UNIVERSITAS INDONESIA
DIALEK BAHASA JAWA SEBAGAI REPRESENTAMEN KEBUDAYAAN JAWA DAN SEBAGAI PENUNJANG KEBUDAYAAN NASIONAL
Oleh: Ariq Muhammad Salim NPM:1406575563
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Program Studi Jawa Depok, 3 April 2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Adapun judul dari makalah ini adalah “DIALEK BAHASA JAWA SEBAGAI REPRESENTAMEN KEBUDAYAAN JAWA DAN SEBAGAI PENUNJANG KEBUDAYAAN NASIONAL”. Makalah ini ditulis berdasarkan data dan informasi yang bersumber dari beberapa referensi. Makalah ini ditulis untuk diseleksi dan dipresentasikan dalam acara Temu Ilmiah Imbasadi 2016 dengan tema “Dialek Bahasa Daerah sebagai Identitas Regional dalam Rangka Meningkatkan Eksistensi Bahasa Daerah pada Kancah Nusantara”. Dalam penyusunan makalah ini tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi, namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan yang diberikan oleh bapak dan ibu dosen Prodi Jawa FIB UI terutama bapak Dr. F. X. Rahyono, S.S., M.Hum dan ibu Dr. Dwi Puspitorini, S.S., M.Hum serta teman-teman penulis, sehingga kendala-kendala yang dihadapi dapat diatasi. Dalam penulisan dan penyusunan makalah ini penulis menyadari bahwa masih terdapat kesalahan-kesalahan, baik dari segi penyusunan, pengetikan, serta kaitannya dengan tema acara Temu Ilmiah seperti yang telah disebutkan di atas. Karenanya, kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini. Kemudian penulis berharap semoga makalah ini tidak sekedar menjadi pelengkap acara Temu Ilmiah, tetapi juga dapat berguna menambah ilmu teman-teman pada acara ini. Penulis juga berdoa semoga Tuhan Yang Maha Esa akan memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan sehingga makalah ini dapat selesai. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Depok, 3 April 2016
Penulis i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...................................................................................................................i Daftar Isi.............................................................................................................................ii Daftar Gambar.................................................................................................................iii Bab 1: Pendahuluan...........................................................................................................1 Latar Belakang.........................................................................................................1 Rumusan Masalah....................................................................................................2 Tujuan Dan Manfaat.................................................................................................2 Metode Penulisan.....................................................................................................3 Sistematika Penulisan..............................................................................................3 Bab 2: Pembahasan............................................................................................................4 Dialek Dan Bahasa...................................................................................................4 Definisi Dialek.........................................................................................................5 Dialek Sebagai Representamen Kebudayaan...........................................................9 Dialek Sebagai Identitas.........................................................................................14 Peran Dialek Dalam Menunjang Kebudayaan Nasional........................................17 Bab 3: Penutup.................................................................................................................21 Kesimpulan............................................................................................................21 Daftar Pustaka.................................................................................................................22
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: Diagram Proses Penciptaan Kebudayaan.........................................................10 Gambar 2: Segitiga Semiotik.............................................................................................13
iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Dialektologi merupakan bidang ilmu yang tergolong baru di Indonesia. Penelitian dan pengkajian dialektologi di Indonesia diperkirakan baru berlangsung selama 50 tahun. Pada tahun 2002 tercatat terdapat 129 penelitian dialektologi di Indonesia (Lauder, 2002: 37). Keadaan ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan keadaan di Eropa yang sudah lebih maju dan berkembang karena penelitian mengenai dialektologi sudah dilakukan sejak akhir abad ke-19. Penelitian tersebut menjadikan perkembangan bahasa-bahasa di Eropa menjadi lebih maju dibandingkan dengan negara-negara lainnya, terutama Indonesia. Indonesia memiliki permasalahan tersendiri dalam penelitian dan pengkajian bidang dialektologi. Kondisi kebahasaan di Indonesia yang sangat kompleks membuat para peneliti sulit untuk menelusuri asal-usul penggunaan dan profil kondisi kebahasaan di Indonesia. Selain itu, pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai fungsi dan peran bahasa Indonesia, bahasa Daerah, dan bahasa Asing belum memadai (Lauder, 2002). Hal tersebut mempengaruhi penggunaan bahasa oleh masyarakat dalam kehidupan seharihari, contohnya peminjaman kata-kata dan istilah-istilah bahasa Daerah dan bahasa Asing ke dalam bahasa Indonesia. Dari masalah yang penulis uraikan di atas, dapat dilihat bahwa saat ini masyarakat Indonesia saat ini kerap meminjam kata-kata dan istilah-istilah dari bahasa Daerah dan bahasa Asing untuk dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Dengan alasan kosakata bahasa Indonesia yang kurang melambangkan suatu objek atau konsep, mereka kemudian menggunakan kata-kata dan istilah-istilah pinjaman tersebut. Rahyono (2012) dalam makalahnya yang berjudul “Keragaman Bahasa Ibu dan Kebhinekaan Budaya” menyatakan bahwa ide-ide penciptaan direpresentasikan dalam wujud tanda-tanda
1
kebudayaan (representamen kebudayaan) yang berupa bahasa. Jika kita menggunakan kata-kata dan istilah-istilah bahasa Daerah dan bahasa Asing tersebut, berarti kita telah menggunakan representamen kebudayaan Daerah dan Asing dalam kebudayaan bahasa yang sedang digunakan saat itu. Dalam berbicara, kita menggunakan sebuah bahasa, penggunaan bahasa tersebut melambangkan situasi dan konteks kebudayaan saat kita sedang berbicara. Bagaimana seorang multilingual dapat memilih menggunakan suatu bahasa ketika berbicara daripada menggunakan bahasa lain yang dia kuasai? Pengambilan keputusan tersebut tentunya dipengaruhi oleh siapa lawan bicaranya, dalam masyarakat bahasa apa dia berada, dan yang paling penting adalah konteks budaya apa yang dia gunakan ketika berbicara menggunakan suatu bahasa. Contoh lain dapat kita lihat ketika seseorang sulit untuk mengatakan sebuah nama benda dalam bahasa Asing karena dia merasa bahasa Asing tersebut kurang melambangkan apa yang ingin dia katakan. Dari dua contoh di atas dapat kita simpulkan bahwa bahasa memang merupakan representamen kebudayaan yang melekat pada ide-ide hasil cipta suatu masyarakat kebudayaan. Dalam makalah ini penulis ingin mengkaji bagaimana dialek dapat menjadi representamen sebuah kebudayaan, hubungannya dengan identitas regional, dan apakah dialek tersebut dapat menjadi penunjang kebudayaan Nasional. 2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana dialek bahasa Jawa dapat menjadi representamen kebudayaan Jawa? 2. Apakah hubungan dialek sebagai representamen kebudayaan dengan identitas
regional? 3. Peran apa yang dimiliki dialek bahasa Jawa dalam menunjang kebudayaan Nasional? 3. Tujuan Dan Manfaat Tujuan penulisan dan penyusunan makalah ini adalah untuk membahas secara mendalam rumusan masalah tersebut. Selain itu, untuk memperluas pengetahuan para
2
pembaca dan juga penulis sendiri mengenai dialek sebagai representamen kebudayaan regional dan sebagai penunjang kebudayaan Nasional. Sedangkan manfaat dari penulisan dan penyusunan makalah ini adalah agar bisa memperkaya sumber rujukan mengenai dialek sebagai representamen kebudayaan regional dan sebagai penunjang kebudayaan Nasional, juga agar menambah pengetahuan setiap orang yang membaca makalah ini. 4. Metode Penulisan Penulis menggunakan metode studi literatur dan kepustakaan dalam penulisan makalah ini. Penulis menggunakan buku, teks, dan media cetak sebagai sumber. Selain itu, penulis juga menggunakan e-book, e-article, e-journal, website, blog, dan perangkat media lainnya yang didapat melalui internet dan bersifat ilmiah untuk dijadikan sumber rujukan. 5. Sistematika Penulisan Bab 1: Pendahuluan Pada bab ini dijelaskan mengenai latar belakang penulisan makalah ini, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Bab 2: Pembahasan Pada bab ini dijelaskan mengenai dialek dan bahasa, definisi dialek, dialek sebagai representamen kebudayaan, dialek sebagai identitas, dan peran dialek dalam menunjang kebudayaan Nasional. Bab 3: Penutup Pada bab ini dijelaskan kesimpulan dari keseluruhan pembahasan dalam makalah ini.
