UNIVERSITAS INDONESIA
DRAMA-DRAMA FESTIVAL TEATER JAKARTA: MEMBACA MANUSIA DALAM LAKU
SKRIPSI
REBECCA KEZIA SEREFINA PALUPI 1006663240
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI INDONESIA DEPOK JULI 2014
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
DRAMA-DRAMA FESTIVAL TEATER JAKARTA: MEMBACA MANUSIA DALAM LAKU
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora
REBECCA KEZIA SEREFINA PALUPI 1006663240
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI INDONESIA DEPOK JULI, 2014
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
i
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa skripsi ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia. Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatukan oleh Universitas Indonesia kepada saya.
Depok, Juli 2014
Rebecca Kezia Serefina Palupi
ii Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Rebecca Kezia Serefina Palupi
NPM
: 1006663240
Tanda Tangan :
Tanggal
: 8 Juli 2014
iii Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh : Nama : Rebecca Kezia Serefina Palupi NPM : 1006663240 Program Studi : Indonesia Judul Skripsi : Drama-Drama Festival Teater Jakarta: Membaca Manusia dalam Laku telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora pada Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. DEWAN PENGUJI Ketua Penguji: Nitrasattri Handayani, M.Hum. (......................................) Pembimbing : Prof. Riris K. Toha-Sarumpaet, M.Sc., Ph.D (......................................) Penguji
: Rasjid Sartuni, M.Hum.
(......................................)
Ditetapkan di : Depok Tanggal : Juli 2014
Oleh Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
iv Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
KATA PENGANTAR Puji dan Syukur tak akan pernah cukup untuk mengutarakan rasa terima kasih saya pada Daya yang Maha Besar—Tuhan Allah, Yesus Kristus—atas kebaikan-Nya menemani saya menunantaskan penulisan skripsi ini. Dari-Nya saya belajar untuk menenun mimpi dan bersama dengan-Nya tak ada mimpi yang sia-sia. Pada akhirnya, saya kembali ke tempat saya memulai, drama. Penelitian ini tak akan selesai—pun dimulai—apabila Ia tak mengirimkan orang-orang baik hati dalam hidup saya. Rasa terima kasih yang besar pada mereka, tak dapat terukur maupun diurutkan. Terima kasih ini dituliskan untuk mengingat kebaikan hati mereka. Kepada Ibu Riris K. Toha Sarumpaet, terima kasih atas waktu, ilmu, dan buku yang diberikan dengan kasih pada saya. Di sela-sela kesibukan yang padat—Tuhan mengabulkan doa yang tak berani saya ucapkan—Ibu masih bersedia duduk dan berdiskusi dengan saya. Maafkanlah tulisan saya yang seringkali sulit dimengerti dan jauh dari indah ini. Kepada Bapak Yoeseof, terima kasih atas bimbingannya yang mengawali langkah saya. Walaupun pembicaraan dengan Bapak akhirnya harus berhenti, ‘Drama Propaganda’ telah membantu saya menyelesaikan penelitian ini. Kepada Ibu Nitra dan Bapak Rasjid, penguji skripsi ini, terima kasih atas kesediaan dan waktu yang diluangkan untuk membaca tulisan saya. Kepada dua—yang karenanya saya ada—darah, daging, dan detak jantung saya, terima kasih. Kalian tahu bahwa tempat saya pulang ada pada pelukan kalian. Untuk waktu dan cinta yang tiada batasnya, mama dan papa, separuh mimpi saya adalah kalian. Kepada adik saya, Ignatius Kevin Tigor yang jenius, terima kasih karena telah menemani papa dan mama selama saya berkeliaran mencari mimpi. Adik perempuan saya yang lain, Cindy Gabriella, terima kasih atas hadiah dan kemudaannya yang membahagiakan. Kepada keluarga besar Silalahi, Opung dengan doa dan senyumnya, Inangtua, Tulang, Natulang, Tante, dan Om serta abang dan adik-adik sepupuku. Terima kasih atas makan malam dan hadiah, yang selalu dapat menumbuhkan semangat. Terutama kepada Tulang Besar, terima kasih untuk perangkat teknologi yang menjadi sumber utama penulisan skripsi ini. Kepada Sjors Tares, matahari yang bersinar terang, terima kasih karena tak pernah lelah dan padam. Kamu menunggu!
v Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Kepada saudari dari rahim yang berbeda (sisters from another mother), Testarossa, Sasya, Natya, dan Fenesha, terima kasih atas cinta yang dibagi dan perjalanan seru. Untuk puluhan kali ‘tunda’ yang dimengerti, kalian kesayangan. Kepada Bapak Madin Tyasawan dan Ibu Novi, saya ucapkan terima kasih atas kesediannya memberikan saya akses mencari bahan dan data yang disimpan oleh Komite Teater untuk penulisan skripsi ini. Kepada Mbak Lidya, yang telah begitu baik membantu saya mencari dan bersedia membalas pesan saya kapan saja, terima kasih banyak. Kepada teman-teman Dewan Kesenian Jakarta, Angka (kamu baik sekali), Maria, Sekar, Dita, terima kasih banyak atas kehangatannya menerima saya di sana. Kepada kawan-kawan seperjuangan, khususnya mereka yang ada di Kober dan sekitarnya, terima kasih atas tawa dan duka yang dibagi. Arkhe, Norman, Citra, Galuh, Gadis, Chotim, Dwi, Goma, Paijo, dan Selly, terima kasih banyak. Marilah kita bersama menyambut paduan suara di tempat pertama dulu bertemu. Kepada Yosepha, teman sekamar yang baik, terima kasih atas buku dan bincang-bincangnya. Seluruh kawan 2010 lainnya, terima kasih atas ruang yang dibagi, cerita yang ditawarkan, kebodohan dan kelucuan masa muda, serta kelas-kelas yang tiada duanya. Istimewa untuk Adeboi dan Greis, ditunggu. Kepada keluarga besar IKSI, Vauriz, Agung, Nanto, Emon, Mas KC, Cai, Kiki ‘jin’, Anas, Tebo, Coir, Ditya, Taye, Ojah, Kiki Alik, Indras, dan Rizky, terima kasih untuk bangku biru, Pagupon, Sasina, HHK, buku dan semua yang tak akan terganti. Rasa syukur dan terima kasih ini jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, bagi mereka yang tak sempat saya sebutkan namanya, semoga kebaikan kalian mendapat ucapan terima kasih yang lebih layak dari Daya Maha Besar. Akhirnya, saya berharap, penulisan skripsi ini akan membawa manfaat bagi pengembangan kesusastraan Indonesia, khususnya drama. Semoga drama tetap hidup sepanjang masa
vi Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Rebecca Kezia Serefina Palupi NPM : 1006663240 Program Studi : Indonesia Fakultas : Ilmu Pengetahuan Budaya Jenis karya : Skripsi demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Drama-Drama Festival Teater Jakarta: Membaca Manusia dalam Laku beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok Pada tanggal :
Yang menyatakan
( Rebecca Kezia Serefina Palupi )
vii Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
ABSTRAK Nama Program Studi Judul
: Rebecca Kezia Serefina Palupi : Indonesia : Drama-Drama Festival Teater Jakarta: Membaca Manusia dalam Laku
Skripsi ini menganalisis masalah ‘aku’—manusia—dalam naskah drama asli yang dihasilkan pada Festival Teater Jakarta periode 2008-2013. Kondisi ‘aku—manusia— yang muncul melalui naskah drama memiliki keterpengaruhan dari masa transisi politik di Indonesia. Adanya pengaruh dari masa pemerintahan Orde Baru, gerakan reformasi, sampai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono periode kedua terekam dalam drama-drama ini melalui masalah tentang relasi manusia dengan diri sendiri, kekuasaan, dan sistem masyarakat. Tiga relasi ini menghasilkan pokok-pokok persoalan manusia masa kini, yaitu penyalahgunaan kebebasan, ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah, serta adanya gejala disintegrasi. Persoalan tersebut menampilkan drama-drama dengan suasana suram dan humor yang satir. Kata kunci: Aku, drama, festival teater jakarta, manusia, orde baru, pemerintahan, relasi, transisi
ABSTRACT Name Study Program Title
: Rebecca Kezia Serefina Palupi : Indonesia : Drama-Drama Festival Teater Jakarta: Membaca Manusia dalam Laku
This thesis analyzed the problem of ‘I’—human—in the original drama of Festival Teater Jakarta from 2008 until 2013. The condition of ‘I’—human—in the original drama has been influenced by the transition phase of Indonesia’s politics. The influence of Orde Baru, reformation movement until the Susilo Bambang Yudhoyono’s last governance had been documented in the dramas of human relations with themselves, power, and also the society. These three relations had produced main problems of human in the recent period, that is freedom abusement, civil distrust of government, and the symptoms of disintegration. Those problems showed a dark and satirical humor of the dramas. Keywords: I, drama, festival teater jakarta, human, orde baru, governance, relation, transition
viii Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................. …
i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................
iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ..................
vii
ABSTRAK .......................................................................................................... viii ABSTRACT ........................................................................................................ viii DAFTAR ISI ...................................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xi
DAFTAR SKEMA ........................................................................................
xii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiii BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
1
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................
7
1.3 Tujuan ...........................................................................................
9
1.4 Kerangka Teori...............................................................................
10
1.5 Metodelogi Penelitian ...................................................................
15
1.6 Sistematika Penyajian ....................................................................
18
BAB II TELAAH STRUKTURAL DRAM-DRAMA FESTIVALTEATER JAKARTA ................................................................
19
2.1 Drama tentang Relasi Manusia dengan Diri Sendiri ...................
19
2.1.1 Sinopsis Drama-Drama Relasi Manusia dengan Diri Sendiri ....................................................................
20
2.1.2 Analisis Struktural Naskah Drama Relasi Manusia dengan Diri Sendiri .................................
22
2.2 Drama tentang Relasi Manusia dengan Kekuasaan ......................
51
2.2.1 Sinopsis Drama-Drama Relasi Manusia dengan Kekuasaan ..............................................................
ix Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
51
2.2.2 Analisis Struktural Naskah Drama Relasi Manusia dengan Kekuasaan ....................................
53
2.3 Drama tentang Relasi Manusia dengan Masyarakat .....................
78
2.3.1 Sinopsis Drama-Drama Relasi Manusia dengan Masyarakat .......................................................... 79 2.3.2 Analisis Struktural Naskah Drama Relasi Manusia dengan Masyarakat .................................. 2.4
80
Simpulan........................................................................................110
BAB III MANUSIA DAN REALITAS SOSIAL DALAM DRAMA-DRAMA FESTIVAL TEATER JAKARTA ................................. 112 3.1 Kenyataan dalam Naskah Drama Festival Teater Jakarta sebagai Hasil Perspektif Pengamatan Relasi Manusia ................................................ 113 3.2 Hubungan Tiga Pokok Masalah dalam Drama dengan Realitas Sosial di Indonesia ........................................ 117 3.2.1 Persoalan Identifikasi Diri dalam Drama dan Realitas Sosial ......................................................... 117 3.2.2 Persoalan Identitas Kebangsaan dalam Drama dan Realitas Sosial .......................................................
127
3.2.3 Persoalan Masyarakat Miskin Kota dalam Drama dan Realitas Sosial ....................................................
140
3.4 Kecenderungan Masalah dalam Drama Ditinjau dari Keadaan Sosiologis ........................................................ 149 3.5 Simpulan .......................................................................................... 164 BAB IV PENUTUP ......................................................................................... 166 4.1 Kesimpulan ................................................................................... 166 4.2 Saran ........................................................................................... 171
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 173 LAMPIRAN ................................................................................................... 175
x Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Alur Tiga Drama Relasi Manusia dengan Diri Sendiri ........ 49 Gambar 2.2 Alur Tiga Drama Relasi Manusia dengan Kekuasaan .......... 76 Gambar 2.3 Ruang Lingkup Masalah Relasi Manusia dengan Masyarakat....................................................................................... 81 Gambar 2.4 Alur Tiga Drama Relasi Manusia dengan Masyarakat ........ 108
xi Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
DAFTAR SKEMA
Skema 2.1 Alur Tiga Drama Relasi Manusia dengan Masyarakat ........... 108 Skema 3.1 Persoalan Drama FTJ dalam Konteks Realitas Sosial............. 116 Skema 3.2 Temuan Peristiwa dalam Drama melalui Penelusuran Sosiologis ..................................................................... 151
xii Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Naskah Drama Festival Teater Jakarta 2008-2013 ................
16
Tabel 1.2 Naskah Drama sebagai Korpus Data Penelitian .....................
17
Tabel 3.1 Kritik Sosial melalui Pers dan Respon Negara 1966-1974 ......
131
Tabel 3.2 Hasil Pemilu Tahun 2004 dan 2009 ..........................................
137
xiii Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan pelaksanaan Festival Teater Jakarta bertautan erat dengan tujuan utama dibangunnya Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki, yaitu mewadahi kegiatan seni di Jakarta—yang menjadi pusat kebudayaan di Indonesia. Pusat kesenian ini didirikan atas dasar keinginan dari Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, untuk menyediakan ruang bagi seniman kota berkarya. Sejalan dengan tujuan untuk menjadikan Jakarta sebagai pusat peradaban dan kebudayaan Indonesia maka didirikan pulalah sebuah lembaga yang membantu pemerintah menjalankan tujuan dari Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki, yaitu Dewan Kesenian Jakarta.1 Lembaga ini, yang pada awal didirikan diketuai oleh Trisno Sumardjo, mengatasi keenam Komite yang secara langsung mengatur jalannya kehidupan seni di Jakarta. Keenam Komite itu adalah Komite Teater, Komite Tari, Komite Sastra, Komite Seni Rupa, Komite Musik, dan Komite Film. Dewan Kesenian Jakarta juga bertugas untuk memberikan bantuan kepada para seniman dalam mewujudkan karyanya. Beberapa program dan bantuan dana dirancang sebagai salah satu cara memfasilitasi kerja seni tersebut. Festival Teater Jakarta merupakan salah satu program yang dibentuk oleh Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta. Festival ini dilaksanakan pertama kali pada tahun 1973, atas gagasan Wahyu Sihombing, Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta, dengan berfokus pada pembinaan kelompok-kelompok teater di Jakarta. Tujuan utamanya adalah mencari kelompok teater yang memiliki keunggulan artistik untuk tampil di acara kesenian Taman Ismail Marzuki. Pada perkembangannya, tujuan festival ini tidak hanya mencari kelompok yang dapat mengisi acara di Taman Ismail Marzuki (selanjutnya disebut TIM), tetapi juga mengembangkan kelompok tersebut secara profesional. Oleh sebab itu, Festival Teater Jakarta (selanjutnya disebut FTJ)
1
Diambil dari Perkembangan Teater Kontemporer Indonesia 1968-2008 (2012) Achamad Syaeful Anwar, disertasi Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Pengtahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
1
Universitas Indonesia
2
memberikan status ‘kelompok teater senior’ bagi peserta yang memenangi FTJ tiga kali berturut-turut. Kelompok ini akan mendapat bantuan dana dari DKJ sebagai salah satu lanjutan program pembinaan FTJ. Namun, sejak FTJ tidak lagi berada di bawah penyelenggaraan DKJ, program bantuan dana untuk kelompok senior tidak diteruskan. Semenjak tahun 1992, tanggung jawab pelaksanaan FTJ dialihkan kepada Pengelola Gelanggang Remaja dan Dinas Kebudayaan karena adanya rencana renovasi gedung Teater Arena dan Teater Tertutup—yang biasa digunakan sebagai tempat penyelenggaraan FTJ. Oleh sebab itu, FTJ pada periode tersebut diselenggarakan secara terpisah di beberapa wilayah di DKI Jakarta. Pada masa itu, terjadi krisis yang datang dari pihak internal FTJ. Muncul anggapan bahwa FTJ tidak lagi menjadi media yang efektif untuk mewadahi kegiatan seni di Jakarta. Hal ini mengakibatkan penurunan jumlah peserta FTJ pada tahun 90an. Setelah kembali diselenggarakan oleh DKJ di komplek TIM, pada tahun 2006, krisis di dalam tubuh FTJ segara dibenahi. Secara perlahan, peserta FTJ tercatat mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya (yang dilanda krisis internal pada tahun 1990-an). Proses kembalinya FTJ di bawah penyelenggaraan DKJ, diprakarsai oleh kepengurusan Ratna Sarumpaet—ketua DKJ masa itu—dengan dilaksanakannya diskusi bersama pihak asosiasi teater di masing-masing wilayah. Baru pada tahun 2006, dicapai kesepakatan oleh stakeholder dan DKJ untuk mengembalikan penyelenggaraan FTJ ke TIM. Walaupun diikuti oleh peningkatan jumlah peserta yang menjanjikan, tantangan FTJ di masa ini semakin banyak. Salah satu yang selalu menjadi masalah adalah infrastruktur untuk memperlengkapi kebutuhan acara seni yang memadai. Infrastruktur ini sangat mempengaruhi konsistensi para pekerja seni untuk terus berkarya. Tanpa adanya konsistensi untuk terus menghasilkan hal-hal baru dalam kesenian, FTJ akan kehilangan tujuannya. Selain itu, Mudji Sutrisno (2013) juga mencatat bahwa konsistensi FTJ mendapat tantangan dari segala sesuatu yang sifatnya serba instan. Semakin maju teknologi membuat orang lebih suka pada hal yang cepat dan praktis sehingga kegiatan
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
3
yang memerlukan proses panjang, seperti FTJ, menjadi kurang peminatnya. Ditambah pula dengan adanya pandangan bahwa FTJ merupakan suatu acara yang bersifat eksklusif, hanya untuk pemuas estetika belaka. Unsur perlombaan membuat para peserta menghasilkan karya yang terpaku pada selera juri, kemudahan penggarapan, dan unsur hiburan.2 Padahal menurut Madin Tyasawan, FTJ ini dapat bertahan karena adanya daya yang dihasilkan (secara konsisten, seperti yang disebutkan sebelumnya) oleh para pekerja seni sebagai proses mereka mencari kesejatian diri. Proses ini diwujudkan dalam bentuk kegelisahan artistik yang seharusnya dapat ditampung oleh FTJ. Dengan begitu, FTJ akan dapat memberikan lebih dari sekadar perlombaan teater, yaitu hasil reaksi para peserta terhadap peristiwa kehidupan. Sayangnya, proses para peserta dalam mengolah gagasan atau kegelisahan tersebut, masih terjebak pada bentuk-bentuk yang lama. Hal ini disebabkan oleh penulisan naskah drama yang bersifat tidak dinamis (Benny Yohanes, 20113). Para peserta dianggap tidak berani untuk mengangkat cerita yang kurang populer, tetapi lebih relevan dengan masa kini. Padahal kebutuhan untuk menyajikan pementasan yang dekat dengan masyarakat—mengingat persaingan dengan teknologi dan hal yang serba instan—menjadi suatu hal yang dibutuhkan FTJ untuk terus hidup. Dengan memilih atau menggunakan naskah drama yang baru, para peserta dapat lebih mengembangkan kemampuan untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang dapat dipangggungkan. Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa drama merupakan seni yang bersifat paradoksal. Drama yang dipanggungkan merupakan hasil tafsir dari naskah drama, “Pementasan itu memberikan kepada drama sebuah penafsiran kedua. Sang sutradara dan pemain menafsirkan teks” (Sumardjo dan Saini K.M 1991: 158). Ketika drama dibicarakan sebagai teks, ia merupakan sebuah bentuk kesenian berupa bahasa yang di dalamnya mengandung unsur-unsur sastra. Namun, sebagai bentuk seni representatif, 2
Wawancara personal dengan Madin Tyasawan, Ketua Komite Teater tahun 2010, (2014) menanggapi tulisannya, “kita membutuhkan pedoman penyelenggaraan FTJ yang visioner dalam menjawab tantangan jaman, yang kondusif dalam memacu kreativitas, yang memberi peluang potensi inovasi, yang memungkinkan FTJ bukan melulu lomba dengan ukuran menang-kalah, tetapi menjadi fiesta (pesta) kreativitas.” (Diambil dari Koran Panggung FTJ (2010) ed.2) 33 Wawancara personal dengan Ketua Komite Teater DKJ, Dewi Noviami, 11 Juni 2014.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
4
ia diciptakan untuk dipentaskan (Scholes 1978:731). Dalam seni teater modern, keduanya merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan, “Because it is literature, a play can be read. But because its is representational art, a play is meant to be witnessed. (…) The text of a play is something like the score of symphony—a finished work, yet only potentiality untill it is performed. Most plays, after all, are writen to be performed.” (Scholes 1978: 731)
Oleh sebab itu, ketika muncul kritik tentang stagnansi bentuk pementasan pada FTJ, perlu pula dilihat bagaiman konsep dari gagasan tersebut dibicarakan dalam naskah drama. Hal ini penting untuk mempelajari kesalahan dan kekurangan dari segi konsep. Komite Teater DKJ pun menilai bahwa keberadaan naskah drama merupakan hal yang mendesak untuk diperhatikan, terutama penulisan naskah-naskah drama baru. Dengan adanya naskah-naskah baru, inovasi akan semakin banyak dilakukan. Tidak hanya dari segi konsep, tetapi juga pada eksekusi di atas panggung. Naskah-naskah baru ini juga dapat mewadahi kebutuhan para peserta untuk membicarakan tanggapan atau pandangan mereka terhadap peristiwa dalam kehidupan pada masa tersebut. Hal ini akan membangun sebuah interaksi yang baik antara pelaku FTJ (peserta dan penyelenggara) dan pengunjung FTJ atau masyarakat, seperti yang diungkapkan oleh Scholes “Drama, then, offers us a direct presentation of its imaginative reality” (Scholes 1978: 731). Interaksi ini akan dapat memperkaya kehidupan masyarakat dan pengembangan kegiatan seni drama pada FTJ. Untuk mengarahkan seluruh komponen FTJ kepada tujuan yang baru ini, Komite Teater pun menetapkan judul tema ‘Membaca Aku, Membaca Laku’ sebagai platform penyelenggaraan FTJ. Judul tema4 ini mulai digunakan pada pelaksanaan FTJ tahun 2010. Kemudian pada pelaksanaan tahun-tahun berikutnya, platform ini melahirkan tema-tema yang berbeda, seperti Membaca Lingkungan (2011), Membaca Tradisi (2012), dan Membaca Teks (2013). Sebenarnya, tujuan dari pencanangan tema adalah mengarahkan para peserta untuk melihat ‘aku’ secara lebih dalam. Kata ‘aku’ yang digunakan ini dapat merujuk pada ‘aku peserta’ atau ‘aku masyarakat’. Pada
4
Wawancara personal dengan Ketua Komite Teater DKJ, Dewi Noviami, 11 Juni 2014.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
5
intinya, ‘aku’ ini memiliki pengertian tentang manusia dan segala hal yang terjadi padanya di masa ini. Semenjak diberlakukannya tema ini, jumlah produksi naskah asli mulai mengalami peningkatan. Pada tahun tahun 2013, jumlah naskah asli tercatat lebih banyak dari penggunaan naskah-naskah lama atau adaptasi. Hal ini disebabkan oleh keseriusan Komite Teater untuk mengembangkan penulisan naskah drama dengan memberikan apresiasi bagi penulis naskah terbaik. Sebenarnya, pada tahun yang sama, Komite Teater ingin menetapkan peraturan baru terkait fokus mereka terhadap penulisan naskah drama asli. Peraturan baru itu menetapkan bahwa para peserta FTJ harus menggunakan naskah asli buatan grup. Akan tetapi, aturan ini ditolak oleh sebagian besar peserta karena merasa tidak siap. Perlu diingat bahwa FTJ merupakan program berjenjang yang pelaksanannya dimulai di tingkat wilayah dan berakhir di tingkat pusat. Menurut Ketua Komite Teater saat ini, Dewi Noviami, pelaksanaan FTJ di tingkat pusat baru dapat dijalankan apabila dana dari pemerintah telah cair. Oleh sebab itu, waktu sosialisasi tentang perubahan peraturan ini dilakukan setelah penyelenggaraan festival teater di tiap wilayah. Pemenang dari festival wilayah yang akan maju ke FTJ menganggap bahwa waktu sosialisasi aturan baru tersebut sangat berdekatan dengan pelaksanaan FTJ sehingga tidak semua kelompok siap untuk memproduksi naskah baru. Naskah-naskah drama FTJ juga memiliki manfaat bagi kesusastraan Indonesia. Dengan melihat bahwa naskah drama memiliki peran yang sangat besar dalam perjalanan FTJ—terutama setelah kembali diselenggarakan oleh DKJ pada tahun 2006—maka penulis ingin mengetahui persoalan ‘aku’ yang diangkat dalam naskah drama asli FTJ. Hal ini berkaitan dengan pernyataan sebelumnya bahwa FTJ merupakan wadah dari kegelisahan para peserta—yang adalah bagian dari masyarakat—atas peristiwa kehidupan yang dialaminya. Kegelisahan ini timbul dari perbedaan antara kenyataan (Das Sein) dan harapan (Das Sollen) yang dirasakan oleh peserta—terutama pengarang drama (Sumardjo dan Saini K.M 1991: 145). Kenyataan ini diolah melalui proses kreatif dan diciptakan kembali sebagai dunia imajiner dalam karya (Luxemburg 1984: 17).
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
6
Namun, keinginan untuk meneliti naskah drama dari tahun 2006—tahun kembalinya FTJ ke DKJ—tidak dapat terwujud karena naskah-naskah drama pada tahun 2006 dan 2007 tidak disimpan oleh pihak DKJ. Sebenarnya, DKJ pun belum memiliki penyimpanan khusus untuk semua naskah drama—baik asli maupun adaptasi—yang digunakan pada FTJ. Hal ini menjadi keprihatinan tersendiri mengingat adanya keinginan Komite Teater untuk memajukan penulisan naskah drama di FTJ. Pengumpulan naskah-naskah drama ini juga sangat penting untuk membantu proses pengembangan pertunjukan. Peserta lain dapat melihat bentuk dan gagasan yang telah muncul pada FTJ sebelumnya, untuk digunakan sebagai landasan berinovasi. Dengan adanya dokumentasi naskah drama yang baik, proses pembelajaran dalam FTJ dapat berjalan. Hal tersebut berkaitan dengan tujuan awal diselenggarakannya FTJ, yaitu untuk mengumpulkan dan membina kelompok-kelompok teater yang ada di Jakarta. Selain itu, naskah-naskah drama ini tidak hanya berfungsi sebagai dokumentasi belaka, tetapi juga dapat menjadi alat kritik, dan yang terpenting sebagai perenungan bagi kehidupan manusia (Oemarjati 1971: 63). Gagasan pengarang yang dituangkan melalui ‘aku’ dianggap penting untuk melihat masalah utama yang dibicarakan dalam drama. Hal ini disebabkan oleh interaksi—aku—manusia dipandang sebagai sumber masalah utama dalam karya drama karena menjadi tempat bertemunya berbagai karakter di suatu tempat dalam satu masa. Drama menjadi berbeda dari bentuk seni yang lain karena hakikatnya adalah membicarakan manusa, seperti yang diungkapkan Swingewood (1972) bahwa “memainkan tokoh-tokoh ciptaannya itu dalam suatu situasi rekaan agar mencari ‘nasib’ mereka sendiri—untuk selanjutnya menemukan nilai dan makna dalam dunia sosial.” (Damono 2010: 19). Oleh sebab itu, penelusuran naskah drama FTJ dari tahun 2008 hingga 2013, hendak melihat ‘aku’ sebagai bagian dari manusia yang terikat oleh suatu kondisi sosial di masa kini. Penelitian tidak hanya akan berhenti pada struktur dari drama yang ada, tetapi juga menggunakan pendekatan sosiologi untuk mengutuhkan gambaran ‘aku’ dalam kenyataan. Dengan begitu, penulisan skripsi ini diharapkan akan memberikan
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
7
pengetahuan tentang gambaran kenyataan yang mempengaruhi kecenderungan tema yang dibahas pada drama masa kini Hal ini dimaksudkan untuk mengawali pembicaraan tentang drama masa kini dalam periodisasi sastra drama.
1.2 Perumusan Masalah Pembicaraan karya sastra drama yang dihasilkan pada masa kini masih jarang ditemukan. Penelitian yang dilakukan oleh Vauriz Bestika pada tahun 2011, tentang drama Republik Reptil5 karya Radhar Panca Dahana yang mengangkat masalah antara KPK dan kepolisian6, merupakan satu dari sedikit pembicaraan tentang drama masa kini. Sedikitnya pembicaraan mengenai naskah drama pada masa kini tidak berbanding lurus dengan jumlah naskah yang diciptakan. Secara kuantitatif, penciptaan naskah masa kini dapat dikatakan banyak. Hal ini dibuktikan dengan munculnya pementasanpementasan drama yang menggunakan naskah-naskah baru, seperti pentas “Gundala Gawat”7 oleh Teater Gandrik dan “Goyang Penasaran”8 oleh Teater Garasi. Ada pula kegiatan yang dilangsungkan untuk memicu produktivitas naskah pada masa kini, seperti Indonesia Dramatic Reading Festival, Bengkel Penulisan Lakon (sebagai ganti Sayembara Penulisan Lakon DKJ), Festival Teater SMA, dan Festival Teater Jakarta. Festival Teater Jakarta adalah festival teater terbesar di Indonesia. Festival ini telah menjadi barometer perkembangan pertunjukan drama di Jakarta dan beberapa daerah lain. Namun, belum ditemukan adanya pembicaraan mengenai naskah-naskah drama yang dihasilkan pada acara ini. Hal ini menjadi sebuah keprihatinan mengingat bahwa festival ini merupakan wadah bagi para pelaku teater untuk mengungkap gagasannya atas kegelisahan mereka dalam melihat peristiwa kehidupan. Proses
5
Republik Reptil dan Drama-Drama Lainnya. 2010. Jakarta: Balesastra Pustaka Bestika, Vauriz. “Drama “Republik Reptil”: Tanggapan terhadap Perkara KPK dan Kepolisian”. 2011. Depok: Universitas Indonesia 7 Ditulis oleh Goenawan Mohamad dibantu oleh Agus Noor dan Whany Dharmawan berdasarkan cerita komik Gundala Putra Petir karangan Hasmi. Naskah ini dipentaskan oleh Teater Gandrik, disutradarai oleh Djaduk Ferianto, pada tanggal 26-27 April 2013 di Graha Bhakti Budaya TIM. 8 Ditulis oleh Naomi Srikandi dan Intan Paramaditha berdasarkan cerita pendek dengan judul yang sama karangan Intan Paramadhita. Naskah ini pertama kali dipentaskan di Studio Teater Garasi, Yogyakarta, pada pertengahan Desember 2011. 6
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
8
pertemuan antara gagasan dan kenyataan yang mempengaruhinya dapat dilihat pada naskah drama yang menjadi konsep awal dari kerja seni drama yang panjang. Hal tersebut juga dapat menjawab masalah FTJ yang disinyalir tidak lagi memiliki korelasi dengan kehidupan masyarakat. Berangkat dari pemahaman bahwa drama merupakan sebuah kenyataan baru yang bertolak dari kenyataan yang ada maka unsur pengarang/peserta yang menghasilkan karya menjadi penting. Pengarang— sebagai tuhan dalam drama—menciptakan sebuah dunia baru sebagai hasil tanggapan dia, yang juga bagian dari masyarakat, atas keadaan sosial yang dialaminya kepada pembaca (Luxemburg 1984: 23). Dengan demikian pembicaraan mengenai naskah drama tidak hanya terpaku pada bentuk-bentuk pemanggungan, tetapi juga dapat memaknai peristiwa kemanusiaan yang dibicarakan di dalamnya. Pentingnya peran ‘aku’—peserta/pengarang—dituangkan oleh Komite Teater DKJ dalam platform ‘Membaca Aku, Membaca Laku’. Platform ini diharapkan dapat membuka sudut pandang peserta mengenai masalah-masalah ‘aku’—masyarakat— yang terdapat di dalam kehidupan masa kini. Hal ini dilakukan untuk mengarahkan para peserta pada hal-hal yang dianggap mendesak untuk dibicarakan di dalam FTJ sehingga akan mengembalikan tujuan awal digagasnya acara ini, yaitu sebagai bagian dari peristiwa budaya. Oleh sebab itu, masalah-masalah mengenai ‘aku’ pada naskah drama akan ditelusuri secara sosiologis. Hal ini dilakukan untuk mengetahui keadaan masyarakat saat ini yang menjadi sebuah urgensi. Masalah-masalah seputar ‘aku’—manusia— disebabkan oleh lakuannya dalam kehidupan (Oemarjati 1971: 78). Bentuk lakuan yang ditemukan, diasumsikan lahir dari adanya relasi manusia dengan faktor-faktor dalam kehidupan. Penelitian ini menggunakan perspektif pengamatan (lihat Damono 2008: 64) relasi manusia untuk menemukan masalah seputar keadaan manusia di dalam naskah drama. Relasi manusia yang pertama adalah manusia dengan kekuasaan. Relasi vertikal ini dianggap dapat memberikan pengetahuan tentang bagaimana pembentukan manusia dalam situasi bangsanya. Relasi manusia yang kedua adalah manusia dengan masyarakat. Hal ini dianggap dapat memperlihatkan masalah manusia yang muncul
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
9
dalam interaksinya dengan keadaan sosial di sekitarnya. Yang terakhir dan bersifat fundamental adalah relasi manusia dengan dirinya sendiri. Dari relasi ini diasumsikan dapat memperlihatkan lakuan yang dihasilkan manusia sebagai dirinya sendiri di antara hubungan-hubungan lainnya. Perspektif relasi manusia ini akan ditelusuri melalui unsur-unsur yang membangun drama. Dengan melihat unsur di dalam drama, seperti alur dan tokoh, diharapkan gambaran atas masalah manusia yang menjadi kegelisahan para peserta FTJ dapat dikumpulkan secara utuh. Kenyataan dalam naskah drama ini akan dibandingkan dengan kenyataan yang ada pada kehidupan melalui pendekatan sosiologi. Pendekatan sosiologi ini sangat penting dalam sastra, seperti yang diungkapkan Grebstein (1968): “Karya sastra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkan. Ia harus dipelajari dari konteks yang seluas-luasnya (…) Setiap karya sastra adalah hasil pengaruh timbal-balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural,” (Damono 2010: 6—7)
1.3 Tujuan Penelitian Dengan melihat urgensi dari pembicaraan atas naskah drama FTJ tahun 20082013 maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. a.
Menjelaskan struktur intrinsik naskah-naskah drama FTJ periode 2008-2013
b.
Menguraikan aspek sosiologis naskah-naskah drama Festival Teater Jakarta periode 2008-2013.
c.
Menjelaskan kecenderungan tema yang dihasilkan dari naskah-naskah Festival Teater Jakarta dengan menyesuaikan temuan dari naskah drama dengan aspek sosiologis yang mempengaruhinya sebagai gambaran drama masa kini. Secara khusus penulisan skripsi ini bertujuan untuk memaknai peristiwa
kehidupan masyarakat di Indonesia pada masa kini. Hal tersebut datang dari kebutuhan FTJ untuk melihat pula korelasinya selama ini dengan kehidupan masyarakat. Tujuan ini berangkat dari pernyatan Jakob Sumardjo dan Saini K.M mengenai sastra sebagai tolak ukur kualitas masyarakat.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
10 “Sebagai cabang kesenian, sastra berfungsi memperjelas, memperdalam, dan memperkaya penghayatan manusia terhadap kehidupan mereka. Dengan penghayatan yang lebih baik terhdap kehidupannya manusia dapat berharap untuk dapat menciptakan kehidupan yang sejahtera.” (Sumardjo & Saini K.M 1991: 16)
1.4 Kerangka Teori Drama adalah salah satu bentuk karya sastra yang mengandalkan dialog dan lakuan tokoh-tokohnya untuk menyampaikan masalah yang ingin dibicarakan. Pada hakikatnya, masalah dalam drama adalah persoalan tentang manusia yang timbul dalam situasi dramatik sebagai hasil dari interaksinya (Oemajati 1971: 79-80). Masalah tentang manusia yang diangkat ke dalam sebuah drama adalah gagasan pengarang yang muncul dari pengalaman kehidupannya. Kesenjangan antara kenyataan (Das Sein) dan harapan (Das Sollen) yang ia temukan dalam kehidupan sehari-hari menimbulkan suatu kegelisahan dalam diri pengarang sehingga ia—sebagai bagian dari masyarakat— memberikan tanggapan terhadap situasi tersebut. Situasi inilah yang ia bangun kembali ke dalam sebuah drama. A. Teeuw (2003: 188) mengatakan bahwa hubungan antara sastra—khususnya drama—dan kenyataan merupakan hubungan yang saling mempengaruhi. Kenyataan membentuk gagasan pengarang sehingga pengarang menciptakan sebuah karya. Sementara itu, pada waktu yang berbeda, masyarakat membaca karya dan mendapat masukan dari hasil bacaannya tersebut. Walaupun tidak terjadi secara langsung, hasil pembacaan masyarakat terhadap drama dapat memberikan masukan atau pengaruh dalam tindakan dan pola pikirnya, seperti diucapkan oleh Mochtar Lubis (1992) berikut ini: “membaca sastra adalah salah satu dari sekian banyak masukan yang diterima oleh anak manusia selama hidupnya, dan menimbulkan pikiran, motivasi, atau malahan menggerakkannya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.” (1992: 346)
Jauh sebelumnya, Plato telah lebih dulu menyatakan bahwa karya sastra adalah sebuah bentuk tiruan dari kenyataan. Namun, pernyataan Plato tersebut disanggah oleh Aristoteles yang melihat bahwa karya sastra bukanlah sebuah tiruan belaka. Ia
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
11
menambahkan pernyataan Plato dengan daya imajinasi yang dimiliki oleh pengarang terhadap proses peniruan tersebut. Ketika seorang pengarang ingin menuliskan sebuah karya dari pengalaman yang ia punya maka pengalam tersebut telah direkonstruksi ulang dengan daya imajinasi serta penambahan lain yang membuat karya tidak lagi sama dengan kenyataan. Namun, unsur-unsur dalam kenyataan tetap dapat terasa dalam karya. Seorang pengarang sastra bukan lagi peniru tetapi pencipta yang baru. Pengarang drama memasukkan gagasannya tersebut ke dalam sebuah bangunan yang menjadikan drama utuh. Berbeda dengan jenis sastra lainnya, drama bersifat paradoksal, ia diciptakan untuk dipentaskan. Oleh sebab itu, bangunan drama lebih kompleks dan lebih hidup dibandingkan dengan karya sastra lainnya. Hal inilah yang disampaikan oleh Letwin dan Stockdale: “architecture, by both connotation and definition, is the art and science, style and method, of designing and creating something. Most commonly, that something is thought of as a building, but it can be—indeed is—defined as any created form, such as a systemn of government, a symphonic composition, or, in our case, the production of dilm or stage play. (…) that there is a design to its creation—what writer Eric Kahler described as an ‘inner organizational coherence’—and that these methods and designs can be studied and apprehended.” (Letwin & Stockdale 2008: xiii)
Semakin padu seorang pengarang membangun gagasannya ke dalam unsurunsur intrinsik drama maka semakin nyata pula dunia yang ingin digambarkannya. Kepaduan tersebut dapat dilihat dari hubungan antarunsur yang terbangun secara indah dan jujur (Letwin dan Stockdale 2008: xii). Unsur-unsur dalam drama, menurut Letwin dan Stockdale, terdiri atas alur, karakter/tokoh, tema, genre, dan cara bercerita (Letwin & Stockdale 2008: xv). Namun, ada pula yang menambahkan unsur bahasa dan dialog sebagai bagian terpenting untuk melihat bangunan drama, seperti Jakob Sumardjo dan Saini K.M (1991). Reaske (1996) membagi anatomi bangunan drama ke dalam tiga fokus, yaitu alur, karakter, dan bahasa. Pada dasarnya, pernyataan para ahli tentang unsur yang membangun drama ini menjelaskan bahwa tubuh drama dibangun dari sebuah hubungan sebab akibat yang tersusun dalam beberapa babak (alur) dan dimainkan oleh tokoh-tokoh berbeda
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
12
karakter dengan dialog yang mendukung situasi untuk mempersoalkan tema yang dipilih. Untuk melihat alur suatu drama, Sumardjo dan Saini K.M menggunakan struktur dramatik Aristoteles yang membagi drama dalam lima bagian utama, yaitu eksposisi, komplikasi, klimaks, resolusi, dan ditutup dengan konklusi. Lima bagian tersebut membentuk hubungan kausal yang menjadi satu kesatuan padu tanpa dapat diubah urutannya (Sumardjo & Saini K.M1991: 142). Freytag (1863) menggambarkan struktur dramatik Aristoteles tersebut sebagai sebuah “struktur piramidal” (Oemarjati 1971: 70). Pada dasarnya, menurut Oemarjati, tujuan diciptakannya konvensi bagianbagian alur adalah untuk mempermudah penelitian tentang drama. Akan tetapi, interpretasi terhadap alur sebaiknya disesuaikann pula dengan kebutuhan sifat drama (Oemarjati 1971: 72). Oleh sebab itu, muncul pula pendapat lain tentang pembagian alur, seperti pendapat Letwin dan Stockdale yang menganalisis alur dengan berfokus pada tokoh pembawa cerita. Alur—menurut Letwin dan Stockdale (2008: 1)—dibagi dalam tujuh komponen dasar, yaitu tokoh utama, insiden yang mengganggu keseimbangan dunia tokoh utama, obyektif—tujuan yang ingin dicapai tokoh utama untuk mengembalikan keseimbangan dunianya, rintangan—hal yang mencegah tujuan tokoh utama, krisis, klimaks, dan penyelesaian. Luxemburg mengingatkan kembali bahwa alur dalam drama tidak disajikan secara gamblang dalam teks melainkan melalui gabungan peristiwa, tokoh, penggarapan waktu, dan ruang (Luxemburg 1984:1967-1973). Dari pernyataannya tersebut, alur tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya tokoh yang memainkan atau waktu yang menjadi latar situasi. Tokoh dalam drama, umumnya berupa manusia walaupun tidak menutup kemungkinan adanya tokoh binatang atau mahkluk fantasi lainnya (Sumardjo & Saini K.M 1991: 144). Besar kecilnya peran mereka ditentukan dari kebutuhan cerita dalam drama. Ada tokoh yang menggerakkan cerita (protagonis) dan ada pula yang menentang tokoh penggerak cerita (antagonis). Di samping kedua tokoh tersebut, muncul pula tokoh-tokoh pendukung yang perannya disesuaikan dengan fungsi mereka dalam menunjang keutuhan cerita.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
13
Tidak seperti karya sastra lainnya, penggambaran para tokoh diwujudkan dalam dialog dan lakuan. Dialog para tokoh menjadi bagian penting dalam drama karena fungsinya menggantikan narasi—seperti dalam karya sastra lainnya (Scholes 1978). Hubungan antara dialog dan tokoh saling mempengaruhi satu sama lain. Melalui dialog, pembaca dapat melihat karakter tokoh yang bermain. Di lain sisi, dialog yang disampaikan oleh tokoh tergantung pada karakter si tokoh tersebut (Luxemburg 1984: 160-161). Melalui gerak gerik dan interaksi para tokoh, pembaca dapat melihat hasil dari buah pikiran pengarang (Sumardjo & Saini K.M 1991: 145). Penggarapan waktu yang mendukung terciptanya alur, biasanya, disusun secara kronologis (Luxemburg 1984: 169). Akan tetapi, menurutnya, dalam drama ada banyak cara untuk menampilkan latar waktu—tidak selalu harus berurutan atau linear. Terkadang dalam drama, ada adegan yang dapat terjadi bersamaan, ada pula yang mundur ke belakang untuk dapat maju ke depan. Masalah pemberitaan waktu kepada pembaca dapat diungkapkan melalui irama atau kejadian yang menimbulkan kesan masa lalu atau masa depan. Selain latar waktu, alur juga membutuhkan latar tempat yang dapat mendukung terciptanya suasana yang diinginkan. Penggambaran latar juga mampu menunjukkan pada pembaca tentang genre dan gaya yang diangkat oleh pengarang. Artinya, latar tempat dalam drama tidak selalu harus menunjukkan suatu bangunan atau tempat, tetapi bisa juga gambaran situasi berlangsungnya peristiwa (Scholes 1978: 743). Aliran merupakan salah satu unsur penting dalam struktur drama. Drama-drama absurd, sebagai salah satu aliran kontemporer penulisan drama—memiliki fokus pada persoalan tentang hakikat manusia. Bagian dalam drama absurd memang sengaja dibuat tidak masuk akal untuk meninggalkann pertanyaan tentang makna drama tersebut. Keabsurdan drama-drama ini terbentuk atas dasar usahanya merubuhkan nilai-nilai yang dianggap tak lagi memadai bagi kehidupan manusia di abad-20 (Abbotson 2003: 1). Melalui irrasionalitas dalam struktur dramanya, drama absurd menawakan nilai baru untuk dimaknai. Swingewood (1972) menyampaikan bahwa yang utama dalam sebuah drama adalah persoalan atas manusia yang muncul melalui tokoh, “memainkan tokoh-tokoh
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
14
ciptaannya itu dalam suatu situasi rekaan agar mencari ‘nasib’ mereka sendiri—untuk selanjutnya menemukan nilai dan makna dalam dunia sosial.” (Damono 2010: 19). Oleh sebab itu, dengan menganalisis unsur alur (hubungan sebab akibat dalam penggambaran suatu latar) dan tokoh (karakter dan dialog), dapat ditemukan gagasan utama yang ingin disampaikan pengarang. Persoalan timbul dari hasil interaksi manusia dengan kehidupan yang di dalamnya terdiri atas alam, tuhan, masyarakat, dan dirinya sendiri. Hal ini kembali lagi pada pembicaran di awal bahwa ketika kenyataan dalam naskah drama telah diungkapkan, pendekatan sosiologis dapat dilakukan untuk melihat hubungan di antara kenyataan dalam naskah dan realita sosial. Allan Swingewood mengingatkan beberapa hal penting dalam kajian yang menggunakan pendekatan sosiologis, “pendekatan sosiologis terhadap sastra dapat dilaksanakan sebaik-baiknya asal si kritikus tidak melupakan dua hal: (a) peralatan sastra murni yang dipergunakan pengarang besar untuk menampilkan masa sosial dalam dunia rekaannya, dan (b) pengarang itu sendiri, lengkap dengan kesadaran dan tujuannya.” (Damono 2010: 20)
Poin mengenai pengarang dalam kutipan di atas merujuk pada dunia penciptaan naskah drama, yang didalamnya meliputi asal usul, tujuan, dan kondisi sosial pengarang. Proses penciptaan ini juga tidak luput dari pengaruh masyarakat pembacanya. Selain pengaruh lingkungan yang dialami, dilihat, dan dirasakan oleh pengarang, kehadiran pembaca atau penikmat tentu menjadi suatu aspek penting dalam penciptaan. Keberterimaan menjadi penting, mengingat perlunya apresiasi terhadap keberlangsung proses kreatif. Dalam sejarah drama di Indonesia, Jakob Sumardjo mencatat bahwa perkembangannya tidak luput dari selera masyarakat penikmat. Keberterimaan karya dalam masyarakat dapat menentukan keberlangsungan suatu jenis kesenian. Hal ini tercatat dalam sejarah pertunjukan drama di Indonesia, ketika komedie Stamboel mengalahkan kejayaan teater bangsawan karena masyarakat di Jawa saat itu tidak siap menerima pertunjukan dengan gaya Bahasa Melayu tinggi (Sumardjo 1997: 103-104). Atau seperti kemunculan pementasan drama dari kaum intelek yang meletakkan naskah drama sebagai unsur terpentingnya. Hal ini dapat terus berlangsung bahkan berkembang hingga sekarang karena kesiapan masyarakat menerima karya-
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
15
karya tersebut. Jadi, dalam proses penciptaan, pengarang tidak hanya menempatkan dirinya sebagai aspek yang dominan tetapi juga meraba apa yang masyarakat ingin dengar atau nikmati. Pada intinya, Grebstein (1968) mengatakan bahwa untuk memahami karya secara lengkap haruslah melihat konteks yang seluas-luasnya sebab karya sastra lahir dari sebuah hubungan kausal yang rumit antara faktor sosiokulturalnya dan karya itu sendiri (Damono 2010: 6-7). Jadi, dari apa yang dikemukankan oleh para ahli pada bagian ini, penelitian tentang kecenderungan suatu drama—ditinjau dari pendekatan sosiologis—menempatkan
naskah drama sebagai sebuah bahan tinjauan dengan
didukung oleh unsur-unsur di luar karya itu sendiri. Unsur-unsur intrinsik dalam karya—seperti tokoh, tema, dan alur—akan menjadi tanda yang merepresentasi faktorfaktor sosial. Hal inilah yang akan menjadi landasan dalam penelitian naskah drama FTJ periode 2008-2013. 1.5
Metodologi Penelitian Penelitian ini adalah sebuah penelitian kualitatif yang menggunakan teks drama
sebagai bahan pengkajian. Penelusuran yang dilakukan akan menggunakan pendekatan sosiologi sastra—dengan teori strukturalisme genetik—yang mengacu pada pendapat Piaget Goldmann, “karya sastra itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan.” (Faruk 1994: 12)
Atas dasar tersebut, langkah awal dalam penelitian ini adalah mengumpulkan naskah-naskah drama FTJ periode 2008-2013. Sebelumnya, penulis hendak menggunakan naskah drama FTJ dari tahun 2006-2013. Namun, karena keterbatasan sumber daya yang ada, naskah-naskah drama tahun 2006 dan 2007 tidak dapat ditemukan. Pihak penyelenggara, dalam hal ini DKJ, tidak memiliki dokumentasi yang memadai atas naskah-naskah drama yang pernah dipentaskan pada acara tersebut, khususnya naskah drama asli. Oleh sebab itu, penulis mengumpulkan naskah drama asli FTJ periode 2008-2013 berdasarkan data yang diterima dari DKJ.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
16 Tabel 1.1
Naskah Drama Festival Teater Jakarta Periode 2008-2013 yang Dihimpun Tahun
Jakarta Utara
Jakarta Timur
Jakarta Barat
Jakarta Selatan
Harta KarunIbas Aragi, Teater Legium
Gagu Ngigau Galau Wagu Diky Soemarno, Teater Nonton
2008 Ruang Tunggu TerakhirDediesputra, Sanggar Matahari
Jakarta Pusat Gara-Gara Si Manis Djumala Ridwan, Lab. Teater Fitrah Audisi Orang Mati Dayo PA, Teater Indonesia
2009
Dari Jam Ban Ke Speed Tank Yustiansyah Lesmana, Teater Ghanta Ruang Kehormatan Manahan Hutahuruk, Teater Nonton
Tidak ditemukan
2010
Nol Karat Roy Hakim, Teater Trompah
Pesta Sampah Yustiansyah Lesmana, Teater Ghanta
2011 Roman Herman Al Rasyid, Teater Anam
2012
2013
Bek Yamin Azhari, Teater Pangkeng
Oseng-Oseng Afri Rosyadi, WULAN D’LIMAH
Ken O Ken Afri Rosyadi, Teater Matahari Bersinar Terang
TE(N)TANGGA(NG) Diky Soemarno, Teater Nonton
Antorium Ayak MH, Teater Cermin
Stuktur Rumah Tangga Kami Dendy Madiya, Artery
Lima Pintu Budi Yasin Misbach, Teater Alamat
Siapa yang Menyebabkannya? Djaelani Manoch, Teater Lorong Techno Ken Dedes Dadang Badoet, Stage Corner Community Bongkar Diding Boneng, Teater Popcorn Parlemen WC Ribut Achwandi, Kantong Teater
Perjalanan Hang Juro Echo Chotib, Teater EL’NA’MA
Ukoro Budi Ketjil, TEater Indonesia
Paralel 45 Angga Dian, Teater Pojok
Hitam Putih Mifthuddin Palannari, Lintas Teater Jakarta Diari Kematian Edi Saputra, Teater Q
Optimism Teater Hijau Lima Satu
Hijrah Budi Ketjil, Teater Indonesia
Kokology Diky Soemarno, Teater Nonton
Istana Pasir Maya Azeezah, Lintas Teater Jakarta Tengok Djaelani Manoch, Teater Lorong
Naskah yang berhasil dihimpun dari tahun 2008-2013 berjumlah 29 naskah dari total 30 naskah drama asli sepanjang periode tersebut. Melihat latar belakang dan rumusan masalah yang ada maka dipilihlah penggunaan sampel dalam penelitian ini.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
17
Selain memudahkan, juga untuk memperinci uraian tentang keadaan sosiologis naskah drama FTJ. Langkah kedua, dipilih sembilan naskah drama dari jumlah naskah yang berhasil dihimpun. Pemilihan kesembilan naskah drama ini berdasarkan pada jenis relasi yang dianggap dapat menguraikan masalah utama dalam drama. Dalam tiap jenis, akan dipilih tiga naskah yang mewakili naskah-naskah lainnya—yang diasumsikan— memiliki kesamaan. Sembilan naskah drama ini akan menjadi korpus data dari penelitian yang dilakukan.
Tabel 1.2 Naskah Drama sebagai Korpus Data Penelitian
Relasi I
Relasi II
Relasi III
“Gagu Ngigau Galau Wagu” (2008, Diky Soemarno)
“Paralel ‘45”
“Lima Pintu”
(2013, Angga D.S)
(2012, Budi Y. Misbach)
“Ruang Tunggu Terakhir” (2008, Dediesputra)
“Parlemen WC” (2012, Ribut Achwandi)
“Te(Ntangga(NG)”
“Ruang Kehormatan” (2009, Manahan H.)
“Pesta Sampah” (2011, Yustiansyah Lesmana)
(2011, Diky Soemarno) “Roman” (2009, Herman Al Rasyid)
Langkah ketiga, penulis akan melakukan penelusuran struktural terhadap korpus data yang telah dipilih. Hasil dari penelitian struktural ini akan digunakan dalam penelusuran sosiologis karya.
Penelusuran struktural ini memfokuskan pada
pembicaraan tentang alur dan tokoh yang membangun masalah dalam drama. Langkah keempat, dilakukan penelusuran sosiologis terhadap temuan dari analisis struktural. Penelusuran ini menggunakan teori pengkajian sosiologi sastra dengan menggunakan bahan literatur yang ada.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
18
1.6
Sistematika Penulisan Penelitian ini akan dibagi ke dalam empat bab dan sistematika penulisannya
adalah sebagai berikut: Bab pertama akan menyajikan pendahuluan yang berisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua berisi analisis struktural naskah-naskah drama FTJ periode 20082013 yang telah dibagi ke dalam tiga kategori. Bab ketiga akan membahas hasil analisis struktural drama dilihat dari dunia penciptaannya. Temuan dari analisis struktural akan dilihat dengan menggunakan konteks sosial yang mengutuhkan gambaran tentang manusia masa kini dan masalahmasalahnya. Bab empat berisi kesimpulan dari penelusuran sosiologis terhadap naskahnaskah drama FTJ 2008-2013. Kesimpulan diharapkan dapat menghasilkan gambaran tentang manusia masa kini yang muncul serta pembicaraan awal atas kecenderungan masalah yang diangkat dalam drama masa kini.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
BAB II TELAAH STRUKTURAL DRAMA-DRAMA FESTIVAL TEATER JAKARTA
Dari pembacaan awal, naskah-naskah drama yang telah dipilih sebagai korpus data penelitian ini memiliki beberapa kesamaan yang patut dicurigai sebagai sebuah semangat pada suatu periode. Kesamaan yang terdapat dalam kesembilan naskah drama ini muncul melalui relasi manusia dengan lingkungannya. Relasi manusia dengan faktor lingkungan tersebut menghasilkan sebuah masalah utama yang dapat diperiksa melalui unsur-unsur yang membangun keutuhan struktur drama. Relasi manusia yang akan dilihat dalam penulisan ini adalah relasi manusia dengan diri sendiri, relasi manusia dengan kekuasaan, serta relasi manusia dengan masyarakat. Dengan menggunakan perspektif relasi manusia, akan diuraikan unsurunsur yang membangun struktur dari kesembilan naskah drama yang telah dipilih. Bangunan atau struktur drama terdiri atas unsur-unsur yang mengutuhkan dunia yang dibentuk di dalamnya. Unsur-unsur tersebut terdiri atas tema, alur, tokoh, genre, dan gaya bercerita (David Letwin & Stockdale 2008). Hubungan di antara unsur-unsur ini saling bertautan dan menjadi cara pengarang drama menceritakan masalah yang ingin disampaikan kepada pembacanya. Namun, tidak seperti karya sastra lain yang menyusun unsur-unsurnya melalui narasi, drama menguraikan unsur-unsur ini melalui interaksi tokoh-tokohnya. Ada pengarang yang menyertakan pula petunjuk pemanggungan yang memberikan pembaca informasi mengenai situasi dalam drama tersebut, tetapi ada pula yang benar-benar hanya mengandalkan dialog antar tokoh sebagai sarana penyampaian cerita.9 Pada bagian berikut ini, akan diuraikan sturktur dari sembilan naskah drama FTJ periode 2008-2013 yang telah dikategorikan menurut jenis relasi manusia yang dibicarakan.
