1
EKSTRAK AIR UNDUR-UNDUR (Myrmelon sp.) SEBAGAI HEPATOPROTEKTOR TIKUS JANTAN (Sprague-Dawley) YANG DIINDUKSI PARASETAMOL
ARIA YUDAN TARA
DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
2
ABSTRAK ARIA YUDAN TARA. Ekstrak Undur-Undur (Myrmelon sp.) sebagai Hepatoprotektor Hati Tikus Jantan (Sprague-Dawley) yang Diinduksi Parasetamol. Dibimbing oleh AHMAD ENDANG ZAINAL HASAN dan AGUS SETIYONO. Pemberian parasetamol dengan dosis berlebihan terhadap hewan coba dapat merusak sel hati. Hal ini ditandai dengan meningkatnya aktivitas alanin aminotransferase atau ALT dan aspartat aminotransferase atau AST. Salah satu alternatif untuk memperbaiki sel hati adalah dengan memberikan ekstrak undurundur pada dosis yang tepat. Penelitian ini bertujuan menentukan dosis ekstrak undur-undur yang optimal sebagai antihepatotoksik dengan temulawak sebagai kontrol. Bahan tersebut dipercaya memiliki kemampuan mencegah kerusakan oksidatif sehingga dapat memperbaiki sel hati. Hewan coba yang telah diinduksi parasetamol selama 14 hari diberi ekstrak undur-undur dengan dosis 5 mg/kg, 10 mg/kg, dan 15 mg/kg selama 21 hari. Pengambilan sampel darah dilakukan pada hari ke-0, 14, dan 35. Aktivitas AST dan ALT mengalami penurunan setelah hari ke-14 sampai hari ke-35. Dosis ekstrak undur-undur yang paling besar menurunkan aktivitas AST dan ALT adalah dosis 10 mg/kg bobot badan yaitu dari 115.5 U/L menjadi 85.5 U/L (25.97%) untuk ALT dan dari 184.75 U/L menjadi 153.75 U/L (16.78%) untuk AST walaupun tidak didukung analisis statistika yang signifikan (α=0.05).
3
ABSTRACT ARIA YUDANTARA. Extract Water of Undur-undur (Myrmelon Sp.) as Hepatoprotector Liver of Male Mouse (Sprague-Dawley) which is Induced by Paracetamol. Under the direction of AHMAD ENDANG ZAINAL HASAN and AGUS SETIYONO. Giving over doses paracetamol to animal can destroy liver cell. This matter is marked by increasing of alanin aminotransferase’s activity or ALT and aspartat aminotransferase or AST. One of alternatives to repair liver cell by giving undurundur’s extract in the correct dose. This research aims to determine optimal extract dose of undur-undur as antihepatotoksik by temulawak as control. The substance trusted has ability prevents oxidative damage so that can repair liver cell. Animal which has been induced by paracetamol during 14 day is given the undur-undur’s extract with dose 5 mg/kg, 10 mg/kg, and 15 mg/kg during 21 days. Taking sample blood conducted on day 0, 14, and 35. Activity AST and ALT has degradation after day 14 until day 35. Among third of the undur-undur’s extract dose, the biggest extract which can decrease activity of AST and ALT is dose 10 mg/kg body wight that is from 115,5 U/L become 85,5 U/L (25.97%) for ALT and from 184.75 U/L become 153.75 U/L (16.78%) for AST although not afford with analysis statistic (α=0.05).
4
EKSTRAK AIR UNDUR-UNDUR (Myrmelon sp.) SEBAGAI HEPATOPROTEKTOR TIKUS JANTAN (Sprague-Dawley) YANG DIINDUKSI PARASETAMOL
ARIA YUDAN TARA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Biokimia
DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
5
Judul Skripsi : Ekstrak Air Undur-Undur (Myermelon sp.) sebagai Hepatoprotektor Tikus Jantan (Sprague Dawley) yang Diinduksi Parasetamol Nama : Aria Yudan Tara NIM : G84050727
Disetujui Komisi Pembimbing
Ir.A.E Zainal Hasan, MSi. Ketua
drh. Agus Setiyono, M.S, PhD. Anggota
Diketahui
Dr. Ir. I Made Artika, M. App. Sc. Ketua Departemen Biokimia
Tanggal Lulus :
6
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis menyeleseikan dengan baik penelitian dan penulisan karya ilmiah yang berjudul Pengaruh Undur-Undur (Myrmelon sp.) terhadap Kondisi Hati Tikus Jantan (Sprague Dawley) yang Diinduksi Parasetamol. Karya ilmiah ini ditulis berdasarkan penelitian yang dilaksanakan di Laboratotium Lapang Fakultas Peternakan dan Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor selama kurang lebih 6 bulan yaitu pada bulan Desember 2008 sampai Mei 2009 sebagai prasyarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Proses menuju keberhasilan yang harus dilalui penulis selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Ahmad Endang Zainal Hasan, M. Si dan Drh. Agus Setiyono, M. Sc, PhD selaku pembimbing atas segala kesabaran dan keikhlasan dalam memberikan bimbingan, arahan, dan masukan bagi penulis. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pada Pak Soleh, Pak Endang, dan Pak Kas selaku teknisi laoratorium atas motivasi, masukan, dan bantuannya selama penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak, ibu, Mas Lendra, teman-teman Senior Resident Asrama TPB IPB dan Dewi Praptiwi atas segala dukungan dan doa bagi penulis serta kepada temanteman Biokimia 42 atas segala motivasi dan bantuannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2011
Aria Yudan Tara
7
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ngawi, Jawa Timur pada tanggal 23 Desember 1986 dari ayahanda Suharno dan Ibunda Jamiati. Penulis merupakan anak ke dua dari dua bersaudara. Tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Ngawi dan lolos seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima di Departemen Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif di berbagai organisasi dan kepanitiaan. Tahun 2005 penulis aktif di divisi Syiar Kerohanian Islam Asrama TPB IPB dan Unit Kegiatan Mahasiswa Forum for Scientivic Studies (Forces) di divisi Riset dan Edukasi. Penulis juga pernah menjadi panitia bidang medis MPKMB 43. Tahun 2006 penulis aktif di Forces sebagai staf Biro Eksternal Departemen Riset dan Edukasi, dan staf Divisi Relasi Serambi Ruhiyah Mahasiswa (SERUM G). Penulis juga pernah menjadi Bendahara dalam kepanitiaan Pesta Sains 2006. Tahun 2007 penulis aktif di organisasi kemahasiswaan Community of Research and Education in Biochemistry (CREBs) menjabat sebagai staf PSDM. Tahun 2008 penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Biokimia Umum S1 Departemen Biologi dan Kedokteran Hewan, dan asisten mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Penulis melakukan Praktik Lapangan di Laboratorium Biokimia Mikrob, Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI-Bogor dari bulan Juli sampai Agustus 2008 dengan judul Enzim Kitinase Aspergillus rugulosus 501 dan Streptomyces sp. A81.3 untuk Produksi N-asetilglukosamina dari Koloidal Kitin. Tahun 2009 penulis diterima sebagai Senior Resident Asrama Putri TPB IPB. Penulis juga merupakan penerima beasiswa Supersemar tahun 2007-2008 dan beasiswa Korean Exchange Bank (KEB) tahun 2009.
8
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... ix PENDAHULUAN ........................................................................................... 1 TINJAUAN PUSTAKA Organ Hati ............................................................................................ Undur-Undur Darat (Myrmelon sp.) .................................................... Karakteristik dan Data Biologis Tikus ................................................. Parasetamol sebagai Stimulan Kerusakan Hati .................................... Enzim Amino Transferase (ALT dan AST) .........................................
1 3 3 4 5
BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan ..................................................................................... 5 Metode.................................................................................................. 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Fisik dan Bobot Badan Hewan Uji ......................................... 7 Efek Parasetamol dan Undur-Undur terhadap Aktivitas ALT dan AST 9 Efek Undur-Undur terhadap Gambaran Histopatologi Hati ................ 9 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan .............................................................................................. 12 Saran ..................................................................................................... 12 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 13 LAMPIRAN ..................................................................................................... 16
9
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Organ hati.....................................................................................................
3
2 Rumah Undur-Undur dan Undur-Undur ......................................................
3
3 Tikus Sprague-Dawley.................................................................................
4
4 Metabolisme parasetamol dalam tubuh........................................................
4
5 Reaksi transaminasi secara umum ...............................................................
5
6 Bobot badan hewan uji selama masa adaptasi ...........................................
8
7 Bobot badan hewan uji selama perlakuan ....................................................
9
8 Aktivitas ALT selama percobaan................................................................. 11 9 Aktivitas AST selama percobaan ................................................................. 12
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Alur penelitian ............................................................................................ 16 2 Rancangan percobaan ................................................................................. 17 3 Pengukuran aktivitas enzim ALT dan AST ................................................ 18 4 Pembuatan sediaan histopatologi ................................................................ 19 5 Penghitungan dosis ..................................................................................... 20 6 Pewarnaan Haematoxylin-Eosin. ................................................................ 21 7 Hasil analisis AST dan ALT (U/L) ............................................................. 22 8 Uji Statistika................................................................................................ 23 9 Bobot badan hewan coba selama adaptasi (g) ........................................... 33 10 Bobot badan hewan coba selama perlakuan (g) ......................................... 34 11 Histopatologi hati ........................................................................................ 37 12 Skor lesi sel hati .......................................................................................... 38
1 PENDAHULUAN Hati merupakan organ tubuh yang penting untuk menjaga dan menentukan derajat kesehatan seseorang. Kondisi dan fungsi hati dipengaruhi oleh berbagai faktor. Polusi yang semakin meningkat disertai dengan perubahan pola hidup yang cenderung serba instan telah menjadikan masyarakat rentan terhadap berbagai penyakit hati. Hal ini terkait dengan fungsi hati sebagai organ detoksifikasi. Kemampuan hati dalam mendetoksikasi bahan yang berbahaya menjadi bahan yang tidak membahayakan tubuh sangat terbatas sehingga racun pada kadar tertentu dapat menimbulkan kerusakan pada organ hati itu sendiri. Kebiasaan masyarakat yang kurang baik adalah menggunakan obat-obatan sintetik yang beredar bebas di pasaran. Salah satu jenis obat sintetik yang beredar bebas dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat dalam jumlah besar adalah parasetamol. Obat ini sering digunakan sebagai penurun panas (antipiretik) dan penghilang nyeri (analgesik) yang murah dan aman. Obat ini sering digunakan dalam dosis yang berlebihan melebihi yang dianjurkan. Penggunaan parasetamol yang berlebihan dan tidak sesuai anjuran dapat menyebabkan komplikasi penyakit dan berakibat kematian. Menurut Zimerman (1978), senyawa kimia yang dapat menimbulkan kerusakan pada hati apabila digunakan dalam dosis yang berlebihan dan dalam jangka waktu yang lama disebut sebagai senyawa hepatotoksik. Contohnya adalah karbon tetraklorida (CCl4), kloroform, etionin, dan parasetamol. Berbagai penelitian pun dilakukan untuk menggali potensi kekayaan alam yang bermanfaat mengingat Indonesia memiliki kekayaan alam berupa keanekaragaman flora dan fauna. Masing-masing keanekaragaman fauna memiliki berbagai manfaat untuk kepentingan manusia. Undurundur adalah salah satu fauna khas Indonesia yang telah diketahui manfaatnya sebagai hepatoprotektor. Hasil penelitian Afrian (2008) membuktikan bahwa undurundur memiliki aktivitas antihepatotoksik. Namun penelitian mengenai konsentrasi yang tepat dalam penggunaannya belum diketahui. Penelitian ini dilakukan secara in vivo dengan tikus galur Sprague-Dawley sebagai hewan ujinya. Aktivitas antihepatotoksik
dapat diketahui dari uji AST atau ALT tikus. Perubahan biokimiawi karena kerusakan hati ditunjukkan dengan adanya kenaikan aktivitas glutamate piruvat transaminase (GPT) atau alanin aminotransferase (ALT) dan aktivitas glutamat oksaloasetattransaminase (GOT) atau aspartat aminotransferase (AST). Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh ekstrak undur-undur terhadap kondisi hati dengan temulawak sebagai pembanding, meliputi aktivitas enzim AST dan ALT yang dihasilkan serta gambaran sel hati. Hipotesis penelitian ini adalah semakin besar konsentrasi ekstrak undur-undur semakin bagus untuk memperbaiki kerusakan sel hati. Diharapkan aktivitas antihepatotoksik yang diperoleh dari percobaan ini adalah maksimum sehingga dapat memberikan alternatif pengobatan alami.
