UJI AKTIVITAS HEPATOPROTEKTOR EKSTRAK AIR PEGAGAN (Centella asiatica) TERHADAP TIKUS PUTIH JANTAN YANG DIINDUKSI PARASETAMOL
GPC SARAI SILABAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Uji Aktivitas Hepatoprotektor Ekstrak Air Pegagan (Centella asiatica) terhadap Tikus Putih Jantan yang Diinduksi Parasetamol adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2012 GPC Sarai Silaban NIM B04080089
ABSTRAK GPC SARAI SILABAN. Uji Aktivitas Ekstrak Air Pegagan (Centella asiatica) terhadap Tikus Putih Jantan yang Diinduksi Parasetamol. Dibimbing oleh MIN RAHMINIWATI dan DEWI RATIH AGUNGPRIYONO. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas ekstrak air pegagan (Centella asiatica) terhadap tikus putih jantan strain Wistar yang diinduksi parasetamol. Tikus dibagi dalam lima kelompok perlakuan yaitu kelompok kontrol (akuades) dan empat kelompok formula ekstrak air pegagan (F 6, F 10, F 12, and F 16). Tikus diinduksi dengan parasetamol dosis 1000 mg/kg bw (p.o) sebagai dosis toksik untuk menginduksi kerusakan hati. Formula ekstrak air pegagan diberikan setelah satu jam induksi parasetamol dengan dosis 1500 mg/kg bw (p.o). Perlakuan diberikan selama 8 hari dan darah diambil sebanyak tiga kali (sebelum perlakuan, sesudah pemberian parasetamol, dan akhir perlakuan) dari arteri pada ekor tikus dan dianalisis kadar SGPTnya. Kerusakan hati yang dihasilkan oleh pemberian parasetamol berhasil dihambat oleh kelompok F 16 dengan bukti berupa penurunan level kadar SGPT. Aktivitas hepatoprotektor ekstrak air pegagan juga didukung oleh pemeriksaan secara histopatologi. Kata kunci: parasetamol, aktivitas hepatoprotektif, Centella asiatica, SGPT
ABSTRACT GPC SARAI SILABAN. Study of Hepaprotective Activity of Asian Pennywort (Centella asiatica) Extract Against Paracetamol Induced in Male Wistar Albino Rat. Supervised by MIN RAHMINIWATI and DEWI RATIH AGUNGPRIYONO. This study was undertaken to investigate activity of Centella asiatica extract against paracetamol induced liver damage in male Wistar albino rats. Rats were divided into five groups namely control (aquadest), herb extract with four formulations which were F 6, F 10, F 12, and F 16. Rats were administered paracetamol at dose 1000 mg/kg bw (p.o) as toxic dose for inducing hepatotoxicity. Herb extract in each formula was given at dose 1500 mg/kg bw (p.o) one hour after paracetamol administration. The treatment was given for eight days and blood was collected three times (before treatment, after paracetamol treatment, and last treatment) from tail artery and analysed for serum glutamate pyruvate transminase (SGPT). The hepatoxicity produced by acute paracetamol administration was found to be inhibited by Centella asiatica at group F 16 with evidence of decreased level of serum glutamate pyruvate transminase (SGPT) consentration. The hepatoprotective activity Centella asiatica was also supported by histopathological studies of hepatocytes. Keywords: paracetamol, hepatoprotective activity, Centella asiatica, SGPT
UJI AKTIVITAS HEPATOPROTEKTOR EKSTRAK AIR PEGAGAN (Centella asiatica) TERHADAP TIKUS PUTIH JANTAN YANG DIINDUKSI PARASETAMOL
GPC SARAI SILABAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Skripsi : Uji Aktivitas Hepatoprotektor Ekstrak Air Pegagan (Centella asiatica) terhadap Tikus Putih Jantan yang Diinduksi Parasetamol Nama : GPC Sarai Silaban NIM : B04080089
Disetujui oleh
Drh. Min Rahminiwati, MS, Ph.D Pembimbing I
Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Ph.D, APVet Pembimbing II
Diketahui oleh
Drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet. Wakil Dekan
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi berjudul Uji Aktivitas Hepatoprotektor Ekstrak Air Pegagan (Centella asiatica) terhadap Tikus Putih Jantan yang Diinduksi Parasetamol. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB). Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Drh. Min Rahminiwati, MS, Ph.D selaku pembimbing akademik sekaligus pembimbing skripsi pertama yang dengan sabar telah membimbing penulis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Ph.D, APVet sebagai pembimbing skripsi kedua yang juga dengan sabar telah membimbing penulis. Terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar dan tenaga kependidikan Bagian Farmakologi dan Patologi FKH IPB atas segala bantuannya. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada seluruh staf pengajar di FKH IPB yang telah memberikan ilmu pengetahuan serta nasihat. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta (Bapak E.L Silaban, Mama R. Hutasoit, Kak Naomi, Nunut, Mika, Juan dan keluarga besar Silaban Hutasoit) yang selalu memberikan dukungan dan doa yang tiada hentinya sehingga penulis senantiasa bersemangat dalam menyelesaikan studi. Selanjutnya ucapan terima kasih kepada teman seperjuangan yaitu Irene, Anggresia, Novrika, Erti, Samuel, Bolas, Exas, Eva, Arini, Anita, Fitria, Gita, Andrio, Tizani, Keisya, Kak Pamona, Kak Devi, Kak Yeni, Kak Yunita, Kak Ani, Kak Disa, dan Bu Eka atas dukungan, semangat, dan doa yang telah diberikan, Terakhir ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada keluarga Avenzoar, serta para sahabat yang tak dapat disebutkan satu per satu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Bogor, Desember 2012 GPC Sarai Silaban
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
METODE
3
Waktu dan Tempat Penelitian
3
Bahan
3
Alat
3
Metodologi Penelitian
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
5
Data Aktivitas Enzim SGPT
5
Histopatologi Organ Hati
8
SIMPULAN
11
Simpulan
11
DAFTAR PUSTAKA
12
RIWAYAT HIDUP
14