3
BAB 2 PEMBAHASAN
1. Dialek Dan Bahasa Bahasa ialah sistem tanda bunyi yang disepakati untuk dipergunakan oleh para anggota kelompok masyarakat tertentu dalam bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana, 2009: 3). Dari pengertian ini, seharusnya sudah didapatkan dengan jelas batasan-batasan dari sesuatu yang disebut bahasa. Ayatrohaedi (2003: 1) menyatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang terdengar atau tertulis, “Ia berkata dengan dialek batak yang keras”, atau “Ia berkata dengan aksen Jawa yang kental”. Ternyata, baik yang disebut dialek atau aksen itu sebenarnya bahasa. Itu berarti, dalam kehidupan sehari-hari terjadi kekacauan pemakaian atau pengertian atas tiga istilah yang dalam dunia ilmu bahasa sangat berlainan, yaitu bahasa, dialek, dan aksen. Namun, pada kenyataannya, hal itu tidak semudah yang dibayangkan. Secara konseptual, dialek memang merupakan subdivisi dari bahasa. Akan tetapi tidak mudah untuk menentukan kriteria yang dapat digunakan untuk menyimpulkan bahwa dua variasi bahasa yang terdapat di wilayah X adalah dua bahasa yang berbeda atau dua dialek yang berbeda dari satu bahasa yang sama (Lauder, 2002: 38). Perdebatan mengenai perbedaan antara bahasa dan dialek hingga saat ini memang belum menemukan titik terang. Lauder (2002: 38) menyatakan bahwa salah satu isu teoretis yang tersulit dalam linguistik adalah menentukan kriteria yang tepat, akurat, dan komprehensif untuk dapat membedakan antara bahasa dan dialek. Hal ini, berdampak langsung pada klasifikasi semua bahasa dan juga termasuk penghitungan jumlah bahasa di seluruh dunia. Masalah-masalah tersebut merupakan masalah mendasar yang harus ditangani oleh Linguistik. Cabang ilmu linguistik yang terkait langsung dengan masalahmasalah tersebut antara lain Tipologi Bahasa, Linguistik Historis Komparatif, dan Dialektologi.
4
2. Definisi Dialek Istilah dialek yang berasal dari kata Yunani dialektos pada mulanya dipergunakan di sana dalam hubungannya dengan keadaan bahasanya (Ayatrohaedi, 1979: 1). Di Yunani terdapat perbedaan-perbedaan kecil di dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendukungnya masing-masing, tetapi sedemikian jauh hal tersebut tidak sampai menyebabkan mereka mempunyai bahasa yang berbeda. Perbedaan tersebut tidak mencegah mereka untuk secara keseluruhan merasa memiliki satu bahasa yang sama. Oleh karena itu, ciri utama dialek ialah perbedaan dalam kesatuan, dan kesatuan dalam perbedaan (Meillet dalam Ayatrohaedi, 1979: 1-2). Menurut Claude Fauchet, dialek adalah seperangkat bentuk tuturan setempat yang berbeda-beda, yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk tuturan yang lain dari bahasa yang sama. Dialek tidak harus mengambil semua bentuk tuturan dari sebuah bahasa (Lauder, 2007: 37). Dialek pada mulanya ialah mots de leur terroir 'kata-kata di atas tanahnya', yang di dalam perkembangannya kemudian menunjuk kepada suatu bahasa Daerah yang layak dipergunakan di dalam karya sastra, atau masih dipergunakan di dalam rujukan kepada bahasa abad pertengahan (Chaurand dalam Ayatrohaedi, 1979: 2). Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, kita dapat simpulkan bahwa dialek merupakan varian dari sebuah bahasa berdasarkan pemakai dan latar belakang budaya, sosial, dan geografisnya. Setiap “ragam” bahasa digunakan di suatu Daerah tertentu, dan lambat laun terbentuk anasir kebahasaan yang berbeda-beda pula, antara lain adalah lafal, tata bahasa, dan tata makna; setiap “ragam” menggunakan salah satu bentuk khusus (Guiraud dalam Ayatrohaedi, 1979: 3). Istilah “ragam” yang dimaksud oleh ayatrohaedi adalah variasi atau varian. Perbedaan tersebut dalam tingkat dialek dibagi menjadi lima macam, yaitu perbedaan fonetik, perbedaan semantik, perbedaan onomasiologis, perbedaan semasiologis, dan perbedaan morfologis. Kelima hal tersebut menunjang pemahaman mengenai lahirnya pembaruan atau inovasi. Terdapat dua tahap dalam pembaruan, yaitu penciptaan yang sifatnya perorangan, dan penerimaan (dan penolokan) oleh masyarakat bahasa yang merupakan suatu kenyataan sosial (Jaberg dalam Ayatrohaedi, 2003: 4).
5
Kridalaksana dalam Ayatrohaedi (2003: 5) menyatakan bahwa ragam dialek atau bahasa ditentukan oleh faktor waktu, tempat, sosial budaya, situasi, dan sarana pengungkapan. Faktor-faktor tersebut ternyata seringkali saling melengkapi antara satu dan yang lain. Dialek secara umum terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu Dialek 1, Dialek 2 (Dialek Regional), dan Dialek Sosial (Sosiolek/Basawarga). 1.
