3 akibat proses modifikasi gula, yaitu gula sukrosa menjadi gula non sukrosa. Oleh karena itu ketiga jenis jeruk ditetapkan sebagai parameter kritis dari sisi formula. Parameter kritis dari sisi kondisi proses juga perlu ditetapkan, mengingat terdapat perbedaan jenis dan kapasitas peralatan yang digunakan pada skala pilot plant. Suhu air yang ditambahkan saat proses pencampuran merupakan titik kritis yang akan dikontrol. Pencampuran komponen ekstrak herbal dan rempah dengan air sejumlah tertentu, akan menentukan waktu pemasakan minuman fungsional sampai mencapai suhu 800C. Hal tersebut dikarenakan adanya fenomena kesetimbangan suhu akibat pencampuran dua komponen yang memiliki suhu yang berbeda. Kesetimbangan suhu yang dicapai oleh komponen herbal dan rempah yang ditambahkan air pada kondisi mendidih akan lebih tinggi, daripada air pada suhu ruang. Kondisi tersebut akan menjadikan adanya perbedaan lama pemasakan untuk mencapai suhu 800C. Lama pemasakan secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap komponen bioaktif minuman fungsional. Interaksi antara formula dan kondisi proses pada proses pembuatan minuman fungsional skala pilot plant dimungkinkan akan terjadi dan berpengaruh terhadap karakteristik minuman fungsional. Oleh karena itu perlu studi lebih lanjut mengenai optimasi karakteristik produk minuman fungsional pada skala pilot plant.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan optimasi kombinasi antara formula dan kondisi proses pada pembuatan minuman fungsional berbasis ekstrak daun kumis kucing pada skala pilot plant agar didapatkan karakteristik produk yang optimal. Selain itu juga dilakukan analisa finansial proses produksi sebagai gambaran penerapannya pada skala industri.
Hipotesis 1. Konsentrasi jeruk nipis, jeruk purut, dan jeruk lemon serta suhu air merupakan parameter kritis yang akan berperan terhadap kualitas produk pada skala pilot plant. 2. Minuman fungsional berbasis ekstrak daun kumis kucing skala pilot plant tetap memiliki aktivitas antioksidan dan efek antihiperglikemik.
TINJAUAN PUSTAKA Pilot plant Pilot plant didefinisikan sebagai suatu tindakan pengembangan suatu produk ataupun tahapan proses yang diperoleh dari skala laboratorium menjadi skala semi komersial. Peningkatan skala dilalui dengan 3 tahap yaitu: 1) skala labolatorium, 2) skala pilot plant, 3) skala industri. Skala pilot plant merupakan
4 skala untuk mendapatkan operasi optimal dan kontrol yang tepat sebelum menuju ke produksi secara komersial atau industrialisasi. Pilot plant sering diikuti dengan pembangunan kondisi produksi pada taraf pilot plant, yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran rancangan dan pembangunan pabrik skala penuh ataupun modifikasi pabrik yang sudah ada (Hulbert 1998). Langkah pertama dalam pengembangan sebuah produk pangan baru adalah mendefinisikan proses yang dibutuhkan untuk membuat produk. Salah satu perangkat yang berguna dalam hal ini adalah pengembangan diagram alir proses. Diagram ini menunjukkan laju produksi yang diinginkan dan materi yang dibutuhkan pada setiap tahapan proses. Kebutuhan peralatan ditunjukkan secara skematis melalui diagram yang berguna bagi para ahli teknik dalam menghitung biaya dan menyeleksi serta mengukur peralatan proses (Hulbert 1998). Langkah kedua adalah pemecahan masalah yang masih terdapat dalam proses peningkatan skala, yang dimulai dengan uji coba terhadap peralatan penting pada skala pilot plant. Selain itu, percobaan juga dilakukan karena dalam ilmu pangan sendiri terdapat interaksi kimia dan fisik yang bersifat kompleks (Scott et al. 2007). Oleh karena itu, pengetahuan dasar tentang interaksi kimia dan fisik