BAB II PENTINGNYA PENCANTUMAN KLAUSULA FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN
A. Pelaksanaan Suatu Perjanjian. 1.
Syarat sah perjanjian Di dalam suatu perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur yaitu: 32
a.
Pihak-pihak, paling sedikit ada dua orang. Para pihak yang bertindak sebagai subyek perjanjian, dapat terdiri dari orang atau badan hukum. Dalam hal yang menjadi pihak adalah orang, harus telah dewasa dan cakap untuk melakukan hubungan hukum. Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, maka badan hukum tersebut harus memenuhi syarat-syarat badan hukum yang antara lain adanya harta kekayaan yang terpisah, mempunyai tujuan tertentu, mempunyai kepentingan sendiri, ada organisasi33;
b.
Persetujuan antara para pihak, sebelum membuat suatu perjanjian atau dalam membuat suatu perjanjian, para pihak memiliki kebebasan untuk mengadakan tawar-menawar diantara mereka;
32
Mohd.Syaufii Syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian dalam Hubungan Industrial, (Jakarta: Sarana Bhakti Persada, 2005), Hal 5-6. 33 Herman Rasyid, Syarat Sahnya Suatu Perjanjian, http://hermansh.blogspot.com/2012/02 /syarat-sahnya-suatu-perjanjian.html, pada tanggal 11 Agustus 2012.
22
Universitas Sumatera Utara
23
c.
Adanya tujuan yang akan dicapai, baik yang dilakukan sendiri maupun oleh pihak lain, selaku subyek dalam perjanjian tersebut. Dalam mencapai tujuannya, para pihak terikat dengan ketentuan bahwa tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum;
d. Ada prestasi yang harus dilaksanakan, para pihak dalam suatu perjanjian mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya saling berlawanan. Apabila pihak yang satu berkewajiban untuk memenuhi prestasi, bagi pihak lain hal tersebut merupakan hak, dan sebaliknya; e.
Ada bentuk tertentu, suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, dibuat sesuai dengan ketentuan yang ada;
f.
Syarat-syarat tertentu, dalam suatu perjanjian, isinya harus ada syarat-syarat tertentu, karena suatu perjanjian yang sah, mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Agar suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah, perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Agar suatu perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian
harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 1320 BW yaitu : a.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mempunyai arti bahwa para pihak
yang membuat perjanjian telah sepakat atau saling menyetujui kehendak masing-
Universitas Sumatera Utara
24
masing, yang dilahirkan oleh para pihak tanpa adanya paksaan, kekeliruan, dan penipuan.34 Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.35 Sepakat sebenarnya merupakan pertemuan antara dua kehendak, di mana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain.36 Menurut Teori Penawaran dan Penerimaan (offer and acceptance), bahwa pada prinsipnya suatu kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya penawaran (offer) dari salah satu pihak dan dikuti dengan penerimaan tawaran (acceptance) oleh pihak lain dalam kontrak tersebut. 37 b.
Cakap untuk membuat perikatan;
34
Ridhuan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung : Alumni, 1992),
Hal. 214.
35
SieInfokum - Ditama Binbangkum, Perjanjian, diakses dari http://www.jdih.bpk.go.id /informasihukum/Perjanjian.pdf, pada tanggal 10 Pebruari 2012. 36 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Buku 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), Hal. 165. 37 Kontrak, diakses dari http://ocw.usu.ac.id/course/download/10500000010-hukumperusahaan/kn_508_slide_hukum_kontrak_2.pdf, pada tanggal 11 Agustus 2012.
Universitas Sumatera Utara
25
Membuat suatu perjanjian adalah melakukan suatu hubungan hukum. Yang dapat melakukan suatu hubungan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban, baik orang atau badan hukum, yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, badan hukum tersebut harus memenuhi syarat sebagai badan hukum yang sah. Suatu badan, perkumpulan, atau badan usaha dapat berstatus sebagai badan hukum bila telah memenuhi beberapa syarat, yaitu:38 1) Syarat materiil (menurut doktrin) a) Harta kekayaan yang terpisah, dipisahkan dari kekayaan anggotanya. b) Tujuan tertentu (bisa idiil/komersial) c) Punya hak/kewajiban sendiri, dapat menuntut/dituntut d) Punya organisasi yang teratur, tercermin dari Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga. 2) Syarat Formal Syarat-syarat yang harus dipenuhi sehubungan dengan permohonan untuk mendapatkan status sebagai badan hukum biasanya diatur dalam peraturan yang mengatur tentang badan hukum yang bersangkutan. Misalnya pengesahan perseroan terbatas (PT) sebagai badan hukum diatur dalam Undang-Undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan pengesahan yayasan sebagai badan hukum diatur dalam Undang-Undang
38
Handri Raharjo, Hukum Perusahaan , (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009), Hal 25.
Universitas Sumatera Utara
26
nomor 16 tahun 2001 Jo Undang-Undang nomor 28 tahun 2004 tentang Yayasan, dimana agar perseroan terbatas dan yayasan dapat berstatus sebagai badan hukum yang sah, akta pendirian perseroan terbatas dan yayasan yang telah dibuat oleh notaris harus mendapat pengesahan dari menteri. Dengan terpenuhinya syarat-syarat tersebut di atas, barulah badan hukum itu dapat disebut sebagai pendukung hak dan kewajiban atau sebagai subyek hukum yang dapat melakukan hubungan hukum.39 Apabila yang membuat perjanjian adalah orang, dia harus cakap menurut hukum. Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan : 1) Orang-orang yang belum dewasa; Ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut memberikan arti yang luas mengenai kecakapan bertindak dalam hukum, yaitu bahwa:40 a) seorang baru dikatakan dewasa jika ia: (1) telah berumur 21 tahun; atau (2) telah menikah; Hal kedua membawa konsekuensi hukum bahwa seorang anak yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa.
39
Mohd.Syaufii Syamsuddin, op.cit, Hal 13. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian , (Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada, 2006), Hal 130. 40
Universitas Sumatera Utara
27
b) anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh: (1) orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama); (2) walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tuanya (artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja). 2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan; Orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan kurang akal, sakit ingatan atau boros. Pembentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian. Apabila seorang yang berada di bawah pengampuan mengadakan
perjanjian,
yang
mewakilinya
adalah
orang
tuanya
atau
pengampunya (Pasal 433 KUHPerdata).41 Orang yang dibawah pengampuan, menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Ia berada di bawah pengawasan pengampuan. Kedudukannya, sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang anak belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang telah ditaruh di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya.42
41 42
Mohd.Syaufii Syamsuddin, op.cit, Hal 16. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 2002), Hal 18.
