1 Horrible Brothers Aku membuka mata ketika seleret sinar keemasan menembus jendela kamarku. Ah, hari ini hari pertamaku duduk di bangku SMA. Aku menendang selimutku dan bangkit berdiri membuka tirai. Aku masuk ke kamar mandi dan melakukan ritual pagi, yaitu mandi. Sebenarnya, aku paling malas kalau disuruh mandi, malah terkadang aku suka menggerutu (“Kenapa harus ada yang namanya MANDI?!”). But here and now, aku semangat membersihkan tubuh di kamar mandi. Tentu saja karena... AKU MASUK SMA!! Tiga kata itu terus terngiang di pikiranku, apalagi aku diterima menjadi salah satu murid di SMA favorit dengan peringkat tertinggi. Ah, senangnya! Setelah mandi, aku membuka lemari dan menarik keluar baju seragamku yang baru. Seragam yang keren. Aku menatap seragamku dengan bangga. Seragamku terdiri dari kemeja putih yang dilapisi dengan vest berwarna burgundy, sedangkan bawahannya adalah rok rimpel pendek bermotif batik berwarna ungu, tambahannya adalah dasi dengan batik dengan warna dan motif yang sama. Setelah memakai seragam itu, aku meraih ransel berwarna biru yang di dalamnya sudah lengkap dengan alat tulis. Aku bergegas turun ke lantai bawah dan melihat kedua kakakku sedang asyik melakukan kegiatan rutinnya di meja makan: Armand sedang menarikan jarijarinya di atas laptop sambil menyeruput kopi, sementara Rizmy memetik-metik senar gitar sambil menyantap omelet tiram buatan Bi Ijah. Tetapi anehnya, ayah tidak ada di mana pun. Koran yang biasanya dibaca oleh ayah setiap pagi tergeletak begitu saja di atas meja makan. “Ayah di mana, Kak?” tanyaku, menarik kursi di sebelah Armand. “Wow, you look so beautiful!” puji Armand seraya menatapku takjub. “Ayah sudah berangkat ke Jepang dari pukul empat pagi tadi. Ayah nggak mau bangunin lo, karena hari ini kan hari pertama lo masuk sekolah.” “Justru itu! Aku mau menunjukkan seragam baruku kepada ayah, tapi ayah malah pergi lebih awal!” aku merengut. “Percuma saja, he doesn’t even care about us,” sela Rizmy cuek. “Kakak nggak boleh ngomong begitu!” tegurku. “Biarin,” katanya cuek. “toh yang dia pedulikan hanya bisnis, bisnis, dan bisnis!” “Ayah kan cari uang untuk kita semua juga!”
“Eh, sudah, sudah! Kok malah berantem? Ayo, Keira makan dulu, nanti lo telat lagi,” ujar Armand, menengahi. Aku duduk di samping Armand dan meraih pirih yang berisi omelet tiram. Sambil mengunyah omelet, aku menatap kakakku. Kak Armand atau Orlando Armand, kakak paling baik yang pernah aku temui. Ia baru saja lulus SMA dan sedang mendaftarkan diri di Massachussets Institute of Technology. Dia memang pintar sekali, jadi aku tak heran bila MIT akan menerimanya. Tampangnya? Aku heran banyak cewek-cewek yang jatuh cinta setengah-mati dengannya. Kata mereka, kakakku ini mirip dengan Tom Welling-nya Smallville. Rambutnya coklat mohawk, hidungnya mancung, dan kulitnya agak coklat karena saking seringnya bermain field hockey. Dia mempunyai tubuh yang tinggi, ideal, dan atletis. Menurutku, Armand adalah orang yang easy going, pengertian sebagai kakak, tipe cowok setia, tegas, dan sederhana. Hatinya yang lembut