DAFTAR TABEL 1 Aktivitas enzim SGPT pada tikus putih yang diberi ekstrak air pegagan sebagai usaha hepatoproteksi dari penginduksian menggunakan parasetamol 2 Persentase perubahan keadaan hepatosit di sekitar vena porta dan vena sentralis pada tikus putih jantan kelompok kontrol dan yang diberi ekstrak air pegagan selama 8 hari sebagai usaha hepatoproteksi terhadap efek toksik parasetamol
6
9
DAFTAR GAMBAR 1 Perbandingan gambaran histopatologi jaringan hati di sekitar vena porta pada kelompok F 16 dan kontrol 2 Perbandingan gambaran histopatologi jaringan hati di sekitar vena sentralis pada kelompok F 16 dan kontrol
10 11
PENDAHULUAN Latar Belakang Keracunan parasetamol merupakan keracunan obat yang paling sering terjadi terutama di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Singapura. Food and Drug Administration (2009) menyatakan bahwa pada tahun 1998 hingga 2003, parasetamol menjadi penyebab kerusakan hati akut di Amerika Serikat. Sekitar 48% dari semua kasus yang terjadi (131 dari 275) berkaitan dengan overdosis parasetamol. Sebenarnya dalam dosis terapeutik, penggunaan parasetamol tidak menimbulkan bahaya. Namun efek yang berbahaya muncul pada dosis berlebihan dan dalam jangka waktu lama berupa kerusakan hati (Dalimartha 2005). Parasetamol adalah analgesik sintetik non-opiat yang berbentuk kristal putih dengan rasa pahit. Selain memiliki kemampuan sebagai analgesik, parasetamol juga berfungsi sebagai antipiretik dengan mekanisme yang mirip seperti asam salisilat, yaitu menghambat aktivitas enzim siklooksigenase (COX). Namun, tidak seperti asam salisilat, parasetamol tidak memiliki efek antiinflamasi (Plumb 1999). Oleh karena itu, parasetamol sering digunakan oleh masyarakat untuk menurunkan panas badan dan menghilangkan gejala nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang (Cooper 2010). Kelainan atau kerusakan hati ditandai dengan meningkatnya beberapa parameter biokimia hati yang dapat dilihat di darah seperti aminotransferase (transaminase), alkalin fosfatase, serum protein, dan bilirubin. Enzim golongan aminotransferase yang termasuk parameter adalah enzim golongan aminotransferase seperti alanin aminotransferase (ALT) atau serum glutamat piruvat transaminase (SGPT) dan aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamat oksaloasetat transminase (SGOT) (Chopra 2001). Pencegahan kerusakan hati oleh parasetamol dapat dilakukan dengan memakai obat tersebut dalam dosis yang dianjurkan serta mengkonsumsi bahan pangan yang memiliki khasiat hepatoprotektor. Hepatoprotektor adalah senyawa atau zat berkhasiat yang dapat melindungi sel-sel hati terhadap pengaruh zat toksik yang dapat merusak hati. Senyawa tersebut bahkan dapat memperbaiki jaringan hati yang fungsinya sedang terganggu. Mekanisme kerja obat hepatoprotektif antara lain dengan cara detoksikasi senyawa racun baik yang masuk dari luar maupun yang terbentuk di dalam tubuh pada proses metabolisme, meningkatkan regenerasi sel hati yang rusak, antiradang, dan sebagai imunostimulator. Biasanya hepatoprotektor merupakan bahan yang memiliki sifat antioksidan sehingga dapat mengurangi reaksi oksidasi pada kerusakan hati (Dalimartha 2005). Sejak ribuan tahun yang lalu, obat dan pengobatan tradisional sudah ada di Indonesia. Pengobatan tradisional dengan memanfaatkan tumbuhan berkhasiat obat merupakan pengobatan untuk mencapai kesehatan yang optimal secara alami. Indonesia memiliki lahan hutan tropis cukup luas dengan keanekaragaman hayati, baik flora maupun fauna yang besar. Sekitar 30.000 sampai 40.000 jenis tumbuhan tersebar dari Aceh sampai Papua. Namun, hingga saat ini Indonesia belum berhasil mengangkat pengobatan tradisional menjadi pengobatan nasional (Wijayakusuma 2000). Tumbuhan obat yang terbukti berkhasiat hepatoprotektif contohnya kurkumin yang diperoleh dari temulawak dan kunyit, filantin dan
2 hipofilantin dari meniran, aukubin dari daun sendok, wedelolakton dari urangaring, andrografolid dari sambiloto, minyak atsiri dari bawang putih, glycyrrhisic acid dari akar manis dan saga, krisofanol dari kelembak, dan gingerol dari jahe. Zat berkhasiat bekerja melindungi hati dari kerusakan, mempercepat regenerasi hepatosit, dan mengurangi keaktifan enzim siklooksigenase (Dalimartha 2008). Centella asiatica atau yang dikenal sebagai pegagan terrnasuk ke dalam famili Umbelliferae dengan kelas Dicotyledoneae, genus Centella, dan spesies Centella asiatica (L) Urban. Tanaman yang juga memiliki sinonim Hidrocotyle asiatica, sudah sejak lama digunakan sebagai obat di daerah Asia Tenggara, termasuk Indonesia, India, Jepang, Tiongkok, dan Australia (Brinkhaus et al. 2000). Pegagan sebagai obat tradisional dapat dinikmati baik dalam bentuk segar, kering, maupun ramuan. Secara empiris pegagan berkhasiat sebagai tonik penyegar, obat penenang, antiinfeksi, antitoksik, antirematik, antilepra, menghentikan pendarahan, menyembuhkan penyakit hepatitis, dan melebarkan pembuluh darah perifer (Waluyo 2009). Khasiat dan manfaat pegagan disebabkan oleh kandungan komponen fitokimia di dalamnya, yaitu triterpenoid, saponin, alkaloid, flavonoid, tannin, steroid, dan glikosida. Zat aktif yang terdapat dalam pegagan antara lain asiatikosida, madekasosida (triterpenoid), asam madekasat, brahmosida, dan brahminosida (glikosida saponin) (Gohil et al. 2010). Khasiat lain yang dimiliki oleh pegagan adalah sebagai hepatoprotektor. Penelitian yang dilakukan oleh Antony et al. (2006) membuktikan bahwa asiatikosida sebagai kandungan utama dari triterpenoid dapat meningkatkan efek antioksidan sehingga mampu melindungi kerusakan hati akibat hepatotoksin. Madekasosida dan asam madekasat membantu persembuhan kerusakan hati karena aktivitas antiinflamatori dan imunomodulator yang dimilikinya (Vohra et al. 2011). Selain kandungan tersebut, total glukosida dari pegagan turut membantu memperbaiki fungsi hati yang rusak (Ming et al. 2004).
