Ulama dan Masyarakat................Ali Anas Nasution
1
ULAMA DAN MASYARAKAT Oleh: Ali Anas Nasution1
Abstract Ulama have a strategic role to carry and change the condition of people and poverty, ignorance and backwardness to prosperity and well-being. In a paternalistic society, ulama become a reference institution in the community to act and move. Encouragement and moral force of ulama as a public figure , emphasizes problem solving and bottom to top (bottom up), so that the community empowerment is not to give mercy , but to develop all their potential ( enabling) , as well as strengthen the potential or power that has dimiiliki (empowering). Action of ulama to give spirit and the religious impulse is not conducted within the framework of " value-free " (value free) , but has a specific variation rests on the principles of Islam , as well as following the universal values based on the values of the local culture , the culture which thrive on the local community. Keywords: Society and Ulama
1
Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Padangsidimpuan
Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
2
Pendahuluan Ketika perubahan sosial, ekonomi dan budaya dalam masyarakat Islam kian terasa, semakin nyata pula gejala yang menuntut agar peran agama lebih ditingkatkan dan menuntut kehadiran ulama yang dapat diandalkan. Seorang ulama dituntut untuk dapat memahami perkembangan masyarakatnya. Dalam dunia modem, seorang ulama tidak dapat hanya sekedar mendalami ilmu-ilmu fikih, tafsir atau hadis an sich, apalagi jika pengetahuannya hanya bersifat hapalan yang statis. Untuk menjawab tantangan dan problem masa kini dan masa depan, seorang ulama perlu menguasai ilmu-ilmu tentang Islam yang lengkap dan dinamis, di samping berbagai perangkat ilmu dan wawasan yang dapat dipakai untuk memahami perkembangan masyarakat. Sehingga ulama seperti mi akan selalu dapat memberikan bimbingan dan pengarahan yang dapat diterima masyarakat, tidak tertinggal atau terjerat kareria pemahaman agama yang statis dan wawasan yang sempit.2 Ulama mempunyai peran plus yang harus dimainkannya, antara lain sebagai pengawal ajaran Islam, sebagai juru bicara dan aspirasi kepentingan umat, sebagai rujukan umat dalam mengatasi berbagai persoalan, dan sebagai integrator yang dapat menyatukan dan memobilisasi seluruh potensi umat. Tentu saja untuk dapat berperan seperti ini, ulama harus memiliki keluasan pengetahuan, agresif dengan integritas pribadi yang padu. Sejalan dengan cita-cita pembangunan masyarakat Islam dalam bingkai masyarakat yang maju, sejahtera, beriman dan berakhlakul karimah, maka menjadikan Islam sebagai spirit di tengah masyarakat menjadi suatu keniscayaan. Usaha pemberdayaan masyarakat yang religius dan berbudaya sesungguhnya merupakan kerja kolektif seluruh komponen masyarakat. Bila jalan pikiran mi dapat ditenima, maka upaya-upaya yang dilakukan oleh ulama untuk membuat Islam semakin berperan penting dalam kehidupan masyarakat seyogyanya tidak dianggap mengganggu jalannya pembangunan. Bahkan peran yang dim ainkan oleh para ulama untuk membawa masyarakat ke arah yang Lebih baik dan sempurna perlu mendapat dukungan dan pihak pemerintah maupun masyarakat luas.
