UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahirabil’alamin. Puja dan puji syukur diucapkan pada Allah subhanwata’alla Tuhan Yang Mahakuasa, Berkat rahmat dan karunianya yang telah diberikanNya hamba hingga disertasi ini terwujud. Disertasi ini berjudul: Estetika Upacara Tabut Pada Masyarakat Pesisir Barat Sumatera. Disertasi ini merupakan salah satu persyaratan terakhir untuk memperoleh gelar doktor di Program Pascasarjana, Universitas Udayana Denpasar, program studi Kajian Budaya. Penuh kesadaran bahwa semua ini dapat dilakukan berkat kerja keras tanpa mengenal lelah, dengan segala pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, didukung rasa tanggung jawab moral yang tinggi sebagai penerima Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) sehingga dapat memicu semangat studi. Di balik semua kelancaran proses tersebut, tentu tidak dapat diabaikan bantuan dari berbagai pihak. Terwujudnya penelitian atas bantuan yang diberikan kepada peneliti, dan melalui kesempatan ini disampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada yang terhormat Prof. Dr. AA. Bagus Wirawan, SU., yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan sejak studi di Pascasarjana Universitas Udayana. Beliau adalah pembimbing akademik dan sekaligus sebagai promotor. Dengan demikian, beliau mengetahui dan memahami betul keberadaan penulis sehingga tanpa ada rasa keraguan dalam membimbing dan mengarahkan penulis, sejak awal sampai masa akhir studi dengan penuh kesabaran. Prof. Dr. Ir. Sulistyawati, M.S., M.M., M.Mis., D.Th., sebagai kopromotor I ibunda sungguh sabar mengadapi penulis yang selalu banyak kesalahannya, tentu kesalahan itu
ii
merupakan salah satu usaha untuk menyelesaikan tulisan ini. Dr. Putu Sukardja, M.Si., selalu mengingatkan penulis agar tetap konsentrasi sepenuhnya dalam penyelesaian disertasi ini. Sungguh bijak beliau mengadapi “multicultural”, sungguh beliau orang tua terbaik di sini, semoga ilmunya lebih bermanfaat untuk penulis dan lagi untuk Kajian budaya ke depannya, amin. Terima kasih atas segala petunjuk dan arahannya, bersama ini pula disampaikan salam hormat kepada Prof. Dr. I Made Suastika, S.U., Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardharia, M.A., Prof. Dr. Anak Agung Ngurah Anom Kumbara, M.A., Prof. Dr. I Gde Semadi Astra., Prof. Dr. Aron Meko Mbete., Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A., Prof. Dr. Emiliana Mariah, M.S., Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U., Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A., Prof. Dr. Ir. Sulistyawati, M.S., M.M., M.Mis., D.Th., Prof. Dr. I Dewa Komang Tantra, M.Sc., Ph.D.; Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S., Prof. Dr. I Ketut Nehen, S.E, M.Ec., Prof. Dr. I Made Sukarsa, S.E., M.S., Dr. Putu Sukardja, M.Si., Dr. I Gusti Ketut Gde Arsana, M.SL, Dr. I Gde Mudana, M.Si, dan Dr. Ni Made Wiasti, M.Hum. Prof. Dr. Darma Putra, M.A. Selanjutnya ucapan terima kasih juga disampaikan dengan hormat kepada Rektor Universitas Andalas Padang. Prof. Dr. H. Werry Darta Taifur, SE., MA., Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD.KEMD., yang telah memberikan rekomendasi izin penelitian; Direktur Pascasarjana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) yang banyak memberi tuntunan selama studi; Asisten Direktur I, Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A. atas berbagai arahan akedemik dan fasilitas perkuliahan yang disediakan; Asisten Direktur II, Prof. Made Sudiana
vii
Mahendra, Ph.D., yang banyak membantu dalam pengurusan beasiswa dan berbagai fasilitas lainnya; Ketua Program Studi Kajian Budaya, Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U, dan Sektretaris Program Studi Kajian Budaya, Dr. Putu Sukardja, M.Si. yang selalu menanyakan perkembangan studi. Demikian pula kepada para karyawan/wati Program Studi Kajian Budaya, yaitu Bapak I Wayan Sukariawan, S.T., Dra. Ni Luh Witari, Ni Wayan Ariyati, S.E., I Ketut Budiarsa, dan A.A. Ayu Indrawati, atas segala pelayanan yang diberikan, baik berkenan dengan administmsi akademik maupun administrasi keuangan selama studi; rekanrekan angkatan tahun 2010/2011, yang selalu mengingatkan untuk lebih konsentrasi menyelesaikan studi. Terima kasih juga pada kepada Dekan Fakultas Ilmu Budaya Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan, M.A. rekan, rakan staf pengajar; Dr. Sawirman, M.Hum. Prof. Dr. Oktavianus, M.Hum., Dr. Nofriyasman, M.Hum., Dr. Lindawati, M.Hum., Dr. Pramono, M.Si., Dr. Silvia Roza, M.Hum., Bahren, SS.,M.A., Yeri Satria, SS. M.A., Herry Nurhidayat, S.S., M.Hum, dan lainnya rekan-rekan di Jurusan Sastra Daerah Minangkabau. Terima kasih juga pada; Iwan Las, Imet Las, Isrok, Dedi Gusman, Dedi Balimbing, Novia Ciluba, Rumzen Pratama, dan lainnya yang telah membantu penulis bermalam-malam kelapangan untuk mengumpulkan data tentang tabut pariaman dan tabut di Provinsi Bengkulu. Para informan; penjaga objek bersejarah Benteng Malborough Bengkulu, dan yang lainnya atas segala perhatian. bantuan, dan dorongannya selama waktu penelitian.
viii
Tidak kalah pentingnva ucapan terima kasih dan rasa cinta kasih yang mendalam dan pengertiannya; anak-anak Mulia Chandri Aniskha, Atma Aji Aniskha, Abrar Qaira Aniskha, dan Al Falah Shah Alam Aniskha) secara teknis telah banyak membantu proses kelancaran penulisan disertasi ini. Akhir kata, atas segala perhatian, motivasi, dan bantuan yang diberikan semua pihak, penulis hanya dapat membalasnya dengan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya. Di samping itu sekaligus menyampaikan permohonan maaf atas segala kekurangan dan kesalahan yang diperbuat, baik sengaja maupun tidak disengaja. Semoga Allah selalu memberikan perlindungan berbagai kesulitan yang dialami dapat diatasi dengan tenang dan bahagia. Amin, Alhamdulillahhirabil’alamin……….