Diambil dari The Elements of Drama. Scholes 1978: 737. “Drama in its pure form uses word to create action through the dialogue of characters talking to one another rather than to the reader…”
9
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
19
Universitas Indonesia
20
2.1 Drama tentang Relasi Manusia dengan Diri Sendiri Pembicaraan mengenai relasi manusia dengan dirinya sendiri merupakan sebuah pembicaraan mengenai eksistensi manusia. Drama-drama yang membicarakan mengenai eksistensialimse umumnya bersifat absurd. Drama-drama ini disebut absurd karena memaparkan suatu dunia yang sangat menggelikan dan dinilai tak masuk logika (Scholes 1978: 752). Dunia yang menggelikan tersebut bertujuan untuk merubuhkan pola yang membelenggu eksistensi manusia. Aliran drama ini lahir dari situasi manusia yang menolak sistem atau konvensi lama dengan tujuan untuk membentuk normanorma baru yang sesuai. Tokoh-tokoh drama yang terkenal dengan drama absurdnya, antara lain Jean Genet, Samuel Beckett, dan Iwan Simatupang. Kekuatan drama-drama aburd ini terdapat pada dialog antar-tokohnya. Seperti misalnya, Samuel Beckett dalam dramanya Endgame 10, memperlihatkan tokoh yang terkungkung di antara kiamat di sekitarnya. Namun, masalah utama dalam drama ini terletak pada reaksi tokoh-tokohnya—melalui dialog—terhadap peristiwa yang dialaminya. Dalam drama tersebut, peristiwa kiamat dan tokohnya justru tak saling bersinggungan dan tak ditemukan penjelasan yang rasional mengenai konflik tersebut. Itulah mengapa drama-drama absurd memiliki kekuatan dalam dialog antar-tokohnya yang bertujuan untuk mempertanyakan atau berceramahceramah tentang eksistensi manusia.
2.1.1 Sinopsis Drama Relasi Manusia dengan Diri Sendiri “Ruang Tunggu Terakhir” Saman adalah seorang pria lanjut usia yang menjadi korban bencana alam. Dengan keadaan yang terluka parah, Saman tiba di sebuah ruangan. Di sana, ia akan bertemu dengan tokoh Man yang berjanji padanya untuk membawa ia pergi dari kiamat yang terjadi. Man menjanjikan sebuah tanah baru yang subur dan dapat dipakai untuk menata hidup baru. Dengan kondisi yang payah, Saman berusaha memegang teguh
10
Endgame merupakan drama satu babak yang ditulis oleh Samuel Beckett dalam bahasa Perancis. Pada tahun 1957, naskah yang telah dialihbahasakan ke dalam Bahasa Inggris oleh Beckett, dipublikasikan untuk pertama kalinya.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
21
janji Man tersebut. Dalam penantiannya, ia bertemu dengan dua tokoh lain—Maman dan Lukman—yang juga mendapat janji yang sama dari Man. Pertemuan mereka ini justru membawa ketegangan di masing-masing pihak. Ada kecurigaan dan rasa takut yang menyelimuti mereka, ketika mengetahui bahwa mereka sama-sama menunggu Man. Namun, keadaan di luar semakin gawat. Bencana alam datang silih berganti. Tentara-tentara datang dan pergi untuk meringkus orang. Luka di tubuh mereka makin makin parah, tetapi Man belum juga tiba. Di tengah keputusasaan mereka, muncul tokoh Iman. Dengan membawa kabar dari Man, Iman memberikan mereka harapan baru untuk berjalan menuju tanah yang dijanjikan. “Gagu Ngigau Galau Wagu” Lima orang menghuni sebuah perumahan yang terkesan ganjil. Mereka adalah seorang guru, pengusaha, juru masak, tentara, dan seorang tukang sapu. Awalnya, kehidupan mereka terlihat biasa saja. Namun, keadaan menjadi bertambah ganjil ketika seorang dari mereka merasa kehidupan mereka terus-menerus berputar di tempat yang sama. Mereka pergi bekerja di pagi hari, tetapi tak lama kemudian, kembali lagi karena pekerjaan dibatalkan. Mereka pun menghabiskan aktivitasnya dengan bermain catur, minum jamu bersama Mbak Mirna, dan berolahraga bersama Pak Kades. Pola itu mereka lakukan terus-menerus, sampai suatu hari, Mbak Mirna pergi. Dunia mereka berubah. Mereka tidak mau lagi minum jamu. Padahal Pak Kades telah mengusahakan segala cara untuk membujuk mereka. Namun, kelima tokoh ini mengadakan aksi protes untuk meminta Mba Mirna kembali lagi. Tiba-tiba Pak Kades marah besar, ia menyetrum kelima tokoh tersebut. Setelah kelima orang itu dapat ditenangkan, Pak Kades mengajari orang baru untuk berperan sebagai Mirna. Ternyata, Pak Kades adalah seorang dokter dan kelima orang itu adalah pasiennya. Ketika Pak Kades— dokter Bandi—mengajari orang baru tersebut untuk bekerja menjadi tukang jamu, kelima tokoh itu keluar. Mereka terkejut ketika melihat kehadiran orang asing di perumahan rekayasa milik Dokter Bandi.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
22
“Ruang Kehormatan” Dokter Ivan menyiapkan sebuah keluarga baru untuk Bapak. Namun, Bapak ragu bahwa orang-orang pilihan Dokter Ivan adalah keluarganya. Dokter Ivan terus meyakinkan Bapak bahwa Ibu, Anak 1, Tiga Anak Kembar, Paman, dan Bibik adalah keluarga barunya. Kelucuan timbul dari tingkah laku mereka aneh. Ternyata mereka adalah keluarga rekayasa yang digunakan Dokter Ivan untuk sebuah penelitian. Demi meraih kebebasan dari ruang kehormatan tersebut, mereka harus berperan sebaik mungkin sesuai dengan arahan Dokter Ivan. Suatu hari, mereka akhirnya diajak pergi berlibur oleh Dokter Ivan. Hal itu berarti mereka akan segera bebas, tetapi Bapak tidak boleh ikut. Bapak dapat menerima hal itu, tetapi tidak dengan anggota keluarga yang lain. Setelah meyakinkan keluarganya untuk pergi, Bapak menemui Dokter Ivan dan meminta kebebasannya. Namun, Dokter Ivan menolak. Ia bahkan mengancam Bapak untuk mengurungnya seumur hidup, jika tak mematuhi keinginannya.
2.1.2 Analisis Struktur Drama Relasi Manusia dengan Diri Sendiri Ketiga drama ini membagi peristiwa-peristiwa penting ke dalam empat bagian. Pada bagian pertama ditemukan sebuah pemaparan yang memperkenalkan satu persatu tokohnya. Bagian pertama ini penting untuk mengetahui keadaan para tokoh dalam dunia drama. Apabila memperhatikan sinopsis ketiga naskah drama ini, tokohtokohnya digambarkan sebagai sekumpulan orang depresi yang dirawat oleh seorang dokter, orang yang hidup dalam sebuah keluarga bentukan, dan orang-orang yang putus asa pada saat kiamat terjadi (lihat bagian 2.1.1). Namun, pada bagian pemaparan, keadaan tersebut belum diungkapkan secara jelas. Para tokoh tidak mengetahui keadaan mereka yang sebenarnya. Belum ada tanda-tanda yang memperlihatkan bahwa para tokoh merupakan orang yang mengalami gangguan kejiwaan atau putus asa. Ditemukan pula adanya sedikit kejanggalan yang diperlihatkan melalui lakuan para tokoh, seperti yang dikutip berikut ini.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
23
“Gagu Ngigau Galau Wagu” Setting yang terdiri dari beberapa rumah dan berbentuk perumahan dimana terlihat juga sebuah tempat yang menyerupai pos ronda. Perumahan tersebut terlihat seperti komplek pada umumnya namun seperti ada sesuatu yang disembunyikan dari suasana tersebut. Tampak beberapa orang penghuni perumahan tersebut sedang melakukan aktifitas seperti biasanya di pagi hari. Lalu keluarlah seorang dari salah satu rumah. Ibu Donna: (menghampiri Pak Yusuf) Tumben baru bangun pak… Pak Julius: Kalau gurunya kesiangan bagaimana muridnya ya? Pak Slamet: Pak Guru tadi malem begadang? …………………………………………………………………….. Adegan 2 Di tempat yang sama hanya situasi di pagi hari. Hanya yang membedakan adalah tidak ada orang yang sedang berkumpul. Pak Slamet:
Lho kok pak guru, Pak Marman, dan ibu donna belum berangkat juga? ……………………………………………………………………………… Pak Slamet: Jadi tidak ada yang berangkat kerja hari ini??? Pak Yusuf: Pak Slamet?? Pak Slamet: Saya malas nyapu jalanan pak guru, Pak Marman: Yasudah kalau begitu kita ngobrol-ngobrol saja… Semua: Mari… Ibu Donna: Saya merasa pagi kita selalu seperti ini ya?? Pak Slamet: Maksud ibu? Ibu Donna: Ya saya seperti melakukan hal yang sama setiap paginya. Begitupun dengan yang bapak-bapak lakukan… selalu sama… (2008: 2&9)
“Ruang Kehormatan” Dokter Ivan:
Selamat siang, selamat saya ucapkan kepada bapak! Hari ini saya mendengar kabar bahwa anak bapak menerima beasiswa sekolah ke luar negeri selama tiga tahun. Bapak: Anak???!! (Serius) Saya tidak pernah merasa bahwa saya mempunyai seorang anak. Jangan kira seorang anak, seirang istri pun saya tidak pernah punya. ……………………………………………………………………… Bapak: Masuk di akal juga! (hening sesaat) tuan, apakah anda pernah merasakan kejadian yang sama yang berkali-kali tuan alami dalam hidup tuan dulu? Dokter Ivan: (gugup) oh.. tentu saja pernah! (…) Bapak: Dan itu wajar? Dokter Ivan: Tentu saja wajar, lumrah… Bapak: Tapi saya merasa aneh, kejadian yang saya alami ini persis seperti saat ini kita bicara, kejadian ini rasanya sudah 15 kali berulang-ulang di setiap tahunnya, bukankah itu aneh? (2010: 1-2)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
24
Kutipan di atas memperlihatkan sebuah kegiatan yang rutin dilakukan para tokoh sehingga menimbulkan suatu pola yang secara tidak sadar menjadi bagian dari diri mereka. Tokoh-tokoh dalam dua drama tersebut mulai merasakan sebuah kegelisahan atas kejadian yang terus-menerus mereka alami. Dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu”, kelima tokoh utama digambarkan dengan latar belakang profesi yang berbeda-beda. Tokoh Pak Yusuf adalah seorang guru yang bersahaja dan ramah kepada tokoh lain. Tokoh Ibu Donna, sebagai satu-satunya perempuan di tempat itu, digambarkan sebagai seorang wanita karier yang oportunis dengan pembawaan yang sedikit centil. Tokoh Pak Marman adalah seorang tentara yang tingkah lakunya didasarkan pada semangat mengabdi bagi negara. Pak Julius adalah seorang koki dengan wawasan yang kebarat-baratan. Tokoh Pak Slamet digambarkan sebagai seorang tukang sapu jalan yang bersahaja. Percakpaan yang terjadi di antara tokoh-tokoh ini seringkali menimbulkan kebingungan sebab tidak memiliki topik utama yang jelas. Mereka hanya berbicara sesuai dengan bidang yang mereka tekuni sehingga pembicaraan antara tokoh yang satu dan yang lain tidak memilki kaitan. Adapun asal usul para tokoh dicurigai sebagai sebuah perwakilan atas peran manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Tiap profesi mewakili kelas sosial tertentu. Kecurigaan bahwa profesi mereka hanya sekadar nama, disebabkan oleh tidak adanya kegiatan yang menunjukkan bahwa mereka memang mengerjakan hal tersebut. Pada satu bagian, para tokoh diceritakan akan berangkat kerja di pagi. Namun, selalu ada alasan ganjil yang menyebabkan mereka tidak jadi pergi bekerja. kejanggalan ini yang membawa kecurigaan bahwa mereka tidak melakukan profesi yang disebutkan. Dalam kutipan yang diambil dari naskah “Ruang Kehormatan” pun ditemukan sebuah kejanggalan asal usul tokoh Bapak. Tokoh Bapak nampak tidak yakin dengan identitasnya sebagai seorang bapak. Ia berulang kali menanyakan pada Dokter Ivan tentang identitasnya tersebut. Di lain pihak, Dokter Ivan seolah-olah medoktrin Bapak dengan jawabannya. Namun, keraguan tokoh Bapak atas pernyataan Dokter Ivan justru semakin jelas terlihat. Keraguannya digambarkan melalui reaksinya dengan tokohtokoh lain—sepeti tokoh Anak 1, Ibu, Paman, dan Bibi—yang tidak dikenal, tetapi
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
25
sudah dihapal urutan kejadiannya. Reaksi para tokoh yang muncul ini pun tidak kalah anehnya sebab mereka seolah-olah dipaksa masuk ke dalam ruangan oleh orang lain— yang tidak dijelaskan siapa atau apa—seperti yang dikutip berikut ini. Ibu:
(berteriak) Tidak perlu berbuat kasar pada saya, tidak perlu mendorong-dorong saya. Saya akan jalan pada arah yang saya mau, tidak perlu dipaksa-paksa (meracau). Anak 1: Ibuuuuu….!!! (memeluk dan mencium) Ibu, saya tidak menyangka ibu ada, aku mempunyai ibu. Ibu: (senang) Aku saja tidak menyangka aku mempunyai anak (membantu ank 1 berdiri) Anakku…!!”(berteriak dan berpelukan).”ngomong-ngomong namu siapa, nak? Anak 1: Namaku Leoni, bu. Masa ibu tidak tahu. Ibu: Iya ibu tau namamu Leoni. Kan tadi, kamu sendiri yang mengatakannya. Anak 1: I ya ya Bapak: (tertawa) betul-betul keluarga yang harmonis… Dokter Ivan: Tapi keharmonisan itu tidak hadir karena setiap bagian dari keluarga menciptakan situasi yang baik antara yang satu dengan yang lainnya! Contohnya, hubungan komuinikasi yang baik antara ayah dan anak harus tetap terjaga, begitu pun dengan ibu dan anak (2010: 5)
Sedikit berbeda dengan dua drama lainnya, naskah drama “Ruang Tunggu Terakhir” tidak secara gamblang memperlihatkan repetisi kejadian yang membentuk suatu pola. Repetisi tersebut diuraikan melalui petunjuk pemanggungan setiap kali ada tokoh yang akan muncul. Di bagian awal, tokoh Saman masuk setelah adanya bencana alam dan kecelakaan dahsyat kemudian tokoh Saman bermonolog dan adegan berhenti. Tiba-tiba di antara kesunyian selepas Saman bermonolog, bencana dan kecelakaan dahsyat terjadi lagi dan muncullah tokoh Maman dan Lukman. Dari repetisi tersebut terbentuklah pola kemunculan tokoh baru yang didahului dengan bencana. Tokoh Saman pun tidak diperlihatkan mengetahui adanya pola tersebut. Bagi tokoh Saman, tugasnya adalah menunggu. Hal tersebut menjadisuatu rutinitas yang harus dijalaninya ketika ia berada di tempat tak bernama itu. Kerisauan tokoh Saman dipicu oleh ketidakpastian datangnya tokoh Man yang ditunggu. Repetisi ini tidak mengganggu para tokoh sampai pada suatu ketika, terjadi perubahan. Setelah sekian lama melakukan hal tersebut, kegiatan itu mendarah daging. Namun, mendadak, para tokoh merasa cemas dengan repetisi yang membentuk pola
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
26
dalam hidup mereka. Ada tokoh yang menunjukkan ketakutan, ada pula tokoh yang menyangkal adanya keanehan di balik repetisi itu. Pola yang mereka jalani, dapat dicurigai sebagai sebuah pertanda bahwa para tokoh hidup dalam belenggu. Pada saat mereka menyampaikan reaksi atas pola tersebut,muncullah kesadaran individu atas eksistensi diri. Perlu pula digarisbawahi bahwa dua di antara naskah drama ini menggunakan kata ‘ruang’ dalam judulnya. Yang menarik, ketiga naskah drama ini menggunakan ‘ruang’ sebagai latar peristiwa. Ruang dalam naskah drama Gagu Ngigau Galau Wagu disulap menjadi sebuah perumahan yang dihuni oleh para tokoh. Mengapa perumahan tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah ruang? Berdasarkan lakuan para tokoh serta beberapa pernyataan dari tokoh lain, perumahan tersebut merupakan sebuah kamuflase dari ruang di rumah sakit jiwa. Ruang ini digunakan oleh tokoh Dokter Bandi untuk memperhatikan kehidupan kelima tokoh tersebut. Lalu semuanya pun kembali ke rumah mereka masing-masing. Hanya tinggal dokter Bandi seorang diri. Lalu ia pun menuju keluar panggung tetapi dicegah oleh Mirna. Mirna: Pak… sampai kapan mereka disini??? Dokter Bandi: Belum waktunya… Mirna: Tapi mereka sudah lima tahun di sini… sudah waktunya mereka untuk ditransmigasikan… Dokter Bandi: Belum waktunya mirna… saya lebih mengetahui kapan mereka harus keluar dari tempat ini…mengerti kamu? Mirna: Iya saya tau pak, tetapi… (2008: 16)
Tidak jauh berbeda dengan naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu”, naskah drama “Ruang Kehormatan” pun mengubah rumah sakit jiwa sebagai rumah tinggal keluarga bentukan Dokter Ivan. Sementara itu, ruang yang dimaksud dalam naskah drama “Ruang Tunggu Terakhir” adalah sebuah tempat di mana tokoh Saman, Maman, dan Lukman berlindung dari kiamat sambil menunggu datangnya tokoh Man. Kedua naskah drama ini menggunakan kata ‘ruang’ dalam judulnya. Hal tersebut menunjukkan adanya keistimewaan kata ‘ruang’, baik yang menjadi latar maupun judul. Pada dasarnya, ruang digunakan sebagai salah satu ungkapan rasa terbelenggu—selain repetisi kejadian—yang dialami para tokoh. Ruang merupakan
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
27
sebuah tempat yang memiliki batasan dan memiliki kesan tertutup. Kelima tokoh dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” merasa terbelenggu dengan aktivitas yang terus-menerus mereka lakukan tanpa mengerti makna di baliknya. Tokoh Bapak—yang dari awal mengalami kecemasan—terbelenggu dengan identitasnya yang terasa asing. Ia menyatakan hal tersebut secara terus terang kepada tokoh dokter Ivan, seperti yang dikutip berikut ini. Bapak:
Dokter Ivan: Bapak: Dokter Ivan: Bapak: Dokter Ivan: Bapak:
(baru beberapa langkah hendak keluar ruangan).Tidak…tiiiidaaakk, saya selalu berpikir..saya tidak akan pernah bias keluar…saya pasti menemui tembok putih yang besar dan pintu yang terkunci….saya mengidap penyakit…saya mengidap penyakit apa, Nyonya?? (tertawa) Pak…pak…!!! Itu bukan penyakit!! Itu hanya perasaan saja, saya pun pernah mengalaminya. Masa??? Iya…pasti bapak merasa terkurung kan….dipenjara.? Loh…kok tau?? Pasti bapak merasa seperti seekor burung yang ditempatkan di dalam sangkar emas. Betul !!! (2010: 7-8)
Dari kutipan tersebut, ditemukan tidak adanya ikatan antara tokoh Bapak dengan ruangan yang disebut sebagai rumah milik keluarganya. Berulang kali ia menyatakan dirinya ingin pergi dari sana, tetapi ia selalu terantuk pada tembok yang besar. Ia menyebutkan bahwa dirinya seperti burung dalam sangkar. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan adanya penolakan dalam diri tokoh Bapak terhadap asal usul yang diberikan dokter Bandi kepadanya. Apabila dalam kedua drama tersebut latar diumpamakan sebagai sebuah kurungan yang berkonotasi buruk, lain halnya dengan drama “Ruang Tunggu Terakhir”. Latar yang digunakan memang sama-sama berupa ruangan. Namun, ruangan yang digambarkan pada drama ini merupakan tempat tokoh-tokohnya berlindung dari kiamat yang terjadi. Penggambaran latar seperti ini, memiliki kemiripan dengan drama Samuel Beckett “Endgame”
11
. Dalam drama absurd ini,
Beckett meletakkan tokohnya dalam sebuah ruangan yang melindunginya dari bencana
11
Lihat catatan kaki pada hlm.20
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
28
yang tengah terjadi di luar sana. Hingga akhir drama ini, tokoh dengan kiamat di sekitarnya tidak bersinggungan, tetapi di situlah terdapat poin penting dari drama Beckett. Tokoh Saman, Maman, dan Lukman pun mengalami hal yang sama. Mereka datang ke ruangan yang merupakan satu-satunya ruangan yang masih berdiri di tengah kehancuran kota. Dalam ruangan itu, mereka mengurung diri dari kebinasaan. Mereka bersembunyi sambil berharap tokoh Man sang penyelemat datang. Ruangan gelap. Pintu-pintu beraneka kelam. Botol-botol, lilin, Sampah sisa pesta mabuk berserakan. Seorang datang. (…) Saman:
Man! ... Man?! ... Dimana kamu, Man? ... Man?! ... Aku sudah sampai ... Dimana kamu? ... Man?! ... Sepi. Tidak ada jawaban. Orang itu keluar-masuk entah. Kadang Menendang sesuatu tak sengaja. Orang itu menemukan lilin Dan menyalakannya Saman:
Man?! ... Jangan permainkan aku ... Oh, aku lelah, Man! ... Panas sekali perjalanan ke tempat ini. Dimana kamu? ... Man ... Kita sudah janji bertemu ‘kan? ... Tapi, dimana kamu? ... Aku sudah sampai ... Dimana kamu, Man? ... Kamu ada dimana?! ... Man?! ... Kamu di luar atau di dalam?... ………………………………………………………………………….. Saman:
Oh, luka. Kakiku meradang terbakar, Man... Berdarah... Oh! Kulitnya terkelupas ... Jalan sudah jadi bara ... Angin sudah terlalu kencang meniupnya jadi api. Bumi terbakar, Man. Menghanguskan jalan yang tersisa. Jalan-jalan lain sudah hilang ditelan lumpur dan banjir. Kota akan terkubur. Jalan lainnya sudah tertutup tanah longsor dan putus, dibelah jurang yang dalam akibat gempa ... Tapi aku pantang menyerah, Man. Walau derita perih mendera langkahku. Meninggalkan bekas jejak darah yang segera pupus oleh hujan, mengurai darahku jadi aroma sungai sampai ke laut. Hujan sering turun belakangan ini, Man. Gelombang setinggi pohon kelapa. Dan aku berhasil sampai ke tempat ini. Bagaimana kamu, Man? ... Kita sudah berjanji bertemu ditempat ini. Tempat keberangkatan kita menuju tanah yang dijanjikan. (…) (2011: 4)
Maman: Kita sudah sampai? Lukman: Kita belum berangkat. Maman : Apakah kita sudah sampai, ditempat kita akan berangkat? Lukman: Tidak tahu. Mereka mengamati dan mencari sesuatu untuk penerang. Lukman: Saya juga berpikir begitu. Inilah tempat terakhir yang tersisa. Ruang terakhir yang ada. Saya pikir kita sudah sampai. ………………………………………………………………………
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
29 Lukman: Maman:
Kalau begitu, kita harus yakin. Atau keyakinan tidak dibutuhkan lagi. Berarti kita sudah sampai. (2008: 3-4, 9)
Bagian pertama ketiga naskah drama ini menunjukkan pemaparan yang berisi asal usul tokoh dengan situasi yang mereka alami. Melalui penggambaran alur dan sedikit temuan tentang karakter para tokoh, dihasilkanlah sebuah suasana yang penuh kecemasan dan kebingungan. Para tokoh ini dipaksa merasa nyaman berada di dalam dunia yang sebenarnya merupakan kamuflase belaka. Adapun kesadaran dalam diri mereka—yang sesekali muncul—tentang dunia palsu yang mereka huni, ditutupi dengan pola yang membuat mereka merasa menjalani kehidupan yang sudah seharusnya. Bagian kedua yang menandakan peristiwa penting dalam ketiga naskah drama ini adalah perubahan pola pada rutinitas para tokoh. Alur kemudian menanjak naik dan menunjukkan adanya perumitan masalah, ketika tokoh-tokoh ini diserbu dengan masalah yang mengganggu keseimbangan dunianya. Para tokoh dipaksa untuk keluar dari pola yang telah nyaman mereka jalani. Namun, ada sedikit pertentangan dalam bagian ini. Pada bagian peristiwa sebelumnya, para tokoh merasakan kecemasan ketika berpikir ulang tentang rutinitas yang mereka jalani. Namun, ketika rutinitas mereka sedikit berubah, mereka memperlihatkan penolakan. Memang, kesadaran atas rutinitas yang membelenggu ini, terbilang masih dalam takaran yang kecil (kecuali tokoh Bapak dalam drama “Ruang Kehormatan) sehingga timbul pendapat bahwa hal yang membuat mereka selama ini bertahan hidup dalam belenggu adalah munculnya. Akan tetapi, rasa tidak nyaman ketika rutinitas mereka diubah, memaksa para tokoh untuk mulai berpikir tentang posisi dirinya dalam pola kehidupan di tempat itu. Dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu”, perubahan tersebut ditandai dengan kemunculan tokoh Dokter Bandi dan Mirna yang tidak sesuai urutan. Kelima tokoh ini sudah terbiasa dengan urutan kemunculan yang diawali oleh Mirna dan dilanjutkan dengan tokoh Dokter Bandi. Namun, ketika Dokter Bandi dan Mirna muncul bersamaan, mereka tahu ada sesuatu yang salah. Rupanya, hal ini memicu reaksi keras dari mereka, seperti yang dikutip berikut ini.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
30
“Gagu Ngigau Galau Wagu” Dokter Bandi: Apa kabar bapak-bapak semuanya? Pak Julius: Lho Pak Kades… Lalu mereka tampak diam seperti ada yang aneh. Dokter Bandi: Lho… kenapa bapak-bapak ini pada diam semuanya? Terkejut melihat saya? …………………………………………………………………………. Pak Yusuf: Ada apa pak Kades menemui kami? Ibu Donna: Iya, tidak seperti biasanya… Pak Julius: Biasanya kan Pak Kades selalu datang setelah… Pak Marman: Kok rasanya ada yang aneh ya… ………….……………………………………………………………… Dokter Bandi: (memotong) sudah… saya akan jelaskan ke bapak-bapak semua bahwa hari ini adalah hari terakhir mbak mirna di sini…dia akan ikut program TKW ke Malaysia… Pak Marman: Maksud Pak Kades? ………………………………………………………………………….. Ibu Donna: Jelas saja mereka tidak mau minum… wong caranya saja tidak seperti yang biasa… Dokter Bandi: Maksud ibu Donna? Ibu Donna: Biasanya kan sebelum minum jamu mereka sibuk mencari catur…lalu datanglah mbak mirna dengan membawa catur dan goyangan-goyangan khas Banyumas, dan mbak mirna selalu bilang (menirukan gaya Mirna) ‘ayo bapak-bapak… kalau tidak minum jamu saya nanti tidak saya kasih caturnya lho…’ begitu pak. (2008: 17-19)
Dari kutipan di atas, hal yang paling penting untuk menjaga keharmonisan dalam dunia tokoh-tokoh tersebut adalah urutan dengan waktu yang tepat. Ketika mereka menjumpai adanya pergeseran atau kejadian yang tidak biasa, para tokoh dengan segera memberikan reaksi penolakan yang keras. Tokoh Mirna yang mereka kenal sebagai tukang jamu, harusnya muncul sendirian ketika mereka tengah sibuk mencari papan catur. Tokoh dokter Bandi yang berperan sebagai Kades, muncul setelah tokoh Mirna pergi. Namun, ketika dua tokoh tersebut muncul bersamaan, kelima tokoh nampak kebingungan. Perubahan bagi mereka adalah sesuatu hal yang baru sehingga mereka—yang selama ini hidup dalam keadaan yang serba pasti—tak dapat menyesuaikan diri dengan cepat. Sementara itu, perubahan pola yang ditemukan dalam naskah drama “Ruang Kehormatan” ditandai dengan pertengkaran tokoh Ibu dan tokoh Bapak. Pada bagian ini, tokoh Bapak diceritakan telah menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
31
bersama anggota keluarga yang dipilih oleh Dokter Ivan. Sampai pada suatu saat, tokoh Ibu merasa lelah berpura-pura menjadi istri yang bahagia. Ia mencoba mendapatkan haknya—tentang kebutuhan rohani dan jasmani—dari suaminya. Ternyata hal tersebut merupakan keadaan yang terlarang untuk dibicarakan sebab mereka semua sebenarnya memang hanya berpura-pura. Penolakan Bapak untuk berhubungan intim dengan tokoh Ibu sudah terjadi dari awal pertemuan. Tokoh Bapak menolaknya dengan mengatakan, “Saya laki-laki! Saya punya hasrat sebagai seorang laki-laki. Saya bisa saja meniduri perempuan itu! (…) saya masih punya martabat sebagai diri saya sendiri!!!” (2008: 6). Hal ini muncul dari alam bawah sadarnya yang mengetahui bahwa tokoh Ibu bukanlah istrinya yang sah. Sikap tersebut menunjukkan adanya kepribadian yang teguh dalam memegang prinsip, tidak oportunis, serta secara tidak langsung mengakui bahwa kehidupan tersebut hanyalah rekayasa. Namun, dari peristiwa itu, tokoh Bapak—dan tokoh lain—diperlihatkan tidak berdaya untuk menolak peran yang diberikan oleh Dokter Ivan. Ibu:
Bapak: Ibu:
Anak 4: Anak 3: Bapak: Anak 2 Bapak:
(membanting gelas dan nampan ditanganya, marah) kamu bisa ngomong begitu pada mereka!!. Tidak perlu berpura-pura… tidak perlu berpura-pura!!! Apa selama ini kamu tidak berpura-pura??!! Ssshhttt… bu!! Jangan di depan mereka… Biar!!! Biar mereka tau sebenarnya!!! Sebagai seorang suami semestinya kamu tau apa kebutuhan seorang istri!!! Tidak perlu saya harus mengejar-ngejar kamu, meminta-minta, saya ini istrimu, ya!!! Istrimu!!! Sementara kamu, apa kamu tidak berpura-pura pada mereka bahwa hubungan kita kelihatan baik-baik saja??!!. perasaan saya betul-betul sakit!!! (tante menghampiri dan menenangkan ibu) Kenapa yah… kenapa ayah harus berbohong pada kami, kenapa ayah harus berpura-pura?? Kami menyayangi ibu sama halnya seperti kami menyayangi ayah, mengapa ayah selama ini tega membohongi kami?? Ayah… ayah… tidak bermaksud… Ayah pembohong!!!, ayah tidak bisa dipercaya!!! Ayah… hanya ingin… (2008: 15-16)
Pilihan tokoh Bapak untuk melanjutkan hidup dalam kepura-puraan mengakibatkan kekecewaan dalam diri tokoh lain yang merasa memiliki ikatan dengan dirinya. Namun, ketika hal yang tabu tersebut dibicarakan, tokoh Bapak pun memiliki reaksi yang sama dengan kelima tokoh dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
32
Wagu”, yaitu tidak siap untuk menerima perubahan. Ia berusaha keras untuk menyembunyikan hal yang dirahasiakannya selama ini, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan di atas. Tokoh Ibu terus mendesak tokoh Bapak dan tokoh lain nampak pula antusias untuk mengetahui pembelaan Bapak. Namun, tokoh Bapak sepertinya tidak dapat mengatakan hal yang ingin disampaikannya. Adanya sikap antusias tokoh lain diduga muncul dari alam bawah sadar yang mengetahui tentang kepalsuan identitas diri mereka masing-masing. Pada bagian ini, ditemukan perubahan sikap dari tokoh lain—Ibu, Anak-anak, Paman, dan Bibi—yang tidak hanya dapat menyesuaikan diri, tetapi juga telah menjiwai peran tersebut. Perbedaan sikap mereka pada bagian ini dan bagian awal sangat kontras. Hal ini mungkin menjadi salah satu faktor pertimbangan bagi tokoh Bapak untuk menahan keinginannya menceritakan hal yang ia ketahui. Akan tetapi, bagi tokoh Bapak sendiri, tekanan yang diberikan oleh tokoh Ibu juga menjadi sebuah perubahan yang besar. Dapat dilihat dalam kutipan di atas, tokoh Bapak mengalami kecemasan seperti yang dialaminya di bagian awal. Terlihat dari gerak-geriknya dan gaya bicaranya yang terbata-bata. Padahal, selepas bagian pertama, tokoh Bapak sudah mulai dapat menyesuaikan diri dengan perannya di dalam keluarga tersebut. Sama halnya dengan tokoh bapak dalam drama “Ruang Kehormatan”, konflik pada drama “Ruang Tunggu Terakhir” dimulai ketika tokoh Saman bertemu dengan tokoh Maman dan Lukman. Sebelumnya, mereka secara terpisah sama-sama menanti seorang yang bernama Man. Dalam monolog-monolog awal tokoh Saman, diperlihatkan usahanya yang keras untuk meyakinkan dirinya akan janji Man. Ketika ia bertemu dengan orang lain yang mengaku dijanjikan hal yang sama dengan dirinya, keraguan itu muncul. Keraguan itu tidak hanya menyerang tokoh Saman, tetapi juga tokoh Maman. Para tokoh merasakan keraguan karena dihadapkan pada refleksi diri mereka—yang sama-sama menunggu Man—dalam diri tokoh lain. Nada interaksi ketiga orang ini sedikit meninggi, ditambah lagi dengan situasi sekitar yang semakin gawat. Munculnya tokoh petugas menandakan keadaan bahaya seperti yang dapat kita lihat pada kutipan berikut ini.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
33
Lukman:
Sejak tadi kami ada ditempat ini ... dan tidak melihat ada siapapun. Maman: Kami yang sedang menunggu ... Bukan kamu ! ... Pasti kamu baru datang ‘kan ?! ... Mau apa ke tempat ini ? Saman: Aku mau bertemu seseorang yang bernama Man ... Aku dan Man sudah berjanji, untuk bertemu di tempat ini ... Dan aku sudah tiba ditempat ini, ketika belum ada siapa pun di sini (...) Dan melihat kalian ada di sini ... Aku yang lebih dulu sampai di tempat ini ... Bukan kalian ! (...)Kenapa kalian datangi tempat seperti ini ? ... Lukman: Karena sudah tidak ada tempat lain ... Maman: Ini ruang terakhir yang tersisa, yang kami temukan Lukman: Pak ! ... Ssstt ... Kami menunggu seseorang, yang akan menjemput ditempat ini. Saman: Di jemput ? ... Kalian mau kemana ? ... Kami mau berangkat, menuju harapan tanah yang Maman: dijanjikan. Lukman: Pak ?! ... Sssstt ! ... Saman: Apakah orang itu bernama Man ? ... Seorang yang luka keluar dari persembunyiannya, Diikuti yang lain. Perlahan-lahan dan tetap curiga. Maman: Apa ? Saman: Apakah orang yang menjanjikan, untuk menjemput kalian ditempat ini bernama Man ? Lukman: Ya ! Orang itu bernama Man. Nama yang sama dengan nama orang yang ingin bapak temui. ……………………………………………………………………… Seorang yang gusar tampak bingung dan makin gelisah. Maman: Ya ?! Tapi, janji siapa ? ... Janji Man yang mana ?! ... Apakah kedua Man ini orang yang sama ?! Hah ?! ... Kalau Man ada dua, atau Man ada banyak, bagaimana ? ... Oh ! ... (2008: 13-15)
Dari kutipan di atas, ditemukan perubahan terhadap diri tokoh Saman atas harapannya pada tokoh Man. Ia—di bagian awal—telah berulang kali meyakinkan diri akan janji Man. Namun, ketika bertemu dengan tokoh Maman dan Lukman yang juga masih bergumul dengan kepercayaan atas janji Man, kepercayaan tokoh Saman melemah. Inilah yang disebutkan sebelumnya sebagai refleksi masing-masing tokoh pada diri tokoh yang mereka temui. Keadaan mereka yang menyedihkan baru terasa ketika melihat tokoh lain yang mengalami hal serupa. Pertemuan ketiga tokoh—yang sama-sama mendapat janji dari tokoh Man—justru tidak memperkuat kepercayaan
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
34
mereka terhadap janji tersebut, sebaliknya saling melemahkan. Selain melihat refleksi diri pada tokoh lain, hal ini juga dapat disebabkan oleh kecurigaan yang timbul dari keadaan bahaya di sekitar mereka. Pertemuan tiga karakter yang berbeda ini saling bertabrakkan. Tokoh Saman— diceritakan sebagai sahabat Man—memiiki karakter yang cenderung pasrah, ditambah lagi dengan kondisi dirinya yang terluka parah. Tokoh Maman yang paling tua di antara mereka digambarkan begitu pesimis dengan keadaan kesehatan yang buruk. Tokoh Lukman, yang dinyatakan paling muda, nampak begitu agresif menyerang tokoh Saman yang asing. Ada sedikit ketidakpercayaannya terhadap tokoh Saman yang belum dikenal. Kondisi fisik mereka yang tidak sehat serta bencana di sekeliling mereka membuat janji Man terasa sebagai satu-satunya harapan untuk bertahan hidup. Namun, setelah melihat bahwa ada pihak lain yang juga dijanjikan hal serupa oleh tokoh Man, masing-masing dari mereka merasa janji Man tidak lagi eksklusif. Tokoh Maman bahkan diperlihatkan terserang kepanikan hebat ketika tokoh Saman membicarakan janji Man. Ia tidak hanya ragu terhadap janji Man, tetapi juga mempertanyakan keberadaan tokoh Man. Selain itu, keadaan yang terus bertambah genting—digambarkan dengan gemuruh di luar dan gerak-gerik tokoh bersepatu lars yang meneror—menimbulkan tekanan terhadap kondisi kejiwaan para tokoh. Adanya tokoh Seseorang yang memvisualisasi bentuk abstrak dari rasa gusar, bingung, dan gelisah menambah intens krisis dalam bagian ini. Bagian berikutnya menunjukkan peristiwa yang merupakan puncak dari konflik yang dialami para tokoh. Klimaks dari perubahan—yang terus mengarahkan para tokoh terhadap kesadaran berpikir—akan adanya pola yang membelenggu mereka terjadi ketika para tokoh berani mempertanyakan nasib mereka. Mereka tidak lagi mengabaikan kenyataan bahwa selama ini mereka hidup dalam sebuah kepalsuan yang dikendalikan oleh ‘tuhan’ dalam dunia mereka. Tokoh ‘tuhan’ ini merupakan simbol dari kekuatan superior yang menjaga agar pola tersebut tidak hancur. Dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” dan “Ruang Kehormatan”, tokoh ‘tuhan’ adalah para dokter yang menjadikan mereka obyek penelitian kejiwaan. Dokter Bandi dan Dokter Ivan memiliki beberapa kesamaan—peran maupun karakter—dalam alur
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
35
drama. Selain berprofesi sebagai dokter, keduanya menggunakan tokoh-tokoh utama sebagai
obyek
penelitian.
Dengan
segala
cara,
mereka
berusaha
untuk
mempertahankan kekuatannya atas para tokoh, misalnya dengan ancaman atau hukuman. Sifat mereka dapat dikatakan otoriter dan absolut. Perkataan mereka menjadi sabda yang harus dipatuhi oleh para tokoh, sebab di luar itu, tidak ada kepastian tentang hidup bagi para tokoh. Hal ini memperlihatkan bahwa keberadaan mereka telah membuat esensi dari keberadaan para tokoh memudar. Tidak sepenuhnya hilang, hanya tenggelam di dalam alam bawah sadar mereka. Begitu pula dengan naskah drama “Ruang Tunggu Terakhir”, Man adalah “’tuhan bagi tokoh Saman, Maman, dan Lukman. Janji yang diberikan Man adalah alasan mereka untuk bertahan hidup. Tanpa adanya janji tersebut, kehidupan mereka yang sudah di ambang kematian mungkin tak lagi patut diperjuangankan. Namun, harapan tersebut justru membuat mereka terkungkung dalam kenyamanan menunggu. Sebenarnya, ada dua versi naskah “Ruang Tunggu Terakhir” yang dikumpulkan oleh penulis. Satu versi yang menyertakan monolog tokoh Man dan versi yang lain tanpa monolog tokoh Man. Dalam penelitian ini, digunakan versi yang menghilangkan monolog tokoh Man. Oleh sebab itu, karakter dari tokoh Man ini tidak pernah diketahui. Tokoh Man dan janjinya hidup melalui perkataan tokoh-tokoh lain. Cara para tokoh membicarakan tokoh Man, seolah-olah memperlihatkan bahwa mereka menyerahkan sepenuhnya nasib hidup kepada janji Man. Hal ini serupa dengan tokohtokoh pasien dalam dua naskah drama lainnya, mereka menghilangkan kemampuan berpikir kritis dan membiarkan Man mengendalikan hidup mereka. Bagian ketiga atau klimaks dalam naskah drama merupakan akibat dari perubahan yang dialami oleh para tokoh. Di setiap naskah drama, klimaks diwujudkan dengan cara yang berbeda. Dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu”, para tokoh akhirnya berani menggunakan akal mereka untuk menyatakan kesadaran bahwa Dokter Bandi selama ini telah merekayasa kehidupan para tokoh. Dokter Bandi: Pak Slamet: Pak Julius: Pak Yusuf:
Kenapa pak? Mbak Mirna… Iya mbak mirna… Kami hanya mau minum jamu dengan mbak Mirna
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
36 Perkataan mereka membuat Dokter Bandi marah. Dokter Bandi: Baiklah kalau begitu, kalau bapak-bapak dan ibu Donna tidak mau minum.. tidak apa-apa.. Lalu dokter Bandi langsung mengambil tindakan yang berupa stressing kepada mereka semua. Keadaan pun menjadi kacau balau. Sampai akhirnya mereka semua lelah dan merasa ngantuk sekali. Dokter Bandi: Mirna itu sudah pergi…kalau kalian tidak mau minum apa yang saya berikan...maka kalian akan terus seperti ini selamanya…bagaimana?? Kalian mau minum?? Pak Yusuf: Saya tidak mau minum jamu, saya mau mbak Mirna… Pak Yusuf mengucapkan kalimat tersebut berulang-ulang sampai akhirnya ia menangis, tapi akhirnya ditenangkan oleh teman-temannya. ………………………………………………………………………… Pak Marman: Bapak boleh memaksa kami menari sambil menyanyi, bapak boleh memaksa kami untuk bermeditasi, bapak boleh paksa kami untuk berada di tempat ini, membuat kami berada seolaholah berada di sebuah kompleks perumahan, tapi kami tidak bisa menembus dinding putih dan pintu biasa anda lalui ini. tapi anda tidak bisa memaksa kami untuk minum jamu tanpa mbak Mirna. (2008: 23-24)
Kutipan di atas memberitahukan bahwa kelima tokoh masyarakat menolak pemberian rutinitas baru. Penolakan tersebut sebenarnya tidak terjadi secara besarbesaran, melainkan dengan cara dan alasan yang sederhana. Alasan mereka menolak Dokter Bandi adalah rasa rindu pada tokoh Mirna si tukang jamu. Pendekatan yang dilakukan oleh Dokter Bandi pun terlihat tidak semulus yang dilakukan oleh Mirna sehigga tokoh-tokoh lain merasa tidak nyaman dan memberontak. Namun, alasan yang sederhana ini, menunjukkan bahwa para tokoh telah melakukan sebuah pilihan. Suatu hal yang menunjukkan adanya kemampuan untuk memutuskan mana yang baik bagi dirinya. Penolakan ini adalah hal baru yang dialami Dokter Bandi setelah ia berhasil menciptakan pola yang harus kelima tokoh ini jalani. Oleh sebab itu, reaksi keras pun datang dari Dokter Bandi. Ia tidak segan-segan menghukum kelima tokoh agar menurut padanya. Hukuman yang diberikan berupa stressing kepada kelima tokoh. Stressing ini tentu bertujuan untuk meredam emosi mereka yang meningkat. Nampaknya, stressing itu sudah kebal bagi para tokoh sehingga tidak mampu meredam kegelisahan mereka. Pada bagian ini, ditemukan benang merah antara perilaku mereka yang ganjil dengan kehidupan yang terlihat normal. Unsur paksaan
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
37
membuat tingkah laku mereka terasa dibuat-buat. Pemberian stressing pun menimbulkan pertanyaan terhadap efek samping yang diderita oleh kelima tokoh ini. Apakah ada kaitannya perilaku mereka yang aneh dengan pemberian stressing? Pada akhirnya, segala profesi dan latar belakang mereka menjadi sia-sia. Mereka menjalani itu semua sebatas formalitas untuk melengkapi syarat hidup ‘normal’. Tidak ada keistimewaan atau tokoh yang lebih menonjol karena asal usul tokoh tersebut. Kesamaan ditemukan ketika melihat bahwa tokoh guru bertindak sama seperti tokoh pengusaha, tokoh penyapu jalan sama seperti tokoh tentara, dan sebagainya. Kelima tokoh tersebut tidak lain adalah manusia tanpa identitas. Harapan Dokter Bandi untuk meredakan pemberontakan para tokoh, tidak berbuah manis. Pak Marman, mewakili tokoh yang lain, angkat bicara mengenai kehidupan mereka selama ini. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia menegaskan pada Dokter Bandi bahwa mereka semua tahu hal yang dilakukan oleh tokoh Dokter dan bersedia memberikan dirinya untuk melakukan hal tersebut. Namun, satu yang tak dapat mereka kompromikan, yaitu minum jamu tanpa Mbak Mirna. Mereka menolak untuk minum jamu kecuali jamu yang dibawa oleh tokoh Mirna. Padahal jamu yang dibawa Mirna itu tidak lain adalah obat untuk kelima tokoh yang sebenarnya pasien rumah sakit jiwa. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang menunjukkan bahwa para tokoh telah berani memilih sesuatu dalam hidupnya. Mereka berani menanggung apa pun risiko di balik pilihannya tersebut. Dalam drama “Ruang Kehormatan”, klimaks ditandai dengan keberanian tokoh Bapak membuka kebenaran mengenai keluarga palsu yang dibentuk oleh Dokter Ivan. Keberanian itu muncul setelah mengalami tekanan oleh anggota keluarga yang lain. Dari bagian awal drama ini, tokoh Bapak telah memperlihatkan kecenderungan emosi yang tidak stabil atau mudah meledak-ledak. Hal yang dapat meredakan kecemasan dan emosi yang meledak-ledak tersebut adalah perkataan Dokter Ivan. Namun, ketika ia dihadapkan pada konflik dengan anggota keluarga yang lain, Dokter Ivan tidak ada di sana. Akibatnya, tokoh Bapak tidak dapat mengatasi tekanan dari luar sehingga emosinya meledak menjadi sebuah dorongan untuk menggunakan akal sehatnya. Hal tersebut dapat dilihat pada bagian yang dikutip berikut ini.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
38
Bapak:
(hilang kesabaran) tutp (sic) mulut kalian semuanyaaaaaa!!!.Diam!!.apa kalian tidak berfikir (sic)??.apa kalian tidak berfikir bahwa kalian semuanya sedang berpurapura??!!??. Anak 1: (menangis) apa maksud ayah?? ……………………………………………………………………………… Bapak: Sekarang kalian telah mendengar sendiri… kalian semua bisa ambil kesimpulan. Saya bukanlah ayah kalian, karna (sic) ibu kalian itu tidak pernah melahirkan kalian. Dan kamu juga… Jhon… Elsye…kalian bukanlah suami istri yang sebenarnya seperti halnya aku dengan perempuan itu. Tetapi kita semua harus tetap berpurapura!. Kita harus tetap berpura-pura bahwa kita adalah keluarga,karna (sic) dengan jalan seperti inilah kalian semua dapat pergi dari tempat ini. Kalian bisa kembali pulang kepada keluarga kalian yang sebenarnya. Jika kita tetap mempertahankan kepura-pura ini. Mereka akan menganggap kalian sembuh dan dapat dikembalikan pada keluarga kalian masing-masing. Hanya aku sendiri yang tidak akan pulang menemui keluargaku. Aku adalah tumbal bagi eksperimen mereka. Aku juga rindu pada anak-anakku dan istriku yang sebenarnya. Aku ingin sekali jumpa mereka. Tapi mereka malu menemuiku disini…alas an (sic) itulah yang membuat mereka tetap menahanku disini….” (mengalihkan focus)”bagaimana, apa kaliantidak kangen sama suami kalian?... sama… isrtimu, Jhon??...sama kedua orang tua kalian… ayah… ibu?? (2010: 1618)
Dari kutipan di atas, ditemukan alasan mereka untuk berpura-pura selama ini, yaitu keinginan untuk bebas dari tempat tersebut. Di bawah alam sadar para tokoh, mereka tahu bahwa mereka tidak memiliki ikatan keluarga. Namun, adanya syarat untuk bebas tersebut, membuat para tokoh memilih untuk tunduk pada Dokter Ivan. Pada bagian selanjutnya dari kutipan di atas, dikatakan bahwa tokoh Bapak memperlihatkan perbedaan yang disebabkan oleh tidak adanya hubungan darah di antara mereka. Anak kembar yang tidak mirip. Paman dan Bibi yang ternyata sudah memiliki keluarga asli di luar tempat tersebut. Dan rencana Anak 1 untuk sekolah di luar negeri, yang tak lain adalah rekayasa Dokter Ivan. Dari kenyataan terbuka satu persatu, usaha Dokter Ivan untuk membuat keluarga ini terlihat seperti keluarga ‘normal’ menjadi jelas. Ia menggunakan kepalsuan dan angan-angan yang besar sebagai benang merah di antara para tokoh. Pengakuan tokoh Bapak merupakan caranya melawan kekuasaan Dokter Ivan atas diri mereka. Walaupun tidak dilakukan
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
39
secara langsung seperti dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau”, tetapi keberanian Bapak untuk mengakui bahwa mereka semua terbelenggu dalam pola yang dibuat oleh Dokter Ivan adalah caranya untuk melawan keabsolutan tokoh ‘tuhan’ dalam dunianya. Dalam naskah drama “Ruang Tunggu Terakhir”, kehidupan para tokoh dibentuk dari harapan mereka atas janji Man. Ditemukan pada bagian selanjutnya, ketiga tokoh ini bersembunyi dalam ruangan sambil menantikan kedatangan Man. Sementara itu, di luar ancaman bencana dan petugas terus-menerus meneror kehidupan mereka. Maman:
Kamu sendiri, bagaimana ? Hah ?! ... Bagaimana ? Jangan berbohong ! ... Siapa Man itu ? ... Coba ceritakan siapa Man itu ! ... Jangan dikurang-kurangkan ! ... Dan jangan dilebih-lebihkan ! Saman: Man adalah sahabatku sejak kecil ... Kami selalu bersama melakukan apa pun ... Belajar, bermain, bertualang, dan kami saling percaya pada banyak hal, sampai kami meyakini pekerjaan yang berbeda ... Maman: Apakah Man tidak pernah berbohong ? Saman: Ya ! Itulah yang selalu disampaikan Man. Yang tiada henti dan tak kenal putus asa ia perjuangkan sejak dulu. Kita harus menyelamatkan diri kita ! Kita harus menyelamatkan kemanusiaan kita ! Tiba-tiba ledakan dari luar, melemparkan sampah limbah Industri & tanah, pecahan beton dan potongan kayu ke dalam. Ada beberapa potongan tubuh manusia yang sudah membusuk. Orang-orang terkejut dan lilin mati. Sepi. Sirine. Langka Sepatu lars. Orang-orang terpencar bersembunyi. Silhuet Petugas dengan sorot senter dari luar. Mereka bertatapan. Lukman & saman: Tidak. Mereka diam. Sepi beberapa saat. Saman: Kehancuran yang diramalkan Man, tidak separah kenyataan yang terjadi ... Kenyataan sekarang ini menunjukkan, semuanya menjadi lebih ganas dan menggila ... Dengan mata dan cakar iblis berseringai Lukman : Saya juga berpikir begitu. Untuk perjuangan Man yang teguh! Kita harus mendukungnya ! Kita harus mendoakannya ! Semoga Man dapat menghadapi semuanya! Semoga Man selamat menuju janjinya ! (2008: 15-18)
Pada bagian kedua, terjadi peristiwa yang mempertemukan tokoh Saman dengan tokoh Maman dan Lukman. Pada pertemuan pertama, harapan dan kepercayaan mereka terhadap janji Man melemah. Namun, pada kutipan di atas (bagian selanjutnya
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
40
dari peristiwa bagian kedua), mereka akhirnya saling menguatkan dalam menanti terwujudnya janji Man. Janji Man seolah menjadi kekuatan bagi mereka untuk bertahan di dalam ruangan tersebut, walaupun di sekitar mereka ancaman terjadi. Pada titik tersebut, mereka telah mengalami sebuah pola yang ditemukan pula dalam naskah drama lainnya. Kehidupan yang terus berputar pada satu titik tanpa adanya pertimbangan dari akal sehat terhadap keadaan yang sebenarnya terjadi. Mereka terbelenggu dalam ruangan tersebut. Dalam naskah drama “Ruang Tunggu Terakhir”,
bagian ketiga yang
menunjukkan puncak dari konflik, ditemukan pada peristiwa para tokoh yang mencoba ke luar dari ruangan tersebut. Ruangan yang selama ini melindungi mereka dari kenyataan di luar sana, harus mereka tinggalkan demi mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Janji Man adalah membawa mereka untuk pergi ke tanah yang baru. Di tempat itu, mereka dijanjikan kehidupan yang lebih baik. Namun, dalam penantian mereka, para tokoh sadar bahwa janji Man semakin lama semakin sulit untuk terwujud tanpa adanya usaha dari mereka. Usaha tersebut diwujudkan dengan meninggalkan ruangan yang awalnya dijadikan tempat bertemu, agar mereka dapat melihat tandatanda alam yang menunjukkan kedatangan Man. Mereka kembali lagi terpaku. Lukman: Kita tidak punya pilihan ! Saman: Ya ! Kita harus segera keluar dari ruangan ini ... Tapi kita harus sangat berhati-hati ... Lukman: Ya ! Kita harus sangat berhati-hati Orang-orang memandang langit merah dan bulan purnama dibelakang legam silhuet monumen nasional. Angin berhenti. Suaranya tak terdengar lagi. Ada klakson kapal laut akan berangkat. Dibentangan horison tampak melayari kelam. Saman: Inilah saatnya ... Lukman: Saat yang dijanjikan Man untuk menemui kita ... ……………………………………………………………………………… Orang-orang menunggu. Mereka semakin lemah. Orang yang tadi gusar sudah terkulai. Lilin hampir mati. Orang yang luka bersandar. Orang yang membawa ransel duduk menunduk. Maman : Sejak masih jabang bayi, aku sudah menunggu, kapan dilahirkan. Sejak dilahirkan, aku sudah menunggu, sampai kapan aku dibesarkan. Selama dibesarkan aku sudah menunggu, kapan menjadi dewasa(…) Dan kembali aku menunggu, untuk
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
41 berangkat ke tempat ini. Setelah menempuh perjalanan sangat berat yang hampir membunuhku, aku sampai untuk menunggu lagi. Menunggu dijemput menuju tanah yang dijanjikan itu, satusatunya harapan yang ada yang aku punya. Hanya itu ! Disini aku sudah menunggu ... sampai tidak tahu lagi menunggu. Aku sudah kehilangan ... diriku sendiri... Habis sehabis-habisnya diriku ! ... Aku lelah ! ... Lelah ... Lelah sekali ... Apakah ... masih menunggu ? ... Apakah... kita ... masih ... menunggu ? ... Aku ... berpikir ... sudah ... sampai ... (2008:19-26)
Monolog tokoh Maman dalam kutipan di atas merupakan sebuah pernyataan atas keinginannya untuk menjadi manusia yang tidak terikat pada hal apa pun, termasuk janji Man. Pada titik tersebut, para tokoh merasa lelah untuk terus berharap dan memutuskan membebaskan diri dari segala bentuk kepasrahan mereka. Selama ini, para tokoh mengandalkan janji Man untuk melanjutkan hidup. Namun, setelah peristiwa tersebut, mereka memutuskan untuk pergi dan menentukan sendiri nasibnya. Tindakan tersebut mengubah pola yang selama ini mereka jalani. Pada bagian tersebut—secara tidak langsung—para tokoh melawan kekuatan dari tokoh Man yang selalu mereka andalkan, seperti perlawanan tokoh Bapak dalam naskah drama “Ruang Kehormatan”. Namun, di saat mereka memutuskan untuk meninggalkan zona nyaman tersebut, mereka dihadapkan pada kenyataan yang buruk. Para tokoh lupa bahwa bahaya mengincar mereka. Kiamat yang terjadi dapat menyebabkan kematian bagi mereka. Konsekuensi dari keputusan mereka untuk ke luar dari penantian adalah menghadapi kekacauan tersebut. Kesadaran mereka atas risiko pilihan tersebut sama dengan yang dialami oleh kelima tokoh “Gagu Ngigau Galau Wagu”. Saman:
Man belum sampai ? ... Sampai kapan ? ... Man ! ... Jangan mempermainkan aku, Man ! ... Hati ... ku ... bisa ... terbakar ... kalau ... kupikir ... kau mempermainkanku ... Man ! ... Jangan, Man ! ... Kakiku luka dan membusuk ! ... Aku akan kehilangan kakiku, Man ! ... Aku akan kehilangan kakiku ! ... Aku akan kehilangan kakiku ... Aku akan ... kehilangan ... Tiba-tiba ledakan. Bom lagi. Tiang ruangan tumbang menimpa kaki orang yang luka. Langit-langit ruangan rubuh menimpa orang yang tadi gusar dan sudah terkulai. (…) Sirine. Langkah sepatu lars. (2008: 27)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
42
Bagian keempat dari rangkaian peristiwa di dalam naskah-naskah drama ini merupakan peleraian dari konflik yang dialami para tokoh. Setelah konflik para tokoh memuncak, alur perlahan turun dengan ditandai oleh rutinitas para tokoh yang kembali seperti semula. Dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” dan “Ruang Kehormatan”, para tokoh terlihat kembali melakukan aktivitas yang sudah dibuat oleh dokter mereka masing-masing. Dapat dikatakan, kegiatan para tokoh dalam bagian ini mirip dengan adegan di bagian awal. Untuk naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu”, kesamaan tersebut muncul melalui pola dialog antartokoh. Suasana yang sedikit aneh dari biasanya. Para penduduk tampak lemas dan tidak bergairah. Tapi mereka tetap melakukan aktifitas seperti biasanya. Ibu Donna: (Menghampiri Pak yusuf) baru bangun Pak Guru… Pak Julius: Bagaimana muridnya ya? Pak Slamet: Tadi malem begadang? Pak Marman: disiplin Pak yusuf: Main catur, kesiangan… Ibu Donna: Konsultasi masalah tidur bangun pagi…ada obat… Pak Slamet: Kesemapatan dalam kesempitan (2008: 24)
Kutipan di atas merupakan cuplikan dari adegan pada bagian keempat—setelah klimaks—yang ternyata memiliki kesamaan pola dengan urutan dialog pada bagian pertama dalam drama ini. Walaupun isi dialognya menunjukkan ada pengulangan dari bagian pertama, tetapi dituliskan pula di sana bahwa suasana pada bagian tersebut terasa aneh. Keanehan situasi tersebut dapat dibandingkan dengan bagian berikut ini. Setting yang terdiri dari beberapa rumah dan berbentuk perumahan dimana Terlihat juga sebuah tempat yang menyerupai pos ronda. Perumahan tersebut terlihat seperti komplek pada umumnya namun seperti ada sesuatu yang disembunyikan dari suasana tersebut.Tampak beberapa orang penghuni perumahan tersebut sedang melakukan aktifitas seperti biasanya di pagi hari. Lalu keluarlah seorang dari salah satu rumah. Ibu Donna: (menghampiri Pak Yusuf) Tumben baru bangun pak… Pak Julius: Kalau gurunya kesiangan bagaimana muridnya ya? Pak Slamet: Pak Guru tadi malem begadang? Pak Marman: Kedisiplinan itu penting lho pak! Pak Yusuf: Saya main catur sampai larut sekali, jadi bangunnya kesiangan begini… Ibu Donna: Wah pak, coba konsultasi sama saya masalah susah tidur dan susah bangun pagi…saya ada lho pak obat untuk kita yang susah tidur dan susah bangun pagi…
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
43 Pak Slamet:
Ibu donna memang tidak bisa melihat kesempatan dalam kesempitan. (2008: 2)
Dari dua kutipan di atas, ditemukan persamaan dan perbedaan di antara dua bagian yang berbeda dalam satu naskah. Kutipan pertama merupakan keadaan pascaklimaks, sedangkan kutipan kedua menunjukkan keadaan praklimaks. Jika diperhatikan dengan seksama, kutipan isi dialog pada kutipan pertama adalah inti dari percakpaan di kutipan kedua. Perbedaannya terletak pada cara para tokoh menyampaikan dialog tersebut. Pada kutipan kedua, para tokoh menyampaikannya dengan bersemangat sehingga terasa ada keakraban di antara mereka. Percakpaan tersebut adalah bentuk ramah-tamah di antara tetangga yang dilakukan untuk menjalin tali kekerabatan di lingkungan perumahan. Namun, di kutipan pertama, semangat dan rasa keakraban itu memudar. Dituliskan pada bagian petunjuk pemanggungan bahwa suasana berubah, penduduk nampak lemas dan tidak bergairah. Bagian tersebut dilihat sebagai penanda bahwa titik balik pada bagian ketiga menghasilkan rutinitas yang sama dengan suasana yang berbeda. Hal serupa terjadi dalam naskah drama “Ruang Kehormatan”. Para tokoh kembali menjalankan perannya sebagai bagian dari keluarga bentukan Dokter Ivan. Tidak ada anggota keluarga yang menunjukkan perilaku berbeda setelah terungkapnya kepalsuan identitas mereka. Hanya tokoh Bapak yang diperlihatkan mengalami perubahan tingkah laku, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut ini. Anak 1:
Kenapa sih, nyonya? Kita sekarang mau tamassya, tapi harus membawa semua pakaian kita? Dokter Ivan: Oh… itu! Soalnya, kita akan jalan2 keluar kota selama 3 bulan lebih, jadi penting dong membawa baju yang banyak!!! (mencoba meyakinkan) ………………………………………………………………………………… ……… Bapak: kalian jangan hiraukan ayah, ayah memang harus tinggal disini, dan kalian semua apa tidak ingin melihat pohon, gunung, pantai, dan bintang-bintang? Anak 3: tentu dong, yah! Bapak: ya sudah, cepat bantu ibu, tante, dan paman kalian berkemas bantu bawa tas mereka!!! Semua: oke, boss…!! …………………………………………………………………………………
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
44 Angkat tangan, jangan bergerak!” (semua angkat tangan kecuali nyonya) saya adalah perampok kelas kakap!, macem-macem, gue dorr lu semua!!! Dokter Ivan:Irma!! Suster: Iya, dok! Dokter Ivan:Kamu tolol!, kenapa dia lepas dari pandangan kamu, dan dia bisa masuk keruangan ini!!! Suster: Aa..eh..maaf dok..saya..salah..saya rela dihukum..potong gaji..atau diskors.. Dokter Ivan:Persetan dengan itu semua!!!, bawa dia keluar, dan segera bersihkan areal luar, jangan sampai keluarga ini melihat orangorang berseragam seperti ini!. Itu akan membuat mereka “Trauma” kembali! Suster: Iya, Dok!!!”(membawa orang gila itu keluar, dengan lebih halus, tidak dipaksa) Dokter Ivan: Nah…sekarangt sudah siap berangkat? Anak-anak:Siaaaaaap!!!! Bapak: (menbghampiri nyonya) Nyonya izinkan saya berbicara sebentar kepada mereka. Bukankah ini terakhir kalinya saya, melihat mereka? Dokter Ivan: Waktu saya sempit, (agak kesal), tapi silakan…dan tolong dipercepat!!! (2008: 21-23) Org. Gila:
Pada kutipan di atas, ditemukan perubahan sikap tokoh Bapak. Ia terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Ketika tokoh Dokter Ivan mengajak anggota keluarga yang lain pergi, tokoh Bapak tidak terserang kepanikan seperti yang sebelumnya terlihat. Reaksi keras justru muncul dari tokoh anggota keluarga yang lain. Mereka menginginkan tokoh Bapak untuk ikut bersama mereka karena merasa bagian dari keluarga tersebut. Pada bagian ini, ditemukan pula adegan yang memberitahu tentang kondisi sebenarnya dari tempat tersebut, yaitu rumah sakit jiwa. Hal tersebut ditunjukkan dengan kemunculan pasien lain di tengah mereka. Kemunculan tokoh Org Gila ini seharusnya dapat memicu keributan di antara tokoh lain. Namun, tidak adanya reaksi dari tokoh lain, menandakan bahwa mereka memang telah mengetahui rekayasa yang dibuat oleh Dokter Ivan. Tokoh Bapak pun telah mengingatkan mereka—pada bagian ketiga—bahwa untuk dapat pergi dari tempat tersebut, mereka harus mengikuti peran yang diinginkan oleh Dokter Ivan kepada masing-masing tokoh. Oleh sebab itu, tokoh lain memilih untuk mengabaikan saja kejadian tersebut agar proses kebebasan mereka tidak terganggu.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
45
Bagian yang menyatakan peleraian konflik dalam naskah drama “Ruang Tunggu Terakhir” ditunjukkan dengan kedatangan tokoh Iman. Iman adalah adik dari tokoh Man yang mereka tunggu selama ini. Kedatangan tokoh Iman seolah mengisyaratkan adanya pertanda baik dari janji Man. Para tokoh yang digambarkan tengah terdesak dalam situasi yang gawat, dapat sedikit bernapas lega setelah Iman muncul. Hal tersebut terlihat dalam bagian drama yang dikutip berikut ini. Keharuan terjaga teriakan dari luar mencari-cari. Silhuet orang mencari-cari. Memanggil-manggil perlahan, hampir berbisik. Bisikan jauh yang sampai. Os Iman: ooii ! ... Ada orang di situ ? ... Oooii ! ... Orang yang di dalam terkejut dan hendak bersembunyi, tapi Tidak sanggup bergerak dan meninggalkan orang yang lain. Orang yang diluar masuk melewati pintu-pintu, dengan tas Selempang di pundaknya mencari. Iman: ada orang di sini ? ... Saya membawa pesan dari man ! ... Halo ?! ... Mereka saling menemukan dan bertatapan. Iman: eh ! ... Bang saman ! Saman: iman ! ... Oh ! ... Mereka berpelukan hangat. Dengan keharuan yang dalam. ……………………………………………………………………………… Iman: bang man berpesan ... Menugaskan kepadaku ... Untuk ... Menjemput abang ... Bang man ... Minta maaf, bang ... Bang man ... Minta maaf ... Tidak ... Bisa ... Datang ... Orang yang tidak bisa merasakan kakinya menundukkan Kepala. Hampir tak mampu menahan tangis. Saman: ya ! Ya ! ... Terima kasih, iman ! ... Terima kasih ! ... Oh ! ... Man ... Akhirnya ... Begitu akhirnya, man ... Tapi ... Kamu ... Atau iman ... Adalah ... Untuk janji ... Dan itu sama, man ... Dan itu janji ... Janji itu tetap terjaga, man ... Janjimu tetap sampai... Dan ... Pribadi ... Tetap teguh ... Kamu teguh dengan janjimu, man ... Sepi beberapa saat. Lukman: perjuangan harus dilanjutkan ! ... Perjalanan ini harus diselesaikan, pak ! ... Api menyala dalam dadaku ... Kita harus sampai ! ... Kita harus sampai, pak ?! ... Kita harus sampai ... Saman: ya ! Matahari sudah bersinar di tempat ini ! ... Ayo ! Kita berangkat ! Mengarungi jalan bersama matahari ... Untuk man yang teguh ! Kamu sudah sampai, man ! ... Kami mendoakanmu Tiba-tiba ledakan. Bom lagi menghancurkan lebih hancur ruangan itu. Pintu rubuh berantakan. Menimbun dan menumpuk semuanya. Ruangan terbuka terang benderang. Ruang tunggu terakhir luluh lantak hancur rata. (2008:29-32)
Ada tiga hal baru yang ditunjukkan dalam kutipan di atas, yaitu tak ada lagi konflik di antara ketiga tokoh, harapan mereka atas tanah yang dijanjikan Man menjadi
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
46
nyata, dan kehancuran ruang yang selama ini mengurung mereka dari situasi di luar. Pada bagian tersebut, terlihat bagaimana ketiga tokoh ini membangun kerja sama yang baik dalam mewujudkan harapan mereka. Tak ada lagi kecurigaan atau keraguan di antara mereka. Tokoh Lukman yang diceritakan paling muda dan kuat di antara mereka, dapat membantu kedua tokoh lain untuk bertahan hidup. Saman dan Maman yang sudah berusia lanjut pun mempercaya tokoh Lukman untuk membantu mereka mengatasi keadaan mereka yang buruk. Pandangan negatif yang biasa dilontarkan oleh tokoh Maman dapat dinetralisir melalui pandangan positif dari Lukman. Yang kedua, harapan mereka atas tanah yang dijanjikan Man tak lagi diragukan. Tokoh Iman yang datang membawa kabar kematian tokoh Man memutuskan belenggu yang membuat para tokoh berada dalam kepasrahan. Kini, tanpa adanya tokoh Man, mereka dapat melangkah dengan lebih pasti untuk menemukan tanah baru tersebut. Adapun ruangan tempat mereka berlindung yang hancur menjadi sebuah simbol dari awal baru yang harus mereka tempuh. Tak ada lagi penantian panjang, yang ada hanyalah kesempatan untuk pergi dari tempat tersebut. Ketiga hal tersebut memberikan suasana baru bagi alur drama ini yang dari awal digambarkan begitu kelam. Terasa ada semangat baru dari para tokoh yang memberikan sebuah kenyataan penuh harapan. Seketika itu pula, matahari menyinari tempat tersebut. Kemunculan matahari ini memberikan pertanda baik bagi nasib para tokoh. Dalam hal penyelesaian, drama-drama absurd kadang memiliki akhir yang tak berhubungan sama sekali dengan masalah pada bagian awal. Dari ketiga naskah drama yang diteliti, empat bagian peristiwa di dalamnya tidak mengarah pada satu kesimpulan yang memberikan kejelasan akan nasib para tokoh. Kebingungan dan pertanyaan yang dihasilkan, menurut Scholes, dilakukan untuk mencapai maksud dan tujuan dari penulisan drama tentang keberadaan manusia (1978). Naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” dan “Ruang Kehormatan” tidak menunjukkan adanya akhir yang bahagia bagi tokoh utama mereka. Namun, hal tersebut tidak berarti pula bahwa para tokoh berakhir tragis. Mereka hanya disebutkan kembali melakukan kegiatan seperti di awal. Tokoh dokter yang menjadi pengendali kehidupan mereka memberikan solusi bagi perubahan yang sempat mengganggu
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
47
rutinitas para tokoh. Tokoh Dokter Bandi (“Gagu Ngigau Galau Wagu”) mencoba menggantikan sosok Mirna dengan orang lain. Sementara itu, tokoh Dokter Ivan mengancam tokoh Bapak agar tetap mengikuti aturan main yang ditetapkannya. Hal yang dilakukan oleh kedua tokoh ini tentu saja tidak dapat dikatakan menjadi penyelesaian dari masalah yang dialami oleh para tokoh. Mereka justru membuat masalah tersebut kembali berulang, seperti yang diperlihatkan dalam kutipan berikut ini. Dokter Bandi: Tugas kamu adalah menggantikan peran saya sebagai tukang jamu…lakukan seperti apa yang saya contohkan tadi… Asisten: Tapi saya kan laki-laki dok… Dokter Bandi: Saya juga laki-laki…jadi menurut saya tidak ada masalah…lagipula mereka semua juga tidak akan tau anda lakilaki atau perempuan… Lalu keluarlah semuanya dari dalam rumahnya masing-masing. Dan mereka terkejut melihat bahwa ada orang baru di dalam lingkungan mereka. Adegan tersebut mengakhiri pementasan. (2008: 26)
Dari kutipan di atas, ditemukan sebuah kenyataan bahwa identitas diri seorang tokoh tidak penting. Hal yang membedakan satu tokoh dengan tokoh lainnya adalah fungsi mereka dalam masyarakat. Esensi dari keberadaan diri mereka tidak diakui. Hal tersebeut diwujudkan dengan pemeranan tokoh Mirna si tukang jamu yang dimainkan oleh Dokter Bandi. Kelima tokoh masyarakat tidak memberikan reaksi penolakan kepada Dokter Bandi yang berperan sebagai Mirna sebab tingkah laku, waktu kemunculan, dan fungsinya sama seperti Mirna. Namun, di bagian akhir, ketika para tokoh muncul dan melihat ada tokoh yang baru di dunia mereka, barulah diperlihatkan adanya reaksi. Hal ini diduga menandakan bahwa konflik utama dalam naskah drama ini terletak pada ketidakmampuan seorang tokoh mengidentifikasi dirinya. Akan tetapi, bagian setelah para tokoh menemukan adanya tokoh baru, tidak lagi djelaskan. Naskah drama ini memberi akhir yang terbuka bagi nasib para tokoh Bapak: Dokter Ivan:
Tapi saya sudah merasa sehat!!!, saya punya anak dan istri sama seperti halnya mereka! Kamu memang sehat!, kamu sudah pulih! Tapi kamu membutuhkan surat keterangan sehat jika kamu mau keluar dari tempat ini, tapi untuk itu kamu masih perlu bersandiwara selama 20 tahun lagi!!! Jika kamu membangkang, kamu bisa lebih lama di tempat ini!!!
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
48 Bapak: Dokter Ivan: Bapak:
Tolong saya, dokter!!! Rumah ini sudah seperti penjara bagi saya!, saya tertekan berada disini 15 tahun lebih!!! Tunggu 20 tahun lagi atau tinggal selama-lamanya!?!? (pergi) Dokter…tolong lah dok… dokter… dokter!!!! (2010: 23-24)
Dari kutipan di atas, ditemukan kenyataan bahwa tokoh Bapak sebenarnya tidak mengalami gangguan kejiwaan apa pun. Dengan berada di dalam ruangan tersebut, ia justru dipaksa untuk berubah menjadi orang lain. Hal ini memicu munculnya kemarahan dari tokoh Bapak yang menginginkan kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri. Akan tetapi, kekuatan Dokter Ivan mengungguli keberanian Bapak dalam memperjuangkan kebebasannya. Pada akhirnya, masalah yang dihadapi tokoh Bapak, tidak terjawab. Ia tetap harus menunggu di dalam ruangan itu. Tidak dijelaskan pula bagaimana Dokter Ivan akhirnya menjawab kemauan Bapak. Satu hal yang menghalangi langkah Bapak untuk bebas adalah ancaman yang diberikan oleh Dokter Ivan. Dengan melakukan ancaman tersebut, ia sebenarnya tengah menyatakan kendali atas diri tokoh Bapak. Sementara itu, bagian penyelesaian dalam naskah drama “Ruang Tunggu Terakhir” merupakan awal baru bagi kehidupan para tokoh. Setelah di bagian sebelumnya, mereka mendapat pencerahan dengan kedatangan tokoh Iman, kini mereka diberi kesempatan untuk memulai pencarian tanah yang dijanjikan Man. Walaupun mereka kini tak lagi dapat mengandalkan tokoh Man—karena ia dikabarkan telah mati—mereka justru terlihat lebih bersemangat dalam usaha menemukan tanah yang baru. Tanah baru tersebut adalah harapan baru bagi mereka untuk keluar dari keadaan yang kacau di tempat mereka sekarang. Langit merah dan bulan purnama. Silhuet orang-orang muncul memandang langit merah dan bulan purnama. Kabilah orang-orang miskin dan tertindas. Para korban beragam bencana, gelandangan, pemabuk dan manusia jalanan. Mereka yang tertindas dan dipinggirkan yang terluka dan sembunyi. Diam dan sepi beberapa saat. Hanya memandang langit. Redup. Langit merah mencapai malam dan gelap. Orang-orang beranjak pergi. Berangkat menuju harapan dan janji. Tanah para sahabat yang luhur. Tanah yang dijanjikan. Ruang tunggu terakhir selesai sampai di sini. Semoga ! (2008: 34)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
49
Dari kutipan di atas, gambaran tentang harapan diwujudkan dengan tari-tarian oleh tokoh Orang-orang serta munculnya bulan purnama yang menjadi penanda kedatangan Man—sebelum ia dikabarkan mati. Tokoh Maman, Lukman, dan Saman tidak lagi menjadi pusat dari cerita tersebut. Pada bagian ini, semua yang berada di tempat tersebut sama-sama berharap akan adanya kesempatan untuk sampai di tanah yang dijanjikan. Namun, sama seperti dua naskah drama lainnya, nasib mereka tidak ditentukan dalam bagian penyelesaian ini. Akhir dari alur drama merupakan akhir yang terbuka sehingga siapa pun dapat menebak hal yang terjadi pada tokoh-tokohnya. Jika diwujudkan melalui grafik maka ketiga alur drama-drama ini akan menjadi seperti yang berikut ini. GNGG
14
RK
RTT
12 10 8 6 4 2 0 PAPARAN
GAWATAN
KLIMAKS
LERAIAN
SELESAIAN
Gambar 2.1 Alur Tiga Drama Relasi Manusia dengan Diri Sendiri
Dari grafik alur di atas, dapat diperhatikan bahwa ketiga drama mencapai titik klimaks yang sama walaupun berangkat dari tingkat ketegangan paparan yang berbedabeda. Pada drama “Ruang Kehormatan” sudah terasa ada ketegangan sejak di bagian paparan. Ketegangan dalam hal ini tentu saja sifatnya sebagai eksposisi untuk memperkenalkan tokoh dan bagian-bagian lainnya. Konflik mulai menguat pada bagian gawatan dan ketiga drama mencapai titik yang sama. Setelah klimaks, adeganadgen mulai turun perlahan hingga bagian akhir mencapai titik netral kembali. Hal ini
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
50
memperlihatkan bahwa ketiga drama ini sengaja menyusun pembagian alur seperti di atas sehingga dapat mendukung terciptanya suasana dalam drama. Adapun suasana yang nampak dalam ketiga drama, berkaitan erat dengan masalah utama yang dibicarakan, yaitu tentang eksistensi manusia. Masalah ini muncul secara tersirat melalui pembagian peristiwa dalam ketiga drama, dialog, serta posisi hubungan tokoh-tokohnya. Cara dari ketiga naskah drama ini melakukan pembagian peristiwa— yang terdiri atas paparan, perumitan, klimas, dan selesaian—merupakan sebuah pembabakan yang sama dengan cara para tokoh superior dalam drama—Dokter Ivan, Dokter Bandi, dan Janji man—membagi kehidupan tokoh-tokohnya. Pola ini terus berputar sebab pada bagian selesaian, peristiwa kembali lagi ke awal. Perputaran yang terus-menerus kemudian menjadi sebuah belenggu yang berujung pada kesia-siaan. Para tokoh terjebak dalam kehidupan yang tidak memiliki tujuan atau garis akhir sebab bentuk pola kehidupan mereka menyerupai lingkaran. Dalam dialog-dialog para tokoh, disampaikanlah pemikiran dan perasaan mereka yang hidup dalam lingkaran tersebut. Seperti pada peristiwa pertama dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” (lihat bagian 2.1.2: 5), lima tokoh pasien menyampaikan kebingungan mereka dengan peristiwa yang selalu sama dalam kehidupan yang dijalani. Tokoh-tokoh ini merasakan bahwa ada sesuatu yang membelenggu di balik rutinitas yang mereka jalani. Pola tersebut diciptakan oleh tokoh superior, yaitu Dokter Bandi (“Gagu Ngigau Galau Wagu”), Dokter Ivan (“Ruang Kehormatan”, dan Man (“Ruang Tunggu Terakhir”). Para tokoh dipaksa untuk tunduk pada kendali mereka. Mereka hanya menjalankan kehidupan sesuai dengan fungsi peranan tokoh di dalamnya. Hal tersebut menimbulkan suasana yang sepi. Para tokoh terasing dari dirinya dan melebur dalam suatu pemeranan yang massal (Hassan 1989: 36). Inilah titik di mana terjadi perdebatan tentang esensi keberadaan mereka sebagai individu atau eksistensialisme 12para tokoh. Ketika para tokoh dihadapkan pada pilihan, mereka tak dapat memilih bagi diri mereka sendiri karena hilangnya ke-aku-an dalam diri para tokoh.
12
Lihat Fuad Hassan 1989: 31-37, Berkenalan dengan Eksistensialisme. Bab 1: Pemikiran Soren Kierkegaard tentang Eksistensialisme.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
51
2.2 Drama tentang Relasi Manusia dengan Kekuasaan Drama-drama yang berbicara mengenai kekuasaan isinya dekat dengan protes, sindiran, dan perenungan atas ketimpangan sosial yang menjadi akibat dari kekuasaan yang lalim (Damono 2012: 62). Hal ini dapat timbul dari masalah sehari-hari, seperti kemiskinan, kelaparan, dan ketidaksejahteraan kehidupan masyarakat. Drama-drama yang ditulis oleh Ratna Sarumpaet atau Nano Riantiarno, isinya banyak berbicara tentang perjuangan kelas, kritik sosial, dan protes keras terhadap kesalahan-kesalahan yang timbul dari konsep kekuasaan. Menurut Kuntowijaya, konsep kekuasaan dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk dan dijadikan sihir yang membelenggu manusia (Damono 2012: 62). Dalam ketiga drama yang dipilih ini, konsep kekuasaan dekat sistem pemerintahan. Mereka bercerita tentang penderitaan masyarakat di bawah sistem pemerintahan yang kacau atau masyarakat yang kacau karena tersihir hasrat untuk berkuasa. Hal tersebut digambarkan melalui suasana yang kelam, satir, dan terkadang sinis. Cara-cara ini ditempuh untuk mengajak pembaca melihat dan merasakan pula kegetiran dalam drama-drama tersebut.
2.2.1 Sinopsis Drama Relasi Manusia dengan Kekuasaan “Parlemen WC” WC menjadi kebutuhan yang sangat utama bagi masyarakat di kampung itu. Dengan membangun sebuah WC yang layak, seseorang dapat menjadi penguasa kampung. Oleh sebab itu, rakyat berlomba-lomba mendirikan WC yang lebih baik. Di antara orang-orang yang serakah, muncul tokoh Parmin yang cerdas dan jenaka. Ia tidak memiliki ambisi untuk menguasai kampung. Keinginannya adalah menjaga keseimbangan hidup bersama. Namun, karena dibutakan oleh hasrat kekuasaan, orangorang di kampung menjadi gila. Dari sebuah WC, muncullah bencana besar yang merusak kampung.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
52
“Paralel ‘45” Warga Timur tidak setuju dengan terpilihnya Pemimpin di Barat. Untuk mencegah pemberontakan, Pemimpin Barat mendirikan sebuah tembok pemisah kedua wilayah, yang disebut Paralel ’45. Warga Timur dilarang memasuki wilayah Barat dan begitu pula sebaliknya. Adanya peraturan tersebut menimbulkan huru-hura karena memecah belah persatuan sebuah negara. Pasangan suami istri, Marni dan Rasyid, menjadi korban dari pemimpin yang diktator. Mereka tinggal terpisah sehingga setiap hari mereka bertemu di tembok tersebut. Namun, pertemuan mereka terganggu oleh keluarnya keputusan bahwa Barat telah menjadi negara yang sah. Timur yang tidak memiliki kekuataan hukum apa pun, akhirnya kembali dijajah. Kerusuhan terjadi di Timur. Semenjak itu, Marni tidak pernah lagi datang ke Paralel ’45. Rasyid yang merana memikirkan nasib Marni, terus mengunjungi Paralel ’45 walaupun Marni tidak lagi datang. Sampai suatu hari, mereka memutuskan untuk bertemu yang terakhir kalinya. Oleh karena rasa rindu yang besar dan putus asa melihat situasi yang ada, mereka pun nekat menyebrangi tembok perbatasan. Tentara penjaga yang telah berulang kali memperingatkan tak dapat berbuat apa-apa. Mereka harus menjalankan tugasnya. Di atas Paralel ’45, Marni dan Rasyid bertemu dalam kematian. “Pesta Sampah” Di negeri antah berantah, orang-orang mengumpulkan sampah. Mereka hidup dalam kemiskinan. Pulung, tokoh yang selalu optimis menunggu mutiaranya, bertemu dengan seorang pengusaha asing. Ia ditawarkan sebuah jalan yang dipercaya dapat mempertemukan ia dengan mutiara dambaannya. Sayang, nasib berkata lain. Alih-alih mendekatkan Pulung dengan mutiaranya, ia kehilangan Mulung, kekasihnya. Akhirnya, Pulung harus rela menerima kenyataan bahwa ia hanya diperbudak oleh tuan tersebut supaya tanah mereka dapat dijajah dan dijadikan negeri beton. Keadaan bertambah kacau ketika Pejabat menjual semua aset negara kepada Pakdir. Kini, manusia-manusi diperbudak oleh Pakdir. Mereka dijadikan binatang. Moral dan kemanusiaan telah lenyap. Pulung pun harus rela melihat manusia-manusia lain kehilangan jiwanya di tengah bising dan keterasingan arus globalisasi itu.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
53
2.2.2 Analisis Struktur Drama Relasi Manusia dengan Kekuasaan Ketiga naskah drama ini berfokus pada masalah yang timbul akibat hubungan antara manusia dengan konsep kekuasaan. Bentuk-bentuk dari kekuasaan muncul dalam wujud yang berbeda di tiap naskah drama. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh kebutuhan penceritaan dalam drama. Namun, konsep kekuasaan yang dibicarakan dalam ketiga naskah drama ini memiliki makna yang buruk. Kekuasaan ditempatkan sebagai tokoh antagonis dalam alur drama. Penyalahgunaan konsep kekuasaan tersebut merupakan awal dari masalah yang terjadi dalam ketiga naskah drama. Secara umum, alur dari ketiga naskah drama tersebut tersusun atas bagian pemaparan masalah, perumitan masalah, klimaks, peleraian, dan penyelesaian. Pada dasarnya, masalah utama dalam ketiga naskah drama ini dibagi ke dalam tahapan yang sama dengan naskah drama tentang relasi manusia dan diri sendiri (lihat bagian 1.2.2). Akan tetapi, ditemukan perbedaan penyajian peristiwa di dalam drama tentang relasi manusia dengan kekuasaan, misalnya petunjuk pemanggungan yang lebih dominan menggambarkan peristiwa penting. Dalam naskah drama “Paralel ‘45”, pemaparan masalah digambarkan melalui adegan penembakan seorang anak perempuan yang tidak diketahui asal usulnya. Ia, dijelaskan, ditembak karena melanggar batas wilayah Timur dan Barat. Kematian anak perempuan tersebut menjadi penanda adanya masalah antara kekuasaan dan rakyat. Masalah tersebut menimbulkan bentuk komunikasi yang tidak harmonis sehingga suasana yang diperlihatkan cenderung suram dan terasa mencekam. (anak perempuan masuk panggung, mendekat perlahan menuju dinding pembatas) Herman: hey apa yang kau lakukan, jangan mendekat. Pergi dari tembok itu. Hey, kau jangan main-main! Kembali ke timur menjadi dari sini, atau aku akan menembakmu. Aku tidak main-main, kuhitung sampai tiga. Satu dua… Anak perempuan: aku sudah tidak tahan dengan seluruh keadaan ini. aku ingin bertemu ayahku, saudara-saudaraku, wargaku. Aku tidak memiliki masalah apapun. Timur dan barat hanyalah tembok yang harus ku tembus, dan aku percaya Negara ini akan satu kembali. Aku hanya butuh persatuan dan kesatuan. Lagi! (Percakapan tumpang tindih antar Ibu, Anak, dan Herman. Herman yang tak Tega menembak terus memerintahkan orang itu agar menjauh, tapi orang iu uterus melangkah seperti sudah siap mati. Baru dihitungan kedua, anak
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
54 perempuan itu tertembak senapan dari prajurit wilayah barat. Ia pun tumbang tepat diatas dinding pembatas, kemudian prajurit barat mendatangi dan menarik jenazahnya. Menggotong lalu membawanya keluar panggung. (2013: 1)
Kutipan di atas menunjukkan situasi dua wilayah yang bersitegang. Secara geografis, keduanya merupakan satu wilayah yang sama. Namun, secara politik, wilayah Timur menolak pemimpin yang terpilih sehingga akhirnya memisahkan diri dari wilayah Barat. Tembok tersebut dibangun sebagai penanda perbatasan dua wilayah. Hukum yang berlaku di sana merupakan hasil dari kepentingan politik sepihak. Rakyat digambarkan menolak adanya pemisahan tersebut—diwakili oleh tindakan tokoh Anak Perempuan yang hendak menyeberang ke wilayah Barat. Kutipan tersebut akan dilanjutkan dengan adegan pembacaan undang-undang yang mengatur masalah perbatasan wilayah dan fungsi dinding pembatas yang selanjutnya akan disebut Paralel ‘45. Paralel ‘45 menjadi bentuk kekuasaan yang konkret dalam kehidupan masyarakat di wilayah Timur dan Barat. Kehadiran tembok Paralel ‘45 melambangkan hal yang bersifat keras, terbatas, dan meneror. Ditambah pula dengan kejadian berdarah yang membuka drama ini, menegaskan bahwa terdapat dua kubu yang saling bertentangan, yaitu tembok Paralel 45—sebagai lambang kekuasaan—dan rakyat yang menolak kebijakan pemerintah. Berbeda dengan naskah drama “Paralel ‘45”, pemaparan masalah yang ada pada dua naskah drama lainnya disajikan dengan lebih santai. Masalah tidak diajukan dengan cara yang meneror, tetapi dengan pendekatan yang jenaka atau puitis. Dari kedua judul naskah drama tersebut, “Parlemen WC” dan “Pesta Sampah”, mengindikasikan suasana yang ceria dan meriah dibandingkan dengan suasana yang dihasilkan dari judul “Paralel ‘45”. Kata ’45 identik dengan peristiwa kemerdekaan Indonesia sehingga memberi kesan yang heroik, patriotik, atau berbau perjuangan. Berbeda dengan kata ‘WC’ atau ‘sampah’ yang dikonotasikan dengan hal yang bersifat buruk, sepele, dan kotor. Namun, dengan menggabungkan kata lain pada dua kata tersebut, dapat memperluas pemaknaannya. Kata ‘parlemen’ yang bersanding dengan kata ‘wc’ menjadi terkesan konyol. Kata ‘pesta’ bersanding dengan kata ‘sampah’, terkesan meriah sekaligus kumuh.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
55
Nampaknya, hal itulah yang sengaja dilakukan untuk mendukung suasana yang hendak dibawa dalam alur cerita drama. Pada bagian pemaparan masalah, naskah drama “Parlemen WC” dibuka dengan sebuah monolog santai di sebuah bilik WC umum. Tokoh Parmin membuka drama dengan menceritakan panjang lebar mengenai aktivitasnya di dalam WC. Dari monolog-monolog tokoh Parmin, diketahui bahwa wc ini merupakan sebuah barang penting dalam kehidupan di kampungnya, seperti yang dikatakannya berikut ini. Parmin:
(mendekat ke arah WC) Dan inilah dia itu. Dia yang lugu dan sangat lugu sekali. Inilah sarana milik bersama. Ya, milik rakyat. Milik kita semua. Sederhana, ringkes, dan hemat. Tanpa butuh banyak biaya. Tanpa harus ada proposal yang diteken. Tanpa harus ada siding untuk membahasnya. Tapi ingat, dari sebuah WC umum seseorang bisa jadi ketua RT dari sebuah WC umum pula seorang RT bisa dipecat. (Menutup mulut dan melirik kanan kiri. Takut ketahuan) mungkin saya harus menyudahi dulu omongan saya ini sebab rasarasanya ada sesuatu yang harus saya kerjakan dengan segera. Kalau orang rumah sakit bilang ini adalah seusatu yang gawat darurat, perlu penanganan khusus. Dan saya takut nanti akan terjadi pemberontakan yang amat dahsyat. Pemberontakan yang membuat diri saya sendiri tersiksa karena malu (Tangan kanannya memegang perut dan tangan kirinya menutup pantatnya sembari melongok ke arah pantatnya. Lalu masuk ke dalam WC). (2012: 1-2)
Kutipan monolog tokoh Parmin menjelaskan alasan sebuah WC menjadi wujud yang berarti. Tidak hanya itu, WC—di kampung Parmin—adalah bentuk kekuasaan yang sah. Tidak hanya secara filosofis—seperti yang diutarakan dalam monolog Parmin—tetapi juga pada praktiknya. Masa jabatan seorang Ketua RT ditentukan dari kemampuannya menyediakan dan mengelola WC yang layak pakai bagi seluruh masyarakat. Keseriusan Parmin dalam menyampaikan hal tersebut memberi sebuah kelucuan. Sebuah WC menjadi bagian vital dalam kehidupan masyarakat sehingga dapat mengendalikan orang yang berkuasa di kampung tersebut. Sebuah WC yang menjadi lambang kekuasaan dapat berarti dua hal, (1)kuasa tidak bicara tentang superioritas, tetapi kesediaan melayani serta milik bersama; (2) kekuasaan memiliki citra yang buruk dan berisi hal-hal kotor. Sementara itu, suasana dalam naskah drama “Pesta Sampah” dibangun melalui sebuah komposisi gerakan tubuh dan formasi tokoh yang menghasilkan keindahan.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
56
Suasana sengaja tetap dipertahankan kumuh untuk mewakili kawasan para pemulung. Komposisi gerakan yang dipadu dengan suasana kumuh tersebut adalah simbol untuk menyampaikan masalah dari naskah drama ini. Para tokoh yang merupakan pemulung, bergerak-gerak dengan memainkan keranjang dan sampah, menghibur diri mereka di tengah suasana yang didominasi oleh warna batu, coklat, dan hitam. Selain itu, pengaturan gerak dan eksplorasi tubuh yang disertai dengan barisan syair membuat bagian pemaparan ini terasa meriah, seperti dalam sebuah pesta. Penggambaran ini diceritakan secara detail melalui teks petunjuk pemanggungan dalam naskah drama. Selain itu, terdapat sebuah barisan kata yang mirip seperti mantera, diucapkan berulang kali pada bagian pembuka. Teks ini nampaknya merupakan moto hidup yang dipegang teguh oleh para pemulung, terutama tokoh Pulung. Utara, Selatan, Barat, Timur (berulang-ulang) Ngin angina ingin ngun bangun ba’ba;hus hus dimana…mutiara hus! Mutiara adalah kesabaran Kesabaran adalah keikhalsan Keikhlasan adalah meneriman, menerima dan terus menerima Kapan memberinya (2011: 1)
Bagian tersebut kemudian disusul dengan munculnya tokoh Pulung, Rombeng, dan Polong. Mereka adalah pemulung yang tinggal di daerah tersebut. Dari percakapan mereka, dapat dilihat kondisi masyarakat yang miskin dan serba kekurangan. Namun, kesulitan ini tidak disampaikan melalui nada percakapan yang putus asa, menderita, dan depresi. Sejauh pengataman dalam bagian pemaparan ini, para tokoh membuat kondisi mereka yang sulit menjadi lebih mudah dengan dihiasi tawa dan sesekali berangan-angan untuk hidup berkecukupan. Ada pula tokoh Mulung, kekasih Pulung, yang memberikan warna segar dalam interaksi ini melalui lakuannya yang manja dan manis terhadap Pulung. Pada bagian perumitan masalah, ketiga naskah drama ini menunjukkan interaksi para tokoh utama dengan tokoh di sekitarnya untuk memperlihatkan efek samping dari disharmoni hubungan kekuasaan dengan manusia. Naskah drama “Paralel ‘45” yang telah sejak awal memberikan ketegangan melalui adegan penembakan, menggunakan tokoh Marni dan Rasyid untuk memicu tokoh lain memperlihatkan kondisi mereka pasca-pembangunan Paralel ’45. Seperti halnya dengan tokoh Marni
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
57
dan Rasyid, tokoh Pulung pun muncul sebagai korban keadaan yang disharmonis dalam naskah drama “Pesta Sampah”. Kedua tokoh utama dalam drama yang berbeda ini memiliki kesamaan bentuk hubungan antara kekuasaan dengan manusia. Sementara itu, dalam naskah drama “Parlemen WC”, perumitan masalah ditunjukkan melalui tokoh-tokoh yang ingin merebut kekuasaan melalui proyek pembangunan WC baru. Dalam drama ini, para tokoh telah tersihir dengan iming-iming kekuasaan yang hidup berkelimpahan dalam harta dan kekuatan. Pada bagian perumitan masalah dalam naskah drama “Paralel ‘45”, pasangan Marni dan Rasyid digambarkan sebagai tokoh yang tidak berurusan secara langsung dengan pergolakan politik di negaranya. Masalah mereka hanya satu, yaitu cinta yang terhalang oleh Paralel ’45. Persoalan cinta ini sebenarnya hanyalah efek samping dari masalah utama. Keharuan yang ditimbulkan dari adegan romantis antara Marni dan Rasyid dapat dikatakan sebagai bumbu penyedap. Diantara para prajurit yang berjaga (Widodo di menara barat. Herman di menara timur), Rasyid yang berada di barat dan Marni yang berada di timur menyuarakan kegelisahan mereka menjadi seorang sepasang suami istri yang terpisah karena krisis politik wilayah tersebut. Lampu spot 2 titik di depan. Marni: ini bukan keinginanku Rasyid: ini bukan keinginanku ………………………………………………………………………… (kemudian Marni dan Rasyid mendekat kearah dinding. Marni terlihat lebih semangat ketimbang Rasyid. Marni menangis sedang Rasyid menenangkan) Rasyid: bagaimana keadaan timur? Marni: uruslah kependudukanmu, pindah ke timur bersamaku Rasyid Rasyid: aku tidak bisa Marni Marni: kenapa? Apa kau mulai nyaman bercinta dengan tembok ini?! membayangkan seolah-olah dinding ini terukir wajahku? Rasyid: kau butuh pemimpin! Marni: kau lah pemimpinku rasyid. Kau imamku! Rasyid: bukan marni, timur butuh pemimpin! Marni: pindahlah rasyid, aku mohon. Aku rindu padamu. ………………………………………………………………………… (Marni dan Rasyid saling bersandar di tembok. Kemudian jatuh terududk. Masing-masing saling meratapi). (2013: 2-3)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
58
Kutipan di atas menunjukkan suasana yang haru ketika pasangan suami istri ini menumpahkan kerinduan mereka. Rasa rindu mereka terhadap satu sama lain dapat ditangkap dengan melihat gerak-gerik, posisi tubuh, dan pembawaan mereka ketika mengatakannya. Kepasrahan mereka menimbulkan rasa simpati sekaligus rasa benci terhadap kekuasaan yang membuat mereka menjadi menderita. Pertemuan mereka terjadi berulang kali tanpa ada solusi yang pasti selama tembok tersebut masih berdiri. Suatu hari, konflik semakin memanas ketika seorang tentara baru dengan cepat menembakan peluru ke arah Rasyid. Peluru itu memang meleset dan tidak melukai Rasyid, tetapi tembakan tersebut segera menyulut emosi Rasyid yang sudah memanas. Pada bagian tersebut, terungkap pula masalah-masalah yang dihadapi oleh tokoh lain. Hal tersebut dipicu oleh kehadiran Marni dan Rasyid yang berada di tengah polemik politik dua wilayah. Rasyid: Hey apa-apaan kau ini? Jangan main tembak sembarangan Marni: Ada apa di sana? Kamu baik-baik saja? (munir turun menara mendekati Rasyid yang masih tercengang dan emosi) Munir: Sudah kubilang jangan mendekat! Rasyid Ya tapi jangan main tembak begitu, kau hampir saja membunuhku! Marni: (mulai panik) Apa? Siapa yang mau menembakmu? Rasyid kau baik-baik saja kan? ……………………………………………………………………………… Munir: Hey mau apa kamu? Marni: Rasid, apa yang terjadi? Rasyid, jangan main-main dengan prajurit barat! (Rasyid tak merespon ucapan Marni. Terus berjalan mendakti Munir) Rasyid: Bunuh aku, Bunuh!! Kalian itu bertugas untuk mengamankan negara, bukan untuk mengurangi populasi manusia dengan senapan yang kalian punya. (2013: 7-8).
Tentara tersebut merupakan perpanjangan tangan dari kekuasaan yang dilambangkan melalui Paralel ’45. Mereka diminta untuk siap sedia menghalau orang yang berusaha melewati batas wilayah. Namun, ada pengecualian tertentu yang berlaku bagi pasangan Marni dan Rasyid selama ini. Sayangnya, tokoh Munir—tentara baru— tidak mengetahui hal tersebut. Sebagai orang baru di sana, ia hanya tahu peraturan yang selama ini mendoktrinnya. Rasa kemanusiaan Munir telah terkikis dengan kesetiaannya pada tugas. Tokoh Munir pun tak dapat disalahkan jika mencoba
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
59
melaksanakan tugasnya. Dengan kehadiran tokoh Munir, tekanan yang dihasilkan dari sistem kekuasaan yang salah justru semakin nyata. Di bawah alam sadar para tokoh tentara penjaga perbatasan, mereka mempertanyakan pula posisi mereka di tengah kecamuk politik negerinya, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini. Herman:
Herman:
Herman:
hey, kau tahu Negara ini sedang terpecah? Kau tau penyebabnya? Cuma ketidakpercayaan rakyat pada seorang pemimpin, juga kediktatoran pemimpin itu sendiri. sungguh kombinasi yang cocok untuk sebuah kehancuran Negara. (munir terus mendengarkan) Kau pikir pemimpinmu itu melakukan hal yang benar dengan mengisolasi seluruh warga yang tidak memilihnya pada pemilihan 2045 lalu? (…) Tapi apa harus semua ini ia lakukan? Apa adil perpecahan ini untuk orang-orang sepertiku? Seperti Marni? Orang-orang yang hanya menggunakan hak pilihnya dan tidak begitu peduli dengan apa yang terjadi setelah itu. Yang aku perdulikan (sic) hanya hidup yang lebih baik, siapapun pemimpinku. (…) Dia tidak kalah jahat dari seorang iblis yang tega memisahkan seorang suami dengan istrinya. Apa kau sadar seberapa panjang perjalanan mereka? apa kau sadar apa yang mereka lakukan selama ini? kau sadar apa yang bisa menyatukan negara kita kembali? (Munir terdiam berpikir) kau tahu bagaiman caranya? Dengan apa? (munir mencari jawaban). (2013: 10-11)
Dari kutipan di atas diketahui bahwa kekuasaan yang lalim menimbulkan masalah yang kompleks. Masalah tersebut tidak hanya menyangkut kesejahteraan hidup rakyat, tetapi juga meliputi kualitas manusia yang dihasilkan. Dengan adanya perpecahan, masyarakat dihadapkan pada perubahan yang terjadi secara cepat dan besar-besaran. Nilai moral tergerus karena tidak adanya kesempatan bagi masyarakat untuk menata kehidupan yang baik. Di tengah perpecahan, manusia dipaksa untuk bertahan hidup. Hal tersebut dinyatakan dengan jelas oleh tokoh Herman—tentara penjaga menara Timur—melalui monolognya yang dihasilkan dari kekalutan ia sebagai tentara sekaligus juga bagian dari masyarakat. Hal tersebut menandakan bahwa keraguan terhadap pemimpin dirasakan oleh seluruh golongan masyarakat. Pemimpin yang diharapkan dapat membawa perubahan baik, justru memecahbelah kesatuan bangsa dan menempatkan dirinya sebagai penguasa.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
60
Dalam naskah drama “Pesta Sampah”, perumitan masalah ditunjukkan melalui adegan Pulung yang mulai merasa putus asa dengan keadaannya. Pulung
terpojok. Ia tak menyangka bahwa teman-temannya akan meninggalkannya. Music ngehe! Pergi meninggalkan Pulung. Pulung: Kalian harusnya eling! Telapak kaki kalian itu sudah jebrag! Melepuh! Nggak pantes nginjek keramik. Itulah, kalo nggak punya wawasan dan harapan yang maju. Jebrag! (…) Mutiara adalah kesabara…aku sendiri juga tak tau dimana kesabaran kita bersembunyi..Long..beng… Pulung seperti hilang diri ditinggal temannya. Ia goyah. Hanya tinggal Mulung yang setia. Mulung: Lung…sabar ya…masih ada aku lung Pulung: Utara, selatan, barat, timur (berulang-ulang) ngin angina ingin ngung bangun ba’ba; hush us dimana… mutiara! Mulung: Mulai…mulai…deh, kembali pake acara percaya tahayul, bid’ad, khurofat lagi. Sudah apa lung. Itu nggak nambah pahal kita. Udah ya… yuk kita main drama-dramaan lagi(…) Pulung semakin hilang diri. Ia tak terkendali. Pikirannya seperti sepi. Menangis! Ia bicara sendiri. memandang jauh kesegala arah. Suasana pelan pelan berubah (…) Mungkin di sebuah layar ada gambar yang bergerak memvisiualkan ikon produk secara abstrak bisa cepat atau pun lambat. Penuh warna-warna. Seorang penari membelah belah ruang menidurkan pulung dalam mimpinya. Kemudian hilang bersambung. Pulung: Kita harus berubah, kalu kita tidak berubah siapa yang akan merubah kita?!!! Mulung: Siapa kamu? Pulung: Aku pulung…. (2011: 9)
Awalnya, tokoh Pulung ini diperlihatkan sebagai seorang yang optimis menghadapi kesulitan hidup. Ia menjadi panutan teman-teman sesama pemulung— Rombeng dan Polong—dengan motivasi “mencari mutiara kehidupan” (lihat “Pesta Sampah”: 1-2). Namun, keadaan mereka semakin sulit. Tokoh Rombeng dan Pulung pun akhirnya meninggalkan Pulung. Mereka merasa bahwa Pulung terlalu naif dalam melihat kenyataan hidup. Tokoh Rombeng dan Polong tak mau lagi berada di rantai kehidupan manusia yang paling bawah. Pada bagian sebelumnya, tokoh Pulung menjelaskan bahwa orang-orang yang berada di rantai kehidupan terendah juga dapat bermanfaat bagi sesama (“Pesta Sampah”: 2). Namun, kenyataan berbanding terbalik dengan idealisme Pulung. Tokoh Rombeng dan Polong merasa para pemimpin yang di atas tidak mempedulikan keadaan mereka yang di bawah. Tidak ada hubungan saling
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
61
menguntungkan dari posisi tersebut. Akibat dari kesalahan sistem kekuasaan, mereka harus terus-menerus menderita. Penolakan teman-temannya menjadi pukulan keras bagi tokoh Pulung. Padahal tokoh Pulung disebutkan memiliki kualitas sebagai manusia yang idealis, seperti dalam kutipan berikut ini Pulung: Mulung:
Ikut aku? Hahaha, kamu nda salah lung? Aku ini siapa? Orang sampah! Kemukan enak sudah hidupnya. Buat apa? Lucu.. Iya, tapi aku suka dengan sikap kamu yang keras dalam meyakini sesuatu. Kamu beda lung. Aku pengen ikut kamu aja. Kamu lebih meredeka dari aku. Aku cinta kamu lung. (2011: 6)
Akan tetapi, idealismenya sirna setelah ia dihadapkan pada realitas. Ia menjadi hilang akal dan terlihat kebingungan. Keadaan tokoh Pulung yang semakin sulit tersebut dimanfaatkan oleh tokoh Pakdir yang datang tiba-tiba. Tokoh ini berpenampilan seperti seorang pengusaha yang kaya raya. Dari nama tokoh ini, ‘Pakdir’, diduga merupakan singkatan dari ‘Pak Direktur’. Tokoh Pak Dir ini datang dengan membawa jawaban yang nampaknya mampu mengatasi masalah tokoh Pulung, seperti dalam kutipan berikut ini. Mereka terkejut. Pakdir:
Pulung: Pakdir: Pulung: Pak dir: Pulung:
Saya Pak Dir, tim survey lahan basah bebas susah yang merupakan tim kilat dalam memberikan jasa secara (…) Di peruntungan saya, anda bisa jadi kaget lantaran benda-benda ternyata lebih bagus dan lebih pintar dari anda. Kita dilayani oleh benda-benda. Asyik, tinggal pencet semua berubah. Lampu-lamu warna yang kemilau di hati. semuanya betulan Bapake Dir? Pak dir! Bukan! Lilin… ya iyalah!! Saya kira imajiner kaya saya sama si Mulung Nyata, ga pake Tanya, ha … you ini gembel yang naif. Maksud anda? Anda jangan menghina saya ya pak. Gini-gini juga saya punya alasan mutiara. (2011: 10-11)
Dari kutipan tersebut, tokoh Pulung tetap terlihat polos walaupun sudah mulai ada ketertarikannya terhadap penawaran dari Pakdir. Sebelumnya, tokoh Pulung digambarkan cukup puas dengan kehidupannya (“Pesta Sampah”: 2-3). Namun setelah ditinggal pergi oleh teman-temannya, Pulung nampaknya berpikir ulang tentang keadaan dirinya. Ia melihat adanya kesempatan yang ditawarkan oleh tokoh Pakdir.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
62
Dari sanalah, ia akahirnya berani mengambil tawaran tersebut demi perubahan kesejahteraan hidupnya. Kesempatan untuk memperbaiki kehidupan menjadi lebih baik, juga ditemukan sebagai motif bagi tokoh-tokoh dalam naskah drama “Parlemen WC” untuk merebut kekuasaan di kampung tersebut. Dari interaksi dan penyataan tokoh-tokoh yang terobsesi untuk berkuasa ini, ditemukan adanya kesalahan pengertian atas konsep dari menjadi pemimpin dan penguasa. Gimin:
Parmin:
Gimin: Surip: Parmin:
Surip: Parmin: Surip: Parmin: Surip: Parmin:
Sudah-sudah! Malah gentian situ yang rebut. Saya mau mengaspirasikan ide saya yang tersisa, kalau mau rebut jangan di sini. Bukan tempatnya untuk ribut! Wah, mentang-mentang sudah dapat jatah jadi sok ngatur orang. Demonya kan sudah kepalang berjalan. Kenapa baru bekerja? Ya, pekerjaan yang paling sia-sia. Paling-paling tinggal sisa-sisanya. Dan tidak butuh Konsentrasi. Ini juga gara-gara Karjo yang nggak mau turun tahta juga! Wah sampeyan itu pada kaya ya rupanya. Belum apa-apa sudah rebutan Tahta segala. Hus! Ngerti apa kamu bocah ingusan? Ini adalah tahta yang menampung tambang emas. Jangan lho. Setidaknya siapa yang paling banyak menyumbang dia akan mendapat hasilnya. Hasil yang bagaimana? Hasilnya ya, tanggung jawab dia untuk membangung WC ini. dan itu kesempatan untuk jadi ketua RT sangat besar. Hanya untuk sebuah jamban ini setiap orang bisa jadi ketua RT ? EDAN! Ini soal hegemoni. Bukan soal yang sederhana. Kamu belum nyandak, le. Hegemoni yang seperti apa? Wah, kamu ini payah! Kamu tahu ketua RT sekarang sudah hampir tidak menjabat lagi. Sudah saatnya diganti. Nah, orang-orang kampong yang biasanya buang air di jamban beramai-ramai untuk ikut serta balapan buang air di jamban ini. kalau nanti sampai roboh itu sudah risiko. Tapi, di balik robohnya jamban itu ada khikmahnya.
Dari percakapan tersebut, terlihat adanya niatan khusus dari tokoh Surip dan Gimin terhadap tahta di kampung itu. Mereka diam-diam mengamati dan menghitung keuntungan yang dapat diperoleh, jika mereka mampu memperbaiki WC dan menjadi Ketua RT. Yang lebih mengejutkan lagi, perhitungan tersebut ternyata dilakukan untuk
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
63
memenuhi kepentingan pribadi tanpa ada pemikiran tentang kesejahteraan rakyat, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini. Ijah: Karjo: Ijah: Karjo: Ijah: Karjo: Ijah: Karjo: Ijah: Karjo:
Ijah:
Lantas nabung apa? Ya, nabung uang! Uang? Mana mungkin sampeyan dapet uang. Dari mana uanguang itu sampeyan dapet? Dari narik becak! Lalu aku tabung. Untuk apa? Ya untuk persiapan membangun WC itu! Apa ada yang nggak lebih penting dari sebuah jamban? Ini sangat penting! Lebih penting dari yang terpenting! Bagaimana bisa? Sebentar lagi Pak RT habis masa jabatannya. Sebab, jamban yang ia bangun sebentar lagi akan roboh. Maka aku mulai menabung untuk membangun jamban. Sampeyan pengen jadi ketua RT toh? Lha kok lucu. Wong ngurus anak-anak saja nggak becus kok mau-maunya ngurus orang sekampung! Sampyean itu edan! (2012: 19)
Pada bagian tersebut, tokoh Karjo diperlihatkan terobsesi untuk menjadi penguasa di kampung. Padahal menurut interaksi dengan istrinya, mereka bukanlah keluarga yang berkecukupan. Uang dari hasil bekerka Karjo saja tidak cukup untuk membiayai hidup mereka. Apalagi semenjak Karjo terobsesi membangun WC, istrinya jadi kerepotan mengurusi rumah tangga bahkan ia mengira Karjo selingkuh. Perkataan istrinya tentang kelayakan Karjo sebagai seorang Ketua RT telah menjelaskan bahwa ia sama sekali tidak memiliki kapabilitas yang memadai. Namun, Karjo tetap bersikeras. Di lain pihak, muncul pula tokoh yang sama seperti Karjo. Ia ingin menguasai kampung tersebut dengan membangun WC. Namun, antara Karjo dan pihak lain ini tidak saling mengetahui. Bahkan pihak baru tersebut, diperlihatkan lebih cerdik daripada Karjo. Ia tak hanya menghamburkan uang milikinya, tetapi juga memanfaatkan warga lain untuk mewujudkan mimpinya menjadi penguasa. Tentu saja, niatnya yang sebenarnya tak dikatakan kepada orang lain. Perempuan 1: Maksudku kita bikin WC umum dengan fasilitas yang serba canggih dan tidak lagi mampu disaingi oleh siapa pun. Itu akan segera menyelesaikan masalah. Ditambah lagi dengan fasilitas gratis. Cuma-Cuma! Perempuan 3: Modalnya?
