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006. --------------. Jual Beli. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004. Pitlo, A. Tafsiran Singkat Tentang Beberapa Bab Dalam Hukum Perdata. Dialihbahasakan oleh M. Moerasad. Jakarta: PT Intermasa, 1979. Satrio, J. Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Buku II. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995 Setiawan. Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata. Bandung: Alumni, 1992. Simanjuntak, Ricardo. Teknik Perancangan Kontrak Bisnis. Jakarta: PT Gramedia, 2006 Sjahdeini, Sutan Remy. Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). Cetakan ke 7. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003. Subekti, R. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 1984
Tulisan Lain Bramantyo, Eko Agung dan Syamsul Bachri (PT Pertamina Geothermal Energy). “Jualan Energy dengan Binary.” Warta Pertamina (Juli 2009): 30-33 http://www.pertamina.com/download/wartapertamina/2009/wpjuli2009.pdf, diunduh 19 Februari 2010.
Nugroho,
Harun.
“Indonesia's
Geothermal
Development.”
http://www.docstoc.com/docs/2459518/Future-of-Geothermal-Development-inIndonesia&ei=1tmDS_61IsG0rAeR5KSXAw&sa=X&oi=translate&ct=result&resnum=5&ved =0CCIQ7gEwBA&prev=/search%3Fq%3Dindonesia%2Bgeothermal%2Bdevelopment%26hl %3Did%26sa%3DG, diunduh pada 19 Februari 2010.
Soeparlan, Widyaningrum. “Beberapa Aspek Hukum Yang Penting Dalam Komersialisasi Panas Bumi Sebagai Sumber Energi Baru.” Tesis Magister Hukum dalam Ilmu Hukum dan Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2001. “Sejarah Panas Bumi di Indonesia.” http://portal.djmbp.esdm.go.id/ dbb2/index.phpoption=com_content&view=article&id=63:artsejarahpanas, diunduh 14 Januari 2010.
“Sinkronisasi Nalar Ekonomi dengan Nalar Teknologi Cita-Cita Menristek.” http://www.ristek.go.id/?module=News%20News&id=4028, diunduh 19 Februari 2010.
Peraturan Perundang-Undangan Departemen Energi Dan Sumber Daya Mineral. Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Tentang Penentuan WKP Geothermal. Permen ESDM No. 11 Tahun 2008. ------------. Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Tentang Pedoman Penugasan Survei Pendahuluan Panas Bumi. Permen ESDM No. 2 Tahun 2009. ------------. Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Tentang Pedoman Harga Pembelian Tenaga Listrik Oleh PT. PLN (PERSERO) dari Koperasi Atau Badan Usaha Lain. Permen ESDM No. 5 Tahun 2009.
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
------------. Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Panas Bumi . Permen ESDM No. 11 Tahun 2009. Indonesia. Undang-Undang Tentang Panas Bumi. UU No. 23 Tahun 2007, LN No. 115 Tahun 2003, TLN No. 4327. -----------. Peraturan Pemerintah Tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi, PP No. 59 Tahun 2007, LN No 132 Tahun 2007, TLN No. 4777. -----------. Keputusan Presiden Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pungutan-Pungutan Lainnya Terhadap Pelaksanaan Kuasa Dan Ijin Pengusahaan Sumber Daya Manusia Untuk Membangkitkan Energi atau Listrik. Keppres No. 49 Tahun 1991. -----------. Keputusan Presiden Tentang Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi Untuk Pembangkitan Tenaga Listrik. Keppres No. 76 Tahun 2000.
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
www.legalitas.org
1
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2003 TENTANG PANAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, :
a.
b. c.
.le
w
w
w
e.
ga
lit
as
.o r
d.