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas hepatoprotektor ekstrak air pegagan (Centella asiatica) terhadap kerusakan hati tikus putih jantan yang diinduksi parasetamol.
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai kemampuan hepatoprotektor ekstrak air pegagan dalam beberapa formula dan dosis pada tikus putih jantan yang diinduksi parasetamol.
3
MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Juli 2012 di Shigeta dan Laboratorium Histopatologi, Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan Penelitian ini menggunakan 52 ekor tikus putih jantan strain Wistar yang berumur 3 hingga 4 bulan dengan bobot berkisar 180 gram hingga 300 gram. Bahan yang digunakan antara lain parasetamol, ekstrak air pegagan, EDTA, SGPT kit, ransum tikus standar, botol minum, serbuk gergaji, parafin, Mayer hematoksilin eosin, alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, 100%, alkohol absolut, xylol, lithium carbonate, dan akuades.
Alat Alat yang digunakan antara lain sonde lambung, spektrofotometer, perangkat pembuatan sediaan histopatologi, mikroskop cahaya, kaca objek, gelas penutup, tabung eppendorf, peralatan bedah hewan, timbangan digital, gelas beaker, gelas ukur, disposable syringe 1 mL, alat sentrifugasi, mortar, kamera foto, kandang tikus, dan lemari es.
Metodologi Penelitian Persiapan Ekstrak Air Pegagan Ekstrak air pegagan yang dipakai pada penelitian ini merupakan ekstrak siap pakai dalam 4 formula (F 6, F 10, F 12, dan F 16) dari Pusat Studi Biofarmaka.
Persiapan Hewan Coba Setiap tikus ditempatkan dalam kandang yang terpisah dengan kondisi kandang beralaskan serbuk gergaji. Setiap hari tikus diberi pakan sebanyak 50 gram dan air secara adlibitum. Kandang ditempatkan dalam ruangan yang memiliki ventilasi dan penerangan yang cukup. Pergantian serbuk gergaji dilakukan setiap seminggu sekali.
Perlakuan Hewan Coba Tikus putih dibagi menjadi lima kelompok dengan komposisi 5 tikus di kelompok K (kontrol negatif), 14 tikus di kelompok F 6, 13 tikus di kelompok F 10, 10 tikus di kelompok F 12, dan 10 tikus di kelompok F 16. Setiap kelompok diinduksi parasetamol dosis 1000 mg/kg BB pada hari pertama dan dosis 500
4 mg/kg BB/hari untuk selanjutnya. Satu jam kemudian diberikan akuades pada kelompok K dan diberikan ekstrak air pegagan sesuai kelompok formula dengan dosis yang sama yaitu 1500 mg/kg BB selama 8 hari (sediaan 200 mg/mL).
Pengukuran Kadar Enzim SGPT Plasma Darah Tikus Pengukuran kadar enzim SGPT dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu sebelum penelitian (kelompok I) untuk mengetahui kadarnya sebelum perlakuan, sesudah pemberian parasetamol 1000 mg/kg BB (kelompok II), dan hari terakhir (kelompok III). Pengukuran kadar enzim SGPT dilakukan dengan cara darah diambil dari ekor yang bagian ujungnya digunting. Darah diambil sebanyak 1 mL dan ditampung dalam tabung eppendorf. Tabung eppendorf sebelumnya diisi dengan antikoagulan EDTA sebanyak 2 mg agar tidak terjadi penggumpalan darah sehingga dapat dihasilkan plasma darah. Darah yang sudah terkumpul diberi label dan secepatnya disimpan dalam lemari es agar kualitas darah tetap terjaga. Kemudian darah disentrifus menggunakan alat sentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit kemudian diambil plasmanya. Jumlah plasma darah yang digunakan adalah 200 μL. Plasma ini akan diperiksa kadar enzim SGPT menggunakan SGPT kit dan reagennya. Plasma akan ditambahkan starting agent 2-oxoglutarate dan reagen enzim L-alanine lalu perubahan absorbansinya dibaca menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 340 nm. Prinsip reaksi sebagai berikut :
Pemeriksaan Histopatologis Hati Hati difiksasi dengan larutan formalin (Buffered Neutral Formalin) 10% dengan pH berkisar antara 6,5-7,5. Hati direndam dalam bahan pengawet bertujuan untuk melindungi struktur fisik sel. Serangkaian tahapan yang dilalui antara lain proses dehidrasi, penjernihan, penanaman jaringan dalam parafin, pemotongan dengan menggunakan mikrotom setebal 5 μm, proses pewarnaan HE (Hematoksilin Eosin), dan penutupan dengan gelas penutup. Organ kemudian disayat secara melintang menggunakan skapel dengan ketebalan 0,3-0,5 mm. Potongan ini disusun ke dalam kaset jaringan dan dimasukkan ke dalam keranjang jaringan. Keranjang yang di dalamnya berisi jaringan organ dimasukkan ke dalam mesin pemroses otomatis. Selanjutnya jaringan mengalami proses dehidrasi dalam larutan alkohol bertingkat dengan putaran waktu sebagai berikut: alkohol 70% (2 jam), alkohol 80% (2 jam), alkohol 90% (2 jam), alkohol absolut dua kali ulangan dengan setiap ulangan selama 2 jam. Setelah dehidrasi, dilanjutkan dengan tahapan penjernihan dalam xylol dengan rincian: xylol dua kali ulangan dengan setiap ulangan selama 2 jam, dan dilanjutkan dengan penanaman jaringan dalam parafin pada suhu 56 oC. Penanaman jaringan dalam parafin dilakukan pada cetakan logam berukuran 2 x 2 x 2 cm dan dipotong menggunakan mikrotom yang ketebalan maksimalnya 5 μm. Setelah itu, jaringan ditempelkan pada kaca objek dan diwarnai dengan metode HE.