Dialek 1 Dalam kepustakaan dialektologi Roman, dialek ini biasanya disebut
dialecte 1, yaitu dialek yang berbeda-beda karena karena keadaan alam sekitar tempat dialek tersebut dipergunakan sepanjang perkembangannya (Warnant dalam Ayatrohaedi, 1979: 13). 2.
Dialek 2 Dialek ini dalam kepustakaan dialektologi Roman disebut dialecte
2, regiolecte, atau dialecte regional, yaitu bahasa yan dipergunakan di luar daerah pakainya (Warnant dalam Ayatrohaedi, 1979: 13). 3.
Dialek Sosial Dialek
dipergunakan
Sosial oleh
atau
sosiolecte
kelompok
ialah
tertentu,
ragam
yang
bahasa
dengan
yang
demikian
membedakannya dari kelompok masyarakat lainnya (Kridalaksana dalam Ayatrohaedi, 1979: 14). Dalam perkembangannya, salah satu dialek diantara beberapa dialek yang kedudukannya sederajat sedikit demi sedikit diterima sebagai bahasa baku oleh seluruh daerah pakai dialek-dialek itu, yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor subjektif maupun faktor objektif (Ayatrohaedi, 1979: 2). Dalam kasus bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia, bahasa-bahasa tersebut seakan-akan terjepit di anara status baku dan vernakular. Menurut pengertian yang dinyatakan oleh Suhardi dan Sembiring (2009: 61), bahasa baku biasanya telah melewati proses kodifikasi, yaitu tahap pembakuan tata bahasa, ejaan, dan kosakata. Pembakuan tersebut biasanya dicapai melalui penyusunan kamus tersebut. Ragam bahasa ini lazim dinamakan bahasa standar atau baku, yang lebih sering ditemukan dalam dalam bahasa tulis daripada lisan. Ragam bahasa baku juga secara politis sering berfungsi sebagai bahasa resmi atau bahasa nasional, seperti bahasa Indonesia di negara kita.
6
Pengertian di atas merupakan pengertian bahasa baku dalam masyarakat multibahasa. Secara hukum, bahasa Daerah di Indonesia hanya diakui sebagai bahasa yang digunakan secara turun-temurun oleh warga negara Indonesia di daerah-daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UU No. 24 Tahun 2009 Bab 1 Pasal 1 Ayat 6. di dalam undang-undang ini, seakan-akan status bahasa Daerah hanya sebatas vernakular. Suhardi dan Sembiring (2009: 61) menyatakan bahwa vernakular merupakan ragam bahasa yang tidak memiliki status resmi. Biasanya vernakular tidak mengalami proses kodifikasi. Ragam ini biasa dipakai dalam percakapan sehari-hari atau sebagai lambang solidaritas. Bahasa Daerah yang digunakan dalam percakapan seharihari di rumah untuk berkomunikasi dengan anggota keluarga lain merupakan contoh vernakuar. Namun di Indonesia sudah terdapat beberapa bahasa Daerah yang tidak dapat dikategorikan sebagai vernakular karena telah mengalami kodifikasi, pembakuan ejaan, lafal dan tata bahasa, serta tersedianya kamus bahasa Daerah. Status bahasa Daerah di Indonesia seakan-akan masih belum jelas, jika mengacu pada undang-undang dan pengertian-pengertian di atas, maka bahasa Daerah di Indonesia tidak dapat digolongkan sebagai baik bahasa baku maupun vernakular. Seperti yang telah penulis bahas pada bagian-bagian makalah sebelumnya, kondisi kebahasaan di Indonesia masih sangatlah kompleks. Sebagai alternatif dari permasalahan itu, dalam buku “Tata Bahasa Jawa Mutakhir” yang ditulis oleh Wedhawati dkk (2010), dinyatakan bahwa bahasa Jawa Yogya-Solo sebagai dialek bahasa Jawa standar dan bukan bahasa Jawa baku. Dalam hal ini, yang penulis maksud dengan bahasa baku adalah bahasa yang dinyatakan baku secara hukum. Akibat dari pembakuan bahasa Indonesia, porsi pengunaan bahasa Jawa dalam masyarakat menjadi lebih sempit. Pendapat ini didukung oleh pernyataan Wedhawati dkk (2010: 24), bahwa fungsi bahasa Jawa yang tadinya lebih luas meliputi sampai pada bahasa resmi di kalangan pemerintahan dan ilmu pengetahuan di sekolah sekarang menjadi lebih sempit. Fungsinya walaupun di wilayah geografis Jawa, hanya terbatas pada lingkungan bahasa seperti di bawah ini. 1.
Bahasa keluarga sebagai media komunikasi antaranggota pada
lingkungan eluarga baik lisan maupun tulis. Pemilihan bahasa Jawa yang digunakan dimaksudkan agar penglahiran yang beremosi dan rasa
7
hubungan pertalian dari hati ke hati, di antaranya, kasih sayang, gembira, mesra, sedih, benci, dan jijik dapat diekspresikan. 2.
Bahasa hubungan dinas pekerjaan antarpekerja yang berasal dari
etnis Jawa atau etnis Jawa dengan yang berasal dari etnis lain, tetapi sudah paham bahasa Jawa. Penggunaan ini hanya sebatas lisan. 3.
Bahasa hubungan bisnis jual beli antarpembeli dengan penjuan
yang berasal dari etnis Jawa atau dari salah satunya berasal dari etnis lain, tetapi sudah paham bahasa Jawa. Penggunaan ii hanya sebatas lisan. 4.
Bahasa penerangan antarpara pamong praja, penyuluh pertanian,
dan sebagainya kepada rakyat etnis Jawa di desa-desa; penggunaan ini terbatas lisan. 5.
Bahasa khotbah antarustad, kiai, dan penerang agama dengan umat
etnis Jawa terutama di desa-desa, terbatas lisan. 6.
Bahasa sekolah sebagai media komunikasi antarguru dengan murid
terbatas pada TK (taman kanak-kanak) sampai SD (sekolah dasar) kelas III. Pada sekolah tingkat selanjutnya, yaitu di SLTP (sekolah lanjutan tingkat pertama) bahasa Jawa tidak dipakai sebagai media komunikasi, tetapi diajarkan sebagai bahan mata pelajaran. Di SMA (sekolah menengah atas) bahasa Jawa diajarkan sebagai mata pelajaran pilihan. Di perguruan tinggi pada Jurusan/Program Studi Sastra Nusantara/Jawa bahasa, sastra, dan budaya Jawa diajarkan sebagai bahan mata kuliah. 7.
Bahasa budaya tradisional sebagai media komunikasi dalam pentas
upacara-upacara tradisional. 8.
