METODE KEIMANAN Aqidah Islam mengajarkan bahwa dibalik alam semesta, manusia, dan kehidupan terdapat Pencipta. Sang Pencipta inilah yang telah menciptakan ketiganya, dan segala sesuatu yang lainnya. Oleh sebab itu, Sang Pencipta ini disebut sebagai Khaliqul 'Alam. Dia adalah Allah SWT. yang bersifat mutlak ada-Nya (wajibul wujud). Dia bukanlah makhluk, sebab sifat-Nya sebagai pencipta merupakan petunjuk bahwa Dia bukan makhluk, dan memastikan bahwa keberadaan-Nya adalah tidak berawal dan tidak berakhir. Sementara selain Dia, yaitu alam semesta, manusia, dan kehidupan serta segala sesuatu yang lain bersifat terbatas, lemah dan memiliki sifat tergantung kepada makhluk lainnya, dan fana. Oleh sebab itu, tidak ada sesuatupun yang kekal selain Allah SWT. Dalam rangka membuktikan sifat Sang Pencipta ini menurut kemampuan akal manusia, maka terdapat tiga kemungkinan dalam menentukannya. Pertama, Dia diciptakan oleh sesuatu yang lain (Pencipta yang lain). Kedua, Dia menciptakan diri-Nya sendiri. Ketiga, Dia memang mutlak adanya (wajibul wujud) tidak berawal dan tidak berakhir (azali). Berkenaan dengan kemungkinan pertama, merupakan kemungkinan yang tidak dapat diterima akal. Sebab, apabila Dia merupakan hal yang diciptakan maka dengan demikian Dia akan memiliki sifat terbatas, lemah dan tergantung pada yang lain. Dengan demikian, Dia akan menempati pada posisi sebagai yang diciptakan (makhluq). Demikian pula, kemungkinan kedua adalah kemungkinan yang salah, sebab mustahil Dia menjadi makhluk sekaligus sebagai Pencipta (Khaliq). Oleh karena itu, Sang Pencipta itu haruslah bersifat mutlak keberadaannya (wajibul wujud), tidak berawal dan tidak berakhir (azali), dan kekal. Sesungguhnya setiap manusia yang berakal mampu untuk membuktikan tentang eksistensi (keberadaan) Allah SWT., yaitu dengan memperhatikan mahluk ciptaan-Nya. Hal ini akan membuktikan bahwa tidak mungkin sesuatu itu ada tanpa ada yang telah mengadakan (Pencipta). Dengan demikian, akan terbukti tentang kemutlakan-Nya sebagai Yang Maha Pencipta alam semesta dan segala isinya. Dalam hal ini Al-Qur’ân pun banyak menyebutkan tentang benda-benda (makhluk) ciptaan Allah yang disertai dengan ajakan kepada manusia untuk senantiasa memikirkannya. Apabila kita hitung terdapat ratusan ayat yang menyatakan demikian. Di antaranya Allah SWT. berfirman:
ب ِ َت ِ ُوِ اْ َ ْـ ٍ َ َ َ ف اـْ ِ َو اَ ِر ِ َ ِ ض َو اْـ ِ ْت َو اْ َ ر ِ !ْ ِ اَـَا َ ِ" ِإن
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat-ayat) bagi orang-orang yang berakal." (QS Ali-Imran: 190)
... ْ%ُ&ْ َو َأَْا'ِـ%ُ&ِ ف َأِْـَـ ِ َ ِ ت َو اْ َ رْضِ َو اْـ ِ ْ ءَاـَ*ِـ ِ) َـ!ْ ُ اَـَا,-ِ َو
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah diciptakan oleh-Nya langit dan bumi, dan berbeda-bedanya bahasa dan warna kulit..." (QS Ar-Rum: 22)
46
47
َ َو ِإ، ْ5َ / ِ ُ' 0 َ َْ ِل َآ3 ِ َو ِإَ ا، ْ56َ "ِ ُ ر0 َ ْءِ َآ7َ َو ِإَ ا، ْ58َ !ُِ 0 َ ِْـ ِ َآ9:ِ ْن ِإَ ا َ ْ َْ<ُ;ُو َ "َ َأ ْ5= َ> ِ ُ? 0 َ ْض َآ ِ ْاْ َ ر
"Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan? Dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?" (QS AL-Ghasyiyah: 17-20)
@ ِ Aِ Bَ;@ َو اـ ِ ْ!ـC/ ا, ِ ْ9َ ْ,-ِ ُْـ;ُجEَ ، ٍ "ِ ٍء دَا7ـ- ْ,-ِ َ !ُِ ، َ !ُِ %-ِ ُ'َْـن:ِ َْ"!ْ َْـ<ُ ِ; ا
"Hendaklah manusia memperhatikan, bagaimana ia diciptakan? Ia diciptakan dari air yang memancar, yang keluar di antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan." (QS Ath-Thaariq: 5-7) Itulah antara lain ajakan-ajakan Al-Qur’ân untuk mengadakan perenungan dan pemikiran terhadap ayat-ayat Allah SWT. di alam dan diri manusia sendiri. Dengan demikian, sangat diharapkan keimanan manusia kepada Allah SWT. akan bertambah tebal, kokoh dan mantap. Jadi, setiap muslim wajib menjadikan imannya benar-benar tumbuh dari proses berpikir, kemudian mencari, dan memperhatikan serta harus menggunakan akalnya dalam beriman kepada Allah. Namun, meskipun menggunakan akal itu wajib dalam beriman kepada Allah, tidak setiap hal yang wajib diimani dapat dicapai oleh akal manusia. Bagaimanapun jenius dan pandainya pemikiran seseorang, pada dasarnya dia tetap memiliki keterbatasan. Oleh karena itu, akal manusia tidak akan pernah mampu memahami Dzat dan Hakikat Allah SWT., sebab Allah berada di luar ketiga unsur pokok alam (alam semesta, manusia, dan kehidupan). Hendaknya, ketidakmampuan manusia untuk memahami-Nya justru menambah besar keimanannya karena hal itu menunjukkan kelemahannya sebagai makhluk dan ketidakterbatasan kekuasaan Allah SWT. Keyakinan dan keimanan yang bersumber dari pemahaman akal merupakan iman yang kokoh dan sempurna. Secara fitrah manusia memiliki kecenderungan untuk beriman kepada Sang Pencipta, tetapi tanpa adanya akal yang memperkuat keimanan, akan menyebabkan naluri tersebut tersesat. Hal ini disebabkan perasaan hati manusia cenderung menambah-nambah keimanannya dengan sesuatu yang tidak masuk akal, misalnya dengan mengkhayalkan Tuhan yang dia imani dengan patung, matahari, gunung, dan sebagainya. Oleh karena itu, keimanan yang bersifat fitrah pada manusia harus disertai dengan bimbingan akal, sehingga akan menimbulkan suatu keyakinan yang teguh, kokoh dan pasti. Pada akhirnya, akan tertanam suatu pemahaman yang sempurna dan keyakinan yang mendalam akan sifat-sifat Ilahiyah.
47
KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP RASUL Di samping ingin mencari kebenaran yang hakiki tentang Al-Khaliq yang disembahnya, manusia juga membutuhkan rasul sebagai penunjuk jalan dalam beribadah kepada Tuhannya itu. Sebab, tanpa adanya rasul yang membimbing dan mengarahkan, maka manusia dapat terperosok dalam cara-cara ibadah yang tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Allah SWT., baik perintah maupun larangan-Nya. . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
Bukti lain dari kebutuhan manusia akan rasul adalah bahwa manusia mempunyai tuntutan-tuntutan berupa naluri dan kebutuhan fisik yang memerlukan pemuasan dan pemenuhan. Untuk itu, dibutuhkan suatu aturan yang mengatur pemuasan itu agar tidak terjerumus ke dalam pemuasan dan pemenuhan yang salah. Aturan ini tidak boleh datang dari manusia, sebab bagaimanapun baiknya peraturan buatan manusia, pada dasarnya tetap tidak akan pernah sempurna dan abadi. Dengan demikian, aturan ini harus datang dari Allah SWT. Yang Maha Mengetahui. Kemudian aturan-Nya itu disampaikan, dijelaskan, dan dilaksanakan melalui para Rasul-Nya. MUHAMMAD SAW. & KEBENARAN AL-QUR’ÂN Adapun Rasul terakhir yang diutus Allah di muka bumi ini adalah Nabi Muhammad SAW. Mu'jizat terbesar yang dibawanya adalah Al-Qur’ân Al-Karim yang merupakan Kalamullah (firman Allah) yang mutlak berasal dari Allah Yang Maha Kuasa. Al-Qur’ân merupakan kitab suci yang ditulis dalam bahasa Arab. Sebagaimana pembuktian kebenaran tentang sifat-sifat Allah sebagai Sang Pencipta, ada tiga kemungkinan tentang asal-usul Al-Qur’ân itu. Pertama, Al Qur-an merupakan karangan bangsa Arab. Kedua, Al-Qur’ân adalah karangan Nabi Muhammad SAW. Ketiga, Al-Qur’ân merupakan hal yang mutlak yang berasal dari Allah SWT. Selain tiga kemungkinan ini, tidak ada lagi kemungkinan lain. Kemungkinan pertama, yang mengatakan bahwa Al-Qur’ân adalah karangan orang Arab, tidak terbukti. Mengapa? Karena, kendati al-Qur’ân telah berulang kali menantang orang-orang Arab Jahiliah ketika itu -- yang dari maknanya berarti juga tantangan untuk siapapun -- untuk membuat sekadar sepuluh atau satu surat saja serupa al-Qur’ân, ternyata tak seorang pun, bahkan hingga kini, yang mampu mewujudkan tantangan itu.