TINJAUAN PUSTAKA Organ Hati Hati merupakan organ dalam terbesar serta bagian tubuh manusia terbesar kedua setelah kulit. Unit struktural utama hati adalah sel-sel hati (sel hepatosit). Sel-sel ini berkelompok dalam lempeng-lempeng yang saling berhubungan sedemikian rupa (Junqueira dan Carnaero 1995). Di antara lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang dinamakan sinusoid yang merupakan cabang dari vena porta dan arteria hepatika (Price dan Wilson 1995). Sinusoid vena dibatasi oleh dua jenis sel yaitu sel endotel dan sel kupffter besar yang merupakan sel retikuloendotel yang mampu memfagositosis bakteri dan benda asing dalam darah (Guyton 1983). Diantara sel hati dan sel endotel terdapat celah sempit yang dinamakan celah disse (Guyton 1983). Hati terletak di rongga perut dibawah diafragma (membran maskular yang memisahkan dada dan perut) pada sisi kanan atas perut (Gambar 1). Sekitar 60% hati tersusun atas sel hati (hepatosit) dan tiap sel tersebut memiliki waktu paruh kurang lebih 150 hari. Dua pertiga penyusun organ hati adalah parenkim, yang mengandung hepatosit dan sisanya adalah sistem kelenjar empedu. Hati menerima suplai darah melewati arteri hepatik dan vena portal yang keduanya menstransport nutrisi dari usus. Sel-sel hepatik secara langsung berhubungan dengan 25% total darah yang mengalir dalam tubuh. Kerusakan yang terjadi pada
2 sel-sel tersebut atau intervensinya dengan sistem vaskular hepatik dapat menimbulkan dampak serius dalam jangka panjang. Dampak tersebut tidak hanya mempengaruhi organ hati tetapi juga organ lain dan sistem pada tubuh lainnya (Runnells et al 1965). Struktur sel hati tidak berbeda dengan struktur sel tubuh yang lain (Lehninger 1993). Membran sel yang juga disebut membran plasma bersifat selektif permeabel. Membran ini mengangkut nutrien dan garam yang dibutuhkan ke dalam sel. Susunan molekuler membran plasma sel hati sama seperti semua sel pada umumnya yaitu lipid yang mengandung protein. Di dalam membran terdapat sitosol yang berisi organel dan komponen granula sitoplasma. Sitoplasma mempunyai cairan yang kompleks dan konsistensinya hampir seperti gel. Sitosol mengandung berbagai enzim dalam bentuk terlarut dan protein yang mengikat, menyimpan atau mengangkut zat makanan, mineral dan oksigen. Sitosol hati juga mengandung berbagai ion mineral seperti K+, Mg2+, Ca2+, Cl-, HCO3-, dan HPO42- (Lehninger 1993). Hati terdiri atas beberapa lobus dan masing-masing dilapisisi oleh peritoneum para viseralis dengan sel-sel misotel melekat pada kapsula tipis. Pembuluh darah yang mensuplai hati adalah vena porta dan arteri hepatik. Aliran darah dari vena porta mengandung sedikit oksigen dan berbagai zat racun dari usus, sel darah, limpa, dan sekresi pankreas. Sedangkan arteri hepatik mengalirkan darah yang kaya akan oksigen. Cabang-cabang kedua pembuluh darah mengikuti jaringan interlobularis di daerah portal (Dellman & Brown 1992). Hati memiliki dua sumber suplai darah, dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta dan dari aorta melalui vena hepatika. Vena porta membawa darah penuh makanan yang diserap dari usus dan organ tertentu, sedangkan arteria hepatika memberi darah pada sel-sel hati dengan darah bersih yang membawa oksigen. Cabang-cabang dari kedua pembuluh darah tersebut mengikuti jaringan ikat interlobularis di daerah portal (Dellmann & Brawn 1992). Organ hati merupakan organ yang kompleks yang berfungsi sebagai sentral dalam metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein (Giannini et al. 2005). Fungsi-fungsi hati antara lain adalah sekresi empedu, metabolisme dari makromolekul, metabolisme besi (Fe), detoksikasi,
metabolisme dan penyimpanan vitamin, serta penyimpanan darah, bersama dengan vena porta dan limpa berfungsi sebagai reservoir darah (Runnells et al. 1965). Hati juga memproduksi dan mensekresikan empedu yang dibutuhkan dalam pencernaan makanan. Cairan empedu mengalir secara langsung ke usus dua belas jari dan beberapa di antaranya disimpan di dalam kantong empedu (Koolman & Rohm 2001). Organ terbesar tubuh ini merupakan tempat utama metabolisme alkohol, parasetamol, serta senyawa-senyawa beracun lain yang akan menghasilkan metabolit asetaldehid yang sangat toksik. Hal inilah yang menjadikan hati sangat rentan dan berakibat fatal jika rusak oleh senyawa metabolit yang dihasilkannya (Brick 2004). Kerusakan pada sel hati akan lebih mudah dipahami melalui gambaran hisopatologi hati. Histopatologi merupakan tinjauan terhadap organ hati secara mikroskopik yang meliputi pengamatan terhadap perubahan sel-sel dan jaringan di dalamnya. Beberapa jenis perubahan mikroskopik yang terjadi dapat dilihat dari perubahan pada inti, sitoplasma, maupun sel secara keseluruhan (tepi sel, perbedaan intensitas warna, serta batas antar sel) (Hodgson & Levi 2000). Ada beberapa macam kerusakan sel hati. Diantaranya adalah oedema, dilatasi, degenerasi berbutir, dan nekrosis. Oedema atau pembengkakan dapat terjadi karena gangguan metabolisme yang menyebabkan kegagalan hati dalam menyusun asam amino menjadi protein. Akibatnya terjadi perbedaan tekanan osmotik. Rendahnya tekanan osmotik di luar sel menyebabkan cairan masuk ke dalam sel (Hastuti 2008). Dilatasi adalah keadaan saat sel membelah secara radial. Akibatnya sel membentang ke arah tangensial. Degenerasi berbutir dapat ditandai dengan adanya butiran-butiran di sitoplasma. Degenerasi berbutir merupakan indikasi awal terjadinya nekrosis tetapi dapat pula muncul secara bersamaan. Butiran dalam sitoplasma dapat terjadi karena masuknya lemak ke dalam sel sehingga mendesak inti sel. Nekrosis merupakan proses kematian sel pada suatu organisme hidup. Nekrosis terjadi akibat adanya reaksi sel terhadap zat tertentu seperti bahan kimia toksik. Nekrosis dapat ditandai dengan hilangnya inti sel (Hastuti 2008).
3 Nekrosis memiliki beberapa ragam berdasarkan perubahan strukturalnya. Piknosis ditandai dengan inti sel yang mengkerut serta sitoplasma yang menyusut. Kariolisis adalah nekrosis yang ditandai dengan inti yang terfragmentasi. Matinya sel diikuti oleh perubahan morfologi seperti oedema pada sitoplasma, dilatasi pada retikulum endoplasma, disagregasi polisom, hilangnya mitokondria karena krista terdisrupsi, hilangnya inti dan beberapa organel lain dan akumulasi trigliserida (Hodgson & Levi 2000).
Larva undur-undur darat hidup di pasir dengan membentuk jebakan lubang pasir dengan kedalaman sekitar 2-3 inci dari permukaan (Gambar 2). Larva ini dapat menangkap dan membunuh berbagai macam insekta dan bahkan mampu membunuh labalaba berukuran kecil. Sisa makanan yang berupa bangkai kering akan dijentikan ke luar lubang pasir dan kemudian larva siap menyusun kembali jebakan lubang pasirnya. Senyawa yang terkandung dalam undur-undur darat adalah sulfonilurea. Senyawa ini terdiri dari dua bentuk turunan. Turunan pertama yaitu asetoheksamida, klorpropamida, tolbutamida, dan tolazamida. Sedangkan turunan yang ke dua adalah glipizida, glikazida, gliburida, dan glikuidon. Turunan pertama senyawa ini memiliki potensi sebagai obat kolestasis sedangkan turunan keduanya tidak (Chounta 2003). Pemeliharaan undur-undur cukup mudah dan praktis. Undur-undur cukup diletakkan pada kotak yang berisi pasir lembut dan kering. Setelah seminggu kemudian undur-undur akan mengeluarkan telurnya di sarangnya yang mirip dengan kawah gunung. Undur-undur hanya membutuhkan serangga kecil seperti semut atau telur semut herang. Setiap pagi kotak yang berisi undur-undur tersebut dijemur selama 2 jam agar tidak lembab (Wahid 2008).
Gambar 1 Organ hati dan komponen komponennya (Anonim 2010). Undur-undur Darat (Myrmelon sp.) Undur-undur darat merupakan insekta yang tersebar luas di seluruh dunia. Insekta ini biasa hidup di lingkungan yang kering dan berpasir. Ukuran rumah undur-undur berkisar antara 2-15 cm. Undur-undur termasuk ke dalam hewan omnivora. Larvanya memakan semut dan insekta lainnya sementara pada saat dewasa ia memakan tepung sari dan madu. Secara taksonomi undur-undur termasuk Kingdom Animalia, Filum Arthropoda, Kelas Insekta, Ordo Neuroptera, Sub Family Myrmeleontoidea, Famili myrmeleontidae, dan Genus Myrmeleon (Botz et al 2003).
(a)
(b) Gambar 2 Rumah Undur-undur (Myrmelon sp.)(a) dan Undur-undur perbesaran 100x(b).
4 Karakteristik dan Data Biologis Tikus Hewan percobaan atau sering disebut sebagai hewan laboratorium adalah semua jenis hewan dengan persyaratan tertentu yang dipelihara secara intensif di laboratorium. Hewan percobaan digunakan sebagai salah satu sarana dalam berbagai kegiatan penelitian. Tikus merupakan salah satu hewan yang sering digunakan dalam percobaan. Hewan coba yang digunakan dalam percobaan ini adalah galur SpragueDawley (Gambar 3). Tikus adalah hewan pengerat yang mudah berkembang biak dan mudah dipelihara dalam jumlah banyak. Tikus yang baru lahir biasanya memiliki berat badan 5-6 gram dan memiliki kecepatan tumbuh sebesar 5 gram/hari. Umumnya berat badan tikus dewasa rata-rata 200-250 gram, tetapi bervariasi tergantung pada galurnya. Tikus jantan tua dapat mencapai 500 gram dan tikus betina jarang lebih dari 350 gram. Galur Sprague-Dawley paling besar hampir sebesar tikus liar (Mangkoewdjojo & Smith 1988). Menurut Mangkoewdjojo & Smith (1988) tikus berbeda dengan hewan percobaan lain, tikus tidak dapat muntah karena struktur anatominya yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lambung dan tikus tidak mempunyai kantung empedu.
Gambar 3 Tikus Sprague-Dawley. Parasetamol sebagai Stimulan Kerusakan Hati Hati sebagai salah satu organ yang fungsinya adalah untuk detoksifikasi memiliki enzim-enzim yang berfungsi dalam metabolisme zat asing (xenobiotik). Enzimenzim tersebut terbagi menjadi dua kelompok utama yaitu sitokrom P450 dan monooksigenase yang mengandung flavin (FMO). Keduanya lebih banyak berada di hati dan berperan dalam reaksi fase I (oksidasi xenobiotik) (Gonzales 2001). Kata parasetamol diambil dari kata para asetil amino fenol yang merupakan nama senyawa ini secara tata nama kimia.
