Umat Islam Sebagai Sasaran Dakwah Oleh: Enung Asmaya* Abstract Asking other people to the truth and patience is a religious order. Thus, this meassage is important to be delivered to human being. Doing this action will spread goodness and reduce offenders although an evil cannot be completely removed from the earth. Evil doers both muslims and non-muslims are the target of da’wa. To be an effective da’wa, it must be considered some aspects such as cognitive, affective and conative of the people who will get this message. For muslims who incidentally obey religious teaching and often join religious studies, theme of da’wa such ascent to God through the meaning or the heart (understanding the essence of worship which is carried out) would be more relevant to them. This model is done because muslims are not only called upon their religion and the Islamic faith, but also are directed at behavior change for the betterment. This approach aims to establish a muslim who has a true love to God and to implicate for the abstain from actions, fakhsa and munkar. Key Words: Muslim, advice, Ascent to God
*
Dosen Tetap Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah IAIN Purwokerto
35
A. Latar Belakang Masalah Dakwah adalah aktivitas melakukan perubahanruhani, jasmani dan aspek sosial kemasyarakatan sasaran dakwah menjadi lebih baik.2 Dakwah mengkaji akidah(tauhidullah), Islam dan akhlak.3Dakwah juga memperhatikan aspek retorisdan haalagar memudahkan pemahamansasaran dakwah dalam menerima materi yang disampaikan.4 Kecenderung umat Islam saat ini tidak lain,memiliki intensitas mengikuti pengajiandan kajian agama namun tidak disertai denganpengamalan agamanya.5Agama belum menjadi tuntunan dalam kehidupan sehari-hari.6Bahkan dalam kualitas keagamaannya sebagian muslim belum menjadi uswah hasanah. Karena itu meskipun umat Islam mayoritas, namungambaran kehidupannya masih suram; masih lemahnya dalam ketepatan waktu, penegakan disiplin, hidup bersih, dan tindak prilaku korupsi.7
2
Dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsyafan atau usaha mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan Khazanah Ilmu-Ilmu Islam, cet. XI, tahun 1995, hlm. 194. 3 Perwujudan dakwah bukan sekedar usaha peningkatan pemahaman keagamaan dalam tingkah laku dan pandangan hidup saja, tetapi juga menuju sasaran yang lebih luas. Apalagi pada masa sekarang ini, ia harus lebih berperan menuju kepada pelaksanaan ajaran Islam secara lebih menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan, Ibid, hlm. 194. 4 Harus digarisbawahi bahwa metode yang baik sekalipun tidak menjamin hasil yang baik secara otomatis, karena metode bukanlah satu-satunya kunci kesuksesan. Tetapi keberhasilan dakwah ditunjang dengan seperangkat syarat, baik dari pribadi da’i, materi yang dikemukakan, subjek dakwah ataupun lainnya. Ibid, hlm. 194. 5 Sukses tidaknya suatu dakwah bukanlah diukur lewat gerak tawa atau tepuk riuh pendengarnya bukan pula dengan ratap tangis mereka. Sukses tersebut diukur lewat antara lain pada bekas (atsar) yang ditinggalkan dalam benak pendengarnya ataupun kesan yang terdapat dalam jiwa yang kemudian tercermin dalam tingkah laku mereka. Ibid, hlm. 194 6 Pembiasaan mempunyai peranan yang sangat besar dalam kehidupan manusia, karena dengan kebiasan, seseorang mampu melakukan hal-hal penting dan berguna tanpa menggunakan energi dan waktu yang banyak. Dari sini dijumpai bahwa al-Qur’an menggunakan pembiasaan yang dalam prosesnya akan menjadi kebiasaan sebagai alat/cara yang menunjang tercapainya target yang diinginkan dalam penyajian materi-materinya. Ibid, hlm. 198 7 Minimnya uswah hasanah pada sebagian muslim banyak faktor sebabnya salah satunya proses pendidikan agama/dakwah Islam yang dilaksanakan lebih berorientasi akliah daripada kalbunya. Karena itu pengajaran dan pendidikan agama seharusnya lebih berorntasi pada kalbu manusia bukan akalnya atau paling tidak penyucian kalbu harusnya seimbang dengan pencerahaan akal. M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi, al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Lentera Hati, 2006, cet. Ke-II hlm. 335. Namun demikian juga disampaikan M. Quraish Shihab bahwa diperlukan keteladaan karena tidak jarang nilai-nilai yang bersifat abstrak itu tidak difahami, bahkan tidak terlihat keindahan dan manfaatnya oleh orang kebanyakan. Hal-hal yang abstrak dijelaskan dengan perumpamaan yang konkret dan indrawi, keteladanan dalam hal in melebihi perumpamaan itu dalam fungsi dan perannya.