antar komponen produk penting untuk dipahami. Apabila interaksi sifat kimia dan fisik tidak diperhatikan, kemungkinan besar akan terjadi kerusakan produk terutama pada formulasi yang digunakan. Kriteria peningkatan skala yang utama adalah parameter atau sekumpulan parameter proses bersifat bebas, sehingga tidak terpengaruh oleh ukuran (skala) proses. Kriteria utama melibatkan parameter proses dan hasil proses secara kuantitatif, sedangkan kriteria tambahan adalah adanya perubahan secara fisik dan mekanik yang berkaitan dengan perubahan skala, misalnya pengaruh skala terhadap transfer panas atau terhadap energi. Sistem secara fisik dan obyek material pada dasarnya dicirikan oleh tiga karakter, yaitu ukuran, bentuk, dan komposisi. Kemiripan yang penting dalam peningkatan skala proses dan peralatan pangan yaitu kemiripan secara geometri, mekanika, termal, atau kimiawi (Valentas et al. 1991). Untuk dapat melakukan peningkatan skala perlu adanya pengembangan produk dan layanan yang terintegrasi. Diantaranya yaitu pengembangan produk (sumber dan formulasinya), menguji unit operasi, mengembangkan kinerja kerja dari spesifikasi alat, dan menentukan titik kritis proses. Produk pangan yang ditingkatkan skalanya akan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan produk aslinya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan rasa, tekstur, aroma, dan penampakan secara visual. Proses skala besar tidak akan menghasilkan produk yang identik dengan produk aslinya, akan tetapi akan menghasilkan produk yang menyerupai produk aslinya (Scott et al. 2007). Produksi teicoplanin oleh Actinoplanes teichomyceticus pada skala pilot plant telah dikembangkan oleh Jung et al. (2008). Parameter penting pada produksi skala laboratorium adalah suhu, pH, dan oksigen terlarut, namun kondisi ini menjadi berbeda pada saat dilakukan produksi skala pilot plant. Oksigen terlarut merupakan titik kritis pada produksi skala pilot plant, sedangkan suhu dan pH cenderung bukan termasuk parameter kritis. Parameter yang berbeda antara produksi skala laboratorium dan pilot plant dimungkinkan juga terjadi pada pengembangan minuman fungsional, sehingga penetapan parameter kritis penting dilakukan. Optimasi formulasi dan kondisi
5 proses produksi minuman fungsional pada skala pilot plant dilakukan untuk mendapatkan produk yang sesuai dengan hasil percobaan skala labolatorium. Optimasi formulasi dilakukan pada komponen konsentrasi jeruk nipis, jeruk purut, dan jeruk lemon. Penggunaan ketiga jenis jeruk tersebut didasarkan pada hasil penelitian oleh Febriana (2012) yang bertujuan untuk mendapatkan citarasa yang disukai panelis akibat penggunaan pemanis non sukrosa pada minuman fungsional. Sehingga dapat dikatakan bahwa ketiga komponen tersebut sangat berpengaruh terhadap citarasa dan penerimaan minuman fungsional berbasis daun kumis kucing. Colombo (2002) dan Pszczola (2010) menyebutkan bahwa ekstrak jeruk nipis dapat memperbaiki citarasa dari minuman, ekstrak jeruk purut dapat memperbaiki aroma dari minuman dan keduanya dapat bersinergi dengan baik, bahkan menurut Indariani (2011) jeruk purut dapat berperan sebagai senyawa antihiperglikemik. Menurut Herold (2007) jeruk lemon berfungsi dalam menyatukan citarasa sehingga menjadi lebih baik. Kondisi proses yang berperan pada tahap peningkatan skala minuman fungsional adalah suhu air saat pemasakan. Suhu air saat pemasakan akan berpengaruh terhadap lama pemasakan serta komponen aktif yang terkandung di dalamnya. Hal ini didasarkan pada Suresh et al. (2005) yang mengatakan bahwa proses pemanasan selama beberapa menit dapat menurunkan kandungan komponen aktif tanaman herbal dan rempah-rempah.