Bahasa seni tradisional sebagai media komunikasi dalam: (i) seni sastra tradisional baik lisan maupun tulis; (ii) seni wayang tradisional baik lisan maupun tulis; (iii) seni tembang tradisional baik lisan maupun tulis; (iv) iringan seni tari tradisional terutama lisan.
Penggunaan dialek Jawa yang terbatas tersebut tidak serta-merta membuat dialek Jawa kehilangan kearifan budayanya. Kearifan budaya tersebut tetap diperlihatkan dan akan selalu terlihat selama dialek Jawa masih digunakan di dalam masyarakat, baik
8
secara utuh maupun tercampur dengan bahasa Indonesia atau bahasa Asing. Dialek yang memperlihatkan kearifan budaya ini akan penulis bahas pada bagian selanjutnya.
3. Dialek Sebagai Representamen Kebudayaan Sebelum membahas mengenai dialek sebagai representamen kebudayaan, penulis terlebih dahulu ingin menjelaskan mengenai apa itu budaya dan kebudayaan. Kebudayaan merupakan keseluruhan proses pemikiran dan hasil usaha manusia yang dipahami dan dihayati serta menjadi milik bersama melalui proses belajar untuk mengatasi keterbatasan manusia dalam mempertahankan dan memfasilitasi keberadaan hidupnya (Rahyono, 2015: 48). Kemudian dalam upaya untuk membedakan antara budaya dan kebudayaan, Masinambow (2004) menjelaskan bahwa istilah “budaya” digunakan untuk mengacu pada “nilai-nilai” dan “adat-istiadat”, sedangkan istilah “kebudayaan” digunakan untuk suatu kompleks gejala termasuk nilai-niai dan adat-istiadat yang memperlihatkan kesatuan sistemik. Mengacu pada pernyataan tersebut, penulis menggunakan istilah “budaya” untuk merujuk pada representasi budaya yang berupa fisik, sedangkan istilah “kebudayaan” digunakan untuk mengacu pada segala hal yang meliputi konsep-konsep serta representasinya yang bersifat non fisik. Rahyono (2015: 51) menyatakan bahwa sopan-santun, tata krama yang diwujudkan dalam bentuk perilaku, pilihan kata dalam bertutur merupakan bentuk wujud budaya. Kebudayaan, selain yang terwujud, mencakup nilai-nilai, sistem, pola pikir yang ada di dalamnya, atau yang melandasi perwujudan sopan-santun tersebut. Mengacu pada apa yang dikutip oleh Rahyono (2015: 60-61), Pierce dalam membahas tentang proses semiosis, tanda-tanda kebudayaan merupakan representamen kebudayaan. Representamen kebudayaan dapat berupa fisik maupun non fisik. Representamen kemudian menjadi ilmu pengetahuan baru tentang objek yang diwakili. Ilmu pengetahuan baru merupakan hasil penafsiran/pemaknaan manusia (interpretant) yang digunakan untuk membangun kembali dunia kehidupan baru. Dunia kehidupan yang baru kembali menuntut kebutuhan hidup yang baru. Dunia kehidupan baru memicu
9
kembali keberlanjutan proses penciptaan kebudayaan. Di dalam bukunya, Rahyono membuat diagram proses penciptaan kebudayaan. Gambar 1: Diagram Proses Penciptaan Kebudayaan
Dari
diagram
tersebut
dapat
dilihat
bahwa
kebudayaan
manusia
berkesinambungan secara spiralistis dari waktu ke waktu. Hukum yang berlaku dalam proses penciptaan kebudayaan yang spiralistik sebagai berikut (Rahyono, 2015: 62-68). 1.
semakin tinggi kualitas kehidupan yang dihadapi manusia, semakin
tinggi pula pertahanan hidup yang harus dimiliki. 2.
Semakin tinggi kualitas pertahanan hidup yang harus dimiliki,
semakin tinggi pula kualitas kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. 3.
Semakin tinggi kualitas kebutuhan hidup yang harus dipenuhi,
semakin tinggi pula kualitas proses berpikir/belajar manusia yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. 4.
Semakin tinggi kualitas proses berpikir/belajar yang dilakukan
manusia dalam penciptaan kebudayaan, semakin tinggi pula kualitas ide/gagasan penciptaan kebudayaan yang ditemukan. 5.
Semakin tinggi kualitas ide/gagasan penciptaan kebudayaan yang
ditemukan, semakin tinggi pula kualitas representamen atau karya budaya yang diciptakan.
10
6.
Semakin tinggi kualitas representamen atau karya budaya yang
diciptakan, semakin tinggi pula kualitas dunia kehidupan baru yang dihadapi dan harus dipelajari oleh manusia. 7.
Semakin tinggi kualitas kebudayaan yang dimiliki, semakin tinggi
pula kualitas proses pemelajaran dan penghayatan bersama terhadap kebudayaan yang diciptakan. Berdasarkan hukum yang berlaku dalam proses penciptaan budaya di atas, Rah yono (2015: 68) dalam bukunya merumuskan dua hal berikut. 1.
Kebudayaan sebuah etnis/bangsa akan terus berkembang maju jika
proses
penciptaan
kebudayaan
berlangsung
terus
secara
berkesinambungan. 2.