Universitas Sumatera Utara
28
3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya, kecuali ada hak suami yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang akan dilakukan seperti menjual rumah yang didapat setelah perkawinan, dan lainlain. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW).43 c.
Suatu hal tertentu; Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu
hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada di tangannya si berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undangundang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.44 Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang
43 44
SieInfokum - Ditama Binbangkum, loc.cit. Subekti, op.cit, Hal 19.
Universitas Sumatera Utara
29
yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.45 d.
Suatu sebab atau causa yang halal; Menurut Undang-undang, sebab yang halal adalah jika tidak dilarang oleh
Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, ketentuan ini disebutkan pada Pasal 1337 KUH Perdata. Suatu perjanjian yang dibuat dengan sebab atau causa yang tidak halal, misalnya jual beli ganja, untuk mengacaukan ketertiban umum. 46 Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.47 Ke empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam:48 1) dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan; 2). dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif). Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian.
45
SieInfokum - Ditama Binbangkum, loc.cit. Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Citra Adtya Bakti: Bandung,1992), Hal 95. 47 SieInfokum - Ditama Binbangkum, loc.cit. 48 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit , Hal 93. 46
Universitas Sumatera Utara
30
Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya49. Perbedaan antara dapat dibatalkan dengan batal demi hukum dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas). Sedangkan batal demi hukum artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.50
49
Ibid, Hal 94. Diana Kusumasari, Pembatalan Perjanjian yang Batal demi Hukum, diakses dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail /cl4141 /pembatalan-perjanjian-yang-batal-demi-hukum, pada tanggal 11 Agustus 2012. 50
Universitas Sumatera Utara
31
2.
Prestasi Pada tahap pelaksanaan suatu perjanjian, para pihak harus melaksanakan apa
yang telah dijanjikan atau apa yang telah menjadi kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Kewajiban memenuhi apa yang dijanjikan itulah disebut sebagai prestasi.51 Prestasi dalam suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata). Di dalam hukum perjanjian, itikad baik itu mempunyai dua pengertian yaitu: 52 a.
b.
Itikad baik dalam arti subyektif, yaitu kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti subyektif ini diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata. Itikad baik dalam arti obyektif, yaitu pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, dimana hakim diberikan suatu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan. Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah satu pihak terdesak, harus adanya keseimbangan. Keadilan artinya bahwa kepastian untuk mendapatkan apa yang telah diperjanjikan dengan memperhatikan norma-norma yang berlaku. Demikian pula suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang (Pasal 1339 KUHPerdata).53 Prestasi dapat berwujud sebagai :54 51
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Cetakan ketiga, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hal 67. 52 M. Hariyanto, Asas-asas perjanjian, diakses dari http://blogmhariyanto.blogspot.com/ 2009/07/asas-asas-perjanjian.html, pada tanggal 16 juli 2012 53 Djaja S. Meliala, op.cit, hal 98. 54 Ahmadi Miru, op.cit, hal 68-69.
Universitas Sumatera Utara
32
a.
Benda Prestasi berupa benda harus diserahkan kepada pihak lainnya. Penyerahan
tersebut dapat berupa penyerahan hak milik atau penyerahan kenikmatannya Sedangkan prestasi yang berupa tenaga atau keahlian harus dilakukan oleh pihakpihak yang menjual tenaga atau keahliannya. Contoh dari penyerahan hak milik adalah jual-beli mobil, dimana setelah salah satu pihak membayar harga yang disepakati untuk mobil tersebut, pihak yang lain harus menyerahkan mobil dan mobil tersebut menjadi milik seutuhnya dari pihak yang telah melakukan pembayaran sedangkan contoh penyerahan kenikmatan adalah sewa menyewa rumah dimana yang diberikan hanya kenikmatan dari rumah tersebut yang setelah berakhir perjanjiannya, rumah tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya. Prestasi yang berupa benda yang harus diserahkan kepada pihak lain, apabila benda tersebut belum diserahkan, pihak yang berkewajiban menyerahkan benda tersebut berkewajiban merawat benda tersebut bebagaimana dia merawat barangnya sendiri atau yang sering diistilahkan dengan “sebagai bapak rumah yang baik”. Sebagai konsekuensi dari kewajiban tersebut adalah apabila ia melalaikannya, ia dapat dituntut ganti rugi apalagi kalau ia lalai menyerahkannya. b.
Tenaga atau keahlian Antara prestasi yang berupa tenaga dan prestasi yang berupa keahlian ini
terdapat perbedaan karena prestasi yang berupa tenaga pemenuhannya dapat diganti oleh orang lain karena siapapun yang mengerjakannya hasilnya akan sama,
Universitas Sumatera Utara
33
sedangkan prestasi yang berupa keahlian, pemenuhannya tidak dapat diganti oleh orang lain tanpa persetujuan pihak yang harus menerima hasil dari keahlian tersebut. Oleh karena itu, apabila diganti oleh orang lain, hasilnya mungkin akan berbeda. Sebagai contoh suatu kontrak dengan prestasi berupa tenaga adalah kalau seorang yang disuruh memindahkan tumpukan pasir dari pinggir jalan ke dalam pekarangan seseorang, siapa pun yang mengangkat pasir tersebut, hasilnya pasir tersebut akan berada di pekarangan sesuai harapan orang yang menyuruh. Sementara itu, contoh suatu kontrak yang prestasinya berupa keahlian, adalah kalau seorang yang meminta pelukis untuk melukis wajahnya si pelukis tidak begitu saja dapat meminta orang lain untuk melukis wajah orang tersebut karena kemungkinan orang yang diminta menggantikannya tidak memiliki keahlian yang sama sehingga kalau pelukis tersebut diganti, kemungkinan lukisan wajah tersebut tidak sama bahkan mungkin tidak mirip dengan wajah aslinya. c.
Tidak berbuat sesuatu Adapun prestasi tidak berbuat sesuatu menuntut sikap pasif salah satu pihak
karena dia tidak dibolehkan melakukan sesuatu sebagaimana yang diperjanjikan. Prestasi dari suatu perjanjian harus memenuhi syarat:55 a.
Harus diperkenankan, artinya prestasi itu tidak melanggar ketertiban, kesusilaan, dan Undang-undang;
b.
