PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK DAUN BANGUN-BANGUN (Coleus amboinicus Lour) DALAM RANSUM INDUK TERHADAP PENAMPILAN REPRODUKSI DAN PRODUKSI AIR SUSU MENCIT (Mus musculus)
SKRIPSI RIA RETNO PALUPI
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN Ria Retno Palupi. D14060737. 2010. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Bangun-Bangun (Coleus amboinicus Lour) dalam Ransum Induk terhadap Penampilan Reproduksi dan Produksi Air Susu Mencit (Mus musculus). Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS. Pembimbing Anggota : Yuni Cahya Endrawati, S.Pt. Tanaman bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) termasuk kedalam tanaman herbal yang terdapat hampir diseluruh daerah di Indonesia. Daun bangunbangun (Coleus amboinicus Lour) diyakini oleh masyarakat suku Batak dapat meningkatkan produksi air susu pada ibu yang sedang menyusui. Suatu penelitian menemukan bahwa dalam daun ini terkandung senyawa lactogogum yang dapat meningkatkan produksi air susu. Selain itu, dalam daun bangun-bangun terkandung senyawa-senyawa kimia yang berpotensi mempengaruhi berbagai macam aktivitas biologi, misalnya antioksidan, diuretik analgesik, mencegah kanker, anti tumor, dan anti hipotensi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun bangun-bangun (EDB) terhadap penampilan reproduksi dan produksi air susu induk dengan taraf pemberian EDB yaitu R0 (0,00%), R1 (0,05%), R2 (0,10%), serta R3 (0,15%) dalam ransum dan waktu pemberiannya yaitu dimulai pada saat umur kebuntingan 14 hari (H1) dan saat setelah beranak (H2). Peubah yang diamati adalah konsumsi ransum induk, produksi air susu induk (PASI), litter size lahir, bobot lahir, litter size sapih, bobot sapih, pertambahan bobot badan (PBB) anak dan mortalitas. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola Faktorial 2x4 masing-masing dengan empat kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisa dengan Analysis of Variance (ANOVA), menggunakan Microsoft Excel 2003 dan jika perlakuan berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Tukey. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian EDB pada taraf 0,00; 0,05; 0,10; dan 0,15% tidak berpengaruh nyata terhadap PASI, litter size lahir, bobot lahir, bobot sapih, PBB anak dan mortalitas, namun berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi ransum induk dan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap litter size sapih. Waktu pemberian ransum dengan EDB dalam berbagai taraf yaitu pada H1 dan H2 berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap litter size sapih, namun tidak berpengaruh nyata terhadap parameter lain yang diamati. Tidak terdapat interaksi antara kedua faktor-faktor perlakuan terhadap semua parameter yang diukur. Pemberian 0,10% EDB dalam ransum yang diberikan pada H1 (kebuntingan ke-14 hari) memberikan hasil yang paling baik terhadap konsumsi ransum induk dan PASI. Kata-kata kunci: Coleus amboinicus Lour, Mus musculus, ekstrak, dan produksi air susu.
ABSTRACT Effects of Addition Bangun-Bangun Leaves Extract (Coleus amboinicus Lour) In Feed on Reproduction Performance and Milk Production of Mice (Mus musculus) Palupi, R.R., P. H. Siagian, and Y. C. Endrawati Bangun-bangun is one of herb plant that have a lot of benefit for health. The Bataknese tradition people believe that bangun-bangun can increase milk production of lactation women. The results of some investigation is that, bangun-bangun leaves supplementation increased breast milk production of lactation women. The objective of this study was to determine the effect of addition of bangun-bangun leaves extract (Coleus amboinicus Lour) in feed on reproduction performance and milk production of mice (Mus musculus). The design of the study was completely random design factorial (2x4) with two factors, levels of bangun-bangun leaves extract added in feed (0.00%; 0.05%; 0.10% and 0.15%) and given time of feed containing bangun-bangun leaves extract (on the 14th day of pregnant period and on day of birth). The results collected from the study showed that addition level of bangun-bangun leaves extract in feed had not significantly effect on milk production, litter size at birth, body weight at birth and at weaning, body weight gain and mortality rate of mice. But it was very significantly effect result showed (P<0.01) on feed consumption and significantly effect (P<0,05) on litter size at weaning. The given time of feed had significantly effect (P<0,05) on litter size at weaning, but no significant effect on consumption, milk production, litter size at birth, body weight at birth and at weaning, body weight gain and mortality rate of mice. There was no significantly interaction between the addition level of bangun-bangun leaves extract and the given time of feed. On all of the parameters, addition 0,10% of bangun-bangun leaves extract in feed on the 14th day of the pregnancy period has shown the greatest effect on milk production and feed consumption of mice. Keywords: Coleus amboinicus Lour, Mus musculus, extract, and breast milk production.
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK DAUN BANGUN-BANGUN (Coleus amboinicus Lour) DALAM RANSUM INDUK TERHADAP PENAMPILAN REPRODUKSI DAN PRODUKSI AIR SUSU MENCIT (Mus musculus)
RIA RETNO PALUPI D14060737
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Judul : Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Bangun-Bangun (Coleus amboinicus Lour) dalam Ransum Induk terhadap Penampilan Reproduksi dan Produksi Air Susu Menit (Mus musculus) Nama : Ria Retno Palupi NRP
: D14060737
Menyetujui, Pembimbing Utama,
Pembimbing Anggota,
(Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS.) NIP: 19460825197711 1 001
(Yuni Cahya Endrawati, S.Pt) NIP: 19821109200501 2 001
Mengetahui: Ketua Departemen,
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc) NIP: 19591212198603 1 004
Tanggal Ujian : 19 November 2010
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun BangunBangun (Coleus amboinicus Lour) dalam Ransum Induk terhadap Penampilan Reproduksi dan Produksi Air Susu Mencit (Mus musculus)” yang ditulis berdasarkan penelitian pada bulan Oktober hingga Desember 2009 di Laboratorium Lapang (Kandang C), Bagian Produksi Ternak Daging, Kerja dan Aneka Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menetukan pengaruh pemberian ekstrak daun bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) dengan taraf penambahan pada ransum dan waktu pemberian yang berbeda terhadap produksi air susu induk dan penampilan anak mencit (Mus musculus). Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu Penulis mengharapkan kritik dan masukan yang membangun dari para pembaca. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan informasi dalam dunia peternakan dan dapat bermanfaat bagi Penulis khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya.
Bogor, November 2010
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 08 Oktober 1987 di Pacitan, Jawa Timur. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan bapak Suprapto dan Ibu Supiyati. Penulis menikah pada tahun 2009 dengan Kundiarto ST dan dikaruniai seorang putra bernama Panji Radhitya Kenzie Adhitama. Penulis mengawali pendidikan di Taman Kanak-Kanak Taman Indria Pacitan pada tahun 1991 dan diselesaikan pada tahun 1994. Pendidikan dasar Penulis dimulai pada tahun 1994 dan diselesaikan pada tahun 2000. Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai pada tahun 2000 dan diselesaikan pada tahun 2003 di SLTPN 2 Pacitan. Penulis melanjutkan pendidikan di SMA PLUS PGRI Cibinong pada tahun 2003 dan diselesaikan pada tahun 2006. Penulis diterima di Institut Petanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2007. Penulis mengikuti kegiatan Magang di RPH Elders pada tahun 2008. Penulis juga menjadi asisten praktikum mata kuliah Ilmu Produksi dan Teknologi Pengolahan Daging, di bagian Ruminansia Besar pada tahun 2009.
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ....................................................................................................
i
ABSTRACT........................................................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii LEMBAR PENGESAHAN ...............................................................................
iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................
v
RIWAYAT HIDUP ...........................................................................................
vi
DAFTAR ISI...................................................................................................... vii DAFTAR TABEL..............................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................
xi
PENDAHULUAN ..............................................................................................
1
Latar Belakang ........................................................................................ Perumusan Masalah ................................................................................ Tujuan ..................................................................................................... Manfaat ...................................................................................................
1 2 2 2
TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................
3
Tanaman Bangun-bangun ....................................................................... Sifat Fisik dan Kimia .................................................................. Manfaat ....................................................................................... Ekstraksi...................................................................................... Mencit (Mus musculus) ........................................................................... Kebutuhan Ransum dan Air Minum ........................................... Produksi Air Susu Induk dan Cara Pengukurannya.................... Litter Size Lahir .......................................................................... Bobot Lahir Anak ....................................................................... Litter Size Sapih .......................................................................... Bobot Sapih Anak ....................................................................... Pertumbuhan Pra Sapih ............................................................... Mortalitas ....................................................................................
3 4 6 7 9 11 11 12 13 13 13 14 14
METODE ............................................................................................................ 15 Lokasi dan Waktu ................................................................................... Materi ...................................................................................................... Analisis Data ........................................................................................... Rancangan Percobaan ............................................................................. Peubah yang Diamati .............................................................................. Konsumsi Ransum Induk Mencit (g/e/h) .................................... Produksi Air Susu Induk Mencit (g/induk/menyusui) ................
15 15 15 15 16 16 16
Litter Size Lahir (ekor) ................................................................ Bobot Lahir (g/ekor) ................................................................... Litter Size Sapih (ekor) ............................................................... Bobot Sapih (g/ekor) ................................................................... Pertambahan Bobot Badan Anak Mencit (g/e/h) ........................ Mortalitas (%) ............................................................................. Prosedur .................................................................................................. Tahap Persiapan Ransum ............................................................ Pembuatan Ekstrak Daun Bangun-bangun (EDB). ................................. Pembuatan Ransum Perlakuan................................................................ Tahap Penelitian ..................................................................................... Persiapan Kandang ..................................................................... Identifikasi dan Penimbangan Bobot Awal Mencit .................... Pelaksanaan Penelitian ............................................................................
17 17 17 17 17 18 18 18 18 19 20 20 21 21
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 22 Keadaan Umum Penelitian ..................................................................... Kandang ...................................................................................... Mencit ......................................................................................... Suhu dan Kelembaban ................................................................ Ransum ....................................................................................... Pengaruh Perlakuan terhadap Peubah yang Diamati .............................. Konsumsi Ransum Induk Mencit ............................................... Litter Size Lahir .......................................................................... Bobot Lahir ................................................................................. Produksi Air Susu Induk (PASI) Mencit .................................... Litter Size Sapih .......................................................................... Bobot Sapih................................................................................. Pertambahan Bobot Badan (PBB) Anak ..................................... Mortalitas ....................................................................................
22 22 22 23 24 26 26 28 30 32 36 37 40 42
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 44 Kesimpulan ............................................................................................. 44 Saran ....................................................................................................... 44 UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................. 45 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 46 LAMPIRAN........................................................................................................ 50
viii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Kandungan Senyawa Aktif Daun Bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) ..........................................................................................................
4
2. Komposisi Zat Gizi Daun Bangun-bangun dan Daun Katuk .....................
5
3. Komponen Utama dan Proporsinya dalam Daun Bangun-Bangun (Coleus amboinicus Lour) ..........................................................................
6
4. Sifat Biologis Mencit (Mus musculus) .....................................................
10
5. Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian dan Ekstrak Daun Bangunbangun.......................................................................................................
24
6. Rataan Konsumsi Ransum Mencit ...........................................................
27
7. Rataan Litter Size Lahir Mencit ...............................................................
29
8. Rataan Bobot Lahir Anak Mencit ............................................................
31
9. Rataan Produksi Air Susu Induk (PASI) Mencit .....................................
33
10. Rataan Litter Size Sapih .........................................................................
36
11. Rataan Bobot Sapih Anak Mencit .........................................................
38
12. Rataan Pertambahan Bobot Badan Anak Mencit ..................................
41
13. Rataan Persentase Mortalitas Anak Mencit Menyusu ............................
43
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Tanaman Bangun-bangun ....................................................................
3
2. Mencit (Mus musculus)............... .........................................................
10
3. Diagram Alur Proses Pembuatan Serbuk EDB....................................
19
4. Proses Pelleting Ransum Mencit .........................................................
20
5. Rak Kandang Kawin Mencit................................................................
23
6. Rataan Litter Size Lahir Anak Mencit ................................................
30
7. Grafik Rataan Produksi Air Susu Induk Mencit ..................................
34
8. Rataan Bobot Sapih Anak Mencit .......................................................
39
9. Pertambahan Bobot Badan Harian Anak Mencit .................................
42
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Data Konsumsi Ransum Induk ............................................................
51
2. Analisis Ragam (ANOVA) Rataan Konsumsi Ransum Induk ............
51
3. Uji Tukey Faktor A Konsumsi Pakan ..................................................
51
4. Data Produksi Air Susu Induk (PASI) .................................................
52
5. Analisis Ragam (ANOVA) Rataan PASI ............................................
52
6. Data Litter Size Lahir ...........................................................................
53
7. Analisis Ragam (ANOVA) Rataan Litter Size Lahir ...........................
53
8. Data Bobot Lahir Anak Mencit ...........................................................
54
9. Analisis Ragam (ANOVA) Rataan Bobot Lahir Anak Mencit ...........
54
10. Data Litter Size Sapih Anak Mencit .....................................................
55
11. Analisis Ragam (ANOVA) Rataan Litter Size Sapih ...........................
55
12. Uji Tukey Faktor A ...............................................................................
55
13. Uji Tukey Faktor B ...............................................................................
55
14. Data Bobot Sapih Anak Mencit ............................................................
56
15. Analisis Ragam (ANOVA) Rataan Bobot Sapih Anak Mencit ............
56
16. Data Pertambahan Bobot Badan (PBB) Anak Mencit ..........................
57
17. Analisis Ragam (ANOVA) Rataan PBB Anak.....................................
57
18. Data Mortalitas Anak Mencit ...............................................................
58
19. Data Persentase Mortalitas Anak Mencit..............................................
58
20. Analisis Ragam (ANOVA) Rataan Mortalitas Anak Mencit ...............
59
PENDAHULUAN Latar Belakang Air susu merupakan hasil sekresi dari ambing hewan ternak yang sedang laktasi, dengan kandungan nutrisi lengkap yang dibutuhkan untuk perkembangan anak. Kualitas dan kuantitas air susu sangat beragam tergantung pada beberapa faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas air susu adalah makanan yang dikonsumsi. Upaya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas air susu banyak dilakukan baik secara tradisional maupun modern. Salah satu cara tradisional yaitu dengan mengkonsumsi tanaman herbal yang diyakini dapat merangsang terbentuknya air susu. Tanaman herbal merupakan tanaman yang biasa digunakan dalam pengobatan berbagai jenis penyakit. Penggunaan tanaman herbal sebagai ramuan obat di Indonesia telah dikenal sejak dahulu. Saat ini penggunaan tanaman herbal sebagai salah satu obat alternatif untuk menyembuhkan penyakit atau hanya untuk menjaga kesehatan tubuh semakin meningkat. Hal ini disebabkan tanaman herbal mudah didapat, harga relatif murah, cara pembiakan mudah dan hampir tidak ada efek samping yang ditimbulkan. Di Indonesia banyak ditemukan berbagai macam tanaman herbal yang memiliki khasiat tersendiri. Masyarakat Indonesia pada umumnya
masih
mempercayakan
perawatan
kesehatan
dan
penyembuhan
penyakitnya dengan mengunakan tanaman herbal. Tanaman bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) merupakan salah satu jenis tanaman herbal. Tradisi masyarakat suku Batak percaya bahwa daun bangunbangun mampu meningkatkan produksi air susu ibu yang sedang menyusui. Manfaat lain dari daun bangun-bangun adalah sebagai obat asma, batuk rejan, influenza, vertigo, sariawan dan anti kanker. Daun ini mengandung kalium yang berfungsi sebagai penimbul rasa tenang, pembersih darah serta dapat penghilang nyeri. Produksi air susu akan optimal jika dalam kondisi yang tenang, tidak sakit dan tidak stress. Penggunaan mencit sebagai hewan percobaan telah banyak dilakukan. Hal ini dikarenakan mencit adalah mamalia yang bertubuh kecil, mudah dalam penanganan, siklus hidup pendek, murah, mudah dipelihara dan secara fisiologis hampir sama dengan manusia.