Kebudayaan sebuah etnis/bangsa menjadi statis (mengalami status
quo) jika etnis tersebut tidak melakukan proses penciptaan budaya yang dituntut oleh dunia kehidupan “baru” yang hadir dalam hidup etnis/bangsa yang bersangkutan. Manusia sebagai pencipta dan pelaku kebudayaan memegang peran penting dalam siklus spiral ini. Manusia, menciptakan kebudayaan sebagai bentuk penyesuaian diri dengan dunia kehidupan yang mereka tinggali. Dalam prosesnya, manusia menggunakan akal budi yang dimilikinya untuk menciptakan budaya yang mempermudah hidupnya dalam dunia kehidupan. Kondisi dunia kehidupan yang bersifat dinamis membuat manusia belajar dan menghasilkan ide/gagasan untuk merancang mode pertahanan hidup dan pemenuhan kebutuhan hidup. Selain itu, kondisi tersebut pada akhirnya membuat kebudayaan berevolusi dari waktu ke waktu. Masinambow (2004: 14) menjelaskan bahwa evolusi manusia dan pranata-pranata sosialnya akan semakin sempurna apabila rasionalitasnya meningkat. Sebaliknya, apabila pranata-pranata (sosial) itu tidak berkembang dan berada pada tingkat yang rendah, kemampuan intelektual para pelaku yang bersangkutan berada pada tingkat yang rendah pula. Dan dari proses penciptaan kebudayaan
itu
muncul
representamen
kebudayaan
yang
digunakan
untuk
merepresentasikan sebuah ide/gagasan. Rahyono (2015: 69) menjelaskan bahwa representamen kebudayaan merupakan instrumen yang digunakan untuk membangun
11
kehidupan dan mewujudkan kebudayaan. Dengan kebudayaan manusia membangun peradaban yang lebih baik dan meningkat dari waktu ke waktu. Jika kita lihat dalam ranah kebudayaan Jawa, kita akan melihat pembabakan sejarahnya mulai dari zaman pra sejarah, zaman kerajaan Hindu-Buddha, zaman kerajaan Islam, zaman kekuasaan kolonial Belanda, hingga zaman modern seperti saat ini. Tentu dalam pembabakan tersebut terjadi evolusi budaya. Jika kita cermati, pembabakan zaman tersebut dibagi berdasarkan pengaruh kekuasaan dan kontak budaya pada masa itu. Selain karena faktor internal, faktor eksternal seperti kontak budaya juga memberikan pengaruh dalam proses penciptaan budaya. Contohnya, mulai dari zaman pra sejarah, orang-orang yang tinggal di pulau Jawa hanya menggunakan alat-alat yang terbuat dari batu untuk berburu. Kemudian karena jumlah mereka semakin banyak dan sumber makanan hewani dirasa sudah tidak dapat mencukupi, mereka beralih ke sumber makanan nabati dengan bercocok tanam yang tentunya turut mengubah alat yang mereka gunakan. Cara-cara yang mereka lakukan untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan mereka secara terus-menerus berkembang. Dalam perkembangannya, alat-alat tersebut kemudian diberi nama dan dimaknai oleh masyarakat kebudayaan Jawa. Kemudian lahirlah bahasa Jawa dan berubah seiring berjalannya waktu, dari bahasa Jawa Kuno, bahasa Jawa Tengahan, menjadi bahasa Jawa Baru seperti yang kita ada saat ini. Perubahan tersebut tidak terjadi begitu saja. Dalam prosesnya pastilah terdapat perubahan simbol dari objek yang sama dan
penambahan kata-kata baru yang tentunya tidak lepas dari pengaruh kontak
kebudayaan. Perubahan tersebut sudah pasti disebabkan perubahan representamen kebudayaan yang disesuaikan dengan zamannya. Contohnya, masyarakat Jawa dikenal dengan masyarakat yang agraris, yang mata pencaharian utamanya adalah bertani. Maka dari itu banyak ditemukan simbol-simbol yang melambangkan objek dari kebudayaan pertanian tersebut. Dalam hal ini, simbol-simbol tersebut merupakan kata-kata. Mengacu kepada teori segitiga semiotik dari Ogden & Richards (dalam Rahyono, 2012: 67), digambarkan bahwa terdapat hubungan antara ketiga elemen makna dalam segitiga semiotik. Symbol adalah elemen linguistik, yakni kata, kalimat, dsb; referent adalah objek atau benda yang ada di dunia pengalaman (dunia nyata); thought atau reference adalah konsep atau makna.
12
Gambar 2: Segitiga Semiotik
thought or reference
correct symbolises
adequate refers to
(causal relation)
(other causal relations)
referent
symbol stands for (an imputed relation) True Correct Symbolizes (a causal relation)
Dari teori segitiga semiotik di atas, telah kita lihat bersama bahwa terdapat hubungan antara bahasa dan kebudayaan. Rahyono (2012: 65) menyatakan bahwa makna dipandang sebagai bentuk hubungan antara bahasa (ujaran), pikiran, dan realitas di alam. Pandangan ini menunjukkan bahwa makna menyangkut tiga unsur, yakni bahasa, pikiran, dan realita. Hubungan ini juga didukung oleh teori Kramsch (1998), dalam membahas antara hubungan bahasa dan kebudayaan, menjelaskan bahwa di saat bahasa digunakan dalam konteks komunikasi, bahasa terjalin dengan kebudayaan dalam cara yang kompleks dan berbagai cara. Tentang jalinan bahasa dan kebudayaan, Kramsch menyebutkan tiga hal, yaitu (1) language expresses cultural reality, (2) language embodies cultural reality, dan (3) language symbolizes cultural reality (Kramsch, 1998: 3). Terdapat hubungan bahasa dan realitas kebudayaan, yaitu bahasa mengekspresikan realitas kebudayaan, bahasa mewujudkan realitas kebudayaan, dan bahasa melambangkan realitas kebudayaan. Contohnya, kata “wluku” dan kata yang digunakan dalam masyarakat pertanian di Jawa. Kata ini digunakan untuk melambangkan wujud kebudayaan yang berupa alat untuk mengolah tanah sawah. Kata tersebut digunakan karena mayoritas masyarakat di Jawa merupakan petani. Dalam ilmu Antropologi, Koentjaraningrat (2009: 144) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan
13
sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Pokok-pokok kebudayaan yang ditampilkan dalam definisi itu adalah (1) sistem gagasan, (2) tindakan, (3) hasil karya, (4) penyelenggaraan kehidupan, dan (5) proses belajar. Kelima hal tersebut saling berhubungan dalam menghasilkan apa yang disebut dengan kebudayaan. “wluku” merupakan sebuah artefak yang sewaktu-waktu dapat digantikan oleh representamen fisik lain yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan hidup dan kemajuan ide/gagasan manusia. “wluku” dapat digantikan dengan alat tani modern yang lebih canggih dan lebih memudahkan para petani. Jika proses semiosis, yaitu proses pemaknaan “wluku” tetap berlanjut, maka objek tentang “wluku” dapat direpresentasikan dalam wujud yang baru yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan dunia kehidupan yang baru. Namun, jika suatu saat nanti kata “wluku” sudah tidak digunakan lagi, berarti realitas kebudayaan masyarakat tersebut telah berubah dan objek dari kata “wluku” tidak akan berubah.