Pangan Fungsional Peningkatan prevalensi penyakit pada beberapa dekade terakhir telah mendorong perubahan sikap masyarakat yang lebih menyukai pencegahan penyakit dan berusaha untuk hidup sehat. Oleh sebab itu, pangan fungsional lebih disukai daripada obat-obatan karena efek fisiologis yang menyehatkan tanpa mengkonsumsi obat dan efek samping yang jauh lebih rendah. Menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) pangan fungsional adalah bahan pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah memiliki fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan (BPOM 2005). Meskipun demikian, pangan fungsional bukan berupa obat melainkan berupa makanan dan minuman. Oleh karena itu, pangan fungsional tidak perlu melewati pengujian ketat sebelum dipasarkan dan juga tidak diawasi secara ketat oleh pemerintah. Winarti dan Nurdjanah (2005) menjelaskan bahwa pangan fungsional dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen, serta tidak memberikan kontraindikasi dan efek samping terhadap metabolisme zat gizi lainnya jika digunakan dalam jumlah yang dianjurkan. Selain itu terdapat beberapa hal penting yang perlu diperhatikan yaitu pada kemasan pangan fungsional tidak boleh mencantumkan klaim kesehatan, namun hanya boleh memuat pernyataan minuman ini diperkaya dengan atau mengandung suatau zat yang bermanfaat bagi kesehatan, harus jelas sasaran
6 golongan konsumen penggunanya, dan tidak memuat peringatan yang terkait dengan kesehatan. Kebiasan minum jamu yang berasal dari ramuan herbal dan rempahrempah sudah menjadi budaya bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat memiliki kepercayaan yang kuat terhadap kemujaraban jamu dalam penyembuhan suatu penyakit, kebugaran, dan kecantikan. Sampoerno dan Fardiaz (2001) menjelaskan bahwa jamu yang disajikan dalam bentuk minuman dapat dikategorikan sebagai minuman fungsional asal karakteristik sensorinya diatur sedemikian rupa, sehingga dapat diterima oleh masyarakat luas. Minuman seperti beras kencur, sari jahe dan susu telor madu jahe merupakan contoh minuman asal jamu yang dapat dikembangkan sebagai produk industri minuman fungsional.
Minuman Fungsional Berbasis Ekstrak Daun Kumis Kucing Minuman fungsional berbasis ekstrak daun kumis kucing (minuman fungsional) merupakan minuman hasil formulasi dari beberapa ekstrak cair rempah dan herbal yang didasarkan pada aktivitas antihiperglikemik, antioksidan, mutu citarasa, dan warna. Komposisi minuman yang paling dominan terdapat dalam minuman ini adalah ekstrak daun kumis kucing, komposisi lainnya adalah kayu secang, jahe gajah, jeruk purut, jeruk lemon, dan jeruk nipis. Ekstrak temulawak merupakan komposisi dalam minuman yang ditambahkan dalam jumlah sedikit. Bahan tambahan pangan yang terdapat dalam minuman ini adalah gula sintetis sebagai pemanis, xanthan gum sebagai penstabil, flavor enhancer (GMP:IMP), dan natrium benzoat sebagai pengawet. Penelitian minuman fungsional diawali dengan formulasi minuman yang dilakukan Herold (2007) hasil penelitiannya menunjukkan bahwa skor kesukaan panelis (30 panelis tidak terlatih) terhadap citarasa produk minuman fungsional hanya mencapai skala hedonik antara netral sampai suka (skor hedonik 3.32 dari skala 5.00) dengan umur simpan selama 9 hari pada suhu ruang dan aktivitas antioksidan sebesar 621.78 ppm AEAC. Upaya perbaikan citarasa minuman fungsional serta perpanjangan umur simpannya dilakukan oleh Kordial (2009). Upaya perbaikan citarasa dilakukan dengan cara memvariasikan beberapa jenis varietas jeruk yang ditambahkan pada formula minuman. Beberapa jenis jeruk yang digunakan, yaitu jeruk lemon (Citrus medica var. Lemon), jeruk purut (Citrus hystrix D.C), jeruk nipis (Citrus aurantifolia Swingle), dan jeruk limau (Citrus amblycarpa). Selain itu juga dengan penggunaan suhu 800C selama 30 menit pada proses pasteurisasi yang dilakukan. Hasil yang diperoleh Kordial (2009) menyatakan bahwa minuman yang ditambahkan jeruk purut (Citrus hystrix D.C) memiliki skor tertinggi dengan skala hedonik antara agak suka sampai suka (skala hedonik 5.57 dari skala 7.00), adapun panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih sebanyak 30 orang. Minuman yang dihasilkan memiliki aktivitas antioksidan sebesar 621.7 ppm AEAC. Pengemasan dilakukan dengan menggunakan dengan botol gelap yang steril dan dipasteurisasi pada suhu 800C selama 30 menit. Melalui perlakuan tersebut terjadi peningkatan umur simpan selama 12 minggu, meskipun dalam
