UNAIR Sambut Maba Bidikmisi dengan Motivasi UNAIR NEWS – UNAIR kembali menyambut mahasiswa penerima bantuan pendidikan Bidikmisi yang lolos melalui jalur SNMPTN. Sebanyak 373 calon mahasiswa penerima bidikmisi tersebut diberi motivasi dan pengarahan mengenai bidikmisi di Aula Garuda Mukti. “Acara sambutan untuk maba ini kami bagi menjadi dua hari yakni Rabu, 1 Juni dan Kamis, 2 Juni, hari pertama ada 187 dan hari kedua ada 186 calon mahasiswa baru bidikmisi,” ujar Tama selaku ketua panitia. Acara yang juga menghadirkan orang tua atau wali mahasiswa tersebut dihadiri oleh Wakil Rektor IV UNAIR, Junaidi Khotib, S.Si., M.Kes., Ph.D. Pada sambutannya, ia mengatakan bahwa UNAIR sama sekali tidak pernah membedakan status ekonomi mahasiswa. Baik penerima beasiswa ataupun golongan dengan UKT tertinggi tetap diberikan fasilitas yang sama, baginya kesungguhan dan niatan masing-masing mahasiswa yang nantinya menentukan hasil yang berbeda. “Bagi mahasiswa penerima bidikmisi tidak perlu khawatir, kesempatan belajar menggunakan fasilitas sama dengan mahasiswa yang bayar mahal sekalipun,” tegasnya. Doktoral lulusan Universitas Hoshi tersebut juga menyampaikan, bahwa pentingnya peran orang tua untuk terus mendukung putraputrinya, pasalnya peran dukungan tersebut amat menentukan keberlangsungan studi kedepannya. “Pada periode wisuda, tidak sedikit mahasiswa yang menjadi lulusan berprestasi muncul dari anak-anak bidikmisi seperti kalian, tentunya orang tua juga berperan dalam hal ini,” tegasnya.
Menambahkan pernyataan Warek IV, Direktur Kemahasiswaan UNAIR, Dr. M. Hadi Shubhan., S.H., M.H., CN., mengungkapkan jika orang kaya ataupun anak pejabat yang bisa menempuh pendidikan tinggi itu merupakan hal yang lumrah. “Jika yang bermodalkan bambu runcing ini bisa merdeka, artinya yang kecil bisa kuliah ini baru luar biasa,” ujarnya yang disambut tepuk tangan para hadirin. Hadi juga menjelaskan bahwa bidikmisi bukanlah kuliah secara gratis, melainkan kuliah yang pembayarannya ditanggung negara. Program yang digagas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono tersebut memiliki misi utama yakni untuk memutus mata rantai kemiskinan. “Biaya hidup, biaya kuliah, ini semua ditanggung negara dan harapannya bisa memutus mata rantai kemiskinan,” tuturnya. Di penghujung acara, panitia menghadirkan Hudha Abdul Rahman, alumni penerima bidikmisi yang berprestasi, ia dihadirkan untuk menularkan semangat kepada semua hadirin. Alumnus Sastra Indonesia UNAIR yang kini tengah menempuh pendidikan S2 Sastra di Universitas Padjajaran Bandung tersebut menuturkan, bahwa pentingnya untuk bermimpi sejak awal kuliah dan memetakan target yang ingin digapai. “Video yang saya putar ini silahkan dibayangkan, bahwa yang ada di gambar tersebut selanjutnya adalah kalian,” tegas Hudha yang juga merupakan mahasiswa penerima beasiswa LPDP. (*) Penulis : Nuri Hermawan Editor : Dilan Salsabila
Dengan Lesehan, Rektor Sambut Sambat Warga UNAIR NEWS – “UNAIR kampus rakyat, UNAIR kampus rakyat, UNAIR kampus rakyat,” itulah sorakan dari kurang lebih 300 warga Desa Lakardowo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, yang disambut Rektor UNAIR dengan lesehan di Hall lantai satu Gedung Rektorat. Kedatangan mereka bertujuan untuk memohon agar UNAIR membantu dalam menangani kasus limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3) yang telah mencemari sumber air sumur mereka. “Lima tahun yang lalu PT Putra Restu Ibu Abadi melakukan penimbunan B3 di lingkungan warga, padahal di Jawa Timur tidak ada perusahaan yang memiliki izin untuk penimbunan,” jelas Prigi Arisandi, alumnus UNAIR yang fokus pada kelestarian lingkungan. Prigi juga menambahkan bahwa warga sebenarnya telah melakukan berbagai upaya, mulai mengajukan masalah ini ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Lingkungan Hidup (BLH) provinsi dan kabupaten, namun belum ada respon sama sekali. “Rakyat ini saat mengadu ke mereka dituduh mengada-ada, dan ketika tim ahli mereka datang mengkaji air yang tercemar, kata mereka tidak ada apa-apa, padahal sudah ada kurang lebih 200 anak di lima dusun yang terkena, bahkan lima dusun tersebut setiap hari harus beli air galon,” tegas aktivis lingkungan tersebut. Sikap warga pun berlanjut dengan menggelar aksi ke Istana Grahadi, Kamis (2/6). Selepas dari Grahadi, warga akhirnya bergerak menuju UNAIR untuk meminta bantuan dari pihak akademisi UNAIR untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. “Kami yakin Rektor akan berpihak pada kepentingan rakyat dan
UNAIR mau membela kita, karena selama ini tidak ada yang membela kami,” tegasnya. Warga yang hadir pun juga juga berkesempatan untuk menyampaikan aspirasi. Salah satunya adalah Supriyadi, warga Dusun Kedungpalang, menjelaskan bahwa mulanya warga memang buta mengenai masalah B3. Perlahan tapi pasti, lima tahun berjalan warga mulai terdampak. Hingga melakukan beberapa aksi yang sampai saat ini belum ada tanggapan sama sekali dari pihak berwenang. “Saya khawatir lima tahun lagi anak-anak kami tidak bisa merasakan sumber air sumur yang bersih lagi, kami sudah lelah dan lelah, pihak terkait tidak pernah merespon sama sekali,” keluhnya.