Harus tertentu atau dapat ditentukan;
55
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009),
hal.79.
Universitas Sumatera Utara
34
c.
Harus memungkinkan untuk dilakukan menurut kemampuan manusia. Namun yang sering dijumpai dalam pelaksanaan suatu perjanjian adalah
ketika salah satu pihak tidak mematuhi dan melaksanakan apa yang telah diperjanjikan/ wanprestasi. 3.
Wanprestasi Hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak si berhutang ini harus dinyatakan
dahulu secara resmi, yaitu dengan memperingatkan si berhutang itu, bahwa si berpiutang menghendaki pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang pendek.56 Hal ini diatur pada Pasal 1238 KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut : “Si berutang dinyatakan dalam keadaan lalai, baik dengan perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu, atau ia berada dalam keadaan lalai demi perikatannya sendiri, jika perikatan itu membawa akibat, bahwa si berutang berada dalam keadaan lalai, dengan lewatnya waktu yang ditentukan saja“. Kata “perintah“ (bevel) dalam Pasal 1238 diatas mengandung suatu peringatan dan karenanya “bevel“ juga bisa diterjemahkan dengan “peringatan“. Karena di sana dikatakan, bahwa perintah/peringatan itu ditujukan kepada debitur (si berhutang) dan debitur (si berhutang) adalah pihak yang dalam perikatan mempunyai kewajiban prestasi, maka tentunya “ perintah/peringatan“ itu datang dari krediturnya, yaitu pihak yang dalam perikatan mempunyai hak (-tuntut) atas prestasi. Sekalipun pasal yang bersangkutan tidak secara tegas mengatakan apa isi perintah kreditur, namun demikian, sehubungan kedudukan para pihak dalam perikatan yang bersangkutan– 56
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 2003), hal 147.
Universitas Sumatera Utara
35
bisa disimpulkan, bahwa perintah kreditur adalah agar debitur memenuhi kewajiban perikatannya. Jadi debitur berada dalam keadaan lalai setelah ada perintah/peringatan agar debitur melaksanakan kewajiban perikatannya. Perintah atau peringatan (surat teguran) itu dalam doktrin dan yurisprudensi disebut “somasi“.57 Suatu somasi harus diajukan secara tertulis yang menerangkan apa yang dituntut, atas dasar apa serta pada saat kapan diharapkan pemenuhan prestasi. Hal ini berguna bagi kreditur apabila ingin menuntut debitur di muka pengadilan. Dalam gugatan inilah, somasi menjadi alat bukti bahwa debitur betul-betul telah melakukan wanprestasi.58 Somasi tidak perlu diberitahukan terlebih dahulu kepada pengadilan akan tetapi pengirim somasi wajib membuat suatu berita acara penerimaan somasi kepada pihak calon tergugat, hal ini untuk membuktikan bahwa penggugat telah beritikad baik menyelesaikan perkaranya secara damai sebelum akhirnya berperkara dipengadilan (hal ini memberikan penilaian permulaan kepada hakim bahwa tergugat beritikad buruk).59 Dalam hal tenggang waktu suatu pelaksanaan pemenuhan prestasi telah ditentukan, maka Pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. 57
J. Satrio, Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian I), diakses dari http://www.hukum online.com/ berita/ baca/ lt4cbfb836aa5d0/beberapa-segi-hukum-tentang-somasi-bagian-i-brioleh-jsatrio-, pada tanggal 16 juli 2012` 58 PNH Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta : Djambata, 1999), Hal.340. 59 Somasi atau Teguran, diakses dari http://www.negarahukum.com/hukum/somasi-atauteguran.html, pada tanggal 11 Agustus 2012.
Universitas Sumatera Utara
36
Bentuk wanprestasi/ ketiadalaksanaan dapat terwujud dalam beberapa bentuk yaitu:60 a. b. c. d.
Debitor sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya; Debitor tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya/ melaksanakan kewajibannya tetapi tidak sebagaimana mestinya; Debitor tidak melaksanakan kewajibannya pada waktunya; Debitor melaksanakan sesuatu yang tidak diperbolehkan. Wanprestasi tersebut dapat terjadi karena kesengajaan debitor untuk tidak mau
melaksanakannya, maupun karena kelalaian debitor untuk tidak melaksanakannya. 61 Adapun akibat hukum bagi debitur yang lalai atau melakukan wanprestasi, dapat menimbulkan hak bagi kreditur, yaitu :62 a. b. c. d. e.
Menuntut pemenuhan perikatan; Menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan tersebut bersifat timbalbalik, menuntut pembatalan perikatan; Menuntut ganti rugi; Menuntut pemenuhan perikatan dengan disertai ganti rugi; Menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi. Perlunya diketahui apakah penyebab dari terjadinya wanprestasi mengingat
akibat yang terjadi karena tindakan wanprestasi itu dilakukan, semuanya dibuktikan di hadapan hakim. Seorang Debitur yang dituduh lalai dan dimintakan supaya kepadanya diberikan hukuman atas kelalaiannya, ia dapat membela diri dengan mengajukan beberapa macam alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman-hukuman itu. Pembelaan tersebut ada tiga macam, yaitu:63 60
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004), Hal.70. 61 Ibid. 62 Handri Raharjo, op.cit, hal 81-84.
Universitas Sumatera Utara
37
a. b. c.
Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau Force majeure); Mengajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai (exceptio non adimpleti contractus); Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (pelepasan hak: bahasa Belanda: rechtsverwerking).
Menurut Subekti, ada 4 akibat dari terjadinya wanprestasi yaitu : 64 a. b. c. d.
Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti rugi; Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian; Peralihan Risiko; Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim. Akibat-akibat dari terjadinya wanprestasi diatas, lebih jelasnya dijabarkan
sebagai berikut :65 a.
Ganti rugi Ganti rugi sering diperinci dalam tiga unsur yakni biaya, rugi, dan bunga.