ix
ABSTRAK Upacara tabut sangat layak untuk dikaji dalam konteks kajian budaya dan masyarakat pendukungnya. Hal ini disebabkan bahwa upacara tabut sebagai identitas budaya, perekat nilai budaya dan makna budaya oleh masyarakat di Pesisir Barat Sumatera. Pembahasan upacara tabut sebagai cerminan estetika budaya masyarakat Pesisir Barat Sumatera, berkaitan dengan, arena budaya Islam Syi’ah di Pantai Barat Sumatera dan Indonesia umumnya. Permasalahan penelitian ini adalah; (1) Bagaimana bentuk estetika upacara tabut sebagai identitas dan sekaligus sebagai perekat nilai budaya, (2) Bagaimana fungsi estetika upacara tabut sebagai identitas lokal, (3) Bagaimanakah kelompok masyarakat Pesisir Barat Sumatera memaknai upacara tabut yang dilaksanakan sekali dalam setiap tahun Hijiriah. Tujuan penelitian ini adalah membahas nilai-nilai upacara tabut dari aspek; (1) identitas masyarakat dan sekaligus sebagai perekat nilai budaya masyarakat Pesisir Barat Sumatera. (2) mengaplikasikan fungsi estetika etnis. (3) menjelaskan makna estetis dan kaitannya dengan agama dan adat istiadat. Penelitian dilaksanakan dengan mempergunakan metode kualitatif sesuai dengan kaidah penelitian ilmiah dan paradigm kajian budaya. Untuk pemecahan permasalahan digunakan tiga teori besar, yaitu teori genealogi, teori dekonstruksi dan teori postkolonial. Ketiga teori tersebut dipergunakan secara eklektis untuk membahas subtansi pokok bahasan. Bahasan terhadap penelitian upacara tabut di Pesisir Barat Sumatera terdiri atas; (a) upacara tabut sebagai bentuk cerminan estetika budaya masyarakat Pesisir Barat Sumatera, (b) Fungsi upacara tabut oleh masyarakat Pesisir Barat Sumatera, sebagai pembersihan jiwa, religiusitas, pengalaman mistis dan estetis, ideologi, hegemoni melebihi patronase postkolonial, hingga upacara tabut berfungsi sebagai pensucian dan pernyataan estetis kosmologi masyarakat pendukung upacara tabut; dan (c) Makna dekonstruksi dan genealogi estetika upacara tabut di Pesisir Barat Sumatera. Kata kunci : Upacara Tabut, Pesisir Barat Sumatera, Genealogi, Dekonstruksi, Postkolonial dan Estetika. x
ABSTRACT It is highly reasonable to explore the Tabut ritual from the perspective of cultural studies. The reason is that such a ritual functions as a cultural identity of the people living in the West Coastal area of Sumatra. In addition, it also tightens their cultural value and meaning. The discussion on such a ritual reflects their cultural aesthetics, as it is concerned with the arena of the Syi’ah Islamic culture. The problems of the present study are formulated as follows. (1) What is the aesthetic form of the Tabut ritual, which functions as a cultural identity and tightens the cultural value, like; (2) what is the aesthetical function of the Tabut ritual used as a local identity; (3) how the people living in the West Coastal area of Sumatera defines the Tabut ritual which is performed once a year, namely, every Hijiriah year. This present study was intended to discuss the values of the Tabut ritual from the aspect of, (1) the society’s identity, which, at the same time, tightens the cultural values of those living in the West Coastal area of Sumatera; (2) apply the ethnical aesthetical function; (3) explain the aesthetical meaning of the performance of such a ritual to the people’s lives in the West Coastal area of Sumatera, and its connection with their religion, customs and traditions. The present study was conducted using the qualitative method as the scientific norm in the paradigm of cultural studies. Three great theories were used to answer the problems of the study. They are the theory of genealogy, the theory of deconstruction, and the postcolonial theory. They were eclectically used to discuss the substance of the topic of discussion. The discussion is made up of (a) the Tabut ritual which reflects the cultural aesthetics of the people living in the Western Coastal area of Sumatera; (b) such a ritual functions to purify and aesthetically state the cosmology of those who support it; it also gives mystical and ideological experience, and hegemony which exceeds the postcolonial patronage; and (c) the deconstruction and aesthetical genealogical meaning of such a ritual in the West Coastal area of Sumatera.
Keywords: Tabut Ritual, Coastal Area of West Sumatera, Genealogy, Aesthetics xi
RINGKASAN Upacara tabut sebagai kristalisasi budaya kaum Syi’ah dilaksanakan di Pesisir Barat Sumatera dengan tujuan mengenang sahidnya Imam Husein Bin Ali Abi Thalib yang ditawan oleh tentara Yazid Bin Muawiyah di Padang Karbala. Upacara ini dilaksanakan sekali dalam satu tahun, setiap tanggal 1 sampai dengan 10 Muharam dihitung berdasarkan tahun Hijiriah sesuai dengan perhitungan kalender Islam. Upacara tabut merupakan cerminan budaya masyarakat Pesisir Barat Sumatera. Keberadaan upacara ini diakui dan dilindungi oleh adat Minangkabau. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif sebagai bagian penting dalam pengembangan ilmu. Tanpa penelitian maka pengembangan ilmu pengetahuan mengalami
stagnasi.
Rasionalitas
metode
penelitian
dan
kebebasan
mengembangkan dan mengarahkan ilmu ke pengembangan paradigma baru adalah kritisi genealogi. Kritisi genealogi menjelajah sebagai mengendalikan masyarakat secara teknis dengan menggunakan prinsip, sistem pembuktian, model logika, dan cara tertentu dalam berpikir rasionalistik. Keadiran genealogi tetap mengakui rasionalitas dan memberikan kebebasan untuk menempuh jalan kritis-kreatif divergensif dalam mencari kebenaran. Begitu juga teori dekonstruksi telah melahirkan sebuah pandangan baru dalam melihat berbagai macam aspek kehidupan, terutama kajian pada bidang ilmu pengetahuan, yaitu dalam kajian ilmu pengetauan teknologi dan seni (IPTEKS). Perpanjangan tangan dari aspek kritisnya adalah dekonstruksi untuk mempertanyakan kembali penulisan sejarah bangsa-bangsa terjajah yang selama ini selalu berada di bawah bayang-bayang pencitraan timur. Rumusan masalah penelitian ini adalah (1) bagaimanakah bentuk estetika upacara tabut sebagai identitas dan sekaligus perekat nilai budaya masyarakat Pesisir Barat Sumatera, (2) bagaimanakah fungsi estetika upacara tabut sebagai identitas lokal di Pesisir Barat Sumatera, dan (3) bagaimanakah makna upacara tabut sebagai estetika budaya masyarakat Pesisir Barat Sumatera.