Quraish Shihab, M. Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Miza, 1992), hlm. 129. 2
Ulama dan Masyarakat................Ali Anas Nasution
3
Ulama dan Perubahan Sosial Pembahasan tentang Islam tidak terlepas dan proses perubahan sosial yang tengah berlangsung. Perubahan sosial menurut Henry Pratt dan Fairchild (1977), dalam Dictionary of Sociology adalah sebuah variasi atau modifikasi dalam beberapa aspek baik mengenai proses, pola, dan bentuk sosial. Ada tiga pendekatan (approach) terhadap perubahan sosial komulatif. Pertama, pendekatan yang memandang pola-pola yang biasa digeneralisir dalam hal bagaimana semua perubahan terjadi. Kedua. pendekatan yang mencari penjelasan terhadap semua pola komulasi yang didasarkan pada teori evolusi. Ketiga, pendekatan yang berpendapat bahwa tidak ada evolusi tunggal bagi semua perubahan dalam sejarah manusia. Perubahan sosial itu sangat luas, ia dapat mengenai nilai norma, tingkah laku perbuatan, organisasi atau susunan lembaga sosial maupun institusi sosial itu sendiri, lapisan sosial, kekuasaan, wewenang dan interaksi sosial. Ruang lingkup perubahan sosial terdiri dari unsur-unsur kabudayaan, baik yang bersifat material maupun immaterial. Perubahan sosial secara umum menyangkut perubahanperubahan struktur, fungsi budaya dan perilaku masyarakat. Menurut Koentjaraningrat, terdapat tujuh unsur yang dapat disebut sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan yang di dunia, terdiri dari bahasa, system pengetahuan, organisasi sosial, system peralatan hidup dan teknologi, system mata pencaharian hidup, system religi dan kesenian.3 Menurut Soekanto, perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola kelakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Definisi mi menekankan perubahan lembaga sosial, yang selanjutnya mempengaruhi segi-segi lain dalam struktur masyarakat.4 Sedangkan menurut Syarn, proses perubahan sosial pada dasarnya merupakan perubahan pola perilaku kehidupan dan seluruh norma-norma sosial yang lama menjadi pola perilaku dan seluruh norma-norma sosial yang baru secara seimbang, berkemajuan dan berkesinambungan.5 Pola-pola Koentjaraningrat, Kebudayaan, Men talitet dun Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1974), hlm. 96. 4 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1974). hlm. 152. 5 Abdul Syani, Sosiologi dan Perubahan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), hlm. 211. 3
Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
4
kehidupan masyarakat lama yang dianggap sudah usang diganti dengan pola-pola kehidupan baru yang. lebih sesuai dengan kebutuhan sekarang dan masa mendatang. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial antara lain disebabkan bertambah majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, lancarnya komunikasi dan transportasi, berlangsungnya urbanisasi serta bertambahnya harapan dan tuntutan hidup manusia.6 Selain itu perubah sosial dapat terjadi disebabkan oleh terganggunya keseimbangan atau tidak adanya sinkronisasi. Terganggunya keseimbangan mengakibkan terjadinya ketegangan-ketegangan dalam tubuh masyarakat. Terjadinya perubahan sosial karena tumbuhnya ketidakpuasan terhadap kondisi budaya tertentu, atau dapat juga karena hadir dan berkembangnya teknologi baru. Namun secara umum perubahan sosial itu disebabkan oleh faktor yang datang d dalam mpun dari luar masyarakat. Faktor-faktor penyeh perubahan itu adalah penemuan baru (invention), pertumbuh penduduk (pupolation) dan kebudayaan (cultural).7 Salah satu bentuk perubahan sosial yang sering menjadi perbincangan di negara sedang berkembang adalah perubahan yang dihasilkan dari pembangunan (modernisasi). Pembangun merupakan proses peralihan dari suasana kehidupan lama (tradisional) kepada yang lebih maju (modern). Pembangunan itu sendiri adalah suatu proses yang perlu berlangsung secara sistematis dan dinamis dalam suatu kesinambungan yang melahirkan perubahan (continuity and change).8 Pembangunan sering disamakan maknanya dengan modernisasi yang dipahami sebagai usaha untuk hidup sesuai dengan zaman dan konstalasi dunia sekarang. 9 Sebagai elemen penting dalam pemeliharaan dan benteng Islam, institusi ulama dihadapkan pada pelbagai persoalan yang mau tidak mau harus menentukan sikap, apakah reaktif, responsif, eskapis atau akomodatif. Ketidakmampuan menjawab persoalan yang muncul di dunia modem akan menjadikan ulama tidak lagi menjadi ikutan dan panutan masyarakat. Menurut Malik Fadjar (dalam Madjid, 1997), ulama memiliki beberapa kelemahan ketika Astrid Susanto S, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Bina Cipta, 1979).