Mengingatkan dan mengajak kepada jalan yang benar adalah perintah agama. Agama memerintahkan amar ma’ruf nahyi munkar agar manusia memiliki kesadaran diri. Terpuruknya bidang pendidikan, ekonomi, keadilan, dan filsafat materialistik barat yang tidak jarang bertentangan dengan ajaran agama Islam menyebabkan kehidupan umat Islam menjadi tidak menentu8 Citra dan potret kemajuan umat Islam yang pernah terukir; saat berada dibawah kepemimpinan Rasulallah SAW, saat umat Islam berada pada kekuasaan Bagdad sebelum akhirnya jatuh ke tangan Kerajaan Mongol pada tahun 1258 M, saat umat Islam berada pada kekuasaan Andalusia Spanyol dan saat tokoh-tokoh muslim produktif dengan cipta karya ilmu pengetahuan.9 Kemajuan umat Islam akan terwujud bersamaan dengan proses perbaikan kesadaran umat Islam dengan pengamalan agama formil yang menuntun pada kehidupan masyarakat yang lebih baik. Pendakian diri menuju sebenar-sebenarnya ibadah kepada Allah SWT menjadi pendekatan yang relevan dengan karakter umat Islam yang sudah mengenal tauhidullah. Karena itu dalam penulisan ini akan membahas tulisan berjudul Umat Islam sebagai sasaran dakwah. B. Pembahasan 1. Pengertian Umat Islam Umat Islam berasal dari dua kata; umat dan Islam. Secara bahasa, pengertian umat adalah kelompok, golongan dan kesatuan. Istilah umat muncul dalam alQur’an dengan beragam derivasinya, seperti dikutip M. Qurasih Shihab, AdDamighani menyebutkan sembilan arti kata ummat itu, yaitu, kelompok, agama
Itu pula sebabnya maka keteladanan diperlukan dan memiliki perannya yang sangat besar dalam mentransfer sifat dan karakter. Ibid, hlm. 358 8 Dalam menghadapi tantangan itu dilakukan umat Islam, pertama, dengan pemurniaan agama, seperti antara lain yang dilakukan oleh Gerakan Wahabiyah di Arab Saudi, as-Sanusiah di Libia, dan Jamaah Islamiah di Pakistan. Mereka berusaha mempertahankan apa saja yang diterima dari Rasul SAW tanpa mempertimbangkan faktor-faktor budaya dan perkembangan positif masyarakat. Kedua, sekelompok kaum muslim yang menilai bahwa tantangan itu harus dihadapi dengan belajar dari Barat dan mengambil segala sesuatu dari sana. Ketiga, ada juga sekelompok kecil yang berusaha mempelajari aneka kemajuan yang dicapai oleh masyarakat Barat dan menerapkannya tanpa meninggalkan kepribadian dan prinsip-prinsip ajaran agama. Ibid, hlm. 87-88 9 M. Quraish Shihab, Ibid, hal. 87. Lihat juga Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cet. Ke-II, 2000. Lihat, Ira. M dan Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cet. Ke-I, 1999. Lihat, Fatah Syukur NC, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet. Ke-IV, 2012. Lihat Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, Cet. Ke-I, 2010.
37
(tauhid), waktu yang panjang, kaum, pemimpin, generasi lalu, umat Islam, orangorang kafir dan manusia seluruhnya.10 Dalam beberapa ensiklopedia seperti dikutip M. Quraish Shihab,adalah sebagai berikut: “Ummat diartikan dengan berbagai arti. Ada yang memahaminya sebagai bangsa seperti Ensiklopedi Filsafat yang ditulis oleh sejumlah akademisi Rusia dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab oleh Samir Karam, Beirut 1974 M; ada juga yang mengartikannya negara seperti dalam al-Mu’jam al-Falsafi yang disusun oleh Majma’ al-Lughah al-A’rabiyah.” (Pusat Bahasa Arab), Kairo 1979.11 Dalam sumber lain umat diartikan a people (orang-orang, rakyat, sanak keluarga, kelompok atau kelas tertentu), nation (negara, bangsa) dan sect12 (golongan agama, golongan kecil yang beranggotakan orang-orang yang mempunyai prinsip politik kepercayaan dan pendapat yang sama, golongan agama yang memisahkan diri dari gereja. Umat dalam konteks sosiologis-sebagai himpunan manusiawi yang seluruh anggotanya bersama-sama menuju satu arah, bahu-membahu dan bergerak secara dinamis dibawah kepemimpinan bersama. Dalam kata umat terselip makna-makna yang cukup dalam, mengandung arti gerak dinamis, arah, waktu, jalan arah, harus jelas jalannya serta harus bergerak maju dengan gaya dan cara tertentu, pada saat yang sama membutuhkan waktu untuk mencapainya.13 Karena itu umat menjadi ruang dan tempat berkumpulnya perseorangan dalam mencapai cita-cita hidup serta kekuatan dalam mengembangkan misi dan identitas diri. Menurut Muhammad Abduh, konsep umat atau bangsa dalam Islam tidak semata-mata berdasarkan kepentingan agama tapi juga atas dasar kemanusiaan sebagai faktor perekat sosial.14 Umat adalah kelompok manusia yang memiliki satu kesatuan visi dan misi kehidupan. Mereka terikat satu dan lainnya dalam mengembangkan hidup dan kehidupan. Mereka telah memiliki identitas diri yang menyatukan antara satu orang dengan lainnya. Karena itu istilah umat menjadi sebutan untuk kelompok tertentu
10
M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,Bandung: Mizan, Cet, ke- III, 1996, hlm. 327 11 Ibid, hlm. 325 12 Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000, Cet. Ke- VII, hlm. 129 13 Ibid, hlm. 328 14 Ensiklopedi ............., Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000, Cet. Ke- VII. hlm. 130
yang telah jelas namanya, identitas dan tujuan dari pembentukan kelompok tersebut.15 Ada beberapa ciri umat, pertama, memiliki ikatan persamaan yang menyatukan satu dengan lainnya. Dalam bahasa M. Quraish Shihab menyatukan makhluk hidup manusia-atau binatang-seperti jenis, suku, bangsa, ideologi atau agama dan sebagainya. Ikatan itu yang telah menjadikan mereka satu umat.16 Ciri kedua, mereka memiliki identitas diri yang menjadi miliknya. Ketiga, mereka terikat satu dengan lainnya. Keempat, mereka memiliki satu kesatuan pandangan hidup dan kebutuhan yang sama. Kelima, mereka saling bergantung satu dengan lainnya. Karena itu sebagai umat yang satu akan membedakan dengan umat lainnya. Umat menjadi alasan seseorang untuk mempertahankan hidupnya. Melalui kelompok juga manusia akan memperoleh kekuatan dalam mengembangkan naluriahsosialnya. Adanya kesamaan17 yang menyatukan antara anggota satu dan lainnya akan memudahkan dalam pemenuhan kebutuhan sosial.18Selaras dengan term ummatyang berasal dari kata amma, yaummu yang berarti menuju, menumpu, mengikuti, tertarik dan meneladani.19 Dari akar yang sama lahir antara lain kata um yang berarti ibu dan imam yang maknanya pemimpin; karena keduanya menjadi teladan, tumpuan pandangan dan harapan anggota masyarakat. Ada beberapa contoh yang masuk dalam pengertian umat, adalah sebagai berikut: Pertama, setiap generasi manusia yang kepada mereka diutus seorang rasul, seperti umat Nabi Nuh AS, umat Nabi Ibrahim As, Umat Nabi Isa, AS, dan umat Nabi Muhammad SAW. Kedua, suatu jemaah atau segolongan manusia yang menganut suatu agama, seperti umat Yahudi, Umat Kristen dan umat Islam. Ketiga, suatu 15
