Uji Daya Terima, Nilai Gizi dan Analisis Jumlah Bakteri Pada Produk Mi Kering Dengan Penambahan Tepung Daun Kelor (Moringa oleifera lam) Analysis of the acceptability, nutrition value, and total bacteria on the dry noodles product with the addition of moringa leaf powder (Moringa oleifera lam) 1
Aan Adwiyah, 1Vitria Melani, S.Si., M.Si, 1Reza Fadhila, S.TP., M.Si 1 Departement of Nutrition Faculty of Health Sciences, Esa Unggul University Jalan Arjuna Utara No.9, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11510
ABSTRAK Daun kelor dapat dimanfaatkan dalam bentuk tepung agar lebih awet dan mudah disimpan. Aplikasi tepung daun kelor yang kaya zat gizi sebagai bahan tambahan meningkatkan nilai gizi produk mi kering dan mengurangi penggunaan tepung terigu. Mengetahui daya terima, nilai gizi dan jumlah bakteri pada produk mi kering dengan penambahan tepung daun kelor. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan 4 taraf perlakuan yaitu 100%:0%, 90%:10%, 80%:20, dan 70%:30%. Uji daya terima menggunakan Visual Analogue Scale dengan 30 panelis tidak terlatih. Uji statistik yang digunakan adalah One Way Anova (95% CI) dan uji lanjut bonferroni. Uji jumlah bakteri dengan Angka Lempeng Total sebagai upaya penjaminan mutu dan keamanan pangan produk mi kering. Produk terpilih produk K868 dengan penambahan 20% tepung daun kelor berdasarkan parameter rasa (40,77 ± 26,62 mm) dan tekstur (50,80 ± 20,13 mm). Berdasarkan uji daya terima ada perbedaan nilai rerata warna hasil uji hedonik pada produk mi kering dengan penambahan tepung daun kelor (p < 0,05). Hasil analisis zat gizi dan jumlah bakteri produk mi kering K868 yaitu kadar air 14,65%, kadar abu 4,52%, karbohidrat 60,42%, protein 17,27%, lemak 3,14%, serat kasar 2,44%, zat besi 32,53 ppm dan jumlah bakteri < 10 koloni/g. Kata Kunci : jumlah bakteri, mi kering, nilai gizi, tepung daun kelor, Visual Analogue Scale. ABSTRACT Moringa leaf powder can be used into the flour to be more durable and easily stored. The application of moringa leaf powder rich of nutrition essence as an addition to increasing nutrition values of dried noodle and reduce the use of flour. Knowing acceptability, nutrition value and number of bacteria in dried noodle with addition of moringa leaf powder. The type of this research is experiment which consist of 4 degree of moringa leaf powder treatment, those are 100%, 0%, 90%, 10%, 80%, 20%, and 70%, 30%. The acceptance experiment use the Visual Analogue Scale with 30 untrained panelists. Statistic test using of One Way Anova (95% CI) and post hoc test (Bonferroni). Test the number of bacteria with Aerobic Plate Count as an attempt to ensure quality and safety the product of dried noodle. The product of K868 selected with 20% addition of moringa leaf powder based on flavour (40,77 ± 26,62 mm) and texture (50,80 ± 20,13 mm). There is the difference value of the average colour according to acceptance experiment on the result of hedonic test in the product with addition of moringa leaf powder (p < 005). The obtained of chemical quality nutrition essence and number of bacteria is water content 14, 65%, ash content 4,52%, protein 17,27%,
1
carbohydrate 60,42%, fat 3,14%, crude fiber 2,44%, in iron 32, 53% and number of bacteria is < 10 cfu/g. Key word : number of bacteria, dried noodle, nutrition value, moringa leaf powder, Visual Analogue Scale. PENDAHULUAN Berdasarkan kajian preferensi konsumen, mi merupakan produk pangan yang paling sering dikonsumsi sebagian besar masyarakat baik sebagai makanan sarapan maupun selingan (Juniawati, 2003). Rata-rata persentase konsumsi mi menurut jenisnya dari tahun 2002 – 2007 yaitu mi instan 97,56%, mi basah 0,04%, mi kering 1,21%, dan bihun 1,19% (Sukma, 2013). Berdasarkan data Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO) bahwa kenaikan konsumsi terigu nasional pada Januari 2016 dibanding Januari 2015 sebesar 3,8 % atau sekitar 475.500 metrik ton (Tribun Bisnis, 19 Februari 2016). Mi kering adalah mi segar yang telah dikeringkan hingga kadar airnya mencapai 8-10%, pengeringan umumnya dilakukan dengan oven. Dikarenakan bersifat kering maka mi jenis ini mempunyai daya simpan relatif panjang dan mudah dalam penanganannya (Astawan, 2003). Mutu mi yang baik adalah kenyal, elastis, halus permukaannya, bersih, dan tidak lengket. Pada pembuatan mi kering dengan proporsi penggunaan tepung terigu yang kaya karbohidrat relatif lebih dominan dibanding dengan proporsi zat gizi lainnya (Agustin, Simamora & Z.Wulandari, 2003). Oleh karena itu, perlu adanya perhatian khusus untuk mengurangi penggunaan tepung terigu dengan memanfaatkan komoditas pangan lokal. Salah satu alternatif untuk mengurangi penggunaan tepung terigu terutama dalam pembuatan
mi kering dengan mengembangkan potensi daun kelor yang kaya akan zat gizi. Menurut penelitian Kristina,et al. (2014) melaporkan bahwa daun kelor mengandung Fe 5,49mg/100 g dan juga fito-sterol yakni sitosterol 1,15%/100 g dan stigmasterol 1,52%/100 g Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Winarno, 2000). Penggunaan daun kelor yang diolah sebagai tepung dapat di aplikasikan untuk mengurangi penggunaan tepung terigu dalam pembuatan mi kering. Daun kelor dapat dimanfaatkan dalam bentuk tepung agar lebih awet dan mudah disimpan (Kustiani, 2013). Kandungan gizi daun kelor akan mengalami peningkatan kuantitas apabila daun kelor dikonsumsi setelah dikeringkan dan dijadikan serbuk (tepung). Proses pembuatan daun kelor (Moringa oleifera) menggunakan daun muda yang dipetik dari tangkai daun pertama (di bawah pucuk) sampai tangkai daun ketujuh yang masih hijau, meskipun daun tua dapat digunakan asal daun kelor tersebut belum menguning. Selanjutnya daun kelor dicuci dengan air bersih lalu dirunut dari tangkai daunnya, kemudian ditebar di atas jaring kawat (rak jemuran oven) dan diatur ketebalannya, proses pengeringan dilakukan pada suhu 45ºC selama 24 jam. Daun kelor kering 2