Senyum Hangat Rektor Saat Menerima Warga Desa Lakardowo Di Hall Lantai 1 Kantor Manajemen UNAIR. (Foto: Nuri Hermawan) Menanggapi penjelasan Prigi dan Supriyadi, Rektor UNAIR, Prof. Dr. Moh. Nasih, SE., MT., Ak., CMA., menjelaskan bahwa
kewenangan masing-masing pihak berbeda. Prof Nasih juga menekankan bahwa dalam waktu yang dekat, UNAIR akan membentuk dan menerjunkan tim untuk mengkaji sekaligus menganalisis kasus yang ada. “Secara akademik kami akan menerjunkan tim kami, kami juga punya pakar lingkungan, kesehatan masyarakat, sosial politik, kesemuanya saya berharap bisa melakukan kajian ini dalam waktu yang tidak lama,” ungkap Prof Nasih. Guru Besar FEB UNAIR tersebut juga menambahkan bahwa dari hasil kajian tersebut nantinya akan disampaikan pada pihak yang terkait. “Hasil kajian bahaya limbah ini bisa kami teruskan bisa ke pihak yang mempunyai hak, kalau UNAIR nutup pabrik gak mungkin, UNAIR tidak punya kewenangan, ada aparat yang berwenang untuk hal itu,” jelasnya sembari disambut tepukan tangan warga. (*) Penulis: Nuri Hermawan Editor: Dilan Salsabila
Butuh Ide dari Mahasiswa Guna Tingkatkan Pembangunan Infrastruktur Indonesia UNAIR NEWS – Mahasiswa berperan besar dalam pembangunan Indonesia dengan penyampaian sumbangsihnya melalui sebuah ide. Hal tersebut tersiratkan dalam sebuah diskusi nasional bertajuk “Percepatan Pembangunan Infrastruktur dalam Meningkatkan Daya Saing dan Menurunkan Disparitas” di Aula
Fadjar Notonegoro. Diskusi tersebut merupakan rangkaian dari acara “9 Eccents : Economic Event 2016” yang diadakan oleh Hima Ekonomi Pembangunan FEB UNAIR. Diskusi nasional yang diadakan Kamis (2/6), tersebut diikuti oleh perwakilan dari 15 peserta dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia yang lolos seleksi penulisan karya ilmiah. Beberapa diantaranya seperti Universitas Airlangga sebagai penyelenggara, lalu Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas Brawijaya, hingga Universitas Hassanuddin Makassar. “Saya ucapkan selamat kepada 15 peserta yang telah lolos seleksi penulisan karya ilmiah, dari sinilah ide-ide dari mahasiswa yang cemerlang diharapkan dapat membantu dalam pembangunan Indonesia,” ujar Prof. Dr.Hj. Dian Agustia, SE.,M.Si.,Ak., Dekan FEB UNAIR, saat memberi sambutan. Sebagai Keynote Speaker dalam diskusi tersebut, Andie Megantara, Ph.D, mengatakan bahwa penyelesaian infrastruktur tidak hanya butuh waktu satu atau dua tahun. Ketika Infrasruktur di Indonesia sudah bagus, hal tersebut akan mengundang FDI (Foreign Direct Invesment) untuk menanamkan modalnya di Indonesia. “FDI berhak memilih, kalau infrastruktur Indonesia belum membaik, tidak mungkin mereka lebih milih Indonesia daripada negara lain yang menarik minat mereka,”ujarnya. “Karena modal itu tidak mengenal warga negara,” imbuh Asisten Deputi Fiskal Kementrian Koordinasi Bidang Perekonomian Republik Indonesia tersebut. Andie mengandaikan jika Indonesia dapat menurunkan disparitas (kesenjangan, -red) dan memiliki daya saing ekonomi yang lebih kompetitif maka dapat dipastikan ekspor dari Indonesia akan meningkat, selain itu, akan ditemukan pengganti untuk produk impor yang sebelumnya telah dilakukan oleh Indonesia. Dalam kesempatan tersebut, Andie juga mengatakan bahwa pihaknya
membutuhkan ide-ide cemerlang dari para mahasiswa untuk mendorong dalam penurunan disparitas di Indonesia. “Diskusi ini juga sekalian untuk mengajak temen-temen mahasiswa untuk menyumbang ide-ide cemerlangnya,” pungkasnya. (*) Penulis : Dilan Salsabila Editor : Nuri Hermawan
Lakon Sang Prabu dalam Naskah Festival Wayang Airlangga UNAIR NEWS – Siapa yang tidak kenal Airlangga, nama seorang raja yang pernah memimpin tanah Jawa di abad ke-11, kini diabadikan menjadi nama sebuah perguruan tinggi terkemuka di negeri ini. Namun tidak banyak orang yang mengetahui sepak terjang raja yang mendapat julukan Sang Pembaru Tanah Jawa tersebut. Sebagai bagian dari bentuk tanggung jawab untuk mengenalkan perjalanan Prabu Airlangga sekaligus sebagai rangka memperingati dies natalis yang ke-62, UNAIR menggelar Festifal Wayang Airlangga dengan berpijak pada nama tokoh Airlangga yang penuh nilai historis dan filosofis. “Festival Wayang Airlangga yang diselenggarakan tahun ini merupakan kelanjutan dari kegiatan Dies Natalis tahun sebelumnya yang mengangkat lakon Airlangga Winisudo dengan menggambarkan lahirnya seorang ksatria bernama Airlangga,” tutur Prof. Bambang Tjahjadi sembari membuka Diskusi Sejarah Airlangga di Rumah Kebudayaan Jawa Timur, Selasa (31/5). Menambahi pernyataan Prof. Bambang, Dra. Adi Setijowati, M.Hum., selaku Wakil Ketua Panitia Festival Wayang Airlangga
menjelaskan bahwa Festival Wayang Airlangga tahun ini terdiri atas beberapa acara, diantaranya adalah Sayembara Penulisan Naskah Lakon Airlangga dan Pagelaran Wayang Airlangga. Sebagai bekal bagi para dalang, seniman, sastrawan, dan para peminat sayembara tersebut, diadakanlah diskusi yang menghadirkan arkeolog dan sejarawan dari Universitas Indonesia dan Universitas Airlangga. “Diharapkan dengan adanya penjelasan sejarah dari para ahli, semakin banyak peminat untuk mengikuti Sayembara Penulisan Naskah Wayang ini,” tutur Adi. Dr. Ninie Susanti sebagai penulis buku Airlangga Tokoh Pembaru Jawa Abad XI mengungkapkan kebanggaannya kepada raja yang memerintah Mataram Kuno pada tahun 1019-1043 Masehi tersebut. Sebagai arkeolog FIB UI, Ninie menjelaskan perjalanan panjang sang prabu, mulai dari proses lahir, persitiwa pralaya, hingga pengembaraan Airlangga
menjadi seorang raja.