6
hlm. 87. Abdu Syani, Op.Cit. M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos, 2000), hlm. 87. 9 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia. 1990), hlm. 58. 7 8
Ulama dan Masyarakat................Ali Anas Nasution
5
menghadapi perkembangan zaman.10 Ulama menyimpan banyak persoalan yang menjadikannya agak tertatih-tatih,kalau tidak malah kehilangan kreativitas dalam merespon perkembangan zaman. Sebagai suatu personifikasi keagamaan dan sosial, ulama dituntut melakukan kontekstualisasi tanpa harus mengubah watak aslinya (indigenous character). Hal ini antara lain disebabkan karena fokus kepemimpinan yang sentralistik dan hirarkis yang berpusat pada satu atau beberapa orang ulama. Selain itu terdapat kelernahan di bidang metodologi dalam mensosialisasi ajaran Islam dalam memecahkan problematika umat, serta terjadinya disorientasi atau hilangnya kemampuan ulama untuk mendefinisikan dan memposisikan dirinya di tengah realitas sosial yang sekarang mi tengah terjadi perubahan demikian cepat. Teori Pemberdayaan Masyarakat Selama lebih dari dua dasawarsa ini telah berkembang berbagai kelompok dan lembaga yang melakukan upaya pemberdayaan masyarakat Mulai dan kelompok filantropis, organisasi kemanusiaan, lembaga sosial keagamaan, lembaga pendidikan, lembaga studi, kelompok pengembangan sosial ekonomi, organisasi politik, lembaga kesejahteraan sosial sampai dengan lembaga pemerintahan, mereka telah melibatkan dan secara aktif dalam kegiatan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Paling tidak menurut A.R. Desai, telah berkembang tiga model kelompok pemberdayaan masyarakat. Pertama, kelompok filantropis. Kelompok ini memandang bahwa masalah ketidakberdayaan masyarakat dapat diubah melalui upaya kemanusiaan, tanpa mengubah kelembagaan dan struktur 11 kemasyarakatannya. Upaya kemanusiaan ini secara evolutif akan meningkatkan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat sebagai upaya kedermawanan (karikatif) untuk membantu kebutuhan masyarakat, dengan mendinikan rumah sakit, sekolah dan sebagainya. Kedua, kelompok reformis. Kelompok ini beranggapan bahwa untuk meningkatkan kondisi masyarakat pada saat mi tidak perlu dengan mengubah atau mengganti sistem sosial yang ada berikut kelembagaan dengan sistem maupun kelembagaan yang baru, melainkan cukup Nurcholisk Madjid, Bilik-bilik Pesantren, sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 102-103. 11 A. R Desai, “Three Schools of Rural Reconstruction”, dalam Kamala Bhasin dan Vimala R., Reading on Poverty, Politics and Develompment, (Roma: Freedom from Hunger Campaign/Action for Development, FAO, 1980), hlm. 232. 10
6
Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
dengan mereformasinyya. Ketiga, kelompok revolusioner. Menurut kelompok ini bahwa kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan budaya masyarakat secara fundamental merupakan akibat dan sistem sosial yang ada dan kelembagaannya yang merupakan alat untuk melestarikan keterbelakangan tersebut. Oleh karenanya, kelompok mi berupaya untuk melakukan perubahan secara radikal terhadap struktur sosial ekonomi masyarakat. Istilah pemberdayaan (empowerment) bermakna sebagai upaya untuk memberi kemampuan atas keberdayaan.12 Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dengan individuiindividu lainnya dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Keberdayaan masyarakat itu terdiri unsur-unsur yang memungkinkan suatu masyarakat pertahan (survive) dalam pengertian yang dinamis untuk mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Memberdayakan masyarakat dapat dilakukan dengan cara memperkuat unsur-umsur kebudayaan yang dapat meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat bawah yang dalam kondisi sekarang tidak mampu hanya mengandalkan pada kekuatannya sendiri untuk melepaskan diri dan perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.13 Mengikuti alur berpikir di atas, Kantasasmita selanjutnya mengatakan bahwa upaya memberdayakan masyarakat harus dilakukan melalui tiga tahap : Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya memh angun daya itu, dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi .atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan, serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi semakin berdaya. Ketiga, memberdayakan dalam arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena Onny S. Prijono, dan A.M.W. Prartarka (ed). Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implementasi. (Jakarta: Centre for Strategic and International Studies – CSLS, 1996), hlm. 121. 13 Ginandar Kartasasmita, “Pemberdayaan Masyarakat dalam Rangka Pengembangan Ekonomi Rakyat”, dalam Jurnal Ilmiah, Nomor 20 Tahun VIII Agustus-Desember 1995 12