ت ٍ َ;َ َ ْGُ- )ِ !ِْH-ِ ْ ِ; ?ُ َ ٍرI6َ 9ِ ْ*ُاJ"َ ُْK
"Katakanlah: "Maka datangkanlah sepuluh surat yang (dapat) menyamainya" (ٍَQS. Huud:13)
)ِ !ِْH-ِ ُ َر ٍة9ِ ْ*ُاJ"َ ُْK
"Katakanlah: "Kalau benar apa yang kamu katakan, maka cobalah datangkan sebuah surat yang menyerupainya" (QS.Yunus:38)
ْ%ُُْن اَ!ّ ِ) ِإنْ آ ِ ْ دُو,-ِ ْ%َُا َءآMَ ُR ُاNِْْ! ِ) وَادH-ِ ْ,-ِ ُ َر ٍة9ِ ْ*ُاJ"َ َ'Mِ ْN َ َ!N َ َّْPَ 'َ َّ -ِ @ ٍ ْ َرQِ" ْ%َُُْوِإنْ آ , َ ِKَ ِدS
"Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur’ân yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Qur’ân itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang memang benar. (QS.Al Baqarah: 23)
48
49
, َ ;ِ "ِ َ&ْ!ِ ّْتMَ N ِ َُ َرةُ أ3= ِ ُْدُهَ ا َّسُ وَاK َوQَُِّا ا َّ َر ا8ّ*َ َ" !ُا6َ ْG*َ ْ,َ!ُا َو6َ ْG*َ ْ%َ ْنVِ"َ
"Maka jika kamu tidak dapat membuatnya dan pasti kamu tidak akan dapat membuatnya, peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. (QS. Al-Baqarah 24)
[ ٍ ْ6َ ِ ْ%ُُ\ْ69َ ن َ َِْ! ِ) َوَْ آHِ 9ِ ن َ ُ*ْJَ ] ن ِ Bْ;ُ8ْا اWَ ْ ِ َهHِ 9ِ ْ*ُاJَ ْ!َ َأنN َ ُّ,3 ِ ُْ وَاXْ': ا5 ِ 6َ َ َ ْY ا, ِ Zِ َ ُْK _ِ;ًا َ
"Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’ân ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain" (QS. Al-Isra' 88) Kegagalan orang Arab menjawab tantangan itu membuktikan bahwa alQur’ân bukanlah berasal dari kalangan mereka. Memang ada, pada sekitar tahun ke10 hijriah, seseorang yang berusaha membuat tiruan al-Qur’ân. Namanya Musailamah al-Kadzdzab, yang juga mengaku sebagai nabi dengan membawa wahyu itu. Tapi ayat atau surat yang dibuat Musailamah tampak sangat tidak bermutu, dan yakinlah kita bahwa ia adalah seorang pendusta besar. Simaklah ayat yang dibikin Musailamah, sebagaimana ditulis oleh Syekh Ali Ashabuni dalam kitab al-Tibyan fi ulumi al-Qur’ân. al-Filu ma al-filu wa ma adraka ma al-filu lahu dzanbun wabilun wa khurtumun thawilun (Gajah. Apakah itu gajah. Dan tahukah engaku apa itu gajah. Ia bertelinga lebar. Dan berbelalai panjang ....) Kemungkinan kedua, yakni bahwa al-Qur’ân adalah buatan Muhammad juga tidak dapat diterima oleh akal sehat. Muhammad adalah orang Arab juga, yang bagaimanapun jeniusnya tetaplah ia bagian dari bangsa Arab. Jika seluruh orang Arab tidak mampu membuat al-Qur’ân, masuk akal bila Muhammad juga tidak mampu membuat al-Qur’ân. Karena bila mereka yang mungkin lebih pandai dari Muhammad saja tidak bisa membuat al-Qur’ân, apalagi Muhammad yang ummy. Andai pun Muhammad bisa membuat al-Qur’ân, tentu saja mereka lebih bisa. Kenyataannya, tak seorang pun yang bisa membuat al-Qur’ân. Maka jelaslah bahwa al-Qur’ân bukanlah karangan Muhammad. Allah sendiri dalam al-Qur’ân mengancam bila Muhammad berdusta atas nama al-Qur’ân.
%ٍ ِ;ْلُ َر?ُ ٍل َآ8َ َ ُ)ّ'َ ِإ
"Sesungguhnya al-Qur’ân itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia" (QS. Al-Haaqaq: 40) 49
, َ ِPY ِ َa ُ)ْN َ Mٍ a َ ْ َأ,-ِ ْ%ُ&ْ-ِ َ"َ , َ ِ*َ ْْ)ُ ا-ِ َْ6> َ 8َ َ ّ%َ ُ` , ِ َِ ِْ9 ُ)ْ-ِ َ'ْW َ ِ ِوKَ [ ا َ ْ69َ َْ!َN َ َّ َل8َ *َ ََْو
"Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu.” (QS. Al-Haaqaq: 44 - 47) Disamping al-Qur’ân, yang keluar dari mulut Nabi Muhammad adalah alHadits, yang sebagiannya malah diriwayatkan secara tawatur sehingga kebeanarannya tidak diragukan lagi. Apabila setiap hadits dibandingkan dengan ayat manapun alam al-Qur’ân, bagi para ahli bahasa dan sastra akan nyata sekali perbedaannya. Bila al-Qur’ân "buatan" Muhammad, bagaimana mungkin dalam waktu yang bersamaan bisa mengeluarkan al-Hadits yang bisa berbeda sama sekali dari struktur bahasanya dibanding al-Qur’ân. Seseorang bisa saja berbicara dalam dua atau lebih gaya bahasa, tapi biasanya hanya dalam waktu tertentu. Tidak terus menerus, apalagi selama lebih dari dua puluh tahun, sebagaimana masa kenabian Muhammad. Maka jelaslah bahwa Al- Qur'an bukanlah bikinan Muhamad. Tuduhan lain yang mereka lontarkan adalah bahwa al-Qur’ân disadur Muhammad dari seorang pemuda Nashrani yang bernama Jabr. Tuduhan ini ditolak keras oleh Allah dalam firmannya.
, ٌ ِ ُ- Q ٌّ 9ِ ;َ N َ ن ٌ َِ َاW َو َهQ ٌّ ِ 3 َ ْNن ِإَْ ِ) َأ َ ُوM= ِ ْ!ُ ِيWَّ ٌ; َِنُ اI َ 9َ ُ)ُّ!ِ6َ ُ َّ'َ ن ِإ َ ُُ8َ ْ%ُّ'َ ُ َأ%!َْ6'َ ْM8َ ََو
"Dan sesungguhnya Kami mengetahui mereka berkata: "Bahwasanya al-Qur’ân itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad), padahal bahwa orang yang mereka tuduhkan bahwa Muhammad belajar kepadanya berbahasa ajami sedang al-Qur’ân itu dalam bahasa Arab yang jelas”. (QS. Al-Nahl: 103)
Apabila telah terbukti bahwa al-Qur’ân bukan karangan bangsa Arab, bukan pula buatan Nabi Muhammad, maka yakinlah bahwa al-Qur’ân itu merupakan kalamullah, yang menjadi mukjizat bagi orang yang membawanya. Oleh karena Nabi Muhammad adalah orang yang membawa al-Quran, yang telah terbukti sebagai kalamullah, maka jelaslah bahwa Muhammad adalah benar-benar Rasulullah.
ِ;ًاHُوا "ِ ِ) اِْ"ً َآMY َ َ َ )ِ ّ!َْ ِ; اd َ Mِ ْN ِ ْ,-ِ ن َ َن َوَْ آ َ Bْ;ُ8ْن ا َ ّ;ُو9َ Mَ َ َ َ"َأ
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’ân? Kalau sekiranya al-Qur’ân itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya" (QS. AnNisa 82) Tentang keotentikan al-Qur’ân sebagai kalamullah, ditegaskan bahwa Allah sendirilah yang akan menjaganya.
ن َ ُ<"ِ َ=َ ُ)َ ّ'َ ّآْ َ; َوِإWِ َّْ اPَ 'َ ُ,ْ='َ ّ'َ ِإ
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’ân, dan sesungguhnya kami benarbenar memeliharanya" (QS. Al-Hijr: 9)
Yakin bahwa al-Qur’ân benar-benar kalamullah, maka sebagai seorang muslim yang baik, sikap terhadap al-Qur’ân: 1. Mengimani al-Qur’ân secara keseluruhan, termasuk hal ghaib, kisah, pemikiran dan hukum-hukum (perintah dan larangan) yang tercantum di dalamnya. Dalam hal 50
51
ini tidak dibenarkan mengingkari satu bagian, bahkan satu ayat atau huruf sekalipun. Rasulullah bersabda: “Man kafara bi ayati al-Qur’ân faqad kafara kulluhu” (Barang siapa yang ingkar terhadap satu ayat al-Qur’ân berarti ia telah kufur kepada al-Qur’ân keseluruhannya) 2. Membaca dan mengkaji. Al Qu'ran adalah kitabullah yang membacanya adalah ibadah, serta akan memberikan rahmat kepada yang mendengarkan ketika ia dibacakan Islam sangat menghargai orang yang belajar membaca al-Qur’ân dan mengajarkannya. Al-Mahiru bi al-Qur’âni ma'a al-safarati al-kirami al-bararati walladzi yaqra'u al-Qur’âna wa yatata'ta'u fihi wahuwa 'alayhi syaqun lahu ajrani (HR. Bukhari Muslim) (Orang yang pandai al-Qur’ân, kelak mendapat tempat di surga bersama para Rasul yang mulia. Dan orang yang membaca al-Qur’ân tetapi membacanya tertegun-tegun dan tampak berat lidahnya, baginya dua pahala) "Iqra'u al-Qur’âna fainnahu ya'ti yauma al-qiyamati syafi'an li ashhabihi" (HR. Turmudzi) (Bacalah al-Qur’ân, sesungguhnya ia akan menyafaati orang yang membacanya kelak di hari kiamat) Khairukum man ta'alama al-Qur’âna wa 'allamahu-" (HR. Bukhari) (Sebaik-baik kamu adalah yang belajar al-Qur’ân dan mengajarkannya)
ن َ ُa َ ْ;ُ* ْ%ُ&ّ!َ6َ َ ُا/ ِ ْ'ُا َ)ُ َوَأ6ِ َ ْ?َ" ُنBْ;ُ8ْئ ا َ ;ِ ُK َوِإذَا
"Apabila al-Qur’ân sedang dibaca hendaklah kamu mendengarkan memperhatikan, agar kamu mendapat rahmat" (QS. Al A'raf: 204)
dan
3. Mengamalkan dan memperjuangkan. Sebagai petunjuk hidup, Al-Qur’ân baru bermanfaat bila diamalkan, dan untuk mengamalkannya ia harus dikaji. Agar AlQuran diamalkan bukan hanya dalam kehidupan individu tetapi juga masyarakat, maka ia harus diperjuangkan oleh mereka yang beriman kepadanya. Bahkan bisa dikatakan salah satu ciri orang beriman kepada al-Qur’ân adalah giat berjuang karena ia sangat ingin semua ajaran al-Qur’ân terujud di tengah masyarakat.