dan wajahnya yang tampan dapat membuat cewek-cewek tergila-gila padanya. “Keira, kok malah bengong? Makan dong omeletnya...” ujar Armand, mengagetkanku. “Oh iya, Kak.” “Gue siapkan mobil dulu, ya. Gue tunggu lo lima menit lagi, Kei! Kalau lo belum selesai juga, gue tinggal nanti!” seru Rizmy, bangkit dari kursi dan memanggul ransel serta gitarnya. Aku pun menatap sosok Rizmy yang berjalan melewatiku. Kak Rizmy atau Percival Rizmy, adalah kebalikan dari Armand. Ia sekarang duduk di kelas sebelas jurusan IPA di Artemisia International School—yang juga sekolahku. Sebenarnya, Rizmy lebih tampan daripada Armand. Muka Rizmy lebih imut seperti Charlie Cox di film Stardust. Rambutnya yang gondrong sejajar dengan telinga, hidungnya mancung, dan mempunyai badan tegap yang ideal. Tapi yang paling membuatku merasa jengkel adalah ia terlalu posesif, galak, dan rese! Terkadang dia cuek, kadang dia juga perhatian, overprotektif, dan playboy! Maklum, gayanya yang cool dan slengean itu menarik banyak perhatian cewek-cewek. Sejak ibu meninggal, kedua kakakku ini menjalankan perintah beliau dengan sangat tekun: menjaga adik bungsu mereka (baca: aku) dan mereka akhirnya menjadi sangat-superduper-over-protektif-sekali terhadapku, apalagi Rizmy. “Kei, nanti kalau lo sudah sampai di sekolah, lo harus pilih teman yang baik,” ujarnya, sambil menyetir Porsche hijau-lumut miliknya. Aku hanya bisa diam dan tidak berkomentar apa pun. Aku tahu kalau pesan Rizmy tidak hanya sampai di situ. “Oh iya, kalau makan juga jangan telat...”
Tuh kan! Pesannya persis seperti sinetron stripping! “Jangan lupa sholat dan yang paling penting, jangan pernah dekat-dekat dengan cowok mana pun! Apalagi cowok-cowok di sekolah kita berandal semua, nggak aman! “Terus kalau ada tugas dari guru, kerjakan di rumah, nggak boleh di sekolah!” lanjut Rizmy. Karena kesal, aku langsung mengeraskan volume lagu Slipknot yang disetel oleh Rizmy. “Hei, hei, what the hell are you doing?! Gue sedang memberi lo nasihat! Kalau gue lagi ngomong sama lo, tolong didengarkan dong, terus dijawab, jangan diam saja!” omel Rizmy. “Yeah, yeah, I’ve heard that, okay?” kataku, kesal. “Lagipula pesan-pesan kakak cuma itu-itu saja dan nggak ada yang baru. Aku bosan!” “Dasar!” Rizmy menambah kecepatan mobilnya. Padahal normalnya saja mobil Porsche ini sudah cepat sekali, apalagi kalau ditambah kecepatannya. Kebayang kan gilanya Rizmy kalau sudah kebut-kebutan? Nyalip sana, nyalip sini... Aku merasa sedang di sirkuit F1, mengendarai salah satu mobilnya! Kemudian, Rizmy menghentikan mobil di salah satu gedung yang menjulang tinggi berpagar beton. Artemisia International School adalah sekolah swasta yang berkualitas internasional dan bermutu tinggi. Sekolah ini sudah memakai laptop dan LCD proyektor untuk setiap pelajarannya. Di dalam kelas, mereka juga diwajibkan memakai bahasa Inggris, bahkan ada beberapa kelas yang sudah memakai bahasa Mandarin dan Perancis. Kalau sekolah seperti ini, sudah ketahuan kan anak-anaknya seperti apa? Yeah, benar. Semua anaknya kaya raya, cantik-cantik, dan