Ulama dan Masyarakat................Ali Anas Nasution
7
kekurangberdayaan menghadapi yang kuat. Perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi dan menutupi dari nteraksi, karena hal itu bukan akan memperkuat, tetapi justru melemahkan. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi semakin tergantung pada berbagai program pemberian dan belas kasihan. Karena pada dasarnya program pemberian dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri. Pemberdayaan pada dasarnya menyangkut lapisan bawah atau lapisan masyarakat miskin yang dinilai tertindas oleh system dan dalam struktur sosial. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi semakin tergantung pada berbagai program pemberian dan belas kasihan. Karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri. Pemberdayaan pada dasarnya menyangkut lapisan bawah atau lapisan masyarakat miskin yang dinilai tertindas oleh system dan dalam struktur sosial. Menurut Rahardjo, upaya pemberdayaan menyangkut beberapa segi: Pertama, penyadaran dan peningkatan kemampuan untuk menemukenali (identifikasi) persoalan dan permasalahan yang menimbulkan kesulitan hidup dan pederitaan yang dialami oleh masyarakat yang hendak diberdayakan. Kedua, penyadaran tentang kelemahan maupun potensi yang dimiliki, sehingga menimbulkan dan meningkatkan kepercayaan kepada diri sendiri untuk keluar dari persoalan dan guna memecahkan permasalahan serta mengembangkan diri. Ketiga, meningkatkan kemampuan manajemen sumberdaya yang telah ditemukenali. Secara eksternal, pemberdayaan memerlukan upaya-upaya advokasi kebijakan enomi-politik yang pada pokoknya bertujuan untuk membuka akses golongan bawah, lemah dan tertindas terhadap sumber daya yang dikuasai oleh golongan kuat.14 Tujuan utama program pemberdayaan masyarakat adalah dalam rangka meningkatkan produktivitas, memperbaiki kualitas hidup penduduk serta memperkuat kemandirian. Menurut Waterson (dalam Usman, 1998), ada enam elemen dasar yang melekat dalam program pembangunan semacam ini. Pertama, pembangunan pertanian dengan mengutamakan padat karya (labour intensive). Kedua, Memperluas kesempatan kerja. Ketiga, intensifikasi tenaga kerja skala kecil, 14
M. Dawam Rahardjo, “Muhamrnadiyah dan Pemberdayaan Ekonomi Umat”, dalam Jurnal Ilmiah, Nomor 20 tahun Vifi Agustus-Desember 1995
8
Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
dengan cara mengembangkan industri kecil di pedesaan. Keempat, mandiri dan meningkatkan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Kelima, mengembangkan daerah perkotaan yang mampu memberikan daya dukungan bagi masyarakat di pedesaan. Keenam, membangun kelembangan yang mampu melakukan koordinasi proyek multisektor.15 Untuk membangkitkan partisipasi masyarakat sehingga berkemauan dan memiliki rasa kerelaan dalam pemberdayaan masyarakat hanya dapat diupayakan dengan cara membangunkan sikap positif di hati mereka. Menurut Wignjoseobroto, bahwa sikap positif yang mendasari kemauan untuk ikut mengambil bagian dalam pemberdayaan masyarakat hanya bias dibangkitkan kalau orang sudah memperoleh pengetahuan yang cukup tentang seluk-beluk program kegiatan yang ditawarkan untuk diikutsertakan.16 Dengan kata lain, aspek afektif masyarakat hanyalah akan dapat dikembangkan apabila aspek kognisinya berhasil digarap terlebih dahulu. Pemberdayaan masyarakat dengan demikian merupakan proses belajar dan pencerahan masyarakat yang terus menerus untuk meningkatkan kualitas hidup, harkat dan martabatnya lewat kegiatan emansipasi dan pencerahan sosial yang terencana. Sebagai proses belajar yang bersifat partisipatif dan emansipatoris, pemberdayaan masyarakat merupakan proses yang dinamis yang senantiasa melakukan permbaruan diri dengan upya penajaman analisis, alat analisis serta sasarannya. Demikian pula ia senantiasa mengupayakan pengembangkan konsep, metode dan teknik-teknik serta manajemennya. Ujung tombak dari proses pemberdayaan masyarakat adalah pengembangan ekonomi rakyat yang dimaknai sebagai system ekonomi yang mengutamakan partisipasi dari masyarakat, sehingga masyarakat sebagai pelaku pembangunan dapat menikmati hasil-hasil pembangunan sesuai dengan kerja dan sumbangan yang diberikannya pada proses pembangunan yang tengah berlangsung. Terbentuknya ekonomi rakyat merupakan prakondisi dari terciptanya masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera dan adil.