“Bagaimanapun kisah Airlangga ini sangat menarik bagi saya,” tandasnya. Senada dengan Ninie, Adrian Perkasa, M.A, menekankan pembagian sejarah hidup Airlangga yang terbagi menjadi tiga tahap kehidupan. Mulai tahap Airlangga dan Pralaya, konsolidasi kekuasaan, hingga pembagian kerajaan. Sejarawan UNAIR tersebut mengungkapkan pentingnya pembahasan sejarah Airlangga untuk memperdalam pemahaman disayembarakan.
dalam
menulis
lakon
yang
akan
“Pentingnya mendalami sejarah Airlangga untuk menyambut sayembara ini, agar mampu memberikan inspirasi bagi siapa saja yang berminat untuk mengikuti sayembara,” tegas Adrian. (*) Penulis: Nuri Hermawan Editor: Dilan Salsabila
Menyesap Dokter, Diplomat
Cerita Seorang Pendidik, dan
UNAIR NEWS – Guru Besar Emeritus Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (UNAIR) Prof. Dr. H.R. Soedarso Djojonegoro, dr., AIF, masih aktif mengajar dan menguji tugas akhir mahasiswa hingga sekarang. Pengajar senior berusia 84 tahun pada Departemen Ilmu Faal FK UNAIR ini baru meluncurkan buku berjudul Jalan Pengabdian: Catatan Seorang Dokter, Pendidik, dan Diplomat dalam Mencetak Generasi Bangsa. Prof. Soedarso pernah menjadi orang nomor satu di kampus ini. Pria kelahiran Pamekasan, 8 Desember 1931, itu pernah menjabat sebagai Rektor selama dua periode. Yakni pada 1984 – 1989, dan 1989 – 1993. Sebelum berkalung gordon emas, dia sempat menjabat sebagai Sekretaris UNAIR dan Pembantu Rektor III bidang akademik dan kemahasiswaan. Tentu, banyak pelajaran yang bisa dipetik dari Prof Soedarso. Beberapa waktu lalu, kru News Room UNAIR mendapat kesempatan berbincang dengannya. Beragam kisah terekam dalam obrolan santai tersebut. Mulai cerita perjalanan karir hingga harapannya untuk UNAIR di masa datang. Berikut hasil wawancara lengkapnya. Apa perbedaan yang paling terasa ketika Prof. Soedarso menjabat sebagai Rektor UNAIR periode pertama dan kedua? Perbedaannya sih tidak begitu terlihat. Yang berbeda hanya dalam proses pembangunan fisik. Kalau pada periode pertama, saya meneruskan pembebasan tanah dan mulai mencicil pembangunan fisik di Kampus C. Nah, pada periode kedua, saya
meneruskan pembangunan fisik tersebut seoptimal mungkin. Waktu itu fokus yang saya bangun adalah Kantor Manajemen Kampus C. Awalnya, saya ingin membangun delapan tingkat. Namun, hanya terwujud lima tingkat. Karena proses administrasinya terlalu lama, akhirnya diberhentikan pemerintah. Itu saja yang saya anggap penting dalam hal perubahan. Jenis-jenis kegiatan pada tahun 1984 tidak begitu banyak variasinya bila dibandingkan dengan zaman sekarang. Sedangkan kalau dari aspek penelitian, selama masa jabatan saya, selalu ada peningkatan. Dalam bedah buku, Prof. Soedarso sempat bercerita tentang situasi kemahasiswaan pada masa itu. Kepada siapa mereka berdemonstrasi dan apa tuntutannya? Alhamdulillah tidak ada yang demo ke rektorat. Pada zaman itu, mahasiswa Indonesia lebih banyak demo untuk melawan kebijakan pemerintah. Saat itu kepengurusan antar-organisasi mahasiswa ekstra kampus tidak semenonjol sekarang. Mereka fokus untuk melawan pemerintah. Makanya, sampai ada normalisasi kehidupan kampus. Itu sepanjang yang saya tahu, ya. Tidak pernah sampai (ricuh) yang seperti di Makassar itu. Bagaimana sikap rektorat terhadap situasi kemahasiswaan pada saat itu? Saya menerapkan kebijakan bahwa demokrasi itu tidak boleh seenaknya. Karena, pada saat itu pemerintah menerapkan demokrasi terpimpin. Kalau ada protes-protes, silakan. Saya jaga agar semuanya berjalan tertib. Kebetulan, di masa tersebut saya masih menjabat sebagai pembantu rektor III selama tiga periode berturut-turut. Saya selalu bilang, kalau mau demo, izin terlebih dulu. Kami selalu dampingi. Tidak seperti universitas yang lain. Kalau mereka izin, ya sudah demo saja. Tapi, kami dampingi agar
nanti tidak bentrok dengan pihak aparat. Demo saja. Sering itu. Bahkan, anak saya yang masih mahasiswa (pada saat itu), juga sudah berhadap-hadapan dengan aparat di kantor gubernuran Indrapura. Saya langsung turun ke sana, tetapi tidak dalam posisi memimpin. Jadi, ada sungkan dari kedua belah pihak antara mahasiswa dan aparat. Bagaimana akhirnya Prof. Soedarso bisa menjadi diplomat? Jadi, setelah tahun 1993, saya selesai menjabat sebagai rektor. Setelah menjadi rektor, saya kembali ke bagian Ilmu Faal. Pada tahun 1994, masa tugas Duta Besar RI untuk Prancis pada saat itu habis. Maka, harus dicari penggantinya. Tradisi pada waktu itu, duta besar sebaiknya adalah mantan rektor. Kebetulan, mantan rektor pada momen tersebut adalah saya. Saya pun diminta oleh Departemen Luar Negeri (Deplu yang saat ini bernama Kementerian Luar Negeri) Presiden. Presiden menyetujui.