bahwa panas bumi adalah sumber daya alam yang dapat diperbarui, berpotensi besar, yang dikuasai oleh negara dan mempunyai peranan penting sebagai salah satu sumber energi pilihan dalam keanekaragaman energi nasional untuk menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan demi terwujudnya kesejahteraan rakyat; bahwa pemanfaatan panas bumi relatif ramah lingkungan, terutama karena tidak memberikan kontribusi gas rumah kaca, sehingga perlu didorong dan dipacu perwujudannya; bahwa pemanfaatan panas bumi akan mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak sehingga dapat menghemat cadangan minyak bumi; bahwa peraturan perundang-undangan yang sudah ada belum dapat menampung kebutuhan perkembangan pengelolaan hulu sumber daya panas bumi sehingga undang-undang tentang panas bumi ini dapat mendorong kegiatan panas bumi bagi kelangsungan pemenuhan kebutuhan energi nasional; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, dan sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta untuk memberikan landasan hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan penataan kembali penyelenggaraan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya panas bumi, dipandang perlu membentuk Undang-undang tentang Panas Bumi;
g
Menimbang
Mengingat
:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :
Menetapkan
:
UNDANG-UNDANG TENTANG PANAS BUMI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Panas Bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik semuanya tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem Panas Bumi dan untuk pemanfaatannya diperlukan proses penambangan. Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
www.legalitas.org
2
w
w
w
.le
ga
lit
as
.o r
g
2. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, atau swasta yang didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjalankan jenis usaha tetap dan terus-menerus, bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Survei Pendahuluan adalah kegiatan yang meliputi pengumpulan, analisis dan penyajian data yang berhubungan dengan informasi kondisi geologi, geofisika, dan geokimia untuk memperkirakan letak dan adanya sumber daya Panas Bumi serta Wilayah Kerja. 4. Eksplorasi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyelidikan geologi, geofisika, geokimia, pengeboran uji, dan pengeboran sumur eksplorasi yang bertujuan untuk memperoleh dan menambah informasi kondisi geologi bawah permukaan guna menemukan dan mendapatkan perkiraan potensi Panas Bumi. 5. Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan Panas Bumi untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan usaha pertambangan Panas Bumi, termasuk penyelidikan atau studi jumlah cadangan yang dapat dieksploitasi. 6. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan pada suatu wilayah kerja tertentu yang meliputi pengeboran sumur pengembangan dan sumur reinjeksi, pembangunan fasilitas lapangan dan operasi produksi sumber daya Panas Bumi. 7. Usaha Pertambangan Panas Bumi adalah usaha yang meliputi kegiatan eksplorasi, studi kelayakan, dan eksploitasi. 8. Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi, selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan Usaha Pertambangan Panas Bumi. 9. Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi, selanjutnya disebut Wilayah Kerja, adalah wilayah yang ditetapkan dalam IUP. 10. Wilayah Hukum Pertambangan Panas Bumi Indonesia adalah seluruh wilayah daratan, perairan, dan landas kontinen Indonesia. 11. Iuran Tetap adalah iuran yang dibayarkan kepada negara sebagai imbalan atas kesempatan eksplorasi, studi kelayakan, dan eksploitasi pada suatu Wilayah Kerja. 12. Iuran Produksi adalah iuran yang dibayarkan kepada negara atas hasil yang diperoleh dari Usaha Pertambangan Panas Bumi. 13. Mineral Ikutan adalah bahan mineral selain minyak dan gas bumi yang ditemukan dalam fluida dan/atau dihasilkan dalam jumlah yang memadai pada kegiatan pengusahaan Panas Bumi serta tidak memerlukan penambangan dan produksi secara khusus sebagaimana diatur dalam proses penambangan mineral lainnya. 14. Pemanfaatan Langsung adalah kegiatan usaha pemanfaatan energi dan/atau fluida Panas Bumi untuk keperluan nonlistrik, baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan sendiri. 15. Pemanfaatan Tidak Langsung untuk tenaga listrik adalah kegiatan usaha pemanfaatan energi Panas Bumi untuk pembangkit tenaga listrik, baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan sendiri. 16. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang terdiri atas Presiden dan para menteri yang merupakan perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia. 17. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang Panas Bumi. 18. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah. Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
www.legalitas.org
3
BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 Penyelenggaraan kegiatan pertambangan Panas Bumi menganut asas manfaat, efisiensi, keadilan, kebersamaan, optimasi ekonomis dalam pemanfaatan sumber daya, keterjangkauan, berkelanjutan, percaya dan mengandalkan pada kemampuan sendiri, keamanan dan keselamatan, kelestarian fungsi lingkungan hidup, serta kepastian hukum. Pasal 3 Penyelenggaraan kegiatan pertambangan Panas Bumi bertujuan: a. mengendalikan pemanfaatan kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk menunjang pembangunan yang berkelanjutan serta memberikan nilai tambah secara keseluruhan; dan b. meningkatkan pendapatan negara dan masyarakat untuk mendorong pertumbuhan perekonomian nasional demi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
w
w
w
.le
ga
lit
as
.o r
g
BAB III PENGUASAAN PERTAMBANGAN PANAS BUMI Pasal 4 (1) Panas Bumi sebagai sumber daya alam yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Panas Bumi Indonesia merupakan kekayaan nasional, yang dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (2) Penguasaan Pertambangan Panas Bumi oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. (3) Semua data dan informasi yang diperoleh sesuai dengan ketentuan dalam IUP merupakan data milik negara dan pengaturan pemanfaatannya dilakukan oleh Pemerintah. BAB IV KEWENANGAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN PANAS BUMI Bagian Kesatu Kewenangan Pemerintah Pasal 5 Kewenangan Pemerintah dalam pengelolaan pertambangan Panas Bumi meliputi : a. pembuatan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan Panas Bumi; b. pembuatan kebijakan nasional; c. pembinaan pengusahaan dan pengawasan pertambangan Panas Bumi pada wilayah lintas provinsi; d. pemberian izin dan pengawasan pertambangan Panas Bumi pada wilayah lintas provinsi; e. pengelolaan informasi geologi dan potensi Panas Bumi; f. inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan Panas Bumi nasional. Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
www.legalitas.org
4
Bagian Kedua Kewenangan Pemerintah Daerah Paragraf 1 Kewenangan Provinsi
Kewenangan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
lit
as
.o r
(2)
g
(1)
Pasal 6 Kewenangan provinsi dalam pengelolaan pertambangan Panas Bumi meliputi: a. pembuatan peraturan perundang-undangan di daerah di bidang pertambangan Panas Bumi; b. pembinaan pengusahaan dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di wilayah lintas kabupaten/kota; c. pemberian izin dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di wilayah lintas kabupaten/kota; d. pengelolaan informasi geologi dan potensi Panas Bumi di wilayah lintas kabupaten/kota; e. inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan Panas Bumi di provinsi.
w
.le
ga
Paragraf 2 Kewenangan Kabupaten/Kota
(2)
w
Pasal 7 Kewenangan kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan Panas Bumi meliputi: a. pembuatan peraturan perundang-undangan di daerah di bidang pertambangan Panas Bumi di kabupaten/kota; b. pembinaan dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di kabupaten/kota; c. pemberian izin dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di kabupaten/kota; d. pengelolaan informasi geologi dan potensi Panas Bumi di kabupaten/kota; e. inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan Panas Bumi di kabupaten/kota; f. pemberdayaan masyarakat di dalam ataupun di sekitar Wilayah Kerja di kabupaten/kota. Kewenangan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
w
(1)
BAB V WILAYAH KERJA Pasal 8 Wilayah Kerja yang akan ditawarkan kepada Badan Usaha diumum-kan secara terbuka. Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
www.legalitas.org
5
(1) (2) (3)
Pasal 9 Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing melakukan penawaran Wilayah Kerja dengan cara lelang. Batas dan luas Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ditetapkan oleh Pemerintah. Ketentuan mengenai pedoman, batas, koordinat, luas wilayah, tata cara, dan syarat-syarat mengenai penawaran, prosedur, penyiapan dokumen lelang, dan pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB VI KEGIATAN OPERASIONAL DAN PENGUSAHAAN Bagian Kesatu Kegiatan Operasional Pasal 10 Kegiatan operasional Panas Bumi meliputi: a. Survei Pendahuluan; b. Eksplorasi; c. Studi Kelayakan; d. Eksploitasi; dan e. Pemanfaatan. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing melakukan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. Pemerintah dapat menugasi pihak lain untuk melakukan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan oleh Pemerintah. Eksplorasi, Studi Kelayakan, dan Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d dilakukan oleh Badan Usaha. Pemanfaatan Langsung yang berkaitan dengan pemanfaatan energi Panas Bumi diatur dengan peraturan pemerintah. Pemanfaatan tidak langsung yang berkaitan dengan pemanfaatan energi Panas Bumi untuk pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan umum atau kepentingan sendiri dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang ketenagalistrikan.