ُْ َمK َأQ َ ِهQِّ!َِ ِيMَْ ن َ Bْ;ُ8َْا اWنّ َه َ ِإ
51
"Sesungguhnya al-Qur’ân ini menunjukkan jalan yang lebih lurus" (QS. Al Isra': 9)
Dengan demikian, terbuktilah bahwa Al-Qur’ân itu bukan karangan bangsa Arab atau Nabi Muhammad SAW. Jadi, semakin yakinlah kita sebenarnya Al-Qur’ân itu . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
Kalamullah yang merupakan mu'jizat Nabi Muhammad SAW. sebagai nabi dan rasul-Nya yang terakhir, dan Al-Qur’ân mutlak datangnya dari Allah SWT. Itulah dalil-dalil aqli dalam beriman kepada Allah, kerasulan Muhammad SAW., dan tentang Al-Qur’ân yang merupakan Kalamullah. BUKTI KEMU‘JIZATAN AL-QURAN Kajian mengenai kemu'jizatan Al-Qur’ân merupakan kajian yang sangat penting, sebab ia merupakan bukti kenabian Muhammad SAW. semenjak turunnya Al-Qur’ân sampai Hari Kiamat nanti (lihat Imam Ibnu Hazm, Ilmu Kalam 'Inda Madzhab Ahlis-Sunnah hal. 27). Kendati pun Nabi Muhammad SAW. memiliki banyak mu'jizat lainnya, akan tetapi beliau tidak menggunakan mu'jizat-mujizat itu sebagai tantangan (at tahaddy) bagi orang yang mengingkari kenabian beliau. Disamping itu, Al-Qur’ân merupakan mu'jizat Nabi Muhammad SAW. yang paling tinggi, paling besar, dan paling ampuh untuk menaklukan orang-orang yang ingkar terhadap kenabian beliau (Imam Syafi’iy, Fiqh Akbar, hal. 40) Oleh karena itu, selayaknya kita sebagai pengikut Nabi Muhammad SAW. mengkaji masalah kemu'jizatan Al-Qur’ân tersebut., untuk mengokohkan keimanan dan keterikatan kita terhadap risalah yang Beliau bawa. Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa kemu'jizatan, keagungan dan kemuliaan Al-Qur’ân telah memberikan inspirasi bagi setiap lapisan masyarakat disepanjang zaman untuk menggali aspekaspek yang tidak mungkin ditiru. Ahli syair--seperti di negeri kita misalnya mencoba menterjemahkan Al-Qur’ân dengan berwajah puisi. Kaligrafinya bahkan dibuat unik sehingga menghasilkan mushaf Istiqlal. Para pakar sains dan teknologi menyimpulkan bahwa terdapat kurang lebih 1000 ayat yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, dan usaha masing-masing profesi untuk menggali keagungan AlQur’ân nul Karim . Namun yang lebih penting dari semua itu adalah Al-Qur’ân bukanlah kitab seni, atau kitab astronomi, kitab sains dan teknologi atau kitab yang berisi ceritacerita ummat terdahulu. Tetapi, Al-Qur’ân adalah petunjuk, rahmat, yang ditujukan bagi manusia agar mereka selamat, pembeda antara yang haq dan yang bathil bertujuan untuk diterapkan dan dilaksanakan manusia. KEMU‘JIZATAN AL QUR-AN Arti mu'jizat atau i'jaz, menurut bahasa (etimologi) ialah : "Menetapkan adanya kelemahan (Al 'Ajz) pada pihak lain" Sedangkan menurut istilah/terminologi (Hukum Islam), definisi mu'jizat adalah : "Suatu kejadian yang nampak bertentangan dengan kebiasaan, yang muncul dari orang yang mendakwahkan dirinya sebagai nabi, disertai tantangan terhadap orang-orang yang ingkar (kepada kenabiannya), dan orang-orang tersebut tidak mampu mendatangkan kejadian yang semisal (kejadian) di luar kebiasaan itu”. (An-Nabhani, Syakhshiyah Islamiyah, I/116) Mu'jizat Al-Qur’ân mempunyai keistimewaan bila dibandingkan dengan mu'jizat-mu'jizat para Nabi sebelumnya. Mu'jizat para nabi sebelumnya merupakan mu'jizat yang hanya dapat diindera dan dibuktikan oleh kaum dan orang-orang 52
53
yang sezaman dengan para nabi tersebut, sementara orang-orang sesudahnya tidak dapat mengetahui adanya mu'jizat tersebut, kecuali melalui berita. Adapun mukjizat Al-Qur’ân, adalah mu'jizat yang dapat diindera dan dibuktikan oleh seluruh manusia di setiap masa sampai hari kiamat.(Az-Zarqani, Manahil Irfan II/232) Hal ini memang telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW. dalam sabdanya : "Setiap Nabi pasti diberi sesuatu yang serupa yang dengannya manusia akan meyakininyta, tetapi yang diberikan kepadaku adalah wahyu yang telah diturunkan Allah kepadaku (AlQur’ân). Maka aku berharap menjadi nabi yang paling banyak pengikutnya". Imam Jalaluddin As-Suyuti memberi syarah (penjelasan) hadits tersebut : "Mu'jizat para nabi telah hilang dengan berlalunya masa mereka, tidak dapat disaksikan kecuali oleh orang-orang yang semasa dengannya. Dalam pada itu mu'jizat Al-Qur’ân senantiasa ada sampai Hari Kiamat." (Jalaluddin As Suyuti, Mukhtashar Al Itqan bab I'jazul Qur'an, Darun Nafa'is, Beirut.) Lalu di manakah letak kemu'jizatan Al-Qur’ân ? Kemu'jizatan Al-Qur’ân tidak lain terletak dalam uslub (gaya pengungkapan) yang digunakan untuk mengungkapkan makna-makna. Uslub Al-Qur’ân itu nampak dalam kefashahahan (kefasihan), balaghah (keindahan), dan ketinggian taraf pemikiran yang diungkapkan sampai ke derajat mengagumkan (An- Nabhani, Asy Syakhshiyyah Al Islamiyah, I/148). Imam Al Khaththabi berkata : "Al-Qur’ân itu menjadi mu'jizat, tiada lain karena Al-Qur’ân itu telah datang dengan lafazh-lafazh yang paling fasih dalam susunan yang paling baik. Maka dari itu Al-Qur’ân dapat mengungkapkan makna-makna dengan cara yang paling fasih... Dan telah dimaklumi bahwa mendatangkan makna-makna itu--dengan uslub seperti itu--serta menghimpun semua makna tersebut dalam suatu susunan yang teratur, adalah suatu hal yang tidak mampu dilakukan oleh manusia...”(lihat Abu Salman Muhammad Al Khaththabi dalam kitabnya Bayan I'jaz Al-Qur’ân) Uslub Al-Qur’ân yang merupakan segi kemu'jizatannya itu nampak jelas dalam tiga aspek : Pertama, Lafazah-lafazh dan susunan kata (tarkib) yang digunakan. Al-Qur’ân telah menggunakan lafazh-lafazh dan susunan kata (redaksi kalimat) yang amat unik. Makna yang lembut diungkapkan dengan lafazh yang lembut. Makna yang kasar, diungkapkan dengan lafazh yang kasar, dan seterusnya. Ayat yang menggunakan lafazh lembut untuk mengungkapkan makna yang lembut, misalnya :
ِ َ ْ!? َ َّ َ ُ* َِ" ًْN َ ِ3 َ ْ'َُ َزYَاP-ِ ن َ َْ?ً آJن "َِ َآ َ ْ8َ َُْو
53
"Di dalam surga itu kami diberi minum segelas (minuman) yang sampurannya adalah jahe. (Yang didatangkan dari) sebuah mata air surga yang dinamakan salsabil" (QS. Al-Insaan: 17-18).
Bandingkan dengan ayat yanng menggunakan lafazh kasar untuk mengungkapkan makna yang kasar: . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
ً97َ- , َ ِdّ> َ !ِ َدًاSْ;-ِ ْ5'َ َ آ%َ َّ َ Y َ ّن َ ِإ
"Sesungguhnya neraka Jahannam itu (padanya) ada tempat pengintai. Lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas." (QS. An-Naba': 21-22)
Kedua, Irama kata (nadham) yang digunakan. Susunan huruf-huruf dan katakata dalam Al-Qur’ân tersusun dalam irama khas yang unik, tidak dapat dijumpai dalam pembicaraan manusia, baik dalam sya'ir maupun dalam kalimat yang bersajak (natsar). Sebagai contoh, perhatikanlah firman Allah SWT. :
X َ ّGَ َ *َ ِإذَاi ِ ُّْ/ وَاX َ 6َ ْN َ وَاَ!ّْ ِ ِإذَاX ِ َّ ُ&َْا ِر ا3 َ ْ اX ِ َّ ُEِْ9 ُ% ِ ْKُ"َ أ
"Sesungguhnya, Aku bersumpah dengan bintang-bintang. Yang beredar dan terbenam. Demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya. Dan demi subuh apabila fajarnya telah mulai menyingsing." (QS. At Takwiir: 15-18).
Ayat di atas menyebutkan huruf "sin" secara berulang-ulang, yang ternyata sangat sesuai dengan makna yang hendak diungkapkan, yaitu keheningan malam dan menyingsingnya fajar. Juga ayat Kursy, misalnya, yang di dalamnya terdapat pengulangan huruf "lam" sebanyak 23 kali, dimaksudkan untuk menyimak makna ayat dengan penuh perhatian. Kadang-kadang kita jumpai satu surat Al-Qur’ân dengan ayat seluruhnya pendek dengan akhiran kata yang sama. Kadang-kadang panjang-panjang ayatnya. Tetapi kita jumpai pula gabungan dari keduanya. Ini menunjukkan bahwa Al-Qur’ân bukanlah puisi dan bukan pula prosa. Berdasarkan hal ini tidak diperbolehkan menterjemahkan Al-Qur’ân dengan gaya bahasa puisi atau prosa, karena akan menghilangkan unsur-unsur kemu'jizatannya. Malah jika diganti/diterjemahkan ke dalam bahasa lain hilanglah aspek mu'jizat bahasanya. Itulah makna firman Allah SWT. :
ن َ ُ!8ِ ْ6*َ ْ%ُ&ّ!َ6َ َ ًّ 9ِ ;َ N َ ً'Bْ;ُK ُjَْPَ ْ'ِإ َ'ّ َأ
"Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’ân dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya." (QS. Yusuf: 2). Ketiga, Lafazh dan susunan kata yang digunakan mencakup makna yang beraneka ragam dan menyeluruh. Al-Qur’ân telah memberikan makna yang panjang lebar/mendalam dengan menggunakan lafazh yang ringkas. Misalnya, firman Allah SWT. :
ن َ ُ8َّ *َ ْ%ُ&ّ!َ6َ َ ب ِ َْ اQَِ ٌة َ أُوa َ ص ِ َ/8ِ ْ اQِ" ْ%ُ&ََو
"Dan di dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi." (QS. Al Baqarah : 179). Penggalan dari ayat 179 tersebut di atas, lafazhnya sedikit. Tetapi bila diuraikan, maknanya akan panjang lebar. Makna ayat tersebut ialah, apabila seseorang mengetahui bahwa kalau dia membunuh akan dibunuh, maka hal ini akan mencegahnya untuk melakukan pembunuhan. Jadi, dengan tiadanya pembunuhan, berarti akan terjamin kehidupan bagi masyarakat. Dengan kemu'jizatan itu, Al-Qur’ân telah menantang orang-orang Arab untuk mendatangkan yang semisal Al-Qur’ân sekaligus juga telah menunjukkan 54
55
ketidakmampuan mereka untuk menjawab tantangan itu (lihat Taqiyuddin An Nabhani, Asy Syakhshiyyah Al Islamiyah, jilid I, hal. 148.) Allah SWT. berfirman :
ْ%ُُْن اَ!ّ ِ) ِإنْ آ ِ ْ دُو,-ِ ْ%َُا َءآMَ ُR ُاNِْْ! ِ) وَادH-ِ ْ,-ِ ُ َر ٍة9ِ ْ*ُاJ"َ َ'Mِ ْN َ َ!N َ َّْPَ 'َ َّ -ِ @ ٍ َْ رQِ" ْ%َُُْوِإنْ آ , َ ِKَ ِدS
"Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’ân, yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’ân itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar." (QS. Al Baqarah: 23). Tantangan Al-Qur’ân ini bahkan telah sampai pada pernyataan bahwa mereka tidak akan mampu untuk mendatangkan yang semisal Al-Qur’ân, walaupun seluruh Jin dan manusia berusaha mendatangkannya. Firman Allah SWT. :
[ ٍ ْ6َ ِ ْ%ُُ\ْ69َ ن َ َِْ! ِ) َوَْ آHِ 9ِ ن َ ُ*ْJَ ] ن ِ Bْ;ُ8َْا اWَْ ِ هHِ 9ِ ْ*ُاJَ ْ!َ َأنN َ ُّ,3 ِ ُْ وَاXْ': ا5 ِ 6َ َ َ ْY ا, ِ Zِ َ ُْK _ِ;ًا َ
"Katakanlah, "Sesungguhnya jika manusia dan Jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’ân ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekali pun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain." (QS. Al Isra' : 88). Ketidakmampuan orang-orang Arab--yang menjadi sasaran Khithab (pembicaraan)--untuk mendatangkan yang semisal Al-Qur’ân, telah terbukti melalui riwayat yang mutawatir, dan tidak ada seorang pun perawi sepanjang sejarah yang menyatakan bahwa mereka mampu mendatangkan yang semisal Al-Qur’ân. Namun, bukan berarti tantangan itu hanya terbatas untuk orang-orang Arab yang semasa dengan nabi Muhammad SAW., melainkan berlaku juga secara umum untuk seluruh manusia sampai hari kiamat. Sebab, ayat-ayat tantangan tersebut bersifat umum. Dalam surat Yunus ayat 38 dan surat Huud ayat 13, terdapat lafazh "man" (siapa saja), yang bersifat umum, artinya, tantangan itu tertuju untuk seluruh manusia sampai Hari Kiamat. Oleh karenanya, kemu'jizatan Al-Qur’ân itu dapat disaksikan oleh generasi mana pun dan pada waktu kapan pun, sampai Hari Kiamat nanti (lihat Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, Asy Syakhshiyyah Al Islamiyah, jilid I, hal. 148).
