BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sengketa terkait pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian baku telah menjadi fenomena menarik untuk dikaji. Secara yuridis perbuatan yang mencantumkan klausula eksonerasi di dalam suatu perjanjian merupakan perbuatan yang dilarang. 1 Namun di dalam praktik perbuatan itu sering kali terjadi yang berarti adalah suatu bentuk pelanggaran. Sebahagian kalangan praktisi terutama bagi kalangan para pelaku usaha yang memiliki posisi tawar (bargaining position) yang kuat cenderung mencantumkan klausula eksonerasi tersebut di dalam format (formulir) perjanjian. Eksonerasi atau exoneration (Inggris) diartikan sebagai perbuatan yang membebaskan seseorang atau badan usaha dari suatu tuntutan atau tanggung jawab hukum. Secara sederhana, klausula eksonerasi berarti suatu klausula pengecualian kewajiban atau tanggung jawab di dalam perjanjian. 2 Klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan di dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum. 3 Klausula eksonerasi dapat
1
Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (disingkat UUPK). 2 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d0894211ad0e/klausula-eksonerasi, diakses tanggal 2 Mei 2014, Artikel yang ditulis oleh Diana Kusumasari, berjudul “Klausula Eksonerasi” dipublikasikan di website hukumonline pada tanggal 5 April 2011. 3 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 47.
1
2
membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak, padahal menurut hukum, tanggung jawab tersebut mestinya dibebankan kepadanya. Memperhatikan pengertiannya saja sudah jelas-jelas secara hukum tidak memenuhi rasa keadilan dan tidak memenuhi asas proporsionalitas (asas keseimbangan) serta bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak, padahal menurut Pasal 1338 KUH Perdata. Hukum di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak, bukan justru dibuat pembatasan-pembatasan tanggung jawab oleh salah satu pihak yang seharusnya dilaksanakan oleh pihak tersebut. Asas keseimbangan merupakan asas yang menyatakan suatu kondisi dalam keadaan “seimbang” (evenwicht) yang menunjuk pada makna suatu keadaan pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang. Keadaan hening atau keselarasan dari berbagai hak dan kewajiban tidak satupun mendominasi yang lainnya, atau tidak satupun elemen yang menguasai elemen lainnya. 4 Berarti kondisi yang tidak seimbang dalam pembagian hak dan kewajiban para pihak di dalam suatu perjanjian merupakan larangan dan bertentangan dengan asas ini. Larangan atau pembatasan dalam peraturan
yang ada terhadap
pencantuman klausula eksonerasi yang bersifat baku di dalam perjanjian dapat ditemui dalam hukum positif di Indonesia yaitu dalam Pasal 18 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (disingkat UUPK). Dalam UUPK ini klausula eksonerasi merupakan salah satu bentuk “klausula baku” yang dilarang dalam UUPK tersebut.
4
Van Dale dalam Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 2006), hal. 304.
3
Klausula baku mengandung syarat-syarat baku sekaligus merupakan aturan bagi para pihak yang terikat didalamnya dan telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk dipergunakan oleh salah satu pihak tanpa negosiasi dengan pihak yang lain. 5 Tujuan larangan pencantuman klausula baku di dalam Pasal 18 UUPK tersebut dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. 6 Tujuan larangan pencantuman klausula baku karena klausula baku berupaya untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lain dalam hal yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian. 7 Sehingga bila klausula baku ditemukan, maka posisi kedudukan konsumen tidak lagi setara dengan pelaku usaha, padahal berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak, para pihak harus bebas menentukan klausula dalam perjanjian, pihak yang satu tidak boleh membuat penekanan terhadap pihak lainnya, tetapi harus sama-sama merasa puas dengan perjanjian yang dibuat. Ketidakseimbangan yang ditunjukkan dengan pencantumkan klausula eksonerasi dalam perjanjian bertentangan pula dengan asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak sangat ideal jika para pihak yang terikat dalam suatu
5
Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak, Memahami Kontrak Dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum, (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), (Bandung: Mandar Maju, 2012), hal. 320. 6 Penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK. 7 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit di Bank Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 75.
4
perjanjian/kontrak berada dalam posisi tawar yang masing-masing seimbang antara satu sama lain. 8 Hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak bahwa setiap pihak yang mengadakan perjanjian bebas membuat perjanjian (Pasal 1338 KUH Perdata) sepanjang isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata). Pihak yang lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas untuk menentukan apa yang dikehendakinya dalam perjanjian apabila dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak tidak seimbang. Pihak yang memiliki posisi tawar yang kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausula-klausula yang baku bahkan di dalam klausula baku itu dicantumkan pula klausula eksonerasi. Seharusnya perjanjian itu dirancang oleh para pihak secara bersama-sama, namun pihak yang kuat tersebut umumnya telah mempersiapkan format perjanjian oleh pihak yang posisi tawarnya lebih kuat. 9 Pencantuman klausula eksonerasi dalam praktik masih mendominasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari terutama bagi para pihak yang melakukan perjanjian. Bukan saja terjadi bagi para pihak yang melakukan perjanjian, namun dalam kehidupan sehari-hari yakni dalam kegiatan perdagangan, perjanjian baku sering mengandung klausula eksonerasi itu dicantumkan misalnya di dalam form perjanjian yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan kepada masyarakat, seperti dalam penjualan tiket-tiket pesawat angkutan penumpang udara, 8
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), hal. 39. 9 Ibid., hal. 39-40.
5
perusahaan pengangkutan laut maupun transportasi darat, perusahaan lising (leasing corporate), perusahaan perbankan, perusahaan asuransi, kegiatan pinjammeminjam uang, dan lain-lain, semua kesepakatan dicantumkan dalam bentuk klausula baku, ada yang sudah terlebih dahulu dibuat dalam bentuk formulir dan adapula yang dibuat dengan cara bernegosiasi langsung di antara para pihak. Secara hukum walaupun klausula eksonerasi dilarang, namun dalam praktik perdagangan dalam perjanjian/kontrak baku tidak jarang ditemukan pencantuman klausula eksonerasi yang bersifat baku yang ujung-ujungnya untuk menguntungkan bagi pihak yang memiliki posisi tawar (bargaining position) yang kuat di dalam perjanjian/kontrak. Penyelesaian masalah ketidakseimbangan dalam perjanjian, hakim berwenang untuk memasuki/meneliti isi suatu perjanjian jika diperlukan karena isi dan pelaksanaan suatu perjanjian/kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat. 10
Hal
ini
dimaksudkan
jika
klausula-klausula
di
dalam
perjanjian/kontrak tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai ketertiban umum, maka harus dibatalkan. Prinsip kebebasan berkontrak pada masa kini dapat diterima dalam situasi bilamana para pihak memiliki persamaan atau keseimbangan dalam posisi tawar (equality in bargaining power). Sebelum abad ke-19 model perjanjian/kontrak masih bersifat klasik di mana perjanjian/kontrak semua bersifat individual, namun
10
Asikin Kesuma Atmadja, ”Pembatasan Rentenir sebagai Perwujudan Pemerataan Keadilan”, Varia Peradilan, Tahun II, No. 27, Februari 1987, hal. 2.
