STUDI LABORATORIUM PENGARUH METODE INJEKSI SURFACTANT TERHADAP FAKTOR PEROLEHAN MINYAK PADA MODEL FISIK RESERVOIR 3 DIMENSI DENGAN POLA INJEKSI 5-TITIK
TUGAS AKHIR Oleh: IBNU SINA NIM 12204065
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNIK pada Program Studi Teknik Perminyakan
PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTAMBANGAN DAN PERMINYAKAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2010
STUDI LABORATORIUM PENGARUH METODE INJEKSI SURFACTANT TERHADAP FAKTOR PEROLEHAN MINYAK PADA MODEL FISIK RESERVOIR 3 DIMENSI DENGAN POLA INJEKSI 5-TITIK
TUGAS AKHIR Oleh: IBNU SINA NIM 12204065
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNIK pada Program Studi Teknik Perminyakan
Disetujui oleh: Dosen Pembimbing Tugas Akhir, Tanggal 28 Juni 2010
_______________________________ Ir. Leksono Mucharam, M.Sc., Ph.D.
Studi Laboratorium Pengaruh Metode Injeksi Surfactant terhadap Faktor Perolehan Minyak pada Model Fisik Reservoir 3 Dimensi dengan Pola Injeksi 5-Titik Oleh : Ibnu Sina* Ir. Leksono Mucharam, M.Sc., Ph.D.** Sari
Saat ini banyak metode EOR (Enhanced Oil Recovery) yang digunakan untuk meningkatkan perolehan minyak. Salah satu metode EOR yang paling signifikan terbukti di laboratorium dan lapangan adalah injeksi surfactant, suatu zat aktif yang dapat menurunkan tegangan antarmuka antara minyak dan air dan efektif untuk menurunkan saturasi minyak yang terjebak dalam pori-pori batuan. Dengan injeksi surfactant ke dalam reservoir, maka minyak yang terjebak dalam pori-pori mikroskopik batuan karena efek kapilaritas dapat didesak dan diproduksikan kembali sehingga dapat meningkatkan faktor perolehan minyak. Paper ini membahas pengaruh metode injeksi surfactant terhadap faktor perolehan minyak pada suatu model fisik reservoir 3D yang berupa sandpack berukuran 15 cm x 15 cm x 2.5 cm yang terbuat dari bahan campuran antara pasir dan semen yang berfungsi sebagai reservoir minyak buatan. Metode pendekatan dengan menggunakan model fisik reservoir 3D ini lebih akurat dan mendekati keadaan reservoir yang sebenarnya di lapangan dibandingkan pada model pendesakan satu dimensi pada core plug. Dalam rangka untuk memperoleh minyak dari model fisik reservoir 3D maka dilakukan waterflooding yaitu menginjeksikan sejumlah air yang terproduksi untuk mensimulasikan primary dan secondary recovery di laboratorium. Faktor perolehan minyak pada tahap ini adalah sebesar 28.28 %. Sisa minyak yang tertinggal dalam model fisik selanjutnya menjadi target untuk injeksi surfactant, baik secara konvensional maupun dengan metode soaking. Total faktor perolehan minyak pada tahap injeksi surfactant secara konvensional adalah sebesar 31%, sedangkan untuk injeksi surfactant dengan metode soaking dilakukan dalam 3 kali, masing-masing total faktor perolehan minyaknya adalah 37.81 %, 44.66 % dan 51.65 %. Kata kunci : surfactant, tegangan antarmuka, model fisik reservoir 3D, faktor perolehan, waterflooding, metode soaking. Abstract At the present time, there are a lot of ways to improve oil recovery. One of them which significant in laboratory and field are surfactant injection, an active agent that can reduce interfacial tension between oil and water and reduce residual oil saturation. By injecting surfactant into reservoir, so oil trapped by capillary effect can be produced to improve oil recovery factor. This paper discuss about the effect of surfactant injection on the oil recovery factor in a 15 cm x 15 cm x 2.5 cm 3D reservoir physical model, made of mixing both sand and cement on a specified composition and used as artificial oil reservoir. The approaching method of this 3D model is more reliable and acceptable as a reservoir representative than one dimension displacement in core plug. In order to recover oil from 3D reservoir physical model, amount of produce water injected to simulate both primary and secondary oil recovery in laboratory. The recovery factor for this waterflood method was about 28.28 %. Meanwhile the residual oil which left in reservoir model would be then recovered by surfactant injection both using conventional and soaking method. The total recovery factor due to surfactant injection by conventional EOR method increased up to 31%, while for the three phases of soaking method was about 37.81 %, 44.66 % and 51.65 %. Keyword: surfactant, interfacial tension, 3D reservoir physical model, recovery factor, waterflooding, soaking method. * Mahasiswa Program StudiTeknik Perminyakan ITB **Pembimbing/Dosen Program StudiTeknik Perminyakan ITB
Ibnu Sina, 12204065, Sem 2 2009/2010
1
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada lapangan minyak yang diproduksi dengan waterflooding, biasanya jumlah minyak yang masih tertinggal di lapangan minyak tersebut masih sangat besar. Minyak yang tidak dapat diproduksi umumnya terjebak di dalam pori-pori mikroskopik akibat gaya kapiler dan gaya viskositas antara fluida reservoir. Minyak yang terjebak ini tidak bisa diambil dan didesak sampai batas kritis tegangan antarmuka tersebut terlampaui. Metode yang paling signifikan untuk meningkatkan produksi dan perolehan minyak yang terjebak dalam pori-pori mikroskopik tersebut adalah dengan penerapan Enhanced Oil Recovery (EOR). Proses EOR merupakan semua proses yang melibatkan injeksi satu atau beberapa fluida ke dalam reservoir untuk menambah kemampuan energi alamiah yang ada di reservoir dimana fluidafluida yang diinjeksikan akan berinteraksi dengan sistem minyak, brine dan batuan, untuk menciptakan suatu kondisi-kondisi yang diinginkan dalam memaksimalkan perolehan minyak2. Beberapa kondisi yang diinginkan dalam reservoir untuk memaksimalkan perolehan minyak adalah penurunan tegangan antarmuka, perubahan wettability batuan, pengembangan volume minyak, penurunan viskositas minyak dan kelakuan fasa fluida yang baik. Pengaruh tekanan kapiler terhadap mekanisme terjebaknya minyak dalam pori-pori mikroskopik batuan reservoir dinyatakan dalam suatu parameter tak berdimensi yang disebut capillary number. Capillary number didefinisikan sebagai perbandingan antara viscous forces terhadap capillary forces.