4. Dialek Sebagai Identitas Tujuh hukum penciptaan kebudayaan yang telah penulis jelaskan sebelumnya menunjukkan bahwa jati diri suatu etnis terbangun dari ketangguhan dan kemantapan etnis tersebut dalam menjalani proses pembaruan kebudayaan sesuai dengan hukum penciptaan kebudayaan. Hoed (2014) menyatakan bahwa kebudayaan dapat dilihat dari bagaimana cara manusia melihat dirinya dan dunia, tujuh hukum penciptaan kebudayaan di atas juga menunjukkan prinsip yang sama. Proses penciptaan kebudayaan melibatkan manusia yang mengenali kemampuan dirinya, serta bagaimana manusia menghadapi dunia kehidupan yang melingkupi dan menguasainya. Rahyono (2015) dalam bukunya yang berjudul “Kearifan Budaya dalam Kata” menjelaskan bagaimana manusia (orang Jawa) mengelola dirinya dan bagaimana manusia memaknai dan menghadapi dunia kehidupan. Mengacu pada Hudson (1990) tentang hubungan antara bahasa, pemikiran, dan kebudayaan, dalam bahasa Jawa ditemukan proposisi-proposisi kebudayaan (ungkapan kebudayaan) yang merepresentasikan bagaimana manusia memandang dirinya dan bagaimana manusia memandang dunia kehidupan. Proposisi atau ungkapan budaya
14
merupakan representamen kebudayaan yang berupa tuturan. Proposisi/ungkapan budaya yang dihasilkan oleh para pendahulu tentu didasari pula oleh tujuan dan niat baik untuk mendidik dan membentuk karakter pribadi yang unggul bagi siapapun yang mau mempelajarinya. Generasi penerus dapat menikmati karya budaya yang telah dihasilkan oleh generasi sebelumnya, serta dapat memperoleh pengetahuan yang terkandung di dalamnya. (Rahyono, 2011: 1). Renkema (2004) menjelaskan bahwa secara struktural sebuah proposisi dibentuk oleh satu predikat, dalam bentuk verba, sebagai inti proposisi dan satu atau lebih argumen yang berkaitan dengan inti proposisi. Hubungan antara predikat dengan argumen tersebut membangun makna kalimat asertif. Kehadiran satu predikat dalam sebuah proposisi memberi petunjuk bahwa sebuah proposisi merupakan satu satuan makna minimal. Satu satuan makna minimal ini dalam konteks wacana merupakan topik proposisi. Jadi, sebuah proposisi hanya mengandung sebuah topik. Dalam konteks bahasa sebagai sistem tanda, proposisi merupakan representasi verbal sebuah objek yang ada di dunia nyata beserta pemaknaannya. Bahasa merupakan pengejawantahan dari apa yang dipelajari dan dipikirkan oleh manusia. Bahasa merupakan representamen kebudayaan. Kebudayaan merupakan keseluruhan proses pemikiran dan hasil usaha manusia untuk mengatasi keterbatasan manusia dalam mempertahankan dan memfasilitasi keberadaan hidup yang dipahami melalui proses belajar hingga menjadi milik bersama. Kedua rumusan tersebut menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara bahasa (sebagai hasil karya manusia), pemikiran (proses belajar), serta kebudayaan yang mencakupi keduanya. Kebudayaan manusia terwujud- salah satunya dalam wujud bahasa- melalui proses belajar atau proses pemikiran yang berkelanjutan (Rahyono, 2015: 84). Dapat kita ketahui bersama bahwa bukan hanya kata yang dapat menjadi representamen kebudayaan, tetapi juga proposisi. Hudson (1990: 75-84) menjelaskan bahwa thought ‘pemikiran’ melibatkan kegiatan pikiran (mental activity) yang meliputi memory ‘ingatan’, inference ‘penyimpulan’, concept ‘konsep’, dan proposition ‘proposisi’. Memory adalah segala hal, termasuk proposisi, yang diingat dan tersimpan dalam ingatan. Ingatan-ingatan yang terkumpul tersebut menjadi bahan untuk menarik simpulan, yakni sesuatu yang diketahui atau menjadi sebuah pengetahuan. Perwujudan atau objek dari ingatan dan kesimpulan (pengetahuan) tersebut secara berturut-turut adalah konsep dan proposisi. Konsep
15
merupakan kategori-kategori umum (dapat diartikan sebagai pengklasifikasian) terhadap sejumlah ingatan dan pengetahuan tersebut. Konsep ini pun tersimpan dalam ingatan. Proposisi merupakan representasi konsep dalam wujud bahasa. Kalimat yang mengandung konsep tersebut merupakan proposisi dan yang bermakna. Jadi, proposisi bukan sekedar sebuah pernyataan, tetapi merupakan makna yang diformulasikan dalam bentuk kalimat atau pernyataan. Dalam kebudayaan Jawa, kita dapat temukan banyak proposisi yang melambangkan kearifan budaya lokal. Dalam buku “Kebudayaan Jawa” yang ditulis oleh Koentjaraningrat banyak kita temukan proposisi-proposisi Jawa yang menjadi cara masyarakat tani di pedesaan Jawa memandang hakikat kehidupan, etos kerja, hubungan dengan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam. Proposisi “pasrah lan sumarah” dan “tiyang punika kedah ingkang nrimah” dalam masyarakat tani di pedesaan Jawa digunakan dalam memandang hakikat hidup. Proposisi-proposisi tersebut mungkin dipengaruhi oleh pandangan mereka mengenai nasib yang memang merupakan sesuatu yang sudah merupakan ketetapan dan tidak dapat diubah. Sedangkan pandangan mereka tentang hakikat karya dan etos kerja diwakili dengan proposisi “sinten ingkang ndamel ngangge, sinten ingkang nanem ngundhuh”, namun orang desa pada umumnya jarang berspekulasi tentang hakikat karya mereka, tentang pekerjaan dan arti dari hasil upaya mereka, kecuali percaya bahwa mereka selalu harus berikhtiar dan bekerja keras. Konsep mengenai nasib juga menentukan sikap orang Jawa yang tinggal di pedesaan, terhadap alam. Mereka belajar menyesuaikan diri dengan alam, namun mereka tidak merasa bahwa diri mereka harus takluk kepada alam. Ketidakmampuan mereka dalam menganalisa dan memprediksi kekuatan alam membuat mereka berusaha untuk hidup selaras dengan alam. Jika terjadi bencana alam yang menyebabkan maut dan kehancuran, mereka menyerah secara total kepada nasib, tanpa berusaha berbuat banyak untuk melawan kekuatan bencana itu. Namun orang Jawa merasa berkewajiban untuk “memayu hayuning bawana”. Di satu pihak ada yang mengartikan proposisi ini secara harfiah, yaitu memelihara dan memperbaiki lingkungan fisiknya, dan di pihak lain ada yang menganggapnya secara abstrak, yaitu bahwa orang wajib memelihara dan memperbaiki lingkungan spiritualnya, yakni adat, tatacara, serta cita-cita dan nilai-nilai budaya yang umum terdapat dalam masyarakat, selain cita-cita dan nilai-nilai pribadi.
16
Sedangkan dalam hubungan dengan sesama manusia, orang Jawa mengenal proposisi “wonten sakedhik dipundum sakedhik, wonten kathah inggih dipundum kathah” yang melambangkan
kewajiban
untuk
berhubungan
baik
dengan
tetangga
dengan
memperhatikan kebutuhan mereka dan membagi apa yang kita miliki dengan mereka. Menurut
Rahyono
(2015:
9-10),
esensi
kearifan
budaya
lokal
yang
direpresentasikan melalui bahasa lokal, seperti contoh di atas, merupakan jati diri budaya lokal. Apabila proposisi-proposisi kebudayaan di atas diajarkan melalui terjemahannya, misalnya dalam bahasa Indonesia, kompenen makna budaya yang terkandung dalam proposisi tersebut berkemungkinan akan berkurang dan mengalami pergeseran makna. Setiap bahasa memiliki konsep yang berbeda-beda terhadap suatu objek atau benda. Jika objek atau benda yang ada di dunia nyata tidak hadir dalam pikirannya, maka objek atau benda itu tidak perlu dilambangkan dengan sebuah kata. Akibatnya, tidak setiap kata dapat ditemukan padanannya pada bahasa lain. Melalui proposisi-proposisi tersebut kita dapat melihat bagaimana dialek dapat menjadi representamen kebudayaan. Proposisiproposisi tersebut merupakan identitas yang dihasilkan oleh proses penciptaan kebudayaan. Tentu saja setiap daerah/region memiliki kearifan budaya lokalnya masingmasing. Yang penulis sebutkan di atas hanyalah contoh kecil dan sederhana dari sekian banyak contoh proposisi lainnya. Hendaknya proposisi-proposisi tersebut dimaknai dan diterapkan secara arif agar identitas tersebut dapat terus terjaga dan dapat menunjang kebudayaan Nasional.