55
PENERAPAN ISLAM BUKTI IMAN TERHADAP KEMU'JIZATAN AL-QUR’ÂN Tujuan dari adanya suatu mu'jizat adalah untuk meyakinkan manusia, bahwa orang yang membawa suatu mu'jizat adalah benar-benar seorang nabi, dan bahwa risalah yang dibawanya adalah benar-benar berasal dari sisi Allah (lihat Muhammad Husain Abdullah, Dirasat fi Al Fikri Al- Islami, hal. 21). Oleh karenanya, kemu'jizatan Al-Qur’ân merupakan bukti nyata dan meyakinkan bahwa Muhammad bin Abdullah adalah benar-benar seorang nabi dan rasul. Kita umat Islam telah beriman bahwa Muhammad itu memang Rasulullah, seperti yang termaktub dalam syahadat kita. Hanya saja keimanan kita ini, tentunya tidak berhenti sebatas keimanan saja, melainkan memiliki konsekuensi wajib lebih jauh, yaitu menerapkan dan . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
mengamalkan Al-Qur’ân yang dibawa oleh Rasulullah SAW. (lihat Abdul Qadim Zallum, Mitsaq Al ummah, hal. 8), sebab Allah SWT. telah berfirman :
ِ!ُّا َ ُ َو5 َ ْ\ َ Kَ َّ -ِ ًY;َ a َ ْ%ِ ِ ُGْ' َأQِ" ُواM3 ِ َ ] ّ%َ ُ` ْ%َُ ْ9َ ;َ 3 َR َ َِ" ك َ ُّ&ِ = َ ُ َّ a َ ن َ ُ-ِ ْmُ ] n َ ّ9ِ "َ َو َر ًِ!ْ*َ
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan." (QS. An Nissa' : 65). Allah SWT. berfirman :
ْ)ُ "َ'ْ َُاN َ ْ%َُ َ'َآ-ُ َوjُوWُE"َ ُُ ا َ;ّ?ُل%ُ*َآB َ-َو
"Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa saja yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." (QS. Al- Hasyr : 7).
Ayat ke-7 surat Al-Hasyr di atas mewajibkan kita untuk mengambil dan mengamalkan apa saja yang berasal dari Rasulullah SAW., baik Al-Qur’ân itu sendiri, maupun As Sunnah. Sebab kata "maa" (apa saja) dalam ayat ini bersifat umum, mencakup Al-Qur’ân dan As Sunnah (lihat Abdul Qadim Zallum, Ad Dimuqrathiyah Nizham Kufur, hal. 37). Kedua ayat di atas termasuk di antara dalil syar'iy yang mewajibkan kita untuk menerapkan dan mengamalkan syariat Islam, yang terkandung dalam AlQur’ân dan As Sunnah. Kita wajib menerapkan keseluruhan syari'at Islam sebab Allah berfirman :
oً ّ"َ َ آ%ِ ْ!ّ ِ اQِ" ُا ادُْ!ُا-َ B , َ ِWََّأَُّ ا
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya..." (QS. Al Baqarah : 208).
Berdasarkan nash di atas, kita wajib menerapkan keseluruhan syari'at Islam yang mengatur segala aspek kehidupan, seperti aspek ibadah, akhlaq, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, politik, dan lain-lain. Memang, syariat Islam itu mengatur seluruh aspek kehidupan, bukan aspek ibadah ritual semata, karena AlQur’ân memang telah menjelaskan segala sesuatu dan Islam itu sendiri memang agama yang sempurna (lihat Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, Asy Syakhshiyyah Al Islamiyah, jilid III (Ushul Fiqih), hal. 15-16.), sebagaimana firmanNya :
ْ ٍءQR َ ِّ ُ&ِ ً'َْ*ِ ب َ َ&ِ ْ اn َ ْ!َN َ َّْPَ 'َ َو
"Dan Kami turunkan kepadamu AL Kitab (Al-Qur’ân) untuk menjelaskan segala sesuatu..." (QS. An Nahl : 89). Jadi, menerapkan syari'at Islam secara totalitas merupakan bukti dan konsekuensi keimanan kita akan kenabian Muhammad SAW., yang telah terbukti melalui kemu'jizatan Al-Qur’ân. Di sini muncul pertanyan, apakah kita umat Islam sudah benar-benar melaksanakan kewajiban tersebut, yakni menerapkan Islam ? 56
57
Sesungguhnya, ummat Islam pernah menerapkan seluruh syari'at Islam sepanjang masa sejarah mereka, yaitu semenjak sampainya Rasulullah SAW. di Madinah pada tahun pertama perhitungan hijriah sampai tahun 1336 H/1917 M, tatkala negara Khilafah Islamiyah di Turki jatuh di tangan penjajahan. Keadaan umat Islam makin parah, ketika Musthafa Kamal Attaturk--seorang agen imperialis Inggris--pada tahun 1924 menghancurkan sistem Khilafah Islamiyah di Turki, dan mengubahnya secara paksa menjadi sistem republik sekuler--yang memisahkan urusan agama dari kehidupan. Maka punahlah sudah penerapan syariat Islam yang pernah berlangsung selama kurang lebih 13 abad itu (lihat Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukm fi Al Islam, hal 217-218), kecuali hukum-hukum yang tidak berkaitan dengan interaksi masyarakat, seperti hukum-hukum ibadah dan akhlaq. Semenjak saat itu, umat Islam bercerai berai bagaikan anak ayam kehilangan induknya. Sebagian besar umat Islam pun pada abad XX ini akhirnya menjadi pengikut fanatik faham di luar Islam, seperti Kapitalisme, Sosialisme, dan isme-isme yang lainnya. Terbuktilah sudah sabda Rasulullah SAW. : "Sungguh kalian akan benar-benar mengikuti pola-pola hidup orang-orang sebelum kalian, sehasta demi sehasta, sejengka demi sejengkal. Bahkan kalau mereka memasuki lubang biawak, niscaya kalian pun akan mengikuti mereka. Kami (para shahabat) lalu bertanya. "Apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nashara ?" Jawab Rasullah. "Siapa lagi ?" (H.R. Bukhari dan Muslim).
57
Dengan punahnya sistem KEHIDUPAN Islami, hilang pula potret realisasi AlQur’ânul Karim dan syariat Islam dalam kehidupan. Dan bermunculan masalahmasalah baru yang tidak pernah terjadi ketika kaum mjuslimin bersatu dalam satu naungan kehidupan Islami. Seperti terpecah-terpecahnya kaum muslimin dalam lebih dari 50 negara. Sebagian negeri kaum muslimin berada dalam kondisi kaya raya, sisanya dalam kondisi miskin dan menderita tanpa memiliki rasa kepadulian satu dengan yang lainnya. Fanatisme kebangsaan telah menyekat hati kaum muslimin terhadap penderitaan saudaranya yang lain. Maka kasus-kasus Bosnia, Palestina, Chechnya, Kashmir, Birma, Moro, Erithria dll. tidak dapat diselesaikan karena masalah seperti itu telah diarahkan seolah-olah sebagai masalah daerah/bangsanya masing-masing. Oleh karena itu perkara vital dan menentukan hidup mestinya umat saat ini adalah kembalinya Islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang hanya dengan kembalinya Islam dalam kancah politik, ekonomi, sosial, militer, pendidikan mampu memecahkan problematika kaum muslimin dan umat manusia secara keseluruhan. Maka dari itu, melihat kenyataan yang memilukan dan menyayat hati ini, sudah menjadi kewajiban kita umat Islam, untuk kembali melangsungkan kehidupan Islam, yaitu melaksanakan seluruh nilai syari'at Islam. Bertolak belakang dengan hal itu adalah hukum-hukum jahiliyah yang tidak boleh dan haram hukumnya diterapkan sama sekali, sebagaimana firman Allah SWT. :
ن َ ُKِ ُ ْ ٍم8َ ِ ًْ&ُa )ِ ّ!َ ا, َ -ِ ُ, َ ْaْ َأ,-َ ن َو َ ُpَْ oِ َّ !َِ ِه3ْ ا%َ ْ&ُ="َ َأ
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik. daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?" (Al Maaidah : 50).