ganteng-ganteng. “Elo turun saja, anak-anak kelas sepuluh berkumpul di auditorium untuk pembagian kelas. Gue mau memarkirkan mobil dulu di basement,” kata Rizmy menatapku. Aku mengangguk dan membuka seatbelt. “Kalau ada apa-apa, telepon gue ya,” kata Rizmy, lagi. “Ingat pesan-pesan gue tadi.” “Iya, iya, Kak! Aku tahu dan aku bukan balita lagi yang harus diawasi setiap waktu. Aku sudah dewasa! See? I’m in grade ten now, I can take care of myself...” Aku keluar dari mobil dengan membanting pintu. Aku kesal sekali. Aku mencoba menghalau kekesalanku dengan melihat-lihat sekolahku yang baru, sambil berjalan melewati lapangan bola yang luas sekali dan beralaskan rumput hijau. Tepat di depan lapangan itu, aku menemukan sebuah gedung besar dengan pelat emas di sebelah pintu-pintunya: Auditorium. Di dalam sana, sudah banyak anak-anak kelas satu yang berkumpul memakai seragam yang sama denganku. Di mimbar depan, ada beberapa anak yang memakai jaket ungu
bertuliskan “Student Organization Executive Board”. Mungkin seperti pengurus OSIS yang mengurus pengorganisiran siswa baru. Salah satu dari mereka maju ke depan dan mengucapkan selamat datang kepada anak-anak kelas sepuluh. Sepertinya, dia adalah ketua umumnya. “Baiklah, untuk mempersingkat waktu, saya akan membacakan pembagian kelas yang dimulai dari kelas sepuluh-satu. Arzani Yuditha, Anthonius Pierre, Arianna Yolanda...” katanya, membacakan nama anak-anak yang masuk ke sepuluh-satu sesuai abjad. “Oriana Queen, Pamela Lolita, Princessa Keira...” Wah, ternyata aku masuk ke kelas sepuluh-satu! Aku pun memisahkan diri dari barisan dan berbaris lagi di barisan anak-anak sepuluh-satu lainnya. “Kelas sepuluh satu dipersilakan masuk ke kelas pertama kalian bersama mentor kalian, Kak Rizka,” kata sang ketua setelah selesai membacakan nama. Sementara itu, aku dan anak-anak kelas sepuluh-satu lainnya mengikuti Kak Rizka menuju lantai tiga dan berhenti tepat di depan kelas Biologi. “Guru Biologi kalian adalah Bu Ida Ayu, wali kelas kalian. Jadi, kalian harus sopan dan mendengarkan kata-katanya,” jelas Kak Rizka, menggiring kami masuk ke kelas. “Baiklah, saya tinggal dulu. Kalian duduk saja sambil menunggu guru kalian.” Aku langsung mengambil tempat duduk di deretan kedua dari depan tepat ketika seseorang duduk di sebelahku. Aku menoleh dan melihat seorang cewek berkacamata dengan kuncir ekor-kuda di sana. “Can I sit here?” tanya cewek itu. “Sure,” aku balas tersenyum. “I’m Carmen, and you?” “Keira,” kataku sambil menjabat tangan cewek itu dengan akrab. “Can you speak Bahasa? I don’t really enjoy using English unless in the class,” kata Carmen, ramah. “Ya, tentu saja,” kataku mengangguk. “Gue masih ada keturunan Padang kok.” “Lo bukan orang luar? Tadi sekilas gue mengira lo orang bule, karena wajah lo yang bukan orang Indonesia asli,” kata Carmen. “Ditambah lagi rambut lo berwarna merahkecokelatan!” Aku hanya tersenyum mendengar ocehan Carmen. Tiba-tiba, ponselku bergetar dan lagu Angels and Airwaves yang The Flight of Apollo berbunyi dari saku blazerku: My Bro Rizmy calling... “Halo, Kak?”