N ca
Viscous Forces w ow ............... (1) Capillary Forces
Dimana : N ca Capillary Number
Average velocity of fluid in the pores ( ft / D) w Displacing fluid vis cos ity (cP ) ow Interfacia l Tension ( IFT ) between water and oil (dyne / cm)
Ibnu Sina, 12204065, Sem 2 2009/2010
Gambar 1. Hubungan Antara Capillary Number dengan Faktor Perolehan Minyak 2 Dari Gambar 1, dapat dilihat bahwa untuk meningkatkan recovery minyak dapat dilakukan dengan cara memaksimalkan capillary number. Dari persamaan 1, ada tiga cara untuk memaksimalkan capillary number, yaitu: 1. Meningkatkan laju injeksi dari fasa pendesak (Darcy velocity) 2. Meningkatkan viskositas dari fasa pendesak 3. Menurunkan tegangan antarmuka (interfacial tension) sistem air-minyak dan permukaan batuan. Meningkatkan laju injeksi dari fasa pendesak akan sangat beresiko. Hal ini dikarenakan adanya batasan kemampuan batuan dalam menerima tekanan, di sisi lain mobility ratio yang besar dapat mengakibatkan efisiensi penyapuan yang buruk. Cara lain untuk memaksimalkan capillary number adalah dengan meningkatkan viskositas dari fasa pendesak melalui penambahan polimer ke dalam fasa pendesak dan menginjeksikannya ke dalam reservoir serta dengan menurunkan tegangan antarmuka antara air dan minyak melalui injeksi surfactant ke dalam reservoir. Dari ketiga cara di atas injeksi polimer dan surfactant merupakan metode yang sering dilakukan dalam meningkatkan perolehan minyak. Berkaitan dengan hal tersebut, injeksi surfactant terbukti secara signifikan dapat menurunkan tegangan antarmuka sistem air-minyak dan permukaan batuan serta efektif untuk menurunkan saturasi minyak yang terjebak dalam pori-pori batuan. Dengan tingginya harga dan biaya operasi injeksi surfactant, maka perlu dilakukan studi untuk menentukan metode dan perencanaan injeksi surfactant yang matang agar mendapatkan faktor perolehan yang maksimum.
2
1.2 Tujuan Penelitian a. Membuat model fisik reservoir 3D sebagai pengganti core plug yang biasa digunakan di laboratorium, agar hasil percobaan lebih akurat dan mendekati keadaan reservoir yang sebenarnya di lapangan dibandingkan pada model pendesakan satu dimensi pada core plug. b. Mengamati kemampuan surfactant dalam meningkatkan produksi minyak pada proses injeksi surfactant, baik injeksi konvensional maupun dengan metode soaking. c. Menghitung kumulatif perolehan minyak setelah dilakukan proses injeksi surfactant pada model fisik reservoir 3D dengan pola injeksi 5-titik.
berhubungan. Batuan reservoir dan batuan penutup harus merupakan perangkap untuk menahan minyak agar tidak tersebar, sebagaimana yang dapat dilihat pada Gambar 2.
1.3 Metodologi Penelitian Penyusunan paper ini dilakukan dengan beberapa metodologi antara lain : 1. Pengumpulan data-data hasil percobaan di laboratorium. 2. Studi literatur dan berbagai referensi yang berkaitan dengan penelitian. 3. Diskusi dengan narasumber.
Gambar 2. Reservoir Minyak Bumi4
II. TINJAUAN PUSTAKA Minyak bumi merupakan senyawa komplek hidrokarbon yang diyakini oleh sebagian besar ahli geologi perminyakan merupakan hasil aktivitas organik. Untuk terakumulasinya minyak bumi di suatu tempat memerlukan kondisi berikut 6: - Terdapat batuan induk (source rock) yang kaya akan material organik. - Adanya batuan reservoir yang permeabel dan berpori. - Adanya lapisan batuan impermeabel yang bertindak sebagai penutup (cap-rock) Batuan reservoir adalah wadah di bawah permukaan yang mengandung minyak dan gas. Ruang penyimpanan minyak dalam reservoir berupa rongga-rongga atau pori-pori yang terdapat diantara butiran mineral atau dapat pula di dalam rekahan batuan. Setiap batuan dapat bertindak sebagai batuan reservoir asal mempunyai kemampuan untuk dapat menyimpan serta melepaskan minyak bumi. Dalam hal ini batuan reservoir harus mempunyai porositas yang memberikan kemampuan untuk menyimpan, juga permeabilitas yaitu kemampuan untuk melepaskan minyak bumi. Jadi secara singkat dapat disebutkan bahwa reservoir harus berpori-pori yang saling Ibnu Sina, 12204065, Sem 2 2009/2010
Pada saat pertama kali diproduksikan, minyak akan berproduksi secara alamiah tanpa adanya penambahan energi dari luar reservoir. Tahap ini biasa disebut tahap pengurasan alamiah (natural primary recovery). Peningkatan produksi yang dilakukan di lapangan menyebabkan penurunan tekanan reservoir yang pada akhirnya mengurangi produktivitas sumur. Untuk mempertahankan penurunan tekanan tersebut, maka dilakukan secondary recovery sehingga dapat pula meningkatkan perolehan minyak. Salah satu upaya secondary recovery adalah dengan melakukan injeksi air (waterflooding). Injeksi air terbukti dapat mempertahankan tekanan reservoir dan juga dapat mendorong minyak ke sumur produksi. Umumnya efisiensi pengurasan dengan waterflooding berkisar antara 30% sampai 40% OOIP (Original Oil In Place). Akan tetapi waterflooding tidak efektif lagi jika sudah terjadi water breakthrough karena setelah ini watercut akan naik. Hal ini disebabkan minyak tidak dapat diproduksi lagi karena terjebak di dalam pori-pori mikroskopik akibat efek kapilaritas yang berhubungan dengan tegangan antarmuka airminyak dan permukaan batuan. Dari penjelasan persamaan 1, salah satu cara yang akan dilakukan untuk meningkatkan perolehan minyak adalah dengan menurunkan tegangan antar muka sistem air-minyak dan permukaan batuan melalui injeksi surfactant, yang juga dikenal sebagai wetting agent. Istilah wetting (membasahi) berarti bahwa fluida melingkupi atau 3
melapisi suatu permukaan padatan, sementara nonwetting (tidak membasahi) berarti suatu fluida cenderung untuk membundar atau meninggalkan suatu permukaan padatan. Surfactant biasanya merupakan senyawa organik yang bersifat hydrophobic (tidak menyukai air tapi larut dalam minyak) pada rantai ekornya dan hydrophilic (menyukai air atau larut dalam air) pada kepalanya sebagaimana yang terlihat pada Gambar 3. Oleh karena itu surfactant bersifat semi-soluble dalam air maupun larutan organik. Hal ini menyebabkan surfactant sangat efisien dan efektif dipakai dalam proses EOR karena dapat memobilisasi minyak residu dalam pori-pori batuan reservoir sehingga memudahkannya untuk mengalir. Dengan injeksi surfactant diharapkan sisa minyak yang terperangkap dalam pori-pori mikroskopis batuan mudah didesak dan diproduksikan.