dan
diusulkan
kepada
Bagaimana transisi antara dokter, rektor, dan duta besar? Apa tugas yang diemban Prof. Soedarso pada saat itu? Semua calon duta besar harus melewati penataran. Apa saja yang boleh dilakukan dan tidak boleh, sudah digariskan protokoler. Tugas-tugas itu selalu saya kerjakan dengan anak buah. Harus selalu ada komunikasi yang erat dengan Deplu. Ketika saya menjadi dubes, yang menjadi masalah adalah wacana disintegrasi Timor Timur (Timtim). Kawasan itu masih termasuk Indonesia. Sebagian pemberontak berkeinginan agar Tiimtim merdeka dengan bantuan Portugal. Itulah yang menjadi kerikil dalam perjalanan tugas saya di Perancis. Maklum, persoalan itu menjadi isu hangat di level dunia. Nah, saya dituntut untuk bisa menjaga nama baik negeri kita. Saya bertugas di Perancis pada tahun 1995 – 1999. Hampir dua periode. Mestinya, sampai 2001. Tapi, saya mengajukan
pengunduran diri ke Menteri Luar Negeri Ali Alatas dengan alasan ingin kembali ke kampus. Saya lebih senang di dunia pendidikan daripada dunia politik. Akhirnya, pengunduran diri diterima karena kebetulan sudah ada orang yang bisa menggantikan. Apa yang Anda lakukan setelah kembali ke kampus? Saya kembali menjadi dosen. Mengajar lagi. Sampai Januari 2002, usia saya melebihi 70 tahun. Akhirnya, saya pensiun. Meski demikian, sampai sekarang tahun 2016, saya diangkat sebagai Guru Besar Emeritus dan masih mengajar. Dari sisi lain, itu (mengajar, Red) keuntungan bagi saya, karena otak saya terus terlatih dan jadi tidak pikun. Saya juga masih menguji karena masih punya promovendus. Saat ini, saya tidak lagi melakukan penelitian. Biarkan yang muda yang melakukan penelitian. Saya juga masih mempunyai mahasiswa S-2,
S-3 di UNAIR dan Unesa (Universitas Negeri Surabaya).
Sampai saat ini saya juga masih rutin ke FK UNAIR. Saya pun memegang Yayasan Pendidikan Anak Buta dan menjadi Dewan Penyantun di Universitas Wijaya Kusuma. Saat ini, UNAIR sedang ditarget oleh pemerintah untuk menembus peringkat 500 besar kampus top dunia. Menurut Prof. Soedarso, apa yang perlu ditingkatkan oleh UNAIR? Sederhana saja. Untuk mencapai mimpi itu, yang perlu ditingkatkan adalah kualitas sumber daya manusia (SDM). Itulah yang selama ini menjadi nilai tambah pada perguruan tinggi berkelas dunia. Dengan meningkatnya kualitas SDM, penelitianpenelitian dan bidang lain akan meningkat. Oleh karena itu, baik pimpinan universitas dan fakultas, harus meningkatkan kualitas SDM masing-masing. (*) Penulis: Defrina Sukma S. Editor: Rio F. Rachman
Pakar DBD dan Tifus FK UNAIR Berpulang UNAIR NEWS – Universitas Airlangga kembali kehilangan salah seorang putra terbaiknya. Guru Besar bidang Ilmu Penyakit Dalam sub Tropik dan Infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Prof. Eddy Soewandojo, dr., Sp.PD., K-PTI, FINASIM meninggal dunia pada Kamis (2/6). Almarhum kelahiran Jakarta, 25 November 1940 itu tutup usia pada 76 tahun. Sebelum dikebumikan di TPU Keputih Surabaya, jenazah disemayamkan terlebih dulu di Aula FK UNAIR. Sanak keluarga, kerabat, teman sejawat dan para guru besar berkumpul di Aula memberikan penghormatan terakhir, Jumat pagi (3/6). Direktur RS UNAIR, Prof. Dr. Nasronuddin, dr., Sp.PD., K-PTI, FINASIM turut berbagi pengalaman mengenai sosok almarhum Prof. Eddy semasa hidup. Menurut Prof. Nasron, almarhum dikenal sebagai seorang guru yang baik dan jujur. Dalam bidang penyakit tropik dan infeksi, almarhum menjadi panutan karena dikenal ulet dan amat memiliki perhatian khusus terhadap permasalahan penyakit demam berdarah dengue maupun demam typoid. Beliau juga banyak menghasilkan karya penelitian sebagai salah satu upaya menanggulangi permasalahan DBD di Indonesia. Bahkan sang profesor juga dikenal banyak berkontribusi dalam inovasi melalui uji klinis obat-obatan penyakit demam berdarah. “Yang selalu beliau tekankan adalah pentingnya upaya pencegahan DBD ketimbang mengobatinya,” ungkap Prof. Nasron. Selain menaruh perhatian besar pada permasalahan penyakit DBD, Prof. Eddy juga dikenal menonjol dalam penanggulangan demam tifoid atau penyakit tifus. Kala itu, Prof. Eddy menjadi salah