5 Pewarnaan HE diawali dengan deparafinisasi dalam xylol I selama 2 menit dan xylol II selama 2 menit. Tahapan berikutnya adalah rehidrasi dalam alkohol bertingkat dimulai dari alkohol absolut (2 menit), alkohol 95% (1 menit), dan alkohol 80% (1 menit). Setelah perendaman dalam alkohol dilanjutkan dengan pencucian mengunakan air kran selama 10 menit. Perendaman dalam hematoksilin dilakukan selama 8 menit dilanjutkan pencucian mengunakan air kran selama 30 detik. Setelah itu direndam dalam lithium karbonat selama 15-30 detik dan dicuci kembali dalam air kran selama 2 menit. Perendaman dalam eosin dilakukan selama 2-3 menit, dilanjutkan pencucian menggunakan air kran selama 30-60 menit. Tahap akhir adalah dehidrasi dalam alkohol bertingkat (95% hingga absolut) masing-masing 2 menit. Kemudian dilakukan penjernihan dalam xylol dua kali ulangan selama 2 menit. Preparat yang telah dijernihkan kemudian ditutup dengan gelas penutup yang direkatkan pada kaca objek menggunakan enthelan.
Penghitungan Sel pada Histopatologis Hati Penghitungan dilakukan menggunakan program software ImageJ® pada gambar yang telah diperoleh melalui pengambilan gambar jaringan hati dengan mikroskop cahaya perbesaran 400 x. Gambar yang diambil sebanyak lima bidang pengamatan pada hepatosit di sekitar vena porta (VP) dan vena sentralis (VS). Sel yang dihitung adalah sel hati normal dan sel yang mengalami perubahan seperti degenerasi hidropis, degenerasi lemak serta nekrosa. Jumlah sel tersebut akan dijadikan dalam bentuk persentase kemudian dianalisis dengan uji Analysis of Variance (ANOVA) dan uji Duncan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Data Aktivitas Enzim SGPT Hati merupakan organ aksesoris pada sistem digesti sekaligus kelenjar terbesar dalam tubuh (Akers dan Denbow 2008). Pada hewan tikus, hati terletak di bagian kanan pada region epigastrikus, tepat di belakang dari diafragma. Hati terdiri atas lobus-lobus dan setiap lobus terbagi menjadi lobulus-lobulus (Rogers dan Dintzis 2012). Setiap lobulus merupakan badan heksagonal dengan ukuran 0,7 x 2 mm yang terdiri atas sel-sel parenkim hati (hepatosit), vena sentralis, sinusoid, cabang-cabang vena porta, cabang-cabang arteri hepatika, sel Kupffer, duktus empedu, buluh darah limfatik, dan saraf (Dancygier 2010). Hati berperan dalam hampir semua fungsi metabolisme tubuh termasuk pada proses metabolisme obat parasetamol (Sloane 2003). Parasetamol yang masuk ke dalam tubuh melalui sistem gastrointestinal kemudian akan diserap dan dibawa oleh vena porta ke hati agar dapat dimetabolisme oleh enzim-enzim mikrosomal hati. Proses metabolisme dilakukan dalam dua fase yaitu, fase I dan fase II. Pada fase I, parasetamol akan dioksidasi dengan bantuan enzim mikrosomal hati yaitu enzim sitokrom P450 monooksigenase menjadi N-acetyl-para-benzoquinone imine (NAPQI) yang
6 merupakan toksin sangat reaktif. Selanjutnya pada fase II, sebagian besar parasetamol akan dikonjugasikan dengan substrat endogen seperti asam glukuronat, sulfat, glutation, asetat, asam amino, dan gugus metil menjadi metabolit tidak berbahaya (Haschek dan Rousseaux 1998). Pada dosis normal, metabolit toksik NAPQI ini segera didetoksifikasi menjadi konjugat yang tidak toksik (asam merkapturat dan sistein) oleh glutation dan segera dikeluarkan oleh ginjal melalui urin. Namun apabila mengkonsumsi parasetamol pada dosis tinggi, glutation akan mengalami deplesi sekitar 90% sehingga konsentrasi metabolit toksik ini menjadi jenuh. NAPQI yang berada dalam keadaan bebas akan berikatan dengan makromolekul protein pada membran hepatosit sehingga menyebabkan kerusakan membran sel hati. Sel-sel hepatosit akan pecah sehingga enzim golongan aminotransferase seperti ALT atau SGPT dan AST atau SGOT yang terdapat dalam sel hepatosit akan keluar dan masuk aliran darah di sekitar vena sentralis sehingga terjadi kenaikan aktivitas enzim SGPT dan SGOT melebihi normal (Cooper 2010). Pada penelitian sebagai indikator kerusakan hati adalah kadar enzim SGPT. Enzim SGPT merupakan indikator yang sensitif dalam mengenali adanya penyakit pada hati yang bersifat akut. Hal ini disebabkan hepatosit yang rusak atau mati akan melepaskan enzim SGPT ke dalam aliran darah (Chopra 2001). Enzim SGPT merupakan enzim yang lebih dipercaya dibandingkan SGOT dalam menentukan kerusakan sel hati. Hal ini disebabkan SGPT banyak ditemukan terutama di hati sedangkan SGOT dapat ditemukan selain di hati, seperti di otot jantung, otot rangka, ginjal, pankreas, otak, sel darah merah, dan sel darah putih. Dengan demikian, jika hanya terjadi peningkatan SGOT maka dapat saja yang mengalami kerusakan adalah sel-sel organ lainnya yang mengandung SGOT (Sari et al. 2008). Data aktivitas enzim SGPT pada tikus jantan yang diberikan ekstrak air pegagan sebagai usaha hepatoproteksi dari penginduksian parasetamol dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Aktivitas Enzim SGPT Pada Tikus yang Diberi Ekstrak Air Pegagan Sebagai Usaha Hepatoproteksi dari Penginduksian Menggunakan Parasetamol