Gambar 3. Skema Molekul Surfactant3 Pada dasarnya ada dua konsep yang telah dikembangkan dalam penggunaan surfactant untuk meningkatkan perolehan minyak, yaitu 8: 1. Menginjeksikan larutan yang mengandung surfactant dengan konsentrasi yang rendah. Surfactant dilarutkan dalam air atau minyak dan berada dalam jumlah yang setimbang dengan gumpalan-gumpalan surfactant yang dikenal sebagai micelle. Sejumlah besar fluida, sekitar 15 – 60% pore volume diinjeksikan ke dalam reservoir untuk mengurangi tegangan antarmuka antara minyak dan air sehingga perolehan minyak meningkat 2. Larutan surfactant dengan konsentrasi yang lebih tinggi diinjeksikan ke dalam reservoir dalam jumlah yang lebih kecil yaitu 3 – 20% pore volume. Micelle yang terbentuk dapat berupa dispersi stabil air di dalam hidrokarbon, ataupun dispersi hidrokarbon dalam air.
Ibnu Sina, 12204065, Sem 2 2009/2010
Perolehan minyak berhubungan erat dengan lamanya proses perendaman (soaking time). Dimana semakin lama soaking time, maka faktor perolehan minyak juga akan semakin besar. Berdasarkan literatur dari berbagai referensi pengujian imbibisi spontan di laboratorium biasanya dilakukan sampai 700 jam (1 bulan). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh recovery factor yang maksimum sampai pada kondisi kesetimbangan tercapai. III. PERALATAN DAN BAHAN Peralatan dan bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah sebagai berikut: 3.1 a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. q. r.
Alat Timbangan digital Stainless tubing 1/16 in Magnetic strirer Pompa vakum Sieve Analysis Apparatus Oven pemanas RUSKA Constant Rate Pump Chamber injeksi Chamber multifungsi Valve Kompresor udara Picnometer Jangka sorong Tabung Erlenmeyer Tabung pengukur & rak tabung Statif Sendok pengaduk Kertas Saring
3.2 a. b. c. d. e. f. g. s.
Bahan Pasir Semen Air Sampel brine lapangan X Sampel minyak mentah lapangan X Surfactant 13A* Fiber glass Lem epoxy ( resin & hardener)
IV. PERSIAPAN DAN PROSEDUR PERCOBAAN 4.1 Sampel fluida Pertama-tama dilakukan pemilihan sampel fluida yaitu brine dan minyak mentah dengan salinitas brine yang tidak terlalu tinggi. 4
4.2 Pengukuran densitas fluida Pengukuran densitas fluida dilakukan dengan menggunakan picnometer dan timbangan digital. Prosedur pengukuran densitas adalah sebagai berikut: - Picnometer yang bersih dan kering dikalibrasi dengan menggunakan aquades untuk mengetahui volumenya pada suhu pengukuran. - Setelah itu picnometer kosong ditimbang dan dicatat beratnya. - Kemudian picnometer tersebut diisi dengan fluida sampai penuh dan ditutup dengan rapat. - Picnometer yang berisi fluida tersebut lalu ditimbang dengan timbangan digital. - Densitas fluida tersebut dihitung dengan persamaan:
W
picnometer fluida
W
picnometer
Volume Picnometer
............ (2) Dimana: ρ = densitas fluida (gr/cc) Wpicnometer = berat picnometer (gr) Wpicnometer+fluida = berat picnometer yang berisi fluida (gr)
Dimana : Wbrine = berat brine (gr) Wsolution = berat larutan surfactant yang diinginkan (gr) Wsource = berat surfactant yang dibutuhkan (gr) 4.4 Pembuatan Cetakan Sandpack Prosedur pembuatan cetakan sandpack adalah sebagai berikut: - Cetakan dibuat dari bahan fiber glass transparan yang memiliki ketebalan 0.5 cm. - Fiber glass kemudian dipotong dengan gergaji untuk membuat keempat sisi cetakan. - Ukuran masing-masing sisi cetakan adalah 15 cm x 2.5 cm. - Kemudian keempat sisi direkatkan dengan sikusiku besi dan lem sehingga membentuk balok tanpa penutup atas dan bawah. 4.5 Pembuatan model fisik reservoir 3D Untuk memudahkan pengamatan dan menghemat waktu percobaan, maka model ini dibuat hanya seperempat dari pola 5-titik, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.