satu tokoh kunci dalam pengembangan riset pengobatan tifus pada tahun 2002 bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lembaga kesehatan dari Hongkong, dan tujuh perguruan tinggi lainnya di Indonesia. Alhasil, dengan perjuangan bersama dihasilkan sebuah terobosan obat anti-demam tifus bernama Levofloxacin. Antibiotik ini dinilai lebih unggul dibandingkan jenis antibiotik lainnya seperti kelompok Fluoroquinolone, yakni Ciprofloxacin. Levofloxacin mampu menurunkan panas lebih awal daripada Ciprofloxacin. Selain itu, efek samping seperti mual, muntah, dan gangguang fungsi hati lebih ringan daripada Ciprofloxacin. Antibiotik ini cukup diberikan selama tujuh hari namun dengan dosis cukup sekali sehari. Sehingga, lebih efektif dalam mencegah komplikasi dan memperpendek pengobatan. Dalam kesempatan yang sama, Wakil Rektor III UNAIR periode 2009 – 2014 Prof. Soetjipto, dr., MS, Ph.D, pun punya pengalaman istimewa tersendiri bersama Prof. Eddy. Selain dikenal sebagai salah satu pakar penyakit tropik dan infeksi, Prof. Tjip juga mengenal Prof. Eddy sebagai guru yang menaruh perhatian cukup besar pada perkembangan kurikulum pendidikan kedokteran. Karena sama-sama menekuni pendidikan kedokteran, salah satu yang paling dikenang dari sosok Prof. Eddy, adalah kegemaran almarhum untuk selalu berdiskusi mengutarakan berbagai pemikiran kolektif, dan berbagai inovasi perkembangan modul demi meningkatkan kualitas pendidikan kedokteran ke depan. Pribadi yang ‘lurus’ Prof. Troeboes Poerwadi, dr., Sp.S, adalah salah seorang yang turut menghadiri prosesi persemayaman jenazah Prof. Eddy. Kedatangannya tidak hanya sebagai teman seangkatan di FK UNAIR, tapi juga sekaligus sebagai kawan sepermainan sejak duduk di bangku sekolah menengah atas.
“Prof. Eddy adalah teman dekat saya sejak sama-sama sekolah di SMA 2 Surabaya. Dulu dia ketua kelas. Terkenal pendiam, tekun tapi gampang diakali. Karena saya dengan teman lainnya yang nakal, dia tidak. Kalau saya bolos sekolah, dia yang saya suruh jaga kelas bersama murid perempuan lainnya,” kenang Prof. Troboes. Pertemanan keduanya pun berlanjut hingga masuk perguruan tinggi FK UNAIR. Selama menempuh pendidikan, Prof. Troeboes dan Prof. Eddy telah melalui banyak suka duka. “Salah satu yang berkesan adalah kami dulu punya grup namanya ‘Kaipang’. Ini kumpulan mahasiswa konyol dan ndak berduit. Jadinya, kami kalau belajar di selasar kampus. Setiap ada perayaan Dies Natalis UNAIR, kami selalu sibuk jadi tukang. Tukang menata kenangnya.
meja
kursi
untuk
acara.
Seru
pokoknya,”
Di mata Prof. Troeboes, Prof. Eddy adalah sosok teman belajar dan teman main yang baik. Prof. Eddy termasuk pribadi yang ‘lurus’ dan tidak suka neko-neko. “Prof. Eddy kala itu anak seorang pejabat gubernur. Setiap kali habis ada acara kunjungan tamu dari luar negeri yang disambut di rumah dinas, beliau selalu telepon saya dan kawan lainnya. Dia meminta kami untuk ke rumahnya. Mreneo, ana panganan neng kene. Tamune wis mulih (Kesinilah, ada banyak makanan disini, karena tamu sudah ndak ada),” kenangnya menirukan ucapan Prof. Eddy kala muda. Kepergian Prof. Eddy tentu menyisakan kesedihan mendalam bagi Prof. Troeboes. Yang lebih menyedihkan lagi, beberapa teman seangkatan tahun 1960an sedikit demi sedikit mendahului dirinya untuk menghadap Sang Khalik. Belakangan, kondisi kesehatan Prof. Eddy memang menurun. Prof. Troeboes terakhir bertemu dengan Prof. Eddy beberapa bulan lalu di sebuah acara pesta pernikahan. “Semenjak sakit, Prof Eddy menjadi pelupa. Tapi dia paling ingat dengan saya,dengan istri saya yang juga temannya sejak
kecil saja dia malah lupa,” ungkapnya. (*) Penulis: Sefya Hayu I. Editor: Defrina Sukma S.