6
setelah abad ke-19 dan di awal abad ke-20 prinsip individual telah ditinggalkan menuju prinsip kolektif. 11 Akibat desakan paham etis dan sosialis, pada akhir abad XIX, paham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini kemudian tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat menginginkan pihak yang memiliki posisi tawar lemah lebih banyak mendapat perlindungan. Kehendak bebas tidak lagi diberikan secara mutlak, tetapi diberi secara relatif yang selalu dikaitkan dengan kepentingan umum/negara. 12 Perkembangan
ini
menghendaki
dalam
perjanjian/kontrak
harus
diutamakan prinsip keseimbangan dan keadilan antara posisi tawar masingmasing pihak di dalam perjanjian/kontrak tersebut harus dipenuhi, bukan mementingkan kepentingan individual sebagaimana perjanjian-perjanjian yang mengandung klausula eksonerasi dipandang hanya mementingkan satu pihak saja, sementara di pihak lain tidak menimbulkan rasa keadilan. Ketidakseimbangan hak dalam perjanjian yang mengandung klausula eksonerasi dapat dicontohkan pada si A adalah perusahaan besar, katakanlah sebauh perusahaan yang fungsinya melakukan jual beli mobil (kendaraan) kepada para konsumennya. Tentu saja dalam kondisi ini posisi tawar yang kuat itu ada pada pihak perusahaan bukan pada konsumen, sehingga perusahaan dapat dengan
11
Y. Yogar Simamora, Hukum Kontrak, Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia, (Surabaya: Kantor Hukum WINS & Partners, 2013), hal. 31-32. Perjanjian yang bersifat individual adalah perjanjian yang mementingkan kepentingan individu salah satu pihak biasanya pihak ini memiliki posisi tawar yang kuat, sedangkan perjanjian yang bersifat kolektif adalah perjanjian yang menyeimbangkan kepentingan antara para pihak yang terikat dalam perjanjian jadi menurut prinsip ini tidak ada satu pihak menekan pihak lain. 12 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersil, (Jakarta: Kencana 2011), hal. 112.
7
mudah mencantumkan klausula eksonerasi dalam perjanjian baku untuk menghindari kerugian perusahaan dan agar perusahaan itu terhindar dari tanggung jawabnya. Contoh lain misalnya di dalam hal pengerjaan proyek pelaksanaan pembangunan yang telah diperjanjikan antara pemodal dengan pelaksanaa proyek, juga kadang-kadang ditemukan pencantuman klausula eksonerasi di dalam perjanjian/kontrak yang didominasi oleh pihak pemilik modal yang memiliki posisi tawar yang kuat di dalam perjanjian. Kebutuhan akan suatu benda maupun suatu proyek bagi pihak konsumen maupun pelaksanaan proyek sudah merupakan hal yang lazim, tetapi yang membuat hubungan ini menjadi tidak lazim adalah karena tidak seimbang. Ketika ditemukannya suatu kalusula eksonerasi di dalam perjanjian/kontrak yang sematamata hanya mementingkan kepentingan si pelaku usaha atau si pemilik modal yang posisi tawarnya kuat, maka perjanjian demikian adalah tidak seimbang. Memang sangat disadari suatu prinsip yang berkembang di kalangan para pelaku usaha yang dikenal dengan sebutan, “take it or leave it contract” 13 menjadi adagium yang sangat menakutkan bagi pihak yang memiliki posisi tawar yang sangat lemah, akibatnya mau tidak mau, pihak yang lemah akan menyetujuinya karena posisinya sangat memerlukan dan mendesak.
13
Christopher M. Kaiser, “Take It Or Leave It: Monsanto V. Mcfarling, Bowers v. Baystate Technologies, And The Federal Circuit’s Formalistic Approach To Contracts Of Adhesion”, Journal Chicago-Kent Law Review, Issue 1 Symposium: Final Status for Kosovo: Untying the Gordian Knot, Volume 80, Article 19 April 2005, hal. 17. Lihat juga: http://www.businessdictionary.com/definition/adhesion-contract.html, diakses tanggal 4 Mei 2014, Defenisi yang ditulis dan dipublikasikan oleh Admin BusinessDictionary.com.
8
Menolak perjanjian/kontrak atau tidak menyetujui perjanjian yang mengandung klausula eksonerasi dalam kondisi yang sangat dibutuhkan, sama artinya menyianyiakan kesempatan, pihak yang posisi tawarnya lemah itu akan kehilangan kesempatan dan keuntungan, namun sebaliknya jika diambil (disetujui), maka di samping pihak yang posisi tawar yang lemah beruntung dan terpenuhi kebutuhannya, namun sebenarnya ia masih memiliki unsur yang dirugikan secara materil. Kerugian materil itu misalnya dalam hal perjanjian leasing, pada umumnya kepada konsumen tidak diberikan copy contract perjanjian oleh perusahaan leasing. Ketika hal ini dipertanyakan oleh konsumen, perusahaan leasing mendalihkan dengan alasan yang macam-macam hingga selesainya perjanjian itu baru kemudian copy contract tersebut diberikan kepada konsumen. Ternyata di dalam copy contract terdapat klausula yang menyatakan misalnya, “perusahaan pelaku usaha (kreditor) berhak menarik mobil dengan secara sepihak jika debitor macet dalam melakukan kewajibannya”. Andaikan saja hal ini terjadi selama kredit masih berjalan, tentu saja bisa merugikan pihak debitor karena semaunya kreditor menarik tanpa ada kesepakatan penarikan. Kerugian materil itu juga dapat dirasakan ketika suatu saat terjadi kerusakan barang atau objek yang diperjanjikan itu telah dimiliki oleh si konsumen. Misalnya ketika dilakukan klaim asuransi, umumnya para konsumen dari perusahaan leasing tidak mengetahui secara jelas apa saja yang menjadi hakhak dan kewajibannya di dalam perjanjian/kontrak. Perusahaan leasing hanya
9
memberikan solusi berupa penjelasan secara lisan tentang bagaimana seharusnya yang dilakukan untuk klaim asuransi tersebut. Soal siapa yang bertanggung jawab atas kerugian yang dialamai oleh konsumen terkait dengan pencantuman klausula eksonerasi di dalam perjanjian pada praktiknya, konsumen yang merugi mengajukan gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Antara lain contoh dalam praktik dapat dijumpai misalnya dalam usaha kredit perbankan. Sebelum adanya UUPK, dalam memberikan kredit, bank mencantumkan syarat sepihak dicantumkannya klausula yang menyatakan bahwa bank sewaktu-waktu diperkenankan untuk merubah (menaikan/menurunkan) suku bunga pinjaman (kredit) yang diterima oleh debitur, tanpa pemberitahuan atau persetujuan dari debitur terlebih dahulu atau dengan kata lain ada kesepakatan bahwa debitur setuju terhadap segala keputusan sepihak yang diambil oleh bank untuk merubah suku bunga kredit, yang telah diterima oleh debitur pada masa/jangka waktu perjanjian kredit berlangsung. 14 Contoh bank dilarang untuk menyatakan dan menundukkan debitur kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh bank dalam masa perjanjian kredit. 15 Jika ada pencantuman klausula demikian pada perjanjian kredit bank, berdasarkan larangan dalam ketentuan Pasal 18 UUPK, terhadap perjanjian ini dapat dimintakan 14
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d0894211ad0e/klausula-eksonerasi, diakses tanggal 2 Mei 2014, Artikel yang ditulis oleh Diana Kusumasari, berjudul “Klausula Eksonerasi” dipublikasikan di website hukumonline pada tanggal 5 April 2011. 15 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl2884, diakses tanggal 3 Mei 2014, Jawaban Bung Pokrol atas pertanyaan, “Bagaimanakah praktik perjanjian kredit dalam Perbankan di mana terdapat perjanjian baku dengan klausula eksonerasi didalamnya, dengan keluarnya UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ditentukan dalam Pasal 18 tentang perjanjian baku, apakah nasabah dapat benar-benar terlindungi, dan apakah hal tersebut dapat berpengaruh buruk bagi kinerja perbankan?”, Jawaban dipublikasikan di website hukumonline pada tanggal 28 Juli 2004.