Kelompok
Kelompok I (Sebelum diinduksi parasetamol)
Nilai SGPT (U/I) Kelompok II (Setelah diinduksi
Kelompok III (Setelah dilakukan
parasetamol 1000 mg/kg BB)
pemberian ekstrak air pegagan selama 8 hari)
K F6 F 10
4,95 ± 2,36 ab 8,51± 5,99 ab 8,22 ± 6,18 ab
8,47 ± 7,34 ab 5,59 ± 3,61 ab 4,05 ± 1,71 ab
8,01 ± 5,35 ab 4,15 ± 3,13 ab 8,52 ± 6,54 ab
F12 F 16
6,98 ± 9,24 ab 5,24 ± 3,53 ab
4,64 ± 3,98 ab 7,67 ± 8,91 ab
10,58 ± 9,97 ab 4,64 ± 2,86 ab
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
Pengukuran nilai enzim SGPT pertama dilakukan sebelum pemberian parasetamol dan ekstrak air pegagan. Tujuannya adalah untuk mengetahui nilai
7 awal dari enzim SGPT yang terkandung dalam plasma darah tikus jantan sehingga nilai awal ini dapat dibandingkan dengan nilai enzim SGPT saat diberikan parasetamol dan ekstrak air pegagan. Nilai enzim SGPT yang didapatkan setiap kelompok berada di bawah nilai enzim SGPT normal pada tikus, yaitu 18-45 U/l (Giknis dan Clifford 2008). Perbedaan ini terjadi kemungkinan berhubungan dengan metode yang digunakan. Untuk memperoleh kadar enzim pada literatur, sampel diambil dari tikus yang teranestesi oleh anestesi inhalasi. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan, sampel diambil dari ekor tikus dalam keadaan hidup. Hal inilah yang dapat menyebabkan nilai SGPT berada di bawah nilai normal. Menurut Ganiswara (1995), anaestesi inhalasi seperti eter dapat menyebabkan gangguan fungsi hati ringan sehingga memungkinkan kenaikan nilai SGPT. Hal ini didukung dengan penelitian Collin et al. (1978) yang menyatakan bahwa eter dapat menaikkan level enzim SGPT tikus walaupun tidak terlihat abnormalitas pada histologi jaringan hati atau organ lainnya. Pengukuran nilai enzim SGPT kedua dilakukan setelah pemberian parasetamol dosis 1000 mg/kg BB yang bertujuan untuk menginduksi kerusakan hepatosit sehingga dapat dilihat perubahannya saat diberikan ekstrak air pegagan. Namun berdasarkan hasil pengamatan, kenaikan nilai SGPT hanya terlihat pada kelompok kontrol dan F 16. Sedangkan pada kelompok F 6, F 10, dan F12 yang terjadi adalah penurunan nilai SGPT. Hal ini menunjukkan induksi parasetamol dalam dosis 1000 mg/kg BB belum mampu merusak hepatosit sehingga tidak terjadi peningkatan nilai enzim SGPT. Sedangkan menurut penelitian Abraham (2004), pemberian parasetamol dengan dosis 1000 mg/kg BB sudah dapat memperlihatkan kerusakan hati yang ditandai dengan peningkatan kadar enzim SGPT. Dosis 1000 mg/kg BB termasuk dalam golongan dosis toksik dari parasetamol. Hal ini didukung penelitian Roy dan Das (2010) yang menggunakan parasetamol dosis 1000 mg/kg BB dengan pemberian per oral menunjukkan setelah 48 jam terjadi peningkatan level ALT, AST, ALP, dan serum bilirubin. Pada histopatologi hati terlihat adanya kongesti parah pada pembuluh darah, degenerasi hidropis ringan, dan nekrosis. International Agency for Research on Cancer (1999) juga menyatakan bahwa pemberian parasetamol dosis melebihi 300 mg/kg BB per hari pada tikus akan menyebabkan kerusakan hati, renal, dan testikularis. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan kejadian ini adalah kurang pekanya tikus terhadap dosis parasetamol yang ditentukan dan kekurangmurniannya parasetamol yang digunakan. Oleh karena tidak terjadi peningkatan nilai enzim SGPT maka data yang diperoleh dari kelompok F 6, F 10, dan F12 tidak dapat digunakan untuk penelitian ini. Pengukuran nilai enzim SGPT ketiga dilakukan setelah pemberian parasetamol dosis 1000 mg/kg BB pada hari pertama dan dosis 500 mg/kg BB/hari pada hari kedua hingga hari ke sembilan. Dosis 500 mg/kg BB/hari merupakan dosis maintenance yang bertujuan untuk tetap menjaga kerusakan hati akibat induksi parasetamol dosis 1000 mg/kg BB. Setelah itu satu jam kemudian diberikan ekstrak air pegagan dengan dosis ekstrak 1500 mg/kg BB selama 8 hari (sediaan 200 mg/mL). Melalui hasil analisis statisik terlihat efek yang diberikan F 16 tidak terlalu signifikan (p>0,05) terhadap kontrol. Namun dapat dilihat kelompok F 16 menunjukkan penurunan nilai enzim SGPT akibat pemberian ekstrak air pegagan. Hal ini mengindikasikan zat aktif pegagan yang terkandung dalam F 16 seperti asiatikosida, madekasosida, dan brahminosida (glikosida
8 saponin) mampu memperbaiki kerusakan hati akibat parasetamol yang cukup baik (Brinkhaus et al. 2000). Asiatikosida yang merupakan kandungan utama dari pegagan mampu meningkatkan efek enzim antioksidan seperti superoksida dismutase, katalase, dan glutation peroksidase sehingga diduga mampu menghambat NAPQI untuk menetap dan merusak hepatosit (Antony et al. 2006). Madekasosida dan asam madekasat membantu persembuhan kerusakan hati karena aktifitas antiinflamatori dan imunomodulator yang dimilikinya (Vohra et al. 2011). Selain kandungan tersebut, total glukosida dari pegagan turut membantu memperbaiki fungsi hati yang rusak sehingga terjadi penurunan nilai enzim SGPT (Ming et al. 2004).
