Volume 27, 2012
MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 27, Nomor 1, Januari 2012 p 31 - 37
ISSN 0854-3461
Perkembangan Tradisi, Seni dan Budaya Daerah Sebagai Pendukung Kebudayaan Nasional I WAYAN GEDE SUACANA Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Warmadewa Denpasar, Indonesia. E-mail:
[email protected] Peristiwa penting dalam sejarah perkembangan kebudayaan yang sering disebut sebagai Polemik Kebudayaan di tanah air berlangsung sekitar tahun 1935-1936-an. Keberadaan sosok kebudayaan nasional Indonesia setelah itu masih terus dipertanyakan. Sampai sekarang belum ada sistem budaya yang berfungsi sebagai acuan atau pedoman perilaku bersama bagi seluruh aspek kehidupan warga negara. Akibatnya, Indonesia mudah mengalami guncangan krisis yang mengarah kepada disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, tantangan kebudayaan Indonesia adalah bagaimana mentransformasikan tradisi, seni dan budaya daerah kepada identitas baru yang bernama “identitas nasional” sebagai manifestasi kebudayaan nasional yang bisa diterima masyarakat dengan implikasi psikologis yang menyenangkan. Untuk menganalisa berbagai sumber data terkait masalah polemik kebudayaan dalam menempatkan tradisi sebagai pendukung kebudayaan nasional dan bagaimana kebudayaan Indonesia maka dilakukan dengan tiga tahapan yakni: penyajian, reduksi data dan penarikan kesimpulan.
The Development of Regional Tradition, Arts and Culture to Support National Culture As far as the history of cultural development is concerned, around 1935 and 1936 an important event frequently referred to as the National Cultural Polemic took place. After that the existence of Indonesian culture has been a question. So far no cultural system has been used as a reference for controlling all aspects of life of the citizens. As a consequence, crisis which can lead to disintegration has easily taken place. Therefore, the challenge of the Indonesian culture is how to transform regional traditions, arts and cultures into a new identity referred to as the “national identity” as the national cultural manifestation which may be accepted by everybody with pleasant psychological implication. The analysis of various data sources related to the matters pertaining to the cultural polemic as an attempt to use the regional traditions to support the national culture, was done in three stages: data presentation, data reduction, and conclusion drawing. Keywords: Tradition, national culture, art and culture of the region.
Kebudayaan nasional Indonesia masih dalam proses mencari indentitas karena wujudnya sendiri masih banyak menimbulkan perdebatan. Dalam usianya yang ke-66 tahun saat ini Bangsa Indonesia sesungguhnya masih mencari bentuk kebudayaan nasionalnya. Bukti-bukti yang ada menunjukkan masih belum adanya sistem budaya yang bisa diterima dan berfungsi sebagai acuan atau pedoman perilaku bersama bagi kehidupan masyarakat.
Sementara itu, pada saat bersamaan kondisi negara bangsa Indonesia telah menimbulkan kebangkitan bagi kesadaran politik etnis (etno-nasionalisme) yang mengandung keunikan, keaslian, dan semangat multikultural sehingga bisa sebagai fondasi baru bagi praktik politik dan demokrasi di atau dari bawah. Kesadaran politik ini dimulai dengan terjadinya beberapa konflik etnis yang terjadi di berbagai
31
I Wayan Gede Suacana (Perkembangan Tradisi, Seni dan Budaya Daerah...)