(4) (5) (6) (7)
(1)
(2)
.le
w
(3)
w
w
(2)
ga
lit
as
.o r
g
(1)
Bagian Kedua Pengusahaan Pasal 11 Pengusahaan sumber daya Panas Bumi meliputi: a. Eksplorasi; b. Studi Kelayakan; dan c. Eksploitasi. Pengusahaan sumber daya Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terpadu atau dalam satu kesatuan atau dalam keadaan tertentu dapat dilakukan secara terpisah. Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
www.legalitas.org
6
(3)
Pengusahaan sumber daya Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Usaha setelah mendapat IUP dari Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Pasal 12 Dalam melaksanakan pengusahaan sumber daya Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Badan Usaha harus mengikuti kaidah-kaidah keteknikan, kemampuan keuangan dan pengelolaan yang sesuai dengan standar nasional, serta menjunjung tinggi etika bisnis. (1) (2)
as
.o r
g
(3)
Pasal 13 Luas Wilayah Kerja untuk Eksplorasi yang dapat diberikan untuk satu IUP Panas Bumi tidak boleh melebihi 200.000 (dua ratus ribu) hektar. Badan Usaha wajib mengembalikan secara bertahap sebagian atau seluruhnya dari Wilayah Kerja kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Ketentuan mengenai luas Wilayah Kerja yang dapat dipertahankan pada tahap Eksploitasi dan perubahan Luas Wilayah IUP pada setiap tahapan Usaha Pertambangan Panas Bumi diatur dengan peraturan pemerintah.
.le
ga
lit
Bagian Ketiga Eksplorasi dan Eksploitasi
w
w
Pasal 14 Pemegang IUP wajib menyampaikan rencana jangka panjang Eksplorasi dan Eksploitasi kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing yang mencakup rencana kegiatan dan rencana anggaran serta menyampaikan besarnya cadangan. Penyesuaian terhadap rencana jangka panjang Eksplorasi dan Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dari tahun ke tahun sesuai dengan kondisi yang dihadapi.
w
(1)
(2)
Bagian Keempat Pemanfaatan Mineral Ikutan Pasal 15 Pemanfaatan Mineral Ikutan yang terkandung dalam Panas Bumi dapat dilakukan secara komersial oleh pemegang IUP atau pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB VII PENGGUNAAN LAHAN (1) (2) (3)
Pasal 16 Kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi dilaksanakan di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Panas Bumi Indonesia. Hak atas Wilayah Kerja tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi. Kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi tidak dapat dilaksanakan di : Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
www.legalitas.org
7
a. tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat umum, sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya, serta tanah milik masyarakat adat; b. lapangan dan bangunan pertahanan negara serta tanah di sekitarnya; c. bangunan bersejarah dan simbol-simbol negara; d. bangunan, rumah tinggal, atau pabrik beserta tanah pekarangan sekitarnya; e. tempat lain yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4)
Pasal 17 Dalam hal akan menggunakan bidang-bidang tanah hak, tanah negara, atau kawasan hutan di dalam Wilayah Kerja, pemegang IUP yang bersangkutan wajib terlebih dahulu mengadakan penyelesaian dengan pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara musyawarah dan mufakat dengan cara jual beli, tukar-menukar, ganti rugi yang layak, pengakuan atau bentuk penggantian lain kepada pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah negara.
as
w
.le
ga
lit
(2)
.o r
g
(1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilaksanakan dalam hal diperoleh izin dari instansi Pemerintah, persetujuan masyarakat dan perseorangan yang berkaitan dengan hal tersebut.
w
w
Pasal 18 Pemegang hak atas tanah diwajibkan mengizinkan pemegang IUP untuk melaksanakan Usaha Pertambangan Panas Bumi di atas tanah yang bersangkutan apabila: a. sebelum kegiatan dimulai, terlebih dahulu memperlihatkan IUP atau salinannya yang sah, serta memberitahukan maksud dan tempat kegiatan yang akan dilakukan; b. dilakukan terlebih dahulu penyelesaian atau jaminan penyelesaian yang disetujui oleh pemegang hak atas tanah atau pemakai tanah di atas tanah negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17. (1)
(2)
Pasal 19 Dalam hal pemegang IUP telah diberi Wilayah Kerja, terhadap bidangbidang tanah yang dipergunakan langsung untuk kegiatan usaha dan areal pengamanannya, diberikan hak pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan wajib memelihara serta menjaga bidang tanah tersebut. Dalam hal pemberian Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi areal yang luas di atas tanah negara, bagian-bagian tanah yang belum digunakan untuk kegiatan usaha dapat diberikan kepada pihak lain oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang agraria atau pertanahan dengan mengutamakan masyarakat setempat setelah mendapatkan rekomendasi dari Menteri.