Histopatologi Organ Hati Pengamatan histolopatologi hati dilakukan untuk memberikan informasi mengenai perubahan mikroskopis hati yang ditimbulkan akibat pemberian ekstrak air pegagan terhadap hati yang diinduksi parasetamol. NAPQI yang dihasilkan dari biotransformasi parasetamol dengan sistem enzim sitokrom P450 akan bereaksi dengan molekul penyusun membran sel hepatosit sehingga menyebabkan kerusakan hati. Perubahan mikroskopis dapat meliputi perubahan inti sel, sitoplasma, dan sel secara keseluruhan. Berdasarkan pengamatan histopatologi pada kelompok kontrol dan F 16 ditemukan adanya sel normal dan sel yang mengalami perubahan sublethal serta lethal pada hepatosit. Perubahan ini diskoring menggunakan program software ImageJ® dan dibandingkan antara vena porta dan vena sentralis untuk melihat efek hepatoprotektif dari ekstrak air pegagan. Skoring dilakukan terhadap lima bidang pengamatan pada hepatosit di sekitar vena porta dan vena sentralis untuk menggambarkan derajat keparahan jaringan hati. Perubahan sublethal atau yang sering disebut perubahan degeneratif merupakan proses yang jika rangsangannya dihentikan, maka sel dapat kembali seperti semula. Sedangkan proses lethal merupakan suatu proses sel telah mencapai titik tidak dapat lagi mengkompensasi kerusakan dan telah terjadi kematian sel (nekrosa) (Price dan Wilson 2003). Perubahan sublethal yang terlihat pada bidang pengamatan adalah degenerasi hidropis dan degenerasi lemak. Degenerasi hidropis umumnya dimulai dari daerah porta yang meluas menuju sentralis karena daerah porta merupakan daerah yang pertama kali menerima suplai darah dari saluran pencernaan.darah yang mengandung toksin dibawa dari usus, masuk ke hati melewati vena porta kemudian melewati sinusoid menuju vena sentralis (Price dan Wilson 2003). Secara makroskopis, organ yang mengalami degenerasi hidropis terlihat lebih besar, warnanya opaque, konsistensinya lunak dan rapuh, serta kurang memiliki bentuk lagi. Sedangkan secara mikroskopis, ukuran sel meningkat disertai batas sel yang tidak jelas, sebagian organela sel akan berubah menjadi kantong air, sitoplasma terlihat seperti bervakuola, opaque, dan lebih granuler. Hal ini terjadi karena metabolit reaktif NAPQI merusak membran sel sehingga keseimbangan ion natrium dan kalium terganggu dan terjadilah peningkatan jumlah air ke dalam sel (Mugera 2000).
9 Sedangkan pada degenerasi lemak, secara makroskopis hati akan terlihat pucat atau coklat kekuningan, licin, dan biasanya perlemakan menyebar ke seluruh bagian. Sedangkan secara mikroskopis, tampak jaringan hati sudah tidak teratur, adanya lemak dalam bentuk droplet kecil atau besar yang mengisi ruang sitoplasma sel hati sehingga komponen dan inti sel hati akan terdesak ke tepi. Hal ini terjadi karena metabolit reaktif NAPQI mengganggu sintesis dan pematangan protein di ribosom pada retikulum endoplasma kasar sehingga tidak terbentuknya apoprotein dan lipoprotein yang akan membawa trigliserida keluar ke plasma untuk dimetabolisme. Hal inilah yang menyebabkan asam lemak tidak dapat disekresikan sehingga menjadi terakumulasi dalam sel hati (Cheville 2006). Pada jaringan histopatologi, degenerasi lemak terlihat seperti ruang kosong di sitoplasma karena saat proses dehidrasi dalam alkohol, droplet lemak akan menghilang meninggalkan bentuk vakuola pada sitoplasma (Mugera 2000). Perubahan lethal yang terlihat pada bidang pengamatan adalah nekrosa. Perubahan nekrosa meliputi perubahan nukleus yaitu piknosis, karioreksis, kariolisis, dan sel yang hilang (Haschek dan Rousseaux 1998). Nekrosa yang terjadi akibat parasetamol adalah nekrosa sentrilobular yang ditandai kerusakan terutama di hepatosit sekitar daerah vena sentralis. Hal ini dikaitkan dengan terbentuknya metabolit sangat reaktif setelah parasetamol dimetabolisme di hati (Cooper 2010). Persentase berbagai perubahan sel hepatosit di sekitar vena porta dan vena sentralis disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Persentase Perubahan Keadaan Hepatosit di Sekitar Vena Porta dan Vena Sentralis pada Tikus Putih Jantan Kelompok Kontrol dan yang Diberi Ekstrak Air Pegagan Selama 8 Hari Sebagai Usaha Hepatoproteksi terhadap Efek Toksik Parasetamol Normal (%)
Degenerasi hidropis (%)
Degenerasi lemak (%)
Nekrosa (%)
VP VS VP
29,3 ± 14,6ab 24,7 ±11,8ab 36,1 ± 8,0 ab
38,5 ± 8,9 ab 40,6 ± 5,7ab 39,2 ± 6,2 ab
5,4 ± 2,6 ab 9,2 ± 2,0ab 5,3 ± 2,0 ab
26,8 ±19,5ab 25,6 ±15,0ab 19,4 ± 5,0 ab
VS
30,4 ± 9,0ab
46,1 ± 2,3ab
7,1 ± 4,7ab
16,3 ± 4,8 ab
Kelompok Lokasi K F 16
Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05).