xii
Beberapa tujuan umum penelitian, yaitu (1) membuka pemahaman terhadap bentuk estetika budaya indentitas dan sekaligus sebagai perakat nilai budaya pada masyarakat Pesisir Barat Sumatera, (2) mengkaji fungsi estetika budaya masyarakat Pesisir Barat Sumatera, dan (3) sebagai pengejawantahan kajian budaya dan seni selama ini belum dipertimbangkan sebagai teritori estetika lokal yang majemuk dan kearifan budaya yang pluralistik dalam dunia akademik. Selama ini belum menjadi bahan kajian dalam bidang seni pertunjukan di Indonesia. Manfaat penelitian secara teoreitis yaitu (1) menghasilkan karya ilmiah yang bermanfaat bagi keilmuan, kebijakan, dan kebudayaan, terutama pada persoalan yang subtansial, yakni bentuk, fungsi, dan makna dalam realitas kehidupan manusia, (2) secara teoretis penelitian ini dapat memberikan kontribusi perbendaharaan tulisan ilmiah bagi dunia akademik di bidang budaya, dan (3) selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat dijadikan alternatif untuk penelitian lebih lanjut tentang upacara tabut di Pesisir barat Sumatera, khususnya Bengkulu dan Sumatera Barat. Adapun manfaat praktis hasil penelitian ini adalah (1) penemuan penelitian dapat dimanfaatkan sebagai sumbangan pemikiran dan sebagai pedoman bagi penentu kebijakan, terutama sekali berkaitan dengan kajian postkolonial, (2) penelitian akan bermanfaat sebagai alat kontrol terhadap tindakan praktis tatanan global tanpa harus kehilangan jati diri dari akar tradisi tentu saja mendahulukan kepentingan masyarakat yang termaginalkan, (3) untuk dapat menggugah kepedulian peneliti, pengamat seni, dan budaya. Kepedulian tersebut akan menumbuhkan kesadaran yang memotivasi perjuangan untuk kemajuan budaya. Medote yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Posisi data dalam teknik penelitian ini adalah data berada pada realitas dan tidak mengeliminasi dan mendikotomi data menurut klasifikasinya. Data-data tersebut dapat bersumber dari mana saja, seperti realitas data lapangan, realitas penelitian lapangan terdahulu, realitas pemberitaan, realitas teknologi maju berupa internet, email, media cetak, media elektronik televisi, dan radio, faximili, buku-buku tercetak, dan realitas lainnya. Semua hal tersebut dalam penelitian dianggap sebagai
xiii
data karena data tersebut hadir bersamaan dengan realitasnya, bahkan melebihi realitasnya (hiperealitas). Lokasi penelitian ini terletak di Pantai Barat Sumatera tepatnya Provinsi Bengkulu dan Provinsi Sumatera Barat daerah Pariaman dengan objek penelitian adalah upacara tabut. Alasan pemilihan lokasi penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, sekarang Pariaman dan Bengkulu merupakan satu-satunya tempat pelaksanaan upacara tabut di daerah Pantai Barat Sumatera. Kedua, Pariaman dan Bengkulu sama-sama daerah Pantai Barat Sumatera kebanyakan penganut Islam Syi’ah yang dibawa dari Iran kemudian disiarkan oleh Sultan Alauddin Shah pada tahun 1128-1329 dari Kerajaan Perlak Aceh. Fokus kajian ini adalah genealogi upacara tabut, dan estetika budaya masyarakat Pesisir Barat Sumatera. Pembahasan penelitian ini menggunakan tiga teori, yaitu teori genealogi Michel Foulcault, teori dekonstruksi postmodernisme Jacques Derrida dan teori postkolonial. Di samping itu, penelitian ini bersifat kualitatif, dilakukan dengan paradigma baru ilmu pengetahuan, yakni cultural studies. Artinya, penelitian ini hanya menjelaskan upacara tabut dalam “estetika telanjang” tentang ontologi yang sesesungguhnya, konservatif, positivistik, formalis, tetapi juga berbentuk penelitian yang dikemas—secara epistemologis— ke dalam bentuk wacana estetika postmodernisme. Disadari bahwa kajian tentang wacana dan teks merupakan lahan penelitian linguistik, tetapi dalam hal ini dikembangkan untuk menjelaskan peristiwa budaya dan kesenian. Dengan demikian, metode dekonstruksi wacana estetika postmodernisme dalam fenomen kehadiran upacara tabut dapat disejajarkan dengan konstruksi teks-teks. Bentuk pembahasan upacara tabut sebagai cerminan estetika budaya masyarakat Pesisir Barat Sumatera berkaitan dengan arena budaya Arab di Indonesia. Jenis arena budaya Arab di Indonesia tabut dari Iran—takziah, hajleh, syiduneh, dugdageh, bagunan enam sudut, tabut Sungai Al-Qamah dan Sungai Eurat, nakhl, dan arak-arakannya. Bentuk pelaksanaan upacara tabut dimulai dari upacara mengambil tanah sampai upacara tabut dibuang ke laut. Di pihak lain organologi alat musik dan musik pengiring terdiri atas enam gandang tambua yang berposisi sebagai peningkah dan pengiring dan tassa sebagai pembawa irama lagu.
xiv
Bentuk lagu pada musik iringan tabut terdiri atas pangka lagu, lagu atau maatam, kemudian ikua lagu. Pemain musik dan pendukung upacara tabut terdiri atas beberapa kelompok atau golongan masyarakat. Adapun golongan-golongan sosial tersebut adalah golongan Sidi, golongan Bagindo, golongan Sutan, dan golongan Marah. Semua golongan sosial itu salaing ada keterkaitannya, baik dalam kesetiaan maupun kepatuhan pada pemimpinnya. Selain itu, juga rasa memiliki leluhur yang sama. Keberadaan golongan-golongan sosial di Pesisir Barat Sumatera tidak bertentangan dengan semua agama yang pernah ada sebelumnya. Bahkan, golongan-golongan sosial tersebut merupakan bagian dari adat istiadat dan agama dalam masyarakat Pesisir Barat Sumatera dan dapat menerima pelaksanaan upacara tabut secara bersamaan sesuai dengan ajaran ahlulbait dan keturanannya. Kajian postmodernisme tentang genealogi dan dekonstruksionisme sebagai suatu kerangka referensi mungkin pada saatnya nanti dapat diterima sebagai pembongkar cultural studies atas study of cultural dan mempresentasikan keragaman
konseptual
dan
perubahan.
Genealogi,
poststruktural,
dan
postmodernisme merupakan hal yang penting dalam membangun area perdebatan intelektual yang dinamis dan penuh semangat, menciptakan isu dan iklim intelektual yang mencirikan gerakan modernisme ke postmodernisme dalam dunia kontemporer. Adapun konstruksi fungsi upacara tabut di Pesisir Barat Sumatera tersebut terdiri atas, (1) fungsi religius masyarakat pendukung upacara tabut, berkaitan dengan ekstasi dan pembersihan jiwa; pengalan mistis dan dorongan estetika, kehadiran mitos dan penyatuan ambivalensi, serta pensucian dan pernyataan estetis kosmologi masyarakat. (2) fungsi ideologi, diuraikan dengan mengaitkan dengan pengembangan ideologi. (3) fungsi upacara tabut sebagai pernyataan identitas, kajiannya berkaitan dengan demokrasi menuju musyawarah dan mufakat; dan komodifikasi, autensitas dan status tradisi; (4) fungsi humanistik; pengokohan sistem sosial dan penundaan propaganda, dan (5) fungsi identifikasi peristiwa dan pernyataan estetika postmodernisme; hegemoni, patronase estetika postkolonial dan penyadaran menuju estetika etnis (etnoestetika).