Perumusan Masalah Kualitas dan kuantitas air susu dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah oleh makanan yang dikonsumsi sebelum dan selama masa laktasi. Berdasarkan beberapa hasil penelitian disebutkan bahwa daun bangun-bangun bermanfaat dalam meningkatkan produksi air susu karena mengandung bahan aktif yang dapat mengaktifkan kelenjar epitel pada kelenjar mammae. Ekstraksi daun bangun-bangun dilakukan agar zat-zat aktif dalam daun dapat terkumpul sehingga kerja dari zat aktif tersebut dapat efektif. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menentukan pengaruh pemberian ekstrak daun bangun-bangun (Colues amboinicus Lour) dalam ransum dengan taraf dan waktu pemberian yang berbeda terhadap produksi air susu induk dan penampilan anak mencit. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh pemberian ekstrak daun bangun-bangun (Colues amboinicus Lour) dibandingkan dengan pemberian daun bangun-bangun segar, kering, sop bangun-bangun dan bentuk lain yang telah dilakukan selama ini terhadap penampilan reproduksi dan produksi air susu induk. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi dalam pemberian ekstrak daun bangun-bangun bagi ternak lainnya bahkan manusia guna meningkatkan produksi air susu.
2
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Bangun-bangun Bangun-bangun atau torbangun (Coleus amboinicus Lour) merupakan tanaman yang jarang berbunga, namun perkembangbiakannya dapat dengan mudah dilakukan dengan cara stek dan cepat berakar didalam tanah (Heyne, 1987). Tanaman ini dapat dijumpai hampir disemua daerah di Indonesia dengan nama yang berbeda-beda. Di Jawa Tengah orang sering menyebutnya dengan nama daun jinten, orang Sunda menyebutnya ajeran, dan di Madura disebut daun majha nereng atau daun kambing, sedangkan masyarakat suku Batak mengenalnya dengan nama bangun-bangun (Batak Toba), torbangun (Batak Simalungun) atau tarbangun (Batak Karo) (Damanik et al., 2001). Berikut disajikan tanaman bangun-bangun pada Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman Bangun-bangun Keng
(1978)
menyatakan,
taksonomi
tanaman
bangun-bangun
diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Phanerogamae
Subdivisi
: Spermatophyta
Kelas
: Angiospermae
Ordo
: Tubiflorae
Family
: Limiaceae (Labialae)
Sub Family
: Oscimoidae
Genus
: Coleus
Spesies
: Coleus ambionicus Lour Tanaman bangun-bangun selain dapat ditemukan di Indonesia juga dapat
ditemukan di luar negeri seperti di Vietnam (Tan day la), Cina (Zuo shou xiang, Yin
du bo he, Dao shou xiang), Jepang (Kuuban oregano), Country borage, Indian mint, atau Mexican mint (Omtatok, 2009). Di daerah Cina, daun bangun-bangun digunakan sebagai obat batuk untuk anak-anak dengan cara dibuat minuman juice. Di Malaysia daun tersebut juga dimanfaatkan sebagai jamu yang direbus dan diberikan setelah melahirkan (Jain dan Lata, 1996). Sifat Fisik dan Kimia Daun bangun-bangun dalam keadaan segar memiliki helaian daun tebal, berwarna hijau muda, kedua permukaan berbulu halus dan berwarna putih, sangat berdaging dan berair, tulang daun bercabang-cabang dan menonjol (Heyne, 1987). Dalam keadaan kering helaian daun tipis dan sangat berkerut, permukaan bagian atas kasar, warna menjadi coklat, permukaan bagian bawah berwarna lebih muda daripada permukaan atas dengan tulang daun yang kurang menonjol (Wardani, 2007). Daun bangun-bangun memiliki potensi sebagai bahan pangan sumber kalsium, zat besi dan provitamin A (karoten). Hasil analisis menggunakan GC (Gas Chromatography) dan GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectrometry) oleh Laboratorium Department of Chemistry Gorakhpur University pada tahun 2006 menemukan senyawa penting yang berperan aktif dalam metabolisme sel dan merangsang produksi air susu dalam Coleus amboinicus Lour seperti disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Kandungan Senyawa Aktif Daun Bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) Senyawa Aktif Thymol Forskholin Carvacrol
Jumlah (%)* 94,3 1,5 1,2
Sumber: Laboratorium Department of Chemistry Gorakhpur University, India (2006) Keterangan : *97% dari kandungan asam lemak
Komposisi zat gizi dalam 100 gram daun bangun-bangun dibandingkan dengan daun katuk (Sauropus androgymus) mengandung lebih banyak kalsium, besi dan karoten total. Data komposisi daun bangun-bangun dan katuk selengkapnya tercantum dalam Tabel 2.
4
Tabel 2. Komposisi Zat Gizi Daun Bangun-bangun dan Daun Katuk Zat Gizi
Daun Bangun-bangun
Daun Katuk
Energi (kal)
27,0
59
Protein (g)
1,3
6,4
Lemak (g)
0,6
1,0
Hidrat arang (g)
4,0
9,9
Serat (g)
1,0
1,5
Abu (g)
1,6
1,7
Kalsium (g)
279
233
Fosfor (g)
40
98
Besi (mg)
13,6
3,5
13288
10020
Vitamin A
-
-
Vitamin B1
0,16
-
Vitamin C
5,1
164
Air
92,5
81
Karoten total (mkg)
Sumber : Mahmud et al. (1990)
Acamovic dan Brooker (2005) menjelaskan bahwa thymol merupakan antibiotik alternatif yang menjanjikan dan dapat digunakan untuk ternak tanpa memberikan efek negatif terhadap daging atau susu yang diproduksi. Senyawa carvacrol merupakan senyawa yang bersifat antiinfeksi dan antiinflamasi (Burfield, 2001). Penggunaan carvacrol dalam suatu campuran ekstrak tanaman sebagai suplemen dalam ransum babi laktasi menghasilkan litter size, bobot lahir, kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, dan kecernaan protein lebih tinggi dibandingkan babi laktasi yang diberi ransum tanpa suplementasi (Ilsley et al., 2004). Sedangkan senyawa forskholin menurut Sahelian (2006) bersifat membakar lemak menjadi energi. Telah ditemukan tiga komponen utama dalam daun bangun-bangun. Komponen pertama merupakan senyawa laktogogum, yaitu komponen yang dapat menstimulir produksi kelenjar air susu pada induk laktasi. Komponen kedua merupakan zat gizi sedangkan komponen ketiga merupakan farmakoseutika yaitu senyawa yang bersifat buffer, antibakterial, antioksidan, pelumas, pelentur, pewarna dan penstabil. Dosis penggunaan komponen-komponen tersebut berkisar antara 0,25 5
sampai 10 g/kg bobot badan/hari, atau bervariasi disesuaikan dengan umur dan status fisiologis ibu atau induk ternak (Wahlqvist et al., 2005). Jenis dan proporsi ketiga komponen tersebut selengkapnya tersaji dalam Tabel 3. Tabel 3. Komponen Utama dan Proporsinya dalam Daun Bangun-Bangun (Coleus amboinicus Lour) Komponen Utama
Jenis Komponen
Senyawa laktagogue
3-ethyl-3hidroxy-5-alpha andostran-17-one, 3,4dimethyl-2-oxocyclopent-3enylaceticacid, monomethyil succinate, phenylmalonic acid, cyclopentanol, 2methyl acetate dan methylpyroglumate, senyawa sterol, steroid, asam lemak serta asam organik Protein, vitamin dan mineral Senyawa-senyawa yang bersifat buffer, antibakterial, antioksidan, pelumas, pelentur, pewarna dan penstabil.
Nutrient Farmakoseutika
Proporsi (%)
10-50
5-25 10-30
Sumber : Wahlqvist et al., (2005)
Heyne (1987) menyatakan bahwa dari 120 kg daun segar kurang lebih terdapat 25 ml minyak atsiri yang mengandung fenol (isopropyl-o-kresol) yang dapat bersifat antiseptikum bernilai tinggi. Hasil penelitian Santosa dan Triana (2005) menyebutkan bahwa dalam daun bangun-bangun terkandung senyawa polifenol, saponin, glokosida flavonol dan minyak atsiri. Penelitian lain oleh Hutajulu et al. (2008) menyebutkan bahwa dalam ekstrak daun bangun-bangun positif mengandung senyawa flavanoid dan alkaloid. Manfaat Damanik et al. (2006) menyatakan bahwa daun bangun-bangun dapat memberikan manfaat kesehatan dan pertumbuhan bayi yang ibunya mengkonsumsi daun bangun-bangun karena daun ini dapat meningkatkan produksi air susu ibu. Silitonga (1993) menjelaskan bahwa penggunaan daun bangun-bangun dapat meningkatkan produksi air susu induk tikus putih laktasi sebesar 30%. Peningkatan volume air susu terjadi karena adanya peningkatan pertumbuhan dan aktivitas kelenjar mammae serta metabolisme tubuh yang ditandai dengan peningkatan kadar DNA dan RNA kelenjar mammae serta penurunan konsentrasi T4 dan glukosa serum. Menurut Omtatok (2009), rebusan daun bangun-bangun berkhasiat melancarkan keluarnya lendir pada saluran pernafasan. Jika dijus dengan campuran madu, sangat 6
cocok untuk menambah tenaga, sebagai expectorant, mengobati asma, batuk kronis, bronkhitis, sakit perut, perut kembung dan rematik. Berdasarkan phythochemical database Duke (2000), senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam daun bangun-bangun berpotensi terhadap berbagai macam aktivitas biologi, misalnya antioksidan, diuretik analgesik, mencegah kanker, anti tumor dan anti hipotensi. Selain itu, daun bangun-bangun dapat dimasak sebagai sayur atau untuk lalapan (Jain dan Lata, 1996). Daun bangun-bangun mengandung kalium yang berfungsi sebagai pembersih darah, melawan infeksi, mengurangi rasa nyeri dan menimbulkan rasa tenang sehingga sekresi susu menjadi lancar. Menurut Mephan (1987), sapi yang mengalami stress akan membutuhkan tambahan kalium sebanyak 1% untuk mencegah penurunan sekresi air susu. Defisiensi kalium dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan, penurunan bobot badan dan penurunan produksi air susu. Ekstraksi Ekstraksi adalah penyaringan zat-zat aktif dari bagian tanaman obat. Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik semua komponen kimia yang terdapat dalam simplisia. Ekstraksi ini didasarkan pada perpindahan massa komponen zat padat ke dalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka, kemudian berdifusi masuk kedalam pelarut. Proses pengekstraksian komponen kimia dalam sel tanaman yaitu pelarut organik akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dalam pelarut organik di luar sel, maka larutan terpekat akan berdifusi keluar sel dan proses ini akan berulang terus sampai terjadi keseimbangan antara konsentrasi cairan zat aktif di dalam dan di luar sel (Sudjadi,1986). Menurut Alam et al. (2007), terdapat dua jenis ekstraksi, yaitu ekstraksi secara dingin dan ekstraksi secara panas. Ektraksi secara dingin terdiri atas: 1) Metode maserasi yang merupakan cara penyarian sederhana dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya. Metode maserasi digunakan untuk mencari simplisia yang mengandung komponen kimia yang mudah larut dalam cairan penyaring. Keuntungan dari metode ini adalah peralatannya sederhana. Sedang kerugiannya antara lain waktu yang 7
diperlukan untuk mengekstraksi sampel cukup lama, cairan penyari yang digunakan lebih banyak, dan tidak dapat digunakan untuk bahan-bahan yang mempunyai tekstur keras seperti benzoin, tiraks dan lilin. 2) Metode soxhletasi merupakan penyarian simplisia secara berkesi-nambungan, cairan penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi menjadi molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam slongsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah melewati pipa sifon. Adapun keuntungan metode ini adalah dapat digunakan untuk sampel dengan tekstur yang lunak dan tidak tahan terhadap pemanasan secara langsung, digunakan pelarut yang lebih sedikit dan pemanasannya dapat diatur. Sedangkan kerugiannya adalah menyebabkan reaksi penguraian oleh panas, jumlah total senyawa-senyawa yang diekstraksi akan melampaui kelarutannya dalam pelarut tertentu sehingga dapat mengendap dalam wadah dan membutuhkan volume pelarut yang lebih banyak untuk melarutkannya. 3) Metode perkolasi adalah cara penyarian dengan mengalirkan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Keuntungan metode ini adalah tidak memerlukan langkah tambahan yaitu sampel padat (marc) telah terpisah dari ekstrak. Kerugiannya adalah kontak antara sampel padat tidak merata atau terbatas dibandingkan dengan metode refluks, dan pelarut menjadi dingin selama proses perkolasi sehingga tidak melarutkan komponen secara efisien. Sedangkan ekstraksi secara panas terdiri atas: 1) Metode refluks yang memiliki keuntungan dapat digunakan untuk mengekstraksi sampel yang mempunyai tekstur kasar dan tahan pemanasan langsung, sedangkan kerugiannya adalah membutuhkan volume total pelarut yang besar dan sejumlah manipulasi dari operator. 2) Metode destilasi uap adalah metode yang populer untuk ekstraksi minyakminyak menguap (esensial) atau mengandung komponen kimia yang mempunyai titik didih tinggi pada tekanan udara normal dari sampel tanaman.
8
Mencit (Mus musculus) Mencit merupakan hewan mamalia hasil domestikasi dari tikus liar yang paling umum digunakan sebagai hewan percobaan pada laboratorium, yaitu sekitar 40-80%. Banyak keunggulan yang dimiliki oleh mencit sebagai hewan percobaan, yaitu siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi dan mudah dalam penanganan (Moriwaki et al., 1994). Selain itu, hewan ini juga memiliki kesamaan fisiologis dengan manusia, kemampuan reproduksi tinggi, mudah didapat dengan harga yang relatif murah dan biaya pakan yang rendah. Mencit merupakan hewan poliestrus, yaitu hewan yang mengalami estrus lebih daripada dua kali dalam setahun. Seekor mencit betina akan mengalami estrus setiap 4-5 hari sekali. Menurut Malole dan Pramono (1989) mencit betina memiliki lima pasang kelenjar susu, yaitu tiga pasang dibagian dada dan dua pasang dibagian inguinal. Sifat biologis mencit disajikan dalam Tabel 4. Petter (1961) menjelaskan bahwa mencit (Mus musculus) dan tikus (Rattus norvegicus) merupakan omnivora alami, sehat dan kuat, prolifik, kecil dan jinak. Mencit laboratorium memiliki berat badan yang bervariasi antara 18-20 gram pada umur empat minggu (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Mencit memiliki bulu pendek halus dan berwarna putih serta ekor berwarna kemerahan dengan ukuran lebih panjang daripada badan dan kepala. Arrington (1972) menyatakan taksonomi mencit diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Klas
: Mamalia
Ordo
: Rodentia
Famili
: Muridae
Genus
: Mus
Spesies
: Mus musculus
9
Tabel 4. Sifat Biologis Mencit (Mus musculus) Kriteria
Keterangan
Lama hidup
1-3 tahun
Lama produksi ekonomis
9 bulan
Lama bunting
19-21 hari
Kawin sesudah beranak
1-24 jam
Umur sapih
21 hari
Umur dewasa kelamin
35 hari
Umur dikawinkan
delapan minggu
Siklus estrus
4-5 hari
Lama estrus
12-14 jam
Berat dewasa Jantan
20-40 g
Betina
18-35 g
Berat lahir
0,5-1,0 g
Berat sapih
18-20 g
Jumlah anak lahir
rata-rata 6, dapat 15 ekor
Jumlah puting susu
5 pasang
Kecepatan tumbuh
1 g/hari
Sumber : Smith dan Mangkoewidjojo (1988)
Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan bahwa mencit sebagai hewan percobaan sangat praktis untuk penelitian kuantitatif, karena sifatnya yang mudah berkembang biak, selain itu mencit juga dapat digunakan sebagai hewan model untuk mempelajari seleksi terhadap sifat-sifat kuantitatif. Gambar 2 memperlihatkan hewan mencit.