Penghilang rasa sakit ini ditemukan secara tidak sengaja saat senyawa yang mirip parasetamol (asetanilida) digunakan sebagai resep obat sekitar 100 tahun lalu. Karena asetanilida bersifat toksik, maka para kimiawan memodifikasi struktur asetanilida sehingga menjadi senyawa yang tidak membahayakan tubuh tetapi masih memiliki kemampuan analgesik. Parasetamol merupakan obat yang paling banyak digunakan sebagai penghilang rasa sakit dan jumlah produksinya setiap tahun besar. Materi awal dari sintesis parasetamol ialah senyawa fenol, yang kemudian dinitrasi untuk memberikan bentuk orto dan para nitro-toluena. Bentuk orto-nitrotoluena dipisahkan secara destilasi dan grup para-nitrotoluena direduksi menjadi paraamino. Grup para-amino inilah yang diasetilasi menjadi parasetamol. Parasetamol atau asetaminofen (APAP) dikenal sebagai senyawa antipiretik dan analgesik (Gupta et al. 2004). Parasetamol tergolong obat antiinflamasi nonsteroid atau non steroid antiinflamation drugs (NSAID). Parasetamol dalam tubuh akan mengalami biotransformasi di hati menjadi zat yang tidak berbahaya dan dapat dikeluarkan dari tubuh. Seperti yang terlihat pada Gambar 4 biotransformasi parasetamol salah satunya menggunakan reaksi fase II yaitu membentuk senyawa glukoronida dan sulfat yang larut air dan tidak beracun (Moore et al. 1985). Parasetamol yang dikonsumsi berlebihan dapat menstimulasi sitokrom P450 dan memicu radikal bebas. Parasetamol tersebut akan mengalami hidroksilasi monooksigenase menjadi radikal bebas (Gambar 4). Radikal bebas tersebut berupa metabolit reaktif n-asetil-pbenzoquinonimin (NAPQI). Produksi NAPQI yang terlalu besar tidak dapat dinetralisir oleh glutation. Radikal bebas ini akan mengoksidasi makromolekul seperti lemak dan gugus tiol pada protein serta menganggu homeostasis kalsium akibat menurunnya GSH (Murugesh et al. 2005). Parasetamol merupakan obat yang berpotensi pemakaiannya tanpa memakai resep karena aman dalam dosis standar (5001000 mg per enam jam) sehingga sering digunakan secara sendiri tanpa konsultasi dokter. Pemakaian parasetamol yang terusmenerus atau dalam dosis yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan hati. Jalur metabolik parasetamol dalam tubuh dapat dilihat pada Gambar 4.
5 (Pilichos et al. 2004). Menurut Girindra (1989) kadar AST dan ALT pada tikus normal masing-masing sebesar 45,7-80,8 u/Ldan 17-30,2 U/L.
Gambar 4 Metabolisme parasetamol dalam tubuh (Chemani 2010). Enzim Alanin Amino Transferase (ALT) dan Aspartat Amino Transferase (AST) Enzim adalah protein yang berfungsi sebagai katalisator yaitu senyawa yang meningkatkan kecepatan reaksi kimia (Marks et al. 1996). Sering kali tes laboratorium melibatkan enzim untuk mengetahui kesehatan sesorang. Hal ini dikarenakan bila suatu jaringan rusak, sel-sel mati dan enzim-enzim akan dilepas ke dalam darah. Demikian pula untuk mengetahui kondisi hati seseorang, kadar enzim di dalam darah diukur dan di tes. Enzim aspartat aminotransferase (AST) dan alanin aminotransferase (ALT) merupakan enzim-enzim yang sering digunakan untuk mendeteksi kerusakan hati. Enzim ALT disebut juga GPT lebih spesifik untuk hati karena proporsinya paling banyak pada organ ini daripada organ tubuh lainnya (Edem & Akpanabiatu 2006). Kedua enzim ini sesuai golongannya, merupakan enzim yang berperan penting dalam metabolisme asam amino. Alanin aminotransferase pada sitosol hati mentransfer gugus amino dari alanin ke α-ketoglutarat membentuk piruvat dan glutamat, sedangkan aspartat aminotransferase pada matriks mitokondria hati mentransfer gugus amino dari aspartat ke α-ketoglutarat membentuk oksaloasetat dan glutamat. Reaksi umum transaminasi dapat dilihat pada Gambar 5. Glutamat yang dibentuk dari alanin dan aspartat oleh enzim transaminase merupakan asam amino yang berperan penting dalam pembuangan gugus amino dalam katabolisme asam amino (Boyer 2002). Kadar AST dan ALT pada serum darah tikus yang normal adalah berkisar antara 19,3-68,9 U/L dan 29,8-77,0 U/L
Gambar 5 Reaksi transaminasi secara umum (Santoso 2000). BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah pipet ukur 5 mL, gelas piala 250 mL, bulp, mortar, penangas air, timbangan digital, gunting, microfuge, mikroskop, Tissue Tec, oven, gelas objek beserta gelas penutup, mikrotom, dan spektrofotometer UV-VIS. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah tikus putih jantan galur Sprague-Dawley, undur-undur darat, tablet parasetamol, kapsul temulawak, kit reagen AST dan ALT, alkohol 70%, akuades, paraffin, xilol, pewarna Mayer’s Haemotoxylin, larutan buffer neutral formalin (BNF)10%, etanol 70%, 80%, 96%, 100%, 200%, pewarna eosin, LiCl, dan kloroform. Metode Preparasi Parasetamol 100 mg/mL Satu buah tablet parasetamol dengan dosis 500 mg digerus dalam mortar sampai halus dan dicampurkan dengan akuades sebanyak 5 mL. Campuran kemudian diaduk merata (Afrian 2008). Ekstraksi Undur-Undur Darat 1mg/mL Undur-undur darat ditimbang sebanyak 10 mg, kemudian digerus sampai hancur, dan dicampurkan dengan akuades sebanyak 10 mL. Campuran kemudian diaduk sampai merata lalu disaring dengan kertas saring hingga diperoleh ekstrak undur-undur 1mg/mL (Afrian 2008).
6 Preparasi Temulawak 100mg/mL Kapsul temulawak dari Biofarmaka dosis 500 mg, diambil serbuknya. Serbuk temulawak tersebut dilarutkan dengan 5 mL akuades (Afrian 2008). Hewan Uji dan Rancangan Percobaan Tikus berumur 5 minggu dengan berat 200-230 gram dipelihara dalam kandang berukuran 30x50x30 cm dengan 2 ekor tikus per kandang. Tikus diadaptasikan terlebih dahulu selama 2 minggu sebelum perlakuan. Sebelum dan selama perlakuan, tikus diberi pakan standar sebanyak 50 gram dan minum akuades. Bobot badan tikus diamati setiap hari. Hewan uji dibagi menjadi 6 kelompok dengan 4 ekor tikus dalam setiap kelompok. Kelompok I diberikan pakan standar, air minum akuades, dengan parasetamol 500 mg/kg BB selama 14 hari pertama, kemudian diberikan undur-undur darat dengan dosis 5 mg/kg BB selama 21 hari berikutnya. Kelompok II diberikan diberikan pakan standar, air minum akuades, dengan parasetamol 500 mg/Kg BB selama 14 hari pertama, kemudian diberikan undur-undur darat dengan dosis 10 mg/Kg BB selama 21 hari berikutnya. Kelompok III diberikan pakan standar, air minum akuades, dengan parasetamol 500 mg/Kg BB selama 14 hari pertama, kemudian diberikan undur-undur darat dengan dosis 15 mg/Kg BB selama 35 hari berikutnya. Kelompok IV (kelompok positif) diberikan pakan standar, air minum akuades, diinduksi dengan parasetamol 500 mg/Kg BB selama 14 hari pertama, kemudian diberi larutan temulawak dosis 42.86 mg/Kg BB selama 21 hari berikutnya. Kelompok V (kelompok negatif) diberikan pakan standard, air minum akuades, diinduksi dengan parasetamol 500 mg/Kg BB selama 14 hari pertama, kemudian pemberian parasetamol dihentikan pada 21 hari berikutnya. Kelompok VI (kontrol netral) hanya diberikan pakan standar dan air minum akuades. Pengamatan Fisik Pengamatan fisik hewan uji meliputi berat badan dan tingkah laku yang diamati setiap harinya. Tingkah laku yang diamati meliputi mobilitas. Pengukuran Enzim AST dan ALT Darah diambil dari vena ekor kemudian ditampung dalam vial steril hingga mencapai 2 mL. Darah kemudian
didiamkan selama 15 menit dan disentrifugasi pada 3000 g selama 30 menit. Serum yang diperoleh ditambahkan dengan pereaksi AST dan ALT dan diukur aktivitasnya berdasarkan International Federation of Clinical Chemistry (IFCC). Sebelum dilakukan pengambilan darah, tikus tidak diberi pakan atau dipuasakan selama satu hari. Masing-masing enzim baik AST maupun ALT terdiri atas dua reagen, yaitu pereaksi 1 (buffer) dan pereaksi 2 (substrat). Reagen 1 untuk pengukuran AST terdiri atas Tris pH 7.8 80 mmol/L, L-aspartat 200 mmol/L dan NADH 0,18 mmol/L serta reagen 2 terdiri atas laktat dehidrogenase (LDH) 800 U/L, malat dehidrogenase (MDH) 600 U/L dan α-ketoglutarat 12 mmol/L. Reagen 1 untuk pengukuran ALT terdiri atas Tris pH 7.8 80 mmol/L , L-alanin 500 mmol/L, dan NADH 0.18 mmol/L serta reagen 2 terdiri atas laktat dehidrogenase (LDH) 1200 U/L dan α-ketoglutarat15 mmol/L. Persiapan reagen AST maupun ALT dilakukan dengan mencampur 4 mL reagen 1 dengan 1 mL reagen 2 dalam tabung reaksi atau botol tertutup dan dihomogenkan, kemudian disimpan pada suhu 2-8 °C selama 3 hari atau 72 jam. Pengukuran aktivitas dilakukan dengan mencampur serum darah sebanyak 0.5 mL dalam 5000 µL reagen campuran AST atau ALT lalu diinkubasi dalam penangas 37 °C selama 15 menit. Pembacaan serapan dilakukan pada panjang gelombang 340 nm dengan spektrofotometer UV-VIS per menit selama 3 menit. Kadar enzim yang terukur dihitung dengan persamaan berikut: (satuan internasional unit (U/L): Kadar AST/ALT = ΔA/menit x 1768 ΔA : Δ absorban Pembuatan Preparat Histopatologi Hati Metode ini terdiri atas 4 tahap, yaitu fiksasi, dehidrasi, pencetakkan (embedding), dan pewarnaan (staining). Sebelumnya, tikus yang telah selesai diberi perlakuan dibius dengan kloroform. Leher tikus didislokasi saat tikue benar-benar terbius. Tikus kemudian dibedah dan diambil hatinya.Tahap fiksasi dilakukan dengan memotong organ hati dengan ukuran 2x2x1 cm, dimasukkan dalam buffer neutral formalin 10% (BNF 10%) selama 3x24 jam, kemudian dipotong lagi dengan ukuran yang lebih tipis. Potongan-potongan hati tersebut dilanjutkan ke tahap dehidrasi, yaitu dengan perendaman dalam etanol bertingkat (etanol