xv
Adapun makna konstuksi teks-teks wacana tabut tersebut terdiri atas, (1) makna pengembangan identitas agama
pendukung upacara tabut; penguatan
solidaritas antar pendukung upacara tabut; politik identitas sebagai perjuangan subaltern; (2) makna ideologi dan penegasan estetika budaya; differãnce, signification, logosentrisme: kritik terhadap pusat dan dekonstruksi suatu penyelesaian; (3) makna sakralitas dan penegasan estetika budaya; (4) etika merantau, instropeksi diri, membangun kampung halaman; dan (5) Syekh Burbuhanuddin sebuah dekonstrukti. (7) menbingkai estetika budaya masyarakat Pesisir Barat Sumatera. Titik pokok teori genealogi dan dekonstruksi dalam kajian budaya adalah eksistensi kesadaran estetika budaya masyarakat pada kajian bentuk, fungsi, dan makna. Dekonstruksi wacana estetika upacara tabut di Pesisir Barat Sumatera dapat di-follow up kehadirannya sebagai kontribusi refleksi bentuk di bawah ini. Begitu juga kepercayaan tentang harapan dari gejala yang mengindikasikan peran penting kepercayaan dalam hidup manusia, serta melibatkan kepercayaan seperti mitos, iman, bahkan ilmu pengetahuan menunjukkan ‘kemujaraban’ tentang kepercayaan, menjelma menjadi kenyataan, dan ide menjelma menjadi fakta. Penjelasan tentang hubungan antara kepercayaan dan kenyataan memunculkan pemikiran tentang ideologi sehingga kepercayaan dipoles sedemikian rupa, citra ideal dikemas seperti fakta dan dipahami sebagai realitas konkret, masyarakat disakiti dengan ideologi dusta, tipuan yang tidak pernah diberikan pencerahan tentang makna budaya. Dengan demikian, kehadiran dekonstruksi wacana estetika postmodernisme pada upacara tabut membangkitkan spiritualitas, kepercayaan untuk hidup, bukan untuk dimain-mainkan, terpuruk dalam eforia modernitas yang lebih mengutamakan kepentingan logosentrisme. Sebagai temuan baru, menyangkut masalah pada penelitian ini, yaitu bentuk, faktor-faktor fungsi upacara tabut itu sendiri, serta dampak dan makna pendukung upacara tabut dalam pluralitas adat, agama, dan keyakinan di masyarakat Pesisir Barat Sumatera. Tentu saja hal itu tidak tercakup oleh seluruh epistemologi (terutama konsep dan teori) yang digunakan dalam penelitian ini. Semua temuan disusun berdasarkan kronologis, fenomena penelitian yang
xvi
ditemukan sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dalam bidang kajian budaya. Adapun temuan-temuan tersebut, yaitu; (1) upacara tabut di Pesisir Barat Sumatera Barat mulanya memang merupakan sebuah bentuk upacara keagamaan, yaitu agama Islam Syi’ah, (2) pelaksanaan upacara tabut tidak saja mengenang sahidnya Imam Hussein bin Ali Abi Thalib AS yang dibantai oleh pasukan tentara Yazid bin Muawwiyyah sebagai khalifah Bani Umayyah di Padang Karbala pada 10 Muharam tahun 61 H (680 M), Irak sekarang. Akan tetapi, jauh dari itu, upacara tabut merupakan pengejawantahan oleh pengikutnya, yaitu masyarakat Pesisir Barat Sumatera untuk mengagungkan keturunan Khalifah Ali Bin Abi Yhalib. Paham ini dilaksanakan setelah Nabi Muhammad SAW wafat, (3) secara genealogi upacara tabut yang ada di Bengkulu mulai pada abad ke-18 Mesehi, pembawa upacara tabut Bengkulu Syekh Burhanuddin Imam Sanggolo sebagai adalah salah seorang pekerja Benteng Malborough tahun 1718-1719 Mesehi menganut dan mengajarkan agama Islam Syi’ah di Bengkulu, (4) sedang di Pariaman upacara tabut tidak dibawa dan dikembangan oleh Syekh Burhanuddin Ulakkan, tetapi beliau aktif mengembangkan Tasauf hingga wafatnya bermakam di Ulakkan Pariaman yang selalu diziarahi setiap bulan Syafar, yang dikenal dengan sebutan “basyafa” (bersyafar). Intinya upacara tabut tidak ada hubungan dengan siar Islam oleh Syekh Burhanuddin di Pesisir Barat Sumatera; (6) upacara tabut di Pariaman belum ada semenjak abad kedatangan orang-orang Islam ke Pesisir Barat Sumatera Barat, yaitu pada tahun 670-730 Masehi. Aliran yang dibawa adalah Islam Suni, bukan Islam Syi’ah. Tujuan kedatangannya adalah berniaga dengan anak Nagari. Persentuhan dari agama Islam Suni dengan agama Anak Nagari di Pesisir Barat Sumatera Barat ternyata terarah kepada pengajian tarikat? dan penyesuaian dengan adat istiadat Minangkabau. Kedatangan Islam Suni di Pesisir Barat Sumatera Barat tidak mengancam landasan utama masyarakat. Intinya adalah memberikan dimensi baru sebagai pengganti unsur budaya masyarakat Pesisir Barat Sumatera Barat khususnya Pariaman. Oleh karena itu, Al-Qur’an dan hadis menempati tempat yang tertinggi dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini dinyatakan sumber adat Minangkabau tertua adalah Adaik basandi Syarak Basandikan Kitabullah. dikatakan demikian karena dalam
xvii
pengertian selanjutnya tidak ada paradoks dan pola kelakuan antara adat dan agama. Selain itu, juga tidak ada perbedaan dengan adat nan sabana ada. Selanjutnya pada abad X masuk agama Islam Syi’ah yang dibawa oleh keturunan Imam Ali bin Abu Thalib. Agama ini langsung dapat bersatu dengan keseluruhan agama yang ada sebelumnya. Akibat adanya penyesuaian antara adat dan semua agama tersebut, maka muncullah golongan sosial di Pesisir Barat Sumatera.
