UJI TOKSISITAS AKUT EKSTRAK ETANOLIK TERSTANDARD BUAH KEMUKUS (Piper cubeba Lf) THE ACUTE TOXICITY TEST OF STANDARDIZED ETHANOLIC EXTRACT FROM KEMUKUS (Piper cubeba L.f) FRUITS Wahyono 1), Subagus Wahyuono 1), Lukman Hakim 2), Nurlaila 2), Dhoni Abdulah 1) 1) Bagian Biologi Farmasi ,Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada 2) Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik , Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada ABSTRAK Tanaman Piper cubeba L.f. dikenal di Jawa sebagai tanaman kemukus dan banyak digunakan masyarakat sebagai obat tradisional untuk mengatasi sesak nafas, penghangat badan dan penghilang bau mulut, tetapi belum ada kajian ilmiah mengenai toksisitas tanaman tersebut. Untuk dapat memenuhi persyaratan dalam sistem pelayanan kesehatan formal maka obat tradisional harus memenuhi persyaratan kualitas, aman, dan berkhasiat. Penelitian ini bertujuan untuk menguji toksisitas akut ekstrak etanolik terstandard buah kemukus. Rancangan penelitian ini mengikuti rancangan acak lengkap pola searah. Penelitian dilakukan menggunakan mencit jantan galur Balb/c berjumlah 25 ekor, yang dibagi dalam 5 kelompok dosis. Dosis yang digunakan pada uji toksisitas akut ekstrak etanol buah kemukus ini adalah 1,2558; 2,4582; 4,8117; 9,4185 g/kg BB dan satu kelompok kontrol negatif (CMC-Na 0,5%), dan diberikan peroral. Masa pengamatan dilakukan selama 24 jam dengan frekuensi pengamatan intensif pada 3 jam pertama. Pengamatan yang dilakukan berupa gejala-gejala toksik yang terjadi, jumlah mencit yang mati, dan ditambah pengamatan histopatologi pada organ-organ vital yaitu lambung, usus, paru, jantung, hati dan ginjal. Perhitungan LD50 dilakukan dengan menggunakan metode Thompson-Weil. Hasil penelitian didapatkan LD50 ekstrak etanolik terstandard buah kemukus peroral pada mencit sebesar 3,9338 g/kg BB, termasuk kategori sedikit toksik. Gejala toksik yang teramati pada mencit selama uji toksisitas akut antara lain jalan tak terkontrol, loncat tinggi, gelisah, kepasifan gerak, tidak ada kereaktifan terhadap rangsang, ataksia, dan mati. Senyawa uji ternyata menimbulkan efek toksik pada organ ginjal yang berupa kongesti, pada organ usus yang berupa radang, dan organ hati yang berupa nekrosis, kongesti dan radang. Kata kunci : toksisitas akut, Piper cubeba L.f., ekstrak etanolik terstandard ABSTRACT Piper cubeba L.f., known as kemukus in Java, was used traditionally to cure respiratory disorders, warm the body and refresh the breath; but there was no scientific evidence on the toxicity. Therefore, to fulfill the requirements in formal health service system, traditional medicine should be safe and effective. The goal of the research is to assess the acute toxicity of standardized ethanolic extract from kemukus fruits. The research used completely randomized design using Balb/c male mice as the animal test. Twenty-five mice were divided into 5 groups. One group was given 0,5% CMC-Na as negative control group and four groups were given the ethanolic extract 1,2558, 2,4582, 4,8117 and 9,4185 g/kg orally. Evaluation was done 24 hours after administration and intensively in the first 3 hours. Evaluation included toxic symptoms, number of deaths and histopathology examination of vital organs, such as gastric, intestine, lung, heart, liver and kidney. Assessment of LD50 was done according Thompson-Weil method. The research gave the LD50 of standardized ethanolic extract from kemukus fruits in mice orally was 3,9338 g/kg, and classified as moderately toxic. The toxic symptoms were uncontrollable movement, high jump, restlessness, and passivity, unreactive to various stimuli, ataxia and die. The extract caused toxic effects to the organs, including kidney congestion, intestinal inflammation, and congestion, inflammation and necrosis in liver Key words: acute toxicity, Piper cubeba L.f., standardized ethanolic extract