7 70%, 80%, 96%, 100%, 200%). Etanol kemudian dihilangkan dengan xilol I, II, dan III masing-masing pada suhu 60°C selama 4 kali masing-masing selama 30 menit. Sebelum pencetakan, cetakan dicuci dengan campuran etanol 96%, xilol, dan air. Pencetakan (embedding) dilakukan dengan menuang paraffin panas dalam blok cetakan sebanyak setengah cetakan dengan alat Tissue Tec. Potongan hati dimasukkan ke dalamnya perlahan agar tidak menyentuh dasar cetakan lalu ditutup lagi dengan paraffin cair. Setelah beku, organ dalam paraffin tersebut dipotong dengan alat mikrotom setebal 4-5 µm. Potongan yang diperoleh dimasukkan ke dalam air hangat (40 0C) untuk melelehkan paraffin, potongan lalu diletakkan dalam kaca objek. Potongan tadi dikeringkan dalam oven inkubator bersuhu 56 0C selama satu malam. Tahap pewarnaan Haematoxylin Eosin (HE) dilakukan setelah deparaffinisasi, yaitu dengan merendamnya dalam xilol 2 kali masing-masing selama 2 menit, rehidrasi dengan etanol absolut selama 2 menit, dilanjutkan dengan etanol 95% dan 80% masing-masing selama 1 menit, dan dicuci dalam air mengalir. Preparat kemudian direndam dalam pewarna Mayer’s Haematoxylin selama 8 menit, dicuci dengan air mengalir, dimasukkan dalam LiCl selama 30 detik, dan dicuci lagi dengan air mengalir. Irisan preparat selanjtunya diberi pewarna eosin selama 2-3 menit, lalu dicuci. Setelah itu, irisan hati dicelupkan dalam etanol 95 % dan absolut I masing-masing sebanyak 10 kali dan diteruskan dengan etanol absolut II selama 2 menit, xilol I selama 1 menit, dan xilol II selama 2 menit. Setelah diangin-anginkan beberapa saat, preparat yang sudah diwarnai tersebut diberi permounting medium dan ditutup dengan kaca penutup. Pengamatan Histopatologi Hati Kerusakan sel seperti nekrosis, degenerasi butir, oedema, dan dilatasi merupakan parameter pengamatan yang akan digunakan. Pemberian nilainya adalah sebagai berikut : 0 = normal 1 = oedema 2 = dilatasi 3 = degenerasi berbutir 4 = nekrosis Pengamatan dilakukan sebanyak 10 bidang pandang pada setiap sampel. Hasil pengamatan lalu dirata-rata. Masing-masing
rataan diberi skor lesi berdasarkan besar kecilnya nilai rataan tersebut. Skor lesi menunjukkan tingkat keparahan rusaknya sel. Semakin besar nilai rataannya, semakin besar skor lesi, maka semakin parah sel tersebut mengalami kerusakan. Skor lesi: 0 = 0,0 <X≤ 0,5 1 = 0,5 <X≤ 1,0 2 = 1,0 <X≤ 1,5 3 = 1,5 <X X = rataan nilai pengamatan Analisis Statistika Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL). Modelnya adalah sebagai berikut: Yij = µ+ τi + εij Keterangan : µ = pengaruh rataan umum τi = pengaruh perlakuan ke-i, i= 1,2,3,4,5,6 εij = pengaruh galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j, j= 1,2,3 = pengamatan perlakuan ke-i dan Yi ulangan ke-j i1 = kelompok kontrol normal i2 = kelompok temulawak i3 = kelompok parasetamol i4 = kelompok perlakuan dengan undurundur (dosis = 5 mg/Kg) i5 = kelompok perlakuan dengan undurundur (dosis = 10 mg/Kg) i6 = kelompok perlakuan dengan undurundur (dosis = 15 mg/Kg)
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Fisik dan Bobot Badan Hewan Uji Kondisi hewan uji yang sehat merupakan faktor penting dalam penelitian dan merupakan syarat untuk memenuhi asumsi percobaan. Bobot badan dan kondisi fisik merupakan parameter yang mudah diukur dan diamati untuk memantau kondisi kesehatan hewan uji selama percobaan berlangsung. Kondisi fisik hewan uji yang diamati meliputi warna mata, warna feses, tekstur feses, dan tingkah laku. Masa Adaptasi Bobot badan hewan uji selama masa adaptasi mengalami kenaikkan dari hari ke 0 sampai hari ke 14 (Gambar 6). Bobot badan hewan uji pada masa awal adaptasi rata-rata sebesar 211.47±9.76 gram. Rerata bobot
8
Bobot badan (g)
badan hewan uji pada akhir masa adaptasi naik menjadi sebesar 241.88±8.87 gram. Kenaikan bobot badan hewan uji dapat dikarenakan oleh pertumbuhan yang dialami oleh hewan uji. Kenaikan sebesar 14.39 % ini menunjukkan bahwa hewan uji dalam kondisi sehat. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa hewan uji dalam kondisi baik untuk mendapat perlakuan. Kenaikan bobot badan hewan uji dapat dilihat pada Gambar 6. Kenaikan bobot badan pada masa adaptasi antara kelompok satu dengan yang lainnya tidak terlalu berbeda jauh. Bobot badan hewan uji kelompok U2 memiliki nilai kenaikan yang paling tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya (18.07%). Selanjutnya disusul oleh kelompok parasetamol (kontrol negatif) yaitu sebesar 15.66%. Sedangkan untuk kenaikan bobot badan terendah adalah kelompok normal yaitu sebesar 11.09%. Kondisi fisik hewan uji selama masa adaptasi tidak berbeda antara hewan satu dengan lainnya. Warna mata, warna feses, tekstur feses, dan tingkah laku keseluruhan hewan uji hampir memiliki kesamaan. Warna mata hewan uji selama belum mengalami perlakuan adalah merah. Warna fesesnya hijau tua, tekstur fesesnya padat, dan tingkah lakunya normal. Menurut Afrian (2009) dalam sekripsinya, tikus Sprague Dawley yang sehat memiliki karakteristik yang sama seperti yang dimiliki oleh hewan uji pada masa adaptasi.
Hari
Gambar 6 Bobot badan hewan masa adaptasi.
uji selama
Masa Perlakuan Hewan uji mengalami perubahan bobot badan dan kondisi fisik setelah mendapat perlakuan. Perlakuan yang menyebabkan perubahan bobot badan dan kondisi fisik diantaranya adalah induksi parasetamol,
pemberian temulawak, dan pemberian ekstrak undur-undur. Hasil pengaruh induksi parasetamol dan pemberian ekstrak undur-undur serta temulawak terhadap bobot badan hewan uji terlihat pada Gambar 7. Bobot badan hewan uji pada seluruh kelompok mengalami kenaikan pada minggu pertama induksi parasetamol. Rerata kenaikan seluruh kelompok adalah 5.10%±1.51. Hal ini dikarenakan parasetamol belum begitu berpengaruh terhadap nafsu makan hewan uji. Penelitian Afrian (2008) sebelumnya juga menunjukkan bahwa bobot badan hewan uji belum mengalami penurunan ketika diinduksi parasetamol selama 7 hari setelah penyesuaian terhadap lingkungan. Bobot badan hewan uji pada seluruh kelompok kecuali kelompok normal mengalami penurunan setelah hari 7 sampai hari 14. Rerata penurunan bobot badan seluruh kelompok kecuali kelompok normal adalah 8.92%±1.84. Berdasarkan hasil tersebut diduga bahwa pemberian parasetamol dalam dosis toksik (500 mg/Kg bobot badan) dapat mempengaruhi nafsu makan yang mengakibatkan penurunan bobot badan. Menurut Gan (1980) toksisitas parasetamol akan menimbulkan berbagai macam gejala seperti anoreksia, mual-mual, muntah serta sakit perut yang terjadi dalam 24 jam pertama dan dapat berlangsung terus menerus selama seminggu atau lebih. Gejala-gejala inilah yang menimbulkan penurunan nafsu makan sehingga berpengaruh terhadap bobot badan. Kelompok normal tidak mengalami penurunan bobot badan (mengalami kenaikan 2.02%) karena tidak diinduksi parasetamol. Walaupun demikian, kenaikan bobot badan sedikit berkurang setelah seminggu pertama (6.45%). Hal ini diduga disebabkan oleh stress. Stress yang terjadi terkait dengan produksi protein stres yang meningkat (Sumitro et.al 1994). Pada umumnya tikus yang stres mengalami penurunan bobot badan akibat nafsu makan yang berkurang. Gejala lain yang dapat timbul adalah produksi urin dan waktu tidur yang bertambah. Berdasarkan pengamatan, hewan uji segera tidur setelah diinduksi parasetamol. Hari ke-15 hingga hari ke-35 semua kelompok mengalami kenaikan bobot badan karena pada periode ini pemberian parasetamol sudah dihentikan. Rerata kenaikan bobot badan seluruh kelompok adalah 12.93%±3.31. Kelompok dosis 1
9 parasetamol. Hal ini mempengaruhi homeostasis tubuh yang kemudian berdampak pada kondisi fisik hewan tersebut. Terlihat pada Gambar 7 kondisi fisik hewan coba mulai membaik setelah diberi undur-undur dan temulawak.
Bobot badan (g)
mengalami kenaikan bobot badan yang tertinggi dikarenakan sejak awal bobot badan hewan uji lebih tinggi dari lima kelompok yang lain. Kelompok U1 (5 mg/Kg) mengalami kenaikan sebesar 18.1%, kelompok U2 (10 mg/Kg) 13.13%, kelompok U3 (15 mg/Kg) mengalami kenaikan sebesar 13.13%, kelompok positif mengalami kenaikan bobot badan sebesar 13.86%, kelompok negatif mengalami kenaikan bobot badan sebesar 11.46%, dan kelompok normal mengalami 7.92%. Berdasarkan hasil tersebut, diduga bahwa pemberian temulawak maupun undur-undur mempengaruhi nafsu makan sehingga menaikkan bobot badan hewan uji. Hal ini sesuai dengan penelitian Liang et al. (1985) yang menyatakan bahwa temulawak dapat digunakan sebagai obat untuk mengatasi gangguan saluran pencernaan, gangguan aliran getah empedu, diare, kurang nafsu makan, radang lambung dan dapat mencegah terjadinya pelemakan dalam selsel hati. Kandungan kurkuminoid dalam temulawak juga dapat berfungsi untuk meningkatkan produksi dan sekresi empedu. Kemampuan temulawak menghasilkan senyawa antibakteri mempengaruhi kinerja mikroflora usus sehingga proses pencernaan menjadi lebih optimal (Sedarnawati et al. 1991). Kenaikan bobot badan dalam jumlah yang tinggi juga terjadi pada kelompok U1, U2, dan U3. Berdasarkan hasil tersebut, diduga pemberian undur-undur juga mempengaruhi nafsu makan. Menurut Chounta (2003) klorpropamida yang merupakan senyawa turunan sulfoniluria pada undur-undur memiliki potensi sebagai obat kolestasis, yaitu berkurang atau terhentinya aliran empedu sehingga di dalam usus tidak terdapat empedu untuk membantu mencerna lemak dan makanan. Kondisi fisik hewan uji berupa warna feses dan tekstur feses selama masa perlakuan memiliki perbedaan jika dibandingkan dengan masa adaptasi. Sedangkan untuk warna mata dan tingkah laku hewan uji selama masa adaptasi dan masa perlakuan tidak mengalami perubahan. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan berpengaruh terhadap hewan uji secara fisik. Feses hewan uji setelah pemberian parasetamol terlihat lebih lunak, lebih berbau dan warnanya lebih pucat. Perubahan kondisi fisik hewan uji diduga karena melemahnya fungsi hati akibat dosis toksik
Hari
Gambar 7 Bobot badan hewan perlakuan.