daerah, seperti tampak dalam kasus Sampit, Poso, dan Ambon. Munculnya berbagai konflik etnis itu biasanya masih didasarkan pada ikatan primordial. Konflik jenis ini menempatkan akar persoalan lebih banyak pada perbedaan etnis, ideologi politik dan dogmatisme agama. Akibat ketiadaan acuan bersama itu, tidak aneh bila kemudian di Indonesia mudah terjadi guncangan seperti krisis yang mengarah kepada disintegrasi bangsa (Suacana, 2005: 65). Kebijakan sentralistis yang diterapkan oleh Pemerintah Orde Baru dengan berbagai pola penyeragaman juga ikut merusak tatanan sistem tradisi masyarakat dan budaya daerah yang majemuk. Contoh konkrit penyeragaman itu adalah implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Kebijakan yang berlaku di tingkat grassroots ini secara nyata telah mengakibatkan sebagian besar kebudayaan kelompok etnik bergeser bahkan hampir tidak bisa muncul sama sekali. Dengan kebijakan itu pemerintah secara sistematis sudah menghancurkan sistem nilai etnis-etnis yang ada. Dalam konteks inilah pentingnya pemahaman budaya berbagai etnik yang ada di Indonesia. Pemahaman itu mesti dilakukan sebaik-baiknya, dengan berlandaskan kajian yang sedalamdalamnya. Hal ini menjadi penting, justru ketika Indonesia yang berasal dari berbagai riwayat etnis telah mempersatukan diri menjadi sebuah negara bangsa. Perwujudan kebudayaan nasional dengan demikian paling tidak meliputi dua permasalahan yaitu 1) bagaimanakah polemik kebudayaan menempatkan tradisi, seni dan budaya daerah sebagai pendukung kebudayaan nasional; dan 2) bagaimanakah se sungguhnya sosok dari kebudayaan nasional itu dalam kondisi masyarakat Indonesia yang multikultural. Untuk menganalisis berbagai sumber data yang terkait permasalahan yang akan dibahas dilakukan tiga tahapan kegiatan, yakni penyajian data, reduksi data dan penarikan kesimpulan/verifikasi merupakan rangkaian kegiatan yang tidak terpisahkan satu sama lainnya. Penyajian data dilakukan berdasarkan 32
MUDRA Jurnal Seni Budaya
kesamaan, perbedaan, keterkaitan, kategori, tematema pokok, konsep, ide dan analisis logika hasil awal, dan kelemahan atau gap dalam data. Setelah data disajikan selanjutnya dideskripsikan dengan membangun kategori yang menempatkan perilaku atas proses yang terjadi dengan mengorganisir data seputar topik, atau pertanyaan pokok (Cassel dan Symon, 1994: 220). Langkah ini merupakan reduksi data yakni pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang tersedia.
PERKEMBANGAN TRADISI, SENI DAN BUDAYA DAERAH SEBAGAI PENDUKUNG KEBUDAYAAN NASIONAL Dari Komunitas Budaya Menuju Kebudayaan Nasional Setiap komunitas baik dalam lingkup kecil seperti dusun/kampung maupun dalam lingkup besar seperti negara, dapat dipastikan selalu mengaku sebagai unit yang berdaulat dan mempunyai batas wilayah yang jelas. Dengan cara itu, warga komunitas merasa menjadi bagian dari kebudayaan yang sama, atau mempunyai identitas bersama, melalui perantaraan simbol-simbol yang penetapan dan pemaknaannya didasarkan pada konsensus. Bagi komunitas sederhana dan relatif homogen dengan interaksi sosial yang intensif dan intim, pemilihan simbolsimbol tertentu sebagai identitas kolektif mungkin cukup mudah dilakukan. Namun dalam komunitas yang besar dan kompleks dengan cakupan wilayah luas, kondisi lingkungan fisik yang beragam, dan kondisi sosiokultural heterogen, pembentukan identitas bersama dapat berlangsung dalam proses yang seringkali penuh dengan “kelokan” dan tikungan “tajam” (Utama, 2007). Biarpun penentuan batas-batas wilayah suatu bangsa/ negara lebih banyak mengekspresikan praktik politik kekuasaan, akan tetapi hal itu sebenarnya juga ditujukan untuk mendefinisikan bahwa orangorang yang ada di dalamnya merupakan anggota dari komunitas dan kebudayaan yang sama. Oleh karena itu, bangsa/negara tidak dapat dilihat sebagai unit administrasi politik semata, melainkan lebih tepat disebut sebagai sebuah cultural community (Eriksen, 1993: 99). Contoh tentang hal ini dapat diambil dari sejarah nasionalisme Indonesia. Pada
Volume 27, 2012