PENDAHULUAN Tanaman masih merupakan sumber utama dalam penemuan obat baru, sementara alam Indonesia menyediakan sumber alamiah yang belum dimanfaatkan secara optimal dalam menemukan obat baru. Oleh karena itu, penggunaan obat tradisional yang dapat diperoleh dari alam menjadi alternatif penting dalam mencapai kualitas kesehatan masyarakat yang lebih baik. Salah satu tanaman yang banyak digunakan untuk obat tradisional mengobati beberapa penyakit adalah buah kemukus (Piper cubeba L.f.) yang berkhasiat sebagai desinfektan saluran kencing, karminativa, ekspektoran pada bronkitis dan pengobatan sesak nafas (Heyne, 1950). Pada penelitian yang lain dilaporkan ekstrak etanolik buah kemukus mempunyai aktivitas sebagai trakeospasmolitik (Wahyono dkk., 2003), antiinflamasi ( Wahyono, 2001). Selain itu telah dilakukan standardisasi ekstrak etanolik buah kemukus sehingga memenuhi parameter baku yang dipersyaratkan oleh Depkes RI (Wahyono dkk., 2006). Meskipun obat tradisional sudah dimanfaatkan sejak lama namun tidak sepenuhnya aman, karena obat tradisional ini merupakan senyawa asing bagi tubuh, sehingga sangatlah penting mengetahui potensi ketoksikannya melalui nilai LD50 dan spektrum efek toksiknya. Dengan diketahuinya potensi ketoksikan akut ekstrak etanol buah kemukus ini, maka bersama-sama dengan ED50 dapat digunakan untuk menilai batas keamanan atau indeks terapi (LD50/ED50) sediaan tersebut. Efek toksik pada makhluk hidup dapat terlihat dan dapat juga tidak. Bila dosis yang diserap relatif kecil, kerusakannya dapat terbatas pada beberapa sel saja. Masih cukup banyak sel yang sehat untuk tetap menjalankan fungsi normal organ. Jika sel banyak yang mengalami kerusakan, maka organ tersebut tidak dapat lagi berfungsi normal. Pada saat itu biasanya keracunan (kerja toksik) menampakkan diri, umumnya sebagai proses penyakit yang integral pada individu itu (Koeman, 1987). Tujuan utama uji ketoksikan akut
suatu obat adalah untuk menetapkan potensi ketoksikan akut, yakni kisaran dosis letal atau dosis toksik obat terkait, pada satu hewan uji atau lebih. Selain itu, uji ini juga ditujukan untuk menilai berbagai gejala klinis yang timbul, adanya efek toksik yang khas, dan mekanisme perantara terjadinya kematian hewan uji. Kriteria awal yang sering digunakan untuk evaluasi uji ketoksikan senyawa baru umumnya menggunakan kematian sebagai indeks untuk memperkirakan dosis letal yang mungkin terjadi pada manusia. Harga LD50 adalah besarnya dosis suatu senyawa yang dapat menyebabkan kematian 50% jumlah populasi dalam jangka waktu tertentu (Loomis, 1978). Evaluasi tidak hanya mengenai LD50, tetapi juga terhadap kelainan tingkah laku, stimulasi atau depresi sistem syaraf pusat, aktivitas motorik dan pernapasan hewan uji untuk mendapat gambaran sebab kematian, dapat juga dilengkapi dengan pemeriksaan laboratorium klinik dan pembuatan preparat histopatologi dari organ yang dianggap memperlihatkan kelainan (Darmansjah, 1995). METODOLOGI 1 Bahan Ekstrak etanolik terstandard buah kemukus (EET), kadar kubebin 3,69 %. Formalin teknis 10%, aquades, dan larutan CMC-Na 0,5% (Merck). 2. Subjek uji Pada penelitian ini digunakan satu jenis hewan uji roden yaitu mencit putih jantan (Mus musculus), galur Balb/c, usia 2-3 bulan, dengan bobot badan berkisar antara 20 sampai 30 gram. yang diperoleh dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia. 3. Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah spuit injeksi dan jarum oral no.14, neraca analitis, timbangan mencit, mortir dan stamper, kompor, seperangkat alat gelas, dan seperangkat alat bedah.