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
64 Perempuan 1: Modal bersama dan sebagaian kita ambil dari kontribusi kebersihan yang biasanya ditarik tiap pembayaran rekening listrik. Juga dana arisan ibu-ibu kampung ……………………………………… Perempuan 1: Ya kami kaum perempan yang selama ini ditindas. Kaum yang selam ii dilecehkan. Kkaum yang selalu tak masuk hitungan dalam peta politik di negeri ini. kaum yang hanya pelengkap. Atas nama HAM aku bersumpah akan aku tunjukan pada dunia, perempuan tidaklah selemah itu, tidak serendah yang mereka pikir, tidak sebodoh yang mereka kira. Kini saatnya para pria membudak di bawah duli perempuan. (perempuan 1 berlalu, perempuan 5 masuk lagi) Perempuan 5: Sudah aku duga, dia wanita yang penuh dengan ambisi! Kenapa tidak aku sadari sejak mula kalau pembangunan WC umum itu akan berbuntut pada perebutan kuasa. (2012: 28-30)
Tokoh Perempuan 1, dalam kutipan di atas, memang memiliki maksud yang lain dari tokoh Karjo. Tokoh Karjo menginginkan kekuasaan untuk kehidupan ekonomi yang lebih baik, sedangkan tokoh Perempuan 1 ini menginginkan kekuasaan sebagai pembuktian diri. Ada sedikit simpat bagi tokoh Perempuan 1 yang dianggap mencoba untuk mengangkat posisi perempuan melalui kekuasaannya. Namun, jika dilihat lebih mendalam, tujuan tersebut tak seluhur yang dibicarakannya. Dari dialognya, terlihat lebih banyak penekanan pada ambisi pribadi tokoh Perempuan 1 daripada maksudnya untuk membela perempuan. Tindakan tersebut dinilai dapat merusak keseimbangan hidup antarmanusia. Kekuasaan yang buruk, selain menimbulkan degradasi moral dan hilangnya rasa kemanusiaan, juga memunculkan perpecahan di antara masyarakat. Dalam naskah “Paralel ‘45”, perpecahan itu telah jelas dibuat dengan hadirnya tembok Paralel ’45. Namun, perpecahan yang lebih besar, sebagai saudara setanah air, diungkapkan melalui keputusan Pemimpin Barat untuk mengadakan usaha pemisahaan wilayah secara hukum. Selama ini, wilayah Timur masih berada di bawah otoritas Barat. Dengan adanya, putusan tersebut maka perpecahan menjadi sah. Harapan bagi pasangan Marni dan Rasyid, serta seluruh masyarakat yang hidupnya terpisah semenjak munculnya ketegangan politik tersebut, sudah sirna. Hilangnya harapan tersebut menimbulkan reaksi keras dari masyarakat yang selama ini memperjuangkan keadilan bagi
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
65
kehidupan mereka. Suasana menjadi semakin tegang dan terlihat adanya kemungkinan kerusuhan besar. Hal tersebut nampak dalam bagian berikut ini. Berita:
Penolakan hasil pemilihan pemimpin di tahun 2045 masih berlangsung hingga saat ini. sejumlah demo dan aksi kerusuhan membuat republic ini mengalami krisis politik berkepanjangan. Dampaknya, parallel 45 menjadi batas keras yang seakan memisahkan sebuah republic seperti air dan api yang tidak akan pernah bisa menyatu kembali. Bambang: Saudara-saudara, Sudah terlalu sering kita melihat kematian di perbatasan ini. Samapi kapanpun kitatuntut agar perbatasan ini dihancurkan (…) Hanif: Mari kita semua menolak segala aturan perbatasan terkutuk ini! Mari kita semua menolak pemimpin bajingan itu! (…) (Yang lain bersorak seolah setuju. Disisi barat tampak pula seorang pria berwibawa.Timur tetap berdemo, statis, pemimpin barat masuk) Pemimpin barat: Kalian harus berjaga lebih ketat. Semakin banyak warga timur yang memanjat dinding ii, tanyanya semakin terancam wilayah barat. Malik: Turunkan pemimpin barat! Turunkan pemimpn barat! Dia itu adalah musuh Negara! Pemimpin barat:Ahh aku bingung kenapa mereka masih keras kepala seperti ini, padahal aku bisa membuat mereka jadi lebih sejahtera. Dimas: Pembual! Sejak dulu dia itu pembual. Sampai kapanpun kami akan terus menentang terpilihnya kau jadi pemimpin republic ini. kami tau mana pemimmpin yang dan tidak! Kami ingin kau hancurkan tembok ini, dan lawanlah kami kalau berani! (2013: 11-12)
Munculnya berita tentang usaha pemisahan diri yang dilakukan oleh Pemimpin Barat memicu munculnya demonstrasi dari masyarakat, terutama di Timur. Mereka, orang-orang Timur yang tidak menghendaki pemimpin tersebut, merasa sudah waktunya rakyat untuk merebut kekuasaan kembali. Namun, Pemimpin Barat telah bersiaga untuk memusnahkan siapa saja yang melawannya. Dari kutipan di atas, ditemukan bahwa sifat-sifat pemimpin Barat ini menunjukkan adanya praktik politik yang fasis. Ia menggunakan kekuataan militer untuk membungkam rakyat yang memberontak. Namun, ia—secara pribadi—tidak berani untuk berkonfrontasi secara langsung dengan masyarakat yang menolaknya. Tidak ditemukan adanya usaha untuk menyatukan kembali wilayah tersebut oleh Pemimpin Barat. Ia disebutkan lebih memilih untuk mempertahankan kekuasaannya daripada persatuan negaranya. Hal ini memicu konflik di Timur dan keputusasaan di Barat.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
66
Perpecahan juga terjadi dalam naskah “Pesta Sampah” yang diwakili oleh tokoh Pulung. Setelah ia menerima tawaraan dari Pakdir, ia pun mengikuti perintah Pakdir untuk bersalin diri. Pakdir memperlengkapinya dengan segala macam kebutuhan untuk memperbaiki tampilan Pulung yang kumuh. Namun, dengan tampilan baru tersebut, sifat Pulung ikut berubah. Mulung, kekasihnya, tak lagi melihat diri Pulung yang dulu ia banggakan. Kekecewaan Mulung tidak ditanggapi dengan serius oleh tokoh Pulung, seperti yanga ada dalam kutipan berikut ini. Pakdir: Pulung: Mulung:
Yang pertama, kalian harus dandan yang cakep! Ayo lung, kita mau didandani… Lung, aku ikut kamu bukan untuk seperti ini. aku tinggalkan rumahku, hidupku untuk bersama kamu karena aku memilih kamu sebagai orang yang memiliki sikap lebih. Aku percaya sama kamu. Tapi kenapa kamu sekarang berubah? Kamu jadi sama dengan… Pulung terpojok dengan pernyataan mulu Pulung: Katanya kamu cinta! Kalau memang itu benar, kamu harus ikut aku… Mulung: Cinta…cinta… Pulung: Ayo. Mereka didandani ………………………………………………………………………….. Di pusat kota, di tengah niaga, orang-orang belanja, narsis; memajang diri membuat iri. Gedung-gedung bergerak., bayangan menari, keranjang penuh diisi. Pulung mengira itu mutiara, silau kemudia ia berlari mengejarnya. SPG menjual barang dan dirinya. ………………………………………………………………………… Datang rombongan perusahaan pelacur keliling. Mulung diangkut . ia dipaksa menjadi wanita peliharaan bayaran lelaki belang. (2011: 12-18)
Pada bagian yang diperlihatkan dalam kutipan di atas, tokoh Pulung sudah menjadi boneka milik Pakdir. Ia dimabukkan oleh kemewahan yang selama ini tak didapatnya. Ketika tokoh Mulung mengingatkan prinsip-prinsip kehidupannya dulu, tokoh Pulung menunjukkan pembelaan diri. Ia tidak terima dikriitik oleh Mulung. Seperti orang mabuk, Pulung tak lagi menggunakan akal sehat dan hati nuraninya. Ia lupa pada idealismenya. Sementara tokoh Pulung sibuk dengan dunia barunya, tokoh Mulung diangkut secara paksa oleh rombongan pelacur keliling. Namun, Mulung tak dapat berbuat apa-apa. Semua orang di sana, semenjak hadirnya tokoh Pakdir, sudah kehilangan hati nurani. Perbuatan menjual diri sudah sangat umum. Akhirnya, Pulung
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
67
dan Mulung berpisah. Tidak hanya itu, perpisahan dengan Mulung juga menandakan perpisahan tokoh Pulung dengan idealisme kehidupannya yang dulu. Bagian ini juga menunjukkan bahwa tokoh Mulung merupakan satu-satunya orang yang masih menggunakan hati nurani untuk melihat keadaan. Kekayaan yang ditawarkan Pakdir tidak mampu mengubah dirinya. Ia masih percaya dengan apa yang selama ini ia pegang teguh. Hal tersebut diperlihatkan melalui adegan soliloqui tokoh Mulung. Ia berbicara kepada dirinya sendiri tentang kesabaran dan ketekunan yang akan membawa hasil lebih besar. Di antara kegemerlapan hidup di kota yang dipromotori oleh tokoh Pakdir, adegan Mulung ini menjadi sumber harapan. Kesederhanaannya tentang kualitas hidup manusia begitu menyentuh sampai membuat dunia gemerlap Pakdir terasa tak berarti. Seperti halnya naskah drama “Pesta Sampah”, tokoh Parmin dalam drama “Parlemen WC” juga menjadi penawar dari perpecahan yang timbul akibat keserakahan. Semua orang di kampung itu nampaknya telah tersihir dengan ambisi untuk berkuasa. Namun, tokoh Parmin—yang tahu segala hal tentang politik di kampung tersebut—digambarkan konsisten sebagai seorang rakyat kecil yang hidup sesuai perannya. Ia tak terlihat ikut menginginkan jabatan sebagai Ketua RT. Padahal, jika dicermati, tokoh Parmin sangat memiliki peluang untuk menjadi Ketua RT. Ia tahu segala hal tentang politik WC tersebut dan pengguna setia WC. Ia pun sadar akan hakikat WC tersebut bagi kehidupan di kampungnya. Dengan adanya tokoh Parmin yang netral, keserakahan tokoh lain justru jadi lebih terasa. Sifat mereka sangat kontras dengan tokoh Parmin. Selain adanya tokoh yang memperlihatkan keserakahan dan ambisi untuk menguasai, muncul pula tokoh Orang 1, 2, dan 3 yang apatis terhadap keadaan di kampung tersebut. Sejak awal drama, mereka digambarkan ada di tiap tempat kejadian. Kehadiran mereka juga memberi warna bagi kehidupan politik di kampung tersebut. Di antara persaingan politik yang kotor, sikap dan pandangan mereka yang apatis terlihat lebih mulia dibandingkan dengan mereka yang peduli. Sebenarnya, ketiga tokoh ini digambarkan mengetahui banyak kebusukan yang terjadi seputar politik WC,
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
68
tetapi mereka tidak mau melakukan apa pun. Keputusan untuk tidak bertindak itu pun membuat perpecahan menjadi nyata di kampung tersebut. Orang 3:
Dan kamu pun akan turut andil membangunnya? Atau dengan kata lain kamu akan memperalat kami sebagai batu loncatan agar kamu jadi ketua RT? Tak usahlah yau! (genit) Orang 1: Kami ini rombongan orang-orang apatis dengan hal-hal semacam itu. Bagi kami perut terasa kenyang itu sudah cukup. Kami tidak mau neko-neko. ……………………………………………………………………………… Orang 3: Sampeyan selalu saja mengkang hak kami. Itu hubungannya! Parmin: Mengekang? Saya rasa justru kalian ini yang telah membuat kericuhan di kampung ini. terutama dengan nyanyian-nyanyian itu. Orang 2: Nyanyiann kami membuat ricuh? Bagaimana bisa? Orang 3: Itu masih mending dari bau entut sampeyan yang selalu bikin kisruh teangga. Parmin: Nyanyian kalian itu berbau propaganda. Harus dibumihanguskan sebelum didengar banyak orang! Orang 2: O rupanya sampeyan merasa tersaingi. Lalu sampeyan berusaha menghalangi kami. Begitu? Orang 1: rupanya ada orang yang bermain politik di sini. Ada VOC gaya baru di kampung ini! (tertawa) Parmin: Saya tidak merasa tersaingi, dan saya juga tidak sedang bermain politik. Saya hanya mengingatkan kalau nyanyian kalian itu bisa mengganggu stabilitas kampung ini. (2012: 35-36)
Pada kutipan di atas, tokoh Orang 1,2, dan 3 mengaku tidak ada kepentingan luhur, sebab bagi mereka hidup hanya sementara (“Parlemen WC”: 34). Mereka menjadi semakin agresif menyerang warga lain karena melihat begitu banyak kebusukan yang terjadi. Bahkan dengan tokoh Parmin—yang disebut sangat luhur dan sederhana—mereka tidak menaruh rasa percaya. Padahal tokoh Parmin dengan tegas menyatakan tak mau menjadi Ketua RT. Namun, pernyataan Parmin tersebut justru dinilai memiliki suatu tendensi yang buruk. Pada dasarnya, dari adegan tersebut, tokoh Parmin dan Orang 1,2, dan 3 berada di posisi yang sama. Mereka tidak ingin ambil bagian dari politik WC yang kotor. Namun, pandangan mereka berbeda. Parmin digambarkan masih memiliki kepedulian terhadap sistem demokrasi yang diwakili oleh WC tersebut, sedangkan tokoh OrangOrang itu tidak lagi percaya pada apa pun.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
69
Kepedulian tokoh Parmin diwujudkan melalui usahanya mencegah tokoh Pejabat untuk merubuhkan WC di kampung tersebut. Pada adegan yang memperlihatkan kemunculan tokoh pejabat, digambarkan sifat dan karakter pejabat yang sekotor air comberan. Mereka ingin merubuhkan WC agar mencegah bencana yang disebabkan dari WC tersebut. Akan tetapi, Parmin menolak pendapat tersebut. Sebagai seorang yang digambarkan optimis dan selalu berpikir positif, Parmin tidak setuju jika WC yang berguna bagi orang banyak tersebut dijadikan alasan bencana. Akhirnya, kedua belah pihak tersebut—Parmin dan para Pejabat—terlihat beradu mulut. Sesuai dengan suasana yang dibawa sejak awal, sindiran dan kritik terhadap sifat-sifat Pejabat yang lalim ini digambarkan dengan kelucuan. Adanya perumpamaan yang sederhana, tetapi tepat sasaran, justru mengungkapkan keburukan tokoh Pejabat. Di akhir debat mereka, terbukalah niat sebenarnya dari pembongkaran WC tersebut. Ternyata, tokoh Pejabat 2 tidak ingin menghilangkan WC, tetapi merubuhkannya dan membangun kembali supaya ia dapat berkuasa di sana (“Parlemen WC”: 38-45). Kekuasaan yang timbul dari hubungan kompleks antara kebutuhan masyarakat dan kepentingan individu telah mencapai puncaknya. Ketidakpercayaan, perpecahan, serta rusaknya moral mencapai titik klimaks dengan munuclnya kerusuhan besarbesaran. Masyarakat menolak adanya kekuasaan yang lalim mengatur hidup mereka. Kealpaan pemimpin untuk membawa mereka pada kehidupan yang lebih baik, telah menghilangkan harapan dan logika untuk memperjuangkan hidup dalam kedamaian. Tindak anarkis dan konfrontasi langsung menjadi pilihan untuk merebut kembali apa yang menjadi hak mereka. Dalam naskah drama “Paralel ‘45”, klimaks ditandai dengan keluarnya kabar bahwa wilayah Barat telah menjadi sebuah negara yang sah dan terpisah dari Timur. Timur tidak lagi memiliki kekuataan hukum apa pun dan tidak dijaga oleh siapa pun. Segera setelah kabar itu keluar, kerusuhan di Timur terjadi. Bangsa lain pun segera datang ke Timur untuk melakukan penjajahan karena tidak adanya lembaga sah yang menanungi wilayah Timur. Hal ini berdampak besar terhadap tokoh Marni dan Rasyid.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
70 Adegan 6 Dimulai dengan suara sebuah berita menunjukkan kekacauan yang terjadi di timur. Perpecahan timur dan barat sudah semakin parah. Bahkan barat menyatakan wilayahnya berdiri sendiri. Kemudian lampu menyala, disana ada Rasyid yang sedang berjalan menuju paralel ’45. Hari itu adalah hari ia biasa bertemu Marni. Munir: Hey sampai kapan kau mau begini. Dia bukan lagi warga republik ini. Rasyid: Tapi dia tetap istriku. Munir: kau membahayakan nyawamu dan nyawa istrimu kalau kau t etap kesini (Rasyid semakin dekat dengan paralel. Hatinya seakan hancur mengetahui berita yang terjadi di timur) Rasyid: Marni, Ku dengar timur semakin kacau. Apa yang bisa kulakukan untukmu. Kita benar-benar sudah tidak bisa bersatu lagi, ini sudah hukum alam marni. Akupun tak tau kenapa kisah kita jadi serumit ini. Tapi aku akan tetap mencintaimu, aku akan tetap terus kemari mendengar suaramu. Apa kau juga akan melakukan hal yang sama marni? (Tak terdengar suara siapapun di sana) ……………………………………………………. Rasyid: Marni, jangan main-main. Aku benar-benar minta maaf… Marni, kau disana kan? Marni… Marni… kau tidak datang? Marni ucapkan satu kata saja… Marni! Kau benar-benar tidak datang? Kenapa? (transisi seakan Rasyid mengunjungi tembok itu setiap hari, tetapi Marni tak pernah lagi datang) Adegan 7 Suara berita menyuarakan kericuhan yang terjadi di timur, juga berita yang memberitahu bahwa pemipin barat telah mendelegasikan kepada bangsa luar kalau negaranya terpecah belah dan memutuskan untuk menjadi wilayah yang berdiri sendiri. berita juga tersiar kalau timur kembali dijajah warga asing karena tidak memiliki kekuatan hukum dan politik. Spot rasyid dan marni, seolah mereka mendengar berita wilayah seberang. Marni terlihat sangat terpukul dan tak berdaya karena timur terjajah. Rasyid merasakan penderitaan marni ketika mendengar berita soal wilayah timur, tapi ia tak dapat berbuat apa-apa. Suara berita itupun berhenti. Marni: Rasyid, aku cinta negaraku, tapi negara tidak mencitai ku. Aku matipun negara ini tidak akan membaik. Aku ingin menyentuhmu untuk yang terakhir kali. (2013: 13-14)
Bagian yang dikutip tersbeut, menunjukkan bahwa titik balik dari masalah yang dibicarakan dalam naskah drama “Paralel ‘45” diwakili oleh kisah Marni dan Rasyid yang akhirnya tak dapat bertemu lagi. Rasyid, di wilayah Barat, lebih bebas untuk pergi ke daerah perbatasan tersebut, sedangkan nasib Marni lebih tak menentu di wilayah Timur. Rasyid tak lagi mendengar kabar Marni secara personal. Ia hanya tahu bahwa
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
71
wilayah di Timur benar-benar hancur akibat pernyataan Pemimpin Barat. Nasib Marni dan warga di Timur sudah tak lagi dapat diperjuangkan oleh saudara setanah air mereka dulu di Barat. Rasa putus asa dan kekelaman menyelimuti bagian klimaks dalam drama ini melalui dialog-dialog yang diucapkan oleh tokoh Rasyid. Suara berita yang mengabarkan kekacauan menjadi latar, sementara, kesedihan Rasyid dituangkan melalui gerak-gerik dan kata-kata yang memohon-mohon untuk dapat bertemu lagi dengan istrinya. Hal tersebut membuat alur terasa mencekam sekaligus menyayat hati. Kerusuhan yang disebabkan oleh WC dalam naskah drama “Parlemen WC”, digambarkan terjadi karena adanya dua kelompok yang saling berkepentingan. Mereka yang membutuhkan WC untuk merebut kekuasaan dan mereka yang menginginkan WC tersebut untuk dihancurkan demi kesejahteraan bersama. Tokoh Parmin yang tidak terlibat dalam dua kubu tersebut, tidak dapat melakukan tindakan apa pun untuk mencegah perseteruaan. Massa dari masing-masing kubu telah menetapkan pendiriannya dan menolak untuk bermusyawarah mengatasi konflik tersebut. Mereka bahkan memanggil orang sakti untuk memecahkan masalah tersebut. Orang 1: Orang 3: Orang 2:
Lihatlah saudaraku. Mereka semua menjadi gila! Ya! Gila pada seonggok jamban! (tertawa) Ah, kalian masih saja buta! Lihatlah! Hukum adalah permainan, barang dagangan yang begitu mudahnya diperjualbelikan dan ditawar-tawarkan dengan harga obral besar (…) Orang 1: (…) Tanyakan saja pada Parmin! Dia tahu segalanya. Semuanya menengok ke arah Parmin yang kebingungan Parmin: Tidak…saya tidak pernah tahu. Tapi jika kalian meminta sesuatu yang aku tahu akan aku berikan. Mereka hanya kasut. Provokator. Mereka wabah maut. Pagebluk! Mbah Satimin: Jangan Ngger, jangan itu bahaya. Itu berarti kalian akan menantang maut. Orang 1: Tak peduli. Inilah yang sebenarnya kalian minta. Maka kami penuhi. Dan tak akan ada pagebluk seperti yang kalian ributkan. Bohong besar jika kalian harus terkungkung oleh ketakutan kalian. Inilah kesesatan kalian, kecongkakan kampung ini, dan kedaulatan kampung kalian. (…) Kalianlah saksi! Ya kalian saksi kebutaan kalian sendiri! (Orang 1, 2, dan 3 merusak WC yang menjadi monumen itu) Semua menjadi chaos yang tak lagi mampu terbendung. Pagebluk itu pun akhirnya datang tanpa menyisakan tawa sedikit pun. (2012: 48-50)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
72
Suasana santai dengan kelucuan para tokohnya, yang dibangun sejak awal, berubah secara drastis pada bagian klimaks. Ketegangan muncul di antara dialog dan lakuan para tokoh. Tidak ada lagi tokoh-tokoh yang dengan polosnya berinteraksi, mereka telah menunjukkan taring masing. Karjo dengan kepercayaan mistisnya terhadap peruntungan WC tersebut. Tokoh Perempuan 1 digugat oleh tokoh Perempuan lainnya karena mereka merasa telah ditipu oleh tokoh Perempuan 1 yang berambisi. Tokoh Orang 1, 2, dan 3 menyebutkan satu persatu dosa orang-orang di kampung tersebut. Mereka yang mengetahui segala kebusukan itu membukanya di hadapan semua orang. Walaupun pada bagian sebelumnya mereka digambarkan berseteru dengan tokoh Parmin, di bagian kutipan tersebut dapat dilihat bahwa mereka percaya tokoh Parmin tahu mana yang buruk dan benar. Sayangnya, tokoh Parmin yang memang digambarkan tidak memiliki kepentingan tertentu di sana, menjadi ciut nyalinya dan takut jika sikapnya memperburuk keadaan. Oleh sebab itu, tokoh Orang 1, 2, dan 3 mengambil langkah keras untuk menunjukkan keserakahan atas kekuasaan yang membelenggu mereka. Ketiga tokoh tersebut menghancurkan lambang kekuasaan di perpecahan itu. Segera setelahnya, reaksi keras datang dari mereka yang memiliki kepentingan atas nama kekuasaan, mereka yang membutuhkan WC, dan mereka yang menjadi korban belaka. Kerusuhan antarsesama warga terjadi. Tak ada lagi rasa persaudaraan yang dari awal kental terasa dalam naskah drama ini. Kekacauan besar segera terjadi pula dalam naskah drama “Pesta Sampah”, setelah semua manusia berubah menjadi boneka milik Pakdir. Dalam kutipan berikut ini, peristiwa besar yang menyangkut nasib hidup rakyat dipertaruhkan di atas meja judi oleh tokoh Pejabat. Ia—selama ini disebutkan—terlibat bisnis gelap dengan tokoh Pakdir. Bisnis yang ia gunakan untuk meraup keuntungan pribadi dari aset negara. Tukang kocok: pasang! Pakdir: satu gedung! Pejabat: lahan basah Kartu dibagikan Tukang kocok: kik Pakdir: pabrik… Pejabat: tambang minyak… Kartu dibagikan Pakdir: qiu pe’…
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
73 Pejabat: qiu tujuh… ………………………………………………………………………… Tukang kocok: pakdir menang. Pasang! Pakdir: 80% saham dunia, berani? Pejabat: semua asset…Negara! Kartu dibagikan Tukang kocok: kik… Pakdir: qiu enam Pejabat: jebot Pakdir: aku memang beurntung… Pakdir! Masih berani… ayo main terus, aku pasang anjing-anjingku semuanya ………………………………………………………………………… Pulung mulai tak tega. Ia merasa itu tidak lagi manusiawi. Pakdir terus Mempermainkan pejabat…pulung coba menutup mata Pakdir: sekarang kita pesta, nyalakan lampu dan music. Panggil para penghibur sejati. Kita menuju kota besi Musikal masuk. Mereka menari dan bernyanyi. Mereka adalah boneka berbedak tebal. Seketika panggung berubah menjadi pesta yang megah. Kota dengan segala isinya tumpah berhamburan. Ramai sekali.Musik syahdu biola.Pakdir berdansa. Di sudut lain ada barisan pelacur. Pembununhan, berkelahi, teriakan-teriakan histeria, tarian histeria. Perampasan, perjudian. Konser musik. Dugem. Suasana demikian kacau dan krodit. Ditengah itu semua pulung menyaksikan sebuah kebinatangan yang liar memenuhi Seisi kota. Ia menggugat dirinya. Ia bimbang. Kepalanya hampir pecah. Terlebih saat ia melihat Mulung menjadi seorang pelacur. Pulung: Aaaarrggh!!! (2011: 18—23)
Pejabat itu akhirnya dikalahkan oleh Pakdir di meja judi. Semua aset negara, yang merupakan milik rakyat, dihabiskannya untuk kepentingan pribadi tanpa ada pertimbangan yang masak. Di atas meja judi—sebuah permainan yang cepat dan membuat seseorang menjadi ketagihan—tokoh Pejabat menjual negara dan hartanya. Sosok penguasa yang diperlihatkan drama itu tak memikirkan kepentingan umum. Segera setelah kekalahannya, Pakdir mendapatkan hal yang diinginkannya. Ia menguasai seluruh isi negeri itu. Ia tidak hanya mengadakan ekspansi kekuasaan atas lahan dan sumber daya alam negara itu, tetapi juga mengeksploitasi manusia yang tinggal di sana. Tak ada lagi nilai moral yang menjaga keharmonisan hidup bersama. Pada titik tersebut, tokoh Pulung sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan besar. Ia telah menyerahkan dirinya, seperti juga tokoh Pejabat, untuk dikuasai oleh Pakdir. Musik dan tari-tarian yang memeriahkan suasana membuat kesedihan tokoh Pulung menjadi hal yang tragis. Terlebih, ketika tokoh Mulung muncul sebagai seorang
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
74
pelacur. Hal tersebut menjadi pukulan keras bagi tokoh Pulung. Ia teringat kembali dengan idealismenya di masa lalu. Untuk mencoba menyelesaikan masalah ini, yang juga menjadi bagian peleraian dalam naskah drama “Pesta Sampah”, tokoh Pulung berbicara pada Pakdir. Ia mengungkapkan nilai-nilai yang dipercayainya. Dalam pidatonya kepada tokoh Pakdir, ia berharap pula orang-orang menjadi sadar bahwa mereka telah dikuasai oleh uang. Kekuasaan kapitalisme mengalahkan kemanusiaan. Teknologi mematikan nurani mereka (“Pesta Sampah”: 24). Alih-alih menjadi sadar, orang-orang di sekitar tempat itu malah menertawakan ucapan Pulung. Mereka sudah tak lagi menjadi manusia yang memiliki hati sehingga perkataan Pulung terdengar seperti bualan sia-sia. Tokoh Pakdir dengan segera meringkus Pulung yang dianggap mengganggu ‘pesta’ tersebut. Tak ada lagi tempat bagi Pulung di sana sebab semuanya telah digerakkan oleh kekuasaan Pakdir yang menguntungkan dirinya sendiri. Peleraian dalam naskah drama “Paralel ‘45” ditunjukkan dengan tindakan tokoh Marni dan Rasyid. Mereka tak lagi mampu mengatasi ketidakadilan dan kekacauan di wilayah masing-masing, terlebih lagi mengatasi jarak yang memisahkan cinta mereka. Tak lama kemudian, dengan niat untuk bertemu satu sama lain yang terakhir kalinya, mereka pun pergi ke tembok Paralel ’45. Namun, keadaan sudah tak sama lagi seperti dulu. Tak ada lagi kompromi bagi siapa pun yang mendekat, seperti yang terlihat pada bagian kutipan berikut ini. Marni:
Rasyid:
Rasyid, aku cinta negaraku, tapi negara ini tidak mencintaiku. Aku matipun negara ini tidak akan membaik. Aku ingin menyentuhmu untuk yang terakhir kali. Marni, aku cinta negaraku, tapi negara ini tidak mencintaiku. Aku matipun negara ini tidak akan membaik. Aku ingin menyentuhmu untuk yang terakhir kali.
Adegan 8 Di barat dan timur masih dijaga oleh Herman, Munir, Widodo, dan penjaga lain yang bertambah. Kemudian Marni dan Rasyid berlari ke arah paralel. Semua penjaga meneriaki mereka, menodong senjata. Herman: hey, jangan bertindak bodoh. Mau apa kau, menjauhlah. Kau bisa mati. Menjauh atau ku tembak kau dan mati sebagai pengkhianat. Ku bilang berhenti. Munir: Mau apa kau? Hey, kali ini aku akan benar-benar menembakmu kalau mendekat. Dinding itu berbahaya. Berhentiiii!! (tapi Marni dan Rasyid tidak menghiraukannya, mereka terus berlari sampai
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
75 akhirnya mereka berhasil memanjat dinding paralel dan berhasil menyentuh satu sama lain. Setelah baru saja bertemu di atas dinding, peluru panas menembus tubuh mereka. (2013: 14-15)
Dengan kematian, Marni dan Rasyid menyimbolkan leraian dari masalah yang pelik antara kekuasaan dan manusia. Tindakan yang memilih mati dapat berarti bahwa mereka tak lagi menemukan alasan untuk hidup atau dapat pula mengisyaratkan bahwa masalah kekuasaan yang sejak awal menjadi isu utama dalam drama ini, berujung buntu. Dalam proses kematian Marni dan Rasyid, ada banyak hal—seputar masalah yang sejak awal dibicarakan—terjadi. Masalah kemanusiaan yang muncul pada diri Herman dan Munir—tentara masing-masing wilayah—yang dihadapkan pada pilihan sulit. Bagi Marni dan Rasyid, lompatan mereka yang berujung tembakan, merupakan terakhir kali mereka bertaruh atas nasib dan kepercayaan terhadap cinta. Mereka telah diperingatkan oleh tentara kedua belah pihak. Peringatan tersebut menjadi semacam wujud hati nurani Herman dan Munir yang terucapkan. Untuk yang terakhir kalinya, mereka merasakan rasa kemanusiaan dalam diri mereka. Akan tetapi, bagi Marni dan Rasyid, peringatan itu adalah sebuah tiket menuju kebebasan yang kekal. Ketidakpedulian mereka menandakan bahwa mereka telah siap menghadapi risiko terburuk sekali pun. Hal tersebut melerai segala konflik yang mungkin akan lebih parah lagi terjadi karena kesewenang-wenangan penguasa. Sementara itu, dalam naskah drama “Parlemen WC”, tidak ditemukan adanya bagian peleraian masalah utama. Setelah kekacauan terjadi, kehancuran merupakan akhir bagi riwayat kampung tersebut. Tak ada lagi hal yang dapat diceritakan sebab semuanya telah musnah bersama dengan keserakahan dan kelaliman dari sihir kekuasaan. Semua tokoh telah hilang dalam kekacauan yang sebelumnya terjadi hingga tak bersisa sama sekali. Suasana akhir dalam drama tersebut terasa hampa sama seperti keadaan kampung setelah kerusuhan. WC yang selama ini diibaratkan sebagai bentuk kekuasaan dan pernah berdiri kokoh di kampung tersebut, kini terlihat mirip seperti tempat sampah yang rusak. Fungsinya telah hilang bersama dengan esensinya yang disalahgunakan oleh warga kampung tersebut (“Parlemen WC”: 50)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
76
Serupa dengan naskah drama “Parlemen WC”, kedua drama lainnya pun berakhir dengan penyelesaian yang hampa. Tak ada lagi tanda kehidupan yang ditunjukkan oleh tokoh-tokohnya. Tokoh Herman berhasil menembak Marni dan tokoh Munir berhasil menembak Rasyid (“Paralel ‘45”). Yang tersisa dari diri mereka, digambarkan dengan sederhana melalui petunjuk pemanggungan, hanya tatapan nanar pertanda hilangnya rasa kemanusiaan itu. Dalam naskah drama “Pesta Sampah”, panggung dinyatakan telah sepi dari keramaian pesta binatang. Tokoh Pulung terlihat dibungkus plastik dengan ditemani Mulung yang digambarkan hilang jiwanya. Sementara di kejauhan, tokoh Pakdir diarak oleh orang banyak. Mereka berdua tak memberikan reaksi apa pun pada kejadian tersebut. Melalui kalimat penutupnya, “Mereka ditelan cahaya gelap” (“Pesta Sampah”: 25), drama ini berakhir tanpa adanya penegakan keadilan. Ketiga drama ini berakhir tragis walaupun sebelumnya dibuka dengan bermacam-macam suasana. Bahkan dua naskah—“Pesta Sampah” dan “Paralel ‘45”— yang awalnya terlihat ceria, tak mampu memberikan akhir yang bahagia bagi tokohtokohnya. Namun, melalui akhir yang tragis, kritik dan sindiran dalam ketiga drama ini justru lebih terasa. Wajah buruk dari kekuasaan mampu digambarkan melalui pembagian peristiwa yang bervariasi dalam alur. Selain itu, tak hanya menawarkan hubungan vertikal antara manusia dan kekuasaan, ketiga drama ini juga memperlihatkan bagaimana kekuasaan memakan habis mereka yang berkuasa. Perkembangan alur dalam ketiga drama ini dapat dikatakan menyerupai sebuah bentuk piramida. Hal tersebut dapat dilihat dalam gambar 1.2 di bawah ini. Grafik tersebut menunjukkan bahwa perkembangan alur yang terjadi dalam ketiga drama ini memiliki kemiripan antara yang satu dan lainnya. Hal itu dapat menandakan bahwa dalam relasi antara manusia dan kekuasaan ditemukan sebuah pola yang sama. Pola tersebut diwujudkan dari disharmoni hubungan manusia (rakyat) dan kekuasaan (pemerintah, jabatan, atau pejabat). Disharmoni muncul sebagai akibat dari kesalahan pemahaman atas konsep-konsep kekuasaan.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
77
12 10 8 6 4 2 0 paparan
perumitan Parlemen WC
klimaks Paralel 45
peleraian
penyelesaian
Pesta Sampah
Gambar 2.2 Alur Tiga Drama Relasi Manusia dengan Kekuasaan
Sebagai penanda perubahan alur, digunakan latar suasana untuk membedakan antara peristiwa yang satu dan lainnya. Suasana pada bagian pemaparan membangun keadaan yang ingin ditampilkan dalam naskah drama. Naskah drama “Paralel ‘45” telah menempatkan ketegangan di bagian awal karena ingin memberikan rasa bahaya dari situasi yang digambarkan. Dalam dua drama lainnya, suasana digambarkan lebih santai dibandingkan dengan “Paralel ‘45”. Suasana dalam naskah drama “Parlemen WC” dibuat lucu dengan tingkah komikal para tokohnya. Kelucuan tersebut dipergunakan untuk memperlihatkan bentuk kekuasaan di dalam naskah drama ini, yaitu sebuah WC. Sedang dalam naskah drama “Pesta Sampah”, ada suasana syahdu di balik penderitaan yang diperlihatkan oleh para tokoh. Suasana ini sengaja dibangun untuk memperlihatkan sifat dan karakter manusia yang ideal. Pada dasarnya, drama ini memperlihatkan kondisi manusia dan kekuasaan yang seringkali terjalin dengan penuh ketegangan, ambisi, dan kesewenang-wenangan. Dengan memberikan akhir yang tragis, ketiga drama ini nampaknya berusaha memberikan sebuah nasihat atau solusi untuk menyudahi kondisi seperti di dalam naskah drama. Namun, nasihat ini tidak disampaikan secara eksplisit melainkan dengan kesunyian dari bentuk kehancuran dan kematian rakyat di tangan penguasa.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
78
2.3 Drama tentang Relasi Manusia dengan Masyarakat Membicarakan mengenai manusia dan lingkungan sosialnya, sebenarnya merupakan sebuah area pembahasan yang sangat luas. Ada banyak satuan kecil yang membentuk sebuah lingkungan sosial. Dalam tiap satuan kecil tersebut terdapat masalah. Masalah-masalah dari satuan-satuan tersebutlah yang banyak ditemukan dalam ketiga drama ini. Masalah disfungsi suami istri dan perselingkuhan dalam lingkup rumah tangga, masalah pengkhianatan dan rasa bersalah dalam kehidupan bertetangga sampai pada pembentukan paradigma yang salah. Hal-hal tersebut saling mengisi di dalam drama sehingga menimbulkan warna-warni tersendiri untuk masalah ini. Masalah-masalah tersebut ada yang sudah sering sekali dibahas13 dalam drama lainnya, ada pula yang benar-benar baru. Hal-hal baru tersebut biasanya datang dari perkembangan zaman. Misalnya, keadaan istri meninggalkan suami yang sebelumnya dianggap suatu hal luar biasa, dalam drama ini sudah menjadi suatu hal yang biasa saja. Ada juga penggambaran tindak kriminal yang identik dengan masyarakat kelas menengah bawah. Pada lapisan masyarakat ini, hal tersebut sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka yang biasa. Keunikan-keunikan tersebut dibawa oleh tiap pengarang ke dalam dramanya. Ada yang bernada menyindir, ada pula yang secara terangterangan berceramah tentang baik dan buruknya dalam situasi-situasi tersebut. Dalam ketiga drama ini, lingkungan sosial yang diciptakan tentu berkiblat pada kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Oleh sebab itu, muncul pula kebiasaan dan tradisi-tradisi dalam drama ini. Corak kedaerahan juga dimunculkan melalui identitas tokoh atau cara tokoh membawakan dirinya. Pada intinya, drama-drama ini memunculkan realitas kehidupan yang dapat dialami oleh siapa saja yang membacanya.
Zen Hae menuliskan dalam artikel “Sejumlah Masalah dalam Naskah dan Lakon” bahwa potret kemiskinan merupakan salah satu masalah yang sudah berulang kali diangkat ke dalam naskah drama. Mulai dari drama “Kapai-Kapai” karangan Arifin C. Noer, “Sobrat” karangan Arthur S. Nalan sampai drama “Opera Kecoa” karangan Nano Riantiarno , masalah kemiskinan hadir dalam berbagai bentuk di sepanjang masa. (Panggung: Majalah Festival Teater Jakarta, 2011: 18). 13
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
79
2.3.1 Sinopsis Drama Relasi Manusia dengan Masyarakat “Roman” Roman dan Atun terpaksa meninggalkan anak mereka di desa karena harus mencari uang di tempat ini. Roman yang buta bekerja sebagai tukang urut dan Atun membuka usaha warung. Walaupun Roman buta dan mereka hidup dalam ekonomi yang sulit, pasangan tersebut saling mencintai. Sampai suatu ketika, Roman diberitahu oleh para tetangga tentang perubahan sikap Atun yang semakin suka berdandan. Oleh karena itu Roman curiga dan cemburu pada seorang tetangga mereka yang baru saja menduda, yaitu Bambang. Ternyata Bambang merupakan kekasih Atun yang dulu. Ia dan Atun harus berpisah karena keluarga Atun berhutang budi pada keluarga Roman sehingga Atun terpaksa menikah dengan Roman. Sampai suatu ketika, Roman yang gelap mata, melabrak Bambang yang dicurigai tengah berselingkuh dengan istrinya. Akhirnya, Roman kehilangan istrinya. Ia pun hidup semakin menderita tanpa istri “Te(N)tangga(NG)” Risti yang baru saja pindah ke rumah kontrakan barunya mendapati kejanggalan dalam komunitas barunya. Suatu malam, ia melihat seorang laki-laki marah-marah, seorang pelacur, seorang calon wisudawan gila, anak muda bergaya metal, dan Pak RT yang ketus. Siangnya, ia mendapati orang-orang tersebut berubah 180 derajat menjadi berbeda. Laki-laki yang marah tersebut ternyata adalah seorang bapak agen asuransi. Yang semalam menjadi pelacur, ternyata adalah istri bapak tersebut dan bekerja sebagai wanita karier sukses. Dua pemuda semalam ternyata adalah anak mereka, si wisudawan adalah mahasiswa yang kerjanya demo dan anak metal ternyata seorang anak muda rajin beribadah. Keanehan ini mengusik Risti sampai akhirnya ia memutuskan sendiri melakukan suatu pembongkaran identitas. Ia akhirnya tahu bahwa memang begitulah keadaan keluarga tersebut. Di siang hari yang tampak oleh semua orang, mereka orang baik. Dan di malam yang gelap, mereka menunjukkan sisi lain diri mereka.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
80
“Lima Pintu” Ada lima pintu dalam sebuah kontrakan. Pintu pertama dihuni oleh suami-istri pintu satu yang belum juga dikaruniai anak. Pintu dua dihuni oleh seorang janda dengan dua orang anak gadis. Pintu tiga dihuni oleh suami-istri pintu tiga yang dikaruniai seorang anak yang masih kecil. Pintu empat dihuni tiga gadis muda yang sudah bekerja. Pintu lima merupakan ruangan dapur yang digunakan bersama. Setiap hari, suami pintu satu dan pintu tiga berjaga di depan untuk melihat anak pertama ibu pintu dua berangkat kerja. Hal itu kemudian disusul dengan kemarahan istri-istri mereka dan pertengkaran kecil lainnya. Namun, setiap kali tukang sayur lewat, para istri seolah lupa dengan suaminya dan langsung menyerbu si tukang sayur. Akibatnya , para suami mengamuk. Ada juga kejadian lain, seperti pamer-pameran antara para istri perihal harta. Si kecil yang terus menangis karena sakit, suami pintu tiga yang diusir, sampai pacar Lela yang datang berkunjung. Suatu malam, Lela yang kalut karena terus dipersalahkan atas polemik rumah tangga di sana, duduk sendirian di luar. Tiba-tiba ia disekap oleh seorang pemuda asing dan dibawa paksa ke pintu lima. Paginya, kampung itu geger karena Lela ditemukan telah meninggal. Dari surat yang ditinggalkan, diketahui bahwa pelakunya adalah si tukang sayur yang cemburu melihat Lela dikunjungi lelaki lain setelah Lela menolak cintanya.
2.3.2 Analisis Struktur Drama Relasi Manusia dengan Masyarakat Berdasarkan sinopsis ketiga naskah drama yang berbicara tentang relasi manusia dengan masyarakat, ditemukan ada banyak masalah seputar kehidupan bertetangga. Beberapa masalah kecil, seperti ketidakharmonisan rumah tangga antarpasangan dan kesulitan ekonomi masing-masing penghuni, menjadi kesulitan untuk melihat inti dari masalah-masalah tersebut.
Hal ini disebabkan oleh
keanekaragaman karakter tokoh yang menjadi fokus pembicaraan relasi manusia ini. Namun, dengan merunutkan masalah-masalah turunan yang muncul, akan ditemukan satu masalah utama tentang relasi manusia dan masyarakat di tiap drama. Perunutan
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
81
masalah-masalah tersebut dapat dimasukkan ke dalam tiga bagian yang tergambar dalam bagan berikut ini.
masalah yang dibawa dari anggota masyarakat lain masalah personal tokoh masalah personal tokoh dalam lingkup masyarakat
Skema 2.1 Ruang Lingkup Masalah Relasi Manusia dengan Masyarakat
Peristiwa dalam ketiga naskah drama ini terbagi ke dalam tiga bagian besar. Bagian luar melingkupi pemaparan masalah dan perumitan masalah yang berisi peristiwa-peristiwa masalah tokoh utama dengan tetangga. Bagian tengah dari masalah ini—yang melingkupi klimaks—merupakan bagian yang mengerucut ke hal yang bersifat personal. Bagian terakhir dari pembagian peristiwa dalam ketiga naskah drama ini, melingkupi peleraian dan penyelesaian masalah, yaitu bagian personal yang memantul kembali ke luar. Pada bagian akhir tersebut, konflik yang dialami oleh tokoh utama akan menjadi refleksi dalam kehidupan bermasyarakat. Ketiga naskah drama ini memiliki kesamaan cara untuk memaparkan masalah utama yang dialami oleh para tokoh. Pemaparan dalam naskah drama “Lima Pintu”, “Te(N)tangga(NG)”, dan “Roman” memberikan gambaran tentang situasi masyarakat
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
82
yang akan diangkat dalam alur drama. Bagian ini menunjukkan latar tempat dan beberapa tokoh yang menonjol sehingga dapat dilihat bahwa drama-drama ini menggunakan potret masyarakat kelas menengah ke bawah. Hal tersebut nampak dalam pemilihan tempat tinggal serta gaya berinteraksi para tokoh. “Te(N)tangga(NG)” Adegan 1 Setting adalah sebuah gang kecil yang hanya muat dilewati satu kendaraan. Rumah yang saling berdempetan memperlihatkan kekerabatan yang kuat antar penghuni gang tersebut. Kala itu malam hari dan tampak seorang pria paruh baya yang sedang berdiri menatap ke suatu rumah di ujung gang. Amir:
(berteriak marah) dasar perempuan jalang!!! Kau bisa saja bertingkah seperti santri di hadapan orang tua dan keluargamu, tapi tidak di depanku!! Kau aku tidak tahu apa yang akan selama ini kamu lakukan, berlagak seperti wanita elegan tapi punya otak kampungan… dasar wanita keparat!!!