Gambar 2. Mencit (Mus musculus) 10
Kebutuhan Ransum dan Air Minum Mencit dewasa dapat mengkonsumsi ransum 3-5 gram setiap harinya. Zat-zat makanan yang dibutuhkan seekor mencit adalah protein kasar 20-25%, kadar lemak 10-12%, kadar pati 44-55%, kadar serta kasar maksimal 4% dan kadar abu 5-6% (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Tingkat konsumsi ransum dipengaruhi oleh kandungan energi ransum, jenis kelamin, ukuran tubuh, tingkat produksi, temperatur lingkungan, kecepatan pertumbuhan, keseimbangan zat-zat makanan dalam ransum dan cekaman yang dialami ternak tersebut (Anggorodi, 1994). Kebutuhan zat-zat makanan untuk produksi air susu ternak adalah salah satu kebutuhan yang tinggi dalam usaha peternakan (Tillman et al., 1991). Air minum yang dibutuhkan oleh seekor mencit per hari berkisar antara 4-8 ml (Malole dan Pramono, 1989). Air minum untuk dikonsumsi harus selalu tersedia dan bersih karena mencit menyukai air yang baru. Seekor mencit mudah sekali kehilangan air sebab evaporasi tubuhnya yang tinggi. Ransum dan air minum mencit biasanya diberikan ad libitum (selalu tersedia). Konsumsi dapat meningkat seiring dengan meningkatnya berat badan, karena pada umumnya kapasitas saluran pencernaan meningkat, sehingga mampu menampung ransum dalam jumlah lebih banyak (Anggorodi, 1994). Produksi Air Susu Induk dan Cara Pengukurannya Produksi air susu dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal meliputi temperatur lingkungan, konsumsi pakan dan sebagainya, sedangkan faktor internal meliputi absorbsi zat-zat makanan oleh kelenjar mammae dari darah dan pengaruh berbagai hormon (Mepham, 1987). Hormon merupakan satu-satunya perangsang laktasi yang laju sekresinya mempengaruhi pertumbuhan kelenjar susu dan laktasi. Jaringan kelenjar susu dirangsang untuk berkembang lebih cepat pada saat estrus yang kejadiannya berulang dan fisiologis kelenjar susu erat hubungannya dengan mekanisme hormonal dan neurohormonal (Anggorodi, 1994). Hormon yang sangat berperan penting dalam hal ini adalah hormon estradiol dan progesteron. Hormon estradiol dan progesteron berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan fetus dan juga berperan dalam perkembangan kelenjar susu selama masa kebuntingan (Silitonga, 1993). Anggorodi (1994) menambahkan estradiol menyebabkan perkembangan kelenjar air susu,
11
kemudian progesteron bertanggungjawab terhadap pertumbuhan alveoli dan akhirnya laktogen, luteotropin, galaktin, dan prolaktin. Fungsi prolaktin adalah merangsang aktivitas enzim yang menggertak sekresi air susu induk. Produksi air susu mencit dapat diukur secara tidak langsung, yaitu berdasarkan pertumbuhan anak-anak mencit. Pengukuran produksi susu dari pertumbuhan kelompok anak dilakukan pada waktu 5-12 hari sesudah induk beranak. Menurut Sari (2004), pengukuran produksi air susu mencit yaitu sebelum dilakukan pengukuran, anak mencit dipuasakan terlebih dahulu selama empat jam, kemudian ditimbang (bobot awal). Setelah itu, anak mencit dibiarkan menyusu pada induknya selama satu jam baru ditimbang kembali (bobot akhir). Produksi air susu mencit diperoleh dengan melakukan pengurangan bobot akhir dengan bobot awal. Produksi air susu maksimum dapat dicapai apabila anak-anak mencit dibiarkan menyusu pada induknya selama 45-50 menit, dan mencapai puncak produksi susu pada hari ke-13 sesudah beranak (Sudono, 1981). Semakin banyak anak menyusu cenderung meningkatkan produksi air susu induk walaupun tidak menjamin kebutuhan optimum dari anak-anak tersebut (Parakkasi, 1999). Induk yang memiliki produksi susu tinggi akan menghasilkan anak dengan bobot sapih tinggi pula. Litter Size Lahir Litter size merupakan jumlah total anak hidup dan mati pada waktu dilahirkan (Eissen dan Durrant, 1980). Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), rataan litter size lahir mencit yaitu 6 hingga 15 ekor per kelahiran. Litter size lahir bergantung pada umur dan ukuran tubuh induk, sedangkan nutrisi induk akan menentukan ukuran tubuh atau rataan bobot lahir anak. Umur yang terlalu tua atau muda menyebabkan penurunan jumlah anak per kelahiran sedangkan ukuran tubuh yang terlalu kecil mempengaruhi jumlah anak per kelahiran (Kon dan Cowie, 1961). Hasil penelitian pemberian tepung daun bangun-bangun kering pada ransum induk dengan taraf dan waktu pemberian yang berbeda menyebutkan bahwa interaksi antara keduanya tidak nyata berpengaruh terhadap litter size. Keduanya kemungkinan memiliki pengaruh terhadap litter size apabila diberikan pada saat mencit belum bunting (Wardani, 2007).
12
Bobot Lahir Anak Bobot lahir adalah bobot badan suatu individu pada saat dilahirkan. Bobot lahir mencit berkisar antara 0,5-1,5 gram per ekor (Malole dan Pramono, 1989). Bobot lahir ternak dipengaruhi oleh pertumbuhan fetus sebelum lahir atau saat pertumbuhan selama di dalam kandungan induknya (Hafez dan Dyer, 1969). Semakin tinggi bobot lahir mencit, maka semakin baik kemampuan anak dalam menggunakan ransum yang diberikan induk selama berada di dalam uterus. Kuantitas dan kualitas ransum yang rendah menyebabkan anak yang dilahirkan menjadi lemah dengan bobot lahir yang rendah (Malole dan Pramono, 1989). Hafez dan Dyer (1969), menyatakan bahwa pada spesies yang beranak banyak (polytocous), kenaikan jumlah foetus yang dikandung akan menurunkan pertumbuhan anak baik prenatal maupun postnatal karena adanya persaingan antar foetus dalam uterus. Litter Size Sapih Litter size sapih merupakan jumlah anak yang hidup hingga umur sapih (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Faktor yang mempengaruhi litter size sapih antara lain umur induk, konsumsi pakan, kondisi induk, sistem perkawinan dan kualitas pejantan. Menurut Malole dan Pramono (1989), sistem perkawinan poligami adalah sistem perkawinan yang dapat meningkatkan jumlah anak yang disapih. Hal tersebut terjadi karena jika induk dipisah dari pejantan saat bunting tua menjelang kelahiran dan induk tidak memanfaatkan oestrus post partum untuk melakukan perkawinan maka produksi susu dan perawatan anak oleh induk akan lebih optimal. Bobot Sapih Anak Bobot sapih adalah bobot badan saat disapih oleh induk. Sapih yaitu tahap pertumbuhan suatu hewan dimana tidak lagi bergantung pada air susu induknya dan mulai mengkonsumsi ransum padat dan air (Inglis, 1980). Berat bobot sapih dipengaruhi oleh jenis kelamin, bobot badan induk, umur induk, keadaan saat lahir, kemampuan induk untuk menyusui anak, serta kualitas dan kuantitas ransum yang diberikan serta suhu lingkungan (Hafez dan Dyer, 1969). Inglis (1980) menyatakan, bahwa penyapihan hendaknya dilakukan saat umur sapih, sebab jika dilakukan lebih dini maka pertumbuhan anak akan terlambat. Mencit yang disapih pada umur 14-16 hari tidak akan tumbuh sebaik mencit yang
13
tetap bersama induknya sampai berumur 20-21 hari. Bobot sapih mencit berkisar antara 10-12 gram per ekor (Malole dan Pramono, 1989). Pertumbuhan Pra Sapih Pertumbuhan dari lahir sampai sapih sebagian besar dipengaruhi oleh jumlah air susu yang dihasilkan oleh induk dan kesehatan individu itu sendiri (Campbell dan Lasley, 1985). Nutrisi yang baik akan dapat mencukupi kebutuhan induk dan anak mencit saat berada dalam uterus maupun saat menyusu. Jika induk kekurangan nutrisi, maka dapat mengakibatkan pertumbuhan anak terganggu. Pertambahan bobot badan anak mencit sampai dengan disapih adalah 0,45-0,52 g/e/h (Malole dan Pramono, 1989) atau 0,43-0,5 g/e/h (Arrington, 1972). Menurut Hafez dan Dyer (1969), pertumbuhan anak mencit sebelum disapih dipengaruhi oleh genetik, bobot lahir, jumlah anak sekelahiran (litter size lahir), produksi air susu induk, perawatan induk dan umur induk. Mortalitas Persentase mortalitas atau angka kematian anak mencit merupakan salah satu pedoman yang digunakan untuk mengukur kemampuan induk dalam mengasuh anaknya, bahkan secara umum dianggap sebagai indikator berhasil tidaknya suatu peternakan. Faktor yang menentukan mortilitas antara lain jumlah anak per kelahiran, kondisi induk setelah melahirkan, kondisi lingkungan dan sistem perkawinan (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Eissen dan Durrant (1980) menyatakan bahwa salah satu penyebab tingginya persentase kematian anak sebelum disapih adalah adanya pemilihan berdasarkan jumlah anak per kelahiran dan seleksi indeks berdasarkan peningkatan jumlah anak per kelahiran yang tinggi serta pemilihan berdasarkan penurunan bobot badan umur enam minggu.