uji selama
Efek Parasetamol dan Ekstrak UndurUndur terhadap Aktitivitas ALT dan AST Indikator utama yang diamati pada percobaan ini adalah aktivitas enzim transaminase yang meliputi enzim alanin amino transferase (ALT) dan aspartat amino transferase (AST). Enzim transaminase merupakan enzim intraseluler sehingga apabila terjadi kerusakan sel seperti gangguan permeabilitas dinding sel hati akan mengakibatkan aktivitasnya meningkat (Kaneko 1980 & Coles 1986). Aktivitas ALT hewan uji selama percobaan dapat dilihat pada Gambar 8. Pemberian parasetamol selama 2 minggu telah menaikkan aktivitas baik ALT maupun AST. Hasil tersebut memperlihatkan kerusakan sel-sel hati yang cukup parah oleh parasetamol. Parasetamol bila dikonsumsi secara berlebihan dapat memicu radikal bebas dan menstimulasi sistem sitokrom P450. Sitokrom P450 akan mengaktivasi pembentukan metabolit reaktif n-asetil-pbenzokuinonimin atau NAPQI. Produksi NAPQI yang terlalu besar tidak dapat dinetralisir oleh glutation (GSH). Akibatnya NAPQI akan mengoksidasi makromolekul seperti lemak dan gugus tiol. Jalur lain yang digunakan oleh sitokrom P450 adalah mengkonversi parasetamol menjadi semikuinon. Semikuinon ini dapat bereaksi dengan gugus –SH atau mereduksi oksigen menjadi O2-. Reduksi senyawa ini akan menghasilkan suatu radikal bebas lagi yang akan dapat mengoksidasi molekul fosfolipid
10 lainnya sehingga terjadi reaksi oksidasi berantai (Murugesh et al. 2005). Aktivitas ALT Kelompok Normal Rataan konsentrasi ALT kelompok normal pada hari ke 0 adalah 79.5 U/L (Gambar 8). Rataan konsentrasi ALT pada hari ke 14 adalah 79.25±21.36 U/L (cenderung stabil dan homogen). Setelah diuji, tidak terdapat perbedaan yang signifikan dan dapat dikatakan bahwa konsentrasi darah dari hari ke 0 sampai hari ke 14 cenderung stabil (p=0.46). Setelah 35 hari berikutnya rataan konsentrasi ALT kelompok normal berubah menjadi 89.5±5.92 U/L. Hal ini disebabkan karena 14 hari pertama hewan uji belum mendapat perlakuan berupa pencekokan. Pencekokan dapat menyebabkan stress pada hewan uji (Afrian 2008). Perubahan nilai konsentrasi ALT antara hari ke 35 dan hari ke 14 sebesar 12.93% tidak signifikan setelah diuji statistika pada α=5% (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi ALT selama percobaan cenderung stabil. Nilai konsentrasi ALT dalam Afrian (2008) berbeda dengan hasil yang diperoleh pada percobaan ini. Konsentrasi ALT dalam Afrian 2009 lebih rendah dibandingkan dengan hasil percobaan. Walaupun demikian, nilai yang diperoleh dari percobaan sesuai dengan nilai ALT menurut Pilichos et al. (2004). Aktivitas ALT Kelompok Parasetamol ( Negatif) Rataan kelompok negatif awal percobaan adalah 79.5 U/L. Empat belas hari setelah pencekokan rataan ALT naik menjadi 103.75±15,11 U/L. Kenaikan sebesar 30.5% pada kelompok ini memiliki perbedaan yang signifikan setelah diuji statistika (p=0.01). Hal ini menunjukkan bahwa parasetamol berpengaruh terhadap meningkatnya konsentrasi enzim ALT dalam darah. Rataan kelompok negatif di akhir percobaan menjadi sebesar 82,5±5.69 U/L. Penurunan konsentrasi ALT sebesar 20.48% ini dikarenakan penghentian pencekokan parasetamol terhadap hewan uji. Nilai rataan konsentrasi ALT di awal dan akhir percobaan tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa penghentian pemberian parasetamol terhadap hewan uji berpengaruh terhadap menurunnya konsentrasi ALT dalam darah.
Menurut Udupa et al. (2000) dalam Afrian (2008) dosis parasetamol yang digunakan pada percobaan ini merupakan dosis toksik untuk tikus percobaan. Afrian (2008) menyebutkan bahwa pada minggu pertama pemberian parasetamol konsentrasi ALT belum begitu naik, namun setelah itu konsentrasi ALT naik sampai pada minggu berikutnya. Aktivitas ALT Kelompok Temulawak (Positif) Kelompok temulawak mengalami kenaikan ALT pada dua minggu pertama pemberian parasetamol walaupun tidak nyata (p=0.51). Konsentrasi ALT mulai menurun setelah pemberian parasetamol dihentikan. Kenaikan konsentrasi ALT kelompok temulawak sangat kecil dibandingkan kelompok lainnya yaitu sebesar 5.32%. Setelah dua minggu pemberian parasetemol, walaupun tidak nyata konsentrasi ALT mengalami penurunan sebesar 2.07%. Jika diperhatikan, pada Gambar 8 terlihat seluruh kelompok memiliki nilai konsentrasi mengumpul di akhir percobaan. Demikian juga dengan kelompok temulawak. Hal ini menunjukkan konsentrasi ALT mendekati nilai yang sama dengan nilai awal. Menurut Liza (2010) temulawak terbukti secara klinis sebagai hepatoprotektor. Temulawak mengandung senyawa kurkumin yang bekerja menghambat sitokrom P450. Penelitiannya menyebutkan bahwa kurkumin dengan dosis 80 mg/Kg BB yang diberikan pada tikus mampu menurunkan aktivitas enzim hati dan produk reaktif asam tiobarbiturat. Aktivitas ALT Kelompok Undur-Undur Dosis 1,2,3 (U1, U2, U3) Gambar 8 memperlihatkan bahwa ketiga kelompok perlakuan undur-undur memiliki pola yang sama yaitu meningkat pada empat belas hari pemberian parasetamol dan menurun setelahnya. Kelompok U1 pada awal percobaan memiliki konsentrasi ALT sebesar 79.5 U/L. Setelah empat belas hari diberi parasetamol konsentrasi ALT meningkat sebesar 6.29% menjadi 84.5 U/L. Meskipun secara statistika tidak signifikan (p=0.55), namun terlihat pada grafik peningkatannya. Setelah pemberian parasetamol dihentikan, konsentrasi ALT menurun sebesar 0.89%. Penurunan yang sedikit ini diduga
11 disebabkan karena dosis undur-undur yang dipakai masih terlalu kecil sehingga tidak terlalu berefek terhadap perbaikan kondisi hati. Akibatnya penurunan konsentrasi ALT juga kecil. Kelompok U2 memiliki nilai konsentrasi yang sama dengan U1 pada awal percobaan. Setelah diberi parasetamol selama 14 hari konsentrasi ALT meningkat sebesar 45.28% menjadi 115.5 U/L. Kenaikan ini akibat dari pemberian parasetamol terhadap hewan uji. Setelah pemberian parasetamol dihentikan ALT turun 25.97% menjadi 85.5 U/L. Secara statistika perubahan nilai ALT hari 0, 14, dan 35 tidak berbeda nyata (p=0.15). Namun terlihat pada Gambar 8 kelompok U2 lah yang paling curam penurunan ALT pada hari 14 sampai 35. Dosis undur-undur yang dipakai pada kelompok U2 sama dengan dosis undur-undur yang dipakai dalam penelitian Afrian (2008). Afrian (2008) dalam skripsinya menyatakan bahwa undur-undur dengan dosis 10 mg/Kg (dosis 2) bobot badan dapat menurunkan aktivitas ALT yang mendekati kondisi normal. Kelompok U3 memiliki pola aktivitas ALT yang mirip dengan kelompok U1 dan U2 yaitu naik pada hari 0 sampai hari 14 dan menurun setelah hari 14 sampai hari 35. Hari 0 nilai ALT sama dengan nilai ALT kelompok lainnya yaitu 79.5 U/L. Aktivitas ALT naik sampai hari 14 sebesar 13.52% menjadi 90.25 U/L. Setelah hari 14 sampai hari ke-35 aktivitas ALT menurun sebesar 6.65% menjadi 84.25 U/L. Setelah diuji statistika (p=0.69) nilai kelompok U3 tidak berbeda nyata antara hari ke 0, 14, dan 35. Penurunan paling tajam terjadi pada kelompok undur-undur dosis 2. Hal ini menunjukkan dosis 2 adalah dosis yang efektif untuk menurunkan aktivitas ALT dibandingkan dosis lainnya. Kelompok negatif juga mengalami penurunan yang besar dibandingkan dengan kelompok U1 dan U3. Hal ini diduga mekanisme penyembuhan sendiri sel hepatosit lebih besar daripada mekanisme penyembuhan dengan ekstrak undur-undur dosis 1 dan 3. Kelompok normal mengalami kenaikan setelah hari ke 14. Hal ini diduga karena adanya infeksi lingkungan terhadap hewan coba. Sedangkan untuk kelompok dosis 1, 2, 3 dan kontrol positif juga mengalami penurunan ALT diduga karena adanya senyawa aktif yang dapat menghambat infeksi lingkungan.
Aktivitas enzim seluruh kelompok hari 35 nilainya mendekati normal. Hal ini mengakibatkan tidak adanya perbedaan antara kelompok satu dengan lainnya karena sel hati sudah mulai pulih kembali mendekati normal. Aktivitas enzim akan terlihat bedanya jika dilakukan pengambilan darah sebelum hari 35. Penelitian Afrian (2008) melakukan pengambilan darah pada hari ke 28 pasca pencekokan parasetamol.
Gambar 8 Aktivitas ALT selama percobaan Aktivitas AST Kelompok Normal Enzim AST diukur juga pada percobaan ini sebagai bukti penunjang kerusakan sel hepatosit. Enzim ALT saja sudah cukup untuk mengetahui kondisi sel hepatosit karena enzim ini diproduksi di hati saja. Sedangkan AST diproduksi juga di ginjal dan pankreas. Aktivitas AST di awal percobaan adalah 110 U/L. Setelah pencekokan air mineral selama 14 hari aktivitas AST meningkat 50.68% menjadi 165.75 U/L. Hal ini diduga karena hewan uji stress oleh pencekokan. Kemudian pada hari ke 35 setelah aktivitas AST turun sebesar 2.87% menjadi 161 U/L. Setelah diuji statistika terdapat perbedaan nyata antara hari ke 0 terhadap hari ke 35 dan 14 (p=0.058). Sedangkan AST hari ke 14 dan 35 tidak berbeda. Hal ini menunjukkan aktivitas AST sebelum pencekokan dan sesudah pencekokan berbeda signifikan. Pencekokan dapat mengakibatkan stress yang dapat meningkatkan kadar enzim AST (Afrian 2008). Aktivitas AST Kelompok Parasetamol (Negatif) Aktivitas AST kelompok parasetamol memiliki pola yang sama dengan kelompok normal. Namun kelompok parasetamol memiliki kenaikan yang lebih besar (213.5 U/L) daripada kelompok normal (165.75) pada hari ke 14. Kenaikan sebesar 94.90%
12 tersebut dikarenakan pemberian parasetamol terhadap hewan uji seperti yang telah diketahui bahwa parasetamol dapat meningkatkan aktivitas enzim baik AST maupun ALT. Pemberian parasetamol dihentikan setelah hari 14. Hal ini berpengaruh terhadap aktivitas AST. Terlihat pada Gambar 9 kelompok negatif mengalami penurunan aktivitas setelah hari 14 sampai hari 35 (191.75 U/L). Penurunan aktivitas AST pada hari 35 adalah 10.19 %. Penurunan ini cukup besar jika dibandingkan dengan kelompok lainnya dan setelah diuji statistika hasilnya berbeda nyata (p=0.00). Aktivitas AST Kelompok Temulawak (Positif) Aktivitas AST kelompok positif memiliki pola yang sama dengan kelompok normal dan kelompok negatif. Aktivitas AST di awal percobaan juga sama dengan kelompok normal dan negatif yaitu sebesar 110 U/L. Kenaikan aktivitas AST hari 14 kelompok positif (59.10%) tidak sebesar kelompok negatif (94.90%). Aktivitas AST setelah hari 14 mulai menurun. Hari 35 kadar AST adalah 160.75 U/L. Penurunan sebesar 8.14% ini tidak berbeda nyata dengan AST hari 14. Namun berbeda nyata dengan AST hari 0 (p=0.01). Hal ini menunjukkan pemberian temulawak tidak menurunkan AST paska pemberian parasetamol. Meskipun secara statistika tidak berbeda nyata namun terlihat pada Gambar 9 adanya penurunan AST walaupun kecil. Temulawak dapat menjadi hepatoprotektor karena mampu menurunkan aktivitas enzim hati seperti yang telah di sebutkan sebelumnya (Liza 2010). Enzim AST adalah salah satu enzim hati yang dapat diturunkan aktivitasnya oleh temulawak. Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Afrian (2008) yang menyebutkan bahwa temulawak mampu menurunkan aktivitas enzim AST hati. Aktivitas AST Kelompok Undur-Undur Dosis 1, 2, dan 3 (U1, U2, U3) Kelompok U1, U2, dan U3 memiliki nilai AST yang sama dengan kelompok lainnya pada hari 0 yaitu 110 U/L. Kelompok undur-undur juga memiliki pola yang sama dengan kelompok normal, parasetamol, dan temulawak. Grafik seluruh kelompok hewan uji naik pada hari 0 sampai hari 14 dan turun setelah hari 14 sampai hari
35. Pola grafik seperti ini pun sama dengan grafik aktivitas enzim ALT. Kelompok U1 mengalami kenaikan pada hari 14 yaitu 166.25 U/L (51.14%). Kenaikan ini cukup signifikan (p=0.05). Hal ini disebabkan oleh pemberian parasetamol dengan dosis yang cukup untuk menaikan AST (100 mg/mL). Setelah hari 14, AST menurun karena pemberian parasetamol dihentikan. Hari 35 AST turun mencapai nilai 115 U/L (30.83%). Berdasarkan uji statistika, AST hari 35 tidak berbeda dengan AST hari 0 sehingga dapat dikatakan kondisi hati hari ke 35 hampir sama dengan hari 0. Oleh karena itu dapat dikatakan dosis 1 dapat memperbaiki kondisi hati karena dapat menurunkan aktivitas AST. Kelompok U2 memiliki grafik yang polanya sama dengan kelompok U1 (Gambar 9). Hari 0 aktivitas AST kelompok U2 sama dengan kelompok lainnya yaitu 110 U/L. Aktivitas AST meningkat setelah hari 0 sampai hari 14 sebesar 184.75 U/L (67.95%). Sama seperti kelompok lainnya kenaikan ini disebabkan oleh pemberian parasetamol selama 14 hari. Kenaikan aktivitas AST kelompok U2 lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok U1 namun dibandingkan dengan kelompok parasetamol masih lebih rendah. Aktivitas AST kelompok U2 mulai menurun setelah hari 14 sampai hari 35. Penurunan tersebut sebesar 16.78% (153.75 U/L). Perubahan aktivitas AST kelompok U2 cukup signifikan (p=0.003). Hal ini menunjukkan parasetamol berpengaruh menaikkan aktivitas AST pada kelompok U2. Penurunan AST kelompok U2 (16.78%) lebih besar daripada kelompok parasetamol (10.19 %) namun masih kurang dibandingkan dengan U1(30.83%). Hal ini menunjukkan bahwa dosis 2 dapat menurunkan aktivitas AST namun masih lebih baik dosis 1. Kelompok U3 juga memiliki grafik yang polanya sama dengan kelompok lainnya. Hari 0 aktivitas AST kelompok U3 110 U/L. Setelah hari 0 sampai hari 14 aktivitas AST mengalami kenaikan sebesar 154 U/L (40%). Penurunan ini cukup signifikan secara statistika (p=0.003). Dibandingkan dengan kelompok U1 dan U2, kenaikan aktivitas AST kelompok U3 lebih rendah. Dibandingkan dengan kelompok lainnya, kelompok U3 juga memiliki kenaikan aktivitas AST yang paling rendah. Setelah hari 14 sampai hari 35 aktivitas AST menurun sebesar 129 U/L (16.23%).