Ramadhan Tiba, Siapkan Niat Dan Hati UNAIR NEWS – Ada yang istimewa di pengajian rutin sivitas UNAIR kali ini, pasalnya pengajian yang digelar tiap bulan sekali tersebut dilaksanakan di Masjid Ulul Azmi UNAIR, Kamis (2/6). Bagi Wakil Rektor II UNAIR, Dr. Muhammad Madyan, S.E., M.Si., M.Fin., pengajian perdana yang diselenggarakan di Masjid Ulul Azmi kampus C UNAIR ini akan menjadi sejarah. “Pengajian ini adalah pengajian bersejarah, karena perdana di masjid tercinta ini, semoga dengan ini bisa menjadi dorongan sivitas UNAIR untuk terus memakmurkan masjid, “ tuturnya saat memberikan sambutan. Pada pengajian edisi menyambut Bulan Suci Ramadhan 1437 Hijriah tersebut, Ustadz dr. Agus Fauzi, PDG., Pall., Med., membuka ceramah dengan mengingatkan kepada jamaah yang hadir untuk senantiasa bersyukur dan tidak terlalu mencintai hal-hal yang berkaitan dengan duniawi. Baginya kebanyakan penyakit itu muncul disebabkan dari hati yang tidak terkontrol, mudah marah, merasa dengki, iri, dan tidak ikhlas menerima pemberian Allah SWT. “Teruslah bersyukur, bersedekah, sama Allah jangan hitunghitungan, ingat banyak penyakit yang sejatinya disebabkan dari hati bukan sebab makanan yang dimakan,” jelasnya.
Dokter yang sudah lebih dari 20 tahun berkecimpung dalam dunia medis tersebut juga mengajak para hadirin untuk meningkatkan ibadahnya di bulan puasa tahun ini. Selain itu, Ustadz Agus juga menekankan untuk menata niat, menata hati untuk senantiasa ikhlas karena Allah SWT. “Ayo kita siapkan baik-baik Ramadhan tahun ini, ibadahnya ditambah, jangan sampai detik-detik di bulan puasa ini terlewat tanpa zikir,” serunya. Ditengah tausiyah yang berlangsung hampir dua jam tersebut, Ustadz Agus juga menekankan pentingnya bekerja dengan tulus, semangat, dan tidak berorientasi semata-mata pada uang. Dalam kesempatan tersebut, ia juga menyampaikan bahwa puasa adalah momen yang tepat untuk menyucikan hati, menyiapkan bekal iman untuk kehidupan sebelas bulan ke depan. “Ramadhan itu menyucikan hati, ingat jika hati bersih, penyakit lewat,” tegasnya dihadapan hadirin. (*) Penulis: Nuri Hermawan Editor: Dilan Salsabila
IKAFE ‘82 dan IKAFE ’85 Terus Sumbang Pembangunan Masjid Ulul ‘Azmi UNAIR NEWS – Walaupun masjid sudah diresmikan penggunaannya, tetapi karena pembangunannya belum selesai dan masih berlanjut, maka IKA FE 1985 masih akan terus menggali donatur untuk disumbangkan ke masjid “Ulul ‘Azmi” kampus C Universitas Airlangga Surabaya. Tekad itu disampaikan wakil alumni
Fakultas Ekonomi (FE) UNAIR ‘85, Agus Widiastono, usai menyerahkan bantuan sebesar Rp 100.000.085, Jumat (27/5). Secara simbolis bantuan tersebut diserahkan Agus dan diterima oleh Drs. Ec. Mashariono, MBA., mewakili pengurus IKA UNAIR. Infak IKA-FE ’85 kali ini merupakan bantuan yang kelima kali, sehingga sampai saat sudah mencapai Rp 400.000.085 (Empat ratus juta rupiah). Selain itu IKAFE 1982 juga menyerahkan bantuan yang sama sebesar Rp 30 juta, yang diserahkan oleh Josh Kilsa, wakil IKAFE ‘82. Seperti diketahui, masjid “Ulul ‘Azmi” di kampus C UNAIR Mulyorejo Surabaya ini merupakan bantuan dari Ikatan Alumni UNAIR (IKA UNAIR). Sehingga anggaran pembangunannya merupakan gotong-royong para alumni UNAIR, namun juga menerima donasi/infak dari luar, termasuk karyawan UNAIR dan masyarakat. Peletakan tiang pancang pertama pada akhir Desember 2014, masjid tiga lantai ini diresmikan penggunaannya pada 27 Mei 2016, dengan menelan biaya mencapai Rp 17 miliar. ”Meskipun sudah diresmikan, tetapi karena pembangunannya belum selesai, kami dari IKA-FE ’85 akan terus ‘memprovokasi’ temanteman untuk terus berinfak dan membantu pembangunan masjid Ulul ‘Azmi ini. Mudah-mudahan alumni lain juga demikian,” kata Agus Widiastono IKAFE ’85.