Sunyoto Usman, Pembangumrn dan Pemberdayaan Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1988), hlm. 99-100. 16 Soetandyo Wignjosoebroto, “Mendayagunakan Metode Reinforcement dalam Praktik Untuk Mengaktifkan Partisipasi Masyarakat dalam rangka Mensukseskan Program Pembangunan di Perdesaan”, dalam Jurnal llmiah, Nomor 20 tahun VIII Agustus-Desember 1995 15
Ulama dan Masyarakat................Ali Anas Nasution
9
Ulama dan Teologi Pemberdayaan Masyarakat Secara umum kegiatan pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan oleh ulama untuk memfungsikan Islam sebagai pemecahan masalah (problem solving) dalam kehidupan masyarakat Islam. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat dapat dikategorikan kepada tiga jenis pendekatan. Pertama, pendekatan yang memandang masyarakat yang menjadi sasaran proses diffuse sebagai objek semata. Dalam pendekatan ini masyarakat yang menjadi sasaran pemberdayaan dipandang sebagai “benda mati”, tanpa perlu diberi kesempatan untuk melakukan penilaian apakah ide yang disosialisasikan kepada mereka berguna atau tidak. Kedua, pendekatan dengan memberikan rangsangan dan motivasi kepada masyarakat yang dijadikan sasaran diffuse untuk memikirkan problem utama yang mereka hadapi dan diberikan kesempatan untuk memikirkan dan menemukan cara pemecahan terbaik. Model pendekatan ini menjadikan masyarakat sebagai subjek sasaran. Ketiga, penggabungan pendekatan pertama dan kedua. Pada hal-hal tertentu masyarakat diperlukan sebagai objek, akan tetapi pada kesempatan lain dipandang sebagai subjek, tergantung situasi dan kondisi. Pendekatan terakhir ini selain memandang masyarakat yang perlu dituntut kea rah jalan yang tepat, juga diberikan kesempatan yang luas untuk memikirkan dan merancang pengembangan potensi mereka sendiri. Menurut Chambers, petugas pemberdayaan masyarakat seringkali merasa telah paham terhadap kebutuhan masyarakat yang menjadi sasaran mereka, padahal kesimpulan yang diambil tersebut sering keliru.17 Akibatnya program yang telah dirancang dengan biaya yang mahal tidak efektif mencapai sasaran. Akhirya seringkali terjadi pemutarbalikan fakta bahwa masyarakat yang menjadi sasaran tidak tanggap terhadap ide-ide pemberdayaan, dan masyarakat tidak mau menerima perubahan. Dalam konteks mi ulama yang bertugas dalam melakukan pemberdayaan masyarakat, perlu memahami kondisi psikologis berupa sosial needs dan sosial interest dan masyarakat yang menjadi sasaran. lnjeksi agama yang disampaikan ulama melalui berbagai action menjadi sangat penting sehingga spirit dan dorongan religius efektif dalam menumbuhkan gairah penduduk memberdayakan dan meningkatkan kualitas hidup mereka melalui potensi yang ada pada diri mereka. Masalah-masalah seperti pemberdayaan umat masih perlu digali dan ditingkatkan rnelalui dorongan dan 17
hlm. 77.