5. Peran Dialek Dalam Menunjang Kebudayaan Nasional Bahasa merupakan karya budaya manusia yang pertama. Di saat manusia dilahirkan dari kandungan Ibu, si bayi dihadapkan pada dunia kehidupan yang sebelumnya tidak ia rasakan. Rasa panas, rasa dingin, dan rasa-rasa lain yang tidak dirasakan sebelumnya merupakan stimulus bagi si bayi untuk meresponnya. Sebuah tangisan si bayi merupakan sebuah karya budaya pertama bagi si bayi untuk mempertahankan hidupnya. Ia mengomunikasikan pesannya dengan menggunakan
17
keterbatasan fisik dan alat bicaranya. Proses belajar dan berpikir yang berkesinambungan melalui instruktur seorang ibu, si bayi tumbuh dewasa seiring dengan pertumbuhan kognisi kebahasaannya. Bukan hanya referen yang berupa objek benda-benda yang diajarkan oleh seorang ibu, tetapi melalui bahasanya seorang anak diajarkan budaya yang dimiliki sang ibu. Berbeda dengan pemerolehan pada bahasa ibu, bahasa Indonesia diperoleh dari proses pemelajaran formal nonalamiah yang dimulai dari pemahaman lambang (kata) ke makna. Makna diperoleh secara bertahap dari lambang (kata) berlanjut ke referen (objek/peristiwa di dunia nyata) yang dilambangkannya. Melalui pendidikan formal, Bahasa Indonesia dirancang dan dibakukan berdasarkan kaidah-kaidah kebahasaan. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan dan bahasa komunikasi formal yang merepresentasikan identitas nasional. Oleh karena budaya nasional juga belum diketahui konsep dan pengejawantahannya, maka pembelajaran bahasa Indonesia belum sampai pada taraf representasi budaya nasional (Rahyono, 2012: 6). Penulis berpendapat bahwa kebudayaan Nasional merupakan upaya negara Indonesia untuk menyatukan kebudayaan-kebudayaan yang ada di setiap daerah yang ada di Indonesia. Namun, dalam penerapannya jangan sampai malah menghasilkan sesuatu yang kabur dan kurang terlihat sifat khasnya. Bahasa Indonesia yang merupakan bahasa Melayu mungkin saja masih dapat dijadikan sebagai representamen kebudayaan Melayu, namun belum tentu sebagai representamen kebudayaan di luar kebudayaan Melayu. Perbedaan-perbedaan antara kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia tetap harus dipertimbangkan dalam penyelarasannya untuk dijadikan sebagai penunjang kebudayaan Nasional. Dari kondisi kebudayaan Nasional saat ini, dialek tetap memiliki peran dalam menunjang kebudayaan Nasional. Peran dialek sebagai penunjang kebudayaan Nasional adalah sebagai bahasa ibu. Dialek sebagai bahasa ibu yang pertama kali dipelajari oleh seorang anak akan membentuk pola pikir seorang anak. Pembelajaran mengenai bahasa ibu yang tidak sempurna yang didapatkan ketika kecil akan mempengaruhi pola pikir, pengambilan keputusan, dan proses pembelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Asing pada tahap selanjutnya. Hal ini didukung oleh teori yang dinyatakan oleh Kramsch yang sudah penulis kutip pada bagian sebelumnya. Kusumaningsih dalam makalahnya yang
18
berjudul “Bahasa Ibu Mengantarkan Kecerdasan Anak” menyatakan bahwa menurut kaum behavioris kemampuan bicara dan memahami bahasa oleh anak diperoleh melalui rangsangan dari lingkungannya. Anak dianggap sebagai penerima pasif dari tekanan lingkungannya, tidak memiliki peranan yang aktif di dalam proses perkembangan perilaku verbalnya. Kaum behavioris bukan hanya mengakui peranan si anak, tetapi juga mengakui kematangannya. Proses tersebut ditentukan oleh lamanya latihan yang diberikan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Puspitorini dalam artikelnya yang berjudul “Peran Bahasa Ibu Dan Pendidikan Anak” menyatakan bahwa bahasa adalah mekanisme untuk berpikir, maka bahasa merupakan sebuah piranti mental. Bahasa menjadi alat utama seorang anak untuk menguasai berbagai fungsi mental seperti atensi, memori, perasaan, dan pemecahan masalah. Oleh sebab itu, pada masa tumbuh kembangnya, seorang anak perlu dibantu untuk mengembangkan kemampuan mentalnya, melalui bahasa ibu. Jika peran dialek sebagai bahasa ibu dapat dilakukan dengan sempurna, maka pembentukan dan pengembangan kebudayaan Nasional akan menemukan titik terang. Sebelum membangun sebuah kebudayaan, kita harus membangun manusianya terlebih dahulu, karena manusia merupakan wahana kebudayaan. Pemerintah melalui PP no. 57 tahun 2014 tentang pengembangan, pembinaan, dan perlindungan bahasa dan sastra, serta peningkatan fungsi bahasa Indonesia. Dinyatakan dalam Bab II pasal 6 ayat 1 dan 2 bahwa bahasa Daerah berfungsi sebagai pembentuk kepribadian suku bangsa, peneguh jati diri kedaerahan, dan sarana pengungkapan serta pengembangan sastra dan budaya daerah dalam bingkai keindonesiaan. Selain itu, bahasa daerah dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi dalam keluarga dan masyarakat daerah, bahasa media massa lokal, sarana pendukung bahasa Indonesia, dan sumber pengembangan bahasa Indonesia. Hendaknya bingkai keindonesiaan tersebut dapat mengakomodasi perkembangan seluruh kebudayaan daerah yang ada di Indonesia. Jangan sampai ada kebudayaan yang dianggap mendominasi dan dianggap lebih bagus atau unggul. Karena semua kebudayaan adalah sama, tidak ada hirarki di dalamnya. Bahasa sebagai representamen kebudayaan dapat digunakan sebagai sarana untuk menginternalisasi nilai-nilai kebudayaan daerah yang diajarkan melalui bahasa ibu. Kata dan proposisi yang melambangkan kearifan budaya lokal memuat banyak sekali nilai-nilai budaya luhur yang masih relevan dan harus
19