Pengurus IKA UNAIR Drs. Ec. Mashariono (keempat dari kiri) secara simbolis menerima bantuan dari wakil IKAFE 1982, Josh Kilsa, untuk pembangunan masjid Ulul ‘Azmi. (Foto: Bambang Bes) Ditambahkan oleh Josh “Kilsa”, mahasiswa FE angkatan 1982 dulu tercatat ada 250 mahasiswa, namun setelah lulus dan menjadi alumni, secara pelan tapi pasti jumlah yang terhimpun IKA terus bertambah. Dari semula 182 orang hingga kini sudah menjadi 197 orang anggota IKAFE ‘82. ”Infak ini baru dari sebagian saja, dan kami akan mengingatkan kepada teman yang lain untuk bikin tabungan di akhirat melalui masjid kita ini,” kata Josh “Kilsa”. Drs. Ec. Mashasiono, MBA yang mewakili pengurus IKA-UA, kepada para wakil donatur tersebut menyampaikan terima kasih atas komitmen dan keperdulian teman-teman alumni UNAIR untuk terus berpartisipasi terhadap pembangunan masjid Ulul ‘Azmi ini. Sebagai panitia pembangunan masjid, Mashariono juga berharap kepada alumni yang lain terus berpartisipasi terhadap penyelesaian pembangunan masjid yang memang disumbangkan oleh
alumni untuk almamater ini. “Terima kasih atas semua infak sodakoh dan donasi lainnya untuk masjid kita ini, semoga Allah membalas lebih dari apa yang didonasikan,” demikian Pak Mas, sapaan akrab sesepuh IKA UNAIR ini. (*) Penulis: Bambang Bes
Terbuailah Ripah Ripah gempar. Kasak-kusuk yang beredar, Presiden akan datang ke Ripah bertepatan dengan pembukaan musim tanam sepekan lagi. Jarang-jarang ada orang besar dari Jakarta mengunjungi Ripah, apalagi ini orang nomor satu di Republik. Ripah jauh dari pusat negara, jumlah penduduknya pun tidak besar. Kalaulah sekarang ada orang besar datang ke Ripah, pastilah orang yang datang itu orang yang tulus hati dan tidak peduli dengan berapa banyak suara yang akan ia dapat di pemilu nanti. Begitu pikir banyak orang Ripah. Salah satunya adalah Manjo. “Prisiden datang ke Ripah, di Lapangan Pasir Himpit. Bapidato dia di sana ahad, Mak..,” semangat betul Manjo bercerita pada Mak Husin. “Prisiden apa, Jo?” sela Mak Husin. “Eeeh Mak, yang sering kita itu lihat ada di tipi. Kabarnya, bagi-bagi dia traktor ke kita orang Ripah. Jadi bisa pensiunkan itu Arong dan Aring dari bajak Mak punya sawah,” Manjo menggebu. “Panas Kau Jo, berapapun Prisiden itu kasih krator, Arong Aring tidak akan pensiun,” ujar Mak Husin belepotan. Manjo menggerutu, menjual kerbau hari-hari ini harganya mahal tapi
apa daya dirinya jikalau Mak Husin sudah paten dengan kerbaukerbaunya. *** Ahad, Lapangan Pasir Himpit dipadati manusia. Banyak polisi dan laki-laki tegap berbaju hitam siaga berjaga. Presiden akan meyampaikan sepatah dua patah kata menyambut musim tanam yang baru di Ripah. Kabar bahwa Presiden akan membagikan traktortraktor kepada orang Ripah ternyata juga bukan isapan jempol. Sejak dua hari lalu, ratusan traktor merah sudah berjajar rapi di sepanjang jalan Ripah. Sejak hari itu pula, perdagangan kerbau di Ongen, pusat niaga hewan ternak mulai meningkat dari biasanya. Banyak orang Ripah mulai ancang-ancang menjual kerbau-kerbaunya. Beberapa sudah benar-benar menjual kerbaukerbaunya. Mumpung harga masih mahal, jika nanti banyak yang berbondong-bondong menjual harga pasti akan perlahan turun. Begitu pikir mereka. Sorak-sorai menyeruak ketika rombongan Presiden tiba. Nama Presiden dielu-elukan oleh mereka yang memadati Lapangan Pasir Himpit. Banyak yang ingin mendekat ke podium utama, melihat wajah presidennya dari jarak dekat. Apalah daya, pasrahlah ketika barisan berbadan tegap dengan seragam hitam-hitamnya sudah menghadang. Manjo yang begitu antusias dengan kedatangan Presiden dari awal justru telat bangun. Ia pulang lewat tengah malam setelah membantu Mak Saleh, pamannya yang lain yang tidak lain adalah adik dari Mak Husin untuk mempersiapkan sawah yang akan digunakan Presiden untuk penanaman benih Padi secara simbolis hari ini. “Waaaaah, Mak tidak bangunkan saya awal-awal, telat Maaak lihat Presiden bapidato,” ujar Manjo panik sambil bersiap-siap seadanya. Mak Husin yang sedari awal memang tidak begitu antusias nampak cuek dan tersenyum kecut memperhatikan Manjo yang sedang
kalang kabut. “Mak ini memang tak peka, aih…,” ujar Manjo sambil menggerutu. “Mak tak dengar kata-kata aku dulu. Traktor sudah lihat, datang sudah itu. Elok bukan? Kapan hari Mak Saleh sudah jual dia punya kerbau, masih mahal waktu itu. Sekarang, kalo Mak pengen itu traktor dan jual Arong dan Aring, sudah murah itu. Menyesal Mak sekarang…”, ujar Manjo meninggalkan Mak Husin menuju Lapangan Pasir Himpit. “Siapa mau krator…,” Mak Husin tersenyum sinis. *** Traktor-traktor secara simbolis sudah diserahkan ke Bupati untuk dibagi ke penduduk Ripah. Dengan sepatu booth Presiden turun ke sawah menanam benih padi sebagai pertanda dimulainya musim tanam di Ripah. Kilatan kamera mengabadikan momen-momen merakyat Presiden di Ripah. Ripah kembali sunyi setelah Presiden dan rombongannya pergi. Traktor-traktor yang akan dibagi masih berderet di jalanan Ripah, di sampingnya terdapat truk-truk yang beberapa hari lalu membawa traktor-traktor itu ke Ripah. “Kapan ini dibagi, Njo..,” tanya Mak Saleh pada Manjo. Manjo menggeleng sambil meminta pamannya sabar. Menjelang sore, traktor-traktor itu diangkut kembali oleh truk-truk. Instruksi Dinas Pertanian, katanya. Sontak banyak orang Ripah yang sudah berharap kecewa bukan kepalang. “Apa-apaan Njo, kerbauku sudah kau jual. Tak dapat aku traktor gratis,” Mak Saleh sedikit murka. Raut muka Manjo pucat pasi. “Makanya Njo Leh, sabarlah sekejap. Tak usah tergesa. Makmu ini tak buta politik, lebih banyak ingkar dari tepatnya.” Mak Husin tersenyum menang. (*)