GLOSARIUM ajo
:
panggilan kepada kakak laki-laki di Pariaman
xviii
agama anak nagari ahlulbait “airi”
:
anak nagari
:
angku
:
anak gadih anak surau banalitas
: : :
barabab
:
baindang
:
badunia
:
balango
:
basafa
:
bagindo balua bareh kuniang
: : :
barantam
:
barrel drum
:
: :
agama masyarakat Minangkabau sebelum masuknya agama Islam, Hindu, Budha, dan Kristen. keluarga Nabi Muhammad saw dari istri Fatimah. supaya mendapat keturunan dari golongan yang lebih tinggi dari pada golongannya. kelompok masyarakat yang masih remaja pada suatu daerah atau nagari dan keberadaannya sebagai pendukung kesenian pada daerah atau nagari tersebut. panggilan kehormatan kepada golongan bagindo yang telah tua. sama dengan gadis atau perawan. sama dengan santri. keadaan sesuatu yang sangat biasa, kurang bernilai, atau remeh-temeh. kesenian anak nagari Minangkabau perpaduan antara musik rabab dan dendang pemain. kesenian yang terdapat di Pariaman, jumlah pemainnya tetap ganjil - 15, 13, 11--- sesuai kehendak pemain itu sendiri. cara memainkannya seluruh pemain duduk di lantai dengan membentuk suatu barisan dan tiap - tiap pemain memegang rafa’i (sejenis rabana yang berukuran kecil) sebagai pembawa ritem. kesenian merupakan kesenian vokal, sedangkan teksnya berisikan tentang ajaran agama Islam. lebih mementingkan urusan keduniaan sehingga bentuknya ria, dengan tujuan supaya disanjung dan dipuji orang. bejana atau tembikar terbuat dari tanah liat yang telah dibakar. berziarah ke kuburan Syekh Burhanuddin di Ulakan (lebih kurang delapan kilometer sebelah barat dari Kota Pariaman). Ziarah ini dilakukan pada akhir bulan Safar tiap tahun Hijiriah. Tujuan ke sana adalah semacam mandi suci di lautan. Setelah itu meminta berkah (doa selamat) kepada ‘roh’ Syekh Burhanuddin. menurut pengakuan masyarakat melaksanakan bersafa sebanyak tujuh kali berturut-turut sama dengan satu kali naik haji ke Mekah. salah satu gelar masyarakat di Pariaman. sama dengan badan gandang. sama dengan beras kuning. sistem mengumpulkan dana untuk biaya pembuatan tabut. sejenis gendang bermuka satu
xix
bedeng
:
bilah bungo rampai
: :
bungo tujuh rono
:
burak camp
: :
chaos
:
chaosmologi
:
dabuih daerah rantau
: :
dekonstruksi
:
dikie rabano
:
difference
:
diskursus
:
double headed drum
:
enigma
:
tumpukan tanah yang berukuran 6 x 6 makna sebagai simbol Imam Housein dengan dipayung tiga tingkat kain putih. bambu yang telah dibelah. bermacam-macam bunga yang digunakan untuk obat, bau bunga ini sangat harum karena ditaburi juga dengan minyak wangi. tujuh macam bunga yang digunakan untuk ramuan obat. sama dengan buro’. komposisi dalam sebuah karya sastra, seni ataupun desain, yang dicirikan oleh sifat estisasi, pengindahan, atau pengayaan yang sangat berlebihan, distortif, artifisial, dan teatrikal. suatu fenomena atau keadaan tertentu yang tidak mungkin diprediksi arah perkembangannya, disebabkan berfluktuasinya indikator-indikator yang digunakan untuk menjelaskan perkembangan tersebut. ilmu yang mempelajari berbagai kondisi ketidakberaturan dan kekacauan. sama dengan debus daerah asal di luar pihak nan tigo atau disebut juga daerah asal etnis Minangkabau. suatu metode analisis yang dikembangkan Jacques Derrida dengan membongkar struktur dan kode-kode bahasa, khususnya struktur oposisi biner sedemikian rupa sehingga menciptakan satu permainan tanda yang tanpa akhir dan tanpa makna akhir. kesenian Minangkabau yang bernapaskan Islam, sedangkan instrumen pokoknya rebana (terbang) dan vokal si pemain, syair-syairnya berisikan tentang pujipujian Allah dan sanjungan kepada rasul. sistem objek, yaitu sebuah objek dibedakan nilainya dari objek sejenis melalui bentuk dan makna sosial yang dikandungnya. cara menghasilkan pengetahuan, beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik pengetahuan praktik sosial tersebut, serta kesalingberkaitan di antara semua aspek ini. sejenis alat musik pukul (gendang). muka dua
sesuatu atau sebuah kondisi yang menimbulkan tekateki dan tanda tanya, oleh Rolland Barthes digunakan untuk menjelaskan kode hermmeneutika.
xx
estetika
:
etnosentrisme
:
fundamentalisme
:
gaya
:
gandang
:
gala tongga
:
guru mangaji
:
hijiriah ijon ideologi
: : :
ilahi imam imam Ali imam Hassan imam Housein
: : : : :
imamah
:
inisiasi inyiak
:
Islam sunni
:
Isra’ Mi’raj
:
filosofi mengenai sifat dan persepsi tentang keindahan, khususnya di dalam seni. sikap di kalangan anggota suku bangsa atau negara (atau ilmuwan) yang secara tidak kritis menganggap adanya superioritas kelompok atau kebudayaan sendiri atas kebudayaan-kebudayaan lainnya. gerakan atau keyakinan yang menekankan kepatuhan yang kaku atau literal terhadap sebuah ajaran atau doktrin dasar. cara menyusun atau mengombinasikan elemen-elemen di dalam seni, sastra, desain, dan arsitektur sehingga menghasilkan sebuah komposisi yang bermakna. salah satu ensambel musik tabut, tipe ‘barrel drum’ bermuka dua sedangkan kedua permukaannya ditutup dengan kulit kambing sebagai sumber bunyi. gelar pusaka yang diwariskan menurut gelar yang dimiliki oleh orang tua laki-laki, bukan dari keturunan ibu. orang yang secara sukarela mengajar murid-muridnya di surau/mesjid tahun Islam sistem yang dicanangkan pola sistem tengkulak. sistem kepercayaan dan sistem nilai serta representasinya dalam berbagai media dan tindakan sosial. ampunan yang dikehendaki Tuhan adalah adil. imam pemimpin agama Islam syi’ah. pemimpin agama Islam syi’ah i pemimpin agama Islam syi’ah ii pemimpin agama Islam syi’ah iii, dan seterusnya sampai pada xii atau disebut juga sebagai imam mahdi. hal-hal yang berhubungan dengan keyakinan pada imam sebagai pengganti Nabi Muhammad saw. semacam upacara peralihan (1) untuk menyebut harimau saat berada di hutan (sebutan halusnya); (2) panggilan kepada yang telah tua dan orang itu sangat dihormati karena kepandaiannya sebagai dukun atau pendekar dan sebagainya. sama dengan Islam sunah. suatu peristiwa dalam perjalanan nabi dari mesjidil haram ke mesjidil haqsa pada malam hari untuk menerima wahyu untuk melaksanakan salat dari Allah pada langit yang ketujuh.