4. Jalannya Penelitian a. Penyiapan sediaan uji Suspensi EET ini dibuat dengan menggunakan pelarut CMC-Na 0,5% (CMCNa 0,5% dibuat dengan melarutkan 0,5 gram CMC-Na ke dalam aquadest sampai 100 ml dan diaduk dengan magnetik stirer. b.Pengelompokan hewan uji Pengelompokan hewan uji dilakukan secara acak (random). Hewan uji dibagi menjadi 1 kelompok kontrol ditambah 4 kelompok untuk empat peringkat dosis. Tiap kelompok terdiri dari 5 ekor mencit, dengan pembagian kelompok sebagai berikut. Kelompok I: kelompok dosis terendah yaitu dosis tertinggi yang tidak menimbulkan kematian hewan uji. Kelompok II & III: dosis antara, dosis yang diberikan kepada kelompok II dan kelompok III dengan kelipatan tetap yang diperoleh dari hasil orientasi Kelompok IV: kelompok dosis tertinggi yaitu dosis terendah yang dapat menimbulkan kematian 100% hewan uji. Kelompok V: kelompok kontrol negatif yang diberi larutan CMC-Na 0,5%. c. Pemberian sediaan uji dan pengamatan gejala toksik Sediaan uji diberikan pada hewan uji peroral, dengan kekerapan pemberian sekali selama masa uji. Sebelum dilakukan perlakuan hewan uji dipuasakan terlebih dahulu selama 8-12 jam dengan tetap diberi minum secukupnya. Pengamatan fisik terhadap gejala-gejala toksik dilakukan selama 24 jam dan pada 3 jam pertama dilakukan secara intensif terhadap semua kelompok mencit. Pengamatan fisik terhadap gejala-gejala toksik pada kulit dan bulu, mata dan membran mukosa, sistem pernafasan, sistem peredaran darah, sistem otonom dan syaraf pusat, sistem saluran cerna, sistem genitourinaria, pola perilaku serta aktivitas somatomotor. Hewan uji yang mati setelah pemberian suspensi sediaan uji sesegera mungkin dibedah pada bagian perut secara melintang.
Selanjutnya diambil organ ginjal, paru-paru, jantung, hati, usus dan lambung. Sedangkan sisa hewan uji yang masih hidup saat akhir masa 24 jam setelah pemberian suspensi sediaan uji, dikorbankan secara fisik dengan dislokasi leher, selanjutnya dibedah dan diambil organnya. Organ-organ tersebut dicuci dengan aquadest, kemudian ditimbang dan dimasukkan ke dalam pot berisi formalin 10% untuk kemudian diamati histopatologinya. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini, hewan uji dipejankan dengan sediaan uji dalam dosis tunggal secara oral. Dengan mempertimbangkan kemudahan dalam hal pemberian sediaan, serta disesuaikan dengan jalur pemejanan yang dipilih (oral), maka sediaan uji diberikan dalam bentuk suspensi. Dari hasil orientasi, setelah diketahui dosis terendah dan tertinggi, diperoleh faktor kelipatan 1,9574X untuk selanjutnya dapat diperhitungkan 4 peringkat dosis yang akan digunakan dalam pengujian yaitu : Kelompok kontrol = dosis 0 g/kg BB = CMCNa 0,5% (kontrol pelarut) Kelompok I = dosis 1,2558 g/kg BB (dosis terendah) Kelompok II = dosis 2,4582 g/kg BB Kelompok III = dosis 4,8117 g/kg BB Kelompok IV = dosis 9,4185 g/kg BB (dosis tertinggi) Keterangan : dosis diatas dihitung untuk mencit dengan berat 20 gram. Pengamatan potensi ketoksikan akut dilakukan dengan melihat adanya gejala klinis ketoksikan maupun ada tidaknya kematian hewan uji dari masing-masing kelompok perlakuan (data kuantitatif). Pengamatan dilakukan selama 24 jam setelah pemberian sediaan uji. Pada tabel I menunjukkan bahwa setelah pemejanan sediaan uji dari dosis kelompok II sampai kelompok IV terdapat hewan uji yang mati. Sedangkan kelompok kontrol dan kelompok I tidak ada satupun hewan uji yang mati. Hewan uji yang mati langsung dibedah dan diambil organ-organ vitalnya, sedangkan sisanya yang belum mati dikorbankan, dibedah, dan diambil organorgan vitalnya pada jam ke-24 setelah pemberian sediaan uji.