Perpustakaan UNAIR Kumpulkan Koleksi Buku Dosen dalam Satu Pojok UNAIR NEWS – Kini, Perpustakaan UNAIR memiliki satu pojok yang menjadi tempat koleksi buku yang ditulis oleh sivitas akademika UNAIR. Pojok baca bernama Satria Airlangga Corner (SAGA Corner) itu baru saja diresmikan di lantai dua Perpustakaan UNAIR Kampus B oleh Rektor Prof. Dr. M. Nasih, S.E., M.T., Ak, Kamis (2/6). Peresmian ini merupakan puncak dari serangkaian acara perayaan HUT ke-61 Perpustakaan UNAIR. Peresmian itu disaksikan oleh Kepala Perpustakaan UNAIR Prof. Dr. I Made Narsa, SE., Ak, Rektor UNAIR periode 1984 – 1993 Prof. Dr. H.R. Soedarso Djojonegoro, dr., AIF, dan jajaran pimpinan UNAIR lainnya. Dalam sambutannya, Rektor UNAIR mengatakan, perpustakaan merupakan gudang ilmu pengetahuan. Sehingga, salah satu faktor penentu kualitas perguruan tinggi bergantung pada keberadaan dan fungsi perpustakaan. “Bahwa perpustakaan itu memiliki peran yang strategis dalam pengembangan universitas. Maju mundurnya universitas juga ditentukan oleh perpustakaan. Maka, perpustakaan merupakan gudangnya ilmu pengetahuan. Sehingga, kita akan lakukan banyak perbaikan. Dalam beberapa kasus, perguruan tinggi besar di dunia, pasti perpustakaannya juga bagus. Perpustakannya hebat pasti perguruan tingginya juga hebat,” tutur Prof. Nasih. Prof. Nasih dalam sambutannya juga memuji kinerja pustakawan dan pimpinan Perpustakaan UNAIR. Menurutnya, perbaikan sarana prasarana perpustakaan sudah mulai banyak terlihat. Sampai
saat ini, perbaikan infrastruktur yang terlihat diantaranya penambahan jumlah komputer untuk mengakses repositori, laman baru untuk mengakses repositori institusi UNAIR, hingga digitalisasi tempat penitipan barang pengunjung. Dengan adanya SAGA Corner, Rektor UNAIR berharap akses ilmu pengetahuan terhadap sivitas akademika bisa lebih terbuka. “Sehingga kinerja dan prestasi sivitas akademika kita akan lebih terangkat,” pesan Prof. Nasih. Peresmian itu ditandai dengan penandatanganan dua papan prasasti tokoh inspiratif yang berisi ungkapan Prof. Nasih dan Prof. Soedarso. Ketika ditemui, Kepala Perpustakaan UNAIR, mengatakan bahwa pojok baca itu berisi seluruh buku karya sivitas akademika UNAIR. “Baik yang diterbitkan di UNAIR ataupun yang diterbitkan di penerbit lainnya. Ada buku, pidato guru besar, maupun karyakarya lainnya. Prinsipnya, adalah pojok baca ini menampung seluruh karya sivitas akademika UNAIR, mulai dari dosen, mahasiswa, dan karyawan di lingkungan UNAIR,” tutur Prof. Narsa. SAGA Corner terletak di lantai dua. Dulunya, ruangan ini digunakan untuk memuat jenis ‘Koleksi Khusus Buku I’ yang berisi buku fiksi maupun non-fiksi terbitan lima tahun terakhir. Saat ini, jumlah koleksi SAGA Corner berada di angka 443 judul. Karya-karya tersebut merupakan terbitan dari tahun 1974 sampai 2016. Untuk menambah kenyamanan pelanggan, SAGA Corner dilengkapi meja dan sofa.
Rektor UNAIR periode 1984 – 1993 Prof. Dr. H.R. Soedarso Djojonegoro, dr., AIF, saat peresmian SAGA, Kamis (2/6). (Foto: UNAIR NEWS) Bedah buku Setelah acara peresmian usai, acara dilanjutkan dengan bedah buku karya Prof. Soedarso, dan Ketua Badan Perencanaan dan Pengembangan Badri Munir Soekoco, Ph.D. Keduanya merupakan pengajar di lingkungan UNAIR yang rutin menerbitkan berbagai karya penelitian. Kali ini, sivitas akademika berkesempatan untuk menghadiri bedah buku karya keduanya. Pada bulan November 2015 lalu, Prof. Soedarso menerbitkan buku berjudul “Jalan Pengabdian: Catatan Seorang Dokter, Pendidik, dan Diplomat dalam Mencetak Generasi Bangsa”. Dalam kesempatan itu, Prof. Soedarso mengemukakan alasan yang mendasari dirinya menulis buku autobiografi. Pada tahun 1997, ia masih bertugas sebagai Duta Besar RI untuk Prancis. Di sela-sela penugasan itu, ia juga pernah diminta
untuk menguji salah satu mahasiswa di luar negeri. “Dia mengucapkan terima kasih. Dia juga bilang ‘saya kagum dengan profesor’. Dia bertanya, bagaimana profesor berhasil menjadi rektor dan duta besar. Apa tidak sebaiknya bikin semacam memoar untuk menjadi inspirasi bagi kaum muda,” tuturnya. Akhirnya, selepas itu ia membuat catatan-catatan penting dalam hidupnya. Pada tahun 2004, ia ditanyai oleh seorang gadis buta yang kala itu duduk di kelas VI sekolah dasar. “Apa kunci agar saya bisa sukses seperti Bapak?,” ujar Prof. Soedarso mengutip tanya gadis itu. Untuk meraih sukses, kata Prof. Soedarso, adalah dengan terus berusaha dan berdoa. Ia kemudian berpikir untuk membuat catatan-catatan penting menjadi sebuah buku setelah bertemu salah satu wartawan. Ketua BPP UNAIR, Badri, juga membedah buku miliknya yang berjudul “Teori Strategi: Evolusi dan Evaluasi”. Buku yang terbit pada tahun 2015 dengan cover dominan putih itu mengulas tentang evolusi dan evaluasi manajemen strategi. Ada juga ulasan mengenai teori perilaku firma, organisasi industri, dan ekonomi organisasi. (*) Penulis: Defrina Sukma S.