saat Soekarno menjadi figur yang begitu popular dan dominan dalam panggung politik Indonesia, ia mengerahkan segenap kemampuannya untuk membangun identitas nasional yang dianggap mampu mewadahi segenap perbedaan di antara beragam etnis di Nusantara. Identitas nasional itu hingga kini dikenal sebagai ‘Indonesia’, sebuah entitas dengan batas wilayah yang dianggap jelas dan berkedaulatan. Batas-batas dan kedaulatan itu hanyalah suatu yang terbayang atau dibayangkan, sehingga komunitas yang terbentuk di dalam batas-batas dan kedaulatan itu sesunguhnya merupakan komunitas terbayang (imagined community). Sebagai hasil pembayangan maka nasionalisme bukan merupakan hasil penemuan, melainkan hasil dari suatu proses yang berisi usaha anggota-anggota komunitas— yang untuk sebagian besar mungkin tidak saling mengenal, tidak saling bertatap muka, atau bahkan tidak pernah saling mendengar satu sama lain— untuk mendefinisikan diri mereka sebagai anggota dari suatu nation-state (Anderson, 2000: 8). Dalam konteks Indonesia, keragaman etnik ‘disembunyikan’ dalam slogan Bhineka Tunggal Ika. Untuk memperkuat iden-titas kolektif itu Soekarno kemudian berkelana ke masa lalu. Dari pengelanaannya itu ia menemukan bahwa pada masa lampau Indonesia adalah bangsa yang besar seperti tercermin dari kejayaan Sriwijaya dan Majapahit. Kejayaan masa lampau dimanipulasi untuk membangkitkan dan membangun kepercayaan diri masyarakat pribumi yang terpuruk akibat kolonialisme. Soekarno banyak mengomunikasikan gagasannya baik secara verbal maupun tertulis untuk membangun solidaritas bersama. Bahasa Melayu sebagai lingua franca dan media massa cetak berperan penting dalam proses ini. Sejak akhir abad XIX, bahasa Melayu menjadi alat komunikasi penting dalam hubungan antaretnis di Hindia Belanda. Berbagai publikasi dalam bahasa Melayu pada masa itu memungkinkan orang-orang dari berbagai etnis seperti Tionghoa, Jawa, Sunda, Batak, dan Minangkabau saling bertemu dalam ruang imajiner yang dibentuk oleh bacaan yang sama (Utama, 2007). Peristiwa penting dalam sejarah perkembangan kebudayaan yang sering disebut sebagai Polemik
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Kebudayaan di tanah Air berlangsung sekitar tahun 1935-1936 dan kemudian 1939. Konstruksi kebudayaan nasional memicu polemik yang secara garis besar terbelah ke dalam dua kutub. Satu pihak menginginkan agar kebudayaan nasional mengadopsi nilai-nilai Barat yang dianggap akan dapat membawa masyarakat Indonesia ke arah kemajuan seperti yang telah dicapai masyarakat Barat. Pihak yang bersetuju dengan pandangan ini menganggap nilai-nilai ‘asli’ Indonesia cenderung menciptakan masyarakat yang statis. Sebaliknya, pihak yang lain berpendirian bahwa kebudayaan nasional harus dibangun di atas pondasi nilainilai ketimuran yang luhur. Pihak yang berada pada kutub ini menganggap nilai-nilai Barat hanya akan menumbuh-suburkan materialisme dan individualisme dalam masyarakat Indonesia (Kartamihardja, 1977). Polemik kebudayaan itu tidak mudah diselesaikan, dan secara esensial masih terus berlanjut hingga kini yang terjadi dalam lingkungan yang terus berubah dan melibatkan peserta-peserta baru (Holt, 2000: 314). Polemik kebudayaan itu menunjukkan bahwa Indonesia sebagai sebuah cultural community bukanlah realitas yang telah selesai. Ia akan terus berproses untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan atau ruang sosial yang terus berubah. Persoalannya lalu kebudayan baru —nasional dan ”progresif” macam apa yang seharusnya lahir dan berkembang— yang bisa merefleksikan puncakpuncak kebudayaan daerah dan mendorong lahirnya sebuah masyarakat yang demokratis, egaliter, sebagai prasyarat dasar dari seluruh proses penyelesaian setiap krisis di Indonesia. Sosok Kebudayaan Nasional Keberadaan sosok kebudayaan nasional Indonesia masih dipertanyakan. Indonesia sebagai sebuah bangsa yang merdeka sejak tahun 1945 sesungguhnya belum mempunyai kebudayaan nasional. Buktinya, sampai sekarang belum ada sistem budaya yang berfungsi sebagai acuan atau pedoman perilaku bersama bagi seluruh aspek kehidupan warga negara. Akibat ketiadaan acuan bersama itu, tidak aneh bila kemudian di Indonesia mudah terjadi guncangan seperti krisis yang mengarah kepada disintegrasi bangsa. Krisis dan bahaya disintegrasi ini juga diakibatkan oleh kondisi bangsa yang majemuk dan multikultur. 33
I Wayan Gede Suacana (Perkembangan Tradisi, Seni dan Budaya Daerah...)