Tabel I. Jumlah mencit jantan yang mati setelah pemberian ekstrak etanol buah kemukus pada pengamatan 24 jam Jumlah mencit Respon (%) yang mati Kontrol 5 0 0 Kelompok I 5 0 0 Kelompok II 5 2 40 Kelompok III 5 2 40 Kelompok IV 5 5 100 Keterangan : Kontrol : CMC-Na 0,5% Kelompok I : sediaan uji dosis 1,2558 g/kg BB Kelompok II : sediaan uji dosis 2,4582 g/kg BB Kelompok III : sediaan uji dosis 4,8117 g/kg BB Kelompok IV : sediaan uji dosis 9,4185 g/kg BB Kelompok
N
LD50 (g/kg BB) 3,9338
Tabel II. Gejala toksik yang muncul pada hewan uji setelah pemejanan ekstrak etanol buah kemukus pada pengamatan 24 jam Gejala toksik Kelompok Kontrol Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV
jalan tak terkontrol, kepasifan gerak, tidak ada kereaktifan terhadap rangsang, ataksia, mati jalan tak terkontrol, loncat tinggi, gelisah, kepasifan gerak, tidak ada kereaktifan terhadap rangsang, ataksia, mati jalan tak terkontrol, loncat tinggi, gelisah, kepasifan gerak, tidak ada kereaktifan terhadap rangsang, ataksia, mati
Kesimpulan yang bisa diambil dari data hasil pengamatan adalah pemberian dosis tunggal sediaan uji EET dapat menyebabkan kematian pada beberapa peringkat dosis. Harga LD50 yang didapat menurut metode Thompson-Weil adalah 3,9338 g/kg BB. Harga LD50 ini termasuk dalam kategori sedikit toksik (Loomis,1978). Hasil pengamatan kualitatif gejalagejala toksik pada mencit jantan selama 24 jam setelah pemberian oral sediaan suspensi EET memperlihatkan adanya gejala-gejala toksik yang cukup jelas untuk diamati. Gejalagejala toksik tersebut hanya terjadi pada kelompok II, III, dan IV. Sedangkan pada kelompok I dan kontrol tidak ada perilaku mencit yang menggambarkan gejala toksik (Tabel II). Untuk melihat spektrum efek toksik yang timbul setelah pemberian sediaan uji pada organ-organ vital (jantung, paru, ginjal, lambung, hati, dan usus) dilakukan
pemeriksaan histopatologi pada organ-organ tersebut. Sebelum difiksasi ke dalam larutan formalin 10% untuk dibuat preparat histopatologi, terlebih dahulu organ-organ tersebut diamati secara makroskopis untuk melihat kelainan yang terjadi pada organ. Dari hasil pengamatan makroskopis organorgan vital dari mencit jantan terlihat beberapa organ ada yang mengalami kelainan dibandingkan dengan kontrol. Kelainan tersebut terjadi pada beberapa hewan uji kelompok II dan kelompok III. Pada kelompok II terdapat satu hewan uji yang ususnya menggelembung terisi oleh udara, dan pada kelompok III terdapat satu hewan uji yang lambung dan ususnya menggelembung terisi oleh udara. Menggelembungnya usus tersebut mungkin disebabkan oleh efek dari khasiat kemukus sebagai karminativa. Pada kelompok III juga terlihat satu hewan uji ususnya berwarna kuning yang mirip dengan warna sediaan