14
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober hingga Desember 2009, di Laboratorium Lapang (kandang C), Bagian Produksi Ternak Daging, Kerja dan Aneka Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP), Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor. Analisis ransum dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (INTP), IPB, Bogor. Materi Penelitian ini menggunakan hewan mencit (Mus musculus) siap kawin (umur 35 hari) sebanyak 60 ekor masing-masing terdiri dari 48 ekor betina dan 12 ekor jantan, ransum mencit komersial, air minum dan ransum perlakuan dengan ekstrak daun bangun-bangun yang dicetak dalam bentuk pellet. Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah timbangan digital, gelas plastik untuk menimbang mencit, sarung tangan, masker, sekam, botol air minum, tempat pakan, sikat botol, kandang (plastik kontainer) 44 buah yang terdiri atas 12 kandang koloni dan 32 buah kandang individu serta alat tulis. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisa dengan Analysis of Variance (ANOVA), dan jika perlakuan berpengaruh nyata terhadap peubah yang diukur atau diamati maka dilanjutkan dengan uji Tukey untuk mengetahui perbedaan perlakuan tersebut (Steel dan Torrie, 1993). Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola Faktorial 2 x 4 masing-masing dengan empat ulangan. Faktor pertama adalah taraf pemberian ekstrak daun bangun-bangun dalam ransum (0,00; 0,05; 0,10 dan 0,15%) dan faktor kedua adalah waktu pemberian yaitu pada kebuntingan umur 14 hari (H1) dan saat induk mencit setelah beranak (H2). Model matematika yang digunakan dalam penelitian ini ( Steel dan Torrie, 1993) adalah sebagai berikut:
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Keterangan : Yijk
: Nilai pengamatan faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j dan ulangan ke-k
µ
: Nilai rataan umum
αi
: Pengaruh taraf pemberian ekstrak daun bangun-bangun ke-i; i= 0,00; 0,05; 0,10 dan 0,15%
βj
: Pengaruh waktu pemberian ke-j; j = H1 (umur kebuntingan 14 hari) dan H2 (setelah beranak)
(αβ)ij
: Interaksi antara taraf dan waktu pemberian ekstrak daun bangun-bangun dalam ransum
εijk
: Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ke-j serta ulangan ke-k; 1, 2, 3 dan 4 Peubah yang Diamati Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi ransum induk,
litter size lahir, bobot lahir, produksi air susu induk (PASI) mencit, litter size sapih, bobot sapih, pertambahan bobot badan anak dan mortalitas anak selama menyusu. Konsumsi Ransum Induk Mencit (g/e/h) Konsumsi ransum adalah jumlah ransum yang dimakan oleh seekor induk mencit setiap hari. Perhitungan dilakukan setiap empat hari sekali dengan cara memisahkan antara sekam dengan sisa ransum. Konsumsi ransum diperoleh dari selisih antara jumlah ransum awal yang diberikan dengan jumlah ransum sisa. Ransum diberikan ad libitum (selalu tersedia). Produksi Air Susu Induk Mencit (g/induk/menyusui) Pengukuran produksi air susu induk mencit menurut Sari (2004) dimulai pada hari keempat setelah beranak, dilanjutkan dengan pengukuran setiap empat hari hingga hari ke-20. Umur empat hari dimaksudkan untuk menghindari kematian anak mencit pada saat penanganan serta tidak dimakan oleh induk. Pengukuran dilakukan dengan dua kali penimbangan. Penimbangan pertama dilakukan setelah anak mencit dipuasakan empat jam dengan memisahkan anak dari induknya. Setelah dipuasakan, anak mencit dibiarkan kembali menyusu selama satu jam. Penimbangan kedua dilakukan segera setelah anak menyusu selama satu jam pada induk. Produksi air 16
susu induk mencit diperoleh dari selisih bobot badan kelompok anak pada penimbangan sebelum dan sesudah menyusu pada induk. Litter Size Lahir (ekor) Litter size lahir didapatkan dengan menghitung jumlah anak mencit dari seperindukan pada saat anak mencit dilahirkan baik dalam keadaan hidup maupun mati. Bobot Lahir (g/ekor) Bobot badan lahir anak mencit diperoleh dari hasil penimbangan kelompok anak tiap induk per kelahiran kemudian dibagi dengan jumlah anak yang dilahirkan. Bobot lahir anak mencit ditentukan dengan rumus berikut :
Keterangan : xl
: bobot lahir kelompok anak tiap induk (g)
n
: jumlah anak yang dilahirkan (ekor)
Litter Size Sapih (ekor) Litter size sapih diperoleh dengan cara menghitung jumlah anak mencit dari seperindukan pada saat anak mencit telah berumur 21 hari (siap sapih). Bobot Sapih (g/ekor) Bobot sapih diperoleh dengan melakukan penimbangan anak mencit dari seperindukan pada saat mencit telah berumur 21 hari dan dibagi dengan jumlah anak (ekor). Bobot sapih anak mencit ditentukan dengan rumus berikut :
Keterangan : xs
: bobot sapih kelompok anak tiap induk (g)
n
: jumlah anak yang disapih (ekor)
Pertambahan Bobot Badan Anak Mencit (g/e/h) Pengukuran pertambahan bobot badan anak mencit dilakukan setiap empat hari sekali dimulai sejak anak mencit dilahirkan hingga disapih. Pertambahan bobot badan anak diperoleh dari selisih bobot badan anak pada saat penimbangan dengan bobot badan anak mencit pada empat hari sebelumnya kemudian dibagi dengan 17
jumlah anak. Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui laju pertumbuhan anak mencit yang kemudian digambarkan dengan grafik pertumbuhan. Pertambahan bobot anak mencit ditentukan dengan rumus berikut :
Keterangan : xb
: bobot badan kelompok anak mencit pada saat pengukuran (g)
xa
: bobot badan kelopok anak mencit pada empat hari sebelumnya (g)
n
: jumlah anak mencit seperindukan (ekor)
Mortalitas (%) Mortalitas merupakan jumlah anak mencit yang mati dari seluruh jumlah populasi anak mencit yang ada, diperoleh dengan menghitung jumlah anak mencit yang mati dari seperindukan selama penelitian. Persentase mortalitas didapatkan dengan membagi jumlah anak mencit yang mati dengan jumlah keseluruhan anak mencit seperindukan kemudian dikalikan 100%. Mortalitas anak mencit ditentukan dengan rumus berikut :
Keterangan : y
: jumlah anak mencit mati seperindukan (ekor)
n
: jumlah seluruh anak mencit seperindukan (ekor) Prosedur
Tahap Persiapan Ransum Tahapan dalam penyiapan ransum penelitian meliputi pembuatan ekstrak daun bangun-bangun dari daun segar dan pembuatan ransum penelitian
Pembuatan Ekstrak Daun Bangun-bangun (EDB). Pembuatan serbuk berdasarkan Hutajulu et al. (2008) diawali dengan membuat ekstrak daun bangunbangun cair. Proses pembuatan ekstrak daun bangun-bangun cair adalah sebagai berikut. Daun bangun-bangun dipisahkan dari tangkai kemudian ditimbang. Setelah itu daun dicuci dengan air mengalir dan ditiriskan selama satu malam. Daun bangunbangun yang telah ditiriskan semalaman, dicacah dengan menggunakan mesin dan 18
ditambah air aquades. Ekstrak daun bangun-bangun (EDB) cair akan terpisah dari ampas daun. Ekstrak serbuk didapatkan dengan cara EDB cair ditambahkan dengan bahan pengisi (maltodekstrin) sebanyak 10% dari berat EDB cair, kemudian kedua bahan tersebut dihomogenisasi. Setelah homogen, dimasukkan kedalam mesin spray dryer pada suhu inlet 250oC dan suhu outlet 80-85oC. Proses pembuatan serbuk EDB secara sistematis tersaji pada Gambar 3. EDB cair + 10% Maltodextrin
Dihomogenkan secara manual
Dimasukkan kedalam mesin Spray dryer pada suhu inlet 250oC dan suhu outlet 80-85oC
Gambar 3. Diagram Alur Proses Pembuatan Serbuk EDB
Pembuatan Ransum Perlakuan. Ransum perlakuan terdiri dari ransum komersial yang diberikan ekstrak daun bangun-bangun dengan taraf sebagai berikut : R1 : Ransum komersial 100%+ekstrak daun bangun-bangun (0%) R2 : Ransum komersial 99,95%+ekstrak daun bangun-bangun (0,05%) R3 : Ransum komersial 99,9%+ekstrak daun bangun-bangun (0,10%) R4 : Ransum komersial 99,85%+ekstrak daun bangun-bangun (0,15%) Ransum komersial mencit berbentuk pellet digiling terlebih dahulu, kemudian dicampur dengan ekstrak daun bangun-bangun sesuai dengan taraf perlakuan. Dalam proses ini perlu ditambahkan 250 ml air hangat (±50oC) per 2,5 kg campuran agar dapat dicetak oleh mesin menjadi bentuk pellet. Setelah homogen, dicetak menjadi pellet. Kemudian, pellet dimasukkan ke dalam oven pada suhu 65oC selama lima jam agar kadar airnya berkurang. Kadar air yang rendah pada pellet dapat meningkatkan
19
umur simpannya dan meningkatkan palatabilitas. Proses pelleting ransum mencit tersaji pada Gambar 4. Ransum komersial mencit dalam bentuk pellet kemudian digiling
0,05; 0,10; dan 0,15% EDB dicampur kedalam ransum dengan ditambahkan air 250 ml air hangat (± 50oC)
Dihomogenkan dengan mesin
Dimasukkan ke dalam mesin pencetak pellet hingga terbentuk pellet.
Dimasukkan ke dalam oven pada suhu 65oC selama lima jam.
Gambar 4. Proses Pelleting Ransum Mencit. Tahap Penelitian Tahapan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu meliputi persiapan kandang, identifikasi dan penimbangan bobot awal mencit. Persiapan Kandang. Kandang beserta semua peralatan yang digunakan dibersihkan dengan cara dicuci menggunakan sabun dan disterilkan dengan alkohol 70%, kemudian alas kandang dilapisi dengan sekam padi setebal kira-kira 1-2 cm atau sebanyak 50 gram tiap baki. Setiap kandang diberi label sesuai dengan perlakuan.
20
Identifikasi dan Penimbangan Bobot Awal Mencit. Setiap ekor mencit diidentifikasi jenis kelaminnya. Penimbangan mencit dilakukan setelah proses identifikasi. Pelaksanaan Penelitian Mencit betina dikawinkan dengan pejantan yang ditempatkan dalam satu kandang dengan perbandingan 4:1, yaitu empat ekor mencit betina dengan seekor mencit jantan. Mencit betina dipisahkan dari kandang kawin jika mencit diperkirakan telah bunting 14 hari dengan tanda perut mencit betina membesar. Pemberian ransum perlakuan dimulai pada hari ke-14 kebuntingan (H1) dan setelah induk mencit beranak (H2), dimana sebelumnya mencit mengkonsumsi ransum komersial atau tanpa penambahan ekstrak daun bangun-bangun. Ransum dan air minum diberikan ad libitum (selalu tersedia). Alas sekam diberikan pada setiap kandang dan diganti setiap empat hari sekali. Air minum ditempatkan pada botol yang pada bagian tutupnya telah dimodifikasi dengan diberi pipa aluminium agar mencit dapat menghisap air dari pipa tersebut.
21
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Kandang Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Kandang C, Bagian Produksi Ternak Daging, Kerja dan Aneka Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP), Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Laboratorium ini terdiri atas empat bangunan yang digunakan untuk pemeliharaan mencit dan tikus putih, pemeliharaan kelinci, pengembangan ulat sutera liar dan sebagai tempat beristirahat petugas kandang. Kondisi bangunan kandang cukup baik dengan ketersediaan air yang cukup memadai. Kandang yang digunakan selama penelitian dalam kondisi cukup baik, setelah sebelumnya diperbaiki karena terdapat beberapa bagian kawat kandang yang telah berlubang akibat rapuh. Perawatan kandang dilaksanakan dengan melakukan pembersihan kandang, bak penampungan air, botol minum, penggantian plastik kontainer (baki kandang mencit) dan pencucian plastik kontainer yang telah digunakan. Pemeliharaan mencit dilakukan pada tiga rak yang masing-masing bertingkat tiga, dimana tidak semua bagian rak dapat digunakan karena terdapat lubang pada kawat yang tidak dapat ditutup. Rak pertama digunakan sebagai tempat kawin mencit, rak kedua digunakan sebagai tempat mencit dengan pemberian ransum perlakuan mulai hari ke-14 kebuntingan (H1) dan rak yang ketiga digunakan sebagai tempat mencit dengan pemberian ransum perlakuan pada saat induk mencit beranak (H2). Setiap plastik kontainer (kandang) yang digunakan diberi label sesuai dengan perlakuan taraf dan hari pemberian. Penempatan kandang kawin pada penelitian tersaji pada Gambar 5. Mencit Mencit yang digunakan untuk penelitian dalam kondisi sehat. Mencit jantan dan betina yang digunakan berumur ± 35 hari atau siap kawin. Saat mencit betina mencapai umur kebuntingan 14 hari, mencit tersebut dipisahkan dari pejantan, kemudian ditempatkan dalam kandang plastik kontainer agar mencit betina tidak terganggu selama bunting hingga beranak. Induk mencit dapat melahirkan anak berkisar antara satu hingga 10 ekor anak per kelahiran.
Kematian anak terjadi beberapa hari setelah dilahirkan. Kematian anak mencit setelah dilahirkan disebabkan oleh timbulnya sifat kanibalisme induk, yaitu tingkah laku induk memakan anaknya. Sifat kanibalisme disebabkan terganggunya induk mencit setelah beranak, karena seringnya dilakukan penimbangan anak mencit setiap empat hari sekali. Sesuai dengan pernyataan Malole dan Pramono (1989) bahwa sifat kanibal pada mencit jarang terjadi kecuali apabila induk yang baru melahirkan diganggu.
Gambar 5. Rak Kandang Kawin Mencit Suhu dan Kelembaban Faktor lingkungan (suhu dan kelembaban) sangat mempengaruhi psikologis maupun fisiologis hewan dan ternak. Menurut Malole dan Pramono (1989) apabila kondisi lingkungan tidak sesuai, maka produktivitas yang dicapai tidak akan optimal. Selain itu suhu dan kelembaban juga dapat mempengaruhi sifat hewan yang berpengaruh pada konsumsi ransumnya (Parakkasi, 1999). Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan selama penelitian berlangsung, dengan menggunakan alat termohigrometer yang ditempatkan di dinding dalam kandang. Rataan suhu di dalam kandang berkisar antara 21-31oC dengan kelembaban berkisar antara 54-88%. Menurut Malole dan Purnomo (1989) suhu dan kelembaban yang ideal untuk pertumbuhan mencit masing-masing berkisar antara 21-29oC dan 30-70% dalam kandang. Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh kisaran suhu dan kelembaban yang sedikit lebih tinggi daripada kisaran suhu ideal untuk pertumbuhan mencit. Biasanya suhu panas tersebut terjadi pada siang hari, sedangkan kelembaban tertinggi terjadi pada pagi hari. Menurut Vincent (1972) suhu lingkungan yang tinggi akan mempengaruhi produktivitas ternak. Hal tersebut terjadi karena rangsangan 23
panas yang diterima dapat mempengaruhi hipotalamus yang merupakan pusat pengaturan mekanisme homeostasis, kerja endokrin, jumlah makanan dan jumlah air yang dikonsumsi serta osmoregulator. Ransum Ransum yang digunakan pada penelitian ini adalah ransum komersial mencit dan ekstrak daun bangun-bangun (EDB). Daun bangun-bangun yang digunakan diperoleh dari pedagang sayuran di Pasar Senen, Jakarta Pusat. Acuan yang digunakan dalam menentukan kualitas nutrisi bahan makanan dan untuk menghitung komponen zat makanan adalah hasil analisis proksimat. Hasil analisis proksimat ransum dan EDB yang digunakan pada penelitian tersaji pada Tabel 5. Tabel 5. Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian dan Ekstrak Daun Bangun-bangun Ransum
BK
Abu
PK
SK
LK
Beta-N
----------------------------------------%---------------------------------0,00% EDB (R0)
86,08
7,93
17,74
5,38
3,49
51,54
0,05% EDB (R1)
88,20
9,90
16,91
8,03
3,48
47,28
0,10% EDB (R2)
85,73
9,60
16,69
7,83
3,47
48,14
0,15% EDB (R3)
86,06
9,56
17,20
6,59
2,71
50,00
Serbuk EDB
92,21
1,53
5,05
0,10
0,07
85,46
Keterangan : BK = Bahan Kering; PK = Protein Kasar; SK : Serat Kasar; LK = Lemak Kasar; Beta-N = Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen Sumber : Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan (INTP),Fakultas Peternakan, IPB (2009)
Berdasarkan hasil analisis proksimat didapatkan bahwa penambahan berbagai taraf EDB dalam ransum mengakibatkan perubahan komposisi kandungan zat makanan ransum yang terjadi secara tidak teratur. Ketidakteraturan perubahan tersebut dapat dikarenakan oleh ketidakhomogenan saat pencampuran EDB dengan ransum mencit komersial saat proses pembuatan pellet. Kualitas nutrisi bahan makanan merupakan faktor utama dalam pemilihan dan penggunaan bahan makanan tersebut sebagai sumber zat makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksinya (Herman, 2003). Kebutuhan abu pada mencit berkisar antara 5-6% dari total ransum (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Kadar abu dalam ransum yang digunakan pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan kadar abu yang direkomendasikan oleh 24