lalu dihancurkan menggunakan blender dan diayak dengan ayakan 100 mash, selanjutnya disimpan dalam wadah plastik yang kedap udara (Zakaria,et al., 2012). Peningkatan kandungan gizi tepung daun kelor disebabkan adanya proses pengeringan. Menurut Rindiannisa, et al. (2014) bahwa pengeringan merupakan proses mengeluarkan/menghilangkan kadar air dari bahan pangan maka bahan pangan hasil pengeringan akan mengandung senyawa-senyawa seperti protein, karbohidrat, lemak dan mineral dalam konsentrasi yang lebih tinggi, akan tetapi vitamin dan zat warna pada umumnya menjadi rusak atau berkurang. Mineral relatif lebih stabil pada proses pengolahan berupa panas, cahaya, dan pH dibanding dengan vitamin. Mineral dalam makanan dapat berkurang dalam proses pencucian maupun perebusan. Sehingga proses pemanggangan tidak terlalu berpengaruh terhadap oksidasi khususnya zat besi (Food Safety and Standards Authority of India, 2010). Menurut Kustiani (2013) melaporkan bahwa tepung daun kelor mengandung kadar air 4,51% (bb), kadar abu 8,76% (bb), kadar protein 23,25% (bb), kadar karbohidrat 45,77% (bb), kadar lemak 17,71% (bb), kalsium 640,5 mg/100g, zat besi 30,6 mg/100g, seng 6,65 mg/100g. Serat kasar yang terkandung di dalam tepung daun kelor sebesar 8,98% (Sofjan,2008). Menjamin mutu dan keamanan pangan suatu produk khususnya mi kering merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas produk tersebut. Berbagai proses dalam pembuatan mi kering memungkinkan produk mi tercemar oleh cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat membahayakan kesehatan. Adapun upaya penjaminan mutu dan
keamanan pangan adalah dengan pengujian jumlah bakteri produk mi kering menggunakan Angka Lempeng Total (ALT). Menurut BPOM (2008) bahwa uji Angka Lempeng Total (ALT) dilakukan untuk menentukan jumlah atau angka bakteri aerob mesofil yang mungkin mencemari suatu produk, baik itu makanan-minuman, obat tradisional ataupun kosmetika. Uji Angka Lempeng Total (ALT) menggunakan media padat dengan hasil akhir berupa koloni yang dapat diamati secara visual dan dihitung, interpretasi hasil berupa angka dalam koloni(cfu) per ml/g atau koloni/100ml. METODE PENELITIAN Bahan yang digunakan dalam pembuatan mi kering adalah tepung terigu jenis hard flour, tepung daun kelor, garam, Natrium karbonat, Kalium karbonat, CMC, STPP, dan telur. Bahan yang digunakan untuk pengujian daya terima yaitu sampel mi kering daun kelor belum dimasak untuk uji warna dan sampel mi daun kelor matang untuk uji rasa,aroma,serta tekstur. Bahan yang digunakan untuk uji nilai gizi yaitu HCl 25%, heksana (pelarut lemak), H2SO4 1,25%, NaOH 3,25%, etanol 96%, air panas, air suling, asam nitrat pekat, hidrogen peroksida, asam klorida 3 N, selen, H2SO4 pekat, akuades, NaOH-Na2S2O3, asam borat 4%, bromcresol green, methyl red, HCl 0,01 N. Bahan yang digunakan untuk uji jumlah bakteri phosphate bufferred dan plate count agar. Alat yang digunakan untuk proses pembuatan mi kering dari campuran tepung terigu dan tepung daun kelor adalah timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g, alat pembuat mi, oven alumunium kompor 3
gas, peralatan kecil, peralatan gelas dan plastik Low Density Polyethylene (LDPE). Alat yang digunakan untuk pengujian daya terima yaitu alat penyajian sampel, dan alat komunikasi (lembar persetujuan responden, formulir VAS, format instruksi, alat tulis). Alat yang digunakan untuk uji nilai gizi yaitu oven, eksikator, kertas saring, botol timbang, cawan porselen, penangas air, bunsen, tanur listrik, gelas piala, batu didih, kaca arloji, timbangan digital, ekstraksi soxhlet, erlenmeyer, pendingin tegak, corong buncher, krus porselin, batang pengaduk gelas, labu ukur, pipet, spektrofotometer serapan atom, labu kjeldahl, dan alat kjeltec. Alat yang digunakan untuk uji jumlah bakteri yaitu tempat penyimpanan sampel, gelas steril 250ml, timbangan kapasitas 2000g, tabung kaca steril + tutup, peralatan kecil, blender, lemari pendingin dengan suhu 0-50C, lemari pembeku dengan suhu -15 sampai dengan -200C, pepettors, botol pengenceran 160 ml, cawan petri, penangas air, inkubator, tally counter, termometer (merkuri). Penelitian pendahuluan untuk menentukan konsentrasi tepung terigu dan tepung daun kelor, lalu dilakukan pembuatan produk mi kering. Konsentrasi tepung terigu dan tepung daun kelor pada produk mi kering yaitu 100%:0%, 90%:10%, 80%:20%, 70%:30% dan 60%:40%. Persentase penambahan tepung daun kelor berdasarkan per 100 gram total tepung terigu. Prosedur pembuatan mi meliputi pencampuran bahan, pengadukan, pengistirahatan adonan, pembentukan lembaran, penaburan mi dengan tepung tapioka, pemotongan lembaran, pengukusan suhu 100˚C selama 15 menit, pengeringan dengan oven selama 35 menit pada suhu 75˚C, proses pendinginan
selama 5 menit untuk menghilangkan sisasisa uap panas hasil pengeringan. Proses pengemasan mi kering daun kelor menggunakan kemasan plastik Low Density Polyethylene (LDPE). Kemudian dilanjutkan dengan uji daya terima dan dipilih satu produk yang paling disukai panelis. Pada uji daya terima digunakan metode uji hedonik dan mutu hedonik dengan alat ukur Visual Analogue Scale (VAS) meliputi parameter mutu, yaitu warna, rasa, aoroma dan tekstur (kekenyalan) pada 30 panelis tidak terlatih. Kesan subjektif panelis pada uji hedonik diaplikasikan ke dalam instrumen pengukuran Visual Analogue Scale (VAS). VAS ditampilkan dalam bentuk garis horizontal dengan panjang 100 mm dan terdapat deskripsi kata diakhir garisnya. Titik yang dicantumkan pada garis horizontal menjadi penanda dari persepsi panelis (D.Gould,et al. 2011) Uji daya terima produk mi kering kontrol dan penambahan tepung daun kelor dilakukan dengan memasak mi kering terlebih dahulu untuk uji hedonik dan mutu hedonik parameter aroma, rasa,dan tekstur. Produk mi kering matang disiapkan dengan merebus mi kering dalam air mendidih selama ± 3 – 4 menit. Sedangkan uji daya terima produk mi kering untuk parameter warna didapat dari mi kering sebelum dimasak. Produk terpilih ditentukan secara deskriptif dengan menggunakan nilai ratarata hasil uji hedonik parameter warna, rasa, aroma dan tekstur dari masingmasing taraf perlakuan. Nilai rata-rata dari setiap taraf perlakuan akan diurutkan berdasarkan peringkat nilai rata-rata terbesar hingga nilai rata-rata terkecil. Hasil uji hedonik dan mutu hedonik akan dianalisis statistik menggunakan Oneway Anova (Analysis of variance) 4
pada tingkat kepercayaan 95% dan uji lanjut Bonferroni. Uji Oneway Anova dilakukan untuk mengetahui ada atau tidak perbedaan nilai rerata VAS hasil uji hedonik dan mutu hedonik pada beberapa taraf perlakuan penambahan tepung daun kelor diantara dengan p < 0,05. Uji lanjut dengan bonferroni untuk mengetahui secara pasti kelompok-kelompok perlakuan yang memiliki ada atau tidak perbedaan secara bermakna (p < 0,05) nilai rerata VAS hasil uji hedonik dan mutu hedonik pada ke-2 taraf perlakuan penambahan tepung daun kelor. Pengolahan dan analisa data berdasarkan hasil analisis dengan software program SPSS versi 20. Penelitian Utama dilakukan dengan produk mi kering terpilih berdasarkan hasil uji hedonik akan diuji nilai gizi seperti kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, kadar serat kasar, dan kadar zat besi.serta uji jumlah bakteri.