Seuara teriakan Amir tampak membahana di seluruh gang tersebut hingga memaksa Risti, seorang mahasiswa yang baru mengontrak di sebuah kontrakan kecil di gang itu keluar dan mengintip apa yang sebenarnya terjadi. (2011: 1)
“Lima Pintu” Bagian ke Satu Rumah petak berderet. Lima buah pintu. Pintu paling kiri pasangan suami istri yang lima tahun menikah, tapi belum memiliki anak. Pintu ketiganya juga pasangan keluarga, memiliki satu anak yang masih bayi. Dan pintu atau tepatnya, yang paling tengah menghuni antara pasangan pintu satu dan tiga seorang janda dengan dua orang anak yang sudah cukup besar. Seorang (…) di pintu keempat, tiga anak perempuan yang semuanya bekerja di sebuah pabrik. Rata-rata berusia sekitar dua puluh tahun. Dan yang terakhir, atau pintu ke-lima, kontrakannya masih kosong. (…) dan di areal paling pojok juga ada kamar mandi bersama. Suara di pintu satu. Istri pintu satu: Kang, buruan mandinya! Sudah jam tujuh nih. Nanti alasan terlambat lagi. Dah dua hari gak masuk kerja, kan sayang gajimu dipotong terus. Suami pintu satu:Iya, sabar. Sebentar lagi juga selesai. Lagi beres-beres… Istri pintu tiga: Yang antri banyak lho… ……………………………………………………………….. Seorang wanita dengan seragam sekolah keluar dari pintu dua. Neneng: Maaa, aku berangkat! (berteriak) Ibu pintu dua: Iya, hati-hati! (dari dalam rumah) (2013: 2-3)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
83
“Roman” Babak II Terdengar sebuah lagu yang dinyanyikan oleh beberapa. Orang yang duduk di bale didepan rumah Roman. Tampak, Ning sedang mencuci dan tanpa menyadari sedang diperhatikan oleh salah seorang dari mereka. Tidak lama kemudian Juned, suami Ning, keluar dari rumahnya. ………………………………………………………………….. Kemudian Roman keluar dari rumahnya dan mendekati Ning Roman: Juned punya simpanan lagi, Ning? Ning: Kalau saya dengar dari teman-temannya di posko, memang begitu. Tapi saya juga belum pernah mergokin, Mas. Roman: Kamu percaya? …………………………………………………………………………. Bambang datang membawa sebuah tas dan kardus. (2011: 1-6)
Pada tiga kutipan di atas, ditemukan gambaran tentang lingkungan tempat tinggal mereka yang berdekatan satu sama lain. Kehidupan bertetangga yang erat disebabkan oleh jarak yang dekat serta sifat-sifat dari masyarakatnya yang masih membuka diri satu sama lain. Kedekatan tersebut, selain menimbulkan keakraban, ternyata juga memicu konflik. Masalah satu rumah dapat diketahui oleh penghuni rumah lain karena jarak yang dekat. Dari keinginan untuk membantu sampai berubah menjadi sekadar ingin tahu pun menjadi mungkin terjadi di lingkungan seperti itu. Masalah ekonomi juga menjadi penyebab kemampuan mereka mengusahakan lahan tinggal yang layak. Tingkat ekonomi yang rendah menimbulkan pilihan area tempat tinggal dan rumah pun menjadi sangat kecil jangkauannya. Mereka diperlihatkan tinggal di daerah padat penduduk, gang, atau rumah kontrakan yang kumuh. Para penghuni pun digambarkan tidak asli dari kota, tetapi ada yang merupakan pendatang dari desa. Perbedaan asal usul ini juga menambah kerumitan dalam hubungan yang terjalin di antara para tokoh. Walaupun demikian, tetap ada kedekatan yang hangat dan akrab di antara mereka. Perlu diperhatikan perbedaan antara pemaparan masalah dalam naskah drama “Roman” dengan dua naskah drama lainnya. Naskah drama “Roman” tidak meletakkan bagian pemaparan ini di adegan pertama. Adegan pertama justru dibuka dengan kejadian yang terjadi sekarang, yaitu sebuah monolog tokoh Roman yang seolah merahasiakan sesuatu. Alur kemudian mundur ke belakang untuk menjelaskan maksud dari adegan tokoh Roman tersebut. Hal ini menandakan bahwa alur drama akan
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
84
berfokus pada tokoh Roman sehingga perlu diperhatikan hal-hal yang mungkin mengarah pada rahasia tersebut. Selebihnya, cara dan suasana pemaparan dalam drama ini sama dengan yang lainnya. Untuk mencari tahu masalah utama dalam drama, dapat pula diperhatikan dari pemilihan judulnya. Dari judul naskah drama “Te(N)tangga(NG)” dan “Lima Pintu”, terdapat kesan bahwa masalah yang diangkat berhubungan dengan orang banyak. Hal ini disebakan pada pemilihan kata yang bersifat komunal, tetangga dan lima pintu. Judul “Te(N)tangga(NG)” dapat terbaca menjadi dua, ‘tentang gang’ dan ‘tetangga’, keduanya-sama-sama merujuk kehidupan bersosial manusia. Judul drama “Lima Pintu” memunculkan bayangan tentang bangunan berpintu banyak atau ruangan yang dihuni oleh lebih dari satu orang. Oleh sebab itu, pernyataan kuantitas tersebut mematahkan kemungkinan bahwa naskah ini berfokus pada satu orang saja. Untuk naskah drama “Roman”, kata tersebut merujuk pada tokoh utama yang menjadi fokus dalam drama. Seperti diungkapkan pada paragraf sebelumnya, bagian monolog Roman mengindikasikan bahwa ia akan menjadi fokus utama dalam drama maka judul tersebut memang berarti nama tokoh utama. Masalah mulai muncul ketika satu persatu tokohnya terlibat dalam sebuah interaksi yang intens. Karakter dari masing-masing tokoh diperlihatkan mulai nampak melalui gerak-gerik, bahasa tubuh, serta deskripsi penampilan. Seperti dalam naskah “Te(N)tangga(NG)”, tokoh Risti yang baru saja pindah ke rumah kontrakannya yang baru, tiba-tiba dikejutkan oleh kehadiran beberapa tokoh lain yang sangat mengganggu ketenangan. Ia segera ke luar dari kamarnya dan melihat keributan yang terjadi di lingkungan barunya tersebut. Risti digambarkan begitu terkejut ketika pertama kali bertemu dengan tetangga-tetangga barunya yang berkepribadian sedikit ‘tak biasa’, seperti dalam kutipan adegan berikut ini. Amir:
(berteriak marah) Dasar perempuan jalang!!! Kau bisa saja bertingkah seperti santri di hadapan orang tua dan keluargamu, tapi tidak di depanku!! Kau aku tidak tahu apa yang akan selama ini kamu lakukan, berlagak seperti wanita elegan tapi punya otak kampungan… dasar wanita keparat!!! Suara teriakan Amir tampak membahana di seluruh gang tersebut hingga memaksa Risti, seorang mahasiswa yang baru mengontrak di sebuah kontrakan kecil di gang itu keluar dan mengintip apa yang sebenarnya terjadi.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
85 ……………………………………………………………………………… Tami: Taik juga ya lo.. panggil gue Tami.. trus ngomongnya pake gue elo aja, gak usah saya.. kaya di kantor kelurahan aja pake saya-sayaan segala…Kuliah apa kerja? Risti: Kuliah.. Lalu terdengar suara ribut dari kejauhan. Risti pun mendengar dan sempat memberikan tanda kepada Tami, namun Tami hanya diam saja. Lalu beberapa saat kemudian datanglah seorang anak muda mengenakan pakaian toga selayaknya orang yang baru diwisuda. ……………………………………………………………………………… Lalu Tami pun bergegas keluar panggung. Risti: Kuliah di mana mas Ritus?? Ritus: Gak usah pake mas, gue bukan orang Jawa.. gue kuliah di UNJ ambil Teknik Industri.. Belum selesai Ritus berbicara sudah ada seorang lelaki yang masuk ke dalam panggung. Ferry: Ahh tai nih nyokap.. masa orang mau ngeband aja gak boleh, anaknya mau jadi musisi malah dilarang-larang.. tai Risti semakin bingung melihat situasi yang terjadi di gang ini. (2011: 2-6)
Dari kutipan di atas, Risti digambarkan kebingungan menghadapi tetangga barunya yang bersikap sedikit berbeda. Awalnya, ia dikejutkan dengan suara seorang bapak memaki-maki, sampai mengancam untuk membunuh, kepada seseorang yang tidak jelas siapa. Tak lama kemudian, masuklah seorang wanita dewasa yang bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK). Belum sempat Risti memahami apa yang sebenarnya terjadi di lingkungan baru tersebut, muncul tokoh anak muda yang baru diwisuda. Menurut keterangan dari tokoh Tami, pemuda bernama Ritus itu mengalami gangguan jiwa. Setelah Ritus, muncul pemuda lain yang terobsesi menjadi anak band tetapi digambarkan bergaya norak. Terjadilah adu mulut antara Ritus dan anak band yang bernama Ferry sehingga berujung pada perkelahian. Risti yang belum dapat memahami situasi tersebut, kesulitan untuk memisahkan mereka sampai akhirnya tokoh Ketua RT datang. Mereka dibubarkan dari tempat tersebut oleh Ketua RT. Maksud hati Risti ingin mengadukan hal yang dilihatnya kepada Pak Herri, reaksi Pak Herri justru menambah kebingungan tokoh Risti. Hal yang lebih mengejutkan dari peristiwa tersebut adalah ketika tokoh Risti bertemu dengan keempat tetangga barunya tersebut di suatu siang. Mereka berubah menjadi orang yang sama sekali berbeda. Tokoh bapak, yang bernama Amir, ternyata adalah seorang agen asuransi. Ia sangat ramah kepada Risti. Perilakunya yang ramah
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
86
cenderung persuasif disebabkan oleh pekerjaannya sebagai seorang penjaja asuransi. Lalu ada pula tokoh Tami, yang di malam sebelumnya digambarkan sebagai seorang PSK, kini ia muncul dengan penampilan sebagai seorang wanita karier. Tuturnya lembut dan sikapnya keibuan, sangat berbeda dari yang dilihatnya tempo hari. Tokoh Ritus yang disebutkan gila, muncul sebagai seorang aktivis kampus yang memiliki dedikasi tinggi terhadap reformasi. Muncul pula tokoh Ferri, anak band yang norak, berubah menjadi seorang pemuda mesjid yang religius. Sifat dan perilaku mereka yang berbeda di malam dan siang hari membuat tokoh Risti mengalami kepanikan. Pada malam hari, sifat dan perilaku mereka berasosiasi dengan segala hal yang dianggap buruk dan salah oleh masyarakat. Sementara itu, pada siang hari, mereka berubah menjadi orang-orang yang normal dan mengerjakan kebaikan. Tokoh Risti yang digambarkan masih duduk di bangku kuliah, merasa terpanggil untuk memecahkan keanehan tersebut. Ia pun mengundang sahabatnya untuk datang ke lingkungan barunya tersebut sehingga dapat menyaksikan peristiwa yang luar biasa itu. Tidak ada tokoh lain yang percaya dengan apa yang dibicarakan tokoh Risti. Selain itu, hanya Risti seorang yang melihat dualisme dalam diri tetanggatetangga barunya. Temannya, Dina, bahkan sama sekali tidak menemukan peristiwa yang dikatakan Risti. Semenjak Dina menginap, keempat tokoh yang berkepribadian ganda14 tersebut tidak muncul seperti biasanya. Hal ini menimbulkan kekalutan sekaligus juga tantangan bagi jiwa muda Risti yang masih bergejolak dengan rasa ingin tahu. Masih dalam setting yang sama dengan waktu yang berbeda. Suasana malam kembali terlihat di atas panggung. Tampak Risti bersama temannya Dina sedang duduk di kamarnya. Mereka tampak membicarakan sesuatu. Dina: Mana Ris? Udah tiga hari gue di kontrakan lu, kayaknya gak ada yang aneh… Risti: Tunggu aja Dina… biasanya keanehan itu terjadi tiap hari, tapi ini gak tau kenapa sejak lo ada disni kok keanehan itu malah gak ada… gue juga bingung.. Dina: Jangan ngada-ngada deh lo Ris (…)
14
Gangguan identitasi disosiatif yang timbul karena adanya kejadian pada masa lalu yang mengakibatkan trauma pada penderita. Penderita gangguan penyakit kejiwaan ini biasanya memiliki lebih dari satu kepribadian yang memegang kendali atas diri mereka.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
87 (memohon-mohon) sebentar lagi Din… Sebentar lagi… (melihat ke arah jam) sebentar lagi seorang pria keluar dari gang itu sambil marah-marah Dina: (memotong) setelahnya seorang wanita berlagak seperti pelacur murahan, lalu anak kulihan dan seterusnya anak metal… ya tapi mana buktinya Ris? Uda jam berapa sekarang?? Lagian keadaan kaya begitu kayaknya biasa deh, ………………………………………………………………………….. Risti: (tertawa) hahaha… ini sebenernya yang aneh gua apa tetangga itu sih?? Gua masih waras kan? Masih waras kan??? (berteriak) ahhhh…. Kenapa sih sama gue????!!! (sesekali memukul kepalanya sendiri) normal… normal…normal…. Normal… normal…. Ayo dong normal!!! Gue gak sakit!!!! Mereka yang sakit!!! (menangis) gua normal… gue gak sakit… gue normal… gak sakit…. (seperti tersadar akan sesuatu) ya… gua mesti cari tau apa yang terjadi sama tetangga gue itu… gang itu…. Semua orang yang ada di lingkungan ini… gua harus cari tahu…. (diam memikirkan sesuatu) besok gue bongkar semuanya, gua mau buktiin sama dina kalau yang gua ini benar… Risti:
Hal yang menarik dari kutipan di atas, selain fakta bahwa keempat tokoh itu hanya muncul di hadapan Risti, adalah pernyataan Dina tentang penyimpangan perilaku manusia di dalam masyarakat. Dina seolah-olah menegaskan bahwa kriminalitas, prostitusi, dan fenomena sosial lain merupakan hal yang biasa terjadi di dalam sebuah lingkungan tempat tinggal. Tidak ada yang aneh dengan keberadaan orang-orang tersebut. Hal ini menarik, mengingat perilaku mereka pasti berbeda dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Perbedaan tersebut biasanya memaksa orang yang menyimpang dari konvensi nilai sosial yang ada, seperti nilai-nilai yang melarang adanya tindakan maksiat, untuk berubah atau justru secara langsung mengalami alienasi dari kelompok sosialnya. Kenyataan yang disebutkan oleh Dina dapat berarti dua hal, adanya pergeseran nilai sehinggal hal seperti itu menjadi biasa saja atau lingkungan tempat tinggal masyarakat kelas menengah bawah memang identik dengan hal seperti itu. Hal yang kedua mungkin terjadi, jika faktor ekonomi telah demikian buruk menekan masyarakat sehingga mereka dapat melakukan apa saja untuk bertahan hidup. Namun, perilaku tersebut tidak terbawa dalam kehidupan bertetangga sehingga dimaklumi saja oleh orang-orang sekitarnya.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
88
Faktor ekonomi yang menentukan kualitas manusia dalam suatu kelas sosial memang muncul dalam naskah-naskah drama ini. Hal ini disebabkan oleh pemilihan potret masyarakat menengah ke bawah yang memiliki konsentrasi lebih besar dalam hal ekonomi. Kesulitan ekonomi tersebut berdampak pula pada minimnya pendidikan yang didapat. Faktor pendidikan tersebut mempengaruhi pemilihan bahasa, aktivitas, serta perilaku para tokoh. Hal ini terlihat dalam pemaparan masalah naskah drama “Lima Pintu” yang mengupas kehidupan bertetangga empat penghuni di kontrakan tersebut. Keempat penghuni kontrakan itu adalah keluarga kecil atau beberapa orang yang secara ekonomi memang terbilang kurang. Penghuni pintu satu adalah suami istri yang belum memiliki anak. Penghuni pintu dua adalah seorang janda yang telah memiliki dua anak gadis, yaitu Lela dan Neneng. Penghuni pintu tiga adalah pasangan suami istri dan bayinya. Penghuni pintu empat adalah tiga orang karyawati yang masih muda. Selanjutnya, para tokoh ini akan disebut sesuai dengan status mereka dan nomer kamar yang dihuni, misalnya Istri Pintu Satu. Masalah di antara mereka mulai tercium ketika tokoh-tokoh ini mulai mengeluarkan karakter mereka yang khas. Para istri digambarkan senang membanggabanggakan apa yang tidak dimiliki oleh tetanggganya, seperti Istri Pintu Tiga (selanjutnya disebut IPT) suka membanggakan anaknya kepada Istri Pintu Satu (selanjutnya disebut IPS) yang belum memiliki anak. Akan tetapi, mereka akan menjadi kompak ketika menghadapi suaminya masing-masing yang cuci mata dengan anak Ibu Pintu Dua (selanjutnya disebut IPD), Lela. Para suami ini ditampilkan sebagai laki-laki pekerja yang menafkahi keluarga, tetapi sering berada di bawah tekanan istriistri mereka yang galak. Para istri juga digambarkan sebagai ibu rumah tangga yang menunggu suaminya pulang sambil mengurus rumah sehingga jadi bosan dan sering kali melakukan pekerjaan yang tidak berguna, seperti adu gengsi ke tetangga atau marah kepada suami. Stereotip-stereotip itu muncul untuk menandakan adanya masalah dalam relasi gender di dalam rumah tangga Suami Istri Pintu Satu dan Tiga. Masalah seputar gender tersebut memang tidak secara spesifik disebutkan, tetapi dapat ditangkap adanya tendensi untuk menyindir perilaku pasangan suami istri
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
89
yang tidak membagi perannya secara adil. Akibatnya, para istri—dalam naskah drama ini—digambarkan sering merasa kecewa dan melampiaskannya lewat kemarahan. Tokoh suami yang pusing menerima perlakuan istrinya, berubah menjadi laki-laki mata keranjang. Namun, yang menarik, tokoh Suami tidak antusias menggoda penghuni pintu empat—yang berisi karyawati muda—padahal mereka begitu giat menggoda Lela. Jadi, para suami ini tidak sekadar main mata sembarangan dan asal tembak perempuan mana saja, tetapi lebih terlihat memberi kekaguman pada Lela. Hanya saja, melalui interaksi dengan istrinya yang kurang baik, perilaku mereka dianggap berselingkuh. Padahal jika diperhatikan, ada pula adegan para istri yang terlalu ‘akrab’ dengan tukang sayur sehingga menyebabkan para suami marah. Kemarahan para istri ini tidak sama dengan yang dialami para suami, yang langsung memecahkan masalah dan berhenti di titik tersebut. Para istri yang marah setiap kali suami mereka memperhatikan Lela, akhirnya menjadikan tokoh Lela kambing hitam dari masalah-masalah lain yang timbul karena hubungan komunikasi yang buruk. IPD yang berada di tengah mereka pun, mau tak mau mendengar pembicaraan miring tentang anak gadisnya. Ada kemarahan yang dirasakannya, setiap kali Lela dijadikan kambing hitam. Namun, tokoh IPD tidak berdaya menghadapi tetangga-tetangganya. Melihat caranya bertutur dan bersikap, mungkin juga ia tidak menyerang tetangganya yang menyalahkan Lela karena keengganannya untuk memperuncing konflik. Lagipula, kemarahan para istri yang menyeret nama Lela, terkadang dilakukan di dalam rumah sehingga IPD menjaga sikapnya. Sementara dari pintu satu, suami pintu satu keluar dari kamarnya berbarengan dengan suami pintu tiga. Yang keluar dari kamar mandi. Tidak lain mereka berdua memang sengaja ingin melihat wajah dan tubuh Lela. …………………………………………………………………………. Sementara istri pintu satu sedang berdiri dipintu sambil memegang piring karena sedang sarapan. Dan istri pintu tiga menggendong bayi. IPS: mau sarapan nasi uduk, apa sop pinggul baju merah!! Suami pintu satu (SPS): nasi uduk… IPS: Emang nasi uduk ada di sono (sambil menunjuk jalan yang dilalui Lela) IPS & IPT: Dasar laki-laki!!! Disuruh ambil air malah ngeliatin pantat orang!!! Masuk ke rumah masing-masing. Tapi tak lama kemudian istri pintu satu dan Tiga melongok lewat jendela berbarengan karena mendengar teriakan tukang sayur.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
90 …………………………………………………………………………. IPS: kan disimpan di kulkas. Baru kemaren suami saya ngebeliin kulkas baru. Dua pintu… Tukang sayur (TS):oh sudah punya kulkas baru toh… IPT: Kang! Uang saya seratus ribuan. Ada kembaliannya gak? Gak ada uang kecil nih. (keluar) tuh liat aja, uangnya seratus ribuan semua, suami saya baru ngambil uang di atm, kemaren dapet bonus dari bosnya, kerjaan kelar sebelum waktunya, jadi dia kebagian keuntungan. Lumayan, dua juta setengah. Yah, kalau buat beli kulkas yang tiga pintu aja mah kebeli. TS: Kenapa gak beli aja? ……………………………………………………………………… Saat istri pintu satu dan tiga masuk kerumah masing-masing, keluar suami pintu satu dan dua. Keduanya sama-sama menatap ke arah tukang sayur. Tukang sayur yang ditatap oleh kedua suami itu tampak kebingungan. Koor suami: Aut! TS: Maksudnya? Koor suami: Aauuttt!!! (keduanya mengacungkan tangan) (2013: 3-7)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh para Istri bisa bekerja sama dengan baik jika mereka berbagi musuh yang sama. Hal yang serupa ditemukan pada diri para Suami yang terlihat kompak jika berbagi keadaan yang senasib. Para Suami bahkan mengusir teman laki-laki Lela, yang datang di malam hari, dengan cara yang tersembunyi. Perkataan mereka ketus sambil sesekali menasehati dengan tendensi mengusir (lihat 2013: 9-10). Dari pemaparan masalah tersebut, dapat dikatakan bahwa di balik kedekatan mereka—yang pada bagian awal digambarkan dengan ceria—ada masalah yang tersimpan rapat. Masalah tersebut dapat meledak jadi besar, jika pemicunya ditarik. Namun, di balik ketegangan itu, ada tokoh penghuni pintu empat yang selalu tampil dengan ceria. Selain mencairkan suasana, mereka juga menjadi pihak netral di antara ketegangan pintu satu, dua, dan tiga. Beberapa kali memang diperlihatkan ada teguran dan sindiran dari penghuni pintu satu dan tiga kepada mereka karena seringkali dirasa mengganggu ketenangan hunian. Namun, penghuni empat ini tidak mengambil pusing teguran tersebut. Dengan santai, mereka mematuhi teguran itu. Hal ini mungkin muncul karena usia muda mereka yang memiliki gaya hidup dan pandangan berbeda—melalui tingkah laku—di rumah kontrakan tersebut. Pemaparan masalah di dalam naskah drama “Roman” pun kurang lebih sama dengan dua naskah drama yang lain. Drama dibuka dengan suasana kekerabatan antar
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
91
penghuni daerah pinggiran di kota yang hangat. Adanya konflik-konflik kecil menjadi bahan pembicaraan yang berujung pada masalah utama tokoh Roman. Terlihat di bagian awal, konflik rumah tangga tokoh Juned dan Ning yang berbicara seputar keadaan ekonomi keluarga hingga ke masalah kesetiaan Juned. Tokoh Ning yang digambarkan kesal dengan sikap suaminya yang genit, menumpahkan isi hatinya kepada Roman. Dari sana timbul pembicaraan yang merembet pula ke masalah rumah tangga Roman, seperti terlihat dalam kutipan berikut ini. Bambang:
Iya deh, mudah-mudahan saya cepat dapat jodoh lagi. (kepada Roman) Mbak Atunnya ke mana, Mas? Ning : Kok nanyain mbak Atun? Bambang: Enggak! Cuma nanya aja. Biasanya kan ada di warung… …………………………………………………… Ning: Saya heran sama si Bambang itu… Roman: Kenapa? Ning: Dia kan orang baru ngontrak di sini. Tapi, mungkin karena memang supel, ya. Cepat akrab. Cepat banyak temannya, termasuk sama mas Roman dan… Roman: Dan siapa? Ning: Mbak Atun… ………………………………………………………… Ning: Sejak si Bambang tinggal disini, istri mas Roman berubah. Roman: Berubah gimana? Ning: Sekarang mbak Atun suka berdandan! Roman: Kamu curiga sama istri saya? Ning: Bukannya curiga mas… Roman: Tapi hampir setiap hari semua orang membicarakan istri saya. Memangnya Atun enggak boleh berdandan? Ning: (…) Saya dan orang-orang di sini hanya heran melihat perubahan mbak Atun. (2009: 6-10)
Kutipan di atas menunjukkan bagaimana tokoh Ning dengan mudah membicarakan orang lain. Ia bahkan membicarakan tokoh Atun kepada Roman, yang adalah suami Atun, tanpa adanya pemikiran panjang akan baik dan buruknya hal yang dikatakan. Terlihat dari tutur katanya bahwa ia merefleksikan kondisi rumah tangganya ke dalam perubahan sikap Atun. Suaminya, Juned, yang genit berulang kali dibandingkan dengan tokoh Atun. Seolah-olah perubahan Atun tersebut dilakukan untuk orang lain. Ia juga memberikan penekanan pada perilaku tokoh Bambang, yang menurutnya memiliki tendensi tertentu kepada tokoh Atun. Padahal sebelumnya, tokoh
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
92
Ning bersikap sangat ramah pada tokoh Bambang. Seolah-olah perkataan dan tindakannya tidak keluar dari orang yang sama. Roman yang mendengar itu semua, awalnya, membantah ucapan Ning. Namun, ketika tokoh Ning membandingbandingkannya dengan kenyataan rumah tangganya dan Juned, Roman mulai mencerna perkataan Ning tersebut, “Roman hanya terdiam.” (2009: 10). Ketika
tokoh
Atun
datang,
tokoh
Ning
langsung
menghentikan
pembicaraannya dan menyapa tokoh Ning. Sapaannya sangat manis seolah pembicaraan sebelumnya tidak pernah ada. Setelah Ning pergi, Atun dan Roman terlihat membicarakan keadaan ekonomi mereka. Dijelaskan di sana bahwa Atun dan Roman merantau ke kota untuk mencari nafkah bagi anak mereka di desa. Pembicaraan tersebut kemudian berubah menjadi canggung ketika Roman tiba-tiba meminta maaf pada Atun. Namun, hal yang mendorong permintaan maaf tersebut tidak dijelaskan karena segera disela oleh kedatangan pelanggan Atun. Hal tersebut nampaknya mempunyai kaitan dengan masa lalu mereka di desa, jauh sebelum menikah. Dari interaksi Roman dan Atun, terlihat bahwa tokoh Roman memiliki keengganan yang tidak biasa kepada istrinya. Ia memang digambarkan buta. Oleh sebab itulah, ketika Atun sering berdandan, tokoh Ning mencurigai perubahan tersebut. Mungkin karena ia menganggap bahwa perubahan Ning tidak mungkin untuk menarik perhatian Roman. Selain dari interaksi dengan tokoh Atun, interaksi Roman dan tokoh lain yang menyangkut masalah Atun pun menimbulkan reaksi yang serupa. Roman tidak menampakkan banyak perlawanan, jika berurusan dengan istrinya. Ia seolah menahan diri untuk tidak mencampuri kehidupan yang dipilih oleh Atun, sekali pun ia sebenarnya berhak pula untuk menasihati Atun. Oleh sebab itulah, tokoh Roman memilih untuk menyimpan rapat hal yang diucapkan oleh Ning. Namun, pergunjingan Ning tentang Atun ternyata telah menjadi topik pembicaraan di daerah tempat tinggal mereka. Tokoh Tarno, pelanggan pijat Roman, juga mengutarakan hal yang serupa. Hal tersebut memaksa tokoh Roman untuk berpikir ulang tentang perubahan yang dilakukan oleh istrinya. Tidak diketahui dengan pasti tendensi orang-orang di sana dalam membicarakan tokoh Ning. Nampaknya, bergunjing merupakan salah satu kebiasaan yang mereka lakukan untuk mengisi waktu.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
93
Hal ini berkaitan pula dengan faktor ekonomi dan pendidikan yang disebutkan sebelumnya. Akibat minimnya kedua hal tersebut, pilihan para tokoh dalam beraktivitas pun menjadi lebih sedikit sehingga banyak hal sia-sia—seperti membicarakan orang atau duduk di warung—ditemukan sebagai bagian dari kebiasaan di sana. Namun, bagi tokoh Roman, bahan pergunjingan ini bukanlah hal sederhana. Ada kemungkinan, hal ini berkaitan dengan masa lalu Roman yang belum terbukakan. Karakter-karakter para tokoh yang saling bersinggungan memunculkan masalah yang dibangun untuk menyampaikan gagasan utama dalam drama, tentang relasi manusia dengan masyarakat. Masih dalam suasana hidup bertetangga yang dekat satu sama lain, masalah-masalah tersebut semakin meruncing ketika tidak ada kesadaran untuk menjaga perasaan antarsesama. Masalah bagi Risti—dalam naskah drama “Te(N)tangga(NG)”—semakin rumit, ketika tokoh Tami menegurnya secara kasar. Antara Tami yang berperan sebagai wanita karier dan bagian dirinya yang bekerja sebagai PSK, keluar bersamaan ketika menegur Risti. Ia gusar mengetahui tokoh Risti mencoba mengetahui identitasnya—serta ketiga tokoh lain—kepada para penghuni di gang tersebut. Risti tidak berdaya menghadapi reaksi Tami yang tak terduga ini. Tami: (…) lo ngomong apaan sama orang-orang kampung??!! Risti terkejut mendengar ucapan Tami. Dia hanya diam terbujur kaku. Tami: (menarik baju Risti) Jawab!! Lo ngomong apa sama orang-orang kampung?? Risti : (…) Memangnya salah gua menceritakan keresahan gua sama orang-orang disini?? Tami: Salah! Lo gak tau siapa gue!! Lo gak tau kehidupan gue… lagipula apa urusan lo sama hidup gue? Gua mau jadi apa kek, kerja apa kek… bukan urusan lo juga kan?? Jadi anak bau kencur gak usah sok tau deh… Risti: Emang dasar aneh lo!! Gue berhak buat tau apa yang terjadi di lingkungan gue… gue juga punya kepentingan… Tami: Kepentingan lo bilang ?? Risti: Iya kepentingan !! kenapa emang ?? lo baru sadar kalau lo tuh aneh sama sekeluarga lo ??!! iya ?? Tami diam. (2011: 16)
Nampak tokoh Tami tak dapat berkutik ketika Risti menyampaikan kenyataan tentang keluarganya. Ternyata Risti telah menemukan satu fakta baru bahwa keempat
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
94
orang yang berperilaku aneh tersebut adalah satu keluarga. Tami yang sebelumnya keras kepada Risti tak mampu berkata-kata lagi. Terlihat dari kutipan di atas, sikap Tami dan Risti, sama-sama mendahulukan kepentingan individu. Mereka tidak mau saling memahami dan hidup berdampingan. Baik Risti yang merasa perlu mengetahui kehidupan tetangganya, maupun Tami yang menolak sikap Risti yang dianggap mencampuri masalah pribadinya, membuat keduanya terlibat dalam masalah yang rumit. Hal yang sama terjadi pula dalam naskah drama “Lima Pintu”. Tokoh IPD yang selama ini menahan diri untuk tidak terlibat dalam cekcok tetangganya, tak dapat diam lagi ketika akhirnya Lela disalahkan atas pertengkaran hebat Suami Istri Pintu Satu. Padahal sebelumnya, Suami Istri Pintu Tiga baru saja ribut besar ketika anaknya sakit. IPD nampak iba dan bersedia membantu IPT untuk membawa anak mereka ke klinik, sementara suaminya pergi dari rumah. Namun, kebaikan hati IPD itu tak mempengaruhi perilaku istri-istri yang suka menyalahkan Lela atas perilaku suami mereka. Ketika Suami Istri Pintu Satu bertengkar, IPD mendengar Lela ikut terbawa dalam masalah mereka bahkan sampai dieksploitasi secara verbal. Hal tersebut nampak dalam kutipan berikut ini. Mas. Mbak, ada apa sebenarnya ini? kok bawa –bawa anak saya. Apa yang diperbuat anak saya, sampai mas dan mbak ribut begini? Tolong dijelasin salahnya apa, biar saya peringatin dia kalau emang dia berbuat kurang sopan disini! Koor suami istri: Gak, gak ada apa-apa kok… IPD: Tadi bawa-bawa nama anak saya kenapa? Sampe ngomongin soal pantat segala! Emang pantatnya si Lela kenapa? Apa emang gak suka keluarga saya tinggal disini. Mentang-mentang saya gak punya apa-apa, setiap hari keluarga saya selalu disinggung terus, anak saya gak pernah ngapa-ngapain disini, pagi kerja, malam baru pulang, dan langsung tidur. Emang pernah ngegodain suami Mba? Kalau ngomong jaga dong, jangan nyingggung perasaan orang. (Jendela pintu tiga terbuka, suami istri pintu tiga mengintip.) Masing-masing aja urus keluarga sendiri. Mas juga sebagai orang yang sudah beristri, jaga tuh mata, jangan ngelayap ke mana-mana. Supaya istrinya setiap hari gak cemburu sama anak orang. Selama ini saya diem aja, tiap kali nama anak saya disebut-sebut terus kalau Mas dan Mbak lagi ribut. Tapi sabar kan ada batasnya, lama-lama panas juga kuping saya ngedengerinnya. IPD:
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
95 ………………………………………………….. Suami pintu satu (SPS): jangan saya terus dong yang disalahin! IPS: Emang gitu kan Kang?! SPS: Kamu juga begitu kalau ada tukang sayur! IPD: Kalau dua-duanya gak mau disalahin, terus mau nyalahin siapa? Si Lela, lagi?! Anak saya lagi yang dijadiin kambing hitam? Enak saja! Mas sama Mbak introspeksi dong, lihat diri sendiri beneran ga selama ini? (2013: 18—19)
Masalah di rumah kontrakan semakin runcing, manakala, IPD akhirnya menyuarakan kekesalannya. Di awal kutipan, terlihat IPD masih berusaha menghadapi pasangan suami istri ini secara baik-baik. Ia berusaha menyabarkan diri ketika menyampaikan kekesalannya atas sikap tetanggannya tersebut. Namun, masalah tidak kunjung selesai karena pasangan suami istri ini masih berkutat dengan urusan rumah tangganya sendiri dan kehadiran IPD menambah buruk masalah mereka. Namun, dari pihak suami istri ini tidak ada bentuk permintaan maaf kepada IPD. Padahal, IPD telah menyampaikan maksud dan keresahannya selama ini kepada tetangganya tersebut. Terlihat pula pasangan Suami Istri Pintu Tiga yang mencuri dengar pertengkaran tersebut dari kamar mereka. Namun, mereka tidak keluar dan berusaha melakukan sesuatu. Mereka hanya menjadi pendengar dari dalam kamar. Perkataan IPD yang secara langsung menyoroti kesalahan Suami dan Istri— secara personal—Pintu Satu, membuat mereka berbalik marah pada IPD. Namun, segera IPD mengeluarkan jurus pamungkas dengan membawa perasaannya sebagai orang tua. Dari sanalah terlihat bahwa pasangan ini membutuhkan kehadiran seorang anak untuk mempererat rumah tangga mereka. Pasangan Suami Istri yang tadinya nyaris bercerai , diselamatkan oleh perkataan IPD tentang kehadiran seorang anak. Mereka jadi kembali membuka diri satu sama lain sehingga hubungan komunikasi menjadi lancar. Namun, bagi IPD, masalahnya terkait Lela, belum juga ditanggapi dengan baik oleh tetangganya. Tidak ada kata maaf atau terima kasih atas perbuatan IPD kepada mereka. IPD hanya dapat menerima dengan sabar situasi tersebut. Suasana di kontrakan tersebut, yang sebelumnya panas akibat pertengkaran pasangan suami istri ini, berubah menjadi ceria kembali dengan berkumandangnya lagu dangut “Mandul”. Lagu tersebut seolah dikumandangkan untuk menanggapi keadaan
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
96
pasangan suami istri yang tadi beradu mulut. Walaupun demikian, masalah di antara penghuni rumah kontrakan tersebut—secara umum—belum dapat dikatakan selesai. Hubungan di antara para penghuni berubah menjadi dingin, terutama sejak IPD menyuarakan kekesalannya. Dalam naskah drama “Roman”, perumitan masalah diperlihatkan melalui reaksi Roman atas pergunjingan tetangganya tentang perubahan Atun. Ia akhirnya membuka rahasia kelam yang menyelimuti rumah tangganya pada Tarno. Tarno berhasil membuat Roman bicara setelah ia bercerita pula tentang keresahannya atas istrinya yang tinggal jauh. Roman: Tarno: Roman: Tarno: Roman:
Tarno: Roman:
Tarno: Roman:
Saya takut istri saya tersinggung. Kok takut? Dia sudah banyak berkorban. Maksud, Mas? Kami berasal dari satu kampung yang sama. Orang tuanya penggarap sawah milik orang tua saya. Saat puting beliung datang, semuanya hancur, termasuk rumah orang tuanya Atun. Sambil menunggu diperbaiki, mereka tinggal di rumah saya. Berarti dari kecil sudah kenal sama Mba Atun? Iya. Atun sangat perhatian, bahkan setelah dia kembali ke rumahnya. Saya merasa senang setiap kali dia datang. Kami berteman sampai dewasa. Jujur, saya sangat menyukainya. Dan itu tersimpan rapat. Kenapa? Siapa mau berjodoh dengan orang buta? (2009: 16)
Dari kutipan di atas, diketahui bahwa tokoh Roman menyimpan kerendahan diri yang luar biasa atas kekurangannya. Ia bahkan merasa tidak pantas menjadi suami Atun. Rasa sukanya pada Atun terbalas ketika orangtuanya dan orangtua Atun menjodohkan mereka berdua. Namun, selama ini, Roman tetap merasa tidak percaya diri, jika berhadapan dengan Atun. Itulah sebabnya, ia selalu menyangkal segala hal yang dibicarakan orang tentang istrinya. Lagipula, menurut Roman, mereka telah berkeluarga cukup lama dan dikaruniai buah cinta. Hal itu cukup bagi Roman. Sayangnya, pembicaraan antara Tarno dan Roman, telah membuat kecurigaan Roman menjadi tidak masuk akal. Ia tidak lagi berpikir sehat. Rasa rendah diri dan takut kehilangan istrinya membuat ia menaruh curiga pada tokoh Bambang. Hal itulah yang membuat perilaku Roman kepada Atun berubah. Padahal tokoh Atun disebutkan
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
97
tidak tahu apa-apa. Ia baru saja pulang dari mencari rezeki bagi keluarganya. Tiba-tiba Roman menuduh Bambang—yang kebetulan mampir—dan istrinya berbuat serong. Hal tersebut memang tidak langsung diucapkan Roman di hadapan Bambang. Namun, dari lakuannya, diketahui Roman menolak kehadiran Bambang di rumah itu. Ada apa Mas? Apa salah saya? Kenapa mas Roman tiba-tiba saja berubah seperti ini? Mas Bambang salah apa? Selama ini dia baik. Sering membantu kita. ………………………………………………………………………… Atun: Mas benar-benar keterlaluan. Ada apa, Mas? Roman hanya diam. Atun: Berubah? Apa yang berubah? Apa karena saya adalah istri Mas Roman, lantas saya tidak boleh berdandan? Sejak saya memutuskan untuk menikah. Saya menganggap sudah menjadi takdir yang harus saya jalani. Roman: Jadi kamu menyesal? Atun: Kenapa baru sekarang Mas bertanya? Kenapa tidak pada saat kita akan menikah. Padahal Mas tahu saat itu saya sudah punya pacar. Bahkan saya selalu bercerita setiap saya habis bertemu dengan orang yang saya cintai. Tapi kebahagiaan itu hilang karena orang tua saya meminta agar saya menikah dengan orang yang tidak saya cintai. Pada awalnya saya menolak, tidak mungkin saya menikah dengan Mas Roman. Tapi karena ingin berbakti kepada orang tua saya yang telah banyak menerima kebaikan dari orang tua Mas Roman saya pun menerima permintaan mereka untuk menikah dengan orang yang sudah saya anggap sebagai kakak dan sahabat. Roman: Kamu juga tidak pernah bisa mencintai saya? Atun: Mas tidak akan pernah mengerti bagaimana perasaaan saya. (2009: 20-22) Bambang: Atun:
Selama ini tokoh Roman digambarkan menyimpan rasa tidak percaya dirinya sendiri. Pada kutipan di atas, ia akhirnya berani menyatakan perasaan tersebut kepada Atun. Namun, reaksi Atun membuat Roman menjadi semakin rendah diri. Ia merasa bersalah telah membuat Atun meninggalkan hidupnya untuk menjadi istrinya. Perkataan Roman ini keluar karena dipicu oleh rasa cemburu yang tidak beralasan. Ia bahkan tidak tahu jenis hubungan antara istrinya dan Bambang. Hal yang ia bayangkan atas hubungan Atun dan Bambang adalah hasil kumpulan pergunjingan tetangganya yang tidak tahu-menahu kehidupan Roman. Untungnya, pertengkaran Roman dan Atun dihentikan sejenak oleh panggilan dari Pak Haji. Roman pergi dengan rasa gusar dan gelisah, sementara Atun, ia dibayangi-bayangi tuduhan Roman tentang Bambang.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
98
Atun dan Bambang sebenarnya tidak memiliki hubungan seperti yang dituduhkan Roman. Memang, dari percakapan selanjutnya, Bambang diketahui sebagai kekasih masa lalu Atun. Namun, dari percakapan mereka, jelas dikatakan bahwa hubungan mereka selama ini hanya sebatas masa lalu, “Lalu Bambang mengungkapkan perasaannya yang selama ini dia pendam” (2009: 24). Kutipan tersebut menekankan bahwa, sebelum hari itu, Bambang tak pernah bicara kepada Atun tentang masa lalu mereka dan perasaannya. Bagian ini juga membuktikan bahwa kabar yang didengar dari para tetangga, tentang Atun dan Bambang, hanyalah isapan jempol belaka. Namun, karena perkataan Roman, celah bagi Bambang untuk masuk dalam hidup Atun, terbuka kembali. Di sanalah Bambang memanfaatkannya untuk menghadirkan kembali suasana romantis dari kisah masa lalu mereka. Atun yang tengah mengalami kekecewaan— ditambah lagi sebelumnya, kehidupan mereka bertambah sulit—merasa disegarkan dengan perlakuan Bambang. Apalagi Bambang memberinya sebuah hadiah. Di tengah kesulitan dan pergolakan masalah rumah tangganya, Atun jadi berpikir dua kali tentang keputusannya untuk hidup dengan Roman. Pada bagian tersebut, intervensi tetangga Roman mulai berdampak pada kehidupan rumah tangga Atun dan Roman. Tanpa mereka ketahui, perkataan mereka telah mendorong keluar sisi kelam diri Roman. Sisi kelam dari diri Roman telah menghancurkan keikhlasan tokoh Atun untuk menerima perjodohannya dengan Roman. Kini, masalah tersebut menjadi sangat rumit. Alur yang bergerak cepat dan kata-kata penuh emosi antara Roman, Bambang, dan Atun membuat drama ini terasa semakin gawat. Intervensi dari bagian luar masalah telah mempengaruhi keadaan personal para tokoh. Masalah yang semakin rumit tersebut mencapai titik balik ketika tokoh utama diperlihatkan bergumul dengan pemikiran dan perasaannya. Dalam naskah “Te(N)tangga(NG)”, konflik yang dialami Risti setelah Tami datang menegurnya berubah menjadi panjang saat diketahui bahwa tetangganya tersebut mengalami masalah dualisme identitas. Perilaku Risti telah mendorong perpecahan di dalam keluarga tersebut. Ternyata mereka adalah sekumpulan orang yang kesulitan untuk menentukan sikap dan identitasnya secara konsisten. Bahkan dalam suatu bagian,
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
99
mereka digambarkan megnalami kerusakan hubungan komunikasi sebagai sebuah keluarga. (menghampiri Risti dan hendak memukulnya) ahhhh… lo masih baru disini, banyak yang gak lo tau tentang gue, anak-anak gue dan suami gue sekalipun!!! Amir: (berteriak) Tami…biarkan dia bicara apa yang diinginkan… itu haknya… Tami: Hak Mas bilang?? Hak?? Lalu bagaimana dengan hak saya?? (menangis) hak saya sebagai seorang istri yang tidak pernah diperlakukan selayaknya seorang istri pada umumnya Mas?? ………………………………………………………………………… Ferry: (menghampiri Ibu Tami) lho ibu Tami kenapa?? Jangan nangis Bu… kalau ibu nangis saya bisa ikut nangis…nyebut Bu.. nyebut… pasti gara-gara tetangga yang baru itu!! (menghampiri Risti) Eh anjing!! Lo apain ibu Tami sampe nangis kaya begitu?? Amir: (menahan tangis) bukan salahnya… saya yang salah. Saya yang buat bu Tami menangis… maafkan saya… saya yang buat ibu kalian menangis… saya!! Jangan kalian mencari kambing hitam atas apa yang terjadi sama ibu kalian, sama keluarga kalian… saya yang salah!! Ritus: Pak Amir???!!! Jangan menangis… Amir: (marah) berhenti memanggilku dengan sebutan Pak Amir!! Panggil aku ayah!!! Aku ayah kalian, hentikan kepura-puraan kalian selama ini… sudah cukup!! (berteriak) cukup… tidak ada lagi rasa tidak peduli diantara anggota keluarga ini… ……………………………………………. Risti: (merasa semakin bingung) sebenarnya apa sih yang terjadi sama keluarga kalian ini?? Apa?? Kalian satu keluarga… terkadang terlihat seperti keluarga yang harmonis, keluarga yang bahagia,.. tapi sering terlihat seperti bukan sebuah keluarga yang utuh.. Amir: Kami nyaman dengan keadaan yang kami jalani… kami senang berada di posisi seperti ini… jadi apa salahnya kalau kami menjalani apa yang kami senangi selama kami masih bisa berbahagia… kami tetap tersenyum… (2011: 17-19) Tami:
Dari kutipan di atas, terlihat bahwa intervensi Risti telah membawa keluarga tersebut pada keadaan yang tidak pernah berani mereka hadapi. Mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka terikat hubungan darah. Sebagai sebuah keluarga, mereka telah gagal mengelola hubungan intim itu. Hal ini disebabkan karena secara individu pun, mereka mengalami gangguan kejiwaan. Fungsi mereka dalam masyarakat berubah mengikuti tuntutan yang diinginkan oleh masyarakat. Tidak
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
100
dijelaskan, karakter mana yang sebenarnya merupakan karakter asli mereka. Namun, karena adanya tuntutan dari masyarakat, identitas mereka pun selalu berubah-ubah. Puncak dari masalah tersebut adalah kepergian Ferry dari tempat itu. Di antara semua tokoh, ia yang diperlihatkan mengalami kepanikan paling besar. Nampaknya, ia belum dapat menerima kenyataan tersebut. Selain itu, terlihat dari sikap dan perkataan tokoh Ferry bahwa ia memendam kekecewaan kepada anggota keluarganya yang lain. Suasana yang sebelumnya tegang karena pertikaian antara tokoh Tami dan Risti, berubah menjadi emosional. Kesedihan yang ditampakan oleh para tokoh bukanlah kesedihan yang sama seperti ketika seseorang ditinggal mati keluarganya atau bentuk kesedihan lain. Rasa sedih yang hadir di sini lebih mengarah pada rasa iba. Tokohtokoh ini terlihat kebingungan untuk menanggapi situasi yang terjadi. Secara tidak langsung, perilaku mereka seolah meneriakkan permohonan kepada siapa saja yang dapat membantu mereka. Tokoh Risti yang awalnya terlihat seperti korban, sekarang justru berbalik menjadi jahat karena perbuatannya pada keluarga tokoh Amir. Dalam naskah drama “Lima Pintu”, titik balik masalah terjadi ketika tokoh Lela duduk sendiri dan mencoba mencerna semua masalah yang dihadapinya di rumah kontrakan tersebut. Sebelumnya, sikap dan perilaku tokoh Lela hanya dibahas melalui percakapan tokoh lain. Kini, ia diperlihatkan menanggung semua beban itu seorang diri. Ibunya, IPD, baru saja mengeluhkan rasa tidak nyamannya untuk tetap tinggal di rumah kontrakan tersebut. Tokoh Lela pun baru saja ditinggal pergi teman laki-lakinya yang tidak berani main ke rumah kontrakan tersebut akibat perlakuan para suami. Digambarkan dalam situasi tersebut, masalah yang timbul dari kehidupan bertetangga telah membuat kehidupan Lela—khususnya—menjadi sulit. Hal tersebut diwujudkan melalui adegan berikut ini. Lela:
kenapa Lela terus sih Mak yang jadi sasaran. Apa salah Lela? Makanya Lela udah gak betah tinggal disini Mak, pengen cepetcepet pindah aja dari tempat ini. Lela sakit, Mak ngedengernya. Padahal Lela gak pernah macem-macem di depan mereka… Ibu Pintu Dua: sabar aja, kalau uda waktunya, dan uang kita cukup buat pindah ke tempat lain. Lela: belum lagi Lela sebel ngeliat tukang sayur itu, setiap hari matanya nyeremin kalau ngeliat Lela. Diem, tapi matanya nyorot terus…
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
101 Lela takut Mak. Dia dulu pernah ngomong suka sama Lela, tapi Lela tolak. ………………………………………………………………………….. Ibu Pintu Dua: gimana lagi yah Lela, emak juga jadi bingung… mau pindah belum cukup duitnya, uang yang kemaren dari kamu itu, untuk bayaran si Eneng… sabar aja ya. Kita ngumpulin dikit-dikit. Ayu kita masuk, uda malam sekali… Lela: Emak tidur aja dulu. Lela mau ngadem.. Lagian belum ngantuk… tadi sempet tidur di kerjaan. Lela sangat menikmati musik yang didengarkannya lewat hp. Tanpa sadar sosok bayangan mengintip dibalik tembok pintu kelima. Sosok dengan kain sarung yang menutupi separuh tubuhnya, hanya sebaris mata yang tampak terlihat. Malam semakin cepat memburu gejolak sosok dengan kain sarung. Yang terus mengawasi Lela yang tak sadar dirinya sedang diperhatikan. Lela mulai tampak mengantuk, ia mematikan ponselnya, dan beranjak ke kamar mandi. Suara air terdengar memecah sunyi. Sosok dengan kain sarung mengendap-endap dan mengintip di celah kamar mandi, saat Lela keluar dari kamar mandi,sosok itu kembali bersembunyi. Dan tepat pada saat Lela hendak melangkah menuju rumahnya, sosok itu langsung membekap Lela. Lela gelagapan dan berusaha berontak, tapi bekapan sosok bersarung itu semakin kuat, hingga Lela tidak berdaya, dan langsung diseret ke pintu kelima. Pintu kelima tertutup dan rapat kembali.Sempat terdengar suara benda terjatuh, dan membangunkan penghuni pintu ketiga. (2013: 24)
Dari kutipan di atas, ketegangan dihasilkan ketika tokoh Lela yang kalut tibatiba disekap oleh seorang asing. Karena sibuk dengan isi kepalanya sendiri, Lela tidak sadar bahwa ada orang yang mengawasinya. Dengan cepat, orang tersebut menarik Lela. Sayang, usaha Lela untuk memberontak sia-sia. Nampaknya, orang ini telah mengenal Lela sebelumnya sehingga ia telah memperhitungkan reaksi Lela. Terlihat pula bahwa orang tersebut mengenal lingkungan rumah konrakan. Ia tahu bahwa pintu kelima tidak berpenghuni. Kutipan di atas sebenarnya menunjukkan pula bahwa bunyibunyian bising dari dapur (pintu kelima) sempat membangunkan penghuni pintu ketiga. Namun, mereka memutuskan untuk melanjutkan tidur. Ketidakpedulian terhadap lingkungan ini berakibat fatal. Proses penyekapan Lela ini tidak hanya menimbulkan ketegangan, tetapi juga praduga tentang pelaku. Selain itu, timbul rasa benci pada pelaku karena tokoh Lela digambarkan sebagai orang yang baik, lurus, dan ramah kepada siapa saja. Simpati yang sebelumnya terbangun dari masalah Lela dan ibunya pun membuat rasa dalam adegan ini menjadi lebih kompleks. Tidak hanya takut, marah, benci, ingin tahu, dan
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
102
tegang, tetapi juga ada kesadaran akan ketidakadilan yang seringkali disebabkan oleh perbuatan sesama. Klimaks yang terjadi dalam waktu yang cukup singkat ini hadir seperti pukulan keras di antara suasana yang sebelumnya haru dan melankolis. Adegan ini dapat dikatakan tak terduga sama sekali. Dalam naskah drama “Roman”, masalah antara Roman, Atun, dan Bambang memuncak ketika Roman kembali dan tidak mendapati istrinya di rumah. Mengingat kejadian terakhir sebelum ia pergi, Atun bimbang dengan ungkapan rasa cinta dari Roman. Belum lagi tuduhan Roman terhadap Bambang yang diluruskan, membuat Roman panik ketika tidak menemukan istrinya di rumah. Dengan perasaan yang bercampur aduk, Roman mencari Atun. Tarno: Kabur kali Mas Roman: Kamu jangan becanda, No. Tarno: Lagi pergi, Mas. Bilangnya sih, cuma sebentar. Roman semakin gelisah dan semakin gelisah. Lalu Roman berjalan ke arah Atun pergi. (…) Sambil memanggil-manggil Juned dan Tarno. Roman keluar dengan membawa sebuah kaos. Juned: Ada apa, Mas? Tarno: Iya, Mas. Ada apa? Roman: Si Atun… Juned: Kenapa si Atun? Roman: Si Atun… si Atun… Narti: Mbak Atunnya kenapa, Mas? Roman: Atun… Atun… Ning: Iya, kenapa sama Mbak Atun? Roman: Si Atun selingkuh sama Bambang!!!! Berempat: Yang benar?!! Roman: Benar! Saya sendiri yang ngegrebek di tempat si Bambang. Ini buktinya!! Ini kaos Bambang yang saya tarik waktu dia mau lari dan menabrak saya. Juned: Ikut saya NO! Tarno: Kita enggak nyalahin. Tapi kalau cuma dengar dari Mas Roman, kita juga bingung ………………………………………………………………………….. Roman: Mata saya memang buta. Tapi telinga dan perasaaan saya, tidak! Dari mendengar suaranya, saya tahu orang itu lagi ngapain… Tarno: Saya percaya. Tapi itu saja enggak cukup. Ning: Betul Mas Juned: Apalagi sekarang orangnya uda kabur. Roman: Tapi kaosnya Bambang bisa jadi bukti. Kalau mereka enggak berbuat laknat, kenapa harus lari? Kenapa musti kabur? Takut sama saya? Enggak mungkin! Sudah. Sekarang. Anterin saya! (2009: 28-37)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
103
Dalam kutipan tersebut, ditemukan Roman yang terserang kepanikan ketika mendapati istrinya berada di rumah Bambang. Ia kembali membawa baju Bambang yang tidak sengaja terobek. Sambil menunggu Roman, para tetangga yang sebelumnya mempersuasi kecurigaan Roman terhadap Atun, tengah sibuk membicarakan masalah keluarga Roman. Mereka dengan santai membandingkan masalah Roman dengan kehidupan sendiri, seolah-olah mereka lebih baik daripada Roman. Ketika Roman mengadukan temuannya tersebut, para tetangga laki-laki segera pergi mencari Bambang. Roman yang kalut ditemani oleh Marni dan Ning. Sebentar kemudian, Tarno dan Juned kembali dengan tangan kosong. Tidak hanya itu, mereka juga jadi meragukan soal perselingkuhan Atun dan Bambang. Keraguan mereka disebabkan oleh ketidakmampuan Roman melihat. Mereka yang tadinya membicarakan tingkah Atun, kini berbalik menuduh bahwa Romanlah yang salah. Konflik dalam diri Roman yang sudah memuncak akibat perlakuan istri dan pergunjingan tetangganya, meledak. Ia tak dapat lagi menahan rasa rendah dirinya akibat kebutaannya tersebut sehingga secara membabi buta menyerang para tetangga dengan perkatannya. Namun, di bagian tersebut, para tetangga diperlihatkan tetap meragukan Roman. Dilihat kembali dari pemaparan masalah, para tetangga ini sebenarnya yang memicu sisi kelam dalam diri Roman muncul. Mereka dengan santainya membicarakan kecurigaan terhadap perubahan Atun di depan Roman. Roman yang tidak dapat melihat itu, mengandalkan kemampuannya mendengar untuk mencoba mereka-reka peristiwa yang sebenarnya. Dalam diri tokoh Roman, telah tertanam suatu sikap yang selalu memojokkan diri sendiri ketika masalah datang ke dalam rumah tangganya. Anggapan para tetangga tersebut membuat Roman menjadi lebih rendah diri sehingga ketika berhadapan dengan Atun, Roman tak mampu menguasai dirinya. Ia keluar menjadi pribadi yang sama sekali berbeda dari yang di awal digambarkan. Perilaku tetangganya yang sebelumnya
mendorong
Roman
untuk
curiga
terhadap
istrinya,
tidak
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
104
dipertanggungjawabkan sampai akhir. Mereka dengan mudah melupakan pergunjingan yang menjadi sebab dari segala masalah tersebut. Dalam kutipan tersebut, tidak dijelaskan secara nyata tentang peristiwa di rumah Bambang. Diketahui dari perkataan Roman bahwa telah terjadi sesuatu. Namun, memang sulit mempercayai hal yang dikatakannya, setelah melihat reaksi Roman yang tidak rasional menanggapi pergunjingan tetangganya. Walaupun Roman berulang kali mengatakan tentang kemampuannya untuk melihat melebihi kemampuan mata manusia biasa, mereka tetapi sulit mempercayai kata-kata Roman. Oleh sebab itu, ketika Roman meminta diantar ke kantor polisi untuk melaporkan hal tersebut, mereka membujuk Roman untuk mengurungkan niatnya. Namun, bagi Roman, semuanya telah meledak dan hancur berantakan. Ada sedikit penyesalan yang timbul dari lakuannya. Roman tidak punya pillihan selain berusaha untuk menemukan kembali istrinya. Bagian terakhir dari rangkaian peristiwa dalam ketiga drama ini adalah ketika masalah mulai terlerai dan menemukan penyelesaiannya. Seperti yang diungkapkan pada bagian awal, setelah masalah datang dari luar dan memuncak di dalam diri tiap tokoh, masalah terlerai ketika memantul ke dalam kehidupan bermasyarakat (lapisan luar, lihat bagan 2). Pada bagian ini, alur perlahan turun untuk menandakan pergantian suasana dan masalah yang mengalir menuju ke titik penyelesaian. Ditemukan beberapa cara dari ketiga naskah drama ini untuk menguraikan bagian peleraian dan penyelesaian masalah. Naskah “Lima Pintu” dan “Roman” menunjukkan situasi pascaklimaks dengan menggambarkan keadaan tokoh yang mengenaskan. Penyelesaian masalah tidak secara jelas terfokus pada tokoh utama, tetapi lebih mengacu pada masalah yang dihadapi secara umum di antara para penghuni/tetangga. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini. “Roman” Ning: Jangan diingat-ingat terus atuh, Mas! Roman: Kasihan mereka… Ning: Iya Mas saya ngerti. Roman: Saya harus bilang apa sama mereka? Ning: Nggak tahu juga, ya. Mungkin ini ujian buat Mas Roman.. Roman: Tapi ini terlalu berat Ning: Saya, Mas. Saya ke pasar dulu ya… (Ning pergi. Roman hanya diam dan kembali sesenggukan.)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
105 Roman:
Tun…Atun…
(2009: 37—38) “Lima Pintu” IPD: Yah Tuhan, Lela!!! Tolong… tolong… ada pembunuhan… Para penghuni pintu kontrakan semuanya terbangun, mereka mneuju ke arah suara teriakan tadi. Rupanya telah terjadi pembunuhan terhadap lela anak ibu pintu dua. Orang-orang makin ramai ke tempat terjadinya pembunuhan tersebut. Ibu pintu dua dan adiknya lela menangis histeris. Tubuh lela dibawa keluar., dibaringkan di teras rumahnya. Ibu lela memangku anaknya yang sudah terbujur tak berdaya. IPD: Ya Tuhan, siapa yang melakukan ini, tega-teganya membunuh anak saya. Lela, salah apa kamu nak? Sampai teganya orang melakukann ini. (2012: 25—26)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa masalah terlerai dengan ditemukannya mayat Lela dan tokoh Roman yang ditinggal pergi istrinya. Bagi tokoh IPD dan Roman sendiri, masalah memang tidak begitu saja selesai. Mereka masuk lagi ke dalam masalah yang baru. Namun, jika diperhatikan, masalah utama dalam kehidupan bersosial di dalam kedua naskah tersebut disebabkan oleh adanya tokoh Lela dan Atun. Terlepas dari benar atau tidaknya mereka melakukan apa yang dituduhkan, keberadaan mereka telah memicu timbulnya pergunjingan, masalah rumah, dan keharmonisan hidup bertetangga. Setidaknya, dengan kematian Lela, tidak akan ada lagi pertengkaran suami istri di rumah kontrakan tersebut. Tak ada pula beban untuk mendengarkan anaknya menjadi kambing hitam di konflik rumah tangga orang lain. Bagi tetangga Roman, dengan tidak adanya Atun, Ning dan Tarno tidak perlu merasa iri dengan keharmonisan rumah tangga Roman sehingga mereka tak akan bergunjing lagi tentang Atun. Sebenarnya, melihat peleraian dan penyelesaian dari sudut pandang tersebut terasa kejam. Namun, rasa itu mungkin yang ingin ditunjukkan melalui cerita dalam kedua naskah drama ini. Semua orang selalu memiliki sudut pandang yang meletakkan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama, walaupun akan menyebabkan kericuhan. Ketika tokoh Ning dan Tarno mulai bergunjing, mereka tidak memikirkan efek samping gunjingannya bagi tokoh Roman. Mereka membicarakannya seperti membicarakan hal remeh-temeh, padahal dalam diri Roman ada rahasia yang kelam. Keinginan mereka untuk membicarakan tentang Atun pun berangkat dari rasa tidak
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
106
puas mereka terhadap kehidupan rumah tangga masing-masing. Ning, yang memiliki suami genit, awalnya membuka pembicaraan tentang Atun karena merasa bahwa Atun beruntung memiliki Roman yang berkelakuan lurus. Dari sana, ia memperluas pembicaraan menjadi masalah kepercayaan, yang sebenarnya hanyalah pantulan masalah dalam rumah tangganya. Begitu pula dengan Tarno yang memiliki istri bekerja di lain kota. Peringatannya tentang kemungkinan istri berselingkuh, datang dari kebutuhan dirinya untuk meyakinkan bahwa istrinya setia. Jadi, kedua tokoh ini, tidak benar-benar peduli pada perubahan Atun. Mereka hanya melihat refleksi masalahnya yang diasosiasikan dengan sikap Atun. Dalam drama “Lima Pintu”, pelaku pembunuhann Lela adalah tukang sayur. Terungkapnya pelaku pembunuhan ini menandakan bahwa dalam kehidupan bertetangga, tidak ada lagi orang yang benar-benar dapat dipercaya. Jika seseorang tidak mampu memisahkan kepentingan pribadi dengan kepentingan bersama maka yang timbul adalah konflik seperti yang ditemukan dalam rumah kontrakan ini. Dengan kematian, nama baik Lela pun ikut menjadi bersih kembali. Para tetangganya akan melihatnya sebagai korban dan berhenti menyalahkan Lela atas masalah yang terjadi dalam rumah tangga mereka. (membaca surat) (…) tiba-tiba saja saya terpikir untuk melakukannya. Apa yang saya lakukan mungkin karena perasaaan saya yang sakit hati, karena Lela telah menolak cinta saya, dan dengan mata kepala saya sendiri saya melihat dirinya bersama seorang lelaki. (…) meskipun saya setiap hari selalu digoda oleh dua orang wanita yang keduanya sudah bersuami. Tetapi cinta saya hanya untuk Lela!! Mas Juki dan Mas Jono, sampaikan salam saya pada mereka. (…) saya sudah cukup mendapatkan kesucian Lela meskipun tidak dengan rasa cinta darinya, dan saya merenggutnya dengan paksaan. Saya minta maaf kepada semuanya! Koor suami: Tukang sayur!!! Bangsaat!!!!! Tangis keluarga Lela pecah, amarah para warga memuncak. Suami pintu dan tiga keluar, bersama beberapa orang. Tangis tak berhenti. Caci maki Ibu Pintu Dua pun terus terdengar. (2012: 26) SPS :
Peleraian dan penyelesaian masalah yang ditemukan dalam naskah drama “Te(N)tangga(NG)” lebih berfokus kepada tokoh Risti. Tokoh Risti di sini merupakan saksi atas masalah yang muncul dalam kehidupan bersosial, seperti yang dialami tokoh
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
107
Amir, Tami, Ferry, dan Ritus. Memang, ada pula masalah yang melibatkan tokoh Risti di dalamnya, tetapi keempat tokoh tersebut adalah contoh bagaimana manusia melakukan adaptasi untuk bertahan hidup. Tema adaptasi inilah yang hendak disampaikan dalam bagian terakhir drama. Seperti yang tertulis pada tagline judul drama, “…Kalauenggaksuka, enggakusahdiikutin, tinggalinaja..gampangkan..” (lihat halaman sampul naskah drama), dualisme identitas keempat tokoh ini harus dapat diterima oleh Risti. Apabila Risti merasa tidak dapat menerimanya maka ia tidak perlu berusaha mengubahnya, walaupun mungkin pendapat Ristilah yang benar. Hal tersebut diwujudkan dalam bagian yang dikutip berikut ini. Risti: Amir: Risti: Amir: Risti: Amir: Risti:
Mana nih Ferry? Harusnya dia uda nongol,,, (dingin) Ferry sudah pergi… Pergi? Maksudnya?? Tapi siklusnya kan… Dia sudah pergi dari rumah… dia marah… dia lupa sama ayahnya…ibunya bahkan kakaknya… Dia pergi kemana? Entahlah… (tertawa) hahaha… ini sebenernya yang aneh gue apa tetangga gue sih? Gue masih waras kan? Masih waras??? (berteriak) Ahhhhhh…. Kenapa sih sama gue???? (sesekali memukul kepalanya sendiri) normal… normal… normal…. Normal… normal… ayo dong normal!!!! Gue gak sakit!!!! Mereka yang sakit!!!! (menangis) gua normal gua gak sakit… gue normal… gue gak sakit… (seperti teringat sesuatu) ya… siklus ini harus terus berjalan… seperti rantai makanan…. (2011: 22)
Setelah masalah mencapai klimaks—terungkapnya dualisme identitas keempat tokoh, diikuti dengan kepergian Ferry—Risti mencoba untuk mengikuti aturan main di tempat tersebut. Pada suatu malam ia datang dan merekonstruksi aktivitas tetangganya tersebut. Namun, tokoh Ferry telah meninggalkan keluarga itu. Kepergiannya menyadarkan semua tokoh yang ada bahwa mereka memiliki pilihan untuk menentukan kehidupan dalam masyarakat. Mereka dapat mengikuti tuntutan konvensi yang ada—tentang penampilan, pekerjaan, keadaan keluarga—atau pergi dan menjadi diri sendiri, seperti tokoh Ferry. Nampaknya hal tersebut yang selama ini hilang dari pengertian Risti. Ketika ia mencoba mengintervensi kehidupan tetangganya, ia tidak sadar bahwa perlahan-lahan kepribadiannya pun berubah.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
108
Di titik itulah, tokoh Risti terlihat menyatukan kembali dirinya dan mulai menata pemikiran yang logis untuk menghadapi situasi tersebut. Dari kejauhan muncul tokoh Pak Herri dan Hansip menyerukan tagline drama ini, “Kalau tidak suka, ya tidak usah diikutin, tinggalin aja.. gampang kan…” (2011: 23). Seruan tersebut menjadi solusi
yang
ditawarkan
kepada
Risti
sekaligus
juga
penyelesaian.