Ibid, ... M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an .................. Bandung: Mizan, Cet, ke- III, 1996,Tafsir maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,Bandung: Mizan, Cet, ke- III, 1996,, hlm. 325 17 Kesamaan akan memudahkan seseorang memiliki atraksi interpersonal (ketertarikan satu sama lain). Karena itu tidak mustahil jika seseorang berkelompok menjadi kesatuan umat karena telah diikat dengan adanya kesamaan. Orang-orang yang memiliki kesamaan dalam nilai-nilai, sikap, keyakinan, tingkat sosioekonomis, agama, ideologis, cenderung saling menyukai. Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Edisi Revisi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. Ke- XII, 1998, hlm. 111 18 Beberapa motif kebutuhan manusia yang bersifat sosiogenis akan menentukan prilaku sosialnya. Motif-motif itu seperti disampaikan oleh W.I. Thomas dan Florian Znaniecki adalah keinginan memperoleh pengalaman baru, keinginan mendapat respon, keinginan akan pengakuan, dan keinginan akan rasa aman. David McClelland menyebutkan tiga motif; kebutuhan need for achievement, need for affiliation, need for power. Abraham Maslow menyebutkan empat motif; safety needs, belongingness and love needs, esteem needs, self-actualization. Ibid, hlm. 37 19 M. Quraish Shihab, Wawasan Tafsir ....................,Bandung: Mizan, Cet, ke- III, 1996,hlm. 325. 16
39
jemaah manusia dari berbagai kelompok sosial yang diikat oleh ikatan sosial yang membuat mereka menjadi satu; dan keempat, seluruh golongan atau seluruh jenis bangsa manusia adalah umat yang satu maka disebut umat manusia.20 Sebagai umat,orang Islam juga berkelompok dan menyatu dalam kesatuan identitas sebagai orang-orang yang “Islam” yang pasrah, patuh dan taat kepada Allah SWT. Atau disebut organisasi umat yang diikat dengan akidah Islam.21 Menurut Sir Thomas Arnold, seorang orientalis terkemuka, menyebut organisasi umat yang dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW merupakan awal kehidupan kebangsaan dalam Islam, bahkan pertama dalam sejarah kemanusiaan.22 Umat Islam dalam Al-Qur’an diartikan sebagai himpunan pengikut Nabi Muhammad SAW. Ini artinya umat Islam sebagai isyarat bahwa mereka dapat menampung perbedaan kelompok orang Islam, betapapun kecil jumlahnya mereka, selama masih pada arah yang sama yaitu menjadi umat Nabi Muhammad SAW.23Jadi umat Islam adalah himpunan orang-orang yang disatukan dengan kesamaan sebagai penghamba, penyembah Allah SWT dan pengikut Nabi Muhammad SAW. Mereka menjadi bagian dari umat Islam guna menyatakan sikap, kecenderungan, pilihan dan tujuan mendapat ridlo Allah SWT. Karena itu mereka memiliki kesepakatan24 yang sama untuk menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya (muttaqin). 2.
Umat Islam adalah Umat Terbaik Dalam al-Qur’an Surat al-Imran ayat 110 dinyatakan tentang “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.Sebutan dan predikat yang disandangkan “kamu adalah umat yang terbaik” ditunjukkan kepada umat Islam. Ini 20
Ensiklopedi ............., Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000, Cet. Ke- VII. hlm. 130 Dalam sejarah Islam konsep umat yang termaktub dalam perjanjian Piagam Madinah (penjanjian yang dibuat oleh Nabi SAW bersama penduduk Madinah, baik golongan Islam bersama penduduk Madinah yang non muslim) memiliki dua pengertian; pertama, organisasi umat yang diikat oleh akidah Islam dan kedua, organisasi umat yang menghimpun jemaah atau komunitas yang beragam atas dasar ikatan sosial politik. Ibid. 22 Ibi., 23 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, hlm. 325 24 Kesepakatan dimaksud berasal dari teologi keimanan umat Islam yang termaktub dalam QS. alIkhlas ayat 1-4 bahwa zat “Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang Esa, Allah SWT yang tempat bergantung, yang tidak dilahirkan dan tidak juga melahirkan dan yang tidak ada sepadanya dengan apapun “(). Atau dalam QS. al-Fatihah ayat 1-7, bahwa “dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan maha penyayang; segala puji bagi Allah yang menciptakan alam semesta; yang maha pengasih dan maha penyayang; yang menjadi penguasa hari akhir; hanya kepada Allah menyembah dan hanya kepada Allah kami meminta pertolongan; tunjukan kepada jalan shirotol mustaqim; jalan yang diberi nikmah dan bukan pada jalan yang sesat”. 21
pastinya ada hal penting menurutAllah SWT25untuk disampaikan kepada umat Islam agar benar-benar membentuk diri menjadiumat yang terbaik. Sebagaimana arti ayat itu adalah: “Kamu(umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia. (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah sekiranya ahli kitab beriman. Tentulah itu lebih baik bagi mereka. Diantara mereka ada yang beriman namun kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Qs. al-Imran ayat 110). Umat Islam memiliki kesempatan untuk menunjukkan diri dalam peran dan tugas kehambaan26 dan kekholifahan27 agar menjadi umat terbaik diantara umatumat lainnya. Karena itu umat Islam juga akan berkompetisi dengan umat lain dalam peran dan tugas kemakhlukannya.