uji, diperkirakan usus berwarna kuning ini disebabkan oleh sediaan uji yang mengalami proses pencernaan dan keberadaannya banyak di saluran usus tersebut. Dari hasil pengamatan makroskopis ini masih belum bisa disimpulkan pengaruh sediaan uji terhadap hewan uji karena perlu melihat hasil pemeriksaan histopatologinya. Hasil interpretasi preparat histopatologi mencit yang dibedah setelah mengalami kematian dan setelah 24 jam waktu pemberian sediaan uji didapatkan terjadi kerusakan pada organ beberapa hewan uji. Organ yang mengalami kerusakan adalah ginjal, paru, usus, dan hati. Organ ginjal hewan uji yang mengalami kongesti yaitu pada (kelompok III) dan kelompok IV. Kongesti adalah peningkatan cairan pada suatu tempat yang terjadi karena proses pasif yang disebabkan kegagalan aliran cairan keluar dari jaringan, misalnya pada kerusakan vena. Jika dilihat secara visual maka daerah jaringan atau organ yang mengalami kongesti akan berwarna lebih merah (ungu) dan secara mikroskopi kapilerkapiler dalam jaringan melebar penuh berisi darah. Terdapat dua mekanisme timbulnya kongesti, yaitu kenaikan jumlah darah yang mengalir ke daerah tersebut dan penurunan jumlah darah yang mengalir dari daerah tersebut. Kongesti dapat terjadi pada daerah yang mengalami peradangan (Greaves, 2000). Berdasarkan data histopatologi tersebut, disimpulkan bahwa kongesti ginjal hewan uji disebabkan perlakuan dengan sediaan uji (Gambar1. B). Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya hewan uji pada kelompok kontrol yang mengalami kongesti pada organ ginjal (Gambar 1 A). Kongesti terjadi pada kelompok III dan IV saja, sedangkan pada kelompok I dan II tidak terjadi kongesti. Dengan demikian adanya kenaikan peringkat dosis sediaan uji kemungkinan akan memperkuat terjadinya kongesti. Pemeriksaan histopatologi terhadap organ paru tidak menunjukkan adanya kongesti. Histopatologi organ usus memperlihatkan adanya radang pada hewan uji kelompok kontrol kelompok I dan kelompok IV. Pada penelitian ini, masih belum dapat disimpulkan apakah radang pada usus
disebabkan pengaruh pemberiaan sediaan uji karena pada kelompok kontrol juga mengalami hal tersebut. Namun pada kelompok dosis kelompok IV hampir semua hewan uji mengalami kerusakan organ usus ini, sehingga kemungkinan kenaikan peringkat dosis sediaan uji akan memperkuat terjadinya radang. Pengamatan histopatologi terhadap organ lambung dan jantung menunjukkan bahwa pada semua hewan uji tidak terjadi perubahan patologi yang spesifik. Organ hati setelah melalui pemeriksaan histopatologi memperlihatkan kerusakan berupa nekrosis, kongesti dan radang (Gambar 2B dan Gambar3) Nekrosis merupakan kematian sel atau jaringan pada organisme hidup (Underwood, 1999). Peristiwa ini ditandai dengan inti sel yang mengkerut dan menjadi gelap sampai tidak ada lagi eukromatin (piknosis), kemudian terfragmentasi (karioreksis), kemudian menghilang (kariolisis) (Anonim, 2000). Nekrosis hati dapat terjadi secara spontan pada hewan uji setelah pemberian agen terapeutik dosis tinggi. Hal ini disebabkan mekanisme tidak langsung seperti anoksia pada jaringan yang disebabkan kesalahan pada sirkulasi dan biliary stasis. Nekrosis berdasarkan tempat terjadinya ada dua macam, yaitu zonal (pada daerah tertentu, misalnya sentrolobular, mid-zonal atau periportal, konfluen,masif) dan pada hepatosit tunggal (nekrosis pada satu sel atau satu jenis sel). Hasil pengamatan menunjukkan nekrosis organ hati yang terjadi adalah nekrosis sentrolobular. Nekrosis sentrolobular dapat disebabkan oleh gangguan peredaran darah hepatik yang ditandai dengan hepatosit yang menunjukkan eosinofilia, diikuti dengan kongesti dan inflamasi (Greaves, 2000). Menurut Ressang (1984) nekrosis pada hati bisa juga disebabkan oleh pengaruh langsung agen yang bersifat toksik seperti zat kimia maupun toksin kuman (nekrosis toksopatik), atau karena kekurangan faktorfaktor yang sangat diperlukan sel seperti oksigen dan zat-zat makanan (nekrosis trofoatik).
c
b
c
a d
c
b b
a
a
Gambar A.
Gambar B.
Gambar 1. Irisan melintang organ ginjal normal mencit jantan kelompok kontrol (CMC-Na 0,5%) dengan perbesaran 200x dan pewarnaan hematoksilin-eosin (gb. A). Irisan melintang organ ginjal kongesti mencit jantan kelompok perlakuan IV (dosis 9,4185 g/kg BB) dengan perbesaran 200x dan pewarnaan hematoksilin-eosin (gb. B) Keterangan : a. glomerulus b. capsula Bowman c. tubulus d. kongesti
c c
c d
b
b ee
bb f
a d Gambar A.
Gambar B.
Gambar 2 Irisan melintang organ hati normal mencit jantan kelompok kontrol (CMC-Na 0,5%) dengan perbesaran 200x dan pewarnaan hematoksilin-eosin (gb.A). Irisan melintang organ hati nekrosis dan radang mencit jantan kelompok IV (dosis 9,4185 g/kg BB) dengan perbesaran 200x dan pewarnaan hematoksilin-eosin (gb.B) Keterangan : a. vena sentralis c. inti sel b. hepatosit d. sinusoid f.radang
c
f
b
d
e
Gambar 3. Irisan melintang organ hati nekrosis dan kongesti mencit jantan kelompok IV (dosis 9,4185 g/kg BB) dengan perbesaran 400x dan pewarnaan hematoksilineosin Keterangan : a. vena sentralis d. sinusoid b. hepatosit e. nekrosis c. inti sel f.. kongesti
Hewan uji yang mengalami nekrosis hati adalah kelompok kontrol (1 hewan uji), dan kelompok IV (hampir semua hewan uji). Pada penelitian ini, masih belum dapat disimpulkan apakah nekrosis hati disebabkan pengaruh pemberian sediaan uji karena terjadi juga pada kelompok kontrol. Namun pada kelompok kelompok IV hampir semua hewan uji mengalami nekrosis hati (Gambar 3), sehingga besar kemungkinan adanya kenaikan peringkat dosis sediaan uji akan memperkuat terjadinya nekrosis. Akan tetapi, hal ini perlu dibuktikan dengan penelitian lebih lanjut seperti misalnya dengan uji ketoksikan subkronis. Hewan uji yang mengalami kongesti pada organ hati adalah kelompok II (1 hewan uji), Kelompok III (1 hewan uji) dan kelompok IV (4 hewan uji). Berdasarkan data tersebut, sediaan uji disimpulkan dapat menimbulkan kongesti pada hewan uji karena pada kelompok kontrol tidak terjadi kongesti. Kemungkinan adanya kenaikan peringkat dosis sediaan uji akan memperkuat terjadinya kongesti ini. Dari hasil pengamatan histopatologi tersebut, terlihat bahwa organ hati mengalami kerusakan yang paling parah dibandingkan organ yang lain. Sekitar 10% reaksi obat yang merugikan melibatkan hepar. Hal dikarenakan