xxi
janang
:
jari-jari
:
jejak
:
juaro barantam
:
kawin bajapuik
:
kesenian anak nagari
:
kekuasaan
:
kitcsch
:
kode
:
langue
:
limau tujuh ragam
:
logos
:
logosentrisme
:
orang yang memimpin rapat dalam barantam untuk mengumpulkan dana membuat tabut. sembilan buah bunga yang ditancapkan pada badan tabut, sebagai simbol payung imam Housein saat diarak keliling kampung. sebuah konsep sentral dalam filsafat dekonstruksi Jacques Derrida, untuk menjelaskan efek-efek dalam proses permutasi tanpa henti dari satu penanda ke penanda lainnya sehingga tidak memungkinkan penanda terpancang pada satu petanda atau makna yang pasti. orang yang jadi pemenang dalam acara barantam karena dia dicatat sebagai orang yang paling banyak menyumbangkan uangnya dalam acara barantam. sistem pinangan sebagai awal dari proses perkawinan di Pariaman dengan memberikan uang atau emas 24 karat (emas murni) kepada pihak laki-laki dari pihak perempuan, bentuk dan ukurannya ditentukan oleh pihak laki-laki sebagai ‘penjual’, dalam hal ini sering terjadi tawar-menawar, akhirnya tetap juga dimenangkan oleh pihak laki-laki. bentuk kesenian pada suatu daerah yang sifatnya komunal dan menjadi ajang keramaian oleh anak muda setempat, seperti bakaba, baindang, badendang, basilek , dan sebagainya mekanisme kekuatan sosial dalam teori diskursus Foucault, yang bersifat plural, produktif, muncul pada tingkat periferal, dan dibangun bukan dengan cara represi, melainkan stumulus. segala bentuk seni yang berkaitan dengan selera rendah, yaitu rendahnya bakuan estetik yang dimilikinya. cara mengombinasikan tanda yang disepakati secara sosial untuk memungkinkan satu pesan disampaikan dari seseorang ke orang lain. sebuah konsep sentral dalam semiotika Ferdinand de Saussure, yang digunakan untuk menjelaskan bahasa sebuah sistem, yang dibendakan dengan bahasa sebagai sebuah praktik. tujuh macam jenis jeruk (limau) untuk ramuan obat atau ramuan pakasih. kebenaran dari kebenaran atau kebenaran tertinggi yang merupakan sumber dari segala kebenaran. kecenderungan sistem pemikiran yang mencari legitimasinya dengan mengacu pada dalil-dalil
xxii
luhak luhak nan tigo
: :
mambang mambang hitam
: :
mambang putih
:
mambang merah
:
marawa ma-oyak minantu marah musik tabut
: : : : :
“padang karbala”
:
padang karbala pakieh
: :
pakasiah
:
pamanieh
:
pandeka panja
: :
kebenaran universal atau jaminan makna sentral dan orisinal (mind, wahyu, dan sebagainya). daerah asal menurut adat Minangkabau. daerah asal Minangkabau, yang terdiri atas; Luhak Agam, Luhak 50 Koto, Tanah Datar. sejenis roh halus atau sejenis jin. roh halus kelakuannya selalu berbuat kemungkaran, menumpahkan sikap jahat, selalu berlawanan dengan mambang putih. menurut masyarakat sebab pertengkarannya adalah berbeda pandangan dan idealis, tempat tinggalnya di gunung. roh halus kelakuannya selalu berbuat baik, jujur, senang membantu orang, selalu berlawanan dengan mambang hitam. menurut masyarakat sebab pertengkarannya adalah berbeda pandangan dan idealis, tempat tinggalnya di air. roh halus yang selalu mengikuti orang yang ‘lupa diri’ sehingga emosinya cepat naik dan sering marah, tempat tinggalnya pada api dan sering muncul bersamaan dengan petir umbul-umbul. menggoyang-goyangkan. mantu atau menantu. salah satu gelar yang terdapat di Pariaman. musik yang mengiringi posisi upacara tabut dan merupakan salah satu unsur penting dalam upacara tabut sebab tanpa musik, upacara tabut tersebut tidak akan berarti apa-apa. simbol sebuah tempat (di pinggir laut) tempat terbunuhnya imam Housein saat dibunuh oleh tentara Yazid bin Mu’awiyyah bin Mua’wiyyah (di Pariaman). sebuah gurun di lembah Bukit Tigris di Irak sekarang. panggilan kehormatan kepada guru mengaji yang telah tua sehingga kehidupan selalu dihabiskan mendekatkan diri kepada Allah saw. ilmu guna-guna yang dimiliki oleh anak muda di Minangkabau. sejenis pakasih juga, tetapi dimiliki oleh semua orang yang mau mempelajarinya. pendekar. sejenis keranda mini yang dibingkai dari bilah yang berbentuk setengah lingkaran. tinggi dan lebarnya masing-masing 75 cm dan 60 cm, pada bagian atas ditutup dengan kertas kaca putih dan di dalamnya terlihat tiruan jari tangan manusia. Alat ini pada malam hari diterangi oleh lampu damar. xxiii
perasapan
:
panggua panggua gandang panggua tasa
: : :
pasaa parang batu
: :
parodi
:
parole
:
pastiche
:
parang kasiak
:
pawang pawang hujan pawang tabut
: : :
parewa
:
parewa tabut
:
penanda
:
petanda puncak tabut
: :
pembangunan nagari
:
tempat untuk membakar kemenyan atau disebut juga dengan dupa. alat untuk menabuh instrumen musik tabut. terbuat dari kayu keras supaya jangan cepat patah. terbuat dari dua helai rotan yang lentur panjang kirakira 60—70 cm. pasar. pada saat upacara tabut berlangsung terjadi perkelahian dengan menggunakan batu untuk melempar pihak lawan. sebuah komposisi sastra atau seni yang di dalamnya gagasan, gaya, atau ungkapan khas seorang seniman dipermainkan sedemikian rupa sehingga pembuatnya tampak absurd. praktik penggunaan bahasa dan sistemnya secara konkret di dalam masyarakat. karya sastra atau seni yang disusun dari elemen-elemen yang dipinjam dari satu atau berbagai sumber (seniman, gaya, idiom, kebudayaan) pada masa lalu. sama dengan perang batu, tetapi alatnya yang berbeda, yaitu pasir. orang yang ahli menjinakkan alam. orang yang ahli menjinakkan hujan. orang yang ahli dalam seluk-beluk tabut dan menjinakkan suasana peserta upacara sari emosinya atau disebut juga driver of condition. anak muda yang suka berbaju hitam, dan kehidupanya selalu berhubungan dengan kesenian tradisional Minangkabau, suka membela kampung dan pendekar. seorang pemuda yang ditugaskan pawang untuk mencuri batang pisang ke daerah “lawan” , biasanya dari golongan sutan yang akan putuih kaji (mengakhiri masa menuntut ilmu pada gurunya). citraan atau kesan mental dari sesuatu yang bersifat verbal atau visual, seperti suara, tulisan, atau benda. konsep abstrak atau makna yang dihasilkan oleh tanda. payung besar yang berada di atas tabut atau sering juga disebut ‘sorban’. pembangunan nagari berkaitan dengan seni dan budaya karena selama ini komunitas adat tersebut diyakini sebagai tempat yang melahirkan individuindividu yang demokratis. Berbeda dengan keyakinan partenalistik, feodal dan hierarkis sudah menjadi sebuah tradisi. Masyarakat ini tidak mengenal perubahan dalam hal kepemimpinan. Tanpa adanya pengalaman terlibat dalam proses politik yang xxiv
pencerahan
:
pluralisme
:
postmodernisme
:
puncak tabut
:
rabano rumah tabut randai rantau salawat dulang
: : : : :
tassa
:
taqiyah
:
tauhid tukang ba(r)uak
: :
suku
:
demokratis sulit mengharapkan lembaga-lembaga dapat berkembang ke arah itu sehingga menyumbang dan mengirim uang dan pemikiran dari rantau untuk membangun kampung halaman adalah sebuah “lembaga kebanggaan” oleh perantau dari berbagai pelosok daerah rantau di dunia ini sebab daerah rantau masyarakat Pariaman tidak saja di Indonesia, tetapi sampai ke mancanegara. era kelahiran sastra, seni, dan kebudayaan pada umumnya yang menandakan awal dari dunia modern/barat. sebuah keyakinan atau doktrin tentang penghargaan akan keberagaman serta upaya-upaya aktif di dalamnya untuk mengembangkan dialog serta sikap toleransi. gerakan kebudayaan pada umumnya, yang dicirikan oleh penentangan terhadap rasionalisme, totalisme, dan universalisme, serta kecenderungan ke arah penghargaan akan keanekaragaman, pluralitas, kelimpahruahan, dan fragmentasi dengan menerima berbagai kontradiksi, banalitas, dan ironi di dalamnya. payung besar yang berada di atas tabut atau sering juga disebut ‘sorban’. terbangan, rebana. rumah tempat membuat tabut. seni teater tradisional Minangkabau. lihat daerah rantau. kesenian tradisional Minangkabau yang bernuansakan Islam, instrumen pokoknya adalah “dulang” atau talam yang dipadu dengan vokal penabuh secara “maraton”. Syair-syairnya kebanyakan berisikan tetang cerita alam kubur, etika pergaulan. hukum Islam, dan kisah para nabi Allah. sering juga disebut ‘talenang’ sejenis gendang bermuka satu (vassel drum), kerangkanya terbuat dari tanah liat yang berbentuk belanga dan permukaan belanga tersebut ditutup dengan kulit kambing sebagai sumber bunyi praktik agama Islam syi’ah, mendustakan agama yang dianutnya dengan tujuan menyelamatkan diri dari musibah yang mencelekakan dirinya. percaya kepada keesaan Allah. orang yang menggunakan jasa beruk sebagai sumber mata pencahariannya. keturunan yang dihitung dari garis ibu (matrilineal), sesuku berarti sepayung atau separuik.