Robert Chambers, Rudal Development: Putting the Last First, (London: Longman, 1983),
10
Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
motivasi ulama. Ulama dengan kekuatan dan otoritas pengaruhnya dalam masyarakat yang bersifat paternalistik belum mampu secara memuaskan menjawab tantangan sosial, terutama menyangkut sifat hubungan, mekanisme kelembagaan serta respon masyarakat pengikutnya agar dapat keluar dan masalah-masalah kehidupan. Hal yang sentral dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat, menurut kerangka nilai Islam ialah bahwa kegiatan tersebut dilaksanakan bukan dalam kerangka “bebas nilai” (value free) dalam anti bahwa umat Islam diberi kebebasan sepenuhnya dan kelonggaran selebar-lebamya dalam membangun kehidupan masyarakat kecuali pada aspek-aspek yang eksplisit (dan mungkin juga implisit) disebutkan kerangka batasnya di dalam sistem ajaran Islam (Muhaimin dalam Swasono, dkk, ed., 1987). Ini menunjukkan bahwa dasar moral pemberdayaan masyarakat dalam Islam pada hakikatnya memiliki variasi yang spesifik sebab moralitas tersebut di samping bertumpu pada kaidah-kaidah ajaran Islam, juga mengikuti nilai-nilai yang universal serta berdasarkan pada nilai-nilai kebudayaan masyarakat setempat. Di antara beberapa dasar moral pemberdayaan masyarakat Islam adalah perlunya menjaga keseimbangan antara pembinaan aspek ibadah (dalam arti sempit) yang bersifat personal dengan aspek keduniawian yang lebih banyak bersifat universal. Kecuali itu, prinsip Islam sangat menekankan kepada perlindungan terhadap anggota masyarakat yang secarâ alamiah dan sosial merupakan kelompok lemah, dengan melarang adanya semacam exploitation terhadap sesama anggota masyarakat begitu juga terhadap lingkungan alam. Karena itu adanya kemakmuran yang relatif merata merupakan prinsip lain dan setiap kebijakan dan strategi pembangunan masyarakat. Dengan kata lain, pninsip pemberdayaan masyarakat dalam Islam sebenamya merupakan satu konsep ekonomi-politik yang menyangkut secara total interaksi antara kegiatan-kegiàtan ekonomi dengan nonekonomi. dan juga beraspek interaksi antara dimensi universal dengan dimensi individual dan ajaran Islam. Hubungan teologi dengan pemberdayaan masyarakat merupakan persoalan yang menyangkut bagaimana posisi atau kedudukan teologi (place of theolgy) yang dikonsepsikan oleh ulama dalam proses pembangunan, yaitu bagaimana dan sejauhmana peran yang dapat dimainkan oleh ulama dalam mengintrodusir ajaran Islam sehingga mampu memberikan kontribusi kualitatif dalam upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.
Ulama dan Masyarakat................Ali Anas Nasution
11
Dalam. kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat, maka peran strategis ulama secara sosiokultural harus mampu memberikan penjelasan yang dapat dimengerti secara gamblang serta-.mampu memberikan “makna yang mendalam” dan hakikat pembangunan itu sendiri, dalam bentuk sosialisasi ajaran Islam yang memiliki daya kejelasan dan daya jelajah bagi penyelesaian masalah sosial kultural yang dihadapi oleh umat Islam Berdasarkan konsepsi pemberdayaan sebagai usaha peningkatan kualitas hidup manusia yang manusiawi, Menurut Ludjito (dalam Amin ed., 1989), peran teologi (terlepas dan apapun predikatnya) yang dipelopori ulama secara eksistensial hendaknya mampu berperan sebagai berikut Sebagai mobilisator pembangunan. Peranan mi bermakna bahwa teologi Islam niscaya mampu memberi rumusan etos keija yang dinamis kreatif sekaligus religius yang sanggup secara sosial ekonomi dan sosial budaya melahirkan tingkat produktifitas kerja yang tinggi sehingga memperlancar proses pembangunan. Teologi Islam memberikan orientasi pembangunan. Secara sosial budaya ulama memberikan arah, titik tolak, kriteria, way of perception, serta warna nilai yang jelas, pasti, manusiawi, religius sehingga pada gilirannya proses pembangunan berjalan sebagaimana mestinya tanpa kendala kultural religius, muaranya dapat mencapai tujuan pembangunan masyarakat. Teologi Islam berfungsi sebagai komunikator pembangunan. Dalam hal ini, Islam sebagai hasil refleksi religius yang disampaikan ulama sanggup memberikan pesan-pesan pembangunan yang komunikatif dan dialogik. Berperannya ulama dalam mensosialisasikan teologi pembangunan diharapkan dapat menghindari distorsi komunikasi religius yang menjadi kendala pembangunan masyarakat. Teologi Islam sebagai justifikator pembangunan. Untuk rnampu memfungsikan dirinya sebagai pemberi legitimasi ke arah terbukanya proses pembangunan, maka ulama dituntut untuk berani memberikan restu yang legitimate secara pasti, tegas, tentang apa yang benar, boleh dan apa yang salah, atau tidak boleh dilaksanakan dalam pembangunan. Teologi Islam berperan sebagai evaluator pembangunan. Ulama dalam konteks mi dituntut sanggup memberikan evaluasi secara religius teologik terhadap upaya pembangunan yang tengah berlangsung. Dalam fungsi ini, ulama di satu pihak bisa memberikan sumbangsih gagasan-gagasan pembangunan dan di lain pihak berfungsi sebagai alat kontrol pembangunan. Dengan demikian ulama menyampaikan teologi pembangunan dengan sikap berani, tegas, objektif namun
12
Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
bijak dan arif pembangunan.