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
www.legalitas.org
8
Pasal 20 Penyelesaian penggunaan tanah hak dan tanah negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB VIII PERIZINAN
(2)
lit
w
.le
ga
(4)
as
.o r
(3)
Pasal 21 IUP dikeluarkan oleh Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing. IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat ketentuan sekurang-kurangnya: a. nama penyelenggara; b. jenis usaha yang diberikan; c. jangka waktu berlakunya izin; d. hak dan kewajiban pemegang izin usaha; e. Wilayah Kerja; dan f. tahap pengembalian Wilayah Kerja. Setiap IUP yang telah diberikan wajib digunakan sesuai dengan peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2). IUP dapat dialihkan kepada Badan Usaha afiliasi dengan persetujuan Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing.
g
(1)
(2)
(3)
w
Pasal 22 Jangka waktu IUP terdiri atas: a. jangka waktu Eksplorasi berlaku paling lama 3 (tiga) tahun sejak IUP diterbitkan dan dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali masing-masing selama 1 (satu) tahun; b. jangka waktu Studi Kelayakan berlaku paling lama 2 (dua) tahun sejak jangka waktu Eksplorasi berakhir; c. jangka waktu Eksploitasi berlaku paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak jangka waktu Eksplorasi berakhir dan dapat diperpanjang. Pemegang IUP dapat mengajukan perpanjangan waktu izin Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masingmasing paling cepat 5 (lima) tahun dan paling lambat 3 (tiga) tahun sebelum izin Eksploitasi berakhir. Dalam hal tidak melaksanakan kegiatan Eksploitasi dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak jangka waktu Eksplorasi berakhir, pemegang IUP wajib mengembalikan seluruh Wilayah Kerjanya.
w
(1)
Pasal 23 IUP berakhir karena: a. habis masa berlakunya; b. dikembalikan; c. dibatalkan; atau d. dicabut. Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
www.legalitas.org
9
(1) (2)
(1)
Pasal 25 Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing dapat mencabut IUP apabila pemegang IUP: a. melakukan pelanggaran terhadap salah satu persyaratan yang tercantum dalam IUP; atau b. tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan berdasarkan undang-undang ini. Sebelum melaksanakan pencabutan IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing terlebih dahulu memberikan kesempatan selama jangka waktu 6 (enam) bulan pada pemegang IUP untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
g
(2)
Pasal 24 Pemegang IUP dapat menyerahkan kembali IUP dengan pernyataan tertulis kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing disertai alasan yang jelas. Pengembalian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah setelah disetujui oleh Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing.
.le
ga
lit
as
.o r
Pasal 26 Dalam hal jangka waktu yang ditentukan dalam IUP telah berakhir dan permohonan perpanjangan IUP tidak diajukan atau permohonan perpanjangan IUP tidak memenuhi persyaratan, IUP tersebut berakhir.
w
w
Pasal 27 Dalam hal IUP berakhir karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, pemegang IUP wajib memenuhi dan menyelesaikan segala kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Kewajiban pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap telah dipenuhi setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing. Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing menetapkan persetujuan pengakhiran IUP setelah pemegang IUP melaksanakan pelestarian dan pemulihan fungsi lingkungan di Wilayah Kerjanya serta kewajiban lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
w
(1)
(2)
(3)
BAB IX HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG IZIN USAHA PERTAMBANGAN PANAS BUMI Bagian Kesatu Hak Pemegang Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi Pasal 28 Pemegang IUP berhak : a. melakukan kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi berupa Eksplorasi, Studi Kelayakan, dan Eksploitasi di Wilayah Kerjanya; b. menggunakan data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) selama jangka waktu berlakunya IUP di Wilayah Kerjanya; Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
www.legalitas.org
10
c. dapat memperoleh fasilitas perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Bagian Kedua Kewajiban Pemegang Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi
w
w
w
.le
ga
lit
as
.o r
g
Pasal 29 Pemegang IUP wajib: a. memahami dan mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan lingkungan, serta memenuhi standar yang berlaku; b. mengelola lingkungan hidup mencakup kegiatan pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan fungsi lingkungan hidup dan melakukan reklamasi; c. mengutamakan pemanfaatan barang, jasa, serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri secara transparan dan bersaing; d. memberikan dukungan terhadap kegiatan-kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Panas Bumi; e. memberikan dukungan terhadap kegiatan penciptaan, pengembangan kompetensi, dan pembinaan sumber daya manusia di bidang Panas Bumi; f. melaksanakan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; g. memberikan laporan tertulis secara berkala atas rencana kerja dan pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing. BAB X PENERIMAAN NEGARA (1) (2)
(3)
(4) (5)
Pasal 30 Pemegang IUP wajib membayar penerimaan negara berupa pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penerimaan negara berupa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. pajak; b. bea masuk dan pungutan lain atas cukai dan impor; c. pajak daerah dan retribusi daerah. Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. pungutan negara berupa Iuran Tetap dan Iuran Produksi serta pungutan negara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. bonus. Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah. Penerimaan negara berupa pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak merupakan penerimaan Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang pembagiannya sebagai berikut. Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
www.legalitas.org
11
a.