Kondisi ini menyiratkan kehendak untuk membawa semua ekspresi kebudayaan ke dalam struktur yang seimbang dimana praktek penghormatan terhadap keberbedaan ditujukan untuk mengatasi masalah ‘eksklusivitas’ yang dapat memicu konflik etnis, rasial maupun religius (Setyaningrum, 2004: 303) yang juga merupakan ideologi dengan pengakuan dan pengagungan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun kebudayaan (Suparlan, 2002). Apa yang seringkali menjadi basis epistemologis konsep multikulturalisme ini pada praktiknya memiliki dua bentuk yang berbeda. Kedua bentuk praktik tersebut tampak dalam wujud suatu kebijakan politik dan sekaligus merupakan praktik sosial dari realitas kebudayaan sehari-hari sebuah masyarakat yang majemuk. Hal ini tidak lain berkenaan dengan bagaimana suatu proses menyalurkan aspirasi masyarakat majemuk berkenaan bukan hanya dengan konstruksi identitas nasional melainkan juga berkenaan dengan distribusi kekuasaan dan implementasinya bagi kesetaraan akses publik kelompok-kelompok yang ada. Dengan begitu ada kewajiban untuk menghormati hak-hak atas keanekaan budaya atau hak-hak untuk berbeda secara budaya dan emansipasi terhadap budayabudaya kecil yang masing-masing juga memiliki “hak hidup” yang wajib dihormati. Sebagai sebuah negara bangsa yang multietnis dan multikultural, Indonesia sudah sejak awal mengandung masalah legitimasi kultural. Hal ini terjadi karena negara Indonesia lahir secara tibatiba melalui revolusi politik nasional. Akibatnya, kehadiran negara di Indonesia merupakan sebuah hasil kolektif hampir seluruh daerah dan kelompok etnis yang ada. Keadaan ini secara keseluruhan telah menciptakan status yang sama di antara daerahdaerah yang terlibat di dalam revolusi sehingga hubungan daerah-daerah tersebut pada dasarnya berbentuk kolegial daripada superior-subordinat. Oleh karena itu, tantangan bangsa ini adalah bagaimana mentransformasikan kesadaran baru kepada identitas baru yang bernama “identitas nasional” dengan implikasi psikologis yang menyenangkan. Ketika proses pembentukan identitas, solidaritas sosial dan nasionalisme Indonesia terganggu, maka ketika itu pula semangat identitas dan loyalitas kebangsaan yang berbasiskan etnis muncul dan menuntut untuk bertransformasi 34
MUDRA Jurnal Seni Budaya
menjadi suatu entitas politik pula (baca: negara baru). Sementara itu, anggapan yang memandang kebudayaan baru sebagai kebudayaan yang terputus dari tradisi, praktek kesenian baru dan budaya daerah yang meninggalkan kesenian rakyat dan memandang kesenian Barat sebagai modelnya, serta kaburnya konsep kebudayaan nasional/ kepribadian bangsa yang tidak pernah digarap definisinya secara ilmiah, telah menyebabkan beberapa akibat yang problematis untuk kehidupan kebudayaan kontemporer. Pertama, tidak adanya definisi yang cukup jelas, baik secara konseptual maupun operasional tentang kebudayaan nasional, membawa dua konsekuensi lebih lanjut baik dalam kehidupan kebudayaan yang luas, maupun dalam bidang politik. Di satu pihak, kehidupan kebudayaan tradisional dan kebudayaan baru, dibiarkan tumbuh bersama-sama, tetapi tanpa suatu kebijaksanaan untuk menghubungkan atau mengintegrasikan perkembangan keduanya dalam suatu dialektif yang produktif. Di pihak lain, tidak jelasnya konsep kebudayaan nasional dan tidak jelasnya hubungan kebudayaan baru dan kebudaya