25
Pesan Allah SWT termaktub dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Salah satu kemu’jizatan al-Qur’an adalah memiliki pesan yang bisa relevan pada setiap zaman dan tempat (masholeh likulli zaman wa makan). Karena itu pesan Tuhan bahwa umat Islam dilahirkan sebagai umat terbaik adalah benar adanya; manakala melakukan perintah, ajakan, seruan, nasihat pada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran, keburukan, kefasikan, dan apapun yang dilarang-Nya. Perintah tersebut ditujukan kepada manusia. Karena manusia adalah individu yang diciptakan dalam perpaduan sifat baik dan buruknya. Sekalipun manusia dalam kondisi baik-baik saja namun tetap harus dinasihati karena dalam hitungan menit bahkan detik bisa melakukan keburukan. Manakala umat Islam tidak melakukan amar kebaikan dan mencegah kemunkaran maka kehidupan dunia ini akan berada dalam keburukan dan kerugian. 26 Term hamba dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai pembantu (yang biasa melayani majikan), budak (tawanan dalam sebuah perang), dan sejenisnya. Karena itu dalam psikis seorang hamba lemah; penakut, tidak berdaya, berada dalam kekuasaan bahkan ancaman. Adapun prilakunya akan serta merta mengikuti perintah sang majikan tanpa ada ba, bi, bu atau protes karena menyadari kelemahan dan kekurangannya. Dalam term Islam, hamba disebut ‘abd (budak, hamba sahaya). Dalam al-Qur’an kata ini disebut 27 kali dengan berbagai makn yang menunjuk arti penghambaan manusia kepada Allah SWT sebagai khalik (pencipta). Ensiklopedi Islam I ABA-FAR, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993, hlm. 10 27 Term khalifahsecara sederhana diartikan sebagai kedudukan manusia yang mulia karena telah mendapat kepercayaan (amanah) dari Allah SWT untuk mengelola bumi dengan bertanggung-jawab dan mempergunakan akal dengan sungguh-sungguh. Karena itu secara psikis khalifah itu memiliki kelebihan; pemberani, cerdas, memiliki kemerdekaan dalam menentukan pilihan dan keputusan. Adapun prilakunya akan serta merta melakukan banyak kreasi, karya dan terobosan dalam upaya memakmurkan bumi. Dalam term Islam, khalifah disebut dengan pemimpin, wakil Tuhan dibumi dan atau pengganti dibumi. Disampaikan M. Dawam Raharjo, paling tidak telah mencatat tiga makna khalifah. Pertama, adalah Adam yang merupakan simbol manusia sehingga kita dapat mengambil kesimpulan bahwa manusia berfungsi sebagai khalifah dalam kehidupan. Kedua, khalifah berarti pula generasi penerus atau generasi pengganti; fungsi khalifah diemban secara kolektif oleh suatu generasi, dan ketiga, khalifah adalah kepala negara atau pemerintahan. M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina bekerjasama dengan Jurnal Ulumul Qur’an, cet. Ke-I, 1996, hlm. 357
41
Term umat tidak hanya ditujukan kepada orang Islam semata namun juga non Islam, bahkan tidak hanya ditujukan kepada manusia namun juga hewan atau binatang dan makhluk yang ada di alam semesta. Mengutip pendapat M. Quraish Shihab, seperti tercantum dalam QS. Al-An’am ayat 38, yang berarti, “Dan tidaklah binatang-binatang yang ada dibumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya kecuali umat-umat juga seperti kamu.” Termasuk dalam hadist lain, yang menjelaskan semut dan anjing. Rasulallah bersabda, “Semut (juga) merupakan umat dari umat-umat (Tuhan), (HR. Muslim). Dan “Seandainya anjing-anjing bukan umat dari umat-umat (Tuhan) niscaya saya perintahkan untuk dibunuh. (HR. Tirmidzi dan an-Nasai).28 Term umat tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang patuh dalam menjalankan agama namun juga orang-orang yang durhaka. Seperti sabda Rasul SAW, “Semua umatku masuk surga, kecuali yang enggan”. Beliau ditanyai, Siapa yang enggan itu? Dijawabnya, siapa yang taat kepadaku dia akan masuk surga dan yang durhaka maka ia telah enggan”. (HR. Bukhori melalui Abu Hurairah).29 Dalam QS. ar-Ra’du ayat 30 menggunakan kata ummat untuk menunjuk orangorang yang enggan menjadi pengikut para nabi. Begitu kesimpulan ad-Damighani (abad ke 11 H) dalam Kamus al-Qur’an yang disusunnya. Namun juga dalam QS. AnNahl ayat 120, bahwa ketika Nabi Ibrahim a.s. sendirian yang menyatukan sekian banyak sifat terpuji dalam dirinya, disebut oleh al-Qur’an sebagai ummat; beliau menjadi imam dan pemimpin yang diteladani. Berdasarkan QS. al-Imran ayat 110, ciri umat yang terbaik, pertama, harus beriman kepada Allah SWT, kedua, mengikuti segala perintah-Nya dan manjauhi segala larangan-Nya. Ketiga, senantiasa melaksanakan ajakan pada kebaikan dan mencegah kemunkaran. Sedangkan dalam Qs. al-Hujurat ayat 13, ciri umat terbaik itu adalah taqwanya, adalah sebagai berikut: “........... Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersukusuku agar kamu saling mengenal. Sesuangguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertaqwa.”30 Taqwa menurut pengertian bahasa (etimologis) adalah takut. Menurut pengertian istilah (terminologis),taqwa adalah takut kepada Allah SWT dengan