Jika diwujudkan dalam sebuah grafik maka perkembangan alur pada ketiga drama ini akan terlihat seperti berikut ini. 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Lima Pintu
Te(N)tangga(NG)
Roman
Gambar 2.4
Alur Tiga Drama Relasi Manusia dengan Masyarakat
Grafik di atas memberikan indikasi bahwa bangunan alur dalam ketiga drama ini kurang lebih sama. Hal tersebut disebabkan oleh konflik yang hadir dalam ruang lingkup yang sama, yaitu masyarakat. Adanya persamaan latar belakang tempat dan para tokoh dalam ketiga drama ini, membuat alur terbanguan atas bagian-bagian yang sama. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dalam ketiga drama ini peristiwa terbagi menjadi tiga tahapan (lihat Bagan 3). Tahapan ini mencakup daerah luar, dalam, dan kembali lagi ke luar. Proses tersebut merupakan hasil dari relasi antara manusia dan masyarakat.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
109
Ketika tokoh dihadapkan pada sebuah lingkungan kehidupan bermasyarakat, yang memiliki keragaman asal usul, maka konflik akan dimulai dari persinggungan antara manusia dengan manusia lain sebagai bagian dari sebuah sistem masyarakat. Hal tersebut didorong oleh adanya kebutuhan masing-masing individu untuk bertahan hidup. Kepentingan tiap individu yang tidak disertai dengan pemahaman untuk hidup berdampingan—seperti yang digambarkan dalam ketiga naskah drama—mendorong timbulnya gesekan antarsatu individu dengan yang lain. Pada ketiga naskah drama ini, terdapat satu tokoh yang dipilih untuk menyatakan akibat dari persinggungan antarmasyarakat. Tokoh Lela (“Lima Pintu”, Risti (“TeNtanggaNG”), dan Roman (“Roman”) merupakan perwakilan dari masyarakat—yang dalam masing-masing drama—diberi ruang untuk memperlihatkan konflik personal yang dipicu oleh konflik dalam bersosial. Ketika konflik personal para tokoh mencapai titik klimaks dalam alur drama maka secara individu para tokoh akan mencoba untuk menyelesaikannya. Namun, konflik personal tokoh utama tidak dapat terelakkan dari ruang publik. Penyebab munculnya konflik personal ini adalah keadaan di ruang publik, seperti tokoh Roman yang bertengkar dengan istrinya karena pergunjingan tetangga atau tokoh Lela yang menjadi korban fitnah tetangganya. Oleh sebab itu, untuk menyelesaikannya, para tokoh akan kembali lagi ke tengah masyarakat untuk meminta ‘pertanggungjawaban’ dalam menyelesaikan konflik. Namun, ketika para tokoh melakukan konfrontasi dengan masyarakat, ditemukan bahwa masyarakat tersebut tidak dapat memberi jawaban. Telah ditemukan adanya pergeseran nilai-nilai yang dianut sebagai sebuah masyarakat komunal dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan oleh tiap individu, seperti misalnya yang terjadi pada tokoh Risti. Ia berusaha memperbaiki kemunafikan tetangganya dengan menyatakan kebenaran yang didasarkan pada integritas diri. Namun, masyarakatnya tidak siap menerima idealisme yang dibawa Risti sehingga ia pun harus mengalami keterasingan. Masyarakat dalam ketiga drama ini digambarkan sebagai kumpulan manusia yang dipaksa untuk meleburkan sifat-sifat individu karena kebutuhan untuk berbagi tempat tinggal. Padahal sebenarnya, mereka tidak siap untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai bagian dari masyarakat majemuk.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
110
2.4 Simpulan Naskah-naskah drama tentang relasi manusia dengan dirinya sendiri, umumnya berbicara tentang eksistensi manusia dalam dunia. Hal tersebut diwujdukan dalam halhal yang tidak masuk dalam alur dan tokoh, untuk memperlihatkan nilai-nilai baru yang mereka usung dan ketiadaan pola dalam eksistensi manusia. Namun, ketiga naskah drama FTJ ini justru memperlihatkan hal yang sama sekali berlainan dari kebiasaan drama-drama bertema eksistensial tersebut. Usaha penggambaran kondisi yang berlawanan ini, penulis lihat, adalah bentuk dari keabsurdan dan cerminan manusia masa kini yang terjebak pada alam bawah sadar mereka. Para tokoh yang ditunjukkan bahagia dengan kepalsuan identitas mereka dalam sebuah kelompok adalah cerminan ketiadaan diri yang otentik. Naskah-naskah drama yang berbicara tentang relasi manusia dengan kekuasaan, menempatkan kekuasaan dalam gambaran yang abstrak. Kekuasaan dalam drama-drama ini diwujudkan dalam benda-benda yang ditemui sehari-hari, yang telah mengalami pergeseran makna. Hal tersebut menandakan adanya kritik terhadap pengertian yang salah terhadap kekuasaan. Para tokoh digambarkan terlibat dengan konsep kekuasaan itu sebagai oposisi atau sebagai orang yang berhasrat terhadapnya. Dalam ketiga drama ini, kekuasaan menjadi semacam sihir yang membelenggu para tokoh
dalam
keserakahan,
keegoisan,
dan
kematian
hati
nurani,
karena
menyalahartikan esensi dari kekuasaan. Kekuasaan dalam ketiga naskah drama ini mengakibatkan kematian dan kehancuran secara fisik dan mental manusia. Naskah drama yang mengangkat relasi manusia dengan masyarakat tersusun atas banyak karakter, yang masing-masing karakter, memainkan peranan mereka dalam proses bersosialisasi. Ketiga drama ini membagi peristiwa menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah pemaparan dan perumitan masalah yang disebabkan kehidupan di ruang publik. Bagian kedua adalah klimaks dari masalah yang melibatkan kehidupan personal salah seorang tokohnya. Dan bagian yang terakhir, konflik personal tokoh tersebut dibawa kembali ke ruang publik untuk diselesaikan secara kolektif. Namun, dari hasil analisis alur, diperlihatkan bahwa publik hanya dapat memicu terjadinya masalah, tetapi tidak mampu memberikan solusi atas masalah yang mereka mulai.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
111
Nampak pula dalam ketiga drama bahwa salah satu pemicu masalah di ruang publik adalah adanya tuntutan terhadap hal-hal baik yang terjadi di antara sesama mereka. Akan tetapi, tuntutan baik dan buruk dalam masyarakat, sudah tidak lagi relevan untuk menjawab tantangan hidup yang makin sulit. Secara umum, naskah-naskah ini memiliki persamaan masalah yang menjadi benang merah di antaranya. Persamaan tersebut menyangkut kehidupan manusia di kota dengan tuntutan manusia urban yang berada dalam kondisi sosial-politik tak sehat sehingga menyebabkan mereka secara individu kehilangan identitasnya. Masalah kemiskinan, ketidakadilan, dan pendidikan yang terbelakang dalam masyarakatnya, masih menjadi suatu isu penting dalam tiap naskah drama. Melihat uraian masalah dalam tiap drama yang ada maka dapat disimpulkan bahwa masalah utama yang dihadapi oleh manusia di dalam drama, berbicara tentang identfikasi diri (drama relasi manusia dengan diri sendiri), identitas kebangsaan (drama relasi manusia dengan kekuasaan), serta pola kehidupan masyarakat miskin kita (drama relasi manusia dengan masyarakat). Hal-hal inilah yang menjadi masalah utama dalam naskah drama FTJ 2008-2013.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
BAB III MANUSIA DAN REALITAS SOSIAL DALAM DRAMA-DRAMA FESTIVAL TEATER JAKARTA Di balik gencarnya arus media massa yang muncul, jarak antara masyarakat dan refleksi realitas-sosialnya semakin merenggang. Namun, melalui kesenian, manusia diberikan ruang untuk membicarakan kehidupan yang terjadi secara langsung antara pelaku dan penikmat. Salah satu bentuk kesenian yang memungkinkan terjadinya interaksi langsung adalah drama15, baik dalam bentuk pemanggungan maupun teks. Hal ini disampaikan oleh Afrizal Malna (201116) dalam ulasannya tentang Festival Teater Jakarta (selanjutnya akan disebut FTJ). Naskah-naskah drama yang dihasilkan pada FTJ—tidak hanya mendokumentasikan tetapi juga—membicarakan realitas dengan nada mengkritik, menyindir, atau menasihati. Hal tersebut diperlukan, mengingat sebuah karya sastra adalah salah satu alat untuk menjaga kualitas kehidupan manusianya. Bertolak dari teori mimesis Aristoteles17 yang melihat karya sastra sebagai sebuah cerminan kenyataan maka pengarang—yang juga adalah bagian dari masyarakat—dan karyanya berfungsi untuk menyampaikan tanggapan atas kenyataan. Namun, mengingat karya tersebut merupakan rekonstruksi kenyataan dalam kehidupan yang telah melalui proses kreatif pengarang, peristiwa dalam naskah dengan realitas sosial tidak dapat sekadar dicari kesamaannya. Menanggapi hal tersebut, A. Teeuw Afrizal Malna menulis kaleidoskop tentang FTJ tersebut dengan menggunakan kata ‘teater’. Namun, untuk mengikuti kebutuhan penelitian ini maka penulis mengganti kata ‘teater’ dengan ‘drama’—yang memiliki arti lebih luas dari kata teater—sebab dapat berarti di atas panggung maupun di dalam teks. 16 “Teater adalah kita, merupakan pernyataan yang memang melibatkan ruang dan waktu. Teaterlah yang membuat jembatan antara waktu di sana dengan waktu di sini, antara ruang di sana dengan ruang di sini. Cara yang paling dekat untuk melihat kehidupan sebuah kota, adalah menonton salah satu kelompok teater yang hidup di kota itu. Juga sebaliknya, cara dekat untuk melihat pencapaian estetika teater, adalah dengan membandingkan pertunjukan sebuah teater dengan perkembangan kota tempat teater itu berada” (“Kaleidoskop Teataer 2011: Semua Aku dan Semua Kamu dari Kita” Afrizal Malna. 17 Aristoteles meneruskan gagasan yang sama dengan Plato tentang karya seni sebagai sebuah mimesis kehidupan, tetapi di dalamnya teorinya ia menambahkan hal yang tidak diungkapkan oleh Plato. Hal tersebut adalah proses kreatif yang menjadi sebuah karya tidak sekadar sebagai tiruan kehidupan tetapi telah menjadi kenyataan baru bentukan pengarang. Hal inilah yang membedakan sudut pandang Aristoteles dengan Plato. (diambil dari Pengantar Ilmu Sastra (1984) Luxemburg, Bal, dan Weststeijn serta dari buku Apresiasi Kesusastraan (1991) Saini K.M. dan Jakob Sumardjo. 15
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
112
Universitas Indonesia
113
(2003: 190) mengatakan bahwa unsur fiksi dalam karya justru memperlihatkan pada pembaca, kelihaian pengarang dalam mengutarakan sebuah gagasan yang bertolak dari kehidupan nyata. Mengenai relasi antara karya sastra dengan masyarakatnya, hubungan di antara keduanya bersifat saling mempengaruhi, seperti yang diungkapkan oleh A.Teeuw: “hubungan itu selalu merupakan interaksi yang kompleks dan tak langsung; ditentukan oleh tiga macam atau saringan kelir: kelir konvensi bahasa, kelir konvensi sosio-budaya, dan kelir konvensi sastra yang menyaring dan menentukan kesan kita dan mengarahkan pengamatan dan penfasiran kita terhadap kenyataan. Hubungan ini memang merupakan interaksi, saling mempengaruhi, atau kaitan dwiarah (…) Dunia nyata dan dunia rekaan selalu saling berjalinan, yang satu tidak bermakna tanpa yang lain. Sudah tentu, secara faktual kaitan antara kenyataan dan rekaan mungkin sangat berbeda-beda.” (hlm. 188-190)
Jadi, pengamatan tentang kecenderungan sosial yang muncul melalui naskahnaskah drama FTJ ini, perlu dilakukan dengan pendekatan yang tepat. Untuk itulah, pada bagian dalam penulisan ini, hasil temuan dari analisis struktural yang telah dilakukan sebelumnya, akan digunakan sebagai data untuk melihat adanya keterpengaruhan dari realitas sosial yang ada dalam kehidupan.
3.1 Kenyataan dalam Naskah Drama FTJ sebagai Hasil Perspektif Pengamatan Relasi Manusia Struktur naskah-naskah drama FTJ telah ditelusuri dengan menggunakan perspektif relasi untuk mencari tahu masalah utama yang terekam di dalamnya. Pada bagian kesimpulan analisis struktural, ditemukan masalah pokok dari naskah-naskah drama ini, yaitu persoalan manusia yang menyangkut masalah identifikasi diri (relasi dengan diri sendiri), sifat kebangsaan (relasi manusia dengan kekuasaan), serta masyarakat miskin kota (relasi manusia dengan masyarakat). 18 Masalah identifikasi diri, yang ditemukan dalam tiga naskah drama tentang relasi manusia dengan diri sendiri, muncul melalui keadaan jiwa para tokoh
18
Lihat bagian 2.4
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
114
protagonis19 yang gelisah. Identitas tokoh Bapak dan Kelima tokoh masyarakat ditentukan oleh peran yang mereka jalani sehari-hari dalam sebuah dunia bentukan. Tokoh Maman, Lukman, dan Saman menjalani kehidupan di ambang maut, dalam sebuah penantian yang memberi mereka alasan untuk terus hidup. Kehidupan mereka dikendalikan oleh tokoh antagonis dalam sebuah tempat yang menyerupai kurungan. Dalam analisis struktural, tempat tersebut diwujudkan sebagai sebuah ruangan yang mengungkung mereka. Tanpa sadar, ruang yang mengungkung itu telah menciptakan suatu zona nyaman bagi para tokoh sehingga mereka tidak merasakan bahwa kehidupan mereka terbelenggu. Namun, sebagai manusia yang memiliki akal budi, mereka terus-menerus merasakan sebuah kegelisahan. Dalam drama, kegelisahan tersebut diungkapkan dengan pernyataan para tokoh tentang kehidupan mereka yang terasa datar. Kegelisahan ini tidak dapat diatasi karena keterikatan mereka pada peran yang mengisi dunia tersebut. Namun, ketika zona nyaman mereka ini diusik dari luar, kegelisahan mereka berubah menjadi sebuah kesadaran yang mendorong adanya pertanyaan-pertanyaan atas rutinitas tersebut. Walaupun pada akhirnya para tokoh tidak dapat membebaskan diri dari belenggu tersebut, mereka telah membuka ruang kesadaran mereka terhadap kepalsuan yang dijalani. Masalah identitas kebangsaan yang muncul dalam drama-drama tentang relasi manusia dan kekuasaan20, ditemukan melalui kemarahan yang terpendam dalam diri para tokoh, seperti Marni dan Rasyid (“Paralel ‘45”), Pulung (“Pesta Sampah”, dan Parmin (“Parlemen WC”). Kemarahan tersebut diwujudkan melalui ekspresi diri yang berbeda di tiap karya, seperti pemberontakan, ketidaktaatan, rasa syukur yang palsu, serta keserakahan. Hal ini muncul karena adanya bentuk kekuasaan yang dianggap gagal mengatur bagian-bagian dalam kehidupan sosial politik. Munculnya eksploitasi terhadap kebebasan—karena tidak didukung oleh kepiawaian penguasa dalam mengaturnya—memicu munculnya masalah kepentingan
tokoh Bapak (“Ruang Kehormatan”), tokoh Saman, Maman, dan Lukman (“Ruang Tunggu Terakhir”), serta Kelima Tokoh Masyarakat (“Gagu Ngigau Galau Wagu”) 20 Naskah drama “Paralel ‘45”, “Pesta Sampah”, dan “Parlemen WC”. 19
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
115
pribadi di tengah kepentingan publik. Penguasa yang merasa terancam dengan perlakuan mereka, mempertahankan diri dengan cara mengeluarkan kebijakan yang memaksa rakyatnya untuk tunduk. Kekuatan yang dimiliki oleh pengusa (disimbolkan dalam drama sebagai tokoh pejabat) disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dengan jalan mengeksploitasi fasilitas publik. Hal ini memicu perpecahan di antara masyarakat. Akibat dari sistem pemerintahan yang dianggap gagal menjalankan tugasnya dan adanya ekspolitasi kebebasan publik, muncul tkoh-tokoh apatis pesimis yang tidak percaya akan adanya keadilan sosial. Langkah mereka untuk mendapatkan keadilan tersebut adalah dengan menghancurkan kekuasaan. Orang-orang yang masih memegang teguh dan berharap pada demokrasi dalam kehidupan sosial politik justru menjadi tumbal. Puncaknya adalah disintegrasi negara dan perpecahan di antara masyarakat. Masalah mengenai individualitas masyarakat kota yang muncul dalam dramadrama tentang relasi manusia dengan masyarakat, seperti “Lima Pintu”, “Te(N)tangga(NG)”, dan “Roman”, merupakan efek domino21 dari kegagalan sebuah sistem kekuasaan. Penguasa yang vakum melakukan tugasnya sebagai pemimpin (seperti dalam tiga drama tentang relasi manusia dan kekuasaan), membuat mereka— tokoh rakyat kecil dalam drama-drama relasi manusia dan masyarakat—terasing dari perhatian pemerintah. Hal itu menimbulkan kehidupan di bawah garis kemiskinan, penderitaan, dan terjadi kemerosotan nilai moral, seperti yang dialami oleh tokoh Ibu Pintu Dua dan Lela (“Lima Pintu”), Roman dan Atun (“Roman”), serta Risti dan Keluarga Pak Amir (“Te(N)tangga(NG)”). Mereka tidak merasa sebagai bagian dalam keberlangsungan negara sehingga tidak ada usaha untuk mewujudkan kehidupan bersosial yang harmonis. Sikap tersebut timbul dari degradasi nilai moral dan usaha tiap individu untuk bertahan hidup.
21
Istilah yang digunakan oleh Presiden Amerika Serikat, Dwight D. Eisenhower, dalam Perang Dunia II bagi kekalahan Perancis atas wilayah Vietnam ke tangan komunis. Hal ini akan berdampak ke seluruh wilayah selatan Asia. Efek domino diberikan untuk menggambarkan suatu kejadian yang sifatnya berantai, seperti anggapan Eisenhower mengenai komunis di Asia
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
116
Di dalam kehidupan antarmasyarakat, terjadi proses pengasingan bagi mereka yang tidak dapat mengikuti konvensi sosial yang ada, seperti yang dilakukan pada tokoh Risti atau tokoh Atun. Kehidupan yang jauh dari harapan ideal, mendorong beberapa tokoh untuk melakukan gangguan sosial di dalam kehidupan antarmasyarakat sehingga timbul kecurigaan (“Roman), persaingan sosial (“Lima Pintu”), dan tindak kriminal (“Te(N)tangga(NG)”) yang menjadi klimaks dalam drama-drama tersebut. Persoalan-persoalan tersebut merupakan gambaran secara umum hasil analisis struktural yang telah dilakukan atas naskah-naskah drama FTJ periode 2008-2013. Adanya kesamaan tempat dan kurun waktu penciptaan karya—Jakarta tahun 2000 hingga kini—memungkinkan adanya hubungan yang saling mempengaruhi di antara temuan pada karya dan realitas sosial di masa itu. Oleh sebab itu, persoalan yang telah dijelaskan sebelumnya, harus diuraikan sesuai dengan kondisi zaman pada masanya. Pemetaan hubungan22 masalah dalam karya dengan realitas sosial masa kini dapat dilihat dalam bagan berikut ini. Skema 3.1
Persoalan dalam Naskah Drama FTJ dalam Konteks Realitas Soial KEKUASAAN Perspektif Pengamatan
Rasa kesatuan sebagai bangsa
Relasi Manusia
DIRI SENDIRI Identifikasi diri
MASYARAKAT Pola masyarakat miskin kota
Dunia dalam Drama REALITAS SOSIAL pascarefromasi Keterangan: : Keadaan sosial tahun 2000kini : Dunia dalam karya drama : temuan masalah : menghasilkan
22
Hubungan tersebut merupakan intisari dari pemikiran Sapardi tentang hubungan sosiologi dalam karya, seperti yang dikutip berikut ini: “(…) menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayali dan situasi penciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya/ tema dan gaya
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
117
Pada bagan di atas, ditunjukkan bahwa relasi manusia menghasilkan persoalan yang membentuk kenyataan pada naskah drama. Gambaran dari kenyataan dalam naskah drama berada di dalam realitas sosial. Hal ini menandakan bahwa gambaran pada dunia dalam drama adalah juga bagian di dalam kenyataan yang ada, seperti yang diungkapkan oleh Luxemburg (1984: 17) bahwa pengarang mengambil beberapa hal dari unsur-unsur dalam kenyataan untuk menyusun suatu gambaran (karya) yang mencipta ‘kodrat manusia yang langgeng’. Oleh sebab itu, temuan masalah dalam naskah drama pun memiliki bagian yang beririsan dengan realitas sosial. Hubungan di antara ketiganya bersifat saling mempengaruhi, seperti teori A. Teeuw tentang hubungan karya dan kenyataan yang dibahas pada bagian awal bab ini. Hasil dari relasi ketiganya inilah yang akan menjelaskan hubungan di antara dunia dalam naskah dengan realitas sosial yang ada. Oleh sebab itulah, penguraian masalah dalam karya-karya ini akan diawali dengan melihat temuan dalam naskah drama yang beririsan pula dengan realitas sosial. Setelah itu, hasil uraian dari penelusuran sosiologis atas kenyataan dalam drama akan dihubungkan satu sama lain untuk melihat gambaran tentang peristiwa ‘aku’—manusia—pada masa kini (seperti yang diungkapkan pada bagian pendahuluan).
3.2 Hubungan Tiga Pokok Masalah pada Naskah Drama FTJ dengan Realitas Sosial 3.2.1 Persoalan Identifikasi Diri dalam Drama dan Realitas Sosial Persoalan identifikasi diri yang ditemukan dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu”, “Ruang Kehormatan”, dan “Ruang Tunggu Terakhir”, disimbolkan melalui tokoh-tokoh yang mengalami masalah kejiwaan atau korban bencana (lihat bagian 2.1.2). Keadaan tersebut menempatkan mereka dalam posisi yang lemah sehingga terbelenggu oleh kendali pihak lain. Pihak yang mengendalikan mereka ini— atau ‘tuhan’ dalam dunia mereka—merupakan tokoh dengan posisi superior yang bersifat antagonis di dalam drama. Namun, pada bagian pemaparan masalah, para yang ada dalam karya sastra, yang bersifat pribadi itu, harus diubah menjadi hal-hal yang sosial sifatnya.” (Sapardi Djoko Damono (2010) Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
118
tokoh belum diceritakan menyadari keadaan diri mereka yang terbelenggu. Pengetahuan tentang keadaan diri yang tidak bebas ini tersimpan rapat dalam keteraturan yang menghasilkan suatu rasa nyaman bagi para tokoh. Bagi mereka, identitas diri adalah peranan yang diberikan oleh tokoh ‘tuhan’ dalam dunia yang mereka geluti. Peran tersebut diciptakan sesuai dengan kebutuhan ‘tuhan’ atas diri mereka. Seperti misalnya, tokoh ‘tuhan’ yang diwujudkan dalam peran dokter dalam drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” dan “Ruang Kehormatan”, mereka menggunakan kelima tokoh masyarakat dan tokoh Bapak untuk menjalankan penelitian. Oleh sebab itu, tokoh-tokoh yang lemah secara kejiwaan dipaksa mengemban peran yang bukan diri mereka sebenarnya. Konsep penyamarataan peran manusia—atau sama saja dengan penghilangan identitas— pernah dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru sehingga memunculkan sebuah wajah masyarakat massa. Penyamarataan peran sesuai dengan kebutuhan pembangunan yang dilakukan pada masa itu adalah dengan membuat mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) sebagai fokus utama dalam pendidikan formal23. Hal ini dilakukan untuk menunjang kebijakan pemerintah yang hendak memajukan bidang ekonomi industri. Meminjam istilah yang digunakan oleh Saini K.M. (2004: 82), proses ini menjadikan manusia yang dicetak oleh lembaga pendidikan formal sebagai sebuah ‘baut-baut yang cocok bagi mesin industri’. Mereka tidak diberi kesempatan untuk mencari identitas diri—pada usia yang muda dan seharusnya digunakan untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya—melalui pendidikan tentang sastra, seni, bahasa, atau filsafat yang mampu mengajarkan tata nilai luhur. Mereka yang lahir dan dibesarkan dalam generasi ini, dikatakan oleh Saini K.M., sebagai manusia yang mengalami dehumanisasi. Seperti juga para tokoh dalam dua drama tersebut, “Gagu Ngigau Galau Wagu” dan “Ruang Kehormatan”, mereka
23
Saini K.M. menuliskan tentang ideologi pembangunan yang dicanangkan oleh Orde Baru, pada penggalan pertama kekuasaannya (tahun 1967), melalui pembentukan manusia sebagai bagian dari economic animal. Pada penggalan kedua, ia mengatakan, bahwa manusia dicetak sebagai baut-baut yang dipergunakan untuk memajukan sektor ekonomi industri. Salah satu jalan yang ditempuh oleh Orde Baru adalah melalui rekayasa pendidikan formal. (diambil dari buku Krisis Kebudayaan (2004) Saini K.M.)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
119
dicetak sebagai produk massal yang berguna apabila menjalankan peran yang diberikan. Posisi para tokoh protagonis dalam dunia drama ini adalah sebagai obyek dari kegiatan penelitian atau kegiatan lainnya (karena tokoh Man tidak diceritakan asalusulnya maka tidak diketahui dengan pasti motif dari janjinya tersebut). Sebagai obyek, keberadaan diri para tokoh dikendalikan oleh esensi dari dirinya sebagai peran yang dikehendaki dalam penelitian. Kondisi tersebut bertentangan dengan hal yang diujarkan oleh kaum eksistensialis mengenai manusia. Seperti Sartre24, ia menyatakan dengan tegas bahwa identitas diri manusia harus didapatkan melalui pilihannya sendiri dan bukan berdasarkan apa yang disebut sebagai sifat alamiah manusia. Kondisi para tokoh bertentangan dengan idealisme dari konsep eksistensialisme karena para tokoh tidak memilih dirinya untuk menjadi hal tersebut, tetapi keberadaannya justru dihargai melalui peran yang dimasukkan dalam dirinya. Keadaan konkret dari peran yang menentukan identitas seseorang dan bukan sebaliknya, ditemukan pada masa Orde Baru. Mereka yang tidak menjalankan atau mengambil peran dalam rencana pembangunan ekonomi industri, akan tersingkirkan atau dalam hal ini tidak berarti apa-apa dalam proses pembangunan. Hal itulah yang banyak terjadi pada, khususnya, kaum agraris di daerah-daerah25. Oleh karena program pemerintah yang memajukan sektor industri, mereka yang berada di sektor pertanian semakin kesulitan untuk mengembangkan dirinya sehingga tersisih dari kepentingan politik pemerintah. Sementara itu, untuk menyambung kehidupan, mereka terpaksa mengisi bagian-bagian kosong dalam sektor industri dan meninggalkan diri mereka sebagai petani. Identitas palsu yang diemban oleh para tokoh, muncul melalui pernyataan tokoh Bapak serta aktivitas profesi yang tidak nyata oleh kelima tokoh dalam naskah drama
“Satrre has expressed it by saying that man’s existence precedes his essence (pp. 438-9); we have not been created for any purpose, neither by Godn or evolution nor anything else.” (Pemikiran Sartre tentang eksistensialisme manusia ini diambil dari karya Leslie Stevenson (1987) Seven Theories of Human Nature. “Sartre’s Theory of Man”: 93-94) 25 Diambil dari bahan ajar perkuliahan “Dampak Urabnisasi dan Kemiskinan” (2013) Almasdi Syahza (pengajar mata kuliah Ekonomi Pembangunan di Universitas Riau). 24
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
120
“Gagu Ngigau Galau Wagu”. Pernyataan tokoh Bapak26 ketika menjawab salam dari tokoh Dokter Ivan mengungkapkan penolakannya terhadap peran yang dinyatakan dalam dialog Dokter Ivan. Namun, secara tidak sadar, Bapak perlahan-lahan menerima peran yang ditanamkan oleh Dokter Ivan melalui dialog-dialognya yang konsisten. Pengetahuan yang masuk ke alam bawah sadar tokoh Bapak, pada akhirnya membentuk identitas dirinya dalam ruangan tersebut. Dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu”, yang diperlihatkan bukanlah proses obyektifikasi, tetapi hasil dari proses tersebut. Hasil dari proses obyektifikasi—yang dalam drama tidak diceritakan—menunjukkan bahwa para tokoh mampu mengidentifikasi dirinya sebagai sesuatu, tetapi tidak memiliki kapasitas untuk menjalaninya. Kelima tokoh tersebut— dalam bagian pemaparan masalah—tidak pernah sekalipun melakukan profesi yang mereka akui. Hal ini menunjukkan kesamaan dengan peran para petani di masa Orde Baru, yang harus melakukan kerja di sektor industri demi mendapat bagian dalam dunia saat itu. Namun, kerja mereka itu sifatnya tidak mewakili identitas mereka yang sebenarnya. Identitas mereka sebagai petani telah digantikan dengan peran baru yang memunculkan identitas semu, seperti yang dialami para tokoh. Hal seperti itu, masih sering ditemukan dalam kehidupan manusia pascareformasi. Mereka, dengan kebutuhan untuk bertahan hidup, dipaksa mengambil peran yang sebenarnya tidak mencerminkan diri mereka, seperti pekerja yang beradaptasi dengan keadaan ekonomi kapitalis. Hal ini menurut Goenawan Mohamad (2001: 1410) merupakan suatu proses alienasi diri terhadap apa yang dikerjakan dan identitas si pekerja itu sendiri27. Baik petani pada masa Orde Baru, maupun para buruh di masa ekonomi kapitalis kini, keduanya sama-sama meleburkan dirinya dalam kerja yang menjadikan ia sebagai obyek.
26 “Anak???!! (Serius) Saya tidak pernah merasa bahwa saya mempunyai seorang anak. Jangan kira seorang anak, seirang istri pun saya tidak pernah punya.” (“Ruang Kehormatan”, tokoh Bapak 2012: 1) 27 Goenawan Mohammad menuliskan pemikiran Marx, pada catatan pinggir tanggal 27 Agustus 2000, tentang terjemahan kata ‘bildung’ oleh Berman sebagai sebuah ‘subyektivitas’. Artinya, kapitalisme meringkung itu dan membuat manusia ‘merasa dirinya hadir di luar kerjanya, dan kerjanya… berada di luar diirnya’. Proses yang membuat manusia kehilangan martabatnya. (diambil dari buku Kata, Waktu: Esai-esai Goenawan Mohamad 1960-2001 (2001) Goenawan Mohamad)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
121
Pada masa Orde Baru, diadakan pula sebuah operasi yang dikenal dengan nama Penembak Misterius. Ribuan orang yang diduga terkait jaringan Gabungan anak liar (Gali) yang merupakan preman-preman dengan kekhasan bertato di sekujur tubuh, dibunuh dengan mengenaskan tanpa proses pengadilan yang jelas. Mereka dibunuh karena dianggap telah menimbulkan keresahan. Dan untuk mengatasi situasi yang mengganggu keamanan, pemerintah ‘diam-diam’ mengadakan operasi penembakan misterius. Komnas HAM28 telah menetapkan bahwa peristiwa ‘petrus’ merupakan pelanggaran HAM berat yang ditemukan selama Orde Baru—di samping pelanggaranpelanggaran lainnya. Mereka yang ditembak dalam operasi ‘petrus’ diidentifikasi dengan tato. Tidak jarang, mereka yang menjadi korban sebenarnya bukanlah gabungan anak liar (Gali), tetapi hanya kebetulan memiliki tato di tubuhnya. Identifikasi yang dilakukan semacam ini juga merupakan suatu bentuk dari penyamarataan manusia. Mereka digolongkan menurut keadaan fisik atau ciri tertentu tanpa melihat dulu identitas yang sebenarnya. Toni29, seorang warga yang tidak bersalah, ditangkap karena kesalahan identifikasi. Namanya sama dengan orang yang masuk daftar target ‘petrus’. Ia kemudian ditangkap dan diasingkan jauh dari rumahnya. Proses ini tidak hanya salah dalam hal mengidentifikasi, tetapi juga telah mencederai hal paling dasar dari eksistensi manusia, yaitu hidup. Mereka, para penembak misterius ini, telah mengambil hak manusia untuk hidup dengan alasan kestabilan keamanan nasional. Sementara itu, pembahasan masalah dalam naskah drama “Ruang Tunggu Terakhir”, lebih mengarah pada keadaan psikologis para tokoh yang muncul dari rasa terbelenggu. Memang, dalam semua karya, terdapat pula gambaran dari keadaan psikologis para tokoh. Namun, dalam analisis struktural terhadap drama “Ruang Tunggu Terakhir”, ditemukan lebih banyak eksplorasi keadaan psikologis tokoh daripada wujud-wujud dari pemahaman eksistensialisme. Tentu saja, keadaan psikologis ini lahir dari pemahaman eksistensialisme yang ditemukan dalam tema Diambil dari artikel berita “Ini Kisah Pelaku Petrus Orde Baru” (2012) Roffiudin. Diunduh dari website www.tempo.com, pada tanggal 14 Juni 2014, pkl.04.15. 29 Diambil dari artikel berita “Kisah Mereka yang Lolos dari Petrus di Zaman Soeharto” (2013) Didi Syafrudi. Diunduh dari website www.merdeka.com pada tanggal 14 Juni, pk.04.17 28
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
122
utama drama “Ruang Tunggu Terakhir”. Secara menyeluruh, keadaan psikologis tiga tokoh utama dipengaruhi oleh tekanan yang menghimpit mereka dan menghilangkan kemampuan akal sehat bekerja. Tekanan tersebut datang dari keadaan fisik mereka yang terluka parah. Keadaan sakit yang digambarkan dengan sangat penuh derita ditambah pula dengan harapan atas datangnya janji Man yang sebenarnya tak pasti, membuat para tokoh terbelenggu oleh isi kepala yang terus berdengung lewat monolog mereka, yang diceritakan dalam drama sebagai sebuah penyangkalan pada hal mustahil. Diceritakan dalam drama (lihat 2.1.2: 12), tokoh Saman—yang pertama kali muncul—adalah korban selamat dari tsunami. Kedua tokoh yang muncul belakangan—Maman dan Lukman—pun merupakan korban bencana alam lain. Maman adalah korban selamat tanah longsor dan Lukman adalah korban selamat dari bencana lumpur. Dari kondisi tersebut, tak hanya fisik mereka yang lemah, tetapi secara mental, mereka pun tak lagi punya gairah untuk hidup. Namun, dalam kondisi yang begitu buruknya, para tokoh diceritakan tetap berusaha dengan segala cara untuk dapat bertahan. Pada analisis pemaparan masalah disebutkan bahwa pertahanan diri mereka datang dari harapan atas janji tokoh Man. Kepercayaan para tokoh terhadap janji Man telah mengendalikan tingkah laku mereka tanpa disadari. Janji Man untuk menemui para tokoh di ruang tersebut, membuat mereka patuh menunggu. Hal ini diperlihatkan oleh tokoh Saman yang menolak berpindah tempat ketika ia terluka parah. Dengan kesadaran 30 para tokoh terhadap Janji Man, mereka memutuskan untuk tinggal di tempat tersebut yang merupakan titik temu yang dijanjikan Man. Namun, secara tidak sadar, tekanan keadaan yang buruk itulah justru yang memampukan mereka untuk tetap percaya akan janji
Man
dan—seperti
yang
dikatakan
sebelumnya—merasuki
diri
serta
mengendalikan tingkah laku. Jadi, bukan karena janji Man semata yang membuat
“Nothing which a person does or says is really haphazard or accidental; everything can in principle be traced to causes which are somehow in the person mind” (Freud’s Theory of man, Leslie Stevenson d(1987) Seven Theories of Human Nature)
30
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
123
mereka tinggal, tetapi justru penderitaan itu yang membuat mereka tinggal31 dan percaya bahwa janji Man itu pasti terkabul—walaupun tidak ada kepastian tanda. Tekanan dan penderitaan menghilangkan akal mereka akan adanya kehendak bebas yang dimiliki oleh manusia, seperti yang diusung dalam semangat eksistensialisme. Janji Man—sebagai satu-satunya harapan di tengah penderitaan— membentuk suatu pola pada perilaku para tokoh, sama seperti tokoh Bapak atau kelima tokoh utama masyarakat, sehingga mereka bertindak tidak berdasarkan apa yang mereka kehendaki. Para tokoh tidak dapat mencari tempat lain yang bebas dari ancaman para tentara bersepatu lars karena mereka terikat oleh janji Man. Belenggu yang mengikat para tokoh ini adalah munculnya rasa keraguan, kecemasan, dan ketakutan, tetapi mereka tidak—atau berkehendak—untuk mengatasinya, seperti yang ditunjukkan oleh tokoh Saman berikut ini.
Saman:
Oh, luka. Kakiku meradang terbakar, Man... Berdarah... Oh! Kulitnya terkelupas ... Jalan sudah jadi bara ... Angin sudah terlalu kencang meniupnya jadi api. Bumi terbakar, Man. Menghanguskan jalan yang tersisa. Jalan-jalan lain sudah hilang ditelan lumpur dan banjir. Kota akan terkubur. Jalan lainnya sudah tertutup tanah longsor dan putus, dibelah jurang yang dalam akibat gempa ... Tapi aku pantang menyerah, Man. Walau derita perih mendera langkahku. Meninggalkan bekas jejak darah yang segera pupus oleh hujan, mengurai darahku jadi aroma sungai sampai ke laut. Hujan sering turun belakangan ini, Man. Gelombang setinggi pohon kelapa. Dan aku berhasil sampai ke tempat ini. Bagaimana kamu, Man? ... Kita sudah berjanji bertemu ditempat ini. Tempat keberangkatan kita menuju tanah yang dijanjikan. (…) (2011: 4)
Perasaan semacam itu tidak hanya ditunjukkan oleh tokoh Saman, pada analisis struktural karya drama, tokoh Maman dan Lukman pun dikemukakan mengalami hal serupa. Sementara itu, pada dua naskah drama lainnya, para tokoh memang tidak diperlihatkan melakukan soliloqui, seperti yang banyak ditemui pada naskah drama “Ruang Tunggu Terakhir”. Adegan semacam ini ditunjukkan melalui interaksi kelima Keadaan ini seperti yang diungkapkan oleh Gunter Grass bahwa “melankoli dan utopia adalah dua sisi dari gobang yang sama? Harapan tentang hidup yang sempurna justru hanya hadir dalam kesedihan, dan selalu ada yang sayu dalam tiap harapan bahwa yang mustahil akan datang.” (diambil dari buku Kata, Waktu: Esai-Esai Goenawan Mohamad 1960-2001 (2001). Goenawan Mohamad) 31
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
124
tokoh masyarakat (“Gagu Ngigau Galau Wagu”) satu sama lain atau interaksi tokoh Bapak dengan Dokter Ivan. Memunculkan perasaan dan pemikiran para tokoh dengan cara yang dilakukan dalam naskah drama “Ruang Tunggu Terakhir”, memang terasa lebih tajam dibandingkan dengan cara lainnya. Namun, dalam penempatan yang tepat, interaksi juga dapat memunculkan perasaan tersebut. Konsistensi tokoh Bapak dalam mencecar Dokter Ivan dengan pertanyaan seputar dirinya, sebenarnya adalah wujud dari pencarian identitas diri. Walaupun pertanyaan dan reaksi tokoh Bapak seringkali sulit untuk diterangkan dengan logika, tetapi bentuk kecemasan tersebut adalah pergolakan dirinya dengan keadaan yang ia hadapi. Kondisi Bapak mengacu pada tiga konsentrasi utama dalam eksistensialisme yang dikemukan oleh Sartre. Pertanyaan seputar ‘siapa dirinya?’ dan ‘apa tujuan dari dirinya ada?’ mengarahkan tokoh Bapak menuju identifikasi diri secara individual yang lepas dari perannya dalam ruang tersebut. Tokoh Bapak dengan pertanyaan dan tokoh Dokter Ivan dengan reaksinya, mungkin adalah sebuah perwujudan dari yang dikatakan oleh Goenawan Mohamad (2001: 1135) sebagai sebuah rekasi kekuasaan yang tak menginginkan manusia mandiri. Bentuk superioritas itu, dikatakannya, takut akan segala daya yang diciptakan pada kehidupan. Tokoh Bapak ini, seperti juga orang-orang di dalam ruang sidang yang menunggu putusan hakim tentang kasus ‘Tempo’, ingin mendengar pertanyaannya dijawab. Pertanyaan tokoh Bapak adalah hasil dari tekanan yang selama ini mencoba membungkamnya. Seperti juga tokoh Bapak, dalam banyak peristiwa di masa Orde Baru, masyarakat yang bertanya dibungkam. Tentang segala aturan yang menyamaratakan keberadaan mereka dan menekan kebebasan, mereka—mahasiswa, jurnalis, sastrawan, dan seniman—bertanya-tanya tentang arti dari semua itu. Dan ketika putusan MA 32tentang majalah ‘Tempo’ yang dibredel keluar, mereka tidak lagi peduli dengan hasilnya karena tahu bahwa belenggu itu belum dapat dibebaskan karena memang tidak mau dilepaskan oleh sang pembelenggu. 32
Tempo dibredel pada tanggal 21 Juni 1994 dan keputusan tentang kasus tersebut keluar pada tanggal 16 Juni 1996. Sidang tersebut dipimpin oleh Soerjono di ruang Mochtar Kusumaatmadja, di Gedung Mahkamah Agung. (diambil dari buku Kata, Waktu: Esai-Esai Goenawan Mohamad 1960-2001 (2001) Goenawan Mohamad)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
125
Beberapa eksistensialis menggunakan rujukan kata Tuhan sebagai bentuk belenggu yang paling absolut. Dalam drama “Ruang Kehormatan”, jenis eksistensialisme yang ditunjukkan lebih mengarah pada jenis yang tidak mengakui adanya Ketuhanan. Dengan munculnya Dokter Ivan sebagai wujud ‘tuhan’ dalam dunia tersebut maka keinginan Bapak untuk bebas dari peran yang terberi itu sulit dicapai. Adanya Tuhan, dalam pandangan kaum eksistensialis yang bersifat atheis, berarti manusia selamanya harus berlaku sebagai tawanan33 yang bertindak sesuai dengan perintahNya. Konsep Tuhan sebagai belenggu dalam hidup manusia, juga muncul dalam naskah drama “Ruang Tunggu Terakhir. Pada awalnya, penulis melihat bahwa naskah drama ini lebih condong berbicara tentang eksistensialisme yang bersifat theis. Hal ini disebabkan oleh munculnya tokoh Man yang dicurigai serupa dengan gambaran Yesus, Tuhan dalam wujud manusia (dalam bahasa Inggris, ‘man’ berarti manusia)34. Karena kehadiran Tuhan itu, ketiga tokoh utama dapat terbebas dari kiamat dan menjalani hidup baru di tanah yang dijanjikan. Penghayatan ketiganya terhadap janji Man ini seolah mendengungkan ujaran Kierkegaard (Hassan 1989: 33) mengenai “kedekatan pada Tuhan sebagai penghayatan eksistensial karena Tuhan sebagai kebenaran yang dihayati adalah subyektif”. Namun, ketika ditemukan bahwa kabar kematian Man justru mendorong mereka untuk menentukan sendiri nasibnya—pergi dan mencari sendiri tanah yang baru— membukakan kemungkinan sisi lain untuk melihat eksistensialisme dalam karya tersebut. Dalam karya ini pun, eksistensialisme yang dibicarakan menggugat peran Tuhan (atheis) dalam kehidupan manusia. Dengan kematian Tuhan (Man), telah membuat manusia (Saman, Maman, dan Lukman) dapat menentukan sendiri caranya untuk hidup. Oleh sebab itulah, pada akhirnya yang ditemukan dalam analisis
“prisoners they are to me, and marked men. He whom they call Redeemer has put them in fetters; in fetters of false values and delusive words.” (Nietzsche dalam buku Berkenalan dengan Eksistensialisme (1989), Fuad Hassan. 34 “But it is in the New Testament, in the life and work of Jesus, that we find the distinctively Christian (rather than Jewish) idea of salvation. The central claim is that God was uniquely present in the particular human being Jesus, and that God uses his life (…)” (Chritianity: God’s Salvation, Leslie Stevenson (1987) Seven Theories of Human Nature) 33
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
126
struktural, dua naskah lainnya tidak dapat menyatakan bahwa tokohnya telah bebas karena tokoh ‘tuhan’ dalam dunia tersebut masih ada. Satu-satunya cara yang harus ditempuh oleh para tokoh untuk dapat menemukan identitas diri yang sejati adalah dengan melakukan pilihan berdasarkan kehendak bebasnya. Dengan melakukan pilihan, mereka telah membebaskan dirinya dari proses penyamarataan (Hassan 2989: 35) yang telah menghilangkan identitas individu sejati35. Proses penyamarataan tersebutlah yang telah menempatkan asal usul kelima tokoh dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” tidak menunjukkan perbedaan ciri apapun (“Tidak ada keistimewaan atau tokoh yang lebih menonjol” lihat bagian 2.1.2: 19-20). Tokoh-tokoh ini hanya dilihat sebagai bagian dari sebuah sistem penelitian, seperti yang disampaikan pada awal pembicaraan bagian ini, sehingga tidak diperlukan adanya mutu kualitatif perseorangan. Dalam analisis (lihat bagian 2.1.2: 27-31) yang menunjukkan proses antara klimaks dan peleraian, diperlihatkan bahwa para tokoh akhirnya memutuskan untuk memilih keluar dari zona nyaman dalam kehiduapan di ruangan tersebut. Tokoh Bapak diperlihatkan menuntut haknya untuk bebas dari ruangan tersebut. Kelima tokoh masyarakat, yang diwakili oleh tokoh Pak Marman, angkat bicara atas keadaannya selama ini. Tokoh Saman, Maman, dan Lukman, akhirnya memutuskan untuk pergi dari ruangan penantian mereka. Namun, dari ketiga naskah drama yang ada, hanya dalam drama “Ruang Tunggu Terakhir”, tokoh-tokohnya dapat menjalani keputusan yang diambilnya. Hal ini berkaitan dengan keterangan sebelumnya bahwa kematian tokoh Man adalah pembebasan bagi para tokoh, sedangkan dalam dua drama lainnya, para tokoh masih terikat di bawah kendali ‘tuhan’ mereka. Walaupun dapat dikatakan, tokoh Saman, Maman, dan Lukman telah berhasil memilih kebebasannya, tetapi tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai sikap mereka atas kebebasan mereka tersebut. Apakah tindakan mereka selanjutnya masih didasarkan pada tujuan mencapai tanah yang
35
Sartre dan Kierkegaard sama-sama mengemukakan bahwa pilihan adalah sebuah cara yang haru ditempuh untuk menjalani penghayatan yang subyektif sehingga individualitas, kualitas perseorangan dan ketunggalan pribadi dapat muncul (Fuad Hassan 1989: 34-35). Sartre menambahkan bahwa pilihan tersebut tidak berkaitan sama sekali dengan pengalamannya di masa lampau. Piilhan tersebut tidak bersifat historis, tetapi momentum (Leslie Stevenson (1987: 95)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
127
dijanjikan? Jawaban itu tidak diberikan di dalam naskah drama. Ketiga naskah drama, seperti yang disampaikan dalam bagian analisis, memberikan akhir sebagai awal yang baru bagi para tokoh. Uraian masalah dalam karya relasi manusia dengan dirinya sendiri—dilihat dari sudut pandang eksistensialisme—belum menemukan titik terang, disebabkan oleh adanya hubungan yang lebih luas dengan keadaan berbangsa (drama relasi manusia dengan kekuasaan) serta jenis kekerabatan (drama relasi manusia dengan masyarakat), dalam menentukan gambaran manusia secara menyeluruh. Hal yang ditemukan dalam karya-karya ini merupakan titik tolak untuk melihat persoalan yang memiliki ruang lingkup lebih luas (kekuasaan dan masyarakat) sebab relasi dalam karya ini merupakan bagian inti dari manusia.
3.2.2 Persoalan Identitas Kebangsaan dalam Drama dan Realitas Sosial Persoalaan kebangsaan yang muncul dalam naskah drama “Pesta Sampah”, “Parlemen WC”, dan “Paralel ‘45”, merupakan hasil dari penelusuran relasi manusia dengan konsep kekuasaan. Bagi para tokoh, kekuasaan merupakan sebuah konsep yang maknanya telah dikorupsi oleh individu-individu yang tidak bertanggung jawab. Kekuasaan dalam naskah drama ini dibedakan dari kepemimpinan. Tokoh atau simbol yang berkuasa tidak menunjukkan adanya kapabilitas untuk mengatur, menjaga, apalagi memimpin. Permainan kepentingan muncul dalam semua karya drama, terutama naskah drama “Pesta Sampah”. Dalam bagian analisis struktural, “Pesta Sampah” telah memperlihatkan bahwa setiap tokohnya memiliki kepentingan pribadi, mulai dari memenuhi kebutuhan primer hidup sampai memuaskan nafsu. Tokoh seperti Rombeng dan Polong pun—sahabat seprofesi Pulung—memiliki kepentingan untuk bebas dari derita kemiskinan maka dari itu mereka meninggalkan Pulung. Di dalam naskah drama “Parlemen WC”, permainan kepentingan ini sangat jelas terlihat dalam usaha beberapa tokoh untuk merebut kekuasaan di kampung itu. Hal tersebut dapat dilihat pada analisis struktural (bagian 2.2.2) yang menunjukkan tokoh Karjo yang ingin membangun WC demi kepentingannya untuk memperbaiki keadaan ekonomi keluarga dan tokoh Perempuan 1 yang berambisi membawa
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
128
kepentingan kelompok. Dalam karya ini, kepentingan para tokoh tidak dapat dikendalikan karena absennya sosok pemimpin yang mengatur kehidupan politik mereka. Sementara itu, di dalam naskah drama “Paralel ‘45”, kemunculan tokoh pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaannya, justru menjadi penyebab dari kekacauan kehidupan berbangsa di wilayah Timur dan Barat. Apabila kejadian dalam naskah drama ini dilihat dari ruang dan waktu penciptaannya—Jakarta, tahun 2000-an—maka proses politik yang terjadi di negara ini, dapat dipertimbangkan sebagai dasar perumusan masalah utama dalam naskah drama. Secara umum, ketiga drama ini mempersoalkan kesewenang-wenangan dari bentuk kekuasaan dalam kaitannya dengan hidup berbangsa. Seperti yang dikatakan sebelumnya, hal ini muncul karena tidak adanya sosok pemimpin yang mengatur dan menjaga keharmonisan hidup berbangsa (Kartodirdjo 1984: vi). Masalah kepentingan yang muncul, seperti dalam naskah drama “Pesta Sampah” atau “Parlemen WC”, merupakan indikasi kebobrokan sistem pemerintahan dalam relasi antara pemimpin dan yang dipimpin.36 Apabila hal ini dijelaskan melalui keadaan sosial politik di Indonesia maka perlulah diuraikan tentang kebangsaan di masa kini, yaitu masa transisi37 dari pemerintah Orde baru menuju bentuk pemerintahan anti-Orde Baru. Pemerintahan anti-Orde Baru ini mengusung semangat demokrasi yang membuka kesempatan seluas-luasnya bagi partisipasi publik dalam pemerintahan38. Munculnya tokoh seperti Parmin adalah wujud dari sikap positif terhadap gerakan reformasi pemerintahan tersebut. Pada bagian pemaparan masalah, ditemukan pemikiran dan sikap Parmin yang menjunjung tinggi kebebasan beraspirasi di dalam WC umum—
36
Sistem sosial kolektif yang dianut oleh bangsa ini melahirkan interaksi antara pemimpin dengan yang dipimpin. Untuk memolakan perilaku yang sama dalam suatu kaidah berbangsa maka peran pemimpin diharapkan dapat mempengerahu dan mengarahkan pada tujuan koketif berdasarkan nilai tertentu (Kartodirdjo (1984) Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial) 37 Diambil dari tulisan Henk Schulte Nordholt “Renegotiating Boundaries: Acces, Agency, and Identity in Post-Soeharto Indonesia” yang mencatat perkembangan Indonesia setelah krisis moneter dan politik tahun 1997 dan 1998 yang memasuki fase transisi dari kekuasaan otoriter oleh pemerintah yang absolut menuju sistem pemerintahan dengan demokrasi yang baru. Proses ini ditandai dengan peningkatan otonomi daerah dan usaha membuat pemerintahan yang lebih transparan bagi publik. (Bijdragen tot de Taal--, en Volkenkunde, Vol. 159, No.4 (2003) h.550) 38 “Recently the proces of decentralization in Indonesia has been equated with a proces of democratization amd the rise of civil society.” (lihat Nordholt 2003: 551)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
129
yang merupakan simbol kekuasaan pemerintahan kampungnya. Keadaan tokoh Parmin tersebut merupakan antitesis dari situasi sosial politik yang selama masa Orde Baru mengalami sentralisasi kekuasaan (Kritik Sosial dalam Masaa Pembangunan 1999” 428). Publik—pada masa itu—tidak memiliki akses untuk berpendapat dalam keputusan pemerintah. Oleh sebab itu, ketika Orde Baru tumbang, kebebasan berpendapat menjadi semacam pemicu semangat. Namun, proses reformasi dengan segala bentuk kebebasannya, dilihat dengan perspektif yang negatif, yaitu sebagai bentuk ketidakteraturan. Oleh sebab itu, muncullah dalam naskah keadaan yang memperlihatkan tokoh-tokoh bersaing bebas dan tidak sehat, seperti pada bagian perumitan masalah drama “Parlemen WC” atau keberadaan tokoh Pakdir dalam drama “Pesta Sampah”. Hal tersebut dipicu oleh eksploitasi manusia terhadap kondisi yang bebas dan—kembali lagi seperti yang diucapkan sebelumnya—ketiadaan pemimpin yang menjaga keteraturan dari keadaan yang bebas tersebut. Dalam naskah drama “Pesta Sampah” dan “Parlemen WC”, ditemukan tokoh pejabat (lihat bagian 2.2.2: 51-54) yang menyalahgunakan jabatannya demi kepentingan pribadi. Tokoh pejabat dalam drama “Pesta Sampah”, diperlihatkan berjudi dengan tokoh Pakdir sambil mempertaruhkan aset negara (lihat h.54-55). Sementara itu, tokoh pejabat di dalam drama “Parlemen WC”, justru ingin menghancurkan WC—yang adalah lambang kekuasaan demokrasi—untuk menguasai kampung tersebut. Dua tindakan yang dilakukan dalam dua drama berbeda ini merupakan simbol permainan kepentingan yang menyalahgunakan kekuasaan. Hal ini menunjukkan bahwa warisan dari sistem politik yang didasarkan pada birokratik otoriterien39—yang banyak terjadi di masa Orde Baru—masih belum dapat benar-benar dihilangkan. Praktik birokrasi politik yang tertutup ini tidak hanya dibawa
“Sebagai suatu sistem politik birokratik otoriterien, demikian menurut apa yang kita pahami dari mereka dan kita saksikan dari praktik politik Orde Baru selama ini, sistem politik Orde Baru sangat kuat ditandai oleh konsentrasi kekuasaaan dan keputusan nasional hampir sepenuhnya berada di (…) tangan birokrat, kelompok militer dan kelompok wiraswastawan oligopolistik yang bersama-sama dengan pemerintah bekerjsama dengan masyarakat bisnis internasional” (Nasikun, “Reformasi, Jalan Berliku Menuju Transisi Demokrasi” di dalam buku Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan (1999) h.428429) 39
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
130
oleh pemerintahan Orde Baru, tapi jauh sebelum itu, ditemukan pada masa kolonial. Pada masa kolonial, pihak penjajah melakukan kerja sama dengan sejumlah tokoh pribumi untuk menjalankan pemerintahan. Bentuk kerja sama tertutup ini, digunakan untuk kepentingan kolonialisme di Nusantara sehingga masyarakat saat itu merasakan penderitaan. Di masa Orde Baru, praktik politik birokratik-otoriterien melibatkan pihak militer dan kaum wiraswastawan (elite). Praktik politik tersebut menimbulkan banyak kasus yang mengganggu kestabilan kehidupan rakyat, misalnya penyalahgunaan akses dalam pemerintahan, salah satunya, dengan penyalahgunaan dana penyelenggaraan pemerintah atau korupsi, seperti kasus korupsi Pertamina dan pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Kasus korupsi Pertamina menyeruak ketika harga bahan bakar minyak naik. Protes dari rakyat tentang kenaikan harga tersebut menuntun pada fakta penyelewengan dana di perusahaan milik negara tersebut. 40. Namun, protes terhadap kebijakan-kebijakan yang dianggap merugikan publik, tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah karena menyangkut kepentingan pihak-pihak elit dan asing. Hal inilah mungkin yang coba diilustrasikan dalam karya drama “Pesta Sampah”, yaitu ketika tokoh Pejabat mengadakan kerja sama dengan pihak Pakdir. Tokoh Pakdir ini dijelaskan dalam bagian analisis struktural sebagai seorang pengusaha asing (lihat 2.2.2). Ia, dengan modal yang besar, mendapatkan akses dari tokoh Pejabat untuk membangun industri dan teknologi yang mengubah kota menjadi ‘rimba beton’. Apabila hal tersebut terus dilaksanakan maka masalah ketidakadilan sosial akan semakin membesar. Ketidakadilan sosial ini akan mendorong publik semakin jauh dari rasa percaya terhadap pemerintah, seperti yang dilihat pada perumitan masalah dalam drama “Paralel ‘45”. Pada bagian analisis struktural, ditemukan bahwa bentuk pemerintahan wilayah Timur dan Barat adalah demokrasi, dibuktikan dengan 40
Ibnu Sutowo, mantan Direktur Utama PN Pertamina menyangkal adanya tindak korupsi di dalam Pertamina. Padahal team Pekuneg telah melaporkan adanya manipulasi dengan ekspor minyak mentah, manipulasi harga, cara pemakaian keuangan oleh Dirut Pertamina tanpa pengawasan, pemesanan kapal lewat broker Jepang, dan puluhan lagi contoh-contoh salah urus dan penyelewengan. (Dikutip dari harian Indonesia Raya, 22 April dalam tulisan “Pura-pura Tak Mengerti, Jendral Ibnu?” Tulisan ini diambil dari Kritik Sosial, Pers, dan Politik Indonesia (1999) Akhmad Zaini Akbar, h. 54-55.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
131
diselenggarakannya pemilihan umum. Namun, proses demokrasi di kedua wilayah— yang dulunya merupakan satu negara—tidak berlangsung dengan baik. Akibat dari penolakan wilayah Timur terhadap keputusan pemilu, pemimpin yang terpilih mengasingkan Timur dari wilayah Barat. Ia pun membangun sebuah tembok pembatas wilayah, yang selanjutnya disebut Paralel ’45. Peristiwa berdirinya tembok Paralel ‘45 ini, selain dimaksudkan untuk menjaga wibawa pemimpin negara, juga diharapkan dapat mengalahkan pemberontakan rakyat yang menolak hasil pemilu. Di satu sisi, drama ini juga menampilkan dialog Pemimpin Barat yang menunjukkan cita-citanya sebagai seorang kepala negara, “Ahh aku bingung kenapa mereka masih keras kepala seperti ini, padahal aku bisa membuat mereka jadi lebih sejahtera” (Pemimpin Barat, 2013: 11-12). Dengan mimpinya tersebut, ia memaksa rakyat tunduk pada otoritasnya. Pada masa Orde Baru, ada berbagai macam cara pemerintah untuk mengekang rakyat yang hendak melakukan protes terhadap kebijakan pemerintah. Proyek yang mendapat penolakan dari rakyat disebabkan oleh munculnya dugaan bahwa realisasi proyek yang memakan banyak uang negara itu hanya untuk kepentingan perseorangan atau tertentu. Hal tersebut dapat dilihat dalam skema kritik sosial41 melalui pers selama tahun 1966-1974 berikut ini. Tabel 3.1 Kritik Sosial Melalui Pers dan Respon Negara Tahun 1966-1974 Tema Kritik Berantas korupsi (1967-1968)
Berantas Korupsi (1969-1970)
Reaksi Positif Negara
Reaksi Negatif Negara
Hasil
Pembentukan TP dan Task Force
Tuduhan Merongrong Kewibawaan Negara
Pembentukan Komisi 4 dan UU No. 3/1971 tentang PTPK
Tuduhan Merongrong Kewibawaan Negara
Tidak Sesuai dengan Harapan Masyarakatpenangkapan Korupsi Kelas Teri. Tidak Ada Hasil Nyata
Memorandum Pansus DPR
Penangkapan, Penahanan Mahasiswa dan interograsi wartawan/redaktur.