menimbulkan rasa pahit. Senyawa tanin adalah senyawa astringent yang memiliki rasa pahit dari gugus polifenolnya yang dapat mengikat dan mengendapkan atau menyusustkan protein. Zat astringent dari tanin menyebabkan rasa kering dan puckery (kerutan) di dalam mulut setelah mengonsumsi teh pekat, anggur merah atau buah mentah (Ismarani,2012). Merujuk pada penelitian Rudianto, Syam dan Alharini (2014) mengenai biskuit dengan penambahan tepung daun kelor menunjukkan bahwa batas penerimaan produk biskuit yang disukai oleh panelis yakni pada perlakuan 25% tepung daun kelor +75 % tepung terigu. Hal ini disebabkan karena selera dari masing-masing panelis yang lebih menyukai biskuit dengan penambahan 25% tepung daun kelor serta penambahan tepung daun kelor sudah tidak bisa menutupi bahan yang mempengaruhi rasa biskuit yang dihasilkan. Didasarkan rasa pahit yang kuat dan batas penerimaan penambahan tepung daun kelor pada penelitian Rudianto,Syam dan Alharini (2014) maka konsentrasi 60%:40% dihilangkan dari penentuan konsentrasi penambahan tepung daun kelor pada produk mi kering. Sehingga, konsentrasi penambahan tepung daun kelor yang dihasilkan dari penelitian pendahuluan yaitu 100%:0%, 90%:10%, 80%:20%, dan 70%:30%.
HASIL DAN PEMBAHASAN . Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan konsentrasi penambahan tepung daun kelor terhadap produk mi kering. Setelah dilakukan trial and error konsentrasi penambahan tepung daun kelor pada produk mi kering dengan taraf perlakuan 100%:0%, 90%:10%, 80%:20%, 70%:30% dan 60%:40%. Uji trial and error ini dilakukan dengan cara mengamati warna, menghirup aroma dan mencicipi ke-5 taraf perlakuan tersebut. Pada taraf perlakuan penambahan tepung daun kelor 10% kadar rasa pahit masih rendah. Rasa pahit mulai meningkat pada penambahan tepung daun kelor 20% dan 30%. Pada penambahan tepung daun kelor 40% rasa pahit mi kering sangat kuat. Pada daun kelor senyawa tanin yang
Tabel 1. Konsentrasi tepung daun kelor Tepung terigu Tepung daun kelor 100% 0% 90% 10% 80% 20% 70% 30%
5
Uji Hedonik Warna Secara keseluruhan produk mi kering pada uji hedonik parameter warna ditampilkan produk mi kering yang belum dimasak. Warna sebelum dimasak dianggap sebagai warna produk asli yang nantinya mempengaruhi daya beli konsumen (Mulyadi, et al., 2014). Nilai rerata VAS hasil uji hedonik parameter warna pada produk mi kering K563 sebesar 41,23 ± 18,96, K747 sebesar 43,13 ± 24,92, K868 sebesar 29,50 ± 24,54, K968 sebesar 24,77 ± 24,54. Warna mi kering kontrol dan dengan penambahan tepung daun kelor mi kering sangat dipengaruhi oleh reaksi pencoklatan. Oleh karena itu digunakan tepung tapioka selain sebagai pengikat juga sebagai pencerah warna mi (Mulyadi, et al., 2014). Dilihat dari nilai rerata sampel produk mi kering dengan penambahan tepung daun kelor bahwa semakin tinggi tingkat penambahan maka nilai rata-rata warna semakin menurun. Semakin hijau pekat warna produk mi kering, kesukaan panelis semakin menurun. Sejalan dengan hasil penelitian Mulyadi (2013) bahwa mi kering kemangi dengan konsentrasi 15 % memberikan warna hijau tidak terlalu mencolok, sedangkan konsentrasi kemangi 25 % dan 35 % terlalu memberikan warna hijau yang sangat tua sehingga panelis tidak terlalu menyukainya. Menurut Rahayu (2016) melaporkan bahwa hal ini disebabkan pigmen warna hijau pada daun kelor yang mengandung klorofil. Hasil analisa Oneway Anova dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05). bahwa ada perbedaan nilai rerata warna hasil uji hedonik mi kering dengan penambahan tepung daun kelor dari keempat perlakuan. Hasil uji lanjut bonferroni menunjukan bahwa ada
perbedaan yang signifikan pada produk mi kering 563 dengan 968 dan 747 dengan 968. Rasa Secara keseluruhan produk mi kering pada uji hedonik parameter rasa ditampilkan produk mi kering yang sudah dimasak. Nilai rerata VAS hasil uji hedonik parameter rasa pada produk mi kering K563 sebesar 40,93 ± 23,14, K747 sebesar 34,97 ± 22,27, K868 sebesar 40,77 ± 26,62, K968 sebesar 30,00 ± 27,02. Menurut Winarno (2004) di dalam Rudianto,et al (2014), bahwa konsistensi bahan akan mempengaruhi citarasa yang ditimbulkan oleh bahan tersebut. Hasil analisa Oneway Anova dengan signifikansi sebesar 0,267 (α = 0,05). Dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan nilai rerata rasa hasil uji hedonik mi kering dengan penambahan tepung daun kelor dari keempat perlakuan. Hasil uji lanjut bonferroni menunjukan bahwa uji taraf perlakuan memiliki perbedaan tidak signifikan (p > 0,05). Aroma Secara keseluruhan produk mi kering pada uji hedonik parameter aroma ditampilkan produk mi kering yang sudah dimasak. Aroma mi kering dengan penambahan tepung daun kelor meningkat sejalan dengan peningkatan tepung daun kelor yang ditambahkan. Nilai rerata VAS hasil uji hedonik parameter aroma pada produk mi kering K563 sebesar 29,20 ± 23,27, K747 sebesar 32,60 ± 24,53, K868 sebesar 32,03 ± 23,97, K968 sebesar 32,80 ± 20,63. Produk mi kering K968 (dengan penambahan tepung daun kelor 30%) memiliki nilai rerata tertinggi, hal ini menyatakan bahwa panelis menyukai 6
aroma mi yang dihasilkan dari perlakuan tesebut. Hasil analisis oneway Anova dengan dengan signifikansi sebesar 0,925 (p > 0,05). Dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan nilai rerata aroma hasil uji hedonik mi kering dengan penambahan tepung daun kelor dari keempat perlakuan. Sejalan dengan hasil penelitian Suwita (2007) bahwa terdapat pengaruh yang tidak signifikan pada penambahan bayam merah 40% terhadap aroma mi kering yang dihasilkan dan aroma mi semakin tidak disukai. Hasil uji lanjut bonferroni menunjukan bahwa dari semua uji taraf perlakuan pada produk mi kering dengan penambahan tepung daun kelor memiliki perbedaan namun tidak signifikan (p > 0,05).