“Elo sudah sampai di kelas belum?” tanya Rizmy di seberang sana. Ada suara-suara anak-anak cowok tertawa bercampur dengan gitar di sana. “Berisik banget sih,” komentarku. “Oh, gue lagi nongkrong sama teman-teman gue. Sudah sampai di kelas belum?” tanyanya lagi. “Sudah kok, di kelas Biologi. Aku sedang menunggu gurunya sekarang,” jawabku. “Sudah dulu ya, Kak, aku mau bersiap-siap untuk pelajaran baruku.” “Ya sudah, bye...” Klik! Aku memutuskan sambungan dan menaruh ponsel di dalam saku blazer lagi. “Dari kakak lo ya?” tanya Carmen, sambil menghidupkan laptopnya. Anak-anak yang lain juga sedang bersiap-siap dengan laptop mereka. Belum sempat aku menjawab pertanyaan Carmen, ponselku berbunyi bising lagi. Repot deh punya kakak model begini! “Apa lagi sih, Kak?” kataku, kesal. “Aku mau belajar!” “Oke, oke, gue tahu. Gue cuma mau bilang kalau istirahat nanti, lo harus temui gue di taman belakang sekolah,” kata Rizmy datar. “Iya, iya, nanti aku ke sana! Sekarang aku belajar dulu!” aku mematikan ponsel dengan gusar. “Judes amat lo, Kei!” Carmen terkejut. “Kakak yang rese dan cerewet seperti dia, memang perlu dijudesin! Kalau nggak, dia nggak akan berhenti ganggu...” kataku, sambil mengatur silent mode di ponselku. Tak lama kemudian, ponselku bergetar hebat lagi yang ketiga kalinya. Dengan kesal, aku melihat ponsel. Kali ini dari Kak Armand. “Ada apa, Kak?” tanyaku, bosan. “Kok suara lo lemas, Kei? Lo belum makan ya? Tadi makan omeletnya banyak kan? Di sekolah kan ada kafeteria, nanti siang elo harus makan lagi ya!” cerocos Armand. “Hei, hei, satu-satu dong, Kak!” keluhku. “Sekarang lo lagi di mana?” “Lagi di kelas. Sudah dulu ya, Kak!” “Siapa lagi, Kei?” tanya Carmen, sambil melihatku menonaktifkan ponsel. “Monster kedua.”
2 Curiosity “Kak? Kakak di mana?” tanyaku sambil menempelkan ponsel di telinga. “Aku sudah di dekat taman belakang sekolah nih...” “Elo belok kiri sedikit di samping pohon pinus dekat air mancur,” jawab Rizmy dan aku pun mengikuti instruksinya dengan benar. Lalu, aku menemukan badan tegap kakakku, tangannya melambai-lambai memanggilku. Aduh, siapa mereka? Di samping Rizmy, ada segerombolan cowok-cowok kelas sebelas dan kelas dua belas sedang berkumpul. Mungkin sekitar belasan orang, entah apa jelasnya yang sedang dilakukan oleh kakakku dan teman-temannya. Ada yang sedang mengobrol, bermain gitar, bernyanyi nggak jelas, menghisap rokok, bercanda sambil tertawa— standardlah sama kelakuan anak-anak cowok zaman sekarang. “Wow, ada cewek cantik menghampiri kita!” teriak salah seorang dari mereka, membuat yang lainnya mengalihkan pandangan kepadaku. “Hei, cewek! Elo kelas sepuluh ya? Sini main sama kita!” “You bastard! Itu adik GUE tahu!” Rizmy langsung berteriak mengalahkan suara sorakan anak-anak labil itu. “Keira, sini!” Dengan bete dan kesal, aku berjalan ke arah mereka dengan sikap waspada. Begitu aku mendekat, Rizmy langsung merangkulku dengan mesra. “Cewek cantik yang kalian maksud ini adalah adik gue.” “Masa?” kata temannya, tidak percaya. “Selama ini kita nggak tahu kalau elo punya adik dan elo juga nggak pernah bilang ke kita.” “Ya iyalah, gue nggak mau adik gue satu-satunya yang paling cantik sedunia ini disambar oleh lo semua!” kata Rizmy merangkulku. “Kalau kalian mau tahu, dia bernama Keira...” “Keira Knightley?” “Ya nggaklah! Cantiknya sih mirip dengan Keira Knightley, tapi namanya Princessa Keira,” Rizmy mencolek daguku genit. “Gila, arti namanya saja “putri”, kita nggak heran kalau orangnya juga seperti tuan putri!” kata salah satu teman Rizmy dengan norak. Aku diam saja sambil melihat mereka semua dengan senyuman terpaksa. Kalau dilihat dari dekat, memang sih mereka semua ganteng-ganteng banget, apalagi yang sedang duduk di