Biaya adalah segala pengeluaran dan perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak. Misalnya Jika seorang sutradara mengadakan perjanjian dengan seorang pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukkan, dan pemain ini kemudian tidak datang sehingga pertunjukkan terpaksa dibatalkan, maka yang termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan lain-lain. Yang dimaksudkan dengan istilah rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan debitur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Misalnya dalam hal jual beli sapi. Kalau sapi yang dibelinya itu mengandung suatu 63
Subekti, op.cit, hal.55. Ibid, hal 45. 65 Ibid, hal.47-54. 64
Universitas Sumatera Utara
38
penyakit yang menular kepada sapi-sapi lainnya milik si pembeli, hingga sapi-sapi ini mati karena penyakit tersebut. Yang dimaksudkan dengan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya dalam hal jual beli barang, jika barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga pembeliannya.66 Hal ini sesuai dengan isi Pasal 1246 KUHPerdata yang mana menyatakan bunga sebagai "...untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya.." Pasal 1247 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan: “Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya” Dan Pasal 1248 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan: “Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi, bunga, sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian” Dari dua pasal diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ganti rugi itu dibatasi, hanya meliputi kerugian yang dapat diduga dan yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi. b.
Pembatalan perjanjian Mengenai pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian,
sebagai sanksi kedua atas kelalaian seorang debitur, mungkin ada orang yang tidak
Universitas Sumatera Utara
39
dapat melihat sifat pembatalannya atau pemecahan tersebut sebagai suatu hukuman karena debitur menganggap dibebaskan dari kewajiban memenuhi prestasi. Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau suatu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan. Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan: “Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan” Berdasarkan ketentuan pasal di atas maka jelas bahwa pembatalan perjanjian tidak terjadi secara otomatis pada waktu debitur nyata–nyata melalaikan kewajibannya, akan tetapi harus dimintakan kepada hakim dan disebutkan dengan jelas, bahwa perjanjian itu tidak batal demi hukum. c.
Peralihan risiko Peralihan risiko sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur
disebutkan dalam Pasal 1237 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.Yang dimaksudkan dengan “risiko” adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.
Universitas Sumatera Utara
40
Peralihan risiko dapat digambarkan demikian: Menurut Pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka risiko dalam jual-beli barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan risiko tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya si penjual, risiko itu beralih kepada dia. d.
Pembayaran biaya perkara Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi
seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara (Pasal 181 ayat 1 HIR). Seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan kalau sampai terjadi suatu perkara di depan hakim. Dari pembahasan-pembahasan di atas dapat dilihat apabila wanprestasi yang dilakukan dalam perjanjian itu terjadi akibat dari keadaan memaksa (Force majeure), maka dapat melepaskan pihak yang tidak memenuhi kewajiban itu dari tuntutan ganti kerugian. B. Force Majeure 1.
Pengertian Force Majeure Di dalam KUH-Perdata tidak ada defenisi tentang keadaan memaksa, namun
hanya memberikan batasan. Sehingga dari batasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa keadaan memaksa adalah suatu keadaan tidak terduga, tidak disengaja, dan tidak dapat dipertanggung jawabkan oleh debitur, dimana debitur tidak dapat
Universitas Sumatera Utara
41
melakukan prestasinya kepada kreditur dan dengan terpaksa peraturan hukum juga tidak diindahkan sebagaimana mestinya, hal ini disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya dan keadaan ini dapat dijadikan alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian.67 Beberapa ahli hukum juga memberikan pandangannya mengenai konsep keadaan memaksa (Force Majeure/Overmacht) diantaranya adalah :68 a.
R. Subekti: Debitur menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Dengan perkataan lain, hal tidak terlaksananya perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaan itu, bukanlah disebabkan karena kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah atau alpa, dan orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi-sanksi yang diancamkan atas kelalaian. Untuk dapat dikatakan suatu
“keadaan
memaksa”
(overmacht),
selain
keadaan
itu
“di
luar
kekuasaannya” si debitur dan “memaksa”, keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat, setidak-tidaknya tidak dipikul risikonya oleh si debitur. b.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan yang menyitir H.F.A. Vollmar: overmacht adalah keadaan di mana debitur sama sekali tidak mungkin memenuhi perutangan (absolute overmacht) atau masih memungkinkan memenuhi 67
Handri Raharjo, op.cit, hal 104. Rahmat S.S. Soemadipradja, Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa, (Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010), hal 7. 68
Universitas Sumatera Utara
42
perutangan, tetapi memerlukan pengorbanan besar yang tidak seimbang atau kekuatan jiwa di luar kemampuan manusia atau dan menimbulkan kerugian yang sangat besar (relative overmacht). c.
Purwahid Patrik mengartikan overmacht atau keadaan memaksa adalah debitur tidak melaksanakan prestasi karena tidak ada kesalahan maka akan berhadapan dengan keadaan memaksa yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pengertian keadaan memaksa/ Force Majeure adalah suatu keadaan di mana salah satu pihak dalam suatu perikatan tidak dapat memenuhi seluruh atau sebagian kewajibannya sesuai apa yang diperjanjikan, disebabkan adanya suatu peristiwa di luar kendali salah satu pihak yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan, di mana pihak yang tidak memenuhi kewajibannya ini tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko.69 2.
Pengaturan Force Majeure dalam Peraturan Perundang-Undangan
a.