Pada vena porta, sel hepatosit normal pada kelompok F 16 memperlihatkan persentase sel normal yang lebih tinggi disertai degenerasi lemak dan nekrosa yang lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Sedangkan nilai persentase degenerasi hidropis lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini menandakan formula ekstrak air pegagan kelompok F 16 berperan dalam mencegah kerusakan sel hati sehingga persentase nekrosa lebih rendah apabila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kandungan seperti asiatikosida, madekasosida, dan braminosida merupakan zat yang memiliki sifat hepatoprotektif (Brinkhaus et al. 2000;Antony et al. 2006;Vohra et al. 2011). Nilai degenerasi hidropis yang lebih tinggi dapat diartikan sebagai kerusakan awal yang bersifat sementara dan dapat kembali menjadi normal apabila penyebab
10 kerusakan dihentikan (Price dan Wilson 2003). Namun persentase hepatosit normal, hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan nekrosa pada seluruh kelompok perlakuan di vena porta tidak berbeda nyata (p>0,05). Hal ini kemungkinan disebabkan proses metabolisme parasetamol saat masuk ke dalam vena porta belum sepenuhnya menghasilkan metabolit toksik NAPQI. Parasetamol yang terkandung dalam aliran darah dari saluran gastroinstestinal saat masuk ke hati melalui vena porta baru akan dimetabolisme hingga fase II (Haschek dan Rousseaux 1998). Gambaran histopatologi hati di sekitar vena porta disajikan pada Gambar 1.
VP F 16
20 µm Gambar 1
VP K
20 µm Perbandingan gambaran histopatologi jaringan hati di sekitar vena porta pada kelompok F 16 dan kontrol. Lesio hepatosit berupa degenerasi hidropis (panah biru), degenerasi lemak (panah hijau), nekrosa (panah hitam), dan sel normal (panah merah). Pewarnaan HE, Perbesaran 400 x.
Pada vena sentralis, persentasi hepatosit normal pada kelompok F 16 juga lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini diikuti dengan persentasi degenerasi lemak dan nekrosa pada kelompok F 16 yang lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Sedangkan nilai persentase degenerasi hidropis lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol walaupun tidak terjadi perbedaan yang nyata pada seluruh perlakuan (p>0,05). Hal ini semakin membuktikan F 16 memiliki kemampuan meningkatkan daya tahan sel dan menjaga kelangsungan sel normal serta memulihkan sel yang mengalami perubahan degenerasi bersifat sementara akibat metabolit reaktif parasetamol menjadi sel normal kembali. Hal ini disebabkan oleh asiatikosida yang merupakan kandungan utama dari pegagan mampu meningkatkan efek enzim antioksidan sehingga mampu menghambat radikal bebas NAPQI (metabolit reaktif) untuk menetap dan merusak membran sel hepatosit (Antony et al. 2006). Total glukosida dari ekstrak juga efektif untuk menghambat perubahan degenerasi lemak pada hepatosit. Persembuhan juga semakin cepat terjadi karena kandungan triterpenoid saponin seperti madekasosida dan asam madekasat yang memiliki aktifitas antiinflamasi dan imunomodulator (Vohra et al. 2011). Gambaran histopatologi hati disekitar vena sentralis disajikan pada Gambar 2.
11
VS F 16
20 µm
VS K
20 µm
Gambar 2 Perbandingan gambaran histopatologi jaringan hati di sekitar vena sentralis pada kelompok F 16 dan kontrol. Lesio hepatosit berupa degenerasi hidropis (panah biru), degenerasi lemak (panah hijau), nekrosa (panah hitam), dan sel normal (panah merah). Pewarnaan HE, Perbesaran 400 x. Hasil skoring pada histopatologi hati ini selaras dengan hasil pengukuran kadar enzim SGPT. Hal ini ditunjukkan melalui penurunan jumlah sel nekrosa pada hepatosit di sekitar vena porta dan vena sentralis pada kelompok F 16 dibandingkan kelompok kontrol. Penurunan jumlah sel nekrosa pada kelompok F 16 akibat perlindungan dari ekstrak air pegagan menyebabkan penurunan pelepasan enzim SGPT ke dalam aliran darah sehingga kadar enzim SGPT yang terukur pun menurun dibandingkan kelompok kontrol. Beberapa herbal lain yang dapat dijadikan sebagai perbandingan terhadap efek hepatoprotektif dari pegagan adalah Psidium guajava, Pleurotus florida, dan Plumbago zeylanica. Psidium guajava memiliki kandungan antioksidan yang cukup baik sehingga mampu mengeliminasi radikal bebas yang dihasilkan oleh metabolit parasetamol (Roy dan Das 2010). Sedangkan Pleurotus florida, walaupun belum diketahui komponen yang bertanggung jawab terhadap efek hepatoprotektif, namun terbukti berperan dalam menurunkan level serum bilirubin dan menjaga jaringan hati dengan mengeleminasi radikal bebas hasil metabolit parasetamol (Sumy et al. 2011). Plumbago zeylanica juga menunjukkan aktifitas hepatoprotektif yang baik. Kandungan triterpenoid dan steroid yang dimiliki tumbuhan ini mampu menurunkan level serum penanda kerusakan hati (Kanchana dan Sadiq 2011).
SIMPULAN Formula ekstrak air pegagan pada F 16 memiliki kemampuan yang baik dalam menjaga kelangsungan hepatosit normal dan memulihkan hepatosit yang mengalami kerusakan sementara untuk pulih kembali sehingga terjadi penurunan nilai enzim SGPT setelah diinduksi parasetamol walaupun efek yang diberikan tidak terlalu signifikan dibandingkan kelompok kontrol.