dalarn
memberikan
penilaian
terhadap
segenap
upaya
Penutup Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan ulama dalam rangka memacu perkembangan sosio, ekonomi dan budaya masyarakat, seyogyanya diorientasikan pada pembangunan lokal dengan tujuan mendorong partisipasi masyarakat lokal, guna mengembangkan sumberdaya yang ada secara lebih mandiri, dengan inisiatif yang turnbuh secara lokal pula. Proses Islamisasi yang dilakukan ulama dengan penekanan yang lebih besar pada pengakuan terhadap nilai-nilai yang abadi terhadap Allah swt. dan Rasul-Nya, menjadi inspirasi bagi suatu kekuatan yang dmamis untuk tujuan membina masyarakat Islam lebih maju dan sejahtera. Maka posisi ulama menjadi demikian penting, sebab nasehat mereka selalu dicari umat.
Referensi Chambers, Robert, Rudal Development: Putting the Last First, London: Longman. 1983. Chirzin, M. Habib, “Pengembangan Masyarakat Suatu Upaya Pencerahan Sosial”, dalam Ade Ma’ruf WS dan Zulfan Heri, (ed). Muhammadiyah dan Pemberdayaan Rakyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1995. Desai, A.R. “Three Schools of Rural Reconstruction”, dalam Kamala Bhasin dan Vimala R., Reading on Poverty, Politics and Develompment, Roma; Freedom from Hunger Campaign/Action for Development, FAO. 1980. Kartasasmita, Ginandar, “Pemberdayaan Masyarakat dalam Rangka Pengembangan Ekonomi Rakyat”, dalam Jurnal Ilmiah, Nomor 20 Tahun VIII Agustus-Desember 1995. Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia. 1974. Ludjito, Ahmad, “Sambutan Kepala Badang Litbang Agania Departemen Agana Atas Nama Menteri Agama RI” dalam M. Masyhur Amin (ed). Teologi Pembangunan, Paradigma Baru Pemiki ran Islam, Yogyakarta: LKPSM NU DIY. 1989. Madjid, Nurcholis, Bilik-bilik Pesantren, sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina. 1997.
Ulama dan Masyarakat................Ali Anas Nasution
13
Muhaimin, Yahya, “Etos Kerja dan Moral Pembangunan”, dalam Sri-Edi Swasono, dkk, (ed). Sekitar Kemiskinan dun Keadilan, dan Cendikiawan Kita tentang Islam, Jakarta: UI Press. 1987. Prijono, Onny S. dan A.M.W, Prartarka (ed). Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implementasi, Jakarta: Centre for Strategic and International Studies - CSLS. 1996. Rahardjo, M. Dawam, “Muhamrnadiyah dan Pemberdayaan Ekonomi Umat”, dalam Jurnal Ilmiah, Nomor 20 tahun Vifi Agustus-Desember 1995. Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan. 1992. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Soekanto, Soerjono, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia. 1974. Susanto, Astrid S, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Jakarta: Bina Cipta. 1979. Syamsuddin, M. Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos. 2000. Syani, Abdul, Sosiologi dan Perubahan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Jaya. 1995.