(6)
Penerimaan negara berupa pajak, pembagiannya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku; b. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Iuran Tetap dan Iuran Produksi, pembagiannya ditetapkan dengan perimbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk Pemerintah Daerah. Bagian Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dibagi dengan perincian sebagai berikut: a. provinsi yang bersangkutan sebesar 16% (enam belas persen); b. kabupaten/kota penghasil sebesar 32% (tiga puluh dua persen); c. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 32% (tiga puluh dua persen). BAB XI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 31 Tanggung jawab pembinaan dan pengawasan atas pekerjaan dan pelaksanaan kegiatan usaha terhadap ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku berada pada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing. Gubernur dan Bupati/Walikota wajib melaporkan pelaksanaan penyelenggaraan Usaha Pertambangan Panas Bumi di wilayahnya masing-masing setiap 6 (enam) bulan sekali kepada Pemerintah.
lit
w
.le
ga
(2)
as
.o r
g
(1)
w
w
Pasal 32 Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 meliputi: a. Eksplorasi; b. Eksploitasi; c. keuangan; d. pengolahan data Panas Bumi; e. konservasi bahan galian; f. keselamatan dan kesehatan kerja; g. pengelolaan lingkungan hidup dan reklamasi; h. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri; i. pengembangan tenaga kerja Indonesia; j. pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat; k. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan Panas Bumi; l. kegiatan lain di bidang kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi sepanjang menyangkut kepentingan umum; m. pengelolaan Panas Bumi; n. penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan yang baik. Pasal 33 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32 diatur dengan peraturan pemerintah.
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
www.legalitas.org
12
BAB XII PENYIDIKAN (1)
w
w
w
.le
ga
lit
as
.o r
g
(2)
Pasal 34 Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi diberi wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi. Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang diterima berkenaan dengan tindak pidana dalam kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak pidana dalam kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi; c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka dalam perkara tindak pidana kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi; d. menggeledah tempat dan/atau sarana yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana dalam kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi; e. melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi dan menghentikan penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana; f. menyegel dan/atau menyita alat kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagai alat bukti; g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan-nya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana dalam kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi; atau h. menghentikan penyidikan perkara tindak pidana dalam kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi. Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan perkara pidana kepada Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku. Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghenti-kan penyidikannya dalam hal peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a tidak terdapat cukup bukti dan/atau peristiwanya bukan merupakan tindak pidana. Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)
(4)
(5)
BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 35 Setiap orang yang melakukan kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi tanpa IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) dipidana dengan Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
www.legalitas.org
13
pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). Pasal 36 Pemegang IUP yang dengan sengaja meninggalkan Wilayah Kerjanya tanpa menyelesaikan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan. Pasal 37 Setiap orang yang mengganggu atau merintangi kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi dari pemegang IUP sehingga pemegang IUP terhambat dalam melaksanakan kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
g
lit
as
(2)
Pasal 38 Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 adalah kejahatan. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 37 adalah pelanggaran.