28
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, hlm. 326-327 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, hlm. 327 30 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, hlm. 298 29
menjauhi segala larangan-Nya, menjalankan semua perintah-Nya.31Prilaku orang bertaqwa seperti dimaktub dalam QS al-Baqoroh ayat 3-4 yaitu: “Yang beriman kepada yang ghaib, melaksanakan sholat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka dan mereka yang beriman kepada al-Qur’an yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau dan mereka yakin akan adanya akhirat.”32 Bertaqwa kepada Allah SWT berarti berakidah tauhidullah. Orang yang memiliki iman tauhidullahartinya hati, lisan dan perbuatannya senantiasa berorientasi pada Allah SWT sebagai zat Rabb, Malik, Illah.33Atau menurut Hasan alBana melingkupi aspek ilahiyat, nubuwat, ruhiyat dan sam’iyat.34Indikator prilakunya beriman kepada malaikat-malaikat Allah, kitab-kitab Allah, nabi dan rasul-rasul Allah, hari akhir dan taqdir Allah. Bagi seorang muslim, iman kepada Allah SWT merupakan hal yang mutlak. Iman tauhidullahmerupakan pondasi bangunan agama Islam dan akhlak muslim. Laksana sebuah pohon, iman adalah akar yang menopang tumbuhnya batang, ranting, daun dan buah. Iman juga sebagai pangkal prilaku keaamaan atas pelaksanaan ajaran Agama Islam. Iman yang dijaga dan dirawat akan menopang tumbuh dan kembangnya kematangan dalam beragama.
31
M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi al-Qur’an............, Jakarta: Paramadina bekerjasama dengan Jurnal Ulumul Qur’an, cet. Ke-I, 1996, hlm. 155 32 Al-Qur’anul Karim, Bandung: Syaamil al-Qur’an, (tth), hlm. 3 33 Zat Rabb atau disebut Tauhid Rubbubiyah artinya mengakui Allah SWT sebagai pencipta alam semesta. Tidak ada yang menciptakan alam semesta kecuali Allah SWT. Term Rabb sebenarnya memiliki banyak arti antara lain menumbuhkan, mengembangkan, mendidik, memelihara, memperbaiki, menanggung, mengumpulkan, memimpin, mengepalai, menyelesaikan suatu perkara dan lain-lain. Zat Mulk disebut Tauhid Mulkiah artinya mengakui Allah SWT sebagai pemilik alam semesta. Tidak ada yang memilikinya secara mutlak kecuali bersifat sementara adalah Allah SWT. Dalam tauhid ini manusia menyadari bahwa apa yang dimiliki selama di dunia sifatnya hanya titipan dan akan kembali kepada Sang Pemilik yakni Allah SWT. Ringkasnya Tauhid Mulkiyah adalah mengimani Allah SWT sebagai satusatunya Malik yang mencakup pengertian sebagai Wali, Hakim dan Ghayah. Zat Illah atau disebut Tauhid Illahiyah artinya mengakui Allah SWT sebagai tempat bergantung dan meminta. Tidak ada tempat meminta dan mengajukan permohonan kecuali kepada Allah SWT. Term Illah mempunyai arti antara lain; tentram, lindungan, cinta dan sembah. Yunahar Ilyas, Kuliyah Aqidah Islam, Yogyakarta: LPPI, Cet. Ke-XI, 2007, hlm. 25-27 34 Illahiyat yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Illah (Allah SWT). Nubuwat. Yaitu pembahasan segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan rasul termasuk tentang kitab-kitab dll. Ruhiyat yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik. Sam’iyyat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sam’i (dalil naqli berupa al-Qur’an dan sunnah). Ibid, hlm. 6
43
Kepatuhan atas segala perintah-Nya dan manjauhi segala larangan-Nya, merupakan sebuah konsekwensi dan tanggung-jawab seorang muslim.35PerintahNya adalah mutlak dan mengikat untuk dilaksanakan olehsetiap hamba-Nya. Karena kepatuhan merupakan kewajiban dan tugas kehambaan kepada-Nya.36Hal itu dilakukan atas nama dan nilai keimanannya kepada Tuhan. Karena itu iman menurut Ulama Salaf (termasuk Imam Ahmad, Malik, dan Syafi’i) adalah “sesuatu yang diyakini di dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota tubuh”.37Penyerahan diri kepada Allah SWT yang menuntut pelaksanaan perintah Allah SWT segera, setelah perintah itu dititahkan.38 Sebagai seorang muslim dapat memberi keselamatan, kedamaian, keharmonisan dan kasih sayang kepada sesama. Berusaha untuk mengindarkan hatinya dari segala aib dan kekurangan, dengki dan hasud serta keinginan untuk melakukan kejahatan. Tidak sepantasnya seorang yang menyandang sifat salam dan islam kalau masih ada sesamanya yang tidak selamat karena gangguan lidah, tangan dan perbuatannya. Sebagai umat terbaik, umatIslamsenantiasa melakukan ajakan pada kebaikan dan mencegah kemunkaran. Atau menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah...Perintah tersebut disampaikan alFaqih, Umar bin Abdul ‘Aziz berkata: “Bahwasannya Allah tidak menurunkan malapetaka secara merata, akibat perbuatan maksiat orang-orang tertentu, tetapi jika laku maksiat sudah merajalela, tiada seorangpun yang mau membenahinya, maka sudah sepantasnya jika seluruh masyarakat atau bangsa itu menanggung resiko (malapetaka)-nya.”39