Pengaturan Force Majeure dalam KUHPerdata Dikarenakan KUH Perdata tidak mengenal istilah force majeure dan juga
tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang disebut sebagai keadaan memaksa, hal tidak terduga dan perbuatan yang terlarang tersebut,70 sehingga dalam menafsirkan pengaturan force majeure dalam KUHPerdata, adalah dengan menarik kesimpulan-
69
Ibid, hal 8. Chandra Kurniawan, Antara Syahrini, Karaha Bodas dan Kemacetan Merak, diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4dde03e58c21b/antara - syahrini -- karaha - bodas – dankemacetan-merak-broleh—chandrakurniawan-, pada tanggal 11 Juni 2012 70
Universitas Sumatera Utara
43
kesimpulan umum dari pengaturan-pengaturan khusus, yaitu pengaturan khusus tentang force majeure yang terdapat dalam bagian pengaturan tentang ganti rugi, atau pengaturan resiko akibat force majeure untuk kontrak sepihak ataupun dalam bagian kontrak-kontrak khusus (kontrak bernama). Disamping tentunya menarik kesimpulan dari teori-teori hukum tentang force majeure, doktrin dan yurisprudensi.71 Menurut Hasanuddin Rahman, terdapat beberapa pasal dalam KUH Perdata yang dapat digunakan sebagai pedoman terhadap ketentuan mengenai force majeure, antara lain:72 Pasal 1244 KUH Perdata: “Jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tidak terduga, pun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya. Kesemuanya itupun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.” Pasal 1245 KUH Perdata: “Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tidak disengaja siberhutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.” Pasal 1545 KUH Perdata: “Jika suatu barang tertentu, yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah diluar salah pemiliknya, maka persetujuan dianggap sebagai gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar-menukar.” Pasal 1553 KUH Perdata: 71
Munir Fuady,Op.cit, hal 118. Hasanuddin Rahman, Contract Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 206. 72
Universitas Sumatera Utara
44
“Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka persetujuan sewa gugur demi hukum. Jika barangnya hanya sebagian musnah, pihak penyewa dapat memilih menurut keadaan apakah dia akan meminta pengurangan harga sewa, ataukah dia akan meminta pembatalan sewa menyewa. Dalam kedua hal tersebut, dia tidak berhak meminta ganti rugi” Selain empat pasal yang disebutkan di atas, masih terdapat pasal-pasal lain yang berkaitan dengan Force majeure, yaitu: Pasal 1444 KUH Perdata: “Jika barang tertentu yang menjadi pokok perjanjian musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang, sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tidak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama di tangannya si berpiutang seandainya sudah diserahkan kepadanya. Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tidak terduga, yang dimajukannya itu. Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicuri, musnah atau hilang, hilangnya barang itu tidak sekali-kali membebaskan orang yang mencuri barang dari kewajibannya mengganti harganya.” Pasal 1445 KUH Perdata: “Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang musnah, tak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang mengutangkan kepadanya.” Pasal 1460 KUH Perdata: “Jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli,
Universitas Sumatera Utara
45
meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan si penjual berhak menuntut harganya” Pada Pasal 1244 KUHPerdata dan Pasal 1245 KUHPerdata hanya mengatur masalah force majeure dalam hubungan dengan penggantian biaya rugi dan bunga saja, akan tetapi perumusan pasal-pasal ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam mengartikan force majeure pada umumnya.73Ketentuan ini memberikan kelonggaran kepada debitur untuk tidak melakukan penggantian biaya, kerugian, dan bunga kepada kreditur, oleh karena suatu keadaan yang berada di luar kekuasaannya.74 Pada Pasal 1545 KUHPerdata mengatur mengenai masalah force majeure dalam hubungan dengan kontrak tukar menukar. Dari ketentuan Pasal 1545 ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam suatu kontrak timbal balik (in casu kontrak tukar menukar), maka risiko akibat dari force majeure ditanggung bersama oleh para pihak. Jika ada para pihak telah terlanjur berprestasi dapat memintakan kembali prestasinya tersebut, jadi kontrak tersebut dianggap gugur. Dengan demikian, pengaturan risiko dalam kontrak tukar menukar ini dapat dianggap pengaturan risiko yang adil, sehingga dapat dicontoh pengaturan risiko untuk kontrak-kontrak timbal balik lain selain dari kontrak tukar menukar tersebut.75 Pada Pasal 1553 mengatur mengenai masalah force majeure dalam hubungan dengan kontrak sewa menyewa. Ketentuan risiko dalam kontrak sewa menyewa seperti terlihat dalam Pasal 1553 KUH Perdata tersebut di atas menempatkan kedua 73
Munir Fuady, Op.cit, hal 113. Salim H.S, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal 101. 75 Ibid, hal 121. 74
Universitas Sumatera Utara
46
belah pihak untuk menanggung risiko dari force majeure, tanpa adanya hak dari pihak yang merasa dirugikan untuk meminta ganti rugi. Ini juga merupakan ketentuan yang dapat dicontoh bagi penafsiran risiko dan force majeure untuk kontrak timbal balik selain dari kontrak sewa menyewa tersebut.76 Pada Pasal 1460 KUHPerdata mengatur mengenai masalah force majeure dalam hubungan dengan kontrak jual beli. Terjadi ketidak tepatan di pasal ini dikarenakan peralihan resiko dibuat beralih pada saat kontrak ditandatangani bukan pada saat penyerahan, Ketidaktepatan pengaturan resiko dalam Pasal 1460 KUHPerdata ini diatasi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahum 196377 ,yang memintakan para hakim tidak memberlakukan Pasal 1460 tersebut. b. Pengaturan Force Majeure dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya Secara umum, pengaturan mengenai Force Majeure dalam perundangundangan dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar. Pertama, force majeure ditentukan sebagai klausul yang harus dimasukkan dalam kontrak/ atau perjanjian mengenai substansi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kedua, force majeure diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi tidak berkaitan dengan kontrak/perjanjian mengenai substansi yang diatur dalam peraturan perundangundangan.78
76
Ibid, hal 122. Damang, Risiko, diakses dari http://www.negarahukum.com/hukum/risiko.html pada tanggal 13Juni 2012. 78 Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal. 71. 77
Universitas Sumatera Utara
47
Perundang-undangan yang mengatur force majeure dalam kelompok pertama, yang dikaji dalam penelitian ini adalah UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi juncto Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi; Keputusan Presiden (Keppres) No. 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa beserta lampirannya, yang telah diubah beberapa kali berturut-turut dengan Keppres No. 61 Tahun 2004, Peraturan Presiden (Perpres) No. 32 Tahun 2005, Perpres No. 70 Tahun 2005, Perpres No. 8 Tahun 2006, Perpres No. 79 Tahun 2006, Perpres No. 85 Tahun 2006, dan Perpres No. 95 Tahun 2007.79 Perundang-undangan yang mengatur force majeure dalam kelompok kedua, yaitu UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Jasa Angkutan, Peraturan Bank Indonesia No. 9/2/PBI/2007 tentang Laporan Harian Bank Umum, Peraturan Bank Indonesia No. 8/20/PBI/2006 tentang Transparansi Kondisi Keuangan BankPerkreditan Rakyat, Peraturan Bank Indonesia No. 10/4/PBI/2008 tentang Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank, Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/21/DKBU tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat.80
79 80
Ibid. Ibid, hal. 71-72.