.o r
(1)
w
w
w
.le
ga
Pasal 39 Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 dilakukan oleh Badan Usaha, ancaman pidana denda yang dijatuhkan kepada Badan Usaha tersebut ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana denda. Pasal 40 Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, pelaku tindak pidana dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana; b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; c. kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana. BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 41 Pada saat undang-undang ini berlaku, semua kontrak kerja sama pengusahaan sumber daya Panas Bumi yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya masa kontrak. Pasal 42 Pada saat undang-undang ini berlaku pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kontrak kerja sama pengusahaan pertambangan Panas Bumi yang ditandatangani sebelum berlakunya undang-undang ini dialihkan kepada Pemerintah. Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
www.legalitas.org
14
BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 43 Dengan berlakunya undang-undang ini, segala ketentuan yang bertentangan dengan undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku. Pasal 44 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
lit
as
.o r
g
Disahkan di Jakarta pada tanggal 22 Oktober 2003 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
w
w
w
.le
ga
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Oktober 2003 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 115
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
www.legalitas.org
15
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2003 TENTANG PANAS BUMI UMUM
w
w
w
.le
ga
lit
as
.o r
g
Panas Bumi merupakan sumber energi panas yang terbentuk secara alami di bawah permukaan bumi. Sumber energi tersebut berasal dari pemanasan batuan dan air bersama unsur-unsur lain yang dikandung Panas Bumi yang tersimpan di dalam kerak bumi. Untuk pemanfaatannya, perlu dilakukan kegiatan penambangan berupa eksplorasi dan eksploitasi guna mentransfer energi panas tersebut ke permukaan dalam wujud uap panas, air panas, atau campuran uap dan air serta unsur-unsur lain yang dikandung Panas Bumi. Pada prinsipnya dalam kegiatan Panas Bumi yang ditambang adalah air panas dan uap air. Sumber daya Panas Bumi ramah lingkungan karena unsur-unsur yang berasosiasi dengan energi panas tidak membawa dampak lingkungan atau berada dalam batas ketentuan yang berlaku. Panas Bumi merupakan sumber energi panas dengan ciri terbarukan karena proses pembentukannya terus-menerus sepanjang masa selama kondisi lingkungannya dapat terjaga keseimbangannya. Indonesia memiliki potensi sumber daya Panas Bumi yang besar dibandingkan dengan potensi Panas Bumi dunia. Namun, hingga saat ini Panas Bumi tersebut masih belum dapat dimanfaatkan secara optimal, khususnya sebagai salah satu energi pilihan pengganti bahan bakar minyak. Mengingat sifat sumber energi Panas Bumi tidak dapat diekspor, pemanfaatannya terutama ditujukan untuk mencukupi kebutuhan energi domestik yang dapat memberikan nilai tambah dalam rangka optimalisasi pemanfaatan aneka ragam sumber energi di Indonesia. Dengan demikian, pemanfaatan Panas Bumi dapat turut menunjang pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat sejahtera. Penyelenggaraan kegiatan Panas Bumi sesuai dengan amanat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dikuasai oleh negara dan ditujukan untuk sebesar-besar kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Potensi Panas Bumi tersebar di sepanjang lintasan gunung api di seluruh Indonesia. Dengan kata lain, sumber daya Panas Bumi hanya terdapat pada daerah tertentu, di pegununganpegunungan yang lokasinya merupakan daerah terpencil sehingga dibutuhkan pembangunan prasarana penunjang infrastruktur yang memadai. Karena kekhususan lokasi tersebut dan potensi serta manfaat yang sangat besar di Indonesia untuk dikembangkan sebagai energi pilihan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat, penyelenggaraan aset negara berupa Panas Bumi ini perlu diatur dengan suatu undang-undang secara khusus. Untuk mencapai maksud tersebut, kegiatan pengusahaan Panas Bumi pada sisi hulu yang merupakan kegiatan padat modal dan padat teknologi diatur dalam undang-undang ini, sedangkan kegiatan pada sisi hilir yang berkaitan dengan pemanfaatannya diatur tersendiri atau mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal menyangkut pemanfaatan Panas Bumi secara tidak langsung untuk pembangkitan tenaga listrik, pengaturannya dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang ketenagalistrikan. Selain itu, sebagai salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur pengusahaan sumber daya alam, semangat yang terkandung dalam undang-undang ini sangat erat hubungannya dengan undang-undang mengenai pemerintahan daerah, serta undang-undang mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Diharapkan undang-undang ini dapat memberikan kepastian hukum kepada pelaku sektor Panas Bumi secara seimbang dan tidak diskriminatif. Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
www.legalitas.org
16
PASAL DEMI PASAL
as
.o r
g
Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Semua data dan informasi yang diperoleh Badan Usaha sesuai dengan IUP dalam setiap kegiatan operasional Panas Bumi hanya boleh digunakan untuk kepentingannya sesuai dengan IUP. Oleh karena itu, data dan informasi tidak boleh dimiliki, disimpan, dan/atau diserahkan serta dialihkan kepada pihak lain tanpa izin Pemerintah. Semua data dan informasi harus diserahkan kepada negara melalui Pemerintah segera setelah data dan informasi diperoleh. Data atau informasi mengenai keadaan di bawah permukaan tanah dari hasil investasi yang dilakukan Badan Usaha tidak dapat dibuka secara langsung kepada umum untuk melindungi kepentingan investasinya.