13 Penurunan aktivitas AST kelompok U3 lebih besar daripada kelompok parasetamol. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak undur-undur dengan dosis 3(15 mg/Kg) lebih baik daripada pencabutan parasetamol. Penurunan aktivitas AST ini masih kecil dibandingkan dengan kelompok U2 dan U1. Dengan demikian dosis undur-undur yang digunakan kelompok 3 tidak lebih baik daripada dosis undur-undur yang digunakan kelompok U2 dan U1. Walaupun kelompok U1 yang paling bagus untuk penyembuhan sel hati namun perlu diingat bahwa indikator utama kerusakan hati adalah enzim ALT. Hasil analisis aktivitas enzim AST tidak selaras dengan enzim ALT. Berdasarkan analisis enzim AST dosis 1 paling baik untuk penyembuhan hati setelah induksi parasetamol sedangkan berdasarkan analisis enzim ALT, dosis 2 yang paling baik. Ketidak selarasan ini dapat dikarenakan oleh aktivitas AST yang terhitung tidak hanya AST yang murni dari hati tapi dapat pula dari organ tubuh lain seperti jantung, otot, ginjal, otak dan paruparu (Hayward 2007).
Gambar 9 Aktivitas AST selama percobaan Efek Ekstrak Undur-Undur terhadap Gambaran Histopatologi Hati Tabel 1 menunjukkan hasil penilaian lesi atau luka jaringan hati hewan coba di akhir perlakuan. Jaringan hati normal ditandai dengan inti hepatosit yang terlihat jelas, adanya sitoplasma di dalam membran sel, dan sel-sel hepatosit yang tersusun radial dari vena sentral. Sedangkan untuk jaringan hati yang tidak normal ditandai dengan pembangkakan sel, tidak adanya inti sel, dan jarak antar sel yang tidak rapi. Gambar histopatologi hati dapat dilihat pada Lampiran 11. Tabel 1 Hasil skoring histopatologi hati
Kelompok U1 U2 U3 Temulawak Parasetamol Normal
X 1.3 0.6 1.1 0.9 3 1
Skor lesi 2 1 2 1 3 1
Ket: X= rataan nilai pengamatan Kelompok perlakuan undur-undur yaitu U1, U2, dan U3 memiliki rataan nilai kerusakan yang berbeda. Kelompok U2 (0.6) memiliki nilai yang paling rendah diikuti dengan kelompok U3 (1.1) dan kelompok U1 (1.3). Dosis 1 diperkirakan masih terlalu rendah sehingga belum begitu memberikan efek perbaikan hati. Sedangkan dosis 3 diduga terlalu tinggi sehingga menyebabkan perbaikan sel hati menjadi menurun. Dosis 2 diduga merupakan dosis yang tepat untuk penyembuhan sel hati yang telah diinduksi parasetamol. Kelompok U2 (0.6) dengan kontrol posistif (0.9) memiliki nilai kerusakan yang hampir sama. Kerusakan hati pada kelompok dosis 2 lebih rendah daripada kontrol positif. Hal ini dapat dikarenakan adanya infeksi lingkungan. Demikian juga dengan kelompok normal (1). Kelompok dosis 2 memiliki nilai kerusakan yang lebih kecil dibandingkan kelompok normal. Diduga dalam ekstrak undur-undur terdapat zat aktif yang dapat melawan infeksi lingkungan. Kelompok normal memiliki kerusakan yang lebih tinggi karena kelompok ini tidak dicekok oleh undurundur maupun temulawak. Kelompok normal juga mengalami kerusakan hati karena infeksi lingkungan. Berdasarkan gambaran sel hati di atas, dosis 2 merupakan dosis yang paling bagus untuk memperbaiki kondisi hati dibandingkan dosis lainnya. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Ditinjau dari hasil analisis aktivitas enzim ALT, konsentrasi ekstrak undurundur sebesar 10 mg/kg BB adalah dosis yang tepat sebagai hepatoprotektor hati tikus. Ditinjau dari hasil analisis aktivitas enzim AST, konsentrasi ekstrak undurundur sebesar 5 mg/kg BB adalah dosis yang tepat sebagai hepatoprotektor hati tikus. Sedangkan ditinjau dari hasil histopatologi, konsentrasi ekstrak undur-undur sebesar 10
14 mg/kg BB adalah dosis yang tepat sebagai hepatoprotektor hati tikus. Konsentrasi ekstrak undur-undur tidak berbanding lurus dengan perbaikan sel hati. Saran Perlu diadakan penelitian yang lebih intensif untuk optimasi konsentrasi undurundur pada interval yang lebih dekat. Perlu dilakukan kajian senyawa aktif undur-undur yang mampu memperbaiki kondisisi sel atau organ. Sebaiknya pengambilan darah setelah pemberian parasetamol dihentikan dilakukan lebih awal (kurang dari 35 hari). DAFTAR PUSTAKA Afrian M. 2008. Potensi Hepatoprotektif Curcuma xanthoriza Roxb, Myrmelon sp., Propolis Trigona spp., dan Hibiscus sabdariffa L. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam , Institut Pertanian Bogor. Anonim. 2010. Mari Mengenal Organ Hati Anda. www.pinginsehat.com [27 Desember 2010] Botz et al. 2003. Effect of slope and particle size on ant locomotion: Implication for choice of substrate by sand dragons. J. Kans. Entomol. Soc. 76:426-435. Boyer
Rodney. 2002. Concepts in Biochemistry Second Edition. Singapore: Books Cole.
Brick J. 2004. Medical consequences of alcohol. www.rutgers-uni.ac.us. [27 November 2008]. Chemani. 2010. Parasetamol Obat Turun Panas dan Toksisitasnya Ditinjau dari Kimia Organik. www. worldmolecul. com.[15 Juli 2010] Chounta et al. 2003. Cholestatic liver injury after glimepiride therapy. Journal of Hepatology 42:944-946. Coles
EH. 1986. Veterinary Clinical Pathology. London: WB Saunders.
Dellman HD, Brown EM. 1992. Histologi Veteriner II. Ed ke-3. R Hartono, penerjemah. Jakarta: UI Pr.
Terjemahan dari: Text Book of Veterenary Histology. Edem DO, Akpanabiatu MI. 2006. Effect of palm oil containing diets on enzyme activities of rats. Pakistan J Nutr 5:301-305. Gan S et al. 1980. Farmakologi dan Terapi. Ed ke-2. Jakarta: UI Pr. Giannini EG, Testa R, Savarno V. 2005. Liver enzyme alterations: a guide for clinicians. Canadian Med Asso J (CMAJ) 172:1497-1503 Girindra A. 1989. Biokimia Patologi Hewan. Bogor: PAU IPB. Gonzalez FJ. 2001. The use of gene knockout mice to unravel the mechanism of toxicity and chemical carcinogenesis. Toxicology Letters 120: 199-208. Gupta M, Mazunder UK, Kumar TS, Gomathi P, Kumar RS. 2004. Antioxidant and hepatoprotective effect of Bauhinia racemosa against paracetamol and carbon tetrachloride induced liver damage in rats. Iranians J Pharmacol Therapeutics. 12-20. Guyton AC. 1983. Buku Teks Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hastuti
Tri. 2008. Aktivitas Enzim Transaminase dan gambaran Histopatologi Hati Tikus Yang Diberi Kelapa Kopyor Pasca Induksi Parasetamol. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.
Hayward. 2007. Alanine Aminotransferase and Aspartate Aminotransferase. Technical Bulletin 114. www.cholestech.com. [27 Desember 2010] Hodgson E, Levi PE. 2000. A Textbook of Modern Toxicologi. Ed ke-2. Singapore: McGraw-Hill. Ismiyatun Siti. 2006. Pengaruh Pemberian Sidaguri Terhadap Kadar Enzim AST dan ALT pada Darah Tikus Putih. [Skripsi]. Semarang: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang.
15 Junquieira LC, Carneiro J. 1995. Histologi Dasar. Adji Dharma, penerjemah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: The elements of Histology. Kaneko JJ. 1980. Clinical Biochemistry of Domestic Animals. Ed ke-3. New York: Academic Pr. Koolman J, Rohm KH. 2001. Atlas Berwarna dan Teks Biokimia. Septelia I Wanandi, penerjemah. Jakarta: Hipokrates. Terjemahan dari: Color Atlas of Biochemistry. Liang, Apsarton, Widjaja, Puspa. 1985. Beberapa aspek isolasi, identifikasi dan penggunaan komponenkomponen C. xanthoriza Roxb dan C. domestica. Prosiding Simposium Nasional Temulawak. Bandung. 101-116. Liza. 2010. Temulawak dari Uji Empirik hingga Uji Klinis. www.lizaherbal.com [27 Desember 2010] Mark DB, Allan DM., Collen MS. 2000. Biokimia Kedokteran Dasar. Jakarta: Penerbut Buku Kedokteran. Moore M. et al. 1985. The toxicity of acetaminophen and N-acetyl-pbenzoquinone imine in isolated hepatocytes is associated with thiol depletion and increased cytosolic Ca2+. J Biol Chem 260:13035-13040. Murugesh KS, Yeligar VC, Maiti BC, Maity TK. 2005. Hepatoprotective and antioxidant role of Berberis tinctoria lesch leaves on parasetamol induced hepatic damage in rats. Iranian J Pharmacol 4:64-69. Pilichos C, Perrea D, Demorakau M, Preza A, Donta I. 2004. Management of carbon tetrachloride-induced acute liver injury in rats by syngeneic hepatocyte transplantation in spleen and peritoneal cavity. World J Gastroenterol 10:2099-2112. Runnells RA. 1946. Animal Pathology. Ed ke-4. Iowa: Iowa State University Pr. Runnells RA, Monlux WS, Monlux AW. 1965. Principle of Veterinary Pathology. Ed ke-7. Iowa: Iowa State University Pr.