Universitas Sumatera Utara
48
Mengenai perundang-undangan yang mengatur tentang force majeure pada kelompok pertama, diantaranya yaitu: 1) Peraturan perundang-undangan mengenai Jasa Konstruksi: Pada UU no 18 tahun 1999 tentang Jasa konstruksi tidak memberikan defenisi operasional dari force majeure akan tetapi menyatakan bahwa force majeure memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak, yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Dan pada Peraturan Pemerintah no. 29 tahun 2000 Penyelenggaran Jasa Konstruksi menyatakan bahwa force majeure mencakup kesepakatan mengenai
risiko
khusus, macam keadaan memaksa lainnya dan hak dan kewajiban pengguna jasa dan penyedia jasa pada keadaan memaksa;81 2) Peraturan perundang-undangan mengenai Pengadaan barang dan jasa: Pada Keppres no 80 tahun 2003 tentang Pengadaan barang dan Jasa juga tidak memberikan defenisi operasional dari force majeure tetapi hanya menyatakan bahwa suatu kontrak sekurang-kurangnya harus memuat ketentuan mengenai keadaan kahar.82 Dalam peraturan Jasa Konstruksi dan peraturan Pengadaan Barang dan Jasa, pembentuk peraturan mewajibkan para pihak untuk memasukkan klausul force 81
Pasal 22 ayat 2 huruf J UU no.18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi jo Pasal 23 ayat 1 huruf j Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan jasa Konstruksi. 82 Pasal 29 ayat 1 Huruf J Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa besertalampirannya, yang telah diubah beberapa kali berturut-turut dengan Kepres No. 61 Tahun 2004, Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2005, Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2005, Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2006, Peraturan Presiden No. 79 Tahun 2006, Peraturan Presiden No. 85 Tahun 2006, dan Peraturan Presiden No. 95 Tahun 2007.
Universitas Sumatera Utara
49
majeure. Dalam peraturan Jasa Konstruksi, force majeure diartikan sebagai suatu kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Dalam peraturan Pengadaan Barang dan Jasa, force majeure disebut keadaan kahar, artinya suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak para pihak sehingga kewajiban yang ditentukan dalam kontrak menjadi tidak dapat dipenuhi.83 Kemudian mengenai perundang-undangan yang mengatur tentang force majeure pada kelompok kedua, yaitu: 1) Peraturan perundang-undangan mengenai Ketenagakerjaan. UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama dua tahun, atau karena force majeure.84 2) Peraturan perundang-undangan mengenai Perkeretaapian. UU no. 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian menyatakan bahwa penyelenggara prasarana Perkeretaapian tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dan/atau pihak ketiga yang disebabkan oleh pengoperasian prasarana perkeretaapian apabila pihak yang berwenang
menyatakan
bahwa
kerugian
bukan
disebabkan
kesalahan
pengoperasian prasarana perkeretaapian dan/atau terjadi force majeure dan juga
83 84
Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal. 73. Pasal 164 ayat 1 UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Universitas Sumatera Utara
50
grafik perjalanan kereta api dapat diubah apabila terjadi perubahan pada prasarana perkeretaapian, jumlah sarana perkeretaapian, kecepatan kereta api, kebutuhan angkutan, dan force majeure.85 3) Peraturan perundang-undangan mengenai Pertambangan Mineral dan Batu bara. UU nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara menyatakan bahwa penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan dapat diberikan kepada pemegang IUP dan IUPK apabila terjadi force majeure, keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan dan apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat menanggung beban kegiatan dan/atau operasi produksi sumber daya mineral batubara yang dilakukan di wilayahnya.86 4) Peraturan perundang-undangan mengenai Lalu lintas dan Angkutan jalan. UU no. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan bahwa pengemudi kendaraan bermotor yang terlibat kecelakaan lalu lintas wajib menghentikan kendaraan yang dikemudikannya, memberikan pertolongan kepada korban, melaporkan kecelakaan kepada polisi, dan memberikan keterangan yang terkait dengan kejadian kecelakaan. Dan apabila pengemudi kendaraan bermotor tidak bisa berhenti karena keadaan memaksa sehingga tidak
85 86
Pasal 88, Pasal 121 angka 3UU no. 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Pasal 113 ayat 1 UU nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara.
Universitas Sumatera Utara
51
bisa
menghentikan
kendaraan
yang
dikemudikannya
dan
memberikan
pertolongan kepada korban, segera melaporkan kecelakaan kepada polisi.87 Di dalam penjelasan Pasal 231 ayat 2 UU no. 22 tahun 2009 disebutkan bahwa force majeure merupakan suatu situasi di lingkungan lokasi kecelakaan yang dapat mengancam keselamatan diri pengemudi, terutama dari amukan massa dan kondisi pengemudi yang tidak berdaya untuk memberikan pertolongan.88 5) Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia no. 9/2/PBI/2007 tentang Laporan Harian Bank Umum (LHBU) menyatakan bahwa kewajiban untuk menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU dikecualikan bagi Bank Pelapor yang mengalami force majeure sehingga mengakibatkan Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU tersebut. Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan LHBU atau koreksi LHBU harus segera memberitahukan secara tertulis kepada Bank Indonesia disertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya force majeure beserta upaya-upaya yang dilakukan, yang ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang dan pengecualian hanya diberikan sampai dengan force majeure dapat teratasi.89
87 88
jalan.
Pasal 231 ayat 1 dan 2 UU nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan jalan. Penjelasan Pasal 231 ayat 2 UU nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan
89
Pasal 9 ayat 1, 2, dan 3 Peraturan Bank Indonesia no. 9/2/PBI/2007 tentang Laporan Harian Bank Umum.
Universitas Sumatera Utara
52
Peraturan Bank Indonesia no. 8/20/PBI/2006 mengenai Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat menyatakan BPR yang mengalami force majeure selama lebih dari satu bulan dalam periode di bulan yang terakhir seharusnya mengumumkan dan/atau menyampaikan laporan, dikecualikan mengumumkan dan/atau menyampaikan laporan. Untuk memperoleh pengecualian, BPR harus menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia disertai penjelasan mengenai force majeure yang dialami.90 Peraturan
Bank
Indonesia
no.
10/4/PBI/2008
mengenai
Laporan
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan menggunakan kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga selain Bank menyatakan penyampaian laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan tidak berlaku bagi pelapor yang mengalami force majeure. Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib segera memberitahukan secara tertulis disertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya force majeure yang ditandatangani oleh Pejabat Pelapor yang berwenang dan harus menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi setelah force majeure dapat diatasi kepada Bank.91 Surat Edaran Bank Indonesia nomor 11/21/DKBU tentang Batas maksimum pemberian kredit bank perkreditan rakyat menyatakan BPR pelapor yang 90 Pasal 26 ayat 1 dan 2 Peraturan Bank Indonesia no.8/20/PBI/2006 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat. 91 Pasal 11 ayat 1, 2, 3 dan 4Peraturan Bank Indonesia no 10/4/PBI/2008 tentang Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan menggunakan kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga selain Bank.
Universitas Sumatera Utara
53
berkedudukan di wilayah yang belum memiliki fasilitas jaringan ekstranet atau mengalami force majeure laporan disampaikan secara off-line kepada Kantor Bank Indonesia (KBI) yang mewilayahi BPR pelapor.92 Peraturan Bank Indonesia di atas memberikan pengertian bahwa
force
majeure merupakan suatu keadaan dimana bank sebagai pelapor tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk melakukan pelaporan. c.
Pengaturan Force Majeure dalam Hukum Kontrak Internasional. Terdapat pengaturan Internasional mengenai Force Majeure dalam perjanjian/
kontrak Internasional, diantaranya adalah UNIDROIT atau kadang disingkat menjadi UPICCs (Principles of International Commercial Contracts) dan CISG (United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods) . Ada 12 prinsip hukum kontrak yang dipakai dalam UNIDROIT yaitu : 93 1.
Prinsip Kebebasan Berkontrak ( bebas menentukan isi dan bentuk kontrak, mengikat sebagai Undang-undang, aturan memaksa sebagai pengecualian, sifat international dan tujuan prinsip-prinsip UNIDROIT harus diperhatikan dalam penafsiran kontrak );
2.
Prinsip itikad baik ( good faith ) dan transaksi wajar/jujur ( fair dealing ) ( prinsip dasar yang melandasi seluruh proses kontrak yaitu mulai dari proses 92
Surat Edaran Bank Indonesia nomor 11/21/DKBU tentang Batas maksimum pemberian kredit bank perkreditan rakyat. 93 Jusuf Patrik, Prinsip Kontrak Komersial International UNIDROIT, diakses dari http://notarissby.blogspot.com/2009/03/prinsip-kontrak-komersial-international.html, pada tanggal 2 Juli 2012.
Universitas Sumatera Utara
54
negosiasi, pembuatan, pelaksanaan sampai berakhirnya kontrak (purna kontrak), ditekankan dalam praktik perdagangan international dan bersifat memaksa); 3.
Prinsip diakuinya kebiasaan transaksi bisnis di negara setempat;
4.
Prinsip Kesepakatan melalui Penawaran ( Offer ) dan Penerimaan ( Acceptance ) atau Melalui Perilaku ( Conduct );
5.
Prinsip Larangan Bernegosiasi dengan Itikad Buruk;
6.
Prinsip Kewajiban Menjaga Kerahasiaan atas Informasi yang diperoleh pada saat Negosiasi;
7.
Prinsip Perlindungan Pihak Lemah dari Syarat-syarat Baku;
8.
Prinsip Syarat Sahnya Kontrak;
9.
Prinsip dapat dibatalkannya kontrak bila mengandung perbedaan besar ( gross disparity);
10. Prinsip contra proferentem dalam penafsiran kontrak baku; 11. Prinsip menghormati Kontrak ketika terjadi Kesulitan ( hardship); 12. Prinsip pembebasan tanggung jawab dalam keadaan memaksa ( force majeure). Prinsip mengenai force majeure ini jelas ternyata dalam Pasal 7.1.7 Prinsip UNIDROIT yang berbunyi sebagai berikut: 94 “Article 7.1.7 - (Force majeure) (1) Non-performance by a party is excused if that party proves that the nonperformance was due to an impediment beyond its control and that it could not reasonably be expected to have taken the impediment into account at the time of the conclusion of the contract or to have avoided or overcome it or its consequences. 94
Pasal 7.1.7 Prinsip UNIDROIT.
Universitas Sumatera Utara
55
(2) When the impediment is only temporary, the excuse shall have effect for such period as is reasonable having regard to the effect of the impediment on the performance of the contract. (3) The party who fails to perform must give notice to the other party of the impediment and its effect on its ability to perform. If the notice is not received by the other party within a reasonable time after the party who fails to perform knew or ought to have known of the impediment, it is liable for damages resulting from such non-receipt. (4) Nothing in this article prevents a party from exercising a right to terminate the contract or to withhold performance or request interest on money due. “ Yang terjemahan bebasnya sebagai berikut: " Pasal 7.1.7 - Keadaan Memaksa (1) Tidak dipenuhinya prestasi oleh suatu pihak dimaafkan jika pihak tersebut dapat membuktikan bahwa tidak dapat dipenuhi prestasi disebabkan hambatan yang di luar kendali dan bahwa hal itu tidak diharapkan untuk terjadi sebagai hambatan pada saat penandatanganan kontrak atau untuk menghindari atau mengatasinya atau konsekuensinya. (2) Ketika hambatan ini hanya bersifat sementara, hanya dapat dimaafkan ketidak laksanaan isi perjanjian selama periode yang sementara tersebut dimana merupakan hal yang wajar apabila terjadi hambatan pada pelaksanaan kontrak. (3) Pihak yang tidak bisa melaksanakan isi perjanjian harus memberikan pemberitahuan kepada pihak lain mengenai hambatan dan pengaruhnya terhadap kemampuannya untuk melaksanakan isi perjanjian. Jika pemberitahuan tidak diterima oleh pihak lain dalam waktu yang wajar setelah pihak tersebut gagal untuk melaksanakan isi perjanjian atau mengetahui terjadinya hambatan, maka
Universitas Sumatera Utara
56
pihak tersebut bertanggung jawab atas kerusakan yang diakibatkan dari tidak ada pemberitahuan tersebut. (4) Tidak ada ketentuan dalam pasal ini yang mencegah suatu pihak dari melaksanakan haknya untuk mengakhiri kontrak atau untuk menahan pelaksanaan isi perjanjian atau menuntut bunga berupa uang yang menjadi haknya. " Dalam penjelasan mengenai pasal tentang force majeure ini tertulis bahwa Prinsip ini penting mengingat peristiwa yang terjadi di kemudian hari yang berada di luar kontrol (kendali) para pihak dapat setiap saat terjadi. Prinsip ini sebenarnya lebih banyak menggunakan prinsip yang dikenal dalam hukum continental. Di Negaranegara common law dikenal pula dengan doktrin Frustation dan doktrin impossibility of performance. Namun perancang UNIDROIT menetapkan menggunakan istilah force majeure karena kontrak internasional umumnya sudah lazim menggunakan istilah ini.95 Pengaturan force majeure dalam CISG terdapat pada BAB IV dari konvensi jual beli barang tersebut dimana pada Pasal 79 dan 80 menyatakan bahwa salah satu pihak tidak bertanggung jawab atas kegagalan melaksanakan kewajibannya jika ia dapat membuktikan bahwa kegagalan itu dikarenakan oleh peristiwa yang berada di luar pengawasannya dan ia secara wajar tidak mungkin dapat mengatasi hambatan tersebut atau menanggulangi akibatnya. Jika terbukti bahwa kegagalan tersebut 95
Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hal. 91
Universitas Sumatera Utara
57
disebabkan pihak ketiga, maka pihak yang gagal melaksanakan kontrak tersebut dibebaskan dari tanggung jawab.96 Melihat begitu banyaknya pengaturan mengenai force majeure dalam peraturan perundang-undangan nasional maupun internasional dimana ada beberapa jenis kontrak yang diwajibkan untuk mencantumkan force majeure sebagai klausula dalam perjanjian tersebut, perlu juga dipertimbangkan apakah perlu untuk mencantumkan klausula force majeure pada perjanjian yang tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan untuk mencantumkan klausula force majeure tersebut. 3.
Alasan Pentingnya Mencantumkan Klausula Force Majeure dalam Perjanjian. Dalam konteks hukum, Force majeure dapat diartikan sebagai klausula yang
memberikan dasar pemaaf pada salah satu pihak dalam suatu perjanjian, untuk menanggung sesuatu hal yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya, yang mengakibatkan pihak tersebut tidak dapat menunaikan kewajibannya berdasarkan kontrak yang telah diperjanjikan.97 Selain sebagai dasar pemaaf, klausula force majeure juga merupakan dasar pembenar. Rumusan Pasal 1244 KUHPerdata dan Pasal 1245 KUHPerdata menyatakan bahwa Force Majeure ini merupakan alasan pembenar dan pemaaf, dimana dapat disimpulkan sebagai berikut:98
96 Mariam Darus Badrulzaman, et al., Kompilasi Hukum Perikatan, (PT Citra Aditya Bakti : Bandung, 2001), hal. 246. 97 Supriyadi, Force Majeure, diakses dari http://excellent-lawyer.blogspot.com/2010/04/forcemajeure.html, pada tanggal 2 Agustus 2012. 98 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, hal 89-90.
Universitas Sumatera Utara
58
a.
Yang dimaksud dengan alasan pembenar dan alasan pemaaf adalah alasan yang mengakibatkan debitor yang tidak melaksanakan kewajibannya sesuai perikatan pokok/asal, tidak diwajibkan untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga
b.
Yang dimaksud dengan alasan pembenar, adalah alasan yang berhubungan dengan ketidakmampuan obyektif untuk memenuhi perikatan yang ada. Sedangkan
alasan
pemaaf
adalah
alasan
yang
berhubungan
dengan
ketidakmampuan subjektif dalam memenuhi perikatan. c.
Alasan pembenar dan pemaaf yang diperbolehkan tersebut bersifat limitatif dengan pengertian bahwa selain yang disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dimungkinkan bagi debitor untuk mengajukan alasan lain yang dapat membebaskannya dari kewajibannya untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga dalam hal debitor telah cidera janji. Hal ini harus dibedakan dari suatu keadaan dimana kreditor tidak menuntut pelaksanaan penggantian biaya, kerugian, dan bunga dari debitor yang telah cidera janji.
d.
Alasan pembenar yang diperbolehkan adalah suatu keadaan memaksa atau keadaan yang tidak disengaja mengakibatkan debitor terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya. Yang dimaksud keadaan memaksa atau kejadian yang tidak disengaja ini adalah suatu alasan yang bersifat obyektif, yang dalam pandangan setiap orang, tidak hanya semata-mata debitor pribadi, dengan terjadinya peristiwa memaksa atau tidak terduga tersebut, tidak mungkin dapat melaksanakan perikatan yang telah ditetapkan.
Universitas Sumatera Utara
59
e.
Alasan pemaaf yang dapat dijadikan alasan adalah terjadinya suatu hal yang tak terduga, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, selama tidak ada itikad buruk kepadanya. Dalam konteks alasan pemaaf ini, unsur tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitor memegang peranan yang sangat penting. Oleh karena alasan ini semata-mata bergantung pada kemampuan Subjektivitas dari debitor tersebut. Jadi jika debitor masih dapat dipertanggung jawabkan atas tidak dipenuhinya kewajiban atau prestasi yang wajib dipenuhi olehnya tersebut, maka debitor berkewajiban untuk membayar ganti rugi, biaya, dan bunga. Klausula force majeure mempunyai kemiripan dengan perjanjian untung-
untungan karena sama-sama bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu akan terjadi akan tetapi klausula force majeure bukanlah merupakan suatu persetujuan untung-untungan. Pasal 1774 KUHPerdata menyatakan: "Suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung pada kejadian yang belum tentu.." Perbedaan terlihat jelas dimana dalam perjanjian untung-untungan terdapatnya suatu hasil pelaksanaan berupa untung atau rugi digantungkan pada suatu peristiwa yang belum tentu akan terjadi yang mana peristiwa yang belum tentu terjadi ini merupakan tujuan dari dilaksanakannya suatu perjanjian untung-untungan sedangkan pencantuman klausula force majeure dalam suatu perjanjian itu ditujukan untuk
Universitas Sumatera Utara
60
melindungi para pihak dari kewajiban menanggung kerugian atas kejadian yang belum tentu akan terjadi dalam pelaksanaan dari suatu perjanjian. Walaupun tidak dimasukannya klausula force majeure atau keadaan memaksa dalam kontrak, bukan berarti otomatis perlindungan yang diberikan oleh perundangundangan menjadi terbatasi, hilang atau dapat dikesampingkan99, akan tetapi tidak adanya pencantuman klausula force majeure dianggap sebagai ketidakcermatan dalam penyusunan kontrak sehingga memicu sengketa dimana jika tidak adanya klausula force majeure dalam kontrak, dan pada saat pelaksanaan perjanjian terdapat force majeure, kedua belah pihak akan merasa dirugikan dan saling menghindari kewajiban yang akan berujung pada saling menuntut.100 Dari uraian - uraian diatas dapat disimpulkan bahwa klausula force majeure merupakan klausula yang penting untuk dicantumkan dalam suatu perjanjian.
99
Chandra Kurniawan, loc.cit. Michiko, Seputar Hukum Kontrak Komersial, diakses dari http://michiko60.blogspot.com/ 2012/02/seputar-hukum-kontrak-komersial.html, pada tanggal 2 Agustus 2012. 100
Universitas Sumatera Utara