xxv
tabut pasaa
:
sidi surban sorban
: : :
tukang alih lagu
:
tukang usuang tabut tukang tabut
:
tuo tabut
:
tuo gandang
:
upacara tabut
:
urang bagak
:
urang piaman urang siak
: :
zeigest
:
:
kelompok tabut dari daerah perkumpulan pasar Pariaman. salah satu gelar di Pariaman. sama artinya dengan puncak tabut. penutup kepala, biasanya dalam upacara tabut dipakai oleh tuo tabut dan pawang tabut. pemain tasa dalam permaianan musik tabut yang memberi aba-aba perpindahan lagu dalam upacara tabut. orang yang bekerja sebagai pengusung (pemanggul) tabut dalam upacara tabut di Pariaman. orang yang bekerja sebagai pekerja dalam membuat tabut di Pariaman dan dikomandoi (awasi) oleh seorang tuo tabut. orang yang ahli dalam membuat tabut di Pariaman, kalau memanggilnya harus dengan sebutan mak tuo tabut. sama artinya dengan pemain tasa, tetapi tuo gandang tugasnya sebagai tukang alih lagu dan sebagai pembawa irama. suatu upacara Islam syi’ah di pantai barat Sumatera Barat yang dilaksanakan tanggal 1 sampai dengan 10 tiap tahun Hijiriah, dengan tujuan memperingati terbunuhnya Imam Housein di Padang Karbala oleh tentara Yazid bin Mu’awiyyah bin Mu’awiyyah. orang yang dijagokan sebagai tuluang pungguang (backing) saat upacara tabut berlangsung. sama artinya dengan orang Pariaman orang yang pandai membacakan doa dan selalu khusyuk dalam menjalankan perintah Tuhannya. istilah dalam bahasa Jerman yang digunakan untuk menjelaskan suasana hati atau sikap yang berlaku umum di dalam sebuah periode.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
i
PERSYARATAN GELAR
ii
LEMBAR PENGESAHAN
iii
xxvi
PENETAPAN PANITIA PENGUJI
iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
v
UCAPAN TERIMA KASIH
vi
ABSTRAK
x
ABSTRACT
xi
RINGKASAN
xii
GLOSARIUM
xix
DAFTAR ISI
xxvii
DAFTAR TABEL DAN BAGAN
xxviiv
DAFTAR PETA
xxviiv
DAFTAR GAMBAR
xxxvi
DAFTAR FOTO
xxxvii
BAB I PENDAHULUAN
1
1.1
Latar Belakang Masalah
1
1.2
Rumusan Masalah
17
1.3
Tujuan Penelitian
17
1.3.1 Tujuan Umum
17
1.3.2 Tujuan Khusus
18
Manfaat Penelitian
18
1.4.1 Manfaat Teoretis
18
1.4.2 Manfaat Praktis
19
1.4
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
20
DAN MODEL PENELITIAN 2.1
Kajian Pustaka
20
2.2
Konsep
29
2.2.1 Estetika
30
2.2.2 Upacara tabut
34
2.2.3 Identitas Masyarakat Pesisir Barat Sumatera
45
2.2.4 Pesisir Barat Sumatera
48
xxvii
2.3
2.4
Landasan Teori
50
2.3.1 Genealogi
50
2.3.2 Teori Dekonstruksi
55
2.3.3 Teori Postkolonial
61
Model
68
BAB III METODE PENELITIAN
71
3.1
Metode Penelitian
71
3.2
Rancangan Penelitian
72
3.3
Lokasi Penelitian
74
3.4
Jenis dan Sumber Data
75
3.5
Instrumen Penelitian
76
3.6
Teknik Pengumpulan Data
74
3.7
Analisis Data dan Penyajian Hasil
84
BAB IV GAMBARAN UMUM DAN BUDAYA MASYARAKAT
86
PESISIR BARAT SUMATERA 4.1
4.2
4.3
Menyisir Asal dan Nama Sumatera hingga Pantai Barat Sumatera 4.1.1 Kondisi Fisik dan Geografis Pantai Barat Sumatera
87
4.1.2 Pantai Barat Sumatera.
93
Diaspora Masyarakat Pantai Barat Sumatera
100
4.2.1 Etnis Minangkabau
100
4.2.2 Pariaman
107
4.2.3 Bengkulu
110
Budaya Masyarakat Pendukung Upacara Tabut Pantai Barat Sumatera 4.3.1 Adat dan Agama
115
4.3.2 Sistem Perkawinan dan Kekerabatan
118
4.3.3 Adat Perkawinan di Bengkulu
123
4.3.4 Sumber dan Mata Pencaharian
124
4.3.5 Sistem Sosial dan Hubungan Kekerabatan Masyarakat Bengkulu
124
xxviii
91
115
4.3.6 Sistem Pewarisan Gelar dan Jabatan
132
Kelompok Agama dan Pendukung Upacara Tabut
134
4.4.1 Islam Suni
134
4.4.2 Islam Syiah
138
4.5
Tasawuf Islam Suni
141
4.6
Karakteristik Ajaran Pokok para Tokoh Tasawuf Suni
143
4.7
Tarekat
146
4.8
Tarekat dan Tasawuf
155
4.9
Aliran-aliran Tarekat di Dunia Islam
156
4.10
Syiah di Indonesia
159
4.11
Agama dan Kepercayaan Masyarakat Sebelum Kedatangan Islam di Pantai Barat Sumatera 4.11.1 Munculnya Aliran Syiah di Pesisir Barat Sumatera
161
4.11.2 Ciri-ciri Syi’ah di Pantai Barat Sumatera
172
4.11.2.1 Taqiyah
175
4.11.2.2 Raudha Khani
176
4.4
BAB V BENTUK ESTETIKA UPACARA TABUT: IDENTITAS
165
178
DAN PEREKAT NILAI BUDAYA MASYARAKAT PESISIR BARAT SUMATERA 5.1
Genealogi Michel Foucault
178
5.2
Posisi dan Bentuk Arena Estetika Budaya
183
5.3
Arena Kultural
188
5.4
Arena Kebudayaan Arab di Indonesia
189
5.4.1 Genealogi Tabut dan Peringatan Muharram Tahun Hijiriah 5.4.2 Jenis Tabut dan Nakhl Iran
193
5.4.2.1 Takziah
198
5.4.2.2 Hajleh
201
5.4.2.3 Syiduneh di Syusytar dan Dezful
202
5.4.2.4 Dugdageh
203
5.4.2.5 Bangunan Enam Sudut
204
5.4.2.6 Tabut Sungai al-Qamah dan Sungai Eufrat
204
xxix
198
5.4.2.7 Nakhl dan Arak-arakannya
204
Tradisi-tradisi Muharram di Indonesia
210
5.5.1 Kanji Asyura
214
5.5.2 Tabut
216
5.6