4.3 Pembuatan Larutan Surfactant Untuk membuat larutan surfactant dengan konsentasi yang telah ditentukan, maka perlu dilakukan pengenceran dengan menggunakan brine. Berat source yang dibutuhkan adalah sebagai berikut :
Wsource
W Csolution solution AC ……………….. (3)
Dimana: Wsource = berat surfactant yang dibutuhkan (gr) Wsolution = berat larutan surfactant yang diinginkan (gr) Csolution = konsentrasi larutan surfactant yang diinginkan (wt%) AC = Active Content Kemudian ditambahkan brine sambil diaduk dengan menggunakan magnetic strirer sampai surfactant melarut sempurna dalam larutan. Brine yang diperlukan untuk pengenceran adalah sebagai berikut :
∆ = Injector Well = Producer Well Gambar 4. Pola Sumur Injeksi-Produksi 5-Titik
4 5
6 2
3
1
● = Main Well ○ = Back Up Well Gambar 5. Lokasi Sumur pada Model Fisik Reservoir 3D
Wbrine Wsolution Wsource …………………. (4) Ibnu Sina, 12204065, Sem 2 2009/2010
5
Prosedur pembuatan model fisik reservoir 3D adalah sebagai berikut: - Pasir kuarsa dicuci terlebih dahulu. Keringkan pasir kuarsa tersebut di bawah sinar matahari kemudian masukkan ke dalam oven selama 1 hari. - Saring pasir kuarsa yang telah dikeringkan menggunakan Sieve Analysis Apparatus dengan wadah ukuran butir sesuai yang kita inginkan, yaitu pasir dengan ukuran mesh 36-40. Pasir yang digunakan adalah pasir yang jatuh dari mesh ukuran 35 dan tertampung di mesh ukuran 40, sehingga kita dapatkan ukuran butir 0.4 – 0.5 mm. - Saring juga semen agar semen yang bergumpal dapat terpisahkan. - Pencetakan sandpack dimulai dengan membuat adonan pasir dan semen ditambah sedikit air, dengan komposisi pasir : semen = 80% : 20%. - Setelah adonan diaduk rata, kemudian sedikitdemi sedikit dimasukkan dalam cetakan sambil diberi tekanan sehingga sandpack lebih kompak dan kuat. - Sandpack yang dicetak memiliki dimensi 15 cm x 15 cm x 2.5 cm. - Setelah sandpack selesai dicetak, kemudian tubing stainless steel berukuran 1/16 in dipasang pada ujung diagonal-diagonalnya sebagai main well yaitu sumur injeksi dan produksi (sumur-1 dan sumur-4) dengan kedalaman tubing adalah 1 cm, sedangkan selang kedalaman open hole 0.5 cm. Dipasang juga 4 tubing tambahan sebagai back up well untuk membantu proses saturasi minyak nantinya (lihat Gambar 5). - Kemudian sandpack dibiarkan selama 3 hari agar mengering dan kuat. - Setelah sandpack kering, kemudian dimasukkan dalam oven selama 6 jam sehingga sisa air yang terdapat dalam sandpack menguap. - Sandpack yang kering kemudian dilapisi lem dengan ketebalan 0.5 cm sehingga sandpack benar-benar terisolasi dari lingkungan. Cara melapisi sandpack dengan lem ini menggunakan teknik pengecoran, yaitu dengan memasukkan sandpack ke dalam adonan lem epoxy yang telah disiapkan pada cetakan, dengan komposisi resin : hardener = 1 : 1. - Model kemudian dibiarkan mengering selama 24 jam, kemudian dapat digunakan. - Setelah kering, dipasang valve pada tubingtubing tersebut dengan tujuan untuk mempermudah inlet dan outlet port jika Ibnu Sina, 12204065, Sem 2 2009/2010
dirangkai dengan sistem pompa vakum dan pompa injeksi untuk keperluan injeksi-produksi. - Model fisik reservoir 3D yang sudah jadi kemudian ditimbang berat keringnya. 4.6 Uji kebocoran model Prosedur pengujian kebocoran model adalah sebagai berikut: - Seluruh permukaan model diolesi dengan busa sabun secara merata. - Injeksi udara dari kompresor ke dalam model dan amati apakah ada gelembung gas yang terbentuk pada busa sabun di permukaaan model. - Setelah itu model divakum terlebih dahulu dengan pompa vakum selama 3 jam. Dengan begitu diharapkan gas yang ada di dalam model dapat terevakuasi keluar dari model, sehingga dapat diasumsikan saturasi gas = 0. 4.7 Penjenuhan sandpack dengan brine Prosedur penjenuhan sandpack dengan brine adalah sebagai berikut : - Model divakum sekaligus dijenuhi dengan brine. Model diposisikan sehingga main well ada dalam satu garis vertical dengan posisi sumur-1 ada di bagian bawah. Sumur-4 dihubungkan ke pompa vakum, sedangkan sumur-1 dihubungkan ke chamber multifungsi. Ruang pori yang kondisinya telah tervakum akan tergantikan oleh brine yang dialirkan dari chamber multifungsi melalui sumur-1. - Proses penjenuhan dengan brine dilakukan dengan kondisi upward direction dengan asumsi gaya gravitasi menyebabkan air akan mengisi pori-pori bagian bawah dulu. - Setelah volume brine yang tervakum mencapai sedikitnya 5 PV (untuk memastikan saturasi gas = 0) kedua valve ditutup. - Proses penjenuhan tahap selanjutnya juga dilakukan dengan kondisi upward direction, dengan menginjeksikan brine dari sumur-1 dan dikeluarkan dari back up well dan sumur-4. Proses penjenuhan dilakukan hingga sandpack benar-benar tersaturasi oleh brine. - Model kemudian ditimbang berat jenuhnya. - Dari hasil penimbangan berat kering dan berat jenuh model, maka dapat dihitung volume pori dan porositas efektif dari sandpack dengan menggunakan persamaan berikut :
PV 100% Vb .................................. (5) 6
W
PV
jenuh
Wker ing
fluida penjenuh
........ ............. (6)
Dimana:
PV Vb
W jenuh
= porositas efektif (%) = volume pori sandpack (cc) = volume bulk (cc) = berat jenuh sandpack (gr)
Wker ing
= berat kering sandpack (gr)
fluida penjenuh = densitas brine (gr/cc) 4.8 Pendesakan brine dengan minyak Prosedur pendesakan brine dengan minyak adalah sebagai berikut: - Proses pendesakan dengan minyak dilakukan dengan kondisi downward direction, karena densitas minyak lebih rendah dibandingkan dengan densitas air maka diasumsikan minyak akan mengisi pori-pori bagian atas terlebih dahulu. - Model diposisikan sehingga main well ada dalam satu garis vertical dengan posisi sumur-1 ada di bagian atas, kemudian dirangkai dengan sistem RUSKA constant rate pump. - Proses injeksi minyak dari sumur-1 tidak langsung dikeluarkan ke sumur-4, namun dikeluarkan melalui back up well terlebih dahulu untuk memaksimalkan proses penjenuhan minyak agar saturasi minyak lebih merata di seluruh bagian sandpack. - Back up well yang dibuka terlebih dahulu adalah sumur yang letaknya lebih dekat dengan sumur-1 dan seterusnya sehingga sandpack benar-benar tersaturasi oleh minyak. - Dari jumlah volume air yang keluar, maka dapat dihitung saturasi awal minyak dan air dalam sandpack dengan menggunakan persamaan berikut:
Soi
Vwater out PV
100%
Swi 100 Soi
............................. (7)
......................................... (8)
Dimana:
Soi
= saturasi awal minyak (%)
Swi
= saturasi awal air (%)
Vwater out = volume air yang keluar (cc) PV
= volume pori sandpack (cc)
Ibnu Sina, 12204065, Sem 2 2009/2010
4.9 Proses perolehan minyak Prosedur perolehan minyak dari model fisik reservoir 3D adalah sebagai berikut: - Model fisik diposisikan secara horizontal sehingga posisi tubingnya menghadap ke atas. - Untuk injeksi brine (waterflooding), sumur-1 sebagai sumur injeksi dihubungkan ke chamber injeksi yang berisi brine, sedangkan sumur-4 sebagai sumur produksi dihubungkan ke tabung pengukur melalui pipeline 1/16 in. - Untuk injeksi surfactant, sumur-1 dihubungkan ke chamber injeksi yang berisi surfactant. - Untuk injeksi surfactant secara konvensional, surfactant dalam volume tertentu diinjeksikan ke dalam sandpack secara terus-menerus hingga kondisi minyak sudah tidak dapat diproduksikan lagi, atau watercut-nya mendekati 100%. - Untuk injeksi surfactant dengan metode soaking, surfactant dalam volume tertentu diinjeksikan ke dalam sandpack dan dilokasikan sesuai kebutuhan, lalu didiamkan selama waktu yang kita kehendaki dengan tujuan mereaksikan surfactant dengan fluida dan batuan sehingga minyak yang diperoleh akan maksimum. V. HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Brine Salinitas brine sangat mempengaruhi performance surfactant, oleh karena itu dipilih brine yang memiliki salinitas tidak terlalu tinggi. Adapun hasil pengujian analisa air terhadap brine Lapangan-X yang diperoleh dari Laboratorium Kualitas Air FTSL ITB adalah sebagai berikut : Tabel 1. Komposisi Brine Lapangan-X No Parameter Analisis Satuan
Metoda
Hasil Analisa
1
TDS
mg/l
SMEWW 2540-C
18650
2
Kesadahan (CaCO3)*
mg/l
SMEWW- 2340-C-
213.6
3
Kalsium (Ca2+)
mg/l
SMEWW 3500-Ca
46.81
4
Magnesium (Mg2+)
mg/l
SMEWW 3500-Mg
23.53
5
Natrium (Na+)
mg/l
SMEWW 3500-Na
6184
mg/l
SMEWW 3500-K-B
163.21
mg/l
SNI 06-2420 1991
3795
6
+
Kalium (K ) -
7 Bikarbonat (HCO3 ) 2-
8
Sulfat (SO4 )
mg/l SMEWW 4500-SO4-E
9
Klorida (Cl-)
mg/l
SMEWW 4500-Cl-
Total Ion (ppm)
379.3 7270 13133.62
7
Dari hasil pengujian analisa air untuk Lapangan-X seperti yang terlihat pada Tabel 1 diperoleh harga salinitas sebesar 13133.62 ppm artinya brine tersebut dapat dikategorikan kedalam salinitas rendah. Salinitas brine yang tinggi dapat mengurangi performance surfactant karena semakin besar salinitas brine maka kelarutan surfactant ionik akan berkurang sehingga dapat menyebabkan terjadinya pengendapan garam yang akan menyumbat poripori sandpack. Pada umumnya, brine dengan salinitas yang tinggi terutama dengan kandungan kation divalent yang tinggi, seperti Ca2+ dan Mg2+, dapat mengurangi efektifitas surfactant karena ion Ca2+ dan Mg2+ dapat bertukar dengan kation monovalen dari surfactant. Oleh karena itu brine yang diperlukan untuk pengenceran diharapkan mengandung ion Ca2+ dan Mg2+ yang tidak terlalu tinggi. 5.2 Densitas Fluida Perhitungan densitas brine & minyak pada temperatur ruangan yaitu 26 0C dengan menggunakan picnometer
aquades 0.99686 gr/cc Wpicno 12.55 gr
Wpicno water 22.64 gr V picno
Wpicno water Wpicno
water
22.64 12.55 10.1218 cc 0.9969
sehingga densitas brinenya adalah
Wpicno 12.55 gr Wpicno brine 22.82 gr Wpicnobrine Wpicno
22.82 12.55 1.0146 gr/cc Vpicno 10.1218 sedangkan densitas minyaknya adalah
brine
Wpicno 12.55 gr Wpicnooil 20.72 gr oil
Wpicnooil Wpicno Vpicno
20.72 12.55 0.8072 gr/cc 10.1218
Tabel 2. Densitas Fluida Lapangan X Densitas (gr/cc) No. Sampel @ T=26 oC 1 Brine 1.0146 2 Minyak mentah 0.8072
Ibnu Sina, 12204065, Sem 2 2009/2010
5.3 Surfactant Surfactant yang digunakan dalam percobaaan ini adalah Surfactant 13A* yang bersifat non-ionic dengan active content 99%. Molekul pada surfactant ini tidak terionisasi dalam larutan sehingga performance surfactant optimal pada sandpack yang terdiri dari pasir dan semen. Untuk mengisi chamber, dibutuhkan larutan surfactant sebanyak 1000 gr. Berat surfactant yang dibutuhkan dalam pembuatan larutan surfactant (AC=99%) dengan konsentrasi 2 wt% sebanyak 1000 gr adalah
Wsolution Csolution AC 1000 2 20.2 gr 99
Wsource
Berat brine yang diperlukan untuk pengenceran adalah
Wbrine Wsolution Wsource
1000 20.2 979.8 gr 5.4 Model Fisik Reservoir 3D Model fisik reservoir 3D ini dipakai untuk memodelkan pola sumur injeksi-produksi 5-titik di laboratorium. Penggunaan model fisik reservoir 3D ini diharapkan lebih akurat dan mendekati keadaan reservoir yang sebenarnya di lapangan dibandingkan pada model pendesakan satu dimensi pada core plug. Dari hasil pengujian kebocoran model, terbukti bahwa model sangat bagus dimana tidak ditemukan kebocoran dan gas yang diinjeksi dari sumur injeksi dapat keluar dari sumur produksi. Berikut ini adalah data dimensi sandpack serta hasil penimbangan model dalam kondisi kering dan jenuh. Tabel 3. Data dimensi sandpack dan berat model No. Parameter Nilai 1. Panjang sisi (cm) 15 2. Tebal (cm) 2.5 3. berat kering (gr) 2808.87 4. berat jenuh (gr) 2917.02 Dari hasil penimbangan berat kering dan berat jenuh model yang telah tersaturasi brine, dapat dihitung pore volume dan porositas efektif dari sandpack tersebut. Porositas efektif adalah persentase dari volume pori yang berhubungan satu sama lain terhadap volume bulk. Porositas efektif menunjukkan indikasi kemampuan batuan untuk 8
mengalirkan fluida melalui saluran pori-pori yang berhubungan.
Wbrine W jenuh Wker ing = 2917.02 – 2808.87 = 108.15 gr
Vbrine total
Wbrine
brine
108.15 106.66 cc 1.0146
Vbrine @ tubing 6 r 2t 2
Vbrine
0.165 cm 6 4 cm 2 3 0.5129 cm Vbrinetotal Vbrine @ tubing 106.14 cc
PV Vbrine 106.14 cc
PV 106.15 100% 100% 19 % Vb 15 15 2.5
Untuk mensimulasikan proses migrasi minyak pada reservoir, sejumlah minyak diinjeksikan ke dalam sandpack yang telah jenuh dengan brine sehingga men-displace brine (drainage stage) sampai kondisi dimana brine tidak ada yang keluar lagi dari outlet port, sementara fluida yang keluar semuanya sudah minyak. Jumlah brine yang keluar dari outlet port adalah 67.18 cc, sedangkan volume brine dalam pori-pori sandpack adalah 106.14 cc. Maka saturasi minyak awalnya adalah Vwater out 67.18 Soil 100% 100% 63.3% PV 106.14 Sedangkan saturasi air awalnya adalah
Swi 100% 63.3 % 36.7 % Model fisik reservoir 3D yang telah tersaturasi dengan brine dan minyak mentah menyebabkan model menjadi suatu media yang merepresentasikan reservoir minyak yang memiliki saturasi minyak awal dan saturasi air tak bergerak.
Tabel 4. Kondisi awal model fisik reservoir 3D Porosity (%) PV (cc) 19
106.14
Soi (%)
Swirr (%)
63.3
36.7
Ibnu Sina, 12204065, Sem 2 2009/2010
5.5 Proses perolehan minyak Untuk memperoleh minyak dari model fisik reservoir 3D, maka dilakukan pengurasan yang pada dasarnya merupakan suatu proses pendesakan suatu volume fluida, artinya ketika suatu volume hidrokarbon (minyak) didesak melalui proses produksi maka volume tersebut akan digantikan oleh suatu volume fluida lain. Oleh karena itu dibutuhkan sejumlah energi yang cukup untuk mencapai proses tersebut. Pada percobaan ini dilakukan simulasi primary, secondary, dan tertiary recovery. Untuk primary dan secondary recovery dilakukan injeksi brine (waterflooding). Sisa minyak yang tertinggal dalam model setelah waterflooding selanjutnya menjadi target untuk injeksi surfactant secara konvensional maupun dengan metode soaking. Waterflooding dilakukan dengan menginjeksikan brine sebanyak 0.3 PV menggunakan RUSKA constant rate pump dengan injection rate 0.273 cc/min. Hasil perolehan minyak (Recovery Factor) didapat sebesar 28.28%. Proses waterflooding dihentikan akibat watercut naik secara drastis, hal ini menunjukan sudah terjadi water breakthrough dimana waterflooding menjadi tidak efektif lagi. Proses water breakthrough yang cepat disebabkan oleh rendahnya sweep efficiency karena pengaruh mobility ratio antara air dan minyak. Pada tahap waterflooding, injeksi air ke reservoir tidak bisa mendesak semua minyak (nonwetting phase) yang ada di dalam pori-pori batuan reservoir. Gaya kapiler yang berkerja selama proses injeksi air menyebabkan sebagian dari minyak tertinggal atau terperangkap sebagai fasa diskontinyu dalam pori-pori batuan yang bersifat water-wet yang tidak bisa didesak dengan menggunakan gradien tekanan yang dihasilkan dari injeksi air tersebut. Oleh karena itu pada proses injeksi air, umumnya akan meninggalkan saturasi minyak residu. Besarnya saturasi minyak residu yang tertinggal di reservoir yang basah air setelah proses injeksi air tergantung pada saturasi air awal dan geometri pori-pori batuan. Saturasi minyak residu ini menjadi target yang penting untuk perolehan minyak tahap selanjutnya. Dalam rangka upaya peningkatan produksi minyak, setelah tahap waterflooding dilakukan injeksi surfactant. Surfactant dapat membentuk emulsi atau busa yang dapat meningkatkan efisiensi pendesakan minyak dalam reservoir. 9
Tahap pertama dalam proses injeksi surfactant menggunakan metode konvensional secara kontinu dengan laju injeksi 0.218 cc/min. Laju injeksi yang digunakan untuk injeksi surfactant lebih lambat satu stage dibandingkan laju injeksi yang digunakan untuk injeksi air, karena diharapkan dengan rate yang lebih lambat maka lebih lama laruran surfactant bereaksi di dalam sandpack sehingga akan memungkinkan reaksi maksimum antara surfactant dengan fluida dan batuan. Adapun dilakukan secara kontinu maksudnya dalam tahap ini larutan surfactant dengan konsentrasi 2 wt% sebanyak 0.2 PV diinjeksikan ke dalam sumur injeksi dilanjutkan dengan chase waterflooding. Hingga chase waterflooding berakhir diperoleh tambahan recovery factor sebesar 2.72 %, sehingga saat ini total recovery factor-nya adalah 31 %. Pada saat ini kondisi watercut-nya adalah 98.21%, hal inilah yang menjadi salah satu alasan proses chase waterflooding dihentikan karena kurva perolehannya sudah landai yang menandakan perolehan minyak dibandingakan perolehan airnya sudah tidak ekonomis lagi. Dari hasil ini terbukti bahwa injeksi surfactant dapat menurunkan tegangan antar muka antara minyak dan air, dengan demikian maka tekanan kapiler yang bekerja pada daerah penyempitan pori-pori akan berkurang sehingga sisa minyak yang terperangkap dalam pori-pori mikroskopis batuan dapat didesak dan diproduksikan. Dari penjelasan yang sudah ada, perolehan minyak akan lebih besar lagi jika waktu perendaman lebih lama, dimana dengan lamanya waktu perendaman diharapkan akan terjadi reaksi dan interaksi yang maksimum antara surfactant dengan fluida dan batuan sehingga minyak yang diperoleh akan maksimum. Sisa minyak yang tertinggal dalam sandpack setelah chase waterflooding selanjutnya menjadi target untuk injeksi surfactant dengan metode soaking.
injection
soaking
production
Gambar 6. Mekanisme Proses Stimulasi Surfactant dengan Metode Soaking
Ibnu Sina, 12204065, Sem 2 2009/2010
Gambar 7. Pengaruh Soaking Time terhadap Daerah Invasi Surfactant pada Proses Stimulasi Surfactant Selanjutnya injeksi surfactant dengan metode soaking dilakukan dengan injection rate sebesar 0.218 cc/min dengan konsentrasi 2 wt%, sebanyak 0.2 PV, setelah itu injeksi dihentikan dengan cara menutup sumur injeksi dan produksi selama 24 jam (soaking time), kemudian sandpack didesak dengan melakukan chase waterflooding untuk mendorong mobile oil yang dihasilkan surfactant selama proses stimulasi. Diperoleh tambahan recovery factor sebesar 6.81 % sehingga saat ini total recovery factor-nya adalah 37.81 %.
Gambar 8. Target Penempatan Posisi Larutan Surfactant pada Model Fisik Dari hasil injeksi surfactant dengan metode soaking yang telah dilakukan, dapat dipetakan daerah perendaman larutan surfactant pada model yang disesuaikan dengan area penyapuannya (daerah yang diarsir merah pada Gambar 8), sehingga pada injeksi surfactant dengan metode soaking tahap selanjutnya, larutan surfactant akan posisikan di tengah area penyapuan (target 2). Injeksi surfactant selanjutnya dilakukan dengan konsentrasi 2 wt%, sebanyak 0.2 PV, lalu dilakukan buffer water injection sebanyak 0.1 PV untuk menyangga larutan surfactant agar terdorong 10
sampai target 2. Setelah itu injeksi dihentikan selama 1 hari (soaking time). Kemudian sandpack didesak dengan melakukan chase waterflooding untuk mendorong mobile oil yang dihasilkan surfactant selama proses stimulasi. Diperoleh tambahan recovery factor sebanyak 6.85 % sehingga saat ini total recovery factor-nya adalah 44.66 %. Prosedur yang sama juga dilakukan pada target 3, yaitu area yang mendekati sumur produksi namun buffer water yang diinjeksikan adalah sebanyak 0.25 PV. Setelah itu injeksi dihentikan selama 3.5 hari (soaking time). Kemudian sandpack didesak dengan melakukan chase waterflooding untuk mendorong mobile oil yang dihasilkan surfactant selama proses stimulasi. Diperoleh tambahan recovery factor sebanyak 6.99% sehingga saat ini total recovery factor-nya adalah 51.65 %. Setelah ketiga proses injeksi surfactant dengan metode soaking dilakukan, diperkirakan saturasi minyak residu di area penyapuan sudah sangat kecil, terlihat dari kondisi watercut terakhir yaitu 99.46 % sehingga sudah tidak ekonomis lagi untuk diproduksikan. Adapun hasil perolehan minyak dari masing-masing metode injeksi dapat dilihat pada Tabel 5 serta Gambar 9 dan Gambar 10 : Tabel 5. Data Hasil Perolehan Minyak
VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Model fisik reservoir 3D telah berhasil didesain dan dibuat untuk mempresentasikan pola injeksi-produksi 5-titik. 2. Sandpack memiliki porositas sebesar 19 % dan volume porinya adalah 106.14 %. Pada kondisi awal model fisik reservoir 3D, besarnya saturasi minyak adalah 63.3 % dan saturasi air tak bergerak sebesar 36.7 %. 3. Faktor perolehan minyak pada tahap waterflooding adalah sebesar 28.28 %. Faktor perolehan minyak pada tahap injeksi surfactant secara konvensional adalah sebesar 31%, sedangkan untuk injeksi surfactant dengan metode soaking dilakukan dalam 3 kali, masingmasing total faktor perolehan minyaknya adalah 37.81 %, 44.66 % dan 51.65%, dengan waktu soaking masing-masing adalah 1 hari, 1 hari, dan 3.5 hari 4. Kombinasi antara injeksi surfactant konvensional dan stimulation (metode soaking) dapat meningkatkan recovery minyak. 5. Dengan injeksi surfactant menggunakan metode soaking, maka faktor perolehan minyak akan semakin besar karena lamanya waktu perendaman akan memungkinkan reaksi maksimum antara surfactant dengan fluida dan batuan.