Smith dan Mangkoewidjojo (1988), yaitu R0 (7,93%); R1 (9,90%); R2 (9,60%) dan R3 (9,56%). Penambahan EDB dalam ransum dapat meningkatkan kadar abu ransum. Kadar abu yang terkandung di dalam ekstrak daun bangun-bangun adalah 1,53%. Kadar tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar abu pada tepung daun bangun-bangun yaitu 12,90% (Wardani, 2007). Proses ekstraksi dapat menurunkan kadar abu yang terdapat pada daun bangun-bangun. Kebutuhan mencit akan protein kasar menurut Smith dan Mangkoewidjojo, (1988) adalah 20-25%. Kandungan protein kasar dalam ransum penelitian adalah R0 (17,74%); R1 (16,91%); R2 (16,69%) dan R3 (17,20%) atau jauh dibawah kebutuhan mencit akan protein kasar. Penggunaan EDB pada ransum perlakuan R1, R2 dan R3 terlihat cenderung menurunkan kadar protein kasar pada ransum akan tetapi penurunannya tidak teratur. Ransum R2 (16,69%) seharusnya lebih tinggi daripada (16,91%) R1. Kandungan protein kasar dalam EDB adalah 5,05%. Kadar tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar protein kasar yang terdapat pada tepung daun bangun-bangun yaitu 26,43% (Wardani, 2007). Mencit dewasa membutuhkan lemak kasar sebanyak 5% (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Berdasarkan hasil analisis proksimat didapatkan kandungan lemak kasar pada ransum adalah R0 (3,49%); R1 (3,48%); R2 (3,47%) dan R3 (2,71%) yang terlihat cenderung menurun pada R1, R2 dan R3 dibandingkan dengan R0 tetapi penurunannya tidak teratur. Kandungan lemak kasar dalam ransum tersebut lebih rendah daripada kebutuhan mencit dewasa yang direkomendasikan. Rendahnya kandungan lemak kasar kemungkinan disebabkan bahan pakan yang digunakan dalam menyusun ransum memiliki kandungan lemak yang rendah. Tingkat kandungan lemak yang tinggi dapat mengakibatkan ransum mudah rusak karena lemak akan teroksidasi sehingga menyebabkan ransum menjadi berbau tengik. Ransum yang berbau tengik dapat menurunkan tingkat palatabilitas ransum tersebut. Kandungan serat kasar dalam ransum yang digunakan pada penelitian R 0, R1, R2 dan R3 masing-masing adalah 5,38; 8,03; 7,83; dan 6,59%. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) mencit dewasa membutuhkan serat kasar maksimal 5%. Berdasarkan hal tersebut, maka kandungan serat kasar pada ransum penelitian lebih tinggi daripada kebutuhan maksimal mencit dewasa. Pemberian EDB dalam ransum cenderung meningkatkan kandungan serat kasar. Semakin tinggi taraf penggunaan
25
EDB, semakin rendah kandungan serat kasar dalam ransum. Kadar serat kasar dalam ransum penelitian jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan yang terdapat pada tepung daun bangun-bangun yaitu 22,43% (Wardani, 2007). Pengaruh Perlakuan terhadap Peubah yang Diamati Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi ransum induk mencit, litter size lahir, bobot lahir, produksi air susu induk, litter size sapih, bobot sapih, pertambahan bobot badan anak dan mortalitas selama menyusu. Konsumsi Ransum Induk Mencit Konsumsi ransum induk adalah jumlah ransum yang dimakan oleh seekor induk mencit setiap hari. Jumlah ransum tersebut didapatkan dari hasil pengurangan antara jumlah ransum yang diberikan dengan ransum yang tersisa pada tempat pakan dan sekam. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rataan konsumsi ransum induk mencit selama penelitian adalah 8,54±1,00 g/e/h (Tabel 6). Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yang menyebutkan bahwa mencit dewasa memerlukan ransum 3-5 g tiap harinya sedangkan mencit bunting dan laktasi mengkonsumsi lebih banyak ransum. Ransum yang dikonsumsi akan digunakan dalam proses produksi air susu dan untuk pertumbuhan induk itu sendiri. Rataan hasil penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan penelitian Wardani (2007) yang menggunakan tepung daun bangun-bangun yaitu 9,13±1,05 g/e/h. Rataan konsumsi ransum induk mencit menurut perlakuan selama penelitian selengkapnya tersaji dalam Tabel 6. Berdasarkan hasil analisis ragam didapatkan bahwa taraf pemberian EDB dalam ransum berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi ransum induk mencit. Uji Tukey menunjukkan taraf EDB dalam ransum R1, R2 dan R3 berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan ransum R0, namun antara ketiganya tidak berbeda nyata. Pemberian EDB pada taraf 0,10% (R2) memiliki rataan konsumsi ransum tertinggi (8,18±0,36 g/e/h) dibandingkan dengan taraf perlakuan lainnya selain perlakuan kontrol. Pemberian EDB dalam ransum dapat menurunkan konsumsi ransum mencit. Penurunan konsumsi ini disebabkan EDB dapat menurunkan palatabilitas. Sesuai dengan pernyataan Sutardi (1981) bahwa faktor umum yang dapat mempengaruhi konsumsi ransum adalah palatabilitas ternak terhadap ransum
26
yang diberikan. Penurunan palatabilitas terjadi akibat EDB memiliki sifat aromatik (Depkes, 1989), sehingga konsumsi ransum yang mengandung EDB tidak setinggi ransum kontrol. Menurut Smith dan Mangkowidjojo (1988), mencit yang mengkonsumsi pakan dengan kualitas yang berubah dapat menyebabkan penurunan berat badan dan tenaga. Tabel 6. Rataan Konsumsi Ransum Mencit Ransum
Waktu Pemberian H1
H2
Rataan
----------------------------------g/e/h------------------------------------------0,00% EDB (R0)
9,58±0,86
9,95±0,66
9,76±0,74A
0,05% EDB (R1)
8,17±0,87
8,02±0,75
8,09±0,75B
0,10% EDB (R2)
8,38±0,43
7,97±0,08
8,18±0,36B
0,15% EDB (R3)
8,50±1,25
7,77±0,37
8,13±1,00B
Rataan
8,66±0,98
8,42±1,03
8,54±1,00
Keterangan : Superskrip dengan huruf besar berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0,01). H1= kebuntingan hari ke-14; H2 = saat setelah beranak Koefisien Keragaman (KK) = 8,68%
Waktu pemberian ransum yang mengandung EDB pada mencit tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum, meskipun rataan konsumsi ransum mencit yang diberi pada H1 lebih tinggi dibandingkan dengan H2 masing-masing 8,66±0,98 dan 8,42±1,03 g/e/h, namun tidak berbeda nyata secara statistik. Hal ini dikarenakan mencit yang diberi perlakuan pada H1 telah beradaptasi dengan ransum perlakuan, sedangkan pada H2 terjadi perubahan pemberian ransum yang tiba-tiba sehingga mengakibatkan tingkat kesukaan mencit terhadap ransum lebih rendah. Tidak terjadi interaksi antara taraf dan waktu pemberian ransum dengan EDB terhadap konsumsi ransum induk. Konsumsi ransum induk mencit tertinggi dan terendah masing-masing terjadi pada perlakuan R0H2 (9,95±0,66 g/e/h) dan R3H2 (7,77±0,37 g/e/h). Kebutuhan energi hewan pada saat laktasi lebih banyak maka induk laktasi perlu meningkatkan konsumsi pakan demi terpenuhinya kebutuhan nutrisi bagi pertumbuhan dan peningkatan bobot badan anak. Silitonga (1993) menjelaskan bahwa pada awal kelahiran, anak memerlukan energi sekitar 10% dari konsumsi
27
energi netto induk melalui sintesis air susu, namun saat puncak laktasi anak memerlukan energi sekitar 80% dari konsumsi energi netto induk. Selain itu induk juga membutuhkan cukup nutrisi untuk pertumbuhannya. Banyak faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum pada hewan ternak, salah satunya adalah suhu lingkungan penelitian. Suhu yang tinggi selama penelitian (21-31oC) menyebabkan mencit mengalami stress sehingga konsumsi ransum menurun. Menurut NRC (1995), penurunan konsumsi ransum merupakan upaya mencit untuk mempertahankan kondisi tubuhnya agar berada dalam keadaan normal karena konsumsi ransum yang tinggi menyebabkan naiknya suhu tubuh akibat proses pencernaan, sehingga dalam kondisi tersebut mencit akan lebih banyak mengkonsumsi air minum daripada mengkonsumsi ransum. Koefisien keragaman (KK) yang rendah pada konsumsi ransum induk (8,68%) menandakan bahwa rataan konsumsi ransum induk seragam atau dengan kata lain respon induk mencit terhadap ransum perlakuan yang diberikan pada setiap individu sama. Litter Size Lahir Litter size lahir adalah jumlah anak yang hidup dan mati saat dilahirkan. Rataan litter size lahir yang didapatkan pada penelitian adalah 6,03±2,21 ekor dengan koefisien keragaman (KK) = 36,41%. Rataan litter size lahir selama penelitian diperlihatkan dalam Tabel 7. Rataan litter size lahir (6,03±2,21 ekor) yang diperoleh masih dalam kisaran rataan litter size lahir mencit menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yaitu 6-15 ekor per kelahiran. Banyak faktor yang mempengaruhi litter size lahir diantaranya umur induk, kualitas dan kuantitas pakan, kondisi induk saat dikawinkan, pejantan yang diigunakan, sistem perkawinan (Eissen, 1980) kematian fetus maupun kehilangan sel telur yang telah dibuahi, kemampuan uterus menampung fetus, sifat genetik, pengaruh silang dalam dan jumlah sel telur yang dihasilkan (Warwick et al., 1991). Hasil penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Wardani (2007), yaitu 8,57±2,16 ekor yang menggunakan tepung daun bangunbangun.
28
Tabel 7. Rataan Litter Size Lahir Mencit Waktu Pemberian
Ransum
H1
H2
Rataan
----------------------------------------ekor-----------------------------------0,00% EDB (R0)
7,00±1,83
3,75±2,06
5,38 ± 2,50
0,05% EDB (R1)
6,00±2,16
5,25±1,89
5,63 ± 1,92
0,10% EDB (R2)
6,75±1,71
5,75±2,22
6,25 ± 1,91
0,15% EDB (R3)
7,00±2,71
6,75±2,75
6,88 ± 2,53
Rataan
6,69±1,96
5,38±2,30
6,03±2,21
Keterangan : H1 = kebuntingan hari ke-14; H2 = saat setelah beranak Koefisien Keragaman (KK) = 36,41%
Pemberian EDB dalam ransum dengan taraf dan waktu yang berbeda serta interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap litter size lahir. Ransum perlakuan yang mengandung EDB yang diberikan pada kebuntingan 14 hari dan setelah lahir dimana ovulasi sel telur telah terjadi, sehingga ransum perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap litter size lahir anak. Rataan litter size lahir berdasarkan perlakuan selama penelitian diperjelas pada Gambar 6. Gambar 6 menunjukkan bahwa taraf penggunaan EDB yang semakin tinggi dalam ransum menghasilkan litter size lahir yang semakin tinggi pula kecuali pada perlakuan R0H1. Hafez (1969) menyatakan bahwa litter size tikus dan mencit akan meningkat setelah paritas pertama atau pada paritas ke 2-8, namun setelah paritas ke-8 akan berangsur-angsur menurun. Litter size lahir bergantung pada umur dan ukuran tubuh induk, sedangkan nutrisi induk akan menentukan ukuran tubuh atau rataan bobot lahir anak. Umur yang terlalu tua atau muda menyebabkan penurunan jumlah anak per kelahiran sedangkan ukuran tubuh yang terlalu kecil mempengaruhi jumlah anak per kelahiran (Kon dan Cowie, 1961).
29
8
Litter Size Lahir Anak (ekor)
7
7
6,75
7 6 6
5,35
6,75
5,75
5 4
3,75
H1 H2
3 2 1 0 R0
R1
R2
R3
Ransum dengan Taraf EDB Berbeda
Gambar 6. Rataan Litter Size Lahir Anak Mencit Bobot Lahir Bobot lahir adalah bobot badan suatu individu pada saat dilahirkan yang diperoleh dengan menimbang kelompok anak dari tiap induk per kelahiran kemudian dibagi dengan jumlah anak yang dilahirkan. Rataan bobot lahir yang didapatkan pada penelitian adalah 1,56 ± 0,35 g/ekor dengan koefisien keragaman (KK) 39,09%. Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Wardani (2007) yaitu 1,45 ± 0,17 g/ekor dengan litter size lahir 8,57±2,16 ekor menggunakan tepung daun bangun-bangun. Bobot lahir anak mencit menurut Malole dan Pramono (1989) berkisar antara 0,5-1,5 g/ekor. Rataan hasil penelitian yang didapatkan termasuk tinggi, mungkin disebabkan oleh litter size lahir yang rendah (6,03±2,21 ekor). Semakin tinggi bobot lahir anak mencit menandakan bahwa kemampuan fetus dalam menggunakan makanan yang diberikan oleh induknya selama dalam uterus semakin baik. Selain itu juga, nutrisi yang terkandung dalam ransum selama masa bunting mampu memenuhi kebutuhan induk dan pertumbuhan janin. Hasil penelitian Wardani (2007) yang menggunakan tepung daun bangunbangun menunjukkan bahwa semakin tinggi taraf penggunaan tepung daun bangunbangun menghasilkan bobot lahir anak mencit semakin rendah. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian ini, maka penggunaan EDB mampu mempengaruhi bobot lahir anak mencit dibandingkan dengan tepung daun bangun-bangun. Rataan bobot lahir selama penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 8. 30
Berdasarkan analisis ragam didapatkan hasil bahwa taraf dan waktu pemberian ransum dengan EDB serta interaksi antara kedua faktor tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap bobot lahir anak mencit. Konsumsi daun bangun-bangun dapat meningkatkan berat badan bayi secara signifikan dibanding dengan kelompok lancar ASI, kontrol maupun Moloco+B12 (Santosa, 2001). Rataan bobot lahir anak mencit tertinggi diperoleh pada pemberian 0,15% EDB dalam ransum (R3) yaitu 1,66 ± 0,43 g/ekor. Dapat dikatakan, semakin tinggi taraf pemberian EDB dalam ransum cenderung menghasilkan bobot lahir mencit yang semakin tinggi kecuali pada taraf pemberian 0,10% EDB dengan bobot lahir 1,49±0,27 g/e, kemungkinan hal tersebut terkait dengan litter size lahir yang tinggi (6,25±1,91 ekor). Pemberian EDB pada H1 (kebuntingan ke-14 hari) memiliki rataan bobot lahir yang lebih tinggi (1,61±0,33 g/e) dibandingkan pada H2 (setelah beranak) (1,51±0,38 g/e). Hal tersebut berarti bahwa ransum perlakuan yang diberikan kepada induk mencit saat bunting (H1) lebih mampu memenuhi kebutuhan nutrisi induk dan anak sehingga bobot lahir anak yang didapatkan tinggi. Tabel 8. Rataan Bobot Lahir Anak Mencit Ransum
Waktu Pemberian H1
H2
Rataan
---------------------------------------g/e----------------------------------------0,00% EDB (R0)
1,52±0,21
1,52±0,45
1,52 ± 0,33
0,05% EDB (R1)
1,44±0,26
1,70±0,54
1,57 ± 0,42
0,10% EDB (R2)
1,63±0,08
1,35±0,34
1,49 ± 0,27
0,15% EDB (R3)
1,84±0,55
1,48±0,18
1,66 ± 0,43
Rataan
1,61±0,33
1,51±0,38
1,56±0,35
Keterangan : H1 = kebuntingan hari ke-14; H2 = saat setelah beranak Koefisien Keragaman (KK) = 39,09%
Tingginya bobot lahir sangat dipengaruhi oleh jumlah litter size lahir anak mencit. Semakin tinggi litter size lahir anak, maka bobot anak yang dilahirkan pun akan rendah. Penyebabnya adalah terjadinya persaingan dalam mendapatkan nutrisi selama dalam uterus induknya.
31
Produksi Air Susu Induk (PASI) Mencit Sintesis maupun pengeluaran air susu dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal meliputi temperatur lingkungan, konsumsi pakan dan sebagainya, sedangkan faktor internal meliputi absorbsi zat-zat makanan oleh kelenjar mammae dari darah dan pengaruh hormon (Mepham, 1987). Produksi air susu mencit dapat diukur secara tidak langsung berdasarkan pertumbuhan anak mencit. Induk mempunyai pengaruh besar terhadap bobot badan kelompok anak, maka pengukuran produksi susu induk mencit dapat didekati berdasarkan bobot kelompok anak (Silitonga, 1993). Pengukuran produksi air susu induk mencit menurut Sari (2004), dimulai pada hari keempat setelah beranak, dilanjutkan dengan pengukuran setiap empat hari hingga hari ke-20. Umur empat hari dimaksudkan untuk menghindari kematian anak mencit pada saat penanganan serta tidak dimakan oleh induk. Karena induk mencit yang menyusui akan mempertahankan sarangnya dan jika anaknya dipegang dengan tangan kotor maka anak tersebut akan dimakan oleh induknya (Malole dan Pramono, 1989). Hasil penelitian mendapatkan rataan produksi air susu induk setiap menyusui anak adalah 0,45±0,12 g/e/menyusui dengan koefisien keragaman (KK) 27,16%. Tabel 9 selengkapnya menyajikan rataan produksi air susu induk mencit selama penelitian. Hasil penelitian ini lebih tinggi jika dibadingkan dengan hasil penelitian Wardani (2007) (0,10±0,05 g/e/menyusui) dan Silitonga (2008) (0,270±0,145 g/e/menyusui) dimana masing-masing menggunakan tepung daun bangun-bangun dan sup daun bangun-bangun. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun bangunbangun (EDB) dalam ransum pada taraf dan waktu yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap produksi air susu induk (PASI). Pemberian 0,10% EDB dalam ransum memiliki rataan PASI yang lebih tinggi (0,50±0,09 g/induk/menyusui) dibandingkan dengan induk mencit yang diberi ransum perlakuan lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa 0,10% EDB dalam ransum dapat meningkatkan PASI mencit dibandingkan dengan taraf lain yang digunakan. Rataan produksi air susu induk dengan taraf EDB dalam ransum yang diberikan pada hari kebuntingan ke-14 (H1) lebih tinggi dibandingkan dengan saat beranak (H2) masing-masing 0,51±0,13 dan 0,40±0,11 g/induk/menyusui.