an tradisional dalam kerangka pembentukan kebudayaan nasional, telah menyebabkan bahwa dalam perkembangan sekarang kebudayaan nasional lebih menjadi isu politik daripada isu kebudayaan. Daripada menjadi semacam cultural entity atau suatu sociological fact, kebudayaan nasional/kepribadian bangsa lebih banyak dihayati sebagai political norm, yang diberlakukan secara asimetris. Artinya, suatu tindakan sosial politik dari masyarakat yang sesuai dengan kepentingan politik pemerintah akan diterima tanpa perlu mereferensi sesuai tidaknya tindakan tersebut dengan kebudayaan nasional. Tetapi, tindakan yang bertentangan dengan, atau tidak diterima oleh pemerintah, akan ditolak, baik karena tidak menunjang stabilitas nasional maupun karena bertentangan dengan kebudayaan nasional, tanpa banyak mempertimbangkan substansi tindakan itu sendiri. Secara singkat, kebudayaan nasional lebih berperanan sebagai legitimasi dan kontrol politik. Hal ini menjadi semakin jelas, dengan larangan pemerintah untuk membicarakan secara terbuka persoalan-persoalan kebudayaan yang berhubungan dengan isu SARA (Suku, Agama, Ras/Antar golongan). Padahal, dalam
Volume 27, 2012
heterogenitas budaya, dan heterogenitas sosiologis, isu-isu tersebut harus dibicarakan dalam diskusi yang tenang dan rasional. Kedua, perluasan pengertian pembangunan sebagaimana yang pernah dicantumkan dalam GBHN, telah membawa konsekuensi tersendiri. Di situ pembangunan tidak lagi dibatasi pada pembangunan ekonomi, tetapi diperluas kepada pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya. Dengan demikian, apa saja yang dapat dibayangkan sebagai sektor kebudayaan (ekonomi, pendidikan, agama, hukum hingga kesenian dan moral) dikooptasi menjadi sektorsektor pembangunan. Dari satu segi perkembangan definisi pembangunan itu merupakan hal yang mengembirakan karena seakan-akan pembangunan nasional tidak lagi terpusat pada pembangunan ekonomi dan juga tidak lagi berkiblat hanya pada peningkatan produksi. Dari segi lain, sektor-sektor kebudayaan non-ekonomi dan non-politik, semakin langsung diawasi negara. Dalam praktek, itu berarti tersedia lebih banyak wewenang bagi negara, untuk mengontrol perkembangan kebudayaan, agar selaras dengan keperluan stabilitas nasional dan sejalan dengan usaha pertumbuhan ekonomi. Dari segi kebudayaan, dapat dibuat perbandingan yang menarik antara trend perkembangan kebudayaan dalam masa pemerintahan Orde Lama dan pemerintahan Orde Baru. Dalam Orde Lama slogan kebudayaan nasional merupakan alat untuk mempersatukan berbagai-bagai kebudayaan daerah yang didukung oleh berbagai-bagai kelompok etnis. Dalam perkembangan lebih lanjut slogan itu menjadi alasan bagi Soekarno untuk menolak kebudayaan Barat, bahkan menolak bantuan ekonomi dari Barat. Dengan mengucapkan “go to hell with your aid” pengusaha-pengusaha asing diusir dari Indonesia. Perubahan yang terjadi sebetulnya adalah proses nasionalisasi kebudayaan. Kebudayaan nasional— yang belum jelas wujud dan sosoknya— ternyata dapat menjadi slogan yang kuat untuk menolak kebudayaan Barat, tetapi belum menjadi kenyataan yang cukup kuat untuk menggantikan kebudayaan tradisional. Sedangkan dalam Orde Baru, kebudayaan Barat dan gaya hidup negara maju masuk dengan leluasa bersama modal asing, tenaga ahli asing, dan alat-alat komunikasi modern yang semuanya diperlukan secara mutlak