35
Konsekwensi ini bersumber dari sebuah perjanjian primordial (pribadi) antara manusia dengan Tuhan (primordial covenant), sebagaimana dimaktub dalam QS. al-‘Araf ayat 172, “Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan dari putra-putra Adam, dari sulbi mereka dan membuat persaksian atas diri mereka sendiri; “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka pun menjawab, “Benar. Kami bersaksi.”M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi al-Qur’an............, Jakarta: Paramadina bekerjasama dengan Jurnal Ulumul Qur’an, cet. Ke-I, 1996, hlm. 41. Hal ini menjadi ciri dan kecenderungan manusia untuk beriman kepada Allah SWT (hanif). 36 Seperti dimaktub dalam QS. al-Bayinah ayat 5, bahwa : “Dan mereka tidak disuruh selain untuk mengabdi (hanya) kepada Allah (saja) dengan ikhlas dan patuh kepada-Nya dengan lurus (hanif) dan supaya menegakkan sholat dan membayar zakat (untuk membersihkan harta benda) , dan itulah agama yang kuat dasar-dasarnya.” Ibid, hlm. 73-74 37 Ibid, hlm. 4 38 M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Illahi al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Lentera Hati, Cet. Ke-2, 2006, hlm. 14 39 al-Faqih Abu Laits Samarqandi, Tanbihul Ghofilin (Terj. Pembangun Jiwa dan Moral Umat), (Abu Imam Taqiyuddin), Surabaya: Mutiara Ilmu, 1986, hlm. 84
Demikian dalam hadist nabi yang disampaikan Abu Hurairah, bahwa “Hendaklah kalian mengajak (orang pada) kebaikan sekalipun kalian belum mampu melakukannya dan cegahlah (orang yang berbuat) kemunkaran sekalipun kalian belum mampu menghentikannya.”Perintah tersebut menegaskan agar tetap berjuang dalam melakukan amar ma’ruf nahyi munkar. Karena ada sebagian umat Islam yang tidak melakukan amar ma’ruf nahyi munkar padahal mereka mengetahui adanya kemunkaran.Hal ini dimaktub dalam QS. at-Taubah ayat 71, yang artinya, “Orang-orang yang beriman, baik pria atau wanita, setengahnya menjadi penolong bagi setengah lainnya, menganjurkan kebaikan dan mencegah kemunkaran”. Hal senada disampaikan Anas bin Malik ra. Bersabda; “Setengah manusia ada yang menjadi perintis kebaikan dan pembasmi kejahatan dan sebaliknya ada yang menjadi perintis kejahatan dan penghalang/penghambat kebaikan, maka beruntunglah mereka yang diciptakan Allah menjadi perintis kebaikan dan celakalah mereka yang mendalangi/merintis laku maksiat dengan kekuasaannya.”40 Adapun orang-orang yang mendalangi/merintis laku maksiat dan merintangi kebaikan itulah setengah dari tanda bukti (orang) munafik, firman Allah QS. atTaubah ayat 67, artinya, “Orang-orang munafik, pria dan wanita setengah dengan setengah lainnya adalah sama, mendalangi kejahatan dan merintangi kebaikan.” Karena itu muslim terbaik adalah yang mendukung pelaksanaan dakwah Islam. Dalam prosesnya, muslim harus memperhatikan etika dalam beramar ma’ruf dan nahyi munkar agar citradan syiar Islam itu nampak indah, santun, menarik dan memikat. Karena hal itu sesuai dengan identitas muslim, dakwah yang dikembangkan senantiasa membawa kedamaian, kasih-sayang, dan rahmatan lil ‘alamin. Demikian juga dalam melakukan amar ma’ruf nahyi munkarhendaknya umat Islam memiliki jiwa moderat. Moderat ini biasa disebut dengan sikap tengah-tengah (wasath).Wasathiyat (moderasi atau posisi tengah) mengundang umat Islam untuk berinteraksi, berdialog dan terbuka dengan semua pihak (agama, budaya dan peradaban). Umat Islam tidak dapat menjadi seorang yang moderat maupun berlaku adil jika mereka tertutup atau menutup diri dari lingkungan dan perkembangan global. Sebagai ummat wasathayang senantiasa menjadi uswah hasanah dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga akan menjadi syiar tentang citra umat Islam yang 40
Ibid
45