Bentuk kontruksi Teks Upacara Tabut
220
5.7
Bentuk dan Konstruksi Tabut
232
5.7.1 Bentuk Tabut
235
5.7.2 Burak
236
5.7.3 Bungo Salapan
238
5.7.4 Biliak-biliak
239
5.7.5 Puncak Tabut
240
Bentuk Pelaksanaan Upacara Tabuik
240
5.8.1 Upacara Mengambil Tanah
241
5.8.2 Upacara Mengambil Batang Pisang
243
5.8.3 Upacara Maradai
245
5.8.4 Upacara Mahatam
246
5.8.5 Upacara Mengarak Jari-jari
248
5.8.6 Upacara Mengarak Sorban
249
5.8.7 Upacara Tabut Naik Pangkek
251
5.8.8 Upacara Maoyak Tabut
256
5.8.9 Upacara Tabut Dibuang ke Laut
257
Organologi Alat Musik dan Bentuk Musik Iringan
259
5.5
5.8
5.9
Upacara Tabut
5.10
5.9.1 Tasa
260
5.9.2 Gandang/Doll
262
Bentuk Musik
265
5.10.1 Pangka Lagu
266
5.10.2 Lagu/Matam
267
5.10.3 Ikua Lagu
267
xxx
5.11
Pemain Musik Tabut
268
5.12
Pendukung Upacara Tabut
270
5.12.1 Saidina, Saidi, Sidi
271
5.12.2 Bagindo
274
5.12.3 Sutan
275
5.12.4 Marah
277
5.13
Tabut Bengkulu
278
5.14
Rangkaian Upacara Tabut Bengkulu
284
5.14.1 Mengambik tanah
286
5.14.2 Duduk Penja dan Menjara
287
5.14.3 Meradai, Arak Penja, dan Arak Serban
287
5.14.4 Gam dan Arak Gandang
288
5.14.5 Tabut Terbuang
289
5.15
Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Upacara
290
5.16
Persiapan dan Perlengkapan Upacara
292
5.16.1 Pembuatan Tabut
292
5.16.2 Kenduri dan Sesajen
292
5.16.3 Perlengkapan untuk Musik Tabut
293
Pantangan-Pantangan Tabut
294
5.17
BAB VI FUNGSI UPACARA TABUT DAN BUDAYA
6.1
6.2
MASYARAKAT PANTAI PESISIR SUMATERA
296
Fungsi Religiusitas Masyarakat Pendukung Upacara Tabut
300
6.1.1 Ekstasi dan Pembersihan Jiwa
302
6.1.2 Pengalaman Mistis dan Dorongan Estetis
310
6.1.3 Kehadiran Mitos dan Penyatuan Ambivalensi
314
6.1.4 Penyucian dan Penyataan Estetis Kosmologi Masyarakat Fungsi Ideologi
319
6.2.1 Pengembangan Ideologi
336
xxxi
324
6.3
Fungsi Pernyataan Identitas Budaya
344
6.3.1 Demokrasi Menuju Musyawarah dan Mufakat
351
6.3.2 Komodifikasi, Autensitas, dan Status Tradisi
371
6.4
Fungsi Rasionalitas Humanistik
373 382
6.5
6.4.1 Instruksi, Pengokohan Sistem Sosial, dan Penundaan Propaganda Fungsi Identifikasi Peristiwa dan Pernyataan Estetika Postmodernisme 6.5.1 Hegemoni, Patronase Estetika Postkolonial 6.5.2 Penyadaran Menuju Estetika Etnis (Etnoestetika)
400
BAB VII MAKNA ESTETIKA UPACARA TABUT DI PANTAI
391 396
420
BARAT SUMATERA 7.1
Makna Pengembangan Identitas Agama Pendukung Upacara Tabut 7.1.1 Penguatan Solidaritas Antarpendukung Upacara
422 426
Tabut 7.1.2 Politik Identitas sebagai Perjuangan Subalternitas
432
Makna Ideologi dan Penegasan Estetika Budaya
434
7.2.1 Differãnce
446
7.2.2 Signification
455
7.2.3 Logosentrisme
460
7.3
Makna Sakralitas dan Kearifan Tradisional
465
7.4
Makna Etika Merantau, Idealitas Jati Diri untuk Membangun Kampung Halaman Tradisi Tabut dan Akulturasi Budaya masyarakat
474
7.2
7.5
483
Bengkulu 7.6
Syekh Burhanuddin Sebuah Dekontruktif
490
7.7
Membingkai Estetika Budaya Masyarakat Pantai Barat Sumatera
506
BAB VIII PENUTUP
513
xxxii
8.1 Simpulan
513
8.2 Temuan/Novelty
518
8.3 Refleksi
524
8.4 Saran
527
DAFTAR PUSTAKA
530
KISI-KISI WAWANCARA
538
DAFTAR INFORMAN
541
DAFTAR TABEL DAN BAGAN
xxxiii
4.1
Distribusi presentase Kegiatan Ekonomi
128
5.1
Bagan Bentuk lagu iringan upacara tabut
265
6.1
Relasi Fungsi Penandaan dalam Diskursus
339
7.1
Makna Differãnce dan memungkinkan munculnya makna baru
454
7.2
Makna Signification: Membaca Gejala Retaknya Tanda dan Runtuhnya Makna
459
7.3
Makna Logosentrisme: Kritik Terhadap Pusat dan Dekonstruksi Suatu Penyelesaian
464
7.4
Makna Sakralitas, dan Kearifan Tradisional
473
DAFTAR PETA
xxxiv
4.1
Pulau Sumatera Bengkulu
4.2
Kota Pariaman
Propinsi Sumatera Barat dan Propinsi
94
110
DAFTAR GAMBAR
xxxv
5.1
Budaya, Wacana, Teks dan Ruang Dekonstruksi
230
5.2
Teknik memainkan tasa
262
5.3
Gandang dan panggua
263
5.4
Teknik memainkan gandang
264
5.5
Bambu bahan dasar pembuatan tabut di Bengkulu
278
5.6
Bilah-bilah bambu yang sudah di belah
279
5.7
Hol
279
5.8
Gabungan antara kri, kinci, skor dan hol
280
5.9
Balok, daun kelapa, dan gola
280
5.10 Balok, daun kelapa, dan gola yang sudah dipasang
281
5.11 Bagian bawah tabut
282
5.12 Tutup Rempah dan Puncak Tabut
283
5.13 Kontruksi Tabut Bengkulu
284
DAFTAR FOTO
xxxvi
4.1
Benteng Fort Marlborough 1714-1741
114
5.1
Pelaku ‘Aza di masa Kesultanan Syah Sulaiman Shafawi (10771105 H)
197
5.2
Bentuk Tabut Bagian tabut terdiri dari puncak tabut; gomaik, pangkek atek dan pangkek bawah
235
5.3
Buraq
237
5.4
Bungo Salapan
238
5.5
Bilik-bilik
239
5.6
Puncak tabut
240
5.7
Tabut lenong
245
5.8
Jari-jari
248
5.9
Sorban
250
5.10 Pembuatan tabuik
253
5.11 Maradai
255
5.12 Tabut dibuang ke laut
258
xxxvii