Saran Perlu percobaan lebih lanjut untuk mendesak minyak residu yang masih tertinggal, baik di area yang telah maupun belum tersapu oleh fluida injeksi, diantaranya dengan cara: Menambah sumur (membuka back up well). Meningkatkan konsentrasi surfactant. Meningkatkan laju injeksi. Menambah soaking time. Gambar 9. Watercut & RF (%) vs PV injection
Gambar 10. Recovery factor (%) vs waktu (jam) Ibnu Sina, 12204065, Sem 2 2009/2010
11
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada : 1. Allah SWT, yang telah memberi banyak kemudahan sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik. 2. Kedua orang tua tercinta, Mamah dan Babap, yang telah memberikan banyak doa dan dukungan kepada penulis. 3. Ir. Leksono Mucharam, M.Sc., Ph.D., sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan petunjuk dan arahan selama membimbing penulis dalam mengerjakan tugas akhir. 4. Dr. Ir. Tutuka Ariadji, sebagai dosen wali sekaligus dosen penguji atas kritik dan saran yang telah diberikan pada penulis. 5. David Maurich, M.T. yang telah memberikan ide dan membantu penelitian di laboratorium. 6. Cindy Pedekawati, S.P., Antonius Dwiyanto, S.T., Dehendra Permana, S.T., Dede Bachtiar, dan Ditya H. Hutomo yang telah meluangkan waktu untuk membantu mengerjakan tugas akhir.
8. Maurich, David : Evaluasi Laboratorium terhadap Beberapa Parameter Usulan yang Penting dalam Mendisain Injeksi Surfactant Untuk Meningkatkan Perolehan Minyak (EOR), Tesis, Bandung. (2009). 9. Siregar Septoratno : Teknik Peningkatan Perolehan, Diktat Kuliah, Departemen Teknik Perminyakan ITB, Bandung. (2000).
DAFTAR PUSTAKA 1. Greaves, M. and Mahgoub, O.: ”3D Physical Model Studies of Air Injection in a Light Oil Reservoir Using Horizontal Wells,” SPE 37154, SPE International Conference, Calgary, Canada, 1996. 2. Green, D. W and Willhite G. P. : Enhanced Oil Recovery, Henry L. Doherty Memorial Fund of AIME, SPE, Richardson, Texas. (1998). 3. http://chemistscorner.com/wpcontent/uploads/2 009/11/surfactant-molecule.jpg&imgrefurl. 4. http://www.msnucleus.org/membership/html/jh/ earth/petroleum/images/impermeable_rock.gif& imgrefurl 5. Jha, K. N. and Chakma, A.: ”Nitrogen Injection With Horizontal Wells For Enhancing Heavy Oil Recovery : 2D and 3D Model Studies”, SPE 23029, SPE Asia-Pacific Conference, Perth, Weslern Australia, 1991. 6. Kusumadinata, R. P. : Geologi Minyak dan Gas Bumi, Penerbit ITB, Bandung. (1978). 7. Lake, Larry W. : Enhanced Oil Recovery, Prentice Hall, New Jersey. (1989).
Ibnu Sina, 12204065, Sem 2 2009/2010
12
Tabel 5. Data Hasil Perolehan Minyak
No. 1 2 3 4 5
Method
Technique
Waterflooding konvensional Surfactant flooding konvensional Surfactant Injection soaking Surfactant Injection soaking Surfactant Injection soaking
Soaking Time Oil Produced (day) (cc) 1 1 3.5
19 20.8 25.4 30 34.7
Total RF (%)
Incremental Oil (%)
28.28 31 37.81 44.66 51.65
2.72 6.81 6.85 6.99
Gambar 9. Watercut & Recovery Factor (%) vs PV injection
Gambar 10. Recovery factor (%) vs waktu (jam)
Ibnu Sina, 12204065, Sem 2 2009/2010
13
LAMPIRAN A GAMBAR PERALATAN-PERALATAN UTAMA YANG DIGUNAKAN DALAM STUDI
Gambar A.1 Timbangan Digital
Gambar A.2 Stainless Tubing 1/16 in
Gambar A.4 Pompa Vakum
Ibnu Sina, 12204065, Sem 2 2009/2010
Gambar A.3 Magnetic Stirrer
Gambar A.5 Sieve Analysis Apparatus
14
Gambar A.6 Oven Pemanas
Gambar A.8 Injection Chamber
Ibnu Sina, 12204065, Sem 2 2009/2010
Gambar A.7 RUSKA Constant Rate Pump
Gambar A.9 Multifunction Chamber
15
LAMPIRAN B GAMBAR BAHAN DAN PROSES PERCOBAAN
Gambar B.1 Pasir
Gambar B.3 Sampel Brine
Gambar B.5 Fiber glass
Ibnu Sina, 12204065, Sem 2 2009/2010
Surfactant
Gambar B.4 Sampel Minyak Mentah
Gambar B.6 Lem epoxy, resin & hardener
16
Gambar B.5 Proses Mencetak Sandpack
Gambar B.7 Melapisi sandpack dengan lem
Gambar B.9 Penjenuhan Sandpack dengan Brine Tahap 1
Ibnu Sina, 12204065, Sem 2 2009/2010
Gambar B.6 Sandpack
Gambar B.8 Model fisik reservoir 3D
Gambar B.10 Penjenuhan Sandpack dengan Brine Tahap 2
17
Gambar B.11 Pendesakan Brine dengan Minyak
Gambar B.12 Hasil Pendesakan Brine dengan Minyak
Gambar B.13 Proses Injeksi Brine dan Surfactant serta Hasilnya
Ibnu Sina, 12204065, Sem 2 2009/2010
18