10
pembatalan oleh debitur. Ketentuan ini sepenuhnya bertujuan untuk melindungi kepentingan konsumen (debitur) pengguna jasa perbankan. Klausula baku ini juga dapat dijumpai dalam tiket pesawat angkutan udara maupun karcis parkir, dan lain-lain. Pengadilan telah menyatakan pencantuman klausula baku dalam tiket pesawat maupun karcis parkir adalah batal demi hukum. Beberapa putusan pengadilan antara lain misalnya dalam perkara hilangnya mobil milik Anny R. Gultom saat parkir di parkiran Plaza Cempaka Mas diajukan kasasi ke MA ditolak oleh MA yang tetap mempertahankan putusan pengadilan tinggi yang memenangkan pemilik mobil yang hilang Anny R. Gultom. MA menyatakan putusan ini menjadi yurisprudensi bagi perkara yang serupa. 16 Kemudian dalam kasus gugatan yang diajukan oleh konsumen bernama David M.L. Tobing menggugat atas penundaan keberangkatan (delay) pesawat angkutan udara milik PT. Lion Mentari Airlines (PT. Lion Air). MA memenangkan David M.L. Tobing dengan menjatuhkan putusan ganti rugi yang harus dibayar oleh PT. Lion Air kepada David M.L. Tobing sebesar Rp.1.852.000,- (satu juta delapan ratus lima puluh dua ribu rupiah) yang terdiri dari uang ganti rugi sebesar Rp.718.500,- (tujuh ratus delapan belas ribu lima ratus rupiah) dan biaya perkara Rp.1.134.000,- (satu juta seratus tiga puluh empat ribu rupiah). Biaya perkara itu mencakup seluruh biaya mulai dari proses di
16
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c53c3c1c94a8/ma-tetap-larang-pengelolaparkir-terapkan-klausula-baku, diakses tanggal 2 Mei 2014, Artikel yang ditulis oleh ASH (nama inisial), berjudul, “MA Tetap Larang Pengelola Parkir Tetapkan Klausula Baku”, dipublikasikan di website hukumonline pada tanggal 31 Juli 2010.
11
pengadilan tingkat pertama hingga Pengadilan Tinggi, dan biaya teguran (aanmaning). 17 Klausula eksonerasi yang bersifat baku di dalam tiket pesawat PT. Lion Air itu menyatakan berikut: “Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau keterlambatan pengangkutan ini, termasuk segala keterlambatan datang penumpang dan/atau keterlambatan penyerahan bagasi”. Dari klausula demikian jelas-jelas PT. Lion Air ingin membebaskan kewajiban yang semestinya menjadi bertanggung jawabnya, tetapi justru dilepaskannya melalui pencantuman klausula eksonerasi ini. Majelis hakim MA menyatakan klausula baku dalam tiket PT. Lion Air adalah batal demi hukum. 18 Kemudian pengadilan juga menyatakan pencantuman klausula baku dalam tiket pesawat milik PT. Indonesia Air Asia (PT. Air Asia) adalah batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dalam perkara ini, konsumen yang bernama Hastjarjo Boedi Wibowo mengajukan gugatan atas perbuatan melawan hukum kepada PT. Air Asia di Pengadilan Negeri Tangerang. Pengadilan memenangkan gugatan konsumen tersebut dengan menjatuhkan putusan ganti rugi sebesar Rp.806.000,- (delapan ratus enam ribu rupiah) dan
17
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21311/putusan-idelayi-pesawat-lion-airdieksekusi, diakses tanggal 2 Mei 2014, Artikel yang ditulis oleh MON (nama inisial), berjudul, “Putusan Delay Pesawat Lion Air Dieksekusi”, dipublikasikan di website hukumonline pada tanggal 27 Februari 2009. 18 Ibid.
12
ganti rugi immaterial sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) yang harus dibayar PT. Air Asia kepada Hastjarjo Boedi Wibowo. 19 Alasan pembatalan keberangkatan pesawat angkutan udara milik PT. Air Asia ini adalah terjadinya kerusakan pesawat sehingga menjadi suatu keadaan memaksa (overmacht). Pesawat baru bisa digunakan pada tanggal 13 Desember 2008 sementara jadwal penerbangan Hastjarjo Boedi Wibowo adalah tanggal 12 Desember 2008. Pertimbangan majelis hakim menilai PT. Air Asia tidak dapat membuktikan secara jelas apakah pesawat yang rusak itu adalah pesawat yang mengangkut Boedi dari Jakarta ke Yogyakarta. PT. Air Asia dinilai tidak bisa membuktikan pesawat yang rusak dalam kondisi perbaikan selama sidang pengadilan. 20 Pencantuman klausula eksonerasi menentukan pengalihan tanggung jawab dalam tiket pesawat PT. Air Asia jelas sangat bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf a UUPK. Dalam tiket pesawat PT. Air Asia tercantum klausula eksonerasi yaitu: “Indonesia Air Asia akan mengangkut penumpang, tetapi tidak menjamin ketepatan sepenuhnya, Indonesia Air Asia dapat melakukan perubahan tanpa pemberitahuan sebelumnya”. 21 Ketentuan lain dalam Pasal 146 UU Nomor 1 Tahun 1999 tentang Penerbangan (UU Penerbangan) juga mewajibkan pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan,
19
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b6c031c4fc99/air-asia-kalah-lawankonsumen, diakses tanggal 3 Mei 2014, Artikel yang ditulis oleh MON (nama inisial), berjudul, “Air Asia Kalah Lawan Konsumen”, dipublikasikan di website hukumonline pada tanggal 5 Februari 2010. 20 Ibid. 21 Ibid.
13
kecuali pengangkut dapat membuktikan keterlambatan disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional. Sehubungan dengan persoalan-persoalan yang telah dideskripsikan di atas, masih banyak lagi contoh-contoh kasus yang akan dianalisis dalam penelitian ini. Berdasarkan penelusuran pada Direktori Mahkamah Agung Republik Indonesia ada ditemukan 7 (tujuh) contoh kasus yang mengandung klausula eksonerasi dalam perjanjian/kontrak digugat di pengadilan. Kesemua contah kasus ini akan dibahas dan dianalisis mengenai aspek hukumnya, dan pertimbangan majelis hakimnya. Persoalan pencantuman klausula eksonerasi dalam 7 (tujuh) contoh kasus tersebut lebih jauh ditelaah bagaimana seharusnya menurut teori-teori, doktrindoktrin, asas-asas dan prinsip-prinsip perjanjian/kontrak, apakah hakim-hakim pengadilan dengan serta-merta mengabulkan gugatan penggugat terhadap perjanjian/kontrak yang mengandung kalusula eksonerasi atau hakim-hakim pengadilan memiliki pertimbangan lain dan berbeda satu sama lainnya dalam memberikan argumentasi hukumnya. Fokus kajian yang menjadi sorotan penting diteliti adalah tingkat kencenderungan putusan-putusan hakim pengadilan terhadap pencantuman klausula
eksonerasi
dalam
perjanjian/kontrak.
Bagaimana
hakim-hakim
pengadilan memberikan pertimbangan di dalam putusan-putusannya tentang pencantuman klausula eksonerasi, untuk mengetahui tingkat kecenderungan tersebut, maka dilakukan metode pendekatan melalui berbagai putusan pengadilan. Dari pendekatan tersebut akan diketahui apakah hakim pada
14
umumnya setuju atau mungkin ada yang tidak sependapat dengan pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian/kontrak. Inilah yang menjadi fokus kajian di dalam penelitian ini. Dikaitkan dengan prinsip-prinsip hukum perjanjian/kontrak misalnya prinsip
keseimbangan
dan
keadilan,
menimbulkan
pertanyaan
apakah
pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian/kontrak dapat memenuhi rasa keadilan dan perlindungan terhadap masyarakat khususnya konsumen. Hal ini juga menjadi fokus kajian yang pada kesimpulannya akan memberikan dua opsi mengatakan perjanjian yang mencantumkan klausula eksonerasi tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum perjanjian/kontrak atau sebaliknya, perjanjian yang mencantumkan klausula eksonerasi sesuai dengan prinsip-prinsip hukum perjanjian/kontrak. R. Subekti, tidak sependapat dengan pendapat yang mengatakan siapapun tidak berwenang mencampuri urusan di dalam perjanjian/kontrak. Beliau menyebut hakim memiliki wewenang untuk menyimpang dari isi perjanjian.22 Suharnoko juga menegaskan hal yang sama bahwa jika pelaksanaan perjanjian tidak menimbulkan ketidakseimbangan atau melanggar rasa keadilan, maka hakim dapat mengadakan penyesuaian terhadap hak dan kewajiban yang tercantum dalam perjanjian/kontrak. 23 Perkara-perkara terkait dengan pencantuman klausula baku yang mengandung klausula eksonerasi di dalam perjanjian/kontrak berikut ini, ada gugatannya dikabulkan oleh majelis hakim dan ada pula yang ditolak oleh majelis 22
R. Subekti dalam Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisis Kasus, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), hal. 4. 23 Ibid.
15
hakim. Timbul keiinginan untuk mengetahui dan menganalisis perbedaan argumentasi hakim yang menolak atau mengabulkan gugatan atas pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian/kontrak. Alasan-alasan inilah yang menjadi topik pembahasan di dalam penelitian ini, sehingga menarik untuk dikaji. Berdasarkan putusan-putusan hakim pengadilan tersebut di atas, setidaknya telah tergambar adanya persoalan dalam menjatuhkan putusan tentang perjanjian/kontrak yang mengandung klausula eksonerasi digugat di pengadilan. Pertimbangan-pertimbangan majelis hakim dalam putusan-putusan itu akan dianalisis apa yang menjadi dasar pertimbangan majelis hakim cenderung mengabulkan gugatan atau cenderung menolak gugatan pengugat. Dorongan untuk mengetahui persoalan ini sehubungan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf a UUPK telah menentukan larangan yaitu melarang pencantuman klausula eksonerasi di dalam perjanjian.
B. Rumusan Masalah Permasalahan yang akan menjadi fokus kajian di dalam penelitian ini, dirumuskan yaitu: 1. Bagaimanakah ruang lingkup larangan terhadap pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian yang diatur di dalam perundang-undangan? 2. Apakah pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian/kontrak dapat memenuhi rasa keadilan dan prinsip-prinsip perjanjian/kontrak? 3. Bagaimanakah
kencenderungan
putusan-putusan
hakim
terhadap pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian?
pengadilan
16
C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan memahami ruang lingkup larangan terhadap pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian yang diatur di dalam perundang-undangan. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian/kontrak dikaitkan dengan rasa keadilan dan prinsipprinsip perjanjian/kontrak. 3. Untuk mengetahui kencenderungan putusan-putusan hakim pengadilan terhadap pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat yang berguna baik secara teoritis maupun praktis, yaitu: 1. Manfaat secara teoritis, dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam memahami dan menganalisis permasalahan hukum terhadap pencantuman
klausula
eksonerasi
dalam
perjanjian,
mengetahui
kecenderungan putusan-putusan hakim terhadap pencantuman klausula eksonerasi di dalam perjanjian. Bermanfaat pula menjadi bahan referensi bagi peneliti selanjutannya untuk menambah wawasan dan memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan hukum tentang perjanjian.
17
2. Secara praktis, penelitian ini sangat urgen memberikan manfaat bagi para pihak (para pelaku usaha maupun masyarakat sebagai konsumen) agar tidak dirugikan oleh pihak lain, bermanfaat pula bagi para majelis hakim betapa pentingnya memperhatikan hak-hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian demi menyeimbangkan hak dan kewajiban antara para pihak (para pelaku usaha dan konsumen) dalam perjanjian.
E. Keaslian Penelitian Sebelumnya telah dilakukan penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di perpustakaan Pascasarjana Ilmu Hukum USU, tujuannya adalah untuk menghindari kaya ilmiah yang mengandung unsur plagiat terhadap karya ilmiah milik orang lain. Hasil penelusuran di perpustakaan USU ditemukan beberapa judul dan permasalahan tesis berikut ini: 1. Tesis atas Nia Winata, NIM: 11701109, Alumni Mahasiswa Magister Kenotariatan USU, Tamat Tanggal 27 Januari 2014, Judul Tesis “Analisis Pencantuman Prinsip Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Penyerahan Anak (Penelitian Dipantiasuhan Anak Yatim Muhamadiyah Cabang Ganda Pura Kabupaten Bireun Aceh)”. Fokus kajian di dalam tesis ini adalah membahas tentang klausula eksonerasi di dalam perjanjian penyerahan anak yatim di Panti Asuhan Muhammadiyah Cabang Ganda Pura Kabupaten Bireun Aceh. 2. Tesis atas Arief Kurniawan Harefa, NIM: 117011062, dengan judul, “Akibat Hukum Penerapan Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian
18
Penerbitan Kartu Kredit”. Fokus kajian di dalam tesis ini adalah tentang akibat-akibat hukum yang ditimbulkan dari pencantuman klausula eksonerasi khususnya di dalam perjanjian penerbitan kartu kredit. Sedangkan judul pada penelitian ini adalah “Kencenderungan PutusanPutusan Hakim Pengadilan Terhadap Pencantuman Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian”. Permasalahan yang akan menjadi fokus kajian di dalam penelitian ini adalah tentang ruang lingkup larangan terhadap pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian yang diatur di dalam perundang-undangan, kencenderungan putusan-putusan hakim pengadilan terhadap pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian dan kaitannya dengan pemenuhan rasa keadilan serta prinsipprinsip perjanjian/kontrak. Perbandingan judul dan fokus permasalahan di dalam penelitian ini dengan penelitian sebelumnya jelas menunjukkan perbedaan yang signifikan. Sejauhmana kecenderungan putusan-putusan pengadilan terhadap pencantuman klausula eksonerasi di dalam perjanjian akan diteliti dengan melakukan pendekatan terhadap beberapa putusan pengadilan. Dengan demikian dapat dikatakan penelitian ini adalah asli, di mana terhadap judul dan rumusan masalah di dalam penelitian ini tidak memiliki kemiripan dengan judul dan permasalahan penelitian sebelumnya, sehingga penelitian ini adalah asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis orang lain.