Santoso Heru. 2000. Petunjuk Praktikum Biokimia. Yogyakarta: UGM Pr. Sedarnawati Y, Imaizumi K, Sugano M. 1991. Effect of an Indonesian medicinal plant, Curcuma xanthoriza Roxb, on the levels of serum glucose and triglycerida, fatty acid desaturation , and bile acid excretion in streptozotocin-induced diabetic rats. J. Agric Biol Chem. 55:30053010. Sumitro SB, Widyarti S, Fatchiyah. 1994. Identifikasi protein stres dalam serum darah mencit dan tikus dalam berbagai kondisi stres. J. Universitas Brawijaya 6:88-99.Zimmerman, H.J. 1978. Hepatotoxicity. New York: appleton Century Croft. Smith
JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: UI Pr.
Wahid Mashuri. 2008. Beternak UndurUndur sebagai Obat Penyakit Dalam. www. Indosiar. com. [25 November 2010] Zimmerman H.J. 1978. Hepatotoxicity. New York: Appleton Century Croft.
1
LAMPIRAN
17 Lampiran 1 Alur penelitian Tikus putih jantan galur Sprague-Dawley berumur 5 minggu
aklimatisasi selama 2 minggu
pengelompokkan
I Kontrol normal n=4
II Kontrol positif n=4
III Kontrol negatif n =4
IV Perlakuan undur-undur (dosis = 5 mg/kg BB) n=4
V Perlakuan undur-undur (dosis = 10 mg/kg BB) n=4
VI Perlakuan undur-undur (dosis = 15 mg/mL) n=4
Pengamatan sebelum dan selama perlakuan
Hari ke-0
bobot badan
tingkah laku
Hari ke-21
pengambilan darah
Hari ke-48
pengambilan darah Nekropsi
kondisi fisik
pengukuran aktivitas AST/ALT pengukuran aktivitas AST/ALT pembuatan histopatologi hati
18 Lampiran 2 Rancangan percobaan
Kelompok percobaan
Pakan Standar + Akuades Selama 35 hari
Pakan Standar + Akuades + Parasetamol 500 mg/kg BB Selama 14 hari + Temulawak 42.86 mg/kg BB Selama 21 hari berikutnya
Pakan Standar + Akuades + Parasetamol 500 mg/kg BB Selama 14 hari + Parasetamol 500 mg/kg BB Selama 21 hari berikutnya
Standar + Akuades + Parasetamol 500 mg/kg BB Selama 14 hari + Undur undur Dosis 5 mg/kg BB Selama 21 hari berikutnya
Pakan Standar + Akuades + Parasetamol 500 mg/kg BB Selama 14 hari + Undur undur Dosis 10 mg/kg BB Selama 21 hari berikutnya
Kelompok I
Kelompok II
Kelompok III
Kelompok IV
Kelompok V
Pakan
Pakan Standar + Akuades + Parasetamol 500 mg/kg BB Selama 14 hari + Undur undur Dosis 15 mg/kg BB Selama 21 hari berikutnya Kelompok VI
19 Lampiran 3 Pengukuran aktivitas enzim ALT dan AST 2 mL darah sentrifus pada 3000 rpm selama 15 menit
pereaksi I
pereaksi II
1 mL 1 mL supernatan
4 mL
1 mL campuran pereaksi
Inkubasi pada suhu 37°C selama 15 menit
dihomogenkan
simpan dalam botol gelap tertutup pada suhu 2-8°C ukur absorban pada λ=340 nm tiap menit selama 3 menit
20 Lampiran 4 Pembuatan sediaan histopatologi
Pengambilan organ hati
Fiksasi (perendaman dalam BNF 10% selama 6-48 jam)
Dehidrasi (penghilangan air dengan etanol 70%, 80%, 96%, absolut I, absolut II masing-masing selama 2 jam)
Clearing (penghilangan etanol dengan xilol I dan xilol II @ 40 menit)
Embedding (penanaman jaringan dalam parafin)
Sectioning (pengirisan dengan mikrotom setebal 2 µm)
Mounting (penempelan jaringan kaca objek)
Staining (pewarnaan Haemotoxylin-Eosin)
Permounting (penetesan dengan permounting medium lalu ditutup dengan kaca penutup)
21 Lampiran 5 Penghitungan dosis
Dosis pemberian parasetamol Dosis yang digunakan
: 500 mg/kg BB
Pembuatan larutan stok : 1 tablet @ 500 mg dilarutkan dalam 5 mL akuades (100 mg/mL) Konversi dosis untuk tikus (ex: 200 g) 200 g x 500 mg = 100 mg ≈ 1 mL larutan 1000 g Dosis pemberian temulawak Dosis pengobatan
: 3 x 2 kapsul @ 500 mg serbuk temulawak (3 g)
Asumsi bobot badan manusia
: 70 kg
Perhitungan dosis
:
Pembuatan larutan stok : Dosis per kg BB = 3000 mg = 42,86 mg/kg BB 70 kg Konversi dosis untuk tikus (ex: 200 g) 200 g x 42,86 mg = 8,57 mg ≈ 0,0086 g ≈ 0,9 mL larutan 1000 g Dosis pemberian undur-undur darat Dosis pengobatan
: 10 mg/kg BB
Dosis larutan
:
10 mg undur-undur darat dilarutkan dalam 5 mL akuades (2 mg/mL) Artinya 2 mg undur-undur darat yang dicekok, dicekok dengan 1 mL larutan. Konversi dosis untuk tikus (ex: 200 g): 200 g x 10 mg = 2 mg = 1 mL larutan 1000 g
22 Lampiran 6 Pewarnaan Haematoxylin-Eosin Xilol I (2 menit) Xilol II (2 menit) Etanol absolut (2 menit) Etanol 90% (1 menit) Etanol 80% (1 menit) Cuci dengan air (1 menit) Pewarna Mayers-Haematoxylin (8 menit) Cuci dengan air (30 detik) LiCl (15-30 detik) Cuci dengan air (2 menit) Pewarna Eosin (2-3 menit) Cuci dengan air (30-60 detik) Etanol 95% (10 kali celupan) Xilol I (1 menit) Xilol I (2 menit) Angin-anginkan beberapa menit Cairan permounting + kaca penutup
23 Lampiran 7 Hasil analisis AST dan ALT (U/L) Perlakuan U1
Rataan U2
Hari ke-0 AST 110 110 110 110 110
ALT 79.5 79.5 79.5 79.5 79.5
Hari ke-14 AST ALT 201 175 198 91 166.25
86 92 88 72 84.5
Hari ke-35 AST 123 131 111 95 115
ALT 86 89 88 72 83.75
110 110 110 110 110
79.5 79.5 79.5 79.5 79.5
165 162 211 201 184.75
81 79 160 142 115.5
135 123 175 182 153.75
88 69 99 86 85.5
U3
110 110 110 110 110
79.5 79.5 79.5 79.5 79.5
132 142 165 177 154
75 57 117 112 90.25
132 121 125 138 129
94 83 78 82 84.25
Temulawak
110 110 110 110 110
79.5 79.5 79.5 79.5 79.5
174 144 194 188 175
86 92 75 82 83.73
152 142 217 232 160.75
88 82 76 82 82
110 110 110 110 110
79.5 79.5 79.5 79.5 79.5
213 222 196 223 213.5
110 122 89 94 103.75
178 175 213 201 191.75
85 85 86 74 82.5
110 110 110 110 110
79.5 79.5 79.5 79.5 79.5
195 188 138 142 165.75
99 96 65 57 79.25
166 222 124 132 161
86 95 94 83 89.5
Rataan
Rataan Parasetamol
Rataan Normal
Rataan
24 Lampiran 8 Uji Statistika ALT dan AST ANOVA ALT0 Sum of Squares ,000 ,000 ,000
Between Groups Within Groups Total
df 5 18 23
Mean Square ,000 ,000
F
Sig. .
.
F 1,383
Sig. ,277
F
Sig. ,774
Oneway ANOVA ALT14
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 3904,333 10165,000 14069,333
df 5 18 23
Mean Square 780,867 564,722
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets ALT14 Duncan KELOMPOK
1,00 2,00 4,00 6,00 3,00 5,00 Sig.
N
Subset for alpha = .1 4 4 4 4 4 4
1 79,2500a 83,7500a 84,5000a 90,2500a 103,7500a
2
83,7500b 84,5000b 90,2500b 103,7500b 115,5000b ,205 ,105 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. ANOVA ALT35
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 147,333 1064,500 1211,833
df 5 18 23
Mean Square 29,467 59,139
,498
25 Lampiran 8 (lanjutan) Post Hoc Tests Homogeneous Subsets
ALT35 Duncan KELOMPOK
Subset for alpha = .1
N
1 82,0000 82,5000 83,7500 84,2500 85,5000 89,5000 ,235 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. 2,00 3,00 4,00 6,00 5,00 1,00 Sig.
4 4 4 4 4 4
ANOVA NORMAL Sum of Squares 273,500 1473,750 1747,250
Between Groups Within Groups Total
df 2 9 11
Mean Square 136,750 163,750
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets NORMAL Duncan Subset for alpha = .1 HARI 14,00 ,00 35,00 Sig.
N
1 79,2500 79,5000 89,5000 ,307 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. 4 4 4
F ,835
Sig. ,465
26 Lampiran 8 (Lanjutan) ANOVA TEMULWK Sum of Squares 36,500 224,750 261,250
Between Groups Within Groups Total
df 2 9 11
Mean Square 18,250 24,972
F ,731
Sig. ,508
F 8,048
Sig. ,010
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets TEMULWK Duncan Subset for alpha = .1 HARI ,00 35,00 14,00 Sig.
N
1 4 79,5000 4 82,0000 4 83,7500 ,279 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. ANOVA PARASETM Sum of Squares 1398,167 781,750 2179,917
Between Groups Within Groups Total
df 2 9 11
Mean Square 699,083 86,861
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets PARASETM Duncan Subset for alpha = .1 HARI ,00 35,00 14,00 Sig.
N 4 4 4
1 79,5000a 82,5000a
2
103,7500b ,660 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000.
27 Lampiran 8 (Lanjutan) ANOVA U1 Sum of Squares 58,167 415,750 473,917
Between Groups Within Groups Total
df 2 9 11
Mean Square 29,083 46,194
F ,630
Sig. ,555
F 2,364
Sig. ,150
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets U1 Duncan Subset for alpha = .1 HARI ,00 35,00 14,00 Sig.
N
1 4 79,5000 4 83,7500 4 84,5000 ,346 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. ANOVA U2 Sum of Squares 2976,000 5666,000 8642,000
Between Groups Within Groups Total
df 2 9 11
Mean Square 1488,000 629,556
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets U2 Duncan Subset for alpha = .1 HARI ,00 35,00 14,00 Sig.
N 4 4 4
1 79,5000a 85,5000a ,743
2 85,5000b 115,5000b ,125
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000.
28 Lampiran 8 (Lanjutan) ANOVA U3 Sum of Squares 232,167 2667,500 2899,667
Between Groups Within Groups Total
df 2 9 11
Mean Square 116,083 296,389
F ,392
Sig. ,687
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets U3 Duncan Subset for alpha = .1 HARI ,00 35,00 14,00 Sig.
N
1 4 79,5000 4 84,2500 4 90,2500 ,420 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. ANOVA AST0
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares ,000 ,000 ,000
df 5 18 23
Mean Square ,000 ,000
F
Sig. .
.