Gagal” Proyek TMII Jalan terus
41
Tabel ini diambil dari Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan (1999: 59) untuk memberikan ilustrasi tentang ketidakacuhan pemerintah terhadap protes dari masyarakat.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
132
Reaksi keras dari masyarakat terhadap bentuk kesewenangan-wenangan pemerintah, memunculkan reaksi balik dari pemerintah yang memukul rakyat hingga tak berkutik. Tindak mengabaikan sampai pada aksi keras, seperti penculikan atau pencabutan izin terbit media massa, dilakukan oleh pemerintah Orde Baru untuk menahan intervensi publik dalam penyelenggaran pemerintah. Terjadi beberapa kali kasus pencabutan surat izin terbit kepada surat kabar atau media massa yang melakukan aksi ‘pemberotakan’ lewat berita. Salah satu kasus penutupan media massa yang sempat mengguncangkan publik adalah pada tahun 1974. Tepatnya tanggal 22 Januari, Laksus Pangkopkamtibda mencabut surat izin terbit—dengan disusul penarikan surat izin keesokan harinya oleh Departemen Penerangan—untuk enam surat kabar, termasuk di antaranya surat kabar Indonesia Raya42. Beberapa tahun kemudian, tepatnya 21 Juni 1994, majalah Tempo dibredel. Ketika kasusnya diajukan ke Mahkamah Agung, pada tanggal 13 Juni 1996, Tempo dinyatakan kalah dalam proses pengadilan tersebut. Para pendukung, mereka yang bekerja dan rakyat yang mendukung, merasa marah dan kecewa dengan putusan hakim tersebut. Goenawan Mohamad (2001: 1135-1136) pun mencatat bahwa hal yang paling tak pantas sepanjang proses peradilan itu mungkin tertuju pada pola laku jaksa penutut umum, Singgih, yang menyindir para pendukung Tempo dengan mengganti slogan majalah itu untuk menanggapi putusan pengadilan, “Enak didengar dan perlu”. Selain itu, adapula kasus peradilan yang dianggap sebagai sebuah pemaksaan belaka tanpa unsur kebenaran di baliknya, ketika seorang pesuruh yang bekerja di Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Danang (19 tahun), dijatuhi hukuman penjara selama 1 tahun 8 bulan.43 Ia dituduh membantu mengedarkan “Forum Wartawan Independen” yang dianggap telah menyebarkan kebencian terhadap pemerintah. Diambil dari tulisan Alex A. Rachim, “Apakah Ia Akan Ditangkap Begitu Turun di Kemayoran?”. Alex adalah salah satu orang yang bekerja di harian Indonesia Raya, di bawah kepemimpinan Mochtar Lubis. (diambil dari buku Mochtar Lubis: Wartawan Jihad (1992) Atmakusumah) 43 Goenawan Mohamad menuliskan kasus tentang Danang, pada tanggal 27 Agustus 1995 di Media Indonesia. Pengadilan itu disebutnya liar karena mengabaikan pengakuan dari saksi yang membela Danang. Danang Kukuh W. bekerja di AJI sebagai pengurus harian rumah tangga, bukan pada kegiatan jurnalistik AJI. Seminggu setelahnya, dibuka kasus pengadilan dua wartawan, Taufik dan Item, yang berujung pada putusan bersalah. (diambil dari buku Kata, Waktu: Esai-Esai Goenawan Mohamad 19602001 (2001) Goenawan Mohamad) 42
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
133
Majalah tersebut memuat sebuah tulisan tentang saham-saham yang dimiliki Menteri Penerangan Harmoko di berbagai penerbitan. Tak masuk akal dan sungguh sebagai sebuah langkap represi belaka, menghukum Danang yang tak memiliki sangkut paut dengan isi maupun keberadaan tulisan tersebut. Sepekan kemudian, dua wartawan dari majalah yang sama dijatuhi hukuman penjara selama 32 bulan. Beberapa golongan orang menganggap bahwa penyaringan pendapat publik dapat membawa suatu keteraturan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan sedikitnya intervensi, pemerintah dapat menyelenggarakan program-program yang dirasanya baik. Program pembangunan ini bertujuan untuk menyejahterakan dan mengangkat Indonesia ke mata dunia, tetapi nilai-nilai kebaikan itu sangat subyektif. Baik bagi golongan tertentu, belum tentu baik bagi golongan yang lain. Seperti pada drama “Paralel ‘45”, kehadiran tembok tersebut baik bagi kedaulatan pemerintah, tetapi menyengsarakan rakyat yang diwakili oleh tokoh Marni dan Rasyid. Namun, baik itu pembredelan surat kabar sampai pendirian tembok Paralel ’45 seperti dalam drama, tindakan yang menghentikan aspirasi rakyat sebenarnya adalah sebuah tindakan yang takut terhadap daya kehidupan (Goenawan Mohamad 2001: 1135). Penguasa tahu bahwa daya yang lahir dari sebuah keadaan tertekan dapat keluar dengan kekuatan yang luar biasa. Pertanyaan rakyat atas keadilan adalah sebuah panggilan yang menakutkan bagi kekuasaan lalim, seperti yang ditunjukkan oleh sikap tokoh Parmin dalam drama “Parlemen WC”. Kekhusyukannya dalam menghayati tiap ‘ritual buang hajat’ (lihat bagian 2.2.2) sebagai kesempatan menyuarakan aspirasinya, tidak dapat mentolerir bentuk gangguan apa pun terhadap kegiatannya tersebut. Ia bahkan sampai terlibat adu mulut dengan tokoh Orang 1, 2, dan 3. Dalam bagian pemaparan masalah diperlihatkan tokoh Parmin dan teman-temannya berebut untuk menyalurkan aspirasi di dalam WC tersebut. Dan kemarahan tokoh Parmin ketika tokoh Pejabat datang hendak menghancurkan WC tersebut, menandakan bahwa penyaluran aspirasi adalah salah satu dari hakikat hidup masyarakat sebagai bagian dari pemerintahan. Alasan pemersatu bagi bangsa yang terdiri atas berbagai macam etnis adalah kesamaan pengalaman dan tekad untuk bersatu padu menuju sebuah keadaan yang baik
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
134
(Suseno 2003: 48). Hal tersebut menempatkan kepentingan masyarakat kolektif sebagai suatu syarat utama untuk mengadakan pembangunan. Apabila hal tersebut tidak dilakukan maka akan muncul ketidakadilan sosial.
Menurut Franz-Magnis
Suseno,44 situasi yang merugikan kepentingan publik—dengan membungkam, membunuh, dan menyingkirkan rakyat dari program-program utama pemerintah— dapat mengancam rasa kebangsaaan masyarakat pluralis ini. Oleh sebab itu, ketika reformasi tiba dan Orde Baru berlalu, jaminan atas hak asasi manusia, keadilan sosial, dan solidaritas masyarakat sebagai suatu kesatuan adalah tantangan yang harus dijawab oleh pemerintah. Masa kelam selama Orde Baru berkuasa, mau tak mau harus diakui telah menimbulkan dorongan bagi orang-orang untuk memisahkan dirinya dari negara yang telah mengorbankan kepentingannya. Sikap primordialisme ini akan membuat kesatuan sebagai bangsa terancam. Tidak heran, jika pascareformasi, muncul banyak gerakan separatisme atau radikal yang memisahkan diri dan kelompoknya dari masyarakat lain. Kekhawatiran akan adanya perpecahan itulah yang ditangkap oleh “Paralel ‘45”. Dalam drama “Parlemen WC”, yang lebih ditunjukkan adalah keadaan masa transisi--setelah Orde Baru tumbang—tentang kebebasan publik yang harus tetap diatur sedemikian rupa agar primordialisme dapat dicegah. Dalam karya tersebut, tokoh Perempuan 1 telah menunjukkan adanya usaha-usaha untuk membawa kepentingan kelompoknya sebagai motif untuk menguasai kampung. Apabila kepentingan tokoh 1 atau tokoh Pejabat terpenuhi maka makin dekatlah kampung tersebut pada kehancuran. Pada bagian analisis peleraian masalah, kehancuran bentuk kekuasaan, menyebabkan rakyat saling serang. Kekacauan terjadi sehingga menghancurkan kampung tersebut. Temuan masalah pada karya-karya drama ini mengarah pada situasi perpecahan dan kekacauan yang terjadi di antara masyarakat. Banyak dari peristiwa di dalam naskah yang menunjukkan bahwa kekuasan perlu dibenahi untuk menyejahterakan 44
Ia adalah guru besar Filsafat Sosial di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakora, Jakarta dan dosen luar biasa di Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Tulisan ini diambil dari esai “Mencari Makna Kebangsaan” yang ditulis pada tahun 1994 untuk sebuah harian (dari buku Mencari Makna Kebangsaan (1998: 48) Frans Magnis-Suseno).
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
135
kehidupan masyarakatnya. Namun, di dalam naskah tuntutan tersebut tidak juga terwujud hingga akhir drama berlangsung. Oleh sebab itu, akhir dari drama-drama ini berbicara tentang kehancuran (“Parlemen WC”), kematian (“Paralel ’45), dan keterasingan (“Pesta Sampah”). Pertanyaannya, apakah hal tersebut menandakan bahwa impian tentang kehidupan demokratis yang menyejahterakan rakyat memang tidak terwujud atau belum terwujud? Keadaan pada naskah drama ini menunjukkan bahwa bentuk-bentuk kekuasaan masa Orde Baru memang begitu kuat mengakar bahkan hingga kini.45 Masalah yang dihadapi oleh pemerintah masa kini adalah mengatasi masalah yang sifatnya serba struktural. Oleh sebab itu, pemerintah masih terus mencoba mencari bentuk dari kekuasaan yang paling ideal untuk menyembuhkan keadaan bangsa pasca-Orde Baru. Ketika dulu Bung Karno menyuarakan tentang semangat nasionalisme, itu baik. Namun, pada masa sesudahnya, kegemerlapan nasionalisme itu tak lagi dianggap sesuai untuk menjawab perkembangan zaman yang datang. Sama halnya dengan sekarang, ketakutan bahwa demokrasi telah membawa bentuk kehancuran yang baru, dirasakan dalam konflik-konflik dalam drama “Parlemen WC” dan “Paralel ‘45”. Keadaan yang diuraikan dalam bagian pemaparan masalah menunjukkan bahwa sistem demokrasi yang menjamin partisipasi dari semua golongan dapat disertakan dalam penyelenggaran pemerintahan, justru menimbulkan kekacauan. Rakyat di Timur, dalam drama “Paralel ‘45” mengamuk ketika Pemimpin Barat telah diputuskan sebagai pemimpin negara baru lewat pemungutan suara. Pemungutan suara atau pemilihan umum seperti yang dirayakan bangsa ini sebagai sebuah pesta demokrasi terbesar, diceritakan dalam drama tersebut, justru menjadi senjata yang memecahbelah negara menjadi wilayah Timur dan Barat. Pada taraf tersebut, pihak mana yang benar dan yang salah sudah tak lagi menjadi penting, sebab dampaknya lebih besar dari proses demokrasi itu sendiri, yaitu persatuan sebagai
45
Bentuk pemerintahan yang dipusatkan pada satu titik menjadi ciri pemerintahan pada masa Orde Baru. Hal ini mendapat pengaruh dari sistem kekuasaan kolonial selama berada di Indonesia. Oleh sebab itu, negara tidak hanya berkewenangan untuk mengurusi perihal faktor pendukung pemerintah, tetapi juga mengintervensi kehidupan masyarakatnya. (lihat Henk Schulte Nordholt (2003) “Renegotiating boundaries: Access, agency and identity in post-Soeharto Indonesia”)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
136
sebuah negara. Sama halnya dengan di Indonesia, pada tahun 1999, ketika pemilu pertama digelar setelah tiga dekade berada dalam pemilu rekayasa Orde Baru, rakyat datang berduyun-duyun ke tempat pemilihan. Antusiasme mereka untuk ikut merayakan proses demokrasi yang adil telah memicu tumbuhnya kepedulian untuk menentukan nasib bangsa. Hal ini yang disebut oleh Goenawan Mohamad (2001: 1405) sebagai pemulihan modal sosial. Sebelumnya, rakyat telah dibuat tak simpati dengan segala hal yang berbau pemerintahan. Bukan karena ketidakpedulian mereka pada bangsa ini, tetapi karena penyingkiran yang dilakukan oleh politik elit zaman Orde Baru, telah berhasil membuat mereka tak lagi merasa sebagai bagian dari bangsa ini. Apatur negara yang harusnya bertugas untuk melayani dan melindungi publik, dianggap lebih mementingkan urusan pribadinya. Kerusuhan Mei 1998, menjadi titik balik yang paling mengenaskan dari kehancuran modal sosial di tanah air. Goenawan Mohamad (2001: 1404) mencatat bahwa untuk sebuah jaminan dan perlindungan keamanan, rakyat harus membayar mahal kepada negara. Padahal mereka membayar pajak dan telah melakukan bagiannya untuk mendapat perlakuan yang adil dari pemerintah. Tak ketinggalan pula, kemunculan individu maupun kelompok yang merasa dirinya mampu untuk memikul beban sebagai kepala negara, kepala daerah, atau para legislatif yang mengatasnamakan kepentingan rakyat. Timbul partai-partai baru yang meramaikan pemilihan umum tersebut, setelah sebelumnya bursa pemilihan dikuasai oleh satu partai milik Orde Baru.46 Dengan kebebasan yang diberikan, kelompok maupun perseorangan maju dengan membawa pemikiran dan visi-misinya yang bertujuan untuk mengembalikan harapan rakyat terhadap bangsa ini. Kemunculan partai-partai dengan sifat dan pandangan politik yang bervariasi menunjukkan adanya kemajuan dalam proses demokrasi di negara ini, seperti yang dilihat pada tabel berikut ini.
46
Pemerintahan Habibie dianggap telah berhasil menyelenggarakan pesta demokrasi terbesar pertama pasca-Orde Baru. Pemilu pertama yang diadakan secara adil (lihat Greg Barton (2008) “Indonesia’s Year of Living Normally: Taking the Long View of Indonesia’s Progress”)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
137
Tabel 3.2
Hasil Pemilu Tahun 2004 dan 200947 2004
2009
Political Party votes (%)
Seats
Votes (%)
Seats
PD
7.50
55
20.85
148
Golkar (Functional Groups)
21.58
129
14.45
106
PDIP (Indonesian Democratic Party of Struggle) PKS (Prosperous Justice Party)
18.53
109
14.03
94
7.34
45
7.88
94
PAN (National Mandate Party)
6.40
53
6.01
45
PPP (United Development Party)
8.15
58
6.01
45
PKB (National Awakening Party)
10.57
52
4.94
28
-
-
4.46
26
-
-
3.77
18
Gerindra (Great Indonesia Movement) Hanura (People’s Conscience Party)
Dari data yang ditunjukkan tabel tersebut, terlihat bahwa geliat demokrasi semakin maju dengan tercatatnya peningkatan partai baru yang muncul. Kebebasan dalam demokrasi, tidak hanya menjamin kebebasan bersuara, tetapi juga memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk turut berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara. Termasuk juga, menjadi bagian dari penyelenggara negara, seperti legislatif dan eksekutif. Hal ini yang nampak dalam drama “Parlemen WC”. Semua orang di kampung Parmin dapat menjadi pemimpin, asalkan menjamin tempat mengeluarkan aspirasi—atau WC umum—tetap dapat terjaga kelayakannya. Mereka dapat merebut kekuasaan yang dipegang oleh orang lain, dengan cara memberikan fasilitas WC yang lebih baik.
Data Komisi Pemilihan Umum, Jakarta (diambil dari makalah Marcus Mietzner (2010) “Indonesia in 2009: Electoral Contestation and Economic Resilience” 47
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
138
Kekuasaan yang diberikan pada rakyat ini, dalam drama “Parlemen WC”, berujung pada penyalahgunaan kebebasan. Munculnya tokoh Perempuan 1 dan Karjo—seperti yang telah disebutkan sebelumnya—menandakan bahwa masih ada sisa-sisa dari ambisi yang dibawa karena mementingkan dirinya sendiri. Tujuan untuk memiliki kekuasaan tidak didasarkan pada motivasi yang benar. Hal tersebut, diumpamakan oleh Goenawan Mohamad (2001: 1398-1399) dengan kemunculan orang-orang seperti Suta—tokoh yang diceritakan tak pernah lulus SMA—yang demi pemerataan kekuasaan mendapat bagian menjadi pemimpin. Ia sama sekali tidak tahu dengan hal-hal yang menyangkut kewajiban barunya, apalagi memiliki visi-misi membangun bangsa. Hal seperti ini masih banyak dijumpai sekarang, dengan maraknya para artis atau golongan olaharagawan yang terjun ke bursa pemilihan legislatif. Mereka yang tidak memiliki kompetensi atau pengalaman, dimasukkan dalam partai politik untuk meningkatkan suara pemilih. Dengan asumsi, mereka sebagai public figure, dikenal luas oleh masyarakat dan akan membantu memenangkann pemilu. Hal seperti itu tentu memberikan sebuah pemerintahan yang sifatnya jangka pendek dengan program-program yang tidak terjamin kesuksesannya. Namun, menurut pengamatan De Tcqueville, itulah hebatnya sebuah sistem yang bernama demokrasi (Goenawan Mohamad 2001: 1398). Dalam demokrasi, setiap orang tetap berhak untuk mendapat kesempatan dan kekuatan yang sama. Proses belajar bersama adalah hal yang dijunjung dalam demokrasi. Namun, sehebat apa pun sebuah ideologi atau sistem, pada akhirnya kebutuhan zaman akan memberikan jawaban yang paling tepat tentang relevansi penerapan nilai dari ideologi atau sistem tersebut. Dalam drama-drama ini, demokrasi telah memberikan kekuatan pada publik untuk bergerak bersama tanpa adanya kepemimpinan yang kuat. Seperti masalah dalam drama “Parlemen WC”, semua warga mengamuk dan saling menghancurkan. Atau pada drama “Pesta Sampah”, tokoh pejabat menyalahgunakan wewenang dan membuka celah bagi nilai-nilai baru untuk merusak nilai-nilai kemanusiaan, seperti yang terlihat dalam kutipan analisis struktural berikut ini.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
139 Pulung mulai tak tega. Ia merasa itu tidak lagi manusiawi. Pakdir terus Mempermainkan pejabat…Pulung coba menutup mata Pakdir: sekarang kita pesta, nyalakan lampu dan musik Panggil para penghibur sejati. Kita menuju kota besi (Musikal masuk. Mereka menari dan bernyanyi. Mereka adalah boneka berbedak tebal. Seketika panggung berubah menjadi pesta yang megah. Kota dengan segala isinya tumpah berhamburan. Ramai sekali.Musik syahdu biola.Pakdir berdansa. Di sudut lain ada barisan pelacur. Pembunuhan,berkelahi, teriakan-teriakan histeria, tarian histeria. Perampasan, perjudian.Konser musik. Dugem. Suasana demikian kacau dan krodit. Ditengah itu semua pulung menyaksikan sebuah kebinatangan yang liar memenuhi seisi kota. Ia menggugat dirinya. Ia bimbang. Kepalanya hampir pecah. Terlebih saat ia melihat Mulung menjadi seorang pelacur) Pejabat itu akhirnya dikalahkan oleh Pakdir di meja judi. Semua aset negara, yang merupakan milik rakyat, dihabiskannya untuk kepentingan pribadi tanpa ada pertimbangan yang masak. (…) Pakdir mendapatkan hal yang diinginkannya. Ia menguasai seluruh isi negeri itu. Manusia-manusia dieksploitasi dengan lebih lagi. Daerah tersebut sudah menjadi kebun manusia yang seperti binatang. Tak ada lagi nilai moral yang menjaga keharmonisan hidup bersama. (lihat bagian 2.2.2: 55)
Celah yang dibuka oleh tokoh Pejabat pada drama “Pesta Sampah” adalah suatu bentuk kerja sama dengan pihak asing dalam hal investasi. Investasi menjadi salah satu tolak ukur kesehatan keadaan ekonomi bangsa. Keadaan ekonomi yang stabil membuat para investor asing tertarik untuk menanamkan sahamnya di negara ini, seperti yang terlihat pada peningkatan ekonomi tahun 2008.48 Mietzner (2009) juga mencatat bahwa angkan penurunan kemiskinan serta pengangguran di tahun 2008 adalah prestasi terbesar yang dicapai pasca-1998. Ditambah pula dengan keluarnya kebijakan penurunan harga bahan bakar minyak, bebeapa bulan sebelum Pemilu 2009. Terlepas dari kebutuhan politik Susilo Bambang Yudhoyono (saat itu menjabat presiden periode “otherwise have been an extraordinarily successful year for the Indonesian economy. Continuing several years of strong growth, Indonesia's GDP expanded by a very healthy 6.4 per cent in the second quarter of 2008. Investment grew 12.8 per cent in comparison to the previous year, with the transport and communication sectors even recording growth rates of 39.9 per cent and 36.7 per cent, respectively. Exports were also stronger than in 2007, increasing by 15.5 per cent in the first quarter and 16.1 per cent in the second. Most importantly, there were clear indications that middle-income earners profited from the overall expansion of the economy, with motorcycle sales growing by 44 per cent. In the same vein, domestic car sales increased by around half to almost 300,000, making Indonesia the largest car market in the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) in June and July 2008.” (Indonesia in 2008: Democracy Consolidation in Soeharto’s Shadow (2009: 116) Marcus Mietzner) 48
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
140
2004/2009), prestasi di bidang ekonomi membuktikan adanya perkembangan yang baik di tahun-tahun tersebut. Namun, pelaku investasi di negara ini, tidak hanya datang dari pihak asing. Ada pula koperasi dan badan usaha milik negara (BUMN) yang seharusnya mampu bersaing dengan para investor asing dalam dunia perekonomian. Namun, pemerintahan SBY—seperti yang diungkapkan Mietzner (2009)—lebih terkenal dengan kebijakan-kebijakan ekonomi yang menguntungkan pihak asing, seperti peningkatan sektor industri.
3.2.3 Persoalan Masyarakat Miskin Kota dalam Drama dan Realitas Sosial Drama-drama yang berbicara tentang relasi manusia dan masyarakat memiliki persoalan yang berhubungan erat dengan masalah manusia dengan kekuasaan. Hal ini disebabkan oleh keberadaan masyarakat sebagai salah satu komponen dalam kehidupan berbangsa yang diatur oleh pemerintah. Seperti contoh di bagian sebelumnya, pemerintahan SBY memfokuskan pembangunan ekonomi di sektor industri. Kebijakan tersebut telah menghasilkan sebuah perubahan besar terhadap hubung sistem masyarakatnya. Kebijakan pemerintah SBY di bidang ekonomi industri dianggap mematikan bidang-bidang lain, seperti pertanian. Akibat dari kebijakan tersebut, harga hasil tani menurun dan para petani semakin sulit mempertahankan mutu panen mereka. Hal ini menyebabkan, mereka—masyarakat agraris yang kebanyakan ditemukan di daerah pinggiran (rural)—berduyun-duyun melakukan urbanisasi sebagai bentuk pertahanan diri terhadap perubahan zaman. Ketika mereka tiba di kota, mereka tidak menyiapkan diri untuk menghadapi tata nilai dan kebutuhan yang berbeda sama sekali dengan yang biasa mereka temukan di desa. Masyarakat kota pun yang sebelumnya telah menetapkan sejumlah konvensi untuk mengatur kehidupan bermasyarakat yang ada, harus melakukan semacam evaluasi ulang terhadap konvensi tersebut. Tujuan dilakukannya evaluasi ulang adalah menyiasati kelompok masyarakat urban yang jumlah begitu besar, untuk dapat hidup harmonis bersama mereka. Gambaran tersebutlah yang ditemukan dalam ketiga drama tentang relasi manusia dengan masyarakat. Drama-drama ini, “Lima Pintu”, “Te(N)tangga(NG)”,
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
141
dan “Roman” mencoba mengangkat masalah tentang masyarakat kota yang terdiri atas beranekaragam suku, bangsa, agama, dan budaya. Pada bagian penelusuran struktural (lihat 2.3.2), ditemukan sebuah kesamaan yang diangkat oleh ketiga drama ini, yaitu potret masyarakat kelas menengah bawah yang tinggal di daerah kumuh padat penduduk, seperti di gang-gang atau rumah kontrakan. Dalam drama “Roman”, diperlihatkan gambaran masyarakat yang melakukan urbanisasi untuk memperbaiki nasib di kota. Tokoh utama dalam drama ini, Roman dan Atun, adalah sepasang suami istri yang baru saja mengalami musibah di kampungnya. Mereka kehilangan rumah dan tanah mereka karena tidak memiliki surat-surat. Oleh sebab itu, demi menafkahi kehidupan keluarganya, Roman dan Atun pindah ke kota untuk mencari pekerjaan (lihat bagian 2.3.2). Namun, kenyataan yang mereka temui di kota, berbanding terbalik dengan harapan yang mereka bawa. Akhirnya, kehidupan mereka di kota pun tidak memberikan pencerahan atas masalah ekonomi yang membelit keluarga Roman. Dalam suatu bagian, mereka digambarkan kesulitan untuk menyambung hidup di kota sehingga tidak mampu mengirim uang untuk anak mereka di kampung. Jalan satusatunya yang dapat mereka tempuh adalah dengan berutang, seperti yang dikutip berikut ini. Atun: Roman: Atun: Roman: Atun: Roman: Atun: Roman:
Kapan kita mau ngirim uang buat anak kita di kampung? Ada duit simpanan, enggak? Kurang, Sudah dipakai buat belanja. saya coba cari pinjaman lagi. Ngurut juga lagi sepi. Jangan lama-lama. Memangnya mau pinjam siapa lagi? Saya juga bingung mau pinjam sama siapa? Coba pinjam sama pak Haji. yang lama saja belum dibayar, mosok mau pinjem lagi? Seandainya rumah kita dulu enggak dibongkar oleh pemiliknya, hidup kita pasti tidak seperti sekarang… (2009: 10-11)
Keadaan yang dihadapi Roman muncul karena adanya daya tarik ekonomis yang dimiliki oleh kehidupa kota (Saini K.M 2004: 104). Sebagai sebuah daerah yang memiliki banyak pusat perbelanjaan, kegemerlapan cahaya yang tak pernah padam, perkantoran, dan—khususnya Jakarta—sebagai pusat pemerintahan, kota seolah memberikan janji akan kehidupan yang lebih baik. Menurut Saini K.M. (2004), marginalisasi terhadap pertanian dengan fokus ekonomi di bidang industri merupakan
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
142
salah satu faktor paling berpengaruh dalam pembentukan paradigma tentang kota. Orang-orang seperti Roman, Atun, dan Bambang, datang ke kota untuk mencari penghidupan yang layak bagi diri sendiri atau keluarga mereka di kampung. Namun, mereka tak menyadari bahwa dengan segala kemajuan ekonomi dan hal lainnya, kota juga merupakan sebuah tempat yang amat terbatas. Mereka yang datang ke kota harus bersaing dengan mereka yang sudah lebih dulu menghuni tempat tersebut. Belum lagi ditambah dengan masalah penyesuaian diri terhadap kebutuhan hidup di kota, lebih rumit dibandingkan dengan di desa. Hal ini membuat masyarakat desa yang pindah ke kota berakhir sebagai masyarakat miskin kota, seperti yang muncul dalam drama “Roman” dan “Lima Pintu”. Persaingan untuk memenuhi kebutuhan hidup di kota yang melonjak naik, menimbulkan situasi Bellum Omni contra Omnes (Perang antar semua melawan semua) dan Homo homini lupus (Seseorang menjadi serigala bagi yang lain).49 Situasi ‘perang antar semua melawan semua’ dapat ditemukan dalam naskah drama “Lima Pintu”. Dari judul naskah drama ini, sudah dapat dibayangkan kondisi para tokoh yang harus berbagi sebuah ruang terbatas untuk digunakan bersama-sama. Masalah-masalah pun timbul karena keterbatasan ruang yang mereka miliki untuk menjalani kehidupan. Belum lagi ditambah dengan masalah-masalah ekonomi, rumah tangga, dan perilaku antartetangga, menimbulkan sebuah tekanan besar dalam kehidupan di rumah kontrakan tersebut. Situasi ‘perang antar semua melawan semua’ muncul ketika masalah rumah tangga suami istri pintu satu dan tiga, dengan sengaja, mengikutsertakan anak Ibu Pintu Dua (lihat bagian 2.3.2 bagian perumitan masalah). Awal masalahnya adalah kecemburuan para istri atas sikap suami mereka yang acuh tak acuh dengan keluarga. Karena melihat rutinitas para suami yang memperhatikan Lela tiap ia pergi kerja, para istri pun menyalahkan Lela—walaupun tidak secara langsung mengatakan hal ini pada Lela—sebagai biang keladi ketidakharmonisan rumah tangga mereka. Padahal, Lela digambarkan sebagai seorang gadis yang pergi 49
Keadaan ini muncul karena beban demografik yang melampaui batas. Hal ini bahkan menyerang kota dengan keadaan pemerintahan yang sangat baik sekali pun karena pada dasarnya sifat kota memang terbatas—baik secara wilayah maupun sumber daya. (diambil dari buku Krisis Identitas (2004) Saini K.M.)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
143
bekerja di pagi hari dan pulang malah hari karena menjadi tulang punggung keluarganya. Sikap para istri yang menyerang Lela, berbalik menjadi perlawanan para suami yang menyerang para istri dengan tuduhan ‘bergenit-genit’ kepada tukang sayur. Pertengkaran di antara suami istri pintu satu, berbalik menyerang keluarga Ibu Pintu Dua dan memaksa Ibu Pintu Dua untuk menyerang balik pasangan tersebut demi membela anaknya yang tidak bersalah. Adapula sikap para istri yang diam-diam saling menyerang karena persaingan gengsi, seperti misalnya memamerkan barang mahal atau Istri Pintu Tiga menyindir Istri Pintu Satu yang belum juga dikaruniai anak. Hal tersebut menciptakan kehidupan bermasyarakat yang tidak kondusif. Mereka nampak akrab, tetapi sebenarnya saling menyimpan rasa curiga. Secara tidak langsung, kondisi yang tidak kondusif tersebut menghambat produktivitas masyarakat, yang sebenarnya lebih utama dilakukan untuk memperbaiki taraf hidup mereka. Kemandekan masyarakat dalam kehidupan sosialnya, ditunjukkan secara lebih ekstrim pada naskah drama “Te(N)tangga(NG)”. Risti, yang diceritakan baru pindah ke gang tersebut, harus menghadapi tetangganya yang aneh. Tetangga barunya ini memiliki kebiasaan untuk bertukar peran pada waktu siang dan malam hari. Pada waktu siang, tetangganya hidup dengan pekerjaan dan tingkah laku yang normal. Namun, pada malam hari, mereka berubah menjadi seorang pelacur, preman, anak muda gila, dan anak muda alay50—kehidupan yang dianggap menyimpang dari standar masyarakat. Kepribadian ganda yang dimiliki oleh tetangganya ini muncul akibat adanya tekanan ekspektasi sosial yang mengharuskan mereka untuk tampil ‘sempurna’ sehingga mereka menanggulangi kekurangan mereka dengan memiliki dua kepribadian. Walaupun tidak dijelaskan kepribadian mana yang sebenarnya adalah milik mereka, tetapi dalam drama tersebut, diisyaratkan bahwa yang baik dan sesuai norma tampil di siang hari dan yang menyimpang dari norma muncul di malam hari.
50
Alay adalah singkatan dari anak layangan. Istilah ini awalnya merujuk pada anak-anak berambut merah karena terbakar matahari. Namun, mengalami pergeseran makna menjadi sebutan untuk mereka yang bersifat urban, kampungan, atau norak.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
144
Sikap atau perilaku masyarakat seperti ini, menurut Saini K.M. (2004: 120) ditimbulkan dari proses penanaman nilai-nilai yang tercerabut dari akarnya sehingga perkembangan karakter mereka tidak normal. Adanya pergeseran nilai dari nilai luhur—seperti kebenaran, keindahan, kebaikan, dan kesucian—menjadi nilai-nilai dasar yang mementingkan materi, seperti konsumtif, hedonisme, dan gengsi, telah membuat masyarakat mampu melakukan hal-hal buruk untuk bertahan hidup. Hal-hal yang buruk itu dapat berupa tindak kriminal, seperti mencuri, merampok, memalak, bahkan membunuh, dapat pula berupa tindakan mengasingkan diri dengan kelompok yang lain. Hal ini sangat berkaitan erat dengan proses dehumanisasi yang terjadi pada masa Orde Baru—seperti yang telah diuraikan sebelumnya—pada satu generasi di masa itu. Pendidikan yang mengesampingkan ajaran tentang bahasa, sastra, seni, dan filsafat, mencetak manusia-manusia yang lebih mementingkan kepentingan individual daripada menjaga kemasyarakatan yang terdiri atas berbagai macam suku, ras, dan agama. Sebuah kota merupakan kesatuan yang terdiri atas berbagai macam latar belakang, tujuan, dan kepentingan yang disatukan dalam sebuah konvensi sosial. Konvensi inilah yang bertugas menjaga keharmonisan kehdiupan di antara begitu banyaknya perbedaan. Konvensi ini pulalah yang bertugas menjaga hubungan antara mayoritas dan minoritas yang muncul di dalam masyarakat majemuk, seperti di kota. Kelompok masyarakat mayoritas, umumnya berisi kekuatan yang lebih dominan menguasai suatu daerah, seperti suku asli setempat atau penganut agama besar. Masalah suku dan agama adalah salah satu pemicu konflik terbesar di Indonesia, khususnya Jakarta yang menampung masyarakat dari berbagai macam daerah dan tradisi. Pada tahun 2012, meletus konflik di Poso dan Lampung karena persoalan agama. Konflik di Poso ini telah berlangsung sejak tahun 1998 dan sampai saat ini keadaan di sana belum dapat dikatakan stabil. Di tahun yang sama, tahun 2012, terjadi
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
145
penyerangan ke beberapa masjid Ahmadiyah di daerah Bandung dan Tasikmalaya.51 Jemaat Ahmadiyah dianggap telah melakukan penyimpangan agama sehingga memicu kemarahan umat Islam di berbagai tempat. Adapula konflik agama antara umat Islam dan Kristen di daerah kepulauan Maluku, yang telah dimulai sejak tahun 1999 dan masih berlanjut hingga kini. Di daerah Kalimantan Tengah, tepatnya di kota Sampit, pernah terjadi perang etnis yang menelan korban jiwa. Tepatnya pada tanggal 18 Februari 2001, sejumlah penduduk asli Sampit menyerang penduduk pendatang dari Madura. Puluhan rumah dibakar, puluhan toko dijarah, dan korban jiwa terus berjatuhan, tercatat ada 20.000 orang Madura yang mengungsi di Kantor Pemerintah Daerah dan DPRD Kotawaringin Timur.52 Konflik yang mendera beberapa daerah di Indonesia merupakan akumulasi dari sejumlah konflik yang terjadi di antara masyarakat yang memiliki perbedaan latar belakang. Misalnya di Jakarta, konflik dimulai dari tawuran antarpelajar sekolah A dan sekolah B, berkembang menjadi kasus pembunuhan di luar arena tawuran akibat dendam. Hal ini sangat mengkhawatirkan, mengingat bahwa para pelajar merupakan generasi yang dipersiapkan untuk melanjutkan pemerintahan bangsa ini. Hal ini kembali lagi melihat pada pergeseran nilai dan pendidikan yang telah diubah demi mendukung kebijakan pemerintah. Dehumanisasi ini menjadi ancaman bagi masyarakat plural di Indonesia. Adanya generasi yang mengalami dehumanisasi dapat menyebabkan masyarakat massal yang berkonotasi buruk. Masyarakat massal ini terbentuk karena adanya nilai-nilai yang tidak berkembang secara sempurna, misalnya mereka dipaksa pindah ke kota dan menghadapi tatanan nilai yang sama sekali baru (Saini K.M. 2004: 120-122). Untuk menghadapi proses adaptasi besar-besaran, belum lagi dengan adanya gegar budaya yang sering terjadi ketika seseorang melakukan perpindahan daerah tinggal, maka mereka pun menggabungkan diri dengan yang orang-orang yang berbagi
Diambil dari artikel “Kronologi Penyerangan Masjid Ahmadiyah di Bandung” (26 Oktober 2012) Hadi Suprapto dan Ita Lismawati F. Malau. http://nasional.news.viva.co.id/ Diunduh pada tanggal 16 Juni 2014 52 Diambil dari artikel “20.000 Pengungsi Terkurung di Sampit” (23 Februari 2001) diunduh dari http://www.library.ohiou.edu/ pada tanggal 16 Juni 2014. 51
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
146
kesamaan atau mudah diajak untuk ikut masuk dalam kelompok-kelompok radikal dan semacamnya. Hal inilah kemudian yang membentuk peristiwa tawuran antarsesama geng motor, tawuran pelajar, serta hooligan yang mengamuk seusai pertandingan atau konser. Konvensi sosial yang menentukan pola perilaku masyarakat menjadi suatu hal penting dalam perkembangan konflik ketiga naskah drama ini. Konvensi ini merupakan sebuah perjanjian bersama yang dipakai untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam sebuah lingkungan. Munculnya semacam konvensi ini disebabkan oleh faktor masyarakat yang bersifat kolektif. Konvensi ini baik, tetapi secara tidak langsung menekan masyarakat untuk hidup dalam kesamaan-kesamaan. Mereka yang tidak dapat mengikutinya, secara tidak langsung akan terasing dari pemetaan masyarakat. Hal tersebut membuat kehidupan satu anggota masyarakat menjadi perhatian dari anggota yang lain, seperti dalam naskah drama “Roamn”. Konflik bagi Roman muncul ketika para tetangganya bergunjing atas perubahan Atun. Pergunjingan ini timbul karena dorongan dari tingkah laku yang Atun yang berbeda. Apabila perubahan drastis semacam itu terjadi pada tokoh lain, mungkin reaksi dari masyarakat tidak akan menjadi serumit itu. Dengan mengingat bahwa tokoh Roman buta, perubahan cara berdandan Atun menjadi keanehan di lingkungan tersebut. Dalam perumitan masalah, dijelaskan bahwa kecurigaan masyarakat mendorong sikap posesif Roman pada istrinya. Yang sebenarnya, sikap tersebut lahir dari gosip belaka dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Bambang: Atun:
Ada apa mas? Apa salah saya? Kenapa mas Roman tiba-tiba saja berubah seperti ini? Mas Bambang salah apa? Selama ini dia baik. Sering membantu kita. ………………………………………………………………………… Atun: Mas benar-benar keterlaluan. Ada apa, Mas? Roman hanya diam. Atun: Berubah? Apa yang berubah? Apa karena saya adalah isteri Mas Roman, lantas saya tidak boleh berdandan? Sejak saya memutuskan untuk menikah. Saya menganggap sudah menjadi takdir yang harus saya jalani. Roman: Jadi kamu menyesal? Atun: Kenapa baru sekarang Mas bertanya? Kenapa tidak pada saat kita akan menikah. Padahal Mas tahu saat itu saya sudah punya pacar. Bahkan saya selalu bercerita setiap saya habis bertemu dengan
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
147
Roman: Atun:
orang yang saya cintai. Tapi kebahagiaan itu hilang karena orang tua saya meminta agar saya menikah dengan orang yang tidak saya cintai. Pada awalnya saya menolak, tidak mungkin saya menikah dengan Mas Roman. Tapi karena ingin berbakti kepada orang tua saya yang telah banyak menerima kebaikan dari orang tua Mas Roman saya pun menerima permintaan mereka untuk menikah dengan orang yang sudah saya anggap sebagai kakak dan sahabat. Kamu juga tidak pernah bisa mencintai saya? Mas tidak akan pernah mengerti bagaimana perasaaan saya. (2009: 20-22)
Kecurigaan para tetangga yang tidak terbukti sampai pada sikap Roman yang dianggap Atun tidak beralasan, memicu masalah lain yang selama ini tidak dibicarakan. Kerelaan Atun untuk menikahi tokoh Roman yang memiliki keterbatasan jadi mempengaruhi sikapnya sebagai istri. Bahkan lebih jauh lagi, kesulitan ekonomi yang dialaminya bersama Roman menjadi kesempatan terbuka bagi tokoh Bambang untuk mengulik kehidupan masa lalu mereka. Hal ini mejadi sebuah rangkaian yang rumit dalam kehidupan rumah tangga Roman. Namun, bagi para tetangga, mereka hanya perlu mengomentari perubahan Atun dan tidak peduli pada efek samping yang mereka buat. Nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat yang dikatakan Saini K.M. pada bagian sebelumnya, terutama dalam lingkup masyarakat miskin kota, merupakan penyebab munculnya konflik yang digambarkan dalam drama-drama ini. Keengganan masyarakat untuk menyadari bahwa kota atau daerah tempat mereka tinggal mengalami perubahan, dengan masuknya orang-orang baru yang membawa adat istiadat masing-masing, menimbulkan sikap hidup bertetangga yang saling menyerang. Mereka semua menginginkan bentuk ideal dari kebahagiaan, tetapi menolak kenyataan bahwa kesempurnaan itu tidak mungkin ada (Goenawan Mohamad 2001: 1453). Akibatnya, mereka tidak mau menyesuaikan diri dan memaksakan pandanganpandangan usang untuk digunakan dalam tata masyarakat yang selalu berubah. Timbullah dari sana konflik yang dialami Roman, kebingungan tokoh Risti, dan keributan antarsesama penghuni di rumah kontrakan. Yang paling hebat dari semua konflik yang digambarkan adalah pembunuhan tokoh Lela yang dilakukan oleh tokoh tukang sayur (lihat bagian 2.3.2). Tokoh yang
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
148
sepanjang alur tidak diceritakan berinteraksi sedikit pun dengan tokoh Lela, hanya dari dialog Lela saja diketahui bahwa ia sempat menyatakan cinta pada Lela, tiba-tiba muncul sebagai ‘serigala yang menyerang sesama’.53 Tindakannya tersebut muncul dari kekecewaan terhadap kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan idealnya. Ia menolak untuk menerima dan menghargai bahwa tidak semua hal dapat berjalan sesuai dengan harapannya. Tindakan tersebut tidak hanya melahirkan penderitaan bagi keluarga Lela, tetapi juga menandakan suatu peradaban kota yang hancur karena ketidaktaatan hukum dan pelanggaran hak asasi manusia untuk hidup. Kenyataan bahwa kota, khususnya di Jakarta, telah mengalami beban demografik yang melampau batas sehingga pengaturan hidup bermasyarakat di dalamnya tidak lagi kondusif. Dapat dikatakan bahwa pola masyarakat yang timbul termasuk dalam jenis masyarakat yang tidak menghasilkan dan tidak aman.54 Hal ini seharusnya dapat diantisipasi dengan kerja sama yang baik antara pemerintah pusat dan kota/daerah untuk melakukan pemerataan penduduk sehingga tidak ada lagi beban sosial yang terlalu berat dipikul oleh satu daerah. Yang mengenaskan adalah kenyataan bahwa pemerintah belum juga melakukan tindakan nyata untuk mengatasi beban demografik dan sosial budaya yang menimpa kota-kota besar. Pada tahun 2012, Departemen Keuangan melaporkan bahwa tiga departemen yang tercatat paling banyak melakukan korupsi adalah Departemen Agama, Departemen Pendidikan, dan Departemen Kesehatan (Saini K.M. 2004: 78).55 Ketiga
53 Homo homini lupus (seorang menjadi serigala bagi orang lain) adalah situasi yang dikatakan oleh Saini K.M. muncul dalam kehidupan kota yang tidak lagi manusiawi dengan ambruknya kesadaran hukum dan peradaban (diambil dari Krisis Kebudayaan (2004) Saini K.M.) 54 John S. Nimpoeno (1980) mengklasifikasi persepsi sosial terhadap lingkungannya (Lihat Sapei Rusin, “Penguatan Organisasi Rakyat: Upaya merebut Hak yang Terampas” (2003). Makalah ini disampaikan dalam Forum Diskusi Interseksi, “Civil Rights dan Demokratisasi: Pengalaman Indonesia II”, (27-29 Januari 2003, Kuningan, Jawa Barat) 55
Penangkapan Mantan Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama, Ahmad Jauhari, didakwa atas tuduhan tindak korupsi dalam proyek pengadaan kitab suci Al-Quran. (diambil dari artikel “Pejabat Kementerian Agama Didakwa Korupsi” (7 Januari 2014) diunduh dari http://kpk.go.id/ pada tanggal 16 Juni 2014). Pada tahun yang sama, KPK menetapan Mantan Mentri Agama sebagai tersangka atas tindak korupsi pengadaan barang dan jasa haji pada 2012-2013 di Kementerian Agama. (diambil dari artikel “KPK Tetapkan Mentri Agama sebagai Tersangka” (22 Mei 2014) diunduh dari http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/ pada tanggal 16 Juni 2014)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
149
departemen yang paling dibutuhkan oleh masyarakat saat ini—khususnya kota—untuk memulihkan akar masalah dari konflik sosial yang ada.