19
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori Pencantuman klausula baku yang mengandung klausula eksonerasi di dalam perjanjian/kontrak bertentangan dengan prinsip keadilan, dan prinsip keseimbangan
(proporsionalitas),
bertentangan
dengan
prinsip-prinsip
perjanjian/kontrak dan norma-norma di dalam undang-undang perlindungan konsumen. Oleh karena itu teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan ini adalah teori keadilan komutatif dan teori keseimbangan (proporsionalitas). Teori Aristoteles membagi keadilan dalam tiga lingkup yaitu keadilan distributif, keadilan komutatif, dan keadilan hukum. Dari penjelasan teori tentang keadilan Aristoteles ini nantinya akan dapat disimpulkan teori mana yang relevan terhadap teori keseimbangan. Sehingga teori ini disepakati adalah teori keadilan proporsional yang diadopsi dari teori keadilam komutatif Aristoteles. Penggunaan teori ini sehubungan dengan kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian yang mengandung klausula eksonerasi dinilai tidak adil dan tidak seimbang. Apalagi jika di dalam perjanjian itu terdapat satu pihak yang memiliki posisi tawar kuat dan di pihak lain memiliki posisi tawar lemah, maka pihak yang kuat biasanya cenderung mengamputasi hak-hak yang seharusnya diserahkan kepada pihak yang lemah seperti konsumen.
20
Aristoteles sebagai adalah seorang filsuf Yunani sekitar tahun 384-322 SM, telah mempersoalkan tentang keadilan (justice) 24 dalam kehidupan manusia memiliki kesamaan dengan gurunya Plato yakni sama-sama mempersoalkan keadilan yang ekstrim, tetapi konsep yang digunakan keduanya sedikit berbeda. Di mana Plato memperoleh konsep keadilan dari ilham, sedangkan Aristoteles memperoleh keadilan berdasarkan konsep rasional. 25 Ilham yang dirasakan Plato sehingga melahirkan postulatnya tentang keadilan adalah nilai kebijakan yang paling tertinggi, itulah keadilan. 26 Sedangkan Aristoteles melihat keadilan sebagai suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran apa yang hak, maka kecenderungannya adalah orang harus mengendalikan diri dari pleonexia, yaitu memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri dengan cara merebut apa yang merupakan kepunyaan orang lain, atau menolak apa yang seharusnya diberikan kepada orang lain. 27 Kemudian H.L.A. Hart melihat keadilan adalah nilai kebajikan yang paling legal (the most legal of virtues), atau dengan meminjam istilah Cicera menyebut keadilan adalah atribut pribadi (personal atribute).
28
Munir Fuady
masih melihat para filosof Yunani memandang keadilan sebagai suatu kebijakan
24
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hal. 21, hal. 24-27. Dari sisi pendekatan historis, teori tentang keadilan telah muncul sejak lama dari zaman Socrates (469-399 SM), ajaran keadilan Socrates kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Plato (427-347 SM), ajaran Plato tentang keadilan kemudian diteruskan oleh muridnya yaitu Aristoteles (384-322 SM). 25 E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan; Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2007), hal. 13. 26 Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), hal. 92. 27 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 163. 28 Munir Fuady, Loc. cit.
21
individual (individual virtue), 29 yang berarti pandangan ini tetap bersifat individual (subjektif). Perbedaan pandangan dalam melihat keadilan selalu menyisakan kehidupan yang tidak pernah berhenti membicarakan keadilan. Oleh karena itu, sebagai manusia yang berada pada suatu negara hukum, apabila terjadi tindakan yang tidak adil (unfair prejudice) di dalam kehidupan, maka sektor hukumlah yang sangat berperan untuk menemukan kembali keadilan yang telah hilang (the lost justice) inilah yang disebut Aristoteles sebagai keadilan korektif. 30 Aristoteles melihat keadilan sebagai suatu kebijakan politik, 31 tetapi pemikirannya tentang keadilan sangat rasional. Pemikiran Aristoteles mendekati keadilan dari sisi persamaan, di sisi lain persamaan bisa pula dikecualikan. Pendekatan dari sisi kesamaan, Aristoteles menghendaki agar asas-asas persamaan diberikan kepada anggota-anggota masyarakat atau negara. Hukum hendaknya menjaga agar pembagian yang demikian senantiasa terjamin dan dilindungi dari perkosaan-perkosaan terhadapnya. 32 Aristoteles membagi keadilan menjadi tiga yakni keadilan distributif, keadilan komutatif (keadilan korektif), dan keadilan hukum (legal justice). Pembagian ini bertujuan untuk menemukan kesamaan. Keadilan distributif menurutnya memberikan setiap orang apa yang patut didapatnya atau yang sesuai dengan prestasinya seperti jasa baik (merits) dan kecurangan/ketercelaan
29
Ibid, hal. 93. Ibid. 31 Satjipto Rahardjo, Loc. cit. 32 Ibid. 30
22
(demerits), yang merupakan pekerjaan yang lebih banyak dilakukan oleh badan legislatif. 33 Keadilan distributif berlaku dalam hukum publik, dan keadilan korektif yang kedua berlaku dalam hukum perdata dan pidana. Pembagian keadilan distributif dan korektif dilakukan atas dasar karena sama-sama rentan memaknai kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya saja. Hal yang penting dalam keadilan distributif adalah imbalan-imbalan yang sama rata diberikan atas pencapaian yang sama rata, sedangkan pada keadilan korektif yang menjadi persoalan adalah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh pelanggaran kesepakatan harus dikoreksi dan dihilangkan. 34 Keadilan distributif berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barangbarang lain yang sama-sama bisa didapatkan oleh anggota masyarakat, dengan mengesampingkan pembuktian matematis. Jelaslah apa yang ada di benak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku di kalangan warga. 35 Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilai bagi masyarakat. Keadilan distributif mendistribusikan hak-hak setiap orang atau setiap warga negara sama rata tanpa membeda-bedakan statusnya. Misalnya, hak-hak politik masyarakat atau kedudukan di dalam parlemen, atau hak setiap mahasiswa dalam memperoleh pendidikan adalah sama. Dapat pula diartikan bentuk keadilan
33
Munir Fuady, Dinamika...Op. cit., hal. 111. Carl Joachim Friedrich diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nusa Media, 2010), hal. 25. 35 Aristoteles, The Nicomachean Ethics, (New York: Oxford University Press Inc, 2009), hal. 84. 34
23
ini yaitu memberikan bagian masing-masing orang sama banyaknya, tidak perlu dibedakan apakah ia kaya atau miskin. Pengertian keadilan komutatif menurut Aristoteles adalah memberikan kepada setiap orang haknya atau sedekat mungkin dengan haknya (to give each one his due) tidak sama rata. Mengusahakan keadilan komutatif ini merupakan pekerjaanya para hakim. Misalnya menjatuhkan hukuman sesuai dengan kesalahannya atau memberikan ganti rugi sesuai kerugian yang dideritanya, sehingga tidak ada orang yang mendapatkan keuntungan atas penderitaan orang lain, atau tidak ada orang yang menari-nari di atas duka lara orang lain. 36 Bentuk keadilan komutatif inilah yang disebut-sebut sebagai keadilan korektif. Keadilan korektif berupaya mengoreksi keadilan distributif di pengadilan. Siapakah yang berperan penting dalam mengoreksi keadilan itu adalah para hakim pengadilan. Itu sebabnya sejalan dengan kekuasaan kehakiman diberikan kewenangan kepada para hakim untuk menemukan hukum termasuk menemukan keadilan bagi para pencari keadilan. Keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu perjanjian dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berupaya memberikan kompensasi yang memadai bagi para pihak yang dirugikan. Jika suatu kejahatan telah dilakukan maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Jika ada pertengahan antara dua ekstrem yang mempersoalkan
36
Munir Fuady, Dinamika...Op. cit., hal. 111.
24
ketidakadilan,
maka
keadilan
korektif
lah
yang
berupaya
mengoreksi
ketidakadilan itu. 37 Bagaimanapun
ketidakadilan
akan
mengakibatkan
terganggunya
kesetaraan yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan atau meminjam ungkapan modern disebut dengan keseimbangan (proporsionalitas). Dari doktrin-doktrin keadilan Aristoteles ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa ketika orang menuntut suatu hak dalam perjanjian harus seimbang (proporsional), maka sesungguhnya ia sedang menuntut hak-haknya yang hilang melalui keadilan korektif (corrective justice). Hukum hanya meninjau pada perbedaan yang diciptakan oleh suatu pelanggaran, dan memperlakukan setiap manusia sebagai makhluk yang setara dari sananya, di mana yang satu menciptakan kerugian dan yang lain menderita kerugian, atau seseorang berbuat dan orang lain menerima akibat dari perbuatan orang tersebut. Nyatalah bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan yang tepat, sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya Pemerintah. 38 Pengertian
keadilan
hukum
(legal
justice)
menurut
Aristoteles
membicarakan keadilan yang telah dirumuskan oleh hukum (hak dan kewajiban) dalam undang-undang, di mana pelanggaran terhadap keadilan hukum ini akan ditegakkan melalui proses hukum, umumnya di pengadilan. 39 Ketiga-tiga pembagian keadilan ini dapat diterapkan bersifat kasusitis, para hakim harus bijaksana dalam menerapkan keadilan mana yang seharusnya dan sepantasnya diberikan kepada para pencari keadilan. 37
Carl Joachim Friedrich diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Op. cit., hal. 26. Munir Fuady, Dinamika...Loc. cit. 39 Ibid. 38
25
Sebagaimana Aristoteles melihat keadilan dengan dasar yang rasional (penalaran), John Rawls juga mendasarkan pada rasionalitas untuk melihat keadilan. Sesuatu itu adil atau tidak adil menurut John Rawls harus didukung dengan penilaian-penilaian yang rasional atau penalaran. Rasionalitas merupakan dasar keadilan korektif. Setiap orang memiliki hasrat untuk bertindak sesuai dengan penilaian-penilaian dan mengharapkan hasrat sesuai dengan yang ada pada orang lain. Bahkan beliau katakan bahwa kapasitas moral sangat jelas dan kompleks. 40 John Rawls mengembangkan keadilan yang dibagi-bagi oleh Aristoteles tersebut khususnya keadilan yang mesti dikembalikan oleh hukum (keadilan korektif). Menurutnya, keadilan akan diperoleh jika dilakukan maksimum penggunaan barang secara merata dengan memperhatikan kepribadian masingmasing (justice fairnes). 41 Dua prinsip keadilan menurut John Rawls yang dirinci pertama, terpenuhinya hak yang sama terhadap dasar (aqual liberties). Kedua, perbedaan ekonomi dan sosial harus diatur sehingga akan terjadi kondisi yang positif yaitu (a) terciptanya keuntungan maksimum yang reasonable untuk setiap orang termasuk bagi setiap orang yang lemah (maximum minimorium), dan (b) terciptanya kesempatan bagi semua orang. 42
40
John Rawls, A Theory of Justice, (Massachusetts: Harvard University Press Cambridge, 1999), hal. 41. 41 John Rawls diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal. 73. 42 Munir Fuady, Dinamika... Op. cit., hal. 94. Lihat juga: John Rawls, Op. cit., hal. 53. Lihat juga: John Rawls diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Op. cit., hal. 72.
26
Itulah sebabnya, ketika orang bersengketa atau berperkara, para pencari keadilan yang telah hilang menjadikan hakim sebagai tempat perlindungan dari ketidakadilan. Seseorang datang kepada hakim berarti datang kepada keadilan karena sifat alamiah dari hakim berfungsi menghidupkan atau mengoreksi kembali keadilan formulatif dalam undang-undang dan menemukan keadilan yang telah hilang tersebut untuk dikoreksi. Dalam hal ini lembaga kehakiman harus berfungsi sebagai lembaga untuk mengoreksi dan dikoreksi, sehingga pantas lembaga itu bersifat independen. 43 Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa dipahami tentang kesamaan dan dimaksudkan ketika mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum (equality before the law). Dipandang adil menurut asas ini menghendaki setiap orang diperlakukan sama dengan memberikan hak yang sama, tidak boleh dibeda-bedakan satu sama lainnya. 44 Mirip dengan kesamaan proporsional yang memberi setiap orang yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya, walaupun pembedaan Aristoteles ini menghadirkan kontroversi seputar keadilan. 45 Sedikitnya dapat dipahami gambaran tentang keadilan walaupun hanya dijelaskan dengan menggunakan teori-teori keadilan versi Aristoteles tersebut di atas, namun pandangan tentang keadilan menurut pakar yang lain seperti Socrates,
43
Aristoteles, The Nicomachean Ethics…Op.cit.,hal. 87. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebagai Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2009), hal. 10. 45 Carl Joachim Friedrich diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Op. cit., hal. 24. 44
27
Plato, Curzon, Eugene C. Gerhart, Bruce Nash, Allan Zullo, John Rawls, Jeremy Bentham, Cicero, Benjamin N. Cardozo, memiliki teori tentang keadilan dengan mengakhiri teorinya pada tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan sematamata. 46 Teori apapun yang memberikan postulatnya tentang keadilan selalu berbeda-beda tetapi pada akhirnya selalu dikaitkan dengan tujuan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan. Ada yang mengaitkan keadilan dengan politik hukum negara, sehingga ukuran tentang apa yang menjadi hak atau bukan, senantiasa didasarkan pada ukuran yang telah ditentukan oleh negara. Ada juga yang memandang keadilan dalam wujud kemauan yang sifatnya tetap dan terusmenerus, untuk memberikan apa yang menjadi hak bagi setiap orang. Ada juga yang memiliki teori tentang keadilan dengan melihat keadilan sebagai pembenaran dari pelaksanaan hukum yang diperlawankan dengan kesewenangwenangan. Ada pula yang berpendapat tentang keadilan sebagai sesuatu yang harus disucikan bukan saja diperoleh dari persidangan di pengadilan tetapi di manapun dapat diperoleh di luar pengadilan. 47 Menariknya dalam teori Benjamin N. Cardozo mencetuskan keadilan dengan melalui humornya seolah memperlakukan keadilan terhadap seorang wanita yang butuh tenaga dan waktu untuk dirayu. Menurutnya proses menemukan keadilan merupakan suatu proses yang tidak pernah “terselesaikan” tetapi merupakan proses yang senantiasa melakukan reproduksi dirinya sendiri
46
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legispridence), (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 217-221. 47 Ibid., hal. 221.