MUDRA Jurnal Seni Budaya
oleh pembangunan ekonomi. Dengan demikian kebudayaan nasional/ kepribadian bangsa tidak dapat dipakai sebagai alat kontrol gaya hidup (life style) internasional, yang memang dimungkinkan oleh hasil-hasil pembangunan, dan dibutuhkan oleh ekonomi yang memakai strategi production centered. Kebudayaan nasional/kepribadian bangsa itu lebih cenderung digunakan sebagai alat kontrol untuk mengawasi gaya politik dan gaya intelektual. Dalam bidang politik sistem oposisi tidak diperkenankan, sedangkan dalam bidang intelektual setiap pemikiran kritis harus memenuhi syarat-syarat estetika sosial, sopan santun menurut tuntutan kebudayaan nasional dan kepribadian bangsa. Sementara itu, perluasan dan ekspresi gaya hidup dan usaha ekonomi perusahaan asing telah menerobos kemana-mana, yang disamping mengancam usaha ekonomi tradisional penduduk dan sistem budaya tradisional, sebelum tradisi itu sanggup digantikan kebudayaan nasionalisasi kebudayaan pada masa Orde Lama diganti oleh kecenderungan internasionalisasi kebudayaan masa Orde Baru. SIMPULAN Peristiwa penting dalam sejarah perkembangan kebudayaan yang sering disebut sebagai Polemik Kebudayaan di tanah Air berlangsung sekitar tahun 1935-1936-an. Perdebatan itu dimulai oleh Sutan Takdir Alisyahbana (1908-1994) lewat cita-cita ”mewujudkan kebudayaan baru” dengan menyerukan untuk membangun integritas individu pencipta budaya, dengan landasan kebebasan kreatif yang demokratis, disertai wawasan internasional. Sejak saat itu polemik pun terus dimulai, hingga menyeret dialog berbagai tema penting dalam rangka pembangunan kebudayaan Indonesia baru, masa depan ke kancah politik praktis. Gagasan ini dihadang oleh kelompok yang dipimpin Sanusi Pane dan Ki Hajar Dewantara. Sutan dianggap telah bersekongkol dengan para kolonial Belanda. Sementara itu, tokoh seperti Ki Hajar Dewantara justru ingin menguburkan sisasisa kebudayaan kolonial. Selain itu yang ditakutkan oleh Ki Hajar adalah rendahnya tingkat pendidikan rakyat Indonesia. Barangkali inilah yang tidak diperhatikan oleh Sutan Takdir Alisyahbana dengan sikap ekstrimnya untuk ”menoleh ke Barat” dalam polemik kebudayaan 1930-an. 35
I Wayan Gede Suacana (Perkembangan Tradisi, Seni dan Budaya Daerah...)
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Keberadaan sosok kebudayaan nasional Indonesia masih dipertanyakan. Indonesia sebagai sebuah bangsa yang merdeka sejak tahun 1945 sesungguhnya belum mempunyai kebudayaan nasional. Buktinya, sampai sekarang belum ada sistem budaya yang berfungsi sebagai acuan atau pedoman perilaku bersama bagi seluruh aspek kehidupan warga negara. Akibat ketiadaan acuan bersama itu, tidak aneh bila kemudian di Indonesia mudah terjadi guncangan seperti krisis yang mengarah kepada disintegrasi bangsa.
Melakukan kegiatan aksi budaya daerah yang berorientasi pada peningkatan persaudaraan, ikatan bersama dan pengukuhan kebudayaan nasional.
Anggapan yang memandang kebudayaan baru sebagai kebudayaan yang terputus dari tradisi, praktek kesenian baru yang meninggalkan kesenian rakyat dan memandang kesenian Barat sebagai modelnya, serta kaburnya konsep kebudayaan nasional/kepribadian bangsa yang tidak pernah digarap definisinya secara ilmiah, telah menyebabkan beberapa akibat yang problematis untuk kehidupan kebudayaan Indonesia kontemporer.