32
Tingginya PASI pada H1 dikarenakan konsumsi ransum oleh induk mencit juga lebih tinggi dibandingkan pada H2 masing-masing 8,66±0,98 dan 8,42±1,03 g/ekor/hari. Tidak terdapat interaksi antara kedua faktor perlakuan terhadap PASI mencit. Salah satu faktor yang mempengaruhi PASI mencit adalah konsumsi ransum induk. Semakin tinggi konsumsi ransum oleh induk maka akan semakin tinggi produksi air susu induk. Tabel 9. Rataan Produksi Air Susu Induk (PASI) Mencit Ransum
Waktu Pemberian H1
H2
Rataan
-----------------------------g/induk/menyusui------------------------------0,00% EDB (R0)
0,55±0,20
0,38±0,19
0,47 ± 0,20
0,05% EDB (R1)
0,39±0,13
0,42±0,04
0,40 ± 0,09
0,10% EDB (R2)
0,52±0,07
0,48±0,12
0,50 ± 0,09
0,15% EDB (R3)
0,46±0,09
0,42±0,01
0,44 ± 0,06
Rataan
0,51±0,13
0,40±0,11
0,45±0,12
Keterangan: H1 = kebuntingan hari ke-14; H2 = saat setelah beranak Koefisien Keragaman (KK) = 27,16%
Faktor lain yang mempengaruhi PASI mencit adalah litter size anak yang hidup hingga disapih. Stimulus isapan anak pada puting akan menimbulkan signyal yang akan merangsang sekresi hormon oksitosin. Oksitosin yang dilepaskan akan diangkut oleh darah ke ambing untuk merangsang kontraksi sel-sel mioepitel yang mengelilingi dinding luar alveoli sehingga sekresi air susu terjadi (Santosa, 2001). Menurut Neville (2007) anak yang menyusu akan mengaktifkan neurohormonal secara refleks sehingga hypothalamus (posterior pituitary) akan melepas oksitosin. Pernyataan tersebut dipertegas oleh Wright dan Branner (1994), bahwa hormon oksitosin akan meningkat karena perangsangan puting secara manual, penyusuan dan pada manusia dapat disebabkan oleh tangisan atau suara bayi. Litter size anak yang menyusu hingga disapih pada induk mencit yang diberi ransum R2 (5,36±1,60 ekor) lebih tinggi dibandingkan dengan mencit yang diberi ransum R0 (3,50±2,07 ekor) dan R1 (3,21±1,67 ekor). Semakin tinggi litter size anak menyusu, maka akan semakin banyak stimulus yang diberikan pada puting yang mengakibatkan sekresi air susu meningkat. Parakkasi (1999) menjelaskan bahwa semakin banyak anak 33
menyusu cenderung meningkatkan produksi air susu induk walaupun tidak menjamin kebutuhan optimum dari anak-anak tersebut. Faktor eksternal lain yang berpengaruh terhadap PASI adalah temperatur lingkungan. Temperatur yang tinggi akan mengakibatkan mencit mengalami gangguan psikologis berupa stress. Faktor psikologis induk yang sedang laktasi sangat berpengaruh terhadap produksi air susu induk. Menurut Mephan (1987), sapi yang mengalami stress akan membutuhkan tambahan sebanyak 1% kalium untuk mencegah penurunan sekresi air susu. Oleh sebab itu, lingkungan pemeliharaan harus dikondisikan dengan baik agar terhindar dari stress. Temperatur lingkungan tempat penelitian berlangsung relatif tinggi yaitu 21-31oC dengan kelembaban berkisar antara 54-88% dibandingkan dengan suhu yang ideal bagi pertumbuhan mencit menurut Malole dan Purnomo (1989) yaitu berkisar antara 21-29oC dengan kelembaban 30-70% dalam kandang, sehingga didapatkan pertumbuhan anak mencit dan PASI yang kurang optimal. Gambar 7 menunjukkan rataan PASI mencit setiap waktu pengukuran selama penelitian.
0,8
R0H1 R1H1 R2H1
0,6
R3H1 R0H2 0,4
R1H2 R2H2 R3H2
0,2 4
8
12
16
20
Pengukuran PASI hari ke- Menyusui
Gambar 7. Grafik Rataan Produksi Air Susu Induk Mencit Berdasarkan grafik pada Gambar 7 dapat diketahui bahwa produksi air susu induk dengan perlakuan R2H1, R0H2, R1H2, R2H2 dan R3H2 mengalami peningkatan hingga hari ke-12 menyusui yang merupakan puncak PASI dan selanjutnya akan menurun, namun pada R0H1 mencapai puncak PASI lebih awal yaitu pada hari ke-8 dan menurun pada hari selanjutnya. Perlakuan R1H1 mengalami produksi yang relatif 34
stabil pada hari ke-8 hingga ke-12 dan mengalami peningkatan pada hari ke-16. Sedangkan perlakuan R3H1 mengalami peningkatan pada hari ke-8 dan menurun pada hari ke-12 dan selanjutnya meningkat kembali pada hari ke-16. Knight dan Peaker (1982) menyatakan bahwa produksi air susu tikus meningkat mulai dari hari kedua hingga hari ketujuh dan mencapai puncak antara hari ke-7 dan ke-14, dan kemudian akan mengalami penurunan. Hal tersebut terjadi karena pada hari kelima setelah beranak populasi sel sekretori akan meningkat dua kali lipat dibandingkan pada hari terakhir kebuntingan. Munford (1963) menemukan bahwa pada tikus aktivitas kelenjar mammae mencapai pucak pada hari ke-8 dan ke-14 sesudah beranak. Aktivitas kelenjar tersebut ditunjukkan dengan meningkatnya kadar DNA kelenjar selama kebuntingan dan laktasi. Oleh karena itu, produksi air susu sangat dipengaruhi oleh jumlah populasi sel epitel serta jumlah sel sekretori dalam kelenjar mammae. Semakin besar aktivitas dan populasi sel kelenjar mammae, maka produksi susu akan mengalami peningkatan dan sebaliknya penurunan produksi susu disebabkan adanya penurunan aktivitas sintesis sel. Pada hari ke-16 dimana produksi air susu mulai menurun hingga hari ke-20 disebabkan mulai terjadi penurunan aktivitas sel sekretori. Produksi air susu yang tertinggi berdasarkan Gambar 7 dicapai oleh R2H1. Dapat dikatakan bahwa pemberian pada taraf 0,10% EDB meningkatkan produksi air susu dibandingkan dengan taraf yang lain dan kontrol. Hasil tersebut membuktikan bahwa zat aktif yang terkandung didalam EDB pada taraf tersebut dapat mempengaruhi aktivitas sel sekretori. Sesuai dengan hasil penelitian Silitonga (1993) bahwa pemberian ekstrak daun jinten secara oral dapat meningkatkan total produksi air susu pada tikus laktasi yang dikarenakan oleh meningkatnya aktivitas sel epitel dan metabolisme kelenjar mammae yang ditandai dengan meningkatnya kadar DNA dan RNA kelenjar mammae dan menurunnya konsentrasi T4 serta glukosa serum. Hasil yang sama dikemukakan oleh Santosa (2001) bahwa kelompok ibu-ibu menyusui yang mengkonsumsi daun bangun-bangun nyata menghasilkan total volume ASI lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang mengkonsumsi kaptab lancar ASI dan pil Moloco+B12.
35
Litter Size Sapih Litter size sapih adalah jumlah anak yang hidup hingga pada umur sapih tertentu (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Rataan litter size sapih anak mencit pada penelitian ini adalah 4,47±2,09 ekor dengan koefisien keragaman (KK) 39,09%. Hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Wardani (2007), yaitu 6,57±2,16 ekor. Rataan litter size sapih selama penelitian selengkapnya tersaji pada Tabel 10. Tabel 10. Rataan Litter Size Sapih Ransum
Waktu Pemberian H1
H2
Rataan
------------------------------------------ekor----------------------------------0,00% EDB (R0)
4,75±1,50
2,25±1,89
3,50±2,07ab
0,05% EDB (R1)
4,25±1,50
2,25±1,26
3,21±1,67b
0,10% EDB (R2)
5,75±1,71
5,00±1,63
5,36±1,60ab
0,15% EDB (R3)
6,25±2,36
5,25±1,89
6,00±2,05a
Rataan
5,25±0,91a
3,69±1,66b
4,47±2,09
Keterangan: Superskrip dengan huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05). H1 = kebuntingan hari ke-14; H2 = saat setelah beranak Koefisien Keragaman (KK) = 39,09%
Analisis ragam menunjukkan bahwa taraf EDB dalam ransum dan waktu pemberiannya berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap litter size sapih anak mencit. Uji Tukey menunjukkan bahwa R1 (3,21±1,67 ekor) berbeda nyata dengan R3 (6,00±2,05 ekor) namun keduanya tidak berbeda nyata dengan R0 (3,50±2,07 ekor) dan R2 (5,36±1,60 ekor), sedangkan H1 (5,25±0,91ekor) berbeda nyata dengan H2 (3,69±1,66 ekor) terhadap litter size sapih anak mencit. Tidak terdapat interaksi antara kedua faktor tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rataan litter size sapih (R3H2) tertinggi dicapai pada pemberian 0,15% EDB baik yang diberikan pada H1 maupun H2 yaitu masing-masing 6,00±2,05 dan 5,25±1,89 ekor. Atau dengan perkataan lain taraf 0,15% EDB dalam ransum yang diberikan pada H1 dan H2 dapat meningkatkan litter size sapih anak mencit. Tingginya litter size sapih sangat dipengaruhi oleh produksi air susu induk (PASI). Semakin tinggi PASI maka akan meningkatkan litter size sapih anak karena dengan PASI yang tinggi akan dapat memenuhi kebutuhan nutrisi anak sehingga 36
dapat menekan tingkat mortalitas. Menurut Siagian (2006) litter size sapih menggambarkan kemampuan induk dalam merawat anaknya (mothering ability), karena litter size lahir yang tinggi belum tentu menghasilkan litter size sapih tinggi yang disebabkan kemampuan induk merawat anak yang jelek sehingga terjadi mortalitas yang tinggi pada anak mencit selama masa menyusu. Induk mencit yang diberi EDB dalam ransumnya sejak kebuntingan ke-14 (H1) hari memiliki PASI yang tertinggi yaitu 0,51±0,13 g/ekor/meyusui dibandingkan dengan saat lahir (0,04±0,11 g/e/menyusui) Faktor lain yang mempengaruhi litter size sapih antara lain umur induk, konsumsi pakan, kondisi induk, sistem perkawinan dan kualitas pejantan (Quijandria et al., 1983). Menurut Malole dan Pramono (1989), sistem perkawinan poligami adalah sistem perkawinan yang dapat meningkatkan jumlah anak yang disapih. Hal tersebut karena jika induk dipisah dari pejantan menjelang kelahiran dan induk tidak memanfaatkan oestrus post partum untuk melakukan perkawinan maka produksi susu dan bobot badan anak tinggi serta perawatan anak oleh induk akan lebih optimal. Koefisien keragaman yang didapatkan sangat tinggi yaitu 46,76%. Tingginya koefisien keragaman tersebut menunjukkan bahwa respon setiap individu terhadap perlakuan yang diberikan terhadap litter size sapih berbeda, sehingga sangat beragam. Bobot Sapih Bobot sapih merupakan bobot badan anak mencit saat disapih oleh induk pada umur tertentu. Sapih yaitu tahap pertumbuhan suatu hewan ternak dimana tidak lagi bergantung pada air susu induknya dan mulai mengkonsumsi ransum padat dan air (Inglis, 1980). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap bobot sapih antara lain jenis kelamin, bobot badan induk, umur induk, keadaan saat lahir, kemampuan induk untuk menyusui anak, kualitas dan kuantitas ransum yang diberikan serta suhu lingkungan (Hafez dan Dyer, 1969). Inglis (1980) menyatakan, bahwa penyapihan hendaknya dilakukan saat umur sapih, sebab jika dilakukan lebih dini maka pertumbuhan anak akan terlambat. Mencit yang disapih pada umur 14-16 hari tidak akan tumbuh sebaik mencit yang tetap bersama induknya sampai berumur 20-21 hari. Rataan bobot sapih yang 37
didapatkan pada penelitian ini adalah 9,21 ± 3,08 g/ekor dengan koefisien keragaman (KK) 33,41%. Bobot sapih ini adalah rendah jika dibandingkan dengan rekomendasi Malole dan Pramono (1989), yaitu berkisar antara 10-12 g/e. Rataan bobot sapih selama penelitian selengkapnya tersaji pada Tabel 11. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf EDB dalam ransum dan waktu pemberiannya pada induk mencit tidak berpengaruh nyata terhadap bobot sapih anak mencit, serta tidak terdapat interaksi diantara kedua faktor tersebut. Pemberian 0,05% EDB (R1) dalam ransum menghasilkan rataan bobot sapih yang tertinggi (10,65±4,55 g/ekor), sedangkan terendah pada pemberian 0,15% EDB dalam ransum (7,65±1,58 g/ekor). Pemberian ransum dengan EDB pada H1 memiliki rataan lebih rendah dibandingkan dengan H2 masing-masing 9,06±2,27 dan 9,36±3,80 g/ekor. Tabel 11. Rataan Bobot Sapih Anak Mencit Ransum
Waktu Pemberian H1
H2
Rataan
------------------------------------g/ekor--------------------------------------0,00% EDB (R0)
9,63±3,22
10,60±2,67
10,12±2,79
0,05% EDB (R1)
10,04±1,83
11,25±6,64
10,65 ± 4,55
0,10% EDB (R2)
8,55±2,48
8,31±1,93
8,43 ±2,06
0,15% EDB (R3)
8,03±1,58
7,27±1,72
7,65 ± 1,58
Rataan
9,06±2,27
9,36±3,80
9,21±3,08
Keterangan: H1 = kebuntingan hari ke-14; H2 = saat setelah beranak Koefisien Keragaman (KK) = 33,41%.
Berdasarkan Gambar 8 dapat dikatakan bahwa semakin tinggi taraf EDB dalam ransum maka bobot sapih anak mencit cenderung menurun. Penurunan tersebut dapat diakibatkan oleh litter size sapih atau jumlah anak yang menyusu tinggi. Bobot sapih tertinggi terjadi pada perlakuan R1H2 (11,25±6,64 g/ekor), sedangkan bobot sapih paling rendah dicapai pada perlakuan R3H2 (7,27±1,72 g/ekor). Hasil rataan bobot sapih anak mencit yang dihasilkan dalam penelitian ini (9,21±3,05 g/ekor) lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Wardani (2007) yaitu 8,30 ±1,73 g/ekor.
38
Salah satu faktor yang mempengaruhi bobot sapih adalah kemampuan induk dalam menyusui anakya. Hal tersebut sangat tergantung pada produksi air susu yang dihasilkan oleh induk. Semakin tinggi PASI maka nutrisi anak akan tercukupi sehingga bobot sapih pun tinggi. Namun, hal tersebut tidak akan terjadi jika litter size atau jumlah anak yang menyusu dalam satu induk banyak. Semakin banyak jumlah anak menyusu maka akan semakin tinggi terjadinya kompetisi antar anak dalam memperoleh air susu, sehingga asupan nutrisi yang diterima antar anak mencit tidak sama.
12
11,25
10,6
10,04
Bobot Sapih (g/ekor)
9,63
8,55 8,31 8
8,03 7,27
H1 H2 4
0 R0
R1
R2
R3
Ransum dengan Taraf EDB Berbeda
Gambar 8. Rataan Bobot Sapih Anak Mencit Rataan bobot sapih sangat erat kaitannya dengan rataan litter size sapih (Tabel 8). Litter size sapih yang tinggi menyebabkan bobot sapih yang didapat rendah. Hal tersebut dibuktikan dengan taraf pemberian 0,15% EDB (R3) didapatkan litter size sapih yang tinggi (6,00±2,05 ekor) ternyata menghasilkan bobot sapih anak mencit paling rendah (7,65±1,58 g/ekor). Akibatnya laju pertambahan bobot badan anak akan terhambat. Sebaliknya jika litter size sapih rendah, maka bobot sapih akan tinggi yang mana dapat terlihat pada taraf pemberian 0,05% EDB (R1) didapatkan litter size rendah (3,21±1,67 ekor) dan menghasilkan bobot sapih tertinggi (10,65±4,55 g/ekor). Menurut Sumantri (1997) bobot lahir dan sapih berkorelasi negatif dengan jumlah anak per induk per kelahiran (litter size) namun berkorelasi positif dengan total kelahiran. 39
Pertambahan Bobot Badan (PBB) Anak Pertumbuhan merupakan suatu proses metabolisme yang kompleks yang dipengaruhi oleh faktor genetik, makanan dan lingkungan. Faktor tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan sebelum lahir, sebelum disapih, dan setelah disapih (Hafez dan Dyer, 1969). Pertambahan bobot badan anak merupakan proyeksi pertumbuhan anak. Pertumbuhan merupakan perubahan yang meliputi peningkatan ukuran sel-sel tubuh yang mencakup peningkatan berat badan, ukuran skeleton, dan jaringan lemak tubuh. Pertumbuhan dari lahir sampai sapih sebagian besar dipengaruhi oleh jumlah air susu yang dihasilkan oleh induk dan kesehatan individu itu sendiri (Campbell dan Lasley, 1985). Nutrisi yang baik akan dapat mencukupi kebutuhan induk dan anak mencit saat berada dalam uterus maupun saat menyusu. Jika induk kekurangan nutrisi, maka dapat mengakibatkan pertumbuhan anak terganggu. Pertambahan bobot badan anak diperoleh dari selisih bobot badan anak pada saat pengukuran dengan bobot badan anak mencit pada empat hari sebelumnya melalui pengukuran setiap empat hari sekali bersamaan dengan pengukuran PASI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan pertambahan bobot badan (PBB) anak mencit selama menyusu adalah 0,35±0,12 g/e/h dengan koefisien keragaman (KK) 36,75%. Rataan tersebut sama dengan rataan PBB yang didapatkan Wardani (2007) yaitu 0,35±0,11 g/e/h, namun lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian (Silitonga, 2008) yang menggunakan sop daun bangun-bangun dan daun bangun-bangun kering dalam ransum yaitu 0,29±0,09 g/e/h. Hasil penelitian ini masih dibawah PBB yang direkomedasikan oleh Malole dan Pramono (1989) dan Arrington (1972), yaitu pertambahan bobot badan anak mencit sampai dengan disapih masing-masing adalah 0,45-0,52 dan 0,43-0,50 g/e/h. Rataan pertambahan bobot badan anak mencit selama penelitian selengkapnya tersaji dalam Tabel 12. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf EDB dalam ransum dan waktu pemberiannya tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan serta tidak terdapat interaksi antara kedua faktor tersebut. Rataan PBB anak mencit tertinggi dicapai oleh anak dari induk mencit yang mendapat rasum kontrol (R0) yaitu 0,39±0,17 g/e/h dan menurun dengan meningkatnya taraf EDB dalam ransum yaitu R1 (0,38±0,18 g/e/h), R2 (0,32±0,09 g/e/h), dan R3 (0,31±0,06 g/e/h). Menurunnya PBB anak mencit tersebut dapat disebabkan konsumsi ransum oleh induk yang
40
menurun yang dikarenakan terdapatnya EDB dalam ransum menurunkan palatabilitasnya. Tabel 12. Rataan Pertambahan Bobot Badan Anak Mencit Ransum
Waktu Pemberian H1
H2
Rataan
----------------------------------------g/e/h-------------------------------------0,00% EDB (R0)
0,38±0,15
0,40±0,10
0,39±0,17
0,05% EDB (R1)
0,36±0,09
0,40±0,26
0,38±0,18
0,10% EDB (R2)
0,33±0,12
0,32±0,07
0,32±0,09
0,15% EDB (R3)
0,32±0,04
0,29±0,88
0,31±0,06
Rataan
0,35±0,10
0,35±0,14
0,35±0,12
Keterangan: H1 = kebuntingan hari ke-14; H2 = saat setelah beranak Koefisien Keragaman (KK) = 36,75%.
Selain faktor konsumsi pakan, faktor yang berpengaruh terhadap PBB anak mencit diantaranya adalah PASI mencit. Namun, tingginya rataan PBB anak mencit yang diberi ransum perlakuan R0 dan R1 lebih dipengaruhi oleh litter size sapih anak mencit masing-masing 3,50 dan 3,21 ekor (Tabel 7). Rendahnya litter size sapih serta ditunjang dengan PASI yang cukup tinggi menyebabkan anak mencit mendapatkan cukup nutrisi dari air susu induknya sehingga PBB anak optimal dan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain (R2 dan R3) serta bobot sapih juga tinggi. Pertambahan bobot badan harian anak mencit menurut perlakuan lebih jelas diperlihatkan pada Gambar 9. Berbagai taraf EDB dalam ransum yang diberikan baik pada H1 maupun H2 menghasilkan rataan PBB anak mencit yang hampir sama masing-masing adalah 0,35±0,10 dan 0,35±0,14 g/e/h. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Wardani (2007) dimana pemberian pada H1 atau pada saat induk bunting nyata dapat meningkatkan PBB anak mencit. Wardani (2007) selanjutnya menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah produksi air susu induk dimana pemberian pada H1 lebih tinggi daripada H2, sehingga semakin tinggi produksi air susu induk maka asupan nutrisi untuk pertumbuhan anak mencit.
41
0,5 0,41
PBB Anak (g/e/h)
0,4
0,38
0,4 0,36
0,33
0,32
0,32
0,3
0,3
H1 H2
0,2 0,1 0 R0
R1
R2
R3
Ransum dengan Taraf EDB Berbeda
Gambar 9. Pertambahan Bobot Badan Harian Mencit Mortalitas Persentase mortalitas atau angka kematian anak mencit merupakan salah satu pedoman yang digunakan untuk mengukur kemampuan induk dalam mengasuh anaknya, bahkan secara umum dianggap sebagai indikator berhasil tidaknya suatu peternakan. Faktor yang menentukan mortalitas antara lain jumlah anak per induk per kelahiran (litter size lahir), kondisi induk setelah beranak, kondisi lingkungan dan sistem perkawinan (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Mortalitas diperoleh dengan menghitung jumlah anak mencit yang mati dari seperindukan selama penelitian. Rataan mortalitas anak mencit selama penelitian adalah 24,44% dengan koefisien keragaman (KK) 63,69%. Hasil ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Wardani (2007) yaitu 22,11% namun lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian Silitonga (2008) yaitu 42,28%. Tabel 12 menyajikan rataan persentase mortalitas anak mencit selama penelitian. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf dan waktu pemberian EDB dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap persentase mortalitas anak mencit dan tidak terdapat interaksi antara kedua faktor tersebut. Mortalitas tertinggi terjadi pada pemberian EDB dengan taraf 0,05% (R1) yaitu 38,66%, sedangkan mortalitas terendah terjadi pada pemberian taraf 0,10% EDB (R2) yaitu 12,03%. Pemberian taraf 0,15% EDB (R3) mortalitas anak mencit sebesar 14,20%. 42
Tabel 13. Rataan Persentase Mortalitas Anak Mencit Menyusu Waktu Pemberian
Ransum
H1
Rataan
H2
-----------------------------------------%----------------------------------------0,00% EDB (R0)
30,35
35,42
32,88
0,05% EDB (R1)
25,45
51,88
38,66
0,10% EDB (R2)
33,33
9,38
12,03
0,15% EDB (R3)
9,03
19,38
14,20
Rataan
19,88
29,01
24,44
Keterangan: H1 = kebuntingan hari ke-14; H2 = saat setelah beranak Koefisien Keragaman (KK) = 63,69%.
Mortalitas pada penelitian ini tidak seluruhnya disebabkan oleh perlakuan, namun lebih disebabkan oleh sifat kanibalisme induk karena induk mencit merasa terganggu serta kondisi lingkungan yang menyebabkan induk stress dan kematian sejak lahir. Sifat kanibalisme induk dapat terlihat dengan adanya bangkai bagian tubuh anak mencit. Sifat tersebut muncul akibat induk merasa terganggu akibat penimbangan anak yang dilakukan empat hari sekali. Malole dan Pramono (1989) menyatakan bahwa sifat kanibal pada induk mencit jarang terjadi kecuali jika induk yang baru melahirkan diganggu. Penyebab lain munculnya sifat kanibalisme induk adalah suhu lingkungan penelitian. Suhu pada kandang berkisar antara 21-31oC sehingga
induk
tidak
dapat
beradaptasi
dengan
lingkungan.
Smith
dan
Mangkoewidjojo (1988) menyatakan bahwa moralitas dipengaruhi oleh jumlah anak per kelahiran, kondisi induk setelah beranak, kondisi lingkungan meliputi suhu dan kelembaban, serta sistem perkawinan.
43
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pemberian 0,05; 0,10; dan 0,15% ekstrak daun bangun-bangun (EDB) dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap produksi air susu induk (PASI), litter size lahir, bobot lahir, bobot sapih, pertambahan bobot badan (PBB) anak dan mortalitas, namun berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi ransum induk dan berpengaruh nyata (P<0,05) litter size sapih. Waktu pemberian ransum dengan taraf EDB berbeda pada H1 dan H2 berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap litter size sapih, namun tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum induk, PASI, litter size lahir, bobot lahir, bobot sapih, PBB anak dan mortalitas. Tidak terdapat interaksi antara kedua faktor tersebut terhadap semua parameter yang diukur. Pemberian 0,10% EDB pada H1 (kebuntingan ke-14 hari) dalam ransum memberikan hasil yang paling baik terhadap konsumsi ransum induk dan PASI. Secara keseluruan perlakuan yang memberikan hasil terbaik adalah R3H1. Saran Disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek EDB dengan menggunakan metode ekstraksi dan pelarut yang berbeda-beda serta taraf penggunaan yang lebih tinggi terhadap parameter yang diukur. Serta perlu dilakukan penyetaraan litter size pada saat pengukuran PASI.
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillahirabbilalamin. Segala puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS. sebagai pembimbing utama dan pembimbing akademik yang telah sabar memberikan bimbingan, motivasi, ilmu, saran dan masukan selama melakukan persiapan penelitian, saat melaksanakan penelitian hingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada Ibu Yuni Cahya Endrawati S. Pt sebagai dosen pembimbing anggota atas saran, bimbingan dan ilmu selama proses penelitian hingga penulisan tugas akhir. Terima kasih Penulis juga ucapkan kepada Bapak Muhammad Baihaqi, S.Pt, M.Sc dan Ibu Dr. Ir. Panca Dewi, M. H. K. S. M.Si sebagai dosen penguji pada ujian sidang atas saran dan masukan yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda Suprapto dan Ibunda Supiyati atas segala doa, dukungan moril dan materil sehingga Penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini, juga kepada adik Monica Dwi Pramesti atas keceriaannya selama ini. Terima kasih juga Penulis ucapkan kepada suami dan anak tercinta Kundiarto, ST dan Panji Radithya Kenzie Adhitama atas kasih sayang, motivasi dan pengertian sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Terima kasih kepada keluarga besar di Pacitan dan keluarga besar di Comal atas doa, semangat, motivasi dan petuahnya. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada sahabat-sahabat dekat Kamariah, Dewi Sumarni, Isna Zakiah, Sofi Mulya Anggraini, Siti Badriah atas persahabat yang manis selama ini. Terima kasih juga kepada Dewi Sunaryo atas bantuan dan informasinya, Yosefin Maharani, Nur Amanah, Aip Wiyana serta seluruh temanteman IPTP 43 semoga kita semua mendapat kesuksesan. Terima kasih kepada Parsaoran Silalahi S.Pt atas informasi, bantuan dan diskusinya, staf di kandang C dan straf Bagian Produksi Ternak Daging, Kerja dan Aneka Ternak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia peternakan. Bogor, November 2010
Penulis
DAFTAR PUSTAKA Acamovic T. & Brooker J.D. 2005. Biochemistry of plant secondary metabolites and their effect in animals. Cambridge Journals (64):403-412. Alam G. & A.Rahim. 2007. Penuntun Praktikum Fitokimia. Universitas Islam Negeri Surakarta, Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Penerbit PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta. Arrington, L.R. 1972. Introductory Laboratory Animal. The Breeding, Care dan Management of Experimental Animal Science. The Interstate Printers and Publishing, Inc. New York. Burfield, T. 2001. The Seychelles: Aromatic Journey Notes. http://www.users.globalnet.co.uk/nodice/new/magazine/Seychelles/magseychel les.htm. [3 Desember 2009] Campbell, J. R. & J. F. Lasley. 1985. The Science of Animal that Serve Humanity. McGraw-Hill Book Company, New York. Damanik, M.R.M, N, Daulay Z, Saragih S, R. Premier, & N. Wattanapenpaiboon, Wahlqvist ML. 2001. Consumption of bangun-bangun leaves (Coleus amboinicus Lour) to increase breast milk production among Bataknese women in North Sumatra Island, Indonesia APJCN : 10(4):S67. [15 November 2009] Damanik, M.R.M,. M.L. Wahlqvist & N. Wattanapenpaiboon. 2006. Lactogogue effects of Torbangun, a Bataknese tradisional cuisine. APJCN : 15(2): 267-274. [15 November 2009] Departemen Kesehatan (Depkes).1989. Materia Medika Indonesia. Jilid V. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Duke. 2000. Dr. Duke’s Contituens and Ethnobotanical Databases. Phytochemical databases, USDA-ARS-NGRL. http://www.ars-grin.gov/cgi-bin/duke/farmacysc ro lp. Eissen, E. J. & B. S. Durrant.1980. Effect to maternal environmental and selection for litter size on body weight biomass and feed efficiency in mice. J. Anim. Sci. 50 (40): 887-679. Hafez, E. S. E. & L. A. Dyer. 1969. Animal growth and nutrition. Lea and Febiger, Philadelphia. Herman, R. 2003. Budidaya ternak Ruminansia Kecil. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid I. Diterjemahkan oleh Badan Litbang Kehutanan Jakarta. Yayasan Sarana Jaya, Jakarta.