28
sesuai dengan perkembangan zaman, dari generasi ke generasi dan terus-menerus mengalami perubahan, yang merupakan panggilan yang berani dan terbaik. 48 Ada pula yang mengatakan keadilan yang sempurna itu tidak pernah ada, yang ada, hanyalah sekedar pencapaian keadilan dalam kadar tertentu. Maka dapat dikatakan bahwa sesuatu itu adil (rechtvaardig) lebih bergantung pada kesesuaian dengan hukum (rechtmatigheid) dari pandangan pribadi seorang penilai. Sudikno Mertokusumo mengatakan, “Hukum tidaklah identik dengan keadilan”. 49 Berdasarkan teori-teori keadilan tersebut di atas mengarahkan pemikiran pada analisis hukum dengan fokus persoalan pencantumkan klausula eksonerasi di dalam perjanjian. Bahwa sangat dinilai tidak adil jika klausula eksonerasi (kalusula pelepasan tanggung jawab secara sepihak) dicantumkan dalam perjanjian bila dipandang dari teori keadilan distributif, hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen tidak harus sama rata atau fifty-fifty (50:50). Klausula eksonerasi bila dipandang dari keadilan distributif adalah tidak adil, tetapi klausula eksonerasi sangat adil bila dianalisis dari teori keadilan komutatif (keadilan korektif). Membicarakan teori kedilan komutatif adalah sama artinya membicarakan teori keseimbangan (proporsionalitas). Ketika pencantuman klausula eksonerasi ini mengandung persengketaan antar para pihak, maka para pihak dapat mengajukan klaim/tuntutan melalui pengadilan agar hakim mengoreksi ketidakadilan itu. Disinilah perannya keadilan komutatif itu berlaku, sehingga pencantuman klausula eksonerasi akan dipandang menjadi adil.
48 49
Ibid., hal. 222. Ibid.
29
Kata “seimbang” (evenwicht) menunjuk pada pengertian suatu “keadaan pembagian beban pada kedua sisi berada dalam keadaan seimbang. Keseimbangan dimaksud adalah keadaan hening atau keselarasan karena berbagai gaya yang bekerja tidak satu pun mendominasi yang lainnya atau karena tidak satu elemen menguasai elemen lainnya. 50 Dari pengertian seimbang ini bukan berarti hak dan kewajiban dalam perjanjian bagi para pihak harus sama rata atau fifty-fifty (50:50). Tim Naskah Akademis BPHN merumuskan keseimbangan menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan suatu perjanjian, dimana kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. 51 Perumusan makna keseimbangan ini adalah sepihak, tidak disebutkan hak dan kewajiban sebaliknya bagi debitur, inilah yang tidak adil dan tidak sesuai konsep keadilan komutatif. Memahami keadilan distributif mudah dipahami dengan melihat hak dan kewajiban setiap mahasiswa magister ilmu hukum USU adalah sama rata, tidak ada pembeda-bedaan antara satu sama lain. Berbeda dengan keadilam komutatif dengan melihat hak dan kewajiban setiap orang dalam struktur perseroan tidak sama (berbeda), hak dan kewajiban karyawan tidak sama dengan hak dan kewajiban manager, hingga direksi, sehingga perolehan gaji masing-masing pun harus berbeda.
50
Herlien Budiono, Op. cit, hal. 303-304. Tim Naskah Akademis BPHN, Naskah Akademis Lokakarya Hukum Perikatan, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1985), hal. 9. 51
30
Pembagian hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian tentu tidak mungkin harus mengikuti keadilan distributif, melainkan harus mengikuti keadilan komutatif. Namun ketika para pihak merasa tidak adil, khususnya dalam pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian, maka pihak yang merasa tidak adil itu boleh menuntut haknya melalui pengadilan, inilah makna keadilan korektif. Tidak akan pernah ada suatu perjanjian apapun jenisnya yang mengatur hak dan kewajiban antara pihak pertama dan pihak kedua harus sama rata atau fifty-fifty (50:50). Disinlah diperlukan pembedaan keadilan sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles tersebut di atas. Tidak mungkin pengaturan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian itu harus memenuhi keadilan distributif (baca: Aristoteles). Teori keadilan keseimbangan digunakan dalam penelitian ini lebih diarahkan pada teori keadilan komutatif untuk menganalisis pencantuman klausula eksonerasi, apakah pencantuman klausula eksonerasi tersebut adil atau tidak. Perlu diketahui bahwa seimbang (proporsional) bukan berarti harus sama rata atau fifty-fifty (50:50) sebagaimana dalam teori keadilan distributif, tetapi tidak sama rata pun (misalnya 70:30) juga adil bila dipandang dari keadilan komutatif. Menggunakan analisis berdasarkan teori keadilan komutatif karena dapat memberikan keseimbangan (proporsionalitas) antara hak dan kewajiban bagi para pihak di dalam perjanjian/kontrak. Tetapi kalau pencantuman kalusula eksonerasi dianalisis berdasarkan teori keadilan distributif adalah tidak adil. Kalau dalam
31
teori keadilan distributif berlaku asas persamaan di depan hukum (equality before the law) tetapi kalau dalam teori keadilan komutatif tidak berlaku asas ini, artinya ada pengecualian terhadap berlakunya asas equality before the law. Keseimbangan menurut Van Dale harus diperhatikan dalam membuat perjanjian/kontrak.
Menurutnya
keadaan
“seimbang”
(evenwicht)
harus
menunjukkan keselarasan antara hak dan kewajiban dari berbagai pihak yang terikat dan tidak satupun mendominasi yang lainnya, atau tidak satupun elemen yang menguasai elemen lainnya. 52 Menurut Herlien Budiono keseimbangan dalam perjanjian merupakan konstruksi dari kesusilaan, itikad baik, kepantasan dan kepatutan. 53 Tujuan perjanian/kontrak menurut Atiyah menegaskan syarat pencampuran nilai-nilai masyarakat (community values), yakni keadilan (rechtvaardigheid) dengan kepatutan (betamelijkheid) 54, sehingga ketika membahas masalah pencantuman klausula eksonerasi adalah membicarakan tentang asas patut atau pantas. Agus Yudha Hernoko menghendaki proporsionalitas memberikan porsi masing-masing pihak harus seimbang, tetapi tidak pula harus dilihat dari konteks keseimbangan-matematis (equilibrium), melainkan pada proses dan mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang berlangsung secara fair, 55 sehingga tujuan para pihak dalam perjanjian yang berorientasi pada keuntungan bisnis akan terwujud bila terdapat pertukaran hak dan kewajiban yang proporsional (fair).