tepung daun kelor memiliki perbedaan namun tidak signifikan (p > 0,05). Uji Mutu Hedonik Warna Pada uji mutu hedonik parameter warna sampel kontrol K563 dengan nilai rerata sebesar 30,47 dengan deskripsi kuning pucat hingga kuning keemasan. Semakin besar penambahan tepung daun kelor dari 10% hingga 30% membuat nilai rerata uji mutu hedonik semakin menurun. Menurut Dewi (2011) melaporkan bahwa warna merupakan salah satu unsur penting dalam penentuan mutu produk karena pemilihan warna yang tepat dan sesuai akan menarik minat dan keinginan dari konsumen untuk membeli.. Nilai rerata VAS hasil uji mutu hedonik parameter warna pada produk mi kering K563 sebesar 30,47 ± 24,97, K747 sebesar 20,60 ± 18,61, K868 sebesar 6,67 ± 7,54, K968 sebesar 6,53 ± 13,05. Mutu hedonik warna produk mi kering dengan penambahan tepung daun kelor dideskripsikan hijau pekat hingga hijau terang. Menurut Krisnadi (2012) bahwa daun kelor mengandung klorofil dengan konsentrasi tinggi. Klorofil adalah zat warna hijau daun alami yang umumnya terdapat dalam daun, sehingga sering disebut juga zat hijau daun. Daun kelor mengandung klorofil pada 6.890 mg/kg bahan kering. Sedangkan dalam 8 gram serbuk daun kelor mengandung 162 mg klorofil. Hasil analisis Oneway Anova dengan signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05) bahwa ada perbedaan nilai rerata warna hasil uji mutu hedonik mi kering dengan penambahan tepung daun kelor dari keempat perlakuan. Hasil uji lanjut bonferroni menunjukan bahwa uji taraf perlakuan pada produk mi
Tekstur Secara keseluruhan produk mi kering pada uji hedonik parameter tekstur ditampilkan produk mi kering yang sudah dimasak. Nilai rerata VAS hasil uji hedonik parameter tekstur pada produk mi kering K563 sebesar 45,00 ± 20,63, K747 sebesar 48,50 ± 21,44, K868 sebesar 50,88 ± 20,13, K968 sebesar 43,67 ± 22,47. Hasil analisis oneway Anova dengan dengan signifikansi sebesar 0,549 (p > 0,05) bahwa tidak ada perbedaan nilai rerata tekstur hasil uji hedonik mi kering dengan penambahan tepung daun kelor dari keempat perlakuan. Sejalan dengan penelitian Mulyadi, et al. (2013) melaporkan bahwa tidak adanya pengaruh beda nyata perlakuan bentuk kemangi dan konsentrasi penambahan kemangi terhadap tekstur produk mi kering yang disukai oleh para panelis. Hasil uji lanjut bonferroni menunjukan bahwa dari semua uji taraf perlakuan pada produk mi kering dengan penambahan 7
kering memiliki perbedaan yang signifikan (p < 0,05) yaitu 563 dengan 868, 563 dengan 968, 747 dengan 868, dan 747 dengan 968.
kandungan glutamat bebas dalam suatu makanan maka semakin kuat rasa umaminya (Suwita,et al., 2007). Selain itu adanya bahan tambahan dalam pembuatan mi kering daun kelor yaitu telur sebesar 30% untuk setiap perlakuan yang dapat menimbulkan rasa lebih gurih dan lebih kenyal. Dari analisa data menggunakan oneway anova didapatkan F hitung sebesar 5,614 dengan signifikansi sebesar 0,001 (α = 0,05). Dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan nilai rerata rasa hasil uji mutu hedonik mi kering dengan penambahan tepung daun kelor dari keempat perlakuan. Hasil uji lanjut bonferroni menunjukan bahwa uji taraf perlakuan pada produk mi kering memiliki perbedaan yang signifikan (p < 0,05) yaitu 563 dengan 747 dan 563 dengan 968, sedangkan uji taraf perlakuan 563 dengan 868, 747 dengan 868, 747 dengan 968.
Rasa Berdasarkan parameter rasa mutu hedonik sampel K563 dideskripsikan rasa hambar hingga rasa gurih. Mutu hedonik rasa produk mi kering dengan penambahan tepung daun kelor dideskripsikan rasa pahit hingga rasa gurih. Nilai rerata VAS hasil uji mutu hedonik parameter rasa pada produk mi kering K563 sebesar 23,83 ± 22,29, K747 sebesar 40,83 ± 18,35, K868 sebesar 37,47 ± 21,51, K968 sebesar 47,07 ± 27,64 Menurut Rohyani,et al. (2015) melaporkan bahwa secara umum alkaloid merupakan senyawa padat, berbentuk kristal, tidak berwarna dan mempunyai rasa pahit. Kandungan tanin di dalam daun kelor memiliki rasa yang khas. Tanin dapat menyebabkan rasa sepat karena saat dikonsumsi akan terbentuk ikatan silang antara tanin dengan protein atau glikoprotein di rongga mulut sehingga menimbulkan perasaan kering dan berkerut atau rasa sepat (Jamriati,2008 di dalam Rosyidah, 2016). Selain itu, nilai rerata tertinggi pada sampel K968 yang mendekati deskripsi rasa gurih disebabkan oleh asam glutamat. Menurut Simbolan,et al (2007) di dalam Prihayati,et al. (2014) melaporkan bahwa kandungan kimia yang dimiliki daun kelor adalah asam amino yang berbentuk asam glutamat. Menurut Septadina (2014) melaporkan bahwa asam glutamat merupakan unsur pokok dari protein yang terdapat pada bermacam-macam sayuran, daging, ikan dan air susu ibu. Glutamat dalam bentuk bebas memiliki rasa umami (gurih). Dengan demikian,semakin tinggi
Aroma Aroma merupakan komponen bau yang ditimbulkan oleh suatu produk yang terindentifikasi oleh indra pencium (Mulyadi,et al., 2014). Mutu hedonik aroma dideskripsikan dengan aroma sangat langu hingga sangat harum. Nilai rerata VAS hasil uji mutu hedonik parameter aroma pada produk mi kering K563 sebesar 45,10 ± 20,53, K747 sebesar 44,97 ± 24,01, K868 sebesar 45,37 ± 29,23, K968 sebesar 32,37 ± 23,56. Tepung daun kelor yang ditambahkan sangat mempengaruhi aroma mi kering, semakin sedikit jumlah ekstrak daun kelor yang ditambahkan maka aroma daun kelor pada mi kering semakin berkurang. Menurut Rahayu (2016), hal ini dikarenakan penggunaan tepung daun kelor yang mengakibatkan aroma menyengat. 8
Menurut Santoso (2005) di dalam Ilona (2015) bahwa penambahan tepung daun kelor yang berpengaruh terhadap aroma mi kering disebabkan daun kelor mengandung enzim lipoksidase, enzim ini terdapat pada sayuran hijau dengan menghidrolisis atau menguraikan lemak menjadi senyawasenyawa penyebab bau langu, yang tergolong pada kelompok heksanal. Menurut Ilona (2015) melaporkan bahwa aroma langu tersebut dapat dikurangi dengan cara blanching (celup cepat). Hasil analisis Oneway Anova dengan dengan signifikansi sebesar 0,113 (α = 0,05) bahwa tidak ada perbedaan nilai rerata aroma hasil uji mutu hedonik mi kering dengan penambahan tepung daun kelor dari keempat perlakuan. Menurut Trisnawati (2015) di dalam Rahayu (2016) melaporkan bahwa penggunaan konsentrat daun kelor yang semakin banyak maka mi akan cenderung langu. Hasil uji lanjut bonferroni menunjukan bahwa semua uji taraf perlakuan produk mi kering memiliki perbedaan yang tidak signifikan (p > 0,05).
sebesar 58,77 ± 15,01, K968 sebesar 55,17 ± 16,14. Hasil analisis Oneway Anova dengan signifikansi sebesar 0,407 (p > 0,05) bahwa tidak ada perbedaan nilai rerata tekstur hasil uji mutu hedonik mi kering dengan penambahan tepung daun kelor dari keempat perlakuan. Pemberian tepung daun kelor dalam campuran mi tidak terlalu memberikan pengaruh besar dalam tekstur mi yang dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh penggunaan tepung terigu jenis hard flour (protein tinggi) dengan kandungan gluten 12-13 % (Suprapti, 2005). Menurut Belitz dan Grosch (1987) di dalam Mulyadi,et al. (2013) bahwa gluten bersifat lentur dan elastis yang terutama ditentukan oleh glutenin dan sifat kerentangan yang ditentukan oleh gliadin sehingga adonan tepung mampu dibuat mengembang dan adonan lebih kuat dengan penambahan air dan garam. Sehingga,mi kering daun kelor dengan pengurangan jumlah konsumsi tepung terigu sebanyak 10 % untuk setiap perlakuan dan adanya bahan tambahan seperti garam alkali, CMC, STPP dan telur juga memberikan pengaruh terhadap tekstur yang dihasilkan. Hasil uji lanjut bonferroni menunjukan bahwa semua uji taraf perlakuan produk mi kering memiliki perbedaan yang tidak signifikan (p > 0,05).
Tekstur Menurut Dewi (2011) di dalam Kustiani (2013) melaporkan bahwa tekstur merupakan salah satu faktor penting untuk menentukan mutu bahan pangan. Sifat tekstur makanan tergantung dengan keadaan fisik, ukuran, dan bentuknya. Penilaian terhadap tekstur dapat berupa kekerasan, elastisitas, kerenyahan, kelengketan, dan sebagainya. (Karim, et al., 2013). Mutu hedonik parameter tekstur dideskripsikan dengan sangat keras hingga sangat kenyal. Nilai rerata VAS hasil uji mutu hedonik parameter tekstur pada produk mi kering K563 sebesar 62,13 ± 18,02, K747 sebesar 59,50 ± 14,34, K868
Produk Mi Kering Terpilih Dengan Penambahan Tepung Daun Kelor Produk mi kering K747 (dengan penambahan tepung daun kelor 10%) dianggap produk terpilih dalam penilaian warna hasil uji hedonik dengan nilai rerata tertinggi jika dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Produk mi kering K868 (dengan penambahan tepung daun kelor 20%) dianggap produk terpilih dalam 9
penilaian rasa dan tekstur hasil uji hedonik dengan nilai rerata tertinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Untuk penilaian aroma hasil uji hedonik menurut panelis dengan nilai rerata tertinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lain, yaitu produk mi kering K968 (dengan penambahan tepung daun kelor 30%). Kemudian masing-masing produk mi kering diberi rangking berdasarkan nilai rerata. Produk mi kering diberi peringkat yang ditentukan dengan nilai rerata tertinggi sampai dengan nilai rerata terendah. Peringkat terbanyak didapatkan oleh produk mi kering K868 (dengan penambahan tepung daun kelor 20%) pada parameter rasa dan tekstur. Sehingga, produk terpilih hasil uji hedonik adalah produk mi kering K868(dengan penambahan tepung daun kelor 20%) memiliki nilai rerata parameter warna sebesar 29,50 ± 24,54 mm, parameter rasa sebesar 40,77 ± 26,62 mm, parameter aroma sebesar 32,03 ± 23,97 mm, dan parameter tekstur sebesar 50,80 ± 20,13 mm. Mutu hedonik produk terpilih mi kering K868 (dengan penambahan tepung daun kelor 20 pada parameter warna memiliki nilai rerata 6,67 ± 7,54 mm dengan deskripsi warna hijau pekat hingga hijau terang. Nilai rerata mutu hedonik parameter rasa 37,47 ± 21,51 mm dengan deskripsi rasa pahit hingga gurih. Nilai rerata mutu hedonik parameter aroma 45,37 ± 29,23 mm dengan deskripsi aroma sangat langu hingga harum. Nilai rerata mutu hedonik parameter tekstur 58,77 ± 15,01 mm dengan deskripsi tekstur sangat keras hingga kenyal.
Uji Nilai Gizi Pengujian nilai gizi produk mi kering dilakukan di Laboratorium Saraswanti Indo Genetech, adapun hasil analisa produk mi kering dengan penambahan tepung daun kelor sebagai berikut : Tabel 2. Hasil Analisis Zat Gizi Produk Mi Kering K868 Komponen zat gizi Satuan Jumlah Kadar air % 14,65 Kadar abu % 4,52 Karbohidrat % 60,42 Protein % 17,27 Lemak % 3,14 Serat kasar % 2,44 Zat besi ppm 32,53 Kadar air Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan. Proses pengeringan produk mi kering dengan penambahan tepung daun kelor menggunakan metode oven. Pengeringan metode oven menggunakan udara panas yang bekerja dengan cara menguapkan air dari bahan (Trisnawati, et al., 2013). Berdasarkan hasil analisis kadar air produk mi kering terpilih K868 sebesar 14,65% per 100 gram bahan. Menurut SNI 012974-1992 di dalam Mulyadi,et al. (2014) bahwa kadar air mi kering dengan penggorengan maksimal 10% (b/b), sedangkan yang menggunakan proses pengeringan lain maksimal 14,5% (b/b). Hasil ini menunjukkan bahwa kadar air mi kering melebihi batasan maksimum kadar air SNI 01-2974-1992. Menurut Maryani (2013) kadar air yang melebihi batasan maksimum SNI disebabkan oleh waktu dan lama proses pengeringan mi kering di dalam oven. Menurut Pratama, et al. (2014) melaporkan bahwa kadar air produk pangan juga akan dipengaruhi kadar air 10
bahan. Adapun kadar air tepung daun kelor sebesar 4,51% bb (Kustiani, 2013). Selain itu, adanya bahan tambahan seperti tepung tapioka, tepung terigu dan telur yang menentukan kadar air dari produk mi kering dengan penambahan tepung daun kelor. Menurut Kurniasari (2015) melaporkan bahwa semakin tinggi komposisi tepung tapioka cenderung menaikkan kadar air mi kering. Hal ini dikarenakan tepung tapioka mengandung pati lebih tinggi dari tepung terigu. Sedangkan telur mengandung emulsifier yang membantu menjaga kestabilan minyak dan air. Dimana gugus non polar mengikat minyak dan gugus polarnya mengikat kuat air. Lesitin yang terdapat didalam telur merupakan emulsifier yang banyak terkandung didalam kuning telur dibandingkan putih telur. Menurut Widiatmoko, et al. (2015) bahwa kadar air yang tinggi disebabkan oleh proses pemanasan dimana terjadi perubahan struktur antara pati dan protein gluten. Gluten yang berdifat hidrofobik akan membentuk jaringan 3 dimensi yang menyebabkan air teperangkap dalam struktur tersebut. Faktor lain yang menyebabkan peningkatan kadar air bahan pangan khususnya produk mi kering adalah adanya sifat higroskopis bahan pangan yang dikemas dan tingkat kelembaban udara lingkungan terhadap produk pangan (Wijaya, 2007). Berdasarkan hasil penelitian Haryadi (2002) di dalam Elisabeth dan Setjorini (2016) melaporkan bahwa umur simpan mi kering dengan kadar air 11% adalah sekitar 6-12 bulan dan mampu mempertahankan warna cemerlang produk. Dengan kata lain, kadar air produk pangan akan menentukan kesegaran dan masa simpannya.
Kadar abu Kadar abu dapat menunjukkan total mineral dalam suatu bahan pangan. Menurut Winarno (1995) di dalam Supriadi, et al. (2013) melaporkan bahwa sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral. Unsur mineral juga dikenal sebagai zat organik atau kadar abu. Berdasarkan hasil analisa kadar air produk terpilih K868 sebesar 4,52% per 100 gram bahan. Menurut SNI 01-29741992 bahwa kadar abu mie kering maksimal 3% (b/b). Hasil ini menunjukkan bahwa kadar abu mi kering yang dihasilkan melebihi batasan maksimum SNI 01-2974-1992. Menurut Supriadi (2013) melaporkan bahwa kadar abu yang terkandung di dalam suatu produk pangan dipengaruhi pada jenis bahan, cara pengabuan, waktu dan suhu yang digunakan saat pengeringan. Jika bahan yang diolah melalui proses pengeringan maka lama waktu dan semakin tinggi suhu pengeringan akan meningkatkan kadar abu karena air yang keluar dari dalam bahan semakin besar. Menurut Kustiani (2013) melaporkan bahwa kadar abu tepung daun kelor sebesar 8,76%, hal ini menunjukkan tingginya kandungan mineral pada tepung daun kelor. Tingginya kadar abu juga dipengaruhi oleh adanya bahan tambahan seperti telur ayam yang mengandung mineral seperti kalsium 86 mg, fosfor 258 mg dan Fe 3 mg per 100 gram bahan. Karbohidrat Berdasarkan hasil analisa karbohidrat total produk terpilih K868 sebesar 60,42% per 100 gram bahan. Menurut Kustiani (2013) melaporkan bahwa kadar 11
karbohidrat tepung daun kelor sebesar 45,77% yang diduga sebagian besar adalah serat karena berbahan dasar daun-daunan. Selain itu, bahan yang menjadi sumber karbohidrat pada pembuatan mi kering dengan penambahan tepung daun kelor antara lain tepung terigu dan tepung tapioka. Kandungan karbohidrat pada tepung terigu sebesar 74 g/100g dan karbohidrat tepung tapioka sebesar 86,9 g/100 g.
100 gram bahan. Menurut Departemen Gizi Depkes RI (1992) di dalam Jatmiko,et al. (2014) bahwa kadar lemak mi kering sebesar 11,80 g. Hasil ini menunjukan bahwa produk mi kering K868 dengan penambahan tepung daun kelor 20% memiliki kadar lemak lebih rendah dibandingkan dengan komposisi kadar lemak mi kering menurut Departemen Gizi Depkes RI (1992). Menurut Kustiani (2013) melaporkan bahwa kandungan lemak dalam daundaunan lebih rendah dibandingkan dengan lemak pada bahan pangan hewani. Perubahan nilai gizi lemak juga dipengaruhi oleh proses pemanggangan pada suhu ekstrim, asam linoleat akan dikonversi menjadi hidroperoksida yang tidak stabil oleh adanya aktivitas enzim lipoksigenase (Palupi, et al.,2007). Menurut Wikanta, et al. (2010) bahwa aktivitas enzim lipoksigenase merupakan penyebab rasa langu dengan cara mengkatalis asam lemak tidak jenuh terutama linoleat . Rendahnya kadar lemak pada produk mi kering K868 juga disebabkan oleh formulasi tepung terigu sebesar 80%. Menurut Damodaran and Paraf (1997) di dalam Fitasari (2009) melaporkan bahwa semakin banyak penambahan tepung terigu maka kandungan patinya semakin banyak dan lemaknya semakin menurun. Kandungan lemak pada tepung terigu yang digunakan pada penelitian ini yaitu 1g/100 g bahan, sementara karbohidrat merupakan komponen yang terdapat dalam persentase yang terbesar dalam pati yaitu 75-80 %. Pada saat proses pengolahan, beberapa molekul pati khususnya amilosa yang memiliki sifat lebih mudah larut dalam air, meningkatkan granula-granula pati yang membengkak dan masuk ke dalam cairan yang ada di sekitarnya. Amilopektin
Protein Berdasarkan hasil analisa kadar protein produk terpilih K868 sebesar 17,27% per 100 gram bahan. Menurut SNI 01-29741992 bahwa kadar protein pada mutu I min. 11% dan mutu II min. 8% (b/b). Hasil ini menunjukkan bahwa kadar protein mie kering yang dihasilkan telah memenuhi standar menurut SNI No. 01-2974-1992. Ada bahan tambahan yang menjadi sumber protein pada pembuatan mi kering dengan penambahan tepung daun kelor adalah telur ayam dengan konsentrasi sebesar 30% dan tepung terigu 80 gram. Kandungan protein pada telur ayam sebesar 12,4 g per 100 g dan protein tepung terigu sebesar 12 g per 100 g. Menurut Supriadi, et al. (2013) melaporkan bahwa kadar air yang mengalami penurunan akan mengakibatkan kandungan protein didalam bahan mengalami peningkatan. Penggunaan panas dalam pengolahan bahan pangan dapat menurunkan persentase kadar air yang mengakibatkan persentase kadar protein meningkat. Semakin kering suatu bahan maka semakin tinggi kadar proteinnya. Lemak Berdasarkan hasil analisa kadar lemak produk terpilih K868 sebesar 3,14% per 12
menyebabkan granula pati mengembang. Pada proses pembuatan mi kering adanya bahan tambahan yaitu telur ayam yang mengandung lemak sebesar 10,8 g per 100 g bahan, maka lemak akan mengikat pati yang pembengkakannya belum sempurna. Lemak mengikat komponen-komponen non polar melalui ikatan hidrofobik. Menurut Fitasari (2009) bahwa penambahan lemak mengurangi gelatinasi dan pembengkakan serta mencegah pelepasan amilosa dari pati pada saat pemanasan. Kestabilan struktur granular pati terjadi karena pembentukan kompleks amilosa lemak. Bentuk ikatan komplek antara amilosa pati dengan lemak yaitu antara rantai hidrokarbon dari lemak dan amilosa pati. Ketika amilosa terurai dari granula pati selama proses gelatinisasi, maka lemak langsung berikatan dengan amilosa di permukaan granula dan menghambat pembengkakan.
kering K868 dengan penambahan tepung daun kelor 20% dapat menambah kandungan zat gizi khususnya serat kasar pada produk mi kering. Serat pangan yang terdiri dari polisakarida, dinding sel tanaman dan lainlain yang tahan terhadap hidrolisis enzim di dalam sistem pencernaan manusia diketahui sangat bermanfaat untuk kesehatan. Menurut Palupi, et al. (2007) melaporkan bahwa proses pengolahan pangan secara ekstrusi dapat mempengaruhi kandungan serat dalam bahan pangan yang diuji. Ekstruksi adalah proses pengolahan yang merupakan kombinasi dari pencampuran, pengulenan, pengadukan, pemanasan, pendinginan dan pencetakan. Pada proses ekstrusi seratserat ini juga mempunyai peranan yang signifikan. Menurut Budi (2013) bahwa pemasakan serat selama proses ekstrusi dapat menghasilkan perubahan karakterisitik struktur dan sifat-sifat kimia fisika, dengan efek utama meredistribusikan serat-serat tidak larut menjadi serat-serat larut. Efek ini akan menjadi penyebab runtuhnya ikatan kovalen dan non kovalen antar karbohidrat yang menyertai serat sehingga menghasilkan pecahan-pecahan molekul yang lebih kecil dan lebih larut.
Serat Kasar Menurut Kusharto,C.M., (2006) bahwa serat dalam sayuran dan buah disebut serat kasar (crude fiber) sedangkan serat dalam makanan (dietary fiber) terdapat pada beras, kentang, kacang-kacangan dan umbi-umbian. Jenis serat yang terdapat dalam sayur dan buah adalah serat tidak larut didalam air seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin. Serat tidak larut didalam air ini berguna untuk membantu gerakan peristaltik usus sehingga membantu defekasi dan mencegah konstipasi (Almatsier, 2004). Berdasarkan hasil analisa kadar serat kasar produk terpilih K868 sebesar 2,44% per 100 gram bahan. Tidak terdapat kadar serat kasar pada literatur komposisi mi kering menurut Departemen Gizi Depkes RI (1992) di dalam Jatmiko,et al (2014). Hal ini menunjukan bahwa produk mi
Zat Besi Berdasarkan hasil analisa kadar zat besi produk terpilih K868 sebesar 32,53 ppm per 100 gram bahan. Menurut Departemen Gizi Depkes RI (1992) di dalam Jatmiko,et al (2014) bahwa kadar zat besi mi kering sebesar 2,80 mg/100 g bahan. Hasil ini menunjukan bahwa produk mi kering K868 dengan penambahan tepung daun kelor 20% memiliki kadar zat besi lebih tinggi jika 13
dibandingkan dengan komposisi kadar zat besi mi kering menurut Departemen Gizi Depkes RI (1992). Menurut Broin (2010) di dalam Kustiani (2013) melaporkan bahwa salah satu bahan pangan sumber zat besi adalah daun kelor. Dengan mengurangi kadar air, khususnya dengan metode pengeringan maka bahan pangan akan mengandung senyawa-senyawa seperti protein, karbohidrat, lemak dan mineral dalam konsentrasi yang lebih tinggi, tetapi vitamin-vitamin dan zat warna pada umumnya akan berkurang (Supriadi, et al., 2013). Mineral relatif lebih stabil pada proses pengolahan berupa panas, cahaya, dan pH dibanding dengan vitamin. Mineral dalam makanan dapat berkurang dalam proses pencucian maupun perebusan. Sehingga proses pemanggangan tidak terlalu berpengaruh terhadap oksidasi zat besi (Food Safety and Standards Authority of India, 2010 di dalam Sugiharto, 2014). Selain itu, sumber bahan makanan yang mengandung zat besi (Fe) adalah telur ayam dan tepung terigu yang terfortifikasi zat Besi. Kandungan zat besi pada 100 gr telur ayam sebesar 3 mg dan tepung terigu yaitu 20% AKG.
Tabel 3. Hasil Analisis Jumlah Bakteri Produk Mi Kering K868 Komponen uji Satuan Jumlah Angka Lempeng Total
Koloni/ g
< 10
Analisa jumlah bakteri dengan jenis uji Angka Lempeng Total (ALT) metode FDA BAM Chapter 3 tahun 2001 menggunakan teknik pour plate dilakukan di PT.Saraswanti Indo Genetech. Metode pour plate (lempeng tuang) dengan menanamkan contoh ke dalam cawan petri. Dalam metode tuang, sejumlah contoh (1 mL) dari pengenceran yang dikehendaki dimasukkan ke dalam cawan petri bersamaan dengan media agar cair (Yunita, 2015). Hasil analisa jumlah bakteri dengan metode APC < 10 koloni/g. Berdasarkan SNI menetapkan batas maksimum jumlah bakteri dengan jenis uji Angka Lempeng Total (ALT) maks. 1,0 x 106, dapat dinyatakan bahwa jumlah bakteri masih dibawah angka maksimum yang berarti masih aman untuk dikonsumsi. Merujuk pada hasil uji Angka Lempeng total produk mi kering K868 dengan penambahan tepung daun kelor sebesar 20% sebesar < 10 koloni/g. Menurut Sopandi dan Wardah (2014) melaporkan bahwa ada beberapa faktor intrinsik yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri dalam produk pangan yaitu nutrisi, faktor penghambat atau antimikroba dan aktivitas air (aw). Menurut Rohyani,et al. (2015) melaporkan bahwa daun kelor dan mengandung semua senyawa metabolit sekunder seperti flavonoid, alkaloid, steroid, tanin, saponin, antrakuinon dan terpenoid. Adanya kandungan senyawasenyawa metabolit tersebut menyebabkan daun kelor dan dikenal sebagai tanaman obat yang berkhasiat saat ini. Senyawa
Uji Jumlah Bakteri Berdasarkan BPOM (2003) melaporkan bahwa Total Plate Count (TPC) merupakan suatu metode pendugaan jumlah koloni mikroorganisme secara keseluruhan dalam suatu bahan pangan maupun hasil olahannya. Koloni yang tumbuh menunjukkan jumlah seluruh mikroorganisme yang ada di dalam bahan pangan seperti bakteri, kapang, dan khamir (Fardiaz 1993).
14
metabolit sekunder yang terdapat pada daun kelor meliputi fenol dan senyawa fenolik, alkaloid, dan minyak astiri (essential oils) memiliki sifat antibakteri. Tanin pada daun kelor berperan sebagai pendenaturasi protein serta mencegah proses pencernaan bakteri, sedangkan flavonoid yaitu senyawa yang mudah larut dalam air untuk kerja antimikroba dan antivirus. Mekanisme kerjanya dalam menghambat bakteri dilakukan dengan cara mendenaturasi protein dan merusak membran sel bakteri dengan cara melarutkan lemak yang terdapat pada dinding sel. Senyawa ini mampu melakukan migrasi dari fase cair ke fase lemak. Terjadinya kerusakan pada membran sel mengakibatkan terhambatnya aktivitas dan biosintesa enzim-enzim spesifik yang diperlukan dalam reaksi metabolisme dan kondisi ini yang pada akhirnya menyebabkan kematian pada bakteri (Naiborhu, 2002). Aktivitas air (aw) adalah ukuran ketersediaan air untuk fungsi biologis mikroorganisme dan berhubungan dengan keberadaan air bebas dalam pangan. Beberapa kelompok pangan seperti mi, madu dan cokelat mengandung (aw) < 0,60 (Sopandi dan Wardah,2014). Secara umum, taraf (aw) untuk bakteri gram positif 0,90 dan bakteri gram negatid 0,93 dengan beberapa pengecualian, misalnya pertumbuhan Staphlococcus aureus memerlukan nilai aw 0,85 dan bakteri halofilik 0,75 (Sopandi dan Wardah, 2014). Menurut Kustiani (2013) melaporkan bahwa aktivitas air (aw) tepung daun kelor sebesar 0,57 ± 0,01, dimana mikroorganisme tidak dapat tumbuh secara subur pada aw tersebut dikarenakan nilai aw dibawah ambang batas pertumbuhan bakteri.
KESIMPULAN DAN SARAN Adapun kesimpulan dari hasil penelitian Uji Daya Terima, Nilai Gizi dan Analisis Jumlah Bakteri Pada Produk Mi Kering Dengan Penambahan Tepung Daun Kelor (Moringa oleifera lam) bahwa konsentrasi penambahan tepung daun kelor sebanyak 10%, 20% dan 30% pada produk mi kering. Produk mi kering K868 yaitu perlakuan 2 dengan penambahan tepung daun kelor 20% merupakan produk terpilih hasil uji hedonik dengan nilai rerata tertinggi pada parameter rasa 40,77 ± 26,62 mm dan parameter tekstur 50,80 ± 20,13 mm. Adanya perbedaan nilai rerata yang signifikan (p < 0,05) hasil uji hedonik parameter warna produk mi kering dengan penambahan tepung daun kelor 20%, sedangkan parameter rasa, aroma dan tekstur memiliki perbedaan nilai rerata yang tidak signifikan. Perbedaan nilai rerata yang signifikan (p < 0,05) hasil uji mutu hedonik parameter warna dan rasa produk mi kering dengan penambahan tepung daun kelor 20%, sedangkan parameter aroma dan tekstur memiliki perbedaan nilai rerata yang tidak signifikan. Hasil analisis nilai gizi produk mi kering K868 dengan penambahan tepung daun kelor 20% per 100 gram bahan memiliki kadar air 14,65%, kadar abu 4,52%, karbohidrat 60,42%, protein 17,27%, lemak 3,14%, serat kasar 2,44%, dan zat besi 32,55 ppm. Hasil analisis jumlah bakteri pada produk mi kering K868 dengan penambahan tepung daun kelor 20% yaitu < 10 koloni/g. Saran untuk penelitian ini maupun penelitian selanjutnya yaitu Formulasi pada perlakuan 2 dengan penambahan tepung daun kelor 20% (K868) dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan 15
mikrostruktur, dan mutu organoleptik keju gouda olahan. Jurnal ilmu dan teknologi hasil ternak Volume 4 No.2 : 17 -29.
pada produk mi kering untuk meningkatkan nilai gizi khususnya kandungan karbohidrat, protein, serat kasar dan zat besi. Perlu dilakukan uji lanjut mengenai penentuan masa simpan produk mi kering dengan penambahan tepung daun kelor. Dari hasil pengujian kadar air perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai proses pembuatan mi kering dengan metode pengeringan oven atau metode pengeringan lainnya seperti cabinet drying, vacuum drying dan freeze drying sehingga dapat dihasilkan mi kering dengan kadar air sesuai dengan SNI mutu mi kering.
Gunawan,Hendra. (2016). Aptindo minta kejelasan pelonjakan impor gandum. Tribun Bisnis 19 Februari 2016. Ilona, Auc Duria. (2015). Pengaruh penambahan ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) dan waktu inkubasi terhadap sifat organoleptik yoghurt. e-Journal Boga Volume 4 No.3 : 151 – 159.
Ismarani. (2012). Potensi senyawa tannin dalam menunjang produksi ramah lingkungan. Jurnal Agribisnis dan Pengembangan Wilayah Volume 3 No.2 : 46 – 55.
DAFTAR PUSTAKA
Jatmiko,Ginanjar Putra., dan Estiasih,Teti. (2014). Mie dari umbi kimpul (Xanthosoma Sagittifolium) : kajian pustaka. Jurnal Pangan dan Agroindustri Volume 2 No.2 :127-134.
Almatsier,Sunita. (2004). Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Agustin,I., S.Simamora & Z.Wulandari. (2003). Pembuatan mie kering dengan fortifikasi tepung tulang rawan ayam pedaging. Media Peternakan Volume 26 No.2 : 52 – 59.
Kristina, N.N., Syahid, Siti Fatimah., Balittro. (2014). Pemanfaatan tanaman kelor untuk (Moringa oleifera) meningkatkan produksi air susu ibu. Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri Volume 20 No.3 : 2629.
Budi, Faleh Setia., Hariyadi, Purwiyatno., Budijanti,Slamet., dan Syah,Dahrul. (2013). Teknologi Proses Ekstrusi untuk Membuat Beras Analog. Departemen llmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.Bogor : IPB
Kurniasari, Eliya., Waluyo,Sri., Sugianti,Cicih. (2015). Mempelajari laju pengeringan dan sifat fisik mie kering berbahan campuran tepung terigu dan tepung tapioka. Jurnal Teknik Pertanian Lampung Volume 4 No.1 : 1-8.
D. Gould et al. (2011). Visual analogue scale. Journal of Clinical Noursing, 10: 697-706. Elisabeth, Dian Adi A., dan Setijorini,Ludivica Endang. (2016). Pendugaan umur simpan mi kering dari tepung komposit terigu, keladi, dan ubi jalar. Jurnal Matematika, Sains dan Teknologi Volume 17 No.1: 2028.
Kusharto, C.M. (2006). Serat makanan dan peranannya bagi kesehatan. Jurnal Gizi Pangan Volume 1 No.2 : 45 -54.
Maryani, Neni. (2013). Studi pembuatan mie kering berbahan baku tepung singkong dan mocal (modified cassava flour). Jurnal Sains Terapan Volume 1 No.1 : 1-15
Fitasari,Eka. (2009). Pengaruh tingkat penambahan tepung terigu terhadap kadar air, kadar lemak, kadar protein,
16
Mulyadi,A.F., Wijana,S., Dewi,I.A. (2014). Karakteristik organoleptik produk mie kering ubi jalar kuning (Ipomea batatas) (kajian penambahan telur dan CMC). Jurnal Teknologi Pertanian Volume 15 No.1 : 25-36
Jurnal aplikasi teknologi volume 3 No.4 : 135-140.
pangan
Widiatmoko, Roni Bagus., dan Estiasih, Teti. (2015). Karakteristik fisikokimia dan organoleptik mie kering berbasis tepung ubi jalar ungu pada berbagai tingkat penambahan gluten. Jurnal Pangan dan Agroindustri Volume 3 No.4 : 1386 – 1392.
Pratama, R.I., Rostini,I., dan Liviawaty,E. (2014). Karakteristik biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan jangius (Istiopharus.Sp). Jurnal akuatika Volume 5 No.1 : 30-39.
Wikanta,Deddy K.,Yulianto, Mohamad.E., dan Hartati, Indah. (2010). Kajian model matematis kinetika inaktivasi enzim lipoksigenase untuk produksi tepung biji kecipir sebagai tepung komposit. Momentum Volume 6 No.1 : 21 – 26.
Rohyani,Immy Suci., Aryanti,Evi., Suripto. (2015). Kandungan fitokimia beberapa jenis tumbuhan lokal yang sering dimanfaatkan sebagai bahan baku obat di Pulau Lombok. Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia Volume 1 No.2 : 388-391. Rosyidah, Amalia Zakiatul. (2016). Studi tentang tingkat kesukaan responden terhadap penganekaragaman lauk pauk dari daun kelor (Moringa oleivera). e-Journal Boga Volume 5 No.1 : 17-22.
Yunita,Merisa., Hendrawan, Yusuf., dan Rini, Yulianingsih. (2015). Analisis kuantitatif mikrobiologi pada makanan penerbangan (Aerofood ACS) Garuda Indonesia berdasarkan TPC (Total Plate Count) dengan metode Pour Plate. Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem Volume 3 No.3 : 237-24.
Supriadi, A., Riansyah, A., dan Nopianti,R. (2013). Pengaruh perbedaan suhu dan waktu pengeringan terhadap karakteristik ikan asin sepat siam (Trichogaster pectoralis) dengan menggunakan oven. FistecH volume II No.1 : 53-68
Zakaria., Tamrin,Abdullah., Sirajuddin., dan Hartono,Rudy. (2012). Penambahan tepung daun kelor pada menu makanan sehari-hari dalam upaya penanggulangan gizi kurang pada anak balita. Media gizi pangan Volume XIII No.1 : 41-47.
Suwita, I Komang., Razak,Maryam., dan Putri,Rizqa Andari. (2007). Pemanfaatan bayam merah (Blitum Rubrum) untuk meningkatkan kadar zat besi dan serat pada mie kering. Jurnal Gizi dan Kesehatan Volume 2 No.7 : 18 – 34.
Trisnawati, Wayan., Suter, Ketut., Suastika, Ketut., dan Putra, Nengah Kencana. (2014). Pengaruh metode pengeringan terhadap kandungan antioksidan, serat pangan dan komposisi gizi tepung labu kuning.
.
17