dilestarikan. Selain itu, pengembangan kebudayaan Nasional melalui bahasa mungkin saat ini dapat dilakukan melalui penambahan lema yang berupa kata serapan dari dialekdialek yang ada di Indonesia. Proyek internasionalisasi bahasa Indonesia dan penyusunan kamus Asean dapat menjadi sarana untuk melakukan pengembangan kebudayaan Nasional melalui kontribusi dialek-dialek yang saling mengisi dan bersinergi. Dalam hal ini, kita telah menggunakan bahasa Daerah sebagai sarana pendukung bahasa Indonesia dan sumber pengembangan bahasa Indonesia yang sesuai dengan PP no. 57 tahun 2014. Fungsi proposisi dalam menunjang kebudayaan Nasional juga dapat diterapkan dalam sistem pemerintahan demokrasi negara Indonesia. Proposisi tersebut, yakni Rumangsa melu handarbeni, wajib melu hangrungkebi, mulat sarira hangrasa wani ‘rasa memiliki terhadap tanah air, kewajiban siap sedia membela tanah air, berani melakukan mawas diri’ yang kita kenal dengan konsep tri bata. Dalam makalahnya yang berjudul “Ekspresi Budaya Demokrasi Dalam Proposisi Berbahasa Ibu” Rahyono menjelaskan bahwa Revitalisasi Bahasa Ibu, yang merupakan media ekspresi kearifan budaya bangsa, merupakan sebuah keperluan yang mendesak. Kearifan lokal merupakan pembentuk identitas yang inheren sejak lahir, serta mampu menumbuhkan harga diri dan percaya diri. Dengan menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan yang dirumuskan dalam proposisi Bahasa Ibu, kebudayaan bangsa yang dimiliki oleh para penutur Bahasa Ibu dapat tumbuh subur kembali. Kehidupan berdemokrasi dapat terwujud secara wajar jika demokratisasi di masyarakat diciptakan dari akar budaya bangsa sendiri, yang salah satunya direpresentasikan melalui proposisi berbahasa Ibu.
20
BAB 3 PENUTUP
1. Kesimpulan Dialek sebagai representamen kebudayaan sebuah daerah merupakan sesuatu yang sangat mencerminkan lokalitasnya. Dalam masyarakat multibahasa, memang sulit untuk menentukan penggunaan istilah bahasa, dialek, dan vernakular. Sebagai alternatif, maka disebut sebagai dialek. Penyebutan ini mengacu pada pengertian bahwa dialek merupakan mots de leur terroir 'kata-kata di atas tanahnya', yang di dalam perkembangannya kemudian menunjuk kepada suatu bahasa daerah yang layak dipergunakan di dalam karya sastra, atau masih dipergunakan di dalam rujukan kepada bahasa abad pertengahan (Chaurand dalam Ayatrohaedi, 1979: 2). Dalam makalah ini penulis menggunakan contoh-contoh dari dialek bahasa Jawa Yogya-Solo. Dalam penggunaannya, dialek sebagai representamen kebudayaan yang mencerminkan identitas. Berdasarkan teori segitiga semiotik dan tujuh proses penciptaan kebudayaan, representamen kebudayaan terlihat dalam kata dan proposisi. Pada dasarnya, semua rangkaian sistem linguistik mulai dari fonetik sampai semantik dan pragmatik sudah dapat menjadi identitas sebuah etnis. Namun, kata dan proposisi merupakan sesuatu yang sudah dimaknai dan di dalamnya terkandung nilai-nilai unik yang dihasilkan dari proses penciptaan kebudayaan dan hanya dimiliki oleh daerah tersebut. Selain itu, dialek juga memiliki peran yang signifikan dalam menunjang kebudayaan Nasional. Meskipun porsi penggunaannya lebih sedikit dibandingkan bahasa Indonesia, ternyata peran tersebut jika diterapkan dengan sempurna akan turut membangun kebudayaan Nasional. Peran tersebut antara lain, sebagai bahasa ibu yang membangun pola pikir dan mental anak bangsa, sebagai sarana pendukung bahasa Indonesia dan sumber pengembangan bahasa Indonesia, dan penerapan proposisi sebagai landasan ideologi pemerintahan demokrasi di Indonesia.
21
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal, Makalah, Prosiding, dan Situs Internet
Ayatrohaedi. 1979. Dialektologi: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ayatrohaedi. 2003. Pedoman Praktis Penelitian Dialektologi. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Hoed, B. H. 2014. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu.
Hudson, R. 1990. Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Kramsch, C. 1998. Language and Culture. Oxford: Oxford University Press.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kushartanti, dkk. 2009. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kusumaningsih, Dewi. 2016. Bahasa Ibu Mengantarkan Kecerdasan Anak. Prosiding Seminar Nasional Bahasa Ibu. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Lauder, Multamia RMT. 2002. Reevaluasi Konsep Pemilah Bahasa Dan Dialek Untuk Bahasa Nusantara. Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 6, No. 1.
Lauder, Multamia RMT. 2007. Sekilas Mengenai Pemetaan Bahasa. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Masinambow, E.K.M. 2004. ―Teori Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Budayaǁ‖ dalam Semiotika Budaya. Christomy, T & Untung Yuwono. 2004. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia.
Rahyono, F. X.. 2011. Ekspresi Budaya Demokrasi Dalam Proposisi Berbahasa Ibu. Makalah Seminar Internasional Hari Bahasa Ibu, Kampus UPI Bandung.
Rahyono, F. X.. 2012. Studi Makna. Jakarta: Penaku.
22
Rahyono, F. X.. 2012. Keragaman Bahasa Ibu Dan Kebhinekaan Budaya. Makalah Seminar Internasional Hari Bahasa Ibu, Balai Bahasa Bandung.
Rahyono, F. X.. 2015. Kearifan Budaya Dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Rahyono, F. X.. 2015. Bahasa Lokal Sebagai Representamen Ilmu Pengetahuan. Makalah Seminar Nasional Bahasa Ibu VIII.
Renkema, Jan. 2004. Introduction To Discourse Studies, Second Edition. Amsterdam/Philadelpia: John Benjamin Publishing Company.
Wedhawati, dkk. 2010. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
http://www.setneg.go.id/images/stories/kepmen/uu24th2009.pdf (diakses tangal 29 Maret 2016 pukul 18.40)
http://www.setneg.go.id/components/com_perundangan/docviewer.php? id=404195&filename=PP%20Nomor%2057%20Tahun%202014.pdf (diakses tanggal 30 Maret 2016 pukul 18.32)
23
https://dprwik.wordpress.com/ (diakses tanggal 30 Maret 2016 pukul 19.19)