7 kurun waktu tersebut terdapat beberapa perubahan atribut mutu minuman yang dapat dideteksi oleh panelis. Pengujian aktivitas antihiperglikemik minuman fungsional secara in vitro (inhibisi enzim α-glukosidase dan α-amilase) dan ex vivo (peningkatan penyerapan glukosa oleh sel diagfragma mencit) dilakukan oleh Diana (2010). Minuman ini mempunyai kemampuan inhibisi enzim α-glukosidase dan α-amilase dengan IC50 sebesar 217.12 dan 217.41 mg/ml. Minuman fungsional ini juga dapat meningkatkan penyerapan glukosa oleh sel diafragma mencit sebesar 37.48 μg glukosa/g sel. Minuman fungsional lebih berpotensi dalam stimulasi penyerapan glukosa (menurunkan kadar glukosa darah yang tinggi) dibandingkan dengan inhibisi α-glukosidase dan α-amilase (mencegah peningkatan kadar glukosa darah). Bahan baku minuman yang menunjukkan peran ini adalah jahe gajah dan jeruk purut. Minuman fungsional ini lebih berpotensi dalam stimulasi penyerapan glukosa dibandingkan inhibisi α-glukosidase dan α-amilase. Perkembangan penelitian lanjutan dilakukan oleh Afandi (2011) dengan tujuan untuk meningkatkan penerimaan citarasa produk di konsumen, perubahan formulasi menggunakan kombinasi jeruk nipis sejumlah 2.241 g dan jeruk purut sejumlah 0.731 g serta penambahan flavor enchancer (50 GMP: 50 IMP) sejumlah 0.028 g dalam 100 ml minuman telah meningkatkan tingkat kesukaan menjadi 7.42 (dari skala 9.00) dan pengujian antioksidan masih menunjukkan nilai yang tinggi yaitu 605 ppm AEAC seperti penelitian sebelumnya. Hasil pengujian antihiperglikemik melalui inhibisi α-amilase tidak memberikan hasil yang memuaskan karena adanya perbedaan proses pada pembuatan minuman oleh Diana (2010) dan Afandi (2011), yaitu adanya proses pengeringan dengan freeze drier pada persiapan bahan di penelitian sebelumnya sedangkan pada penelitian terakhir tidak dilakukan. Penelitian tentang kemampuan antihiperglikemik minuman fungsional telah dilakukan oleh Indariani (2011) secara in vivo. Minuman fungsional yang diformulasikan dengan penambahan ekstrak daun kumis kucing berbunga putih ini memiliki potensi meningkatkan penyerapan glukosa oleh sel diafragma sebesar 54.81 % dengan aktivitas antioksidan sebesar 726.818 ppm AEAC/ml dan kandungan fenol sebesar 440.157 ppm GAE/ml. Minuman dengan konsentrasi 16 kali formula, memiliki daya antihiperglikemik yang lebih stabil pada mencit diabetes sebesar 65.83 %, dengan meningkatkan sensitivitas insulin terhadap glukosa serta dapat menekan kerusakan sel β lebih lanjut. Formulasi mimuman fungsional dengan pemanis non sukrosa dilakukan oleh Febriani (2012). Kemampuan antihiperglikemik yang diharapkan pada minuman ini menuntut adanya perbaikan formula dari sisi pemanis yang digunakan, hal ini tentu akan berpengaruh terhadap rasa ataupun penerimaan konsumen. Untuk itu Febriana (2012) menggunakan tiga varietas jeruk untuk meningkatkan penerimaan konsumen, yaitu jeruk purut, jeruk lemon, dan jeruk nipis. Pemanis non sukrosa yang digunakan adalah, acesulfam, aspartam dan sukralosa. Tingkat kesukaan konsumen memiliki skor sebesar 6.4 yaitu berkisar antara agak suka sampai suka. Perbaikan metode ekstraksi daun kumis kucing dan kayu secang pada skala laboratorium dan pilot plant dilakukan oleh Mardhiyyah (2012). Ekstrasi daun kumis kucing dan kayu secang pada skala pilot plant dilakukan pada suhu 800C selama 30 menit. Proses ekstraksi yang dilakukan tanpa diikuti proses
8 pemekatan, oleh karena itu metode ekstraksi pada skala pilot plant yang akan digunakan perlu dilakukan proses verifikasi terlebih dahulu.
Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus BI.Miq) Tanaman kumis kucing telah dikenal secara luas oleh masyarakat, dikarenakan kemampuannya yang dapat memberikan beberapa manfaat seperti peluruh air seni. Menurut Awale et al. (2003) tanaman kumis kucing mempunyai khasiat untuk penyakit yang berkaitan dengan saluran urin, hipertensi, reumatik, diabetes mellitus, peradangan, dan kelainan menstruasi. Indariani (2011) menyebutkan bahwa daun kumis kucing mempunyai kandungan senyawa fitokimia berupa alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, triterpenoid, dan hidroquinon. Adapun senyawa penciri daun kumis kucing yang berperan sebagai komponen antihiperglikemik adalah sinensetin. Sinensetin merupakan kelompok flavonoid. Ekstrak air kumis kucing yang digunakan dalam formulasi minuman fungsional ini mengandung senyawa sinensetin sebesar 23.54 mg/L. Menurut Sriplang et al. (2007), ekstrak air dari kumis kucing yang memiliki komponen fenol dan flavonoid memiliki pengaruh siginifikan dalam menurunkan kadar glukosa plasma darah dan meningkatkan HDL plasma pada pemberian ekstrak 0.5 g/kg selama 14 hari dan 1.0 g/kg berat tikus pada OGTT mendekati glibenklamid 5 mg/kg berat badan tikus. Sriplang et al. (2007) juga menyatakan bahwa pemberian ekstrak sebanyak 100 ug/ml secara in situ pada pankreas berpotensi dalam menginduksi sekresi insulin. Tanaman kumis kucing juga mempunyai kemampuan sebagai antioksidan. Kapasitas antioksidan dari daun kumis kucing adalah 90.1 % dengan DPPH dan 77.72% dengan sistem beta karoten (Khamsah et al. 2006). Menurut Khamsah et al. (2006), kemampuan kumis kucing dalam menangkap radikal bebas tidak hanya disebabkan oleh komponen fenol (9.71 mg/g bobot kering), tetapi juga oleh komponen terpenoid lainnya. Selain itu, kumis kucing juga mengandung garam kalium dan kalsium, inositol, saponin, dan minyak atsiri.
Jeruk nipis (Citrus aurantifolia Swingle) Jeruk nipis (Citrus aurantifolia Swingle) termasuk ke dalam famili Rutaceae. Pemanfaatan buah ini kebanyakan ditujukan dengan memanfaatkan kandungan asamnya yang tinggi, yaitu digunakan sebagai penghilang aroma tidak sedap seperti pada proses pencucian alat-alat dapur. Jeruk nipis memiliki karakteristik citarasa yang lembut, berair, dan sangat asam dengan aroma yang tajam. Pemanfaatan jeruk nipis cukup luas antara lain sebagai bahan obat tradisional, perawatan kecantikan, penyedap makanan, dan menambah rasa segar pada minuman. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Indariani (2011) menyebutkan bahwa jeruk nipis mempunyai kandungan senyawa fitokimia berupa tanin, flavonoid, dan steroid. Jeruk nipis mengandung senyawa-senyawa kimia yang bermanfaat, seperti asam sitrat, asam askorbat, vitamin B1 (thiamine), asam amino (triptofan,
9 lisisin), minyak atsiri 7% (yang mengandung sitral, limonene, fenkhon, terpineol, bisabolena, felandren, lemon kamfer, kadinen, geranil-asetat, linalil-asetat, aktilaldehida, nonildehida, dan terpenoid lainnya). Selain itu juga mengandung glikosida, lemak, kalsium, besi, belerang, saponin dan flavanoid (hesperetin 7rutinosida), tangeritin, naringin, eriocitrin, eriocitrocide. Menurut Ghafar et al. (2009) jeruk nipis memiliki kandungan hesperidne yang tinggi sebesar 16.67±2.57 g/100 ml jus jeruk Hesperidin merupakan salah satu komponen terbesar yang dapat bermanfaat sebagai antiinflamasi dan menghambat sintesis prostalglandin. Hesperidin dan naringin memiliki efek poliferasi sel kanker, menunda tumorigenesis, dan agen kemopreventif karsinogenesis. Selain itu hesperidin dapat menurunkan lipopolysaccharide yang dapat menginduksi hepatotoksisitas pada hati tikus. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Zhang et al. (2007) menyatakan bahwa hesperidin memiliki efek sitotoksik pada sel melanoma B16 pada tikus.