F 1,982
Sig. ,130
ANOVA AST14
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 8664,708 15739,250 24403,958
df 5 18 23
Mean Square 1732,942 874,403
29 Lampiran 8 (lanjutan) Post Hoc Tests Homogeneous Subsets AST14 Duncan KELOMPO K 6,00 1,00 4,00 2,00 5,00 3,00 Sig.
Subset for alpha = .1 N 4 4 4 4 4 4
1 154,0000a 165,7500a 166,2500a 175,0000a 184,7500a
2
184,7500b 213,5000b ,201 ,186 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. ANOVA AST35
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 18412,708 16584,250 34996,958
df 5 18 23
Mean Square 3682,542 921,347
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets AST35 Duncan KELOMPOK 4,00 6,00 5,00 1,00 2,00 3,00 Sig.
N
Subset for alpha = .1 4 4 4 4 4 4
1 115,0000a 129,0000a 153,7500a
,103
2
3
129,0000b 153,7500b 161,0000b
,174
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000.
153,7500c 161,0000c 185,7500c 191,7500c ,120
F 3,997
Sig. ,013
30 Lampiran 8 (Lanjutan) ANOVA NORMAL Sum of Squares 7642,167 8640,750 16282,917
Between Groups Within Groups Total
df 2 9 11
Mean Square 3821,083 960,083
F 3,980
Sig. ,058
F 7,894
Sig. ,010
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets NORMAL Duncan Subset for alpha = .1 HARI ,00 35,00 14,00 Sig.
N
1 110,0000a
4 4 4
2
161,0000b 165,7500b 1,000 ,833 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. ANOVA TEMULAK Sum of Squares 13438,167 7660,750 21098,917
Between Groups Within Groups Total
df 2 9 11
Mean Square 6719,083 851,194
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets TEMULAK Duncan Subset for alpha = .1 HARI ,00 14,00 35,00 Sig.
N 4 4 4
1 110,0000a
2
175,0000b 185,7500b 1,000 ,615 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000.
31 Lampiran 8 (Lanjutan) ANOVA PARASETA Sum of Squares 23824,500 1475,750 25300,250
Between Groups Within Groups Total
df 2 9 11
Mean Square 11912,250 163,972
F 72,648
Sig. ,000
F 4,015
Sig. ,057
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets PARASETA Duncan Subset for alpha = .05 HARI ,00 35,00 14,00 Sig.
N
1 110,0000a
4 4 4
2
3
191,7500b
213,5000c 1,000 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. ANOVA U1 Sum of Squares 7754,167 8690,750 16444,917
Between Groups Within Groups Total
df 2 9 11
Mean Square 3877,083 965,639
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets U1 Duncan Subset for alpha = .1 HARI ,00 35,00 14,00 Sig.
N 4 4 4
1 110,0000a 115,0000b
2
166,2500c ,825 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000.
32 Lampiran 8 (Lanjutan) ANOVA PARASETA Sum of Squares 23824,500 1475,750 25300,250
Between Groups Within Groups Total
df 2 9 11
Mean Square 11912,250 163,972
F 72,648
Sig. ,000
F 4,015
Sig. ,057
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets PARASETA Duncan Subset for alpha = .1 HARI ,00 35,00 14,00 Sig.
N
1 110,0000a
4 4 4
2
3
191,7500b
213,5000c 1,000 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. ANOVA U1 Sum of Squares 7754,167 8690,750 16444,917
Between Groups Within Groups Total
df 2 9 11
Mean Square 3877,083 965,639
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets U1 Duncan Subset for alpha = .1 HARI ,00 35,00 14,00 Sig.
N 4 4 4
1 110,0000a 115,0000a
2
166,2500b ,825 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000.
33 Lampiran 8 (Lanjutan) ANOVA U2 Sum of Squares 11283,500 4407,500 15691,000
Between Groups Within Groups Total
df 2 9 11
Mean Square 5641,750 489,722
F 11,520
Sig. ,003
F 12,108
Sig. ,003
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets U2 Duncan Subset for alpha = .1 HARI ,00 35,00 14,00 Sig.
N 4 4 4
1 110,0000
2
3
153,7500
184,7500 1,000 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. ANOVA U3 Sum of Squares 3896,000 1448,000 5344,000
Between Groups Within Groups Total
df 2 9 11
Mean Square 1948,000 160,889
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets U3 Duncan HARI ,00 35,00 14,00 Sig.
N
Subset for alpha = .1 4 4 4
1 110,0000a
2
3
129,0000b
154,0000c 1,000 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000.
33
Lampiran 9 Bobot badan hewan coba selama adaptasi (g) Perlakuan U1
U2
U3
Positif
Negatif
Normal
Hari 1
Hari 2
Hari 3
Hari 4
Hari 5
Hari 6
Hari 7
Hari 8
Hari 9
Hari 10
Hari 11
Hari 12
Hari 13
Hari 14
230
230
230
230
230
230
240
235
240
240
250
250
240
250
230
240
240
240
250
250
235
250
250
250
260
260
270
260
235
230
230
230
230
220
235
240
240
250
250
250
250
250
220
230
230
230
230
240
240
245
240
250
250
260
250
260
190
190
200
220
200
200
200
245
200
200
200
210
220
250
210
230
240
240
240
240
240
200
250
250
250
250
260
250
230
230
230
220
240
250
240
250
250
260
250
250
250
250
200
200
200
220
210
200
210
210
210
210
220
220
220
230
190
200
200
200
200
200
220
200
210
220
230
200
210
210
200
220
210
220
210
210
210
220
200
220
220
230
230
230
200
200
210
200
220
220
220
225
230
230
230
230
230
230
210
200
210
200
220
230
230
240
250
230
240
240
250
250
210
210
200
210
220
210
210
220
220
220
220
220
230
240
200
205
230
210
210
210
210
210
220
210
210
220
220
245
200
200
200
210
210
220
220
235
220
230
225
235
220
240
250
250
240
250
245
260
260
240
250
250
260
250
260
260
230
230
230
230
240
250
240
240
240
230
230
250
240
235
200
200
200
210
240
240
240
250
250
270
260
260
270
265
200
190
190
210
200
200
200
200
200
200
200
200
200
210
200
230
230
240
230
220
230
240
240
240
250
240
250
250
240
250
250
250
250
240
230
250
255
260
260
250
260
240
200
220
220
220
200
210
230
230
220
230
230
230
230
230
190 210
190 190
190 200
190 200
200 210
200 210
210 210
200 210
200 215
210 210
200 220
200 230
210 220
220 250
34
Lampiran 10 Bobot badan hewan coba selama perlakuan (g) Perlakuan U1
U2
U3
Positif
Negatif
Normal
hari 1
hari 2
hari 3
hari 4
hari 5
hari 6
hari 7
hari 8
hari 9
hari 10
hari 11
hari 12
240 235 235 240 245 200 250 210 220 210 220 230 200 230 200 240 240 240 200 230 250 220 190 200
235 250 240 245 250 250 250 230 210 200 230 250 220 220 220 250 240 250 200 240 250 230 200 210
240 250 250 250 220 260 250 220 230 220 230 240 220 220 235 250 250 260 200 240 260 230 210 210
230 230 235 220 220 240 220 220 220 220 230 230 220 210 235 240 250 240 200 220 230 230 210 210
230 250 220 240 200 240 240 210 200 210 220 220 220 210 210 245 240 240 200 230 250 220 190 200
250 260 250 260 200 250 260 210 210 230 230 250 220 210 225 260 240 250 200 240 260 230 200 220
250 260 250 250 210 250 250 220 210 230 230 250 230 220 220 260 240 270 200 250 260 230 210 220
240 270 250 250 200 250 250 220 200 220 225 240 240 245 240 260 235 265 210 250 255 220 200 215
235 250 250 240 200 240 250 200 200 210 220 230 220 220 210 250 230 270 200 240 250 200 200 210
240 250 240 240 200 250 250 210 200 230 230 240 220 210 230 250 230 260 200 250 250 230 200 230
230 250 230 230 200 240 230 200 190 200 200 210 210 210 220 260 230 210 210 240 250 220 190 190
230 240 230 230 200 240 240 210 200 210 210 210 210 210 210 250 230 200 200 200 240 210 200 210
35
Lampiran 10 (lanjutan) Perlakuan U1
U2
U3
Positif
Negatif
Normal
hari 13
hari 14
hari 15
hari 16
hari 17
hari 18
hari 19
hari 20
hari 21
hari 22
hari 23
hari 24
230 240 230 230 190 230 230 200 200 220 200 200 210 200 200 250 230 200 190 230 240 200 190 210
230 240 230 230 190 210 230 200 200 220 200 200 210 205 200 250 230 200 190 230 240 230 220 250
240 250 240 240 240 200 240 200 200 220 220 220 220 210 210 260 200 250 210 240 250 220 200 220
240 250 230 240 240 210 235 200 205 200 220 220 220 210 210 260 230 240 210 240 245 220 200 220
230 250 230 240 240 210 235 200 205 200 220 225 210 210 210 265 230 240 215 240 245 220 200 220
235 240 230 240 240 210 235 200 205 200 220 225 210 210 210 260 230 240 220 240 240 220 200 220
235 240 225 230 240 210 240 200 215 200 210 225 210 210 210 260 230 220 220 240 230 220 205 200
230 230 230 230 250 200 240 200 200 230 210 220 220 220 210 260 240 200 200 250 250 240 230 240
235 235 240 230 250 200 240 200 200 230 210 220 220 220 210 250 240 200 200 230 250 240 220 240
250 270 250 250 270 220 250 200 210 250 220 240 230 210 200 260 240 200 210 200 260 240 200 240
250 270 250 250 260 220 260 210 230 250 240 250 220 210 220 280 250 200 220 260 260 250 200 230
250 260 240 240 255 220 255 200 250 230 240 240 240 230 220 260 220 200 220 255 250 255 210 260
36
Lampiran 10 (lanjutan) Perlakuan U1
U2
U3
Positif
Negatif
Normal
hari 25
hari 26
hari 27
hari 28
hari 29
hari 30
hari 31
hari 32
hari 33
hari 34
hari 35
230 260 240 250 270 220 250 200 260 240 240 250 220 220 220 260 230 200 210 250 230 250 220 270
240 260 270 240 270 240 270 210 260 220 250 250 250 240 240 270 240 210 240 270 250 260 220 250
220 250 240 250 275 250 260 200 255 240 240 250 250 240 240 270 240 200 230 260 250 260 220 260
260 280 250 260 290 240 250 210 260 240 240 255 250 240 250 270 240 210 240 270 250 270 220 270
270 290 250 260 300 250 270 210 270 240 250 250 250 240 250 280 240 215 230 275 240 255 220 270
260 260 250 260 280 250 280 220 290 250 260 275 270 250 250 290 250 230 250 290 260 290 220 280
250 300 250 250 285 240 280 220 270 250 250 250 270 250 250 290 240 210 240 230 250 270 230 260
270 295 260 280 300 250 280 210 290 250 270 280 290 260 250 300 240 200 250 290 250 270 230 230
300 305 270 280 310 250 290 230 280 250 260 290 290 260 240 290 240 210 250 300 260 280 230 280
300 300 270 290 320 280 300 265 300 265 260 260 300 285 300 260 250 230 260 310 290 300 250 290
320 330 290 300 340 270 280 230 290 250 260 260 300 280 270 300 260 240 260 310 260 290 240 300
37
Lampiran 11 Histopatologi hati
VS VS
(a)
(b)
VS
VS
(c)
(d)
VS
(e)
VS
(f)
Keterangan: (a) normal, (b)kontrol positif , (c)dosis 1, (d)dosis 2, (e)dosis 3, (f)negativ ( VS: vena sentral, anak panah: nekrosis, panah bulat: odema) (Pewarnaan HE, perbesaran obyektif 10x).
38
Lampiran 12 Skoring lesion sel hati Sampel
Rataan Nilai pengamatan
Normal 1 Normal 2 Normal 3 Normal 4 U1.1 U1.2 U1.3 U2.1 U2.2 U2.3 U3.1 U3.2 U3.3 Parasetamol1 Parasetamol2 Parasetamol3 Temulawak1 Temulawak2 Temulawak3 Temulawak4
0.7 0.9 0.9 0.8
1.3 1.5 1.6 0.7 0.6 0.7 1.0 1.4 0.9 2 1.6 1.4 1 1 1 0.9