w
w
w
.le
ga
lit
Pasal 5 Huruf a Cukup jelas Huruf b Pembuatan kebijakan nasional, antara lain, meliputi: 1) pembuatan dan penetapan standardisasi; 2) pembuatan dan penetapan sistem perizinan pertambangan Panas Bumi nasional; 3) penetapan kebijakan pemanfaatan dan konservasi; 4) penetapan kebijakan kerja sama dan kemitraan; 5) kriteria kawasan pertambangan Panas Bumi; 6) perumusan dan penetapan tarif Iuran Tetap dan Iuran Produksi. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Pembuatan peraturan perundang-undangan di daerah, antara lain penetapan kerja sama dan kemitraan di bidang pertambangan Panas Bumi di provinsi. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
www.legalitas.org
17
w
w
w
.le
ga
lit
as
.o r
g
Huruf e Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Pembuatan peraturan perundang-undangan di daerah, antara lain penetapan kerja sama dan kemitraan di bidang pertambangan Panas Bumi di kabupaten/kota. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Proses lelang dalam ketentuan ini memiliki tahap, antara lain, penjelasan lelang, pengecekan data survei pendahuluan, pengambilan data, jangka waktu pemasukan penawaran, evaluasi penawaran, klarifikasi terhadap penawaran, kesepakatan kerahasiaan, serta pengumuman dan penunjukan pemenang lelang. Ayat (2) Penentuan batas dan luas Wilayah Kerja ditetapkan berdasarkan titik koordinat dalam peta lokasi Wilayah Kerja ataupun di lapangan. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan kegiatan secara terpadu adalah kegiatan yang meliputi Eksplorasi, Studi Kelayakan, dan Eksploitasi dilakukan oleh Badan Usaha, sedangkan yang dimaksud dengan kegiatan secara terpisah adalah dalam hal Eksplorasi dilakukan oleh Pemerintah. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
www.legalitas.org
18
Pasal 14 Ayat (1) Penyampaian rencana kegiatan jangka panjang bersifat memberikan informasi dimaksudkan untuk menyelaraskannya dengan program pembangunan jangka panjang Pemerintah atau Pemerintah Daerah, termasuk menginventarisasi jumlah investasi. Penyampaian rencana kegiatan bukan untuk mendapatkan persetujuan Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Ayat (2) Cukup Jelas
w
w
w
.le
ga
lit
as
.o r
g
Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Huruf a Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “tempat umum, sarana dan prasarana umum” adalah fasilitas yang disediakan Pemerintah, untuk kepentingan masyarakat luas dan mempunyai fungsi sosial, seperti jalan, pasar, tempat pemakaman, taman, dan tempat ibadah. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Ayat (1) Mengingat hak atas Wilayah Kerja tidak meliputi hak atas permukaan tanah, pemegang IUP tidak serta-merta mempunyai hak pakai atas bidang-bidang tanah di dalam Wilayah Kerja. Apabila pemegang IUP akan menggunakan langsung bidang-bidang tanah dimaksud, hak pakai tersebut harus diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
www.legalitas.org
19
w
w
w
.le
ga
lit
as
.o r
g
Ayat (4) Yang dimaksud dengan Badan Usaha afiliasi pada ayat ini adalah Badan Usaha yang secara langsung mengendalikan atau memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham atau lebih yang mempunyai hak suara di Badan Usaha Pemegang IUP semula. Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Huruf a Cukup jelas Huruf b Ketentuan ini berkaitan dengan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3). Huruf c Penggunaan sumber daya dalam negeri harus diutamakan dan dimanfaatkan secara maksimal. Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Sesuai dengan maksud dan tujuan pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia, Usaha Pertambangan Panas Bumi harus mendatangkan manfaat pada masyarakat dan lingkungan di tempat kegiatan itu berada sehingga masyarakat sekitar mempunyai rasa “kepemilikan” dan mendukung kegiatan usaha tersebut. Huruf g Cukup jelas Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan pungutan lain atas cukai, misalnya bea materai. Yang dimaksud dengan pungutan lain atas impor, misalnya Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah. Huruf c Cukup jelas Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan pungutan negara lainnya, misalnya jasa pendidikan dan pelatihan, dan jasa penelitian dan pengembangan. Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.
www.legalitas.org
20
Huruf b Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas
w w w
Pasal 38 Cukup jelas Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Cukup jelas
.le
ga
lit
as
.o r
g
Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 Yang dimaksud dengan “mengganggu atau merintangi Usaha Pertambangan Panas Bumi” adalah segala bentuk tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang dapat menimbulkan kerugian secara materiil.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4327
Tinjauan hukum..., Adrita, FH UI, 2011.