Persantunan Terima kasih disampaikan kepada kepada I Gde Parimartha, pada Program Pascasarjana Kajian Budaya Universitas Udayana Denpasar atas kontribusi pemikiran yang telah diberikan dalam artikel ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para kolega di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Warmadewa, Yayasan Tri Hita Karana Bali dan Yayasan Bali Saraswati atas diskusidiskusi yang banyak memberikan sumbangan bagi gagasan awal artikel ini.
Oleh karena itu, tantangan kebudayaan Indonesia yang bersifat multikutural adalah bagaimana mentransformasikan kesadaran baru kepada identitas baru yang bernama “identitas nasional” dengan implikasi psikologis yang menyenangkan. Ketika proses pembentukan identitas, solidaritas sosial dan nasionalisme Indonesia terganggu, maka ketika itu pula semangat identitas dan loyalitas kebangsaan yang berbasiskan etnis muncul dan menuntut untuk bertransformasi menjadi suatu entitas politik pula (baca: negara baru). Oleh karenanya, ada dua hal penting yang harus mendapatkan perhatian serius, dengan adanya diferensiasi masyarakat kita yang multikultural tersebut, yaitu pertama, terus menerus menumbuhkan “solidaritas emosional” dalam bingkai kebangsaan. Kedua, melanjutkan pembangunan bangsa dengan tetap menumbuhkan “solidaritas fungsional” berdasarkan pada ikatan saling ketergantungan satu sama lain dalam bidang ekonomi, politik dan sosial budaya. Saran Perlu upaya dialog budaya berkelanjutan secara vertikal dan horisontal bagi berbagai kelompok lintas etnik, ras dan agama.
36
Mengoptimalkan peran kongres kebudayaan dalam melahirkan strategi baru mengembangkan kebudayaan nasional. Mengembangkan pemahaman dan pendidikan multikultural bagi masyarakat sebagai upaya merajut (kembali) kohesi kebudayaan nasional.
DAFTAR RUJUKAN Anderson, Benedict. (1995), Imagined Communities atau Komunitas-komunitas Terbayang, terjemahan Omi Intan Naomi (2000), Insist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Cassell, Chaterine dan Gillian Symon (Eds.). (1994). Qualitative Methods in Organizational Research: A Practical Guide, Sage Publications, London. Eriksen, Thomas Hylland. (1993). Ethnicity and Nationalism: Anthropologycal Perspective, Pluto Press, London. Holt, Claire. (1967). Art in Indonesia: Contuniities and Change atau Melacak Jejak Perkembangan Seni Pertunjukan di Indoensia, terjemahan R. M. Soedarsono (2000), Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, Bandung. Kartamihardja, Achdiat. (Eds.). (1977). Polemik Kebudayaan, Pustaka Jaya, Jakarta.
Volume 27, 2012
Setyaningrum. (2004), Multikulturalisme sebagai identitas kolektif, kebijakan publik dan realitas sosial. Dalam Hiariej, Erick dkk (Eds.); Politik transisi pasca Soeharto, Fisipol Universitas Gajah Mada, Yogyakarta Suacana, I Wayan Gede. (Januari 2005). “Diferensiasi Sosial dan Penguatan Toleransi dalam Masyarakat Multikultural”, dalam Jurnal Kajian Budaya Universitas Udayana Nomor 3 Volume 2 Januari 2005, Kajian Budaya, Universitas Udayana Denpasar, Denpasar.
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Suparlan, Parsudi. (16-19 Juli 2002). “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultur”, dalam Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia ke-3: Membangun Kembali; “Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika, Menuju Masyarakat Multikultural”, di Kampus Universitas Udayana Denpasar. Utama, Mahendra P. (23 Januari 2012), Globalisasi, Diplomasi Kebudayaan dan Komodifikasi Budaya, But.http://staff.undip.ac.id/sastra/mahendra/2009/ 07/23/16/
37