lebih baik. Misalnya Keberanian adalah pertengahan sifat ceroboh dan takut. Kedermawanan merupakan pertengahan sifat kikir dan boros. Dengan bersikap wasatha, keberadaan umat Islam dalam posisi tengah tidak menyebabkan mereka hanyut dalam materialisme dan tidak pula mengantarnya membumbung tinggi ke alam ruhani, sehingga tidak lagi berpijak di bumi. Posisi tengah menjadikan mereka mampu memadukan aspek ruhani dan jasmani, material dan spiritual dalam segala sikap dan aktivitas. 3. Pendekatan Dakwah Kepada Umat Islam Setiap aktivis dakwah memiliki idealisme dan misi yang diperjuangkan, tidak heran ada banyak model dakwah yang dikembangkan para da’i, mengutip QS. AnNahl ayat 125 bahwa menyeru orang lain itu dapat dilakukan dengan hikmah, pelajaran yang baik (mauidzah hasanah) dan mujadalah. Atau dalam hadist nabi bahwa dakwah itu bisa dilakukan dengan tangan (kekuasaan), lisan (peringatan), dan hati (do’a). Hadist tersebut memberi kedudukan yang tinggi pada dakwah dengan pendekatan tangan (kekuasaan).Manakala kemunkaran sudah didepan mata, sudah mengakar dan sulit dirubah. Karena itu perintah kepada negara atau yang memiliki kekuasaan untuk melakukannya. Namun jika negara tidak mampu bisa dilakukan melalui kelompok kecil untuk melakukan teguran dan nasihatdan jika tidak juga berhasil dapat dilakukan oleh setiap individu melalui do’a. Umat Islam menjadi bagian dari sasaran dakwah. Sebagai manusia yang tidak sempurna telah terintegrasi sifat taqwa dan fujursehingga acapkalimelakukan perbuatan yang menyimpang dan melanggar larangan Tuhan. Kendati ia telah memiliki keimanan tauhidullah kepada Allah SWT. Hal itu terjadi karena manusia termasuk umat Islam senantiasa peka dengan berbagai stimulasi/rangsang baik dari dalam maupun dari luar dirinya. Kepekaan manusia dalam menerima rangsang yang mengitari menjadi peluang dalam mengarahkan umat Islam pada jalan yang benar. Efektivitas dakwah Islam dilakukan dengan mengenali terlebih dahulu karakteristik pengetahuan, sikap, dan pengamalan agama sasaran dakwah. Pengenalan tersebut dilakukan agar pendekatan yang disampaikan sesuai dengan “penyakit” yang diderita. Karena itu aktivitas dakwah menjadi obat bagi mad’u dalam menemukan kesembuhan. Kendati kesembuhan itu juga tidak hanya obat namun keinginan untuk sembuh dari “pasein” juga menjadi bagian dari ikhtiar dalam menemukan kesembuhan. Bahkan disinyalir kesadaran diri sendiri akan mempermudah dan mempercepat kesembuhan (menemukan jalan yang benar).
Ada banyak perbuatan munkar yang acapkali dilakukan umat Islam juga manusia pada umumnya, adalah sebagai berikut:pertama, durhaka kepada Allah SWT dan selalu melampaui batas. Disampaikan dalam QS. al-Maidah ayat 79, artinya: “Mereka satu sama lain selalau melarang tindakan munkar yang telah mereka perbuat, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampui batas.” Perbuatan yang durhaka adalah melakukan perbuatan yang dilarang-Nya dan meninggalkan yang yang diperintahkan-Nya (balelo). Sedangkan melampaui batas adalah perbuatan yang berlebih-lebihan dengan cara yang tidak dibenarkan agama, mereka telah mengikuti hawa nafsu, menyesatkan sebagian manusia dan mereka itulah orang-orang yang tersesat dari jalan lurus. Kasus ini terjadi saat sebagian Kaum Yahudi yakni umat Nabi Daud dan Nabi Isa yang menjadi ahl kitab tetapi amal perbuatannya berlebihan dan melampaui batas, suatu pekerjaan yang bertentangan dengan agama.41 Kedua, membunuh atau perbuatan merusak yang menyebabkan orang lain celaka. Seperti dalam Qs. al-Kahfi ayat 74 bahwa: “Maka berjalanlah keduanya hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anakmaka Khidir membunuhnya. Musa memprotes mengapa kamu membunuh jiwa yang masih bersih, bukan karena ia membunuh orang lain? sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang munkar.” Kasus ini terjadi saat Nabi Khidir membunuh seorang anak yang masih bersih. Ini dilakukan Nabi Khidir karena ia ingin menunjukkan pesan kepada Nabi Musa yang dianggap memiliki tempramen keras dan mudah marah akibat ketegasan dan keadilannya yang luar biasa. Maka apa yang dilakukan Nabi Khidir dinilai sebagai perbuatan yang munkar.42 Contoh ketiga, melakukan berzina atau menuduh berzina. Perbuatan ini pernah terjadi kepada Maryam saat ia menggendong anak yang diketahui oleh umatnya bahwa Maryam belum pernah menikah. Dengan keyakinan yang pasti bahwa ayah dan ibunya Maryam adalah orang baik-baik bukan penjahat dan penzina. Melakukan berzina adalah perbuatan munkar termasuk menuduhnya berbuat zina juga munkar. Ini disampaikan dalam QS. Maryam ayat 27-28, adalah sebagai berikut: “Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata, “Hai Maryam, sesuangguhnya kamu telah melakukan sesuatu 41
Ibid., hlm. 634 Ibid., hlm. 635
42
47