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
MA‘RIFATULLAH, UPAYA MENGENAL ALLAH Pembahasan aqidah Islam pada hakikatnya dalam rangka untuk memperkuat keimanan seorang mu‘min kepada Allah SWT. dan mendekatkan hubungan hamba denganNya. Melalui tahapan pendalaman sebagaimana yang tercantum dalam banyak ayat Al-Qur’an Al-Karim maka terdapat beberapa simpulan yang harus difahami: 1. Aqidah merupakan asas bagi kehidupan masyarakat manusia dan sumber bagi nilai-nilai hukum di dalam Islam maka Al-Qur’an Al-Karim memerintahkan untuk menetapkan aqidah berdasarkan keyakinan yang pasti dan tidak terdapat keraguan sedikitpun juga dan melarang secara pasti dalil tentang keyakinan melalui dalil yang dzanniy (adanya keraguan/kesamaran). Pembenaran yang pasti tidak akan tercapai melainkan dengan menjadikan objek pembahasan aqidah tersebut sesuatu yang berdalil pasti, dilihat dari aspek sumber pengambilan dalilnya, maupun dilihat dari aspek penunjukkan dalilnya. Selama kedua syarat itu tidak terpenuhi maka tidak mungkin tercapai suatu kepastian dalam keyakinan itu. 2. Berkaitan dengan asma (nama) dan sifat Allah yang tercantum di dalam Al-Qur’an Al-Karim dan Sunnah Rasulullah SAW. yang bersifat mutawatir maka sikap seorang muslim adalah mengimaninya sesuai dengan apa yang tercantum dalam teks-teks nash itu, tanpa perlu untuk memperdebatkannya, sebab Asma Allah dan sifat Allah bukan sesuatu yang bersifat materi. Sikap ini diambil sebab dikhawatirkan terjadi asumsi-asumsi yang justru akan merendahkan martabat Allah SWT. Abu Umar bin Abdil Barr berkata: ”Seluruh hal yang menyangkut aqidah mengenai sifat dan asma-asmaNya maka diambil hanya dari apa yang tercantum dalam nash Al-Qur’an Al-Karim atau hadits shahih yang berasal dari Rasul, atau apa yang disepakati oleh ummat Islam. Sedangkan apa yang terdapat dalam khabar/hadits ahad mengenai hal ini atau yang serupa dengannya, maka sikap yang diambil dalam perkara ini adalah menerimanya dengan pasrah tanpa memperdebatkan lagi“ (lihat Jami‘il Bayaan, Ilmi wa Fadlihi:117-118). 3. Aqidah tidak boleh diambil selain dari yang terdapat di dalam nash dan tidak terdapat ijtihad dalam perkara ini. Benar, terdapat dalil-dalil yang mendorong para ulama untuk berijtihad, hanya saja ijtihad dilakukan dalam perkara-perkara cabang (hukum). Ibnu Al-Jauzi menyatakan: ”Sesungguhnya dalil yang menyangkut aqidah adalah sangat jelas (tidak memerlukan ijtihad, pen).“ (Perhatikan kitab Talbis Iblis: 82). Sebagaimana kita ketahui bahwa kekeliruan dalam perkara aqidah tidak sama statusnya dengan kesalahan dalam masalah furu‘ (cabang hukum) selama dalam batas-batas ijtihad yang syar‘iy. Hal ini yang menyebabkan para ulama ahli kalam mengkafirkan orang-orang yang mempunyai pendapat berbeda dengan pendapat mereka. Dengan demikian apabila dalil-dalil Dzanniy (kesamaran/keraguan) dijadikan rujukan dalam pengambilan masalah aqidah, maka akan muncul gejala untuk secara mudah mengkafirkan orang lain atau kelompok lain yang berbeda dengannya disebabkan kandungan dalilnya sendiri yang mengarah pada banyaknya penafsiran dan tidak bersifat pasti. 58
59
4. Dalil yang digunakan dalam perkara aqidah, bisa dalil aqli dan bisa pula dalil naqli (wahyu) sesuai dengan tema/objek yang dibahasnya. Jika tema pembahasan menyangkut sesuatu yang mempunyai fakta yang dapat diindera dan dapat dijangkau akal manusia, maka dapat digunakan dalil aqli. Hanya saja sebaliknya, jika tema pembahasan merupakan sesuatu yang tidak dapat diindera dan dijangkau akal manusia maka digunakan dalil naqli (wahyu). Jadi, seorang muslim tidak dituntut untuk mengetahui bagaimana Allah SWT. memberikan dan menurunkan rezekiNya ketika seorang manusia beriman terhadap sifat Allah sebagai Maha Pemberi Rezki. Demikian pula halnya bagaimana cara Allah menolong para hambaNya dan bagaimana cara Dia memelihara seluruh ciptaanNya. Yang dituntut dari seorang hamba adalah beriman dengan sifat-sifat Allah itu tanpa mempersoalkan bagaimana cara Allah merealisasikan perbuatanNya itu. Seorang muslim wajib beriman bahwa Allah SWT. Maha Melihat tanpa harus bertanya lebih lanjut tentang bagaimana cara Allah melihat. Wajib beriman bahwa Allah SWT. pernah berbicara secara langsung dengan nabi Musa as. tanpa harus bertanya lagi bagaimana proses pembicaraan itu berlangsung. Tema yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah keimanan terhadap nama dan sifat-sifatNya yang disebutNya sendiri, bukan mengenai Dzat atau cara kerja dan bentuk Dzatnya itu. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an Al-Karim yang melarang seorang muslim untuk membahas Dzat Allah karena keterbatasan akal manusia itu sendiri, sebagaimana dalam beberapa firmanNya: ”Tidak
ada sesuatu pun yang menyerupaiNya“ (QS. Al Ikhlas : 4)
Mٌ a َ ًُا َأGُْ َ)ُ آ,ُ&َ ْ%ََو
ُ اْ ِ=َ ِلMِMR َ َ ُ اَ!ّ ِ) َوهQِ" ن َ َُ ِد3ُ ْ%َُوه
” …Dan mereka berbantah-bantahan tentang (keesaan, kekuasaan, dan Dzat Allah), sedangkan Dialah Yang Maha keras siksaanNya“ (QS. Ar Ra‘du:13)
Rasulullah SAW. bersabda: ”Maha
suci Engkau, yang tidak dapat kami hitung pujian atas-Mu, sebagaimana Engkau memuji diriMu sendiri“ (HR. Muslim, Abu daud, An Nasa‘I, Ibnu Majah, Imam Malik, dan Ahmad) Cukup kiranya kita mendengarkan bagaimana salah seorang ulama salaf berpendapat mengenai ayat-ayat semacam itu dengan menyatakan:
59
”Para ulama salaf telah melihat ayat-ayat tersebut dan mereka diam terhadapnya, padahal mereka adalah manusia yang paling mendalam ilmunya, luas pemahamannya, serta tidak mau memberatkan diri dalam membahasnya. Dan diamnya mereka bukan merupakan suatu kelemahan. Siapapun yang tidak berbuat sebagaimana mereka berarti dia telah berbuat sia-sia dan rugi“ (Ibnu Abdil Barr dalam Jami‘ul Bayan Al Ilmi wa fadlihi)
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
Demikian pula apa yang dinyatakan Imam Malik: ”Tidak
ada sesuatu yang dapat memperbaiki keadaan umat ini kecuali apa yang pernah memperbaiki generasi pertama dari umat ini“.
KEIMANAN KEPADA ALLAH DAN SIFAT-SIFATNYA Pernyataan dua kalimah syahadat Laa Ilaaha Illallah Muhammadur Rasulullah telah menuntut seorang muslim untuk tunduk dan patuh kepada Allah SWT. semata dan menjadikanNya sebagai satu-satunya Dzat yang wajib disembah, diibadahi, dan ditaati. Konsekuensinya, tentu saja seoranng muslim harus menolak segala bentuk peribadatan kepada sembahan lainnya, seperti berhala (paganisme), hawa nafsu, thagut, maupun bentuk-bentuk lain yang bertentangan. Allah merupakan Dzat satu-satunya yang berhak dan paling layak memperoleh pengabdian manusia. Dialah yang memiliki sifat-sifat Maha Mendengar, Melihat, Pemberi Rezeki, Yang Menghidupkan, Mematikan, Menentukan, Menolong, Memuliakan, Menghinakan, Agung, Kuasa, dan sebagainya. Sifat-sifat ini merupakan penghubung, pengarah, dan pendorong perbuatan manusia. Di sisi yang lain berperan dalam mendidik manusia untuk senantiasa berlindung hanya kepada Allah semata dalam setiap keadaan, baik sempit maupun lapang. Tidak ada tempat berlindung yang paling layak kecuali hanya Allah SWT. Hanya saja pada saat ini keimanan manusia kepada Allah SWT. telah menjadi keimanan yang beku, hampa, kering, dan tidak berjiwa bagi kebanyakan masyarakat kita. Keimanan kepada Allah telah menjadi keimanan hanya sebatas pada iman terhadap adanya Allah SWT. dengan proses keimanan yang diwarisi dan diterima begitu saja. Padahal dalam masalah ini, Islam mengharuskan keimanan itu bersumber dari aspek kesadaran berfikir manusia dengan jalan menggunakan dan memfungsikan akalnya. Penyertaan iman terhadap adanya Allah dengan iman terhadap sifat-sifatnya merupakan keimanan yang sempurna. Keimanan seorang muslim bahwa Allah SWT. Maha Mendengar telah mengharuskan dirinya agar selalu menyandarkan setiap perkataannya hanya kepada syara‘ semata. Dengan demikian tidak terlontar dari lisannya ucapan-ucapan kotor, dusta, dan yang tidak bermanfaat, sebab jika dilakukan perbuatan tersebut maka manusia tersebut akan berhadapan dengan Pengadilan Allah pada hari Kiamat, Allah meminta pertanggungjawaban atas kata-kata yang diucapkannya. Allah Maha Mendengar segala sesuatu baik berupa bisikan halus maupun kata-kata yang jelas nyaring. Keimanan seorang muslim terhadap Allah Maha Melihat telah mengharuskan dirinya untuk tidak mengayunkan tangan dan melangkahkan kakinya ke tempat maksiat atau yang Allah tidak meridlainya. Seorang muslim menyembahNya seolaholah ia melihatNya dan manakala ia tidak mampu melihatNya (karena memang manusia tidak akan pernah mampu melihat Allah) maka sesunggunya Allah SWT. melihat dan memperhatikannya dimanapun ia berada, baik sendirian, berduaan, dan di tengah-tengah orang banyak. Keimanan seorang muslim bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, mengetahui yang tersembunyi ataupun yang tampak, dzahir maupun batin akan mendorong seorang muslim untuk bersikap wara‘, yaitu menjaga dirinya dari 60
61
tindakan dan perbuatan maksiyat dan senantiasa terlibat dalam aktivitas dan amal yang bermanfaat, benar, dan baik. Keimanan seorang mukmin bahwa Allah SWT. Maha Pemberi Rezeki menjadikan ia tidak akan mudah putus asa dalam mencari penghidupan dan nafkah. Orang yang sempit rezekinya maka ia bersegera memohon kepada Allah SWT. rezeki yang halal dan berkat, karena ia meyakini hanya Dialah satu-satunya yang memberikan rezeki kepada para hambaNya. Setiap orang tidak akan tertukar rezekinya dengan orang lain dan sedikitpun tidak akan dikurangi. Allah-lah yang Maha Mengatur rezeki dengan setepat-tepatnya ukuran. Keyakinan seperti ini akan mendorong seorang mukmin untuk tetap konsisten dengan kewajiban yang diperintahkan Allah SWT., walaupun resikonya adalah pengorbanan dalam penghidupan. Ia tidak akan meminta selain kepadaNya dan tidak pula merendahkan diri kecuali kepadaNya dalam ukuran rezeki. Orang-orang yang menderita, sedih, dizalimi, serta orang-orang yang putus asa dan gagal maka pada saat kritis seperti itu tentu akan mengadukan seluruh masalah yang menghimpit dadanya hanya kepada Allah SWT., memohon jalan keluar untuk mengatasi masalah yang dihadapinya. Dialah Dzat yang maha Menolong, yang Memberikan kemenangan, yang dapat menghilangkan penderitaan yang tengah menghimpit kehidupan seorang manusia. Demikian pula orang yang selalu takut dan khawatir terhadap dirnya sendiri dalam mengarungi kehidupan, apabila ia mengetahui, memahami, dan meyakini bahwa Allah SWT. Maha Menghidupkan dan mematikan, Maha Memelihara tentu ia tidak akan meminta perlindungan dan pertolongan kepada siapapun untuk menjaga dirinya dari berbagai mara bahaya yang akan menimpa dirinya. Hanya Allah-lah tempat bergnatung segala sesuatu. Demikian pula halnya dengan orang yang beriman bahwa Allah Maha Memuliakan dan Maha Merendahkan, maka seorang mukmin tidak akan merendahkan dirinya kecuali di hadapan Allah dan tidak pula meminta kemuliaan kecuali hanya kepadaNYa. Seorang mukmin mengetahui bahwa itu dapat dicapai hanya melalui jalan yang sudah Allah tentukan, yaitu Syariat Islam dan bukan aturan yang lainnya selain yang berasal dari Allah SWT. dan RasulNya. Inilah metode yang ditempuh dalam kerangka untuk mengenal atau berma‘rifat kepada Allah SWT., memperkuat hubungannya dengan Allah SWT. dengan jalan berfikir, merenungkan, dan mengkaji makhluk-makhluk ciptaanNya. Dengan demikian, siapapun yang melakukan penelusuran, berfikir, dan memperhatikan fenomena yang ada pada alam macrocosmos (alam semesta) dan microcosmos (diri manusia sendiri) maka ia akan menemukan Kekuasaan Allah dan kedahsyatan penciptaannya. Perhatikan firman Allah SWT. berikut:
Mٌ ِR َ ْ ٍءQR َ ِّ ُ!َ آN َ ُ)ّ'َ َأn َ ّ9ِ ;َ 9ِ 0 ِ ْ&َ ْ%َ= ُّ َأ َو َ ْْ َأ َ'ّ)ُ ا%َُ , َ َّ َ َ َ َّ a َ ْ%ِ ِ ُGْ' َأQِ"ق َو ِ َ"r اQِ" َ*ِ َB ْ%ِ ِ;ُ? َ
”Kami 61
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an Al-Karim itu benar. Tidakkah cukup bahwa Rabbmu sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“ (QS. Fushilat:53)
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
Melalui penggunaan akal untuk berfikir dan mengamati makhluk Allah SWT. itu sesuai dengan dorongan yang diperintahkan Al-Qur’an Al-Karim kepada kita maka akan terbentuklah dalam diri seorang muslim nuansa baru yang dapat digambarkan pada pernyataan: ”Wahai
ب ا َّ ِر َ َاWN َ َ8ِ "َ n َ 'َ َ=ُْ? ِsَ9 َاWَ َه5ْ8!َ َ َ- َّ9َ َر
Rabb kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia. Oleh sebab itu jauhkanlah kami dari siksaan neraka“ (QS.Al Imran: 191)
62
63
BERIJTIHAD DALAM AQIDAH? Dalam sejarah, umat Islam pernah mengalami perdebatan sengit seputar masalah aqidah. Perkara ini mencuat setelah terlebih dahulu terjadi periode penerjemahan, pengkajian, dan pengunaan metode filsafat dalam membahas ayatayat Al-Qur’an Al-Karim yang berhubungan dengan perkara aqidah. Fenomena ini tidak dapat dihindari saat itu seiring dengan meluasnya wilayah dunia Islam. Daerah-daerah yang masuk ke dalam kawasan Islam itu pada awalnya merupakan daerah yang telah ratusan tahun sebelumnya menggunakan pola berfikir filsafat, seperti daerah Yunani dan sekitarnya (kerajaan Bizantium), Lembah Sungai Nil di Mesir, Persia, India, antara Sungai Eufrat dan Tigris di Irak, dan lain-lain. Dalam kerangka untuk memudahkan pengajaran dan pemahaman risalah Islam terhadap penduduk setempat maka cara yang termudah saat itu adalah menggunakan metode atau pola berfikir yang telah mereka anut selama berabadabad sebelumnya. Persoalan-persoalan ini yang memunculkan banyaknya golongan-golongan yang berbeda dalam masalah aqidah. Pada masa itu aqidah dijadikan kawasan ijtihad. Masing-masing golongan mengungkapkan berbagai hujjah atau dalil yang mendasari pendapatnya. Karena aqidah dijadikan sebagai batasan antara iman dan kafir, maka jika seseorang berbeda pendapat dengan yang lain dalam masalah aqidah ini maka orang yang dianggap salah itu digolongkan sebagai kelompok yang kafir dan sesat. Aqidah hanya mengenal kata benar dan salah, iman atau kafir; berbeda dengan ijtihad dalam perkara tasyri‘ sebagaimana hadits Rasulullah SAW.: ”Apabila seorang penguasa atau qadli (hakim) berijtihad (memutuskan suatu perkara), kemudian ijtihadnya benar maka ia mendapatkan dua pahala. Dan jika ia memutuskan perkara tetapi ijtihadnya itu salah maka ia mendapatkan satu pahala“ (HR. Bukhari no.7352)
63
Hadits ini menunjukkan bahwa ijtihad hanya dalam penentuan hukum syara. Tidak terdapat satupun nash yang menunjukkan kebolehan ijtihad dalam perkara aqidah. Malah sebaliknya argumentasi Al-Qur’an Al-Karim yang qath‘iy melarang seorang muslim mengikuti persangkaan dan berijtihad dalam perkara aqidah. Jumhur ulama menolak pendapat Imam Az-Zhish Abdullah Al-Anbariy yang membolehkan ijtihad dalam masalah aqidah (ushuluddin) (lihat kitab Asy-Syamil Fi Ushuluddin, Imam Al Haramain: 2). Orang yang berijtihad dalam perkara aqidah lalu keliru maka ia tidak akan mendapatkan satu pahala dan argumentasinya sama sekali tidak dapat diterima, bahkan jika pendapatnya itu keliru maka ia bisa tersesat. Contoh yang paling masyhur dalam masalah ini adalah apa yang dilakukan oleh golongan Qadariyah yang berpendapat tidak ada takdir atau golongan Mu‘tazilah yang masyhur pendapatnya bahwa Al-Qur’an Al-Karim itu makhluk, bukan Kalamullah (firman Allah). Contoh lain dari perkara tersebut dapat kita lihat dalam kitab Al Milal wan Nihal karya Imam Asy Syarastaniy. Persoalan sifat-sifat Allah yang diserupakan dengan sifat-sifat makhlukNya atau bahkan menolak sifat-sifat Allah baik tentang keadilan Allah, Nuzul (turun)nya Allah ke dunia, bersemayam (istiwa)nya Allah di Arsy, qadla dan qadar, dan lain. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
lain. Dengan pengamatan sepintas kita mengetahui bahwa pembahasan itu sangat dominan dipengaruhi filsafat Yunani, India, Persia. Pengambilan nash-nash AlQur’an Al-Karim yang mereka lakukan ditakwilkan sekehendak hati untuk memperkuat pendapat golongannya masing-masing. Allah SWT. memperingatkan manusia dalam masalah ini dengan firmanNya:
ْ%ْ ِذآْ ِ; ِه,N َ ْ%ُ"َ ْ%آْ ِ; ِهWِ 9ِ ْ%ُْ َأ َ*َْه9َ ّ, َ ِ ِ" ْ,-َ ََّوَاتُ وَا رْضُ و َ ت ا ِ Mَ َ Gَ َ ْ%ُ= ُّ َأهَْا َءه َ ْ اtَ َ ّ*َ َوَ ِ ا
”Andaikata
ن َ ُu;ِ ْ6ُ-
kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binsalah langit dan bumi ini dan semua yang ada didalamnya“ (QS. Al Mukminun:71)
Berdasarkan penjelasan ini, pokok pembahasan aqidah adalah hal-hal yang menyangkut ushuluddin dan tidak menyangkut perkara-perkara cabang yang melandasi amal perbuatan. Dalam perkara aqidah tidak dimasukkan pembahasan yang tidak bersangkut paut dengan aqidah, seperti perselisihan Ali bin Abi Thalib dengan para Sahabat mengenai soal kekhilafahan (pemerintahan) atau perselisihan Mu‘tazilah dengan Ahlu Sunnah tentang hakikat sihir dan terbentuknya awan. Hal ini disebabkan perkara perselisilahan kekhilafahan itu lebih layak dimasukkan dalam kitab tarikh (sejarah) dari pada kitab aqidah. Demikian pula halnya tentang hakekat sihir dan terbentuknya awan lebih layak dimasukkan dalam kitab sulap dan ramalan. Kitab-kitab tauhid semacam itu sebenarnya mempertajam perselisihan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Tentu saja hal ini menjadi berbahaya bagi ummat dan individu. Misalnya saja, perselisihan antara Ahli kalam mengenai apakah amal perbuatan itu merupakan pokok dari aqidah atau hanya sekedar pelengkap saja? Pertentangan seperti ini dapat menyebabkan masyarakat meninggalkan amal dan kemudian cukup hanya dengan beriman saja dengan alasan bahwa iman itu dengan amal. Contoh lain, misalnya pertentangan pendapat di kalangan ahli kalam mengenai apakah manusia itu memiliki kemampuan (qudrah) dan kehendak (iradah) sehingga bebas melakukan apa saja atau meninggalkan apa saja sekehendak hatinya, atau pendapat sebaliknya yang menyatakan bahwa manusia itu ibarat bulu yang diterbangkan angin, kemana angin berhembus ke sanalah bulu itu terbang. Perselisihan pendapat seperti ini dapat mengakibatkan orang awam menyerah pada pendapat bahwa manusia dipaksa oleh Allah SWT. tanpa memiliki kebebasan memilih sekehendak hatinya. Akhirnya mereka meninggalkan perbuatan-perbuatan yang wajib, semangat umat menjadi lemah, fatalistik sehingga menjadi umat yang paling lemah, terbelakang, tidak memiliki etos kerja dibandingkan dengan umat lainnya. Oleh sebab itulah, seharusnya aqidah dipelajari secara sederhana, menjauhkan pembahasan berdasarkan pada ilmu kalam yang rumit dengan cara mengembalikan perkara-perkara aqidah bersumber pada dalil-dalil qathiy (pasti), jauh dari prasangka, keraguan, dan kesamaran. Dengan perkataan lain, aqidah disampaikan berdasarkan nash-nash Al-Qur’an Al-Karim dan hadits-hadits mutawatir saja. Dengan metode yang sederhana ini, aqidah Islam berhasil menyentuh akal dan perasaan manusia di berbagai pelosok negeri, dapat dipahami baik oleh kalangan intelektual maupun masyarakat awam. 64
65
PENGARUH IMAN TERHADAP PERILAKU MUSLIM Dasar dan pokok aqidah dalam Islam disebut dengan istilah Arkanul Iman, yang meliputi: 1. Iman kepada Allah Allah SWT. merupakan nama dan sebutan bagi Dzat Suci yang kita imani, kita beramal karena-Nya, dan kita mengetahui bahwa dari-Nya lah kehidupan kita dan kepadaNya tempat kita kembali. Hanya Allah yang patut menerima pujian dan memiliki kebesaran, layak ditakuti dan ditaati, karena tidak ada satu pun makhluk yang dapat menandingi-Nya. Walaupun seluruh umat manusia sejak mereka diciptakan sampai dunia sepi dan berhenti bergerak karena seluruh manusia sudah punah, melupakan dan ingkar kepada-Nya, sedikit pun tidaklah akan menodai kemuliaan-Nya dan sebesar dzarah pun tidak akan mengurangi kekuasaan-Nya, serta tidak seberkas cahaya-Nya yang akan terhalang dan tidak akan secuil keagungan-Nya pun akan berkurang. Oleh sebab itu, seandainya kita berada pada suatu masa ketika semua orang bersikap keras kepala mengikuti hawa nafsunya dan melupakan hari Akhirat serta tidak mau tahu terhadap Tuhannya, maka hal itu tidak sedikit pun akan merugikan Allah Ta'ala. Adanya Allah SWT. adalah suatu hal yang jelas dapat diketahui manusia dengan fitrahnya,dan bukan termasuk masalah yang pelik, bukan pula hasil pemikiran yang berbelit-belit. Pernahkah kita memikirkan tentang planet-planet yang beredar, yang membelah angkasa raya dan mengikuti garis edar atau falak tertentu tanpa berkisar ke kanan atau ke kiri dan menetapi kecepatan yang teratur tidak terlalu kencang dan tidak pula terlalu lambat, kemudian kita lihat ia muncul pada waktu yang telah diperkirakan dan tidak melanggarnya? Apabila bola disepak melambung dari kaki para pemain, tetapi tidak lama setelah beredar dan berputar-putar ia jatuh kembali ke bawah, sekarang pikirkan bagaimana bola-bola yang teramat besar ukurannya yang ada di angkasa, ia tetap beredar dan tidak jatuh-jatuh, terus berputar tak henti-henti. Itu semua tidak mungkin terjadi tanpa ada kekuasaan yang mengaturnya.