bawah pohon sambil bermain gitar akustik. Cowok itu sepertinya tidak peduli dengan kedatanganku. Dalam hati, aku menyesal dia tidak menggodaku seperti yang lain. Karena sudah kehilangan kesabaran, aku melepaskan tangan Rizmy dari pundakku dan menarik Rizmy menjauh dari sana. “Cepat jelaskan apa maksud kakak panggil-panggil aku ke sini?” bentakku. “Memangnya aku ini barang antik yang setiap saat bisa dipamerin?” “Oke, oke, maaf! Nah, sekarang gue antar lo ke kelas ya?” Rizmy menggenggam tanganku. Aku menepis tangannya. “Nggak usahlah, Kak. Aku bisa sendiri, lagipula aku ke kelas bersama Carmen. Dia sedang menungguku di depan sana.” “Siapa itu Carmen?” “Tentu saja, temanku,” aku memutar bola mata dengan kesal. “Orangnya bagaimana? Baik nggak?” “Baik,” ujarku bosan. “Terus... cantik nggak?” Aku merengut kesal. “Kakak! Bisa nggak kakak berubah jadi cowok setia? Aku lihat tadi kakak jalan sama Kak Rizka, mentor kelas sepuluh-satu! Kakak jadian kan dengannya?” “Ah, bukan kok! Lagipula gue kan ganteng, banyak yang mau dengan gue!” sanggah Rizmy. “Ya sudah sana, si cantik Carmen sudah menunggu terlalu lama...” Rizmy menaiknaikkan alisnya. “Huh, awas lho kalau kakak menggodanya! Aku nggak setuju, dia anak baik-baik!” “Coba saja lihat! Pasti dia jatuh cinta pada gue!” “Pokoknya nggak boleh!” Kemudian Rizmy beranjak pergi dari hadapanku dengan wajah menyebalkan, yang seolah-olah
berkata
keras-keras,
“gue-harus-pacarin-teman-lo-karena-nggak-ada-cewek-
yang-nggak-suka-sama-gue”. *** Rizmy berbalik meninggalkan adik ceweknya itu. Dari jauh, ia bisa melihat wajah Keira yang kesal setengah-mati. Ia pun kembali ke antara teman-temannya. “Kemana si cantik Keira, Riz?” tanya Rio. “Kenapa? Lo suka?” tanya Rizmy judes. “Silakan langkahin dulu mayat gue, baru lo bisa memacarinya!” “Buset, sensi banget lo!” kata Rio, lagi. “Ya iyalah, gue nggak mau saja dia kenapa-kenapa!” “Iya, iya, bawel...” kata yang lain. “Eh, dia sudah ada pacar belum sih?”
Rizmy menggeleng kuat-kuat. “Gue nggak mengizinkannya pacaran! Haram! Lagipula, nggak bakal ada yang berani dekat-dekat dengannya selama ada gue!” “Eh, cerita dong tentang dia! Kita semua mau tahu tentang dia lebih jauh nih,” ujar Rio dan yang lain bersorak setuju. Rizmy menatap semua temannya dengan heran. Semuanya terlihat antusias menatap Rizmy. Akhirnya, dia menyerah dan mulai membuka mulut. “Tapi awas lho kalau ada yang berani kenalan atau dekat-dekat dengannya, hadapi gue dulu kalau mau! Nggak akan gue beri ampun, walaupun orang itu sahabat karib gue sendiri, dengar lo semua?! Mendekatinya saja nggak boleh apalagi mainin dia! Gue habisi tuh orang sampai mampus!” Rizmy memberikan ultimatum maut kepada teman-temannya, yang menatap Rizmy dengan pucat pasi. Wajah Rizmy sangar sekali. Matanya melotot, mukanya tegas, dan penuh tekad. Tetapi, ketika ia mulai bercerita tentang Keira, wajahnya menjadi lembut dan jauh dari rasa amarah. “Keira itu lahir di Amsterdam, tanggal 30 Mei. Saat itu, almarhum ibu gue mengandungnya di sana, tepat pada saat ayah bekerja di kota itu selama lima tahun. Keira nggak pernah neko-neko, kadang dia suka membuat gue gemas dan membuat gue eneg. Tapi dia kalem dan perhatian, dia juga bisa galak seperti singa. Dia bisa menjadi tomboy, tapi bisa juga feminin...” “Apa lagi, Riz?” sambar temannya. “Biasa aja kali! Nggak usah antusias begitu!” Yang lain tertawa. “Adik lo benar-benar buat kita kagum sih, Riz! Cantiknya nggak “biasa” dari cewek-cewek yang lainnya. Dia punya aura tersendiri!” “Huh, lo semua mengagungkan makhluk bernama cewek, seakan-akan dia adalah malaikat atau bidadari cantik di tengah para manusia!” tiba-tiba Kai, yang sibuk menyetem senar gitarnya, berkata keras dengan wajah datar. Ia kelihatan tak tertarik sama sekali dengan adiknya Rizmy. “Berlebihan lo semua!” “Calm down, man!” ujar yang lain. “Sudah biarkan saja dia!” kata Rizmy menengahi. “Kai, gue malah senang kok lo nggak tertarik sama adik gue...” “Bagaimana tadi sekolahnya?” Armand menyambutku ketika sepulang sekolah. “Bagus, aku berkenalan dengan banyak teman baru di sana, Kak! Ada Carmen, Vega, Shanty, dan... banyak deh pokoknya!” aku bersemangat bercerita. “Lalu, ada cowok yang mendekati lo nggak?”
“Bagaimana mereka bisa mendekatiku? Dengan jarak lima meter pun mereka sudah pergi gara-gara dipelototi oleh Kak Rizmy!” omelku, mendelik ke arah Rizmy. “Bagus, Riz! Elo sudah laksanakan semua tugas lo dengan baik!” Armand mengacungkan jempol kepada Rizmy, yang langsung dibalas dengan cengiran lebar. Aku mengentakkan kaki dengan kesal. “Kakak! Kakak kok malah membelanya? Sudahlah, aku mau ke kamar!” Dengan merengut, aku naik ke lantai atas dan membanting pintu kamar keras-keras. Aku menjatuhkan diri dengan lelah ke tempat tidur setelah menyetel CD Sufjan Stevens. Tidurtiduran sambil mengingat kejadian di sekolah tadi... Aku mempunyai sekolah baru, kelas baru, dan teman-teman baru. Sangat menyenangkan bisa bersekolah di sana. Kukira anak-anaknya sombong, tapi ternyata malah kebalikannya. Mereka semua tidak segan-segan menolong dan ramah kepada semua kalangan, baik terhadap yang kaya raya hingga siswa miskin yang mendapatkan beasiswa dengan cuma-cuma. Hal yang membuat orang jomblo sepertiku bahagia bisa bersekolah di sana adalah... cowokcowoknya ganteng-ganteng! Hihihi... Omong-omong tentang cowok ganteng, temannya Rizmy yang duduk di bawah pohon sambil bermain gitar juga hampir menyita seluruh perhatianku. Kira-kira namanya siapa ya? Sebaiknya aku tanya Rizmy saja... Aku keluar kamar dan bergegas menuju kamar Rizmy yang berada tepat di sebelah kamarku. Aku menduga Rizmy sedang menyetel musik keras-keras sekarang ini. Rizmy suka sekali dengan semua aliran musik rock dan scream. Saking seringnya menyetel musik aneh itu, pintu kamar Rizmy dipasangi bel agar bisa kedengaran kalau ada orang yang mau masuk ataupun memanggilnya. Aku memencet bel kamarnya dan tak lama kemudian Rizmy membuka pintu. Huh, lagilagi dia hanya memakai boxer sehingga perut sixpack-nya kemana-mana. Padahal, di kamarnya sudah ada dua AC, masa masih kepanasan? “Ada apa? Masuk saja,” katanya, cuek. “Aduh, bisa nggak sih pakai bajunya?!” aku memejamkan mata rapat-rapat. “Aku nggak mau masuk kalau kakak cuma pakai boxer!” Begini nih, kalau punya kakak atau adik cowok, kamu pasti bakal melihat dia bertelanjang dada. “Memangnya kenapa? Masa sama kakak sendiri malu sih? Gue juga sudah pernah melihat lo cuma pakai—” “Stop talking! Cepat pakai bajunya!” aku berteriak. “Iya, iya!”
Beberapa menit kemudian, Rizmy membuka pintu lagi dan sudah memakai kaos putih polos. Aku beranjak masuk ke dalam dan musik aneh dengan entakan keras memenuhi telingaku. Seluruh dinding kamarnya ditutupi dengan pengedap suara seperti di studio musik atau di bioskop. Gunanya adalah: membendung seluruh musik cadas ini agar tidak terdengar sepenjuru rumah. Akulah yang menganjurkan pada ayah untuk memasangnya, tentu saja karena akulah korban telinga tuli pertama bila musik itu bisa sampai terdengar keluar. Kamar Rizmy bernuansa hitam-putih elegan dengan berbagai gaya minimalis. Di sanasini banyak poster band-band rock yang sudah dibingkai secara artistik oleh Rizmy sendiri. Ada poster Marylin Manson, Slipknot, Bring Me the Horizon, Alesana, Bullet for My Valentine, Dragonforce, Dream Theater, dan masih banyak lagi. Di pojok ruangan juga terdapat gitar-gitar elektrik. Maklumlah, Rizmy memang seorang anggota band musik rock. “Ada apa, Kei?” Rizmy duduk di sofa kulit di depan televisi LCD. Aku berkeliling ruangan. “Nggak, aku cuma pengin melihat-lihat kamar kakak...” Aku melihat foto-foto di meja pajangan, berharap si cowok-gitar-di bawah-pohon terlihat di salah satu foto-foto itu. Ah, itu dia! Dia terlihat di salah satu foto ketika Rizmy dan bandnya sedang manggung di sebuah pentas seni. Ternyata dia gitaris di band Rizmy, karena di dalam foto itu dia terlihat sedang bermain gitar. Ya ampun, dia benar-benar tampan! Aku tersenyum melihatnya. “Ngapain lo lihat foto-foto itu sambil senyam-senyum?” Rizmy menghampiri sambil mengerutkan dahi. Aku berusaha tidak peduli dengan mengangkat bahu. “Aku cuma pengin tahu saja kok teman-teman band kakak.” “Jangan-jangan lo suka dengan salah satu dari mereka ya? Hayoo, mengaku saja deh!” Rizmy mulai menyerocos panjang-lebar. “Nggak boleh! Pokoknya elo nggak boleh naksir salah satu dari mereka! Gue nggak pengin elo pacaran dulu! Kalaupun boleh, gue bakal seleksi mereka satu per satu, supaya elo nggak pacaran sama cowok player, bangsat, dan biadab. Elo nggak boleh sembarangan mendekati mereka! Salah-salah, elo bisa jadi santapan mereka! Dengar kata gue, Kei? Bahaya! BAHAYA!!” Aku menahan napas. “Belum apa-apa sudah dicerewetin begini! Aku kan nggak bilang kalau aku naksir!” “Terus apa? Kenapa lo menatap foto mereka dengan wajah seperti itu?” tanya Rizmy, emosi. Aku menenangkannya. “Kak... Kak Rizmy... Dengar, aku nggak ada niat apa-apa. Aku cuma pengin tahu nama gitaris band kakak siapa.”
Bukannya malah tenang dan rileks, Rizmy makin meledak-ledak. “Memang kenapa elo bertanya-tanya soal dia? Nggak boleh! Elo nggak boleh mendekati Kai!” Oh, jadi namanya Kai. “Ya sudah, cuma begitu saja kok. Err... aku masuk ke kamar dulu ya, Kak!” aku cepatcepat pergi dari sana dan bergegas mengunci pintu kamarku. Aku masih bisa mendengar Rizmy berteriak-teriak seru, mengalahkan suara berisik musik rock.