3.3 Kecenderungan Masalah dalam Drama FTJ Ditinjau dari Keadaan Sosiologis Benang merah antara keadaan dalam naskah drama dengan kenyataan sosial yang mempengaruhinya adalah ruang lingkup penciptaan naskah-naskah drama, yaitu FTJ. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, drama-drama ini diciptakan untuk mengikuti festival teater yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Naskahnaskah ini diciptaka pada masa pasca-Orde Baru, yaitu tahun 1999 hingga 2013, tetapi baru diikutkan pada ajang FTJ mulai dari tahun 2008-2013. Dari wawancara personal yang penulis lakukan, didapatkan informasi bahwa hampir semua drama-drama ini diciptakan di Jakarta oleh pengarang yang berdomisili di kota yang sama. Beberapa yang tidak diketahui tempat penciptaannya disebabkan oleh kesulitan penulis menemukan pengarang drama tersebut. Dengan melihat bahwa para pengarang drama-drama ini tinggal dan menghabiskan waktunya di Jakarta maka ada kemungkinan bahwa drama-drama ini adalah hasil keterpengaruhan pengarang terhadap kondisi dan peristiwa yang dialami di kota ini. Hal tersebut berkaitan erat dengan platform ‘Membaca Aku, Membaca Laku’ yang digunakan dalam penyelenggaraan FTJ. Seperti yang telah disinggung pada bagian pendahuluan, platform ini diharapkan dapat membawa FTJ, tidak hanya sebagai sebuah perlombaan, tetapi juga salah satu peristiwa budaya. Oleh sebab itu, dengan melihat waktu dan tempat penciptaan naskah-naskah drama ini, penulis beranggapan bahwa gagasan pengarang merupakan perwujudan dari platform FTJ tentang lakuan aku—manusia pada masa kini. Aku dalam drama diwujdukan melalui para tokoh yang membawa sebuah persoalan untuk dibicarakan. Sesuai dengan temuan yang dihasilkan pada bagian analisis struktural, naskah-naskah drama FTJ telah menghasilkan tiga pokok permasalahan manusia yang menyangkut identitas personal, identitas kebangsaan, dan pola masyarakat yang ada.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
150
Dengan menjadikan tiga pokok permasalahan dalam tiap kategori naskah drama, penulis merangkainya ke dalam sebuah peristiwa besar yang memperlihatkan keadaan manusia di sebuah masa transisi, dari keadaan yang terbelenggu (sesuai dengan hasil analisis struktural, pemaparan masalah dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” dan “Ruang Kehormatan”) menuju kebebasan untuk meraih kehidupan yang bahagia. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, masalah fundamental yang dialami manusia masa kini—dalam drama-drama FTJ—adalah tentang pencarian identitas. Menemukan sebuah legitimasi diri mereka di dalam sebuah kelompok masyarakat yang lebih luas adalah sebuah kegelisahan yang ditangkap dalam drama tentang relasi manusia dengan dirinya sendiri. Namun, keadaan personal manusia mendapat banyak pengaruh dari keadaan di luar dirinya, seperti pemerintahan yang memimpinnya dan sistem masyarakat yang mengelilinginya. Keadaan pemerintahan dan sistem masyarakat tidak hanya menentukan identitas diri masing-masing, tetapi juga mendapat pengaruh dari setiap individu yang terlibat di dalamnya. Sehingga dapat dikatakan, hubungan manusia (sebagai individu) dan lingkungan di luar dirinya (bangsa dan masyarakat) adalah suatu bentuk hubungan yang saling mempengaruhi. Dari penelusuran masalah utama dalam tiap drama dengan persoalan sosialnya, ditemukan penjelasan tentang keadaan manusia pada masa kini. Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah manusia kini berkaitan dengan warisan sosial-politik Orde Baru. Kebijakan yang mengatur kehidupan manusia dalam konteks berbangsa dan bernegara telah membawa pengaruh pada sikap dan pandangan manusia—terutama manusia kota Jakarta. Walaupun pemerintahan Orde Baru telah berakhir sejak 16 tahun yang lalu, manusia masa kini masih hidup di bawah bayang-bayang penguasan pada masa itu. Hal inilah yang menyebabkan masa transisi Indonesia terbilang panjang. Belum ada suatu bentuk kekuasaan baru yang mampu mengubah kehidupan manusia masa kini, seperti yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Dilihat dari ruang lingkup terjadinya masalah ini maka penulis menyusunnya ke dalam sebuah skema yang menjelaskan urutan masalah tersebut. Skema masalah-
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
151
masalah yang timbul mengenai ‘aku’—manusia—masa kini dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Skema 3.2
Temuan Peristiwa dalam Drama melalui Penelusuran Sosiologis Optimisme dunia ideal
Mencari kebebasan Jaminan kebebasan (demokrasi)
Disintegrasi mengancam
Kebebasan disalahgunakan
Pemerintah gagal menjawab masalah
Mencari pengakuan Perebutan kekuasaan dengan motif kepentingan pribadi
Timbul kelompokkelompok massa
Pemerintah sibuk mempertahankan jabatan, masyarakat diabaikan
Pergeseran nilai Masyarakat miskin bertambah miskin
Masyarakat saling menyerang Masyarakat tidak percaya pada pemerintah KETERANGAN Lapisan masalah manusia dengan diri sendiri Lapisan masalah manusia dengan kekuasaan Lapisan masalah manusia dengan masyarakat Keadaan yang ditimbulkan dari masalah manusia pada umumnya
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
152
Dari bagan di atas dapat dilihat bahwa awal mula dari masalah yang timbul dalam drama adalah keinginan para tokoh untuk bebas. Hasil penelusuran struktural telah memperlihatkan bahwa para tokoh telah hidup dalam sebuah pola, yang tidak hanya mengatur tingkah laku mereka, tetapi juga menentukan identitas mereka, seperti yang terjadi pada kelima tokoh dalam naskah drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” dan tokoh Bapak dalam drama “Ruang Kehormatan”. Hal tersebut nampak dalam analisis struktural naskah drama relasi manusia dengan dirinya sendiri, yang menunjukkan adanya kegelisahan para tokoh menjalani rutinitas harian mereka. Ketika muncul perubahan di dalam dunia mereka yang terpola, tumbuh harapan tentang kehidupan yang ideal. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini. Gelap. Orang-orang muncul dan melangkah ke sudut melingkari tong. Orangorang menyalakan api dalam tong. Orang-orang dingin dan luka. Sembunyi. Ekstase nyanyi menari-nari. Seorang membawa lilin menyala dan menjaganya Nyala api. Orang-orang melingkar di tong api. Orang-orang di sudut. Nyala lilin, rokok, mabuk dan kopi cangkir timah. Orang-orang luka sembunyi. Tiba tembakan dan peringatan. Derap langkah lari dan derap sepatu lars cepat dan melompat. Sorot senter-senter razia orang-orang pinggiran dan terlantar. Mereka kocar-kacir menyelamatkan diri. Memburu dan diburu. Api dimatikan dan gelap. Orang-orang menjauh dan hilang. ……………………………………………………………………………… Langit merah dan bulan purnama. Silhuet orang-orang muncul memandang langit merah dan bulan purnama. Kabilah orang-orang miskin dan tertindas. Para korban beragam bencana, gelandangan, pemabuk dan manusia jalanan. Mereka yang tertindas dan dipinggirkan yang terluka dan sembunyi. Diam dan sepi beberapa saat. Hanya memandang langit. Redup. Langit merah mencapai malam dan gelap. Orang-orang beranjak pergi. Berangkat menuju harapan dan janji. Tanah para sahabat yang luhur. Tanah yang dijanjikan. Ruang tunggu terakhir selesai sampai di sini. Semoga ! (2008: 34)
Menurut pengamatan penulis, para tokoh yang berada di fase menyambut datangnya kebebasan dalam hidup mereka adalah sebuah rasa yang dihadirkan oleh pengarang dalam menyusun peristiwa bangsa ini pascareformasi. Para pengarang, yang berhasil diwawancarai, pernah merasakan hidup di bawah kekuasaan Orde Baru. Mereka melihat dan mengalami masa-masa kebebasan sebagai individu dipenjarakan di balik kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru, menuntut
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
153
adanya kestabilan demi terwujudnya rencana pembangunan nasional. Kebebasan individu dianggap sebagai sebuah celah yang dapat menggagalkan usaha tersebut. Oleh sebab itu, muncullah berbagai peraturan dan hukum yang dibuat secara sepihak, seperti pembatasan jumlah anak dan tugas perempuan dalam rumah tangga yang diatur dalam Undang-Undang (Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan 1999: xiv). Masyarakat dilepaskan dari partisipasi penyelenggaraan negara. Padahal masa Orde Baru menjunjung tinggi ideologi Pancasila, yang di dalamnya berbicara tentang musyawarah dan keadilan sosial. Secara tidak langsung, pemerintah Orde Baru telah menyimpang dari ideologi yang ditanamkannya dengan melakukan praktik politik tertutup. Kebebasan rakyat direnggut dengan cara-cara yang seolah menghargai adanya kebebasan tersebut, seperti muncul istilah ‘bebas tapi bertanggung jawab’ serta ‘stabilitas yang dinamis’.56 Hal ini dibuat untuk memberi batasan-batasan terhadap kehendak rakyat melalui cara-cara yang seolah menertibkan kehidupan. Akan tetapi, dalam masyarakat majemuk seperti yang ada di Indonesia, pemaksaan manusia untuk menjadi seragam adalah salah satu bentuk ketidakadilan sosial. Salah satu yang ketidakadilan sosial yang jelas terlihat pada masa Orde Baru adalah sikap pemerintah dalam mengatur kebebasan berpendapat. Sejumlah media mengalami pencabutan izin terbit karena dianggap menyebarkan kebencian terhadap pemerintah lewat tulisantulisan yang bernada mengkritik atau memprotes. Kasus pembredelan media cetak— seperti yang telah disebutkan sebelumnya—terjadi pada tahun 1974, enam surat dihentikan secara paksa, dan tahun 1994 yang membawa majalah Tempo masuk ke pengadilan. Dalam pengadilan itu pun, tuduhan ‘menyebarkan kebencian’ atau tindak subversif diputuskan secara tidak adil. Tuntutan seperti itu, ‘Haartzai Artikelen’ seharusnya ditempuh dengan pembuktian yang nyata bahwa pemerintah memang mendapat pengaruh buruk dari pemberitaan atau pendapat-pendapat yang dikeluarkan (Goenawan Mohamad 2001: 1130). Dalam beberapa sidang yang mengadili kasus tentang tindakan penyebaran kebencian atau tindak penyerangan terhadap pemerintah Diambil dari “Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan (1999) Moh. Mahfud MD, Edy Suandi H, Suparman Marzuki & Eko Prasetyo. 56
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
154
melalui berita, seperti Tempo, tidak melaksanaan penyelidikan yang lebih lanjut tentang bukti-bukti yang ada. Hal ini merupakan sebuah kenyataan yang menyimpang dari istilah ‘bebas tapi bertanggung jawab’ yang dikeluarkan oleh Soeharto. Kebebasan pada masa itu haruslah sesuai dengan hal yang diinginkan oleh pemerintah. Setelah mereka akhirnya lepas dari belenggu dunia yang lama, mereka pun menjadi manusia baru yang memiliki kebebasan dalam bertindak. Mereka, sebagai individu yang berasal dari bermacam-macam golongan, dipersatukan oleh semangat untuk bersama-sama menemukan tanah baru yang menjadi simbol atas harapan untuk hidup lebih baik (dapat dilihat naskah drama “Ruang Tunggu Terakhir”). Janji utopis ini, selain menjadi perekat di antara mereka, juga menjadi dorongan kuat yang membuat mereka terus berusaha mewujudkan impian tersebut. Sebagai individu, mereka harus memimpin dirinya sendiri dalam memutuskan pilihan. Akan tetapi, sebagai sebuah kelompok yang telah dipersatukan oleh tekad dan tujuan yang sama, mereka membutuhkan sosok pemimpin dengan visi dan misi yang sama. Kehadiran pemimpin ini berfungsi untuk mengarahkan langkah mereka dan mengatur kebebasan yang telah menjadi hak perseorangan. Mengenai kebebasan untuk berpartisipasi dalam jalannya suatu kepemimpinan, diperlihatkan dalam pemparan masalah drama “Parlemen WC” yang diwujudkan ke dalam bentuk monolog tokoh Parmin. Pada bagian analisis struktural, hal tersebut disampaikan sebagai wujud deklarasi kebebasan yang dijunjung oleh pemimpin maupun mereka yang dipimpin, seperti dikutip dalam bagian ini. Parmin:
(mendekat ke arah WC) Dan inilah dia itu. Dia yang lugu dan sangat lugu sekali. Inilah sarana milik bersama. Ya, milik rakyat. Milik kita semua. Sederhana, ringkes, dan hemat. Tanpa butuh banyak biaya. Tanpa harus ada proposal yang diteken. Tanpa harus ada siding untuk membahasnya. Tapi ingat, dari sebuah WC umum seseorang bisa jadi ketua RT dari sebuah WC umum pula seorang RT bisa dipecat. (Menutup mulut dan melirik kanan kiri. Takut ketahuan) mungkin saya harus menyudahi dulu omongan saya ini sebab rasarasanya ada sesuatu yang harus saya kerjakan dengan segera. Kalau orang rumah sakit bilang ini adalah seusatu yang gawat darurat, perlu penanganan khusus. Dan saya takut nanti akan terjadi pemberontakan yang amat dahsyat. Pemberontakan yang membuat diri saya sendiri tersiksa karena malu (Tangan kanannya memegang
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
155 perut dan tangan kirinya menutup pantatnya sembari melongok ke arah pantatnya. Lalu masuk ke dalam WC). (2012: 1-2)
Hal yang paling dominan dibicarakan dalam drama-drama ini adalah persoalan kebebasan yang didapat setelah pemerintahan Orde Baru tumbang. Baik secara tersurat maupun tersirat, harapan tentang kebebasan yang sempurna didengungkan terusmenerus sehingga menjadi sihir di dalam drama. Melalui adegan Parmin dan Orang 1, 2, dan 3 yang dengan antusias memperdebatkan arti kebebasan dalam sebuah pemerintahan, menunjukkan bahwa belenggu yang dititipkan oleh Orde Baru kepada bangsa ini telah menjadi cerita horor yang harus dihilangkan dengan semangat demokrasi. Demokrasi yang menjamin adanya kebebasan yang adil bagi setiap orang adalah dasar dari keberanian masyarakat untuk melawan Orde Baru (Nordholt 2003: 550). Harapan yang disampaikan tokoh Parmin dalam monolognya adalah tindak lanjut dari kebebasan yang telah diraih. Ketika bangsa ini keluar dari sebuah kotak pemerintahan Orde Baru, mereka mengalami masa transisi. Masa ini digunakan untuk merehabilitasi kerusakan yang timbul dari pemerintahan sebelumnya, dari segi politik, sosial, ekonomi, dan unsur-unsur pemerintahan lainnya. Seperti yang disebutkan dalam bagian 3.2 bahwa salah satu upaya untuk membenahi kerusakan yang ditinggalkan oleh Orde Baru adalah dengan mengadakan pesta demokrasi terbesar, pemilu, secara adil dan jujur. Pemilu pertama setelah Orde Baru tumbang, menetapkan Abdurrahman Wahid sebagai presiden terpilih (Philip J. Vermonet 2014). Dari pemerintahan Habibie hingga Susilo Bambang Yudhoyono, saat ini, belum ada satu pun yang dianggap mampu mencanangkan bentuk pemerintahan yang kuat bagi masyarakat. Pada satu titik, kekewaan masyarakat terhadap ketiadaan perubahan yang konkret atas gerakan reformasi menimbulkan eksploitasi terhadap kebebasan. Kebebasan tersebut dipergunakan oleh sebagian orang untuk menyelamatkan diri sendiri dari keadaan yang semakin sulit. Padahal, fungsi dari kebebasan tersebut adalah menjamin adanya perwujudan keadilan bagi semua untuk mencapai tanah yang baru. Dengan melihat bahwa kemiskinan dan ketidakadilan masih terjadi, timbullah
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
156
keraguan pada sosok pemimpin, seperti yang diperlihatkan dalam naskah drama “Paralel ‘45”. Rakyat Timur, yang dikatakan dalam bagian analisis struktural, menolak adanya putusan pemilu tentang pemilihan Pemimpin Barat. Aksi protes tersebut memang menjadi hak dari masyarakat. Namun, tokoh pemimpin merasa berhak pula untuk menggunakan kekuasaannya dalam menertibkan tingkah pola para tokoh yang memberontak. Oleh sebab itu, Pemimpin Barat mendirikan tembok Paralel ’45 untuk menjaga kestabilan pemerintahan yang dipimpinnya. Namun, kebijakan yang dirasanya baik ini, ternyata telah melukai nilai-nilai kemanusiaan. Tokoh lain yang merasa haknya dirampas, menunjukkan reaksi keras. Reaksi tersebut berupa aksi militan (seperti protes dan penghancuran lambang kekuasaan sepertid dalam drama “Paralel ‘45” dan “Parlemen WC”, lihat bagian 2.2.2) atau perebutan kekuasaan. Kekuasaan seolah telah menjadi sihir bagi para tokoh untuk mengendalikan hidup mereka. Hal ini ditemukan pada tokoh Karjo dan Perempuan 1 dalam naskah drama “Parlemen WC”, yang berusaha merebut kekuasaan dengan motif memenuhi kepentingan pribadinya. Adapula tokoh Pejabat--yang diperlihatkan dalam drama “Pesta Sampah”—yang menjual aset dan kekayaan negara pada pengusaha asing demi keuntungan pribadi. Adapula tokoh Pejabat dalam drama “Parlemen WC” yang datang bukan untuk mengurus kekacauan sistem demokrasi di kampung Parmin, tetapi untuk melihat kesempatan mereka menguasai kampung tersebut. Hal ini semakin menyulut api di antara tokoh yang dipimpin dan tokoh yang memimpin. Bagian
inilah
yang—dalam
skema
di
atas—merupakan
hasil
dari
penyalahgunaan. Kebebasan yang muncul dalam drama, lebih tepat disebut sebagai kekacauan sebab tidak lagi terarah pada tujuan awal yang mulia. Dalam sebuah seminar pada tahun 2002 di Den Haag, Ben Mboi57 membandingkan masa transisi Indonesia dengan tenggelamnya kapal Titanic yaitu Titanci sudah tenggelam dan Indonesia masih terus tenggelam. Artinya, Titanic sudah mencapai titik akhir dari perubahan yang dialaminya, sedangkan Indonesia masih terus bergerak menuju titik tersebut, tetapi pergerakan itu menuju ke bawah. Indonesia masa kini masih berada di antara masa lalu 57
Mantan Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur yang mengisi seminar Clingendael, pada bulan Juni 2002, di Den Haag. (lihat Henk Schulte Nordholt 2003: 551)
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
157
dan masa depan yang semakin tak jelas arahnya karena keadaan pemerintahan yang semakin kacau. Dalam drama, kekacauan transisi Indonesia menuju negara yang maju, diperlihatkan melalui sikap pemimpin yang tidak lagi mengatur dan mempedulikan mereka yang dipimpin, tetapi sibuk mempertahankan wibabawanya (lihat skema 3.2). Yang dipimpin tidak lagi peduli dengan keputusan pemimpin, sebab mereka hanya melihat kekuasaan yang telah merugikan kehidupan. Sementara itu, para tokoh sebagai individu semakin jauh dari keberhasilan untuk menemukan arti keberadaann dirinya karena dimabukkan oleh keadaan yang bebas. Mereka tidak lagi bertanggung jawab atas pilihannya tersebut. Seperti pada akhir naskah drama “Pesta Sampah”, manusia dalam naskah-naskah drama ini, kini hanya dapat melihat bayangan tanah baru tersebut semakin menjauh dan kemanusiaan mereka perlahan hilang. Masa transisi yang ditangkap dalam naskah drama ini, berbicara tentang keputusasaan dan keluh kesah panjang terhadap janji yang tidak kunjung terwujud. Keputusasaan manusia menghadapi masa transisi yang panjang dan tak lagi terang jalannya, ditunjukkan melalui dialog-dialog tokoh Pulung. Di tengah keputusasaanya terhadap harapan dunia yang ideal, ia menjual dirinya pada tokoh Pakdir dengan mengatasnamakan modernisasi. Tokoh Pulung ini mengingatkan pada tokoh Garga yang ditulis oleh Brecht dalam drama “Di Belantara Kota-kota” (lihat Goenawan Mohamad 2001: 1406). Prinsip-prinsip dan pandangan hidup yang dipegang oleh Garga mirip dengan lakuan yang dimunculkan oleh Pulung. Pada akhirnya, ketika dalam gelap datang sebuah sinar, keduanya tak langsung menarik diri pada sinar tersebut, tetapi memantulkannya dengan pertanyaan yang keluar dari prinsip yang dipegang teguh. Pertanyaannya kemudian, ketika tawaran atas sinar tersebut diberikan secara cuma-cuma—tanpa syarat—apakah keduanya tetap mempertahankan prinsipnya? Bagi Pulung, prinsip itu sudah mati ketika ia bertanya. Sebab di dalam dirinya, keputusasaan lebih besar menguasai, dibandingkan dengan cinta yang katanya mampu membuat ia bertahan Beban inilah yang ditanggung oleh masyarakat—khususnya Jakarta—saat ini. Sebelum muncul gerakan reformasi, mereka telah menderita dengan kemiskinan,
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
158
ketidakadilan, dan kebodohan. Sekarang, setelah reformasi—yang menjanjikan diri mereka pada dunia utopis—tiba, mereka justru bertambah miskin. Seperti yang disebutkan sebelumnya, kebijakan pemerintah SBY yang memperlihatkan hasil peningkatan dalam bidang ekonomi, ternyata tidak dirasakan oleh semua orang. Hal ini disebabkan karena peningkatan ekonomi tersebut tidak merata di semua sektor, hanya sektor industri—terutama otomotif—yang mengalami peningkatan signifikan. Oleh sebab itu, kenaikan harga bahan bakar minya (BBM) yang dilakukan atas dasar peningkatan ekonomi masyarakat—dilihat dari tingkat penjualan mobil—yang dianggap mampu, tetap saja dirasa sebagai kebijakan yang memiskinkan masyarakat miskin.58 Seperti yang sebelumnya dikatakan bahwa masyarakat miskin yang tercermin dalam naskah, pada khususnya merujuk pada masyarakat miskin kota Jakarta. Kemiskinan merupakan masalah yang sudah banyak dibahas dalam karya sastra, seperti “Opera Kecoa” (Riantiarno, 1985) dan “HAH” (Putu Wijaya, 1987) yang secara khusus mengangkat masyarakat miskin kota. Kemiskinan di kota yang bertambah buruk menjadi sebuah ironi, mengingat bahwa kota—khususnya Jakarta—merupakan daerah yang lebih maju dibandingkan daerah lainnya. Terutama kota Jakarta, yang merupakan pusat pemerintahan, digunakan sebagai barometer kesuksesan pemerintah dalam mengatur kehidupan masyarakat, tetapi justru memperlihatkan kemiskinan yang bertambah buruk. Maka sulit rasanya membayangkan, kemiskinan di tempat lain yang jauh dari akses pemerintahan. Kemiskinan yang bertambah buruk di dalam sebuah masyarakat plural, seperti di kota, membuat manusia di dalamnya harus bersaing dengan sesama anggota masyarakat yang lain. Hal ini disebabkan oleh sumber daya kota yang sangat terbatas maka istilah ‘siapa kuat, dia yang bertahan’ menjadi semacam semboyan manusia kota. Akhirnya, nilai-nilai luhur yang terjalin dalam konvensi sosial—yang dikatakan sebelumnya sebagai alat pemersatu masyarakat majemuk—menjadi hilang maknanya. Tidak hanya itu, nilai-nilai tersebut tergantikan oleh nilai-nilai baru yang dibentuk pada Lihat “Indonesia in 2008: Democracy Consolidation in Soeharto’s Shadow (2009) h. 116. Marcus Mietzner 58
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
159
masa pemerintahan Orde Baru dan nilai-nilai lain yang dibawa masuk oleh perkembangan teknologi informasi. Saini K.M. (2004: 82-83) menyebutnya sebagai dehumanisasi dengan mencetak manusia yang tidak berakhlak. Nilai-nilai yang baru ini timbul dari adanya bentuk pemikiran adaptasi manusia di masa modern. Hal-hal yang berbau modern, telah sejak lama dianggap sama dengan usaha westernisasi atau segala hal yang merujuk pada nilai kebarat-baratan. Polemik mengenai pemahaman ini telah berlangsung lama bahkan ditemui pula dalam karyakarya sastra. Nilai-nilai masyarakat modern yang dianggap berisi hal-hal sekuler, seperti individualisme dan materialisme (konsumtif, hedonis, dan prestise), telah merusak nilai-nilai Timur yang sifatnya lebih spiritual. Namun, Sutan Takdir Alisjahbana membantah pendapat tentang nilai-nilai dalam modernitas yang sifatnya sekuler. Menurutnya, nilai-nilai tersebut memiliki sisi yang spiritual pula seperti halnya nilai-nilai Timur. Masalah yang penting dalam polemik ini adalah memahami dulu bahwa modernisme adalah suatu paham yang mengajak masyarakat menuju pembaharuan dari masa yang sebelumnya. Oleh sebab itu, menurutnya tentang anggapan pergeseran nilai di masa modern, harus dilihat dengan cermat. Modernisasi harus dimulai dengan pikiran dan pendekatan yang rasional tentang pembangunan bangsan menuju keadaan yang lebih baik, bukan untuk merusak hal yang baik (Mochtar Lubis 1992: 453). Sayangnya, bagi masyarakt di kota, yang kebanyakan datang dari daerah lain, nilai-nilai baru yang ada di kota menjadi sebuah kejutan-budaya bagi mereka (Saini K.M. 2004: 120). Saini K.M. memberikan contoh dengan menunjukkan bagaimana seorang pemuda desa dengan latar belakang yang dekat dengan pesantren dan kegiatan sehari-hari yang rutin, datang ke kota dan menemukan masyarakat yang dinamis— dengan lampu jalan yang tak pernah padam, pakaian yang berbeda, pusat perbelanjaan, dan lain-lain. Ia dipaksa secara alami untuk beradaptasi dengan situasi tersebut. Proses adaptasi membuat nilai-nilai yang tertanam dalam dirinya menjadi tidak sempurna. Muncullah dalam drama tokoh-tokoh, seperti keluarga Pak Amir yang berusaha beradaptasi sampai harus kehilangan jati diri yang sebenarnya.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
160
Kehidupan yang bertambah miskin, pergesaran nilai, dan kebutuhan yang harus segera dipenuhi membuat manusia dalam sebuah masyarakat tidak lagi mempedulikan konvensi yang berlaku. Pada bagian sebelumnya, disebutkan bahwa manusia kota mengalami sakit dan tidak menyadari hal tersebut sehingga timbullah situasi ‘semua menyerang semua’. Rasa curiga, cemburu sosial, dan kejahatan mulai timbul dalam masyarakat. Tak heran bila dalam drama ditemukan pula adanya sikap yang menuju ke arah perpecahan di dalam masyarakat, misalnya drama “Lima Pintu”, “Parlemen WC”, dan lain-lain. Apabila sikap masyarakat yang mulai menjurus ke perpecahan ini tidak ditanggulangi oleh pemerintah maka persatuan dan kesatuan sebagai bangsa akan terkena imbasnya. Frans-Magniz Susesno (1998: 154) telah mengingatkan akan adanya tantangan dari publik terkait isu perpecahan selepas Orde Baru. Gerakan primordialisme ini timbul dari adanya eksklusivitas golongan orang tertentu di dalam masyarakat. Hal ini, seperti yang disampaikan pada bagian sebelumnya, timbul dari sikap radikal etnis atau agama tertentu yang mendominasi suatu daerah. Kebencian yang ditanamkan melalui sikap mereka yang merugikan masyarakat dapat membuat persatuan di dalam masyarakat Indonesia yang majemuk terancam. Tidak hanya, kekecewaan rakyat terhadap keadaan selepas reformasi yang tak juga kunjung memberi titik terang bagi individu dan masyarakat, akan mengarahkan mereka pada tindakan separtisme, seperti yang terjadi pada Timor Timur. Pada masa pemerintahan Habibie, langkahnya memberikan otonomi seluasluasnya bagi Timor Timur ternyata berujung pada pemisahan Timor Timur dari Indonesia di tahun 1999. Dengan kebijakan luar negeri lain yang ia hasilkan, pamor Habibie menuruh di mata masyarakat. Pada pemilu berikutnya, ia tidak lagi terpilih dan digantikan oleh Abdurarhaman Wahid. Di masa pemerintahannya, gerakan separatisme juga masih menjadi isu utama bagi pemerintah. Gerakan pemisahan diri seperti ini muncul darinya adanya keengganan masyarakat untuk bersatu mengingat trauma yang dihasilkan pada pemerintahaan sebelumnya. Berdasarkan data dari Wahid Institut pada bulan Desember, 2008, peningkatan jumlah kekerasan, intimidasi dan diskriminasi tercatat dari 197 menjadi 232 di tahun
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
161
2007. Kebanyakan dari kasus ini menyangkut masalah agama. Salah satu kasus kekerasan terhadap kaum minoritas, dilakukan oleh FPI (Forum Pembela Islam) kepada sejumlah pengikut Ahmadiyah sehingga menyebabkan 70 orang terluka. (lihat Marcus Mietzner, 2008). Konflik terkait SARA (suku, agama, dan ras) juga masih berkembang di beberapa daerah, seperti Poso, Nangroe Aceh Darussalam, dan beberapa wilayah di Maluku. Masalah primordialisme dan gerakan separatis di negara ini, memiliki hubungan dengan keadaan sejarah bangsa. Bangsa ini tidak dipersatukan oleh kesamaan masyarakat yang bernaung di dalamnya, tetapi justru bersatu dalam perbedaan suku, agama, dan ras manusia yang ada. Hal yang mempersatukan bangsa ini adalah kesamaan pengalaman (penjajahan) dan cita-cita yang dimiliki. Sejarah mencatat bahwa Soekarno, sebagai pendiri bangsa, telah menggunakan Pancasila sebagai dasar persatuan bangsa ini. Pancasila digunakan untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi semua rakyat Indonesia tanpa mengenal perbedaan suku, bangsa, dan agama. Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa selalu ada kelompok atau ideologi mayoritas di dalam sebuah masyarakat majemuk. Untuk menjaga agar keadaan sosial politik tetap berjalan sesuai koridor Pancasila maka golongan yang mendominasi ini harus mau menyingkirkan pandangan dan sikap yang hanya mengutamakan kepentingan kelompoknya. Usaha untuk mempertahankan persatuan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru pada tahun 1975, telah mencederai kesepakatan yang dibuat berdasarkan Pancasila. Dengan mengatasnamakan Pancasila, pemerintah Orde Baru mengeluarkan larangan untuk menggunakan identitas etnis dan hal-hal yang berhubungan dengan negara atau kebudayaan asal etnis tersebut.59 Penulisan nama Cina dan ekspresi kebudayaannya dilarang oleh pemerintah dengan alasan menyatukan semua golongan ke dalam satu identitas kebangsaan. Hal ini kemudian berkembang menjadi tindak represi bagi masyarakat keturunan Cina yang ada di Indoensia. “ A policy guideline urged those with Chinese names to change tmen to Indonesian-sounding ones. These violations of basic human rights to equal treatement and cultural freedom have occurred within the context of what has been termed ‘New Order accomodation’.” (Amyn B. Sajoo, Pluralisme in “Old Societies and New States” (1994) h.38) 59
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
162
Namun, pada tahun 1985, pemerintah telah mengesahkan sejumlah kelompokIslam yang kemudian menguasai pemetaan ideologi berdasarkan politis-Islam.60 Timbul beberapa peristiwa yang melibatkan kelompok-kelompok Islam tersebut dalam perseteruan akibat adanya kekuataan yang dilegitimasi oleh pemerintah. Keputusan ini bertentangan dengan kebijakan yang diatur pemerintah terhadap masyarakat Cina di Indonesia. Pemberian hak-hak khusus bagi salah satu golongan merupakan tindakan yang tak hanya mencederai kebebasan manusia lain, tetapi juga bertentangan dengan Pancasila. Sentimen terhadap salah satu etnis serta dominasi dalam masyarakat majemuk di Indonesia—seperti kasus FPI di atas—adalah akibat dari kebijakan yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Orde Baru. Penulis melihat bahwa drama-drama ini menyelipkan pula ketakutan dan kecemasan mereka di balik kemeriahan demokrasi selepas masa Orde Baru. Bahkan dapat dikatakan—dengan melihat faktor sosial yang telah diuraikan menurut peristiwa dalam drama—ketakutan dan kecemasan justru lebih mendominasi di dalam drama dibandingkan dengan kemeriahan pascareformasi. Drama-drama ini menangkap keadaan pilu yang dihasilkan dari kenyataan bahwa bangsa Indonesia belum juga sampai pada cita-cita reformasi. Tiga kali kegagalan besar, yaitu Soekarno dengan revolusinya, Soeharto dengan pembangunan ekonomi, dan reformasi yang menjunjung tinggi demokrasi, ternyata belum dapat mengantarkan bangsa ini menuju suatu keadaan ideal yang dicita-citakan pada masa kemerdekaan.61 Terbukti dengan sikap rakyat yang tidak lagi percaya pada pemerintahan karena kebijakan-kebijakan yang memberikan dampak buruk bagi masyarakat. Masyarakat masih mengeluhkan bahwa perubahanperubahan tersebut hanya mementingkan pihak tertentu dan belum bisa dirasakan manfaat bagi rakyat banyak. Kekecewaan yang berubah menjadi perlawanan—dalam bentuk yang berbeda dengan yang dilakukan pada masa Orde Baru—tercermin melalui sikap para tokoh menanggapi kekuasaan. Salah satu gejala yang muncul untuk (Amyn B. Sajoo, Pluralisme in “Old Societies and New States” (1994) h.38-39). Goenawan Mohamad mengutip puisi Chairil Anwar ‘kerja yang belum selesai, belum apa-apa’ untuk menunjukkan apa yang disebutnya sebagai koreksi di tiap masa. Revolusi Soekarno yang beurjung pada keambrukan ekonomi, kemacetan politik, dan konflik yang meledak menjadi pembantaian. Soeharto dengan pembangunan ekonomi yang menghasilkan penindasan. Serta reformasi yang dibiarkannya kosong. (lihat Kata, Waktu 2001: 1424) 60 61
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
163
menunjukkan sikap ini, di beberapa drama, adalah dengan mempertanyakan identitas yang menyangkut rasa kepemilikan atas bangsa ini—secara luas—juga sebagai individu. Pada akhirnya, drama-drama ini bertanya tentang identitas diri yang berhubungan pula dengan identitas sebagai bangsa pada masa transisi pemerintahan. Kuatnya pengaruh masa Orde Baru dalam kehidupan manusia masa kini masih terlihat jelas dalam pandangan, sikap, dan situasi sosial yang ditemukan. Pertanyaan ini disampaikan dalam suasana yang diliputi kegelisahan, akibat optimisme akan keadaan dunia yang ideal, dan kekecewaan—akibat harapan yang tak kunjung menjadi nyata. Sehingga penulis melihat, ada kebingungan yang terasa dari keanehan lakuan tokoh dan dialog-dialog yang mengambang. Lakuan yang terasa canggung dapat dilihat dalam bagian perumitan masalah drama “Pesta Sampah”, peristiwa lima tokoh masyarakat dalam drama “Gagu Ngigau Galau Wagu” yang tak menyelesaikan pekerjaan hari itu, atau misteri perselingkuhan Atun dalam drama “Roman”. Adanya dialog yang sengaja dibiarkan mengambang untuk menimbulkan satu kebingungan ke kebingungan lainnya adalah pertanyaan kemanusiaan yang dilomtarkan para tentara penjaga perbatasan dalam drama “Paralel ‘45”, kaum apatis di dalam drama “Parlemen WC”, atau tokoh Risti yang tidak juga mengerti apa yang terjadi di gang tersebut dalam drama “Te(N)tangga(NG)”. Dari semua masalah yang dibicarakan—peristiwa dalam naskah dan kenyataankenyataan yang mempengaruhi gagasan pengarang—ditemukan sebuah semangat yang dapat mewakili zaman ini dalam salah satu judul naskah drama, yaitu “Gagu Ngigau Galau Wagu”. Kata ‘gagu’, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, memiliki arti sulit bicara. Kata ‘ngigau’ adalah bentuk nonformal dari kata mengigau, yang memiliki kata dasar ‘igau’, yang memiliki arti berkata-kata tanpa sadar. Kata ‘galau’ berarti ramai sekali atau tidak beraturan. Kata ‘wagu’ adalah kata yang diambil dari Bahasa Jawa, yang berarti tidak lazim atau aneh. Kata ‘wagu’ memiliki kadar keanehan yang lebih rendah ‘edan’ dalam penggunaan Bahasa Jawa. Apabila digabungkan maka akan menjadi ‘susah bicara tapi bicara tanpa sadar tentang keadaan yang kacau dan aneh’.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
164
Suasana tersebutlah yang membedakan masalah pada naskah drama FTJ periode ini dengan naskah-naskah drama pada masa yang lain. Depresi yang dialami manusia dan kesulitan hidup yang diuraikan berbeda karena adanya pengaruh dari masa keadaan politik pemerintahan sebelumnya
dan ditambah dengan
keadaan
pascareformasi. Hal tersebut memunculkan naskah drama yang sarat dengan pertanyaan dan kebimbangan dalam mencapai tujuan hidup manusia yang ideal, yaitu kebahagiaan.
3.4 Simpulan Persoalan-persoalan dalam naskah drama FTJ dapat dirumuskan dalam tiga bagian besar, yaitu identitas diri (relasi manusia dengan dirinya sendiri), identitas kebangsaan (relasi manusia dengan kekuasaan), serta pola masyarakat yang ada (identitas manusia dan masyarakatnya). Ketiga persoalan ini merupakan bagian dari sebuah gagasan utama yang dihasilkan dari pemaparan pengarang terhadap kenyataan yang dialaminya. Kenyataan tersebut menguraikan kondisi manusia masa kini melalui kacamata masyarakat urban di Jakarta. Pada intinya, kenyataan yang mempengaruhi terciptanya karya adalah masa transisi Indonesia dari suatu bentuk pemerintahan yang teratur ke dalam sebuah bentuk kebebasana yang dinamis. Perubahan ini dibawa oleh cita-cita reformasi untuk menuju pada sebuah bangsa yang menjunjung tinggi demokrasi dan memperlihatkan kemajuan dalam segala bidang. Dalam naskah drama, situasi ini diwakili oleh drama “Ruang Tunggu Terakhir”, yang menceritakan penantian para tokoh untuk sampai pada tanah yang dijanjikan penyelamat mereka. Di masa transisi yang panjang, drama-drama ini menangkap adanya kegelisahan, kecemasan, kekecewaan, dan ketakutan yang dihadapi manusia masa kini. Penyebab utamanya adalah bentuk kebebasan yang perlahan menimbulkan kekacauan sehingga kondisi masyarakat tidak juga membaik. Janji-janji reformasi menjadi semacam utopia yang semakin hari semakin jauh dari kenyataan. Hal ini disebabkan oleh munculnya jarak antara pemimpin dan yang dipimpin serta sistem yang merusak nilai-nilai luhur masyarakat. Kota menjadi sebuah tempat yang menampung
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
165
kemiskinan dan penderitaan. Karena keterbatasan secara geografis dan demografik maka kota menimbulkan masyarakat yang tidak sehat. Tanpa disadari kebebasan yang mereka raih di masa reformasi, telah menjadi belenggu baru yang membuat kehidupan terasa lebih berat. Masyarakat miskin semakin miskin, rakyat tidak percaya pada pemimpin, dan munculnya perpecahan yang timbul karena usaha untuk mempertahankan diri. Individualisme muncul di tengah masyarakat majemuk dan mengubah pola kehidupan mereka. Pada akhirnya, kerja keras reformasi belum selesai karena masih banyak penyimpangan yang terjadi. Rakyat masih berteriak minta tolong pada pemimpin dan pemimpin sibuk dengan urusan elit politiknya. Kekacauan ini berujung pada rasa kebersamaan mereka sebagai sebuah bangsa dan kebutuhan untuk dapat diakui sebagai sebuah individu dalam kelompok yang besar. Keadaan ini tercermin melalui judul naskah drama , “Gagu Ngigau Galau Wagu”, yang berarto ‘susah bicara tetapi akhirnya bicara tanpa sadar tentang keadaan yang kacau dan aneh’.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan Festival Teater Jakarta adalah salah satu acara seni yang secara konsisten— selama lebih dari empat dekade—memberikan wadah bagi para seniman, khususnya para dramawan, untuk mengekspresikan kegelisahan dan pencarian diri yang sejati. Sesuai dengan tujuan diselenggarakannya acara ini maka sejak bergabung kembali di bawah penyelenggaraan Dewan Kesenian Jakarta, FTJ berusaha untuk mengarahkan para dramawan untuk berbicara sesuai konteks zamannya. Tujuannya agar festival ini tidak hanya dipandang sebagai perlombaan, tetapi juga telah menjadi sarana bagi masyarakat kota menghayati hidup di tengah derasnya informasi instan dan teknologi. Berita, dengan caranya, memberikan pengetahuan terhadap suatu peristiwa sedangkan karya seni memberikan cara bagi manusia untuk memaknai peristiwa tersebut. Berangkat dari hal itulah, penelitian atas naskah drama asli pada FTJ periode 20082013 dilakukan. Penelitian ini menguraiakan gagasan utama para pengarang drama yang dianggap memiliki keterpengaruhan dari realitas sosial ‘aku’—manusia. Ada tiga jenis relasi yang dipergunakan oleh penulis untuk mengetahui masalah utama ‘aku’—manusia—yaitu relasi manusia dengan dirinya sendiri, relasi manusia dengan kekuasaan, dan relasi manusia dengan masyarakat. Ketiga jenis relasi ini dianggap paling tepat untuk melihat masalah manusia, baik secara individu atau pun sebagai sebuah kesatuan. Untuk drama yang berbicara tentang relasi manusia dan diri sendiri, ada tiga drama yang diambil dari jumlah tujuh naskah, yaitu “Gagu Ngigau Galau Wagu”, “Ruang Kehormatan”, dan “Ruang Tunggu Terakhir”. Untuk drama yang berbicara tentang relasi manusia dengan kekuasaan, ada tiga drama yang diambil dari sembilan naskah drama, yaitu “Paralel ‘45”, “Parlemen WC”, dan “Pesta Sampah”. Relasi
manusia
dengan
kekuasaan,
diwakili
oleh
drama
“Lima
Pintu”,
“Te(N)tangga(NG)”, dan”Roman”. Relasi ini digunakan dalam analisis struktural untuk mencari tahu masalah yang yang dialami oleh tokoh-tokohnya. Melalui unsur-unsur yang membangun drama,
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
166
Universitas Indonesia
167
seperti alur, penokohan, suasana, dan aliran, penulis menemukan pokok permasalahan di tiap relasi. Drama-drama dalam satu kategori relasi memperlihatkan adanya kesamaan yang signifikan antara satu dan lainnya. Drama yang membicarakan tentang manusia dan diri sendiri memperlihatkan kesamaan latar, yaitu sebuah ruang, yang disulap menjadi kurungan tempat para tokoh tinggal. Tidak hanya itu, tokoh-tokoh dalam drama ini memiliki kesamaan keadaan jiwa yang tidak sehat sehingga dua di antara drama yang lain menunjukkan bahwa latar ruang tersebut adalah bagian dari sebuah rumah sakit jiwa. Temuan atas sebuah ruang dengan kondisi kejiwaan yang tidak sehat dari tokoh-tokoh yang tinggal di dalamnya, menunjukkan adanya tekanan dari rutinitas yang membelenggu mereka. Dalam drama ini, masalah terbesar yang dihadapi para tokoh adalah kebebasan untuk mencari jati diri mereka. Kesamaan unsur-unsur dalam tiga drama juga muncul dalam drama tentang relasi manusia dan kekuasaan. Tiga drama tersebut, “Paralel ‘45”, “Parlemen WC”, dan “Pesta Sampah”, menunjukkan sebuah konsep kekuasaan tanpa merujuk pada bentuk manusia. Ada konsep kekuasaan yang digambarkan melalui sebuah WC umum yang dianggap sakral sebab dapat menjatuhkan atau menaikan pemimpin di kampung tersebut. Ada pula kekuasaan yang ditampilkan kokoh, tetapi terasa dingin dan membatasi, seperti tembok perbatasan wilayah dalam drama “Paralel ‘45”. Drama “Pesta Sampah”, menunjukkan kekuasaan sebagai suatu daya yang menghilangkan kemanusiaan di dalam kegemerlapan rimba industri. Pada intinya, drama-drama ini mempermasalah tentang hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang tidak kunjung membaik. Penyalahgunaan kebebasan yang digunakan oleh tokoh rakyat atau pun pemimpinnya, dalam ketiga drama ini, berujung pada kehancuran. Drama yang berbicara tentang relasi manusia dan masyarakat, “Lima Pintu”, “Te(N)tangga(NG)”, dan”Roman”, memperlihatkan potret kehidupan masyarakat kelas menengah bawah. Dari peristiwa-peristiwa yang ada, menunjukkan bahwa masalah utama masyarakat kelas sosial ini adalah pergumulan ekonomi. Masalah kemiskinan adalah suatu tema yang sudah banyak dibicarakan bahkan dapat dikatakann setiap masa memiliki contoh karya yang membicarakan masalah ini. Namun, masalah kemiskinan yang dimunculkan dalam drama-drama ini, tidak hanya berfokus pada
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
168
kesulitan mendapatkan uang atau perjuangan untuk mendapatkan uang, tetapi efek domino dari ekonomi yang buruk. Pergeseran nilai dalam kehidupan bertetangga dipicu oleh adanya perhatian lebih kepada nilai-nilai dasar yang bersifat material, seperti gengsi antartetangga, perilaku konsumtif, dan kepribadian ganda yang harus dilakukan demi bertahan hidup. Hal ini dibicarakan dalam keadaan tempat tinggal yang padat, bertumpuk, kumuh, dan tidak sehat. Sehingga masalah yang sebenarnya terjadi pada tokoh utama, juga menjadi masalah bersama di dalam lingkungan tempat tinggal tersebut. Hasil analisis struktural yang dilakukan atas drama-drama FTJ menunjukkan ada tiga masalah utama ‘aku’—manusia—yang meliputi masalah identifikasi diri (drama relasi manusia dengan diri sendiri), identitas kebangsaan (drama relasi manusia dengan kekuasaan), serta pola masyarakat di kota (relasi manusia dengan masyarakat). Ketiga pokok persoalan ini adalah inti dari masalah tentang manusia yang terjadi di dalam drama. Hal ini diperlihatkan melalui alur, tokoh, dan suasana yang membangun tubuh drama. Tiga pokok masalah ini dipandang sebagai sebuah bentuk tanggapan pengarang terhadap situasi di dalam kehidupan nyata.. Hasil penelusurann sosiologi terhadap masalah manusia dan identifikasi dirinya menghasilkan sebuah temuan bahwa hal tersebut sangat erat kaitannya dengan sejarah masa lalu bangsa Indonesia. Masa lalu yang paling dekat dengan waktu penciptaann naskah drama ini adalah pemerintahan Orde Baru yang berkuasa selama lebih dari tiga dekade. Kekuasaan Orde Baru di Indonesia menyerupai keberadaan tokoh ‘tuhan’ dalam dunia para tokoh utama di dalam drama. Orde Baru seolah memberikan keteraturan melalui kebijakan dan ideologinya, tetapi sebenarnya seperti juga rutinitas yang dihadapi para tokoh, hal tersebut adalah belenggu bagi manusia pada masa itu. Kenyamanan mereka hidup dalam kondisi teratur, mulai terusik ketika akan sehat mengalahkan ketidaksadaran manusia. Adanya dorongan untuk mencari kebebasan merupakan sebuah kerja panjang yang tak akan pernah selesai. Oleh sebab itu, para tokoh pun mulai mencari kebebasana ketika tekanan semakin kuat menghimpit dan menimbulkan pemberontakan di dalam diri manusia. Hal yang sama terjadi pula dengan manusia-manusia yang telah merasa bosan berada di bawah aturan-aturan Orde
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
169
Baru yang semakin terasa berat. Dengan kesadaran dan kehendak untuk bebas, reformasi pun dilakukan. Sebagai sebuah masyarakat yang terdiri atas berbagai macam suku bangsa, agama, dan ras, masyarakat Indoensia pernah disatukan di bawah tekad yang dilahirkan atas kesamaan penderitaan. Pada masa Orde Baru, masyarakat sekali lagi berjuang bersama melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penguasa. Pascareformasi terjadi, pemerintah yang baru memberlakukan demokrasi dalam pemerintahan dengan membuka akses seluas-luasnya bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Pemerintah pusat juga memberikan otonomi daerah yang ditujukan untuk pemerataan kekuasaan. Namun, di antara euforia kebebasan manusia pasca-Orde Baru, timbul masalah terkait hubungan antara pemerintah dan rakayat. Masalah inilah yang ditemukan dalam drama-drama tentang relasi manusia dengan kekuasaan yang membicarakan tentang identitas kebangsaan. Ketika pemerintahan kembali berada di tangan rakyat dan kebebasan berpendapat dijamin oleh negara, beberapa pihak mempergunakan hal tersebut demi kepentingan pribadinya. Oleh sebab itu, muncul dalam drama polemik tentang kekuasaan di kampung Parmin (dalam drama “Parlemen WC”) atau kerusuhan yang memisahkan wilayah Timur dan Barat (dalam drama “Paralel ‘45”). Kebebasan menjadi barang murah yang dapat digunakan oleh siapa saja demi mencapai ambisinya masing-masing. Hal ini disebabkan pula oleh adanya kekecewaan terhadap pemeriintahan pascareformasi yang tak kunjung memberikan bukti nyata terhadap perubahan baik bagi masyarakat. Peningkatan ekonomi tidak merata bahkan prestasi peningkatan investasi di negara, tidak dirasakan oleh rakyat. Kekecewaan inilah yang dibicarakan dalam drama, seperti “Pesta Sampah”, yang menunjukkan amarah terpendam dari rakyat kecil yang tidak berdaya. Oleh sebab itu, muncullah Pulung yang menjadi budak asing di tanahnya sendiri. Sementara itu, penguasa yang korup, lebih suka bermain dengan pihak-pihak yang membawa keuntungan pribadi daripada mengurus nasib rakyat seperti Parmin atau Pulung. Dalam drama yang berbicara tentang relasi manusia dengan masyarakat, masalah utama yang timbul adalah beban kemiskinan masyarakat di kota sebagai akibat
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
170
dari sistem pemerintahan yang gagal membawa perubahan. Otonomi daerah yang diberlakukan oleh pemerintah pusat ternyata justru menjadikan kekuatan tidak merata. Kota semakin padat dengan jumlah pendatang yang mencari penghidupan, sementara itu desa dan daerah pinggiran lainnya makin ditinggalkan. Masyarakat miskin kota nampak dalam kehidupan para tokoh, seperti di dalam drama “Lima Pintu”, “Te(N)tangga(NG)”, dan”Roman”. Para tokoh hidup dalam suatu lingkungan yang tidak hanya padat, tetapi juga terdiri atas berbagai macam latar belakang. Ada yang pendatang dari daerah lain, ada pula yang memang berasal dari kota. Hal tersebut diperlihatkan melalui dialog antartokoh. Namun, yang paling jelas terlihat adalah perbedaan ini tidak lagi dapat direkatkan dengan konvensi sosial yang selama ini menjaga keharmonisan di antara mereka. Hal tersebut disebabkan oleh begitu tingginya ekspektasi sosial atas kehidupan yang ideal di kota. Ekspektasi tersebut berbanding terbalik dengan keadaan yang ada sebab kota yang memang terbatas, telah mencapai titik lebih dari beban demografik yang seharusnya ditanggung. Persaingan antarmasyarakat menjadi tidak sehat dan menimbulkan sikap saling menyerang. Hal ini adalah efek samping dari kegagalan pemerintah mengadakan kehidupan yang dicita-citakan ketika reformasi dilakukan. Dengan tekanan yang begitu hebat, membuat masyarakat yang majemuk ini berubah menjadi masyarakat dengan sikap individualistis sehingga menimbulkan konflik di antara mereka. Keadaan pascareformasi atau yang dikenal sebagai fase transisi ternyata menimbulkan kekecewaan dan kekhawatiran manusia terhadap masa depan. Sebagai langkah preventif, mereka mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama. Pandangan dan sikap yang seperti ini memiliki sumbangan dari masa pemerintahan sebelumnya, yang telah melakukann dehumanisasi sebuah generasa pada masanya. Pergeseran nilai dan ketidakberdayaan pemerintah dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara menyebabkan timbulnya gerakan primordialisme di antara masyarakat Indonesia saat ini. Konflik agama dan etnis di beberapa daerah masih berlangsung hingga kini. Kelompok-kelompok yang ingin memisahkan diri dari bangsa Indonesia, juga masih ditemui di wilayah Aceh, Irian, dan Maluku.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
171
Pada akhrinya, pengarang merekam peristiwa dan masalah yang dihadpi oleh manusia masa kini, khususnya di Jakarta. Drama-drama FTJ menampilkan kegelisahan dan kekalutan manusia di masa transisi melalui tokoh-tokoh yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Masalah dan konflik yang mereka hadapi merupakan sebuah bentuk dramatisasi dari kenyataan yang semakin mengarah ke situasi tersebut. Melalui humor yang gelap dan kekacauan yang mendominasi, drama-drama ini hadir sebagai bahan refleksi untuk melihat tantangan zaman yang dihadapi sebagai individu di dalam masyarakat yang lebih luas, yaitu kesatuan Indonesia. Penulis menangkap bahwa hal ini dilakukan para pengarang untuk mencegah timbulnya kehancuran yang mulai terlihat dari sikap, penghayatan nilai, dan kondisi sosial politik bangsa ini. Sehingga dapat dikatakan, ‘aku’—manusia—yang terekam di dalam drama-drama ini adalah manusia yang gelisah dan khawatir menghadapi kesemerawutan serta tidak mampu menjelaskan inti dari kelangsungan hidupnya.
4.2 Saran Sebagai sebuah pembicaraan awal tentang drama-drama yang dihasilkan pada masa kini, penulis menyadari bahwa masih ada banyak kekurangan yang ditemukan dalam pembahasan. Kurangnya kesempatan untuk melakukan penelitian langsung terhadap penyelenggaraan Festival Teater Jakarta, menjadi salah satu kekuarangan dalam penelitian ini. Pembicaraan tentang manusia yang terekam dalam drama-drama ini dapat berkembang secara luas apabila penelitian mengenai bentuk panggungnya pun diikutsertakan menjadi salah satu tahapan penelitian. Bentuk teks yang diterjemahkan ke dalam panggung, dapat memperlihatkan gambaran konkret dari masalah yang diciptakan pada tahun terkait. Hal ini meliputi seluruh unsur pemanggungan yang tertera dalam teks. Cara para peserta membicarakan isi teks drama ke dalam panggung akan memperkaya sudut pandang dalam penelitian tentang manusia. Masalah tentang drama dan manusia masih terlalu luas untuk disimpulkan melalui penelitian ini. Oleh karena sifat manusia yang dinamis maka kesempatan untuk melihat persoalan dalam drama masa kini masih sangat terbuka. Hal lain yang dirasa
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
172
dapat menambah kekuatan dalam penelitian tentang manusia masa kini dalam drama adalah dengan membandingkan hasil temua dari naskah drama Festival Teataer Jakarta dengan drama-drama lain yang dihasilkan pada periode yang sama di tempat yang berbeda. Hal ini akan memberi gambaran yang lebih lengkap tentang masalah yang ada pada manusia masa kini. Apabila masalah yang ditemukan kurang lebih menunjukkan kesamaan berarti ada sebuah fenomena yang terjadi secara nasional. Pembicaraan mengenai drama masa kini sebagai sebuah produk peninggalan Orde Baru, pun dapat dikembangkan menjadi sebuah topik tersendiri sehingga pembahasannya lebih mendalam. Penelitian ini masih sangat kurang dalam menjelaskan drama-drama yang dihasilkan pada masa Orde Baru. Drama-drama dari masa tersebut dapat dibandingkan denga drama yang dibahas pada penelitian ini supaya dapat ditemukan perbedaaan dan persamaan di dalamnya. Hal ini penting untuk dilakukan karena dapat memberikan perenungan bagi manusia masa kini tentang halhal yang baik dan buruk dalam kehidupan sebelumnya. Pada akhirnya, harapan terbesar dari penelitian ini adalah terbukanya jalan bagi apresiasi naskah drama, khususnya naskah-naskah yang dihasilkan pada masa kini. Dengan memberikan tanggapan secara konsisten terhadap karya drama yang ada maka akan meningkatkan pula kualitas dan kuantitas karya yang dihasilkan, khususnya drama di Indonesia. Hal ini menjadi penting, mengingat sastra adalah perangkat manusia untuk menghayati dan memberikan refleksi atas kehidupan yang mereka jalani.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
173
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Achamad Syaeful. “Perkembangan Teater Kontemporer Indonesia 1968-2008” (2012). Disertasi Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Pengtahuan Budaya, Universitas Indonesia. Arsuka, Nirwan Ahmad. (2001). Kata, Waktu: Esai-Esai Goenawan Mohamad 19602001. Jakarta: Pusat Data dan Analisa TEMPO. Atmakusumah. (1992). Mochtar Lubis: Wartawan Jihad. Jakarta: Harian Kompas. Damono, Sapardi Djoko . (2010). Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas (ed). Jakarta: Editum. ____________ (ed). (2012). Drama Indonesia. Jakarta: Editum Esslin, Martin (ed). (1968). The Theatre of the Absurd. England: a Pelican Book. Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Hardjana, Andre. (1981). Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia. Hassan, Fuad. (1989). Berkenalan dengan Eksistensialisme (ed.4). Jakarta: Pustaka Jaya. Jassin, H.B. (2013). Pujangga Baru (ed.3). Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. K.M, Saini. (2004). Krisis Kebudayaan. Bandung: Kelir. “KPK Tetapkan Mentri Agama sebagai Tersangka” (22 Mei 2014) diunduh dari http://www.bbc.co.uk / pada tanggal 16 Juni 2014. Letwin, David, Joe Stockdale, dan Robin Stockdale. 2008. The Architecture of Drama: Plot, Character, Theme, Genre, and Style. United Kingdom: The Scarecrow Press, Inc. Luxemburg, Jan van, Mieke Bal, dan Willem G. Westsjein. (1981). Pengantar Ilmu Sastra. (Dick Hartono, Penerjemah). Jakarta: PT Gramedia.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
174
Mughis, Abdil. “Studi Indonesia Pasca-Soeharto: Dari Otoriterianisme Menuju Demokratisasi”. Diunduh dari http://www.interseksi.org/publications/essays. Pada tanggal 6 Juni 2014, pukul 02.16. Michelson. (1970). Man and His Urban Enviroment; A Sociological Approach. United State of America: Addison-Wesley Publishing Company. Mahfud, Moh., dkk (editor). (1990). Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan (ed.2). Yogyakarta: UII Press. Mietzner, Marcus. (January/February 2010). Indonesia in 2009: Electoral Contestation and Economic Resilience. Asian Survey, Vol. 50, 1, 185-194. Juni 4, 2014. USA: University of California PressStable. http://www.jstor.org. ______________. (2009). Indonesia in 2008: Democratic Consolidation in Soeharto's Shadow Southeast Asian Affairs, 105-123. Juni 4, 2014. Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). http://www.jstor.org. Mihardja, Achdiat K. (ed). (1998). Polemik Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka. ____________.1991. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa. Nordholt, Henk Schulte. (2003). Renegotiating boundaries: Access, agency and Identity in post-Soeharto Indonesia. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 159, No. 4, h. 550-589. Juni 4, 2014. KITLV, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean StudiesStable. www.jstor.org. Oemarjati, Boen S. (1971). Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Gunung Agung. “Pejabat Kementerian Agama Didakwa Korupsi”. (7 Januari 2014). diunduh dari http://www.kpk.go.id/. tanggal 16 Juni 2014.
Ratna, Nyoman Kutha. (2004). Teori, Metodi, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
175
Reaske, Christopher Russel. 1984. How To Analyze Drama. USA: Monarch Press. Sastrowardoyo, Subagio. (1999). Sekilas Soal Sastra dan Budaya (ed. 3). Jakarta: Balai Pustaka. Schechner, Richard. (2004)s. Performance Theory. Taylor & Francis e-Library. Scholes, Robert; Michael Silverman & Carl H. Klaus. (1978). Elements of Literature. New York: Oxford University Press. Stevenson, Leslie. (1987). Seven Theories of Human Nature. New York: Oxford University Press. Sumardjo, Jakob. (1997). Perkembangan Teater dan Drama Indonesia. Bandung: STSI PRESS. _______________. (1982). Masyarakat dan Sastra Indonesia (ed. 2). Yogyakarta: Nur Cahaya. _____________& Saini K.M. (1991). Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Suprapto, Hadi & Ita Lismawati. (2012). “Kronologi Penyerangan Masjid Ahmadiyah di Bandung”. Diunduh dari http://nasional.news.viva.co.id/ , pada tanggal 16 Juni 2014.
Suseno, Franz-Magnis. (2003). Mencari Makna Kebangsaan (ed. 7). Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Teeuw, Andrias. (2003). Sastra dan Ilmu Sastra (ed. 3). Jakarta: Pustaka Jaya. Vermonte, Philips J. “Demokratisasi dan Politik Luar Negeri Indonesia”. Diunduh dari http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/demokratisasi_politik_l uar_negeri.html, pada tanggal 6 Juni 2014, pukul 12.05.
Wellek, Rene & Austin Warren. (2010). Teori Kesusastraan (ed. 5). (Melani Budianta, Penerjemah). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
176
Sajoo, Amyn B. (1994) Pluralism in ‘Old Societies and New States’. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Syahza, Almasdi. (2013). “Dampak Urbanisasi dan Kemiskinan”. Bahan Ajar Mata Kuliah Ekonomi Pembangunan UNRI, Riau.
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
177
Lampiran I : Artikel tentang Penyelenggaraan Festival Teater Jakarta
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
178
Lanjutan Lampiran I
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
179
Lanjutan Lampiran I
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
180
Lanjutan Lampiran I
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
181
Lampiran II : Ulasan Pertunjukan Drama-Drama Festival Teater Jakarta
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
182
Lanjutan Lampiran II
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
183
Lanjutan Lampiran II
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
184
Lampiran III: Naskah Drama Festival Teater Jakarta
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
185
Lanjutan lampiran III
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
186
Lanjutan Lampiran III
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia
187
Drama-Drama..., Rebecca Kezia Serefina Palupi, FIB UI, 2014
Universitas Indonesia