Hutajulu, T. R. I. Susanti, Rienoviar, D. Abdurahman & M. Suryeti. 2008. Isolasi dan identifikasi senyawa flavonoid dan alkaloid dari herba Bangun-bangun (Coleus amboinicus L.) dan katuk (Sauropus androgynus Merr). Ilsley SE, Miller H.M, & Kamel C.H. 2004. The use of plant extracts in sow diets has revealed novel apllications for the improvement of sow and litter performance. Journal of Feedmix 12(4):24-27. Inglis, L. K. 1980. Introduction to Laboratory Animal Science and Technology. Pergamon Press Ltd., Oxford. Jain, S. K. & S. Lata 1996. Unique indogenous Amazonian uses of same plants growing in India. IK Manitor. 4 (3) Article 1996. http://www.nuffic.nl./ciran/ikdm. [5 September 2009] Keng, H. 1978. Order and Families of Malayan Seed Plant. Singapore University Press. Knight, C. & M. Peaker. 1982. Development of The Mammary Gland. J. of Reproduction and Fertility. (65): 521-536. Kon, S. K. & A. T. Cowie. 1961. The Mammary Gland and It’s Secretion. Vol. I. Academic Press, New York. Laboratorium Departement of Chemistry. 2006. Analysis Coleus amboinicus Lour component with GC and GCMS technique. India: Gorakhpur University. http://www.baanmaha.com [23 November 2009]. Mahmud, M., K., Slamet, D. S., Apriyantono & R. R., Hermana. 1990. Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia. Depkes RI, Direktorat Bina Gizi Masyarakat dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. Jakarta. Malole, M. B. & C. S. Pramono. 1989. Penggunaan Hewan Percobaan di Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. PAU. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mepham, T. B. 1987. Physiology of Lactation. Open University Press. Melton Keynes, Philadelphia. Moriwaki, K. T. Shiroshi & H. Yonekawa. 1994. Genetic in Wild Mice. Its Aplication to Biomedical Research. Japan Scientific Societies Press. Karger, Tokyo. Munford, R. E. 1963. Changes in The Mammary Glands of Rats and Mice During Pregnancy, Lactation and Involution. 2. Levels of Deoxyribonucleic Acid and Alkalin and Acid Phosphatases. J. Endocrinol. (28): 17-34. Nafiu, L. O. 1996. Kelenturan fenotipik mencit (Mus musculus) terhadap ransum berprotein rendah. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. National Research Council (NRC). 1995. Nutrient Requirements of Laboratory Animals. National Academic Press, Washington D. C. 47
Neville, M. C. 2007. Milk Secretion. Departement of Physiology and Biophysics School of Medicine, University of Colorado. http://www.uchsc.edu/physiology. [06 Oktober 2009] Omtatok, M. 2009. Bulung Torbangun. http://halibitonganomtatok.wordpress.com/bulung-torbangun. [1 Maret 2009]. Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Petter, W.L. 1961. Provision of Laboratory Animal for Research. Elsevier Publishing Company, London. Sahelian, R. 2006. Forskholin Mechanism of Action. Bulletin Plant Natural product 20:1-8. http://www.PNP.com. [2 Agustus 2009]. Santosa, C. M. & Triana H. 2005. Kandungan senyawa kimia dan efek ekstrak air Daun Bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) pada aktivitas fagositosis netrofil tikus putih (Rattus norvegicus). Majalah Farmasi Indonesia. 16 (3),141148. Santosa, C. M. 2001. Khasiat konsumsi daun bangun-bangun (Coleus amboinicus L) sebagai pelancar sekresi air susu ibu menyusui dan pemacu pertumbuhan bayi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sari, D. A. P. 2004. Pengaruh pemberian minuman ekstrak daun Katuk kering dan Katuk Hijau (Sauropus androgynus (L) Merr) terhadap produksi air susu mencit (Mus musculus). Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Siagian, P. H. 2006. Pengaruh pemberian zeolit dalam ransum terhadap penampilan reproduksi mencit putih (Mus musculus). Prosiding Seminar Nasional Zeolit V, Bandar Lampung. Silitonga, F. M. P. 2008. Penampilan reproduksi mencit (Mus musculus) yang diberi daun torbangun (Coleus amboinicus Lour) dan taraf sup daun torbangun kering. Teknologi Produksi Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Silitonga, M. 1993. Efek laktakogum daun jinten (Coleus amboinicus, L.) sebagai pelancar sekresi air susu ibu menyusui dan pemacu pertumbuhan bayi. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Smith, B. J. & S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Steel, R. G. D., J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan: B. Sumantri. PT. Gramedia, Jakarta. Sudjadi. 1986. Metode Pemisahan. Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta
48
Sudono, A. 1981. Pengaruh interaksi antara genotipa dan lingkungan terhadap pertumbuhan, keefisienan makanan, daya reproduksi dan produksi susu mencit. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sumantri, C. 1997. Study on fertility and genetics of a tetrapararental chimeric bull. Dissertation. Yamaguchi University, Japan. Tillman, A. D. Hartadi, S. Reksohadiprodjo & S. Lebdosoekodjo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Vincent, K. 1972. Effect of season and high environmental temperature on fertility in cattle: A Review. JAVMA (161): 1333 Wahlqvist, M.L., W. Naiyana, Damanik MRM. 2005. Modified Nutraceutical Composition. Australia: Freehills patent and trademark Attorneys Melbourne. http://www.wipo.int/pctdb. [16 September 2009] Wardani, W. 2007. Penambahan daun torbangun (Coleus amboinicus Lour) dalam ransum pengaruhnya terhadap sifat reproduksi dan produksi air susu mencit putih (Mus musculus albinus). Skripsi. Departemen Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wirght, P. F., & J. P.Brunner. 1994. Lactation. Endocrinology of Pregnancy. 5(4): 801-17
49
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Konsumsi Ransum Induk (g/e/h) Ransum (Taraf EDB)
Waktu Pemberian H1 H2 10,60 10,82 9,47 10,10 8,50 9,40 9,73 9,46 9,58 9,95 9,21 8,50 7,82 6,90 7,19 8,32 8,47 8,34 8,17 8,02 7,85 8,08 8,21 7,98 8,81 7,94 8,65 7,88 8,38 7,97 6,96 8,03 8,18 7,61 9,93 8,10 8,92 7,32 8,50 7,77
Ulangan 1 2 3 4 Rataan 1 2 3 4 Rataan 1 2 3 4 Rataan 1 2 3 4 Rataan
0,00%
0,05%
0,10%
0,15%
Lampiran 2. Analisis Ragam (ANOVA) Rataan Konsumsi Ransum Induk Sumber Keragaman Faktor A Faktor B Interaksi A dan B Error Total
db 3 1 3 24 31
JK 15,9027 0,4325 1,3003 13,1834 30,8188
KT 5,30091 0,43245 0,43342 0,54931
F 9,65 0,79 0,79
P 0,0002 0,3837 0,5119
Lampiran 3. Uji Tukey Faktor A Konsumsi Ransum Induk
R0 R1 R2
R1 **
R2 ** tn
R3 ** tn tn
51
Lampiran 4. Data Produksi Air Susu Induk (PASI) (g/e/menyusui) Ransum (Taraf EDB)
0,00%
0,05%
0,10%
0,15%
Waktu Pemberian H1 H2 0,35 0,28 0,82 0,44 0,57 0,62 0,45 0,19 0,55 0,38 0,44 0,44 0,54 0,36 0,31 0,44 0,26 0,42 0,39 0,42 0,49 0,47 0,58 0,45 0,58 0,63 0,44 0,35 0,52 0,48 0,48 0,41 0,35 0,44 0,56 0,42 0,46 0,41 0,46 0,42
Ulangan 1 2 3 4 Rataan 1 2 3 4 Rataan 1 2 3 4 Rataan 1 2 3 4 Rataan
Lampiran 5. Analisis Ragam (ANOVA) Rataan PASI Sumber Keragaman Faktor A Faktor B Interaksi A dan B Error Total
db 3 1 3 24 31
JK 0,04036 0,02588 0,03821 0,36098 0,46542
KT 0,01345 0,02588 0,01274 0,01504
F 0,89 1,72 0,85
P 0,4583 0,2020 0,4819
52
Lampiran 6. Data Litter Size Lahir (ekor) Ransum (Taraf EDB)
0,00%
0,05%
0,10%
0,15%
Waktu Pemberian H1 H2 5 1 8 6 6 4 9 4 7,00 3,75 6 5 8 8 3 4 7 4 6,00 5,25 5 3 7 8 9 7 6 5 6,75 5,75 8 10 3 5 9 8 8 4 7,00 6,75
Ulangan 1 2 3 4 Rataan 1 2 3 4 Rataan 1 2 3 4 Rataan 1 2 3 4 Rataan
Lampiran 7. Analisis Ragam (ANOVA) Rataan Litter Size Lahir Sumber Keragaman Faktor A Faktor B Interaksi A dan B Error Total
Db 3 1 3 24 31
JK 10,844 13,781 10,594 115,750 150,969
KT 3,6146 13,7813 3,5313 4,8229
F 0,75 2,86 0,73
P 0,5334 0,1039 0,5430
53
Lampiran 8. Data Bobot Lahir Anak Mencit (g/ekor) Ransum (Taraf EDB)
0,00%
0,05%
0,10%
0,15%
Waktu Pemberian H1 H2 1,77 2,12 1,52 1,55 1,25 1,34 1,55 1,06 1,52 1,52 1,57 1,53 1,06 1,60 1,57 1,20 1,56 2,48 1,44 1,70 1,71 1,56 1,62 0,92 1,67 1,67 1,52 1,23 1,63 1,35 1,55 1,37 2,67 1,50 1,58 1,73 1,57 1,33 2 1
Ulangan 1 2 3 4 Rataan 1 2 3 4 Rataan 1 2 3 4 Rataan 1 2 3 4 Rataan
Lampiran 9. Analisis Ragam (ANOVA) Rataan Bobot Lahir Anak Mencit Sumber Keragaman Faktor A Faktor B Interaksi A dan B Error Total
db 3 1 3 24 31
JK 0,13991 0,07508 0,48443 3,20788 3,90730
KT 0,04664 0,07508 0,16148 0,13366
F 0,35 0,56 1,21
P 0,7903 0,4609 0,3281
54
Lampiran 10. Data Litter Size Sapih Anak Mencit (ekor) Ransum (Taraf EDB)
0,00%
0,05%
0,10%
0,15%
Waktu Pemberian H1 H2 4,00 1,00 7,00 5,00 4,00 2,00 4,00 1,00 4,75 2,25 3,00 4,00 5,00 1,00 3,00 2,00 6,00 2,00 4,25 2,25 5,00 3,00 6,00 5,00 8,00 7,00 4,00 5,00 5,75 5,00 6,00 8,00 3,00 4,00 8,00 5,00 8,00 4,00 6,25 5,25
Ulangan 1 2 3 4 Rataan 1 2 3 4 Rataan 1 2 3 4 Rataan 1 2 3 4 Rataan
Lampiran 11. Analisis Ragam (ANOVA) Rataan Litter Size Sapih Sumber Keragaman Faktor A Faktor B Interaksi A dan B Error Total
db 3 1 3 24 31
JK 39,094 19,531 4,094 73,250 135,969
KT 13,0313 19,5313 1,3646 3,0521
F 4,27 6,40 0,45
P 0,0150 0,0184 0,7216
Lampiran 12. Uji Tukey Faktor A
R0 R1 R2
R1 tn
R2 tn tn
R3 tn ** tn
Lampiran 13. Uji Tukey Faktor B
H1
H2 ** 55
Lampiran 14. Data Bobot Sapih Anak Mencit (g/ekor) Ransum (Taraf EDB)
0,00%
0,05%
0,10%
0,15%
Waktu Pemberian H1 H2 14,35 13,42 7,14 7,82 8,23 8,90 8,80 12,27 9,63 10,60 11,91 8,13 10,03 3,65 10,67 14,70 7,55 18,53 10,04 11,25 11,06 10,56 5,96 7,28 6,93 9,17 10,23 6,24 8,55 8,31 7,99 5,79 9,65 9,67 8,57 7,34 5,89 6,28 8,03 7,27
Ulangan 1 2 3 4 Rataan 1 2 3 4 Rataan 1 2 3 4 Rataan 1 2 3 4 Rataan
Lampiran 15. Analisis Ragam (ANOVA) Rataan Bobot Sapih Anak Mencit Sumber Keragaman Faktor A Faktor B Interaksi A dan B Error Total
db 3 1 3 24 31
JK 47,487 0,717 5,363 241,012 294,578
KT 15,8290 0,7170 1,7877 10,0422
F 1,58 0,07 0,18
P 0,2211 0,7916 0,9102
56
Lampiran 16. Data Pertambahan Bobot Badan (PBB) Anak Mencit (g/e/hari) Ransum (Taraf EDB)
0,00%
0,05%
0,10%
0,15%
Waktu Pemberian H1 H2 0,59 0,51 0,25 0,30 0,34 0,34 0,34 0,47 0,38 0,41 0,46 0,30 0,42 0,09 0,29 0,57 0,28 0,65 0,36 0,40 0,44 0,39 0,20 0,31 0,25 0,36 0,41 0,23 0,33 0,32 0,31 0,21 0,36 0,34 0,34 0,40 0,27 0,24 0,32 0,30
Ulangan 1 2 3 4 Rataan 1 2 3 4 Rataan 1 2 3 4 Rataan 1 2 3 4 Rataan
Lampiran 17. Analisis Ragam (ANOVA) Rataan Pertambahan Bobot Badan Anak Sumber Keragaman Faktor A Faktor B Interaksi A dan B Error Total
Db 3 1 3 24 31
JK 0,04191 0,00080 0,00468 0,40130 0,44869
KT 0,01397 0,00080 0,00156 0,01672
F 0,84 0,05 0,09
P 0,488 0,829 0,963
57
Lampiran 19. Data Persentase Mortalitas Anak Mencit (%) Ransum (Taraf EDB)
0,00%
0,05%
0,10%
0,15%
Ulangan
Waktu Pemberian H1
1 2 3 4 Rataan 1 2 3 4 Rataan 1 2 3 4 Rataan 1 2 3 4 Rataan
H2 20,00 12,50 33,33 55,56 30,35 50,00 37,50 0,00 14,29 25,45 0,00 14,29 11,11 33,33 14,68 25,00 0,00 11,11 0,00 9,03
0,00 16,67 50,00 75,00 35,42 20,00 87,50 50,00 50,00 51,88 0,00 37,50 0,00 0,00 9,38 20,00 20,00 37,50 0,00 19,38
Lampiran 20. Analisis Ragam (ANOVA) Rataan Mortalitas Anak Mencit Sumber Keragaman Faktor A Faktor B Interaksi A dan B Error Total
Db 3 1 3 24 31
JK 11,375 0,500 5,000 61,000 77,875
KT 3,792 0,500 1,667 2,542
F 1,49 0,,20 0,66
P 0,242 0,661 0,587
58