hepar mempunyai peran sentral dalam metabolisme dan konjugasi serta eliminasi bahan-bahan toksik dari tubuh (Underwood, 1999). Berdasarkan pengamatan histopatologi dapat disimpulkan bahwa senyawa uji yaitu ekstrak etanolik buah kemukus ini menimbulkan efek toksik pada organ ginjal yang berupa kongesti, pada organ usus yang berupa radang, dan hati yang berupa nekrosis, kongesti dan radang. Sedangkan pada organorgan lain tidak menimbulkan efek toksik yang berarti. KESIMPULAN Pemberian dosis tunggal sediaan uji ekstrak etanolik terstandard dari buah kemukus (Piper cubeba L.f) pada hewan uji mencit jantan galur Balb/c memberikan harga LD50 peroral sebesar 3,9338 g/kg BB termasuk dalam kategori sedikit toksik. Gejala toksik yang timbul berupa gangguan sistem syaraf pusat dan somatomator. Efek toksik terjadi pada organ ginjal yang berupa kongesti, pada organ usus yang berupa radang, dan hati yang berupa nekrosis, kongesti dan radang. Sedangkan pada organ-organ lain tidak menimbulkan efek toksik yang berarti.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2000, Ed's Pathology Meltdown, Part I -General Pathology, http://www. pathguy.com/meltdown.txt, diakses Maret 2006. Darmansjah, I., 1995, Dasar Toksikologi dalam Ganiswara, S.G., (Ed.), Farmakologi dan Terapi, 762-766, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Greaves, P., 2000, Histopathology of Preclinical Toxicity Studies Interpretation and Relevance in Drug Safety Evaluation, Second Edition, 372-380, Elsevier, Amsterdam. Heyne, K., 1950, De Nuttige Planten van Indonesia, en twee delen, N.V. Uitgeverij W, van Hoeve-s-Grovenhage, Bandung. Koeman, J.H., 1987, Pengantar Umum Toksikologi, diterjemahkan oleh Yudono, R.H., 60, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Loomis, T.A., 1978, Toksikologi Dasar, Edisi terjemahan, Alih Bahasa Donatus, I.A., Edisi III, 22, 225-226, 228. 233, IKIP Press, Semarang. Lu, F.C., 1995, Toksikologi Dasar : Asas, Organ, Sasaran, dan Penilaian Risiko, diterjemahkan oleh Nugroho, E., Bustami, Z.S., dan Darmansjah, I., Edisi II, 8689,93, UI Press, Jakarta. Ressang, A.A., 1984, Buku Pelajaran Patologis Khusus Veteriner, Edisi II, 53, 54 240, 246, Bali Cattle Disease Investigation Unit, Denpasar. Wahyono, 2001, Isolasi dan Karakterisasi Senyawa Aktif Antiinflamasi Dalam Buah Kemukus (Piper cubeba L.f), Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian ,UGM Wahyono, Hakim L, Wahyuono, S, Mursyidi A., Verpoorte R., Timmerman H, 2003, Isolation of Tracheospasmolytic Compounds From Piper cubeba Fruits, Ind. J. of Pharm., 14 (3), 119-23 Wahyono, Wahyuono S., Hakim L., dan Arwanda I., 2006, Penentuan Parameter Spesifik Ekstrak Buah Kemukus (Piper cubeba L.f) Secara KLT-Densitometri menggunakan Kubebin Sebagai Parameter, Seminar Nasional Kontribusi Herbal Medicine Dan Akupunktur Dalam Dunia Kedokteran, Bagian Farmasi Kedokteran UGM dan PEFARDI, Yogyakarta 5 Agustus 2006.