12
DAFTAR PUSTAKA Abraham P. 2004. Increased plasma biotinidase activity in rats with paracetamolinduced acute liver injury. J Clinic Chim Act 349(1-2):61-65. Akers RM, Denbow DM. 2008. Anatomy and Physiology of Domestic Animals. USA: Blackwell Publishing. hlm 468. Antony B, Santhakuman G, Merina B, Sheeba V, Mukkadan J. 2006. Hepatoprotective effect of Centella asiatica (L) in carbon tetrachloride-induced liver injury in rats. Indian J of Pharm Sci 2006;68(6): 772-776. Brinkhaus B, Lindner M, Schuppan D, Hahn EG. 2000. Chemical, pharmacological and clinical profile of the East Asian medical plant Centella asiatica. J Phytomed 7(5):427-448. Cheville N. 2006. Introduction to Veterinary Pathology. Ed ke-3. USA: Blackwell Publishing. hlm 35-36. Chopra S. 2001. The Liver Book: A Comprehensive Guide to Diagnosis, Treatment, and Recovery. New York: Pocket Books, Simon & Schuster, Inc. hlm 12-13. Collin CJ, Cobb LM, Purser DA. 1978. Effects of chronic inhalation of dimethyl ether in the rat. J Toxicol 11(1):65-71. Cooper R. 2010. Small Animal Emergency and Critical Care. Ed ke-1. Mazzafero EM, editor. USA: Blackwell Publishing. hlm 3-11. Dalimartha S. 2005. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Hepatitis. Jakarta: Swadaya. hlm 58, 86. Dalimartha S. 2008. Resep Tumbuhan Obat untuk Asam Urat. Jakarta: Swadaya. hlm 44, 55-56, 79. Dancygier H. 2010. Clinical Hepatology: Principles and Practice of Hepatobiliary Diseases. Berlin: Springer. hlm 15-18, 208. [FDA] Food and Drug Administration. 2009. Acetaminophen Overdose and Liver Injury - Background and Options for Reducing Injury. USA: Department of Health and Human Services. hlm 2. Ganiswara S. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hlm 111-113. Giknis MLA dan Clifford CB. 2008. Clinical Laboratory Parameters for Crl:Wl (Han). Wilmington: Charle River. hlm 8. Gohil KJ, Patel JA, Gajjar AK. 2010. Pharmacological review on Centella asiatica: a potential herbal cure-all. Indian J Pharm Sci 2010;72(5):546-556. Haschek WM, Rousseaux CG. 1998. Fundamentals of Toxicologic Pathology. San Diego: Academic Press. hlm 130-136. [IARC] International Agency for Research on Cancer. 1999. IARC Monographs on the Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans - Volume 73. Geneva: WHO. hlm 401. Kanchana N dan Sadiq M. 2011. Hepatoprotective effect of Plumbago zeylanica on paracetamol induced liver toxicity in rats. Int J Pharm Pharm Sci 3(1):151154. Ming ZJ, Liu SZ, Cao L. 2004. [Effect of total glucosides of Centella asiatica on antagonizing liver fibrosis induced by dimethylnitrosamine in rats
13 [abstrak].][dalam bahasa Cina]. Zhonqq Zhong Xi Yi Jie He Za Zhi 2004;24(8):731-4. Mugera GM. 2000. Veterinary Pathology in The Tropics for Students and Practitioners. New Delhi: New Age International (P) Limited, Publishers. hlm 8-15. Price SA dan Wilson M. 2003. Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease Processes. St. Louis: Mosby. hlm 35-42. Plumb DC, 1999. Drug Monograph. Iowa: Iowa State Univ. Press, Ames. Rogers AB, Dintzis RZ. 2012. Liver and Gallbladder. Di dalam: Treuting PM, Dintzis SM, editor. Comparative Anatomy and Histology. USA: Elsevier. hlm 193-201. Roy CK dan Das AK. 2010. Comparative evaluation of different extracts of leaves of Psidium guajava linn. for hepatoprotective activity. Pak J Pharm 23(1):1520. Sari W, Indrawan L, Djing OG. 2008. Care Yourself, Hepatitis. Depok: Penebar Plus. hlm 27-42. Sloane E. 2003. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Veldman J, penerjemah; Widyastuti P, editor bahasa Indonesia. Terjemahan dari: Anatomy and Physiology: An Easy Learner. Jakarta: EGC. hlm 291. Sumy AK, Jahan N, Sultana N, Amin SMR. 2011. Effect of oyster mushroom (Pleurotus florida) on paracetamol induced changes of serum bilirubin level and liver tissue protein in rats. J Bangladesh Soc Physiol 6(1):10-15. Vohra K, Pal G, Gupta VK, Singh S, Bansal Y. 2011. An insight on Centella asiatica linn.: a review on recent research. J Pharmacol 2011;2:440-462. Waluyo S. 2009. 100 Questions & Answers: Stroke. Jakarta: Gramedia. Wijayakusuma MH. 2000. Ensiklopedia Milenium Tumbuhan Berkhasiat Obat Indonesia. Jakarta: Prestasi Insan Indonesia. hlm 1.
14
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banjarbaru pada tanggal 8 November 1990. Penulis adalah anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Edward Lamris Silaban dan Ibu Rumiris Hutasoit. Penulis memiliki saudara perempuan bernama Naomi Lamsihar Silaban, Nunut Asianna Silaban, Mika Netty Taruli Silaban dan saudara laki-laki bernama Juan Barita Silaban. Penulis mengawali sekolah dasar pada tahun 1996 di Sekolah Dasar Sanjaya Banjarbaru dan diselesaikan pada tahun 2002. Tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Banjarbaru sampai tahun 2005. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Banjarbaru pada tahun 2005 dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan IPB melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di UKM Persekutuan Mahasiswa Kristen (2008-2012) sebagai Anggota dan Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (HKSA) FKH IPB (2009-2012) sebagai Wakil Bendahara, Bendahara Umum, dan Badan Pengawas Himpro. Penulis juga pernah menjadi Editor di LS Vetzone BEM FKH IPB (2009-2010) dan anggota Divisi Komunikasi dan Informasi serta Reporter di Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Seluruh Indonesia (2010-2011). Terakhir penulis aktif menjadi Volunteer di Multispecies Educational International (2012). Penulis pernah menerima beasiswa dari IPB dalam bentuk beasiswa BBM dan beasiswa PT. ROMINDO. Penulis pernah menjadi asisten praktikum pada Mata Kuliah Anatomi Veteriner II tahun ajaran 2010-2011, Mata Kuliah Anatomi Topografi tahun ajaran 2011-2011, serta Mata Kuliah Embriologi dan Genetika Perkembangan tahun ajaran 2011-2012.