52
Van Dale dalam Herlien Budiono, Ibid., hal. 304. Ibid., hal. vi. 54 Ibid., hal. 305. 55 Agus Yudha Hernoko, “Azas Proporsionalitas Sebagai Jalan Keluar Terhadap Diskursus Keseimbangan Versus Keadilan Dalam Kontrak”, Artikel Media Online Gagasan Hukum, Edisi Kamis Tanggal 8 Juli 2010, hal. 5. 53
32
2. Landasan Konsepsional Untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap istilah-istilah yang digunakan, maka di dalam penelitian ini digunakan landasan konsepsional yaitu: a. Kecenderungan adalah kebanyakan atau dominasi arah kebijaksanaan hakim-hakim (para hakim) memutus perkara yang mengandung klausula eksonerasi di dalam perjanjian dengan dasar pertimbangan hukum yang jelas dan dapat diterima akan sehat. b. Putusan-putusan adalah putusan-putusan majelis hakim yang pada umumnya terkait dengan persoalan pencantuman klausula eksonerasi. c. Hakim pengadilan adalah hakim-hakim atau para hakim pada peradilan umum yang memutus perkara terkait klausula eksonerasi. d. Pencantuman adalah membuat, menaruh, menempatkan klausula di dalam perjanjian yang mengandung eksonerasi dengan tujuan untuk melepaskan atau membebaskan pihak yang mencantumkan klausula eksonerasi tersebut dari tanggung jawab hukum. e. Klausula baku adalah klausula yang ditetapkan secara sepihak yaitu pihak yang memiliki posisi tawar yang dalam suatu perjanjian. f. Klausula eksonerasi adalah klausula baku yang substansinya berisi ketentuan pelepasan atau pembebasan tanggung jawab secara sepihak atas suatu peristiwa kerugian yang mungkin dan atau akan timbul di dalam perjanjian. g. Perjanjian adalah kesepakatan baik tertulis maupun tidak tertulis, dalam bentuk kontrak maupun tidak dalam bentuk kontrak yang pada intinya
33
perjanjian dimaksud di sini termasuk semua perjanjian antara para pihak yang terikat didalamnya mengandung klausula eksonerasi. h. Keadilan adalah keseimbangan hak dan kewajiban antara para pihak di dalam perjanjian tanpa membeda-bedakan apakah posisi tawarnya kuat atau tidak kuat, yang penting walaupun klausula baku tidak bisa dihilangkan di dalam parktik, namun keadilan yang dimaksud di sini adalah menghilangkan klausula eksonerasi di dalam perjanjian dinilai lebih adil daripada dicantumkan di dalam perjanjian. i. Para pihak adalah semua pihak yang terikat di dalam perjanjian yang dibicarakan di dalam penelitian ini dan sah secara hukum.
G. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan di dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut: 1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Ronald Dworkin menyebutnya sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process. 56
56
Ronald Dworkin dalam Bismar Nasution, ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, Disampaikan pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003, hal. 1.
34
Sifat penelitiannya adalah deskriptif analitis melalui pendekatan perundang-undangan (statute aproach). 57 Sifat penelitian deskriptif analitis dipakai untuk untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang berlangsung (kondisi persoalan dalam praktik yang cenderung mencantumkan klausula eksonerasi di dalam perjanjian) yang tujuannya agar dapat memberikan data mengenai objek penelitian sehingga dapat dianalisis berdasarkan teori-teori hukum atau peraturan perundang-undangan yang digunakan. 58 Alasan memilih metode ini adalah untuk mendapatkan data normatif guna menguraikan tentang asas-asas perjanjian/kontrak yang memenuhi rasa keadilan bagi para pihak, sehingga metode yang tepat digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Dilakukan pula pendekatan kasus dengan mengambil 7 (tujuh) putusan hakim pengadilan yang berkaitan dengan pencantuman kalusula baku dan klausula eksonerasi dalam perjanjian.
2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder 59, yang terdiri dari: a. Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang mengikat dengan permasalahan dan tujuan penelitian 60 antara lain: 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 57
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hal. 96. 58 Wiranto Surakhmad, Dasar-Dasar dan Teknik Research, (Bandung: Transito, 1978), hal. 132. 59 Soejono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), hal. 23-24. 60 Ibid., hal. 13.
35
2) UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 3) UU Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UU Hak Tanggungan). 4) UU Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. 5) Putusan Pengadilan Negeri Tegal Nomor 08/Pdt.G/2011/PN.Tgl. 6) Putusan Negeri Kediri Nomor 15/Pdt.G/2013/PN.Kdr. 7) Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 65/Pdt.G/2011/PN.Smg. 8) Putusan Pengadilan Tinggi Banten Nomor 76/PDT/2009 /PT.Btn. 9) Putusan Kasasi MA Nomor 121 K/Pdt.Sus/2012. 10) Putusan Kasasi MA Nomor 294 K/Pdt.Sus/2011. 11) Putusan PN Jakarta Selatan Nomor 570/Pdt.G/2011/PN.Jk.Sel. b. Bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer 61 sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai
penunjang dari bahan
hukum primer yang terdiri dari: buku-buku, jurnal, majalah, dan artikel. c. Bahan hukum tertier yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder 62, seperti: kamus, berbagai masalah hukum yang berkaitan dengan dokumen elektronik dan hukum acara perdata.
61 62
Ibid. Ibid.
36
3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library research) dan studi dokumen terhadap putusan-putusan majelis hakim yang mengandung persoalan pencantuman klausula baku dan atau klausula eksonerasi di dalam perjanjian, dengan mengumpulkan berbagai literatur, peraturan perundang-undangan, artikel-artikel atau tulisan yang berkaitan dengan permasalahan dalam pencantuman klausula baku dan atau klausula eksonerasi di dalam perjanjian. 4. Analisis Data Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni menjelaskan dan menguraikan teori-teori, asas-asas, prinsip-prinsip, norma-norma, doktrin-doktrin, dan kaidah-kaidah hukum tentang perjanjian. Analisis data secara kualitatif menurut Johny Ibrahim adalah analisis yang didasarkan pada relevansi data terhadap permasalahan, bukan berdasarkan pada kuantitatif (banyaknya data), 63 analisis kualitatif mendasarkan analisis pada doktrin-doktrin, asas-asas, normanorma, prinsip-prinsip, konsep-konsep. 64 Analisis data dalam penelitian ini dikaitkan dengan teori-teori tentang keadilan, asas keseimbangan (proporsionalitas), asas kebebasan berkontrak, dan lain-lain yang kemudian akan dihubungkan dengan permasalahan hukum yang tercantum larangannya di dalam perundang-undangan maupun permasalahan hukum di dalam praktik tentang pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian baku. 63
Johny Ibrahim, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), hal. 161. 64 Ibid., hal. 306, dan hal. 310-311.
37
Data
yang
dianalisis
akan
disimpulkan
dengan
memberikan
argumentasi-argumentasi hukum di dalam penelitian ini, memberikan penilaian apa dan bagaimana yang semestinya menurut teori keadilan, asas, prinsip, normanorma hukum, doktrin-doktrin, dan kaidah-kaidah hukum yang ada tentang larangan pencantuman klausula baku dan atau klausula eksonerasi di dalam perjanjian. Kemudian data dan analisis data akan dikemukakan secara deduktif (penalaran logika dari umum ke khusus) 65 dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data sehingga permasalahan dapat dijawab.
65
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 109.