yang munkar. Hai saudara Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah penzina.”43 Contoh keempat, melakukan homoseksual dan lesbian. Termaktub dalam QS. al-Ankabut ayat 29 dan QS. Nur ayat 21. Tantangan dan godaan terbesar yang menggiring pada perbuatan munkar bersumber dari dalam diri sendiri (hawa nafsu). Karena itu Rasulallah Muhammad SAW menyampaikan “kita baru saja pulang dari jihad kecil menuju jihad besar”. Jihad kecil itu perang dengan musuh nyata yang dihadapi saat nabi harus melawan orang-orang kafir Madinah. Sedangkan jihad besar itu adalah hawa nafsu yang ada dalam jiwa setiap manusia. Nafsu manusia senantiasa akan membawa manusia untuk melakukan perbuatan fahksya dan munkar. Dalam hal ini sholat menjadi amalan ibadah yang dapat mencegahnya. Seperti dimaktub dalam QS. al-Ankabut ayat 45, yang artinya:“Sesungguhnya sholat itu mencegah orang dari perbuatan keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (sholat) adalah lebih besar keutamaannya (dari ibadat-ibadat lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Sholat menjadi alat untuk mengingatkan seseorang dari perbuatan keji dan munkar. Karena itu umat Islam agar kembali kejalan yang benar harus memperbaiki sholatnya. Sholat menjadi tiang agama. Disinyalir keberhasilan dan kegagalan umat Islam dilihat dari sholatnya. Sholat menjadi barometer keberadaan seseorang. Sholat menjadi ukuran dari nilai kehidupan manusia yang dikembangkannya. Semakin baik sholatnya maka semakin baik pula hidup dan kehidupannya. Sholat dapat bermanfaat pada beberapa aspek seperti;Pertama, membiasakan hidup disiplin, kedua membiasakan hidup sabar, ketiga, membiasakan hidup bersih, keempat, membiasakan hidup sehat, kelima, membiasakan hidup tertib, keenam, membiasakan hidup istikomah, ketujuh, membiasakan hidup bergantung kepada Allah SWT, kedelapan, membiasakan hidup peka dengan sekeliling, kesembilan, membiasakan hidup patuh dan taat. Kesepuluh, terbiasa berolah-raga. Namun sholat yang dilaksanakan umat Islam kadangkala belum menunjukkan efek positif. Karena itu untuk memberikan pengingatan kepada umat Islam yang masih melakukan kebiasaan-kebiasaan buruk bisa dilakukan dengan menggali makna atau filosofis dari ibadah yang diajarkan. Pendekatan ini menjadi terapi bagi umat Islam yang masih sulit mendapat manfaat dari ibadah formal yang dilaksanakan.
43
Ibid.
Dengan pengingatan, nasehat, dan mauidzah hasanah mengenai makna filosofis atas ajaran agama yang telah diajarkan, maka pengamalan agama tidak terasa kering namun akan kaya dan nyaman untuk menjadi penuntun dalam hidup. Pemaknaan atas hakikat ibadahdiharapkan dapat meminimalisir pencitraan buruk umat Islam termasuk mengendalikan diri dari perbuatan fakhsa dan munkar. Melalui pemaknaan ibadah kepada Tuhan yang bersungguh-sungguh akan membawa perubahan umat Islam dan lahir jiwa-jiwa yang produktif, kreatif, aktif, disiplin dan tanggung-jawab dengan hak dan kewajibannya baik sebagai pribadi atau umat Islam. Kesimpulan Muslim menjadi sasaran dakwah karena ia juga kerap kali lupa, salah, maksiat dan melakukan dosa. Hanya saja karena muslim itu telah memiliki pengetahuan dan pengamalan agama maka dakwah yang dilaksanakan lebih berorientasi pada nasehat dan mauidzah hasanah. Adapaun orientasi pengingatannya untuk menggali makna ajaran agama yang telah dilaksanakan secara formal. Melalui pendekatan ini diharapkan akan lahir pribadi-pribadi baru yang memiliki akhlak karimah. Berangkat dari makna ajaran agama yang dilaksanakan maka akan ada kebutuhan dan kepentingan diri atas ajaran agama yang dilaksanakan untuk menjadi tuntunan dan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Segala urusan dunia akan senantiasa terbimbing oleh agama. Agama tidak dismpan dalam kartu tanda pendudukan (KTP) namun menjadi identitas diri uswah hasanah yang tercermin dalam ucapan, sikap dan perbuatan.
49
Daftar Pustaka Al-Qur’anul Karim, Bandung: Syaamil al-Qur’an, (tth). Amin, Samsul Munir, 2010, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, Cet. Ke-I. Ensiklopedi Islam, 2000, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. Ke- VII. Ensiklopedi Islam I ABA-FAR, 1993, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Ilyas, Yunahar, 2007, Kuliyah Aqidah Islam, Yogyakarta: LPPI, Cet. Ke-XI. Lapidus, Ira. M dan, 1999. Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cet. Ke-I. NC, Fatah Syukur, 2012, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet. Ke-IV. Rakhmat, Jalaluddin 1998, Psikologi Komunikasi, Edisi Revisi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. Ke- XII. Raharjo, M. Dawam1996, Ensiklopedi al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan KonsepKonsep Kunci, Jakarta: Paramadina bekerjasama dengan Jurnal Ulumul Qur’an, cet. Ke-I. Samarqandi, al-Faqih Abu Laits, 1986, Tanbihul Ghofilin (Terj. Pembangun Jiwa dan Moral Umat), (Abu Imam Taqiyuddin), Surabaya: Mutiara Ilmu. Shihab, M. Quraish, 1995, Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan Khazanah Ilmu-Ilmu Islam, cet. XI. ________________, 2006, Menabur Pesan Ilahi, al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Lentera Hati, cet. Ke-II. ________________, 1996, Wawasan al-Qur’an Tafsir maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, Cet, ke- III. Yatim, Badri, 2000, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cet. Ke-II.