Jeruk Purut (Citrus histryx DC) Jeruk purut merupakan tanaman yang termasuk dalam salah satu anggota suku jeruk-jerukan (Rutaceae), sub famili Aurantioidae, genus Citrus, sub genus Papeda, dan spesies Citrus hystrix. Jeruk purut memiliki ukuran lebih kecil dari kepalan tangan, berbentuk buah pir, banyak tonjolan sehingga bentuknya susah dipertahankan. Kulit buahnya tebal dan berwarna hijau, hanya buah yang masak benar yang akan berwarna kuning sedikit. Daging buahnya berwarna hijau kekuningan, rasanya sangat masam dan kadang pahit. Jeruk purut banyak dimanfaatkan sebagai tanaman obat sebagai obat sakit perut akibat gangguan pencernaan serta dimanfaatkan untuk penambah citarasa berbagai masakan (ekstrak buah dan daun). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Indariani (2011) menyebutkan bahwa jeruk purut mempunyai kandungan senyawa fitokimia berupa alkaloid, tanin, flavonoid, dan steroid. Adapun senyawa penciri dari buah jeruk purut berdasarkan hasil kromatografi yang dilakukan oleh Indariani (2011) yaitu hesperidin dan naringin. Kedua senyawa ini merupakan golongan flavonoid yang dapat memperbaiki kondisi hiperglikemia dan hiperlipidemia pada hewan diabetes tipe2 dengan mengatur sebagian metabolisme asam lemak dan kolesterol, serta mempengaruhi ekspresi gen untuk enzim-enzim metabolisme glukosa (Jung et al. 2006). Senyawa naringin dapat menekan produksi glukosa hepatik (Purushotam et al. 2008).
Jeruk Lemon (Citrus medica var. Lemon) Jeruk lemon berbentuk lonjong atau prolate, memiliki karakteristik citarasa lembut, berair, dan asam. Kandungan total padatan terlarut dan total asam dalam jeruk lemon akan semakin meningkat seiring dengan semakin meningkatnya derajat kematangan buah, sedangkan kandungan total gulanya akan menurun. Kandungan asam dalam jeruk lemon berkisar antara 60-75% dari TPT dan total gulanya berkisar 1% dari berat lemon (Ladaniya 2008).
10 Berdasarkan penelitian Sun et al. (2002) menyatakan bahwa jeruk lemon memiliki kandungan total fenolik yang tinggi, yaitu sekitar 81.9 + 3.5 mg asam galat ekivalen/100g berat dapat dimakan. Aktivitas antioksidan pada jeruk lemon juga diukur dan dinyatakan dalam µmol vitamin C equiv/g berat dapat dimakan sebesar 42.8+ 1.0 µmol/g. Selain itu, ekstrak jeruk lemon juga diketahui memiliki aktivitas penghambatan terhadap pertumbuhan sel-sel kanker HepG2 yang dinyatakan dalam EC 50 (mg/ml), yaitu sebesar 30.6 + 0.8 mg/ml.
Dampak Proses Pemasakan terhadap Senyawa Bioaktif Proses pemasakan secara tidak langsung akan mempengaruhi senyawasenyawa bioaktif yang terkandung di dalam bahan pangan. Menurut Rehman et al. (2003); Zhang dan Hamauzu (2004) proses pemasakan sayuran akan terjadi beberapa perubahan karakteristik fisik dan komposisi kimia. Hal ini juga didukung oleh Sahlin et al. (2004) bahwa pada proses perebusan dan pemanggangan tomat akan terjadi perubahan terhadap komponen asam askorbat, total fenol, licopene dan aktivitas antioksidan. Sementara proses penggorengan tomat akan mengurangi jumlah komponen asam askorbat, total fenol dan licopene secara signifikan. Pola yang sama juga terjadi pada tanaman herbal dan rempah, Suresh et al. (2005) mengatakan bahwa proses pemanasan selama beberapa menit dapat menurunkan kandungan komponen aktif tanaman herbal dan rempah-rempah. Ketahanan setiap tanaman herbal dan rempah-rempah selama proses pemasakan tentu berbeda-beda. Perebusan kunyit selama 10 menit akan menjadikannya kehilangan senyawa curcumin sebesar 12-30%, sementara pemasakan dengan tekanan pada cabai merah akan menjadikannya kehilangan senyawa capsaicin sebesar 18-36% dan pada proses yang sama kehilangan senyawa piperine pada lada sebesar 16-34% (Suresh et al. 2005). Menurut Jaya (2008) rimpang jahe yang direbus selama 6 menit mengalami penurunan terhadap total hidrokarbon dari 68.07% (rimpang jahe tanpa pemanasan) menjadi 61.97%. Senyawa hidrokarbon yang berperan terhadap flavor adalah α-pinene, camphene, β-phellandrene, ar-curcumene dan zingiberene. Penurunan total hidrokarbon menandakan bahwa perebusan rimpang jahe selama 6 menit telah menurunkan total area senyawa volatil yang bertanggung jawab terhadap flavor. Berubahnya senyawa bioaktif selama pemasakan pada tanaman herbal dan rempah merupakan proses yang harus dikontrol pada pembuatan minuman fungsional skala pilot plant. Mengingat keunggulan yang diharapkan dari minuman ini adalah sinergisme antioksidan dari beberapa komponen penyusunnya dan aktivitas antihiperglikemik dari komponen fenol pada komponen tertentu. Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut maka suhu air yang ditambahkan saat proses pemasakan secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap lama proses pemasakan yang akan berdampak pula terhadap perubahan senyawa aktif ekstrak herbal dan rempah-rempah. Penambahan air dengan suhu ruang yang kemudian dimasak bersamaan dengan campuran ekstrak sampai mencapai suhu 800C tentu ketersediaan senyawa bioaktifnya akan berbeda dengan
11 penambahan air dengan suhu lebih tinggi dari 800 C, dengan asumsi pertimbangan terjadinya penurunan suhu akibat penambahan campuran ekstrak.
Response Surface Methodology Response Surface Methodology (RSM) merupakan kumpulan teknik matematika dan statistika yang berguna untuk analisis dan permodelan dari suatu permasalahan (respons) dengan satu atau lebih perlakuan dalam penelitian (Montgomery 2001). Perancangan model dengan menggunakan RSM dapat memberikan hubungan atau korelasi dari suatu permasalahan dengan kombinasi perlakuan yang berbeda. Tujuan utama dari RSM adalah membantu peneliti untuk merancang percobaan agar mendapatkan hasil paling optimum dari percobaan tersebut (Montgomery 2001). Menurut Anderson et al. (2000) pada dasarnya terdapat dua proses optimasi yaitu optimasi formula menggunakan metode mixture design dan optimasi proses dengan metode faktorial atau response surface. Mixture design merupakan teknik optimasi yang sering digunakan untuk formulasi suatu produk, sedangkan response surface digunakan untuk menentukan ataupun perbaikan tahapan proses. Junqueira et al (2007) menggunakan mixture design untuk menentukan formulasi yang optimum untuk mendaptkan tepung dengan kandungan oksidant yang maksimum. Terdapat tiga formula yang digunakan yaitu lipoxygenase enzyme, benzoyl peroxide dan asam askorbat. Sementara itu Yap et al (2009) menggunakan response surface untuk menentukan kondisi ektraksi buah belimbing untuk mendapatkan total fenol yang optimal. Terdapat tiga kondisi proses yang dioptimasi, yaitu suhu ekstraksi, waktu ekstraksi, dan konsentrasi pelarut. Apabila dikaji lebih lanjut, maka pada mixture design dan response surface terdapat satu kelemahan, yaitu tidak dapat mengoptimasikan respon kombinasi antara formula yang digunakan dan kondisi proses. Pada hakikatnya terdapat interaksi antara beberapa bahan baku penyusun dan proses produksi. Sehingga dengan adanya perubahan beberapa ingridien dan kondisi proses yang diberikan akan menghasilkan produk ataupun respon yang berbeda. Oleh karena itu penggabungan kedua metode tersebut merupakan hal yang penting dilakukan dalam proses optimasi. Penggabungan antara mixture design dan response surface method seringkali disebut dengan combined design (Anderson et al. 2000) Respon yang digunakan dalam combined design adalah fungsi dari proporsi perbedaan komponen atau beberapa ingridien yang dikombinasikan dengan kondisi proses produksi. Kombinasi penggabungan beberapa ingridien dan kondisi proses produksi dilakukan untuk menghasilkan suatu produk yang dapat dinikmati dengan atribut mutu yang optimum. Penggabungan beberapa ingridien dan kondisi proses dalam combined design dapat digunakan untuk melihat pengaruh pencampuran komponen dan kondisi proses dalam menghasilkan produk akhir dengan sifat yang diinginkan (Anderson et al. 2000). Namun, sampai saat ini optimasi menggunakan metode combined design belum digunakan pada proses pengolahan pangan, optimasi hanya sebatas formula atau kondisi proses saja.