ن ِ ُْYْ;ُ6ََْ َد آN َـa َ ِز َل-َ ُjَ'ْرMKَ ;َ َ 8َ ْ َو ا، %ِ ْ!ِ6َ ْ اPِ ِْPَـ6ْْ;ُ اMِ ْـ8*َ n َ ِ َ ذَاv;َـ8َْ;ِى ُِْـ3*َ ُXْـIَو ا ن َ ْ َْـ َ=ُـn ٍ "ِ َ"!َـx ُ ُ اـَ ِر َو آ9ِ َ َ; َو َ] اـُْ ?َـ8َ ْك ا َ ْ ِرM َأنْ *ُـ7ََ ِpُ ََْـXْـI َ] ا، %ِ ْMِ َـ8ْا
"Dan matahari itu berputar pada kedudukan yang tetap. Demikian ketentuan Tuhan Yang Maha Tangguh dan Maha Mengetahui! Dan bulan Kami tetapkan tempat-tempatnya hingga ia kembali lancip seperti mayang tua. Tiadalah mungkin matahari itu mengejar bulan dan tidak pula malam mendahului siang, dan masing-masing beredar sesuai dengan garis edar tertentu." (QS Yasin: 38-40) 65
Seandainya kita perhatikan semua makhluk yang terdapat di alam raya ini, apakah itu batu, tanah, tumbuh-tumbuhan, kayu, binatang, daratan, lautan, api, udara, dan lain sebagainya, kita akan menemukan sejumlah bukti yang tidak terhitung untuk meyakinkan keberadaan Allah SWT. Semua makhluk yang ada di jagat ini adalah saksi keberadaan-Nya, termasuk diri kita sendiri, tubuh kita, sifat. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
sifat kita, perubahan yang ada pada diri kita, gerak dan diam kita. Hal ini pun menunjukkan bahwa Dzat Allah berbeda dengan makhluk-Nya, tidak ada yang pantas untuk disekutukan dengan-Nya. Keimanan kepada-Nya adalah hal yang paling esensi dalam kehidupan manusia karena sebagai manusia kita amat sangat membutuhkan-Nya.
، Mٍ ِْـMَـY ٍ ْ!َـE9ِ ت ِ ْJَ ْ َو%ُ&ْ ِهْـWُ ْJَـIَ ْ ِإن، ُM= ِْـ َ ْ اCQِـpَ ُْ هُ َ اy َو ا، y ِ ءُ ِإَ اBَ;َـ8ُGُْ ا%َُ اـسُ َأ'ْـCأَـ7َ
Pٍ ْـPِ َـ69ِ y ِ !َ اN َ n َ َِ ذَا-َو
"Hai manusia! Kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dia-lah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia memusnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu), yang demikian itu sekali-kali tidak sulit bagi Allah. (QS Fathir: 15-17)
Melukiskan kebesaran-Nya tidak akan pernah ada habis-habisnya dan tidak ada makhluk-Nya yang sanggup untuk mengurai secara tuntas. Air di seluruh samudera akan kering jika dipakai untuk menjadi tinta dalam melukiskan kebesaran-Nya begitu pula seluruh daun-daunan di alam semesta akan habis jika dipakai untuk menjadi kertasnya. Namun, usaha untuk mempertebal keimanan kepada-Nya tidak pernah layak untuk dihentikan karena kita harus senantiasa menyempurnakan kualitas dan kuantitas ibadah kita kepada-Nya. 2. Iman kepada para malaikat-Nya Malaikat adalah makhluk Allah yang paling taat kepada-Nya. Malaikat tidak pernah menentang kehendak-Nya, senantiasa tunduk, patuh, dan taat kepada-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Keimanan kepada malaikat ini membuahkan sejumlah hikmah, di antaranya adalah : a. Mempertebal keyakinan kita pada kekuasaan Allah SWT. karena tugas malaikat sangat banyak yang jauh dari jangkauan manusia, seperti sebagai perantara wahyu dari Allah SWT. kepada para utusan-Nya, pencabut nyawa manusia dan penyebar rizki. Suatu kesalahan besar jika ada anggapan bahwa malaikat dengan seperangkat tugasnya menjadikan suatu tanda bahwa dalam mengatur alam ini Allah SWT. perlu pembantu. Adanya malaikat bukan mempersempit kekuasaan Allah SWT., tetapi sebagai bukti kekuasaan-Nya, sebagai bukti bahwa Allah SWT. Maharaja diraja, tidak ada sesuatu kekuasaan apa pun yang sanggup menandingi kerajaan-Nya. b. Menambah ketawadluan kita sebagai manusia yang banyak melakukan perbuatan dosa karena malaikat yang mempunyai kedudukan mulia di sisi Allah SWT. saja tidak pernah melanggar perintah-Nya, apalagi manusia yang belum jelas kedudukannya di hadapan Allah SWT. c. Menambah keyakinan kita terhadap kitab-kitab yang telah diturunkan-Nya kepada para utusan-Nya melalui perantaraan malaikat. Dengan demikian, tidak ada keraguan dalam diri kita untuk mengamalkannya. d. Memperketat amalan-amalan kita karena keyakinan kita akan adanya 'pengawas' yang ditugaskan Allah untuk kita (malaikat Raqib dan Atid) sehingga amalan-amalan kita semakin terlindungi dari hal-hal yang dimurkaiNya. 66
67
3. Iman kepada kitab-kitab-Nya Iman kepada kitab-kitab-Nya mempunyai arti bahwa kita beriman pada : a. Kitab Zabur yang diturunkan Allah kepada Nabi Daud as. b. Kitab Taurat yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa as. c. Kitab Injil yang diturunkan Allah kepada Nabi Isa as. d. Kitab Al-Qur’ân yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Hal ini menunjukkan adanya kesatuan misi yang diemban oleh para RasulNya dari masa ke masa, tidak berubah, yaitu tauhidullah. Hal ini pun menunjukkan bahwa Tuhan dari semenjak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW., manusia pertama yang diciptakan hingga manusia akhir yang kelak akan diciptakan adalah sama, yaitu Allah SWT. Kitab-kitab itu masing-masing diturunkan-Nya untuk menyempurnakan yang sebelumnya. Tidak ada kesimpangsiuran atau target yang tidak jelas karena yang menurunkannya adalah Allah SWT., Sang Maha Pengatur yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Di antara hikmah yang dapat diperoleh terhadap keimanan pada kitab-kitab-Nya adalah: a. Kita semakin yakin bahwa Allah SWT. tiada bandingannya, terbukti dengan tidak adanya manusia yang sanggup membuat kitab yang sebanding dengan kitab-kitab-Nya, baik dari segi struktur kata, gaya bahasa, maupun keindahan perpaduan katanya (kejelasan makna dan tujuan kalimat). b. Kita semakin yakin akan Kemahatahuan Allah SWT., karena di dalam kitabkitab-Nya terdapat informasi-informasi masa lalu dan masa yang akan datang di samping informasi-informasi yang aktual hingga akhir zaman. c. Kita dapat mengetahui kebenaran rasul-rasul yang diutus-Nya, melalui informasi/petunjuk yang diberikan-Nya. d. Menambah keimanan kita terhadap Keesaan Allah SWT.
67
4. Iman kepada para utusan-Nya Iman kepada para utusan-Nya, menunjukkan bahwa semua rasul yang diutus-Nya adalah pengemban misi yang sama yaitu tauhidullah yang akan membawa keselamatan bagi umat manusia di dunia dan akhirat. Di samping itu, menunjukkan terdapat aturan dalam beribadah kepada-Nya karena itu manusia memerlukan penunjuk jalan yaitu seseorang yang telah diutus-Nya. Para utusan Allah adalah orang-orang yang terpilih, tidak bisa setiap orang mengklaim dirinya sebagai rasul dan tidak bisa pula setiap orang mengangkat orang lain menjadi rasul. Pengangkatan rasul adalah hak Allah SWT., bukan hak manusia. Di antara beberapa hikmah yang dapat diambil dari keimanan kepada para utusan-Nya ini adalah : a.Menambah keyakinan kita pada kemahabijaksanaan-Nya karena Dia tidak membiarkan para hamba-Nya dalam kesesatan, sehingga diutus-Nya-lah para rasul untuk menjabarkan tata cara beribadah yang benar kepada-Nya. b. Menambah keyakinan kita bahwa jalan yang benar itu hanya satu, yaitu jalan Allah SWT., sehingga sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW. misi yang diemban hanya satu yaitu tauhidullah. c. Para rasul-Nya bukanlah manusia biasa, melainkan manusia pilihan. Oleh karenanya kita tidak bisa menyamakan kedudukan kita setara dengan mereka, sehingga tidak layak bagi kita untuk melecehkan atau mengingkari mereka. . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
5. Iman kepada hari akhir Iman kepada hari akhir memberi kita semangat untuk terus dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas amal perbuatan kita, sehingga semuanya bernilai ibadah dan dapat dijadikan bekal untuk perjalanan menuju kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti. Di samping itu, iman pada hari akhir akan menambah keyakinan kita kepada keimanan kepada Allah SWT. yang mempunyai sifat Maha adil dan Maha bijaksana karena di akhirat nanti manusia akan diberi balasan sesuai dengan amalan-amalannya.
ُj;َ ا َـz;َـR َ َل َذر ٍة8ْـH-ِ َْ ْ6َ ْ,-َ َو، ُj;َ ْـ;ًا َـ َ َ َل َذر ٍة8ْـH-ِ َْ ْ6َ ْ,َ "َ
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarah, niscaya ia akan mendapat balasannya, dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarah pun, niscaya ia akan mendapat balasannya." (QS. Al-Zalzalah: 7-8)
6. Iman kepada Takdir Qadar secara bahasa memiliki banyak makna misalnya: Qadarul amri ( ) ر اartinya mengurusi, Qadarusy-syai bi syai ( ) ر اء ءartinya mengukur, memperbandingkan, membagi Qadarur-rizqihi ( ) ر رزartinya menyempitkan rizqinya Qadar secara istilah adalah ketentuan Allah terhadap sesuatu semenjak azali, sesungguhnya Allah telah menentukan segala sesuatu yang akan terjadi baik berupa benda-benda maupun perbuatan-perbuatan sebelum semua itu diciptakan. Firman Allah SWT.:
, َ ْ;ِ 9ِ َـpْ ا, َ -ِ َرْ'ـَهMKَ ْ َ;أَ*َـ)ُ َو-ُ َو َأهْ!َـ)ُ ِإ] اjَْـ3 َ ْ'Jَ"َـ
"Kami selamatkan dia beserta keluarganya, kecuali istrinya. Kami telah mentakdirkan dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan)." (QS An-Naml: 57) Maksud ayat tersebut, Allah telah mencatatkan hal yang demikian itu dan menakdirkannya semenjak azali. Firman Allah SWT.:
... َُ َـy@ ا َ َـ آََـ- ] ِإ7َْـَـ/ ِ ُ ْ,َ ُْـK
"Katakanlah: 'Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami..." (QS At-Taubah: 51) Maksudnya, Allah telah menetapkan bagi manusia segala sesuatu semenjak azali sebelum manusia diciptakan. Firman Allah SWT.:
y ِ !َ اN َ n َ ِْـ ِ َأنْ َ'ْـ َ;َأهَ ِإن ذَاKَ ْ,-ِ ب ٍ ْ ِإ] "ِ ِآَـ%ُ&ُِـGْ'ض َو َ] "ِ َأ ِ ْ "ِ اْ َ رoٍ َ ِـْـ/C- ْ,-ِ ب َ َـS َأ7َـ;ٌ َِْـ
"Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah."(QS Al-Hadiid: 22)
68
69
Maksudnya, tidak ada yang menimpa di bumi dan menimpa diri manusia melainkan telah tercatat di Lauh Mahfuzh dengan pengertian bahwa Allah SWT. telah mengetahui semuanya sebelum Dia menciptakannya. Inilah takdir yang dituntut untuk diimani oleh kita baik dan buruknya, sebagaimana yang terdapat dalam hadits:
( ~M= ) ا5 َ ْـKMَـS :َـ َلK ،ِj{;َـR َوjِ ;ِ ْـ َ ِرMَ َـ8ِْ9 ُ,-ِ ْmُ* َو
"...dan beriman terhadap takdir baik dan buruk. Jibril menjawab: 'Engkau benar!" (AlHadits)
Bagian keimanan ini memerlukan pembahasan yang khusus karena banyak masalah yang harus diperhatikan agar tidak menyimpang dari ketauhidan kita kepada Allah SWT. Oleh karena itu, pada uraian ini hanya akan dibahas mengenai beberapa hikmah yang dapat direnungi dari buah iman kepada takdir-Nya, yaitu: Sifat Kemahatahuan dan Kemahabijaksanaan Allah SWT. tidak ada yang mampu menandingiNya, sehingga kebaikan dan keburukan menurut pandangan Allah ada kalanya berbeda dengan apa yang ada pada pandangan manusia.
ْ%ُ&!ـ6َ َ ب ِ َأُوِ اْ َ ْـ7َ y َ ُـْا ا8*َ" ~ ِ ِْـE َ ْْ َ;ةُ اH َآn َ َ َـ3ْNـِـْ~ُ َو ا>ـ{@ُ َو َْ َأE َ ُْْ ] َْـَـِى اK
ن َ ُْ=ْ!ِـGُ*
"Katakanlah: 'Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, bertaqwalah kepada Allah hai orang-orang yang berakal, agar kamu beruntung." (QS Al-Maidah: 100)
Sifat Kemahaadilan Allah SWT. memberikan kebebasan bertindak bagi manusia, sehingga manusia bebas berjalan tanpa paksaan untuk menentukan jalannya (dengan sebelumnya telah diberi petunjuk oleh Tuhannya)
... ْ;ُGْ& َء َ"!َْـ7َـR ْ,-َ ْ َو,-ِ ْmُْ!"َ َء7َـR ْ,َ "َ ْ%ُ&{ـ9ْ ر,-ِ C = َ ُْـ ِ اK َو
"Katakanlah: 'Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barangsiapa ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa ingin kafir maka biarlah ia kafir..." (QS AlKahfi: 29)
69
KONSEKUENSI KEIMANAN BAGI SEORANG MUSLIM Sebagaimana kita ketahui, iman kepada Allah SWT. harus datang dari pemahaman akal. Keimanan inilah yang menjadi dasar kuat bagi kita untuk beriman kepada hal-hal yang ghaib dan segala apa yang dikabarkan oleh Allah SWT. Sebab, apabila kita telah beriman kepada-Nya maka konsekuensinya kita wajib pula beriman terhadap apa-apa yang dikabarkan-Nya melalui Rasul-Nya. Begitulah aqidah seorang muslim yang menggunakan akal. Kalaupun dia harus mempercayai dalil-dalil naqli (kutipan), maka dalil-dalil yang diterimanya itu harus qath'i (pasti). Untuk mengetahui apakah suatu dalil pasti atau tidak, juga harus memakai akal dalam memilah dan memilihnya. Sebab, tidak ada taqlid dalam
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
masalah aqidah. Oleh karena itu, Aqidah Islamiyah disebut Aqidah Aqliyah, artinya aqidah yang dapat diterima oleh akal dan dapat dipahami akal manusia. Setelah seorang muslim beriman kepada apa-apa yang telah dijelaskan di atas, ia pun wajib menerima seluruh Syariat Islam sebagai pengatur bagi kehidupannya. Sebab, syariat itu datang dari Allah SWT. melalui rasul-Nya, baik yang terdapat di dalam Al-Qur’ân dan Al-Hadits. Penerimaan terhadap hal tersebut harus utuh dan bulat, tidak boleh hanya sebagian-sebagian. Tidak boleh dipilah-pilah dalam menerima hukum-hukum Allah. Semuanya harus diterima dan diimani dengan sepenuh hati. Jadi penolakan terhadap ayat: "Tegakkanlah shalat...!" (QS Al-Baqarah: 110) sama saja dengan penolakan terhadap ayat:
... !َ َة/ُْْا اKِ َو َأ
... ـَا9{;; َم اa َ َوtَ ُْ اَْـyَـ اa َو َأ...
"...Padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..." (QS Al-Baqarah: 275) atau ayat:
... ََُِـMُْْا َأ6ْ>َـKَ" ُoKَ َو اـ ِرقُ َو اـ ِر
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya..." (QS Al-Maidah: 38)
... )ِ 9ِ y ِ ْ ِ; اpَ ِ أُ ِه7َ- ْ ِ; َوPِ ِْـEُْ ا%ْ=َ مُ َوMُ َو اoَ ُ اْ َْـ%ُ&ْ!َـN َ ْ5-َ {;ُa
"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah..." (QS Al-Maidah: 3)
Penerimaan terhadap Syariat Islam tidak boleh berhenti pada akal saja, dalam arti hanya sebatas kepada pengetahuan. Akan tetapi, harus terdapat penyerahan mutlak dan totalitas terhadap segala peraturan yang datang dari Allah SWT.
َو5 َ \ْـ َ Kَ {- ًـYَ;a َ ْ%ِ ُِـGْ'ُوْا "ِ َأM3 ِ َ ]َ %ُ` ْ%َُ ْ9َ َ;3 َR َ َك ِ"ْـ َ ُْ{&= َ ُ َـa ن َ ُِْـ-ْmُ ]َ n َ {ـ9َ َو ر َ "َ ًْ!َُِـ!{ُْا َ*ْـ
"Maka demi Tuhanmu, mereka itu (pada hakikatnya) tidak beriman sebelum mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa di hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kauberikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS An-Nisaa: 65) Aqidah Islam menuntut seorang muslim untuk tunduk dan patuh terhadap Allah SWT. serta menjadikan-Nya sebagai satu-satunya yang ditaati, diibadahi dan disembah. Allahlah satu-satunya Pencipta yang berhak menerima pengabdian. Dalam keyakinan seorang muslim Allah merupakan penguasa alam semesta dan manusia, Dia yang membuat aturan dan hukum bagi kehidupan manusia karena Dialah yang Maha mengetahui kelemahan dan kelebihan manusia, Allah sebagai Dzat Pemberi Hidayah, Rizki, Dialah yang menghidupkan dan mematikan, Maha Menolong, Memiliki Kerajaan dan Maha Atas segala sesuatu. Tidak ada sekutu bagiNya. Berkenaan dengan penerimaan yang seperti itulah maka seorang muslim 70
71
akan menolak beribadat kepada sesembahan lain. Keimanan seperti itu cukup bagi seorang muslim untuk menuntunnya berjalan dalam kehidupan dengan jalan yang telah dipilih oleh Allah SWT., yaitu Dienul Islam. Di dalam hatinya ia senantiasa merasakan getaran keagungan Allah dan selalu merasa takut kepada-Nya. Ia senantiasa berhati-hati untuk tidak melakukan perbuatan yang membuat Allah murka. Bahkan sebaliknya ia selalu melakukan amal perbuatan yang dapat mendekatkan dirinya dengan Allah melalui perkataan, perbuatan, ketaatan, maupun melalui ibadah-ibadah tertentu. Keimanan semacam inilah yang seharusnya terjadi dalam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Islam. Iman yang mampu memberi pengaruh kuat dalam amal perbuatan dan kepribadian muslim.
71
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad